nggunaan
bahan pangan menjadi bahan energi untuk
transportasi maupun kegiatan lainnya
merupakan pilihan yang sangat keliru dan
tidak manusiawi, ditengah-tengah kelaparan
yang semakin merajalela. Kebijakan yang
terus bersikeras untuk memproduksi biofuel
akan berdampak terhadap penurunan
produksi komoditas pangan karena
komoditasini akan cenderung
ditinggalkan dan diganti dengan tanaman
penghasil ethanol.
mengemukakan faktor iklim memberikan
andil besar akan kondisi kekurangan pangan.
Merujuk kepada laporan Intergovernmental
Panel on Climate Change, penurunan produksi
pangan juga disebabkan oleh perubahan.
Lebih lanjut dijelaskan, setiap kenaikan suhu
udara 2 derajat celsius akan menurunkan
produksi pertanian China dan Bangladesh
sebesar 30 persen pada 2050. Laporan
tersebut juga memaparkan, jika laju emisi
karbon stabil pada tingkat saat ini maka
suhu permukaan bumi masih akan naik
2-5 derajat celsius sampai mencapai
keseimbangan. Namun, jika terjadi
peningkatan emisi maka akan menaikkan
suhu antara 3-10 derajat celsius dan akan
terus memengaruhi produksi tanaman
pangan.
Selain itu, Pakar iklim Australia dan
Amerika Serikat menyebutkan
pemenuhan pangan dunia akan terganggu
karena semakin naiknya suhu air laut.
Kondisi ini akan menenggelamkan pulau-
pulau kecil. Ilmuanini menjelaskan
setidaknya seluruh daratan dunia telah
mengalami kenaikan suku antara satu
hingga tiga derajat celsius. Kenaikan suhu
ini akan menyebabkan melelehnya es di
kutub. Disisi lain, penelitiini juga
menjelaskan bahwa rata-rata gelombang
air laut di seluruh dunia telah mencapai 7
meter karena mencairnya gumpalan es di
Greenland. Kondisi ini akan mengancam
peradaban dunia karena akan terjadi
kekurangan pasokan makanan karena
terendamnya daratan disebagian belahan
dunia
2. Ancaman Krisis Pangan di
negara kita
Krisis pangan dunia memberikan
pelajaran kepada negara kita akan
pentingnya sektor pertanian. Jika dikelola
dengan baik maka sektor ini akan
menyumbang windfall yang tidak sedikit, sama
halnya negara-negara Timur Tengah sebagai
dampak kenaikan harga minyak. Walaupun
tidak masuk dalam kategori negara yang
rawan pangan -dikeluarkan FAO- tetapi
berbagai keadaan akan dapat menjerat dan
menjeruskan negara kita dalam krisis pangan
yang lebih parah. Kerawanan pangan bukan
saja tergambar dari kekurangan produksi
pertanian atau tanamaman pangan. Lebih
dari itu, kerawanan pangan memiliki masalah
multidimensional mencakup masalah
pendidikan, tenaga kerja, kesehatan,
kehutanan, dan prasarana fisik.
Kerawanan pangan dibagi menjadi dua
yakni kerawanan pangan kronis dan
kerawanan pangan transien. Sunny (2007)
mengemukakan penetapan kondisi rawan
pangan kronis didasarkan pada sepuluh
indikator yang tercakup dalam tiga aspek
penting yakni (i) aspek ketersediaan pangan,
tergambar dari indikator konsumsi normatif
per kapita terhadap rasio ketersediaan bersih
padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar (ii) aspek
akses pangan dan mata pencaharian, dengan
indikator persentase penduduk yang hidup
di bawah garis kemiskinan; persentase desa
tidak memiliki akses penghubung yang
memadai, dan persentase penduduk tanpa
akses listrik (iii) aspek kesehatan dan gizi,
dengan indikator angka harapan hidup saat
lahir, berat badan balita di bawah standar,
perempuan buta huruf; angka kematian bayi,
persentase penduduk tanpa akses ke air
bersih dan persentase penduduk yang tinggal
lebih dari 5 km dari puskesmas. sedang
kerawanan pangan transien adalah keadaan
kerawanan pangan disebabkan kondisi tidak
terduga karena datangnya berbagai musibah,
bencana alam, kerusuhan, musim yang
menyimpang dan keadaan lain yang bersifat
mendadak. Indikator untuk kerawanan
pangan transien adalah (1) persentase daerah
tak berhutan, (2) daerah puso, (3) daerah
rawan longsor dan banjir serta (4) fluktuasi/
penyimpangan curah hujan.
Ide penurunan kerawanan pangan
bermula dari Deklarasi World Food Summit
1996 di Roma ketika munculnya
kesepakatan negara-negara peserta untuk
menurunkan kerawanan pangan dunia
hingga separuhnya pada 2015. Jumlah
indikator kerawanan pangan untuk setiap
negara cukup berbeda walaupun pada awal
telah distandarisasikan. Misalnya, India
menggunakan 21 indikator sedang
negara kita lebih sedikit yakni 15 indikator.
Kerawanan pangan bukan hanya terjadi di
daerah yang produksi pangannya sedikit
tetapi kemungkinan kerawanan pangan juga
dapat terjadi di daerah surplus. Halini
terjadi ketika rendahnya tingkat pendidikan
penduduknya sehingga pemanfaatan
sumber pangan tidak maksimal. Selain itu,
kasus kerawanan pangan juga terjadi di
beberapa daerah yang produksi surplus
pangan namun sebagian besar penduduknya
tidak bekerja, walaupun bekerja dalam
jumlah jam kerja yang minim. Halini
berdampak memenuhi asupan gizi
Contoh kasusnya adalah pada
pemetaan Deptan 2002, disimpulkan empat
kelompok kabupaten yang memiliki
proporsi rawan pangan paling tinggi.
Keempat kelompokini tersebar
masing-masing dua kabupaten di Jawa
Timur dan Nusa Tenggara Barat. Kabupaten
di Jawa Timurini adalah Madura dan
bagian tenggara Jawa Timur, padahal kedua
kabupatenini merupakan daerah
surplus pangan. Kerawanan pangan di
Madura disebabkan tingginya persentase
penduduk miskin, perempuan buta huruf,
rendahnya umur harapan hidup, tingginya
persentase anak balita yang kurang gizi,
rendahnya akses air bersih, dan kurangnya
wilayah yang masih berhutan.
Selain Madura, kabupaten lainnya
adalah Bondowoso, Probolinggo, dan
Situbondo yang disebabkan tingginya
proporsi penduduk yang tidak mendapat
kesempatan kerja yang cukup. Disamping
itu, kabuptenini diwarnai oleh
tingginya tingkat perempuan buta huruf,
relatif rendahnya harapan hidup, relatif
tingginya gizi buruk, minimnya jumlah
dokter dan pelayanan kesehatan serta
tingginya degradasi lahan. Lain halnya dengan
Sidoarjo, yang merupakan salah satu
kabupaten defisit pangan, tetapi tidak masuk
dalam kategori rawan pangan karena
terkompensasi oleh kegiatan ekonomi yang
tinggi. Implikasinya, penduduknya relatif
sejahtera dibanding daerah lainnya. Kegiatan
perekonomian yang relatif baik
berpengaruh signifikan pada penyediaan
fasilitas kesehatan, penyediaan air bersih, dan
tingkat kesehatan balita [Kompas, 2008].
Selain itu, Arifin (2006) juga memetakan
indikator kerawanan pangan lainnya seperti
(i) tinggi rendahnya proporsi penduduk yang
kekurangan pangan (ii) tingkat kekurangan
energi/protein dari rata-rata kebutuhan
energi/protein yang disyaratkan (food gap) (iii)
besarnya indeks gini dari food gap konsumsi
energi/protein (iv) besarnya koefisien variasi
konsumsi/energi. Dengan kriteriaini ,
negara kita masih rawan akan krisis pangan.
Fadil dan Yustika (2008) menjelaskan
bahwa kerawananini tergambar dari
tingginya proporsi penduduk negara kita
dengan tingkat konsumsi kalori kurang dari
2,150 kilo kalori (kkal) mencapai 56 persen
serta proporsi penduduk dengan konsumsi
protein kurang dari 45 gram mencapai 8
persen. Disisi lain, indeks gini food gap
konsumsi energi dan protein tercatat 0,36
dan 0,39; koefisien variasi konsumsi energi
dan protein mencapai 28 persen dan 34
persen. Selain itu, konsumsi energi juga
masih relatif rendah. Jumlah energi yang
dikonsumsi baru 1994 kkal/kapita/hari
atau naik 5 kkal/kapita/hari dari 2005, yang
angkaini masih di bawah rekomendasi
WKNPG VIII.
Arifin menambahkan kerawanan
pangan nasional juga tergambar dari
ketidakmerataan akses terhadap pangan. Hal
tersebut teridentifikasi dari peta kerawanan
pangan (food security atlas) yang menempatkan
40 kabupaten dari 265 kabupaten berada
dalam kategori agak rawan, 30 kabupaten
lainnya masuk kategori daerah rawan
pangan dan 30 kabupaten dalam kategori
sangat rawan pangan. Food Security Atlas
menggambarkan situasi sebaran pangan di
30 provinsi negara kita , termasuk 100
kabupaten yang masuk dalam kategori
rawan pangan utama. Peta kerawanan
pangan diharapkan menjadi sumber
informasi akan keberadaan kantong-
kantong rawan pangan dan gizi di seluruh
negara kita .
3. Kondisi Pertanian negara kita
Mengamati perekonomian nasional
akan disimpulkan bahwa telah terjadi
perubahan haluan pembangunan dari
dominasi sektor pertanian menjadi
dominasi sektor industri pengolahan,
padahal sektor pertanian tumpuan bagi
lebih dari 40 persen penduduk negara kita
(Tabel 2). Secara keseluruhan pada 2007,
sektor pertanian masih menjadi lahan
penting bagi 42,60 juta penduduk
negara kita untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Namun, angkaini
menurun dibandingkan tahun 2000.
Tahun 2000 sektor ini masih mampu
menyerap 45,3 persen dari total pekerja,
menurun 3,3 persen (yoy) pada 2001.
Peningkatan terjadi pada 2003 yakni naik
4,51 persen menjadi 46,3 persen. Pada
2005-2006 penyerapan tenaga kerja pada
sektor pertanian masih di atas 40 persen
dan pada 2007 sebesar 43,7 persen atau
turun 1,79 persen (yoy).
Tabel 2.
Sektor pertanian juga berkontribusi
signifikan terhadap PDB. Data Bank
negara kita (2007) menunjukkan, rata-rata
kontribusi sektor pertanian pada periode
1997-2007 sebesar 15,54 persen sedikit
di bawah sektor perdagangan, hotel, dan
restoran sebesar 15,64 persen. Secara
historis, sejak 1968 kontribusi sektor
pertanian mencapai 51 persen, sedang
industri pengolahan hanya 8,5 persen.
Sejak 1988-1993, struktur perekonomian
negara kita berubah sehingga dominasi
sektor pertanian disalip industri
pengolahan. Kondisiini semakin
dramatis karena sejak tahun 1993, kontribusi
sektor pertanian terus berada di bawah
industri pengolahan. Sejak krisis ekonomi
1998, sektor pertanian hanya berkontribusi
17,98 persen terhadap PDB. Kontribusi
sektor pertanian terus menurun pada 2005,
dimana sektor pertanian hanya mampu
berkontribusi 12,4 persen sedang industri
pengolahan 27,41 persen. Keadaanini
terus berlanjut pada 2006, dimana sektor
pertanian hanya berkontribusi 12,97 persen
atau turun 0,16 persen dan pada 2007
sebesar 13,83 persen atau naik 0,86 persen
(yoy) (Tabel 3).
Pertanian negara kita masih dibayang-
bayangi masalah klasik seperti luas lahan,
akses kelembagaan, kelangkaan pupuk,
namun bukan menjadi masalah yang mudah
untuk diselesaikan.
A. Luas Lahan
Luas lahan yang cenderung menurun
karena konversi lahan yang terus terjadi. Jika
diperhitungkan luas daratan negara kita -
setelah direduksi hutan lindung, hutan
produksi, pemukiman, industri- tidak
memenuhi untuk menanam sejumlah
komoditas pangan, yang kebutuhannya terus
meningkat. Luas lahan pertanian akan terus
berkurang karena alih fungsi lahan beririgasi
yang mencapai 80.000 hektar per tahun.
Disisi lain kemampuan cetak sawah nasional
juga semakin sulit karena dorongan sektor
industri dan ancaman pemanasan global
(Apriyantono, 2008).
Berdasarkan data BPS, setidaknya
konversi lahan pertanian dalam tiga tahun
terakhir (setelah 2004) mencapai 187.720
hektar per tahun. BPS merinci alih fungsi ke
nonpertanian mencapai 110.164 hektar dan
lahan kering pertanian ke nonpertanian 9.152
hektar per tahun (Herlianto, 2008). Dengan
luas lahanini , negara kita masih
dihadapkan pada produktivitas lahan yang
semakin rendah. Diantara negara-negara
produsen beras, produktivitas lahan
negara kita yang paling rendah. India mampu
menghasilkan 3,28 ton per hektar,
Bangladesh 3,7 ton per hektar, China 4,29
ton per hektar, dan negara kita 2,88 ton per
hektar (Herbawati, 2008). Pratomo (2008)
menambahkan ketidakjelasan penanganan
konversi lahan pertanian menjadi pabrik,
perumahan, yang nilai lahanini akan
lebih menjanjikan sebagai lahan produksi
komoditas pangan. Hal ini diperburuk
dengan ketersediaan dan kualitas
infrastruktur pertanian seperti irigasi yang
menjadi hidupmatinya sektor pertanian.
B. Akses Kelembagaan
Permasalahan akses kelembagaan
masih dipengaruhi minimnya informasi dan
buruknya komunikasi antara sektor pertanian
dan lembaga keuangan. Arifin (2006)
menjelaskan, kondisi ini terjadi karena
kurang aktifnya pelaku bisnis sektor
pertanian untuk menyampaikan peluang
bisnis dan prospek usaha kepada sektor
pembiayaan. Akibatnya, sektor pertanian
cenderung tersisih dibandingkan dengan
sektor lainnya seperti jasa, perdagangan
maupun perindustrian. Hal ini diperparah
dengan kurangnya pemahaman sektor
pembiayaan terhadap prospek sektor
pertanian sehingga munculnya anggapan
bahwa sektor pertanian merupakan sektor
high risk yang tergantung pada musim
maupun jaminan harga yang tidak pasti.
Berbagai halini berujung pada
minimnya dana yang tersalur pada sektor
tersebut. Lebih lanjut, peta penyaluran kredit
perbankan pada berbagai sektor
perekonomian ditampilkan pada Tabel 4
berikut ini.
Sektor pertanian hanya memperoleh
alokasi kredit rata-rata 10,56 persen jauh di
bawah sektor lain. Sektor perindustian
menjadi fokus penyaluran kredit dengan
angka fantastik rata-rata sebesar 45,65
persen. Minimnya penyaluran kredit kepada
sektor pertanian disebabkan sulit dan
banyaknya persyaratan kredit yang diajukan
pihak perbankan sehingga petani cenderung
tidak memamfaatkan keberadaan lembaga
pembiayaan, walaupun dengan bunga relatif
lebih ringan. Arifin menambahkan
permasalahan lainnya adalah munculnya
persepsi bahwa petani-petani kecil -yang luas
lahan kurang dari 0,5ha- tidak akan mampu
menawarkan keuntungan yang lebih besar.
Sebagai lembaga keuangan yang profit oriented,
pihak perbankan tentunya akan memetakan
sektor produktif dan yang menurut persepsi
mereka belum dimiliki oleh sektor pertanian.
C. Subsidi
Kredit yang relatif kecil juga diikuti oleh
minimnya subsidi pemerintah ke sektor
pertanian. Dengan angka subsidi yang
terbatas, penyalurannya juga dihantui oleh
penyelewengan. Situmorang (2008)
mengemukakan hampir 30 persen
anggaran subsidi sektor pertanian tidak tepat
sasaran karena penyelewengan serta pola
distribusi yang tidak melibatkan petani.
Penyelewenganini terindetifikasi -
khusus subsidi pupuk- dari perbedaan harga
yang ditetapkan oleh pemerintah dengan
harga pasar yang dapat berbeda antara 200
hingga 800 rupiah/kg. Selain itu, subsidi
yang diberikan pemerintah menjadi ajang
bagi para pedagang untuk meraup
keuntungan. Lebih lanjut, perkembangan
subdisi ditampilkan pada Tabel 5 berikut ini.
Periode 2000-2008 subsidi pemerintah
lebih didominasi oleh BBM (70,91 persen)
sedang non BBM hanya sekitar 29,09
persen. Jika dikomparasikan dengan China
dan India, subsidi pupuk negara kita saat ini
relatif lebih rendah. Di India, anggaran
subsidi pupuk mencapai US$ 22,5 miliar per
tahun naik dari US$ 9,25 miliar. Selain itu,
seluruh petani tanaman pangan mendapatkan
kupon pengambilan pupuk secara periodik.
Lain halnya dengan China, subsidi diberikan
kepada petani sebesar 3 juta rupiah per hektar
di samping memproteksi ketersediaan pupuk
domestik dengan menaikkan pajak eskpor
100 persen hingga 135 persen2. Subsidi yang
relatif kecil diperparah dengan rencana
pengurangan subsidi Non BBM yang akan
terjadi pada 2009 (Tabel 6.).
Pengurangan subsidi non BBM dan
listrik kembali mengundang pertanyaan
akan keberpihakan pemerintah kepada
sektor-sektor perekonomian khususnya
sektor pertanian. Pengurangan subsidi
mencapai 42,24 persen ini akan terus
mempersulit sektor-sektor perekonomian.
Walaupun ada indikasi peningkatan subsidi
pupuk dan pangan namun proporsi dana
tersebut relatif kecil untuk kondisi saat ini.
1 Ibid, Herbawati, 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008 72
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi negara kita
D. Pupuk
Masalah kelangkaan pupuk juga sering
terjadi. Banyak yang menyebabkan kondisi
ini, mulai penumpukan oleh pedagang
sampai penyeludupan ke luar negeri.
Penyeludupan terjadi karena terjadinya
disparitas harga. Dengan kualitas pupuk yang
lebih baik dibanding Vietnam dan Malaysia,
pelaku akan memperoleh revenue yang tidak
sedikit. Disisi lain, lemahnya pengawasan
distribusi pupuk berujung pada mudahnya
penyeludupan dilakukan. Kontras dengan
negara kita , dengan disparitas harga yang
tinggi penyeludupan pupuk jarang terjadi di
Jepang karena regulasi yang ketat.
Kelangkaan pupuk di daerah tertentu
dipengaruhi oleh kenakalan pedagang yang
menjual pupuk ke daerah lain sehingga terjadi
kekurangan stok, seperti terjadi di Banyumas,
Jenis Subsidi 2006 2007 APBN P 2008 RAPBN 2009
Non BBM dan listrik 13,65 16,31 47,2 27,26
1. Pupuk 2,98 6,98 7,81 10,75
2. Pangan 5,57 6,58 8,58 10,81
3. Bunga kredit program 0,32 1,64 2,15 3,08
Lain-lain 4,78 1,1 - -
Benih 1,02 0,904
Minyak goreng (melalui operasi pasar) 0,5 -
Bahan baku kedelai 0,5 -
Subsidi pajak 25 -
Pso 1,73 1,72
Tabel 6.
Nilai Subsidi pada RAPBN 2009 (Triliun Rupiah)
Sumber : Bisnis negara kita , Mei 2008
dimana pupuk SP 36 ’menghilang’ karena
naiknya harganya di atas harga eceran
tertinggi (HET). Kondisi lain juga terjadi di
Kediri, dimana terjadi penimbunan pupuk
jenis ZA sebanyak 2.263 ton, SP 36 101,65
ton dan Phonska 50 mencapai 207,5 ton,
sedang di lokasi lain -tetap di Kediri-
ditemukan penimbunan lebih 1300 ton
pupuk urea. Kondisi kekurangan pupuk
dimamfaatkan oleh sebagian pupuk dengan
mengalurkan pupuk palsu. Pada beberapa
daerah masih memiliki stok pupuk namun
dengan harga yang cukup tinggi, yang
cenderung tidak terjangkau petani. Berbagai
kendala penyediaan pupukini
menyebabkan enggannya investor masuk
dalam bisnis pertanian maupun
perkebunan, padahal menurut Pratomo
dana investor sangatlah dibutuhkan untuk
revitalisasi pertanian yang sedang digalakkan
pemerintah
Kelangkaan pupuk bukan saja
disebabkan ulah pedagang tetapi juga
dipengaruhi oleh moderatnya produksi
pupuk nasional. Setidaknya ada lima
perusahaan yang beroperasi dalam bisnis
pupuk tetapi selama beberapa periode
mengalami penurunan produksi. Penurunan
produksi terjadi karena keterbatasan dan
keterlambatan pasokan gas sebagai bahan
baku utama industri pupuk. Dilain hal, biaya
bahan baku pupuk -amoniak dan fospat-
dunia turut naik yang menyebabkan Harga
Pokok Penjualan (HPP) pupuk domestik
terdorong naik. Dengan kenaikan harga
bahan baku amoniak 115 persen menjadi
475 dolar AS (Juni, 2008) menyebabkan
naiknya harga pupuk internasional mencapai
434 dolar AS.
Produksi pupuk amoniak PT. Pupuk
Sriwidjaja pada 2006 hanya naik sebesar 1,35
persen (yoy) sedang urea naik 0,26 persen
2005 2006
PT. Pupuk Sriwidjaja
Amoniak 1332050 1349970 1,35
Urea 2045860 2051250 0,26
PT. Petrokimia Gresik
Amoniak 383857 1328589 246,12
Urea 404364 331677 -17,98
ZA 644320 631645 -1,97
SP-36/TSP 819704 647868 -20,96
Phonska 276875 415506 50,07
DAP 6796 0 -100,00
NPK 56275 81184 44,26
ZK 3975 4701 18,26
PT. Pupuk Kujang
Amoniak 354677 540197 52,31
Urea 537563 851579 58,41
PT. Pupuk Kalimantan Timur
Amoniak 1866683 1618191 -13,31
Urea 2665021 2214961 -16,89
PT. Pupuk Iskandar Muda
Amoniak 72155 147299 104,14
Urea 195847 205225 4,79
(yoy) sehingga masing-masing menjadi 1,34
juta ton dan 2,05 juta ton. Pertumbuhan
produksi amoniak diperoleh PT. Petrokimia
Gresik sebesar 246,12 persen namun dalam
kapasitas di bawah PT. Pupuk Sriwidjaja,
sedang untuk urea menurun 17,98 persen.
Selanjutnya, produksi amoniak PT. Pupuk
Kujang dan PT. Pupuk Iskandar Muda
masing-masing naik 52,31 persen dan 104,14
persen, sedang PT. Pupuk Kalimantan
Timur turun 13,31 persen. Dari sisi produksi
urea, PT. Pupuk Kujang dan PT. Pupuk
Iskandar Muda masing-masing naik 58,41
persen dan 4,79 persen sedang PT.
Pupuk Kalimantan Timur turun 16,89
persen. Secara keseluruhan produksi
amoniak hanya tumbuh rata-rata 78,11
persen dengan kontributor utama adalah PT.
Petrokimia Gresik, sedang urea hanya
tumbuh rata-rata 5,72 persen dengan
kontributor utama adalah PT. Pupuk
Sriwidjaja.
Pembangunan pabrik baru PT. Pupuk
Kalimantan yang memproduksi NPK
super diharapkan menjadi sinyal baik bagi
pemenuhan pupuk di tanah air. Produsen
pupukini akan memproduksi 200.000
ton per tahun dengan nilai investasi 14,8 juta
dolar US dan direncanakan selesai Triwulan
III-2009. Pembanguan ini diharapkan dapat
mengurangi penggunaan pupuk tunggal
(urea) yang selama ini terus digunakan.
Seperti dijelaskan disebelumnya, pemerintah
memberikan subsidi pupuk kepada petani.
Pada 2007, terjadi penurunan realisasi pupuk
bersubdisi dibandingkan 2006 (Tabel 8.).
Tahun 2006 secara keseluruhan
penyaluran pupuk bersubsidi mencapai di
atas 92,15-100,58 persen. Urea merupakan
jenis pupuk dengan realisasi terkecil pada
2006 sedang tertinggi SP 36. Berbeda
dengan 2006, pada 2007 realisasi
penyaluran pupuk bersubsidi relatif lebih
rendah hanya berkisar 68-78 persen.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008 75
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi negara kita
Dengan kondisi yang demikian, produksi
komoditas pangan nasional (khususnya
beras) relatif moderat (Tabel 9).
Produksi GKG secara rata-rata hanya
tumbuh 1,47 persen, sedang produksi
beras hanya tumbuh rata-rata 1,67 persen
dan stok akhir rata-rata tumbuh 16,73
persen. Tahun 2000 stok akhir beras
mengalami penurunan 65,97 persen (yoy),
yang merupakan penurunan terbesar selama
satu dekade terakhir. Pertumbuhan produksi
GKG dan beras yang cenderung moderat
akan terus mengkhawatirkan ditengah-
tengah pertumbuhan penduduk rata-rata
sebesar 1,27 (1999-2007). Jika tidak
ditangani serius maka ancaman kelaparan
akan menghinggapi perekonomian nasional.
Selain ancaman dari komoditas beras,
ancaman lain juga muncul dari berbagai
komoditas pangan yang tergolong pada
pangan nabati karena kekurangan produksi.
Beberapa komoditasini adalah jagung,
kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar,
sayuran, buah-buahan, dan gula. Secara
keseluruhan hanya produksi beras, ubi jalar,
buah-buahan, dan minyak sawit (CPO) yang
surplus. Defisit tertinggi terjadi pada kedelai
yang mencapai 1,189 ribu ton, disusul jagung
sebesar 1,128 ribu ton. Selain komoditas
pangan nabati, defisit juga terjadi pada
komoditas pangan hewani seperti daging
sapi, daging kerbau, daging ayam, telur, dan
susu. Dari sejumlah komoditasini
hanya komoditas ikan yang surplus sebesar
1,264 ribu ton (Tabel 10).
Dengan defisit produksi pada beberapa
komoditas pangan, mendorong kenaikan
harga pada beberapa komoditasini
diberbagai pasar di tanah air. Survei
Departemen Pertanian (2007) menunjukkan
cabe merah biasa, kacang tanah, beras
merupakan komoditas yang mengalami
kenaikan tertinggi. Secara rata-rata (2004-
2007) komoditasini masing-masing
naik 20,74 persen, 20,19 persen dan 20,17
persen, sedang kenaikan terendah pada
komoditas daging ayam ras, yang naik rata-
rata 6,51 persen (Tabel 11).
Salah satu yang menjadi pertanyaan
adalah pada komoditas beras. Tabel 10 di
atas telah diketahui bahwa komoditas
tersebut mengalami surplus produksi
mencapai 3.534 ribu ton tetapi harga
komoditasini terus naik mencapai
rata-rata sebesar 20,17 persen. Kondisi
setidaknya menyiratkan terjadinya permainan
pihak-pihak yang tidak pertanggung jawab
seperti penumpukan maupun penguasaan
pasar. Memang, selama ini perkembangan
harga beras sangat dipengaruhi oleh campur
tangan tengkulak dan pedagang besar.
Setidaknya kedua pihak ini menguasasi
hampir 75 persen produksi beras dari
penggilingan di negara kita . Penguasaan ini
akan mempengaruhi harga pasar yang
signifikan. Pencari keuntungan ini akan
menaikkan harga drastis ketika stok beras
Bulog rendah maupun ketika musim
paceklik tiba. Dengan harga di atas Harga
Pembelian Pemerintah (HPP) -sebesar 4.500
rupiah atau lebih mahal 200 rupiah (Juni
2008)- pemilik penggilingan dengan senang
hati menjual kepada tengkulak atau pedagang
besar (Situmorang, 2008).
Ancaman krisis pangan semakin besar
ketika tidak terprediksinya kondisi cuaca.
Prakiraaan cuaca yang sering meleset
menyebabkan musim tanam semakin tidak
jelas. Disis lain, musim kekeringan
cenderung lebih lama dibanding musim
penghujan yang menyebabkan lahan-lahan
pertanian mengalami kekeringan. Menurut
data perlindungan pangan (dalam Kompas,
2008) kekeringan bukan saja mengancam
daerah Jawa tetapi Sumatera Utara dan
Nanggro Aceh Darussalam (NAD) serta
Sulawesi. Dijelaskan lebih lanjut, di NAD
sekitar 8.606 hektar sawah mengalami
kekeringan dan 1.763 hektarnya mengalami
puso, sedang Sumatera Utara seluas
2.308 hektar dan puso 70 hektar.
Selanjutnya, di Jawa Barat ditemukan seluas
2.001 hektar dan puso seluas 40 hektar.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya
ditemukan seluas 254 hektar dan tidak
ditemukan puso. Selain beberapa daerah
tersebut, kekeringan juga melanda Sulawesi
Selatan seluas 1.137 hektar dengan puso
seluas 316 hektar. Secara keseluruhan luas
tanaman padi yang mengalami kekeringan
adalah 14.306 hektar sedang puso seluas
2.189 hektar.
Disamping itu, kondisi sektor pertanian
semakin mengkhawatirkan ketika munculnya
analisis dari Intergovernmental Panel on Climate
Change 2001 yang mengemukakan bahwa
sejak periode 1970-2004 telah terjadi
kenaikan suhu rata-rata tahunan di negara kita
antara 0,2 derajat celsius hingga satu derajat
celsius. Kenaikan suhuini akan
menurunkan produktivitas lahan pertanian,
peningkatan kerusakan pesisir karena banjir
dan cuaca buruk, peningkatan gizi buruk dan
diare serta perubahan pola distribusi hewan
dan serangga sebagai vektor penyakit.
Kemudian dijelaskan, kenaikan suhu rata-rata
global sebesar 1,5 derajat celsius hingga 2,5
derajat celsius akan menyebabkan punahnya
spesies tanaman dan satwa antara 20 persen
hingga 30 persen [Kompas, 2008].
Frekuensi banjir akan relatif lebih sering
terjadi, karena penggundulan hutan sehingga
mempersulit pengadaan pangan. Menurut
data FAO 2000-2005, negara kita merupakan
negara yang paling tinggi tingkat
penghancuran hutannya. Selama 2000-2005
laju penghancuran hutan di negara kita
mencapai 2 persen, lebih tinggi 0,3 persen
dari Zimbabwe dan 0,6 persen dari
Myanmar serta 1,4 persen dari Blazil. Data
tersebut menjelaskan bahwa dari sekitar 44
negara yang secara kolektif memiliki 90
persen hutan dunia, negara kita menempati
peningkat pertama sebagai negara paling
cepat menghancurkan hutan dengan angka
1,871 juta hektar per tahun dari 2000-2005.
Angkaini menjelaskan bahwa setiap
harinya 51 kilometer persegi hutan di
negara kita hancur (setara dengan kehancuran
hutan 2 persen setiap tahunnya atau setara
dengan 300 lapangan bola setiap jamnya).
Jika penghancuran hutan terus terjadi maka
hutan primer yang tersisa di Jawa (19
persen), Kalimantan (19 persen), Sumatera
(25 persen), Papua (71 persen), Sulawesi (43
persen), dan Bali (22 persen) akan lenyap
(Media negara kita , 2008).
4. Tantangan Ketahanan Pangan
Berbagai hal di atas menuntut negara kita
untuk mampu mencapai ketahanan pangan
untuk meminimalisir kebergantung impor
dan ancaman krisis pangan. Ketahanan
pangan bukan saja menggambarkan
ketersediaan pangan yang cukup tetapi juga
kemampuan untuk mengakses (termasuk
membeli) pangan dan tidak terjadinya
ketergantungan pada pihak manapun. Pada
kondisi nyata, ketahanan pangan akan
teridentifikasi dari ketersediaan bahan pangan
(seperti beras) di suatu daerah baik pada hari-
hari biasanya maupun hari-hari khusus -
seperti hari raya keagamaan yang
permintaan relatif tinggi- dengan harga yang
terjangkau.
ketahanan pangan tergambar dari tiga sub
sistem yang saling terkait. Ketiga sub sistem
tersebut terdiri dari sub sistem ketersediaan,
sub sistem distribusi dan sub sistem
konsumsi. Simatupang menjelaskan
pembangunan sub sistem ketersediaan
pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan
dan keseimbangan penyediaan pangan yang
berasal dari produksi, cadangan, dan impor.
Selanjutnya, pembangunan sub sistem
distribusi bertujuan untuk menjamin
aksesibilitas pangan dan menjamin stabilitas
harga pangan strategis, sedang
pembangunan sub sistem konsumsi
bertujuan untuk menjamin agar setiap warga
mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan
gizi yang cukup, aman dan beragam.
Nainggolan (2008) menambahkan
ketersediaan pangan saat ini sangat
mengkawatirkan. Kondisi ini berawal dari
minimnya inovasi maupun teknologi serta
rendahnya insentif finansial dalam penerapan
teknologi. Halini diperparah dengan
lemahnya sistem penyuluhan pertanian
sehingga menghambat adopsi teknologi
karena keterbatasan tingkat pendidikan
petani. Selanjutnya, distribusi pangan juga
dihambat oleh masalah musim dan tantangan
medan yang harus ditempuh. Masalah yang
muncul seperti keterbatasan sarana dan
kelembagaan pasar dan banyaknya pungutan
resmi dan tidak resmi menyebabkan
besarnya biaya distribusi sehingga menaikkan
harga pokok. Disamping itu, peranan
lembaga pemasaran juga belum optimal
dalam memasarkan hasil-hasil pangan
sehingga kestabilan distribusi dan harga
pangan terganggu. Masalah lain muncul
ketika besarnya dominasi kelompok-
kelompok tertentu pada lembaga-lembaga
pemasaran pangan. Mengingat kondisi
tersebut, tak heran jika sejumlah daerah
mengalami kerawanan pangan.
Menghadapi berbagai gejolak di atas,
Hasan dan Yustika (2008) mengemukakan
bahwa kebijakan pangan kini dan
mendatang harus dilakukan secara
komprehensif dan terintegrasi. Setidaknya
ada lima kebijakan pangan yang perlu
diperhatikan, (i) kebijakan peningkatan
produksi pangan, (ii) kebijakan reformasi
agraria yang berdampak pada peningkatan
produksi dan peningkatan kesejahteraan
produsen (iii) kebijakan diversifikasi pangan
baik produksi dan konsumsi berbasis
sumber daya lokal (iv) kebijakan terkait
dengan intervensi yang menjamin
ketahanan pangan bagi setiap keluarga
terutama yang belum memiliki akses
terhadap pangan yang memadai (targeted
safety nets) (v) kebijakan harga yang mampu
mengakomodasi kepentingan produsen dan
konsumen melalui program stabilisasi harga.
Selain itu, Hasan dan Yustika
menjelaskan kebijakan di atas harus
didukung oleh tiga aspek penting yakni
stabilitas dan kebijakan makro ekonomi,
kebijakan anggaran dan infrastruktur.
Stabilitas makro ekonomi tergambar dari
relatif rendahnya dan terkendalinya tingkat
inflasi, nilai tukar petani yang meningkat
disertai suku bunga riil yang rendah.
sedang kebijakan anggaran diharapkan
mampu memihak sektor pangan dalam
bentuk insentif fiskal yang memadai. Dari
sisi kebijakan infrastruktur ditempuh dengan
mendorong pembangunan sarana produksi
seperti irigasi maupun infrastruktur jalan.
5. Kondisi Infrastruktur negara kita
Keberadaan infrastruktur pertanian
menjadi prasyarat penting dan paling
mendasar dapat kegiatan ekonomi, tetapi
secara keseluruhan kondisi infrastruktur di
negara kita masih buruk. Data Bank
Pembangunan Asia (ADB) berikut ini
merinci beberapa kondisi infrastruktur di
negara kita dengan beberapa negara tetangga.
Dari sisi akses terhadap air bersih di
perkotaan, negara kita masih berada di
bawah Thailand dan Vietnam dan sedikit
di atas Myanmar, sedang untuk di
pedesaan berada di bawah Myanmar. Selain
itu untuk akses terhadap sanitasi di perkotaan
dan pedesaan, negara kita juga relatif masih
rendah dibandingkan negara sekawasan.
Sebagai perbandingan, Myanmar dan
Filipina mampu memberikan akses kepada
masyarkat kota dan desa masing-masing
sebesar 80 persen dan 72 persen. Posisi
negara kita untuk kategori ini hanya sedikit
di atas Timor Leste Selain dari akses sanitas,
tabel di atas juga menampilkan kapasitas
sambungan telepon tetap untuk setiap 100
orang penduduk. Pada kategori ini, posisi
pertama diduduki Singapura disusul
Vietnam dan Malaysia, sedang negara kita
berada di urutan ke lima. Dari segi
kepemilikan telepon seluler, Singapura tetap
menjadi menduduki posisi puncak dengan
angka 109,34 yang artinyaada sejumlah
penduduk yang memiliki lebih dari satu
telepon seluler. Penggunaan internet di
negara kita juga masih rendah hanya sebesar
4,69 untuk 100 orang artinya dari 100 orang
hanya 5 orang saja yang mengakses internet,
sedang posisi pertama diduduki Malaysia
sebesar 54,23.
Listrik
Dari sisi pemenuhan listik juga belum
menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan. Angka pemenuhan
konsumsi listrik masih dipengaruhi
pembelian dan penyewaan dari pihak ketiga.
Setidaknya, proporsi produksi listrik sendiri
semakin menurun sejak 2003 sedang
pemenuhan listrik dari sisi pembelian dan
sewa naik berlahan. Pada 2006, pemenuhan
listrik dari sisi produksi sendiri hanya 76,38
persen turun 0,7 persen (yoy), sedang dari
sisi pembelian naik 1,04 persen (yoy) dan dari
sisi sewa turun 0,33 persen (yoy) (Tabel 13).
Dengan produksi listrik yang bergerak
moderat, berujung pada defisit listrik yang
terus membengkak. Pada 2002, sebenarnya
kondisi penyediaan listrik nasional masih
surplus 0,98 gigawatt tetapi setelahnya
defisit. Tercatat, ketersediaan listrik nasional
pada 2006, defisit 10,95 gigawatt naik 2,09
gigawatt (yoy). Defisit yang terjadi
disebabkan tingginya pertumbuhan
konsumsi listrik yang tidak diikuti
peningkatan produksi listrik disetiap periode
berjalan. Dengan menggunakan data PLN
2002-2006, pertumbuhan konsumsi listrik
rata-rata mencapai 6,67 persen sedang
pertumbuhan produksi listrik rata-rata hanya
3,66 persen (Tabel 14.).
Jalan
Infrastruktur jalan juga menunjukkan
kondisi yang memprihatikan khususnya
untuk Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Irian
Jaya Barat. Dari total jalan rusak, 13,65 persen
berada di Kalimantan, 12,54 persen di
Sulawesi, 10,61 persen di Papua + Irjabarat,
7,77 persen di Maluku + Maluku Utara, 4,32
persen di Sumatera serta 1,11 persen di Jawa
dan sisanya di daerah lain. Dari angka
tersebut tergambar perbaikan jalan masih
terfokus di Jawa dan Sumatera sedang
untuk negara kita Bagian Timur, Kalimantan
serta Sulawesi cenderung belum maksimal
(Tabel 15).
Perkembangan jalan tol juga belum
memuaskan. Data Jasa Marga (2007)
menunjukkan panjang jalan tol masih 630
km atau hanya 1,82 persen dari total jalan
umum. Panjang jalan tolini tidak
berkembang signifikan karena sejak awal
pembangunan hingga akhir 2007 -tenggang
waktu 30 tahun- hanya bertambah 603 km.
Perkembangan panjang jalan tol yang hanya
77 persen disetiap tahunnya dan hanya
didonasikan oleh pertumbuhan pada
dekade pertama yang tumbuh 63 persen,
sedang pada dekade berikutnya relatif
lebih rendah pada rata-rata 15 persen per
tahun bahkan, pada satu dekade terakhir
sekitar 3 persen per tahunnnya.
Irigasi dan Waduk
Selain perbaikan jalan, sarana irigasi
menjadi problema yang harus diselesaikan.
Perkembangan pembangunan irigasi selama
ini (data 2004) masih terpusat di Sumatera
dan Jawa serta Bali. Sebagai perbandingan,
untuk irigasi teknis dari seluruh pembagunan
irigasi sebesar hampir 52 persen berada di
Jawa dan Bali sedang 33,26 persen berada
di Sumatera. Kontras dengan pulau-pulau
tersebut, Nusa Tenggara, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku + Maluku Utara hanya
sekitar 15 persen dari program irigasi,
bahkan Papua sama sekali tidak memiliki
irigasi teknis yang menjelaskan bahwa
sawah-sawah di provinsiini hanya
menggunakan irigasi semi teknis dan
sederhana. Melihat kondisiini
pemerintah harus berupaya menyelaraskan
kebijakan irigasi dengan memfokuskan
pembangunan irigasi ke wilayah negara kita
Bagian Timur. Hal ini diharapkan dapat
menjadi penggerak produksi pertanian yang
selama ini masih relatif rendah di kawasan
tersebut, padahal di beberapa dalam
kawasan -Maluku, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua- memiliki potensi untuk
pengembangan komoditas pangan seperti
padi, jagung, kedelai dan tebu.
Perkembangan infrastruktur pertanian
lainnya juga relatif buruk. Data 2007
menunjukkan infrastruktur pertanian hampir
20 persen dalam kondisi rusak baik rusak
ringan maupun rusak berat. Untuk jaringan
irigasi 0,05 persen rusak berat sedang
rusak ringan 17,4 persen. Selain itu,
keandalan air lebih didominasi nonwaduk
dengan angka 89,38 persen sedang
waduk 10,62 persen.
Selain itu, infrastruktur pertanian -
misalnya waduk- yang dibangun sebelumnya
juga tidak menujukkan perkembangan yang
memuaskan. Di Jawa Barat, setidaknya dua
dari tiga waduk berstatus waspada
sedang di Jateng ditemukan delapan
waduk yang kering, empat waduk berstatus
waspada dan di Lampung, Jogjakarta dan
Sulawesi Selatan masing-masing berstatus
kering dan waspada.
Investasi menjadi salah satu pokok
penting dalam mendukung ketahan pangan
nasional. Data Departemen Pertanian (2007),
setidaknya investasi tahun 2008, diproyeksi
sebesar 170.384 milar atau naik 4,34 persen
(yoy). Investasi sangat terkait dengan kondisi
internal negara kita termasuk ijin usaha,
infrastruktur maupun perpajakan. Data
Bank Dunia (2008) menjelaskan iklim
investasi negara kita masih relatif buruk,
walaupun ditemukan perbaikan pada
beberapa indikator (Tabel 19).
6. Perkembangan Indikator Investasi
negara kita
Tidak ada perubahan signifikan pada
iklim usaha negara kita . Perubahan terbesar
muncul dari Paying Taxes pada posisi 110
dari 141, Dealing with Licenses dan Trading
Across Borders pada level masing-masing 99
dan 41. Percepatan perbaikan iklim investasi
yang tersirat dalam Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 6 Tahun 2007 belum
berjalan lancar. Hal ini disebabkan
munculnya berbagai kendala dalam
pengimplementasian instruksiini ,
misalnya dari 49 rencana tindak perbaikan
iklim investasi hanya 40 rencana yang
terealisasi. Selain itu, reformasi sektor
keuangan yang menetapkan 36 rencana
tindak, hanya tercapai 28, sedang
pemberdayaan UMKM hanya tercapai 28
rencana dari 34 rencana tindak. Paling ironis
adalah percepatan pembangunan
infrastruktur, dari 40 rencana tindak, yang
terealisasi hanya 13 (Bank negara kita , 2008).
7 Nilai Tukar Petani
Masalah lainnya adalah kesejahteraan
petani. Halini tergambar dari nilai
tukar petani yang mengukur rasio antara
indeks harga yang diterima petani dan indeks
harga yang dibayar petani3. Nilai tukar petani
cenderung menurun sejak krisis ekonomi.
Tahun 1996, nilai tukar petani masih di atas
85 persen (kecuali Lampung) kemudian
menurun pada tahun berikutnya. Tekanan
terbesar terjadi saat krisis ekonomi yang
menurukan nilai tukar petani tertinggi di Jawa
Tengah sebesar 10,2 persen diikuti Nanggro
Aceh Darussalam 9,7 persen dan Sulawesi
Utara 7,8 persen (Tabel 20).
Penurunan Nilai Tukar Petani secara
langsung dipengaruhi pergerakan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP). Selama ini
kenaikan HPP hanya sebagai strategi
pemerintah untuk memenuhi kuota Bulog
yang belum terpenuhi. Halini
tergambar dari kebijakan pemerintah
menaikkan HPP di luar pakem sehingga
tidak mampu mendongkrak pendapatan
petani. Selayaknya kenaikan HPP dilakukan
pada musim tanam dan diberlakukan
menjelang musim panen sehingga petani
menikmati hasil panennya. Ironisnya,
kenaikan HPPini lebih dinimati
Modal manusia dalam mendorong
pembangunan ekonomi sudah sangat
dipahami oleh para ahli ekonomi dan
pengambil kebijakan. Sehingga tidak jarang,
strategi pembangunan disebagian besar
negara memioritaskan pada pembangunan
kualitas modal manusia dengan melakukkan
perbaikan sistem pendidikan dan support
anggaran (subsidi) yang besar. Selain itu
pembangunan modal manusia diyakini tidak
hanya dapat meningkatkan produktivitas
dan pertumbuhan, namun juga berperan
sentral mempengaruhi distribusi pendapatan
di suatu perekonomian ,
Logika ini jugalah yang mendorong strategi
pengentasan kemiskinan yang bersentral
pada pentingnya pembangunan modal
manusia (human capital).
Dalam upaya mencapai pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan (sustainable
development), sektor pendidikan memainkan
peranan yang sangat strategis khususnya
dalam mendorong akumulasi modal yang
dapat mendukung proses produksi dan
aktivitas ekonomi lainnya. Secara definisi,
seperti yang dilansir dalam World Commision
on Environmental and Development, 1997 dalam
McKeown (2002), bahwa sustainable
development adalah: “Sustainable development is
development that meets the needs of the present
without comprimising the ability of future
generations to meet their own needs.” Dalam
konteks ini, pendidikan dianggap sebagai
alat untuk mencapai target yang
berkelanjutan, karena dengan pendidikan
aktivitas pembangunan dapat tercapai,
sehingga peluang untuk meningkatkan
kualitas hidup di masa depan akan lebih
baik. Di sisi lain, dengan pendidikan, usaha
pembangunan yang lebih hijau (greener
development) dengan memperhatikan aspek-
aspek lingkungan juga mudah tercapai.
menjelaskan bahwa modal
manusia tidak hanya diidentifikasi sebagai
kontributor kunci dalam pertumbuhan dan
pengurangan kemiskinan, namun juga
mendorong tujuan pembangunan untuk
meningkatkan human freedom secara umum.
Selain itu, fokus perkembangan global saat
ini yang dicatat dalam millennium development
goals juga telah memposisikan perbaikkan
kualitas modal manusia dalam prioritas yang
utama.
Dikebanyakan negara miskin dan
berkembang, kurangnya sumberdaya dan
modal (termasuk modal manusia)
diidentifikasi sebagai penyebab utama
lemahnya daya saing dan hambatan untuk
maju. Keadaan ini secara umum disebabkan
karena lingkaran setan kemiskinan yang
menyebabkan negaraini sulit sekali
untuk melakukkan investasi dan akumulasi
modal yang penting bagi peningkatan
kesejahteraan ekonomi. Hal ini juga
dipertegas oleh Jeffrey Sachs (2005) yang
menjelaskan bahwa salah satu penyebabnya
adalah lack of innovation, yang mana berkaitan
dengan kurangnya investasi dalam knowledge
ekonomi sehingga mengurangi insentif
masyarakat untuk berkreativitas dan
meningkatkan produktivitasnya.
Kondisi modal manusia di negara
miskin dan berkembang semakin parah
dengan adanya pengaruh globalisasi
ekonomi yang tidak terkendali. Hal ini
disebabkan karena peluang (oppurtunity)
Globalisasi ekonomi hanya bisa ditangkap
oleh mereka yang memiliki kemampuan dan
knowledge yang baik. Rendahnya kualitas
modal manusia dihampir sebagian negara
miskin dan berkembang menyebabkan
mereka sangat rentan terhadap perubahan
globalisasi yang cepat, sehingga akhirnya larut
dan dirugikan dalam proses didalamnya. Hal
ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
dalam teori perdagangan internasional
“Heckscher-Ohlin” model, yang mana
perdagangan internasional membawa
dampak pada distribusi pendapatan
khususnya terhadap para pemilik sumber
daya maupun pekerja.
Dalam konteks ini, maka peran
pemerintah dalam mengisi gap kurangnya
modal harus dapat diisi oleh pemerintah. Hal
ini bisa dilakukan dengan meningkatkan
anggaran sosial (social spending) untuk subsidi
khususnya di sektor pendidikan.menegaskan pentingnya
peran pemerintah dalam mengisi peran
tersebut. Sebagai contoh, dengan tingginya
social spending dalam pendidikan tinggi akan
meningkatkan kesadaran akan pentingnya
pendidikan bagi keluarga dan meningkatkan
kapasitas kesehatan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Dalam pengembangan model ekonomi
tersebut dijelaskan juga bagaimana interaksi
pendidikan dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi secara umum.
Namun, pengembangan model juga telah
dikembangkan dengan baik oleh beberapa
peneliti (Gupta et.al., 2002a dan Hausmann,
Pritchett and Rodrik, 2005) bahwa secara
lebih spesifik efektivitas social spending
(pendidikan) bagi pertumbuhan ekonomi
juga dipengaruhi oleh aspek penting
pemerintah, dimana pemerintahan yang
buruk berkontribusi terhadap pelaksanaan
aktivitas pendidikan yang dapat mendukung
proses pembangunan.
Pendidikan dan kesehatan selain harus
dianggap sebagai suatu hak asasi dan bentuk
keadilan, juga harus difahami sebagai
perbaikan kebebasan masyarakat untuk
berkembang dan memerbaiki dirinya, lepas
dari lingkaran setan dan jeratan kemiskinan.
Efektivitas pencapaian tujuan ini tentu sangat
tergantung dari dukungan atau support
pemerintah dalam konteks penganggaran
investasi fasilitas dasar pendidikan dan
pemberian subsidi (transfer of payment)
khususnya bagi masyarakat miskin.
Dalam menyikapi permasalahan yang
berkaitan dengan pembangunan modal
manusia khususnya di negara miskin dan
berkembang, maka dalam tulisan ini akan
dibagi menjadi dua pembahasan. Pertama,
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 32
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
pembasahan ekonomi positif, yang erat
kaitannya dengan perspektif
makroekonomi. Dalam konteks ini selain
akan membahas bagaimana peran anggaran
(subsidi) dalam model pertumbuhan
endogen. Selain itu juga akan didiskusikan
analisis intertemporal (antar waktu) akibat
implementasi kebijakan anggaran yang
dilakukkan saat ini dan bagaimana
pengaruhnya terhadap perilaku individu
dimasa depan. Kedua, Pembahasan ekonomi
normatif, yang mana pendidikan
berkontribusi dalam proses-proses
pembangunan khususnya sebagai penguat
modal manusia (human capital) menghadapi
keterbukaan ekonomi. Dalam konteks ini,
proposisi bahwa globalisasi dapat
meningkatkan gap distribusi pendapatan yang
semakin besar seperti yang dijelaskan dalam
teori perdagangan internasional “Heckscher-
Ohlin Model”, akan dapat diredam dengan
adanya perbaikan pendidikan atau
penguatan kualitas human capital.
2. Subsidi (Kebijakan Fiskal) dalam
perspektif Makroekonomi
Sebelum memulai analisis terhadap
subsidi sebagai salah satu instrumen dalam
kebijakan fiskal, ada baiknya kita memahami
definisi dari subsidi itu sendiri.
Dalam konteks makroekonomi,
subsidi merupakan salah satu bentuk
instrumen fiskal yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Kebijakan fiskal pada dasarnya
merupakan respon jangka pendek dalam
siklus bisnis atau ekonomi, yang mana
dilakukan untuk menutup gap fluktuasi
output. Kebijakan ini biasanya dilakukkan
untuk mengisi kekosongan dalam aggregate
demand sehingga perekonomian dapat
didorong hingga mendekati titik optimal
atau potensialnya. Oleh karena itu, kualitas
dari kebijakan fiskal tentu menjadi topik
kajian yang penting karena dapat
mengoptimalkan fungsi kebijakan fiskal
untuk mengatasi fluktuasi output. Namun,
meski kebijakan fiskal merupakan isu sentral
dalam kebijakan jangka pendek (short run
policy), pengaruhnya dalam jangka panjang
tidak seharusnya dihiraukan.
Di sisi pengeluaran, pengeluaran
pemerintah (government expenditure) dapat
mendukung pertumbuhan ekonomi dalam
jangka panjang. Sebagai contoh, model
pertumbuhan endogen (endogenous growth)
yang memperkenalkan pengeluaran
pemerintah sebagai mesin pertumbuhan.
Pemikirian ini disampaikan oleh Robert
Lucas (1980), yang meyakini bahwa investasi
dalam pendidikan dapat meningkatkan
modal manusia dalam perekonomian.
Investasi pendidikan dianggap memiliki
implikasi yang positif terhadap penambahan
sumber daya bagi perekonomian, sehingga
dapat meningkatkan output secara umum.
Oleh karena itu, perubahan dalam
pengeluaran bidang pendidikan yang
dipengaruhi oleh kebijakan fiskal jangka
pendek akan mendukung proses akumulasi
dalam modal manusia sehingga pada
akhirnya akan mendorong pada
pertumbuhan ekonomi.
Namun perlu disadari bahwa disisi
penerimaan, pajak dapat mendistorsi
keputusan individu masyarakat. Hal ini secara
umum disebabkan karena distorsi pajak
akan mengubah perilaku individu
masyarakat untuk menabung dan
berinvestasi, sehingga pada akhirnya akan
mempengaruhi akumulasi modal dan
pertumbuhan ekonomi. Dalam model
Ricardian, pengeluaran pemerintah dianggap
sebagai Tax Delayed atau pajak yang tertunda.
Dalam pandangan ini, masyarakat akan
memiliki ekspektasi bahwa pajak akan
meningkat dimasa depan, akibat keadaan
defisit pada saat ini. Sehingga pandangan ini
beranggapan bahwa pengeluaran
pemerintah tidak ada bedanya dengan
distorsi pajak, dan hanya mendistorsi
ekonomi.
Singkatnya, dalam intertemporal
analisis, budget constraint pemerintah dalam
anggaran sosial (ex: subsidi pendidikan) akan
menciptakan ekspektasi masyarakat bahwa
kebijakan defisit anggaran ini akan
menyebabkan koleksi peningkatan pajak
dimasa depan. Keadaan inilah yang secara
umum akan mendorong perilaku
masyarakat untuk menahan pengeluarannya
dengan melakukkan akumulasi tabungan.
Dengan kata lain, perubahan perilaku ini
secara umum akan menyebabkan
terkoreksinya pengeluaran pemerintah
(government spending) karena melemahnya sisi
konsumsi masyarakat (salah satu Komponen
Aggregate Demand). Sehingga pada akhirnya,
mereka beranggapan kebijakan ini tidak akan
efektif mendorong pertumbuhan output.
Namun tentu saja, keadaan ini
merupakan analisis ekonomi positif yang
terjadi dalam dunia Ricardian. Social spending
sebagai bagian dari kebijakan fiskal
pemerintah, memiliki efek yang lebih luas
seperti yang dimodelkan dalam pandangan
ekonomi positif. Bahwa social spending
“pendidikan”, memiliki dimensi yang
kompleks menyangkut dimensi pendapatan
maupun non-pendapatan. Dalam dimensi
pendapatan, jika social spending bagi subsidi
pendidikan dapat meningkatkan tingkat
pengembalian yang maksimal bagi
pendapatan maka bisa dibilang bahwa social
spending bisa menjadi alat yang tepat bagi
perekonomian. Analisis ini tentu sangatlah
static, dan tidak mempertimbangkan
bagaimana pengaruhnya yang lebih luas
dalam pengembangan mental manusia, cara
berfikir, berkreasi, kebebasan dan
pengembangan inovasi yang tinggi. Bahwa
permasalahan modal manusia bukanlah
permasalahan yang sifatnya temporal,
namun lebih luas lagi menyangkut kebebasan
dan perlakuan yang lebih baik untuk
mengubah kualitas hidup manusia. Dimensi
non-pendapatan inilah yang strategis, dan
perlu kajian lebih mendalam.
3. Pendidikan dan Globalisasi
Ekonomi
Globalisasi sebagai suatu fakta yang
tidak terelakkan, telah memasuki fase baru
yang telah menciptakan dependensi yang kuat
antar ekonomi negara-negara di dunia.
Globalisasi telah memengaruhi
perekonomian dan kehidupan suatu negara
melewati beberapa channel, antara lain:
perdagangan internasional, liberalisasi
keuangan, penanaman modal asing dan
transfer teknologi. Meskipun potensi
keuntungan telah diraup oleh beberapa
negara dengan memanfaatkan era globalisasi
(ex. India dan China), namun dalam kajian
terbaru bahwa integrasi ekonomi telah
memaksa terjadinya konflik dalam distribusi
pendapatan.
Dengan semakin terbukanya
perekonomian, setidaknya ada 3 channel
penting mengapa investasi dalam modal
manusia menjadi sangat strategis. Pertama,
akumulasi modal manusia adalah determinan
penting dalam pertumbuhan dan
pengurangan kemiskinan. Kedua, karena
pendidikan memiliki peran yang penting
dalam distribusi pendapatan yang lebih
merata, maka dengan pendidikan efek gap
pendapatan yang meningkat akibat
globalisasi dapat diredam. Ketiga, aspek
penting dalam akumulasi modal manusia
bagi tatanan masyarakat adalah dengan
semakin baiknya pastisipasi politik
masyarakat yang dapat mensuport ekonomi.
(Verdier and Bourguignon, 2005)
Permasalahan utama dalam
perdagangan internasional akibat globalisasi
berkaitan dengan efek disparitas
pendapatan. Hal ini dapat disimpulkan
dalam model Hecksher-Ohlin: “A country
will be better off with trade, but owners of abundant
factors gain and owners of scarce factors lose; with
trade, owners of scarce factors will be worse off
without compensation.” Secara umum teori ini
menjelaskan bahwa sebagian masyarakat
yang tidak mampu memanfaatkan
perdagangan internasional karena tidak
memiliki sumber daya yang dibutuhkan
perekonomian, akan mengalami kerugian
akibat perdagangan. Jika teori ini kita
kembangkan lebih luas dalam konteks
knowledge economy, maka sebagian masyarakat
yang tidak memiliki pengetahuan yang
cukup sudah pasti akan dirugikan karena
mereka tidak akan mampu mengambil
kesempatan (oppurtunity) dalam
perekonomian.
Pengembangan model di atas memiliki
asumsi dengan keadaan pasar kredit yang
tidak sempurna (imperfect credit markets),
maka masyarakat miskin akan mengalami
kesulitan likuiditas untuk mendapatkan akses
pinjaman untuk melakukkan investasi di
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 35
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
dunia pendidikan. Hal ini yang secara tidak
langsung akan memengaruhi kemampuan
masyarakat miskin untuk mengubah kualitas
hidupnya dan mengambil keuntungan dalam
globalisasi. Dalam perspektif pendapatan,
akibat ketidakmampuan melakukan investasi
dalam pendidikan, masyarakat miskin tidak
akan dapat menikmati perbaikan
pendapatan sehingga menimbulkan
disparitas pendapatan yang tinggi dengan
mereka yang dapat menikmati keuntungan
globalisasi (orang kaya).
Namun, keadaan ini seharusnya tidak
terjadi jika pemerintah tahu betul posisinya
dalam memecahkan masalah ini. Hal yang
bisa dilakukan oleh pemerintah untuk
mengatasi permasalahan ini adalah dengan
menutupi kekurangan likuiditas masyarakat
miskin dengan meningkatkan anggaran
subsidi dalam dunia pendidikan. Realisasi ini
hanya bisa dicapai jika tekanan politik
masyarakat untuk menginginkan halini
dapat tercapai. Hal yang perlu disadari
bahwa pemerintah yang memberikan
prioritas terhadap kapabilitas dasar manusia
(kesehatan dan pendidikan) tidak hanya
dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya, namun juga akan
mendorong perbaikan dalam distribusi
pendapatan dalam jangka panjang. Selain itu,
kontributor kunci bagi pembangunan
“pendidikan” tidak hanya memberikan
keuntungan dalam dimensi pendapatan,
namun juga berkontribusi pada dimensi non
pendapatan. (Becker, 1964; Schultz, 1981
dalam Heckman, 2005).
Keuntungan dari modal manusia tentu
memiliki pengaruh yang luas dalam
perekonomian, khususnya bagaimana
kontribusi modal manusia dalam
mendorong produktivitas, serta
mengembangkan adaptibility dan efisiensi
alokasi. Pertama, berkaitan dengan kontribusi
modal manusia. Investasi dalam pendidikan
(training) secara umum akan meningkatkan
skill pekerja, sehingga pada akhirnya
produktivitas mereka dalam bekerja dapat
ditingkatkan secara optimal. Selanjutnya,
dalam kaitannya dengan pengembangan
adaptibility dan efisiensi alokasi. Bahwa
dengan semakin meningkatnya kualitas
modal manusia dalam perekonomian, maka
pekerja yang berskill baik akan lebih pintar
untuk mengalokasikan sumberdaya yang ada
untuk setiap pekerjaan serta lebih mudah
untuk beradaptasi dengan adanya
perubahan kondisi dan menangkap peluang.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan
Nelson and Phelps, 1966; Schultz, 1975
dalam Heckman 2005.
Selain itu, dengan semakin baiknya skill
yang dimiliki oleh pekerja, yang berarti
semakin baik modal manusia, maka
kemampuan individu untuk menuangkan ide
baru, mengadopsi teknologi baru dan
mengimplementasi pengetahuan yang datang
dari luar akan semakin mudah. Dengan
semakin meningkatnya keterbukaan
terhadap dunia luar, maka kebutuhan modal
manusia yang dapat mengabsorp teknologi
dari luar menjadi sangat penting.
Ketidakseimbangan strategi investasi dapat
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 36
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
mengurangi rate of return on investment, karena
manusia sebagai operator yang ada dibalik
penggunaan mesinini tidak mampu
secara optimal mengaplikasikannya.
Selanjutnya, modal manusia di sektor
pertanian (agriculture) juga sangat penting,
yaitu bagaimana modal manusia dapat
menangkap perubahan pasar dan
menerapkan teknologi. Angkatan kerja
dengan pendidikan yang baik dapat
mengambil keputusan yang baik, baik dalam
sektor pertanian maupun industri perkotaan.
Overinvestment disalah satu sektor dengan
mengabaikan investasi sektor pendukungnya
dapat menyebabkan kehilangan
kesejahteraan (welfare lost) dan
ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Dalam kasus yang spesifik, yaitu sektor
pertanian. Rendahnya produktivitas petani
salah satunya disebabkan oleh rendahnya
kualitas pendidikan petani. Sebagai pekerja
disektor yang subsistem, yang memiliki ruang
gerak yang sempit untuk berkembang dan
meningkatkan pendapatan. Para petani di
negara berkembang terperangkap dalam
kondisi yang kurang menguntungkan,
bahkan mereka dikategorikan sebagai
pekerja yang tidak berkeahlian (unskilled
labour) dengan pendapatan yang sangat
minimal. Dalam kondisi ini, tentu saja
investasi masa depan dalam dunia
pendidikan hanya sebagai angan-angan dan
impian semu.
Selain tidak mampu meningkatkan
kualitas kehidupannya dimasa depan akibat
minimnya pendidikan, keadaan ini juga akan
memengaruhi produktivitas petani dalam
produksinya. Dalam beberapa penelitian
yang ada, pendidikan (literacy and numeracy)
akan membantu petani dalam
mengaplikasikan metode baru dalam
pertanian, mengatasi risiko dan merespon
sinyal pasar. Selain itu, dengan pendidikan
(literacy and numeracy) petani akan lebih baik
dalam melakukan pencampuran bahan
kimia (pupuk dan pestisida) sehingga
mengurangi bahaya bagi manusia dan
lingkungan. Terakhir, pendidikan dasar akan
memudahkan para petani untuk melakukan
pinjaman pada lembaga keuangan, untuk
kebutuhan investasi pertanian.
Di sisi lain, keadaan ini akan juga lebih
baik jika akses pendidikan bagi masyarakat
miskin juga bisa diakses dengan lebih baik
bagi para wanita. Dengan semakin baiknya
tingkat pendidikan wanita dalam keluarga,
maka perencanaan pendidikan dan
kehidupan yang lebih baik dalam keluarga
akan semakin mudah untuk terealisasi. Hal
inilah yang secara umum akan membantu
mendorong pencapaian tujuan
pembangunan secara aggregat.
4. Policy Implication: Kebijakan
anggaran (subsidi) yang pro-poor
dan pro-growth.
Dalam memahami permasalahan
kemiskinan dan disparitas pendapatan yang
mengancam akibat derasnya era globalisasi.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 37
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
Maka diperlukan keberanian dan upaya
strategis pemerintah untuk meredamnya.
Dalam konteks ini peran strategis pemerintah
ada pada keputusan politik anggaran (subsidi)
untuk perbaikan kualitas pendidikan
masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Hal ini juga dipertegas oleh penelitian yang
dilakukan oleh Cui et.,al. 2008 yang
menunjukkan bahwa investasi pendidikan
dan kesehatan memiliki kontribusi yang
positif terhadap pertumbuhan output, namun
dengan rute mekanisme yang berbeda.
Selanjutnya dalam penelitian itu dijelaskan
bahwa keadaan pemerintah yang baik (good
governance) mendukung efektifitas
pengeluaran pemerintah terhadap
pertumbuhan output.
Berdasarkan Sumarto dan Mawardi,
2003, pemerintah memiliki peran yang
strategis dalam mengarahkan kebijakan
anggarannya ke kebijakan publik yang
memihak masyarakat tidak mampu. Hal ini
dilakukkan agar kebijakan anggaran dapat
memperbaiki kualitas pendidikan
masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Setidaknya ada tiga hal utama yang
dijelaskan dalam paparanya, antara lain
pentingnya: political willingness, iklim yang
mendukung dan tata pemerintahan yang
baik. Pertama, dalam konteks “Political
Willingness”. Perlu adanya komitmen kuat dari
pemerintah untuk bertanggungjawab dalam
penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi
sangat penting agar penyusunan program-
program yang pro poor dapat menempatkan
program kemiskinan pada prioritas utama.
Kedua, Iklim yang Mendukung. Iklim atau
kondisi yang mendukung untuk penyusunan
kebijakan anggaran yang pro poor dapat
berjalan jika ada kesadaran kolektif bahwa
kemiskinan adalah permasalahan utama
yang harus diselesaikan. Di sisi lain, perlu juga
dukungan peraturan dan kebijakan strategis
yang mendukung penanggulangan
kemiskinan.
Ketiga, adalah Tata Pemerintahan yang
Baik (good governance). Mengingat kemiskinan
bersifat multidimensi, maka
penanggulangannya tidak cukup hanya
dengan mengandalkan pendekatan
ekonomi, melainkan memerlukan kebijakan
dan program di bidang sosial, politik, hukum
dan kelembagaan. Dengan kata lain
diperlukan adanya tata pemerintahan yang
baik (good governance) dari lembaga-lembaga
pemerintahan, terutama birokrasi
pemerintahan, legislatif, lembaga hukum dan
pelayanan umum lainnya.
5. Kesimpulan
Subsidi, sebagai salah satu instrumen
dalam kebijakan fiskal memiliki peran yang
strategis baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Dalam jangka pendek, kita
sudah faham betul bagaimana dalam
ananalisis IS-LM (pasar uang dan barang)
kebijakanini dapat mendorong output
ke titik potensialnya. Namun perlu difahami
lebih mendalam, bahwa dimensi anggaran
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 38
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
khususnya anggaran bagi subisidi sektor yang
strategis seperti Pendidikan, memiliki
dimensi yang tidak temporer dan tidak
sempit.
Peranan analisis intertemporal dengan
melihat sisi anggaran secara unsich bisa
menjadi penting untuk dipertimbangkan.
Bahwa dengan constraint budget yang semakin
ketat, maka pengaruh kebijakan defisit
anggaran yang berlebihan akan
menyebabkan permasalahan bagi
perekonomian itu sendiri. Oleh karena itu
selain dibutuhkan reformulasi hitung-
hitungan anggaran yang tepat, dibutuhkan
juga perilaku good governance dari pemerintah
untuk meyakinkan bahwa anggaran sosial
(subsidi pendidikan) benar-benar telah
diserap sepenuhnya sesuai dengan yang
dianggarkan.
Dalam meng