Tampilkan postingan dengan label sengketa bisnis 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sengketa bisnis 2. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

sengketa bisnis 2








Penelitian ini bertujuan mengkaji perlindungan hukum dan penyelesaian sengketa bisnis “Pinjam-Meminjam 
berbasis Teknologi Finansial” (PM-Tekfin). Rumusan masalah penelitian ini meliputi tiga hal yaitu : apa peran 
OJK dalam pengembangan bisnis PM-Tekfin, apa bentuk perlindungan hukum bagi pengguna jasa PM-Tekfin, 
dan apa saja bentuk penyelesaian sengketa bisnis PM-Tekfin. Penelitian normatif ini memakai pendekatan 
perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan OJK berwenang mengatur dan mengawasi 
bisnis PM-Tekfin. OJK juga telah menerbitkan Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 sebagai bentuk 
perlindungan hukum bagi pengguna jasa PM-Tekfin. Sengketa bisnis PM-Tekfin diharapkan dapat diselesaikan 
melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dengan membentuk lembaga Penyelesaian Sengketa Daring (PSD).

Perkembangan teknologi informasi dan 
komunikasi, khususnya internet dan gadget, 
mendorong tumbuhnya bisnis daring (bisnis 
online) dan perdagangan secara elektronik 
(e-commerce). Generasi muda milenial lebih 
senang beraktifitas di internet termasuk 
melakukan transaksi jual-beli dan pembayaran 
secara online. Mereka senang menjelajahi 
berbagai situs toko daring (online shop) atau mal 
daring (online mall) yang kini banyak menjamur 
di internet. Perubahan gaya hidup modern ini 
pada akhirnya turut memicu munculnya model 
bisnis gaya baru berbasis teknologi finansial 
(tekfin). 
Pengertian “bisnis” (business) lebih luas 
dibandingkan “perdagangan” (commerce), 
sebab ruang lingkup kegiatan bisnis tidak 
hanya perdagangan, tetapi melingkupi bidang 
yang lebih luas seperti produksi, pengolahan, 
distribusi, perdagangan/ pemasaran, ekspor-
impor, pengadaan barang/jasa, jasa perekrutan 
tenaga kerja, jasa konsultasi bisnis, perkreditan, 
penjaminan kredit, asuransi, kerja sama usaha, 
investasi, media massa, properti, dll. Kegiatan 
bisnis yang dilakukan menggunakan media 
elektronik dinamakan electronic business 
(e-business), sedangkan perdagangan yang 
dilakukan menggunakan media elektronik 
dinamakan electronic commerce (e-commerce) 
atau e-dagang.1 
Salah satu bentuk e-business dan e-commerce 
yang paling dominan adalah “bisnis online” yaitu 
kegiatan bisnis yang dilakukan dalam jaringan 
internet. Pengertian dan ruang lingkup e-business 
dan e-commerce lebih luas dibandingkan bisnis 
online, sebab e-business dan e-commerce tidak 
hanya berkaitan dengan penggunaan teknologi 
internet dan komputer tetapi juga teknologi 
elektronika yang lain seperti telepon rumah, 
telepon seluler (handphone), ponsel cerdas 
(smartphone), teleks, telegram, faksimili, televisi, 
radio, mesin ATM dan electronic data interchange 
(EDI).2 
Bisnis online dan e-commerce berkaitan erat 
dengan transaksi elektronik yaitu transaksi 
bisnis menggunakan media elektronik.  
Pengertian “transaksi bisnis” lebih luas dari 
“transaksi pembayaran”, sebab transaksi bisnis 
berkaitan dengan tindakan penjual dan pembeli 
untuk melakukan penjajagan, negosiasi, 
kesepakatan jual-beli hingga penyelesaian 
transaksi (settlement) berupa pembayaran 
oleh pembeli dan penyerahan obyek transaksi 
oleh penjual. Transaksi elektronik juga harus 
didasarkan pada kontrak/perjanjian yang 
berbentuk kontrak konvensional atau kontrak 
elektronik (e-contract).
Transaksi elektronik dapat pula diartikan 
sebagai kesepakatan jual-beli antara pihak 
penjual dan pembeli untuk memperdagangkan 
suatu produk barang/jasa melalui media 
elektronik (termasuk internet) berdasarkan 
kesepakatan harga, jumlah, kualitas, waktu 
penyerahan, cara pembayaran, asuransi, 
jaminan purna jual dan cara pengiriman. 
Transaksi elektronik juga berkaitan dengan 
sistem pembayaran. Pembayaran bisa dilakukan 
secara tunai maupun kredit, sedangkan alat 
pembayaran dapat berbentuk tunai (uang kartal) 
maupun non-tunai (uang giral). Pembayaran 
non-tunai dapat dilakukan menggunakan 
cek, bilyet giro, transfer bank, phone-banking, 
internet banking, kartu kredit, kartu ATM, kartu 
debit, uang elektronik dan virtual payment. 
Saat ini beberapa bank papan atas seperti BRI, 
BNI, Bank Mandiri dan BCA telah meluncurkan 
alat pembayaran khusus transaksi online yang 
dinamakan e-payment (e-pay).3 
Kegemaran belanja via internet memicu 
munculnya aplikasi sistem pembayaran online 
yang dinilai lebih mudah dan lebih praktis 
dibandingkan sistem pembayaran dengan uang, 
cek, bilyet giro, kartu debit, kartu kredit dan 
uang elektronik. Para pengguna internet kini 
juga bisa mengakses utang/pinjaman secara 
online melalui laman perusahaan jasa “Pinjam-
Meminjam berbasis Teknologi Finansial” (PM-
Tekfin). 
Teknologi finansial (tekfin) atau financial 
technology (fintech) berkembang pesat seiring 
kemajuan teknologi internet dan gadget seperti 
handphone, smartphone, PC, tablet PC, netbook 
dan notebook. Berbekal gadget dan internet, setiap 
orang bisa mengakses berbagai macam aplikasi 
yang dapat digunakan untuk mempermudah 
kehidupan manusia. Sistem pembayaran kini 
bisa dilakukan melalui internet menggunakan 
aplikasi dompet elektronik (e-wallet). Masyarakat 
juga bisa mengakses dana pinjaman melalui 
situs perusahaan jasa PM-Tekfin tanpa melalui 
perbankan atau lembaga pembiayaan.
Pengaturan dan pengawasan bisnis tekfin/
fintech di Indonesia dilakukan oleh dua lembaga 
negara independen yaitu Bank Indonesia (BI) 
dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI bertugas 
mengatur dan mengawasi usaha jasa “Sistem 
Pembayaran berbasis Teknologi Finansial” (SP-
Tekfin) yang menerbitkan aplikasi “dompet 
elektronik” atau e-wallet. Dompet elektronik 
adalah sarana pembayaran virtual yang dapat 
dipakai untuk menyimpan data uang tunai, 
kartu debit, kartu kredit dan uang elektronik. 
OJK bertugas mengatur dan mengawasi bisnis 
tekfin di luar moneter dan sistem pembayaran, 
seperti usaha jasa “Pinjam-Meminjam berbasis 
Teknologi Finansial” (PM-Tekfin). Usaha jasa PM-
Tekfin dilakukan para pihak di dalam masyarakat 
(peer-to-peer lending) tanpa melibatkan pihak 
perbankan atau perusahaan pembiayaan. 
Pengguna PM-Tekfin pada umumnya berasal 
dari generasi muda milenial yang tergolong 
debitor mikro-kecil yang saat ini lebih banyak 
berdomisili di Jakarta, Bandung dan sekitarnya. 
Dalam hal ini diharapkan penyelenggara tekfin 
mencermati aspek perlindungan dana dan data 
konsumen. Perlindungan dana konsumen perlu 
diperhatikan agar dana tersebut tidak sampai 
hilang akibat penipuan, penyalahgunaan atau 
kondisi darurat (force majeur). Perlindungan 
data pengguna diperlukan agar data privasi 
konsumen dapat disimpan dengan aman dan 
tidak dicuri pihak lain via hacker, phising, virus, 
malware, dll.
BI dan OJK mendorong perkembangan 
bisnis tekfin guna meningkatkan partisipasi 
masyarakat. Berdasarkan hasil survei Bank 
Dunia tahun 2014, baru ada 37% penduduk 
Indonesia yang memiliki rekening bank; hanya 
27% yang memiliki simpanan formal dan hanya 
13% yang memiliki pinjaman formal. Pada 
tahun 2016, OJK menyatakan hanya 28,9% 
penduduk dewasa yang memahami produk 
perbankan Indonesia. Angka ini jauh lebih 
rendah dibandingkan negara lain di Asia. Hal 
ini disebabkan rendahnya akses keuangan 
dan rendahnya literasi keuangan. Tingkat 
pemahaman masyarakat terhadap produk 
keuangan non-bank jauh lebih rendah lagi.4  
Perlindungan hukum bagi pengguna dan 
pelaku usaha tekfin di Indonesia kini semakin 
kuat sejak BI dan OJK menerbitkan regulasi bisnis 
jasa tekfin. BI menerbitkan Peraturan BI nomor 
18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan 
Pemrosesan Transaksi Pembayaran, sedangkan 
OJK menerbitkan Peraturan OJK nomor 77/
POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam-
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. 
Kedua peraturan tersebut diharapkan 
dapat meningkatkan peran masyarakat dan 
mempercepat pertumbuhan bisnis tekfin di tanah 
air. Bisnis tekfin juga dilindungi UU 11/2008 
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 
UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, 
UU 7/2014 tentang Perdagangan, KUH Perdata, 
PP 82/ 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem 
dan Transaksi Elektronik (PSTE) dan peraturan 
terkait lainnya.
Penelitian ini bertujuan mengetahui peran 
OJK dalam pengembangan bisnis jasa PM-Tekfin 
di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk 
mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi 
pengguna PM-Tekfin serta bentuk penyelesaian 
sengketa perdata antara pengguna dan pelaku 
usaha PM-Tekfin. Pengguna PM-Tekfin terdiri 
dari dua macam yaitu investor (Pemberi 
Pinjaman) dan debitor (Penerima Pinjaman).
Adapun permasalahan yang akan diangkat 
dalam penelitian ini meliputi 3 (tiga) hal pokok :
a) Apa peran OJK dalam pengembangan bisnis 
PM-Tekfin ?
b) Apa bentuk perlindungan hukum bagi 
pengguna PM-Tekfin ?
c) Apa bentuk penyelesaian sengketa bisnis PM-
Tekfin ?
Penelitian ini adalah penelitian hukum yang 
bersifat normatif yang mengkaji isu hukum 
tentang perlindungan hukum bagi pengguna 
PM-Tekfin dan penyelesaian sengketa perdata 
dalam bisnis PM-Tekfin. Bahan hukum primer 
yang digunakan meliputi Undang-Undang 
(UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan 
Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Bahan hukum 
sekunder yang digunakan meliputi buku teks, 
jurnal ilmiah dan artikel ilmiah di internet. 
Bahan hukum primer dan sekunder kemudian 
dianalisa untuk mencari keterkaitan dan 
kesesuaian dengan rumusan masalah.
Metode penelitian yang digunakan dalam 
penelitian ini meliputi pendekatan undang-
undang (statue approach) dan pendekatan 
konseptual (conceptual approach). Pendekatan 
undang-undang (statue approach) dilakukan 
dengan menelaah semua undang-undang dan 
regulasi yang bersangkut paut dengan isu 
hukum yang sedang ditangani. Pendekatan 
konseptual (conceptual approach) beranjak dari 
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin 
yang berkembang di dalam ilmu hukum.5  

B.1.  Peran OJK dalam Pengembangan Bisnis 
PM-Tekfin
BI dan OJK saat ini giat mendorong 
pertumbuhan usaha jasa berbasis teknologi 
finansial (tekfin) atau financial technology 
(fintech). Hal ini dilakukan BI dan OJK guna 
merespon pesatnya perkembangan teknologi 
informasi dan komunikasi. Kehadiran inovasi 
teknologi internet dan peralatan canggih 
berbentuk gadget (ponsel, smartphone, laptop, 
tablet, PC) berperan besar mendorong kemajuan 
industri jasa tekfin di seluruh dunia. Fenomena 
global ini sulit dibendung sehingga lebih baik 
diatur dan diawasi dengan baik agar berguna 
bagi masyarakat dan para pelaku bisnis di tanah 
air.
Bisnis tekfin yang berkaitan dengan moneter 
dan sistem pembayaran diatur dan diawasi BI. 
OJK berwenang mengatur dan mengawasi bisnis 
tekfin di luar moneter dan sistem pembayaran. 
Sejak pemberlakuan UU 21/ 2011 tentang 
Otoritas Jasa Keuangan, tugas dan kewenangan 
BI dalam pengaturan dan pengawasan perbankan 
dialihkan kepada OJK. OJK juga mengambilalih 
tugas dan kewenangan Bapepam-LK di bidang 
pengaturan dan pengawasan pasar modal, 
asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan 
dan lembaga jasa keuangan lain. OJK adalah 
lembaga negara independen yang memiliki 
kewenangan besar dalam pengaturan dan 
pengawasan industri jasa keuangan.
Pasal 5 dan Pasal 6 UU 21/2011 menyatakan 
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem 
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi 
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor 
jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas 
pengaturan dan pengawasan terhadap: (a) 
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; 
(b) kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar 
Modal; dan (c) kegiatan jasa keuangan di 
sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga 
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan 
Lainnya.
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya berdasarkan 
Pasal 1 angka 10 UU 21/2011 adalah 
pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga 
pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan 
pembiayaan sekunder perumahan, dan 
lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan 
dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi 
penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, 
dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud 
dalam peraturan perundang-undangan mengenai 
pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan 
ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan 
sekunder perumahan, dan pengelolaan dana 
masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga 
jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi 
oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Ketentuan UU 21/2011 tersebut di atas belum 
secara tegas menyebutkan peran OJK dalam 
pengaturan dan pengawasan usaha jasa berbasis 
teknologi finansial (tekfin). Namun demikian hal 
tersebut telah diatasi OJK dengan menerbitkan 
Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 
tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang 
Berbasis Teknologi Informasi. Pasal 2 Peraturan 
OJK tersebut menyatakan bahwa Penyelenggara 
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis 
Teknologi Informasi dinyatakan sebagai Lembaga 
Jasa Keuangan Lainnya yang harus berbentuk 
perseroan terbatas atau koperasi.
Peran OJK dalam pengaturan dan pengawasan 
usaha jasa keuangan via internet (seperti tekfin 
dan crowdfunding) sebaiknya dimasukkan dalam 
rencana revisi UU OJK di masa mendatang. OJK 
seharusnya diberi kewenangan yang sangat luas 
untuk mengatur dan mengawasi industri jasa 
keuangan yang bersifat offline maupun online.
Financial Technology (fintech) didefinisikan 
sebagai bisnis berbasis teknologi yang 
bersaing dan atau berkolaborasi dengan 
lembaga keuangan. Proses fintech berkisar 
dari menciptakan software untuk memproses 
kegiatan yang biasa dilakukan lembaga keuangan 
untuk meningkatkan pengalaman konsumen 
dan mempersingkat proses pembayaran menjadi 
lebih efisien, atau memungkinkan konsumen 
memenuhi kebutuhan finansial mereka 
(menabung, melakukan investasi, melakukan 
pembayaran).6 
Inovasi keuangan tidak lagi terbatas pada 
institusi yang sudah ada. Sektor keuangan terus 
menyaksikan banyak inovasi dan kemajuan 
teknologi yang impresif seperti teknologi tanpa 
kabel, dompet digital dan mata uang kripto. 
Namun para inovator sekarang jarang berasal 
dari bank tetapi justru berasal dari perusahaan 
yang bergerak di bidang fintech.7 
Fenomena fintech adalah penyampaian produk 
dan layanan keuangan melalui pencampuran 
platform teknologi dan model bisnis inovatif. Asal-
usul fintech berasal dari Silicon Valley, kemudian 
meluas ke New York, London, Singapura, Hong 
Kong, dan beberapa kota global lainnya. The 
FinTech 100 - daftar yang menyebutkan 50 
perusahaan fintech terkemuka dan 50 start up 
yang paling menjanjikan - telah dibentuk untuk 
merayakan kesuksesan ini. Menurut FinTech 
100, contoh kisah sukses fintech antara lain : 
ZhongAn (perusahaan patungan antara Alibaba 
Group Holding, Tencent Holdings dan Ping An 
Insurance yang memanfaatkan data besar 
untuk menyediakan asuransi properti online), 
Wealthfront (perusahaan yang memberikan 
6   Ian Pollari, “The Rise of Fintech Opportunities and Challenges”, The Finsia Journal of Applied Finance, ISSUE 3, 2016
7  Susanne Chishti dan Janos Barberis, 2016, “The Fintech Book : The Financial Technology Handbook for Investors”, Wiley Publisher, 
hlm.20.
Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis ... ( Iswi Hariyani & Cita Yustisia Serfiyani )
349
layanan manajemen investasi yang terjangkau 
namun canggih), dan Kreditech (perusahaan 
yang menyediakan layanan keuangan dengan 
fokus akses kredit).8 
Salah satu bentuk bisnis tekfin yang diatur 
dan diawasi OJK adalah usaha jasa “Pinjam-
Meminjam berbasis Teknologi Finansial” (PM-
Tekfin). PM-Tekfin bertindak layaknya perbankan 
namun beroperasi melalui internet. PM-Tekfin 
berbeda dengan perbankan karena sumber 
dananya tidak berasal dari penghimpunan dana 
masyarakat. PM-Tekfin tidak boleh menghimpun 
dana masyarakat melalui tabungan, deposito 
atau sumbangan. PM-Tekfin bersifat peer-to-
peer lending artinya proses pinjam-meminjam 
dilakukan para pihak tanpa melibatkan 
perbankan / lembaga pembiayaan. Dalam bisnis 
PM-Tekfin masyarakat dapat menjadi Pemberi 
Pinjaman atau Penerima Pinjaman, sedangkan 
perusahaan penyelenggara bertindak selaku 
fasilitator dan penghubung.
Bisnis PM-Tekfin dapat diibaratkan dengan 
kegiatan pinjam-meminjam atau utang-piutang 
antar para pihak yang banyak terjadi di tengah 
masyarakat. Pihak yang punya kelebihan uang 
dapat meminjamkan uangnya kepada pihak 
lain berdasarkan “asas kebebasan berkontrak” 
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Sejak 
zaman dulu praktik semacam ini sudah lazim 
terjadi di masyarakat, namun kini semakin 
masif karena dilakukan melalui jaringan internet 
sehingga dapat berdampak luas. OJK pun 
berkepentingan mengatur dan mengawasi bisnis 
ini agar masyarakat tidak dirugikan.
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis 
dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata 
yang berbunyi : ”semua perjanjian yang dibuat 
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi 
mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan 
Berkontrak memberi-kan kebebasan kepada 
para pihak untuk :
a)  membuat atau tidak membuat perjanjian,  
b)  mengadakan perjanjian dengan siapapun,  
c)  menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan 
persyaratannya,  
d)  menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis 
atau lisan.
Pesatnya perkembangan bisnis PM-
Tekfin diperkirakan dapat mempengaruhi 
perkembangan bisnis perbankan konvensional 
terutama BPR. Bisnis PM-Tekfin dinilai dapat 
menggerus pangsa pasar Bank Perkreditan 
Rakyat (BPR) karena sama-sama berfokus 
pada nasabah mikro-kecil. Namun demikian, 
OJK menilai kehadiran bisnis PM-Tekfin justru 
dapat memperkuat industri jasa keuangan di 
Indonesia. Bisnis PM-Tekfin diharapkan dapat 
memperluas partisipasi publik dalam industri 
jasa keuangan yang hingga kini masih tergolong 
sangat rendah yaitu hanya 37 persen.   
Nasabah pengguna PM-Tekfin relatif berbeda 
dengan nasabah BPR, meskipun sama-sama 
tergolong nasabah mikro-kecil. Nasabah PM-
Tekfin umumnya berasal dari generasi muda 
milenial yang akrab dengan internet, gadget, 
dan suka mengakses bisnis online. Di sisi 
lain, nasabah BPR kebanyakan berasal dari 
masyarakat kecil tradisional yang tidak suka 
mengakses internet dan bisnis online. Bank 
Umum relatif bisa menyikapi munculnya 
bisnis tekfin dengan cara merangkul dan ikut 
berpartisipasi dalam bisnis ini.
Bank Umum lebih leluasa mengembangkan 
bisnis jasa keuangan dibandingkan BPR. Bank 
Umum bisa menerbitkan Alat Pembayaran 
Menggunakan Kartu / APMK (kartu ATM, 
kartu debit, kartu kredit) dan uang elektronik. 
Bank Umum juga dapat mendirikan usaha jasa 
berbasis teknologi finansial berbentuk SP-Tekfin 
atau PM-Tekfin. Pendirian usaha SP-Tekfin harus 
mendapatkan ijin dari BI, sedangkan pendirian 
usaha PM-Tekfin harus mendapatkan ijin dari 
OJK. Menjamurnya bisnis tekfin turut mening-
katkan pemakaian APMK dan uang elektronik 
yang diterbitkan oleh Bank Umum.
OJK saat ini telah menerbitkan Peraturan 
OJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan 
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi 
Informasi yang mulai berlaku sejak 29 Desember 
2016. Penerbitan aturan tersebut diharapkan 
dapat lebih memberikan perlindungan hukum 
bagi para pengguna dan penyelenggara PM-Tekfin 
di Indonesia. Perkembangan bisnis PM-Tekfin 
diharapkan juga dapat berdampak positif bagi 
lembaga jasa keuangan lain terutama perbankan 
dan lembaga pembiayaan. Bisnis PM-Tekfin 
jika diatur dengan baik sesungguhnya dapat 
mendorong kemajuan perbankan konvensional 
karena bisnis ini juga melibatkan sistem dan alat 
pembayaran yang diterbitkan bank.
Perlindungan hukum bagi pengguna PM-Tekfin 
merupakan isu utama dalam pengembangan 
bisnis PM-Tekfin yang diatur dan diawasi oleh 
OJK. Pengguna PM-Tekfin terdiri dari investor 
dan debitor. Investor (Pemberi Pinjaman) harus 
dilindungi agar dananya tidak hilang dibawa 
kabur penyelenggara, sedangkan debitor 
(Penerima Pinjaman) harus dilindungi agar 
agunannya tidak hilang dan syarat pinjamannya 
harus rasional. Sengketa perdata yang terjadi 
antara investor, debitor dan penyelenggara juga 
harus dapat diselesaikan secara cepat melalui 
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
Pengaturan dan pengawasan bisnis jasa 
PM-Tekfin juga harus dilakukan berdasarkan 
UU 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 
(OJK), UU 11/2008 tentang Informasi dan 
Transaksi Elektronik (ITE), UU 8/1999 tentang 
Perlindungan Konsumen, UU 7/2014 tentang 
Perdagangan, UU 8/2010 tentang Tindak Pidana 
Pencucian Uang, UU 40/2007 tentang Perseroan 
Terbatas, UU 25/ 1992 tentang Perkoperasian, 
UU 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 
Penyelesaian Sengketa, Kitab Undang-Undang 
Hukum Perdata (KUH Perdata), dan peraturan 
terkait lainnya.
Kegiatan bisnis online dan transaksi elektronik 
(termasuk bisnis jasa PM-Tekfin)  terkait dengan 
UU 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 
Masyarakat konsumen yang membeli produk 
(barang/jasa) atau melakukan transaksi 
pembayaran via internet harus mendapatkan 
perlindungan hukum agar mereka tidak 
dirugikan oleh pelaku usaha. Masyarakat juga 
harus dilindungi dari praktik penipuan dan 
kejahatan yang marak terjadi dalam bisnis online 
dan transaksi elektronik. 
OJK sangat memperhatikan aspek 
perlindungan konsumen dengan menerbitkan 
Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang 
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan 
serta Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan 
Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan 
dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada 
Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Tindak pidana penipuan yang terjadi dalam 
bisnis online dan transaksi elektronik perlu 
ditangani melalui penerapan pasal penipuan 
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 
(KUHP). Dalam penanganan tindak pidana 
penipuan, pihak konsumen dapat melapor 
kepada Kepolisian, sedangkan penyelesaian 
sengketa konsumen dengan pelaku usaha 
dapat diselesaikan melalui Badan Penyelesaian 
Sengketa Konsumen (BPSK).10 
Bagus Hanindyo Mantri menyatakan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) belum 
dapat melindungi konsumen dalam transaksi 
e-commerce karena keterbatasan pengertian 
pelaku usaha yang hanya khusus berada 
di wilayah negara Republik Indonesia, dan 
keterbatasan hak-hak konsumen yang diatur 
dalam UUPK. Perlindungan hukum terhadap 
konsumen yang seharusnya diatur meliputi 
perlindungan hukum dari sisi pelaku usaha, 
konsumen, produk, dan transaksi. Permasalahan 
yang timbul mencakup permasalahan yuridis 
dan non-yuridis. Permasalahan yuridis meliputi 
keabsahan perjanjian menurut KUH Perdata, 
penyelesaian sengketa transaksi e-commerce, 
UUPK yang tidak akomodatif, dan tidak adanya 
lembaga penjamin toko daring (online shop). 
Permasalahan non-yuridis meliputi kemanan 
bertransaksi, serta tidak pahamnya konsumen 
dalam bertransaksi e-commerce.11 
Bisnis PM-Tekfin tidak boleh bertentangan 
dengan UU 11/2008 tentang Informasi dan 
Transaksi Elektronik. Pelaku usaha yang 
menawarkan produk (barang/jasa) melalui 
Sistem Elektronik harus menyediakan informasi 
yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat 
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. 
“Informasi yang lengkap dan benar” meliputi: 
a)  informasi yang memuat identitas serta status 
subjek hukum dan kompetensinya, baik 
sebagai produsen, pemasok, penyelenggara 
maupun perantara; 
b)  informasi lain yang menjelaskan hal tertentu 
yang menjadi syarat sahnya perjanjian 
serta menjelaskan barang dan/atau jasa 
yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan 
deskripsi barang/jasa.
Aspek perlindungan konsumen dalam bisnis 
online dan transaksi elektronik juga diatur 
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 
2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan 

Transaksi Elektronik (PSTE). Pasal 49 PP 82/ 
2012 menyatakan bahwa: 
a)  Pelaku usaha yang menawarkan produk 
melalui sistem elektronik wajib menyediakan 
informasi yang lengkap dan benar berkaitan 
dengan syarat kontrak, produsen, dan produk 
yang ditawarkan. 
b)  Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan 
informasi tentang penawaran kontrak atau 
iklan. 
c)  Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu 
kepada konsumen untuk mengembalikan 
barang yang dikirim apabila tidak sesuai 
dengan perjanjian atau terdapat cacat 
tersembunyi. 
d)  Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi 
mengenai barang yang telah dikirim. 
e)  Pelaku usaha tidak dapat membebani 
konsumen mengenai kewajiban membayar 
barang yang dikirim tanpa dasar kontrak. 
Bisnis PM-Tekfin juga diatur dalam Pasal 65 
dan Pasal 66 UU 7/2014 tentang Perdagangan, 
sebab bisnis jasa PM-Tekfin termasuk kegiatan 
“perdagangan yang dilakukan melalui sistem 
elektronik” (PSE). PSE adalah perdagangan yang 
transaksinya dilakukan melalui serangkaian 
perangkat dan prosedur elektronik. UU 
Perdagangan juga memberikan perlindungan 
hukum bagi pelaku bisnis online dan e-commerce. 
Setiap pelaku usaha yang memperdagangkan 
barang dan/atau jasa dengan menggunakan 
sistem elektronik wajib menyediakan data 
dan/atau informasi secara lengkap dan benar. 
Penggunaan sistem elektronik wajib memenuhi 
ketentuan yang diatur dalam UU ITE. Data dan/
atau informasi tersebut paling sedikit memuat:  
a)  identitas dan legalitas pelaku usaha sebagai 
produsen atau pelaku usaha distribusi; 
b)  persyaratan teknis barang yang ditawarkan; 
c)  persyaratan teknis atau kualifikasi jasa yang 
ditawarkan; 
d)  harga dan cara pembayaran barang dan/
atau jasa; dan 
e)  cara penyerahan barang.
Dalam hal terjadi sengketa terkait transaksi 
dagang melalui sistem elektronik, orang atau 
badan usaha yang mengalami sengketa dapat 
menyelesaikan sengketa tersebut melalui 
pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian 
sengketa lainnya. Mekanisme penyelesaian 
sengketa lainnya antara lain konsultasi, 
negosiasi, konsiliasi, mediasi, atau arbitrase 
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Setiap pelaku usaha yang memperdagangkan 
barang dan/atau jasa dengan menggunakan 
sistem elektronik yang tidak menyediakan data 
dan/atau informasi secara lengkap dan benar 
dapat dikenai sanksi administratif berupa 
pencabutan izin.Ketentuan lebih lanjut 
mengenai transaksi Perdagangan melalui Sistem 
Elektronik akan diatur lebih lanjut dengan 
Peraturan Pemerintah.  
Perlindungan konsumen juga diatur 
dalam RPP Perdagangan Secara Elektronik 
(E-commerce) yang saat ini sedang diproses 
Kementerian Perdagangan menjadi PP. 
Penguatan perlindungan konsumen dalam 
perdagangan secara elektronik adalah aspek 
yang sangat penting. Penguatan tersebut tidak 
cukup hanya sebatas regulasi, namun juga 
diperlukan penguatan dalam bentuk mekanisme 
kelembagaan yang bertujuan meningkatkan 
signifikansi dan kepercayaan dari lembaga 
terkait yang memiliki kewenangan melindungi 
kedua belah pihak (konsumen dan produsen) 
dari praktik penipuan dan penyalahgunaan 
media internet.
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam 
bisnis PM-Tekfin dengan cara menjadi Pemberi 
Pinjaman maupun Penerima Pinjaman. Anggota 
masyarakat yang memiliki kelebihan dana 
dapat berinvestasi dalam bisnis PM-Tekfin 
sebagai Pemberi Pinjaman, sedangkan anggota 
masyarakat yang membutuhkan dana bertindak 
selaku Penerima Pinjaman. Pengelola bisnis 
PM-Tekfin bertindak selaku fasilitator dan 
penghubung antara pihak investor (Pemberi 
Pinjaman) dengan pihak debitor (Penerima 
Pinjaman). 
Hingga bulan Mei 2017, OJK telah menerima 
berkas pendaftaran 25 perusahaan yang berminat 
membuka usaha jasa PM-Tekfin. Jumlah ini tentu 
saja masih jauh dari harapan jika dibandingkan 
dengan negara China yang memiliki bisnis jasa 
tekfin sekitar 4.000 perusahaan. Indonesia 
yang jumlah penduduknya seperlima dari China 
seharusnya memiliki jumlah perusahaan jasa 
tekfin sekitar 500 perusahaan. 
Contoh perusahaan PM-Tekfin antara lain : 
Modalku (www.modalku.co.id), Credy (www.
credy.co.id), Kredina (www.kredina.com), Pinjam 
(www.pinjam.co.id), dan lain-lain. Fasilitas dana 
pinjaman yang diberikan perusahaan PM-Tekfin 
kebanyakan hanya bernilai kecil dari mulai Rp 
500.000 hingga maksimal Rp 2,5 juta dengan 
jangka waktu pengembalian maksimal 30 hari. 
Bunga pinjaman pada umumnya dipatok 2 – 3 
% per bulan belum termasuk biaya administrasi. 
Besaran bunga pinjaman tersebut membuat 
usaha PM-Tekfin harus bersaing ketat dengan 
Pegadaian, BPR, dan Bank Umum yang 
menerbitkan Kartu Kredit atau Kredit Tanpa 
Agunan (KTA).
Perusahaan PM-Tekfin ada pula yang berani 
memberikan pinjaman dalam jumlah besar, 
contohnya Modalku (www.modalku.co.id). 
Modalku berani memberikan pinjaman mulai 
dari Rp 50 juta hingga maksimal Rp 2 miliar 
dengan tenor 3, 6, 12, 15, 18, 21, 24 bulan dan 
suku bunga pinjaman 16% hingga 45% (12% - 
26% flat) per tahun. Modalku mengutip biaya 
adminsitrasi sebesar 3% dari jumlah pinjaman 
yang disetujui. Pinjaman dari Modalku harus 
didukung agunan sebab plafon pinjamannya 
tergolong besar.
Sampai saat ini wilayah operasional Modalku 
meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, 
Bekasi dan Bandung. Calon investor Pemberi 
Pinjaman diwajibkan menyetor deposit awal Rp 
10 juta, sedangkan calon Penerima Pinjaman 
diwajibkan melakukan registrasi akun baru. 
Modalku akan melakukan verifikasi data 
maksimal 4 hari dan jika permohonan pinjaman 
disetujui maka pencairan dapat dilakukan 
maksimal 6 hari.
Kajian OJK tahun 2015 menyebutkan ada 
sekitar Rp 1.650 triliun kebutuhan pembiayaan 
nasional, sedangkan industri keuangan 
konvensional domestik hanya sanggup memenuhi 
sekitar Rp 650 triliun. Pelaku usaha jasa PM-
Tekfin diharapkan dapat mengatasi kekurangan 
pembiayaan tersebut.16 Perlindungan hukum 
dibutuhkan dalam bisnis jasa PM-Tekfin, 
khususnya bagi investor (Pemberi Pinjaman) 
dan debitor (Penerima Pinjaman). Penyelenggara 
bisnis PM-Tekfin relatif memiliki risiko paling 
kecil sebab hanya bertindak selaku fasilitator 
dan penghubung antara investor (Pemberi 
Pinjaman) dan debitor (Penerima Pinjaman). OJK 
menentukan beberapa syarat agar perusahaan 
PM-Tekfin mudah diatur dan diawasi sehingga 
tidak sampai merugikan kepentingan investor 
dan debitor. Pasal 3 Peraturan OJK nomor 77/
POJK01/2016 mengatur perusahaan PM-Tekfin 
berbentuk Perseroan Terbatas dapat didirikan 
dan dimiliki oleh WNI, Badan Hukum Indonesia, 
WNA dan Badan Hukum Asing. WNA dan Badan 
Hukum Asing hanya diperbolehkan memiliki 
saham secara langsung maupun tidak langsung 
paling banyak sebesar 85%.
Perusahaan jasa PM-Tekfin berbentuk PT 
diwajibkan memiliki modal disetor minimal Rp 
1 miliar pada saat pendaftaran dan minimal Rp 
2,5 miliar pada saat mengajukan permohonan 
perizinan. Hal yang sama juga berlaku pada 
perusahaan PM-Tekfin berbentuk Koperasi yang 
harus  memiliki modal sendiri minimal Rp 1 
miliar pada saat pendaftaran dan minimal Rp 2,5 
miliar saat mengajukan permohonan perijinan.17 
Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan 
mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam 
Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak 
Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima 
Pinjaman yang sumber dananya berasal dari 
pihak Pemberi Pinjaman. Penyelenggara dapat 
bekerja sama dengan penyelenggara layanan 
jasa keuangan berbasis teknologi informasi 
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.18 Penyelenggara wajib memenuhi 
ketentuan batas maksimum total pemberian 
pinjaman dana kepada setiap Penerima 
Pinjaman. Batas maksimum total pemberian 
pinjaman dana ditetapkan sebesar Rp 2 miliar. 
OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas 
batas maksimum total pemberian pinjaman 
dana tersebut.19   
Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran 
dan perizinan kepada OJK. Penyelenggara yang 
akan melakukan kegiatan layanan PM-Tekfin 
mengajukan permohonan pendaftaran kepada 
OJK.  Penyelenggara yang telah melakukan 
kegiatan layanan PM-Tekfin sebelum peraturan 
OJK ini diundangkan, harus mengajukan 
permohonan pendaftaran kepada OJK paling 
lambat 6 bulan setelah peraturan OJK ini 
berlaku.20   Penyelenggara yang telah terdaftar 
di OJK, wajib mengajukan permohonan izin 
sebagai Penyelenggara paling lama 1 (satu) 
tahun sejak tanggal terdaftar di OJK.21 Dalam 
menjalankan kegiatan usaha, Penyelenggara 
PM-Tekfin dilarang: 
a)  melakukan kegiatan usaha selain kegiatan 
usaha Penyelenggara yang diatur dalam 
peraturan OJK ini; 
b)  bertindak sebagai Pemberi Pinjaman atau 
Penerima Pinjaman; 
c)  memberikan jaminan dalam segala bentuknya 
atas pemenuhan kewajiban pihak lain; 
d)  menerbitkan surat utang;  
e)  memberikan rekomendasi kepada Pengguna;  
f)  mempublikasikan informasi yang fiktif dan/
atau menyesatkan; 
g)  melakukan penawaran layanan kepada 
Pengguna dan/atau masyarakat melalui 
sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan 
Pengguna; dan 
h)  mengenakan biaya apapun kepada Pengguna 
atas pengajuan pengaduan.   
Larangan tersebut memberikan perlindungan 
hukum bagi pengguna PM-Tekfin. Penyelenggara 
yang melanggar larangan dapat terkena sanksi 
administratif berupa:
a)  peringatan tertulis; 
b)  denda, yaitu kewajiban untuk membayar 
sejumlah uang tertentu; 
c)  pembatasan kegiatan usaha; dan 
d)  pencabutan izin.
B.3. Penyelesaian Sengketa Bisnis PM-Tekfin 
Sengketa perdata bisa terjadi dalam bisnis 
PM-Tekfin antara pihak investor (Pemberi 
Pinjaman) dengan debitor (Penerima Pinjaman), 
antara investor dengan penyelenggara PM-Tekfin, 
atau antara debitor dengan penyelenggara PM-
Tekfin. Sengketa pada umumnya dipicu adanya 
ketidakpatuhan terhadap kontrak yang telah 
disepakati para pihak. Penyelesaian sengketa 
bisnis PM-Tekfin dapat dilakukan melalui jalur 
litigasi (pengadilan) maupun non-litigasi (di luar 
pengadilan). 
UU ITE mengamanatkan setiap orang dapat 
mengajukan gugatan terhadap pihak yang 
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/
atau menggunakan Teknologi Informasi yang 
menimbulkan kerugian. Masyarakat dapat 
mengajukan gugatan secara perwakilan  terhadap 
pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik 
dan/atau menggunakan Teknologi Informasi 
yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai 
ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 
Gugatan perdata (via pengadilan) dilakukan 
sesuai ketentuan Peraturan Perundang-
undangan. Selain penyelesaian gugatan perdata, 
para pihak juga dapat menyelesaikan sengketa 
melalui arbitrase atau lembaga penyelesaian 
sengketa alternatif lainnya sesuai ketentuan 
Peraturan Perundang-undangan.   
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) 
semakin banyak digunakan pelaku bisnis untuk 
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. 
Pelaku bisnis enggan menggunakan jalur litigasi 
karena reputasi pengadilan Indonesia yang 
kurang kondusif bagi pengembangan bisnis. 
Meskipun Mahkamah Agung telah mendorong 
proses peradilan agar berlangsung cepat, 
sederhana dan murah, namun faktanya tidak 
demikian. Proses peradilan masih tergolong lama, 
berbelit-belit, biayanya mahal, dan putusannya 
sulit dieksekusi. Mafia peradilan masih tumbuh 
subur sehingga pihak yang dimenangkan 
bukan pihak yang benar, tetapi pihak yang mau 
membayar oknum peradilan. 
Keengganan pelaku bisnis menggunakan 
jalur litigasi juga disebabkan proses pengadilan 
yang bersifat menang-kalah, sehingga dapat 
merusak hubungan bisnis. Proses persidangan di 
pengadilan kebanyakan bersifat terbuka untuk 
umum, sehingga tidak ada jaminan kerahasiaan 
bagi para pihak. Penyelesaian sengketa di luar 
pengadilan melalui APS lebih diminati karena 
cara ini dinilai lebih efisien dan efektif. Pelaku 
bisnis dapat menggunakan beberapa model APS 
seperti : Negosiasi, Pendapat Mengikat, Mediasi, 
Konsiliasi, Adjudikasi dan Arbitrase. Pada tahap 
awal sengketa, para pihak dianjurkan menempuh 
Negosiasi tanpa melibatkan pihak ketiga. Jika 
Negosiasi gagal, para pihak dapat mengundang 
pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan 
sengketa. Pihak ketiga dapat berstatus sebagai 
ahli hukum, mediator, conciliator, adjudikator 
dan arbiter.
Adjudikasi saat ini mulai diterapkan di sektor 
industri jasa keuangan karena cara ini dinilai 
dapat membantu nasabah kecil yang tidak 
mempunyai posisi setara jika berhadapan dengan 
lembaga jasa keuangan. Meskipun Adjudikasi 
belum diatur dalam UU 30/1999 tentang 
Arbitrase dan APS, namun cara ini sudah diatur 
dalam Peraturan OJK nomor 1/ POJK.07/ 2014 
tentang Lembaga APS di Sektor Jasa Keuangan. 
Adjudikasi mirip dengan Arbitrase, namun 
prosesnya jauh lebih sederhana dan lebih cepat. 
Pihak pemohon (nasabah kecil) diberikan hak 
opsi untuk menyetujui atau menolak hasil 
putusan Adjudikasi. Jika pemohon setuju maka 
putusan Adjudikasi dapat diberlakukan dan 
bersifat final dan mengikat. Pihak termohon 
(lembaga jasa keuangan) tidak diberi hak opsi, 
sehingga harus menerima apapun hasil putusan 
Adjudikasi. Hak opsi semacam ini tidak dijumpai 
dalam proses Arbitrase.
Sengketa bisnis merupakan bagian dari 
sengketa perdata yang dapat diselesaikan 
melalui jalur litigasi (pengadilan) maupun non-
litigasi (di luar pengadilan). Gugatan perdata 
melalui pengadilan memakan waktu lama karena 
putusan di tingkat pertama (Pengadilan Negeri) 
masih bisa diajukan banding ke Pengadilan 
Tinggi hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Hal 
inilah yang membuat pelaku bisnis lebih senang 
menempuh jalur non-litigasi melalui Alternatif 
Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative 
Dispute Resolution (ADR). Penyelesaian sengketa 
model APS telah diatur UU 30/1999 tentang 
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 
yang mulai berlaku 12 Agustus 1999.
Penyelesaian sengketa secara litigasi juga 
bisa dilakukan via Pengadilan Niaga khususnya 
sengketa yang terkait dengan Hak Kekayaan 
Intelektual (HKI). Selain berwenang mengurus 
kepailitan, Pengadilan Niaga juga berwenang 
mengurus sengketa HKI. Hampir semua 
sengketa HKI (Hak Cipta, Merek, Indikasi 
Geografis, Paten, Desain Industri, DTLST) diurus 
melalui Pengadilan Niaga, sedangkan sengketa 
HKI lainnya (Rahasia Dagang dan PVT) diurus 
melalui Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa 
bisnis di sektor Industri Jasa Keuangan (IJK) 
diatur secara khusus oleh lembaga OJK yang 
kini bertindak menggantikan peran BI selaku 
regulator dan pengawas lembaga perbankan. 
Selain berwenang mengawasi lembaga 
perbankan, OJK juga mengambil alih peran 
Bapepam-LK dalam bidang pengawasan pasar 
modal, asuransi, dana pensiun, perusahaan 
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. 
Dasar hukum pembentukan OJK adalah UU 
21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.  
OJK telah menerbitkan Peraturan OJK nomor 
1/ POJK.07/ 2014 tentang Lembaga Alternatif 
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. 
Peraturan OJK tersebut disusul keluarnya 
Keputusan OJK nomor Kep-01/ D.07/ 2016 
tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan 
pembentukan 6 (enam) Lembaga APS yaitu: 
a)  Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa 
Perbankan Indonesia (LAPSPI)
b)  Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia 
(BAPMI)
c)  Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi 
Indonesia (BMAI)
d)  Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan 
Penjaminan Indonesia (BAMPPI)
e)  Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian 
Indonesia (BMPPI)
f)  Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).
Persengketaan yang bisa diselesaikan oleh 
Lembaga APS harus memenuhi syarat : 
a)  hanyalah persengketaan perdata yang timbul 
di antara para pihak sehubungan dengan 
kegiatan di sektor industri jasa keuangan; 
b)  terdapat kesepakatan  di antara para pihak 
yang bersengketa bahwa persengketaan akan 
diselesaikan melalui Lembaga APS yang 
terkait; 
c)  terdapat permohonan tertulis dari pihak yang 
bersengketa kepada Lembaga APS; 
d)  persengketaan tersebut bukan merupakan 
perkara pidana (contoh : penipuan, 
penggelapan, manipulasi pasar, perdagangan 
orang dalam /insider trading);
e)  persengketaan tersebut tidak terkait 
dengan pelanggaran administratif (contoh : 
pembekuan usaha, pencabutan izin usaha).
Lembaga APS tersebut menawarkan 4 (empat) 
jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan 
yang dapat dipilih para pihak yang bersengketa, 
yaitu: Pendapat Mengikat, Mediasi, Adjudikasi 
dan Arbitrase. Konsiliasi tidak diterapkan di 
Lembaga APS sebab cara ini dianggap mirip 
dengan Mediasi. Para pihak diharuskan lebih 

dulu menempuh Negosiasi sebelum meneruskan 
penyelesaian sengketa di Lembaga APS. 
Penyelesaian sengketa bisnis PM-Tekfin kurang 
tepat jika harus diselesaikan melalui Lembaga 
APS konvensional (offline). Bisnis PM-Tekfin 
tergolong bisnis online yang kegiatannya banyak 
dilakukan via internet, sehingga membutuhkan 
proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat, 
mudah dan murah. OJK sebaiknya membentuk 
Lembaga APS online yang khusus menangani 
sengketa bisnis PM-Tekfin. Pasal 29 huruf 
e Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 
juga mengamanatkan penyelesaian sengketa 
pengguna harus dilakukan secara sederhana, 
cepat dan biaya terjangkau.
Penyelesaian sengketa bisnis PM-Tekfin via 
APS sebenarnya dapat dilakukan melalui model 
Penyelesaian Sengketa Daring (PSD) atau Online 
Dispute Resolution (ODR). OJK harus lebih dulu 
menerbitkan Peraturan OJK sebagai payung 
hukum pembentukan Lembaga PSD. Lembaga 
PSD dapat menggunakan cara Negosiasi, 
Pendapat Mengikat, Mediasi, Adjudikasi dan 
Arbitrase. Konsiliasi tidak diperlukan karena 
mirip dengan Mediasi, sedangkan Arbitrase 
hanya layak digunakan untuk sengketa bisnis 
yang nilainya di atas Rp 500 juta. Semua proses 
penyelesaian sengketa dilakukan via internet, 
sehingga para pihak tidak perlu bertemu muka. 
PSD adalah hasil kolaborasi antara Alternatif 
Penyelesaian Sengketa (APS) dan Teknologi 
Informasi dan Komunikasi (TIK). Penyelesaian 
sengketa dilakukan via internet sehingga 
prosesnya cepat, mudah dan murah. PSD 
telah dipraktekkan di AS, Canada, Uni Eropa, 
Australia, China, Jepang, Hongkong, Singapura 
dan India. PSD atau ODR juga dinamakan 
“internet Dispute Resolution (iDR)”, “Electronic 
Dispute Resolution (EDR)”, “electronic ADR 
(e-ADR)” dan “online ADR (oADR)”. 
Sejarah ODR dimulai ketika The National 
Center for Automated Information Research 
(NCAIR) mengadakan konferensi Online Dispute 
Resulution tahun 1996. Tahun ini dianggap 
periode signifikan dalam pencapaian ODR. 
Proyek pertama yang disponsori NCAIR tahun 
1996 yaitu Virtual Magistrase Project yang 
terletak di Villanova University. Keputusan yang 
dihasilkan ODR saat itu menyatakan iklan yang 
ditempatkan pada American On Line (AOL) dalam 
bentuk email yang dikirimkan kepada jutaan 
alamat email dianggap menyalahi kesepakatan 
layanan yang diberikan sehingga iklan tersebut 
harus dihilangkan dari AOL. Saat ini PBB 
selalu mengadaan konferensi ODR tahunan dan 
telah membentuk Expert Group on ODR. ODR 
semakin diterima sebagai proses penting yang 
dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa 
offline.
Lembaga penyedia jasa ODR di bidang mediasi 
konsumen bisnis online terkemuka di dunia 
adalah “SquareTrade”. Lembaga ini banyak 
dipakai untuk menyelesaikan sengketa yang 
terjadi di eBay dan PayPal. SquareTrade tidak 
menangani sengketa antara pengguna dengan 
eBay, melainkan sengketa antara penjual dan 
pembeli di eBay, dengan menawarkan dua tahap 
penyelesaian sengketa yaitu tahap Negosiasi 
dan Mediasi. Dalam beberapa tahun terakhir, 
SquareTrade telah berhasil menyelesaikan 
jutaan kasus sengketa bisnis online yang terjadi 
di 120 negara dalam 5 bahasa yang berbeda. 
SquareTrade telah membuktikan bahwa proses 
negosiasi online atau mediasi online dapat 
menjadi alat yang efisien untuk menyelesaikan 
sengketa bisnis online atau e-commerce.27  
Perkembangan e-commerce yang sangat 
pesat mendorong pemerintah India membuat 
lembaga ODR. Sejak pemberlakuan Undang-
Undang Teknologi Informasi tahun 2000, India 
telah memberikan pengakuan formal dan legal 
terhadap praktik e-commerce dan e-governance. 
Pesatnya pertumbuhan e-commerce di India 
memicu munculnya banyak perselisihan 
terkait transaksi online. Mekanisme ganti rugi 
konvensional tidak sesuai dengan perkembangan 
bisnis dan ekspektasi pelanggan, karena sistem 
ini mengharuskan kehadiran para pihak. Hal 
ini mendorong Departemen Urusan Konsumen 
di India meluncurkan platform Penyelesaian 
Sengketa Konsumen Online.
Pembentukan Lembaga PSD dimungkinkan 
berdasarkan UU ITE karena semua informasi 
dan data eletronik saat ini sudah dapat 
dijadikan bukti hukum. Lembaga PSD yang 
akan dibentuk OJK sebaiknya tidak hanya 

mengurus sengketa bisnis PM-Tekfin, tetapi 
juga sengketa bisnis tekfin yang lainnya seperti 
“crowdfunding”. Konsep crowdfunding berakar 
dari konsep crowdsourcing yang memanfaatkan 
"kerumunan" orang untuk memberikan umpan 
balik dan solusi untuk mengembangkan 
kegiatan suatu perusahaan rintisan (start-
up). Dalam crowdfunding, tujuannya adalah 
mengumpulkan dana yang dilakukan dengan 
menggunakan jaringan media sosial (Twitter, 
Facebook, LinkedIn dan situs-situs blogging). 
Tujuan utama crowdfunding adalah memberikan 
alternatif bagi pengusaha untuk memperoleh 
pendanaan.29 
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejauh ini 
mengelompokkan crowdfunding dalam 4 (empat) 
jenis yaitu equity based crowdfunding (berbasis 
permodalan / kepemilikan saham), lending 
based crowdfunding (berbasis kredit / utang 
piutang), reward based crowdfunding (berbasis 
hadiah), dan donation based crowdfunding 
(berbasis donasi).30  Istilah crowdfunding 
merupakan derivasi dari istilah crowdsourcing. 
Crowdsourcing memiliki bentuk yang berbeda-
beda salah satunya crowdfunding. Crowdfunding 
dapat diartikan pendanaan beramai-ramai yang 
berasal dari konsep gotong-royong. Indonesia 
belum memiliki undang-undang khusus 
crowdfunding sehingga belum ditemukan 
pengertian crowdfunding dalam produk hukum 
apapun di Indonesia. Istilah crowdfunding dapat 
ditinjau dari rumusan pengertian para ahli 
hukum, ekonomi dan teknologi informatika. 
 Dasar hukum pembentukan PSD diatur Pasal 
41 UU ITE beserta penjelasannya. Masyarakat 
dapat berperan meningkatkan pemanfaatan 
teknologi informasi melalui penggunaan dan 
penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi 
elektronik sesuai ketentuan UU ITE. Peran 
masyarakat dapat diselenggarakan melalui 
lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang 
ITE yang dapat memiliki fungsi konsultasi dan 
mediasi. PSD juga diatur secara tidak langsung 
dalam Pasal 18 ayat 4 dan 5 UU ITE. Para 
pihak memiliki kewenangan menetapkan forum 
pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian 
sengketa alternatif lainnya yang berwenang 
menangani sengketa yang mungkin timbul 
dari transaksi elektronik internasional yang 
dibuatnya. Jika para pihak tidak melakukan 
pilihan forum, maka penetapan kewenangan 
pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian 
sengketa alternatif lainnya didasarkan pada asas 
Hukum Perdata Internasional. PSD atau ODR 
adalah penyelesaian sengketa alternatif yang 
selaras dengan Hukum Perdata Internasional 
yang telah diakui PBB melalui konferensi ODR 
tahunan dan pembentukan Expert Group on ODR.

Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik 
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a)  OJK berperan dalam pengembangan bisnis 
PM-Tekfin karena OJK adalah lembaga negara 
independen yang berwenang mengatur dan 
mengawasi lembaga jasa keuangan. OJK 
mendorong perkembangan bisnis PM-Tekfin 
guna merespon kemajuan teknologi informasi 
dan komunikasi serta perkembangan bisnis 
daring. Perkembangan bisnis PM-Tekfin 
diharapkan dapat memperluas partisipasi 
masyarakat dalam industri jasa keuangan 
serta memperbesar porsi pembiayaan bagi 
debitor UMKM. OJK telah menerbitkan 
Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 
tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang 
Berbasis Teknologi Informasi sebagai payung 
hukum bagi pengembangan bisnis PM-Tekfin 
di Indonesia.
b)  Perlindungan hukum bagi pengguna dan 
penyelenggara PM-Tekfin diatur dalam UU 
Otoritas Jasa Keuangan, UU Informasi dan 
Transaksi Elektronik, UU Perlindungan 
Konsumen, UU Perdagangan, KUH Perdata, 
UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU 
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian 
Sengketa, PP Nomor 82 tahun 2012 tentang 
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi 
Elektronik, Peraturan OJK nomor 77/
POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam-
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi 
dan peraturan terkait lainnya. 
c)  Penyelesaian sengketa bisnis PM-Tekfin 
dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan 
non-litigasi. Penyelesaian non-litigasi (di luar 

pengadilan) dapat ditempuh menggunakan 
APS dengan cara Negosiasi, Pendapat 
Mengikat, Mediasi, Konsiliasi, Adjudikasi 
dan Arbitrase. OJK sebaiknya membuat 
Lembaga APS khusus untuk menyelesaikan 
sengketa bisnis PM-Tekfin yang bersifat 
online atau yang lazim disebut Penyelesaian 
Sengketa Daring (PSD) atau Online Dispute 
Resolution (ODR). PSD atau ODR sudah 
biasa diterapkan di negara-negara maju 
di bidang TIK dan e-commerce sebagai cara 
penyelesaian sengketa alternatif via internet 
yang cepat, mudah dan murah. 
Adapun saran-saran atas permasalahan yang 
ada dari hasil penelitian ini diantaranya yaitu:
a)  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan 
dapat segera membentuk lembaga APS 
berbentuk online (PSD / ODR) yang khusus 
menangani sengketa bisnis PM-Tekfin 
dan sengketa bisnis tekfin lainnya seperti 
“crowdfunding”.
b)  BI dan OJK diharapkan dapat bekerjasama 
mengembangkan bisnis tekfin. Kerjasama 
tersebut dapat berupa pendirian lembaga 
litbang bisnis tekfin, penyuluhan kepada 
masyarakat tentang manfaat bisnis tekfin, 
hingga pembentukan lembaga PSD secara 
bersama-sama.
c)  OJK diharapkan ikut mendorong Bank 
Umum dan BPR untuk ikut aktif dalam 
bisnis tekfin agar kedua bank tersebut ikut 
merasakan manfaat kemajuan bisnis tekfin. 
Bank Umum dapat ikut berkolaborasi dalam 
bisnis tekfin dengan cara mengajak pelaku 
bisnis tekfin memanfaatkan fasilitas phone-
banking dan internet-banking. BPR dapat 
ikut mendirikan usaha PM-Tekfin agar tidak 
ketinggalan jaman.
d)  Pemerintah diharapkan ikut berperan aktif 
dalam mendukung pengembangan bisnis 
tekfin dengan cara antara lain memberikan 
kredit lunak bagi perusahaan rintisan (start-
up) dan membuat program pelatihan bisnis 
tekfin bagi UMKM.
e)  Pemerintah dan DPR diharapkan dapat 
merevisi UU OJK dengan memasukkan pasal 
yang mengatur kewenangan OJK untuk 
mengawasi bisnis jasa keuangan via internet 
seperti bisnis PM-Tekfin, “Crowdfunding”, 
dan lain-lain.

Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive