Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
Penelitian ini bertujuan mengkaji perlindungan hukum dan penyelesaian sengketa bisnis “Pinjam-Meminjam
berbasis Teknologi Finansial” (PM-Tekfin). Rumusan masalah penelitian ini meliputi tiga hal yaitu : apa peran
OJK dalam pengembangan bisnis PM-Tekfin, apa bentuk perlindungan hukum bagi pengguna jasa PM-Tekfin,
dan apa saja bentuk penyelesaian sengketa bisnis PM-Tekfin. Penelitian normatif ini memakai pendekatan
perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan OJK berwenang mengatur dan mengawasi
bisnis PM-Tekfin. OJK juga telah menerbitkan Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 sebagai bentuk
perlindungan hukum bagi pengguna jasa PM-Tekfin. Sengketa bisnis PM-Tekfin diharapkan dapat diselesaikan
melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dengan membentuk lembaga Penyelesaian Sengketa Daring (PSD).
Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi, khususnya internet dan gadget,
mendorong tumbuhnya bisnis daring (bisnis
online) dan perdagangan secara elektronik
(e-commerce). Generasi muda milenial lebih
senang beraktifitas di internet termasuk
melakukan transaksi jual-beli dan pembayaran
secara online. Mereka senang menjelajahi
berbagai situs toko daring (online shop) atau mal
daring (online mall) yang kini banyak menjamur
di internet. Perubahan gaya hidup modern ini
pada akhirnya turut memicu munculnya model
bisnis gaya baru berbasis teknologi finansial
(tekfin).
Pengertian “bisnis” (business) lebih luas
dibandingkan “perdagangan” (commerce),
sebab ruang lingkup kegiatan bisnis tidak
hanya perdagangan, tetapi melingkupi bidang
yang lebih luas seperti produksi, pengolahan,
distribusi, perdagangan/ pemasaran, ekspor-
impor, pengadaan barang/jasa, jasa perekrutan
tenaga kerja, jasa konsultasi bisnis, perkreditan,
penjaminan kredit, asuransi, kerja sama usaha,
investasi, media massa, properti, dll. Kegiatan
bisnis yang dilakukan menggunakan media
elektronik dinamakan electronic business
(e-business), sedangkan perdagangan yang
dilakukan menggunakan media elektronik
dinamakan electronic commerce (e-commerce)
atau e-dagang.1
Salah satu bentuk e-business dan e-commerce
yang paling dominan adalah “bisnis online” yaitu
kegiatan bisnis yang dilakukan dalam jaringan
internet. Pengertian dan ruang lingkup e-business
dan e-commerce lebih luas dibandingkan bisnis
online, sebab e-business dan e-commerce tidak
hanya berkaitan dengan penggunaan teknologi
internet dan komputer tetapi juga teknologi
elektronika yang lain seperti telepon rumah,
telepon seluler (handphone), ponsel cerdas
(smartphone), teleks, telegram, faksimili, televisi,
radio, mesin ATM dan electronic data interchange
(EDI).2
Bisnis online dan e-commerce berkaitan erat
dengan transaksi elektronik yaitu transaksi
bisnis menggunakan media elektronik.
Pengertian “transaksi bisnis” lebih luas dari
“transaksi pembayaran”, sebab transaksi bisnis
berkaitan dengan tindakan penjual dan pembeli
untuk melakukan penjajagan, negosiasi,
kesepakatan jual-beli hingga penyelesaian
transaksi (settlement) berupa pembayaran
oleh pembeli dan penyerahan obyek transaksi
oleh penjual. Transaksi elektronik juga harus
didasarkan pada kontrak/perjanjian yang
berbentuk kontrak konvensional atau kontrak
elektronik (e-contract).
Transaksi elektronik dapat pula diartikan
sebagai kesepakatan jual-beli antara pihak
penjual dan pembeli untuk memperdagangkan
suatu produk barang/jasa melalui media
elektronik (termasuk internet) berdasarkan
kesepakatan harga, jumlah, kualitas, waktu
penyerahan, cara pembayaran, asuransi,
jaminan purna jual dan cara pengiriman.
Transaksi elektronik juga berkaitan dengan
sistem pembayaran. Pembayaran bisa dilakukan
secara tunai maupun kredit, sedangkan alat
pembayaran dapat berbentuk tunai (uang kartal)
maupun non-tunai (uang giral). Pembayaran
non-tunai dapat dilakukan menggunakan
cek, bilyet giro, transfer bank, phone-banking,
internet banking, kartu kredit, kartu ATM, kartu
debit, uang elektronik dan virtual payment.
Saat ini beberapa bank papan atas seperti BRI,
BNI, Bank Mandiri dan BCA telah meluncurkan
alat pembayaran khusus transaksi online yang
dinamakan e-payment (e-pay).3
Kegemaran belanja via internet memicu
munculnya aplikasi sistem pembayaran online
yang dinilai lebih mudah dan lebih praktis
dibandingkan sistem pembayaran dengan uang,
cek, bilyet giro, kartu debit, kartu kredit dan
uang elektronik. Para pengguna internet kini
juga bisa mengakses utang/pinjaman secara
online melalui laman perusahaan jasa “Pinjam-
Meminjam berbasis Teknologi Finansial” (PM-
Tekfin).
Teknologi finansial (tekfin) atau financial
technology (fintech) berkembang pesat seiring
kemajuan teknologi internet dan gadget seperti
handphone, smartphone, PC, tablet PC, netbook
dan notebook. Berbekal gadget dan internet, setiap
orang bisa mengakses berbagai macam aplikasi
yang dapat digunakan untuk mempermudah
kehidupan manusia. Sistem pembayaran kini
bisa dilakukan melalui internet menggunakan
aplikasi dompet elektronik (e-wallet). Masyarakat
juga bisa mengakses dana pinjaman melalui
situs perusahaan jasa PM-Tekfin tanpa melalui
perbankan atau lembaga pembiayaan.
Pengaturan dan pengawasan bisnis tekfin/
fintech di Indonesia dilakukan oleh dua lembaga
negara independen yaitu Bank Indonesia (BI)
dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI bertugas
mengatur dan mengawasi usaha jasa “Sistem
Pembayaran berbasis Teknologi Finansial” (SP-
Tekfin) yang menerbitkan aplikasi “dompet
elektronik” atau e-wallet. Dompet elektronik
adalah sarana pembayaran virtual yang dapat
dipakai untuk menyimpan data uang tunai,
kartu debit, kartu kredit dan uang elektronik.
OJK bertugas mengatur dan mengawasi bisnis
tekfin di luar moneter dan sistem pembayaran,
seperti usaha jasa “Pinjam-Meminjam berbasis
Teknologi Finansial” (PM-Tekfin). Usaha jasa PM-
Tekfin dilakukan para pihak di dalam masyarakat
(peer-to-peer lending) tanpa melibatkan pihak
perbankan atau perusahaan pembiayaan.
Pengguna PM-Tekfin pada umumnya berasal
dari generasi muda milenial yang tergolong
debitor mikro-kecil yang saat ini lebih banyak
berdomisili di Jakarta, Bandung dan sekitarnya.
Dalam hal ini diharapkan penyelenggara tekfin
mencermati aspek perlindungan dana dan data
konsumen. Perlindungan dana konsumen perlu
diperhatikan agar dana tersebut tidak sampai
hilang akibat penipuan, penyalahgunaan atau
kondisi darurat (force majeur). Perlindungan
data pengguna diperlukan agar data privasi
konsumen dapat disimpan dengan aman dan
tidak dicuri pihak lain via hacker, phising, virus,
malware, dll.
BI dan OJK mendorong perkembangan
bisnis tekfin guna meningkatkan partisipasi
masyarakat. Berdasarkan hasil survei Bank
Dunia tahun 2014, baru ada 37% penduduk
Indonesia yang memiliki rekening bank; hanya
27% yang memiliki simpanan formal dan hanya
13% yang memiliki pinjaman formal. Pada
tahun 2016, OJK menyatakan hanya 28,9%
penduduk dewasa yang memahami produk
perbankan Indonesia. Angka ini jauh lebih
rendah dibandingkan negara lain di Asia. Hal
ini disebabkan rendahnya akses keuangan
dan rendahnya literasi keuangan. Tingkat
pemahaman masyarakat terhadap produk
keuangan non-bank jauh lebih rendah lagi.4
Perlindungan hukum bagi pengguna dan
pelaku usaha tekfin di Indonesia kini semakin
kuat sejak BI dan OJK menerbitkan regulasi bisnis
jasa tekfin. BI menerbitkan Peraturan BI nomor
18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan
Pemrosesan Transaksi Pembayaran, sedangkan
OJK menerbitkan Peraturan OJK nomor 77/
POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam-
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Kedua peraturan tersebut diharapkan
dapat meningkatkan peran masyarakat dan
mempercepat pertumbuhan bisnis tekfin di tanah
air. Bisnis tekfin juga dilindungi UU 11/2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen,
UU 7/2014 tentang Perdagangan, KUH Perdata,
PP 82/ 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem
dan Transaksi Elektronik (PSTE) dan peraturan
terkait lainnya.
Penelitian ini bertujuan mengetahui peran
OJK dalam pengembangan bisnis jasa PM-Tekfin
di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi
pengguna PM-Tekfin serta bentuk penyelesaian
sengketa perdata antara pengguna dan pelaku
usaha PM-Tekfin. Pengguna PM-Tekfin terdiri
dari dua macam yaitu investor (Pemberi
Pinjaman) dan debitor (Penerima Pinjaman).
Adapun permasalahan yang akan diangkat
dalam penelitian ini meliputi 3 (tiga) hal pokok :
a) Apa peran OJK dalam pengembangan bisnis
PM-Tekfin ?
b) Apa bentuk perlindungan hukum bagi
pengguna PM-Tekfin ?
c) Apa bentuk penyelesaian sengketa bisnis PM-
Tekfin ?
Penelitian ini adalah penelitian hukum yang
bersifat normatif yang mengkaji isu hukum
tentang perlindungan hukum bagi pengguna
PM-Tekfin dan penyelesaian sengketa perdata
dalam bisnis PM-Tekfin. Bahan hukum primer
yang digunakan meliputi Undang-Undang
(UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Bahan hukum
sekunder yang digunakan meliputi buku teks,
jurnal ilmiah dan artikel ilmiah di internet.
Bahan hukum primer dan sekunder kemudian
dianalisa untuk mencari keterkaitan dan
kesesuaian dengan rumusan masalah.
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi pendekatan undang-
undang (statue approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Pendekatan
undang-undang (statue approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani. Pendekatan
konseptual (conceptual approach) beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang di dalam ilmu hukum.5
B.1. Peran OJK dalam Pengembangan Bisnis
PM-Tekfin
BI dan OJK saat ini giat mendorong
pertumbuhan usaha jasa berbasis teknologi
finansial (tekfin) atau financial technology
(fintech). Hal ini dilakukan BI dan OJK guna
merespon pesatnya perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi. Kehadiran inovasi
teknologi internet dan peralatan canggih
berbentuk gadget (ponsel, smartphone, laptop,
tablet, PC) berperan besar mendorong kemajuan
industri jasa tekfin di seluruh dunia. Fenomena
global ini sulit dibendung sehingga lebih baik
diatur dan diawasi dengan baik agar berguna
bagi masyarakat dan para pelaku bisnis di tanah
air.
Bisnis tekfin yang berkaitan dengan moneter
dan sistem pembayaran diatur dan diawasi BI.
OJK berwenang mengatur dan mengawasi bisnis
tekfin di luar moneter dan sistem pembayaran.
Sejak pemberlakuan UU 21/ 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, tugas dan kewenangan
BI dalam pengaturan dan pengawasan perbankan
dialihkan kepada OJK. OJK juga mengambilalih
tugas dan kewenangan Bapepam-LK di bidang
pengaturan dan pengawasan pasar modal,
asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan
dan lembaga jasa keuangan lain. OJK adalah
lembaga negara independen yang memiliki
kewenangan besar dalam pengaturan dan
pengawasan industri jasa keuangan.
Pasal 5 dan Pasal 6 UU 21/2011 menyatakan
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor
jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap: (a)
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
(b) kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar
Modal; dan (c) kegiatan jasa keuangan di
sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya.
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya berdasarkan
Pasal 1 angka 10 UU 21/2011 adalah
pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga
pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan
pembiayaan sekunder perumahan, dan
lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan
dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi
penyelenggara program jaminan sosial, pensiun,
dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan
ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan
sekunder perumahan, dan pengelolaan dana
masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga
jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi
oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Ketentuan UU 21/2011 tersebut di atas belum
secara tegas menyebutkan peran OJK dalam
pengaturan dan pengawasan usaha jasa berbasis
teknologi finansial (tekfin). Namun demikian hal
tersebut telah diatasi OJK dengan menerbitkan
Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi. Pasal 2 Peraturan
OJK tersebut menyatakan bahwa Penyelenggara
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi dinyatakan sebagai Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya yang harus berbentuk
perseroan terbatas atau koperasi.
Peran OJK dalam pengaturan dan pengawasan
usaha jasa keuangan via internet (seperti tekfin
dan crowdfunding) sebaiknya dimasukkan dalam
rencana revisi UU OJK di masa mendatang. OJK
seharusnya diberi kewenangan yang sangat luas
untuk mengatur dan mengawasi industri jasa
keuangan yang bersifat offline maupun online.
Financial Technology (fintech) didefinisikan
sebagai bisnis berbasis teknologi yang
bersaing dan atau berkolaborasi dengan
lembaga keuangan. Proses fintech berkisar
dari menciptakan software untuk memproses
kegiatan yang biasa dilakukan lembaga keuangan
untuk meningkatkan pengalaman konsumen
dan mempersingkat proses pembayaran menjadi
lebih efisien, atau memungkinkan konsumen
memenuhi kebutuhan finansial mereka
(menabung, melakukan investasi, melakukan
pembayaran).6
Inovasi keuangan tidak lagi terbatas pada
institusi yang sudah ada. Sektor keuangan terus
menyaksikan banyak inovasi dan kemajuan
teknologi yang impresif seperti teknologi tanpa
kabel, dompet digital dan mata uang kripto.
Namun para inovator sekarang jarang berasal
dari bank tetapi justru berasal dari perusahaan
yang bergerak di bidang fintech.7
Fenomena fintech adalah penyampaian produk
dan layanan keuangan melalui pencampuran
platform teknologi dan model bisnis inovatif. Asal-
usul fintech berasal dari Silicon Valley, kemudian
meluas ke New York, London, Singapura, Hong
Kong, dan beberapa kota global lainnya. The
FinTech 100 - daftar yang menyebutkan 50
perusahaan fintech terkemuka dan 50 start up
yang paling menjanjikan - telah dibentuk untuk
merayakan kesuksesan ini. Menurut FinTech
100, contoh kisah sukses fintech antara lain :
ZhongAn (perusahaan patungan antara Alibaba
Group Holding, Tencent Holdings dan Ping An
Insurance yang memanfaatkan data besar
untuk menyediakan asuransi properti online),
Wealthfront (perusahaan yang memberikan
6 Ian Pollari, “The Rise of Fintech Opportunities and Challenges”, The Finsia Journal of Applied Finance, ISSUE 3, 2016
7 Susanne Chishti dan Janos Barberis, 2016, “The Fintech Book : The Financial Technology Handbook for Investors”, Wiley Publisher,
hlm.20.
Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis ... ( Iswi Hariyani & Cita Yustisia Serfiyani )
349
layanan manajemen investasi yang terjangkau
namun canggih), dan Kreditech (perusahaan
yang menyediakan layanan keuangan dengan
fokus akses kredit).8
Salah satu bentuk bisnis tekfin yang diatur
dan diawasi OJK adalah usaha jasa “Pinjam-
Meminjam berbasis Teknologi Finansial” (PM-
Tekfin). PM-Tekfin bertindak layaknya perbankan
namun beroperasi melalui internet. PM-Tekfin
berbeda dengan perbankan karena sumber
dananya tidak berasal dari penghimpunan dana
masyarakat. PM-Tekfin tidak boleh menghimpun
dana masyarakat melalui tabungan, deposito
atau sumbangan. PM-Tekfin bersifat peer-to-
peer lending artinya proses pinjam-meminjam
dilakukan para pihak tanpa melibatkan
perbankan / lembaga pembiayaan. Dalam bisnis
PM-Tekfin masyarakat dapat menjadi Pemberi
Pinjaman atau Penerima Pinjaman, sedangkan
perusahaan penyelenggara bertindak selaku
fasilitator dan penghubung.
Bisnis PM-Tekfin dapat diibaratkan dengan
kegiatan pinjam-meminjam atau utang-piutang
antar para pihak yang banyak terjadi di tengah
masyarakat. Pihak yang punya kelebihan uang
dapat meminjamkan uangnya kepada pihak
lain berdasarkan “asas kebebasan berkontrak”
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Sejak
zaman dulu praktik semacam ini sudah lazim
terjadi di masyarakat, namun kini semakin
masif karena dilakukan melalui jaringan internet
sehingga dapat berdampak luas. OJK pun
berkepentingan mengatur dan mengawasi bisnis
ini agar masyarakat tidak dirugikan.
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis
dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
yang berbunyi : ”semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan
Berkontrak memberi-kan kebebasan kepada
para pihak untuk :
a) membuat atau tidak membuat perjanjian,
b) mengadakan perjanjian dengan siapapun,
c) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan
persyaratannya,
d) menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis
atau lisan.
Pesatnya perkembangan bisnis PM-
Tekfin diperkirakan dapat mempengaruhi
perkembangan bisnis perbankan konvensional
terutama BPR. Bisnis PM-Tekfin dinilai dapat
menggerus pangsa pasar Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) karena sama-sama berfokus
pada nasabah mikro-kecil. Namun demikian,
OJK menilai kehadiran bisnis PM-Tekfin justru
dapat memperkuat industri jasa keuangan di
Indonesia. Bisnis PM-Tekfin diharapkan dapat
memperluas partisipasi publik dalam industri
jasa keuangan yang hingga kini masih tergolong
sangat rendah yaitu hanya 37 persen.
Nasabah pengguna PM-Tekfin relatif berbeda
dengan nasabah BPR, meskipun sama-sama
tergolong nasabah mikro-kecil. Nasabah PM-
Tekfin umumnya berasal dari generasi muda
milenial yang akrab dengan internet, gadget,
dan suka mengakses bisnis online. Di sisi
lain, nasabah BPR kebanyakan berasal dari
masyarakat kecil tradisional yang tidak suka
mengakses internet dan bisnis online. Bank
Umum relatif bisa menyikapi munculnya
bisnis tekfin dengan cara merangkul dan ikut
berpartisipasi dalam bisnis ini.
Bank Umum lebih leluasa mengembangkan
bisnis jasa keuangan dibandingkan BPR. Bank
Umum bisa menerbitkan Alat Pembayaran
Menggunakan Kartu / APMK (kartu ATM,
kartu debit, kartu kredit) dan uang elektronik.
Bank Umum juga dapat mendirikan usaha jasa
berbasis teknologi finansial berbentuk SP-Tekfin
atau PM-Tekfin. Pendirian usaha SP-Tekfin harus
mendapatkan ijin dari BI, sedangkan pendirian
usaha PM-Tekfin harus mendapatkan ijin dari
OJK. Menjamurnya bisnis tekfin turut mening-
katkan pemakaian APMK dan uang elektronik
yang diterbitkan oleh Bank Umum.
OJK saat ini telah menerbitkan Peraturan
OJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi yang mulai berlaku sejak 29 Desember
2016. Penerbitan aturan tersebut diharapkan
dapat lebih memberikan perlindungan hukum
bagi para pengguna dan penyelenggara PM-Tekfin
di Indonesia. Perkembangan bisnis PM-Tekfin
diharapkan juga dapat berdampak positif bagi
lembaga jasa keuangan lain terutama perbankan
dan lembaga pembiayaan. Bisnis PM-Tekfin
jika diatur dengan baik sesungguhnya dapat
mendorong kemajuan perbankan konvensional
karena bisnis ini juga melibatkan sistem dan alat
pembayaran yang diterbitkan bank.
Perlindungan hukum bagi pengguna PM-Tekfin
merupakan isu utama dalam pengembangan
bisnis PM-Tekfin yang diatur dan diawasi oleh
OJK. Pengguna PM-Tekfin terdiri dari investor
dan debitor. Investor (Pemberi Pinjaman) harus
dilindungi agar dananya tidak hilang dibawa
kabur penyelenggara, sedangkan debitor
(Penerima Pinjaman) harus dilindungi agar
agunannya tidak hilang dan syarat pinjamannya
harus rasional. Sengketa perdata yang terjadi
antara investor, debitor dan penyelenggara juga
harus dapat diselesaikan secara cepat melalui
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
Pengaturan dan pengawasan bisnis jasa
PM-Tekfin juga harus dilakukan berdasarkan
UU 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), UU 11/2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE), UU 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen, UU 7/2014 tentang
Perdagangan, UU 8/2010 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, UU 40/2007 tentang Perseroan
Terbatas, UU 25/ 1992 tentang Perkoperasian,
UU 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata), dan peraturan
terkait lainnya.
Kegiatan bisnis online dan transaksi elektronik
(termasuk bisnis jasa PM-Tekfin) terkait dengan
UU 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Masyarakat konsumen yang membeli produk
(barang/jasa) atau melakukan transaksi
pembayaran via internet harus mendapatkan
perlindungan hukum agar mereka tidak
dirugikan oleh pelaku usaha. Masyarakat juga
harus dilindungi dari praktik penipuan dan
kejahatan yang marak terjadi dalam bisnis online
dan transaksi elektronik.
OJK sangat memperhatikan aspek
perlindungan konsumen dengan menerbitkan
Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
serta Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan
dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada
Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Tindak pidana penipuan yang terjadi dalam
bisnis online dan transaksi elektronik perlu
ditangani melalui penerapan pasal penipuan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Dalam penanganan tindak pidana
penipuan, pihak konsumen dapat melapor
kepada Kepolisian, sedangkan penyelesaian
sengketa konsumen dengan pelaku usaha
dapat diselesaikan melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK).10
Bagus Hanindyo Mantri menyatakan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) belum
dapat melindungi konsumen dalam transaksi
e-commerce karena keterbatasan pengertian
pelaku usaha yang hanya khusus berada
di wilayah negara Republik Indonesia, dan
keterbatasan hak-hak konsumen yang diatur
dalam UUPK. Perlindungan hukum terhadap
konsumen yang seharusnya diatur meliputi
perlindungan hukum dari sisi pelaku usaha,
konsumen, produk, dan transaksi. Permasalahan
yang timbul mencakup permasalahan yuridis
dan non-yuridis. Permasalahan yuridis meliputi
keabsahan perjanjian menurut KUH Perdata,
penyelesaian sengketa transaksi e-commerce,
UUPK yang tidak akomodatif, dan tidak adanya
lembaga penjamin toko daring (online shop).
Permasalahan non-yuridis meliputi kemanan
bertransaksi, serta tidak pahamnya konsumen
dalam bertransaksi e-commerce.11
Bisnis PM-Tekfin tidak boleh bertentangan
dengan UU 11/2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Pelaku usaha yang
menawarkan produk (barang/jasa) melalui
Sistem Elektronik harus menyediakan informasi
yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
“Informasi yang lengkap dan benar” meliputi:
a) informasi yang memuat identitas serta status
subjek hukum dan kompetensinya, baik
sebagai produsen, pemasok, penyelenggara
maupun perantara;
b) informasi lain yang menjelaskan hal tertentu
yang menjadi syarat sahnya perjanjian
serta menjelaskan barang dan/atau jasa
yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan
deskripsi barang/jasa.
Aspek perlindungan konsumen dalam bisnis
online dan transaksi elektronik juga diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik (PSTE). Pasal 49 PP 82/
2012 menyatakan bahwa:
a) Pelaku usaha yang menawarkan produk
melalui sistem elektronik wajib menyediakan
informasi yang lengkap dan benar berkaitan
dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan.
b) Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan
informasi tentang penawaran kontrak atau
iklan.
c) Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu
kepada konsumen untuk mengembalikan
barang yang dikirim apabila tidak sesuai
dengan perjanjian atau terdapat cacat
tersembunyi.
d) Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi
mengenai barang yang telah dikirim.
e) Pelaku usaha tidak dapat membebani
konsumen mengenai kewajiban membayar
barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.
Bisnis PM-Tekfin juga diatur dalam Pasal 65
dan Pasal 66 UU 7/2014 tentang Perdagangan,
sebab bisnis jasa PM-Tekfin termasuk kegiatan
“perdagangan yang dilakukan melalui sistem
elektronik” (PSE). PSE adalah perdagangan yang
transaksinya dilakukan melalui serangkaian
perangkat dan prosedur elektronik. UU
Perdagangan juga memberikan perlindungan
hukum bagi pelaku bisnis online dan e-commerce.
Setiap pelaku usaha yang memperdagangkan
barang dan/atau jasa dengan menggunakan
sistem elektronik wajib menyediakan data
dan/atau informasi secara lengkap dan benar.
Penggunaan sistem elektronik wajib memenuhi
ketentuan yang diatur dalam UU ITE. Data dan/
atau informasi tersebut paling sedikit memuat:
a) identitas dan legalitas pelaku usaha sebagai
produsen atau pelaku usaha distribusi;
b) persyaratan teknis barang yang ditawarkan;
c) persyaratan teknis atau kualifikasi jasa yang
ditawarkan;
d) harga dan cara pembayaran barang dan/
atau jasa; dan
e) cara penyerahan barang.
Dalam hal terjadi sengketa terkait transaksi
dagang melalui sistem elektronik, orang atau
badan usaha yang mengalami sengketa dapat
menyelesaikan sengketa tersebut melalui
pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian
sengketa lainnya. Mekanisme penyelesaian
sengketa lainnya antara lain konsultasi,
negosiasi, konsiliasi, mediasi, atau arbitrase
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Setiap pelaku usaha yang memperdagangkan
barang dan/atau jasa dengan menggunakan
sistem elektronik yang tidak menyediakan data
dan/atau informasi secara lengkap dan benar
dapat dikenai sanksi administratif berupa
pencabutan izin.Ketentuan lebih lanjut
mengenai transaksi Perdagangan melalui Sistem
Elektronik akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Perlindungan konsumen juga diatur
dalam RPP Perdagangan Secara Elektronik
(E-commerce) yang saat ini sedang diproses
Kementerian Perdagangan menjadi PP.
Penguatan perlindungan konsumen dalam
perdagangan secara elektronik adalah aspek
yang sangat penting. Penguatan tersebut tidak
cukup hanya sebatas regulasi, namun juga
diperlukan penguatan dalam bentuk mekanisme
kelembagaan yang bertujuan meningkatkan
signifikansi dan kepercayaan dari lembaga
terkait yang memiliki kewenangan melindungi
kedua belah pihak (konsumen dan produsen)
dari praktik penipuan dan penyalahgunaan
media internet.
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam
bisnis PM-Tekfin dengan cara menjadi Pemberi
Pinjaman maupun Penerima Pinjaman. Anggota
masyarakat yang memiliki kelebihan dana
dapat berinvestasi dalam bisnis PM-Tekfin
sebagai Pemberi Pinjaman, sedangkan anggota
masyarakat yang membutuhkan dana bertindak
selaku Penerima Pinjaman. Pengelola bisnis
PM-Tekfin bertindak selaku fasilitator dan
penghubung antara pihak investor (Pemberi
Pinjaman) dengan pihak debitor (Penerima
Pinjaman).
Hingga bulan Mei 2017, OJK telah menerima
berkas pendaftaran 25 perusahaan yang berminat
membuka usaha jasa PM-Tekfin. Jumlah ini tentu
saja masih jauh dari harapan jika dibandingkan
dengan negara China yang memiliki bisnis jasa
tekfin sekitar 4.000 perusahaan. Indonesia
yang jumlah penduduknya seperlima dari China
seharusnya memiliki jumlah perusahaan jasa
tekfin sekitar 500 perusahaan.
Contoh perusahaan PM-Tekfin antara lain :
Modalku (www.modalku.co.id), Credy (www.
credy.co.id), Kredina (www.kredina.com), Pinjam
(www.pinjam.co.id), dan lain-lain. Fasilitas dana
pinjaman yang diberikan perusahaan PM-Tekfin
kebanyakan hanya bernilai kecil dari mulai Rp
500.000 hingga maksimal Rp 2,5 juta dengan
jangka waktu pengembalian maksimal 30 hari.
Bunga pinjaman pada umumnya dipatok 2 – 3
% per bulan belum termasuk biaya administrasi.
Besaran bunga pinjaman tersebut membuat
usaha PM-Tekfin harus bersaing ketat dengan
Pegadaian, BPR, dan Bank Umum yang
menerbitkan Kartu Kredit atau Kredit Tanpa
Agunan (KTA).
Perusahaan PM-Tekfin ada pula yang berani
memberikan pinjaman dalam jumlah besar,
contohnya Modalku (www.modalku.co.id).
Modalku berani memberikan pinjaman mulai
dari Rp 50 juta hingga maksimal Rp 2 miliar
dengan tenor 3, 6, 12, 15, 18, 21, 24 bulan dan
suku bunga pinjaman 16% hingga 45% (12% -
26% flat) per tahun. Modalku mengutip biaya
adminsitrasi sebesar 3% dari jumlah pinjaman
yang disetujui. Pinjaman dari Modalku harus
didukung agunan sebab plafon pinjamannya
tergolong besar.
Sampai saat ini wilayah operasional Modalku
meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi dan Bandung. Calon investor Pemberi
Pinjaman diwajibkan menyetor deposit awal Rp
10 juta, sedangkan calon Penerima Pinjaman
diwajibkan melakukan registrasi akun baru.
Modalku akan melakukan verifikasi data
maksimal 4 hari dan jika permohonan pinjaman
disetujui maka pencairan dapat dilakukan
maksimal 6 hari.
Kajian OJK tahun 2015 menyebutkan ada
sekitar Rp 1.650 triliun kebutuhan pembiayaan
nasional, sedangkan industri keuangan
konvensional domestik hanya sanggup memenuhi
sekitar Rp 650 triliun. Pelaku usaha jasa PM-
Tekfin diharapkan dapat mengatasi kekurangan
pembiayaan tersebut.16 Perlindungan hukum
dibutuhkan dalam bisnis jasa PM-Tekfin,
khususnya bagi investor (Pemberi Pinjaman)
dan debitor (Penerima Pinjaman). Penyelenggara
bisnis PM-Tekfin relatif memiliki risiko paling
kecil sebab hanya bertindak selaku fasilitator
dan penghubung antara investor (Pemberi
Pinjaman) dan debitor (Penerima Pinjaman). OJK
menentukan beberapa syarat agar perusahaan
PM-Tekfin mudah diatur dan diawasi sehingga
tidak sampai merugikan kepentingan investor
dan debitor. Pasal 3 Peraturan OJK nomor 77/
POJK01/2016 mengatur perusahaan PM-Tekfin
berbentuk Perseroan Terbatas dapat didirikan
dan dimiliki oleh WNI, Badan Hukum Indonesia,
WNA dan Badan Hukum Asing. WNA dan Badan
Hukum Asing hanya diperbolehkan memiliki
saham secara langsung maupun tidak langsung
paling banyak sebesar 85%.
Perusahaan jasa PM-Tekfin berbentuk PT
diwajibkan memiliki modal disetor minimal Rp
1 miliar pada saat pendaftaran dan minimal Rp
2,5 miliar pada saat mengajukan permohonan
perizinan. Hal yang sama juga berlaku pada
perusahaan PM-Tekfin berbentuk Koperasi yang
harus memiliki modal sendiri minimal Rp 1
miliar pada saat pendaftaran dan minimal Rp 2,5
miliar saat mengajukan permohonan perijinan.17
Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan
mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak
Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima
Pinjaman yang sumber dananya berasal dari
pihak Pemberi Pinjaman. Penyelenggara dapat
bekerja sama dengan penyelenggara layanan
jasa keuangan berbasis teknologi informasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.18 Penyelenggara wajib memenuhi
ketentuan batas maksimum total pemberian
pinjaman dana kepada setiap Penerima
Pinjaman. Batas maksimum total pemberian
pinjaman dana ditetapkan sebesar Rp 2 miliar.
OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas
batas maksimum total pemberian pinjaman
dana tersebut.19
Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran
dan perizinan kepada OJK. Penyelenggara yang
akan melakukan kegiatan layanan PM-Tekfin
mengajukan permohonan pendaftaran kepada
OJK. Penyelenggara yang telah melakukan
kegiatan layanan PM-Tekfin sebelum peraturan
OJK ini diundangkan, harus mengajukan
permohonan pendaftaran kepada OJK paling
lambat 6 bulan setelah peraturan OJK ini
berlaku.20 Penyelenggara yang telah terdaftar
di OJK, wajib mengajukan permohonan izin
sebagai Penyelenggara paling lama 1 (satu)
tahun sejak tanggal terdaftar di OJK.21 Dalam
menjalankan kegiatan usaha, Penyelenggara
PM-Tekfin dilarang:
a) melakukan kegiatan usaha selain kegiatan
usaha Penyelenggara yang diatur dalam
peraturan OJK ini;
b) bertindak sebagai Pemberi Pinjaman atau
Penerima Pinjaman;
c) memberikan jaminan dalam segala bentuknya
atas pemenuhan kewajiban pihak lain;
d) menerbitkan surat utang;
e) memberikan rekomendasi kepada Pengguna;
f) mempublikasikan informasi yang fiktif dan/
atau menyesatkan;
g) melakukan penawaran layanan kepada
Pengguna dan/atau masyarakat melalui
sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan
Pengguna; dan
h) mengenakan biaya apapun kepada Pengguna
atas pengajuan pengaduan.
Larangan tersebut memberikan perlindungan
hukum bagi pengguna PM-Tekfin. Penyelenggara
yang melanggar larangan dapat terkena sanksi
administratif berupa:
a) peringatan tertulis;
b) denda, yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c) pembatasan kegiatan usaha; dan
d) pencabutan izin.
B.3. Penyelesaian Sengketa Bisnis PM-Tekfin
Sengketa perdata bisa terjadi dalam bisnis
PM-Tekfin antara pihak investor (Pemberi
Pinjaman) dengan debitor (Penerima Pinjaman),
antara investor dengan penyelenggara PM-Tekfin,
atau antara debitor dengan penyelenggara PM-
Tekfin. Sengketa pada umumnya dipicu adanya
ketidakpatuhan terhadap kontrak yang telah
disepakati para pihak. Penyelesaian sengketa
bisnis PM-Tekfin dapat dilakukan melalui jalur
litigasi (pengadilan) maupun non-litigasi (di luar
pengadilan).
UU ITE mengamanatkan setiap orang dapat
mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/
atau menggunakan Teknologi Informasi yang
menimbulkan kerugian. Masyarakat dapat
mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap
pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik
dan/atau menggunakan Teknologi Informasi
yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Gugatan perdata (via pengadilan) dilakukan
sesuai ketentuan Peraturan Perundang-
undangan. Selain penyelesaian gugatan perdata,
para pihak juga dapat menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
semakin banyak digunakan pelaku bisnis untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.
Pelaku bisnis enggan menggunakan jalur litigasi
karena reputasi pengadilan Indonesia yang
kurang kondusif bagi pengembangan bisnis.
Meskipun Mahkamah Agung telah mendorong
proses peradilan agar berlangsung cepat,
sederhana dan murah, namun faktanya tidak
demikian. Proses peradilan masih tergolong lama,
berbelit-belit, biayanya mahal, dan putusannya
sulit dieksekusi. Mafia peradilan masih tumbuh
subur sehingga pihak yang dimenangkan
bukan pihak yang benar, tetapi pihak yang mau
membayar oknum peradilan.
Keengganan pelaku bisnis menggunakan
jalur litigasi juga disebabkan proses pengadilan
yang bersifat menang-kalah, sehingga dapat
merusak hubungan bisnis. Proses persidangan di
pengadilan kebanyakan bersifat terbuka untuk
umum, sehingga tidak ada jaminan kerahasiaan
bagi para pihak. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan melalui APS lebih diminati karena
cara ini dinilai lebih efisien dan efektif. Pelaku
bisnis dapat menggunakan beberapa model APS
seperti : Negosiasi, Pendapat Mengikat, Mediasi,
Konsiliasi, Adjudikasi dan Arbitrase. Pada tahap
awal sengketa, para pihak dianjurkan menempuh
Negosiasi tanpa melibatkan pihak ketiga. Jika
Negosiasi gagal, para pihak dapat mengundang
pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan
sengketa. Pihak ketiga dapat berstatus sebagai
ahli hukum, mediator, conciliator, adjudikator
dan arbiter.
Adjudikasi saat ini mulai diterapkan di sektor
industri jasa keuangan karena cara ini dinilai
dapat membantu nasabah kecil yang tidak
mempunyai posisi setara jika berhadapan dengan
lembaga jasa keuangan. Meskipun Adjudikasi
belum diatur dalam UU 30/1999 tentang
Arbitrase dan APS, namun cara ini sudah diatur
dalam Peraturan OJK nomor 1/ POJK.07/ 2014
tentang Lembaga APS di Sektor Jasa Keuangan.
Adjudikasi mirip dengan Arbitrase, namun
prosesnya jauh lebih sederhana dan lebih cepat.
Pihak pemohon (nasabah kecil) diberikan hak
opsi untuk menyetujui atau menolak hasil
putusan Adjudikasi. Jika pemohon setuju maka
putusan Adjudikasi dapat diberlakukan dan
bersifat final dan mengikat. Pihak termohon
(lembaga jasa keuangan) tidak diberi hak opsi,
sehingga harus menerima apapun hasil putusan
Adjudikasi. Hak opsi semacam ini tidak dijumpai
dalam proses Arbitrase.
Sengketa bisnis merupakan bagian dari
sengketa perdata yang dapat diselesaikan
melalui jalur litigasi (pengadilan) maupun non-
litigasi (di luar pengadilan). Gugatan perdata
melalui pengadilan memakan waktu lama karena
putusan di tingkat pertama (Pengadilan Negeri)
masih bisa diajukan banding ke Pengadilan
Tinggi hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Hal
inilah yang membuat pelaku bisnis lebih senang
menempuh jalur non-litigasi melalui Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative
Dispute Resolution (ADR). Penyelesaian sengketa
model APS telah diatur UU 30/1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
yang mulai berlaku 12 Agustus 1999.
Penyelesaian sengketa secara litigasi juga
bisa dilakukan via Pengadilan Niaga khususnya
sengketa yang terkait dengan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI). Selain berwenang mengurus
kepailitan, Pengadilan Niaga juga berwenang
mengurus sengketa HKI. Hampir semua
sengketa HKI (Hak Cipta, Merek, Indikasi
Geografis, Paten, Desain Industri, DTLST) diurus
melalui Pengadilan Niaga, sedangkan sengketa
HKI lainnya (Rahasia Dagang dan PVT) diurus
melalui Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa
bisnis di sektor Industri Jasa Keuangan (IJK)
diatur secara khusus oleh lembaga OJK yang
kini bertindak menggantikan peran BI selaku
regulator dan pengawas lembaga perbankan.
Selain berwenang mengawasi lembaga
perbankan, OJK juga mengambil alih peran
Bapepam-LK dalam bidang pengawasan pasar
modal, asuransi, dana pensiun, perusahaan
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Dasar hukum pembentukan OJK adalah UU
21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
OJK telah menerbitkan Peraturan OJK nomor
1/ POJK.07/ 2014 tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan OJK tersebut disusul keluarnya
Keputusan OJK nomor Kep-01/ D.07/ 2016
tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan
pembentukan 6 (enam) Lembaga APS yaitu:
a) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI)
b) Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia
(BAPMI)
c) Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi
Indonesia (BMAI)
d) Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan
Penjaminan Indonesia (BAMPPI)
e) Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian
Indonesia (BMPPI)
f) Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).
Persengketaan yang bisa diselesaikan oleh
Lembaga APS harus memenuhi syarat :
a) hanyalah persengketaan perdata yang timbul
di antara para pihak sehubungan dengan
kegiatan di sektor industri jasa keuangan;
b) terdapat kesepakatan di antara para pihak
yang bersengketa bahwa persengketaan akan
diselesaikan melalui Lembaga APS yang
terkait;
c) terdapat permohonan tertulis dari pihak yang
bersengketa kepada Lembaga APS;
d) persengketaan tersebut bukan merupakan
perkara pidana (contoh : penipuan,
penggelapan, manipulasi pasar, perdagangan
orang dalam /insider trading);
e) persengketaan tersebut tidak terkait
dengan pelanggaran administratif (contoh :
pembekuan usaha, pencabutan izin usaha).
Lembaga APS tersebut menawarkan 4 (empat)
jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan
yang dapat dipilih para pihak yang bersengketa,
yaitu: Pendapat Mengikat, Mediasi, Adjudikasi
dan Arbitrase. Konsiliasi tidak diterapkan di
Lembaga APS sebab cara ini dianggap mirip
dengan Mediasi. Para pihak diharuskan lebih
dulu menempuh Negosiasi sebelum meneruskan
penyelesaian sengketa di Lembaga APS.
Penyelesaian sengketa bisnis PM-Tekfin kurang
tepat jika harus diselesaikan melalui Lembaga
APS konvensional (offline). Bisnis PM-Tekfin
tergolong bisnis online yang kegiatannya banyak
dilakukan via internet, sehingga membutuhkan
proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat,
mudah dan murah. OJK sebaiknya membentuk
Lembaga APS online yang khusus menangani
sengketa bisnis PM-Tekfin. Pasal 29 huruf
e Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016
juga mengamanatkan penyelesaian sengketa
pengguna harus dilakukan secara sederhana,
cepat dan biaya terjangkau.
Penyelesaian sengketa bisnis PM-Tekfin via
APS sebenarnya dapat dilakukan melalui model
Penyelesaian Sengketa Daring (PSD) atau Online
Dispute Resolution (ODR). OJK harus lebih dulu
menerbitkan Peraturan OJK sebagai payung
hukum pembentukan Lembaga PSD. Lembaga
PSD dapat menggunakan cara Negosiasi,
Pendapat Mengikat, Mediasi, Adjudikasi dan
Arbitrase. Konsiliasi tidak diperlukan karena
mirip dengan Mediasi, sedangkan Arbitrase
hanya layak digunakan untuk sengketa bisnis
yang nilainya di atas Rp 500 juta. Semua proses
penyelesaian sengketa dilakukan via internet,
sehingga para pihak tidak perlu bertemu muka.
PSD adalah hasil kolaborasi antara Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) dan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK). Penyelesaian
sengketa dilakukan via internet sehingga
prosesnya cepat, mudah dan murah. PSD
telah dipraktekkan di AS, Canada, Uni Eropa,
Australia, China, Jepang, Hongkong, Singapura
dan India. PSD atau ODR juga dinamakan
“internet Dispute Resolution (iDR)”, “Electronic
Dispute Resolution (EDR)”, “electronic ADR
(e-ADR)” dan “online ADR (oADR)”.
Sejarah ODR dimulai ketika The National
Center for Automated Information Research
(NCAIR) mengadakan konferensi Online Dispute
Resulution tahun 1996. Tahun ini dianggap
periode signifikan dalam pencapaian ODR.
Proyek pertama yang disponsori NCAIR tahun
1996 yaitu Virtual Magistrase Project yang
terletak di Villanova University. Keputusan yang
dihasilkan ODR saat itu menyatakan iklan yang
ditempatkan pada American On Line (AOL) dalam
bentuk email yang dikirimkan kepada jutaan
alamat email dianggap menyalahi kesepakatan
layanan yang diberikan sehingga iklan tersebut
harus dihilangkan dari AOL. Saat ini PBB
selalu mengadaan konferensi ODR tahunan dan
telah membentuk Expert Group on ODR. ODR
semakin diterima sebagai proses penting yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa
offline.
Lembaga penyedia jasa ODR di bidang mediasi
konsumen bisnis online terkemuka di dunia
adalah “SquareTrade”. Lembaga ini banyak
dipakai untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi di eBay dan PayPal. SquareTrade tidak
menangani sengketa antara pengguna dengan
eBay, melainkan sengketa antara penjual dan
pembeli di eBay, dengan menawarkan dua tahap
penyelesaian sengketa yaitu tahap Negosiasi
dan Mediasi. Dalam beberapa tahun terakhir,
SquareTrade telah berhasil menyelesaikan
jutaan kasus sengketa bisnis online yang terjadi
di 120 negara dalam 5 bahasa yang berbeda.
SquareTrade telah membuktikan bahwa proses
negosiasi online atau mediasi online dapat
menjadi alat yang efisien untuk menyelesaikan
sengketa bisnis online atau e-commerce.27
Perkembangan e-commerce yang sangat
pesat mendorong pemerintah India membuat
lembaga ODR. Sejak pemberlakuan Undang-
Undang Teknologi Informasi tahun 2000, India
telah memberikan pengakuan formal dan legal
terhadap praktik e-commerce dan e-governance.
Pesatnya pertumbuhan e-commerce di India
memicu munculnya banyak perselisihan
terkait transaksi online. Mekanisme ganti rugi
konvensional tidak sesuai dengan perkembangan
bisnis dan ekspektasi pelanggan, karena sistem
ini mengharuskan kehadiran para pihak. Hal
ini mendorong Departemen Urusan Konsumen
di India meluncurkan platform Penyelesaian
Sengketa Konsumen Online.
Pembentukan Lembaga PSD dimungkinkan
berdasarkan UU ITE karena semua informasi
dan data eletronik saat ini sudah dapat
dijadikan bukti hukum. Lembaga PSD yang
akan dibentuk OJK sebaiknya tidak hanya
mengurus sengketa bisnis PM-Tekfin, tetapi
juga sengketa bisnis tekfin yang lainnya seperti
“crowdfunding”. Konsep crowdfunding berakar
dari konsep crowdsourcing yang memanfaatkan
"kerumunan" orang untuk memberikan umpan
balik dan solusi untuk mengembangkan
kegiatan suatu perusahaan rintisan (start-
up). Dalam crowdfunding, tujuannya adalah
mengumpulkan dana yang dilakukan dengan
menggunakan jaringan media sosial (Twitter,
Facebook, LinkedIn dan situs-situs blogging).
Tujuan utama crowdfunding adalah memberikan
alternatif bagi pengusaha untuk memperoleh
pendanaan.29
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejauh ini
mengelompokkan crowdfunding dalam 4 (empat)
jenis yaitu equity based crowdfunding (berbasis
permodalan / kepemilikan saham), lending
based crowdfunding (berbasis kredit / utang
piutang), reward based crowdfunding (berbasis
hadiah), dan donation based crowdfunding
(berbasis donasi).30 Istilah crowdfunding
merupakan derivasi dari istilah crowdsourcing.
Crowdsourcing memiliki bentuk yang berbeda-
beda salah satunya crowdfunding. Crowdfunding
dapat diartikan pendanaan beramai-ramai yang
berasal dari konsep gotong-royong. Indonesia
belum memiliki undang-undang khusus
crowdfunding sehingga belum ditemukan
pengertian crowdfunding dalam produk hukum
apapun di Indonesia. Istilah crowdfunding dapat
ditinjau dari rumusan pengertian para ahli
hukum, ekonomi dan teknologi informatika.
Dasar hukum pembentukan PSD diatur Pasal
41 UU ITE beserta penjelasannya. Masyarakat
dapat berperan meningkatkan pemanfaatan
teknologi informasi melalui penggunaan dan
penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi
elektronik sesuai ketentuan UU ITE. Peran
masyarakat dapat diselenggarakan melalui
lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang
ITE yang dapat memiliki fungsi konsultasi dan
mediasi. PSD juga diatur secara tidak langsung
dalam Pasal 18 ayat 4 dan 5 UU ITE. Para
pihak memiliki kewenangan menetapkan forum
pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang
menangani sengketa yang mungkin timbul
dari transaksi elektronik internasional yang
dibuatnya. Jika para pihak tidak melakukan
pilihan forum, maka penetapan kewenangan
pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya didasarkan pada asas
Hukum Perdata Internasional. PSD atau ODR
adalah penyelesaian sengketa alternatif yang
selaras dengan Hukum Perdata Internasional
yang telah diakui PBB melalui konferensi ODR
tahunan dan pembentukan Expert Group on ODR.
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a) OJK berperan dalam pengembangan bisnis
PM-Tekfin karena OJK adalah lembaga negara
independen yang berwenang mengatur dan
mengawasi lembaga jasa keuangan. OJK
mendorong perkembangan bisnis PM-Tekfin
guna merespon kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi serta perkembangan bisnis
daring. Perkembangan bisnis PM-Tekfin
diharapkan dapat memperluas partisipasi
masyarakat dalam industri jasa keuangan
serta memperbesar porsi pembiayaan bagi
debitor UMKM. OJK telah menerbitkan
Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi sebagai payung
hukum bagi pengembangan bisnis PM-Tekfin
di Indonesia.
b) Perlindungan hukum bagi pengguna dan
penyelenggara PM-Tekfin diatur dalam UU
Otoritas Jasa Keuangan, UU Informasi dan
Transaksi Elektronik, UU Perlindungan
Konsumen, UU Perdagangan, KUH Perdata,
UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, PP Nomor 82 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik, Peraturan OJK nomor 77/
POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam-
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
dan peraturan terkait lainnya.
c) Penyelesaian sengketa bisnis PM-Tekfin
dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan
non-litigasi. Penyelesaian non-litigasi (di luar
pengadilan) dapat ditempuh menggunakan
APS dengan cara Negosiasi, Pendapat
Mengikat, Mediasi, Konsiliasi, Adjudikasi
dan Arbitrase. OJK sebaiknya membuat
Lembaga APS khusus untuk menyelesaikan
sengketa bisnis PM-Tekfin yang bersifat
online atau yang lazim disebut Penyelesaian
Sengketa Daring (PSD) atau Online Dispute
Resolution (ODR). PSD atau ODR sudah
biasa diterapkan di negara-negara maju
di bidang TIK dan e-commerce sebagai cara
penyelesaian sengketa alternatif via internet
yang cepat, mudah dan murah.
Adapun saran-saran atas permasalahan yang
ada dari hasil penelitian ini diantaranya yaitu:
a) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan
dapat segera membentuk lembaga APS
berbentuk online (PSD / ODR) yang khusus
menangani sengketa bisnis PM-Tekfin
dan sengketa bisnis tekfin lainnya seperti
“crowdfunding”.
b) BI dan OJK diharapkan dapat bekerjasama
mengembangkan bisnis tekfin. Kerjasama
tersebut dapat berupa pendirian lembaga
litbang bisnis tekfin, penyuluhan kepada
masyarakat tentang manfaat bisnis tekfin,
hingga pembentukan lembaga PSD secara
bersama-sama.
c) OJK diharapkan ikut mendorong Bank
Umum dan BPR untuk ikut aktif dalam
bisnis tekfin agar kedua bank tersebut ikut
merasakan manfaat kemajuan bisnis tekfin.
Bank Umum dapat ikut berkolaborasi dalam
bisnis tekfin dengan cara mengajak pelaku
bisnis tekfin memanfaatkan fasilitas phone-
banking dan internet-banking. BPR dapat
ikut mendirikan usaha PM-Tekfin agar tidak
ketinggalan jaman.
d) Pemerintah diharapkan ikut berperan aktif
dalam mendukung pengembangan bisnis
tekfin dengan cara antara lain memberikan
kredit lunak bagi perusahaan rintisan (start-
up) dan membuat program pelatihan bisnis
tekfin bagi UMKM.
e) Pemerintah dan DPR diharapkan dapat
merevisi UU OJK dengan memasukkan pasal
yang mengatur kewenangan OJK untuk
mengawasi bisnis jasa keuangan via internet
seperti bisnis PM-Tekfin, “Crowdfunding”,
dan lain-lain.