Tampilkan postingan dengan label politik bisnis 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik bisnis 2. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

politik bisnis 2

 














nggunaan

bahan pangan menjadi bahan energi untuk

transportasi maupun kegiatan lainnya

merupakan pilihan yang sangat keliru dan

tidak manusiawi, ditengah-tengah kelaparan

yang semakin merajalela. Kebijakan yang

terus bersikeras untuk memproduksi biofuel

akan berdampak terhadap penurunan

produksi komoditas pangan karena

komoditasini  akan cenderung

ditinggalkan dan diganti dengan tanaman

penghasil ethanol.

mengemukakan faktor iklim memberikan

andil besar akan kondisi kekurangan pangan.

Merujuk kepada laporan Intergovernmental

Panel on Climate Change, penurunan produksi

pangan juga disebabkan oleh perubahan.

Lebih lanjut dijelaskan, setiap kenaikan suhu

udara 2 derajat celsius akan menurunkan

produksi pertanian China dan Bangladesh

sebesar 30 persen pada 2050. Laporan

tersebut juga memaparkan, jika laju emisi

karbon stabil pada tingkat saat ini maka

suhu permukaan bumi masih akan naik

2-5 derajat celsius sampai mencapai

keseimbangan. Namun, jika terjadi

peningkatan emisi maka akan menaikkan

suhu antara 3-10 derajat celsius dan akan

terus memengaruhi produksi tanaman

pangan.

Selain itu, Pakar iklim Australia dan

Amerika Serikat  menyebutkan

pemenuhan pangan dunia akan terganggu

karena semakin naiknya suhu air laut.

Kondisi ini akan menenggelamkan pulau-

pulau kecil. Ilmuanini  menjelaskan

setidaknya seluruh daratan dunia telah

mengalami kenaikan suku antara satu

hingga tiga derajat celsius. Kenaikan suhu

ini akan menyebabkan melelehnya es di

kutub. Disisi lain, penelitiini  juga

menjelaskan bahwa rata-rata gelombang

air laut di seluruh dunia telah mencapai 7

meter karena mencairnya gumpalan es di

Greenland. Kondisi ini akan mengancam

peradaban dunia karena akan terjadi

kekurangan pasokan makanan karena

terendamnya daratan disebagian belahan

dunia 

2. Ancaman Krisis Pangan di

negara kita 

Krisis pangan dunia memberikan

pelajaran kepada negara kita  akan

pentingnya sektor pertanian. Jika dikelola

dengan baik maka sektor ini akan

menyumbang windfall yang tidak sedikit, sama

halnya negara-negara Timur Tengah sebagai

dampak kenaikan harga minyak. Walaupun

tidak masuk dalam kategori negara yang

rawan pangan -dikeluarkan FAO- tetapi

berbagai keadaan akan dapat menjerat dan

menjeruskan negara kita  dalam krisis pangan

yang lebih parah. Kerawanan pangan bukan

saja tergambar dari kekurangan produksi

pertanian atau tanamaman pangan. Lebih

dari itu, kerawanan pangan memiliki masalah

multidimensional mencakup masalah

pendidikan, tenaga kerja, kesehatan,

kehutanan, dan prasarana fisik.

Kerawanan pangan dibagi menjadi dua

yakni kerawanan pangan kronis dan

kerawanan pangan transien. Sunny (2007)

mengemukakan penetapan kondisi rawan

pangan kronis didasarkan pada sepuluh

indikator yang tercakup dalam tiga aspek

penting yakni (i) aspek ketersediaan pangan,

tergambar dari indikator konsumsi normatif

per kapita terhadap rasio ketersediaan bersih

padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar (ii) aspek

akses pangan dan mata pencaharian, dengan

indikator persentase penduduk yang hidup

di bawah garis kemiskinan; persentase desa

tidak memiliki akses penghubung yang

memadai, dan persentase penduduk tanpa

akses listrik (iii) aspek kesehatan dan gizi,

dengan indikator angka harapan hidup saat

lahir, berat badan balita di bawah standar,

perempuan buta huruf; angka kematian bayi,

persentase penduduk tanpa akses ke air

bersih dan persentase penduduk yang tinggal

lebih dari 5 km dari puskesmas. sedang 

kerawanan pangan transien adalah keadaan

kerawanan pangan disebabkan kondisi tidak

terduga karena datangnya berbagai musibah,

bencana alam, kerusuhan, musim yang

menyimpang dan keadaan lain yang bersifat

mendadak. Indikator untuk kerawanan

pangan transien adalah (1) persentase daerah

tak berhutan, (2) daerah puso, (3) daerah

rawan longsor dan banjir serta (4) fluktuasi/

penyimpangan curah hujan.

Ide penurunan kerawanan pangan

bermula dari Deklarasi World Food Summit

1996 di Roma ketika munculnya

kesepakatan negara-negara peserta untuk

menurunkan kerawanan pangan dunia

hingga separuhnya pada 2015. Jumlah

indikator kerawanan pangan untuk setiap

negara cukup berbeda walaupun pada awal

telah distandarisasikan. Misalnya, India

menggunakan 21 indikator sedang 

negara kita  lebih sedikit yakni 15 indikator.

Kerawanan pangan bukan hanya terjadi di

daerah yang produksi pangannya sedikit

tetapi kemungkinan kerawanan pangan juga

dapat terjadi di daerah surplus. Halini 

terjadi ketika rendahnya tingkat pendidikan

penduduknya sehingga pemanfaatan

sumber pangan tidak maksimal. Selain itu,

kasus kerawanan pangan juga terjadi di

beberapa daerah yang produksi surplus

pangan namun sebagian besar penduduknya

tidak bekerja, walaupun bekerja dalam

jumlah jam kerja yang minim. Halini 

berdampak memenuhi asupan gizi


Contoh kasusnya adalah pada

pemetaan Deptan 2002, disimpulkan empat

kelompok kabupaten yang memiliki

proporsi rawan pangan paling tinggi.

Keempat kelompokini  tersebar

masing-masing dua kabupaten di Jawa

Timur dan Nusa Tenggara Barat. Kabupaten

di Jawa Timurini  adalah Madura dan

bagian tenggara Jawa Timur, padahal kedua

kabupatenini  merupakan daerah

surplus pangan. Kerawanan pangan di

Madura disebabkan tingginya persentase

penduduk miskin, perempuan buta huruf,

rendahnya umur harapan hidup, tingginya

persentase anak balita yang kurang gizi,

rendahnya akses air bersih, dan kurangnya

wilayah yang masih berhutan.

Selain Madura, kabupaten lainnya

adalah Bondowoso, Probolinggo, dan

Situbondo yang disebabkan tingginya

proporsi penduduk yang tidak mendapat

kesempatan kerja yang cukup. Disamping

itu, kabuptenini  diwarnai oleh

tingginya tingkat perempuan buta huruf,

relatif  rendahnya harapan hidup, relatif

tingginya gizi buruk, minimnya jumlah

dokter dan pelayanan kesehatan serta

tingginya degradasi lahan. Lain halnya dengan

Sidoarjo, yang merupakan salah satu

kabupaten defisit pangan, tetapi tidak masuk

dalam kategori rawan pangan karena

terkompensasi oleh kegiatan ekonomi yang

tinggi. Implikasinya, penduduknya relatif

sejahtera dibanding daerah lainnya. Kegiatan

perekonomian yang relatif baik

berpengaruh signifikan pada penyediaan

fasilitas kesehatan, penyediaan air bersih, dan

tingkat kesehatan balita [Kompas, 2008].

Selain itu, Arifin (2006) juga memetakan

indikator kerawanan pangan lainnya  seperti

(i) tinggi rendahnya proporsi penduduk yang

kekurangan pangan (ii) tingkat kekurangan

energi/protein dari rata-rata kebutuhan

energi/protein yang disyaratkan (food gap) (iii)

besarnya indeks gini dari food gap konsumsi

energi/protein (iv) besarnya koefisien variasi

konsumsi/energi. Dengan kriteriaini ,

negara kita  masih rawan akan krisis pangan.

Fadil dan Yustika (2008) menjelaskan

bahwa kerawananini  tergambar dari

tingginya proporsi penduduk negara kita 

dengan tingkat konsumsi kalori kurang dari

2,150 kilo kalori (kkal) mencapai 56 persen

serta proporsi penduduk dengan konsumsi

protein kurang dari 45 gram mencapai 8

persen. Disisi lain, indeks gini food gap

konsumsi energi dan protein tercatat 0,36

dan 0,39; koefisien variasi konsumsi energi

dan protein mencapai 28 persen dan 34

persen. Selain itu, konsumsi energi juga

masih relatif rendah. Jumlah energi yang

dikonsumsi baru 1994 kkal/kapita/hari

atau naik 5 kkal/kapita/hari dari 2005, yang

angkaini  masih di bawah rekomendasi

WKNPG VIII.

Arifin menambahkan kerawanan

pangan nasional juga tergambar dari

ketidakmerataan akses terhadap pangan. Hal

tersebut teridentifikasi dari peta kerawanan

pangan (food security atlas) yang menempatkan

40 kabupaten dari 265 kabupaten berada

dalam kategori agak rawan, 30 kabupaten

lainnya masuk kategori daerah rawan

pangan dan 30 kabupaten dalam kategori

sangat rawan pangan. Food Security Atlas

menggambarkan situasi sebaran pangan di

30 provinsi negara kita , termasuk 100

kabupaten yang masuk dalam kategori

rawan pangan utama. Peta kerawanan

pangan diharapkan menjadi sumber

informasi akan keberadaan kantong-

kantong rawan pangan dan gizi di seluruh

negara kita .

3. Kondisi Pertanian negara kita 

Mengamati perekonomian nasional

akan disimpulkan bahwa telah terjadi

perubahan haluan pembangunan dari

dominasi sektor pertanian menjadi

dominasi sektor industri pengolahan,

padahal sektor pertanian tumpuan bagi

lebih dari 40 persen penduduk negara kita 

(Tabel 2). Secara keseluruhan pada 2007,

sektor pertanian masih menjadi lahan

penting bagi 42,60 juta penduduk

negara kita  untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Namun, angkaini 

menurun dibandingkan tahun 2000.

Tahun 2000 sektor ini masih mampu

menyerap 45,3 persen dari total pekerja,

menurun 3,3 persen (yoy) pada 2001.

Peningkatan terjadi pada 2003 yakni naik

4,51 persen menjadi 46,3 persen. Pada

2005-2006 penyerapan tenaga kerja pada

sektor pertanian masih di atas 40 persen

dan pada 2007 sebesar 43,7 persen atau

turun 1,79 persen (yoy).

Tabel 2.




Sektor pertanian juga berkontribusi

signifikan terhadap PDB. Data Bank

negara kita  (2007) menunjukkan, rata-rata

kontribusi sektor pertanian pada periode

1997-2007 sebesar 15,54 persen sedikit

di bawah sektor perdagangan, hotel, dan

restoran sebesar 15,64 persen. Secara

historis, sejak 1968 kontribusi sektor

pertanian mencapai 51 persen, sedang 

industri pengolahan hanya 8,5 persen.

Sejak 1988-1993, struktur perekonomian

negara kita  berubah sehingga dominasi

sektor pertanian disalip industri

pengolahan. Kondisiini  semakin

dramatis karena sejak tahun 1993, kontribusi

sektor pertanian terus berada di bawah

industri pengolahan. Sejak krisis ekonomi

1998, sektor pertanian hanya berkontribusi

17,98 persen terhadap PDB. Kontribusi

sektor pertanian terus menurun pada 2005,

dimana sektor pertanian hanya mampu

berkontribusi 12,4 persen sedang  industri

pengolahan 27,41 persen. Keadaanini 

terus berlanjut pada 2006, dimana sektor

pertanian hanya berkontribusi 12,97 persen

atau turun 0,16 persen dan pada 2007

sebesar 13,83 persen atau naik 0,86 persen

(yoy) (Tabel 3).


Pertanian negara kita  masih dibayang-

bayangi masalah klasik seperti luas lahan,

akses kelembagaan, kelangkaan pupuk,

namun bukan menjadi masalah yang mudah

untuk diselesaikan.

A. Luas Lahan

Luas lahan yang cenderung menurun

karena konversi lahan  yang terus terjadi. Jika

diperhitungkan luas daratan negara kita  -

setelah direduksi hutan lindung, hutan

produksi, pemukiman, industri- tidak

memenuhi untuk menanam sejumlah

komoditas pangan, yang kebutuhannya terus

meningkat. Luas lahan pertanian akan terus

berkurang karena alih fungsi lahan beririgasi

yang mencapai 80.000 hektar per tahun.

Disisi lain kemampuan cetak sawah nasional

juga semakin sulit karena dorongan sektor

industri dan ancaman pemanasan global

(Apriyantono, 2008).

Berdasarkan data BPS, setidaknya

konversi lahan pertanian dalam tiga tahun

terakhir (setelah 2004) mencapai 187.720

hektar per tahun. BPS merinci alih fungsi ke

nonpertanian mencapai 110.164 hektar dan

lahan kering pertanian ke nonpertanian 9.152

hektar per tahun (Herlianto, 2008). Dengan

luas lahanini , negara kita  masih

dihadapkan pada produktivitas lahan yang

semakin rendah. Diantara negara-negara

produsen beras, produktivitas lahan

negara kita  yang paling rendah. India mampu

menghasilkan 3,28 ton per hektar,

Bangladesh 3,7 ton per hektar, China 4,29

ton per hektar, dan negara kita  2,88 ton per

hektar (Herbawati, 2008). Pratomo (2008)

menambahkan ketidakjelasan penanganan

konversi lahan pertanian menjadi pabrik,

perumahan, yang nilai lahanini  akan

lebih menjanjikan sebagai lahan produksi

komoditas pangan. Hal ini diperburuk

dengan ketersediaan dan kualitas

infrastruktur pertanian seperti irigasi yang

menjadi hidupmatinya sektor pertanian.

B. Akses Kelembagaan

Permasalahan akses kelembagaan

masih dipengaruhi minimnya informasi dan

buruknya komunikasi antara sektor pertanian

dan lembaga keuangan. Arifin (2006)

menjelaskan, kondisi ini terjadi karena

kurang aktifnya pelaku bisnis sektor

pertanian untuk menyampaikan peluang

bisnis dan prospek usaha kepada sektor

pembiayaan. Akibatnya, sektor pertanian

cenderung tersisih dibandingkan dengan

sektor lainnya seperti jasa, perdagangan

maupun perindustrian. Hal ini diperparah

dengan kurangnya pemahaman sektor

pembiayaan terhadap prospek sektor

pertanian sehingga munculnya anggapan

bahwa sektor pertanian merupakan sektor

high risk yang tergantung pada musim

maupun jaminan harga yang tidak pasti.

Berbagai halini  berujung pada

minimnya dana yang tersalur pada sektor

tersebut. Lebih lanjut, peta penyaluran kredit

perbankan pada berbagai sektor

perekonomian ditampilkan pada Tabel 4

berikut ini.

Sektor pertanian hanya memperoleh

alokasi kredit rata-rata 10,56 persen jauh di

bawah sektor lain. Sektor perindustian

menjadi fokus penyaluran kredit dengan

angka fantastik rata-rata sebesar 45,65

persen. Minimnya penyaluran kredit kepada

sektor pertanian disebabkan sulit dan

banyaknya persyaratan kredit yang diajukan

pihak perbankan sehingga petani cenderung

tidak memamfaatkan keberadaan lembaga

pembiayaan, walaupun dengan bunga relatif

lebih ringan. Arifin menambahkan

permasalahan lainnya adalah munculnya

persepsi bahwa petani-petani kecil -yang luas

lahan kurang dari 0,5ha- tidak akan mampu

menawarkan keuntungan yang lebih besar.

Sebagai lembaga keuangan yang profit oriented,

pihak perbankan tentunya akan memetakan

sektor produktif dan yang menurut persepsi

mereka belum dimiliki oleh sektor pertanian.

C. Subsidi

Kredit yang relatif kecil juga diikuti oleh

minimnya subsidi pemerintah ke sektor

pertanian. Dengan angka subsidi yang

terbatas, penyalurannya juga dihantui oleh

penyelewengan. Situmorang (2008)

mengemukakan hampir 30 persen

anggaran subsidi sektor pertanian tidak tepat

sasaran karena penyelewengan serta pola

distribusi yang tidak melibatkan petani.

Penyelewenganini  terindetifikasi -

khusus subsidi pupuk- dari perbedaan harga

yang ditetapkan oleh pemerintah dengan

harga pasar yang dapat berbeda antara 200

hingga 800 rupiah/kg. Selain itu, subsidi

yang diberikan pemerintah menjadi ajang

bagi para pedagang untuk meraup

keuntungan. Lebih lanjut, perkembangan

subdisi ditampilkan pada Tabel 5 berikut ini.


Periode 2000-2008 subsidi pemerintah

lebih didominasi oleh BBM (70,91 persen)

sedang  non BBM hanya sekitar 29,09

persen. Jika dikomparasikan dengan China

dan India, subsidi pupuk negara kita  saat ini

relatif  lebih rendah. Di India, anggaran

subsidi pupuk mencapai US$ 22,5 miliar per

tahun naik dari US$ 9,25 miliar. Selain itu,

seluruh petani tanaman pangan mendapatkan

kupon pengambilan pupuk secara periodik.

Lain halnya dengan China, subsidi diberikan

kepada petani sebesar 3 juta rupiah per hektar

di samping memproteksi ketersediaan pupuk

domestik dengan menaikkan pajak eskpor

100 persen hingga 135 persen2. Subsidi yang

relatif kecil diperparah dengan rencana


pengurangan subsidi Non BBM yang akan

terjadi pada 2009 (Tabel 6.).

Pengurangan subsidi non BBM dan

listrik kembali mengundang pertanyaan

akan keberpihakan pemerintah kepada

sektor-sektor perekonomian khususnya

sektor pertanian. Pengurangan subsidi

mencapai 42,24 persen ini akan terus

mempersulit sektor-sektor perekonomian.

Walaupun ada indikasi peningkatan subsidi

pupuk dan pangan namun proporsi dana

tersebut relatif kecil untuk kondisi saat ini.

1 Ibid, Herbawati, 2008

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008 72

Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi negara kita 

D. Pupuk

Masalah kelangkaan pupuk juga sering

terjadi. Banyak yang menyebabkan kondisi

ini, mulai penumpukan oleh pedagang

sampai penyeludupan ke luar negeri.

Penyeludupan terjadi karena terjadinya

disparitas harga. Dengan kualitas pupuk yang

lebih baik dibanding Vietnam dan Malaysia,

pelaku akan memperoleh revenue yang tidak

sedikit. Disisi lain, lemahnya pengawasan

distribusi pupuk berujung pada mudahnya

penyeludupan dilakukan. Kontras dengan

negara kita , dengan disparitas harga yang

tinggi penyeludupan pupuk jarang terjadi di

Jepang karena regulasi yang ketat.

Kelangkaan pupuk di daerah tertentu

dipengaruhi oleh kenakalan pedagang yang

menjual pupuk ke daerah lain sehingga terjadi

kekurangan stok, seperti terjadi di Banyumas,

Jenis Subsidi 2006 2007 APBN P 2008 RAPBN 2009 

Non BBM dan listrik 13,65 16,31 47,2 27,26 

1. Pupuk 2,98 6,98 7,81 10,75 

2. Pangan 5,57 6,58 8,58 10,81 

3. Bunga kredit program 0,32 1,64 2,15 3,08 

Lain-lain 4,78 1,1 - - 

Benih   1,02 0,904 

Minyak goreng (melalui operasi pasar)   0,5 - 

Bahan baku kedelai   0,5 - 

Subsidi pajak   25 - 

Pso   1,73 1,72 

 

Tabel 6.

Nilai Subsidi pada RAPBN 2009 (Triliun Rupiah)

Sumber : Bisnis negara kita , Mei 2008

dimana pupuk SP 36 ’menghilang’ karena

naiknya harganya di atas harga eceran

tertinggi (HET). Kondisi lain juga terjadi di

Kediri, dimana terjadi penimbunan pupuk

jenis ZA sebanyak 2.263 ton, SP 36 101,65

ton dan Phonska 50 mencapai 207,5 ton,

sedang  di lokasi lain -tetap di Kediri-

ditemukan penimbunan lebih 1300 ton

pupuk urea. Kondisi kekurangan pupuk

dimamfaatkan oleh sebagian pupuk dengan

mengalurkan pupuk palsu. Pada beberapa

daerah masih memiliki stok pupuk namun

dengan harga yang cukup tinggi, yang

cenderung tidak terjangkau petani. Berbagai

kendala penyediaan pupukini 

menyebabkan enggannya investor masuk

dalam bisnis pertanian maupun

perkebunan, padahal menurut Pratomo

dana investor sangatlah dibutuhkan untuk

revitalisasi pertanian yang sedang digalakkan

pemerintah 

Kelangkaan pupuk bukan saja

disebabkan ulah pedagang tetapi juga

dipengaruhi oleh moderatnya produksi

pupuk nasional. Setidaknya ada lima

perusahaan yang beroperasi dalam bisnis

pupuk tetapi selama beberapa periode

mengalami penurunan produksi. Penurunan

produksi terjadi karena keterbatasan dan

keterlambatan pasokan gas sebagai bahan

baku utama industri pupuk. Dilain hal, biaya

bahan baku pupuk -amoniak dan fospat-

dunia turut naik yang menyebabkan Harga

Pokok Penjualan (HPP) pupuk domestik

terdorong naik. Dengan kenaikan harga

bahan baku amoniak 115 persen menjadi

475 dolar AS (Juni, 2008) menyebabkan

naiknya harga pupuk internasional mencapai

434 dolar AS.

Produksi pupuk amoniak PT. Pupuk

Sriwidjaja pada 2006 hanya naik sebesar 1,35

persen (yoy) sedang  urea naik 0,26 persen

 2005 2006  

PT. Pupuk Sriwidjaja    

  Amoniak 1332050 1349970 1,35 

  Urea 2045860 2051250 0,26 

PT. Petrokimia Gresik    

  Amoniak 383857 1328589 246,12 

  Urea 404364 331677 -17,98 

  ZA 644320 631645 -1,97 

  SP-36/TSP 819704 647868 -20,96 

  Phonska 276875 415506 50,07 

  DAP 6796 0 -100,00 

  NPK 56275 81184 44,26 

  ZK 3975 4701 18,26 

PT. Pupuk Kujang    

  Amoniak 354677 540197 52,31 

  Urea 537563 851579 58,41 

PT. Pupuk Kalimantan Timur     

  Amoniak 1866683 1618191 -13,31 

  Urea 2665021 2214961 -16,89 

PT. Pupuk Iskandar Muda     

  Amoniak 72155 147299 104,14 

  Urea 195847 205225 4,79 

 


 

(yoy) sehingga masing-masing menjadi 1,34

juta ton dan 2,05 juta ton. Pertumbuhan

produksi amoniak diperoleh PT. Petrokimia

Gresik sebesar 246,12 persen namun dalam

kapasitas di bawah PT. Pupuk Sriwidjaja,

sedang  untuk urea menurun 17,98 persen.

Selanjutnya, produksi amoniak PT. Pupuk

Kujang dan PT. Pupuk Iskandar Muda

masing-masing naik 52,31 persen dan 104,14

persen, sedang  PT. Pupuk Kalimantan

Timur turun 13,31 persen. Dari sisi produksi

urea, PT. Pupuk Kujang dan PT. Pupuk

Iskandar Muda masing-masing naik 58,41

persen dan 4,79 persen sedang  PT.

Pupuk Kalimantan Timur turun 16,89

persen. Secara keseluruhan produksi

amoniak hanya tumbuh rata-rata 78,11

persen dengan kontributor utama adalah PT.

Petrokimia Gresik, sedang  urea hanya

tumbuh rata-rata 5,72 persen dengan

kontributor utama adalah PT. Pupuk

Sriwidjaja.

Pembangunan pabrik baru PT. Pupuk

Kalimantan yang memproduksi NPK

super diharapkan menjadi sinyal baik bagi

pemenuhan pupuk di tanah air. Produsen

pupukini  akan memproduksi 200.000

ton per tahun dengan nilai investasi 14,8 juta

dolar US dan direncanakan selesai Triwulan

III-2009. Pembanguan ini diharapkan dapat

mengurangi penggunaan pupuk tunggal

(urea) yang selama ini terus digunakan.

Seperti dijelaskan disebelumnya, pemerintah

memberikan subsidi pupuk kepada petani.

Pada 2007, terjadi penurunan realisasi pupuk

bersubdisi dibandingkan 2006 (Tabel 8.).

Tahun 2006 secara keseluruhan

penyaluran pupuk bersubsidi mencapai di

atas 92,15-100,58 persen. Urea merupakan

jenis pupuk dengan realisasi terkecil pada

2006 sedang  tertinggi SP 36. Berbeda

dengan 2006, pada 2007 realisasi

penyaluran pupuk bersubsidi relatif lebih

rendah hanya berkisar 68-78 persen.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008 75

Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi negara kita 

Dengan kondisi yang demikian, produksi

komoditas pangan nasional (khususnya

beras) relatif  moderat (Tabel 9).

Produksi GKG secara rata-rata hanya

tumbuh 1,47 persen, sedang  produksi

beras hanya tumbuh rata-rata 1,67 persen

dan stok akhir rata-rata tumbuh 16,73

persen. Tahun 2000 stok akhir beras

mengalami penurunan 65,97 persen (yoy),

yang merupakan penurunan terbesar selama

satu dekade terakhir. Pertumbuhan produksi

GKG dan beras yang cenderung moderat

akan terus mengkhawatirkan ditengah-

tengah pertumbuhan penduduk rata-rata

sebesar 1,27 (1999-2007). Jika tidak

ditangani serius maka ancaman kelaparan

akan menghinggapi perekonomian nasional.

Selain ancaman dari komoditas beras,

ancaman lain juga muncul dari berbagai

komoditas pangan yang tergolong pada

pangan nabati karena kekurangan produksi.

Beberapa komoditasini  adalah  jagung,

kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar,

sayuran, buah-buahan, dan gula. Secara

keseluruhan hanya produksi beras, ubi jalar,

buah-buahan, dan minyak sawit (CPO) yang

surplus. Defisit tertinggi terjadi pada kedelai

yang mencapai 1,189 ribu ton, disusul jagung

sebesar 1,128 ribu ton. Selain komoditas

pangan nabati, defisit juga terjadi pada

komoditas pangan hewani seperti daging

sapi, daging kerbau, daging ayam, telur, dan

susu. Dari sejumlah komoditasini 

hanya komoditas ikan yang surplus sebesar

1,264 ribu ton (Tabel 10).

Dengan defisit produksi pada beberapa

komoditas pangan, mendorong kenaikan

harga pada beberapa komoditasini 

diberbagai pasar di tanah air. Survei


Departemen Pertanian (2007) menunjukkan

cabe merah biasa, kacang tanah, beras

merupakan komoditas yang mengalami

kenaikan tertinggi. Secara rata-rata (2004-

2007) komoditasini  masing-masing

naik 20,74 persen, 20,19 persen dan 20,17

persen, sedang  kenaikan terendah pada

komoditas daging ayam ras, yang naik rata-

rata 6,51 persen (Tabel 11).

Salah satu yang menjadi pertanyaan

adalah pada komoditas beras. Tabel 10 di

atas telah diketahui bahwa komoditas

tersebut mengalami surplus produksi

mencapai 3.534 ribu ton tetapi harga

komoditasini  terus naik mencapai

rata-rata sebesar 20,17 persen. Kondisi

setidaknya menyiratkan terjadinya permainan

pihak-pihak yang tidak pertanggung jawab

seperti penumpukan maupun penguasaan

pasar. Memang, selama ini perkembangan

harga beras sangat dipengaruhi oleh campur

tangan tengkulak dan pedagang besar.


Setidaknya kedua pihak ini menguasasi

hampir 75 persen produksi beras dari

penggilingan di negara kita . Penguasaan ini

akan mempengaruhi harga pasar yang

signifikan. Pencari keuntungan ini akan

menaikkan harga drastis ketika stok beras

Bulog rendah maupun ketika musim

paceklik tiba. Dengan harga di atas Harga

Pembelian Pemerintah (HPP) -sebesar 4.500

rupiah atau lebih mahal 200 rupiah (Juni

2008)- pemilik penggilingan dengan senang

hati menjual kepada tengkulak atau pedagang

besar (Situmorang, 2008).

Ancaman krisis pangan semakin besar

ketika tidak terprediksinya kondisi cuaca.

Prakiraaan cuaca yang sering meleset

menyebabkan musim tanam semakin tidak

jelas. Disis lain, musim kekeringan

cenderung lebih lama dibanding musim

penghujan yang menyebabkan lahan-lahan

pertanian mengalami kekeringan. Menurut

data perlindungan pangan (dalam Kompas,

2008) kekeringan bukan saja mengancam

daerah Jawa tetapi Sumatera Utara dan

Nanggro Aceh Darussalam (NAD) serta

Sulawesi. Dijelaskan lebih lanjut, di NAD

sekitar 8.606 hektar sawah mengalami

kekeringan dan 1.763 hektarnya mengalami

puso, sedang  Sumatera Utara seluas

2.308 hektar dan puso 70 hektar.

Selanjutnya, di Jawa Barat ditemukan seluas

2.001 hektar dan puso seluas 40 hektar.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya

ditemukan seluas 254 hektar dan tidak

ditemukan puso. Selain beberapa daerah

tersebut, kekeringan juga melanda Sulawesi

Selatan seluas 1.137 hektar dengan puso

seluas 316  hektar. Secara keseluruhan luas

tanaman padi yang mengalami kekeringan

adalah 14.306 hektar sedang  puso seluas

2.189 hektar.

Disamping itu, kondisi sektor pertanian

semakin mengkhawatirkan ketika munculnya

analisis dari Intergovernmental Panel on Climate

Change 2001 yang mengemukakan bahwa

sejak periode 1970-2004 telah terjadi

kenaikan suhu rata-rata tahunan di negara kita 

antara 0,2 derajat celsius hingga satu derajat

celsius. Kenaikan suhuini  akan

menurunkan produktivitas lahan pertanian,

peningkatan kerusakan pesisir karena banjir

dan cuaca buruk, peningkatan gizi buruk dan

diare serta perubahan pola distribusi hewan

dan serangga sebagai vektor penyakit.

Kemudian dijelaskan, kenaikan suhu rata-rata

global sebesar 1,5 derajat celsius hingga 2,5

derajat celsius akan menyebabkan punahnya

spesies tanaman dan satwa antara 20 persen

hingga 30 persen [Kompas, 2008].

Frekuensi banjir akan relatif lebih sering

terjadi, karena penggundulan hutan sehingga

mempersulit pengadaan pangan. Menurut

data FAO 2000-2005, negara kita  merupakan

negara yang paling tinggi tingkat

penghancuran hutannya. Selama 2000-2005

laju penghancuran hutan di negara kita 

mencapai 2 persen, lebih tinggi 0,3 persen

dari Zimbabwe dan 0,6 persen dari

Myanmar serta 1,4 persen dari Blazil. Data

tersebut menjelaskan bahwa dari sekitar 44

negara yang secara kolektif memiliki 90

persen hutan dunia, negara kita  menempati

peningkat pertama sebagai negara paling

cepat menghancurkan hutan dengan angka

1,871 juta hektar per tahun dari 2000-2005.

Angkaini  menjelaskan bahwa setiap

harinya 51 kilometer persegi hutan di

negara kita  hancur (setara dengan kehancuran

hutan 2 persen setiap tahunnya atau setara

dengan 300 lapangan bola setiap jamnya).

Jika penghancuran hutan terus terjadi maka

hutan primer yang tersisa di Jawa (19

persen), Kalimantan (19 persen), Sumatera

(25 persen), Papua (71 persen), Sulawesi (43

persen), dan Bali (22 persen) akan lenyap

(Media negara kita , 2008).

4. Tantangan Ketahanan Pangan

Berbagai hal di atas menuntut negara kita 

untuk mampu mencapai ketahanan pangan

untuk meminimalisir kebergantung impor

dan ancaman krisis pangan. Ketahanan

pangan bukan saja menggambarkan

ketersediaan pangan yang cukup tetapi juga

kemampuan untuk mengakses (termasuk

membeli) pangan dan tidak terjadinya

ketergantungan pada pihak manapun. Pada

kondisi nyata, ketahanan pangan akan

teridentifikasi dari ketersediaan bahan pangan

(seperti beras) di suatu daerah baik pada hari-

hari biasanya maupun hari-hari khusus -

seperti hari raya keagamaan yang

permintaan relatif  tinggi- dengan harga yang

terjangkau.


ketahanan pangan tergambar dari tiga  sub

sistem yang saling terkait. Ketiga sub sistem

tersebut terdiri dari sub sistem ketersediaan,

sub sistem distribusi dan sub sistem

konsumsi. Simatupang menjelaskan

pembangunan sub sistem ketersediaan

pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan

dan keseimbangan penyediaan pangan yang

berasal dari produksi, cadangan, dan impor.

Selanjutnya, pembangunan sub sistem

distribusi bertujuan untuk menjamin

aksesibilitas pangan dan menjamin stabilitas

harga pangan strategis, sedang 

pembangunan sub sistem konsumsi

bertujuan untuk menjamin agar setiap warga

mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan

gizi yang cukup, aman dan beragam.

Nainggolan (2008) menambahkan

ketersediaan pangan saat ini sangat

mengkawatirkan. Kondisi ini berawal dari

minimnya inovasi maupun teknologi serta

rendahnya insentif finansial dalam penerapan

teknologi. Halini  diperparah dengan

lemahnya sistem penyuluhan pertanian

sehingga menghambat adopsi teknologi

karena keterbatasan tingkat pendidikan

petani. Selanjutnya, distribusi pangan juga

dihambat oleh masalah musim dan tantangan

medan yang harus ditempuh. Masalah yang

muncul seperti keterbatasan sarana dan

kelembagaan pasar dan banyaknya pungutan

resmi dan tidak resmi menyebabkan

besarnya biaya distribusi sehingga menaikkan

harga pokok. Disamping itu, peranan

lembaga pemasaran juga belum optimal

dalam memasarkan hasil-hasil pangan

sehingga kestabilan distribusi dan harga

pangan terganggu. Masalah lain muncul

ketika besarnya dominasi kelompok-

kelompok tertentu pada lembaga-lembaga

pemasaran pangan. Mengingat kondisi

tersebut, tak heran jika sejumlah daerah

mengalami kerawanan pangan.

Menghadapi berbagai gejolak di atas,

Hasan dan Yustika (2008) mengemukakan

bahwa kebijakan pangan kini dan

mendatang harus dilakukan secara

komprehensif dan terintegrasi. Setidaknya

ada lima kebijakan pangan yang perlu

diperhatikan, (i) kebijakan peningkatan

produksi pangan, (ii) kebijakan reformasi

agraria yang berdampak pada peningkatan

produksi dan peningkatan kesejahteraan

produsen (iii) kebijakan diversifikasi pangan

baik produksi dan konsumsi berbasis

sumber daya lokal (iv) kebijakan terkait

dengan intervensi yang menjamin

ketahanan pangan bagi setiap keluarga

terutama yang belum memiliki akses

terhadap pangan yang memadai (targeted

safety nets) (v) kebijakan harga yang mampu

mengakomodasi kepentingan produsen dan

konsumen melalui program stabilisasi harga.

Selain itu, Hasan dan Yustika

menjelaskan kebijakan di atas harus

didukung oleh tiga aspek penting yakni

stabilitas dan kebijakan makro ekonomi,

kebijakan anggaran dan infrastruktur.

Stabilitas makro ekonomi tergambar dari

relatif rendahnya dan terkendalinya tingkat

inflasi, nilai tukar petani yang meningkat

disertai suku bunga riil yang rendah.

sedang  kebijakan anggaran diharapkan

mampu memihak sektor pangan dalam

bentuk insentif fiskal yang memadai. Dari

sisi kebijakan infrastruktur ditempuh dengan

mendorong pembangunan sarana produksi

seperti irigasi maupun infrastruktur jalan.

5. Kondisi Infrastruktur negara kita 

Keberadaan infrastruktur pertanian

menjadi prasyarat penting dan paling

mendasar dapat kegiatan ekonomi, tetapi

secara keseluruhan kondisi infrastruktur di

negara kita  masih buruk. Data Bank

Pembangunan Asia (ADB) berikut ini

merinci beberapa kondisi infrastruktur di

negara kita  dengan beberapa negara tetangga.

Dari sisi akses terhadap air bersih di

perkotaan, negara kita  masih berada di

bawah Thailand dan Vietnam dan sedikit

di atas Myanmar, sedang  untuk di

pedesaan berada di bawah Myanmar. Selain

itu untuk akses terhadap sanitasi di perkotaan

dan pedesaan, negara kita  juga relatif masih

rendah dibandingkan negara sekawasan.

Sebagai perbandingan, Myanmar dan

Filipina mampu memberikan akses kepada

masyarkat kota dan desa masing-masing

sebesar 80 persen dan 72 persen. Posisi

negara kita  untuk kategori ini hanya sedikit

di atas Timor Leste Selain dari akses sanitas,

tabel di atas juga menampilkan kapasitas

sambungan telepon tetap untuk setiap 100

orang penduduk. Pada kategori ini, posisi

pertama diduduki Singapura disusul

Vietnam dan Malaysia, sedang  negara kita 

berada di urutan ke lima. Dari segi

kepemilikan telepon seluler, Singapura tetap

menjadi menduduki posisi puncak dengan

angka 109,34 yang artinyaada sejumlah

penduduk yang memiliki lebih dari satu

telepon seluler. Penggunaan internet di

negara kita  juga masih rendah hanya sebesar

4,69 untuk 100 orang artinya dari 100 orang

hanya 5 orang saja yang mengakses internet,

sedang  posisi pertama diduduki Malaysia

sebesar 54,23.

Listrik

Dari sisi pemenuhan listik juga belum

menunjukkan perkembangan yang

menggembirakan. Angka pemenuhan

konsumsi listrik masih dipengaruhi

pembelian dan penyewaan dari pihak ketiga.

Setidaknya, proporsi produksi listrik sendiri

semakin menurun sejak 2003 sedang 

pemenuhan listrik dari sisi pembelian dan

sewa naik berlahan. Pada 2006, pemenuhan

listrik dari sisi produksi sendiri hanya 76,38

persen turun 0,7 persen (yoy), sedang  dari

sisi pembelian naik 1,04 persen (yoy) dan dari

sisi sewa turun 0,33 persen (yoy) (Tabel 13).

Dengan produksi listrik yang bergerak

moderat, berujung pada defisit listrik yang

terus membengkak. Pada 2002, sebenarnya

kondisi penyediaan listrik nasional masih

surplus 0,98 gigawatt tetapi setelahnya

defisit. Tercatat, ketersediaan listrik nasional

pada 2006, defisit 10,95 gigawatt naik 2,09

gigawatt (yoy). Defisit yang terjadi

disebabkan tingginya pertumbuhan

konsumsi listrik yang tidak diikuti

peningkatan produksi listrik disetiap periode

berjalan. Dengan menggunakan data PLN

2002-2006, pertumbuhan konsumsi listrik

rata-rata mencapai 6,67 persen sedang 

pertumbuhan produksi listrik rata-rata hanya

3,66 persen (Tabel 14.).

Jalan

Infrastruktur jalan juga menunjukkan

kondisi yang memprihatikan khususnya

untuk Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Irian

Jaya Barat. Dari total jalan rusak, 13,65 persen

berada di Kalimantan, 12,54 persen di

Sulawesi, 10,61 persen di Papua + Irjabarat,

7,77 persen di Maluku + Maluku Utara, 4,32

persen di Sumatera serta 1,11 persen di Jawa

dan sisanya di daerah lain. Dari angka

tersebut tergambar perbaikan jalan masih

terfokus di Jawa dan Sumatera sedang 

untuk negara kita  Bagian Timur, Kalimantan

serta Sulawesi cenderung belum maksimal

(Tabel 15).

Perkembangan jalan tol juga belum

memuaskan. Data Jasa Marga (2007)

menunjukkan panjang jalan tol masih 630

km atau hanya 1,82 persen dari total jalan

umum. Panjang jalan tolini  tidak

berkembang signifikan karena sejak awal

pembangunan hingga akhir 2007 -tenggang

waktu 30 tahun- hanya bertambah 603 km.

Perkembangan panjang jalan tol yang hanya

77 persen disetiap tahunnya dan hanya

didonasikan oleh pertumbuhan pada

dekade pertama yang tumbuh 63 persen,

sedang  pada dekade berikutnya relatif

lebih rendah pada rata-rata 15 persen per

tahun bahkan, pada satu dekade terakhir

sekitar 3 persen per tahunnnya.

Irigasi dan Waduk

Selain perbaikan jalan, sarana irigasi

menjadi problema yang harus diselesaikan.

Perkembangan pembangunan irigasi selama




ini (data 2004) masih terpusat di Sumatera

dan Jawa serta Bali. Sebagai perbandingan,

untuk irigasi teknis dari seluruh pembagunan

irigasi sebesar hampir 52 persen berada di

Jawa dan Bali sedang  33,26 persen berada

di Sumatera. Kontras dengan pulau-pulau

tersebut, Nusa Tenggara, Kalimantan,

Sulawesi, Maluku + Maluku Utara hanya

sekitar 15 persen dari program irigasi,

bahkan Papua sama sekali tidak memiliki

irigasi teknis yang menjelaskan bahwa

sawah-sawah di provinsiini  hanya

menggunakan irigasi semi teknis dan

sederhana. Melihat kondisiini 

pemerintah harus berupaya menyelaraskan

kebijakan irigasi dengan memfokuskan

pembangunan irigasi ke wilayah negara kita 

Bagian Timur. Hal ini diharapkan dapat

menjadi penggerak produksi pertanian yang

selama ini masih relatif rendah di kawasan

tersebut, padahal di beberapa dalam

kawasan -Maluku, Kalimantan, Sulawesi,

dan Papua- memiliki potensi untuk

pengembangan komoditas pangan seperti

padi, jagung, kedelai dan tebu.

Perkembangan infrastruktur pertanian

lainnya juga relatif buruk. Data 2007

menunjukkan infrastruktur pertanian hampir

20 persen dalam kondisi rusak baik rusak

ringan maupun rusak berat. Untuk jaringan

irigasi 0,05 persen rusak berat sedang 

rusak ringan 17,4 persen. Selain itu,

keandalan air lebih didominasi nonwaduk

dengan angka 89,38 persen sedang 

waduk 10,62 persen.

Selain itu, infrastruktur pertanian -

misalnya waduk- yang dibangun sebelumnya

juga tidak menujukkan perkembangan yang

memuaskan. Di Jawa Barat, setidaknya dua

dari tiga waduk berstatus waspada

sedang  di Jateng ditemukan delapan

waduk yang kering, empat waduk berstatus

waspada dan di Lampung, Jogjakarta dan

Sulawesi Selatan masing-masing berstatus

kering dan waspada.

Investasi menjadi salah satu pokok

penting dalam mendukung ketahan pangan

nasional. Data Departemen Pertanian (2007),

setidaknya investasi tahun 2008, diproyeksi

sebesar 170.384 milar atau naik 4,34 persen

(yoy). Investasi sangat terkait dengan kondisi

internal negara kita  termasuk ijin usaha,

infrastruktur maupun perpajakan. Data

Bank Dunia (2008) menjelaskan iklim

investasi negara kita  masih relatif buruk,

walaupun ditemukan perbaikan pada

beberapa indikator (Tabel 19).

6. Perkembangan Indikator Investasi

negara kita 

Tidak ada perubahan signifikan pada

iklim usaha negara kita . Perubahan terbesar

muncul dari Paying Taxes pada posisi 110

dari 141, Dealing with Licenses  dan Trading

Across Borders pada level masing-masing 99

dan 41. Percepatan perbaikan iklim investasi

yang tersirat dalam Instruksi Presiden

(Inpres) Nomor 6 Tahun 2007 belum

berjalan lancar. Hal ini disebabkan

munculnya berbagai kendala dalam

pengimplementasian instruksiini ,

misalnya dari 49 rencana tindak perbaikan

iklim investasi hanya 40 rencana yang

terealisasi. Selain itu, reformasi sektor

keuangan yang menetapkan 36 rencana

tindak, hanya tercapai 28, sedang 


 


pemberdayaan UMKM hanya tercapai 28

rencana dari 34 rencana tindak. Paling ironis

adalah percepatan pembangunan

infrastruktur, dari 40 rencana tindak, yang

terealisasi hanya 13 (Bank negara kita , 2008).

7 Nilai Tukar Petani

Masalah lainnya adalah kesejahteraan

petani. Halini  tergambar dari nilai

tukar petani yang mengukur rasio antara

indeks harga yang diterima petani dan indeks

harga yang dibayar petani3. Nilai tukar petani

cenderung menurun sejak krisis ekonomi.

Tahun 1996, nilai tukar petani masih di atas

85 persen (kecuali Lampung) kemudian

menurun pada tahun berikutnya. Tekanan

terbesar terjadi saat krisis ekonomi yang

menurukan nilai tukar petani tertinggi di Jawa

Tengah sebesar 10,2 persen diikuti Nanggro

Aceh Darussalam 9,7 persen dan Sulawesi

Utara 7,8 persen (Tabel 20).

Penurunan Nilai Tukar Petani secara

langsung dipengaruhi pergerakan Harga

Pembelian Pemerintah (HPP). Selama ini

kenaikan HPP hanya sebagai strategi

pemerintah untuk memenuhi kuota Bulog

yang belum terpenuhi. Halini 

tergambar dari kebijakan pemerintah

menaikkan HPP di luar pakem sehingga

tidak mampu mendongkrak pendapatan

petani. Selayaknya kenaikan HPP dilakukan

pada musim tanam dan diberlakukan

menjelang musim panen sehingga petani

menikmati hasil panennya. Ironisnya,

kenaikan HPPini  lebih dinimati


Modal manusia dalam mendorong

pembangunan ekonomi sudah sangat

dipahami oleh para ahli ekonomi dan

pengambil kebijakan. Sehingga tidak jarang,

strategi pembangunan disebagian besar

negara memioritaskan pada pembangunan

kualitas modal manusia dengan melakukkan

perbaikan sistem pendidikan dan support

anggaran (subsidi) yang besar. Selain itu

pembangunan modal manusia diyakini tidak

hanya dapat meningkatkan produktivitas

dan pertumbuhan, namun juga berperan

sentral mempengaruhi distribusi pendapatan

di suatu perekonomian ,

Logika ini jugalah yang mendorong strategi

pengentasan kemiskinan yang bersentral

pada pentingnya pembangunan modal

manusia (human capital).

Dalam upaya mencapai pembangunan

ekonomi yang berkelanjutan (sustainable

development), sektor pendidikan memainkan

peranan yang sangat strategis khususnya

dalam mendorong akumulasi modal yang

dapat mendukung proses produksi dan

aktivitas ekonomi lainnya. Secara definisi,

seperti yang dilansir dalam World Commision

on Environmental and Development, 1997 dalam

McKeown (2002), bahwa sustainable

development adalah: “Sustainable development is

development that meets the needs of the present

without comprimising the ability of future

generations to meet their own needs.” Dalam

konteks ini, pendidikan dianggap sebagai

alat untuk mencapai target yang

berkelanjutan, karena dengan pendidikan

aktivitas pembangunan dapat tercapai,

sehingga peluang untuk meningkatkan

kualitas hidup di masa depan akan lebih

baik. Di sisi lain, dengan pendidikan, usaha

pembangunan yang lebih hijau (greener

development) dengan memperhatikan aspek-

aspek lingkungan juga mudah tercapai.

menjelaskan bahwa modal

manusia tidak hanya diidentifikasi sebagai

kontributor kunci dalam pertumbuhan dan

pengurangan kemiskinan, namun juga

mendorong tujuan pembangunan untuk

meningkatkan human freedom secara umum.

Selain itu, fokus perkembangan global saat

ini yang dicatat dalam millennium development

goals juga telah memposisikan perbaikkan

kualitas modal manusia dalam prioritas yang

utama.

Dikebanyakan negara miskin dan

berkembang, kurangnya sumberdaya dan

modal (termasuk modal manusia)

diidentifikasi sebagai penyebab utama

lemahnya daya saing dan hambatan untuk

maju. Keadaan ini secara umum disebabkan

karena lingkaran setan kemiskinan yang

menyebabkan negaraini  sulit sekali

untuk melakukkan investasi dan akumulasi

modal yang penting bagi peningkatan

kesejahteraan ekonomi. Hal ini juga

dipertegas oleh Jeffrey Sachs (2005) yang

menjelaskan bahwa salah satu penyebabnya

adalah lack of innovation, yang mana berkaitan

dengan kurangnya investasi dalam knowledge

ekonomi sehingga mengurangi insentif

masyarakat untuk berkreativitas dan

meningkatkan produktivitasnya.

Kondisi modal manusia di negara

miskin dan berkembang semakin parah

dengan adanya pengaruh globalisasi

ekonomi yang tidak terkendali. Hal ini

disebabkan karena peluang (oppurtunity)

Globalisasi ekonomi hanya bisa ditangkap

oleh mereka yang memiliki kemampuan dan

knowledge yang baik. Rendahnya kualitas

modal manusia dihampir sebagian negara

miskin dan berkembang menyebabkan

mereka sangat rentan terhadap perubahan

globalisasi yang cepat, sehingga akhirnya larut

dan dirugikan dalam proses didalamnya. Hal

ini sejalan dengan apa yang dikemukakan

dalam teori perdagangan internasional

“Heckscher-Ohlin” model, yang mana

perdagangan internasional membawa

dampak pada distribusi pendapatan

khususnya terhadap para pemilik sumber

daya maupun pekerja.

Dalam konteks ini, maka peran

pemerintah dalam mengisi gap kurangnya

modal harus dapat diisi oleh pemerintah. Hal

ini bisa dilakukan dengan meningkatkan

anggaran sosial (social spending) untuk subsidi

khususnya di sektor pendidikan.menegaskan pentingnya

peran pemerintah dalam mengisi peran

tersebut. Sebagai contoh, dengan tingginya

social spending dalam pendidikan tinggi akan

meningkatkan kesadaran akan pentingnya

pendidikan bagi keluarga dan meningkatkan

kapasitas kesehatan keluarga untuk

memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Dalam pengembangan model ekonomi

tersebut dijelaskan juga bagaimana interaksi

pendidikan dalam mendukung

pertumbuhan ekonomi secara umum.

Namun, pengembangan model juga telah

dikembangkan dengan baik oleh beberapa

peneliti (Gupta et.al., 2002a dan Hausmann,

Pritchett and Rodrik, 2005) bahwa secara

lebih spesifik efektivitas social spending

(pendidikan) bagi pertumbuhan ekonomi

juga dipengaruhi oleh aspek penting

pemerintah, dimana pemerintahan yang

buruk berkontribusi terhadap pelaksanaan

aktivitas pendidikan yang dapat mendukung

proses pembangunan.

Pendidikan dan kesehatan selain harus

dianggap sebagai suatu hak asasi dan bentuk

keadilan, juga harus difahami sebagai

perbaikan kebebasan masyarakat untuk

berkembang dan memerbaiki dirinya, lepas

dari lingkaran setan dan jeratan kemiskinan.

Efektivitas pencapaian tujuan ini tentu sangat

tergantung dari dukungan atau support

pemerintah dalam konteks penganggaran

investasi fasilitas dasar pendidikan dan

pemberian subsidi (transfer of payment)

khususnya bagi masyarakat miskin.

Dalam menyikapi permasalahan yang

berkaitan dengan pembangunan modal

manusia khususnya di negara miskin dan

berkembang, maka dalam tulisan ini akan

dibagi menjadi dua pembahasan. Pertama,

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 32

Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan

pembasahan ekonomi positif, yang erat

kaitannya dengan perspektif

makroekonomi. Dalam konteks ini selain

akan membahas bagaimana peran anggaran

(subsidi) dalam model pertumbuhan

endogen. Selain itu juga akan didiskusikan

analisis intertemporal (antar waktu) akibat

implementasi kebijakan anggaran yang

dilakukkan saat ini dan bagaimana

pengaruhnya terhadap perilaku individu

dimasa depan. Kedua, Pembahasan ekonomi

normatif, yang mana pendidikan

berkontribusi dalam proses-proses

pembangunan khususnya sebagai penguat

modal manusia (human capital) menghadapi

keterbukaan ekonomi. Dalam konteks ini,

proposisi bahwa globalisasi dapat

meningkatkan gap distribusi pendapatan yang

semakin besar seperti yang dijelaskan dalam

teori perdagangan internasional “Heckscher-

Ohlin Model”, akan dapat diredam dengan

adanya perbaikan pendidikan atau

penguatan kualitas human capital.

2. Subsidi (Kebijakan Fiskal) dalam

perspektif Makroekonomi

Sebelum memulai analisis terhadap

subsidi sebagai salah satu instrumen dalam

kebijakan fiskal, ada baiknya kita memahami

definisi dari subsidi itu sendiri. 

Dalam konteks makroekonomi,

subsidi merupakan salah satu bentuk

instrumen fiskal yang dikeluarkan oleh

pemerintah. Kebijakan fiskal pada dasarnya

merupakan respon jangka pendek dalam

siklus bisnis atau ekonomi, yang mana

dilakukan untuk menutup gap fluktuasi

output. Kebijakan ini biasanya dilakukkan

untuk mengisi kekosongan dalam aggregate

demand sehingga  perekonomian dapat

didorong hingga mendekati titik optimal

atau potensialnya. Oleh karena itu, kualitas

dari kebijakan fiskal tentu menjadi topik

kajian yang penting karena dapat

mengoptimalkan fungsi kebijakan fiskal

untuk mengatasi fluktuasi output. Namun,

meski kebijakan fiskal merupakan isu sentral

dalam kebijakan jangka pendek (short run

policy), pengaruhnya dalam jangka panjang

tidak seharusnya dihiraukan.

Di sisi pengeluaran, pengeluaran

pemerintah (government expenditure) dapat

mendukung pertumbuhan ekonomi dalam

jangka panjang. Sebagai contoh, model

pertumbuhan endogen (endogenous growth)

yang memperkenalkan pengeluaran

pemerintah sebagai mesin pertumbuhan.

Pemikirian ini disampaikan oleh Robert

Lucas (1980), yang meyakini bahwa investasi

dalam pendidikan dapat meningkatkan

modal manusia dalam perekonomian.

Investasi pendidikan dianggap memiliki

implikasi yang positif terhadap penambahan

sumber daya bagi perekonomian, sehingga

dapat meningkatkan output secara umum.

Oleh karena itu, perubahan dalam

pengeluaran bidang pendidikan yang

dipengaruhi oleh kebijakan fiskal jangka

pendek akan mendukung proses akumulasi

dalam modal manusia sehingga pada

akhirnya akan mendorong pada

pertumbuhan ekonomi. 

Namun perlu disadari bahwa disisi

penerimaan, pajak dapat mendistorsi

keputusan individu masyarakat. Hal ini secara

umum disebabkan karena distorsi pajak

akan mengubah perilaku individu

masyarakat untuk menabung dan

berinvestasi, sehingga pada akhirnya akan

mempengaruhi akumulasi modal dan

pertumbuhan ekonomi. Dalam model

Ricardian, pengeluaran pemerintah dianggap

sebagai Tax Delayed atau pajak yang tertunda.

Dalam pandangan ini, masyarakat akan

memiliki ekspektasi bahwa pajak akan

meningkat dimasa depan, akibat keadaan

defisit pada saat ini. Sehingga pandangan ini

beranggapan bahwa pengeluaran

pemerintah tidak ada bedanya dengan

distorsi pajak, dan hanya mendistorsi

ekonomi.

Singkatnya, dalam intertemporal

analisis, budget constraint pemerintah dalam

anggaran sosial (ex: subsidi pendidikan) akan

menciptakan ekspektasi masyarakat bahwa

kebijakan defisit anggaran ini akan

menyebabkan koleksi peningkatan pajak

dimasa depan. Keadaan inilah yang secara

umum akan mendorong perilaku

masyarakat untuk menahan pengeluarannya

dengan melakukkan akumulasi tabungan.

Dengan kata lain, perubahan perilaku ini

secara umum akan menyebabkan

terkoreksinya pengeluaran pemerintah

(government spending) karena melemahnya sisi

konsumsi masyarakat (salah satu Komponen

Aggregate Demand). Sehingga pada akhirnya,

mereka beranggapan kebijakan ini tidak akan

efektif mendorong pertumbuhan output.

Namun tentu saja, keadaan ini

merupakan analisis ekonomi positif yang

terjadi dalam dunia Ricardian. Social spending

sebagai bagian dari kebijakan fiskal

pemerintah, memiliki efek yang lebih luas

seperti yang dimodelkan dalam pandangan

ekonomi positif. Bahwa social spending

“pendidikan”, memiliki dimensi yang

kompleks menyangkut dimensi pendapatan

maupun non-pendapatan. Dalam dimensi

pendapatan, jika social spending bagi subsidi

pendidikan dapat meningkatkan tingkat

pengembalian yang maksimal bagi

pendapatan maka bisa dibilang bahwa social

spending bisa menjadi alat yang tepat bagi

perekonomian. Analisis ini tentu sangatlah

static, dan tidak mempertimbangkan

bagaimana pengaruhnya yang lebih luas

dalam pengembangan mental manusia, cara

berfikir, berkreasi, kebebasan dan

pengembangan inovasi yang tinggi. Bahwa

permasalahan modal manusia bukanlah

permasalahan yang sifatnya temporal,

namun lebih luas lagi menyangkut kebebasan

dan perlakuan yang lebih baik untuk

mengubah kualitas hidup manusia. Dimensi

non-pendapatan inilah yang strategis, dan

perlu kajian lebih mendalam.

3. Pendidikan dan Globalisasi

Ekonomi

Globalisasi sebagai suatu fakta yang

tidak terelakkan, telah memasuki fase baru

yang telah menciptakan dependensi yang kuat

antar ekonomi negara-negara di dunia.

Globalisasi telah memengaruhi

perekonomian dan kehidupan suatu negara

melewati beberapa channel, antara lain:

perdagangan internasional, liberalisasi

keuangan, penanaman modal asing dan

transfer teknologi. Meskipun potensi

keuntungan telah diraup oleh beberapa

negara dengan memanfaatkan era globalisasi

(ex. India dan China), namun dalam kajian

terbaru bahwa integrasi ekonomi telah

memaksa terjadinya konflik dalam distribusi

pendapatan.

Dengan semakin terbukanya

perekonomian, setidaknya ada 3 channel

penting mengapa investasi dalam modal

manusia menjadi sangat strategis. Pertama,

akumulasi modal manusia adalah determinan

penting dalam pertumbuhan dan

pengurangan kemiskinan. Kedua, karena

pendidikan memiliki peran yang penting

dalam distribusi pendapatan yang lebih

merata, maka dengan pendidikan efek gap

pendapatan yang meningkat akibat

globalisasi dapat diredam. Ketiga, aspek

penting dalam akumulasi modal manusia

bagi tatanan masyarakat adalah dengan

semakin baiknya pastisipasi politik

masyarakat yang dapat mensuport ekonomi.

(Verdier and Bourguignon, 2005)

Permasalahan utama dalam

perdagangan internasional akibat globalisasi

berkaitan dengan efek disparitas

pendapatan. Hal ini dapat disimpulkan

dalam model Hecksher-Ohlin: “A country

will be better off with trade, but owners of abundant

factors gain and owners of scarce factors lose; with

trade, owners of scarce factors will be worse off

without compensation.” Secara umum teori ini

menjelaskan bahwa sebagian masyarakat

yang tidak mampu memanfaatkan

perdagangan internasional karena tidak

memiliki sumber daya yang dibutuhkan

perekonomian, akan mengalami kerugian

akibat perdagangan. Jika teori ini kita

kembangkan lebih luas dalam konteks

knowledge economy, maka sebagian masyarakat

yang tidak memiliki pengetahuan yang

cukup sudah pasti akan dirugikan karena

mereka tidak akan mampu mengambil

kesempatan (oppurtunity) dalam

perekonomian.

Pengembangan model di atas memiliki

asumsi dengan keadaan pasar kredit yang

tidak sempurna (imperfect credit markets),

maka masyarakat miskin akan mengalami

kesulitan likuiditas untuk mendapatkan akses

pinjaman untuk melakukkan investasi di

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 35

Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan

dunia pendidikan. Hal ini yang secara tidak

langsung akan memengaruhi kemampuan

masyarakat miskin untuk mengubah kualitas

hidupnya dan mengambil keuntungan dalam

globalisasi. Dalam perspektif pendapatan,

akibat ketidakmampuan melakukan investasi

dalam pendidikan, masyarakat miskin tidak

akan dapat menikmati perbaikan

pendapatan sehingga menimbulkan

disparitas pendapatan yang tinggi dengan

mereka yang dapat menikmati keuntungan

globalisasi (orang kaya).

Namun, keadaan ini seharusnya tidak

terjadi jika pemerintah tahu betul posisinya

dalam memecahkan masalah ini. Hal yang

bisa dilakukan oleh pemerintah untuk

mengatasi permasalahan ini adalah dengan

menutupi kekurangan likuiditas masyarakat

miskin dengan meningkatkan anggaran

subsidi dalam dunia pendidikan. Realisasi ini

hanya bisa dicapai jika tekanan politik

masyarakat untuk menginginkan halini 

dapat tercapai. Hal yang perlu disadari

bahwa pemerintah yang memberikan

prioritas terhadap kapabilitas dasar manusia

(kesehatan dan pendidikan) tidak hanya

dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakatnya, namun juga akan

mendorong perbaikan dalam distribusi

pendapatan dalam jangka panjang. Selain itu,

kontributor kunci bagi pembangunan

“pendidikan” tidak hanya memberikan

keuntungan dalam dimensi pendapatan,

namun juga berkontribusi pada dimensi non

pendapatan. (Becker, 1964; Schultz, 1981

dalam Heckman, 2005).

Keuntungan dari modal manusia tentu

memiliki pengaruh yang luas dalam

perekonomian, khususnya bagaimana

kontribusi modal manusia dalam

mendorong produktivitas, serta

mengembangkan adaptibility dan efisiensi

alokasi. Pertama, berkaitan dengan kontribusi

modal manusia. Investasi dalam pendidikan

(training) secara umum akan meningkatkan

skill pekerja, sehingga pada akhirnya

produktivitas mereka dalam bekerja dapat

ditingkatkan secara optimal. Selanjutnya,

dalam kaitannya dengan pengembangan

adaptibility dan efisiensi alokasi. Bahwa

dengan semakin meningkatnya kualitas

modal manusia dalam perekonomian, maka

pekerja yang berskill baik akan lebih pintar

untuk mengalokasikan sumberdaya yang ada

untuk setiap pekerjaan serta lebih mudah

untuk beradaptasi dengan adanya

perubahan kondisi dan menangkap peluang.

Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan

Nelson and Phelps, 1966; Schultz, 1975

dalam Heckman 2005.

Selain itu, dengan semakin baiknya skill

yang dimiliki oleh pekerja, yang berarti

semakin baik modal manusia, maka

kemampuan individu untuk menuangkan ide

baru, mengadopsi teknologi baru dan

mengimplementasi pengetahuan yang datang

dari luar akan semakin mudah. Dengan

semakin meningkatnya keterbukaan

terhadap dunia luar, maka kebutuhan modal

manusia yang dapat mengabsorp teknologi

dari luar menjadi sangat penting.

Ketidakseimbangan strategi investasi dapat

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 36

Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan

mengurangi rate of  return on investment, karena

manusia sebagai operator yang ada dibalik

penggunaan mesinini  tidak mampu

secara optimal mengaplikasikannya.

Selanjutnya, modal manusia di sektor

pertanian (agriculture) juga sangat penting,

yaitu bagaimana modal manusia dapat

menangkap perubahan pasar dan

menerapkan teknologi. Angkatan kerja

dengan pendidikan yang baik dapat

mengambil keputusan yang baik, baik dalam

sektor pertanian maupun industri perkotaan.

Overinvestment disalah satu sektor dengan

mengabaikan investasi sektor pendukungnya

dapat menyebabkan kehilangan

kesejahteraan (welfare lost) dan

ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Dalam kasus yang spesifik, yaitu sektor

pertanian. Rendahnya produktivitas petani

salah satunya disebabkan oleh rendahnya

kualitas pendidikan petani. Sebagai pekerja

disektor yang subsistem, yang memiliki ruang

gerak yang sempit untuk berkembang dan

meningkatkan pendapatan. Para petani di

negara berkembang terperangkap dalam

kondisi yang kurang menguntungkan,

bahkan mereka dikategorikan sebagai

pekerja yang tidak berkeahlian (unskilled

labour) dengan pendapatan yang sangat

minimal. Dalam kondisi ini, tentu saja

investasi masa depan dalam dunia

pendidikan hanya sebagai angan-angan dan

impian semu.

Selain tidak mampu meningkatkan

kualitas kehidupannya dimasa depan akibat

minimnya pendidikan, keadaan ini juga akan

memengaruhi produktivitas petani dalam

produksinya. Dalam beberapa penelitian

yang ada, pendidikan (literacy and numeracy)

akan membantu petani dalam

mengaplikasikan metode baru dalam

pertanian, mengatasi risiko dan merespon

sinyal pasar. Selain itu, dengan pendidikan

(literacy and numeracy) petani akan lebih baik

dalam melakukan pencampuran bahan

kimia (pupuk dan pestisida) sehingga

mengurangi bahaya bagi manusia dan

lingkungan. Terakhir, pendidikan dasar akan

memudahkan para petani untuk melakukan

pinjaman pada lembaga keuangan, untuk

kebutuhan investasi pertanian.

Di sisi lain, keadaan ini akan juga lebih

baik jika akses pendidikan bagi masyarakat

miskin juga bisa diakses dengan lebih baik

bagi para wanita. Dengan semakin baiknya

tingkat pendidikan wanita dalam keluarga,

maka perencanaan pendidikan dan

kehidupan yang lebih baik dalam keluarga

akan semakin mudah untuk terealisasi. Hal

inilah yang secara umum akan membantu

mendorong pencapaian tujuan

pembangunan secara aggregat.

4. Policy Implication: Kebijakan

anggaran (subsidi) yang pro-poor

dan pro-growth.

Dalam memahami permasalahan

kemiskinan dan disparitas pendapatan yang

mengancam akibat derasnya era globalisasi.

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 37

Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan

Maka diperlukan keberanian dan upaya

strategis pemerintah untuk meredamnya.

Dalam konteks ini peran strategis pemerintah

ada pada keputusan politik anggaran (subsidi)

untuk perbaikan kualitas pendidikan

masyarakat, khususnya masyarakat miskin.

Hal ini juga dipertegas oleh penelitian yang

dilakukan oleh Cui et.,al. 2008 yang

menunjukkan bahwa investasi pendidikan

dan kesehatan memiliki kontribusi yang

positif terhadap pertumbuhan output, namun

dengan rute mekanisme yang berbeda.

Selanjutnya dalam penelitian itu dijelaskan

bahwa keadaan pemerintah yang baik (good

governance) mendukung efektifitas

pengeluaran pemerintah terhadap

pertumbuhan output.

Berdasarkan Sumarto dan Mawardi,

2003, pemerintah memiliki peran yang

strategis dalam mengarahkan kebijakan

anggarannya ke kebijakan publik yang

memihak masyarakat tidak mampu. Hal ini

dilakukkan agar kebijakan anggaran dapat

memperbaiki kualitas pendidikan

masyarakat, khususnya masyarakat miskin.

Setidaknya ada tiga hal utama yang

dijelaskan dalam paparanya, antara lain

pentingnya: political willingness, iklim yang

mendukung dan tata pemerintahan yang

baik. Pertama, dalam konteks “Political

Willingness”. Perlu adanya komitmen kuat dari

pemerintah untuk bertanggungjawab dalam

penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi

sangat penting agar penyusunan program-

program yang pro poor dapat menempatkan

program kemiskinan pada prioritas utama.

Kedua, Iklim yang Mendukung. Iklim atau

kondisi yang mendukung untuk penyusunan

kebijakan anggaran yang pro poor dapat

berjalan jika ada kesadaran kolektif bahwa

kemiskinan adalah permasalahan utama

yang harus diselesaikan. Di sisi lain, perlu juga

dukungan peraturan dan kebijakan strategis

yang mendukung penanggulangan

kemiskinan.

Ketiga, adalah Tata Pemerintahan yang

Baik (good governance). Mengingat kemiskinan

bersifat multidimensi, maka

penanggulangannya tidak cukup hanya

dengan mengandalkan pendekatan

ekonomi, melainkan memerlukan kebijakan

dan program di bidang sosial, politik, hukum

dan kelembagaan. Dengan kata lain

diperlukan adanya tata pemerintahan yang

baik (good governance) dari lembaga-lembaga

pemerintahan, terutama birokrasi

pemerintahan, legislatif, lembaga hukum dan

pelayanan umum lainnya.

5. Kesimpulan

Subsidi, sebagai salah satu instrumen

dalam kebijakan fiskal memiliki peran yang

strategis baik dalam jangka pendek maupun

jangka panjang. Dalam jangka pendek, kita

sudah faham betul bagaimana dalam

ananalisis IS-LM (pasar uang dan barang)

kebijakanini  dapat mendorong output

ke titik potensialnya. Namun perlu difahami

lebih mendalam, bahwa dimensi anggaran

Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 38

Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan

khususnya anggaran bagi subisidi sektor yang

strategis seperti Pendidikan, memiliki

dimensi yang tidak temporer dan tidak

sempit.

Peranan analisis intertemporal dengan

melihat sisi anggaran secara unsich bisa

menjadi penting untuk dipertimbangkan.

Bahwa dengan constraint budget yang semakin

ketat, maka pengaruh kebijakan defisit

anggaran yang berlebihan akan

menyebabkan permasalahan bagi

perekonomian itu sendiri. Oleh karena itu

selain dibutuhkan reformulasi hitung-

hitungan anggaran yang tepat, dibutuhkan

juga perilaku good governance dari pemerintah

untuk meyakinkan bahwa anggaran sosial

(subsidi pendidikan) benar-benar telah

diserap sepenuhnya sesuai dengan yang

dianggarkan.

Dalam meng

Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive