Tampilkan postingan dengan label sengketa bisnis 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sengketa bisnis 1. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

sengketa bisnis 1








Artikel ini membahas mengenai kedudukan 
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dalam hukum positif Indonesia dan politik hukum Indonesia. 
Ketika suatu bisnis mengalami sengketa sedangkan perusahaan tidak memiliki legitimasi yang kuat secara 
yuridis formal, maka bisa jadi sengketa tersebut tidak dapat terselesaikan. Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat 
Indonesia ini memiliki dasar hukum yang berlaku saat ini dan memungkinkan suatu lembaga lain di luar lembaga 
peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa para pihak, hal ini dapat dilihat dari 
ketentuan undang-undang No. 14 tahun 1970 pasal 3 ayat 1 danUndang-undang No. 20 tahun 1999. Regulasi 
arbitrase ini merupakan sebuah langkah solutif dalam dunia ekonomi untuk mengurangi menumpuknya beban 
sengketa yang diajukan kepada pengadilan. Sisi politik hukum Islam yang terefleksi dalam Undang-Undang 
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase adalah adanya alternatif instrumen penyelesaian sengketa sehingga 
hal ini meringankan beban dari pengadilan. Adapun arbitrase sendiri adalah sebuah solusi yang sudah pernah 
terjadi pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra. sehingga dapat dikatakan bahwa diundangkannya regulasi 
arbitrase ini merupakan sebuah langkah maju untuk mengurangi menumpuknya beban sengketa yang diajukan 
kepada pengadilan sekaligus menghidupkan atsar sahabat yang menjadi suatu bentuk perwujudan dari sisi-sisi 
solutif dari agama Islam.
Perkembangan dunia bisnis dan perekonomian 
Islam, baik di tingkat nasional maupun di tingkat 
internasional dengan menggunakan perbankan 
Islam menyebabkan kebutuhan akan lembaga 
yang bernuansa Islam pula. Salah satunya adalah 
Lembaga Arbitrase Islam, yang berperan dalam 
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam 
sengketa bisnis.
Perkembangan ekonomi Islam menyebabkan 
kebutuhan akan penggunaan jasa perbankan 
Islam dimulai sejak adanya deregulasi perbankan 
pada Oktober 1988 (PAKTO 1988). Selanjutnya 
melahirkan Undang-Undang No. 10 tahun 1988 
tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 
tentang perbankan. Melalui Undang-undang inilah 
berdirinya Bank Islam, yaitu Bank Muamalat 
Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Nopember 1991. 
Bank Muamalat Indonesia merupakan bank 
pertama yang menggunakan prinsip syariat, bagi 
hasil dan menegasikan sistim bunga perbankan. 
Walaupun sebelumnya telah berdiri pula Bank 
Perkreditan Rakyat (BPR) syariat pertama yang 
berkedudukan di Bandung tanggal 15 Juli 1991 
bernama Bank Perkreditan Rakyat Mardhatillah 
dan Bank Perkreditan Rakyat Berkah Amal.
Dengan berdirinya Bank dan Bank Perkreditan 
Rakyat (BPR) yang berdasar  prinsip syariat itu, 
di satu pihak telah mengakomodasi kepentingan 
umat Islam dalam melakukan bisnis dan 
perekonomian melalui jasa perbankan Islam, tetapi 
di pihak lain telah menimbulkan masalah yuridis. 
Masalah ini timbul akibat adanya hubungan 
hukum dalam bentuk perjanjian antara pihak 
bank sebagai kreditur dan pihak nasabah sebagai 
debitur atau dengan pihak lain sebagai mitra kerja. 
Sengketa bisnis para pihak ini sering kali tidak 
bisa dihindarkan dalam praktek bisnis. Dengan 
demikian, diperlukan pranata hukum sebagai 
penyelesaian masalah yang sesuai dengan dasar 
hukum yang digunakannya.
Tentu saja sengketa bisnis yang berdasar  
hukum Islam di Indonesia tidak bisa diselesaikan 
melalui Peradilan Umum. Demikian juga ia 
tidak bisa ditangani oleh Peradilan Agama karena 
keduanya tidak mempunyai kewenangan dalam 
menangani perkara tersebut. Di sinilah perlu adanya 
suatu lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa 
bisnis yang berdasar  hukum Islam. Lembaga 
itu sekarang sudah terbentuk sejak 29 Desember 
1992 dengan nama Badan Arbitrase Muamalat 
Indonesia (BAMUI) atas prakarsa Majelis Ulama 
Indonesia (MUI). Melalui lembaga inilah semua 
sengketa bisnis, baik yang beragama Islam maupun 
non Muslim dapat memanfaatkannya. Dalam 
anggaran dasarnya, sifat lembaga ini terbuka untuk 
umum tanpa mendasarkan pada salah satu agama. 
Kehadiran Badan Arbitrase Muamalat Indonesia 
(BAMUI), tentu saja melengkapi perangkat 
hukum lainnya sebagai lembaga penyelesaian 
sengketa bisnis yang bersifat nasional, yaitu Badan 
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang sudah 
lahir sebelumnya.
Secara konvensional, penyelesaian sengketa 
biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian 
sengketa di muka pengadilan. Dalam keadaan 
demikian, posisi para pihak yang bersengketa 
sagat antagonistis (saling berlawanan satu sama 
lain). Penyelesaian sengketa bisnis model ini tidak 
direkomendasikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, 
penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan 
yang terakhir (ultimatum-remedium) setelah 
alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil. 
Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan 
waktu yang lama mengakibatkan perusahaan 
ata para pihak yang bersengketa mengalami 
ketidakpastian. Cara penyelesaian seperti itu tidak 
diterima dunia bisnis melalui lembaga peradilan 
tidak selalu menguntungkan secara adil bagi 
kepentingan para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian perkara melalui pengadilan 
terkadang hanya bersifat formaliistik karena para 
pihak yang bersengkta dipaksakan untuk menerima 
keputusan pengadilan, walaupun putusan itu sendiri 
dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Setelah 
itu, muncul di belakang hari rasa dendam antara 
para pihak sehingga sering bertindak main hakim 
sendiri melalui berbagai cara. Hal ini merupakan 
konsekuensi logis dari penyelesaian perkara melalui 
pengadilan.
Masalah itulah yang menjadi kekhawatiran 
masyarakat dan pemikir ekonomi Islam yang perlu 
mendapat perhatian bersama. Untuk mengantisipasi 
kekhawatiran tersebut, maka Majelis Ulama 
Indonesia (MUI) telah memprakarsai dibentuknya 
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) 
yang diresmikan pada tanggal 21 Oktober 1993 
di Jakarta. Menurut H. Hartono Mardjono, bahwa 
adanya suatu ”lembaga permanen” yang berfungsi 
untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya 
sengketa perkara perdata di antara bank-bank 
syariat dengan para nasabahnya, atau khususnya 
menggunakan jasa mereka, dan umumnya antara 
sesama umat Islam yang melakukan hubungan-
hubungan keperdataan yang menjadikan syariat 
sebagai dasarnya adalah suatu kebutuhan yang 
sungguh-sungguh nyata. Selanjutnya, ia mengatakan 
bahwa kehadiran ”lembaga permanen” yang 
berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan 
terjadinya sengketa perdata di antara pihak-pihak 
yang besangkutan, di samping memang merupakan 
suatu kebutuhan nyata, juga memiliki dasar-dasar 
  
yang kuat berdasar  hukum positif yang berlaku.
Makalah ini akan membahas mengenai 
kedudukan pada Arbitrase Muamalat Indonesia 
(BAMUI) dalam hukum positif Indonesia dan 
politik hukum Indonesia, namun sebelumnya 
akan diurai mengenai arbitrase dalam perspektif 
Islam juga akan dilihat sekilas mengenai Badan 
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Pengertian Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari kata “arbitrare” 
(Latin)1, “arbitrage” (Belanda)2, “arbitration” 
(Inggris), “schiedspruch” (Jerman), dan “arbitrage” 
(Perancis), yang berarti kekuasaan untuk me-
nyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau 
damai oleh arbiter atau wasit.3
Sedangkan Frank Elkoury dan Edna Elkoury 
dalam bukunya How Arbitration Works, menyatakan 
bahwa: “Arbitrase adalah suatu proses yang mudah 
atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara 
sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh 
juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka 
di mana keputusan mereka berdasar  dalil-dalil 
dalam perkara tersebut. para pihak setuju sejak 
semula untuk menerima putusan tersebut secara 
final dan mengikat”.
Menurut undang-undang, Arbitrase adalah 
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar 
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian 
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para 
pihak yang bersengketa.5 Undang-undang Arbitrase 
mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat 
antar para pihak dalam suatu hubungan hukum 
tertentu yang telah mengadakan perjanjian 
arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa 
semua sengketa atau beda pendapat yang timbul 
atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum 
tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase 
atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.6 
Suatu permasalahan yang telah diajukan kepada 
lembaga arbitrase, memiliki konsekuensi bagi para 
pihak, yakni mereka tidak dapat lagi diperkarakan 
di pengadilan negeri.
Adapun sengketa yang dapat diselesaikan 
melalui arbitrase hanya sengketa di bidang per-
dagangan dan mengenai hak yang menurut 
hukum dan peraturan perundang-undangan 
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 
Sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan 
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut 
peraturan perundang-undangan tidak dapat 
diadakan perdamaian.
Arbitrase Dalam Ajaran Islam
Dalam perspektif Islam, arbitrase dapat 
disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal 
dari kata kerja hakkama. Secara etimologis, kata 
itu berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah 
suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya 
dengan pengertian menurut terminologisnya. 
Selain kata arbitrase Islam yang berfungsi sebagai 
lembaga penyelesaian sengketa para pihak seperti 
dikemukakan di atas, di dalam Islam dikenal juga 
sebagai lembaga penyelesaian sengketa para pihak 
yang disebut al-Shulhu. Pengertian al-Shulhu adalah 
memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam 
pengertian syariat al-shulhu adalah suatu jenis 
akad—perjanjian, untuk mengakhiri perlawanan—
sengketa, antara 2 (dua) orang yang berlawanan 
(bersengketa). Adapun tahkim telah ada sejak masa 
khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.9
Dalam istilah Ilmu Fikih, pengertian tahkim 
seperti yang didefinisikan oleh Abu Al-Ainain 
Abdul Fatah Muhammad, tahkim diartikan sebagai 
bersandarnya 2 (dua) orang yang bertikai kepada 
seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk 
menyelesaikan pertikaian mereka.
6 UU No. 30 Tahun 1999, Pasal 2. 
7 UU No. 30 Tahun 1999, Pasal 3. 
8 UU No. 30 Tahun 1999, Pasal 5, ayat (1) dan (2).
Sumber Hukum Arbitrase Islam
Sumber hukum Islam adalah:
a. Alquran;
b. Sunah;
c. Ijma’ Ulama;
d. Qiyas.
Begitu pula kalau kita ingin mengetahui sebab 
hukum Arbitrase Islam maka akan menunjuk 
keempat sumber hukum di atas. Sumber hukum 
Arbitrase Islam antara lain-Qur’an sebagai sumber 
hukum pertama memberikan petunjuk kepada 
manusia apabila terjadi sengketa para pihak, apakah 
di bidang politik, keluarga, ataupun bisnis terdapat 
dalam Alquran:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang 
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan 
antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar 
Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang 
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut 
kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, 
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, 
dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya 
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. 
Al-Hujurat[49]: 9)
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan 
antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam 
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari 
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu 
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah 
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya 
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. 
Al-Nisa’[4]: 35)
Sedangkan dalam sunah Rasulullah saw 
bisa dilihat dalam hadis dari Abi Hurairah r.a. 
mengabarkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
”Ada seorang laki-laki membeli pekarangan dari 
seorang. Orang yang membeli tanah pekarangan 
tersebut menemukan sebuah guci yang berisikan 
emas. Kata orang yang membeli pekarangan, 
‘Ambillah emasmu yang ada pada saya, aku hanya 
membeli daripadamu tanahnya saja dan tidak 
membeli emasnya’. Jawab orang memiliki tanah, 
‘Aku telah menjual kepadamu tanah dan barang-
barang yang terdapat di dalamnya’. Kedua orang itu 
lalu bertahkim (mengangkat arbitrator). Kata orang 
yang diangkat menjadi arbitrator, ‘Apakah kamu 
berdua mempunyai anak’. Jawab dari salah seorang 
dari kedua yang bersengketa. ‘Ya, saya mempunyai 
seorang anak laki-laki’. Dan yang lain menjawab, 
‘Saya mempunyai seorang anak perempuan’. Kata 
arbitrator lebih lanjut, ‘Kawinkanlah anak laki-laki 
itu dengan anak perempuan itu dan biayailah kedua 
mempelai dengan emas itu, dan kedua orang tersebut 
menyedekahkan (sisanya kepada fakir miskin).” 
Menurut Ijma’ Ulama masalah Arbitrase Islam bisa 
dilihat dari pendapat Sayyidina Umar bin Khatab, 
mengatakan bahwa: “Tolaklah permusuhan hingga 
mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui 
pengadilan akan mengembangkan kedengkian di 
antara mereka”.(H.R. Bukhari dan Muslim)
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Terdapat beberapa badan arbitrase di Indonesia, 
yakni: Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Badan 
Arbitrase Majelis Ulama Indonesia (BAMUI), dan 
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). 
Untuk lebih jauh, penulis akan jelaskan salah 
satu badan arbitrase yang berasaskan Islam, yakni 
BAMUI.
a. Dasar hukum berdirinya BAMUI
 Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) 
adalah sebuah yayasan dengan nama Yayasan 
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). 
Sebagai yayasan, Badan Arbitrase Muamalat 
Indonesia (BAMUI) merupakan badan 
hukum yang mempunyai legitimasi secara 
yuridis formal, melalui Akta Pendirian Yayasan 
Nomor: 175 tanggal 21 Oktober 1993, di 
bawah Notaris Nyonya Lely Roostiati Yudo 
Paripurno, S.H. berdasar  Surat Keputusan 
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: 
C-190.H.T.03.07.TH.1992 sebagai pengganti 
sementara dari Yudo Paripurno, S.H., Notaris 
di Jakarta.
 BAMUI mulai beroperasi pada tanggal 1 Oktober 
1993,10 dan keberadaannya sebagai salah satu 
contoh lembaga arbitrase Islam yang ada di 
Indonesia, apabila dilihat dari aspek yuridis 
mempunyai dasar hukum yang sangat kuat, yaitu 
bersumber dari Alquran, Sunah, dan Ijma’ Ulama. 
Secara historis, dapat dikatakan bahwa keberadaan 
lembaga arbitrase Islam sudah ada sejak masa 
Rasulullah saw. dan berkembang sampai sekarang 
dari lembaga ad hoc menjadi lembaga permanen. 
Demikian juga secara sosiologis, keberadaan 
arbitrase Islam merupakan kebutuan umat 
dalam menyelesaikan setiap terjadi sengketa di 
antara mereka yang meliputi masalah politik, 
peperangan, perdagangan, keluarga, ekonomi, dan 
bisnis. Selain juga dapat dilakukan secara murah, 
mudah, dan cepat dibandingkan dengan proses 
pengadilan. Di sinilah sisi politik hukumnya 
dapat terlihat dengan jelas, yakni efektif-efesien 
mengurangi peran pengadilan dengan sistem 
penyelesaian yang islami.
b. Tujuan BAMUI
 Sesuai dengan akta pendirian Badan Arbitrase 
Muamalat Indonesia (BAMUI), maksud dan 
tujuan yayasan ini ialah:
1) Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat 
dalam sengketa-sengketa muamalah/perdata 
yang timbul dalam bidang perdagangan, 
industri, keuangan, jasa dan lain-lain;
2) Menerima permintaan yang diajukan oleh 
para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa 
adanya suatu sengketa, untuk memberikan 
suatu pendapat yang mengikat mengenai 
suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian 
tersebut.
c. Yurisdiksi BAMUI
 Sesuai dengan Peraturan Prosedur Badan 
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), 
yurisdiksi Badan Arbitrase Muamalat Indonesia 
(BAMUI), meliputi:
1) Penyelesaian sengketa yang timbul dalam 
hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa 
dan lain-lain di mana para pihak sepakat secara 
tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya 
kepada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia 
(BAMUI) sesuai dengan Peraturan Prosedur 
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI);
2) Memberikan suatu pendapat yang mengikat 
tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu 
persoalan berkenaan dengan perjanjian atas 
permintaan para pihak.Kesepakatan klausula 
yang seperti itu bisa dicantumkan dalam 
perjanjian atau dalam suatu akta tersendiri 
setelah sengketa timbul.
Kedudukan BAMUI dalam Hukum Positif 
Indonesia
Banyak arbitrase khusus diperlukan baik secara 
internasional, regional ataupun yang bersifat 
nasional. Yang bersifat nasional, arbitrase khusus 
yang diperlukan antara lain sebagai berikut:
a. Arbitrase Khusus Muamalat, misalnya untuk 
menyelesaikan masalah-masalah yang ber-
kenaan dengan sengketa terhadap bank yang 
berdasar  kepada Syariat Islam. Badan 
Arbitrase ini di Indonesia sudah terbentuk;
b. Arbitrase khusus di bidang perdagangan 
(Commercial Arbitration);
c. Arbitrase khusus di bidang ketenagakerjaan 
(Collective Bargaining);
d. Arbitrase khusus di bidang lingkungan hidup.
Sementara itu, di beberapa negara asing, telah 
ada beberapa jenis arbitrase khusus, antara lain 
sebagai berikut:
a. Commodity Trade Arbitration;
b. Maritime Arbitration;
c. Construction Industry Arbitration;
d. Rent Review & Property Arbitration;
e. Agricultural Property Arbitration;
f. Arbitration Indonesia Consumer Disputes;
g. Small Claims Arbitration in the Country Court 
District;
h. International Commercial Arbitration.
Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia 
(BAMUI) sebagai Lembaga Aribtrase Islam tidak 
bisa dilepaskan dengan adanya Bank Muamalat 
Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat 
Syariah (BPRS) dan Asuransi Takaful sebagai 
lembaga keuangan yang berdasar  prinsip syariah. 
Perkembangan bank berdasar  prinsip syariah, 
secara yuridis formal telah mendapatkan legitimasi 
yang kuat. Setelah diberlakukan Undang-Undang 
Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas 
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang 
Perbankan. Apabila dalam Undang-Undang Nomor 
7 Tahun 1992, bank konvensional tidak boleh 
memiliki Islamic Window dalam melakukan kegiatan 
usahanya, maka dengan diubahnya undang-undang 
itu dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, 
bank konvensional di Indonesia diizinkan untuk 
membuka Islamic Window untuk menawarkan di 
dalam usaha perbankannya di samping dengan sistim 
konvensional, juga dibolehkan dengan sistem syariah.
Dengan adanya usaha perbankan sistem syariah 
ini, perkembangan muamalat (Hukum Perdata) 
umat Islam telah berkembang; dari masalah hukum 
keluarga, seperti perkawinan, kewarisan, hibah, 
wasiat dan perceraian bertambah dengan hukum 
bisnis, seperti perekonomian, dan dunia usaha 
lainnya. Apabila di kemudian hari timbul sengketa 
para pihak, maka yang berkaitan dengan hukum 
keluarga dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. 
Demikian juga apabila sengketa itu timbul dari 
masalah bisnis antara Bank Muamalat Indonesia 
(BMI) dengan nasabahnya, maka penyelesaiannya 
diserahkan kepada Badan Arbitrase Muamalat 
Indonesia (BAMUI) sesuai dengan klausula yang 
dibuat para pihak sebelum perjanjian dilakukan 
(pactum de compromittendo).
Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat 
Indonesia (BAMUI) secara yuridis formal mem-
punyai legitimasi yang sangat kuat di negara 
Indonesia. Terdapat dasar hukum negara sebagai 
hukum positif yang berlaku saat ini memungkinkan 
suatu lembaga lain di luar lembaga peradilan umum 
dapat menjadi wasit/hakim dalam penyelesaian 
sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggaraan 
kekuasaan kehakiman ada dasarnya diserahkan 
kepada badan peradilan dengan berpedoman 
kepada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman. 
Hal tersebut merupakan induk dan kerangka 
umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan 
serta pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum, 
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan 
Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur 
dalam undang-undang tersendiri.
Namun demikian di dalam penjelasan Pasal 
3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 
1970 disebutkan antara lain, bahwa: ”Penyelesaian 
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian 
atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan 
tetapi putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan 
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah 
untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan”.
Selama ini yang dipakai sebagai dasar 
pemeriksaan Arbitrase di Indonesia adalah Pasal 
615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara 
Perdata (Reglement op De Rechtvordering, Staatsblad 
1847: 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang 
Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, 
Staatsblad 1941: 44) dan Pasal 705 Reglemen 
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura 
(Rechtsreglement Buitengewesten Staatsblad 1927: 
227). Dengan diberlakukannya Undang-Undang 
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan 
Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81 
undang-undang tersebut terhitung sejak tanggal 
diundangkannya. Di dalam Mukadimah Yayasan 
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) 
dikemukakan bahwa Badan ini akan bekerja 
dalam kerangka peraturan resmi negara yang ada 
dan didasarkan pada kesadaran dan penghayatan 
hukum pelaku-pelaku muamalat itu, semuanya 
dilandasi oleh dasar musyawarah mufakat dan 
akhlak Islam dalam kerangka Negara Kesatuan 
Republik Indonesia berdasar  Pancasila dan 
Undang Undang Dasar 1945.
Dari segi kelembagaan, status hukum Badan 
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah 
yayasan yang dibentuk berdasar  Akta Notaris 
Nomor 175 pada hari Kamis tanggal 21 Oktober 
1993 bertepatan dengan tanggal 5 Jumadil Awal 
1414 Hijriah. Notaris pembuat akta yayasan 
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) 
Nyonya Lely Roostiati Paripurno, S.H. berdasar  
surat dari Meneri Kehakiman Republik Indonesia 
Nomor C-190.H.T.03.07.TH.1992 Tanggal 7 
Agustus 1992 sebagai pengganti sementara dari 
Yudo Paripurno, S.H. Notaris di Jakarta.
Dari segi tata hukum Indonesia, keberadaan 
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) 
sebagai Lembaga Arbitrase Islam mempunyai 
legitimasi yang sangat kuat karena Hukum Positif 
yang berlaku saat ini memungkinkan suatu 
lembaga lain di luar lembaga peradilan umum 
dapat menjadi wasit/ hakim dalam penyelesaian 
sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggara 
kekuasaan kehakiman ada dasarnya diserahkan 
kepada badan peradilan dengan berpedoman 
kepada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman. 
Hal tersebut merupakan induk dan kerangka 
umum yang meletakkan dasar asas peradilan 
serta pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum, 
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan 
Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur 
dalam undang-undang tersendiri.
Namun demikian, di dalam penjelasan Pasal 
3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 
1970 disebutkan antara lain, bahwa: ”Penyelesaian 
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian 
atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan 
tetapi putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan 
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah 
untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan”.
Selama ini yang dipakai sebagai dasar 
pemeriksaan Arbitrase di Indonesia adalah Pasal 
615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara 
Perdata (Reglement op De Rechtvordering, Staatsblad 
1847: 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang 
Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, 
Staatsblad 1941: 44) dan Pasal 705 Reglemen 
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura 
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927: 
227). Dengan diberlakukannya Undang-Undang 
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan 
Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 
81 undang-undang tersebut terhitung sejak 
tanggal diundangkannya. Maka berarti segala 
ketentuan yang berhubungan dengan Arbitrase, 
termasuk putusan Arbitrase asing tunduk pada 
ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 
1999, meskipun secara lex specialis ketentuan 
yang berhubungan dengan (pelaksanaan) Arbitrase 
asing telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 
5 Tahun 1968 yang merupakan pengesahan atas 
persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian 
Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing 
mengenai penanaman modal (International Centre 
for the Settlement of Investment Disputes/ ICSID 
Convention), Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 
1981 tentang Pengesahan New York Convention 
1958 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 
1 Tahun 1990.
berdasar  pendapat H.M. Thahir Azhari, 
bahwa kehadiran Arbitrase Islam di Indonesia 
merupakan suatu conditio sine qua non. Seperti 
halnya kehadiran Badan Arbitrase Muamalat 
Indonesia (BAMUI) di bawah koordinasi Majelis 
Ulama Indonesia (MUI) secara yuridis formal 
dilihat dari status hukum yang berlaku di Indonesia 
memiliki landasan hukum yang kokoh. Demikian 
juga pendapat H. Hartono Mardjono, S.H. sebagai 
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Badan Arbitrase 
Muamalat Indonesia (BAMUI), Menegaskan bahwa: 
kehadiran ”lembaga permanen” Badan Arbitrase 
Muamalat Indonesia (BAMUI) yang berfungsi untuk 
menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa 
perdata di antara pihak-pihak yang bersangkutan, 
di samping memang merupakan suatu kebutuhan 
nyata, juga memiliki dasar-dasar hukum yang kuat 
berdasar  hukum positif yang berlaku.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa 
kedudukan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia 
(BAMUI) dalam tata hukum Indonesia mempunyai 
landasan hukum yang sangat kuat. Badan Arbitrase 
Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai lembaga 
Arbitrase Islam dengan status badan hukum 
Yayasan diberi atau mempunyai kewenangan dalam 
upaya menyelesaikan sengketa bisnis para pihak 
sesuai dengan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase 
Muamalat Indonesia (BAMUI). berdasar  
hukum positif yang berlaku, yaitu Undang-Undang 
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pada 
Pasal 3 ayat (1) penyelesaian sengketa di luar 
lembaga peradilan dibolehkan melalui lembaga 
Arbitrase. Hal demikian telah diatur melalui 
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang 
Arbitrase yang berarti kekuasaan berfungsi untuk 
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau 
damai oleh arbiter atau wasit. Arbitrase merupakan 
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar 
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian 
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak 
yang bersengketa.Arbitrase dapat disepadankan 
dengan istilah Tahkim. Tahkim berasal dari kata 
kerja hakkama. Secara etimologis, kata itu berarti 
menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu 
sengketa.
Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat 
Indonesia (BAMUI) mempunyai sandaran yuridis 
baik dari hukum positif maupun hukum lisan. Hal 
ini dapat dilihat dari ketentuan Undang-Undang 
Nomor 14 Tahun 1970 khususnya penjelasan pasal 
3 ayat (1) juga dalam Undang-Undang Nomor 30 
Tahun 1999. Sedangkan menurut Alquran atau 
Hadis juga mendapat dasar mengenai Arbitrase 
tersebut. Sebaiknya dalam kontrak bisnis bank-
bank syariah memuat mengenai klausula Arbitrase 
menurut ketentuan Badan Arbitrase Muamalat 
Indonesia (BAMUI) sehingga memudahkan proses 
penyelesaian sengketa bila terjadi kelak.
Sisi politik hukum Islam yang terefleksi dalam 
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang 
Arbitrase adalah adanya alternatif instrumen 
penyelesaian sengketa sehingga hal ini meringankan 
beban dari pengadilan. Adapun arbitrase sendiri 
adalah sebuah solusi yang sudah pernah terjadi 
pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib ra, 
sehingga dapat dikatakan bahwa diundangkannya 
regulasi arbitrase ini merupakan sebuah langkah 
solutif untuk mengurangi menumpuknya beban 
sengketa yang diajukan kepada pengadilan sekaligus 
menghidupkan atsar sahabat yang menjadi suatu 
bentuk perwujudan dari sisi-sisi solitif dari agama 
Islam. 
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive