Tampilkan postingan dengan label politik bisnis 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik bisnis 1. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

politik bisnis 1















Subsidi pada hakikatnya merupakan

instrumen fiskal yang bertujuan untuk

memastikan terlaksanakannya peran negara

dalam aktivitas ekonomi guna meningkatkan

kesejahteraan masyarakat secara adil dan

merata. Skema ini kian penting tatkala

negara (pemerintah) telah mengurangi

perannya secara signifikan dalam aktivitas

ekonomi, sehingga pemerintah yang

berposisi  sebagai regulator layak

mengeksekusi pemberian subsidi. Oleh

karena itu, subsidi sebagai instrumen fiskal

ini kadang kala juga disebut sebagai salah

satu skema untuk mengurangi dampak

kegagalan pasar (market failure). Dalam

kerangka ini, subsidi pasti diperuntukkan

bagi sektor ekonomi yang menyangkut hajat

hidup orang banyak.

Walaupun dalam implementasi di

berbagai negara sektor-sektor ekonomi yang

diberikan subsidi itu memiliki perbedaan,

namun secara umum sektor ekonomi

tersebut bagi pemerintah masing-masing

merupakan sektor ekonomi yang paling

penting. Bagi negara-negara maju, sektor

pertanian merupakan salah satu sektor

ekonomi utama yang mendapatkan subsidi.

Pemilihan sektor ini bukan tanpa dasar,

karena dibandingkan sektor ekonomi

lainnya, sektor pertanian di negara-negara

maju memiliki daya saing yang relatif kurang

baik. Oleh karena itu, sebagai bagian integral

untuk memproteksi serbuan produk

pertanian asing sekaligus memastikan

eksistensi sektor pertanian domestik, maka

subsidi pertanianini  diberikan.

Dengan begitu, tampak bahwa subsidi

pertanian selain sebagai salah satu strategi

untuk melaksanakan perdagangan

internasional juga lebih bermakna

meningkatkan produktivitas masyarakat

daripada memenuhi kebutuhan konsumsi

semata.

Kenyataan ini tentu berbeda dengan

realitas yang ada di negara berkembang, di

mana mayoritas subsidi yang diberikan oleh

pemerintah bukan untuk sektor pertanian.

Di negara kita  sendiri, porsi terbesar atas

subsidi diberikan dalam bentuk subsidi

bahan bakar minyak (BBM). Dalam satu

dekade terakhir, porsi subsidi BBM selalu

lebih dari 50 persen terhadap total subsidi

yang diberikan oleh pemerintah.

Penumpukan subsidi BBM ini kian besar

tatkala pada sisi penawaran terjadi

penurunan lifting minyak domestik secara

konsisten dalam sepuluh tahun terakhir dan

di sisi permintaan terus naiknya

pertumbuhan konsumsi BBM (terutama

oleh kendaraan bermotor).

Lebih lanjut, data-data yang ada

memberikan gambaran bahwa saat ini

pertumbuhan kendaraan bermotor,

terutama sepeda motor, sangat tinggi. Jauh

di atas rata-rata pertumbuhan kendaraan

satu dekade silam. Fakta yang demikian ini

tidak dapat dilepaskan dari menjamurnya

lembaga pembiayaan kendaraan bermotor

sekaligus kurang ketatnya standar pemberian

kredit, sehingga masyarakat dengan tingkat

kemampuan membayar yang tidak begitu

tinggi dapat leluasa memperoleh kendaraan

bermotor baru. Pada sisi yang lain, fakta

tersebut akan menjadi salah satu pemicu

penting terjadinya instabilitas keuangan.

Perilaku lembaga pembiayaan yang

berafiliasi dengan sektor perbankanini 

memang didasarkan atas pertimbangan

rasional, di mana pembiayaan kendaraan

bermotor yang merupakan kredit konsumsi

memberikan imbal hasil yang lebih tinggi

daripada pemberian kredit investasi atau

modal kerja. Sebagai gambaran, selama

2007, rata-rata suku bunga kredit konsumsi

dalam setahun sebesar 16,87 persen.

sedang  rata-rata suku bunga untuk kredit

investasi dan modal kerja hanya sebesar 13,93

persen dan 13,86 persen . Perbedaan suku bunga ini menjadi

insentif tersendiri bagi para pelaku ekonomi

(baca: lembaga keuangan) dalam

menyalurkan dana yang dimilikinya. Realitas

ini memang wajar, karena secara teoritis

pelaku ekonomi dalam menjalankan

aktivitasnya selalu dipandu oleh insentif.

Ketika wilayah tertentu memberikan nisbah

ekonomi yang lebih besar daripada lokasi

yang lain, maka di daerah tertentu itulah para

pelaku ekonomi akan menjalankan

aktivitasnya.

Beralaskan argumentasiini , maka

sebagai upaya integral menghemat

pemakaian energi sekaligus supaya subsidi

BBM dapat ditekan, maka harus terdapat

regulasi moneter dari BI yang intinya bisa

merestriksi lembaga pembiayaan dalam

menyalurkan dananya, terutama terhadap

kredit konsumsi kendaraan bermotor. Bila

hal ini dapat dieksekusi, selain menyebabkan

subsidi BBM tidak bertambah secara

siginifikan juga akan mengakibatkan dua hal

penting, yakni (i) instabilitas keuangan

(terutama kemungkinan membumbungnya

NPLs, dapat tereduksi; dan (ii) meningkatkan

kualitas pertumbuhan ekonomi.

Walaupun subsidi BBM ini termasuk

dalam kategori subsidi konsumsi dan belum

pasti memberikan imbas positif terhadap

peningkatan kesejahteraan masyarakat kelas

bawah, namun bukan lantas pemberian

subsidi BBM yang sangat besar ini tidak

memiliki dasar yang kuat. Bagi pemerintah,

setidaknya ada dua penyebab atas

dieksekusinya subsidi BBM. Pertama, BBM

merupakan komoditas utama yang memiliki

dampak pengganda strategis bagi

perekonomian nasional, sehingga ketika

subsidi BBM dikurangi yang mengakibatkan

kenaikan harga BBM, secara langsung dan

tidak langsung pasti akan memberikan

tekanan terhadap perekonomian nasional.

Membentang dari sisi moneter (naiknya

inflasi secara drastis), terjadinya

ketidakstabilan pasar modal jangka pendek,

meningkatnya angka kemiskinan dan

pengangguran, tergerusnya iklim investasi,

sampai dengan melambatnya pertumbuhan

ekonomi. Kedua, selama sembilan tahun

terakhir (sejak era demokrasi) BBM bukan

lagi murni sebagai komoditas ekonomi,

tetapi telah menjadi komoditas politik,

sehingga ketika subsidi BBM dipangkas guna

menyesuaikan dengan berbagai keadaan

akan menyebabkan terjadinya instabilitas

politik. Dalam jangka menengah, penurunan

subsidi BBMini  juga pasti akan

mereduksi modal politik rezim pemerintah

yang sedang berkuasa untuk

mempertahankan kekuasaan. Oleh karena

itu, subsidi BBM walaupun sangat

membebani APBN dan juga mengurangi hak

warga negara kelas bawah tetap

diberlakukan.

Lebih dari itu, kian besarnya subsidi

yang dipatok dalam APBN negara kita  satu

dekade terakhir mengilustrasikan bahwa

subsidi semakin perlu diberlakukan ketika

sistem ekonomi mulai sarat dengan

mekanisme pasar. Seperti diketahui seiring

dengan mulai mengakarnya sistem

demokrasi politik di negara kita , sistem

ekonomi negara kita  mau diakui atau tidak

telah banyak dipandu oleh mekanisme pasar.

Sayangnya, sektor privat penggerak

mekanisme pasar terbatasini  lebih

banyak didominasi oleh asing dan pelaku

besar domestik, sehingga mekanisme

tersebut  berjalan sangat tidak sempurna.

Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa

hasil yang kemudian muncul dari

implementasi mekanisme pasarini 

justru lebih banyak mendonasikan

ket idakse imbangan kese jahteraan

masyarakat. Tepat pada titik inilah, subsidi

sebagai salah satu skema untuk mengurangi

imbas kegagalan pasar menyeruak.

Tapi, skema subsidi yang

diformulasikan di negara kita  bukan secara

mutlak diperuntukkan bagi masyarakat kelas

bawah, baik dalam bentuk subsidi yang

dapat menstimulus peningkatan

produktivitas masyarakat kelas bawah,

desain subsidi yang bisa membentuk modal

sosial dan akan berkontribusi besar dalam

perekonomian nasional di masa mendatang,

maupun memberikan jaminan sosial secara

berkala kepada masyarakat yang sangat

miskin. Oleh karena itu, secara keseluruhan

implementasi subsidi di negara kita  dalam

kerangka mengatasi dampak kegagalan pasar

kurang memerlihatkan hasil yang maksimal.

*****

Lebih dari segalanya, selama Triwulan

I 2008, harga minyak mentah internasional

terus merangkak naik. Dalam perspektif

lokal negara kita , peningkatan itu mau tidak

mau pasti memberikan tekanan kepada

APBN 2008. Pasalnya, seperti diketahui

bahwa neraca BBM negara kita  dalam

beberapa tahun terakhir telah negatif.

Walaupun pada arah yang lain defisitini 

masih patut dipertanyakan lagi: apakah data

lifting minyak yang disetorkan oleh para

operator minyak kepada pemerintah

memang telah sesuai dengan lifting

sebenarnya atau belum. Namun, secara

umum dengan memerhatikan fakta yang ada

subsidi BBM yang telah dipatok dalam

APBN 2008 pasti harus direvisi. Pada arah

inilah, konsep subsidi di negara kita  layak

ditinjau ulang. Tujuannya, pada satu sisi

supaya tidak terjadi pembengkakan subsidi

BBM secara siginifikan sekaligus

menghadirkan defisit APBN yang besar, dan

di sisi lain subsidi yang selama ini diterima

oleh masyarakat kelas menengah atas dapat

disubstitusikan kepada masyarakat kelas

bawah.

Pada satu sisi, kesempatanini 

memang merupakan waktu yang tepat untuk

mengubah konsep subsidi di negara kita . Tapi,

pada sisi yang lain upayaini  pasti akan

mendapatkan perlawanan dari berbagai

pihak. Pasalnya, pengubahan skema subsidi

tersebut tidak dipandu secara murni oleh

inisiatif meningkatkan kesejahteraan

masyarakat tetapi lebih didorong oleh faktor

kenaikan harga minyak mentah dunia.

Bahkan dengan rentang waktu formulasi

pengubahan subsidi yang relatif pendek, di

samping menyebabkan terjadinya

penurunan kinerja makro ekonomi juga

berpotensi besar mengakibatkan tidak

tercapainya visi subsidi langsung itu.

Selain subsidi BBM, subsidi lain yang

yang cukup menyita anggaran adalah subsidi

listrik. Subsidi ini sepintas memang layak

diberikan, karena listrik merupakan salah

satu infrastruktur yang menyangkut hajat

hidup orang banyak. Namun, ketika

menguliti struktur subsidi listrik di negara kita 

tampak sektor rumah tangga merupakan

pihak yang harus membayar listrik dengan

harga tertinggi untuk setiap Kwh yang

dipakainya. sedang  sektor industri dan

komersial yang dalam aktivitasnya bertujuan

mendapatkan keuntungan justru memiliki

kewajiban membayar yang lebih rendah. Hal

ini menggambarkan bahwa konsep subsidi

listrik di negara kita  kurang tepat, di mana

bukan hanya berakibat pada meningkatnya

biaya listrik oleh masyarakat tetapi juga

menekan anggaran negara yang seharusnya

dapat disubstitusikan untuk pembiayaan

yang lebih produktif.

Terlepas dari polemik di atas,

pemerintah akhirnya mengurangi subsidi

BBM. Kebijakan itu kemudian

diformulasikan pula subsidi langsung tunai

sebagai kompensasi kenaikan harga BBM

tersebut. Subsidi langsungini 

bertujuan untuk memastikan bahwa

dampak kenaikan harga BBMini  tidak

terlalu menekan masyarakat kelas bawah.

Asumsinya, kenaikan harga-harga pangan

utama akibat kenaikan harga BBMini 

dapat ditutupi oleh adanya subsidi langsung

tunai. Bahkan, dari perhitungan yang telah

dilakukan oleh pemerintah, subsidi langsung

tunai itu dapat mengurangi kuantitas

masyarakat miskin, sehingga dengan

kebijakanini  dua hasil dicapai sekaligus,

yakni (i) kuantitas penduduk miskin dapat

direduksi; dan (ii) instrumen fiskal

pemerintah tetap dapat berjalan secara

normal.

Sungguh pun begitu, terdapat

pandangan dari beberapa pihak bahwa

pengurangan subsidi BBMini 

seharusnya tidak desain sedemikian itu. Tetapi

lebih untuk investasi migas (terutama

minyak). Pandanganini  memang

merupakan salah satu varian dari berbagai

pendapat yang muncul. Pendapat lainnya

menyarankan subsidi bahan bakarini 

lebih baik dialihkan kepada subdisi langsung

bagi masyarakat miskin yang terkena

dampak pengganda kenaikan harga minyak

atau untuk pengembangan sektor pertanian

(terutama subsidi pangan dan subsidi

produksi pangan). Namun, bila ini yang

diambil sebenarnya salah satu akar

permasalahan krisis energi masih tetap

menganga, sehingga dalam beberapa waktu

ke depan subsidi BBM pasti akan menekan

APBN negara kita .

Kondisi berbeda akan terjadi bila

subsidi bahan bakar dialihkan untuk

mengeksplorasi minyak. Data-data yang ada

melukiskan bahwa saat ini cadangan minyak

yang belum dieksplorasi sebesar 86,9 miliar

barrel (lihat pula artikel yang berjudul

Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab

dan Dampaknya Terhadap Subsidi Energi

di negara kita ), sehingga eksplorasi minyak

sangat mungkin dilakukan. Pilihan kebijakan

ini dalam jangka pendek memang akan

memicu inflasi, namun dalam jangka

panjang lifting minyak domestik akan dapat

mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dalam

pandanganini , jika kebijakan-kebijakan

ini yang dieksekusi, maka pola kebijakan

subdisi pemerintah di masa mendatang

dapat didesain ulang secara lebih tepat dan

yang krisis energi akan segera mulai mereda.

Pada akhirnya, kebijakanini  bisa

memberikan makna kehidupan yang lebih

baik bagi umat manusia di negara kita .

*****

Atas dasar latar belakang di atas,

beberapa tulisan yang berkaitan dengan

konsep subsidi di negara kita  akan disajikan

dalam BEP Volume 9  Nomor 3 Tahun

2008. Tulisan-tulisan ini adalah sebagai

berikut:

1. Kenaikan Harga Minyak Dunia:

Penyebab dan Dampaknya Terhadap

Subsidi Energi di negara kita  (Eko

Listiyanto). Artikel ini menguraikan

secara detail faktor-faktor yang

menyebabkan kenaikan harga minyak

mentah dunia, baik dari perspektif global

maupun perspektif domestik negara kita .

Dimulai dari paparan mengenai faktor

fundamental, menurunnya nilai tukar

mata uang dollar AS terhadap beberapa

mata uang lainnya (terutama Euro), krisis

geopolitik di negara-negara penghasil

minyak, sampai dengan ulah para

spekulan komoditas. Pada bagian akhir

artikel juga dibahas mengenai relasi

kenaikan harga minyak mentah dunia

tersebut terhadap subsidi BBM di

negara kita .

2. Modal Manusia dan Globalisasi: Peran

Subsidi Pendidikan (Dias Satria). Dalam

risalah ini diuraikan mengenai peran

subsidi dalam membangun sumber daya

manusia yang tangguh, sehingga

diharapkan dapat menjadi modal sosial

yang sangat penting dalam memapankan

posisi negara kita  dalam percaturan

ekonomi dunia di masa mendatang.

Risalah ini dibuka dengan ulasan

mengenai peran modal manusia dalam

meningkatkan kinerja perekonomian

suatu negara. Selanjutnya, dipaparkan

tentang konsep subsidi dalam perspektif

makroekonomi, baik dilihat dari wilayah

global maupun lokal negara kita .

Dilanjutkan dengan uraian tentang

pendidikan dan globalisasi ekonomi.

Bagian akhir dari risalah ini

mengilustrasikan dampak positif apa saja

yang akan muncul dari kebijakan

pemberian subsidi yang pro-poor growth.

3.  Kajian Kerangka Subsidi di negara kita 

(Evi Noor Afifah). Dalam makalah ini

dikaji secara mendalam berbagai hal yang

berkaitan dengan subsidi di negara kita .

Pada bagian awal dibuka dengan

paparan mengenai realitas subsidi yang

ada di negara kita  dalam beberapa tahun

terakhir. Selanjutnya, dibahas tentang

analisis kerangka subsidi di negara kita .

Dilanjutkan lagi dengan uraian mengenai

kerangka subsidi di berbagai negara

terpilih (India, Nigeria, dan Malaysia).

Terakhir, dijelaskan secara detail

mengenai faktor-faktor yang menjadi

determinan penting dalam penentuan

subsidi di Indoensia.

4.  Krisis  Pangan  ’Silent  Tsunami’    dan

Pelajaran Bagi negara kita  (Abdul Manap

Pulungan). Dalam paper ini dijelaskan

mengenai relasi antara krisis pangan

global dengan kenaikan harga minyak

mentah dunia (terutama dampak dari

penggunaan bahan pangan sebagai

bahan bakar untuk mensubstitusi

penggunaan bahan bakar minyak).

Kemudian, dilanjutkan dengan paparan

mengenai kemungkinan terjadinya krisis

pangan di negara kita , termasuk di

dalamnya di bahas mengenai subsidi

pertanian yang pada kenyataannya bisa

jadi memberikan kontribusi dalam

terjadi krisis pangan di negara kita . Pada

bagian akhir paper ini diulas mengenai

tantangan untuk menciptakan ketahanan

pangan di negara kita , sehingga

diharapkan krisis energi yang mungkin

mendera negara kita  di kemudian hari

tidak dibarengi dengan krisis pangan.

5. Perkembangan Indikator Ekonomi

negara kita  Triwulan I 2008 (Abdul

Manap Pulungan). Dalam evaluasi ini

terdiri atas: (i) kinerja pertumbuhan

ekonomi; (ii) perkembangan sektor

moneter (inflasi, nilai tukar, dan suku

bunga); (iii) perkembangan sektor

perbankan dan pasar modal (intermediasi

perbankan, perkembangan pasar obligasi,

dan kinerja saham); dan (iv) tekanan

perekonomian global.

Demikianlah, pada edisi ini kami

mengambil topik bahasan tentang Subsidi

dalam Perekonomian.  Penentuan topik ini

didasarkan pada krusialnya peranan subsidi

dalam penopang kegiatan perekonomian.

Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat

memperkaya informasi kepada publik

tentang kondisi subsidi nasional.

 Kenaik Kenaik Kenaik Kenaik Kenaikan Harga Minyak Dunia:an Harga Minyak Dunia:an Harga Minyak Dunia:an Harga Minyak Dunia:an Harga Minyak Dunia:

PPPPPenyebab dan Dampaknyaenyebab dan Dampaknyaenyebab dan Dampaknyaenyebab dan Dampaknyaenyebab dan Dampaknya

TTTTTerhadap Subsidi Energi di negara kita erhadap Subsidi Energi di negara kita erhadap Subsidi Energi di negara kita erhadap Subsidi Energi di negara kita erhadap Subsidi Energi di negara kita 


Persoalan energi menjadi wacana hangat

yang sering diperbincangkan di belahan

dunia. Mulai dari meningkatnya harga

minyak dunia, spekulasi di komoditas minyak

sampai dengan substitusi energi fosil ke biofuel

yang mengancam produksi pangan. Di

negara kita  wacana ini tidak kalah serunya,

masyarakat disuguhi pemberitaan

menurunnya lifting minyak dalam negeri yang

diikuti dengan tren meningkatnya impor

minyak nasional. Selain itu, akibat

meningkatnya harga minyak dunia, PLN

kesulitan memenuhi pasokan energi listrik

untuk industri dan rumah tangga. Berbagai

problematika seputar energi kembali

menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan

ekonomi negara kita  yang meningkat pada

2007 lalu.

Menghadapi situasi seperti ini

masyarakat tersadarkan kembali bahwa

energi memegang peranan yang sangat

penting bagi kemajuan perekonomian suatu

bangsa. Energi adalah jantung yang

memompa denyut nadi perekonomian.

Berbagai hasil pembangunan terutama

infrastruktur dan mesin industri menjadi

tidak optimal tanpa ketersediaan energi yang

mencukupi. Lebih parahnya, kenaikan harga

minyak menjadi efek domino bagi sektor

energi lain yaitu listrik. Penyediaan energi

listrik menjadi ikut terganggu akibat

meningkatnya harga minyak. Ketika

konsumen minyak (termasuk PLN)

mencoba mensubstitusi dengan sumber

energi lain, hukum ekonomi pun bekerja,

batubara sebagai pengganti BBM harganya

juga ikut naik, demikian pula harga gas elpiji

dan energi alternatif lainnya juga mengalami

kenaikan.

Sejatinya, wacana pentingnya energi

dalam perekonomian bukan hal yang baru

lagi. Bahkan kalau mau ditelusuri lebih jauh

bisa ditarik mulai sejak dilakukannya

revolusi industri atau mungkin sejak adanya

kegiatan ekonomi itu sendiri. Namun, dalam

perkembangannya wacana ini juga

mengalami pasang surut seiring fluktuasi

ekonomi yang terjadi dan kiblat ekonomi

yang dianut. Minyak -komoditas energi

yang paling dominan digunakan dalam

kegiatan ekonomi- bisa dijadikan gambaran

perkembangan wacana energi selama ini

(Gambar 1.). Ketidaksiapan mengantisipasi

kelangkaan energi pada akhirnya menjadi

boomerang bahkan bagi negara yang terkenal

dengan kekayaan alamnya seperti negara kita .

Kekayaan alam yang ada sebenarnya bisa

menjadi potensi bagi pengembangan

berbagai jenis energi apabila tepat

pengelolaannya.

Fluktuasi harga minyak dunia (Gambar

1) mewartakan bahwa minyak sebagai

komoditas energi eksklusif dalam

perekonomian tidak hanya sensitif terhadap

isu ekonomi tetapi juga geopolitik, kondisi

alam dan kebijakan perminyakan dunia.

Pada 1974 harga minyak mulai meningkat

drastis karena efek peperangan antara Arab

dan Israel pada tahun sebelumnya (1973)

yang menyebabkan terjadinya embargo

minyak arab. Pada 1980 harga minyak


kembali naik menyusul perang Irak-Iran yang

berlanjut pada 1981. Setelah tahun 1980-an

penyebab fluktuasi harga minyak semakin

kompleks dan tidak hanya didominasi oleh

faktor geopolitik saja tetapi juga faktor

kebijakan, faktor fundamental (terbatasnya

stok minyak) hingga yang terbaru ini yaitu

adanya faktor spekulasi di pasar berjangka

minyak.

Minyak bumi menjadi energi terbesar

dalam kegiatan produksi dan distribusi.

Apalagi setelah tahun 2000, tren kenaikannya

semakin menanjak. Lonjakan harga minyak

tanggal 6 Juni 2008 yaitu US$139,12 per

barel sebelum akhirnya ditutup pada

US$138,54 per barrel mencatat rekor

kenaikan tertinggi dalam sehari yaitu sebesar

US$10,75 per barrel (Investor Daily, 9 Juni

2008). Tanggal 3 Juli 2008 harga minyak

tembus US$ 145,85 per barrel yang

kemudian membuat kondisi pasar saham

tertekan dan mengalihkan dananya ke pasar

komoditas.

Ada beberapa hal yang mendasari

naiknya harga minyak dunia saat ini. Lebih

lanjut, tulisan ini berusaha mengidentifikasi

beberapa penyebab kenaikan harga minyak

dunia, problem perminyakan di negara kita 

serta efeknya terhadap subsidi energi pada

APBN. Tulisan diawali dengan melihat faktor

penyebab disertai dengan data empiris

dalam upaya mengidentifikasi dan

menelusuri penyebab meningkatnya harga

minyak saat ini. Kemudian dilanjutkan

dengan pengkajian singkat mengenai

problematika perminyakan di negara kita 

serta perkembangan subsidi energi utamanya

setelah meningkatnya harga minyak dunia.

Selanjutnya, berbagai solusi mengenai

kebijakan energi akan dijadikan sebagai

penutup.

2. Penyebab Meningkatnya Harga

Minyak Dunia

Apabila dikelompokkan setidaknya ada

tiga faktor utama yang menjadi penyebab

naiknya harga minyak dunia saat ini. Pertama,

faktor yang berasal dari sisi permintaan, ini

berupa peningkatan permintaan minyak

bumi oleh banyak negara terutama negara

berkembang yang ingin mengenjot

pertumbuhan ekonominya. Kondisi ini

membuat mereka (negara berkembang)

memerlukan Bahan Bakar Minyak dalam

jumlah yang besar untuk melakukan aktivitas

ekonomi terutama produksi dan distribusi.

Termasuk dalam bagian ini adalah adanya

permintaan yang meningkat dari dua negara

yang sedang mengalami pertumbuhan

ekonomi tinggi yakni India dan China. Selain

itu, permintaan juga datang dari para trader

di pasar berjangka dalam bentuk paper

karena keuntungan memegang komoditas

minyak ini sangat besar. Perdagangan

komoditas minyak sekarang sudah

mengalami ’metamorfosis’ karena infiltrasi

teknologi informasi yang demikian pesat di

pasar berjangka minyak. Pergerakan harga

minyak saat ini lebih mirip fluktuasi harga

saham di bandingkan layaknya harga sebuah

komoditas biasa.

Kedua, faktor dari sisi penawaran, ini

berupa kondisi supply minyak bumi dari

para pemasok minyak dunia serta posisi

kekuatan pasar Organisasi Negara-Negara

Pengekspor Minyak (OPEC) dalam

percaturan bisnis minyak. Dengan lebih

menggali perkembangan kondisi sisi supply

minyak saat ini serta bargaining position OPEC

di kancah perminyakan internasional akan

memperjelas sumber peningkatan harga

yang lebih dominan. Sehingga sisi

penawaran ini juga dianggap cukup krusial

untuk ditelusuri sama pentingnya dengan

melihat kenaikan harga minyak ini dari sisi

permintaan.

Dua faktor sebelumnya (yaitu

permintaan dan penawaran) bisa dikatakan

sebagai faktor fundamental. sedang 

yang ketiga adalah faktor-faktor lain di luar

kondisi fundamental tetapi masih berkaitan

erat dengan peningkatan harga minyak

dunia. Termasuk dalam faktor ketiga ini

antara lain; kondisi geopolitik; melemahnya

nilai tukar dolar AS; kondisi cuaca yang

tidak kondusif; serta ulah spekulan di pasar

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 13

Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di negara kita 

berjangka minyak bumi (Waiquamdee,

2008). Untuk memermudah pemahaman

terhadap tiga faktor penyebab meningkatnya

harga minyak ini Gambar 1.2. bisa

membantu mengilustrasikannya.

Analisis awal penyebab kenaikan harga

minyak bersumber dari faktor fundamental

yaitu sisi permintaan dan penawaran. Dari

sisi fundamental lonjakan harga minyak

disebabkan oleh meningkatnya permintaan

(demand) di satu sisi dan berkurang ataupun

tidak bertambahnya pasokan (supply) di sisi

Gambar 1.2

 Penyebab Meningkatnya Harga Minyak

Sumber: Waiquamdee, 2008

 

Demand Structure Factors: 

 

• Continuously rising demand 

especially from Emerging 

Market economies 

• Becoming more of an asset 

class 

 

Supply Structure Factors: 

 

• Decreasing supply sensitivity to 

price 

• OPEC’s market power 

 

 

• Increasing oil price trend 

• Rising volatility of oil prices 

Other Factors: 

 

• Weak US dollars 

• Geopolitics 

• Severe weather conditions 

• Investors’ speculation 

lain. Logika yang dibangun sangat

sederhana, walaupun persoalan riil yang

dihadapi tidak sesederhana ini. Permintaan

minyak bumi meningkat sementara pasokan

minyak tidak mampu mengimbangi

peningkatan permintaan yang terjadi, secara

otomatis kondisi ini akan mendorong

naiknya harga. Permintaan yang meningkat

dilatarbelakangi oleh keinginan negara

berkembang untuk memacu pertumbuhan

ekonominya. Selain itu, dua negara industri

China dan India yang dalam beberapa tahun

ini berhasil menyaingi dominasi AS dan

Jepang dalam ekonomi global, sedang giat-

giatnya memacu pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi tinggi di kedua

negara itu tentu membutuhkan jumlah energi

yang besar guna memertahankan

momentum yang telah dicapai. Menjadi

pertanyaan apakah situasi meningkatnya

permintaan ini didukung oleh data

fundamental yang ada? Tabel 1. berikut bisa

memberi gambaran mengenai hal ini.

Tabel 2. menggambarkan faktor

fundamental minyak bumi dari sisi

permintaan dan penawaran. Berdasarkan

Tabel 1.

Permintaan dan Pasokan Minyak (Juta Barrel per Hari)

data sampai 30 April 2008 pasokan minyak

cukup mampu untuk mengimbangi

permintaan pasar. Baik permintaan maupun

pasokan juga cenderung stabil. Namun,

kondisi berbeda terjadi ketika data produksi

minyak dunia dari OPEC per Mei 2008

sebesar 81,85 juta barrel per hari, sementara

konsumsi minyak dunia sebesar 84,81 juta

barrel per hari (tidak ada dalam tabel). Ini

menunjukkan adanya kekurangan pasokan

sebesar 2,96 juta barrel per hari. Data

tersebut dikuatkan dengan hasil riset

Deutsche Bank yang menyebutkan

pendorong kenaikan harga minyak adalah

faktor fundamental yakni terbatasnya

pasokan di tengah kenaikan konsumsi

minyak dunia. Lebih lanjut upaya politisi AS

meredam spekulasi dengan mencoba

menginvestigasi pasar komoditas berjangka

justru dilawan pasar dengan mengerek harga

minyak (Investor Daily, 2008). Sungguh pun

demikian, kondisi Januari – April 2008

menunjukkan pada saat permintaan masih

dapat diimbangi dengan pasokan, harga

minyak tetap saja meroket. Ini membuktikan

bahwa tidak hanya faktor fundamental

(permintaan-penawaran) yang bisa

menyebabkan harga minyak meningkat

tajam.

Tabel 1. sekaligus juga mengilustrasikan

kekerdilan kekuatan pasar negara OPEC

dibandingkan Non OPEC. Pangsa pasar

yang lebih didominasi negara di luar OPEC

menyebabkan tumpulnya berbagai kebijakan

yang dilakukan oleh OPEC dalam merespon

lonjakan harga minyak. Sebagai informasi

tambahan (tidakada di tabel) kontribusi

pasokan minyak negara-negara timur tengah

terhadap produksi OPEC sebesar 65,61

persen (2007). Dengan rincian; Saudi Arabia

berkontribusi sebesar 28,22 persen, Iran

sebesar 11,97 persen, Uni Emirat Arab

sebesar 8,07 persen, Kuwait sebesar 7,97

persen, Iraq sebesar 6,74 persen, serta Qatar

berkontribusi sebesar 2,63 persen (Investor

Daily, 2008). Kontribusi yang besar dari

negara-negara di Timur Tengah terhadap

OPEC seharusnya membuat organisasi ini

punya kekuatan untuk mempengaruhi

kebijakan. Tetapi fakta di lapangan berbeda,

OPEC terlihat kerdil dalam meredam

lonjakan harga minyak dunia. Melihat data

pasokan bulan April 2008 sebenarnya supply

(86,8 juta bph) sudah lebih tinggi dari demand

(85,1 juta bph), tetapi harga minyak tetap

saja meroket.

Selain faktor fundamental ada faktor

lain yang berpengaruh terhadap lonjakan

harga minyak dunia. Turunnya nilai mata

uang dolar AS terhadap Euro dan sebagian

besar mata uang lainnya juga menyebabkan

harga minyak dunia meningkat. Ekspektasi

pasar terhadap melemahnya nilai tukar dolar

mendorong commodity market untuk

menyesuaikan dengan mata uang yang lebih

stabil (Prijambodo, 2008).

Ditinjau dari faktor geopolitik, kondisi

stabilitas di Nigeria, Pakistan dan Timur

Tengah juga menjadi pemicu. Kondisi

keamanan negara-negara yang memiliki

ladang minyak sering mewarnai lonjakan

harga minyak dunia selama tiga dekade

terakhir ini. Tercatat harga minyak sempat

melonjak beberapa kali sebagai akibat

terganggunya keamanan suatu negara

ataupun kawasan penghasil minyak. Pada

1974 harga minyak menyentuh US$ 10 per

barel pasca perang Arab-Israel 1973. Pada

1980 harga minyak mencapai US$ 30 per

barel karena perang Irak-Iran. Satu tahun

kemudian (1981) harga minyak menyetuh

US$ 39 per barrel karena perang masih

berlanjut. Tidak hanya berhenti di sini, pada

1990 harga minyak dunia mencapai US$40

per barrel menyusul invasi Irak ke Kuwait.

Pada Januari 2008 untuk pertama kalinya

harga minyak tembus US$ 100 per barrel

karena faktor geopolitik di Nigeria dan

Pakistan serta pada 6 Juni 2008 tembus US$

138,54 per barel karena meningkatnya suhu

geopolitik di timur tengah,

Faktor lain penyebab kenaikan harga

minyak yang sedang hangat diperbincangkan

saat ini adalah tindakan spekulasi di pasar

berjangka. Fenomena kapitalisasi yang kental

di bisnis perminyakan menjadi semakin

terlihat dengan jelas. Premis bahwa

kelangkaan minyak terjadi tidak hanya karena

meningkatnya permintaan dari negara-

negara yang sedang memacu pertumbuhan

ekonomi seperti China dan India, tetapi juga

terjadinya spekulasi besar-besaran di pasar

derivatif  minyak menjadi logis. Dugaan ini

bukan hanya isapan jempol belaka, buktinya

badan pengawas berjangka AS, Commodity

Futures Trading Commission (CFTC) mulai

membuka detail data investor di bursa

berjangka dan di indeks dana kelolaan

komoditas untuk melihat besaran aksi

spekulasi yang dilakukan pengelola dana.

CFTC telah membuat kesepakatan dengan

otoritas keuangan di Inggris (United Kingdom

Financial Services Authority/FSA) dan bursa

berjangka di Eropa, ICE Futures Europe

pada tanggal 29 Mei 2008 (Bisnis negara kita ,

4 Juni 2008). Inti dari kesepakatanini 

adalah seluruh pihak yang terlibat dalam

perjanjian berkewajiban memberikan

informasi untuk pengawasan transaksi

kontrak berjangka komoditas energi

(minyak mentah jenis West Texas

Intermediate) dengan tempat pengiriman

dari AS.

Terlepas dari kontroversi yang muncul,

upaya meredam spekulasi di pasar minyak

ini akan menjadi solusi efektif apabila tidak

ditunggangi dengan berbagai kepentingan

parsial terutama dari anggotanya. Hal ini

setidaknya terlihat dari investigasi CFTC

terhadap aktivitas pembelian, transportasi,

penyimpanan, perdagangan minyak, serta

hal-hal lain yang terkait dengan kontrak

berjangka minyak yang membuktikan

adanya manipulasi di pasar minyak AS dan

telah menyebabkan harga minyak melonjak.

Terkait dengan hal ini Alan Greenspan

mantan gubernur The Federal Reserve (Bank

Sentral AS) mengatakan sekitar 10 dolar AS

dari setiap harga minyak yang tercatat

sekarang memang karena ulah spekulan

(Sunarsip, 2008). Hedge funds diduga telah

melakukan spekulasi sehingga harga minyak

melonjak.

Transaksi komoditas minyak di pasar

berjangka menyebabkan harga minyak

cenderung fluktuatif. Parahnya, laba yang

dihasilkan di pasar berjangka minyak justru

lebih banyak dinikmati oleh pelaku pasar

yang tidak mempunyai ladang minyak. Stok

minyak, termasuk kekayaan telah beralih

dari NOC-IOC (National Oil Company -

International Oil Company) kepada para trader

dan pelaku sektor keuangan yang tidak

punya ladang minyak, fasilitas kilang,

gudang, atau kapal tanker 

mengemukakan bahwa Kongres AS

mengungkapkan investasi terbesar saat ini

berbentuk paper di sektor energi, dari porsi

semula 4,6 persen (2003) menjadi 30,7

persen (2005) dan di atas 50 persen (2006).

Keuntungan yang bisa diraup pun

menggiurkan, berdasarkan data The New

York Times 2005 yaitu 1,5 miliar dolar AS

dinikmati oleh Goldman Sachs dan Morgan

Stanley. Keuntungan sebesar itu

menimbulkan efek berantai di pasar

berjangka minyak.

Berdasarkan berbagai fakta yang

diungkapkan di atas terlihat bahwa penyebab

kenaikan harga minyak tidak hanya faktor

fundamental yaitu dari sisi permintaan dan

pasokan tetapi juga ada kontribusi dari

faktor geopolitik, melemahnya mata uang

dolar AS serta perilaku spekulatif para trader

minyak bumi. Ketatnya pasar minyak bumi

membuat pasar ini sangat sensitif terhadap

masalah-masalah di luar ekonomi seperti

geopolitik maupun kondisi alam.

Kompleksitas penyebab naiknya harga

minyak saat ini membuat kian rumitnya jalan

keluar yang efektif.

3. Subsidi Energi dan Problematika

Perminyakan di negara kita 

Melonjaknya harga minyak dunia telah

menyebabkan instabilitas perekonomian di

banyak negara. Berbeda dengan negara

pengekspor minyak yang mendapat

keuntungan karena meningkatnya windfall

profit, negara pengimpor sampai harus

mempertaruhkan kredibilitas pemerintahan-

nya akibat lonjakan harga minyak ini. Di

negara kita  sendiri, melambungnya harga

minyak menyebabkan pembengkakan

anggaran subsidi BBM yang diperkirakan

bisa mencapai Rp 190 triliun, dengan asumsi

harga minyak US$ 124 per barrel. Kondisi

ini memaksa pemerintah mengeluarkan

kebijakan pengurangan subsidi karena

maksimal anggaran subsidi BBM yang bisa

diberikan sebesar Rp 135,3 triliun (Kompas,

2008). Berarti ada selisih 55 triliun apabila

anggaran subsidi tidak dikurangi. Dari sisi

politik, pengurangan subsidi BBM

merupakan suatu bentuk kebijakan yang

tidak populer dan berpotensi menyulut

konflik vertikal antara pemerintah dengan

rakyat. Terlebih lagi pengurangan subsidi ini

terjadi di saat masyarakat sudah terbebani

oleh meningkatnya harga komoditas pangan

dunia. Selain akan mendorong inflasi, hal ini

tentu akan menurunkan tingkat aksesibilitas

masyarakat terhadap kebutuhan pangan.

Selama ini harga BBM di negara kita 

berdasarkan ketentuan pemerintah, tanpa

terikat langsung dengan fluktuasi harga

internasional. Tujuannya, menurunkan harga

guna percepatan pembangunan ekonomi.

Dengan BBM yang lebih terjangkau

diharapkan akan mampu memacu

pertumbuhan melalui meningkatnya

berbagai kegiatan ekonomi seperti industri,

transportasi dan distribusi barang dan jasa.

Walaupun di sisi lain disparitas harga BBM

domestik dengan pasar internasional juga

bisa menyuburkan kasus penyelundupan.

Sebuah ekses kebijakan yang cukup sulit

ditanggulangi dalam situasi penegakan

hukum yang carut-marut saat ini.

Secara teoritis kebijakan subsidi BBM

merupakan kebijakan pemerintah dalam

rangka membantu konsumen (dalam hal ini

masyarakat) agar mendapatkan harga BBM

pada tingkat harga yang lebih murah dengan

sebagian beban harga ditanggung

pemerintah. Dengan harga yang lebih

terjangkau maka akan semakin banyak

masyarakat yang bisa mengakses BBM. Pada

gilirannya penggunaan BBM akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi

melalui makin aktifnya kegiatan produksi

dan distribusi barang dan jasa termasuk

kegiatan transportasi. Dalam APBN subsidi

energi yang dimaksud ada dua yaitu subsidi

untuk harga BBM dan subsidi untuk listrik.

Bisa dikatakan subsidi BBM termasuk

kategori subsidi yang diberikan kepada

konsumen agar bisa mengakses komoditas

pada harga yang lebih terjangkau. sedang 

subsidi listrik diberikan kepada produsen

(dalam hal ini PLN) agar bisa memroduksi

listrik pada kuantitas yang lebih banyak

dengan harga yang relatif sama.

Harga minyak dunia saat ini sudah

menyentuh US$ 145,85 per barel (Investor

Daily, 2008). Kurtubi (2008) mengingatkan

bila harga minyak mentah selama satu tahun

ke depan berada pada kisaran US$ 130 per

barel, devisa yang harus dikeluarkan untuk

impor minyak mentah sebesar 400.000-

450.000 barrel mencapai US$ 43 miliar.

Suatu situasi yang semakin mengancam

kestabilan ekonomi negara kita  yang sangat

terbebani dengan persoalan minyak ini.

Terlebih lagi sekarang negara kita  menjadi

negara net importer yang secara otomatis

mengakibatkan kenaikan harga minyak akan

meningkatkan anggaran untuk impor

minyak tanpa disertai pemasukan dari

adanya windfall profit. Gambar arus minyak

nasional tahun 2007 (Gambar 3) bisa

memberikan ilustrasi situasi perminyakan di

negara kita  saat ini.

Tren meningkatnya impor minyak sejak

tahun lalu (2007) ditengah situasi

melonjaknya harga minyak dunia membuat

anggaran untuk mengimpor minyak

meningkat. Akibatnya penyesuaian terhadap

situasi ini dianggap perlu dilakukan. Impor

minyak yang meningkat sebenarnya

merupakan sinyal bahwa produksi minyak

dalam negeri sendiri menurun. Setelah

dikonfirmasi dengan data yang ada, fakta

ini memang terjadi. Salah satu indikator

menurunnya produksi minyak bisa ditelusuri

dari data lifting minyak (Gambar 4.).

Peningkatan lifting minyak (produksi minyak

siap jual) perlu dilakukan sebagai salah satu

upaya untuk meningkatkan pasokan minyak

Gambar 4.


bumi dalam negeri. Menurunnya realisasi

lifting minyak dari target yang sudah

ditetapkan menjadi salah satu pemicu naiknya

harga BBM bersubsidi. Bahkan dalam 12

tahun terakhir produksi minyak nasional terus

merosot hingga 35 persen (Investor Daily,

14 Mei 2008). Usaha peningkatan lifting

minyak dalam jangka pendek bisa dimulai

dengan perbaikan infrastruktur dan

pengoptimalan sumur-sumur minyak yang

sudah ada. Dari perbaikan-perbaikan yang

dilakukan diharapkan target yang ditetapkan

bisa terpenuhi.

Dari Gambar 4. terlihat selama lima

tahun terakhir target lifting minyak tidak

tercapai, bahkan sejak tahun 2004

memperlihatkan tren yang menurun.

Sementara harga minyak dunia terus

menanjak. Kondisi yang kontra ini menjadi

salah satu penyebab naiknya harga BBM

dalam negeri. Pasokan minyak yang terus

menurun sementara permintaan cenderung

meningkat menyebabkan harga minyak naik.

Lifting minyak tahun ini (Januari-Mei 2008)

baru mencapai 0,925 juta barrel per hari

sementara target dalam APBN-P adalah

0,927 juta barrel per hari. Dengan kata lain

target belum terpenuhi. Walaupun target

lifting minyak 2008ini  kemungkinan

bisa terpenuhi, negara kita  masih tetap

menjadi net importer minyak. Hal ini

dikarenakan kebutuhan konsumsi harian

BBM di negara kita  lebih tinggi dari target

lifting, yaitu sekitar 1,2-1,4 juta barrel per hari

sementara target realistis hanya 0,927 juta

barel per hari.

Masalah minyak di dalam negeri tidak

hanya berhenti pada soal lifting minyak saja,

ada juga persoalan dalam cost recovery minyak

nasional. Akibat dari meningkatnya cost

recovery (biaya produksi kontraktor minyak

yang harus dikembalikan oleh pemerintah)

penerimaan negara menjadi tergerus karena

digunakan untuk membayar cost recovery

tersebut. Menariknya,ada fenomena

yang berlawanan arah dalam hal ini, dimana

ketika produksi minyak terus menurun

justru cost recovery kian meningkat. Cost recovery

2002 sebesar US$4,338 Miliar meningkat

menjadi US$5,044 Miliar pada 2003. Antara

2002-2007 peningkatan yang cukup besar

terjadi pada 2005 yaitu sebesar US$2,21

Miliar, dari US$5,326 Miliar (2004) menjadi

US$7,533 miliar (2005) [Investor Daily,

2008]. Naiknya sewa rig pengeboran serta

menuanya sejumlah lapangan minyak

menjadi alasan yang mencoba menetralisir

persoalan cost recovery ini.

Kendala lain untuk meningkatkan

produksi minyak adalah pada eksplorasi.

Tren eksplorasi minyak saat ini

menunjukkan kecenderungan menurun,

tidak saja di negara kita  tetapi juga di dunia.

Penurunanini  diakibatkan oleh

perubahan kebijakan investor multinasional

akibat merosotnya harga pada 1998 serta

pemotongan anggaran investasi secara

signifikan. Terkait dengan masalah

eksplorasi, pakar perminyakan, Kurtubi

menyarankan agar mempercepat produksi

Blok Cepu sebagai langkah jangka pendek.

Dalam jangka menengah eksplorasi di

Natuna dengan tetap memerhatikan faktor

keamanan dan lingkungan hidup. Sedang

dalam jangka panjang perlunya perbaikan

sistem dan regulasi perminyakan nasional

agar investasi pencarian cadangan baru bisa

kembali meningkat (Kompas, 2008).  Semua

upayaini  diarahkan agar antisipasi

terhadap harga minyak di masa mendatang

menjadi lebih baik lagi.

Berbagai kendala perminyakan baik

yang diakibatkan oleh kenaikan harga minyak

internasional maupun kondisi dalam negeri

yang masih memerlukan pembenahan

berimplikasi pada beban fiskal subsidi BBM

yang semakin meningkat. Setidaknya ini

terlihat pada Tabel 2 dimana secara relatif

dari tahun demi tahun menunjukkan

peningkatan, terlebih lagi pada 2008, subsidi

BBM diperkirakan membebani APBN

sebesar Rp 132,1 triliun.

4. Listrik Sebagai Bagian dari Subsidi

Energi

Selain untuk subsidi BBM, APBN juga

mensubsidi listrik. Pelaksanaannya disalurkan

melalui PLN. Listrik juga merupakan energi

yang sangat penting bagi roda

pembangunan. Dengan diadakannya subsidi

listrik diharapkan lebih banyak masyarakat

yang dapat menikmati penggunaan energi

listrik, terutama untuk aktivitas yang

Tabel 2.

 



produktif. Termasuk dalam hal ini untuk

listrik di daerah pedesaan yang akan sangat

bermanfaat untuk menstimulus

perekonomian daerah. Alasannya, investasi

di daerah biasanya sangat tergantung

infrastruktur yang ada. Program listrik desa

bisa meningkatkan kemajuan ekonomi desa

melalui multiplier efect yang terjadi.

Ketersediaan energi listrik salah satunya

juga dipengaruhi oleh harga BBM. Kenaikan

harga BBM dapat berpengaruh terhadap

penyediaan listrik karena sebagian besar

pembangkit listrik menggunakan bahan

bakar minyak dan batubara untuk

menggerakkan pembangkit listrik (Tabel 3.).

Untuk pembangkit yang menggunakan

bahan bakar batubara juga terganggu dengan

naiknya harga minyak dunia saat ini.

Persoalannya, untuk mendatangkan

batubara yang tambangnya sebagian besar

di luar Pulau Jawa sedang  sebagian besar

pembangkit listrik berada di Jawa

memerlukan alat angkut kapal, sehingga

ongkos angkut juga meningkat bila harga

BBM naik. Terlebih lagi harga batubara

sendiri di pasar internasional juga mengalami

kenaikan. Saat ini (2008) sumber energi

primer untuk pembangkit tenaga listrik

berupa batubara mencapai 48,8 persen, gas

17,0 persen, bahan bakar minyak 11,4

persen, panas bumi 6,1 persen, hidro 9,1

persen dan lainnya seperti biofuel, batubara

hibrid 7 persen (Investor Daily, 4 Juli 2008).

Kenaikan beban subsidi listrik dalam

APBN bisa dilihat melalui perkembangan

subsidi listrik yang diberikan pemerintah

Tabel 3.

 Komposisi Sumber Energi Listrik PLN (%)

Sumber: Annual Report PLN,2006

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 23

Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di negara kita 

(Tabel 4). Walaupun tidak sebesar subsidi

BBM, anggaran untuk subsidi listrik juga ikut

terpengaruh oleh adanya kenaikan BBM.

Porsi yang semakin besar dari tahun ke tahun

selain dikarenakan semakin luasnya jaringan

listrik, juga karena bahan bakar

pembangkitnya yang semakin mahal. Atau

dengan kata lain biaya produksi listrik

meningkat seiring melonjaknya harga minyak

dunia dan batubara sebagai sumber energi

primer untuk pembangkit listrik. Kondisi

tersebut tentunya akan menggangu target

PLN untuk segera meningkatkan jumlah

pengguna listrik di tanah air yakni rasio desa

berlistrik diharapkan 100 persen pada 2010.

Aksesibilitas listrik yang terganggu ini

dipastikan bisa menghambat pembangunan

ekonomi.

Dilihat dari perkembangannya antara

2002-2008 subsidi listrik meningkat drastis

sejak tahun 2006. Peningkatan ini salah

satunya merupakan konsekuensi dari upaya

PLN untuk meningkatkan kuantitas layanan

listrik kepada masyarakat. Disamping itu,

peningkatan subsidi yang terjadi juga

dikarenakan meningkatnya biaya produksi

penyediaan listrik karena bahan energi primer

yang semakin mahal.

Dari sisi investasi, terganggunya

ketersediaan energi listrik akan menurunkan

produktifitas industri dan menurunkan daya

saing investasi. Terganggunya dunia usaha

akan memperburuk keadaan per-

ekonomian. Pengaruh terganggunya supply

energi listrik akan berdampak pada sektor-

sektor yang dominan menggunakan energi

Tabel 4.

 

ini. Dari Gambar 5 terlihat bahwa konsumen

listrik terbesar di negara kita  adalah untuk

industri dan rumah tangga. Terbatasnya

pasokan akan menyebabkan indutri sulit

mengoptimalkan produksinya. Bagi industri

yang padat karya kelangkaan listrik juga

menurunkan penghasilan pekerja karena

pengurangan jam lembur. Industri kecil dan

industri rumah tangga juga tidak bisa

mengelak dari kerugian apabila sampai

terjadi pemadaman bergilir berkepanjangan.

 Di sisi lain upaya mengimbangi

kenaikan biaya produksi listrik PLN dengan

menaikkan Tarif  Dasar Listrik (TDL) akan

Gambar 5.

Penjualan Listrik Berdasarkan Kategori (Gwh)

Sumber: negara kita  Energy Statistics 2008, ESDM

mengakibatkan berkurangnya tingkat

kesejahteraan masyarakat. Gambar 5.

menunjukkan sebagian besar konsumen

listrik PLN adalah rumah tangga (household),

ini berarti apabila harga listrik naik beban

rumah tangga akan semakin berat setelah

sebelumnya pada 25 Mei 20008 harga BBM

dinaikkan. Sensitifitas pemerintah sebagai

eksekutor kebijakan publik akan dinilai

semakin merosot oleh masyarakat apabila

kenaikan Tarif  Dasar Listrik ini dilakukan.

Kajian Makmun dan Abdurahman

(2003) setidaknya membuktikan akan

dampak kenaikan TDL terhadap konsumsi

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 25

Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di negara kita 

listrik dan pendapatan masyarakat. Dalam

hasil kajianini  dinyatakan bahwa

kenaikan TDL membawa dampak negatif

terhadap pendapatan riil masyarakat. Setiap

kenaikan 10 persen dari TDL akan

mengurangi pendapatan riil rumah tangga

petani 1,47 persen dan sebesar 3,47 persen

untuk rumah tangga di bawahnya. Kenaikan

listrik juga berdampak pada turunnya

permintaan sektoral sebesar 3,52 persen.

Selanjutnya, kenaikan listrik pada akhirnya

juga mengurangi pendapatan institusi 1,46

persen.

Kebutuhan energi listrik semakin

meningkat dari tahun ke tahun. 

terus menunjukkan tren peningkatan.

Meskipun demikian peningkatan konsumsi

listrik belum mampu diimbangi dengan

pasokan (produksi masih di bawah

konsumsi). Tidak seimbangnya kebutuhan

listrik dengan pasokan yang ada

menyebabkan terbatasnya penggunaan

energi ini. Menyikapi hal ini pemerintah

berupaya mensosialisasikan penghematan

energi listrik nasional. Selain itu pemerintah

juga mengeluarkan Surat Keputusan

Bersama (SKB) tentang hemat energi untuk

membatasi serta mengoptimalkan

penggunaan energi listrik.

Pada praktiknya memang tidak mudah

untuk mengurangi dampak fiskal akibat

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 26

Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di negara kita 

membengkaknya subsidi energi dalam

APBN, baik untuk subsidi BBM maupun

subsidi listrik. Terlebih lagi faktor penyebab

meningkatnya subsidi tidak hanya berasal

dari dalam negeri seperti masalah lifting, cost

recover y maupun menurunnya kegiatan

eksplorasi minyak bumi. Tetapi juga faktor

dari dunia internasional yakni meningkatnya

harga minyak dan komoditas dunia. Seperti

yang dikemukakan Handoko dan Patriadi

(2005) bahwa upaya konsolidasi fiskal demi

tercapainya kesinambungan fiskal (fiscal

stability) dan pertumbuhan ekonomi yang

stabil memang tidak mudah. Konsolidasi

fiskal dihadapkan pada kenyataan beban

berat utang publik yang cukup tinggi, subsidi

yang semakin meningkat terutama subsidi

BBM dan penerimaan pajak yang kurang

optimal.

Dari sisi kelembagaan, telah cukup

banyak berbagai kebijakan tentang energi

nasional dikeluarkan demi tercapainya

pengelolaan energi yang bernilai guna dan

berkelanjutan. Tabel 5. memberi gambaran

tentang usaha-usaha pemerintah dalam

mengelola sumber energi di negara kita .

Setidaknya sejak 1981 telah terjadi lima kali

penyempurnaan kebijakan energi nasional.

Ini di luar dokumen lain seperti; kebijakan

pengembangan energi terbarukan dan

konservasi energi; Blue print pengelolaan

energi nasional 2005-2025; Perpres No. 5/

2006 tentang Kebijakan Energi Nasional;

Inpres No. 1/2006 tentang Penyedian dan

Pemanfaatan Bahan bakar Nabati sebagai

Bahan Bakar Lain; serta UU No. 30 Tahun

2007 tentang Energi (Rakhmanto, 2008).

Cukup seringnya peraturan kebijakan

energi yang diubah mengidikasikan beratnya

kadar persoalan energi di negara kita .

Sehingga berbagai peraturan harus

mengalami revisi untuk disesuaikan dengan

perkembangan kondisi yang ada. Walaupun

harus diakui perkembanganini 

kadang tidak berpihak pada ekonomi

bangsa seperti kenaikan harga minyak saat

ini. Ini juga mengindikasikan minimnya

implementasi, inefisiensi penggunaan energi,

dan tanpa perencanaan dan pelaksanaan

yang lebih spesifik dan terukur. Tetapi

selama kebijakan yang dibuat ditujukan

untuk kepentingan dan keberlangsungan

kehidupan bangsa di masa depan, akan

selalu ada harapan.


Krisis energi yang disebabkan

melonjaknya harga minyak dunia

menyadarkan bangsa ini untuk tidak

menggantungkan lokomotif  per-

ekonomian dari energi minyak bumi saja.

Penggunaan energi alternatif  terbarukan

dirasa perlu, bukan hanya di saat harga

minyak dunia naik seperti saat ini yang

kemudian membebani APBN melalui

membengkaknya subsidi, tetapi juga demi

kelangsungan perekonomian bangsa di

masa depan. Berkaitan dengan beban

subsidi energi yang meningkat karena

melonjaknya harga minyak dunia, beberapa

solusi berikut perlu untuk menjadi

pertimbangan.

Pertama, usaha untuk meningkatkan

lifting minyak melalui pengoptimalan ladang

minyak perlu dilakukan. Upaya

meningkatkan efisiensi cost recovery yang justru

semakin meningkat ditengah menurunnya

produksi minyak nasional juga penting. Selain

itu, peningkatan investasi di sektor minyak

bumi terutama untuk kegiatan ekplorasi juga

sangat diperlukan. Kedua, program

diversifikasi energi menjadi bagian yang tidak

terelakkan. Harga minyak dunia yang terus

menanjak membuat negara kita  harus aktif

dan kreatif  untuk menggunakan bahan

bakar alternatif  lainnya. Penggunaan

batubara untuk menggantikan BBM di

sektor industri dan pembangkit energi

primer PLN perlu dilakukan. Ketiga,

percepatan pengembangan dan penggunaan

Bahan Bakar Nabati yang berbasis pada

tanaman-tanaman non-pangan. Keempat,

mendukung riset-riset di bidang energi

alternatif yang potensial untuk

dikembangkan di negara kita  serta sosialisasi

penggunaannya oleh masyarakat, kalau perlu

pemerintah memberi contoh penggunaan

energi alternatif terlebih dahulu. Kelima,

penghematan penggunaan listrik yang

sekarang sedang disosialisasikan perlu

ditingkatkan melalui contoh yang

mengedukasi masyarakat.






Adalah Thomas Robert Malthus,

ekonom sejak abad ke-18 mengkhawatirkan

ketidakseimbangan antara pertumbuhan

jumlah penduduk dengan pertumbuhan

makanan. Pemikirannya terfokus pada

pertumbuhan penduduk yang mengikuti

deret ukur sedang  pertumbuhan

makanan yang mengikuti deret hitung.

Kekhawatiran ekonom klasik ini mulai

terbukti, dengan gambaran ekonomi global

yang terus didera kelangkaan komoditas

pangan yang mendorong kenaikan harga.

Diawali dari pergerakan harga minyak

mentah yang terus melejit, mencapai angka

tertinggi sepanjang sejarah, sebesar 138,54

dollar per barrel (5 Juni 2008) -sempat

menyentuh US$ 139,12 per barrel-, sampai

kenaikan harga komoditas pangan sebagai

efek bawaan dari kenaikan harga minyak.

Jika mengamati kondisi seperti ini, maka

semua akan sejalan dengan ungkapan Henry

Kissinger -38 tahun lalu-”siapa yang menguasai

minyak, ia akan mengendalikan banyak negara

dalam cengkramannya dan siapa yang menguasai

pangan, ia yang akan mengendalikan orang”

Krisis pangan layaknya ’silent tsunami’

yang siap menggulung siapa saja dan bisa

mengakhiri peradaban manusia. Kejadian

awal telah muncul di Haiti dimana kaum

miskin berdemo sampai mengais tumpukan

sampah untuk mendapatkan sisa-sisa

makanan disusul kerusuhan yang

menyebabkan tewasnya sejumlah warga

miskin. Tingkat kematian juga meningkat

akibat emosi dan perkelahian yang tidak

terkendali di Mauritania, Mozambique,

Senegal, Pantai Gading, dan Kamerun.

Selanjutnya, kenaikan harga pangan

mencekik negara-negara di dunia di Afrika

sebelah selatan sampai sub-Sahara di utara.

Kondisi yang sama juga menghampiri

Meksiko sampai Brazil di jajar selatan benua

Amerika, dan Mesir sampai Suriah di Timur

Tengah, Pakistan sampai Bangladesh di

lintang selatan Asia (Jafar, 2008).

Krisis pangan akan semakin serius

karena ancaman kegagalan panen di 33

negara yakni 21 di Afrika (Lesotho, Somalia,

Swaziland, Zimbambwe, Eritrea, Liberia,

Mauritania, Sierra Leone, Burundi, Central

Africam Republic, Chad, Congo, Cote

d’Luoire, Ethiopia, Ghana, Guinea, Bissao,

Kenya, Sudan dan Uganda), 10 di Asia (Irak,

Afganistan, Korea, Bangladesh, China,

Nepal, Sri Langka, Tajikistan, Timor Leste,

Vietnam), 5 di Amerika Latin (Bolivia,

Republic Cominican, Ekuator, Haiti,

Nikaragua) dan 1 di Eropa (Moldova)

[Media negara kita , 2008]. Selain itu, kondisi

tersebut diperburuk oleh penurunan

produksi pangan di China karena terjadinya

banjir di sentral produksi beras. Sejak 1999/

2000 FAO menjelaskan gejala krisis pangan

dunia telah muncul karena menurunnya stok

biji-bijian dunia. Stok biji-bijian dunia hampir

defisit tujuh periode yakni 2000, 2002, 2003,

2004, 2006 dan 2007 serta diprediksi pada

2008 

Menurut FAO, walaupun produksi

pangan dunia meningkat dari 2006-2008

yakni 2012 juta, 2108 juta dan 2164 juta

(prediksi) –merupakan kontribusi Asia,

Eropa, dan Amerika Tengah sedang 

Afrika, Amerika Selatan, Oceania dan

Amerika Utara mengalami kegagalan

produksi pangan- tetapi keadaanini 

masih meninggalkan kekhawatiran karena

stok pangan (sereal) dunia terus menurun.

Tercatat, stok pangan dunia menurun

menjadi 405 juta ton atau turun 21 juta dan

merupakan angka terendah sejak 25 tahun

terakhir. Pada kondisi ini rasio antara stok

dan konsumsi sereal menjadi 18,8 persen

atau turun 6 persen dari tahun sebelumnya

(Prasetyo, 2008).

Disisi lain, ancaman kelaparan juga

melanda kawasan Pasifik karena

mengabaikan sektor pertanian. Kawasan ini

terbuai akan murahnya tarif  impor sehingga

pemenuhan pangan tergantung pada kran

impor. Kebergantungan yang terlalu tinggi

menyebabkan kesulitan besar ketika sejumlah

negara produsen pangan membatasi ekspor

pangan guna memenuhi kuota dalam negeri.

Akibatnya, kenaikan harga pangan pun

melebihi 50 persen di kawasanini .

Kenaikan harga pangan di Fiji misalnya, telah

menyedot penghasilan masyarakat miskin

hingga 50-65 persen, sedang  orang kaya

sekitar 20 persen. Menurut Bank

Pembangunan Asia (ADB) setidaknya

kenaikan harga pangan yang terjadi telah

mendorong lima persen keluarga

berpendapatan kecil di Pasifik masuk dalam

golongan melarat ,

Selain sejumlah kawasan yang

dikemukakan, lonjakan harga pangan dunia

juga menyebabkan kenaikan harga pangan

di beberapa negara, tetapi dalam porsi yang

berbeda, tergantung kondisi fundalmental

setiap perekonomian (Tabel 1).

Untuk komoditas beras Bangladesh

dan Kamboja mengalami kenaikan tertinggi

diikuti Afghanistan, sedang  China

menempati posisi terendah disusul negara kita 

yang naik masing-masing US$ 6 dan US$

8,7. Kenaikan tertinggi pada komoditas

gandum dialami Kirgizstan dan Tajikistan

naik masing-masing US$ 100, sedang 

India malah mengalami penurunan harga

US$ 2,5. Pada komoditas daging, dari data

lima negara tercatat Bangladesh mengalami

kenaikan tertinggi diikuti Tajikistan masing-

masing US$ 60 persen dan US$ 50.

Dana Moneter Internasional (IMF)

mengemukakan beberapa faktor yang

memicu krisis pangan, (i) lonjakan harga

minyak mentah yang mendorong naiknya

biaya tranportasi dan saranan produksi

pertanian seperti pupuk dan pestisida (ii)

tingginya permintaan pangan dari negara

berkembang (khususnya China dan India),

(iii) munculnya program biofuel (iv) faktor

cuaca yang memicu gagal panen dibeberapa

negara, (vi) pertumbuhan jumlah penduduk

yang signifikan (vii) dari sisi finansial,

dipengaruhi oleh pelemahan nilai tukar

dollar AS, penurunan suku bunga di negara-

negara maju, dan bergesernya motif

spekulasi dari instrumen pasar uang ke pasar

komoditas dan terus diikuti oleh

penimbunan bahan pangan sehingga harga

komoditas semakin melonjak [Samhadi,

2008], (vii) krisis subprime mortage di Amerika

Serikat yang memicu aksi spekulasi investasi

jangka pendek (short term investment) dan

berujung pada pengalihan modal dari pasar

finansial ke bursa komoditas. Di awal

motifnya para spekulan tidak langsung

terlibat di pasar komoditas tetapi bermain

di pasar indeks komoditas (commodity index

market) (Pratomo, 2008).

Harga minyak misalnya, merujuk data

historis, kenaikan harga emas hitam ini sudah

terjadi sejak 2001, tetapi masih turun pada

2003 sebesar 5,39 persen. Kenaikan tertinggi

terjadi pada 2004 sebesar 90,16 persen,

mengangkat harga minyak ke level US$ 36,7

Tabel 1.

Pengaruh Kenaikan Harga Pangan Dunia pada Beberapa Negara

 Maret 2007-Maret 2008 (US$ )

Negara Beras Gandum Daging 

  Afghanistan 70 16 30 

  Bangladesh 100 74 60 

  Kamboja 100 45  

  China 6 7,2  

  India 9,3 -2,5  

  negara kita  8,7   

  Kirgizstan  100  

  Mongolia  40  

  Nepal 20   

  Pakistan  60 38 

  Filipina 40  30 

  Sri Lanka 55 36  

  Tajikistan  100 50 

  Vietnam 17   

 

Sumber : ADB (dalam Media negara kita , 2008)

per barrel. Namun, lonjakan harga pada

awal tahun 2008 sontak menjadi shock besar

bagi perekonomian global. Harga minyak

dunia meroket dari rata-rata US$ 72 per

barrel (2007) menjadi US$ 100 per barrel

(awal 2008) karena desakan geopolitik di

Nigeria dan Pakistan, pengaruh penurunan

perekonomian Amerika Serikat maupun

penurunan produksi (Bank negara kita ,

2008). Departemen energi Amerika Serikat

(US Department of  Energy) menjelaskan

bahwa konsumsi energi dunia memiliki

tendensi peningkatan hingga tahun 2030.

Departemenini  menguraikan bahwa

permintaan minyak untuk negara bukan

anggota organisasi untuk Kerja Sama dan

Pembangunan Ekonomi (OECD) naik

sekitar 57 persen dan untuk negara-negara

anggota OECD naik sekitar 24 persen.

Menghadapi harga dan kelangkaan minyak,

banyak negara yang mencoba mencari

subsitusinya yakni biofuel. Brazil, Amerika

Serikat, China, India, Malaysia dan Singapura

telah memiliki rencana matang untuk

memulai proyek pengadaan biofuel. Amerika

Serikat akan memproduksi 35 miliar galon

pada tahun 2017 sedang  China dan India

masing-masing 15 persen dan 20 persen

pada tahun 2020 dari total produksi1.

Kenaikan harga dan kelangkaan minyak

yang direspon dengan biofuel akan terus

menekan harga komoditas pangan

internasional dan berujung kepada krisis

pangan dunia yang semakin menjadi-jadi.

Friends of The Earth Eropa

mengemukakan, programini  sontak

mendongkrak harga pangan hingga 30

persen. Ditambahkan lagi, programini 

akan menyedotkan hampir 20 persen dari

total minyak sayur dunia. Data terbaru

menyebutkan, harga jagung, kedelai,

gandum, beras untuk pengiriman Juli telah

mengalami peningkatan signifikan. Jagung

meningkat 0,9 persen menjadi 6,4925 per

lot. Menurut FAO, harga komoditas ini telah

mengalami kenaikan 73 persen dalam

setahun terakhir. Kedelai naik 0,7 persen

menjadi US$ 14,6275 per lot yang

merupakan level tertinggi sejak Mei 2008.

Komoditas ini sempat menyentuh harga

US$ 15,865 (3 Maret 2008) dan telah

mengalami kenaikan 78 persen lebih tinggi

5 persen dari kenaikan harga jagung selama

setahun terakhir.

Harga gandum mencapai US$ 7,905

per lot, naik 4,3 persen. Kenaikanini 

sebagai dampak spekulasi panen gandum

di Kansas sebagai produsen gandum

terbesar di Amerika Serikat. Demikian juga

untuk komoditas beras, naik 2,3 persen

sehingga menjadi US$ 19,805 per 100 ton.

Setahun terakhir komoditas ini telah

mengalami kenaikan 89 persen. Lonjakan

harga beras juga dipicu oleh pengurangan

ekspor yang dilakukan sejumlah negara

produsen beras dengan dalih untuk

memenuhi kuota dalam negeri seperti

dilakukan Brasil, Mesir, India dan Vietnam

(Investor Daily, 2008). Lonjakan harga

sejumlah komoditas pada 10 tahun ke depan

akan tetap naik seperti yang dipublikasikan

oleh FAO. Menurut outlook 2008-2017

terbitan FAO yang dirilis OECD, harga

komoditas beras dan gula masih akan naik

sekitar 10 persen, gandum 20 persen,

produk susu dan biji-bijian masing-masing

30 persen dan minyak nabati 50 persen. Hal

ini masih terkait dengan suplai dan

permintaan komoditas yang belum

seimbang, serta pengaruh iklim ,

Program biofeul  yang digawangi

Amerika Serikat dan Uni Eropa mendapat

respon negatif dari sejumlah negara seperti

Argentina, Venezuela dan Kuba 

organisasi internasional. FAO telah

melakukan pertemuan di Roma dan

mengimbau agar negara-negara yang gencar

dengan program biofuel-nya untuk

mempertimbangkan kembali kebijakan yang

akan ditempuh. Deklarasiini  juga

meminta negara-negara untuk mengurangi

pembatasan perdagangan komoditas

pangan, mendesak mencabut larangan

ekspor dan merevisi kebijakan tarif  impor.

Organisasiini  menyatakan, perlu

dilakukan pengkajian lebih mendalam untuk

menjamin bahwa produksi biofuel yang akan

diperoleh setara dengan mamfaatnya.

Friends of the Earth Europe

menambahkan, secara moral pe

Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive