Tampilkan postingan dengan label pencucian uang 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pencucian uang 2. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

pencucian uang 2

  




 
Kehidupan ekonomi antara satu negara dengan negara lain 
semakin saling tergantung, sehingga ketentuan hukum di bidang 
perdagangan internasional dan bisnis transnasional semakin diperlukan. 
Kejahatan korporasi yang semakin canggih baik bentuk atau jenisnya 
maupun modus operandinya sering melampaui batas-batas negara 
(transborder crime) dan juga sering dipengaruhi oleh negara lain akibat era 
globalisasi.  
Tindak Pidana Pencucian uang merupakan kejahatan yang 
mempunyai ciri khas yakni, kejahatan ini bukan merupakan kejahatan 
tunggal namun kejahatan ganda. Kejahatan ini ditandai dengan 
bentuk pencucian uang merupakan kejahatan yang bersifat follow up crime 
atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan 
asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara 
yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang 
menghasilkan uang yang lalu  dilakukan proses pencucian 
Pencucian uang merupakan suatu usaha  perbuatan untuk 
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta 
kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar 
uang atau harta kekayaanini  tampak seolah-olah berasal dari 
kegiatan yang sah/legal. Hal ini bermula terjadi di Amerika pada tahun 
1930, dimana pada masa itu mafia kejahatan membeli perusahaan 
pencucian pakaian sebagai tempat untuk mencuci uang dari hasil 
kejahatannya, dari sinilah istilah money laundring berkembang (Ratna, 
2016: 336). Sebelumnya, pada tahun 1900-an Alphonso Capone atau yang 
lebih dikenal dengan Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu, 
mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya dengan memakai si genius 
Meyer Lansky, orang Polandia. Lansky, seorang akuntan yang mencuci 
uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu (Laundry). Demikianlah 
asal muasal muncul nama Money Laundering .
biasanya  pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan 
atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari 
tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil 
kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum. Sehingga 
mereka dapat dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaanini  baik 
untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh sebab  itu, Tindak 
Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak hanya mengancam stabilitas dan 
integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga 
dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan berwarga , berbangsa, 
dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 
Republik negara kita  Tahun 1945. 
 Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan 
KUHP dan Hukum Pidana Islam  
Begitu besamya kerugian yang ditimbulkan dari praktik pencucian 
uang, oleh sebab  itu usaha  untuk mencegah tindak pidana pencucian 
uang telah dilakukan oleh berbagai negara. Perang terhadap kegiatan 
pencucian uang oleh organisasi organisasi kejahatan dan oleh individu- 
individu yang tidak tergabung dalam organisasi-organisasi kejahatan 
telah mencapai tingkat yang jauh lebih serius daripada 15 tahun yang 
lampau. Badan kerjasama internasional pertama adalah The Finnacial 
Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang didirikan oleh G 7 
Summit di Prancis pada bulan Juli 1989 (Neni, 2018: 69), antara lain 
mengenai perluasan Pihak Pelapor (Reporting Parties) yang mencakup 
pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan 
bermotor. 
negara kita  sendiri dalam usaha  pencegahan tindak pidana 
pencucian uang telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-
undangan guna untuk menekan maraknya jumlah kejahan TPPU di 
negara kita , diantara adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 25 
Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik negara kita  
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan 
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan 
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 
Dari pemaparan diatas, maka penelitian ini akan menguraikan 
bagaimana aturan dan pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang di 
negara kita  serta bagaimana Islam dalam hal ini Fiqih Jinayat mengatur 
tentang Tindak Pidana Pencucian Uangini . Penelitian ini adalah 
penelitian kepustaan (Library Rearesch) dengan menggunakan pendekatan 
studi komparatif. 
 

Perkembangan teknologi telah mendorong peningkatan berbagai 
macam kejahatan baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun 
oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun melintasi batas 
wilayah negara lain , antara lain berupa tindak pidana 
korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga 
kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika 
dan psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak, perdagangan 
senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan 
dan berbagai kejahatan kerah putih (BPHN, 2012). 
Tindak pidana pencucian uang adalah usaha  untuk 
menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil 
kejahatan dengan melalui berbagai cara dan memasukannya ke dalam 
sistem keuangan agar harta kekayaan hasil kejahatanini  menjadi 
kelihatan legal. Oleh sebab  itu, agar hasil kejahatan dapat menghasilkan
keuntungan di sistem keuangan yang legal dan juga menjaga reputasi 
atau status sosial seseorang atau suatu kelompok, para pelaku melakukan 
tindak pidana pencucian uang .
Menurut Munir Fuady mengatakan kegiatan Tindak Pidana 
Pencucian Uang (Money Laundering) secara Universal dewasa ini telah 
digolongkan sebagai suatu Tindak Pidana yang tergolong dalam White 
Collar Crime. Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang ini untuk dapat 
melakukan pemutihan uang dilakukan secara jelas dengan cara illegal. 
Sedangkan pencucian uang menurut Sarah N. Welling adalah dimulai 
dari adanya uang kotor atau haram yang ditempuh melalui penggelapan 
pajak dan memperoleh kekayaan dengan cara melanggar hukum ,
Beberapa jenis Tindak Pidana Pencucian Uang dalam suatu tindak 
pidana menggunakan asas ultimum remedium, sebab  asas ultimum 
remedium adalah jalan terakhir yang harus ditempuh dalam proses 
peradilan Tindak Pidana Pencucian Uang. sebab  Asas Ultimum remedium 
dalam Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai penentu pidana dalam 
Undang-undang untuk suatu tindakan pidana sebab  alat penegak 
hukum atau Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak serasi lagi. 
Proses Tindak Pidana Pencucian Uang dengan menggunakan alat 
pamungkas atau yang disebut asas Ultimum Remedium untuk dapat 
menegakkan hukum Pidana dan penentuan pidana dalam undang-
undang untuk tindakan tertentu harus sedemikian rupa, sebab  alat 
penegak hukum atau sanksi lainnya sudah tidak serasi, maka 
diberlakukanlah Asas Ultimum Remedium untuk suatu Tindak Pidana 
Pencucian Uang. Asas ultimum remedium adalah suatu jalan terakhir yang 
ditempuh dalam proses pengadilan. Diterapkannya asas ultimum 
remedium dalam Tindak Pidana Pencucian Uang sebab  asasini  
dalam pidana adalah sebagai alat pamungkas untuk menegakkan hukum. 
Perlu untuk diketahui bahwa hukum pidana adalah Ultimum 
Remedium dengan mengingat ketentuan perumusan ketentuan ancaman 
pidana, pembentukan undang-undang selain harus mempertanyakan 
apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang cukup 
bagi kepentingan termaksud, dan apakah suatu sanksi pidana memang 
diperlukan untuk halini ,
Asas ultimum remedium juga sebagai tindak pidana dalam undang-
undang untuk suatu tindakan tertentu yang harus sedemikian rupa, 
sebab  alat penegak hukum atau sanksi lainnya sudah tidak serasi lagi 
atau tidak dipakai. Jenis-jenis suatu tindak pidana yang dilihat dari suatu 
asas Ultimum Remedium dapat merupakan pelanggaran-pelanggaran yaitu 
1. Norma hukum perdata. 
2. Hukum tata negara. 
 Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan 
KUHP dan Hukum Pidana Islam  
3. Hukum administrasi. 
4. Hukum agama. 
5. Hukum adat atau hukum kebiasaan. 
Asas Ultimum Remedium dipakai dalam suatu Tindak Pidana 
Pencucian Uang sebab  adanya batasan tertentu dalam suatu tindakan 
yang merupakan pelanggaran norma hukumini  tidak perlu 
diadakan ketentuan pidana, tetapi jika melampaui batas tertentu maka 
asas ultimum remedium sudah perlu diadakan diberlakukan untuk suatu 
Tindak Pidana Pencucian Uang. 
Selanjutnya ruang berlakunya undang-undang pidana baik tentang 
pencucian uang ataupun tentang hukum pidana secara umum dapat 
berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Pencucian 
Uang, hal ini dapat dilihat dan diatur dalam Pasal 2 KUHP yang 
membahas tentang ketentuan pidana dalam peraturan perundangan-
undangan dalam suatu Tindak Pidana Pencucian Uang di negara kita  yang 
berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang 
dalam wilayah Republik negara kita . Jadi ketentuan Pidana di negara kita  
berlaku bagi semua penduduk negara kita  baik Warga Negara negara kita  
maupun Warga Asing yang berdomisili di negara kita . 
 
 
Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dapat dilihat 
ketentuan dalam pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 2010 dijelaskan bahwa 
Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur 
tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.  
Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa tindak pidana pencucian uang 
merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang 
dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer 
,mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, 
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan 
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta 
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil 
tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal 
usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya 
Berlakunya ketentuan Pidana di negara kita  yang digambarkan 
dalam Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan 
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berlaku  telah diperluas dengan 
adanya asas yaitu perluasan wilayah yaitu : 
1. Aturan Pidana negara kita  akan diberlakukannya untuk Tindak Pidana 
yang dilakukan di atas kapal atau pesawat udara negara kita  yang 
sedang berada di Luar Negeri. Ketentuan Pidana dalam Undang-
Undang negara kita  berlaku bagi setiap orang yang di luar negara kita  
yang diatur dalam Pasal 4 KUHP melakukan kejahatan yang diatur 
dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 111 
bis ke-1, Pasal 127 dan Pasal 131 KUHP yang menyangkut kejahatan 
terhadap keamanan Negara. 
2. Pasal 7 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan Pidana dalam 
Undang-Undang negara kita  berlaku bagi pegawai Negeri negara kita  
pegawai negeri sipil dan tentara nasional negara kita  atau polisi 
republik negara kita  (PNS dan TNI atau POLRI) yang berada di luar 
negara kita  mengenai salah satu kejahatan yang diatur dalam Bab 
XXVIII, buku II KUHP tentang Kejahatan yang dilakukan dalam 
jabatan. 
3. Pasal 8 KUHP berlaku bagi Nahkoda kapal negara kita  yang berada di 
luar negara kita  melakukan suatu kejahatan yang diatur dalam Bab 
XXIX dalam Buku II KUHP tentang kejahatan pelayaran dan Bab IX 
dalam Buku III KUHP tentang Pelanggaran Pelayanan. 
Pengecualian dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 5, 
Pasal 7, Pasal 8 KUHPini  di atas yaitu pengecualian yang diakui 
oleh Hukum Internasional. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 
2010 memperluas cakupannya, dengan jangkauan setiap orang (Orang 
perseorangan atau korporasi) yang di luar wilayah negara kita  memberikan 
bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya dapat 
dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang 
Nomor 8 Tahun 2010. 
Menurut ketentuan Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang 
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang 
masuk dalam kategori kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah 
sebagai berikut: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; 
penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang 
perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; 
cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; 
penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; 
perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di 
bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau indak 
pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau 
lebih yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita  
atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita  dan tindak 
pidanaini  juga merupakan tindak pidana menurut hukum 
negara kita . Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan 
digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung 
untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan 
disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) huruf n. 
 Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan 
KUHP dan Hukum Pidana Islam  
Adapun bentuk hukuman terhadap pelaku TPPU diatur dalam 
pasal 3-10 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan 
Pemberantasan TPPU sebagai berikut: 
1. Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, 
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, 
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan 
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta 
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil 
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan 
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta 
Kekayaan dipidana sebab  tindak pidana Pencucian Uang dengan 
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling 
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 
2. Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, 
sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan 
yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut 
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana sebab  tindak pidana Pencucian Uang 
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda 
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 
3. Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, 
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, 
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut 
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah). 
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi 
Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana 
diatur dalam Undang-Undang ini. 
5. Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana 
dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali 
Korporasi. 
6. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi jika  tindak pidana 
Pencucian Uang: 
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi; 
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan 
Korporasi; 
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi 
perintah; dan 
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi. 
7. Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana 
denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat(1), terhadap 
Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: 
a. pengumuman putusan hakim; 
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi; 
c. pencabutan izin usaha; 
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi; 
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau 
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara. 
 
8. Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana 
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, 
pidana dendaini  diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 
(satu) tahun 4 (empat) bulan. 
9. Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana dendaini  
diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau 
Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan 
pidana denda yang dijatuhkan. Dalam hal penjualan Harta Kekayaan 
milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan 
terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan 
denda yang telah dibayar. 
10. Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara 
Kesatuan Republik negara kita  yang turut serta melakukan percobaan, 
pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak 
pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. 
Pada kasus pencucian uang yang berwenang dalam menyidik, 
memeriksa kasus ini adalah, kepolisian, kejaksaan dan yang terakhir 
adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diamanatkan untuk 
memeriksa dan menyidik kasus ini sejak Oktober 2010. Dari ketiga 
penegak hukum itu, yang paling banyak mendapat laporan adalah 
kepolisian dan kejaksaan. Lembaga independen lain dibawah Presiden 
Republik negara kita  yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas 
tindak pidana pencucian uang yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis 
Transaksi Keuangan (PPATK), seseorang wajib melaporkan jumlah 
kekayaan yang dia miliki sehingga akan memudahkan PPATK 
mengontrol adanya transaksi yang mencurigakan 
Secara umum proses pencucian uang ini dapat dikelompokkan 
dalam tiga tahap ; Pertama, penempatan (placement), yakni usaha  menem-
patkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem 
 Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan 
KUHP dan Hukum Pidana Islam  
keuangan, terutama sistem perbankan ,. Dalam proses ini 
terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyelundupan uang 
tunai dari suatu negara ke negara lain, penggabungan antara uang tunai 
yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil 
kegiatan yang sah .
Menurut Adrian bentuk kegiatan dari placement antara lain: 
1. Menempatkan dana pada bank, kadang-kadang kegiatan ini diikuti 
dengan pengajuan kredit atau pembiayaan; 
2. Menyetorkan uang pada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) sebagai 
pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail; 
3. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah dari suatu negara ke 
negara lain; 
4. Membiayai suatu usaha yang seolah olah sah atau terkait dengan 
usaha yang sah berupa kredit atau pembiayaan; 
5. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk 
keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai 
penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya 
dilakukan melalui PJK 
Kedua, transfer (layering), yakni usaha  untuk mentransfer harta 
kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil 
masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan (placement). Dalam 
proses ini terdapat rekayasa untuk memisahkan uang hasil kejahatan dari 
sumbernya melalui penga- lihan dana hasil placement ke beberapa 
rekening lainnya dengan serangkaian transaksi yang kompleks. Layering 
dapat pula dilakukan dengan transaksi jaringan internasional baik melalui 
bisnis yang sah atau perusahaan yang memiliki nama dan badan hukum 
namun tidak memiliki kegiatan apapun. Adapun bentuk kegiatan dari 
layering adalah: 
1. Transfer dan dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah atau 
negara; 
2. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung 
transaksi yang sah; 
3. Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan 
kegiatan usaha yang sah maupun Shell
Ketiga, menggunakan harta kekayaan (integration), yakni suatu 
usaha  menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana 
yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui placement 
atau layering sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean 
money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kegiatan 
kejahatan. 
Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di negara kita  telah 
diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik negara kita  Nomor 8 

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana 
Pencucian Uang.  Dalam hal ini pencucian uang dapat dibedakan dalam 
tiga tindak pidana: 
1. Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu setiap orang yang 
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, 
menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, 
mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga 
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut 
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau 
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 
2010). 
2. Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap 
orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, 
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau 
menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut 
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 2 ayat (1). Halini  dianggap juga sama dengan 
melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor 
yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam 
undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010). 
3. Dalam Pasal 4 UU RI No. 8 Tahun 2010, dikenakan pula bagi mereka 
yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan 
kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal 
usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan 
yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut 
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan 
pencucian uang. 
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup 
berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 
tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah (Rahmi Uzier, 2019). 
 
Pencucian Uang Menurut Pandangan Hukum Pidana Islam 
Pidana Islam dalam istilah fikih disebut jinayah, tetapi para fuqaha 
sering juga memakai kata jarimah. Kata تایانجلا adalah bentuk jamak dari 
kata ةیانج ,yang diambil dari kata ىنج - ىنجی yang artinya 
mengambil/memetik (Sayyid Sabiq: 1983, 427). Sedangkan jarimah berasal 
dari kata ََÙ…َرَج yang sinonimnya َ َعََطقَÙˆَ َبَسَÙƒ yang artinya, berusaha dan 
bekerja, pengertian usaha disini khusus untuk usaha atau perbuatan yang 
tidak  baik dan usaha yang di benci oleh manusia (Abu Zahrah, t.t.h: 22). 
Secara istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang yang 
dilarang, sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Abdul Qadir ‘Audah bahwa 
 Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan 
KUHP dan Hukum Pidana Islam  
jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik 
perbuatanini   mengenai jiwa, harta, atau yang lainnya . Sedangkan pengertian jarimah menurut istilah sebagaimana yang di 
ungkapkan oleh al-Mawardi (al-Mawardi, 1973: 219) adalah perbuatan-
perbuatan yang di larang oleh syara’ yang di ancam dengan hukuman had 
atau ta’zir. 
Menurut Ahmad Hanafi suatu perbuatan dipandang sebagai 
jarimah jika  perbuatanini  bisa merugikan tata aturan yang ada 
dalam warga  atau kepercayaannya, merugikan kehidupan anggota 
warga  atau bendanya, nama baiknya, perasaannya atau 
pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara, 
dasar larangan melakukan sesuatu jarimah ialah pemeliharaan 
kepentingan warga  itu sendiri , Suatu 
perbuatan baru bisa dianggap sebagai perbuatan yang melanggar/tindak 
pidana jika  semua unsur-unsur jarimah telah terpenuhi. Adapun 
unsur-unsur umum dari jarimah sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Abdul 
Qadir Audah adalah sebagai berikut: 
1. Terpenuhinya unsur formal (rukun syar’i),  yaitu adanya nash 
(ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan 
hukuman; 
2. Terpenuhinya unsur materil (rukun madhi), yaitu adanya tingkah laku 
yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) 
maupun sikap tidak berbuat (negatif); 
3. Terpenuhinya unsur moral (rukun adabi), yaitu bahwa pelaku adalah 
orang mukallaf, iaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban 
atas tindak pidana yang diperbuatnya. 
Pencucian Uang dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara 
tekstual dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, tetapi al-Qur’an 
mengungkap prinsip-prinsip umum untuk mengantisipasi perkembangan 
zaman, dimana dalam kasus-kasus yang baru dapat diberikan status 
hukumnya, pengelompokan jarimah-nya, dan sanksi yang akan diberikan. 
Dalam hal ini Islam sangat memperhatikan adanya kejelasan dalam 
perolehan harta benda seseorang. Hukum Islam secara detail memang 
tidak pernah menyebutkan pelarangan perbuatan pencucian uang, sebab  
memang istilah ini belum ada pada zaman Nabi. namun secara 
umum, ajaran Islam telah mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara 
yang bathil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti 
perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan 
menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri. Namun, 
berangkat dari kenyataan yang meresahkan, membahayakan, dan 
merusak, maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa 
kejahatan ini bisa diklasifikasikan sebagai jarimah ta’zir 
Secara ringkas dapat di jelaskan bahwa jarimah ta’zir adalah 
hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ namun diserahkan 
kepada hakim, baik penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam 
menentukan hukuman ta’zir, hakim hanya menetapkan secara umum, 
artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk 
masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan 
hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya 
(Djazuli, 2000: 89). Pengertian ta’zir juga dapat dipahami sebagai 
perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau 
kaffarat, bentuk hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa 
atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan berapa 
ukuran dan kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan 
tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan 
demikian, syariah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan 
bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah (Topo Santoso, 2003: 
78). 
Adapun bentuk sanksi  ta’zir bisa beragam, sesuai keputusan hakim. 
Secara garis besar jarimah ta’zir dapat dibedakan menjadi beberapa 
macam, diantaranya, hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku 
hukuman berat yang berulang-ulang, hukuman cambuk, hukuman 
penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk 
barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman 
celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi. 
Bila dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat 
dibagi kedalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut: 
1. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau kishas, tetapi 
syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian 
yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri; 
2. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi 
hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi 
takaran dan timbangan; 
3. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan 
oleh syara’ jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, 
seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran 
terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas (Muslich, 2003: 255). 
Bila dikaitkan dengan prinsif dasar ekonomi Islam dimana 
ekonomi Islam sangat concern dengan teori porudksi yang digagas oleh 
Imam Al-Gazali bahwa pencarian ekonomi merupakan bagian dari 
ibadah. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu giat bekerja 
dalam mencari harta kekayaan, baik dari perniagaan, pertanian, 
perniagaan dan lain sebagaiinya. Pekerjaan dunia menjadikannya sebgai 
ibadah dan jihad jika manusia yang bekerja murni niatnya kerna Allah 
 Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan 
KUHP dan Hukum Pidana Islam 
  
dan tidak melalaikan kewajibannya sebagai hambaNya 
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah untuk mengapai kebahagiaan 
kehidupan dunia dan akhirat, dengan memposisikan Allah lebih dari 
segalanya, menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat dan 
menghindari kerusakan dan kekacauan di dunia termasuk dalam hal 
perekonomian individu, masayarakat serta bangsa dan negara ,
Adapun ciri-ciri Ekonomi Islam sebagaimana yang dikemukan oleh 
Ahmad Muhammad Al-AssaI dan Fathi Ahmad Abdul Karim bahwa 
Ekonomi Islam mempunyai ciri-ciri khusus, yang membedakannya dari 
ekonomi hasil penemuan manusia .. Ciri-ciriini  jika diringkas 
adalah sebagai berikut : 
a. Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam yang 
menyeluruh; Bahwa ekonomi yang digagas manusia dengan segala 
asbab kelahirannya benar-benar memisahkan anatara ekonomi dan 
agama (sekuler). Yang menjadi pembeda utama antara ekonomi Islam 
dengan sistem ekonomi buatan manusia adalah hubungannya yang 
sempurna antara ekonomi dan Islam, baik sebagai akidah maupun 
syariat. Oleh sebab  itu adalah tidak mungkin untuk mempelajari 
ekonomi Islam terlepas dari akidah dan syariat Islam sebab  sistem 
ekonomi Islam merupakan bagian dari syariat dan erat hubungannya 
dengan akidah sebagai dasar. Maka jelas sekali bahwa tujuan utama 
ekonomi Islam adalah untuk mengaktualisasikan nilai-nilai maqasid al-
Syariah. 
b. Kegiatan Ekonomi dalam Islam Bersifat Pengabdian yakni sesuai 
dengan akidah umum, kegiatan ekonomi menurut Islam berbeda 
dengan kegiatan ekonomi dalam sistem-sistem hasil penemuan 
manusia, seperti kapitalisme dan sosialisme. Kegiatan ekonomi bisa 
saja berubah dari kegiatan material semata-mata menjadi ibadah yang 
akan mendapatkan pahala bila dalam kegiatannya itu mengharapkan 
wajah Allah SWT, dan ia mengubah niatnya demi keridhaanNya. 
c. Kegiatan Ekonomi dalam Islam Bercita-cita Luhur  diman sistem hasil 
penemuan manusia (kapitalisme dan sosialisme), bertujuan untuk 
memberikan keuntungan material semata-mata bagi pengikut-
pengikutnya. Itulah cita-cita dan tujuan ilmunya. 
d. Pengawasan terhadap Pelaksanaan Kegiatan Ekonomi dalam Islam 
adalah pengawasan yang sebenamya, yang mendapat kedudukan 
utama Dalam ekonomi Islam, di samping adanya pengawasan syariat 
yang dilaksanakan oleh kekuasaan umum, ada pula pengawasan yang 
lebih ketat dan lebih aktif, yakni pengawasan dari hati nurani yang 
terbina atas kepercayaan akan adanya Allah dan perhitungan hari 
akhir. 
e. Ekonomi Islam merealisasikan keseimbangan antara kepentingan 
individu dan kepentingan warga  
Dengan mengkaji ciri-ciri, prinsip-prinsip, dan etika bisnis Islam, 
maka dapat diketahui bahwa pencucian uang termasuk katagori 
perbuatan yang diharamkan sebab  dua hal; pertama dari proses 
memperolehnya, uang diperoleh melalui perbuatan yang diharamkan 
(misalnya dari judi, perjualan narkoba, korupsi, atau perbuatan curang 
lainnya) dan proses pencuciannya, kedua yaitu berusaha  
menyembunyikan uang hasil kemaksiatan dan bahkan menimbulkan 
kemaksiatan dan kemudharatan berikutnya. 
Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa Tindak Pidana 
Pencucian Uang  tidak dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an 
maupun al-Hadis, sehingga TPPU masuk dalam kategori ta’zir. Akan 
tetapi Allah melaui al-Qur’an telah mengatur tentang kejelasan dalam 
memperoleh harta benda seperti yang firman Allah SWT dalam surat al-
Baqarah ayat 188: 
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di 
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa 
(urusan) harta itu kepada hakim, susaha  kamu dapat memakan 
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) 
dosa, Padahal kamu mengetahui. 
Serta hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: 
Rasulullah saw bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah 
itu thayyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang 
thayyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada 
orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. 
Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik 
(halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha 
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai 
orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah 
kami rezekikan kepadamu.'” lalu  Nabi SAW menceritakan tentang 
seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga 
rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya 
ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, 
makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, 
pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka 
bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” 
Dari ayat dan hadis di atas jelas bahwa money laundring termasuk 
dalam kategori perbuatan tercela dan dapat merugikan kehidupan umat 
manusia. Selain itu kegiatan pencucian uang sangat jauh dari semangat 
 Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan 
KUHP dan Hukum Pidana Islam  
Maqasidu al-Syariah. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa 
tujuan diturunkannya syari’ah adalah untuk mencapai kemaslahatan dan 
menghindari kemafsadatan pada dua dimensi waktu yang berbeda, dunia 
dan akhirat. Hal ini berarti bahwa semua aspek dalam ajaran Islam, harus 
mengarah pada tercapainya tujuanini , tidak terkecuali aspek 
ekonomi. Oleh sebab nya Ekonomi Islam harus mampu menjadi pan-acea 
dan solusi terhadap akutnya problem ekonomi kekinian. Konsekuensi 
logisnya adalah, bahwa untuk menyusun sebuah bangunan Ekonomi 
Islam maka tidak bisa dilepaskan dari teori Maqashid seperti yang telah 
dijelaskan sebelumnya. Bahkan Syaikh Muhammad Thahir ibn ‘Asyur 
pernah mengatakan bahwa “Melupakan pentingnya sisi maqasid dalam 
syariah Islam adalah faktor utama penyebab terjadinya stagnasi pada fiqh
Menurut ketentuan Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang 
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang 
masuk dalam kategori kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah 
sebagai berikut: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; 
penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang 
perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; 
cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; 
penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; 
perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di 
bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau indak 
pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau 
lebih yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita  
atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita  dan tindak 
pidanaini  juga merupakan tindak pidana menurut hukum 
negara kita . Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan 
digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung 
untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan 
disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) huruf n. 
Adapun bentuk hukuman terhadap pelaku TPPU diatur dalam 
pasal 3-10 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan 
Pemberantasan TPPU yakni Setiap Orang yang menempatkan, 
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, 
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, 
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain 
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan 
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan 
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan 
dipidana sebab  tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara 
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak 
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 
Pencucian uang dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara 
tekstual dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, tetapi al-Qur’an 
mengungkap prinsip-prinsip umum untuk mengantisipasi perkembangan 
zaman, dimana dalam kasus-kasus yang baru dapat diberikan status 
hukumnya, pengelompokan jarimahnya, dan sanksi yang akan diberikan. 
Dalam hal ini Islam sangat memperhatikan adanya kejelasan dalam 
perolehan harta benda seseorang. Hukum Islam secara detail memang 
tidak pernah menyebutkan pelarangan perbuatan pencucian uang, sebab  
memang istilah ini belum ada pada zaman Nabi. namun secara 
umum, ajaran Islam telah mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara 
yang bathil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti 
perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan 
menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri. Namun, 
berangkat dari kenyataan yang meresahkan, membahayakan, dan 
merusak, maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa 
kejahatan ini bisa diklasifikasikan sebagai jarimah ta’zir, dimana benuk 
hukumannya diserahkan kepada ulil amri. 
 
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive