Tampilkan postingan dengan label korupsi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label korupsi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

korupsi










Pada tahun 2005, menurut data Pacific Economic and Risk Consultancy, 
Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia. 
Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi di setiap 
tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari mengurus Ijin 
Mendirikan Bangunan,  proyek pengadaan di instansi pemerintah sampai  
proses penegakan hukum. 
Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan 
wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi hadiah kepada 
pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah 
pelayanan. Kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian 
dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif  ini lama-lama akan menjadi 
bibit-bibit korupsi yang nyata. 
Kebiasaan berperilaku koruptif  yang terus berlangsung di kalangan 
masyarakat salah satunya disebabkan masih sangat kurangnya 
pemahaman mereka terhadap pengertian korupsi. Selama ini, kosa kata 
korupsi sudah populer di  Indonesia.  Hampir semua orang pernah 
mendengar kata korupsi. Dari mulai rakyat di pedalaman, mahasiswa, 
pegawai negeri, orang swasta, aparat penegak hukum sampai pejabat 
negara. Namun jika ditanyakan kepada mereka apa itu korupsi, jenis 
perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana 
korupsi? Hampir dipastikan sangat sedikit yang dapat menjawab secara 
benar tentang bentuk/jenis korupsi sebagaimana dimaksud oleh undang-
undang.  
Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam 
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam undang-
undang ini  dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 
(KUHP) yang lahir sebelum negara ini merdeka. Namun, sampai dengan 
saat ini pemahaman masyarakat terhadap pengertian korupsi masih 
sangat kurang.
K KP
-- 
-- 
2
Menjadi lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal 
yang mudah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. 
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan 
Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif  yang selama ini 
dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai 
tindak pidana korupsi. Seperti gratifikasi (pemberian hadiah) kepada 
penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak 
dilaporkan ke KPK dapat menjadi salah satu bentuk tindak pidana 
korupsi. 
Mengetahui bentuk/jenis perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai 
korupsi adalah upaya dini untuk mencegah agar seseorang tidak 
melakukan korupsi. Buku ini sengaja diterbitkan dengan tujuan agar 
masyarakat dapat memahami dengan lebih mudah dan lebih tepat 
tentang bentuk/jenis korupsi sebagaimana dimaksud oleh undang-
undang.  
Format penyajian berbentuk matrik unsur tindak pidana korupsi yang 
memuat unsur-unsur dari setiap bentuk/jenis tindak pidana korupsi 
dimaksudkan agar masyarakat lebih mudah memahami bagaimana  
cara menganalisa suatu perbuatan. Tujuannya, masyarakat dapat 
menyimpulkan apakah perbuatan ini  merupakan tindak pidana 
korupsi. Pada akhirnya, masyarakat dapat lebih mudah memahami 
perbuatan yang harus kita hindari, yaitu korupsi.
Salam Anti Korupsi
Pimpinan KPK
K KP
-- 
-- 
-- 
3
CONTOH MENGANALISIS 
SUATU KEJADIAN 
DENGAN memakai  
MATRIK TINDAK 
PIDANA KORUPSI
CONTOH KASUS PERTAMA
B selaku Dirut BUMN telah menjual tanah negara yang merupakan aset perusahaan 
(BUMN) yang dipimpinnya kepada F seluas 50 Ha. Akan tetapi sebelum melakukan 
transaksi penjualan B mengadakan beberapa kali pertemuan dengan F sehingga 
tercapai kesepakatan bahwa B akan menurunkan harga NJOP tanah serta sistem 
pembayaran dari F akan dilakukan secara bertahap. Kemudian B meminta kepada F 
agar menyertakan 2 perusahaan pendamping untuk memenuhi persyaratan formal 
dalam proses lelang. 
Selanjutnya, B mengupayakan penurunan harga NJOP atas tanah sehingga NJOP 
tanah ini  menjadi sesuai dengan kesepakatan harga yang telah dibuatnya dengan 
F dan meminta suatu perusahaan appraisal untuk membuat taksiran harga jual sesuai 
dengan permintaannya. 
B kemudian mengatur siasat agar penjualan seolah-olah sesuai dengan prosedur 
dengan cara membentuk panitia penaksir harga dan panitia penjualan, akan tetapi B 
lebih dahulu memberikan pengarahan kepada panitia penaksir harga agar 
menetapkan harga jual sesuai dengan keinginannya dan memerintahkan panitia 
penjualan agar penawaran dibatasi hanya untuk F dan 2 perusahaan lain yang 
disodorkan oleh F serta sistem pembayaran di dalam RKS dilakukan secara bertahap. 
Sebenarnya, perbuatan B ini  telah bertentangan dengan SK Menkeu tentang 
penjualan aset negara dengan prosedur lelang terbuka untuk umum.
Pada tanggal 10 Januari 2005 aset berupa tanah ini  dijual kepada F di depan 
Notaris dengan harga Rp 100 M, padahal menurut SK Meneg BUMN penjualan 
tanah aset BUMN adalah sesuai dengan NJOP tertinggi tahun berjalan atau harga 
pasar sehingga seharusnya aset ini  dijual dengan harga Rp 150 M.
Dalam proses penjualan aset ini , F mentransfer uang sebesar Rp. 15 M ke 
rekening milik B.
Atas perbuatan B ini  negara c.q. perusahaan BUMN ini  telah dirugikan 
sebesar Rp. 50 M.
Kasus diatas selanjutnya dianalisis dengan memakai  matrik unsur tindak pidana 
korupsi Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dengan hasil 
sebagai berikut;
5
-- 
-- 
6
-- 
ANALISIS KASUS PERTAMA
K KP
-- 
Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) 
, dipidana dengan pidana 
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda 
paling sedikit Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar  rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati 
dapat dijatuhkan.
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan  perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau 
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
No Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
1 Setiap orang
2 Memperkaya diri 
sendiri, orang lain 
atau suatu 
korporasi
3 Dengan 
cara
melawan 
hukum
4. Dapat merugikan 
keuangan negara 
atau
Perekonomian 
negara
B adalah seorang Dirut BUMN
- Pada tanggal 10 Januari 2005 B mendapat transfer uang 
sebesar Rp 15 M dari F
- F telah mendapat kekayaan berupa aset tanah seluas 50 
Ha dengan harga dibawah NJOP/harga pasar
- B telah menjual tanah negara aset perusahaan (BUMN) 
yang dipimpinnya kepada F seluas 50 Ha.
- Sebelum menjual, B mengadakan beberapa kali
pertemuan dengan F untuk melakukan negosiasi harga 
dan tata cara pembayaran.
- Setelah tercapai kesepakatan, B mengupayakan 
penurunan harga NJOP atas tanah sehingga sesuai 
dengan kesepakatannya dengan F 
- B meminta F agar mencari 2 perusahaan lain untuk 
melengkapi persyaratan administrasi penjualan secara 
lelang.
- B menunjuk panitia penaksir harga dan panitia 
penjualan untuk memenuhi formalitas administrasi 
proses penjualan secara lelang serta telah menetapkan 
harga tanah dan pembelinya serta sistem pembayaran 
secara bertahap.
- Padahal menurut SK Menkeu penjualan harus dengan 
prosedur lelang  terbuka untuk umum dan 
pembayarannya harus dengan tunai.
- Pada tanggal 10 Januari 2005 aset tanah ini  dijual 
dengan harga Rp 100 M, padahal menurut SK Meneg 
BUMN penjualan tanah aset BUMN adalah sesuai 
dengan NJOP tertinggi tahun berjalan dan atau harga 
pasar sehingga seharusnya aset ini  dijual dengan 
harga Rp 150 M.
Negara dirugikan sebesar Rp 50 M
- Keterangan dari Terdakwa B
- KTP A/n B
- SK pengangkatan B sebagai 
Dirut BUMN
- Keterangan dari Terdakwa B
- Keterangan dari Saksi F
- Keterangan dari Petugas 
Bank
- Print-out rekening bank
- Keterangan dari Saksi F
- Keterangan dari Panitia 
penaksir Harga
- Keterangan dari Panitia 
penjualan
- Keterangan dari Kantor PBB
- Keterangan dari Perusahaan 
Appraisal
- Keterangan dari Komisaris 
Perusahaan 
- Keterangan dari Para Direksi
- Keterangan dari Notaris
- Surat, seperti dokumen yang 
berhubungan dengan 
penjualan, NJOP tanah, SK 
Panitia. 
- SK Menteri Keuangan 
- SK Meneg 
BUMN
- Akta Jual Beli 
- Sertifikat tanah
- Kwitansi penjualan
- Print-out Rekening Koran 
Perusahaan BUMN
- Keterangan dari Ahli dari 
BPKP
- Surat berupa laporan hasil 
perhitungan kerugian 
keuangan negara.
KESIMPULAN:
Keempat unsur tindak pidana korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 
terpenuhi.  Keseluruhan rangkaian perbuatan yang telah dilakukan oleh B adalah sebuah tindak pidana 
korupsi berdasarkan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 sehingga B dituntut untuk 
dipidana penjara.
7
-- 
CONTOH KASUS KEDUA
W salah seorang pejabat di sebuah lembaga Negara dan telah ditunjuk menjadi ketua 
panitia/penanggungjawab proyek pengadaan barang pada tahun 2005 di lembaga 
ini .
Pada akhir tahun anggaran, S selaku salah seorang pemeriksa dari instansi yang 
berwenang melakukan pemeriksaan keuangan telah ditugaskan untuk melakukan 
pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan atas proses pengadaan barang yang telah 
dilakukan oleh W. Dalam melakukan pemeriksaan, S menemukan adanya sejumlah 
indikasi penyimpangan dalam proses pengadaan yang memicu  timbulnya 
kerugian negara. W mengetahui hal ini , lalu berusaha melakukan pendekatan 
kepada S dengan menawarkan uang sebesar Rp 300 juta dan menyampaikan 
keinginannya kepada S supaya temuan indikasi penyimpangan itu dihilangkan dari 
laporan hasil pemeriksaan.
S melaporkan upaya pemberian uang ini  kepada Penyidik yang kemudian 
ditindak lanjuti dengan melakukan perekaman terhadap pembicaraan W dengan S 
serta merekam proses pemberian uang yang dilakukan oleh W kepada S. Pada saat W 
memberikan uang kepada S, Penyidik melakukan penangkapan. 
Kasus di atas selanjutnya dianalisis dengan memakai  matrik unsur tindak pidana 
korupsi Pasal 5 ayat (1) huruf  a UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 
dengan hasil sebagai berikut;
K KP
-- 
8
-- 
ANALISIS KASUS KEDUA
K KP
-- 
No Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
1. Setiap orang
2. Memberi 
sesuatu atau 
menjanjikan 
sesuatu
3. Kepada 
pegawai negeri 
atau 
penyelenggara 
negara
4. Dengan maksud 
supaya berbuat 
atau tidak 
berbuat sesuatu 
dalam jabatannya 
sehingga 
bertentangan 
dengan 
kewajibannya
- W salah seorang pejabat di sebuah lembaga Negara.
- W adalah ketua panitia/penanggungjawab proyek 
pengadaan barang di lembaga ini .
- W memberi uang Rp 300 jt kepada S. 
- S melaporkan kepada Penyidik tentang rencana 
pemberian uang oleh W.
- S adalah seorang pegawai negeri di salah satu lembaga 
negara yang berfungsi sebagai pemeriksa keuangan 
negara.
- S sedang melakukan pemeriksaan pertanggungjawaban 
keuangan atas pelaksanaan pengadaan barang yang 
dilakukan oleh W.  
- Pemberian uang oleh W kepada S dimaksudkan agar S 
dalam membuat laporan hasil pemeriksaan tidak 
mencantumkan temuan tentang adanya indikasi 
penyimpangan dalam pengadaan barang.
- W mengetahui bahwa hal ini  bertentangan 
dengan kewajiban S selaku pemeriksa. 
- Keterangan dari Terdakwa 
W
- KTP A/n W
- SK sebagai ketua panitia
- Keterangan dari Terdakwa 
W dan Keterangan dari Saksi 
S
- Keterangan dari Petugas 
Penyidik yang melakukan 
penangkapan.
- Alat bukti petunjuk berupa:
   1. Hasil perekaman oleh 
Penyidik tentang rekaman 
peristiwa pemberian uang 
dari Terdakwa W kepada 
Saksi S  
   2. Uang tunai Rp 300 jt
- Keterangan dari Saksi S
- SK S sebagai Pegawai 
Negeri.
- Surat Tugas S untuk 
melakukan pemeriksaan di 
lembaga W
- Keterangan dari Atasan S. 
- Keterangan dari Terdakwa 
W dan Keterangan dari Saksi 
S
- Keterangan dari Anggota 
Tim S
- Keterangan dari Atasan S
- Surat berupa Laporan Hasil  
Pemeriksaan Keuangan.
KESIMPULAN:
Keempat unsur tindak pidana korupsi pada Pasal 5 ayat (1) huruf  a UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 
Tahun 2001  terpenuhi. Keseluruhan rangkaian perbuatan yang telah dilakukan oleh W adalah sebuah tindak 
pidana korupsi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf  a UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 
2001sehingga W dituntut untuk dipidana penjara.
Pasal 5 ayat (1) huruf  a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling 
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh  juta rupiah) 
b. ....
setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud 
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara ini  berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam 
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
9
-- 
CONTOH KASUS KETIGA
X selaku Panitera pada salah satu Pengadilan Negeri di Jakarta adalah panitera dalam 
perkara penipuan dengan Terdakwa Y (Terdakwa Y dalam perkara penipuannya tidak 
ditahan).
Pada tanggal 2 Januari 2006, X didatangi oleh Y di ruang kerjanya untuk melobi Ketua 
Majelis Hakim yaitu Hakim A yang menangani perkara ini  agar dalam putusan 
persidangan Y dinyatakan tidak terbukti bersalah dan diputus bebas, dan X akan 
mendapat uang dari Y.  Terhadap hal ini , X menyanggupi dan meminta agar 
uang ini  diserahkan terlebih dahulu kepadanya sebelum perkaranya diputus. 
Pada tanggal 10 Januari 2006 sekitar pukul 14.00 WIB, Y mendatangi X diruang 
kerjanya dengan membawa satu buah tas hitam yang di dalamnya berisi uang Rp 500 
juta dan menyerahkannya kepada X, lalu X menerima tas yang berisi uang ini .
Pada tanggal 24 Januari 2006, dalam sidang perkara penipuan dengan Terdakwa Y, 
ternyata majelis hakim menyatakan Terdakwa Y terbukti bersalah melakukan 
penipuan dan menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 5 tahun. Mendengar 
putusan ini , Terdakwa Y langsung marah dan berteriak bahwa seharusnya ia 
dibebaskan karena ia telah menyerahkan uang Rp 500 juta kepada X. 
Atas kejadian ini , Y melaporkan X ke Polres. Dalam pengakuannya X 
menyatakan ia telah melobi Hakim A selaku Ketua Majelis Hakim, namun Hakim A 
tidak bersedia membantu Y, sedangkan uang Rp 500 juta telah habis ia gunakan untuk 
membayar hutang-hutangnya.
Polres kemudian melakukan penyidikan dengan menetapkan X dan Y, masing-masing 
sebagai Tersangka (berkas terpisah) dan perkara ini  oleh Jaksa dilimpahkan ke 
Pengadilan Negeri.
Kasus di atas selanjutnya dianalisis dengan memakai  matrik unsur tindak pidana 
korupsi Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 dengan hasil 
sebagai berikut;
K KP
-- 
10
-- 
ANALISIS KASUS KETIGA
K KP
-- 
No Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
1. Pegawai negeri 
atau 
penyelenggara 
negara
2 Menerima 
hadiah atau 
janji
3 Diketahuinya
4      Patut diduga 
bahwa hadiah 
atau janji 
ini  
diberikan 
karena 
kekuasaan atau 
kewenangan 
yang 
berhubungan 
dengan 
jabatannya dan 
menurut 
pikiran orang 
yang 
memberikan 
hadiah atau 
janji ini  
ada hubungan 
dengan 
jabatannya
Si “X” selaku Panitera Pengadilan Negeri
Pada tgl 10 Januari  2006 di ruang kerjanya, X menerima 
uang sejumlah Rp 500 juta dari si “Y”
Si “Y” mengetahui
Dengan uang Rp 500 juta ini ,  “X” selaku Panitera 
dapat melakukan pendekatan / melobi hakim yang 
memeriksa perkaranya untuk memenangkan perkaranya.
- Keterangan dari Saksi Adan 
Saksi Y
- Keterangan dari Terdakwa X
- SK Pengangkatan selaku 
Panitera
- Keterangan dari Saksi Y.
- Keterangan dari Terdakwa X
- Keterangan dari Saksi-saksi 
lain
- Sebagian dari uang Rp 500 
juta
Keterangan dari Saksi Y
- Keterangan dari Saksi Y dan 
Saksi A
- Keterangan dari Terdakwa X
KESIMPULAN:
Keempat unsur tindak pidana korupsi pada Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 
terpenuhi.  Keseluruhan rangkaian perbuatan yang telah dilakukan oleh X adalah sebuah tindak pidana 
korupsi berdasarkan Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 sehingga X dituntut untuk 
dipidana penjara.
Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling 
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, 
bahwa hadiah atau janji ini  diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan 
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji ini  ada hubungan dengan 
jabatannya.
11
-- 
CONTOH KASUS KEEMPAT
X selaku Panitera pada salah satu Pengadilan Negeri di Jakarta adalah panitera dalam 
perkara penipuan dengan Terdakwa Y (Terdakwa Y dalam perkara penipuannya tidak 
ditahan).
Pada tanggal 2 Januari 2006, X didatangi oleh Y di ruang kerjanya untuk melobi Ketua 
Majelis Hakim yaitu Hakim A yang menangani perkara ini  agar dalam putusan 
persidangan Y dinyatakan tidak terbukti bersalah dan diputus bebas, dan X akan 
mendapat uang dari Y.  Terhadap hal ini , X menyanggupi dan meminta agar 
uang ini  diserahkan terlebih dahulu kepadanya sebelum perkaranya diputus. 
Pada tanggal 10 Januari 2006 sekitar pukul 14.00 WIB, Y mendatangi X diruang 
kerjanya dengan membawa satu buah tas hitam yang di dalamnya berisi uang Rp 500 
juta dan menyerahkannya kepada X, lalu X menerima tas yang berisi uang ini .
Pada tanggal 24 Januari 2006, dalam sidang perkara penipuan dengan Terdakwa Y, 
ternyata majelis hakim menyatakan Terdakwa Y terbukti bersalah melakukan 
penipuan dan menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 5 tahun. Mendengar 
putusan ini , Terdakwa Y langsung marah dan berteriak bahwa seharusnya ia 
dibebaskan karena ia telah menyerahkan uang Rp 500 juta kepada X. 
Atas kejadian ini , Y melaporkan X ke Polres. Dalam pengakuannya X 
menyatakan ia telah melobi Hakim A selaku Ketua Majelis Hakim, namun Hakim A 
tidak bersedia membantu Y, sedangkan uang Rp 500 juta telah habis ia gunakan untuk 
membayar hutang-hutangnya.
Polres kemudian melakukan penyidikan dengan menetapkan X dan Y, masing-masing 
sebagai Tersangka (berkas terpisah) dan perkara ini  oleh Jaksa dilimpahkan ke 
Pengadilan Negeri.
Kasus di atas selanjutnya dianalisis dengan memakai  matrik unsur tindak pidana 
korupsi Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 dengan hasil 
sebagai berikut;
K KP
-- 
12
-- 
ANALISIS KASUS KEEMPAT
K KP
-- 
Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang 
yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan 
atau kedudukan ini , 
No Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
1 Setiap orang
2 Memberi 
hadiah atau 
janji
3 Kepada 
pegawai negeri
4 Dengan 
mengingat 
kekuasaan atau 
wewenang 
yang melekat 
pada jabatan 
atau 
kedudukannya, 
atau oleh 
pemberi 
hadiah atau 
janji dianggap, 
melekat pada 
jabatan atau 
kedudukan 
ini 
Si “Y”
Pada tanggal 10 Januari 2006 di ruang kerja X, Y 
memberikan uang sejumlah Rp  500 juta kepada X
X selaku Panitera Pengadilan Negeri
Y mengetahui selaku Panitera yang memegang perkaranya 
dapat melobi Ketua Majelis Hakim yang menangani 
perkaranya untuk membebaskan Y dalam perkara 
penipuan yang telah dilakukannya.
- Keterangan dari Saksi X
- Keterangan dari Saksi lain
- Keterangan dari Terdakwa Y
- Keterangan dari Saksi X
- Keterangan dari Terdakwa Y
- Keterangan dari Saksi-saksi 
lain
- Sebagian dari uang Rp 500 
juta 
- Keterangan dari Saksi X
- Keterangan dari Saksi lain
- SK Pengangkatan selaku 
Panitera
Keterangan dari Terdakwa Y
KESIMPULAN:
Keempat unsur tindak pidana korupsi pada Pasal 13 UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001terpenuhi.  
Keseluruhan rangkaian perbuatan yang telah dilakukan oleh Y adalah sebuah tindak pidana korupsi 
berdasarkan Pasal 13 UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 sehingga Y dituntut untuk dipidana penjara.
13
-- 
-- 
TINDAK
PIDANA KORUPSI
15
-- 
-- 
Menurut perspektif  hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan 
dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. 
Berdasarkan pasal-pasal ini , korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh 
bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal ini  menerangkan secara 
terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena 
korupsi.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi ini  perinciannya adalah 
sebagai berikut:
1) Pasal 2;
2) Pasal 3;
3) Pasal 5 ayat (1) huruf  a; 
4) Pasal 5 ayat (1) huruf  b;
5) Pasal 5 ayat (2);
6) Pasal 6 ayat (1) huruf  a;
7) Pasal 6 ayat (1) huruf  b;
8) Pasal 6 ayat (2);
9) Pasal 7 ayat (1) huruf  a;
10) Pasal 7 ayat (1) huruf  b;
11) Pasal 7 ayat (1) huruf  c;
12) Pasal 7 ayat (1) huruf  d;
13) Pasal 7 ayat (2);
14) Pasal 8;
15) Pasal 9;
16) Pasal 10 huruf  a;
17) Pasal 10 huruf  b;
18) Pasal 10 huruf  c;
19) Pasal 11;
20) Pasal 12 huruf  a;
21) Pasal 12 huruf  b;
22)  Pasal 12 huruf  c;
23) Pasal 12 huruf  d;
24) Pasal 12 huruf  e;
25) Pasal 12 huruf  f;
26) Pasal 12 huruf  g;
27) Pasal 12 huruf  h;
28) Pasal 12 huruf  i;
29) Pasal 12 B jo. Pasal 12 C; dan
30) Pasal 13.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN KORUPSI?
16
-- 
-- 
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi ini  pada dasarnya dapat 
dikelompokkan sebagai berikut:
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi ini  pada dasarnya dapat 
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara:
- Pasal 2 
- Pasal 3
2. Suap-menyuap:
- Pasal 5 ayat (1) huruf  a
- Pasal 5 ayat (1) huruf  b
- Pasal 13
- Pasal 5 ayat (2)
- Pasal 12 huruf  a
- Pasal 12 huruf  b
- Pasal 11
- Pasal 6 ayat (1) huruf  a
- Pasal 6 ayat (1) huruf  b
- Pasal 6 ayat (2)
- Pasal 12 huruf  c
- Pasal 12 huruf  d
3. Penggelapan dalam jabatan:
- Pasal 8
- Pasal 9
- Pasal 10 huruf  a
- Pasal 10 huruf  b
- Pasal 10 huruf  c
4. Pemerasan:
 - Pasal 12 huruf  e
- Pasal 12 huruf  g
- Pasal 12 huruf  h
5. Perbuatan curang:
- Pasal 7 ayat (1) huruf  a
- Pasal 7 ayat (1) huruf  b
- Pasal 7 ayat (1) huruf  c
- Pasal 7 ayat (1) huruf  d
- Pasal 7 ayat (2)
- Pasal 12 huruf  h
-- 
-- 
17
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan:
- Pasal 12 huruf  i
7. Gratifikasi:
- Pasal 12 B jo. Pasal 12 C
Selain definisi tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan di atas, masih ada 
tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak 
pidana lain itu tertuang pada Pasal 21, 22, 23, dan 24 Bab III UU No. 31 Tahun 
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi. 
Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas:
1.  Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi: 
- Pasal 21
2.  Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar:
- Pasal 22  jo. Pasal 28
 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka:
- Pasal 22 jo. Pasal 29
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan 
palsu:
- Pasal 22 jo. Pasal 35 
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan      
keterangan atau memberi keterangan palsu:
- Pasal 22 jo. Pasal 36
 6. Saksi yang membuka identitas pelapor:  
- Pasal 24 jo. Pasal 31   
-- 
-- 
18
19
-- 
-- 
20
KORUPSI YANG TERKAIT DENGAN
KERUGIAN 
KEUANGAN NEGARA
PASAL 2
PASAL 3
-- 
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam 
Pasal 1 ayat (1) huruf  a UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada 
masuknya kata “dapat” sebelum unsur “merugikan keuangan/perekonomian 
negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk yang 
paling banyak dipakai  untuk memidana koruptor.
MELAWAN HUKUM 
UNTUK MEMPERKAYA DIRI DAN 
DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA 
ADALAH KORUPSI  
Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) 
, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup  
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun 
dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 
1.000.000.000,00 (satu miliar  rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam 
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan  perbuatan memperkaya 
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan 
negara atau perekonomian negara
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
1 Setiap orang
2 Memperkaya diri sendiri, orang 
lain atau suatu korporasi
3 Dengan cara melawan hukum
4. Dapat merugikan keuangan negara 
atau perekonomian negara
KESIMPULAN:
21
-- 
-- 
CATATAN :
22
-- 
-- 
23
-- 
Rumusan korupsi yang ada pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali 
termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  b UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan 
terletak pada masuknya kata “dapat” sebelum unsur “merugikan 
keuangan/perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat 
ini, pasal ini termasuk yang paling banyak dipakai  untuk memidana koruptor.
MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN 
UNTUK MENGUNTUNGKAN DIRI 
DAN DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA 
ADALAH KORUPSI 
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana 
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda 
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau 
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada 
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara 
atau perekonomian negara
1 Setiap orang
2 Dengan tujuan menguntungkan diri 
sendiri atau orang lain atau suatu 
korporasi
3 Menyalahgunakan kewenangan, 
kesempatan atau sarana 
4 Yang ada padanya karena jabatan 
atau kedudukan
5 Dapat merugikan keuangan negara 
atau perekonomian negara
KESIMPULAN :
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
24
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
25
-- 
-- 
KORUPSI YANG TERKAIT DENGAN
SUAP - MENYUAP
Pasal 5 ayat (1) huruf  a
Pasal 5 ayat (1) huruf  b
Pasal 13
Pasal 5 ayat (2)
Pasal 12 huruf  a
Pasal 12 huruf  b
Pasal 11
Pasal 6 ayat (1) huruf  a
Pasal 6 ayat (1) huruf  b
Pasal 6 ayat (2)
Pasal 12 huruf  c
Pasal 12 huruf  d
26
-- 
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 5 ayat (1) huruf  a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari 
Pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 
3 Tahun 1971, dan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, 
yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
MENYUAP PEGAWAI NEGERI 
ADALAH KORUPSI
Pasal 5 ayat (1) huruf  a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) 
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan 
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh  juta rupiah) 
b. ....
setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau 
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau 
penyelenggara negara ini  berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam 
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
[1]
1. Setiap orang
2. Memberi sesuatu atau menjanjikan 
sesuatu
3. Kepada pegawai negeri atau 
penyelenggara negara
4. Dengan maksud supaya berbuat 
atau tidak berbuat sesuatu dalam 
jabatannya sehingga bertentangan 
dengan kewajibannya
KESIMPULAN :
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
27
-- 
-- 
CATATAN :
28
-- 
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 5 ayat (1) huruf  b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari 
Pasal 209 ayat (1) angka 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 
3 Tahun 1971, dan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, 
yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
MENYUAP PEGAWAI NEGERI 
ADALAH KORUPSI
Pasal 5 ayat (1) huruf  b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) 
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan 
paling banyak Rp  250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 
a. .....
setiap orang yang:
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena 
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, 
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
[2]
1. Setiap orang
2. Memberi sesuatu
3. Kepada pegawai negeri atau 
penyelenggara negara
4. Karena atau berhubungan dengan 
sesuatu yang bertentangan dengan 
kewajiban, dilakukan atau tidak 
dilakukan dalam jabatannya
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
29
-- 
-- 
CATATAN :
30
-- 
-- 
31
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 berasal dari Pasal 1 ayat (1) 
huruf  d UU No. 3 Tahun 1971 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian diubah 
rumusannya pada UU No. 31 Tahun 1999.
MEMBERI HADIAH 
KEPADA PEGAWAI NEGERI KARENA JABATANNYA 
ADALAH KORUPSI 
Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan 
atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan 
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau 
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan 
atau kedudukan ini , 
1 Setiap orang
2 Memberi hadiah atau janji
3 Kepada pegawai negeri
4 Dengan mengingat kekuasaan atau 
wewenang yang melekat pada 
jabatan atau kedudukannya, atau 
oleh pemberi hadiah atau janji 
dianggap, melekat pada jabatan 
atau kedudukan ini 
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
32
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
33
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 5 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan 
tindak pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MENERIMA SUAP
ADALAH KORUPSI
Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) 
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan 
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. ...
b. ...
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau 
janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf  a atau huruf  b, dipidana 
dengan pidana yang  sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
[1]
1 Pegawai negeri atau penyelenggara 
negara
2 Menerima pemberian atau janji
3 Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
5 ayat (1)  huruf  a  atau huruf  b
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
34
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
35
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf  a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
419 angka 1 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No 3 Tahun 1971, 
dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian 
dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MENERIMA SUAP 
ADALAH KORUPSI 
Pasal 12 huruf  a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, 
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji ini  
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan 
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. ...
[2]
1 Pegawai negeri atau penyelenggara 
negara
2 Menerima hadiah atau janji
3 Diketahuinya bahwa hadiah atau 
janji ini  diberikan untuk 
menggerakkannya agar melakukan 
atau tidak melakukan sesuatu dalam 
jabatannya yang bertentangan 
dengan kewajibannya
4 Patut diduga bahwa hadiah atau 
janji ini  diberikan untuk 
menggerakkannya agar melakukan 
atau tidak melakukan sesuatu dalam 
jabatannya yang bertentangan 
dengan kewajibannya
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
36
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
37
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf  b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
419 angka 2 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 
1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang 
kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MENERIMA SUAP 
ADALAH KORUPSI 
Pasal 12 huruf   b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak  Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah)
a.  ....
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal 
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah ini  diberikan sebagai akibat 
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu 
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. ...
[3]
1 Pegawai negeri atau penyelenggara 
negara
2 Menerima hadiah
3 Diketahuinya bahwa hadiah 
ini  diberikan sebagai akibat 
atau karena telah melakukan atau 
tidak melakukan sesuatu dalam 
jabatannya yang bertentangan 
dengan kewajibannya
4 Patut diduga bahwa hadiah ini  
diberikan sebagai akibat atau karena 
telah melakukan atau tidak 
melakukan sesuatu dalam 
jabatannya yang bertentangan 
dengan kewajibannya
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
38
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 418 KUHP 
yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 11 UU 
No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang 
pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MENERIMA HADIAH 
YANG BERHUBUNGAN DENGAN JABATANNYA 
ADALAH KORUPSI 
Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun 
dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling 
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau 
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut 
diduga, bahwa hadiah atau janji ini  diberikan karena kekuasaan atau 
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran 
orang yang memberikan hadiah atau janji ini  ada hubungan dengan 
jabatannya.
1 Pegawai negeri atau penyelenggara 
negara
2 Menerima hadiah atau janji
3 Diketahuinya
4      Patut diduga bahwa hadiah atau 
janji ini  diberikan karena 
kekuasaan atau kewenangan yang 
berhubungan dengan jabatannya 
dan menurut pikiran orang yang 
memberikan hadiah atau janji 
ini  ada hubungan dengan 
jabatannya
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
39
-- 
-- 
CATATAN :
40
-- 
-- 
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 6 ayat (1) huruf  a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari 
Pasal 210 ayat (1) angka 1 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 
3 Tahun 1971, dan Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, 
yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
MENYUAP HAKIM ADALAH KORUPSI 
Pasal 6 ayat (1) huruf  a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan  paling lama 15 (lima 
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta 
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) 
b. ....
setiap 
orang  yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk 
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 
atau
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
41
1 Setiap orang
2 Memberi atau menjanjikan sesuatu
3 Kepada hakim
4 Dengan maksud untuk 
mempengaruhi putusan perkara 
yang diserahkan kepadanya 
untuk diadili
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
42
43
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 6 ayat (1) huruf  b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari 
Pasal 210 ayat (1) angka 2 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 
3 Tahun 1971, dan Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, 
yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
MENYUAP ADVOKAT ADALAH KORUPSI 
Pasal 6 ayat (1) huruf  b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima 
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta 
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap 
orang yang:
 
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut 
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat 
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi 
nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan 
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
a. ...
1 Setiap orang
2 Memberi atau menjanjikan  sesuatu
3 Kepada advokat yang menghadiri 
sidang pengadilan
4 Dengan maksud untuk 
mempengaruhi nasihat atau 
pendapat yang akan diberikan 
berhubung dengan perkara yang 
diserahkan kepada pengadilan untuk 
diadili
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
44
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
-- 
Rumusan korupsi yang ada pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari 
Pasal 420 ayat (1) angka 1 dan angka 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) 
huruf  c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak 
pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
HAKIM & ADVOKAT MENERIMA SUAP
ADALAH KORUPSI 
Pasal 6 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1).
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (1) huruf  a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1) huruf  b
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
45
1 Hakim atau advokat
2 Yang menerima pemberian atau 
janji
3 Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
6 ayat (1) huruf  a atau huruf  b
KESIMPULAN :
No
Unsur 
Tindak Pidana
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
46
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf  c UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
420 ayat (1) angka 1 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 
Tahun 1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, 
yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
HAKIM MENERIMA SUAP 
ADALAH KORUPSI 
Pasal 12 huruf  c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah)
b. ...
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga 
bahwa hadiah atau janji ini  diberikan untuk mempengaruhi putusan 
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. ...
1 Hakim
2 Menerima hadiah atau janji
3 Diketahui atau patut diduga bahwa 
hadiah atau janji ini  diberikan 
untuk mempengaruhi putusan 
perkara yang diserahkan kepadanya 
untuk diadili 
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
47
-- 
-- 
CATATAN :
48
-- 
-- 
49
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf  d UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
420 ayat (1) angka 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 
Tahun 1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, 
yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
ADVOKAT MENERIMA SUAP 
ADALAH KORUPSI 
Pasal 12 huruf   d  UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah)
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan 
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, 
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa 
hadiah atau janji ini  untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat 
yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada 
pengadilan untuk diadili;
c. .....
e. ...
1 Advokat yang menghadiri sidang di 
pengadilan
2 Menerima hadiah atau janji
3 Diketahui atau patut diduga bahwa 
hadiah atau janji ini  untuk 
mempengaruhi nasihat atau 
pendapat yang akan diberikan 
berhubung dengan perkara yang 
diserahkan kepada pengadilan 
untuk diadili
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
42
-- 
CATATAN :CATATAN :
50
-- 
-- 
-- 
-- 
51
KORUPSI YANG TERKAIT DENGAN
PENGGELAPAN 
DALAM JABATAN
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10 huruf  a
Pasal 10 huruf  b
Pasal 10 huruf  c
52
-- 
-- 
53
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 415 KUHP 
yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 8 UU 
No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang 
pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MENGGELAPKAN UANG 
ATAU MEMBIARKAN PENGGELAPAN 
ADALAH KORUPSI 
Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan 
paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau 
orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum 
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan 
uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang 
atau surat berharga ini  diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau 
membantu dalam melakukan perbuatan ini .
1 Pegawai negeri atau orang selain 
pegawai negeri yang ditugaskan 
menjalankan suatu jabatan umum 
secara terus-menerus atau untuk 
sementara waktu
2 Dengan sengaja
3 Menggelapkan atau membiarkan 
orang lain mengambil atau 
membiarkan orang lain 
menggelapkan atau membantu 
dalam melakukan perbuatan itu
4 Uang atau surat berharga
5      Yang disimpan karena jabatannya
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
54
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 416 KUHP 
yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 9 UU 
No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang 
pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MEMALSUKAN BUKU
UNTUK PEMERIKSAAN ADMINISTRASI
ADALAH KORUPSI 
Pasal  9 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun 
dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 
Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain 
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus 
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau 
daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
1 Pegawai negeri atau orang selain 
pegawai negeri yang ditugaskan 
menjalankan suatu jabatan umum 
secara terus-menerus atau untuk 
sementara waktu
2 Dengan sengaja
3. Memalsu
4 Buku-buku atau daftar-daftar yang 
khusus untuk pemeriksaan 
administrasi
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
55
-- 
-- 
CATATAN :
56
-- 
-- 
57
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 10 huruf  a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
417 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 1971, dan 
Pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian 
dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MERUSAKKAN BUKTI
ADALAH KORUPSI 
Pasal 10 huruf  a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun 
dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) 
b. ...
pegawai negeri atau orang selain 
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus 
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat 
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang dipakai  untuk meyakinkan 
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena 
jabatannya; atau
1 Pegawai negeri atau orang selain 
pegawai negeri yang ditugaskan 
menjalankan suatu jabatan umum 
secara terus-menerus atau untuk 
sementara waktu
2 Dengan sengaja
3 Menggelapkan, menghancurkan, 
merusakkan, atau membuat tidak 
dapat dipakai
4 Barang, akta, surat, atau daftar yang 
dipakai  untuk meyakinkan atau 
membuktikan di muka pejabat yang 
berwenang 
5 Yang dikuasainya karena jabatan
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
58
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
59
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 10 huruf  b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
417 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 1971, dan 
Pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian 
dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MEMBIARKAN 
ORANG LAIN MERUSAKKAN BUKTI
ADALAH KORUPSI 
Pasal 10 huruf   b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun 
dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain 
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus 
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau 
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar ini ; atau
a.  ...
c. ...
1 Pegawai negeri atau orang selain 
pegawai negeri yang ditugaskan 
menjalankan suatu jabatan umum 
secara terus-menerus atau untuk 
sementara waktu
2 Dengan sengaja 
3 Membiarkan orang lain 
menghilangkan, menghancurkan, 
merusakkan, atau membuat tidak 
dapat dipakai
4 Barang, akta, surat, atau daftar 
sebagaimana disebut pada Pasal 10 
huruf  a
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
60
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
61
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 10 huruf  c UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
417 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 1971, dan 
Pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian 
dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MEMBANTU
ORANG LAIN MERUSAKKAN BUKTI
ADALAH KORUPSI 
Pasal 10 huruf  c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun 
dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain 
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus 
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau  
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar  ini .
b. ...
1 Pegawai negeri atau orang selain 
pegawai negeri yang ditugaskan 
menjalankan suatu jabatan umum 
secara terus-menerus atau untuk 
sementara waktu
2 Dengan sengaja 
3 Membantu orang lain 
menghilangkan, menghancurkan, 
merusakkan, atau membuat tidak 
dapat dipakai
4 Barang, akta, surat, atau daftar 
sebagaimana disebut  pada Pasal 10 
huruf  a
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
62
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
63
-- 
-- 
KORUPSI YANG TERKAIT DENGAN
PERBUATAN PEMERASAN
Pasal 12 huruf  e
Pasal 12 huruf  g
Pasal 12 huruf  f
64
-- 
-- 
65
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf  e UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
423 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 1971, dan 
Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian 
dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MEMERAS
ADALAH KORUPSI
Pasal 12 huruf  e UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah):
d. ...
f. ...
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud 
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau 
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan 
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau 
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
[1]
1 Pegawai negeri atau penyelenggara 
negara
2 Dengan maksud menguntungkan 
diri sendiri atau orang lain
3 Secara melawan hukum
4 Memaksa seseorang memberikan 
sesuatu, membayar, atau menerima 
pembayaran dengan potongan, atau 
untuk mengerjakan sesuatu bagi 
dirinya 
5 Menyalahgunakan kekuasaan
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
66
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf  g UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
425 angka 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai 
tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 
2001.
PEGAWAI NEGERI MEMERAS
ADALAH KORUPSI
Pasal 12 huruf  g UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah):
f. ....
h. ....
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu  menjalankan 
tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-
olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal ini  
bukan merupakan utang;
[2]
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
67
1 Pegawai negeri atau penyelenggara 
negara
2 Pada waktu menjalankan tugas
3 Meminta atau menerima pekerjaan, 
atau penyerahan barang
4 Seolah-olah merupakan utang 
kepada dirinya
5 Diketahuinya bahwa hal ini  
bukan merupakan utang
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
68
69
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf  f  UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
425 angka 1 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai 
tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 
2001.
PEGAWAI NEGERI MEMERAS
PEGAWAI NEGERI YANG LAIN
ADALAH KORUPSI 
Pasal 12 huruf  f  UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah):
e. .....
g.  ....
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan 
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai 
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-
olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum 
ini  mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal ini  
bukan merupakan utang;
1 Pegawai negeri atau penyelenggara 
negara
2 Pada waktu menjalankan tugas
3 Meminta, menerima, atau 
memotong pembayaran
4 Kepada pegawai negeri atau 
penyelenggara negara yang lain 
atau kepada kas umum
5 Seolah-olah pegawai negeri atau 
penyelenggara negara yang lain 
atau kas umum mempunyai 
utang kepadanya
6 Diketahuinya bahwa hal ini  
bukan merupakan utang
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
70
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
71
-- 
-- 
KORUPSI YANG TERKAIT DENGAN
PERBUATAN CURANG
Pasal 7 ayat (1) huruf  a
Pasal 7 ayat (1) huruf  b
Pasal 7 ayat (1) huruf  c
Pasal 7 ayat (1) huruf  d
Pasal 7 ayat (2)
Pasal 12 huruf  h
72
-- 
-- 
73
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf  a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari 
Pasal 387 ayat (1) KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 
1971, dan Pasal 7 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang 
kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEMBORONG BERBUAT CURANG
ADALAH KORUPSI 
Pasal 7 ayat (1) huruf  a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) 
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan 
paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
b.  ....
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau 
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, 
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang 
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
1 Pemborong, ahli bangunan, atau 
penjual bahan bangunan
2 Melakukan perbuatan curang
3 Pada waktu membuat bangunan 
atau menyerahkan bahan bangunan
4 Yang dapat membahayakan 
keamanan orang atau keamanan 
barang atau keselamatan negara 
dalam keadaan perang
KESIMPULAN:
K KP
-- 
74
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
75
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf  b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari 
Pasal 387 ayat (2) KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 
1971, dan Pasal 7 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang 
kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
PENGAWAS PROYEK
MEMBIARKAN PERBUATAN CURANG
ADALAH KORUPSI 
Pasal 7 ayat (1) huruf  b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) 
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan 
paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. .....
c.  ....
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan 
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana  
dimaksud dalam huruf  a;
1 Pengawas bangunan atau pengawas 
penyerahan bahan bangunan
2 Membiarkan dilakukannya 
perbuatan curang pada waktu 
membuat bangunan atau 
menyerahkan bahan bangunan
3 Dilakukan dengan sengaja
4 Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
7 ayat (1) huruf  a
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
76
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
77
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf  c UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari 
Pasal 388 ayat (1) KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 
1971, dan Pasal 7 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang 
kemudian diubah/dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
REKANAN TNI/POLRI BERBUAT CURANG
ADALAH KORUPSI 
Pasal 7 ayat (1) huruf  c UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) 
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan 
paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh Juta rupiah):
b. .....
d.  .....
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara 
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia 
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan 
negara dalam keadaan perang; atau
1 Setiap orang
2 Melakukan perbuatan curang
3 Pada waktu menyerahkan barang 
keperluan TNI dan atau Kepolisian 
Negara RI
4 Dapat membahayakan keselamatan 
negara dalam keadaan perang
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
78
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf  d UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari 
Pasal 388 ayat (2) KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 
1971, dan Pasal 7 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang 
kemudian diubah/dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
PENGAWAS REKANAN TNI/POLRI 
BERBUAT CURANG ADALAH KORUPSI 
Pasal 7 ayat (1) huruf  d UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) 
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan 
paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
c. .....
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan 
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia 
dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud 
dalam huruf  c.
1 Orang yang bertugas mengawasi 
penyerahan barang keperluan TNI 
dan atau Kepolisian Negara RI
2 Membiarkan perbuatan curang 
(sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 7 ayat (1) huruf  c)
3 Dilakukan dengan sengaja
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
79
-- 
-- 
CATATAN :
80
-- 
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan 
tindak pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001.
PENERIMA BARANG TNI/POLRI 
MEMBIARKAN PERBUATAN CURANG 
ADALAH KORUPSI
Pasal 7 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
dipidana dengan 
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau o r a n g  y a n g  
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau 
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf  a atau huruf  c, 
1 Orang yang menerima penyerahan 
bahan bangunan atau orang yang 
menerima penyerahan barang 
keperluan TNI dan atau Kepolisian 
Negara RI
2 Membiarkan perbuatan curang 
3 Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
7 ayat (1) huruf  a atau huruf  c
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
81
-- 
-- 
CATATAN :
82
-- 
-- 
83
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf  h UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 
425 angka 3 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai 
tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 
2001.
PEGAWAI NEGERI MENYEROBOT TANAH NEGARA
SEHINGGA MERUGIKAN ORANG LAIN
ADALAH KORUPSI 
Pasal 12 huruf  h UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah):
g. ....
i. ....
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu 
menjalankan tugas, telah memakai  tanah negara yang di atasnya 
ada  hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa 
perbuatan ini  bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 
atau
1 Pegawai negeri atau penyelenggara 
negara
2 Pada waktu menjalankan tugas 
memakai  tanah negara yang di 
atasnya ada hak pakai
3 Seolah-olah sesuai dengan 
peraturan perundang-undangan
4 Telah merugikan yang berhak
5 Diketahuinya bahwa perbuatan 
ini  bertentangan dengan 
peraturan perundang-undangan
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
84
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
85
-- 
-- 
KORUPSI YANG TERKAIT DENGAN
BENTURAN KEPENTINGAN
DALAM PENGADAAN
Pasal 12 huruf  i
86
-- 
-- 
87
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf  i UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 435 
KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf  c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 
12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian 
dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI TURUT SERTA 
DALAM PENGADAAN YANG DIURUSNYA
ADALAH KORUPSI 
Pasal 12 huruf  i UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah)
h. .....
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak 
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau 
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian 
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
1 Pegawai negeri atau penyelenggara 
negara
2 Dengan sengaja
3 Langsung atau tidak langsung turut 
serta dalam pemborongan, 
pengadaan atau persewaan
4 Pada saat dilakukan perbuatan 
untuk seluruh atau sebagian 
ditugaskan untuk mengurus atau 
mengawasinya
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
88
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
89
-- 
-- 
KORUPSI YANG TERKAIT DENGAN
GRATIFIKASI
Pasal 12 B jo. Pasal 12 C
90
-- 
-- 
91
-- 
Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan tindak 
pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001.
PEGAWAI NEGERI MENERIMA GRATIFIKASI
 DAN TIDAK LAPOR KPK ADALAH KORUPSI 
Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) 
, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian 
bahwa gratifikasi ini  bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima 
gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian 
bahwa gratifikasi ini  suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) adalah 
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 
(dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan 
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu  miliar rupiah).
Pasal 12 C UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, 
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh 
penerima gratifikasi 
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja 
sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau 
milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan 
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang 
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap 
pemberian suap, bila  berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan 
kewajiban atau tugasnya
jika 
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi.
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal 
gratifikasi ini  diterima.
1 Pegawai negeri atau penyelenggara 
negara
2 Menerima gratifikasi
3 Yang berhubungan dengan jabatan 
dan berlawanan dengan kewajiban 
atau tugasnya
4 Penerimaan gratifikasi ini  
tidak dilaporkan ke KPK dalam 
jangka waktu 30 hari sejak 
diterimanya gratifikasi
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
92
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
93
-- 
-- 
TINDAK 
PIDANA LAIN
YANG BERKAITAN
 DENGAN TINDAK 
PIDANA KORUPSI
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pada Pasal 
21 merupakan bentuk pemidanaan yang dimuat pada UU No. 31 Tahun 1999.
MERINTANGI PROSES PEMERIKSAAN 
PERKARA KORUPSI 
Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling 
lama 12 (dua belas), tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima 
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan 
secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di 
sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam 
perkara korupsi, 
95
-- 
1 Setiap orang
2 Dengan sengaja 
3 Mencegah, merintangi atau 
menggagalkan
4 Secara langsung atau tidak langsung
5 Penyidikan, penuntutan dan 
pemeriksaan di sidang terdakwa 
maupun para saksi dalam perkara 
korupsi
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
96
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
97
-- 
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pada Pasal 
22 UU No. 31 Tahun 1999 ini harus dikaitkan dengan Pasal 28 UU No. 31 Tahun 
1999. 
TERSANGKA TIDAK MEMBERIKAN 
KETERANGAN MENGENAI KEKAYAANNYA 
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 
(dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta 
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan terhadap seluruh harta 
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi 
yang diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang 
dilakukan tersangka.
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 
yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang 
tidak benar
1 Tersangka
2 Dengan sengaja
3 Tidak memberikan keterangan atau 
memberikan keterangan palsu
4 Tentang keterangan harta bendanya 
atau harta benda isteri/suaminya 
atau harta benda anaknya atau harta 
benda setiap orang atau korporasi 
yang diketahui atau patut diduga 
mempunyai hubungan dengan 
tindak pidana korupsi yang 
dilakukan tersangka
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
98
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
99
-- 
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pada Pasal 
22 UU No. 31 Tahun 1999 ini harus dikaitkan dengan Pasal 29 UU No. 31 Tahun 
1999. 
BANK YANG TIDAK MEMBERIKAN 
KETERANGAN REKENING TERSANGKA
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
 dipidana 
dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling 
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam 
ratus juta rupiah).
Pasal 29 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, 
penuntut umum, atau hakim berwenang meminta kepada bank tentang keadaan keuangan 
tersangka atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada 
Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) G u b e r nu r  B a n k  I n d o n e s i a  b e r ke wa j i b a n  u n t u k  m e m e nu h i  p e r m i n t a a n  
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung  
sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk 
memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, 
atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga  mencabut 
pemblokiran.
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang 
dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar,
1 Orang yang ditugaskan oleh Bank
2 Dengan sengaja
3 Tidak memberikan keterangan atau 
memberikan keterangan palsu 
tentang keadaan keuangan 
tersangka atau terdakwa
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
100
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pada Pasal 
22  ini harus dikaitkan dengan Pasal 35 UU No. 31 Tahun 1999. 
SAKSI ATAU AHLI 
YANG TIDAK MEMBERI KETERANGAN ATAU 
MEMBERI KETERANGAN PALSU
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 
(dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta 
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 35 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: 
(1) Setiap orang wajib memberikan keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, 
kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami,  anak dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat 
diperiksa sebagai saksi bila  mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh 
terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat  memberikan 
keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 
yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang 
tidak benar
1 Saksi atau ahli
2 Dengan sengaja
3 Tidak memberikan keterangan atau 
memberikan keterangan yang isinya 
palsu
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
101
-- 
-- 
CATATAN :
102
-- 
-- 
103
-- 
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pada Pasal 
22  UU No. 31 Tahun 1999 ini harus dikaitkan dengan Pasal 36 UU No. 31 Tahun 
1999. 
ORANG YANG MEMEGANG RAHASIA JABATAN 
TIDAK MEMBERIKAN KETERANGAN 
ATAU MEMBERI KETERANGAN PALSU
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
, dipidana 
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda 
paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 
(enam ratus juta rupiah).
Pasal 36 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap 
mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, 
kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang 
dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
1 Orang yang karena pekerjaan, 
harkat, martabat, atau jabatannya 
yang diwajibkan menyimpan 
rahasia
2 Dengan sengaja
3 Tidak memberikan keterangan 
atau memberikan keterangan 
yang isinya palsu
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
K KP
-- 
104
-- 
CATATAN :
K KP
-- 
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pada Pasal 
24 UU No. 31 Tahun 1999 ini harus dikaitkan dengan Pasal 31 UU No. 31 Tahun 
1999. 
SAKSI YANG MEMBUKA IDENTITAS PELAPOR
Pasal 24 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
 dipidana dengan 
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (Seratus lima 
puluh juta rupiah).
Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan 
dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang 
memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diberitahukan 
kepada saksi dan atau orang lain ini .
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31,
1 Saksi 
2 Menyebut nama atau alamat 
pelapor atau hal-hal lain yang 
memungkinkan diketahuinya  
identitas pelapor
KESIMPULAN:
No
Unsur 
Tindak Pidana
Fakta Perbuatan yang 
dilakukan dan kejadian
Alat Bukti 
yang 
mendukung 
105
-- 
-- 
CATATAN :
106
-- 
-- 
107
-- 
-- 
PASAL-PASAL 
TENTANG TINDAK 
PIDANA KORUPSI
DALAM UU NO 31 TAHUN 1999 JO. UU NO 20 TAHUN 2001
109
-- 
-- 
BAB II TINDAK PIDANA 
UU NO 31 TAHUN 1999 JO. UU NO 20 TAHUN 2001
Pasal 2 
(1) S e t i a p  o r a n g  y a n g  s e c a r a  m e l awa n  h u k u m  m e l a k u k a n  
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang 
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana 
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit 
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) 
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain 
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana 
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan 
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara 
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 
20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh 
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 
 Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling 
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus li
ma puluh juta rupiah) setiap orang  yang:
a. m e m b e r i  a t a u  m e n j a n j i k a n  s e s u a t u  ke p a d a  p e g awa i  
negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri 
atau penyelenggara negara ini  berbuat atau tidak berbuat sesuatu 
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. m e m b e r i  s e s u a t u  k e p a d a  p e g a w a i  n e g e r i  a t a u  
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan 
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak 
dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian 
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf  a atau huruf  b, 
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
KORUPSI
110
-- 
-- 
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling 
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. m e m b e r i  a t a u  m e n j a n j i k a n  s e s u a t u  k e p a d a  h a k i m  
dengan maksud untuk mempengar uhi  putusan perkara 
yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b.member i  a t au  men jan j i kan  se sua tu  ke pada  se seorang  
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan 
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud 
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan 
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk 
diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud 
dalam ayat (1) huruf  a atau advokat yang menerima pemberian atau 
janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf  b, dipidana dengan pidana 
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling 
lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima 
puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat  bangunan, atau 
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, 
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan 
orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan 
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana 
dimaksud dalam huruf  a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara 
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia 
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan 
negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan 
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik 
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana 
dimaksud dalam huruf  c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang 
111
-- 
-- 
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia 
dan atau Kepolisian Negara Republik ndonesia dan membiarkan 
perbuatan curang sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf  a atau huruf  c, 
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 
(1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus 
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima 
puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang 
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk 
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang 
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga 
ini  diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam 
melakukan perbuatan ini .
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta 
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan 
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan 
sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan 
administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta 
rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) 
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan 
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan 
sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat 
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang dipakai  untuk meyakinkan 
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena 
jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau 
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar ini ;  atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau 
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar ini .
112
-- 
-- 
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh 
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta 
rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau 
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji ini  
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan 
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji 
ini  ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling 
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda 
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, 
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji ini  
diberikan untuk  menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan 
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal 
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah ini  diberikan sebagai akibat 
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu 
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga 
bahwa hadiah atau janji ini  diberikan untuk mempengaruhi putusan 
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan 
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima 
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji 
ini  untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, 
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk 
diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud 
menguntungkan diri sendiri atau orang lain  secara melawan hukum, atau 
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan 
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau 
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya  sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan 
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai 
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-
113
-- 
-- 
olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum 
ini  mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal ini  
bukan merupakan utang;
g. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan 
tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-
olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal ini  
bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan 
tugas, telah memakai  tanah negara yang di atasnya ada  hak pakai, 
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah 
merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan 
ini  bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak 
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau 
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian 
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara 
dianggap pemberian suap, bila  berhubungan dengan jabatannya dan 
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai 
berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, 
pembuktian bahwa gratifikasi ini  bukan  merupakan suap dilakukan 
oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), 
pembuktian bahwa gratifikasi ini  suapdilakukan oleh penuntut 
umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana 
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, 
dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) 
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan 
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung 
sejak tanggal gratifikasi terebut diterima.
114
-- 
-- 
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 
30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan 
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud 
ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 
(3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan 
Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan 
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau 
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada 
jabatan atau kedudukan ini , dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 
(tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima 
puluh juta rupiah).
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 2 
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup 
perbuatan  melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni 
meskipun perbuatan ini  tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun bila  perbuatan ini  dianggap tercela karena tidak 
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam 
masyarakat, maka perbuatan ini  dapat dipidana. 
Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau 
perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan 
delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya 
unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya 
akibat.
Catatan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 003/PUU-
IV/2006 tanggal 24 Juli 2006 
MENGADILI:
-  ....
- Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia 
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 
-- 
-- 
115
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara 
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara 
Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang 
dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan  
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun 
perbuatan ini  tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun bila  
perbuatan ini  dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau 
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan ini  dapat 
dipidana” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 
- ....
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan 
yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana 
korupsi yaitu bila  tindak pidana ini  dilakukan terhadap dana-dana yang 
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, 
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis 
ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Pasal 3
Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan penjelasan Pasal 2.
Pasal 5 
Ayat (1) 
Cukup jelas
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan "penyelenggara negara" dalam Pasal ini adalah 
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang 
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas 
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian "penyelenggara negara" 
ini  berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam Undang-undang ini.
Pasal 6 
Cukup jelas
Pasal 7 
Cukup jelas
-- 
-- 
116
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12 
Huruf  a
Cukup jelas
Huruf  b
Cukup jelas
Huruf  c
Cukup jelas
Huruf  d
Yang dimaksud dengan “advokat” adalah orang yang berprofesi memberi jasa 
hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan 
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf  e
Cukup jelas
Huruf  f
Cukup jelas
Huruf  g
Cukup jelas
Huruf  h
Cukup jelas
-- 
-- 
117
Huruf  i
Cukup jelas
Pasal 12 B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti 
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman 
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, 
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi ini  baik yang 
diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan 
memakai  sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12 C
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
PASAL-PASAL 
TENTANG TINDAK 
PIDANA LAIN
YANG BERKAITAN 
DENGAN TINDAK 
PIDANA KORUPSI
DALAM UU NO 31 TAHUN 1999 JO. UU NO 20 TAHUN 2001
-- 

TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK 
PIDANA 
UU NO 31 TAHUN 1999 JO. UU NO 20 TAHUN 2001
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan 
secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan 
di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam 
perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun 
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 
36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan 
yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun 
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 23
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429, atau Pasal 
430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara 
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda 
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, 
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling 
banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan 
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta 
benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga 
mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
KORUPSI
-- 
-- 
Pasal 29
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang 
pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta 
keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau 
terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 
(tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara 
lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk 
memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga 
hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak 
diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, 
atau hakim, bank pada hari  itu juga mencabut pemblokiran.
Pasal 31
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, 
saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi 
dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang 
memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain ini .
Pasal 35
(1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau 
ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri  atau suami, anak 
dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), 
dapat diperiksa sebagai saksi bila  mereka menghendaki dan disetujui 
secara tegas oleh terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat 
memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal 36
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 
berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat 
atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang 
menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
-- 
-- 

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29 
Ayat (1)
Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan 
penuntutan, pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap 
memperhatikan koordinasi lintas sektoral dengan instansi terkait.
 Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “rekening simpanan” adalah dana yang dipercayakan 
oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam 
bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang 
dipersamakan dengan itu, termasuk penitipan (custodian) dan penyimpanan 
barang atau surat berharga (safe deposit box).
Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga, deviden, bunga 
obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh dari simpanan ini . 
Ayat (5)
Cukup jelas
-- 
-- 

Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelapor” dalam ketentuan ini adalah orang yang 
memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak 
pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 
24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35 
Cukup jelas
Pasal 36
Yang dimaksud dengan “petugas agama” dalam Pasal ini adalah hanya petugas 
agama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk 
menyimpan rahasia.
-- 
-- 
ADA , LAPORKAN!KORUPSI
Sekarang, Anda telah mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan korupsi. 
Kemudian, bila  Anda sudah mengetahui dan mengerti tentang korupsi, lalu kemana 
dan bagaimana Anda melapor bila  ada korupsi disekitar Anda?
Untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pengaduan/ laporan Anda, yang perlu 
diperhatikan ketika melaporkan sebuah dugaan korupsi, adalah:
1. Uraikan sedetail mungkin kejadian yang Anda curigai 
sebagai bentuk perbuatan korupsi. Sebaiknya, uraian dibatasi pada hal-hal yang 
berdasarkan fakta dan kejadian nyata, hindari hal-hal yang berdasarkan perasaan 
kebencian, permusuhan atau fitnah. Usahakan keseluruhan uraian dapat 
menggambarkan SIABIDIBA (siapa, apa, bilamana, di mana, bagaimana) dari 
kejadian yang dilaporkan.
2. Kemudian cocokkan dengan pasal-pasal yang 
ada di buku ini, kira-kira pasal-pasal mana yang sesuai untuk kejadian  ini  
(dapat lebih dari satu pasal) .
3. Lihat unsur-unsur tindak pidana pada 
matrik di dalam pasal yang sesuai, kemudian pastikan bahwa informasi dalam 
uraian yang Anda buat dapat memenuhi unsur-unsur dalam pasal ini . 
Semaksimal mungkin dapatkan informasi mengenai setiap unsur yang ada. 
bila  ada  unsur yang tidak bisa anda lengkapi uraiannya, maka jelaskan 
bahwa unsur ini  belum dapat dilengkapi.
4. bila  ada copy dokumen atau barang lain yang 
memperkuat uraian kejadian di atas agar disimpan dengan baik untuk disertakan 
dalam pengaduan/laporan Anda kpada  KPK.
5. Akan sangat baik bila  
Anda menyertakan identitas dan alamat atau nomor telepon Anda, sehingga bila 
KPK masih membutuhkan keterangan tambahan maka Anda akan  mudah 
untuk dihubungi oleh KPK.
6. bila  urutan 1 s.d 5 telah Anda lakukan maka 
pengaduan/laporan Anda siap untuk disampaikan kepada KPK.
Fokuskan pengaduan/laporan Anda pada korupsi kelas kakap (big fish), bukan yang 
kelas teri. Pengertian kelas kakap adalah:
- Melibatkan orang level tinggi atau yang memiliki pengaruh besar;
- Terkait dengan aspek yang strategis/menyangkut hajat hidup orang banyak; atau
- Menyangkut nilai uang yang besar.
Uraikan kejadiannya.
Pilih pasal-pasal yang sesuai. 
Penuhi unsur-unsur tindak pidana. 
Sertakan bukti awal, bila ada. 
Sertakan identitas Anda, bila tidak keberatan. 
Kirimkan ke KPK.
 
 
PENGADUAN DAPAT DISAMPAIKAN MELALUI
Surat: Kotak Pos 575, Jakarta 10120
Email: pengaduan@kpk.go.id 
Telepon: (021) 2350 8389
Fax: (021) 352 2623
SMS: 0811 959 575 (0811 959 K K)P
0855 8 575 575 (0855 8 K KK K) P P

Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive