Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
Artikel ini membahas mengenai kedudukan
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dalam hukum positif Indonesia dan politik hukum Indonesia.
Ketika suatu bisnis mengalami sengketa sedangkan perusahaan tidak memiliki legitimasi yang kuat secara
yuridis formal, maka bisa jadi sengketa tersebut tidak dapat terselesaikan. Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia ini memiliki dasar hukum yang berlaku saat ini dan memungkinkan suatu lembaga lain di luar lembaga
peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa para pihak, hal ini dapat dilihat dari
ketentuan undang-undang No. 14 tahun 1970 pasal 3 ayat 1 danUndang-undang No. 20 tahun 1999. Regulasi
arbitrase ini merupakan sebuah langkah solutif dalam dunia ekonomi untuk mengurangi menumpuknya beban
sengketa yang diajukan kepada pengadilan. Sisi politik hukum Islam yang terefleksi dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase adalah adanya alternatif instrumen penyelesaian sengketa sehingga
hal ini meringankan beban dari pengadilan. Adapun arbitrase sendiri adalah sebuah solusi yang sudah pernah
terjadi pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra. sehingga dapat dikatakan bahwa diundangkannya regulasi
arbitrase ini merupakan sebuah langkah maju untuk mengurangi menumpuknya beban sengketa yang diajukan
kepada pengadilan sekaligus menghidupkan atsar sahabat yang menjadi suatu bentuk perwujudan dari sisi-sisi
solutif dari agama Islam.
Perkembangan dunia bisnis dan perekonomian
Islam, baik di tingkat nasional maupun di tingkat
internasional dengan menggunakan perbankan
Islam menyebabkan kebutuhan akan lembaga
yang bernuansa Islam pula. Salah satunya adalah
Lembaga Arbitrase Islam, yang berperan dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam
sengketa bisnis.
Perkembangan ekonomi Islam menyebabkan
kebutuhan akan penggunaan jasa perbankan
Islam dimulai sejak adanya deregulasi perbankan
pada Oktober 1988 (PAKTO 1988). Selanjutnya
melahirkan Undang-Undang No. 10 tahun 1988
tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7
tentang perbankan. Melalui Undang-undang inilah
berdirinya Bank Islam, yaitu Bank Muamalat
Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Nopember 1991.
Bank Muamalat Indonesia merupakan bank
pertama yang menggunakan prinsip syariat, bagi
hasil dan menegasikan sistim bunga perbankan.
Walaupun sebelumnya telah berdiri pula Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) syariat pertama yang
berkedudukan di Bandung tanggal 15 Juli 1991
bernama Bank Perkreditan Rakyat Mardhatillah
dan Bank Perkreditan Rakyat Berkah Amal.
Dengan berdirinya Bank dan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) yang berdasar prinsip syariat itu,
di satu pihak telah mengakomodasi kepentingan
umat Islam dalam melakukan bisnis dan
perekonomian melalui jasa perbankan Islam, tetapi
di pihak lain telah menimbulkan masalah yuridis.
Masalah ini timbul akibat adanya hubungan
hukum dalam bentuk perjanjian antara pihak
bank sebagai kreditur dan pihak nasabah sebagai
debitur atau dengan pihak lain sebagai mitra kerja.
Sengketa bisnis para pihak ini sering kali tidak
bisa dihindarkan dalam praktek bisnis. Dengan
demikian, diperlukan pranata hukum sebagai
penyelesaian masalah yang sesuai dengan dasar
hukum yang digunakannya.
Tentu saja sengketa bisnis yang berdasar
hukum Islam di Indonesia tidak bisa diselesaikan
melalui Peradilan Umum. Demikian juga ia
tidak bisa ditangani oleh Peradilan Agama karena
keduanya tidak mempunyai kewenangan dalam
menangani perkara tersebut. Di sinilah perlu adanya
suatu lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa
bisnis yang berdasar hukum Islam. Lembaga
itu sekarang sudah terbentuk sejak 29 Desember
1992 dengan nama Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) atas prakarsa Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Melalui lembaga inilah semua
sengketa bisnis, baik yang beragama Islam maupun
non Muslim dapat memanfaatkannya. Dalam
anggaran dasarnya, sifat lembaga ini terbuka untuk
umum tanpa mendasarkan pada salah satu agama.
Kehadiran Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI), tentu saja melengkapi perangkat
hukum lainnya sebagai lembaga penyelesaian
sengketa bisnis yang bersifat nasional, yaitu Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang sudah
lahir sebelumnya.
Secara konvensional, penyelesaian sengketa
biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian
sengketa di muka pengadilan. Dalam keadaan
demikian, posisi para pihak yang bersengketa
sagat antagonistis (saling berlawanan satu sama
lain). Penyelesaian sengketa bisnis model ini tidak
direkomendasikan. Kalaupun akhirnya ditempuh,
penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan
yang terakhir (ultimatum-remedium) setelah
alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.
Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan
waktu yang lama mengakibatkan perusahaan
ata para pihak yang bersengketa mengalami
ketidakpastian. Cara penyelesaian seperti itu tidak
diterima dunia bisnis melalui lembaga peradilan
tidak selalu menguntungkan secara adil bagi
kepentingan para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian perkara melalui pengadilan
terkadang hanya bersifat formaliistik karena para
pihak yang bersengkta dipaksakan untuk menerima
keputusan pengadilan, walaupun putusan itu sendiri
dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Setelah
itu, muncul di belakang hari rasa dendam antara
para pihak sehingga sering bertindak main hakim
sendiri melalui berbagai cara. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari penyelesaian perkara melalui
pengadilan.
Masalah itulah yang menjadi kekhawatiran
masyarakat dan pemikir ekonomi Islam yang perlu
mendapat perhatian bersama. Untuk mengantisipasi
kekhawatiran tersebut, maka Majelis Ulama
Indonesia (MUI) telah memprakarsai dibentuknya
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
yang diresmikan pada tanggal 21 Oktober 1993
di Jakarta. Menurut H. Hartono Mardjono, bahwa
adanya suatu ”lembaga permanen” yang berfungsi
untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya
sengketa perkara perdata di antara bank-bank
syariat dengan para nasabahnya, atau khususnya
menggunakan jasa mereka, dan umumnya antara
sesama umat Islam yang melakukan hubungan-
hubungan keperdataan yang menjadikan syariat
sebagai dasarnya adalah suatu kebutuhan yang
sungguh-sungguh nyata. Selanjutnya, ia mengatakan
bahwa kehadiran ”lembaga permanen” yang
berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan
terjadinya sengketa perdata di antara pihak-pihak
yang besangkutan, di samping memang merupakan
suatu kebutuhan nyata, juga memiliki dasar-dasar
yang kuat berdasar hukum positif yang berlaku.
Makalah ini akan membahas mengenai
kedudukan pada Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) dalam hukum positif Indonesia dan
politik hukum Indonesia, namun sebelumnya
akan diurai mengenai arbitrase dalam perspektif
Islam juga akan dilihat sekilas mengenai Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Pengertian Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari kata “arbitrare”
(Latin)1, “arbitrage” (Belanda)2, “arbitration”
(Inggris), “schiedspruch” (Jerman), dan “arbitrage”
(Perancis), yang berarti kekuasaan untuk me-
nyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau
damai oleh arbiter atau wasit.3
Sedangkan Frank Elkoury dan Edna Elkoury
dalam bukunya How Arbitration Works, menyatakan
bahwa: “Arbitrase adalah suatu proses yang mudah
atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara
sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh
juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka
di mana keputusan mereka berdasar dalil-dalil
dalam perkara tersebut. para pihak setuju sejak
semula untuk menerima putusan tersebut secara
final dan mengikat”.
Menurut undang-undang, Arbitrase adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.5 Undang-undang Arbitrase
mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat
antar para pihak dalam suatu hubungan hukum
tertentu yang telah mengadakan perjanjian
arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa
semua sengketa atau beda pendapat yang timbul
atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum
tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase
atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.6
Suatu permasalahan yang telah diajukan kepada
lembaga arbitrase, memiliki konsekuensi bagi para
pihak, yakni mereka tidak dapat lagi diperkarakan
di pengadilan negeri.
Adapun sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanya sengketa di bidang per-
dagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian.
Arbitrase Dalam Ajaran Islam
Dalam perspektif Islam, arbitrase dapat
disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal
dari kata kerja hakkama. Secara etimologis, kata
itu berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah
suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya
dengan pengertian menurut terminologisnya.
Selain kata arbitrase Islam yang berfungsi sebagai
lembaga penyelesaian sengketa para pihak seperti
dikemukakan di atas, di dalam Islam dikenal juga
sebagai lembaga penyelesaian sengketa para pihak
yang disebut al-Shulhu. Pengertian al-Shulhu adalah
memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam
pengertian syariat al-shulhu adalah suatu jenis
akad—perjanjian, untuk mengakhiri perlawanan—
sengketa, antara 2 (dua) orang yang berlawanan
(bersengketa). Adapun tahkim telah ada sejak masa
khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.9
Dalam istilah Ilmu Fikih, pengertian tahkim
seperti yang didefinisikan oleh Abu Al-Ainain
Abdul Fatah Muhammad, tahkim diartikan sebagai
bersandarnya 2 (dua) orang yang bertikai kepada
seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk
menyelesaikan pertikaian mereka.
6 UU No. 30 Tahun 1999, Pasal 2.
7 UU No. 30 Tahun 1999, Pasal 3.
8 UU No. 30 Tahun 1999, Pasal 5, ayat (1) dan (2).
Sumber Hukum Arbitrase Islam
Sumber hukum Islam adalah:
a. Alquran;
b. Sunah;
c. Ijma’ Ulama;
d. Qiyas.
Begitu pula kalau kita ingin mengetahui sebab
hukum Arbitrase Islam maka akan menunjuk
keempat sumber hukum di atas. Sumber hukum
Arbitrase Islam antara lain-Qur’an sebagai sumber
hukum pertama memberikan petunjuk kepada
manusia apabila terjadi sengketa para pihak, apakah
di bidang politik, keluarga, ataupun bisnis terdapat
dalam Alquran:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS.
Al-Hujurat[49]: 9)
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS.
Al-Nisa’[4]: 35)
Sedangkan dalam sunah Rasulullah saw
bisa dilihat dalam hadis dari Abi Hurairah r.a.
mengabarkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
”Ada seorang laki-laki membeli pekarangan dari
seorang. Orang yang membeli tanah pekarangan
tersebut menemukan sebuah guci yang berisikan
emas. Kata orang yang membeli pekarangan,
‘Ambillah emasmu yang ada pada saya, aku hanya
membeli daripadamu tanahnya saja dan tidak
membeli emasnya’. Jawab orang memiliki tanah,
‘Aku telah menjual kepadamu tanah dan barang-
barang yang terdapat di dalamnya’. Kedua orang itu
lalu bertahkim (mengangkat arbitrator). Kata orang
yang diangkat menjadi arbitrator, ‘Apakah kamu
berdua mempunyai anak’. Jawab dari salah seorang
dari kedua yang bersengketa. ‘Ya, saya mempunyai
seorang anak laki-laki’. Dan yang lain menjawab,
‘Saya mempunyai seorang anak perempuan’. Kata
arbitrator lebih lanjut, ‘Kawinkanlah anak laki-laki
itu dengan anak perempuan itu dan biayailah kedua
mempelai dengan emas itu, dan kedua orang tersebut
menyedekahkan (sisanya kepada fakir miskin).”
Menurut Ijma’ Ulama masalah Arbitrase Islam bisa
dilihat dari pendapat Sayyidina Umar bin Khatab,
mengatakan bahwa: “Tolaklah permusuhan hingga
mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui
pengadilan akan mengembangkan kedengkian di
antara mereka”.(H.R. Bukhari dan Muslim)
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Terdapat beberapa badan arbitrase di Indonesia,
yakni: Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Badan
Arbitrase Majelis Ulama Indonesia (BAMUI), dan
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Untuk lebih jauh, penulis akan jelaskan salah
satu badan arbitrase yang berasaskan Islam, yakni
BAMUI.
a. Dasar hukum berdirinya BAMUI
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
adalah sebuah yayasan dengan nama Yayasan
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Sebagai yayasan, Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) merupakan badan
hukum yang mempunyai legitimasi secara
yuridis formal, melalui Akta Pendirian Yayasan
Nomor: 175 tanggal 21 Oktober 1993, di
bawah Notaris Nyonya Lely Roostiati Yudo
Paripurno, S.H. berdasar Surat Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor:
C-190.H.T.03.07.TH.1992 sebagai pengganti
sementara dari Yudo Paripurno, S.H., Notaris
di Jakarta.
BAMUI mulai beroperasi pada tanggal 1 Oktober
1993,10 dan keberadaannya sebagai salah satu
contoh lembaga arbitrase Islam yang ada di
Indonesia, apabila dilihat dari aspek yuridis
mempunyai dasar hukum yang sangat kuat, yaitu
bersumber dari Alquran, Sunah, dan Ijma’ Ulama.
Secara historis, dapat dikatakan bahwa keberadaan
lembaga arbitrase Islam sudah ada sejak masa
Rasulullah saw. dan berkembang sampai sekarang
dari lembaga ad hoc menjadi lembaga permanen.
Demikian juga secara sosiologis, keberadaan
arbitrase Islam merupakan kebutuan umat
dalam menyelesaikan setiap terjadi sengketa di
antara mereka yang meliputi masalah politik,
peperangan, perdagangan, keluarga, ekonomi, dan
bisnis. Selain juga dapat dilakukan secara murah,
mudah, dan cepat dibandingkan dengan proses
pengadilan. Di sinilah sisi politik hukumnya
dapat terlihat dengan jelas, yakni efektif-efesien
mengurangi peran pengadilan dengan sistem
penyelesaian yang islami.
b. Tujuan BAMUI
Sesuai dengan akta pendirian Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI), maksud dan
tujuan yayasan ini ialah:
1) Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat
dalam sengketa-sengketa muamalah/perdata
yang timbul dalam bidang perdagangan,
industri, keuangan, jasa dan lain-lain;
2) Menerima permintaan yang diajukan oleh
para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa
adanya suatu sengketa, untuk memberikan
suatu pendapat yang mengikat mengenai
suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian
tersebut.
c. Yurisdiksi BAMUI
Sesuai dengan Peraturan Prosedur Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI),
yurisdiksi Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI), meliputi:
1) Penyelesaian sengketa yang timbul dalam
hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa
dan lain-lain di mana para pihak sepakat secara
tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya
kepada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) sesuai dengan Peraturan Prosedur
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI);
2) Memberikan suatu pendapat yang mengikat
tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian atas
permintaan para pihak.Kesepakatan klausula
yang seperti itu bisa dicantumkan dalam
perjanjian atau dalam suatu akta tersendiri
setelah sengketa timbul.
Kedudukan BAMUI dalam Hukum Positif
Indonesia
Banyak arbitrase khusus diperlukan baik secara
internasional, regional ataupun yang bersifat
nasional. Yang bersifat nasional, arbitrase khusus
yang diperlukan antara lain sebagai berikut:
a. Arbitrase Khusus Muamalat, misalnya untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang ber-
kenaan dengan sengketa terhadap bank yang
berdasar kepada Syariat Islam. Badan
Arbitrase ini di Indonesia sudah terbentuk;
b. Arbitrase khusus di bidang perdagangan
(Commercial Arbitration);
c. Arbitrase khusus di bidang ketenagakerjaan
(Collective Bargaining);
d. Arbitrase khusus di bidang lingkungan hidup.
Sementara itu, di beberapa negara asing, telah
ada beberapa jenis arbitrase khusus, antara lain
sebagai berikut:
a. Commodity Trade Arbitration;
b. Maritime Arbitration;
c. Construction Industry Arbitration;
d. Rent Review & Property Arbitration;
e. Agricultural Property Arbitration;
f. Arbitration Indonesia Consumer Disputes;
g. Small Claims Arbitration in the Country Court
District;
h. International Commercial Arbitration.
Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) sebagai Lembaga Aribtrase Islam tidak
bisa dilepaskan dengan adanya Bank Muamalat
Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS) dan Asuransi Takaful sebagai
lembaga keuangan yang berdasar prinsip syariah.
Perkembangan bank berdasar prinsip syariah,
secara yuridis formal telah mendapatkan legitimasi
yang kuat. Setelah diberlakukan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Apabila dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992, bank konvensional tidak boleh
memiliki Islamic Window dalam melakukan kegiatan
usahanya, maka dengan diubahnya undang-undang
itu dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
bank konvensional di Indonesia diizinkan untuk
membuka Islamic Window untuk menawarkan di
dalam usaha perbankannya di samping dengan sistim
konvensional, juga dibolehkan dengan sistem syariah.
Dengan adanya usaha perbankan sistem syariah
ini, perkembangan muamalat (Hukum Perdata)
umat Islam telah berkembang; dari masalah hukum
keluarga, seperti perkawinan, kewarisan, hibah,
wasiat dan perceraian bertambah dengan hukum
bisnis, seperti perekonomian, dan dunia usaha
lainnya. Apabila di kemudian hari timbul sengketa
para pihak, maka yang berkaitan dengan hukum
keluarga dapat diselesaikan di Pengadilan Agama.
Demikian juga apabila sengketa itu timbul dari
masalah bisnis antara Bank Muamalat Indonesia
(BMI) dengan nasabahnya, maka penyelesaiannya
diserahkan kepada Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) sesuai dengan klausula yang
dibuat para pihak sebelum perjanjian dilakukan
(pactum de compromittendo).
Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) secara yuridis formal mem-
punyai legitimasi yang sangat kuat di negara
Indonesia. Terdapat dasar hukum negara sebagai
hukum positif yang berlaku saat ini memungkinkan
suatu lembaga lain di luar lembaga peradilan umum
dapat menjadi wasit/hakim dalam penyelesaian
sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman ada dasarnya diserahkan
kepada badan peradilan dengan berpedoman
kepada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman.
Hal tersebut merupakan induk dan kerangka
umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan
serta pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur
dalam undang-undang tersendiri.
Namun demikian di dalam penjelasan Pasal
3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 disebutkan antara lain, bahwa: ”Penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan
tetapi putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah
untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan”.
Selama ini yang dipakai sebagai dasar
pemeriksaan Arbitrase di Indonesia adalah Pasal
615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara
Perdata (Reglement op De Rechtvordering, Staatsblad
1847: 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941: 44) dan Pasal 705 Reglemen
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten Staatsblad 1927:
227). Dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81
undang-undang tersebut terhitung sejak tanggal
diundangkannya. Di dalam Mukadimah Yayasan
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
dikemukakan bahwa Badan ini akan bekerja
dalam kerangka peraturan resmi negara yang ada
dan didasarkan pada kesadaran dan penghayatan
hukum pelaku-pelaku muamalat itu, semuanya
dilandasi oleh dasar musyawarah mufakat dan
akhlak Islam dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasar Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945.
Dari segi kelembagaan, status hukum Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah
yayasan yang dibentuk berdasar Akta Notaris
Nomor 175 pada hari Kamis tanggal 21 Oktober
1993 bertepatan dengan tanggal 5 Jumadil Awal
1414 Hijriah. Notaris pembuat akta yayasan
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Nyonya Lely Roostiati Paripurno, S.H. berdasar
surat dari Meneri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor C-190.H.T.03.07.TH.1992 Tanggal 7
Agustus 1992 sebagai pengganti sementara dari
Yudo Paripurno, S.H. Notaris di Jakarta.
Dari segi tata hukum Indonesia, keberadaan
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
sebagai Lembaga Arbitrase Islam mempunyai
legitimasi yang sangat kuat karena Hukum Positif
yang berlaku saat ini memungkinkan suatu
lembaga lain di luar lembaga peradilan umum
dapat menjadi wasit/ hakim dalam penyelesaian
sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggara
kekuasaan kehakiman ada dasarnya diserahkan
kepada badan peradilan dengan berpedoman
kepada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman.
Hal tersebut merupakan induk dan kerangka
umum yang meletakkan dasar asas peradilan
serta pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur
dalam undang-undang tersendiri.
Namun demikian, di dalam penjelasan Pasal
3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 disebutkan antara lain, bahwa: ”Penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan
tetapi putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah
untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan”.
Selama ini yang dipakai sebagai dasar
pemeriksaan Arbitrase di Indonesia adalah Pasal
615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara
Perdata (Reglement op De Rechtvordering, Staatsblad
1847: 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941: 44) dan Pasal 705 Reglemen
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:
227). Dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal
81 undang-undang tersebut terhitung sejak
tanggal diundangkannya. Maka berarti segala
ketentuan yang berhubungan dengan Arbitrase,
termasuk putusan Arbitrase asing tunduk pada
ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, meskipun secara lex specialis ketentuan
yang berhubungan dengan (pelaksanaan) Arbitrase
asing telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1968 yang merupakan pengesahan atas
persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian
Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing
mengenai penanaman modal (International Centre
for the Settlement of Investment Disputes/ ICSID
Convention), Keputusan Presiden Nomor 34 tahun
1981 tentang Pengesahan New York Convention
1958 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor
1 Tahun 1990.
berdasar pendapat H.M. Thahir Azhari,
bahwa kehadiran Arbitrase Islam di Indonesia
merupakan suatu conditio sine qua non. Seperti
halnya kehadiran Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) di bawah koordinasi Majelis
Ulama Indonesia (MUI) secara yuridis formal
dilihat dari status hukum yang berlaku di Indonesia
memiliki landasan hukum yang kokoh. Demikian
juga pendapat H. Hartono Mardjono, S.H. sebagai
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI), Menegaskan bahwa:
kehadiran ”lembaga permanen” Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) yang berfungsi untuk
menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa
perdata di antara pihak-pihak yang bersangkutan,
di samping memang merupakan suatu kebutuhan
nyata, juga memiliki dasar-dasar hukum yang kuat
berdasar hukum positif yang berlaku.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kedudukan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) dalam tata hukum Indonesia mempunyai
landasan hukum yang sangat kuat. Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai lembaga
Arbitrase Islam dengan status badan hukum
Yayasan diberi atau mempunyai kewenangan dalam
upaya menyelesaikan sengketa bisnis para pihak
sesuai dengan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI). berdasar
hukum positif yang berlaku, yaitu Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pada
Pasal 3 ayat (1) penyelesaian sengketa di luar
lembaga peradilan dibolehkan melalui lembaga
Arbitrase. Hal demikian telah diatur melalui
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase yang berarti kekuasaan berfungsi untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau
damai oleh arbiter atau wasit. Arbitrase merupakan
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.Arbitrase dapat disepadankan
dengan istilah Tahkim. Tahkim berasal dari kata
kerja hakkama. Secara etimologis, kata itu berarti
menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu
sengketa.
Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) mempunyai sandaran yuridis
baik dari hukum positif maupun hukum lisan. Hal
ini dapat dilihat dari ketentuan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 khususnya penjelasan pasal
3 ayat (1) juga dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999. Sedangkan menurut Alquran atau
Hadis juga mendapat dasar mengenai Arbitrase
tersebut. Sebaiknya dalam kontrak bisnis bank-
bank syariah memuat mengenai klausula Arbitrase
menurut ketentuan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) sehingga memudahkan proses
penyelesaian sengketa bila terjadi kelak.
Sisi politik hukum Islam yang terefleksi dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase adalah adanya alternatif instrumen
penyelesaian sengketa sehingga hal ini meringankan
beban dari pengadilan. Adapun arbitrase sendiri
adalah sebuah solusi yang sudah pernah terjadi
pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib ra,
sehingga dapat dikatakan bahwa diundangkannya
regulasi arbitrase ini merupakan sebuah langkah
solutif untuk mengurangi menumpuknya beban
sengketa yang diajukan kepada pengadilan sekaligus
menghidupkan atsar sahabat yang menjadi suatu
bentuk perwujudan dari sisi-sisi solitif dari agama
Islam.