Tampilkan postingan dengan label ekonomi siklus bisnis 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi siklus bisnis 2. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

Published Juli 09, 2025 by

ekonomi siklus bisnis 2


 urunnya pertumbuhan 

ekonomi suatu negara pada periode tertentu. Siklus bisnis memiliki 

dampak pada inflasi dan pengangguran. Lama atau tidaknya siklus, 

serta besar atau  kecilnya siklus tentu tergantung dengan kebijakan 

pemerintahan  dalam  pengelolaan siklus itu sendiri.  

Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang saling 

terkoordinasi dengan baik dinilai efektif dalam menstabilkan siklus 

bisnis.  Musa,et.al. (2013) melakukan studi empiris di Nigeria dengan 

menggunakan uji kointegrasi dan Vector Error Correction Model 

(VECM). Penelitian ini mencoba melihat hubungan atara kebijakan 

fiskal dan moneter terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di 

Nigeria dengan melihat hubungan jangka panjang dan jangka pendek 

antar variabel. Di Nigeria, kurun periode 1970-2010 terlihat bahwa 

koordinasi kebijakan fiskal dan moneter dalam jangka panjang terlihat 

telah mencapai tujuannya dengan baik. Penambahan jumlah uang 

beredar dan variabel pendapatan pemerintahan  sangat efektif dalam 

mempengaruhi inflasi dan output. Hal ini memperkuat bahwa 

4

 

koordinasi kebijakan makro ekonomi sangat penting dalam upaya 

mewujudkan target ekonomi yang hendak di capai. Penelitian serupa 

telah dilakukan di negara kita , seperti Gulo (2008), melihat interaksi 

pengeluaran pemerintahan , dan jumlah uang beredar. 

 Penelitian ini melihat bagaimana efektivitas kebijakan fiskal 

dan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dan Inflasi. Hal yang 

membedakan yaitu  variabel kebijakan fiskal yang di gunakan yaitu  

persentase defisit APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan 

total pajak.  

negara kita  latar belakang tersebut penulis ingin menguji 

secara empiris bagaimana efektivitas kebijakan makro meliputi 

kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam pengelolaan  siklus 

bisnis yang di ukur dengan pertumbuhan ekonomi  dan inflasi di 

negara kita . Lebih jauh akan di lihat apakah ada kemungkinan hubungan 

kausalitas antar variabel, dan hubungan jangka panjang atau jangka 

pendek antar variabel yang di teliti. 

 

5.2. METODE PENELITIAN 

Penelitian  ini melihat bagaimana efektivitas kebijakan makro 

meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam pengelolaan  

siklus bisnis yang di ukur dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi di 

negara kita . Kebijakan makro meliputi kebijakan moneter dan kebijakan 

fiskal. Variabel kebijakan moneter meliputi jumlah uang beredar 

(log_M2), variabel kebijakan fiskal meliputi; persentase defisit 

anggaran terhadap PDB (Deficit), total penerimaan pajak (log_tax). Ke 

dua kebijakan ini akan dilihat bagaimana hubungannya dengan 

pertumbuhan ekonomi (GDPgrowth) dan inflasi (inflation) di negara kita  

5

 

sebagai indikator siklus bisnis kurun periode 1988-2012. Data yang 

digunakan dalam penelitian ini yaitu  data sekunder yang diperoleh 

dari data Key Indicators For Asia and The Pasific-Asian Development 

Bank tahun 1988-2012. 

Model yang digunakan dalam penelitian ini yaitu  model 

VECM (Vector Error Correction Model). Model VECM memiliki 

kelebihan dapat digunakan untuk mengetahui perilaku jangka pendek 

dari satu variabel terhadap jangka panjangnya akibat adanya shock 

yang permanen ( Kostov dan Lingard dalam Ajija, et.al. 2011). Semua 

variabel yang diteliti diasumsikan stasioner. Jika data awal ternyata 

tidak stasioner, maka dapat dilakukan diferensiasi atas variabel tersebut 

sehingga diperoleh variabel yang stasioner. Adapun tahapan dalam 

VECM meliputi uji akar-akar unit (unit root test), uju lag optimum, uji 

Granger Causality, uji kointegrasi, dan uji VECM. Bentuk umum dari 

Vector Error Correction Model (VECM) dalam penelitian ini yaitu : 

 

ΔYt = β0 + β1ΔX1t + β2ΔX2t + β3 ΔY t-1 + β4ΔX1 t-1 + β5ΔX2 t-1 + εt ....(6.1) 

Adapun variabel yang akan di estimasi yaitu  variabel 

GDPgrowth atau pertumbuhan ekonomi dalam persen, Inflation atau 

tingkat inflasi (Consumer Price Index) dalam persen, Log_M2 atau log 

jumlah uang beredar (M2) dalam triliun rupiah, Deficit atau persentase 

defisit APBN terhadap GDP dalam persen, dan Log_tax yaitu   log 

total pajak dalam miliar rupiah. 

 

 

 


 

5.2.1 Uji Akar - akar Unit (Unit Roots Test) 

Uji akar unit digunakan untuk menguji apakah variabel yaitu  

stasioner atau tidak. Uji akar unit dapat dilihat pada model di bawah ini 

(Gujarati, 2003):   𝑌𝑡 =  𝛿𝑌𝑡−1         -1  P  1.......................................................... (6.2) 

 Dengan 𝑒𝑡  yaitu  stokastik error term   yang bersifat acak dapat 

dikatakan juga sebagai white noise error term. Jika nilai P=1 maka akar 

unit pada persamaan diatas yaitu  tidak stasioner. Data akan diuji pada 

tingkat first difference, dan jika nilai P masih sama dengan 1 maka uji 

dilanjutkan ke second difference. 

      𝑌𝑡 − 𝑌𝑡−1 = 𝛿𝑌𝑡−1 + 𝑒𝑡 − 𝑌𝑡−1................................................... (6.3) 𝑌𝑡 −  𝑌𝑡−1 =  𝛿(𝑌𝑡−1 − 𝑌𝑡−1) +  𝑒𝑡     𝑌𝑡 − 𝑌𝑡−1 =(𝛿 − 1) 𝑌𝑡−1+𝑒𝑡   ...................................(6.4) 

Persamaan diatas menjadi persamaan first difference dan dapat ditulis: 𝑌𝑡  yaitu  random walk : ∆𝑌𝑡 =  𝜙𝑌𝑡−1 + 𝑒𝑡 .....................................(6.5) 

Di mana t yaitu  trend waktu. Persamaan (6.5) yaitu  regresi 

first difference dengan memasukkan konstanta dan variabel trend 

waktu. Jika data runtun waktu mengandung akar unit maka data 

tersebut tidak stasioner dengan hipotesis nolnya yaitu  𝜙 = 0 yang 

berarti p=1, dan jika sebaliknya maka data runtun waktu itu stasioner. 

Pengujian akar-akar unit di sini menggunakan metode ADF atau 

Augmanted Dickey Fuller. Jika nilai ADF test lebih besar dari nilai 

critical value maka data tersebut dikatakan tidak stasioner dan harus di 

52 

 

uji pada tingkat difference nya yaitu pada tingkat first dan second 

difference. 

5.2.2. Penentuan Lag Optimal 

Penentuan panjangnya lag optimal sangat diperlukan untuk 

menampilkan proses white noise sehingga dapat mengestimasi actual 

error secara tepat. Hanya saja, lag yang terlalu panjang berdampak 

pada kurangnya derajat bebas sehingga kemampuan menolak Ho 

berkurang. Besarnya lag yang dipilih berasal dari lag terpendek. Nilai 

lag dapat diperoleh dari hasil estimasi melalui criteria Akaike 

Information Criteria (AIC), Scwarz Information Criterion (SIC) dan 

Hannan Quinn (HQ).  

 

5.2.3 Uji  Granger Causality 

Dalam penelitian ini uji Granger Causality digunakan untuk 

melihat hubungan kausalitas (sebab akibat) diantara dua variabel. 

Dengan menggunakan uji Granger Causality dapat diketahui apakah 

kedua variabel tersebut memiliki hubungan saling mempengaruhi 

(hubungan dua arah), hubungan searah, atau sama sekali tidak ada 

hubungan (tidak saling mempengaruhi). 

 

5.2.4. Uji Kointegrasi 

Dalam penelitian ini, uji kointegrasi yang digunakan yaitu  

Johansen Cointegration Test. Hubungan kointegrasi dapat terlihat dari 

besarnya nilai Trace Statistic dan Max Eigen Statistic dibandingkan 

dengan nilai critical value pada tingkat kepercayaan 1-10 persen. Jika 

nilai Max Eigen Value dan Trace Statistic lebih besar dari nilai Critical 

53 

 

Value maka dalam jangka panjang variabel-variabel tersebut cenderung 

menuju kepada keseimbangan, sedangkan jika nilai Max Eigen Value 

dan Trace Statistic lebih kecil dari Critical Value maka  dalam jangka 

panjang variabel-variabel tersebut tidak mencapai keseimbangan.  

Jika data stasioner pada tingkat diferensi maka dapat di lakukan 

uji kointegrasi . Melalui uji kointegrasi ini,  dapat dilihat apakah data 

berkointegrasi atau tidak. Jika data memiliki hubungan kointegrasi, 

maka model yang digunakan yaitu  VECM, sedangkan data yang tidak 

berkointegrasi, maka model yang digunakan yaitu  VAR diferensi.  

 

5.2.5. Estimasi VECM 

Estimasi VECM dapat dilihat dari karakteristik dinamis model 

VEC yaitu dengan melihat IRF (Impulse Response Function) dan 

variance decompotition. Impulse Response merupakan analisis penting 

dalam model VAR. Analisis impulse response penting untuk 

menjelaskan dampak dari guncangan (shock) pada satu variabel 

terhadap variabel lain. Analisis impulse response dapat melihat respon 

dari variabel endogen di dalam sistem VAR sebab  adanya guncangan 

(shock) dari variabel yang lain. Pengaruh suatu variabel bisa positif 

ataupun negatif.  Model VAR menyediakan analisis Forecast Error 

Variance Decomposition (FEVD). Variance Decomposition 

menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam model 

VAR sebab  ada   shock. Variance Decomposition memprediksi 

kontribusi persentase setiap variabel dalam  mempengaruhi variabel 

yang lain 

 

5.3. Hasil dan Pembahasan 

5.3.1 Hasil Uji Akar-akar Unit 

 Tabel (5.1) memperlihatkan ringkasan hasil uji akar-akar unit, 

di mana data hasil dapat kita lihat pada lampiran. Dari hasil pengujian 

terlihat bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan jumlah uang 

beredar yaitu  variabel yang stasioner pada tingkat level. Hal ini 

negara kita  hasil uji ADF dimana nilai ADF yaitu  lebih kecil dari 

nilai critical value.   

Tabel 5.1.  Ringkasan Hasil Uji Akar-akar Unit 

Variabel Level First Difference 

GDPgrowth 

Inflation 

Log_M2 

Log_Tax 

Deficit 

Stasioner 

Stasioner 

Stasioner 

Tidak Stasioner 

Tidak Stasioner 

Stasioner 

Stasioner 

 

Variabel total pajak dan defisit APBN tercatat tidak signifikan 

pada tingkat level, sehingga di uji lagi pada tingkat first difference, dan 

hasilnya menunjukkan nilai ADF yaitu  lebih kecil dari nilai critical 

value sehingga variabel tersebut sudah stasioner di tingkat first 

difference. 

 

 

 

 

 

55 

 

5.3.2 Pengujian Lag Optimal 

Tabel 5.2. Lag Optimal 

 

VAR Lag Order Selection Criteria 

Endogenous variables: GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 LOG_TAX DEFICIT 

       

        Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 

       

       0 -175.4896 NA   9.198827  16.40815  16.65611  16.46656 

1 -62.76912  163.9571  0.003396  8.433556  9.921342  8.784034 

2 -12.70512   50.06400*  0.000531  6.155011  8.882617  6.797553 

3  49.91054  34.15399   7.50e-05*   2.735406*   6.702833*   3.670012* 

       

        * indicates lag order selected by the criterion    

 

Pengujian di lanjutkan dengan uji lag optimal untuk 

menentukan lag bagi uji Granger Causality. Pada tabel (5.2) terlihat 

bahwa lag optimal ada pada lag 3 dimana pada lag ini banyak ada   

tanda bintang yang menandakan tingkat lag optimal. Terlihat tanda 

bintang ada   pada criteria FPE, AIC, SC dan HQ. Dengan 

demikian, untuk uji granger causality kita akan menggunakan lag 

optimal 3. 

 

 

5.3.3. Hasil Uji Granger Causality  

 

 negara kita  uji Granger Causality pada table (5.3) terlihat 

bahwa hanya ada   satu hubungan kausalitas antara variabel yaitu 

inflasi dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan kausalitas ini terlihat 

dari signifikannya nilai F statistik pada tingkat kepercayaan di bawah  

10 %. Peningkatan inflasi dapat menurunkan daya beli masyarakat 

sehingga permintaan agregat menurun dan pertumbuhan ekonomi juga 

menurun. Dalam konteks perekonomian yang memasuki masa 

ekspansif, peningkatan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan daya 

56 

 

beli msyarakat, menurunkan pengangguran namun berdampak pada 

peningkatan inflasi.  

Jumlah uang beredar M2 terlihat tidak memiliki hubungan 

kausalitas dengan pertumbuhan ekonomi. Idealnya, penambahan 

jumlah uang beredar mencerminkan kebijakan moneter yang ekspansif 

yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Begitu juga 

sebaliknya, pertumbuhan ekonomi pada umumnya akan menambah 

jumlah uang beredar. Hanya saja, ada   kemungkinan terjadi 

crowding out dalam perekonomian, di mana kebijakan fiskal di 

negara kita  dapat saja menjadikan kebijakan moneter dengan menambah 

jumlah uang beredar menjadi tidak efektif.  Kejadian ini seringkali 

terjadi dan menjadi perdebatan baik secara teori maupun studi-studi 

empiris. 

Pajak dan defisit APBN terlihat memiliki hubungan se arah 

dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini memperlihatkan bagaimana 

efektivitas kebijakan fiskal dalam mendorong laju pertumbuhan 

ekonomi. Kenaikan pajak mencerminkan kebijakan yang kontraktif 

yang akan mengurangi daya beli dan permintaan agregat, sedangkan 

defisit anggaran mencerminkan ekspansi ekonomi yang di lakukan oleh 

pemerintahan  yang ber efek meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 

 

 

 

 

 

Tabel. 5. 3. Uji Granger Causality 

 

    

     Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.  

    

     INFLATION does not Granger Cause GDPGROWTH  22  3.00202 0.0637 

 GDPGROWTH does not Granger Cause INFLATION  2.64532 0.0870 

    

     LOG_M2 does not Granger Cause GDPGROWTH  22  0.65774 0.5906 

 GDPGROWTH does not Granger Cause LOG_M2  0.69910 0.5670 

    

     LOG_TAX does not Granger Cause GDPGROWTH  22  3.15278 0.0560 

 GDPGROWTH does not Granger Cause LOG_TAX  2.21913 0.1281 

    

     DEFICIT does not Granger Cause GDPGROWTH  22  8.65525 0.0014 

 GDPGROWTH does not Granger Cause DEFICIT  2.11704 0.1409 

    

     LOG_M2 does not Granger Cause INFLATION  22  0.33470 0.8005 

 INFLATION does not Granger Cause LOG_M2  0.92826 0.4512 

    

     LOG_TAX does not Granger Cause INFLATION  22  4.78240 0.0156 

 INFLATION does not Granger Cause LOG_TAX  1.47800 0.2606 

    

     DEFICIT does not Granger Cause INFLATION  22  6.51084 0.0049 

 INFLATION does not Granger Cause DEFICIT  1.73374 0.2030 

    

    Lags: 3 

 

 

 Untuk variabel inflasi, jumlah uang beredar terlihat tidak 

memiliki hubungan kausalitas dengan inflasi, yang mengindikasikan 

bahwa variabel kebijakan moneter jalur uang (M2) tidak efektif dalam 

mempengaruhi tingkat inflasi di negara kita  kurun periode penelitian. 

Kebijakan fiskal baik tingkat pajak maupun defisit anggaran efektif 

dalam mempengaruhi inflasi namun tidak sebaliknya. Pajak merupakan 

instrumen yang efektif menekan daya beli masyarakat. Sebaliknya, 

menambah defisit akan dapat meningkatkan daya beli sehingga 

keduanya dapat mempengaruhi inflasi. 

 

 

 

 

58 

 

5.3.4. Uji Kointegrasi 

 Sebelum di lakukan uji kointegrasi, perlu di cari lag yang di 

pakai untuk pengujian kointegrasi dan VECM. Dari hasil pengujian lag 

yang ada pada lampiran(5) terlihat bahwa lag yang di pakai dalam uji 

kointegrasi dan VECM yaitu  lag 3 3 negara kita  Akaike Information 

Criteria dan Schwarz Criteria. Hasil uji kointegrasi dapat di lihat pada 

tabel (5.4). 

   

Tabel 5.4. Uji Kointegrasi 

          

Hypothesized  Trace 0.05  

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** 

     

     None *  0.986065  199.5918  88.80380  0.0000 

At most 1 *  0.900850  114.1251  63.87610  0.0000 

At most 2 *  0.799526  67.90254  42.91525  0.0000 

At most 3 *  0.614983  35.76114  25.87211  0.0021 

At most 4 *  0.565513  16.67179  12.51798  0.0095 

     

      Trace test indicates 5 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level 

 * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level 

 **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values  

     

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) 

     

     Hypothesized  Max-Eigen 0.05  

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** 

     

     None *  0.986065  85.46671  38.33101  0.0000 

At most 1 *  0.900850  46.22252  32.11832  0.0005 

At most 2 *  0.799526  32.14140  25.82321  0.0064 

At most 3  0.614983  19.08935  19.38704  0.0552 

At most 4 *  0.565513  16.67179  12.51798  0.0095 

     

      Max-eigenvalue test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level 

 * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level 

 **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values  

     

 

 

negara kita  hasil uji kointegrasi terlihat bahwa ada   

hubungan kointegrasi antar variabel yang bermakna ada   hubungan 

59 

 

keseimbangan jangka panjang antar variabel moneter, variabel fiskal 

dan pertumbuhan ekonomi di negara kita . Hubungan kointegrasi terlihat 

dari nilai trace statistic dan nilai max eigen value yang leih besar  dari 

nilai critical value, dan signifikan pada tingkat kepercayaan 1-10 

persen.  

 

5.3.5. Hasil Uji VECM  

A. Impulse Response Function (IRF) 

Pembahasan IRF hanya di fokuskan kepada kausalitas antara 

variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi,  jumlah uang beredar, pajak, 

dan defisit APBN. Hasil IRF dapat di lihat pada gambar (5.1) dan tabel-

tabel IRF. negara kita  tabel IRF (tabel 5.5), pertumbuhan ekonomi 

(GDPgrowth) merespon shock variabel inflasi (Inflation) secara positif, 

namun pada periode ke empat terlihat merespon negatif yaitu sebesar 

0.622 SD (Standar Deviasi). Terlihat dalam jangka pendek 

pertumbuhan ekonomi merespon perubahan Inflasi yaitu pada periode 

ke dua, ke empat, ke enam dan ke delapan.  Hal ini menandakan bahwa 

inflasi di respon oleh variabel pertumbuhan ekonomi dalam jangka 

pendek. Perubahan inflasi akan di ikuti oleh perubahan pertumbuhan 

ekonomi dalam jangka pendek.  

Pertumbuhan ekonomi merespon  shock jumlah uang beredar 

(log_m2) dalam jangka pendek pada periode ke dua yaitu pada tingkat 

yang positif sebesar  0,515 SD, pada periode ke empat jumlah uang 

beredar merespon pertumbuhan ekonomi secara negatif yaitu sebesar 

1,328 SD. lalu  pada periode ke tujuh kembali positif dan pada 

periode ke sepuluh kembali negatif. Hal ini menandakan bahwa jumlah 

uang beredar di respon oleh variabel pertumbuhan ekonomi dalam 

60 

 

jangka pendek. Perubahan jumlah uang beredar akan di ikuti oleh 

perubahan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.  

 

Tabel 5.5.  Impulse Response (IRF) Pertumbuhan Ekonomi 

 

 Response of GDPGROWTH: 

 Period GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

      

       1  5.171466  0.000000  0.000000  0.000000  0.000000 

 2  2.024261  0.826845  0.515751 -0.116900  0.790662 

 3  2.002805  0.832482  0.519267 -0.117697  0.796053 

 4  1.691310 -0.622333 -1.328307  0.022315 -1.013712 

 5  2.468208  0.281463 -0.053865  0.268256  0.021191 

 6  2.407185  0.305048 -0.034309  0.267470  0.044908 

 7  3.354582  0.031451  0.773409  0.058553  0.847642 

 8  1.567750  0.427457  0.416297  0.210074  0.562409 

 9  2.278070  0.263685  0.325000  0.242518  0.404874 

 10  1.659212  0.255097 -0.674279  0.096476 -0.389187 

 

Pada tabel (5.5), pertumbuhan ekonomi merespon shock pajak 

dalam jangka pendek. Pada periode ke dua, respon terlihat negatif yaitu 

sebesar 0,116 SD, lalu  pada periode ke empat kembali positif dan 

terus meningkat pada periode ke lima dan ke enam. Respon kembali 

turun pada periode ke tujuh dan ke sepuluh. Hal ini berarti perubahan 

pajak akan di ikuti oleh perubahan pertumbuhan ekonomi dalam jangka 

pendek.  

Terakhir, pertumbuhan ekonomi merespon shock defisit APBN 

(Deficit) dalam jangka pendek. Pada periode awal respon pertumbuhan 

ekonomi terhadap defisit relatif stabil, namun pada periode ke empat 

mengalami respon negatif yaitu sebesar 1,013 SD. Peride ke lima 

respon kembali positif dan stabil namun pada periode ke tujuh 

meningkat cukup tinggi yaitu sebesar 0,857 SD. Pada periode ke 

sepuluh respon pertumbuhan ekonomi terhadap defisit kembali negatif. 

61 

 

Kondisi ini berarti perubahan defisit APBN akan di ikuti oleh 

perubahan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. 

 

Gambar 5.1.  Impulse Response (IRF) 

 

Sebaliknya tabel (5.6) memperlihatkan bahwa inflasi (inflation) 

merespon shock variabel pertumbuhan ekonomi secara negatif dan 

dalam jangka pendek di mana respon tersebut tertinggi terjadi pada 

periode awal yaitu sebesar 14.32 SD, lalu  menurun pada periode  

ke dua. Shock terjadi lagi pada periode ke  lima, ke  tujuh dan periode 

ke sembilan.  Hal ini berarti perubahan pertumbuhan ekonomi di respon  

-2

0

2

4

 

dan di ikuti oleh perubahan inflasi dalam jangka pendek. Dari hasil IRF 

dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan saling 

merespon dalam jangka pendek.   

 

 Tabel 5.6.  Impulse Response (IRF) Inflasi  

      

 Response of INFLATION: 

 Period GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

      

       1 -14.32027  4.720253  0.000000  0.000000  0.000000 

 2 -5.069833  2.289946 -1.515923  0.343600 -2.323958 

 3 -5.006767  2.273377 -1.526258  0.345943 -2.339802 

 4 -4.389045  5.525688  4.239432  0.838195  2.657198 

 5 -6.849555  2.915707  0.522530  0.108735 -0.340177 

 6 -6.671397  2.846700  0.465245  0.111002 -0.409584 

 7 -8.941617  3.945228 -1.716166  0.622821 -2.546406 

 8 -4.162952  2.967922 -0.510122  0.172091 -1.519948 

 9 -6.257722  3.451542 -0.240101  0.076554 -1.054692 

 10 -4.665219  3.335246  2.373283  0.535165  0.967385 

       

Tabel (5.6) juga memperlihatkan bagaimana inflasi merespon 

shock jumlah uang beredar, dan defisit anggaran dalam jangka pendek. 

Hanya pajak yang di respon oleh inflasi dalam jangka panjang sebab  

gerakannya yang relatif kecil dan stabil.  

Sebaliknya tabel (5.7) menjelaskan, jumlah uang beredar 

merespon pertumbuhan ekonomi secara negatif dan stabil dalam jangka 

panjang antara 0,12 hingga 0,13 SD.  Begitu juga dengan inflasi di 

respon oleh jumlah uang beredar dalam jangka panjang. Hal ini 

menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan inflasi di respon oleh 

variabel jumlah uang beredar dalam jangka panjang. Perubahan 

pertumbuhan ekonomi  dan inflasi akan di ikuti oleh perubahan jumlah 

uang beredar dalam jangka panjang.  

 

6

 

Tabel 5.7.  Impulse Response (IRF) Jumlah Uang Beredar 

 Response of LOG_M2: 

 Period GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

      

 1 -0.097215  0.021764  0.014072  0.000000  0.000000 

 2 -0.112237  0.025711  0.016534 -0.000558  0.003774 

 3 -0.112340  0.025738  0.016551 -0.000562  0.003800 

 4 -0.129875  0.045766  0.024077 -0.009858  0.015500 

 5 -0.127259  0.050367  0.030339 -0.008725  0.020715 

 6 -0.127558  0.050482  0.030433 -0.008729  0.020830 

 7 -0.138891  0.054070  0.028887 -0.008196  0.019481 

 8 -0.130619  0.051931  0.024916 -0.006773  0.014325 

 9 -0.127137  0.051128  0.024468 -0.006614  0.013553 

 10 -0.125041  0.053472  0.030765 -0.005781  0.018789 

 

Kesimpulan dari hasil IRF pertumbuhan ekonomi, inflasi dan 

jumlah uang beredar yaitu  bahwa kebijakan moneter dengan 

menambah jumlah uang beredar akan mempengaruhi pertumbuhan 

ekonomi dan inflasi  dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan 

bahwa kebijakan moneter dengan penambahan jumlah uang beredar 

memiliki pengaruh dalam jangka pendek dalam meningkatkan 

pertumbuhan ekonomi dan mempengaruhi inflasi.  Sebaliknya, 

peningkatan aktivitas ekonomi akibat dari peningkatan pertumbuhan 

ekonomi akan meningkatkan permintaan terhadap uang sehingga dalam 

jangka panjang jumlah uang beredar meningkat.  

Hubungan antara respon pajak terhadap  pertumbuhan ekonomi  

dan inflasi dapat di lihat pada tabel (5.8).  Pajak (Log_tax) merespon  

shock pertumbuhan ekonomi cukup stabil dan pengaruhnya positif 

namun relatif kecil yaitu sekitar 0,03 SD hingga 0,06 SD, hanya sekali 

mencapai 0,09 SD yaitu pada periode ke empat. Begitu juga respon 

pajak terhadap inflasi relatif stabil dalam jangka panjang. Ini 

menandakan bahwa perubahan pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan 

di ikut oleh perubahan pajak dalam jangka panjang.  

6

 

Tabel 5.8.  Impulse Response (IRF) Pajak 

      

 Response of DLOG_TAX: 

 Period GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

      

      

 1  0.040629  0.023380  0.079782  0.122012  0.000000 

 2  0.037810  0.024121  0.080243  0.121908  0.000708 

 3  0.037791  0.024126  0.080247  0.121907  0.000713 

 4  0.094252  0.032876  0.105022  0.148518  0.005065 

 5  0.049045  0.045745  0.113686  0.147033  0.017524 

 6  0.048677  0.045849  0.113755  0.147021  0.017623 

 7  0.051756  0.034556  0.094778  0.152616 -0.003991 

 8  0.055360  0.049702  0.114050  0.156111  0.012387 

 9  0.055065  0.049911  0.114261  0.156127  0.012603 

 10  0.066763  0.044362  0.122350  0.155231  0.019561 

      

       

Kesimpulan IRF bagi pajak, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi 

yaitu  bahwa pajak akan mempengaruhi perubahan pertumbuhan 

ekonomi dalam jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang akan 

mempengaruhi inflasi. Pertumbuhan ekonomi dan inflasi sendiri akan 

mempengaruhi besarnya pajak dalam jangka panjang. Pertumbuhan 

ekonomi dan inflasi yang stabil akan menciptakan pertumbuhan sektor 

riil yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi besarnya pajak. 

 Pada tabel (5.9) defisit APBN terlihat  juga merespon shock 

pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, respon awal terlihat 

negatif yaitu sebesar  0.129 SD, namun pada periode selanjutnya 

meningkat positif. Pada periode ke empat respon defisit APBN 

terhadap pertumbuhan ekonomi kembali negatif, dan meningkat positif 

pada periode selanjutnya. Respon tertinggi terjadi pada periode ke 

tujuh. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ada   hubungan jangka 

pendek dimana perubahan pertumbuhan ekonomi juga di respon dan di 

ikuti oleh besarnya defisit APBN. Defisit APBN mersepon variabel 

inflasi dalam jangka panjang, hal ini terlihat relatif stabilnya shock 

6

 

pada empat periode pertama dan meningkat pada empet periode ke dua 

dan menurun kembali pada empat periode terakhir, yang 

mengindikasikan adanya hubungan jangka panjang. 

 

Tabel 5.9.  Impulse Response (IRF) Defisit APBN 

 Response of DDEFICIT: 

 Period GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

      

      

 1 -0.129894  0.076733  0.817026  0.042007  0.791428 

 2  0.028694  0.035068  0.791038  0.047897  0.751586 

 3  0.029775  0.034784  0.790860  0.047937  0.751315 

 4 -0.196559  0.357259  0.611723  0.090204  0.603394 

 5  0.287414  0.174280  0.461777  0.097242  0.419823 

 6  0.294056  0.172155  0.460207  0.097414  0.417732 

 7  0.452384  0.152592  0.771443  0.199318  0.633323 

 8  0.223435  0.032289  0.608715  0.143751  0.523373 

 9  0.196491  0.036961  0.610277  0.142199  0.527694 

 10  0.122866  0.087002  0.450137  0.144594  0.386937 

      

       Cholesky Ordering: GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

      

 

 Hubungan jangka pendek antara defisit APBN dengan 

pertumbuhan ekonomi memiliki makna bahwa kebijakan fiskal dengan 

menambah pengeluaran dengan menambah defisit akan berpengaruh 

terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Hal ini berarti 

kebijakan fiskal dengan defisit anggaran akan dapat mempengaruhi 

kegiatan ekonomi dalam jangka pendek. Sedangkan hubungan jangka 

panjang antara defisit APBN dengan inflasi menyiratkan bahwa defisit 

akan mempengaruhi inflasi dalam jangka panjang. 

 

B. Variance Decomposition 

Pengujian yang tidak kalah penting dalam VECM yaitu  

variance decomposition, di mana hasil estimasi ini memberikan 

informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada 

6

 

sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini 

dan periode yang akan datang (Ajija, 2011). Tabel (5.10) menjelaskan 

tentang variance decomposition pertumbuhan ekonomi (GDPgrowth), 

yaitu variabel apa saja dan seberapa besar variabel tersebut 

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada periode pertama, variabel 

pertumbuhan ekonomi di pengaruhi oleh variabelnya sendiri sebesar 

100 persen. Pengaruh terhadap variabel sendiri ini semakin menurun 

hingga periode ke sepuluh yaitu sebesar 87.89 persen.   

 

Tabel 5.10. Variance Decomposition Pertumbuhan Ekonomi 

       

 Variance Decomposition of GDPGROWTH: 

 Period S.E. GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

       

        1  5.171466  100.0000  0.000000  0.000000  0.000000  0.000000 

 2  5.694750  95.10184  2.108135  0.820220  0.042139  1.927670 

 3  6.168599  91.59379  3.617973  1.407659  0.072319  3.308261 

 4  6.640177  85.53363  4.000719  5.216456  0.063541  5.185659 

 5  7.094966  87.02179  3.661641  4.574902  0.198611  4.543055 

 6  7.503390  88.09818  3.439150  4.092505  0.304645  4.065522 

 7  8.299106  88.35298  2.812712  4.213823  0.254005  4.366481 

 8  8.488195  87.87172  2.942395  4.268707  0.304065  4.613116 

 9  8.811184  88.23208  2.820190  4.097540  0.357938  4.492253 

 10  9.003913  87.89108  2.781019  4.484813  0.354260  4.488830 

       

        

Pada periode awal variabel inflasi (Inflation) mempengaruhi 

pertumbuhan ekonomi sebesar 0 persen. Pengaruh  ini meningkat 

namun tidak terlalu besar yaitu sebesar 4 persen pada periode ke empat 

dan 2,78 persen pada periode ke sepuluh. Jumlah uang beredar (Log 

_m2) dan Defisit APBN (DDEFICIT) terlihat mempengaruhi 

pertumbuhan ekonomi sebesar 0 persen pada periode awal dan 

mencapai 4,48 persen dalam jangka panjang  pada periode ke sepuluh.  

Pajak (Dlog_pajak) terlihat tidak memiliki pengaruh yang signifikan 

67 

 

terlihat dari persentasenya di bawah 1 persen. Pajak mampu 

menjelaskan pertumbuhan ekonomi sebesar 0 persen di periode awal 

dan sebesar 0,35 persen di periode akhir.  

Tabel (5.11) menjelaskan variance decomposition variabel 

inflasi (inflation). ada   hal yang menarik bahwa variabel 

pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap inflasi dimana 

pengaruhnya pada periode awal yaitu  sebesar 90,19 persen. Pengaruh 

pertumbuhan ekonomi semakin menurun hingga mencapai 73,42 

persen pada periode ke sepuluh. Variabel inflasi di jelaskan oleh 

variabel dirinya sendiri sebesar  9,8 persen dan semakin meningkat 

hingga mencapai 17,80 persen pada periode ke sepuluh. Jumlah uang 

beredar, pajak dan defisit terlihat tidak terlalu besar menjelaskan 

variabel inflasi. Hal ini bermakna bahwa kebijakan fiskal dan kebijakan 

moneter jalur uang kurang efektif dalam mempengaruhi inflasi.  

 

Tabel 5.11. Variance Decomposition Inflasi 

 Variance Decomposition of INFLATION: 

 Period S.E. GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

       

 1  15.07816  90.19983  9.800175  0.000000  0.000000  0.000000 

 2  16.31303  86.71945  10.34314  0.863545  0.044365  2.029493 

 3  17.44347  84.08229  10.74453  1.520825  0.078132  3.574223 

 4  19.48865  72.43266  16.64688  5.950452  0.247575  4.722432 

 5  20.87165  73.92149  16.46538  5.250676  0.218566  4.143894 

 6  22.10506  75.01093  16.33763  4.725371  0.197378  3.728690 

 7  24.37147  75.16919  16.06079  4.383227  0.227682  4.159113 

 8  24.95410  74.48306  16.73412  4.222724  0.221930  4.338164 

 9  25.97990  74.51908  17.20376  3.904386  0.205619  4.167155 

 10  26.73384  73.42047  17.80354  4.475362  0.234258  4.066370 

       

 

Tabel (5.12) menjelaskan variance decomposition variabel 

jumlah uang beredar  (log_m2). Variabel pertumbuhan ekonomi sangat 

berpengaruh dan mampu menjelaskan variabel jumlah uang beredar. 

68 

 

Pada periode awal pengaruh pertumbuhan ekonomi yaitu  sebesar 

93,36 persen dan terus mengalami penurunan yaitu menjadi 84,02 

persen pada periode  ke sepuluh.  

 

Tabel 5.12. Variance Decomposition Jumlah Uang Beredar 

 Variance Decomposition of LOG_M2: 

 Period S.E. GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

              

 1  0.100610  93.36411  4.679579  1.956310  0.000000  0.000000 

 2  0.153846  93.15253  4.794314  1.991663  0.001315  0.060178 

 3  0.192977  93.09390  4.825982  2.001419  0.001684  0.077018 

 4  0.238996  90.22481  6.813391  2.319730  0.171238  0.470832 

 5  0.277987  87.64691  8.318986  2.905741  0.225076  0.903285 

 6  0.312302  86.12692  9.204187  3.251899  0.256451  1.160539 

 7  0.347890  85.34598  9.832985  3.310065  0.262166  1.248801 

 8  0.376375  84.96083  10.30475  3.266243  0.256370  1.211804 

 9  0.401574  84.65578  10.67305  3.240434  0.252333  1.178401 

 10  0.425546  84.02086  11.08337  3.408292  0.243159  1.244323 

       

        

Variabel inflasi  juga cukup signifikan mempengaruhi jumlah 

uang beredar. Pada periode awal pengaruh inflasi terhadap jumlah uang 

beredar hanya sebesar 4, 67 persen, dan nilai ini semakin meningkat 

mencapai 11,08 persen pada periode ke sepuluh. Hal ini 

mengindikasikan bahwa jumlah uang beredar mampu di jelaskan oleh 

variabel inflasi dalam jangka panjang. Variabel dirinya sendiri 

(log_m2), pajak, dan defisit APBN terlihat kurang mampu menjelaskan 

variabel jumlah uang beredar  terlihat dari persentase pengaruhnya 

yang kecil. 

Tabel (5.13) menjelaskan variance decomposition variabel 

pajak (Dlog_Tax). Variabel pajak cukup signifikan di pengaruhi oleh 

dirinya sendiri sebesar 63,48 persen pada periode awal. Pengaruhnya 

semakin menurun dalam jangka panjang namun masih signifikan yaitu 

69 

 

mencapai 57,22 persen pada periode ke sepuluh. Hal yang menarik 

yaitu  jumlah uang beredar dalam jangka pendek dan jangka panjang 

cukup berpengaruh dan mampu menjelaskan variabel pajak sebesar 27, 

14 persen hingga 29, 48 persen. Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi 

pajak dalam jangka pendek dan jangka panjang relatif stabil rata-rata 8 

persen.  Variabel inflasi dan defisit APBN kurang mampu menjelaskan 

variabel pajak terlihat dari nilainya yang relatif kecil. 

 

Tabel 5.13. Variance Decomposition Pajak 

 Variance Decomposition of DLOG_TAX: 

 Period S.E. GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

       

        1  0.153132  7.039379  2.331159  27.14391  63.48555  0.000000 

 2  0.216245  6.587173  2.413220  27.38154  63.61699  0.001072 

 3  0.264714  6.433855  2.441059  27.46213  63.66152  0.001441 

 4  0.336379  11.83541  2.466950  26.75489  58.91919  0.023562 

 5  0.390511  10.35892  3.202643  28.32663  57.89297  0.218845 

 6  0.437992  9.469905  3.641691  29.26345  57.28908  0.335870 

 7  0.477493  9.142733  3.587815  28.56183  58.41804  0.289583 

 8  0.520641  8.820773  3.929121  28.82259  58.12733  0.300181 

 9  0.560518  8.575432  4.182828  29.02285  57.90935  0.309540 

 10  0.600045  8.720813  4.196478  29.48263  57.22371  0.376373 

       

        

 Tabel (5.14) menjelaskan variance decomposition variabel 

Defisit APBN (DDEFICIT). Variabel defisit mampu dijelaskan oleh 

dirinya sendiri cukup stabil yaitu sebesar 47,5 persen pada periode 

awal. Pengaruhnya terus menurun tapi relatif stabil menjadi sebesar 

40,93 persen pada periode ke sepuluh. Hal yang menarik bahwa jumlah 

uang beredar cukup signifikan mempengaruhi defisit di mana pada 

periode pertama hingga periode ke tiga pengaruhnya terus meningkat 

yaitu menjadi sebesar 51,74 persen pada periode ke tiga, namun pada 

periode ke empat hingga periode ke sepuluh terus menurun hingga 

70 

 

mencapai 48,77 persen pada periode ke sepuluh. Pertumbuhan ekonomi 

berpengaruh terhadap pajak dalam jangka pendek relatif kecil yaitu di 

bawah 1 persen dan meningkat rata-rata 6 persen dalam jangka 

panjang. Variabel inflasi dan pajak terlihat kurang signifikan 

mempengaruhi defisit terlihat dari persentasenya yang kecil.  

 

Tabel 5.14. Variance Decomposition Defisit APBN 

Variance Decomposition of DDEFICIT: 

Period S.E. GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT 

              

 1  1.148222  1.279745  0.446591  50.63142  0.133839  47.50841 

 2  1.585365  0.704057  0.283192  51.45542  0.161484  47.39584 

 3  1.925542  0.501177  0.224603  51.74977  0.171445  47.35301 

 4  2.149513  1.238372  2.942629  49.62630  0.313685  45.87901 

 5  2.265465  2.724392  3.240925  48.83110  0.466642  44.73694 

 6  2.375756  4.009301  3.472090  48.15485  0.592450  43.77131 

 7  2.628327  6.238247  3.173905  47.95946  1.059143  41.56925 

 8  2.761193  6.307139  2.889478  48.31496  1.230702  41.25772 

 9  2.887088  6.232267  2.659363  48.66135  1.368298  41.07872 

 10  2.954860  6.122562  2.625467  48.77548  1.545708  40.93078 

       

        

5.4 Kesimpulan dan Saran 

 negara kita  hasil uji Granger Causality terlihat bahwa ada   

hubungan kausalitas antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.  Hal ini 

sejalan dengan teori  yang menyatakan bahwa pada siklus bisnis yang 

sedang ekspansi, meningkatnya aktivitas ekonomi akan meningkatkan 

pertumbuhan ekonomi dan akibatnya inflasi meningkat. Hanya saja, 

inflasi yang terlalu tinggi lama-kelamaan akan menurunkan daya beli 

masyarakat sehingga permintaan agregat menurun begitu juga 

pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab nya saran penulis yaitu  bahwa 

stabilitas inflasi sangat perlu di jaga untuk mendorong pertumbuhan 

ekonomi yang stabil. Peran kebijakan moneter dalam hal ini Bank 

71 

 

negara kita  di perlukan dalam hal ini, sehingga terwujud tingkat inflasi 

yang wajar dan stabil dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang 

stabil dan berkelanjutan. 

 Variabel jumlah uang beredar (M2) dengan variabel 

pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak memiliki hubungan yang saling 

mempengaruhi. Hal ini mengindikasikan jalur uang sebagai salah satu 

jalur dalam mekanisme transmisi moneter tidak efektif dalam 

mewujudkan pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas inflasi, begitu juga 

sebaliknya. Perlu di teliti lagi jalur mekanisme transmisi yang lain yang 

lebih efektif dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas 

inflasi. 

 ada   hubungan se arah antara kebijakan fiskal yaitu pajak 

dan defisit APBN terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini 

memperlihatkan bahwa kurun periode penelitian, kebijakan fiskal lebih 

efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di bandingkan dengan 

kebijakan moneter. Begitu juga dengan variabel inflasi, pajak dan 

defisit terlihat sangat efektif mempengaruhi inflasi. 

 negara kita  uji kointegrasi, terlihat bahwa dalam jangka 

panjang kebijakan makro ekonomi meliputi kebijakan fiskal dan 

moneter memiliki hubungan keseimbangan dan saling merespon 

terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai indikator siklus bisnis. Hal ini 

mengindikasikan bahwa kebijakan makro ekonomi efektif di terapkan 

dalam pengelolaan siklus pertumbuhan ekonomi dengan target jangka 

panjang.  

 negara kita  hasil uji VECM, seluruh variabel kebijakan, yaitu 

inflasi, jumlah uang beredar, pajak, dan defisit APBN memiliki 

hubungan jangka pendek dengan pertumbuhan ekonomi, di mana 

7

 

perubahan variabel-variabel tersebut akan di ikuti oleh perubahan 

pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Hanya saja pengaruh 

variabel kebijakan fiskal dan moneter terlihat tidak terlalu besar yaitu 

di bawah 5 persen. Variabel kebijakan moneter dengan menambah 

jumlah uang beredar dan variabel fiskal dengan defisit APBN lebih 

efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di bandingkan 

dengan variabel inflasi dan pajak.   

Variabel jumlah uang beredar dan defisit anggaran memiliki 

hubungan jangka pendek dengan inflasi dengan pengaruh rata-rata 4 

persen, sedangkan pajak memiliki hubungan jangka panjang dengan 

inflasi dengan pengaruh yang kurang signifikan di bawah 1 persen. 

Variabel pertumbuhan ekonomi sendiri terlihat memiliki hubungan 

jangka pendek dengan variabel inflasi. Pertumbuhan ekonomi terlihat 

sangat efektif mempengaruhi inflasi terlihat dari persentase 

pengaruhnya yang cukup besar di bawah 90 persen tiap periode.  

Dari hasil uji empiris di atas, penulis menyarankan, kebijakan 

fiskal dan kebijakan moneter yang di koordinasikan dengan baik sangat 

efektif digunakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan stabilitas 

inflasi dalam jangka panjang dan jangka pendek. Kebijakan fiskal baik 

dengan menambah defisit APBN ataupun dengan pajak, dan kebijakan 

moneter dengan menambah jumlah uang beredar akan berpengaruh 

terhadap pertumbuhan ekonomi  dan tingkat inflasi dalam jangka 

panjang. 

Untuk kebijakan jangka pendek, sebab  persentase pengaruhnya 

yang relatif kecil terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi, maka di 

perlukan kebijakan lain yang lebih efektif dalam upaya mendorong laju 

pertumbuhan ekonomi dan stbilitas inflasi. Namun bagaimanapun, 

73 

 

negara kita  hasil penelitian ini, kebijakan moneter ekspansif dengan 

menambah jumlah uang beredar dan kebijakan fiskal ekspansif dengan 

defisit anggaran lebih efektif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi  

dan inflasi dalam jangka pendek  (kebijakan fiskal dan moneter yang 

sama-sama ekpsansif).  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Read More