Tampilkan postingan dengan label pajak 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pajak 3. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

pajak 3





Mahkamah Agung.
C. Prosen Persidangan Di Pengadilan Pajak.
1. Alat bukti.
a. surat atau tulisan.
b. keterangan ahli, seperti pendapat tentang pengalaman dan 
pengetahuan.
c. keterangan para saksi.
d. pengakuan para pihak.
e. pengetahuan hakim.
2. Pihak Yang Tidak Boleh Menjadi Saksi Dalam Sengketa Pajak.
a. keluarga sedarah menurut garis keturunan lurus keatas/
kebawah s/d derajat ketiga dari salah satu pihak.
b. istri atau suami.
c. anak yang belum berumur 17 tahun.
d. orang sakit ingatan.
3. Putusan Pengadilan Pajak. 
a. merupakan putusan fi nal.
b. mempunyai kekuatan hukum tetap.
4. Dasar Putusan Pengadilan Pajak.
a.   hasil penilaian pembuktian, ber-dasarkan per-uu-ngan dan 
keya-kinan hakim.
b.  penentuan putusan melalui musyawarah.
c. melalui voting.
5. Putusan Pengadilan Pajak.
a. menolak.
b. mengabulkan seluruhnya atau se-bagian.
c. menambah pajak yang harus dibayar.
d. tidak dapat diterima.
e. membetulkan salah tulis.
f. membatalkan putusan sebelumnya 
6. Eksekusi Putusan Pengadilan Pajak
a. pelaksanaan putusan.bahwa putusan pengadilan pajak langsung 
dapat dilaksanakan tanpa memerlukan lagi keputusan pejabat 
yang berwenang.
b. keputusan pengadilan pajak selam-bat-lambatnya harus 
dilaksana  kan 30 hari dihitung sejak tanggal putusan diterima.
7. Ketentuan Pengajuan Peninjauan Kembali (PK).
a. Hanya dapat diajukan 1 kali kepada Mahkamah Agung  melalui 
pengadilan pajak.
b. pengajuan PK  tidak menggugurkan putusan pengadilan pajak.
c. permohonan PK dapat dijabut kembali oleh pihak pengaju 
sebelum ada putusan dari Mahkamah Agung.
d. Peninjauan Kembali yang sudah dicabut sebelum diputus, tidak 
dapat diajukan kembali.
e. Ketentuan Peninjauan Kembali sesuai dengan UU Mahkamah 
Agung..
A. Pengaturan Pajak Daerah.
Pada hakekatnya organisasi negara didirikan bukan tanpa 
tujuan, tetapi memiliki tujuan yang ditetapkan melalui kesepakatan 
masyarakat, kemudian  ditetap-kan  dalam Konstitusi/UUD. 
Keberadaan konstitusi/UUD dalam suatu negara merupakan 
condisio sine quanon, sehingga tdk ada satupun negara di dunia saat 
ini yang tidak mempunyai konstitusi/UUD.
Konstitusi atau UUD yang dimiliki negara dipergunakan 
sebagai aturan main dalam berbangsa dan bernegara, termasuk 
untuk mengatur kebijakan dibidang perpajakkan. Karena tujuan 
negara sudah ditetapkan dalam Konstitusi/UUD, maka wajib 

DINAMIKA  PAJAK  DAERAH
diwujudkan oleh seluruh bangsa; seperti halnya tujuan negara 
Indonesia dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945.Tujuan 
negara tidak mengenal limit waktu atau tidak mengenal ruang dan 
waktu; dalam arti mewujudkan tujuan negara akan dilakukan terus 
menerus sepanjang tahun. Konsekuensinya, upaya perwujudan 
tujuan negara akan memerlukan pembiayaan yang terus menerus 
juga. Sehingga negara memerlukan  sumber-sumber  pendapatan, 
salah satunya berasal dari sektor pajak. 
Sektor pajak merupakan salah satu sumber pen dapatan 
negara sebenarnya sudah lama dikenal dan dimanfaatkan,seperti 
pemungutan pajak pada zaman Mesir Kuno yang dikenakan 
terhadap berbagai aspek kehidupan sehari-hari bahkan mencakup 
penggunaan minyak untuk memasak guna mempersiapkan makan 
keluarga. Di Roma Kuno, sudah lama memiliki sistem pajak, seperti  
halnya pajak penjualan,pajak warisan, maupun pajak ekspor dan 
impor.  Pemungutan  pajak  oleh negara mulai berkembang mula-
mula di Inggris sejak abad ke XII di sana diadakan pajak kekayaan 
umum, meskipun masih dalam bentuk yang sangat sederhana.
Jauh sebelum Indonesia merdeka banyak sekali kerajaan yang 
telah melakukan pemungutan pajak dari rakyat untuk kepentingan 
kerajaan. Selaras dengan penjelasan Rochmat Soemitro : Sebelum 
terdapat negara yang teratur (geodende -  staat), karena  pada waktu 
negara masih bersifat sederhana (primitief) dikuasai oleh seorang 
raja yang mempunyai tugas pemeliharaan keamanan dalam 
daerahnya, mempertahankan daerahnya dari serangan-seangan  
musuh dari luar. Meskipun masih sederhana atau primitief, namun 
terasa juga kebutuhan akan uang untuk membiayai pengeluaran 
- pengeluaran  kepentingan umum, seperti pembuatan jalan, 
membiayai pertahanan, membayar pegawai, dan sebagainya. 
Di Indonesia, secara yuridis-konstitusional sektor pajak baru 
diakui pada 18 Agustus 1945 bersamaan disahkannya Undang 
Undang Dasar RI 1945 sebagai pedoman penyelenggaraan negara, 
sebab dalam naskahnya terdapat pasal yang mengatur sektor pajak 
(Pasal 23 ayat 2 : “Segala pajak untuk keperluannegara berdasar undang-
undang”. Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 kemudian diamandemen  menjadi 
Pasal 23A : “Segala pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa 
untuk kepentingan negara berdasar peraturan perundang-undangan”. 
Pasal  amandemen ternyata muatannya lebih luas dari pada pasal 
sebelumnya, karena tidak hanya terbatas mengatur pajak semata; 
tetapi mengatur pula pungutan lain yang sifatnya memaksa untuk 
keperluan negara. Pungutan lain yang sifatnya memaksa untuk 
keperluan negara tidak terbatas macamnya, sehingga macamnya 
akan lebih banyak dibandingkan dengan macam pajak.
Di Indonesia berdasarkan kewenangan memungut,  pajak 
digolongan menjadi dua, ialah Pajak Pusat dan Pajak Daerah. 
Penggolongan ini karena Indonesia sebagai negara  kesatuan 
memiliki tingkatan pemerintahan, yaitu  pemerintah pusat dan 
pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang merupakan bagian 
dari negara, dalam membuat peraturan perundang-undangan 
perpajakan daerah tidak dapat lepas begitu saja dari kebijakan 
politik perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Hal tersebut selaras dengan asas negara kesatuan yang di 
desentralisasikan “bahwa  pemegang  kekuasaan  tertinggi atas segenap 
urusan negara adalah pemerintah  pusat  (central gavernment) tanpa 
adanya  gangguan  oleh  suatu delegasi atau pelimpahan  kekuasaan  
kepada pemerintah daerah (local gavernment) .Atau “dalam suatu negara 
kesatuan segenap urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat 
sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan  negara dalam negara kesatuan 
tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang kekuasaan 
tertinggi adalah pemerintah pusat”.
Terkait dengan desentralisasi perpajakan daerah  yang 
menyangkut pengaturan perpajakan daerah dan produk hukum 
pajak daerah dalam sistem hukum pajak nasional. Maka bicara 
mengenai sistem hukum nasional akan ditemukan beberapa 
pendapat dari dunia pengetahuan, hal ini  merupakan persoalan  
yang wajar sering terjadi. Adapun  beberapa pendapat tentang 
sistem hukum nasional, adalah sebagai berikut :
1. Segala hukum yang berlaku secara nasional dan sah diseluruh 
tanah air dari Sabang sampai Merauke yang dibuat oleh badan-
badan atau lembaga-lembaga yang berwenang (JCT Simorangkir).
2.  Tata hukum baru yang lahir sebagai akibat dari kemerdekaan 
bangsa Indonesia dengan UUD 1945 sebagai intinya (Satjipto 
Rahardjo).
3. Hukum nasional (national law) has two connotation : one meaning 
axacly, national in contrast with the local; the other more  prevalent 
during the last two decade meaning the law of independent Indonesian 
as opposed to law originating in the colony (Daniel S.Lev).  
4. Hukum nasional. 
a). hukum yang dinyatakan berlaku secara nasional oleh pembentuk 
undang-undang nasional;
b). hukum yang bersumber dan menjadi pernyataan langsung dari 
tata budaya nasional; 
c). hukum yang bahan-bahannya  (idiil dan riil) primer berasal 
dari kebudayaan nasional sendiri dengan tidak menutup 
kemungkinan memasukan bahan-bahan dari luar sebagai 
hasil pengolahan yang dibawa oleh perhubungan dengan luar 
nasional,
d). sebagai pengertian politis  perlawanan  antara  nasional  dan  
kolonial (Moh. Koesnoe).
Norma-norma  hukum itu berjenjang, dan berlapislapis  dalam 
suatu hirarhi tata susunan; norma yang lebih rendah berlakunya 
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlakunya, 
demikian selanjutnya sampai dengan norma dasar (groundnorm). 
Teori ini dapat disebut juga teori sinkronisasi vertical atau harmoni 
vertical. Konfi gurasi politik tertentu menyebabkan lahirnya produk 
hukum dengan karakter tertentu pula (Moh. Mahfud).
 Menurut teori peraturan perundang-undangan, pembentukan 
peraturan perundang-undangan meliputi dua masalah pokok 
yang harus di perhatikan, ialah : aspek materiil/substansi dan aspek 
formil/prosedural .Berpedoman pada sistem hukum nasional maka 
pengertian hukum pajak nasional tidak berbeda dengan hukum 
yang lain, karena secara konstitusional kewajiban negara membuat 
hukum pajak sudah ditetapkan dalam Pasal 23 ayat 2 Undang 
Undang Dasar RI 1945 (diamandemen menjadi Pasal 23 A Undang 
Undang Dasar RI 1945). 
Sehubungan hal tersebut, maka yg dimaksud sistem hukum 
pajak nasional, ialah: “Sistem hukum pajak yang dibuat berdasar 
kehendak Undang Undang Dasar RI 1945 maupun peraturan perundang-
undangan lain yang dipergunakan sebagai pedomam dasar pembuatan 
peraturan  perpajakan nasional”. Pengaturan perpajakan daerah 
selama ini berpedoman pada dua kaedah, ialah sentral (central-
norm) dan lokal (local-norm). Kaedah sentral (central-norm) dalam 
pengaturan perpajakan daerah dibedakan menjadi dua, ialah :
a). Peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah, meliputi:
(1). Undang-Undang Nomor   1Tahun 1945.
(2). Undang-Undang Nomor   5 Tahun 1974.
(3). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
(4). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
b). Peraturan perundang-undangan Pajak dan Retribusi Daerah  :
(1). Undang - Undang Nomor 11/Drt/ Tahun 1957.
(2). Undang - Undang  Nomor 18 Tahun 1997.
(3). Undang - Undang  Nomor 34 Tahun 2000.
(4). Undang – Undang  Nomor 28 Tahun 2009. 
    Substansi peraturan perundang-undangan pajak dan retribusi 
daerah tidak dapat lepas dari pengaruh kehendak pemerintah pusat 
sebagai pengendali pemerintahan daerah, khususnya dibidang 
perpajakan daerah.  Oleh karena itu berdasar yuridis-histories, 
pengaturan perpajakan daerah yang pernah dan sedang dijalankan 
sangat variatif, seperti berikut ini :
a. Masa UU No. 11/  Drt /1957 : Tentang Peraturan Umum Pajak 
Daerah. Pasal 56 ayat (1) :DPRD berhak mengadakan  pajak dan 
retribusi daerah (desentralistik ) yang bersifat demokratis.
b. Pajak Daerah pada masa ini : Pajak anjing, Pajak kendaraan 
tidak bermotor, Pajak atas ijin mengadakan perjudian, Pajak atas 
tanda kemewahan mengenai luas dan perhiasan kubur, Pajak 
berdiam disuatu  daerah lebih dari 120 hari dalam satu tahun 
pajak kecuali untuk perawatan di Rumah sakit / Sanatorium, 
juga atas penyediaan rumah lengkap dengan parabot untuk diri 
sendiri atau keluarga selama lebih dari 120 (seratus dua puluh) 
hari dalam tahun pajak.
c. Masa  UU No. 1 Tahun 1945  : Ketentuan Pokok Pemerintahan di 
Daerah.
d. Masa UU No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak Ddaera dan Retribusi 
Daerah. Dalam undang-undang ini ditetapkan dua golongan 
pajak daerah, ialah Pajak Daerah Tingkat I (Pajak Kendaraan 
Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan 
Bakar Kendaraan Bermotor) dan Pajak Daerah Tingkat II (Pajak 
Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak 
Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan 
Galian Golongan C, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan 
Air Permukaan).(sentralistik bersifat otoriter).
e. Masa UU No.  5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan 
Di Daerah.
f. Masa UU No. 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi 
Daerah. Dalam undang – undang ini ditetapkan dua golongan 
pajak, ialah Pajak Daerah Propinsi (Pajak Kendaraan Bermotor, 
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Ba-han Bakar 
Kendaraan Bermotor, Pajak Peman- faatan Air Permukaan 
dan Bawah Tanah) dan Pajak Daerah Kota/Kabupaten (Pajak 
Hotel, Pa-ak Restoran, Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak 
Penerangan Jalan Umum, Pajak Parkir. (sentralistik ).
g. Kabupaten / Kota dengan Peraturan Daerah  boleh menetapkan  
jenis     pajak daerah, diluar yang sudah ditetapkan pemerintah. 
(desentralistik) bersifat otoriter dan demokratis UU No. 22 Tahun 
1999 TentangPemerintahan Daerah.
h. Masa UU No. 34 Tahun 2000 Tentang  Pajak Daeah dan Retribusi 
Daerah. Dalam undang-undang ini ada jenis-jenis  pajak daerah 
(Propinsi dan Kota/ Kabupa-ten) yang ditetapkan pemerintah  
(sentralistik). Dan Kota / Kabupaten dengan  Peraturan  Daerah   
boleh  menetapkan  jenis  pajak daerah diluar yang sudah 
ditetapkan pemerintah (desentralistik bersifat otoriter dan 
demokratis).
i. Masa UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pembuatan hukum pajak daerah atau kaedah lokal (local-norm) 
yang berbentuk Peraturan Daerah harus memenuhi dua aspek, 
ialah aspek materiil dan aspek formil. Keharusan yuridis tersebut 
didasarkan atas beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, sebagai 
berikut :
a).  Ketentuan Aspek Formil (procedural).
1. UU No. 5 Tahun 1974 Pasal 38 :
     “Kepala daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan 
Rakyat Daerah dapat menetapkan Peraturan Daerah”.
2.  UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 69 :
     “Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas 
persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi 
daerah dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi”.
3.  UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 136 ayat 1 :
 “Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah 
mendapatkan persetujuan bersama DPRD”.
b). Ketentuan Aspek Materiil (substansiil).
1.  UU No.22 Tahun 1999 Pasal 70 :
        “Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, 
Perda lain, dan peraturan perun dang-undangan yang lebih 
tinggi”. 
2.  UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 136 ayat 4 :
        “Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan 
umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang 
lebih tinggi”. 
3.  UU No. 10 Tahun 2004, Pasal 12:
    “Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi 
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah 
dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus 
daerah, serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi”.
4. UU No. 34 Tahun 2000. 
112  Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
      Pasal 2 :
 1.“Jenis pajak daerah Propinsi, terdiri dari. (sudah ditetapkan 
jenis – jenis pajaknya oleh pemerintah pusat)”.
 2.“Jenis pajak daerah Kota/Kabupaten, terdiri dari (sudah 
ditetapkan jenis-jenis pajaknya oleh pemerintah pusat)”.
Pasal 3.
1. “Maksimal tarip pajak daerah ditetapkan paling tinggi 
sebesar......”
2. “Tarip pajak daerah (Propinsi) ditetapkan seragam di seluruh 
Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
3. “Tarip pajak daerah (Kota/Kabupaten) ditetapkan dengan 
Peraturan Daerah”.
B. Penggolongan Pajak Daerah (sebelum 2009).
1. Pajak Daerah Propinsi.
a. Pajak Kendaraan Bermotor.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
d. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah Permukaan Tanah
2. Pajak Daerah Kota/kabupaten.
a. Pajak Hotel.
b.  Pajak Restoran.
c.  Pajak Hiburan.
d.  Pajak Penerangan Jalan Umum.
e.  Pajak Reklame.
f.  Pajak Galian Golongan C.
g.  Pajak Parkir.
C. Penggolongan Pajak Daerah (mulai 2009).
Berdasar Undang Undang Nomer : 28 Tahun 2009 Tentang 
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah macam pajak daerah sudah 
direvisi atau dirubah. Berdasar Pasal 2, pajak daerah digolongkan 
menjadi dua jenis ialah  pajak Propinsi dan pajak Kota/Kabupaten. 
Adapun jenis-jenis pajak daerah bagi Propinsi dan Kota/Kabupaten, 
sebagai berikut :
1. Pajak Propinsi.
a. Pajak Kendaraan Bermotor.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
d. Pajak Air Permukaan, dan
e. Pajak Rokok.
2. Pajak Kota / Kabupaten.
a. Pajak Hotel.
b. Pajak Restoran.
c. Pajak Hiburan.
d. Pajak Reklame.
e. Pajak Penerangan Jalan.
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
g. Pajak Parkir.
h. Air Tanah.
i. Pajak Sarang Burung Walet.
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
 

Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive