Tampilkan postingan dengan label perdagangan internasional 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perdagangan internasional 1. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

perdagangan internasional 1










Ad-valorem Tariff (tarif advalorem) adalah suatu pajak yang 
dikenakan berdasarkan persentase tetap dari harga per unit 
barang yang diimpor. 
Autonomous Tariff Suspension/ATS (penangguhan tarif) adalah 
tindakan pengecualian dari kondisi normal pengenaan tarif 
bea masuk impor barang agar perusahaan-perusahaan di 
negara tertentu dapat memakai  bahan baku, barang 
setengah jadi atau komponen lainnya yang tidak tersedia 
atau tidak diproduksi di dalam negeri untuk menstimulasi 
aktivitas ekonomi. 
Control Devisa (pembatasan valuta asing) adalah peraturan 
transaksi penduduk dan bukan penduduk dengan nilai mata 
uang domestik dan nilai mata uang lainnya yang merupakan 
bagian penting dari mekanisme pengendalian kegiatan 
ekonomi asing dengan mata uang asing.
Embargo adalah jenis kuota spesifik yang melarang perdagangan 
seperti hambatan pada impor barang tertentu yang dipasok 
ke negara tertentu, atau semua barang yang dikirim ke negara 
tertentu. 
Hambatan non-tarif adalah berbagai kebijakan perdagangan 
selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi sehingga 
mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional.
Hambatan tarif (tariff barrier) adalah suatu kebijakan perlindungan 
terhadap barang-barang produksi dalam negeri dari ancaman 
membanjirnya barang-barang sejenis dari luar negeri (impor).
Kuota adalah cara yang ditetapkan untuk membatasi jumlah 
maksimum yang dapat diimpor.
Kuota impor adalah pembatasan yang diberlakukan untuk jumlah 
barang tertentu yang dapat diimpor, misalnya volume beras 
impor yang diperbolehkan.
Lisensi adalah hambatan non-tarif yang paling umum dipakai  
pada peraturan impor langsung yang diberikan pemerintah 
untuk pengusaha dan memungkinkan pelaku usaha 
mengimpor jenis barang tertentu ke negara ini .
Local Content (persyaratan kandungan lokal) adalah kebijakan 
pemerintah yang meminta agar pada persentase/bagian 
tertentu dari produk dibuat di dalam negeri. 
Penundaan Administrasi dan Birokrasi adalah hambatan 
non-tarif di pintu masuk (pelabuhan) yang meningkatkan 
ketidakpastian dan biaya perdagangan. 
Perdagangan bebas adalah kebijakan ketika pemerintah tidak lagi 
melakukan diskriminasi terhadap impor atau ekspor, sehingga 
pasar bersifat lebih terbuka dengan sedikit pembatasan 
perdagangan.
Quantitative restriction (pembatasan kuantitatif) adalah bentuk 
hambatan administrasi langsung dari peraturan pemerintah 
untuk perdagangan luar negeri biasanya tercermin dalam 
kerugian konsumen karena harga menjadi lebih tinggi dan 
pilihan barang yang terbatas.



Specific Tariff (tarif spesifik) adalah biaya impor tetap yang 
dikenakan pada satu unit barang yang diimpor.
Standard adalah hambatan non-tarif yang mengambil tempat 
khusus di antara hambatan non-tarif lainnya dalam bentuk 
pelabelan dan pengujian produk agar dapat dijual di dalam 
negeri.
Tarif adalah hambatan perdagangan berupa penetapan pajak atas 
barang-barang impor atau barang-barang dagangan yang 
melintasi daerah pabean (custom area). 
Tariff Rate Quota (TRQ) adalah kuota yang ditetapkan untuk 
impor pada tingkat tertentu, untuk impor di atas tingkat yang 
ditentukan akan dikenakan tarif yang lebih tinggi. 
Trilema globalisasi adalah sebuah negara tidak bisa menerapkan 
secara penuh tiga hal sekaligus yakni, demokrasi, kedaulatan 
nasional, dan globalisasi
Voluntary Export Restraint (VER) adalah pembatasan ekspor 
sukarela yang dibuat oleh negara pengekspor bukan negara 
pengimpor, biasanya dikenakan atas permintaan negara 
pengimpor dan dapat disertai dengan VER timbal balik.


Kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek yang menentukan dalam mewujudkan kedaulatan pangan untuk komoditas pangan strategis yang akhirnya 
diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani. 
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan diperlukan kebijakan 
perdagangan internasional yang berpihak kepada petani, sehingga 
mereka dapat terlindungi dari gejolak perdagangan komoditas 
pangan di pasar dunia. 
Di pihak lain, kebijakan perdagangan internasional suatu 
negara, termasuk negara kita diatur oleh kesepakatan perdagangan 
multilateral di bawah World Trade Organization (WTO).  Kesepakatan 
dan forum kerja sama regional (yang bersifat mengikat atau tidak 
mengikat), seperti ASEAN, APEC, G-20, juga menganut prinsip-
prinsip yang sama dengan yang diatur dalam WTO.
Buku ini membahas berbagai aspek terkait perdagangan 
internasional untuk komoditas pangan strategis yaitu, beras, 
jagung, kedelai, bawang merah, gula dan daging sapi. Dalam 
rangka mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani, 
buku ini memberi  penekanan pada kebijakan pengendalian 
impor dan mendorong ekspor. 
Di pihak lain, kebijakan perdagangan internasional suatu 
negara, termasuk negara kita diatur oleh kesepakatan perdagangan 
multilateral di bawah World Trade Organization (WTO). 
Kesepakatan dan forum kerja sama regional (bersifat mengikat 
atau tidak mengikat), seperti ASEAN, APEC, G-20, juga menganut 
prinsip-prinsip yang sama dengan yang diatur dalam WTO.
Sebagai negara berkembang dan salah satu penghasil pangan 
terbesar, negara kita memang diuntungkan dengan kebijakan 
perdagangan internasional yang diterapkan WTO, karena 
terbukanya kesempatan ekspor ke negara-negara anggota WTO. 
Namun, di sisi lain, kebijakan perdagangan internasional juga 
secara nyata mengandung berbagai pengaruh negatif. ini 
terlihat dari perkembangannya, di mana negara kita telah menjadi 
net-importir country untuk beberapa komoditas pertanian sejak 
tahun 1995. 
Namun demikian, kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan, 
karena negara kita akan terperangkap dalam jebakan pangan (food 
trap) yang membuat petani/peternak menjadi tidak bergairah 
meningkatkan produksi. Ketergantungan terhadap impor yang 
semakin tinggi juga akan mengancam kedaulatan pangan. 
Sebagai salah satu kekuatan negara, kedaulatan pangan telah 
menjadi prioritas pemerintahan Jokowi dan tercantum sebagai 
program utama Nawa Cita. Melalui Kementerian Pertanian, 
pemerintah melakukan berbagai terobosan agar petani mampu 
meningkatkan produksi dan daya saingnya, sehingga produk-
produk pangan yang dihasilkan mampu bersaing, baik di pasar 
domestik maupun di pasar global. 
Terobosan yang dilakukan antara lain, memberi  bantuan 
subsidi berupa alat mesin pertanian, subsidi pupuk, benih, 
perbaikan irigasi, hingga perbaikan tata niaga pangan. usaha  
ini, terbukti mampu memberi  kontribusi cukup besar dalam 
peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani, bahkan 
mampu menekan angka kemiskinan.
Capaian-capaian dalam mewujudkan kedaulatan pangan 
dan kesejahteraan petani di era pemerintahan  Jokowi-JK diakui 
beberapa pihak. Asisten Director General FAO, Kundhawi 
Kadiresan, memberi  apresiasi pencapaian swasembada 
pangan Indonesia. 
Penghargaan yang sama juga dilontarkan berbagai lembaga 
internasional. Bank Dunia, dalam outlook Perkiraan Produksi Beras 
2018 yang dirilis pada Oktober 2017, menempatkan negara kita 
ix
sebagai negara yang mampu memasok kebutuhan pangan rakyat 
walau dunia tengah dilanda kekeringan.
Data Global Food Secirity Index The Economist juga menunjukkan 
ketahanan pangan negara kita mengalami peningkatan cukup 
signifikan. Jika pada 2016, ketahanan pangan negara kita berada di 
peringkat 71 dari 113 negara, maka di tahun 2017 peringkatnya 
melompat di posisi 21. Posisi tertinggi bila disandingkan dengan 
negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
Buku ini membahas berbagai aspek terkait perdagangan 
internasional untuk komoditas pangan strategis seperti beras, 
jagung, kedelai, daging sapi, gula dan lainnya. Buku ini 
juga mengurai berbagai learning outcomes negara kita dalam 
mengendalikan impor, untuk kemudian meningkatkan ekspor 
dan kesejahteraan petani.
Buku ini tersusun atas enam bab utama. Bab pertama 
memuat butir-butir pemikiran yang melandasi isi utama buku. 
Bab II menguraikan tinjauan kinerja pembangunan pangan dan 
dinamika kesejahteraan petani. Bab III menjelaskan dinamika 
kebijakan impor pangan.
Sementara pada Bab IV memuat tinjauan aturan WTO dalam 
pengendalian impor pangan. Adapun Bab V memuat tentang 
usaha  mengendalikan impor dan mendorong ekspor pangan untuk 
kesejahteraan petani. Buku ini ditutup dengan bab terakhir yang 
memuat kesimpulan, pembelajaran, dan perspektif perdagangan 
internasional komoditas pangan yang menyejahterakan petani.
Meskipun telah berusaha untuk menghindarkan kesalahan, 
penulis menyadari bahwa buku ini masih memiliki  kelemahan 
sebagai kekurangannya. Karena itu, kami berharap para pembaca 
berkenan menyampaikan kritikan dan saran agar dapat menuju 
kesempurnaan. 

 
PERDAGANGAN INTERNASIONAL 
UNTUK KESEJAHTERAAN PETANI
Seiring dengan laju pertambahan penduduk di negara kita yang semakin meningkat, kebutuhan pangan pun semakin besar. Badan Pusat Statistik mencatat, laju pertambahan penduduk 
di negara kita mencapai 2-3 persen/tahun. Itu artinya, penduduk 
negara kita bertambah sekitar 3 juta orang setiap tahun. 
Jika pada tahun 2014, jumlah penduduk negara kita tercatat 
sekitar 252,2 juta jiwa, maka pada tahun 2018 jumlah penduduk 
diperkirakan menjadi 265,02 juta jiwa. Dengan demikian selama 
periode 2014-2018 jumlah penduduk negara kita bertambah sekitar 
12,8 juta jiwa. ini berarti dibutuhkan tambahan konsumsi 
sekitar 1,7 juta ton beras. 
Besarnya kebutuhan pangan negara kita ini , akan berisiko 
besar juga bila tergantung pada pasokan pangan dari pasar dunia. 
Tidak saja mengancam ketahanan pangan, ketergantungan pada 
pasar dunia akan membuat negara kita kehilangan kedaulatan 
ekonomi maupun politik pada pergaulan internasional. 
2 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Sejarah menunjukkan bahwa pangan terkadang juga dipakai  
sebagai senjata dalam hubungan politik internasional. Pada masa 
lalu perang pangan (food war) terjadi secara langsung atau kasat 
mata. Namun gejala belakangan ini menunjukkan perang pangan 
terjadi secara terselubung, lebih dikenal dengan istilah proxy food 
war. Medan tempur proxy food war utamanya ialah penguasaan 
lahan dan air melalui investasi asing. Itulah sebabnya, semua 
negara berpenduduk besar selalu berusaha  berswasembada atau 
bahkan surplus pangan.  
Pemerintahan Jokowi-JK melalui visinya yang tertuang dalam 
Nawa Cita menaruh komitmen dan perhatian serius pada sektor 
pertanian, yaitu menitikberatkan pada usaha  mewujudkan 
Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani. Pemerintahan 
Jokowi-JK telah menetapkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan 
petani sebagai single goal dalam pembangunan pertanian. 
Karena itu, dalam berbagai kesempatan Menteri Pertanian Dr. 
Andi Amran Sulaiman selalu mengatakan, “Kita jangan mewariskan 
impor dan kemiskinan bagi generasi mendatang.” Pernyataan-
penyataan inilah yang menjadi satu inspirasi dalam membangun 
pertanian secara berkelanjutan. Bahkan harus mengedepankan 
asas manfaat yang diperoleh petani, bukan semata-mata pada 
kelompok pelaku usaha atau pihak tertentu. 
Visi dan komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap 
kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani tidak perlu diragukan 
lagi. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah 
mengamanatkan bahwa mewujudkan kedaulatan, kemandirian 
dan ketahanan pangan merupakan hal mendasar yang sangat besar 
arti dan manfaatnya untuk mendukung pelaksanaan kebijakan 
terkait penyelenggaraan pangan di Indonesia. 
Undang-Undang Pangan juga menyebutkan bahwa penye-
lenggaraan pangan bertujuan meningkatkan kemampuan mem-
produksi pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang 
beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan 
3Perdagangan Internasional untuk Kesejahteraan Petani |
gizi bagi konsumsi warga . Selain itu, mewujudkan tingkat 
kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang 
wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan warga . 
Untuk menyejahterahkan petani lebih diarahkan membuat 
petani mampu menghasilkan pendapatan dengan memanfaatkan 
sumber daya yang dapat dijangkau, seperti pemanfaatan lahan, 
peralatan kerja, teknologi, pupuk, pestisida dan air. Petani 
sesungguhnya memiliki kemampuan untuk memproduksi 
pangan, karena sudah dilakukan berulang-ulang dari musim 
ke musim. Namun, teknologi baru terus berkembang, sehingga 
petani perlu dibimbing agar penggunaannya tepat dan efisien.
Pada dasarnya jumlah pendapatan petani tergantung pada 
produksi yang diperoleh dan harga jual. Mengingat panen hampir 
selalu bersamaan, memicu  saat panen terjadi kelebihan hasil, 
sehingga sering tidak terserap pasar atau over produksi sesaat. 
Pada kondisi ini harga seringkali tidak memberi keuntungan layak 
kepada petani. 
Memang beberapa petani mampu menunda penjualan hasil 
panennya agar bisa memperoleh harga yang baik. Namun, 
umumnya petani menjual hasil panennya saat harga yang tidak 
menguntungkan, karena harus melunasi utang saprodi yang 
dipinjamkan. Keadaan ini terus bergulir, sehingga petani sering 
dirugikan ketika menjual hasil panennya.
Pada masa yang lalu, kondisi yang kurang menguntungkan 
petani ini  diperparah dengan masuknya komoditas sejenis 
yang diimpor. Dampaknya, harga menjadi semakin rendah. 
Seolah-olah ada skenario membuat harga menjadi lebih murah 
oleh mekanisme pasar.
Sementara, pengguna produk yang membeli untuk kebutuhan 
bahan baku industrinya menjadi lebih murah. Sebaliknya, bagi 
petani justru tidak menguntungkan, sehingga kesejahteraannya 
semakin sulit ditingkatkan. Kejadian seperti ini berjalan dari tahun 
ke tahun, sampai di era pemerintahan Jokowi-JK ini.
4 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Sebagai dampak ketidakpastian harga, membuat petani dalam 
membudidayakan komoditas tidak berani melakukan investasi 
teknologi, karena takut merugi saat harga jatuh. Karena itu, 
pemerintah melalui Perum Bulog, berkewajiban membeli produk 
petani saat panen raya, disimpan sementara, kemudian dilepas 
saat harga bergerak naik. 
Pembelian pada saat panen mengikuti Harga Pembelian 
Pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan dalam Inpres Nomor 
5 Tahun 2015. Bulog juga mendapat kewenangan mengimpor 
apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi. Namun, dengan 
tekanan perdagangan internasional membuat perubahan besar 
(reformasi), sehingga banyak aturan yang sebelumnya melindungi 
kepentingan petani menjadi berubah. Mengatasi situasi yang 
kurang menguntungkan ini, pemerintah menetapkan harga 
minimum dan mengendalikan impor.
Namun, sebagai salah satu anggota WTO, negara kita harus 
bersedia membuka pasar domestiknya bagi produk negara lain dan 
menerima segala konsekuensi dari perdagangan bebas. Selain itu, 
sebagai anggota, negara kita juga telah meratifikasi pembentukan 
WTO melalui UU Nomor 7 Tahun 1994. Artinya, negara kita harus 
mematuhi dan menjalani kebijakan-kebijakan yang didesain WTO.
Bersamaan dengan gerakan perdagangan multilateral yang 
diwadahi WTO, kesepakatan perdagangan bebas atau Free Trade 
Agreement (FTA) atau persetujuan perdagangan kawasan atau 
Regional Trade Agreement (RTA) juga telah berkembang sejak tahun 
1990-an. Misalnya, ASEAN Free Trade Area (FTA), ASEAN-China 
FTA (ACFTA), ASEAN-Australia-New Zealand FTA, ASEAN-
Korea FTA, ASEAN-India FTA, ASEAN-Japan FTA, Indonesia-
Japan Partnership Agreement, dan lainnya.
Secara teoretis, sebagaimana dikumandangkan berbagai ahli 
perdagangan internasional, apabila perpindahan dan pergerakan 
komoditas dari satu negara ke negara lain tidak dihambat oleh 
kebijakan perdagangan dan subsidi, maka kedua negara akan 
5Perdagangan Internasional untuk Kesejahteraan Petani |
saling diuntungkan. Dengan perkataan lain, jika suatu negara 
memiliki  keunggulan komparatif pada suatu komoditas dan 
negara lain tidak memiliki nya, tetapi memiliki keunggulan 
komparatif pada komoditas lainnya, maka kedua negara 
dipastikan akan mendapat manfaat dari perdagangan komoditas-
komoditas ini . 
Inilah pegangan dan acuan dalam perundingan di WTO untuk 
menyusun aturan-aturan pelaksanaannya. Di pihak lain, FTA oleh 
negara-negara yang terbatas, secara teori mungkin memberi  
manfaat bagi pesertanya, tetapi negara-negara yang bukan peserta 
akan dirugikan.
Pengaruh terhadap Pertanian
Selama ini negara-negara berkembang anggota WTO cenderung 
mengalami dampak negatif dari liberalisasi perdagangan, 
termasuk negara kita yang telah menjadi net-importir country untuk 
beberapa komoditas pertanian sejak tahun 1995. Sedangkan 
negara-negara maju seperti Amerika Serikat  (AS) dan Uni Eropa 
(UE), serta G-10 memperoleh manfaat yang signifikan dari AoA 
WTO ini . 
ini terjadi karena keengganan negara-negara maju untuk 
mematuhi AoA yang telah disepakati, terutama terkait dengan tiga 
pilar utama ini . Ekonom seperti Myrdal, Presbisch, Singer, 
serta Bhagwati menyatakan bahwa perdagangan internasional 
memicu  terjadinya ketimpangan dan kesenjangan antara 
negara maju dan negara berkembang. 
Ketimpangan regional terjadi karena adanya kekuatan pasar 
yang bebas dengan motif laba. Akibatnya, pembangunan terpusat 
pada suatu wilayah tertentu yang memicu  terjadinya migrasi 
tenaga kerja, modal, dan perdagangan. Negara maju yang memiliki 
basis industri yang kuat mengekspor hasil industrinya ke negara 
berkembang dengan harga murah. Kondisi itu mematikan industri 
6 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
kecil negara berkembang, sehingga mendorong ekspor produk-
produk primer yang harganya berfluktuasi (permintaannya 
bersifat inelastis di pasar ekspor). 
Pernyataan Myrdal tentang akibat perdagangan bebas antara 
negara maju dan negara berkembang adalah awal dari suatu 
usaha  pemiskinan dan stagnasi yang tercermin dengan jelas dalam 
perjanjian pertanian (AoA) WTO.
Di negara kita perdagangan bebas di sektor pertanian telah 
membuat pembangunan sektor pertanian menjadi terhambat. 
Keadaan ini disebabkan persaingan yang sangat ketat dari 
produk-produk pertanian sejenis yang diimpor. Bahkan hingga 
kini, produk pangan dalam negeri masih kalah bersaing dengan 
produk pangan impor. 
Impor pangan negara kita diperkirakan akan semakin besar pada 
masa mendatang. Hal itu terjadi, karena tidak adanya proteksi dari 
pemerintah seperti kemudahan tata niaga impor, penghapusan 
monopoli Bulog sebagai importir tunggal, serta dibebaskannya bea 
masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) beberapa komoditas 
pangan. Sementara subsidi ekspor oleh negara-negara maju seperti 
Amerika Serikat dan Eropa juga membuat pangan impor semakin 
menguasai pasaran dalam negeri.
Kebijakan Perdagangan Semakin Proteksionis
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, 
dengan kebijakan-kebijakannya yang bernuansa proteksionis, 
membuat seolah-olah era perdagangan bebas dan globalisasi akan 
segera berakhir. ini senada seperti yang dilakukan Pemerintah 
Inggris melalui referendum, yang akhirnya memutuskan keluar 
dari Uni Eropa (Brexit). 
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan apakah globalisasi 
sudah tidak punya prospek lagi? Untuk menjawab pertanyaan ini, 

ada baiknya untuk diketahui terlebih dahulu tren terbaru yang 
dinamai “trilema globalisasi (globalization trilemma)”. 
Trilema globalisasi adalah istilah yang dilontarkan Dani 
Rodrik, ekonom dan profesor dari the Harvard Kennedy School, 
Amerika Serikat. Menurut Rodrik, trilema globalisasi menjelaskan 
bagaimana sebuah negara tidak bisa menerapkan secara penuh 
tiga hal sekaligus yakni, demokrasi, kedaulatan nasional, dan 
globalisasi.
Karena itu Rodrik menyebut trilema ini sebagai “teori 
ketidakmungkinan”. Sebuah negara hanya mungkin menerapkan 
dua dari tiga ini . Satu hal harus dikorbankan. Jika ingin 
mempertahankan globalisasi, maka sebuah negara harus 
mengorbankan salah satu dari demokrasi atau kedaulatan 
nasional.
Menurut Forum Ekonomi Dunia atau WEF (World Economy 
Forum), kecenderungan yang ada saat ini mengarah pada 
keseimbangan antara demokrasi dan kedaulatan nasional. 
Akibatnya, ambisi integrasi perekonomian internasional semakin 
terbatas. Rodrik menyebut ini sebagai “versi terbatas 
globalisasi” (limited version of globalization). Karena itu, globalisasi 
punya dua sisi, sisi baik dan sisi gelap. 
Di satu sisi, globalisasi telah mendorong pertumbuhan 
perdagangan dan investasi dunia. Berkat pesatnya kemajuan 
teknologi, globalisasi juga mendorong industri untuk 
menyebarkan lokasi industri ke banyak negara, memanfaatkan 
peluang pemotongan biaya sekaligus memaksimalkan profit. 
Selain itu, globalisasi juga membantu orang di dunia keluar dari 
zona kemiskinan. Harga berbagai produk dan barang pun jadi 
lebih bersaing. 
Namun di sisi lain, globalisasi juga punya sisi gelap. Di negara 
tujuan lokasi industri, globalisasi seolah mengeksploitasi tenaga 
kerja. Mereka dibayar murah untuk menghemat ongkos produksi, 
bahkan buruh harus bekerja dalam kondisi yang memprihatinkan 
di negara-negara berkembang.Sedangkan di negara asal industri, 
beberapa besar warga kehilangan lapangan kerja, karena tingginya 
biaya produksi. Kelompok warga  inilah yang terkesan 
tersisih dan terpinggirkan oleh globalisasi. 
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (fenomena Brexit) dan 
kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden AS 
dilatarbelakangi kondisi ini. Dengan demikian, globalisasi pada 
akhirnya berada di persimpangan jalan yang bersejarah. Tak ada 
negara yang ingin melepas ideologi dan kedaulatan nasionalnya 
demi globalisasi. Sulit menemukan negara yang dengan sukarela 
membuka pasarnya lebar-lebar bagi produk, investasi sampai 
tenaga kerja asing. 
beberapa sektor harus dipertahankan dan proteksi tetap 
diperlukan untuk menjaga kedaulatan. Namun, mereka juga tidak 
ingin melepas sepenuhnya globalisasi. Karena tanpa globalisasi, 
sulit membayangkan perdagangan internasional bisa berkembang. 
Saat ini tidak ada satu negara pun yang bisa maju dengan hidup 
sendirian. Salah satu pilihannya, seperti dikatakan Rodrik, adalah 
menjalankan “versi terbatas globalisasi”. Yakni, versi perdagangan 
internasional dan investasi yang adil, bukan sekadar bebas.
Untuk melindungi produksi dalam negeri dari ancaman 
produk sejenis yang diproduksi di luar negeri, pemerintah suatu 
negara biasanya akan menerapkan atau mengeluarkan suatu 
kebijakan perdagangan internasional di bidang impor. Kebijakan 
perdagangan internasional di bidang impor dapat dikelompokkan 
menjadi dua macam, yaitu kebijakan hambatan tarif (tariff barrier) 
dan kebijakan hambatan non-tarif (non-tariff barrier). 
Hambatan tarif merupakan suatu kebijakan proteksionis 
terhadap barang-barang produksi dalam negeri dari ancaman 
membanjirnya barang-barang sejenis yang berasal dari luar negeri 
(impor). Dengan hambatan tarif yang besar, pendapatan negara 
akan meningkat sekaligus membatasi permintaan konsumen 
terhadap produk impor dan mendorong konsumen memakai  
produk domestik. Sementara, hambatan non-tarif adalah berbagai 
kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan 
distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan 
internasional.
Dalam kondisi tertentu negara anggota WTO juga dapat 
melakukan safeguard measures sebagai langkah melindungi industri 
domestik dari kerugian karena peningkatan impor. Dengan 
ketentuan ini, diharapkan negara ini  dapat melakukan 
penyesuaian terhadap produk tertentu yang menghadapi tekanan 
dari impor barang karena terjadinya persaingan atau kompetisi 
secara internasional. 
Safeguards measures bersifat sementara dan semata-mata dalam 
rangka proses penyesuaian industri domestik yang menghadapi 
tekanan dari produk impor. Safeguards measures tidak dapat 
dipakai  memproteksi industri domestik dalam jangka panjang.
Di Indonesia, kebijakan pengendalian impor, khususnya 
komoditas pangan ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan 
pangan dan kesejahteraan petani. negara kita dengan penduduk yang 
besar membutuhkan kedaulatan pangan. Sebab, ketergantungan 
pada pangan impor akan membuat negara kita terperangkap 
dalam jebakan pangan (food trap). Jika hal itu sampai terjadi, maka 
petani/peternak menjadi tidak bergairah meningkatkan produksi.
Ketergantungan terhadap impor yang semakin tinggi juga akan 
berisiko besar terhadap ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. 
Komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap pangan dan 
pertanian tidak diragukan. Pada 17 Oktober 2016, BPS merilis 
beberapa data strategis tentang perkembangan perdagangan. 
Data ini  mengungkapkan kebijakan dan program strategis 
Kementerian Pertanian sudah on the track dalam meningkatkan 
ekspor, menurunkan impor dan mendongkrak kesejahteraan 
petani. 
Data BPS ini  menyebutkan, ekspor nonmigas pada 
September 2016 mencapai 11,45 miliar dolar AS atau naik 2,85 
persen dibandingkan ekspor September 2015. Impor nonmigas 
September 2016 mencapai 9,55 miliar dolar AS atau naik 0,95 
persen dibandingkan September 2015. Barang nonmigas ini  
yakni hasil perkebunan, pertanian, peternakan, perikanan, dan 
hasil pertambangan yang bukan berupa minyak bumi dan gas.
Uraian ini  cukup untuk menjawab kenapa Menteri 
Pertanian Dr. Andi Amran Sulaiman demikian bersemangat 
mengendalikan impor dan mendorong ekspor pangan. ini 
tidak lain adalah untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan 
kesejahteraan petani.  
Buku ini akan membahas kebijakan dan kinerja perdagangan 
internasional untuk beberapa komoditas pangan strategis seperti 
beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula dan lainnya. Buku ini 
terdiri atas enam bab utama. Bab pertama memuat latar belakang 
dan butir-butir pemikian yang melandasi isi utama buku. 
Bab kedua menguraikan tinjauan kinerja pembangunan pangan 
dan dinamika kesejahteraan petani. Hasil diagnosa ini  
merupakan dasar untuk melihat prospektif perdagangan pangan 
dan kemampuan negara kita merebut kembali  pasar domestik dari 
produk pangan impor. 
Pada bab ketiga, menguraikan dinamika kebijakan impor 
pangan. Sedangkan bab keempat memuat tinjauan aturan WTO 
dalam pengendalian impor pangan. Sementara bab kelima tentang 
usaha  mengendalikan impor pangan untuk kesejahteraan petani. 
Terakhir, bab keenam menyampaikan kesimpulan, pembelajaran, 
dan perspektif tentang perdagangan internasional komoditas 
pangan yang menyejahterakan petani.
 
PANGAN DAN KESEJAHTERAAN 
PETANI DI ERA GLOBALISASI 
Pangan dan kesejahteraan merupakan dua kata kunci dalam merangkai kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia.  Negara yang sejahtera dengan kecukupan pangan tentunya 
akan memperkuat kebijakan umum nasional. Kesejahteraan petani 
akan terganggu bila terjadi impor komoditas sejenis dari negara 
lain.
Karena itu, kemajuan produksi pangan menjadi perhatian 
penting dalam mewujudkan kesejahteran petani. Di sisi lain 
ada  harapan yang diimpikan seluruh warga  Indonesia, 
yaitu kebutuhan pangan dalam negeri dapat dipenuhi dari 
produksi pangan sendiri.
Dinamika Produksi Pangan 
Seiring dengan pertumbuhan penduduk negara kita yang saat ini 
(2017) sudah berkisar 260 juta jiwa, kecukupan pangan nasional 
menjadi hal yang sangat penting. Bahkan di tingkat regional 
maupun global tetap menjadi isu penting bila suatu negara 
tertentu terjadi kekurangan atau kegagalan dalam kecukupan 
pangan. Beberapa komoditas penting yang menjadi perhatian 
dalam kecukupan pangan nasional yaitu, beras, jagung, bawang 
merah, cabai, gula, dan daging sapi.
Beras
Saat ini produksi beras didominasi petani kecil (kepemilikan 
lahan di bawah 1 ha) dengan jumlah rumah tangga usaha tanaman 
pangan (padi dan palawija) mencapai 17,73 juta rumah tangga atau 
67,83 persen dari total rumah tangga usaha tani (Sensus Pertanian, 
2013). Selama tiga tahun terakhir produksi padi nasional terus 
meningkat. 
Produksi padi pada tahun 2012 berada pada angka 69 juta ton 
dan terus meningkat menjadi 81,8 juta ton pada tahun 2017. Hal 
ini seiring dengan perkembangan luas panen sawah yang terus 
meningkat dari 13,4 juta ha pada tahun 2012 menjadi 15,78 juta ha 
pada tahun 2017 
Untuk mengganti lahan sawah yang beralih fungsi, pemerintah 
terus melakukan usaha  pencetakan sawah baru, baik di Pulau 
Jawa maupun luar Pulau Jawa. Namun, pencetakan sawah baru 
difokuskan di luar Jawa karena persaingan penggunaan lahan 
di Pulau Jawa sangat tinggi. Banyaknya sawah yang beralih 
fungsi menjadi lahan pemukiman dan industri di Pulau Jawa 
menghambat usaha  peningkatan produksi beras. 
Grafik perkembangan produksi padi dan luasan sawah dari 
tahun 2012-2017 tersaji dalam Gambar 1. 
Pola tanam padi di negara kita secara umum memiliki  pola 
yang sama setiap tahun, yakni terjadi dua pola puncak tanam. 
Tanam pertama pada musim penghujan terjadi pada September-
Desember, yang puncaknya terjadi pada Desember. Kemudian 
perlahan mengalami penurunan pada Januari-Februari. Tanam 
kedua terjadi pada April-Mei, saat itu sawah irigasi masih dapat 
ditanam. Sementara sawah tadah hujan sudah tidak mampu 
berproduksi lagi. Tanam terendah terjadi pada peralihan antara 
musim kemarau dan penghujan, yaitu Juli-September (Gambar 2).
Sebaliknya pola panen berbeda dengan pola tanam. ini 
berkaitan dengan umur panen padi pada kisaran 90-110 hari. 
Sebagamana pola tanamnya, pola panen padi secara umum 
membentuk dua kurva, yaitu panen pertama terjadi pada Januari 
– April dengan puncak pada Maret. Panen kedua terjadi pada 
Mei – Agustus dengan puncak panen terjadi pada Agustus. Pada 
Gambar 2 dapat dilihat puncak panen tertinggi pada tahun 2014 
dan 2015 terjadi pada Maret.
Sudah diketahui, usaha tani padi sangat dipengaruhi iklim. 
Perubahan iklim tahunan dengan terjadi pergeseran bulan kering 
dan bulan hujan dapat mempengaruhi jadwal tanam. Karena 
itu, keterlambatan tanam akan memundurkan waktu panen 4-8 
minggu. Selanjutnya berdampak pada mundurnya musim tanam 
kedua dan meningkatkan kemungkinan musim tanam kedua di 
daerah tadah hujan lahan tidak cukup air (lengas).
ada  dua potensi risiko berkaitan dengan bergesernya 
musim tanam padi di sebagian besar wilayah Indonesia. Pertama, 
musim gadu makin panjang. Kedua, meningkatnya risiko keke-
ringan musim tanam kedua.
Panjangnya musim gadu memicu  rumah tangga miskin 
harus menerima harga bahan pangan naik akibat terlambatnya 
waktu panen. Jika tidak dilakukan usaha  percepatan tanam, maka 
pendapatan buruh tani dan petani gurem akan terus berkurang. 
Hasil survei rumah tangga yang dilakukan WFP baru-baru 
ini menunjukkan bahwa buruh tani terkena dampak kekeringan 
paling parah dengan menurunnya pendapatan. Lalu, diikuti 
dengan perilaku bertahan hidup (coping) yang negatif, seperti 
menurunkan pengeluaran untuk pangan (BKP, 2016).
Jagung
Jagung merupakan salah satu bahan pangan pokok sesudah  beras. 
Di beberapa daerah seperti Madura dan Nusa Tenggara, jagung 
pernah menjadi makanan pokok. Jagung menjadi komoditas 
pangan strategis nasional. Saat ini jagung dominan dipakai  
sebagai bahan baku pakan ternak. Fluktuasi stok dan harga jagung 
akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan harga ternak dan 
turunannya seperti daging dan telur. 
Selama ini kebutuhan nasional jagung dipenuhi dari produksi 
dalam negeri dan impor. Sebelum pemerintahan Jokowi-JK, 
negara kita belum mampu memenuhi kebutuhan jagung nasional 
karena luasan lahan produksi jagung masih kurang. Ditambah 
dengan pola usaha tani jagung yang mencapai puncak panen 
hanya pada Februari, Maret dan April. Pada bulan lainnya 
produksi jagung cenderung konstan.
Data menyebutkan, luasan lahan jagung nasional pada tahun 
2012 tercatat 3,9 juta ha, sedikit mengalami penurunan sampai 
tahun 2015. Namun pada tahun 2016 dan 2017, luasan panen 
melonjak sekitar 5,3 juta ha. Jika produksi jagung pada tahun 2012 
hanya sebesar 19,37 juta ton, kemudian meningkat cukup besar 
pada tahun 2016 dan 2017, masing-masing sebesar 23,57 juta ton 
dan 27,95 juta ton (Pusdatin 2016b).

Kedelai
Kedelai merupakan bahan pokok utama bahan baku pembuatan 
tahu dan tempe. Keduanya ini merupakan lauk utama bagi masya-
rakat Indonesia. Kedelai juga dimanfaatkan untuk kebutuhan 
pembuatan kecap, tauco, dan sari kedelai. Karena produksi kedelai 
masih belum bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri,membuat 
volume impor cukup besar hingga mencapai 6,33 juta ton (2016).
Sumber negara-negara asal impor kedelai adalah Amerika Seikat, 
Brasil, dan Argentina.
Sementara produksi dalam negeri pada tahun 2016 hanya 
berkisar 860 ribu ton. Salah satu faktor rendahnya produksi adalah 
produktivitas kedelai yaitu hanya berkisar 1,4 ton/ha. Padahal 
rata-rata produktivitas kedelai dunia sudah mencapai 2,5 ton/ha. 
Data menyebutkan, luas panen kedelai negara kita pada tahun 
2012 sebesar 568 ribu ha dengan produksi 843 ribu ton. Hingga 
tahun 2016, perkembangannya relatif sama yaitu luas panen 577 
ribu ha dan produksi sebanyak 860 ribu ton. Meski pada tahun 
2014 dan 2015, produksi kedelai sempat mencapai hampir 1 juta 
ton (Gambar 3). 
Stagnannya produksi kedelai tidak lepas karena adanya 
kompetisi dengan komoditas pangan lainnya, khususnya jagung. 
Petani cenderung memilih jagung, karena harganya yang lebih 
menguntungkan. Jagung juga merupakan salah satu pesaing 
dalam penggunaan lahan pada musim kemarau.
Gambar 4. Luas panen dan produksi kedelai tahun 2012-2016
Bawang Merah
Bawang merah merupakan salah satu komoditas strategis nasional 
yang dipakai  secara luas sehari-hari dengan konsumsi sebesar 
2,71 kg/kapita/tahun. Sebagian besar bawang merah dihasilkan 
petani di Pulau Jawa. Panen bawang merah di Pulau Jawa pada 
periode 2010-2015 menyumbang 73,25 persen total panen nasional. 
Sisanya tersebar di luar Pulau Jawa, terutama Nusa Tenggara 
Barat.
Luas panen bawang merah negara kita pada tahun 2012 sebesar 
99.519 ha dengan produksi 964.195 ton. Namun pada tahun 2016 
luas panen meningkat menjadi 149.635 ha dengan produksi 
1.446.860 ton. Terjadi peningkatan produksi sebesar 50,05 persen 
(Pusdatin 2016c). 
Luas panen bawang merah di Pulau Jawa tumbuh 4,82 persen/
tahun. Sementara luas panen luar Pulau Jawa sebesar 2,71 persen/
tahun. Selama periode 2011-2015, rata-rata pertumbuhan luas 
panen bawang merah di luar Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan 
Pulau Jawa. ini mengindikasikan semakin banyak petani 
mampu membudidayakan bawang merah berkat dukungan 
pemerintah.
Produktivitas bawang merah selama kurun waktu 2012-
2016 secara umum tidak mengalami banyak perubahan. Rata-
rata peroduktivitas bawang merah negara kita sebesar 9,9 ton/ha. 
Produktivitas petani bawang di Pulau Jawa lebih baik daripada di 
luar Pulau Jawa. 
Gambar 5. Luas panen dan produksi bawang merah tahun 2012-2016
Gula
Industri gula berbahan baku tebu telah ada di wilayah nusantara 
sejak era penjajahan Belanda. Bahkan negara kita pernah meng-
alami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an. Saat itu 
jumlah pabrik gula yang beroperasi sebanyak 179 pabrik, dengan 
produktivitas sekitar 14,8 persen dan rendemen 11-13,80 persen. 
Keberhasilan ini  karena didukung kemudahan memperoleh 
lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi dan disiplin 
dalam penerapan teknologi. 
Namun produksi gula GKP selama 2008-2017 terus menurun. 
Jika pada tahun 2008 sebanyak 2,668 juta ton, maka tahun 2012 
menjadi 2,591 juta ton, bahkan tahun 2017 hanya sebesar 2,11 
juta ton (Gambar 6). Pada kurun waktu 2013-2017, hampir semua 
parameter produksi menunjukkan pertumbuhan yang negatif. 
Gambar 6. Jumlah produksi tebu dan gula 
Luas panen tebu, selama kurun waktu 2012-2016 mengalami 
fluktuasi (Gambar 7). Pada tahun 2012 luas panen tebu nasional 
sebesar 451.255 ha dan meningkat menjadi 478.109 ha pada tahun 
2014. Tapi, kemudian turun menjadi 445.520 ha pada tahun 2016 
(Pusdatin 2016e). Penurunan luas panen tebu karena daya saing 
komoditas tebu yang terus menurun. ini akan dibahas lebih 
lanjut pada bagian selanjutnya. 
Gambar 7. Luas panen dan volume produksi tebu
Daging Sapi
Produk daging sapi merupakan komoditas unggulan ternak kedua 
sesudah  unggas (ayam potong). Kontribusi daging sapi terhadap 
kebutuhan daging nasional sebesar 23 persen dan diperkirakan 
akan terus mengalami peningkatan. Secara umum, kebutuhan 
daging sapi masih dipenuhi impor daging maupun sapi bakalan. 
Perkembangan populasi sapi potong di negara kita mengalami 
peningkatan dari tahun 2013-2017 (Gambar 8). Pada tahun 2013 
jumlah populasi sapi potong nasional sebesar 12 jutaan ekor dan 
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 7 persen. Sementara 
produksi daging sedikit mengalami penurunan pada tahun 2014, 
tapi kemudian kembali meningkat pada tahun 2015 hingga 2017. 
21Pangan dan Kesejahteraan Petani di Era Globalisasi  |
Pada tahun 2013 produksi daging sapi tercatat 504.818 ton dan 
produksi tertinggi pada tahun 2017 sebesar 531.760 ton 
Gambar 8. Produksi daging sapi dan populasi sapi
Kesejahteraan Petani
Peningkatan kesejahteraan petani merupakan salah satu dari 
visi dan misi pembangunan pertanian. Indikator/alat ukur 
yang dipakai untuk menilai tingkat kesejahteraan petani adalah 
Nilai Tukar Petani (NTP), Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP), 
kemiskinan di pedesaan dan gini rasio di perdesaan. 
Konsep Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan rasio antara 
indeks yang diterima petani dengan indeks yang dibayar petani. 
Sementara, Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) merupakan 
ukuran kemampuan rumah tangga pertanian dalam memenuhi 
kebutuhan usaha pertaniannya. 
Selanjutnya, gini rasio atau indeks gini merupakan ukuran 
ketimpangan atau pemerataan pendapatan di suatu wilayah. Nilai 
indeks gini berada pada 0-1.Angka 0 artinya pendapatan merata 
sempurna atau diterima semua orang sama rata. Sedangkan nilai 
1 menunjukkan timpang sempurna, artinya pendapatan hanya 
diterima satu orang atau satu kelompok tertentu.
Nilai Tukar Petani
Pada tahun 2012, semua NTP dari setiap subsektor berada pada 
neraca positif (di atas 100). NTP tertinggi diraih petani pada 
subsektor hortikultura sebesar 109,03, diikuti subsektor tanaman 
pangan sebesar 104,71 dan terakhir subsektor peternakan sebesar 
101,33. 
Gambar 9. Nilai Tukar Petani (NTP) dari tiga subsektor utama
Namun, NTP subsektor hortikultura mulai tahun 2013 terus 
mengalami penurunan tiap tahun. Penurunan tajam terjadi pada 
tahun 2014, yaitu turun 5,8 poin dari tahun sebelumnya atau 
menjadi 102,55. Hal serupa dialami petani tanaman pangan yang 
pada tahun 2014 turun 5,73 poin menjadi 98,89, posisi terendah 
dalam rentang waktu tahun 2012-2016. 
Pada tahun 2014 dan 2016 NTP subsektor hortikultura 
menunjukkan angka di bawah 100. Artinya petani tidak mampu 
memenuhi kebutuhannya dari usaha tani yang dilakukan. 
Sebaliknya, nilai NTP peternak justru mengalami kenaikan cukup 
tinggi pada tahun 2014 sebesar 4,6 poin menjadi 106,65 dan terus 
meningkat hingga 2016 menjadi 107,57 (Pusdatin 2017).
Ketimpangan Pendapatan
Secara umum tingkat ketimpangan pendapatan perdesaan dari 
tahun 2011 sampai 2017 berada pada tingkat ketimpangan yang 
rendah. Pada tahun 2011 indeks ketimpangan berada pada angka 
0,329. Kemudian menurun menjadi 0,324 atau turun sebesar 1,5 
persen pada tahun 2013. Pada tahun 2014 terjadi kenaikan indeks 
ketimpangan sebesar 3,7 persen menjadi 0,336. Kemudian kembali 
turun hingga tahun 2017 menjadi 0,320 (BPS, 2018a). 
Ketimpangan pendapatan yang terjadi di perdesaan akibat 
adanya perbedaan produktivitas yang dimiliki setiap individu.
Satu individu/kelompok memiliki  produktivitas yang lebih 
tinggi dibandingkan individu/kelompok lain. 
Faktor-faktor yang diduga memiliki keterkaitan erat dengan 
ketidakmerataan distribusi pendapatan di antaranya, faktor 
internal rumah tangga tani, yaitu distribusi penguasaan lahan 
pertanian, distribusi pendidikan, dan angkatan kerja rumah tangga. 
Sedangkan faktor eksternalnya adalah distribusi pendapatan 
yang berasal dari kegiatan dan usaha di sektor pertanian. Tidak 
meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan 
pendapatan yang merupakan awal munculnya masalah 
kemiskinan. 
24 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Gambar 10. Perkembangan gini ratio tahun 2011-2017
Tingkat Kemiskinan
Secara keseluruhan, jumlah penduduk miskin negara kita pada 
September 2017 berkurang sebanyak 1,18 juta jiwa menjadi 26,58 
juta jiwa dibanding posisi September tahun sebelumnya. Dengan 
demikian, tingkat kemiskinan nasional berkurang menjadi 10,12 
persen dari sebelumnya. Meskipun demikian tingkat kemiskinan 
perdesaan selalu lebih tinggi dibanding perkotaan sejak 1993. 
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi 
kemiskinan perdesaan pada tahun 2017 mencapai 13,47persen dari 
populasi, sementara perkotaan hanya 7,26 persen. Pada tahun 2017, 
jumlah penduduk miskin perdesaan berkurang sekitar 970 ribu 
jiwa atau menjadi 26,58 juta jiwa dibandingkan tahun sebelumnya. 
Sementara jumlah penduduk miskin perkotaan berkurang sekitar 
220 ribu jiwa atau menjadi 10,27 juta jiwa (BPS 2018b).
Selama periode 2012-2017, tingkat kemiskinan di pedesaan 
yang cenderung mengalami penurunan. Artinya lebih banyak 
25Pangan dan Kesejahteraan Petani di Era Globalisasi  |
rumah tangga petani mampu memperbaiki taraf kesejahteraannya 
menjadi lebih baik. ini mengindikasikan adanya beberapa 
keberhasilan di sektor pertanian secara umum di Indonesia. 
Gambar 11. Persentase penduduk miskin di kota dan pedesaan
Kesejahteraan Petani di Era Perdagangan Bebas
Perdagangan bebas adalah kebijakan ketika pemerintah tidak 
lagi melakukan diskriminasi terhadap impor atau ekspor, 
sehingga pasar bersifat lebih terbuka dengan sedikit pembatasan 
perdagangan. Namun, dalam beberapa hal pemerintah umumnya 
masih menerapkan kebijakan proteksionis untuk komoditas yang 
bersifat strategis. 
Kebijakan proteksionis ini  dilakukan untuk melindungi 
petani dari dampak perdagangan bebas. Meski demikian, negara kita 
sebagai salah satu anggota WTO harus taat terhadap aturan-aturan 
di dalamnya. Implikasi dari perjanjian WTO adalah bahwa semua 
negara secara bertahap harus melakukan penghapusan terhadap 
proteksi-proteksi perdagangan antarnegara.
Selain kerja sama multilateral seperti WTO, negara kita saat ini 
ikut serta dalam perjanjian perdagangan bebas regional di wilayah 
ASEAN (AFTA). Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing 
ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN 
sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan 
meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. 
Selain itu, ASEAN juga menjalin kerja sama perdagangan 
bebas bersama Cina, yaitu ACFTA pada tahun 2010 dan lima 
negara lainnya seperti India, Korea, Jepang, Australia, dan Selandia 
Baru. Kerja sama ekonomi ini meliputi pembebasan bea masuk 
barang dari negara mitra ke ASEAN dan sebaliknya. Pembebasan 
bea masuk barang dimaksudkan untuk memperlancar distribusi 
barang yang berakibat pada kemajuan perekonomian kedua belah 
pihak. 
Kerja sama itu dapat menciptakan ancaman sekaligus peluang. 
Ancaman produk luar yang mampu bersaing secara harga 
maupun kualitas dapat menggerogoti pasar produk pertanian. 
Sebaliknya, produk pertanian yang kita hasilkan akan lebih mudah 
menembus pasar mancanegara. Dalam menghadapi tantangan 
sekaligus mengisi peluang ini, diperlukan produk pertanian yang 
berkualitas. Daya saing produk yang dihasilkan harus mampu 
mengimbangi produk luar. 
Dengan memperhatikan ketiga indikator kesejahteraan petani 
yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat secara umum 
bahwa kesejahteraan petani mengalami perbaikan. Didukung 
dengan peningkatan produksi pertanian yang terus meningkat 
dari tahun ke tahun, memberi  optimisme bahwa kesejahteraan 
petani akan terus membaik. 
Menanggapi situasi ini, pemerintah melalui Kementerian 
Pertanian berusaha  melakukan terobosan kebijakan dalam rangka 
mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Ada 
beberapa langkah yang diambil. Pertama, memperbaiki regulasi 
yang berpotensi menghambat usaha  percepatan pembangunan 
sektor pertanian. Kedua, peningkatan dan pemerataan infrastruktur 
pendukung pertanian, berupa perbaikan jaringan irigasi, 
pembangunan embung, optimasi lahan sawah dan mekanisasi 
pertanian. 
Ketiga, peningkatan sarana produksi pertanian melalui subsidi 
pupuk, penyediaan bibit dan asuransi usaha tani untuk menjamin 
petani. Keempat, perbaikan manajemen dan koordinasi lintas 
sektoral. Kelima, peningkatan nilai tambah produk pertanian, 
terutama produk-produk yang akan diekspor, sehingga tidak 
hanya mengirim bahan baku, namun mampu mengirim bahan 
setengah jadi atau barang jadi. 
Keenam, memperbaiki rantai pasok. Untuk itu, pemerintah 
melakukan perlindungan terhadap petani melalui kebijakan HPP, 
HET, harga atas dan harga bawah, serta optimalisasi BUMN untuk 
menyerap hasil pertanian. Ketujuh, melalui pengendalian ekspor 
dan impor.
Kinerja Ekspor dan Impor Pangan
Dinamika perdagangan pangan negara kita relatif bervariasi 
tergantung kapasitas produksi dan kebutuhan kecukupan pangan 
nasional.  negara kita cukup berperan aktif dalam usaha  mencukupi 
kebutuhan pangan nasional, baik melalui produk sendiri ataupun 
impor. Ekspor dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri 
sudah terpenuhi.
Beberapa komoditas yang menjadi perhatian penting dalam 
perdagangan internasional pangan adalah beras, bawang merah, 
jagung, kedelai, daging sapi, dan gula. 

Beras
negara kita merupakan produsen beras terbesar ketiga sesudah  Cina 
dan India. Walaupun termasuk produsen terbesar, kebutuhan 
konsumsi nasional belum dapat dipenuhi hasil produksi dalam 
negeri. Karena itu kita masih memerlukan impor beras untuk 
memenuhi kebutuhan ini . Sumber impor beras berasal dari 
Vietnam, Thailand, India, Pakistan dan Myanmar.
Di sisi lain, negara kita juga mengekspor beras ke luar negeri, 
tetapi dalam porsi yang sangat kecil dibandingkan dengan jumlah 
konsumsi dalam negeri. negara kita tidak termasuk ke dalam negara 
pengekspor beras utama dunia. Beras yang diekspor merupakan 
beras kualitas premium dan memiliki  nilai ekonomi lebih 
tinggi.
Impor beras tahun 2012 tercatat 1,8 juta ton dengan nilai 945 
juta dolar AS (Gambar 12), kemudian turun pada tahun tahun 
selanjutnya.Hingga pada 2017 tidak ada impor beras sama sekali. 
Sementara ekspor beras cenderung mengalami peningkatan dari 
tahun 2012 hingga 2017. Walaupun pada tahun 2015 mengalami 
penurunan ekspor. Pada tahun 2012 volume ekspor beras dan 
olahan beras total 1.085 ton, namun di tahun 2017 tercatat 
volumenya meningkat menjadi 3.433 ton (Pusdatin 2016a). 
ini menunjukkan semakin banyak petani mampu 
memproduksi beras berkualitas tinggi yang memiliki  daya 
saing lebih baik untuk menembus pasar internasional. Tentu 
menjadi peluang untuk ditingkatkan, karena proporsi beras yang 
diekspor masih sangat kecil dibandingkan total produksi beras 
nasional.

Gambar 12. Volume dan nilai ekspor impor beras Indonesia
Jagung
negara kita termasuk ke dalam 10 negara penghasil jagung terbesar 
di dunia, meski baru menempati posisi kesembilan dengan porsi 
2,2 persen dari total produksi dunia. Untuk memenuhi kebutuhan 
konsumsi dalam negeri, negara kita selama ini masih harus 
mengimpor jagung dari India, Brasil, Argentina, Thailand, dan 
Paraguay.
Impor jagung cenderung meningkat dari tahun 2012 hingga 
2015.Impor tertinggi mencapai 3,5 juta ton pada tahun 2015, 
kemudian mengalami penurunan pada tahun 2016. Bahkan tahun 
2017 hanya 394 ribu ton berupa produk jagung olahan untuk 
konsumsi warga . Bahkan impor untuk kebutuhan pakan 
ternak telah dihentikan sejak tahun 2017. 
Sementara ekspor jagung relatif lebih stabil sekitar 50 ribuan 
ton dengan lonjakan ekspor pada tahun 2015 mencapai 250 ribu 
ton. Perkembangan ekspor terus menggembirakan, pada April 
2018 negara kita mampu mengekspor jagung ke Filipina sebanyak 
500 ribu ton.
30 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Gambar 13. Volume dan nilai ekspor impor jagung Indonesia
Bawang Merah
Saat ini negara kita belum termasuk negara yang masuk penghasil 
bawang merah terbesar di dunia. Bahkan untuk memenuhi 
kebutuhan dalam negeri kita masih impor bawang merah dalam 
jumlah cukup besar terutama dari negara India. 
Untuk merangsang petani meningkatkan produksi, pemerintah 
menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 60/
Permentan/OT.140/9/2012 tentang Kebijakan Pembatasan Impor 
Bawang Merah. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi petani 
dalam negeri dengan mempertimbangkan jadwal panen, serta 
kemampuan produksi dalam negeri sebelum melakukan impor. 
Sejak tahun 2013 impor bawang merah mengalami penurunan 
sebesar 22.12 persen dibandingkan tahun 2012 (Gambar 14).
Kemudian tahun 2014 turun 20,09 persen atau menjadi 74.903 
ton. Tahun 2015 turun lagi 75,91 persen atau menjadi 15.796 ton. 
Bahkan tahun 2017, negara kita sudah tidak impor bawang merah 
segar, yang ada hanya impor bawang merah olahan sebesar 193 
ton.
Gambar 14. Volume dan nilai ekspor impor bawang merah
Seiring dengan penerbitan Permentan Nomor 60 Tahun 2012, 
ekspor bawang juga turun sebesar 73,6 persen dari 19.064 ton pada 
tahun 2012 menjadi 4.962 ton pada tahun 2013. Artinya produksi 
bawang dalam negeri lebih diutamakan untuk memenuhi 
kebutuhan sendiri. Meskipun demikian dengan berbagai program 
terobosan untuk meningkatkan kapasitas produksi bawang merah 
domestik, mulai tahun 2017 negara kita sudah mampu mengekspor 
bawang merah sebanyak 7.750 ton, baik segar maupun produk 
olahan.
Cabai
Ekspor dan impor cabai dilakukan dalam wujud cabai segar dan 
cabai olahan. Perkembangan volume ekspor cabai dari tahun 
2012-2016 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan rata-
rata laju pertumbuhan sebesar 12,36 persen/tahun (Gambar 15). 
Volume ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2015 sebesar 14.888 
ton dengan nilai 37,95 juta dolar AS. Sebagian besar ekspor 
dilakukan dalam bentuk cabai olahan. Namun, tahun 2017 ekspor 
menurun tajam diikuti dengan impor yang meningkat dari tahun 
sebelumnya. Sumber impor utama dari negara India dan China.

Gambar 15. Volume dan nilai ekspor-impor cabai
Gula
Sampai saat ini kebutuhan gula dalam negeri masih diisi produk 
impor. Fluktuasi produksi tebu dan kecenderungan penurunan 
produksi gula dalam negeri semakin meningkatkan angka impor. 
Selama periode 2012 hingga 2017, impor tertinggi terjadi pada 
tahun 2016 hingga mendekati 5 juta ton dengan nilai lebih dari 2 
juta dolar AS.
Selama ini gula yang diimpor adalah jenis GKP (Gula Kristal 
Putih), GKR (Gula Kristal Rafinasi), dan GKM (Gula Kristal 
Mentah). Impor berasal dari negara Thailand dan Australia. GKM 
merupakan gula yang paling banyak diimpor, karena merupakan 
bahan mentah yang akan diolah menjadi GKR. 
Gambar 16. Volume dan nilai ekspor-impor gula
Daging Sapi
Perkembangan konsumsi daging dalam negeri tidak diikuti 
dengan produksi daging sapi yang memadai. Karena itu untuk 
memenuhi konsumsi dalam negeri masih ada impor daging sapi 
dari Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, 
dan Spanyol. Tren impor daging sapi cenderung meningkat, 
dengan volume impor tertinggi pada tahun 2014 sebesar 246 ribu 
ton dalam bentuk daging segar dan 74 ribu ton dalam bentuk 
olahan daging sapi. 
Kemudian mulai tahun 2015, pemerintahan Jokowi-JK 
menerbitkan kebijakan pembatasan impor daging sapi untuk 
meningkatkan gairah peternak sapi. Dalam kurun waktu 2015-
2017 terjadi penurunan angka impor, namun belum terlalu besar. 
Sementara itu ekspor daging sapi cenderung stabil dengan angka 
yang sangat kecil.
Gambar 17. Volume dan nilai ekspor-impor daging sapi dan olahan
Merebut Kembali Pasar Domestik 
Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini 
memberi  sinyal tentang pentingnya peningkatan daya saing 
pertanian. Peningkatan daya saing produk pangan akan semakin 
dibutuhkan untuk merebut pasar domestik dari produk pangan 
impor. Apalagi, mengingat jumlah penduduk negara kita mencapai 
260 juta jiwa, sehingga berpotensi sebagai pasar yang besar bagi 
produk sejenis dari negara lain.  
Secara umum, daya saing didefinisikan sebagai kemampuan 
menghadapi persaingan dan kemampuan memenangi persaingan. 
Secara teoritis untuk analisis keunggulan komparatif dan keung-
gulan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan ukuran 
daya saing (keunggulan) potensial, dalam artian daya saing akan 
dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. 
Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif juga 
memiliki efisiensi secara ekonomi. Dengan memakai  
beberapa indikator daya saing, suatu komoditas dikatakan 
memiliki keunggulan komparatif apabila memiliki koefisien 
Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) < 1. Artinya, aktivitas harga 
ekonomi ini  efisien secara ekonomi dalam memanfaatkan 
sumber daya domestik dan memiliki keunggulan komparatif. 
Demikian halnya, suatu komoditas dikatakan memiliki 
keunggulan kompetitif apabila memiliki koefisien Private Cost 
Ratio (PCR) < 1. Jadi, jika makin kecil berarti sistem produksi usaha 
pertanian semakin kompetitif dan mampu membiayai faktor 
domestiknya pada harga privat. 
Daya saing beberapa komoditas pangan seperti beras, jagung, 
bawang merah, cabai merah, dan tebu seperti terlihat dalam Tabel 
1 memiliki daya saing. Namun, bila daya saing komoditas ini  
dibandingkan, maka komoditas jagung memiliki keunggulan yang 
relatif lebih baik dibandingkan beras. 
Sementara komoditas bawang merah dan cabai merah 
memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang paling baik 
di antara komoditas lainnya. Bahkan cabai merah memiliki nilai 
DRCR dan PCR mencapai 0,29 dan 0,39. Sementara tebu memiliki 
daya saing paling rendah karena tidak memiliki keunggulan 
komparatif, namun memiliki keunggulan kompetitif karena 
adanya perlindungan dari pemerintah.

 Tabel 1.  Nilai DRCR dan PCR komoditas strategis
Komoditas DRCR PCR
Beras 0,84 0,75
Jagung 0,43 0,70
Bawang Merah 0,50 0,45
Cabai Merah 0,29 0,39
Tebu 1,51 0,84
 Sumber: Daryanto (2010)
Dengan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, 
negara kita berpeluang cukup besar merebut kembali pasar domestik 
dari produk pangan impor. Efisiensi dan produktivitas merupakan 
faktor yang sangat penting dalam usaha  merebut pasar domestik 
dari produk pangan impor. ini dapat dipahami karena daya 
saing sangat ditentukan tingkat efisiensi dan produktivitas. 
Karena itu, strategi yang dapat dilakukan untuk menguasai 
pasar pangan domestik, antara lain adalah:
1. Memperbaiki dan meningkatkan teknologi di setiap tahapan 
produksi.
2. Memperkuat kelembagaan.
3. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana produksi 
pertanian.
4. Meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur pertanian.
5. Memperbaiki akses petani terhadap sarana produksi pertanian 
dan lembaga pembiayaan.
6. Mengurangi risiko harga yang diterima petani, baik harga 
input maupun output melalui kebijakan yang tepat.
Untuk menghadapi dinamika produksi dan globalisasi 
perdagangan, negara kita harus mempercepat peningkatan daya 
saing pertanian, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. 
Dari sisi permintaan, harus disadari bahwa permintaan terhadap 
suatu produk semakin kompleks yang menuntut berbagai atribut 
atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen 
(consumer’s value perception). Dari sisi penawaran, produsen 
dituntut untuk dapat bersaing berkaitan dengan kemampuan 
merespons atribut produk yang diinginkan konsumen secara 
efisien.
Untuk merebut kembali pasar domestik melalui peningkatan 
daya saing ini, diperlukan kebijakan terintegrasi antarsektor dan 
multidisiplin, baik teknis maupun manajemen dan sosial-ekonomi. 
Dalam konteks ini, diperlukan mekanisme menyinergikan dan 
mengoordinasikan kebijakan antarsektor. 
Mengingat pertanian dan perdagangan adalah urusan 
pemerintahan kongruen pilihan dalam UU Nomor 23/2014 tentang 
Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat sudah selayaknya 
mengawasi secara ketat penyelenggaraan urusan ini. Pengawasan 
ini  disesuaikan asas akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, 
serta kepentingan strategis nasional berdasarkan potensi yang 
dimiliki daerah. 
usaha -usaha  penyelarasan kebijakan di bidang produksi, 
politik dan perdagangan luar negeri juga perlu dilakukan, 
termasuk penyesuaian komoditas antara program pertanian 
dengan RTRW/RUTR Daerah. Penyelarasan peraturan-peraturan 
diperlukan pengambil kebijakan di tingkat pusat, antara instansi 
tingkat pusat dan daerah, serta antarinstansi tingkat daerah 
(provinsi/kabupaten/kota).
Penutup
Secara keseluruhan, hasil produksi pertanian secara umum 
menunjukkan tren peningkatan. Untuk itu, pemerintah harus 
bersinergi dengan pihak swasta dan warga  terus berusaha  
meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian. 
Peningkatan luasan panen di luar Jawa harus didukung dengan 
pemerataan pembangunan sarana pertanian di seluruh wilayah 
Indonesia. 
Seiring dengan program pemerintah dalam membangun ber-
bagai macam infrastruktur, termasuk di dalamnya infrastruktur 
penunjang pertanian dan transportasi, diharapkan dapat menekan 
ongkos distribusi dan harga-harga keperluan pertanian seperti 
benih, pupuk, peralatan pertanian, dan sebagainya. Dengan 
demikian, akan menurunkan modal usaha tani dan meningkatkan 
keuntungan petani. 
Saat ini kesejahteraan petani telah menunjukkan perbaikan, 
meskipun belum mencapai taraf yang diharapkan. Tapi setidaknya 
memberi  optimisme akan masa depan pertanian yang lebih 
baik.
Ekspor-impor komoditas pertanian terlihat menurun. ini 
terjadi karena kebijakan pemerintah yang berangsur mengurangi 
impor untuk melindungi petani dan memprioritaskan hasil 
pertanian untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Selain infrastruktur pendukung, akses petani terhadap modal-
modal pertanian perlu terus ditingkatkan. Kolaborasi dengan 
akademisi untuk melakukan riset dalam rangka meningkatkan 
kuantitas dan kualitas produk pertanian diperlukan, sehingga 
target produksi dapat tercapai dan daya saing produk pertanian 
menjadi lebih baik. Pada akhirnya, kedaulatan pangan yang 
menjadi cita-cita bangsa dapat tercapai.

 
DINAMIKA KEBIJAKAN IMPOR 
PANGAN
Kebijakan impor barang, termasuk impor pangan, diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Impor didefinisikan sebagai kegiatan memasukkan barang 
ke dalam daerah pabean. Dalam rangka menjamin pasokan dan 
stabilisasi harga kebutuhan pokok dan barang penting, Menteri 
Perdagangan dapat melakukan impor. Importir wajib menaati 
semua peraturan yang berlaku untuk melakukan impor.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan disebutkan 
bahwa impor pangan dapat dilakukan jika penyediaan pangan 
yang berasal dari produksi dalam negeri dan cadangan pangan 
nasional tidak mencukupi. Impor pangan yang dilakukan untuk 
memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib memenuhi 
persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan 
agama, keyakinan, dan budaya warga . 
Di samping itu, pemerintah menetapkan kebijakan dan 
peraturan impor pangan yang tidak berdampak negatif terhadap 
keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan 
petani, nelayan, pembudi daya ikan, serta pelaku usaha pangan 
mikro dan kecil.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan melindungi 
kepentingan petani, UU Nomor 19 Tahun 2013 menyebutkan 
bahwa pemerintah wajib mengutamakan produksi pertanian 
dalam negeri. Kebijakannya adalah melalui pengaturan impor 
komoditas pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau 
kebutuhan konsumsi dalam negeri. Selain itu, impor dilarang 
dilakukan jika ketersediaan komoditas dalam negeri sudah 
mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan 
nasional. 
Beras
Komoditas beras paling banyak memperoleh perhatian dari 
pemerintah karena fungsinya yang sangat strategis sebagai 
bahan pangan pokok. Berbagai peraturan, baik Peraturan Menteri 
Pertanian maupun Peraturan Menteri Perdagangan dibuat untuk 
mengatur impor beras agar tidak merugikan petani padi dan tidak 
memicu  inflasi. (Lampiran 1)
Pada 15 April 2014 Menteri Pertanian menerbitkan Permentan 
Nomor 51 Tahun 2014 tentang Rekomendasi Ekspor dan Impor 
Beras tertentu.  Permentan ini bertujuan untuk meningkatkan 
efektivitas dan efisiensi pengelolaan ekspor-impor beras dan 
memberi  kepastian dalam pelayanan penerbitan rekomendasi 
ekspor-impor beras. 
Impor beras dilakukan apabila produksi beras dalam negeri 
tidak mencukupi dan/atau tidak diproduksi di dalam negeri. 
Beras yang dapat diimpor adalah beras untuk kesehatan/dietary 
dan konsumsi khusus/segmen tertentu. Seperti, beras ketan utuh, 
beras Thai Hom Mali dengan tingkat kepecahan paling tinggi 5 
persen, beras kukus, beras Japonica, dan Basmati dengan tingkat 
kepecahan paling tinggi 5 persen.
Impor beras hanya bisa dilakukan perusahaan yang telah 
mendapat penetapan sebagai IT-Beras dari Menteri Perdagangan.
Impor dilakukan sesudah  memperoleh persetujuan dari Menteri 
Perdagangan. Persetujuan impor bisa diterbitkan berdasarkan 
rekomendasi impor dari Menteri Pertanian. Selanjutnya, penerbitan 
rekomendasi impor dilaksanakan Direktur Jenderal, dalam ini 
adalah Direktur Jenderal Tanaman Pangan (Permentan Nomor 52 
Tahun 2015).
Sementara itu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 
74/M-DAG/PER/9/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor 
Beras sudah tidak relevan, sehingga direvisi dengan keluarnya 
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01 Tahun 2018. Pada 
peraturan Menteri Perdagangan itu dinyatakan bahwa impor beras 
untuk keperluan umum adalah impor beras sebagai cadangan 
yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan pemerintah untuk 
keperluan antara lain, stabilisasi harga, penanggulangan keadaan 
darurat, warga  miskin, kerawanan pangan, dan keadaan 
tertentu yang ditetapkan pemerintah.
Di samping impor beras, negara kita juga mengekspor beras 
premium ke Malaysia pada Oktober 2018. Ekspor beras juga 
pernah dilakukan ke Papua Nugini. Volume ekspor beras pada 
tahun 2015, 2016, dan 2107 masing-masing sebesar 519 ton, 999 
ton, dan 3.500 ton.
Dalam kebijakan impor beras, ada perbedaan kondisi antara 
peraturan Menteri Pertanian dan peraturan Menteri Perdagangan 
tentang impor beras. Impor beras dalam Peraturan Menteri 
Pertanian Nomor 51 Tahun 2014 dilakukan apabila produksi 
beras dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak diproduksi 
di dalam negeri. Namun, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 
01 Tahun 2018 menyatakan bahwa impor beras dilakukan sebagai 
cadangan yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan di antaranya 
untuk menjaga stabilisasi harga. 
ini menimbulkan trade off. Dari sisi produsen, jika harga 
beras tinggi, maka kesejahteraan petani meningkat.Namun di sisi 
lain kesejahteraan konsumen menurun, karena harga beras tinggi. 
Sementara stabilisasi harga dilakukan Kementerian Perdagangan 
dengan melakukan impor beras, tanpa melihat kondisi produksi 
petani dalam negeri. Harusnya, pelaksanaan impor beras tetap 
membutuhkan rekomendasi Kementerian Pertanian.
Jagung
Komoditas jagung sebagian besar untuk bahan baku pakan ternak. 
Sebagian kecil jagung dimanfaatkan untuk industri. Selain usaha  
peningkatan produksi jagung, untuk memenuhi kebutuhan dalam 
negeri, pemerintah melalui Menteri Perdagangan juga melakukan 
pengaturan impor jagung
Tabel 2.  Kebijakan Impor Jagung, 2016-2018
No. Kebijakan yang diterbitkan Uraian
1. Peraturan Menteri 
Perdagangan Nomor 
20 Tahun 2016 tentang 
Ketentuan Impor Jagung 
1. Pasal 2: Jagung dapat diimpor untuk 
memenuhi kebutuhan pangan, pakan, 
dan bahan baku industri. 
2. Pasal 3: Jumlah dan penggunaan impor 
jagung disepakati dalam koordinasi 
tingkat menteri bidang perekonomian. 
3. Pasal 4 dan 5: Impor jagung untuk 
pakan hanya dilakukan oleh Bulog atas 
persetujuan Menteri Pertanian. Impor 
jagung untuk pangan dan bahan baku 
industri dilakukan oleh perusahaan yang 
memiliki API-P dan API-U
2. Peraturan Menteri 
Perdagangan Nomor 
56 Tahun 2016 tentang 
Perubahan atas Peraturan 
Menteri Perdagangan 
Nomor 20 Tahun 2016 
tentang Ketentuan Impor 
Jagung
1. Pasal 4 ayat 1 dan 2: Impor jagung untuk 
pemenuhan kebutuhan pakan dilakukan 
Bulog atas penugasan Menteri BUMN 
atas usulan Menteri Perdagangan.
2. Pasal 4 ayat 3: Impor jagung untuk 
memenuhi kebutuhan pangan hanya 
dilakukan oleh Bulog dan importir 
dengan API-P.
3. Pasal 4 ayat 4: Impor jagung untuk bahan 
baku industri hanya dilakukan oleh 
perusahaan yang memiliki API-P 
43Dinamika Kebijakan Impor Pangan  |
No. Kebijakan yang diterbitkan Uraian
3. Peraturan Menteri 
Perdagangan 
Nomor 21 Tahun 2018 
tentang Ketentuan Impor 
Jagung
(Perubahan atas Peraturan 
Menteri Perdagangan 
Nomor 56 Tahun 2016)
1. Untuk persetujuan impor, perusahaan 
pemilik API-P tidak perlu melampirkan 
akta pendirian perusahaan.
2. Masa berlaku persetujuan impor untuk 
pakan berlaku paling lama 6 bulan 
(Permendag sebelumnya, masa berlaku 
sesuai dengan masa berlaku rekomendasi).
3. Masa berlaku persetujuan impor untuk 
pangan dan bahan baku kebutuhan 
industri berlaku paling lama 6 bulan 
(Permendag sebelumnya, masa berlaku 3 
bulan).
Permendag Nomor 20 Tahun 2016 yang ditetapkan pada 
24 Maret 2016 mengatur tentang impor jagung, yaitu untuk 
keperluan pangan, pakan dan bahan baku industri. Impor jagung 
dapat dilakukan sesudah  ada kesepakatan dari para menteri bidang 
ekonomi dan dilakukan Bulog sesudah  disetujui Menteri Pertanian. 
Impor dilakukan per triwulan yaitu, Januari-Maret (triwulan 1), 
April-Juni (triwulan 2), Juli-September (triwulan 2) dan Oktober-
Desember (triwulan 4). Pengajuan impor dilakukan sebulan 
sebelum periode bersangkutan. 
Pada waktu bersamaan, Menteri Perdagangan juga menetapkan 
Permendag Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Acuan 
di Tingkat Petani. Harga acuan jagung berbeda menurut kadar 
air jagung yang dijual petani. Tujuannya adalah memberi insentif 
kepada petani agar semakin giat meningkatkan produksi. 
Dalam Permendag ini , harga jagung biji adalah Rp2.500/
kg untuk kadar air (KA) 35 persen. Untuk biji jagung yang kadar 
airnya 30, 25, 20, dan 15 persen berturut-turut harganya Rp2.750, 
Rp2.850, Rp3.050, dan Rp3.150/kg. Harga acuan ini berlaku satu 
tahun, yaitu dari 1 April 2016 sampai 31 Maret 2017. 
Harga acuan pembelian jagung tetap berlaku jika Permendag 
yang baru tentang harga acuan belum diterbitkan. Tujuan 
penentuan harga acuan secara implisit adalah memberi insentif 
kepada petani untuk meningkatkan produksi. 
Sedangkan harga jual tingkat petani ditentukan dengan 
memperhitungkan keuntungan petani minimal 10 persen dari 
biaya produksi. Namun, akan lebih baik lagi jika asuransi pertanian 
juga mencakup usaha tani jagung untuk melindungi petani yang 
gagal panen.
Permendag Nomor 20 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor 
Jagung diubah melalui Permendag Nomor 56 Tahun 2016 tanggal 
26 Juli 2016. Beberapa perubahannya antara lain, Bulog melakukan 
impor jagung atas penugasan pemerintah, dalam ini adalah 
Menteri BUMN. Impor hanya dilakukan Perum Bulog dan 
perusahaan API-P (Angka Pengenal Impor Produsen). 
Ketentuan lainnya, pengajuan impor jagung dalam rangka 
pemenuhan kebutuhan pakan dalam negeri dapat dilakukan 
sewaktu-waktu, bukan hanya per triwulan. Persetujuan impor 
jagung untuk pakan juga dapat diterbitkan sewaktu-waktu. 
Persetujuan impor jagung untuk kebutuhan pangan dan bahan 
baku industri berlaku hanya tiga bulan sejak diterbitkan.
Capaian produksi dan pengendalian impor merupakan usaha  
pemerintah dan semua pihak untuk mewujudkan swasembada 
jagung. Enam strategi yang menjadi program Kementerian 
Pertanian adalah: 
1. Program peningkatan produksi dengan mengembangkan 
jagung seluas 1,5 juta hektar pada tahun 2016 dan seluas 3,0 
juta hektar di tahun 2017.
2. Menanam jagung integrasi sawit, kebun, maupun Perhutani
3. Menanam jagung di lahan tidur bersama Gerakan Pemuda 
Tani (Gempita).
4. Membangun kemitraan antara asosiasi Gabungan Perusahaan 
Makanan Ternak (GPMT) dengan petani jagung.
5. Kebijakan perlindungan harga petani dengan harga bawah 
dan harga atas.
45Dinamika Kebijakan Impor Pangan  |
6. Mengendalikan rekomendasi impor jagung pakan ternak dan 
mendorong ekspor jagung.
Kedelai
Kedelai diperlukan sebagian besar untuk bahan baku pangan, 
khususnya tahu dan tempe. Impor kedelai terus meningkat 
dari tahun ke tahun karena permintaan yang terus bertambah. 
Sementara produksi dalam negeri belum bertambah secara 
signifikan. 
Berbagai kebijakan pemerintah dilakukan untuk menekan 
impor. Kementerian Perdagangan menetapkan harga pembelian 
kedelai petani (HBP) untuk memberi insentif agar petani bergairah 
meningkatkan produksi kedelai.
Tabel 3. Kebijakan Impor Kedelai, 2015-2017
No. Kebijakan yang diterbitkan Uraian
1. Permendag Nomor 1 Tahun 2015, 
Nomor 25 Tahun 2015, dan Nomor 49 
Tahun 2015 tentang Penetapan Harga 
Pembeian Kedelai Petani dalam 
Rangka Pengamanan Harga Kedelai 
di Tingkat Petani.
HPP kedelai ditetapkan sebesar 
Rp7.700/kg. 
2. Permendag Nomor 62 Tahun 2014 
tentang Penetapan Harga Pembeian 
Kedelai Petani dalam Rangka 
Pengamanan Harga Kedelai di 
Tingkat Petani.
HPP kedelai ditetapkan turun 
menjadi Rp7.600/kg. 
3. Permendag Nomor 27 Tahun 2017 
tentang Penetapan Harga Acuan 
Pembelian di Petani dan Harga 
Acuan Penjualan di Konsumen. 
HPP kedelai adalah Rp8.500/kg dan 
harga kedelai impor Rp6.500/kg. HET 
kedelai lokal sebesar Rp9.200/kg dan 
HET kedelai impor Rp6.800/kg.
Kebijakan-kebijakan pemerintah untuk komoditas kedelai turut 
mempengaruhi peningkatan produksi di dalam negeri. Berbagai 
kebijakan meningkatkan produksi dalam negeri adalah kebijakan 
46 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
harga dasar (HBP), campur tangan pemerintah dalam monopoli 
impor oleh Bulog, program intensifikasi dan ekstensifikasi, serta 
pengenaan tarif bea masuk yang tinggi (10 persen). 
Selama beberapa tahun terakhir kebijakan untuk meredam 
impor dengan penetapan HBP tidak terlalu efektif. Sebab, harga jual 
kedelai petani tetap jauh di bawah HBP. Berdasarkan Permendag 
Nomor 62 Tahun 2014 yang ditetapkan pada 30 September 2014 
dan berlaku 1 Oktober 2014, HBP kedelai sebesar Rp7.600/kg.
Lalu kebijakan ini  direvisi dengan keluarnya Permendag 
Nomor 1 Tahun 2015 yang menetapkan HBP kedelai menjadi 
Rp7.700/kg yang berlaku pada 5 Januari 2015. Namun, pada 6 
Juli 2015, Menteri Perdagangan kembali menerbitkan Permendag 
Nomor 49 Tahun 2015 tentang HBP kedelai. Namun, angka HBP 
tidak berubah, yaitu Rp7.700/kg.
Meski pemerintah telah menetapkan HBP, tapi di lapangan 
harga jual kedelai di petani umumnya di bawah HBP. Misalnya, 
pada tahun 2015 harga jual kedelai tingkat petani di Kabupaten 
Indramayu, Jawa Barat, hanya Rp5.500/kg. Pada tahun yang sama 
harga jual kedelai di tingkat petani di Kabupaten Ngajuk, Jawa 
Timur, sebesar Rp6.000/kg. 
Tidak ada usaha  khusus dari Bulog maupun lembaga 
pemerintah terkait untuk membeli kedelai sesuai HBP membuat 
petani tidak terangsang menanam kedelai. Di sisi lain, importir 
menyalurkan kedelai ke distributor, bahkan langsung ke KOPTI 
(Koperasi Tahu Tempe) membuat pengrajin tahu dan tempe lebih 
mudah membeli kedelai impor.
Sementara itu, dalam pemasaran kedelai lokal umumnya, 
kedelai petani dijual kepada pedagang pengumpul yang kemudian 
dijual kepada pedagang besar, lalu baru dibeli pengrajin tahu 
dan tempe. Pedagang pengumpul kadang menjual langsung 
kepada pengrajin tahu dan tempe. Dengan harga yang relatif 
sama, pengrajian tahu dan tempe lebih memilih kedelai impor 
47Dinamika Kebijakan Impor Pangan  |
karena penampilannya lebih menarik dan ukurannya seragam. Di 
samping itu kedelai impor dapat dibeli sepanjang tahun.
Pada 16 Mei 2017 Menteri Perdagangan menerbitkan 
Permendag Nomor 27 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Acuan 
Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. 
HBP kedelai adalah Rp8.500/kg dan harga kedelai impor Rp6.500/
kg. Harga Eceran Tertinggi (HET) kedelai lokal sebesar Rp9.200/
kg dan HET kedelai impor Rp6.800/kg. Jelas bahwa kebijakan ini 
tidak memihak petani kedelai dalam negeri.
Karena itu pemerintah, dalam ini Kementerian Pertanian, 
terus mendorong penanaman kedelai agar tercapai swasembada. 
Selain melalui program APBN-P 2017 yang dimulai Oktober 2017, 
perluasan tanam kedelai juga dibiayai APBN 2018. Bahkan pada 
tahun 2018 dicanangkan penanaman kedelai seluas 1,5 juta hektar. 
Petani kedelai yang panen hingga Maret 2018 umumnya masih 
menikmati harga jual yang memadai, yaitu Rp8.000/kg atau lebih. 
ini karena kedelai hasil panen petani dipakai  untuk benih. 
Masalah akan muncul jika sebagaian besar hasil panen kedelai 
pada musim kemarau 2018 yang dijual ke pasar untuk bahan baku 
tahu- tempe dan konsumsi. Sebab, selama ini harga kedelai hasil 
panen petani hanya sekitar Rp5.000-6.000/kg. 
Daging Sapi
Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan penting 
memenuhi kebutuhan protein hewani penduduk. Produksi daging 
dalam negeri selama ini belum dapat memenuhi permintaan 
konsumen domestik. Untuk itu, pemerintah melakukan impor 
agar kebutuhan daging dapat dipenuhi dan harga terkendali, 
tapi peternak sapi tetap dilindungi. Berbagai kebijakan berupa 
Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur tentang impor 
sapi diterbitkan sejak beberapa tahun terakhir. (Lampiran 2).
Importir daging sapi harus menghadapi berbagai peraturan 
yang pada taraf tertentu tumpang tindih yang tujuannya untuk 
menghambat impor ini . Permentan Nomor 16 Tahun 2016 
mengatur pemasukan ternak ruminansia besar ke dalam wilayah 
negara Republik Indonesia. 
Permentan ini mengatur tentang impor ternak ruminansia 
besar yang terdiri atas bakalan, indukan, dan jantan produktif. 
Pemasukan ternak ruminansia besar dapat dilakukan pelaku 
usaha, namun wajib mendapatkan izin dari Menteri Perdagangan 
sesudah  mendapat rekomendasi dari Menteri yang pelaksanaannya 
dilakukan Direktur Jenderal atas nama Menteri Perdagangan. 
Negara asal yang ditetapkan menteri sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) dalam Permentan Nomor 16 Tahun 2016 harus 
memenuhi persyaratan sebagai berikut: 
1. Bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Rift Valley 
Fever (RVF), Contagious Bovine Pleuropneumonia, Peste des Petit 
Ruminant yang mengacu pada deklarasi Badan Kesehatan 
Hewan Dunia/World Organization for Animal Health/Office 
International des Epizooties (WOAH/OIE).
2. Berstatus negligible atau controlled Bovine Spongiform 
Encephalopathy (BSE) risk yang mengacu pada deklarasi Badan 
Kesehatan Hewan Dunia/World Organization for Animal Health/
Office International des Epizooties (WOAH/OIE).
3. Melaksanakan program monitoring dan surveilans residu 
antibiotik, hormon, dan bahan lain yang membahayakan 
kesehatan hewan dan manusia. 
Bagi negara asal yang berstatus controlled BSE risk harus 
memenuhi persyaratan. Pertama, tidak ditemukan kasus BSE 
selama tujuh tahun terakhir. Kedua, melakukan surveilans BSE 
selama tujuh tahun berturut-turut sesuai dengan standar dan 
diakui oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia/World Organization for 
Animal Health/Office International des Epizooties (WOAH/OIE).
49Dinamika Kebijakan Impor Pangan  |
Ketiga, tidak memberi  pakan yang mengandung Meat Bone 
Meal (MBM) ruminansia. Keempat, melaporkan status dan situasi 
penyakit hewan kepada Badan Kesehatan Hewan Dunia/World 
Organization for Animal Health/Office International des Epizooties 
(WOAH/OIE). 
Sedangkan untuk persyaratan Farm atau Registered Premises/
Approved Premises atau nama lain yang sejenis, pemerintah telah 
menetapkan syaratnya.
1. Berasal dari negara asal yang telah ditetapkan oleh menteri.
2. Tidak sedang terjadi wabah penyakit hewan menular.
3. Terdaftar sebagai Farm atau Registered Premises/Approved 
Premises atau nama lain yang sejenis dan telah diaudit oleh 
otoritas veteriner negara asal.
4. Menerapkan biosecurity.
5. Tidak memberi  pakan yang mengandung Meat Bone Meal 
(MBM) ruminansia.
6. Tidak mengeluarkan bakalan yang belum melewati withholding 
periods antibiotik dan hormon pertumbuhan.
7. Menerapkan kaidah kesejahteraan hewan.
8. Menerapkan pedoman budi daya ternak yang baik (good 
farming practice).
Persyaratan ternak ruminansia besar harus sehat dan dibukti-
kan dengan sertifikat kesehatan hewan (animal health certificate) 
yang diterbitkan otoritas veteriner negara asal. Sertifikat kesehatan 
hewan (animal health certificate) sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) merupakan pemenuhan persyaratan teknis kesehatan hewan 
(health requirement) negara kita yang ditentukan Direktur Kesehatan 
Hewan selaku otoritas veteriner Kementerian. 
Ada dua spesifikasi ternak ruminansia besar untuk sapi 
bakalan. Pertama, berat badan rata-rata maksimal 350 kilogram 
berdasarkan Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Kedua, berumur 
maksimal 30 bulan yang dibuktikan dengan surat keterangan dari 
negara asal. 
50 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Sedangkan spesifikasi ternak ruminansia besar untuk kerbau 
bakalan sebagai berikut. Pertama, berat badan rata-rata maksimal 
400 kilogram berdasarkan Pemberitahuan Impor Barang (PIB). 
Kedua, berumur maksimal 30 bulan yang dibuktikan dengan surat 
keterangan dari negara asal. 
Bakalan harus digemukkan dalam jangka waktu paling cepat 
empat bulan sejak dilakukan tindakan karantina hewan yang 
dibuktikan dengan sertifikat pelepasan.  Dalam hal tertentu untuk 
memenuhi ketersediaan dan pasokan daging, bakalan dapat 
dipotong sebelum batas waktu empat bulan. Kekurangan pasokan 
ditetapkan dalam rapat koordinasi terbatas yang dikoordinasikan 
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. 
Menteri Pertanian juga menerbitkan Permentan Nomor 17 
Tahun 2016 yang isinya mengenai pemasukan daging tanpa tulang 
dalam hal tertentu yang berasal dari negara atau zona dalam 
suatu negara asal pemasukan dalam hal tertentu. Pertama, dapat 
dilakukan pemasukan produk hewan ke dalam wilayah Negara 
Republik negara kita yang berasal dari negara atau zona dalam 
suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara 
pemasukan produk hewan. 
Kedua, pemasukan produk hewan berupa daging beku tanpa 
tulang yang berasal dari karkas. Ketiga, pemasukan daging beku 
tanpa tulang untuk kecukupan pasokan kebutuhan daging secara 
nasional. Jenis daging beku tanpa tulang berasal dari ternak sapi 
dan/atau kerbau. 
Pemasukan daging diatur sebagai berikut: 
1. Pemasukan daging beku tanpa tulang dilakukan berdasarkan 
hasil rapat koordinasi yang dipimpin menteri yang 
melaksanakan fungsi sinkronisasi dan koordinasi di bidang 
perekonomian.
2. Pemasukan dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 
yang ditugaskan menteri yang menyelenggarakan urusan 
pemerintahan di bidang BUMN.
3. BUMN yang melakukan pemasukan, wajib mendapatkan 
izin pemasukan dari menteri yang menyelenggarakan urusan 
pemerintahan di bidang perdagangan.
4. Izin pemasukan diberikan sesudah  memperoleh rekomendasi 
dari Direktur Jenderal atas nama Menteri Perdagangan.
5. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam 
memberi  Rekomendasi dilakukan sesudah  mendapat saran 
dan pertimbangan teknis dari Direktur Kesehatan warga  
Veteriner. 
Permentan Nomor 49 Tahun 2016 mengatur tentang pemasukan 
(impor) ternak ruminansia besar. Impor ternak ruminansia besar 
sebagaimana dimaksud dapat dilakukan pelaku usaha, koperasi 
peternak dan kelompok peternak. Koperasi peternak harus 
mendapat rekomendasi dari Dinas Koperasi. Sedangkan kelompok 
peternak harus mendapat rekomendasi kelompok peternak dari 
dinas. 
Ketentuan dalam impor daging adalah pelaku usaha, koperasi 
peternak, dan kelompok peternak yang melakukan impor wajib 
mendapatkan izin pemasukan dari Menteri Perdagangan sesudah  
mendapat rekomendasi dari Menteri Pertanian. 
Peningkatan produksi daging dalam negeri akan sangat 
membantu dalam pengendalian impor. Program SIWAB, misalnya, 
perlu terus dilakukan dan ditingkatkan. Kekurangan jumlah dan 
kualitas menjadi hambatan dalam pelaksanaan SIWAB. Jumlah 
dan sebaran petugas inseminasi pada taraf tertentu belum bisa 
memenuhi permintaan peternak sapi yang lokasinya sebagian 
besar tersebar. Program SIWAB yang dilakukan Kementerian 
Pertanian saat ini mempercepat pembiakan sapi dengan teknologi 
Inseminasi Buatan (IB). Diharapkan SIWAB dapat meningkatkan 
populasi sapi secara lebih cepat untuk memenuhi permintaan 
pasar domestik.
Gambar 18. Sapi di peternakan SPR Ridho Ilahi, Lombok Timur, NTB
Gula
Kebutuhan gula dalam negeri terus meningkat seiring pertam-
bahan penduduk. Sementara itu produksi gula dalam negeri yang 
sebagian besar berasal dari tebu rakyat relatif tetap karena berbagai 
kendala. Konversi lahan tebu untuk non pertanian atau beralih 
untuk budi daya tanaman lain merupakan salah satu penyebab 
turunnya produksi gula. Di samping itu, rendemen yang rendah 
dan mesin-mesin pengolahan yang sudah tua menjadikan semakin 
tidak efisien. Beberapa kebijakan diterbitkan untuk menghambat 
impor gula atau mendorong produksi tebu dalam negeri.
53Dinamika Kebijakan Impor Pangan  |
Tabel 4. Kebijakan Impor Gula, 2014-2016
No. Kebijakan yang diterbitkan Uraian
1. Surat Menteri Perdagangan kepada 
11 produsen gula rafinasi Nomor 
1300/MDAG/SD/12/2014
Pengaturan impor gula mentah (raw 
sugar) dan disribusi gula rafinasi.
2. Peraturan Menteri Perdagangan 
Nomor 117 Tahun 2015 tentang 
Ketentuan Impor Gula
Gula rafinasi yang dimiliki perusa-
haan pemilik API-P hanya dapat 
didistribusikan kepada industri dan 
dilarang diperdagangkan ke pasar 
umum di dalam negeri.
3. Peraturan Menteri Perdagangan 
Nomor 63 Tahun 2016 tentang 
Penetapan Harga Acuan Pembelian 
di Petani dan Harga Penjualan di 
Konsumen 
Penetapan harga acuan beras, gula, 
jagung, kedelai, bawang merah, dan 
cabai. Harga acuan pembelian gula 
kristal di tingkat petani Rp9.100/kg, 
harga dasar untuk lelang Rp11.000/
kg, Harga Eceran Tertinggi (HET) di 
tingkat konsumen Rp13.000/kg.
Salah satu kebijakan ini  adalah Surat Menteri Perdagangan 
Nomor 1.300 Tahun 2014 kepada 11 produsen gula rafinasi. 
Terbitnya surat ini  didasari atas temuan bahwa masih ada 
11,16 persen gula rafinasi didistribusikan tidak sesuai ketentuan. 
Karena itu, pemerintah menetapkan persetujuan impor kepada 
pabrik gula rafinasi yang diberikan tiap triwulan dan dievaluasi 
untuk pemberian izin triwulan berikutnya. Tujuan surat ini  
adalah mencegah susaha  gula rafinasi tidak dijual kepada umum, 
tetapi hanya ditujukan sepenuhnya untuk pasokan industri 
makanan dan minuman.
Adapun Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/
PER/12/2015 mengatur ketentuan dan pembatasan impor gula. 
Dengan kebijakan itu, pemerintah mengatur agar gula rafinasi 
tidak masuk ke pasar eceran. Gula Kristal Rafinasi (GKR) hasil 
industri yang dimiliki perusahaan pemilik API-P (angka pengenal 
impor produsen) yang sumber bahan bakunya berupa gula 
kristal mentah atau gula kasar hanya dapat diperdagangkan atau 
didistribusikan untuk industri dan dilarang diperdagangkan di 
pasar dalam negeri. Meski demikian, kebijakan ini  ternyata 
belum dapat menyelesaikan persoalan masuknya gula rafinasi ke 
pasar eceran.
Pemerintah juga menerbitkan Permendag Nomor 63 Tahun 
2016 tentang Harga Acuan Pembelian Gula Kristal di Tingkat 
Petani, masing-masing sebesar Rp9.100/kg untuk harga dasar dan 
Rp11.000/kg untuk harga lelang. Harga Eceran Tertinggi (HET) di 
tingkat konsumen adalah Rp13.000/kg. 
Pada tahun 2016 Kementerian Pertanian menunjuk PD Pasar 
Jaya untuk menyalurkan gula di Jakarta dengan harga eceran tidak 
melebihi Rp12.500/kg. Menteri Perdagangan juga mengeluarkan 
Permendag Nomor 27 Tahun 2017 yang menetapkan harga acuan 
gula petani (HPP) Rp9.100/kg dan HET gula di tingkat konsumen 
Rp12.500/kg. Namun, HPP ini  bagi petani tebu dianggap 
masih terlalu rendah. Di lain pihak, penetapan HPP gula terlalu 
tinggi akan memberatkan konsumen dan meningkatkan inflasi.
Kendala lain dalam usaha  pemerintah meningkatkan 
produksi gula adalah di tingkat pabrik gula sebagian besar mesin 
pengolahan yang dipakai  sudah tua, sehingga kurang efisien. 
Karena itu, perlu ada revitalisasi mesin pabrik melalui penggantian 
total dengan mesin baru yang lebih efisien. 
Sementara itu dalam budi daya tebu, sebaran varietas tebu 
untuk panen awal, tengah, dan akhir musim idealnya masing-
masing 30, 40, dan 30 persen. Petani juga menanam varietas yang 
tidak sesuai dan hanya mengutamakan potensi hasil. 
Di lapang umumnya rendemen varietas untuk panen awal 
relatif sedikit yaitu hanya sekitar 7 persen, sehingga rendemen 
yang diperoleh kurang memadai. Rendemen tebu relatif rendah. 
Misalnya di Kabupaten Malang, Jawa Timur, berkisar 7,3-8,3. 
Cara penanaman yang memakai  sistem keprasan hingga 
lebih dari 10 kali dan ketidaksesuaian musim maupun saat panen 
membuat rendemen tidak memadai. Budi daya tebu dengan sistem 
55Dinamika Kebijakan Impor Pangan  |
keprasan memang lebih menghemat biaya produksi, tapi dengan 
keprasan hingga lebih dari 10 kali membuat batang tebu semakin 
kecil dan hasilnya relatif rendah. 
Petani juga kesulitan mengakses KUR (Kredit Usaha Rakyat). 
Misalnya, kelompok tani tebu yang sudah memperoleh KUR secara 
akumulasi senilai Rp500 juta tidak akan diizinkan lagi mengajukan 
kredit. Sementara itu, biaya tenaga kerja manual relatif semakin 
mahal dibanding memakai  alat dan mesin pertanian. Karena 
itu regrouping pengelolaan lahan tebu menjadi alternatif agar lebih 
efisien di tingkat usaha tani.
Di Jawa Timur banyak tanaman tebu dibudidayakan pada 
lahan kering yang mengandalkan irigasi tadah hujan, sehingga 
produktivitasnya kurang optimal. Penggunaan irigasi tetes 
untuk budi daya tebu pada lahan kering dapat meningkatkan 
produktivitas dengan biaya relatif murah, walaupun investasi 
awalnya cukup mahal.
Gambar 19. Budi daya tanaman tebu di Malang, Jawa Timur
56 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Bawang Merah
Total produksi bawang merah dalam negeri selama satu tahun 
sebenarnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional. Pola 
panen musiman memicu  pada musim panen hasil bawang 
merah melimpah, sementara di luar musim panen persediaan 
dalam negeri relatif sedikit yang memicu  harus impor untuk 
menekan harga di tingkat eceran. Kebijakan impor bawang merah 
dan cabai yang telah diterbitkan.
Tabel 5. Kebijakan Impor Bawang Merah dan Cabai 2016
No. Kebijakan yang diterbitkan Uraian
1. Peraturan Menteri 
Perdagangan Nomor 
63 Tahun 2016 tentang 
Penetapan Harga Acuan 
Pembelian d Petani dan 
Harga Penjualan di 
Konsumen 
Penetapan harga acuan beras, gula, jagung, 
kedelai, bawang merah, dan cabai. 
Harga acuan pembelian bawang merah di 
tingkat petani Rp22.500/kg. Harga Eceran 
Tertinggi (HET) bawang merah di tingkat 
konsumen Rp32.000/kg.
Harga acuan pembelian di tingkat petani 
untuk cabai merah keriting Rp15.000, cabai 
merah besar Rp15.000, dan cabai rawit merah 
Rp17.000/kg. 
Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat 
konsumen untuk cabai merah keriting 
Rp28.000, cabai merah besar Rp28.000, dan 
cabai rawit merah Rp29.000/kg.
2. Peraturan Menteri 
Pertanian Nomor 38/
Permentan/HR.060/11/2017 
tentang Rekomendasi 
Impor Produk Hortikultura
(Perubahan atas Peraturan 
Menteri Pertanian 
Nomor 16/Permentan/
HR.060/5/2017) 
Pasal 4, RIPH diterbitkan untuk produk 
hortikultura:
1. Segar untuk konsumsi
2. Segar untuk bahan baku industri (dalam 
Permentan sebelumnya termasuk olahan).
Pasal 5, ditambahkan bahwa RIPH harus 
mempertimbangkan pelaksanaan program 
pemerintah dan kebutuhan nasional.
Pasal 10, RIPH diterbitkan 2 kali dalam 
1 tahun takwim untuk 1 pelaku usaha 
(Permentan sebelumnya 1 kali dalam 1 
tahun takwim.
Penerbitan RIPH berikutnya dilakukan 
sesudah  pelaku usaha merealisasikan impor 
dan menyampaikan laporan realisasi 
(Permentan sebelumnya tidak diatur).
Penerbitan RIPH dalam hal pelaksanaan 
program pemerintah mendapat 
pengecualian.
57Dinamika Kebijakan Impor Pangan  |
Impor bawang merah pernah diatur melalui penetapan 
referensi harga berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal 
Perdagangan Dalam Negeri Nomor 118/PDN/KEP10/2013 tentang 
Penetapan Harga Referensi Produk Hortikultura pada 3 Oktober 
2013. Harga referensi bawang merah ditetapkan sebesar Rp25.700/
kg dengan memperhitungkan biaya balik modal atau break even 
point (BEP) ditambah keuntungan 40 persen.  
Harga referensi cabai merah dan cabai keriting ditetapkan 
sebesar Rp26.300/kg. Harga referensi cabai rawit adalah Rp28.000/
kg. Impor bawang merah, cabai merah, cabai keriting, dan cabai 
rawit akan diizinkan jika harga eceran sudah melampaui harga 
referensi masing-masing.
Reaksi pelaku industri beragam sesuai dengan posisi masing-
masing. Importir umumnya tidak menyukai kebijakan ini, karena 
menghambat prosedur impor yang sebelumnya relatif mudah. 
Berbagai persyaratan yang pemerintah tetapkan, seperti gudang 
penyimpanan berpendingin dan kapasitas gudang milik, membuat 
sebagian importir tidak bisa lagi mengimpor sebanyak yang 
mereka inginkan. Sebagian perusahaan ekspedisi memanfaatkan 
situasi ini dengan memenuhi persyaratan sebagai importir, 
sehingga bisa memperoleh kuota impor.
Permentan Nomor 42/OT.140/6/2012 tentang Tindakan 
Karantina Tumbuhan mengatur pemasukan buah dan sayuran buah 
segar ke dalam wilayah Republik Indonesia. ini memberi  
keleluasaan kepada petugas karantina pertanian melakukan 
pemeriksaan kesehatan barang/produk buah atau sayuran segar 
impor terkait dengan lalat buah, termasuk pemeriksaan atas 
pemenuhan persyaratan administratif (kelengkapan dokumen). 
Di antara aspek yang menonjol dalam peraturan ini adalah 
ketentuan tentang pelabuhan atau tempat masuknya produk 
hortikultura impor, yakni Pelabuhan Laut Belawan (Medan), 
Tanjung Perak (Surabaya), Soekarno-Hatta (Makassar), dan 
Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta (Jakarta). Pelabuhan lain yang 
58 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
memungkinkan untuk masuknya buah/sayuran segar impor 
adalah kawasan perdagangan bebas Batam, Bintan, dan Karimun. 
Peraturan ini lebih banyak memuat ketentuan tindakan terhadap 
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) dengan 
maksud pencegahan masuk dan tersebarnya hama lalat buah di 
dalam negeri. 
Zona perdagangan bebas atau Free Trade Zone (FTZ), yaitu 
Batam, Bintan, dan Karimun juga bisa dipakai  untuk impor 
buah dan sayur. Walaupun demikian semua komoditas yang 
diimpor melalui FTZ ini  hanya boleh diperdagangkan secara 
internal, tidak boleh didistribusikan ke daerah lain. Distribusi 
keluar FTZ dianggap penyelundupan. ini membuat importir 
tidak tertarik untuk memasukkan buah melalui FTZ karena 
permintaan di wilayah ini  relatif kecil.
Pada tahun 2016, Menteri Perdagangan melalui Permendag 
Nomor 63 Tahun 2016 menetapkan harga referensi tingkat petani 
meliputi padi, jagung, kedelai, gula, daging sapi, bawang merah, 
dan cabai. Bulog ditunjuk untuk melakukan operasi pasar jika 
harga turun di bawah harga referensi maupun jika harga eceran 
melampaui harga referensi. 
Namun, kebijakan ini kurang efektif ketika harga sayuran, 
termasuk bawang merah relatif rendah di tingkat petani, karena 
Bulog tidak membeli komoditas ini  dari petani. Harga 
bawang merah dan harga cabai jatuh di bawah harga referensi saat 
sedang panen raya. Harga cabai dan bawang merah akan berada 
di atas harga referensi ketika sedang tidak musim panen, tetapi 
impor dibatasi, sehingga memicu  inflasi. 
Produktivitas bawang merah sudah optimal tetapi masih dapat 
ditingkatkan dengan pengandalian hama dan penyakit yang lebih 
baik dan irigasi yang lebih efisien pada musim kemarau, seperti 
memakai  irigasi tetes. Petani diharapkan juga menanam 
tanaman lain dan berternak untuk menambah penghasilan dan 
mengurangi risiko gagal panen. 
59Dinamika Kebijakan Impor Pangan  |
Asuransi pertanian yang selama ini baru untuk padi dan sapi 
perlu diperluas sehingga mencakup budi daya bawang merah 
untuk mengurangi risiko gagal panen maupu harga jual di tingkat 
petani yang terlalu rendah. 
Penutup
Kebijakan impor pangan bertujuan untuk menjaga ketersediaan 
pangan dalam negeri. Beberapa kementerian saling terkait dalam 
kebijakan impor pangan. Perlu peningkatan harmonisasi antar 
kementerian/lembaga teknis lain, termasuk agar tercipta suatu 
kebijakan yang impor yang lebih memihak petani maupun 
konsumen dalam negeri.
Komoditas beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula dan 
bawang merah merupakan komoditas strategis. Untuk itu 
pemerintah perlu mengatur dan mengendalikan ketersediaannya. 
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian masing-
masing telah mengeluarkan kebijakan yang mengatur impor 
pangan.
Peraturan Menteri Perdagangan maupun Peraturan Menteri 
Pertanian mengalami banyak perubahan akhir-akhir ini. 
Perubahan ini  karena ada perubahan organisasi dalam 
struktur kementerian. Alasan lain adalah substansi peraturan 
sebelumnya yang dianggap perlu untuk disempurnakan. 
Kebijakan impor pangan oleh Kementerian Perdagangan dan 
Kementerian BUMN sebaiknya tetap memperhatikan wewenang 
dan tanggung jawab Kementerian Pertanian. Dalam ini adalah 
peningkatan produksi pertanian untuk menyejahterakan petani 
serta melindungi konsumen dalam negeri. 
60 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
61Pengendalian Impor Pangan dalam Perspektif Aturan WTO  |
Bab 4. 
 
PENGENDALIAN IMPOR 
PANGAN DALAM PERSPEKTIF 
ATURAN WTO
Dalam perdagangan internasional, negara-negara di dunia akan terkena aturan WTO (World Trade Organization). WTO merupakan Organisasi Perdagangan Dunia yang 
didirikan pada 1 Januari 1995 untuk menggantikan General 
Agreementon Tariff and Trade (GATT).
Pada saat ini WTO beranggotakan 153 negara, sebanyak 117 
negara di antaranya adalah negara berkembang. Tujuan utama 
pembentukan WTO adalah menjembatani konflik kepentingan 
dari berbagai negara dalam melakukan perdagangan yang efektif 
dan terbuka. 
Setidaknya ada tiga rinci tujuan pembentukan WTO. Pertama, 
mendorong aliran barang dan jasa antarnegara dengan mengurangi 
dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu 
kelancaran perdagangan. Kedua, memfasilitasi perundingan 
dengan menyediakan forum negosiasi yang lebih permanen. 
Ketiga, menyelesaikan sengketa perdagangan yang netral.
Persetujuan pokok dan komitmen dalam WTO terdiri atas, 
barang (goods), jasa (services), kepemilikan intelektual (Trade-
Related Aspects of Intellectual Properties/TRIPs), dan penyelesaian 
sengketa (Dispute Settlements).
WTO memiliki  fungsi sebagai berikut: (1) Memfasilitasi 
implementasi administrasi dan pelaksanaan persetujuan WTO; 
(2) memberi  suatu forum tetap guna melakukan perundingan 
di antara anggota; (3) Administrasi sistem penyelesaian sengketa 
WTO; (4) Administrasi dari mekanisme tinjauan atas kebijakan 
perdagangan (Trade Policy Review Mechanism); dan (5) Untuk 
melakukan kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional 
dan organisasi-organisasi non-pemerintah.
Setidaknya ada lima prinsip dasar yang menaungi semua 
bentuk perjanjian dalam WTO.
1. Most favoured nations, bahwa suatu kebijakan perdagangan 
harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Semua 
negara anggota terikat untuk memberi  negara-negara 
lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan kebijakan 
impor dan ekspor
2. Perlindungan melalui tarif yang diikat. Jadi, setiap negara 
anggota WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea 
masuk atau tarifnya harus diikat (legally binding)
3. National Treatment, produk dari suatu negara yang diimpor ke 
dalam suatu negara harus diperlakukan seperti halnya produk 
dalam negeri.
4. Perlindungan hanya melalui tarif. WTO hanya memperkenan-
kan tindakan proteksi melalui tarif.
5. Perlakuan khusus bagi negara sedang berkembang (Special 
and Differential Treatment for Developing Countries). Dalam arti, 
mengakui kebutuhan negara yang sedang berkembang untuk 
memanfaatkan akses pasar yang lebih menguntungkan dan 
melarang negara-negara maju membuat rintangan terhadap 
ekspor dari negara-negara berkembang.
Disiplin dan aturan WTO mencakup unsur fleksibilitas yang 
mencerminkan kebutuhan khusus negara-negara berkembang 
(Least Developed Countries/LDC). Meskipun WTO didasarkan 
pada prinsip non-diskriminasi, negara-negara berkembang dapat 
diberikan pengecualian khusus dari pemotongan tarif, periode 
penyesuaian yang lebih lama untuk disiplin baru dan penggunaan 
tambahan kategori produk sensitif. Karena itu salah satu pilar 
sistem perdagangan dunia adalah prinsip ‘perlakuan khusus dan 
berbeda’ (Specialand Different Treatment) untuk negara-negara 
sedang berkembang (LDC). 
Pengendalian Impor Melalui Tariff Barrier
Tarif adalah hambatan perdagangan berupa penetapan pajak atas 
barang-barang impor atau barang-barang dagangan yang melintasi 
daerah pabean (custom area). Hambatan tarif (tariff barrier) adalah 
suatu kebijakan perlindungan terhadap barang-barang produksi 
dalam negeri dari ancaman membanjirnya barang-barang sejenis 
dari luar negeri (impor). 
Hampir semua negara di dunia ini melindungi industri dalam 
negerinya. Pada tahap awal pembangunan industri, Amerika 
Serikat, Inggris, Jerman, dan Perancis melakukan berbagai macam 
proteksi. Demikian pula negara industri di Asia, seperti India, 
Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Malaysia melakukan kebijakan 
proteksi ini .
Hambatan tarif dipandang lebih transparan serta mampu 
memberi kepastian terhadap mitra dagang yang melakukan 
impor atau ekspor. Dalam WTO, khususnya GATT 1994, pada 
prinsipnya hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap 
industri domestik melalui tarif dan tidak melalui usaha -usaha  
perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures). 
Meski diperbolehkan, penggunaan tarif ini  tetap tunduk 
kepada ketentuan-ketentuan GATT. Misalnya, pengenaan atau 
penerapan tarif ini  sifatnya tidak boleh diskriminatif dan 
tunduk pada komitmen tarif kepada GATT.
Hasil dari negosiasi tarif di antara negara-negara anggota 
dijadikan sebagai “kesepakatan tarif” (tariff concessions) atau 
“pengikatan tarif” (tariff binding). Suatu kesepakatan tarif 
atau pengikatan tarif merupakan suatu kesediaan untuk tidak 
menaikkan tarif terhadap produk-produk tertentu pada batas 
yang disetujui. 
Kesepakatan atau pengikatan tarif suatu negara anggota 
ditentukan berdasarkan skedul kesepakatan anggota. Berdasarkan 
hal itu, skedul tarif dan kesepakatan tarif harus diterjemahkan ke 
dalam aturan-aturan umum yang telah ditetapkan.
Pada saat ini peran tarif dalam perdagangan internasional telah 
menurun.WTO sendiri berusaha  mengurangi distorsi produksi 
dan konsumsi yang disebabkan tarif atau pajak atas barang impor, 
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pajak 
balasan. 
Distorsi produksi merupakan akibat dari produsen dalam 
negeri yang memproduksi barang karena harga meningkat.
Sedangkan distorsi konsumsi terjadi karena konsumen membeli 
produk lebih sedikit, sebagai akibat dari kenaikan harga. Rata-
rata tarif yang diterapkan di negara berkembang sekitar 20 persen, 
jauh lebih rendah daripada tingkat tarif terikat (bound tariff), yaitu 
80 persen. 
Banyak negara maju telah mengurangi tarif dan hambatan 
perdagangan, sehingga dapat meningkatkan integrasi global dan 
memungkinkan terjadinya globalisasi. Kesepakatan multilateral 
antarpemerintah meningkatkan kemungkinan terjadinya penurun-
an tarif, penegakan kesepakatan yang mengikat serta meningkat-
kan kepastian dalam perdagangan.
Perdagangan bebas menguntungkan konsumen melalui 
peningkatan pilihan dan penurunan harga. Namun, karena 
ekonomi global memicu  ketidakpastian, sehingga banyak 
pemerintah memberlakukan hambatan perdagangan lainnya. 
Misalnya, hambatan non-tarif untuk melindungi industri dalam 
negerinya. 
Ada beberapa bentuk-bentuk tariff barrier.
1. Specific Tariff (tarif spesifik) adalah biaya impor tetap yang 
dikenakan pada satu unit barang yang diimpor. Tarif ini dapat 
bervariasi sesuai dengan jenis barang yang diimpor. Misalnya, 
negara kita mengenakan tarif Rp450 untuk setiap kilogram 
beras yang diimpor dan mengenakan tarif Rp750 untuk setiap 
kilogram gula yang diimpor. Tarif semacam ini memberi  
perlindungan yang tinggi untuk barang yang lebih murah, 
tetapi perlindungan yang lebih rendah untuk barang yang 
lebih mahal.
2. Ad-valorem tariff (tarif Advalorem) yaitu suatu pajak yang 
dikenakan berdasarkan persentase tetap dari harga per unit 
barang yang diimpor. Contoh tarif advalorem adalah tarif 5 
persen yang dikenakan negara kita pada impor bawang putih. 
Dengan demikian, 5 persen adalah kenaikan harga pada nilai 
bawang putih impor. Jika bawang putih seharga 300 
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive