Tampilkan postingan dengan label sengketa 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sengketa 2. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

sengketa 2

 



Sengketa merupakan fenomena manusiawi yang hampir selalu ada 

di  warga . Jika terjadi sengketa, ada dua mekanisme yang dapat 

digunakan untuk menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan (litigasi) 

dan di luar pengadilan (non-litigasi). Paradigma litigasi meyakini bahwa 

hukum harus ditegakkan untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Di 

samping itu, juga digunakan paradigma non-litigasi, yaitu paradigma yang 

berakar pada konsensus, musyawarah atau penyelesaian damai antar para 

pihak. Falsafah resolusinya bukan untuk mencari kemenangan mutlak 

di satu pihak sehingga harus ada pihak lain yang kalah. Paradigma ini 

lebih mendorong agar konflik dapat diakhiri dengan menjadikan semua 

pihak sebagai pemenang (win-win solution). Kalaupun ada keinginan 

yang tak terpenuhi, maka kedua belah pihak harus menanggung beban 

kalah yang sama beratnya. Hukum Islam juga mengenal dua paradigma 

penyelesaian sengketa. Hukum Islam mendukung setiap sengketa 

diselesaikan secara hukum di pengadilan (al-qadha). Tidak ada yang 

salah bila  warga  membawa persoalannya dihadapan hakim. Tetapi 

hukum Islam menyerukan anjuran moral, sebaiknya para pihak berdamai 

dan menyelesaikan masalahnya secara kekeluargaan (islah, tahkim). 

Jika terjadi sengketa di  warga  maka penyelesaiannya dapat 

digolongkan menjadi dua jalur, yaitu melalui pengadilan dan di luar 

pengadilan. Kedua istilah ini dipahami dan dinamai secara berbeda-beda 

oleh para ahli. Sebagian ahli menggunakan istilah penyelesaian sengketa 

melalui lembaga negara (state institutions) dan lembaga rakyat (folk/ 

traditional institutions)  Vago menggunakan 

istilah penyelesaian sengketa secara publik dan formal (public and formal 

methods of conflict resolutions) dan penyelesaian sengketa secara non-

hukum (non-legal methods of conflicts resolutions). Kubasek dan Silverman 

menggunakan istilah litigasi (litigation process) untuk penyelesaian sengketa 

di pengadilan, dan extrajudicial settlement of disputes atau populer dengan 

istilah alternative dispute resolution (ADR) untuk penyelesaian sengketa di 

luar pengadilan,

Dalam kepustakaan Indonesia, ADR disebut pula dengan 

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Kooperatif (MPSSK), atau 

Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS). pemakaian  kata 

“di luar pengadilan,“ “alternatif “ dan “kooperatif “ menunjukkan bahwa 

para pihak yang bersengketa bebas memilih cara lain di luar pengadilan 

(lembaga negara, penyelesaian formal dan publik, litigasi) untuk 

menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Menurut UU No. 30 Tahun 1999 

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 (10) 

menyebutkan: “Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian 

sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak 

Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa 

Volume 18, number 1 (2016) 51

yakni di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi atau 

penilaian ahli.»

Penyelesaian sengketa non-litigasi sebenarnya dapat dilakukan 

baik di dalam (inside the court) maupun di luar pengadilan (outside the 

court). Dalam beberapa literatur, penyelesaian sengketa non-litigasi di 

dalam pengadilan atau disebut pula dengan Court Connected ADR atau 

ADR Inside the Court atau Court Dispute Resolution (CDR) dapat berupa, misalnya perdamaian di pengadilan. Dalam 

sistem hukum acara di Indonesia, pranata perdamaian di pengadilan 

di sebut dading. Secara formal, pedoman hakim untuk mengarahkan 

penyelesaian sengketa melalui dading diatur dalam pasal 130 HIR, sedang 

para pihak yang terlibat sengketa dalam membuat kesepakatan perdamaian 

diatur dalam pasal 1851 KUH Perdata. Pada sisi lain, pranata penyelesaian 

sengketa non-litigasi di luar pengadilan diantaranya meliputi negosiasi, 

mediasi, konsiliasi dan lain-lain. Bagaimana dengan hukum Islam? 

Artikel ini akan mengkaji bagaimana paradigma hukum Islam 

dalam menyelesaikan sengketa. Masalah yang dikaji apakah penyelesaian 

sengketa lebih condong menggunakan pranata litigasi atau non-litigasi? 

Dan masalah-masalah apa saja yang dapat diselesaikan melalui dua 

kecenderungan di atas?

Pembahasanb. 

tentang Paradigma 1. 

Ilmu pengetahuan pada dasarnya dibangun atas dasar asumsi 

dan sudut pandang tertentu tentang dunia dan atau manusia. Suatu 

pandangan  bahwa planet-planet bumi, mars dan sebagainya dalam tata 

surya ini mengelilingi matahari jelas menimbulkan konsekuensi dan 

implikasi teoritis yang berbeda dalam pengembangan ilmu astronomi bila 

dibandingkan dengan paradigma lama bahwa bumi adalah pusat jagad raya. 

Begitu pula paradigma bahwa manusia itu adalah mesin, telah melahirkan 

ilmu pengetahuan kedokteran yang memandang orang sakit sebagai mesin 

rusak sehingga harus diobati atau diperbaiki secara mekanis pula 

Abu Rokhmad  

Demikian pula suatu paradigma bahwa sumber segala eksistensi 

atau yang maujud adalah Tuhan (theocentris) jelas akan mempunyai 

implikasi yang berbeda dalam pengembangan ilmu pengetahuan, 

dibandingkan dengan paradigma lainnya bahwa manusia mempunyai 

kedudukan sentral di jagad raya (anthropocentris). Adalah juga suatu 

paradigma bila konflik tidak harus diselesaikan melalui hukum negara, 

sebab  warga  juga memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan 

masalahnya. Dua paradigma ini akan berimplikasi pada prosedur dan tata 

cara resolusi konflik yang berbeda.

Di dunia penelitian dikenal adanya dua paradigma penelitian, 

yaitu paradigma penelitian kuantitatif dan kualitatif. Secara epistemologis, 

paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan itu 

terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional dan data empiris. Oleh karena 

itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi (sesuai 

dengan teori-teori terdahulu dan sesuai dengan kenyataan empiris). 

Pengembangan ilmunya berputar dan mengikuti siklus logico-hypothetico-

verifikatif , Paradigma kuantitatif cenderung 

pada pendekatan partikularistis dan berlandaskan filsafat positivisme 

August Comte (1798-1857). Berbeda dengan yang di atas, penelitian 

kualitatif bersifat humanistik yang menempatkan manusia sebagai subyek 

utama dalam peristiwa sosial atau budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan 

pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan 

kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam kajian 

sosiologi. Dari dua paradigma penelitian ini, jelas sangat berbeda dan 

segera tampak dalam desain penelitiannya.        

Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (paradigm) pertama kali 

diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific 

Revolution (1962). 

bahwa paradigma merupakan keseluruhan susunan kepercayaan, nilai-

nilai serta teknik-teknik yang sama-sama dipakai oleh anggota komunitas 

ilmuwan tertentu  

Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa 

Volume 18, number 1 (2016) 

Secara umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan 

atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak sehari-

hari. Ada pula yang berpandangan bahwa paradigma merupakan suatu 

citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu. Paradigma 

menggariskan apa yang harus dipelajari, pernyataan-pernyataan yang 

seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah mana yang seharusnya diikuti 

dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Dengan demikian, paradigma 

ibarat sebuah jendela (mental window) yang digunakan seseorang untuk 

mengamati dunia luar atau tempat orang menjelajah dunia dengan 

wawasannya (world view)  

Menurut Patton, paradigma merupakan suatu pandangan, 

perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata 

yang kompleks, kemudian memberikan arti dan penafsiran-penafsiran. 

Pengertian ini menunjukkan bahwa paradigma bukan hanya sekedar 

orientasi metodologis atau seperangkat aturan untuk riset (a set of rules 

for research) melainkan juga membicarakan perspektif, asumsi yang 

mendasari, generalisasi-generalisasi nilai-nilai, keyakinan atau disciplinary 

matrix yang kompleks ,

Egon G. Guba berpendapat bahwa paradigma adalah seperangkat 

keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan manusia baik 

dalam tindakan sehari-hari maupun dalan penelitian ilmiah (disciplin 

inquiry paradigm). Disciplin inquiry paradigm adalah suatu keyakinan 

dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari kebenaran 

realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan tertentu ,

Dalam konteks artikel ini, paradigma tidak dalam pengertian 

penelitian ilmiah, tetapi lebih sebagai cara pandang hukum Islam 

dalam memilih atau menentukan mekanisme yang tepat untuk 

menyelesaikan sengketa. 

Hukum islam dan Penyelesaian sengketa 2. 

Bila mengkaji tentang sengketa, yang akan segera terbayang 

adalah bagaimana hukum ditegakkan (law enforcement). Sengketa tidak 

akan menjadi masalah bila mekanisme penegakan hukumnya berjalan 

sebagaimana diatur dalam suatu undang-undang. Namun, penegakan 

Abu Rokhmad

hukum bukanlah kerja otomat dan logis-linier semata Faktor manusia sangat terlibat dalam usaha menegakkan 

hukum. Dengan demikian, penegakan hukum bukan lagi merupakan 

hasil deduksi logis, melainkan lebih merupakan hasil dari pilihan-pilihan. 

Output dari penegakan hukum tidak dapat hanya didasarkan pada 

ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang ‘tidak menurut logika’ ,

Memang betul bahwa salah satu fungsi hukum adalah untuk 

menyelesaikan konflik yang terjadi di  warga  , Hukum (dengan sistem 

peradilan sebagai model yang paling jelas) baru beroperasi setelah terjadi 

konflik, yakni bila seseorang mengaku kepentingannya telah diganggu pihak 

lain. Tugas pengadilan adalah membuat keputusan yang dapat mengakhiri 

konflik ,Inilah ciri eksplisit maupun implisit 

yang mewarnai kebanyakan kajian tentang hukum dan  warga . Ketika 

hak , yang dimiliki oleh seseorang berbenturan 

dengan hak orang lain, maka saat itulah terjadi konflik antar hak dari 

orang-orang yang terlibat didalamnya. Dalam situasi demikian, keberadaan 

hukum diperlukan kembali dalam rangka menyelesaikan konflik yang 

timbul. pemakaian  hukum yang demikian dikarenakan hukum memiliki 

beberapa kelebihan, yaitu hukum bersifat rasional, integrative, legitimate, 

dan didukung adanya mekanisme pelaksanaan dan sanksi yang jelas ,

Oleh karena tanah merupakan persoalan yang kompleks dan unik, 

maka penyelesaian sengketanya—sering kali—tidak bisa hanya berdasar 

logika hukum semata, tapi juga keadilan dan kemaslahatan bersama. 

Meminjam bahasa hukum Rahardjo, dibutuhkan cara penyelesaian (baca: 

penegakan hukum) yang progresif . Baginya, 

tidak ada standar tipe penegakan hukum yang absolut. Yang ada adalah 

semacam standar struktur penegakan hukum modern. Oleh karena 

itu, dimungkinkan modifikasi tipe-tipe penegakan hukum menurut 

karakteristik bangsa tertentu. Hemat penulis, karakteristik penyelesaian 

sengketa yang progresif adalah melampaui batas prosedur hukum (tidak 

anarkis dan tetap dalam batas-batas hukum), cerdas dan bermakna,  

Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa 

Volume 18, number 1 (2016) 55

berkeadilan sosial dan bertumpu pada  warga  yang otonom (Satjipto 

Rahardjo, 2005).

Dari perspektif hukum Islam, ketika sengketa tanah telah terjadi 

ada dua  jalur penyelesaian yang dapat ditempuh, yaitu hakam (antara lain 

QS, 4: 105), dan islah (antara lain QS, 4: 128). Hakam dalam bentuknya 

yang paling konkret menjelma menjadi qadhi (hakim) atau peradilan 

(qadha/ hukumah) yang memutus perkara secara 

hukum. Sedangkan islah merupakan lembaga hukum yang mendamaikan, 

baik melalui pihak ketiga ataupun tidak (al-Munawar, 2004: 60).

Berbeda dari pendapat di atas, ada pula yang menyatakan bahwa 

penyelesaian sengketa pada prinsipnya dapat menempuh tiga jalur, yaitu 

dengan cara damai (shulh), arbitrase (tahkim) dan terakhir melalui 

proses peradilan (al-qadha’) ,Perbedaan 

dua pendapat di atas terletak pada konsep hakam, tahkim dan al-qadha’. 

Istilah hakam dan tahkim terkadang dipahami dalam konteks penyelesaian 

sengketa secara damai dengan pihak ketiga sebagai penengah (arbitrator/ 

mediator). Pengertian ini mirip dengan shulhu, hanya beda pada kehadiran 

pihak ketiga. Tetapi bila dilihat dari akar katanya, hakam dan tahkim juga 

dapat dipahami sebagai penyelesaian sengketa menurut hukum dengan al-

qadha sebagai tempatnya. Ada pula yang berpendapat, di negara-negara 

Arab (modern-pen), penyelesaian sengketa non-litigasi meliputi beberapa 

cara. Selain sulh (konsiliasi) dan tahkim atau hakam (arbitrase)—

sebagaimana pada masa Nabi Muhammad SAW dan para shahabat—juga 

dikenal dengan istilah al-wasathah (mediasi) (Salah al-Hejailan dan Fathi 

Kemicha, 1996: 3389).  

Secara bahasa, al-qadha (peradilan) dapat diartikan sebagai 

memutuskan, menyelesaikan, menetapkan dan lain-lain ( Jakarta: Depag, 

1994: 1-3). Secara istilah, menurut Salam Madkur, lembaga pengadilan 

adalah (tempat-pen) memutuskan sengketa antara manusia berdasarkan 

(ketentuan)  yang telah diturunkan Allah (Madkur: 20).  Menurut Sayyid 

Sabiq, pengadilan adalah lembaga menyelesaikan persengketaan (al-

khusumat) yang terjadi antara sesama manusia sesuai dengan aturan hukum 

yang telah disyariatkan oleh Allah SWT , Dua 

pandangan di atas menjadikan pengadilan sebagai rujukan penyelesaian 

bila terjadi sengketa, apapun jenis sengketanya (perdata atau pidana).

Abu Rokhmad

Sepanjang sejarah hukum Islam, dijumpai tiga model kekuasaan 

penegak hukum (lembaga penegak hukum), yaitu kekuasaan al-

qadha (wilayat al-qadha), kekuasaan al-hisbah (wilayat al-hisbah) dan 

kekuasaan al-madzalim (wilayah al-madhalim), yang masing-masing 

memiliki kewenangan berbeda ,Al-Qadha berwenang 

menyelesaikan  masalah-masalah tertentu, mencakup perkara-perkara 

madaniyyat, perdata (al-ahwal al-syakhsiyyah), pidana (jinayat) dan tugas 

tambahan lain. Al-Hisbah merupakan lembaga resmi negara yang diberi 

kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah ringan yang menurut 

sifatnya tidak memerlukan proses peradilan. Sedangkan al-madzalim 

merupakan badan pemerintah yang dibentuk khusus untuk membela 

orang-orang yang teraniaya akibat sikap semena-mena penguasa negara 

(yang lazim sulit diselesaikan oleh al-qadha atau al-hisbah). Lembaga ini 

juga berwenang menyelesaikan persoalan suap atau korupsi.

Dalam konteks Indonesia modern, wilayat al-hisbah dan wilayat 

al-madzalim—barangkali—dapat disejajarkan dengan state auxiliaries 

institution, yaitu lembaga negara yang bersifat mandiri dan semi kekuasaan 

yudikatif. Dalam bentuknya yang konkret, lembaga tersebut didepan 

namanya diawali “komisi“ seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha 

(KPPU) atau Komisi Pemberantasan Komisi (KPK) untuk al-Hisbah dan 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk al-Madzalim. 

Tentu saja pensejajaran ini perlu kajian lebih lanjut.  

Keberadan lembaga peradilan merupakan kewajiban kolektif 

(fardhu kifayah) untuk mencegah terjadinya kezaliman dan menyelesaikan 

persengketaan serta wajib bagi seorang hakim untuk menegakkan keadilan 

bagi umat manusia ,Salah satu fungsi peradilan, menurut 

TM. Hasbi Ash-Shiddieqy adalah menampakkan hukum agama, bukan 

menetapkan suatu hukum karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi 

oleh hakim. Hakim hanya menerapkan ke dalam alam kenyataan, bukan 

menetapkan sesuatu yang belum ada . Namun 

demikian, hakim tidak dapat menolak penyelesaian suatu perkara dengan 

alasan tidak ada ketentuan hukumnya. Oleh karena itulah, ijtihad hakim 

dibolehkan dan agama menjamin keabsahannya,

Secara bahasa, ishah adalah memutuskan persengketaan (qath’u 

al-niza’, qath’u al-munaza’ah, qath’u al-khusumah). Menurut istilah, ishlah 

Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa 

Volume 18, number 1 (2016) 57

adalah akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan 

antara dua orang atau lebih yang saling bersengketa (Sayyid Sabiq). Ishlah 

merupakan pintu masuk untuk mencegah suatu perselisihan, memutuskan 

suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila dibiarkan 

terjadi berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu 

maka ishlah mencegah hal-hal yang akan menyebabkan kehancuran dan 

menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan ,  Ishlah dapat dilakukan atas prakarsa pribadi 

pihak-pihak yang sedang bersengketa, bisa pula diusulkan oleh pihak 

lain atau melibatkan pihak ketiga (hakam). Hakam ini berfungsi sebagai 

penengah (pendamai) dari dua atau lebih pihak yang sedang bersengketa. 

Dalam istilah teknis penyelesaian sengketa non-litigasi, hakam sejajar 

dengan mediator atau  arbitator. 

Cara penyelesaian sengketa dengan baik-baik itu (amicable 

settlement) merupakan tradisi yang telah lama berakar pada  warga  

Arab bahkan sebelum agama Islam lahir di sana. Ketika risalah Islam hadir, 

tradisi itu diperkuat lagi dengan doktrin-doktrin Islam yang mengajarkan 

agar umat Islam menciptakan perdamaian dan harmoni dalam  warga . 

Hampir semua komunitas hukum memiliki tradisi-tradisi tersendiri dalam 

menyelesaikan sengketa (local wisdom), tidak hanya komunitas yang 

masih setia dengan tradisi primitifnya, bahkan juga komunitas yang sudah 

modern sekalipun. 

Dalam prakteknya, hukum Islam tidak hanya menganjurkan 

berdamai untuk kasus-kasus perdata saja, bahkan damai dimungkinkan 

untuk masalah pidana. Rasulullah bersabda: ’’Barangsiapa dengan sengaja 

membunuh, maka si pembunuh diserahkan kepada wali korbannya. Jika 

wali ingin melakukan pembalasan yang setimpal  (qishash), mereka dapat 

membunuhnya. Jika mereka tidak ingin membunuhnya, mereka dapat 

mengambil diyat (denda)........Dan bila mereka berdamai, itu terserah kepada 

wali mereka.’’ (Ash-Shiddieqy, 2001: 166) Batas-batas berdamai menurut 

Islam adalah perdamaian yang tidak menghalalkan yang haram dan 

mengharamkan yang halal,

Dengan demikian, Islam mengenal dua paradigma dalam 

penyelesaian sengketa yaitu paradigma litigasi dan non-litigasi. Paradigma 

litigasi adalah suatu pandangan dan keyakinan mendasar bahwa satu-

Abu Rokhmad

58  

satunya institusi yang tepat untuk menyelesaikan sengketa adalah lewat 

pengadilan. Sebaliknya, paradigma non-litigasi berangkat dari asumsi 

dasar bahwa penyelesaian sengketa tidak harus melalui hukum dan 

pengadilan. Cara-cara di luar pengadilan jauh lebih efektif menyelesaikan 

sengketa tanpa meninggalkan luka di hati lawan. Spirit Islam menunjukkan 

bahwa hendaknya penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara-cara 

di luar pengadilan, seperti implisit dijelaskan oleh Umar bin Khattab; 

“radd al-qadha’ baina dzawi al-arham hatta yashthalihu fa inna fashla al-

qadha’ yuritsu al-dhagain” (kembalikanlah penyelesaian perkara kepada 

sanak keluarga sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian karenan 

sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu dapat menimbulkan rasa tidak 

enak) (Madkur: 68).

Dukungan dari teks al-Qur’an maupun al-Hadits untuk 

menyelesaikan sengketa secara damai cukup banyak. Anjuran berdamai itu 

antara lain disebutkan dalam QS, 4: 128, 35, 129, 2: 182, 224, 228, 731: 

9, 10. Bahkan dalam konteks sengketa atau konflik yang telah mengeras 

menjadi perang terbuka pun, ajaran Islam tetap mensuport untuk 

dilakukan perdamaian. Seperti dijelaskan dalam surat al-Anfal (8) ayat 

61, ‘’dan apabila musuhmu condong pada perdamaian, engkau juga harus 

condong pada perdamaian…» (wa in janahu li al-salmi fa ajnah laha…). 

Jadi, perdamaian merupakan prinsip dasar dalam kehidupan (umat) Islam. 

Prinsip ini merupakan suatu jalan hidup yang memungkinkan seseorang 

atau  warga  memecahkan dan mengatasi berbagai persoalan (termasuk 

persoalan di bidang tanah) dengan cara yang mudah, lancar, seimbang dan 

adil ,Bahkan kata Islam sendiri—sebagai 

suatu nomenklatur agama—berarti agama yang damai. 

Dari ayat-ayat al-Qur’an di atas memang tidak secara spesifik 

menjelaskan tentang penyelesaian damai sengketa tanah, namun nilai-

nilai yang diajarkannya dapat diimplementasikan dalam penyelesaian 

semua kasus, termasuk sengketa tanah. Spirit damai juga dijelaskan dalam 

hadits-hadits nabi, antara lain; ’Perdamaian antara orang-orang muslim 

itu dibolehkan, kecuali perjanjian (damai) untuk mengharamkan yang 

halal dan menghalalkan yang haram 

Perdamaian dalam bentuk shulh untuk mengakhiri suatu 

persengketaan terbagi dalam tiga bentuk ,

pertama,  perdamaian dalam suatu kasus yang sudah ada pengakuan pihak 

tergugat, yaitu seorang yang menggugat pihak lain tentang sesuatu obyek 

gugatan dan pihak tergugat membenarkan isi tuntutan tergugat. Perdamaian 

demikian, menurut jumhur ulama dibolehkan. Kedua, perdamaian tentang 

sesuatu yang diingkari oleh pihak tergugat, seperti penggugat mempunyai 

hak atas sesuatu yang dikuasai oleh tergugat tetapi pihak tergugat 

menyangkal tuduhan tersebut. Menurut mazhab Malikiyyah, Hanafiah 

dan Hanabilah, perdamaian seperti demikian diperbolehkan. Alasannya 

karena keumuman ayat al-shulh khair dan hadits Nabi Muhammad SAW 

yang menganjurkan berdamai asal tidak menghalalkan yang haram dan 

mengharamkan yang halal; ketiga, perdamaian dalam kasus diamnya pihak 

tergugat, yakni adanya suatu perkara gugatan di mana pihak tergugat 

tidak memberikan jawaban atas gugatan yang dituduhkan kepadanya. 

Menurut Ibn Abi Laila, perdamaian dalam bentuk ini diperbolehkan. 

Namun mazhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa perdamaian dalam bentuk 

ini tidak diperbolehkan karena sikap diam pihak tergugat adalah bentuk 

pengingkarannya.

simpulan. 

Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa sengketa merupakan 

fenomena manusiawi yang hampir selalu ada di  warga . Langkah yang 

terbaik bila terjadi sengketa adalah diselesaikan dan bukan didiamkan 

saja. Jika terjadi sengketa, ada dua mekanisme yang dapat digunakan 

untuk menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar 

pengadilan (non-litigasi). Paradigma litigasi meyakini bahwa hukum harus 

ditegakkan untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Prosedur dan tata cara 

mengajukan perkara, hukum dan aturan-aturannya sudah jelas sehingga 

kebenaran, siapa kalah dan menang segera dapat terlihat. Keadilan akan 

terwujud bila bukti-bukti formal yang diajukan memenuhi standar norma-

norma hukum yang berlaku.

Di samping itu, di  warga  juga menggunakan paradigma non-

litigasi, yaitu paradigma yang berakar pada konsensus, musyawarah atau 

penyelesaian damai antar para pihak. Falsafah resolusinya bukan untuk 

Abu Rokhmad

mencari kemenangan mutlak di satu pihak sehingga harus ada pihak lain 

yang kalah. Paradigma ini lebih mendorong agar konflik dapat diakhiri 

dengan menjadikan semua pihak sebagai pemenang (win-win solution). 

Kalaupun ada keinginan yang tak terpenuhi, maka kedua belah pihak harus 

menanggung beban kalah yang sama beratnya.

Hukum Islam juga mengenal dua paradigma penyelesaian sengketa. 

Hukum Islam mendukung setiap sengketa diselesaikan secara hukum di 

pengadilan (al-qadha). Tidak ada yang salah bila  warga  membawa 

persoalannya dihadapan hakim. Tetapi hukum Islam menyerukan anjuran 

moral, sebaiknya para pihak berdamai dan menyelesaikan masalahnya 

secara kekeluargaan (islah, tahkim). Dengan demikian, persaudaraan 

(silaturrahmi) tetap terjaga dan perasaan tidak enak dapat dihindari. 

Menurut hukum Islam, semua sengketa dapat diselesaikan secara damai di 

luar pengadilan, termasuk perkara pidana.


Share:

Jumat, 29 Desember 2023

sengketa 2








Paradigma pengelolaan sumber daya alam di sektor pertambangan yang 
dilakukan pemerintah selama ini menimbulkan berbagai permasalahan, antara 
lain: semakin meningkatnya konflik, kerusakan lingkungan dan tingkat kemiskinan 
warga  yang belum berubah serta mengabaikan sistem nilai, sosial, ekonomi, 
dan budaya warga  lokal. Sebagaimana yang terjadi di Lumajang, Konflik 
pertambangan di Lumajang berkaitan dengan isu sengketa kepemilikan lahan 
antara warga  dengan penambang maupun perusahaan tambang, interaksi 
pelaku tambang dengan warga  sekitar lokasi tambang, legalitas aktivitas 
pertambangan, degradasi lingkungan akibat adanya aktivitas lingkungan, dan 
regulasi pertambangan. Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian 
sengketa alternatif atau alternative dispute resolution yang tidak membuat 
warga  tergantung pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun 
tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme 
ini  sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden 
serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme ini  
juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia. 

warga  Indonesia adalah warga  yang majemuk, dalam kemajemukan 
timbul berbagai hal, maka fenomena konflik atau sengketa merupakan suatu 
keniscayaan. Konflik-konflik atau sengketa dalam perebutan sumber daya alam, 
ekonomi, sosial maupun politik dapat selalu terjadi setiap saat, dan bisa berujung 
menjadi suatu sengketa.
Sebagaimana dalam paradigma pengelolaan sumber daya alam di sektor 
pertambangan yang dilakukan pemerintah selama ini menimbulkan berbagai 
permasalahan, antara lain: semakin meningkatnya konflik, kerusakan lingkungan 
dan tingkat kemiskinan warga  yang belum berubah serta mengabaikan sistem 
nilai, sosial, ekonomi, dan budaya warga  lokal.2 Kegiatan pertambangan juga 
mengakibatkan berbagai perubahan lingkungan, antara lain perubahan bentang 
alam, perubahan habitat flora dan fauna, perubahan struktur tanah, perubahan 
pola aliran air permukaan dan air tanah dan sebagainya. Perubahan-perubahan 
ini  menimbulkan dampak dengan intensitas dan sifat yang bervariasi. 
1 Menurut   warga  majemuk terbentuk dari dipersatukannya warga -warga  suku bangsa oleh sistem nasional, yang 
biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua, warga -warga  
negara jajahan adalah contoh dari warga  majemuk. Sedangkan setelah Perang Dunia kedua contoh-contoh dari warga  majemuk antara 
lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang menyolok dan kritikal dari warga  majemuk adalah hubungan antara 
sistem nasional atau pemerintah nasional dengan warga  suku bangsa, dan hubungan di antara warga  suku bangsa yang dipersatukan 
oleh sistem nasional...” dalam makalah yang ditulis oleh  , 2004, warga  Majemuk, warga  Multikultural, dan Minoritas: 
Memperjuangkan Hak-hak Minoritas, yang dipresentasikan dalam workshop Yayasan Interseksi, hak-hak minoritas dalam Landscape Multikultural, 
mungkinkah di Indonesia? Wisma PKBI, 10 Agustus 2004, diakses pertama kali dari The Interseksi Foundation, tanggal 12 Desember 2015. 
2 Rachmad Safa’at, 2016, Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Surya Pena Gemilang, Malang, h.
Selain perubahan pada lingkungan fisik, pertambangan juga mengakibatkan 
perubahan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.berdasar  observasi terkait 
kondisi aktivitas pertambangan penulis mendapati banyak fakta konflik tentang 
Pengelolaan Pertambangan. 
Pengusaha dan pekerja pertambangan seringkali tidak memperhatikan 
tentang dampak dari pertambangan, terlebih seringkali tempat penggalian sangat 
dekat dengan pemukiman warga, yang lebih parah lagi tidak jarang pengusaha 
pertambangan yang melakukan penipuan terhadap warga, sehingga memicu 
gerakan penolakan secara sporadis oleh warga. Lahan bekas pertambangan yang 
menggunakan metode ekplorasi penggalian dalam, selalu meninggalkan lahan bekas 
dengan kondisi permukaan lahan yang tidak rata, dan  tentunya berpengaruh 
terhadap lingkungan. Kondisi ini  akan memicu terjadinya konflik horizontal. 
Sebagaimana yang terjadi di Lumajang, Lumajang merupakan salah satu 
Kabupaten bagian timur di Jawa Timur dengan potensi sumber daya alam yang 
melimpah. Letak geografis kabupaten Lumajang terletak pada koordinat 112°53’ 
- 113°23’ Bujur Timur dan 7°54’ - 8°23’ Lintang Selatan. Luas wilayahnya adalah 
1.790,90 km2, sedangkan jumlah penduduknya 1.064.343 jiwa dan memiliki 
wilayah administrasi dengan 21 Kecamatan, dengan 7 Kelurahan dan 168 Desa.3 
Dilihat dari letak Kabupaten Lumajang cukup dekat dengan beberapa gunung 
yaitu Bromo, Tengger dan Semeru, dimana sekitar 60.000 hektar lahannya 
merupakan pertambangan pasir vulkanik dengan kualitas sangat baik. Kandungan 
logam yang ada  pada pasir Lumajang didominasi oleh kandungan ferum (Fe) 
yaitu sekitar 40-50% dan mengandung berbagai bahan pengotor seperti Titanium 
(Ti), Vanadium (V), Nikel (Ni), dan Cobalt (Co). Dari kandungan ini , maka 
pertambangan pasir Lumajang banyak dipakai  sebagai bahan dasar pemenuhan 
berbagai kebutuhan industri, seperti logam besi, industri semen, bahan dasar 
tinta kering (toner) pada mesin fotokopi dan tinta laser, bahan utama untuk 
pita kaset, pewarna serta campuran (filter) untuk cat, dan menjadi bahan dasar 
industri magnet permanen.
Potensi yang dimiliki Kabupaten Lumajang dengan pasir yang melimpah 
dan berbagai pemanfaatannya menjadi sumber usaha baru dan meningkatkan 
pendapatan daerah dan warga nya. Proses pemanfaatan inilah yang harus clear 
3 Indah Dwi Qurbani, 2016, Kajian Strategi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pertambangan Iron Sand (Pasir Besi) Di Provinsi Jawa Timur 
(Studi Kasus Di Kabupaten Lumajang, Kabupaten Mojokerto Dan Kabupaten Bojonegoro), didanai oleh Badan Penelitian Dan Pengembangan 
Provinsi Jawa Timur, Laporan Hasil Penelitian, 
baik dari sisi hukum maupun penataan sosial budaya lokal warga  Lumajang. 
Keinginan besar perorangan ataupun kelompok warga  untuk mengelola dan 
memanfaatkan potensi pasir Lumajang sudah menjadi naluri manusia. Secara 
sosiologis, dalam pemanfaatan potensi alam yang melimpah akan melahirkan 
kerjasama, persaingan dan konflik sosial. Situasi ini akan terus berlangsung 
sejauh potensi alam di Kabupaten Lumajang masih ada. Proses ini , menjadi 
sesuatu yang tidak bisa dihindari dengan alasan apapun, maka menjadi penting 
bagi Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk mengambil peran lebih banyak untuk 
memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah dan bagaimana mereka menjaga 
proses kerjasama, persaingan dan konflik kepentingan tetap dalam kendali.
Data Bagian Perekonomian Kabupaten Lumajang menyebutkan bahwa jumlah 
potensi pertambangan dari Gunung Semeru sangat besar dan akan bertambah 
terus sesuai dengan aktivitas gunung api yang mengeluarkan material kurang lebih 
satu juta meter kubik per tahun. Bukan saja kuantitasnya yang sangat besar, tapi 
kualitasnya juga sangat baik, bahkan terbaik se Jawa Timur. Berbagai penelitian 
menyimpulkan kualitas pasir Gunung Semeru unggul karena kandungan tanah 
(lumpur) sedikit, butiran pasirnya standar, serta warna dan daya rekatnya baik.5
Lokasi penambangan pasir dan batu cukup banyak, di antaranya di sepanjang 
Sungai Rejali, Kali Regoyo, dan Kali Glidig. Tepatnya berada di Kecamatan 
Candipuro, Pasirian, Tempursari dan Pronojiwo. Areal bahan tambang/galian 
pasir dan batu bangunan 82,50 ha dengan volume 5.976.625 m. Areal pasir dan 
batu yang di eksploitasi baru 15 ha dengan volume 239.065 m atau hanya 4% 
dari kapasitas yang tersedia.6
Khusus mengenai areal tambang pasir besi yang dimiliki Lumajang mencapai 
2.650 ha. Lokasinya memanjang dalam satu deret di sepanjang pantai selatan. 
Tepatnya, di pantai selatan Kecamatan Yosowilangun, Kecamatan Kunir, Kecamatan 
Tempeh dan Kecamatan Pasirian. Pasir besi Lumajang merupakan pasir nomor 
satu untuk konstruksi bangunan karena memiliki kandungan besi yang tinggi. 
Menurut Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Timur, kandungan 
besi antara 48,5 persen sampai 50,2 persen. Sejumlah proyek konstruksi di Jawa 
Timur menetapkan pasir Lumajang sebagai spesifikasi bangunan.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur dan Jaringan Advokasi Tambang 
(Jatam) menghitung, penambangan pasir besi ilegal berpotensi merugikan negara 

hingga Rp 11,5 triliun sejak tahun 2011. Investigasi Walhi di lapangan mendata 
truk bermuatan pasir besi sekitar 500 truk sehari. Total setahun mengangkut 6,3 
juta ton pasir besi keluar dari Lumajang.
Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), 
harga pasir besi Lumajang sebesar 36 dolar Amerika Serikat per ton. Dengan 
asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Rp. 10.000,-, sehingga total 
setahun kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Kerugian itu setara dengan 
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Lumajang selama sembilan 
tahun, dengan estimasi sebesar Rp 1,3 triliun pertahun.
Menurut data Walhi, Kabupaten Lumajang mengeluarkan izin usaha 
pertambangan terbanyak di Indonesia. Namun, pendapatan asli daerah (PAD) dari 
sektor tambang terus menyusut. Pada 2012 pendapatan mencapai 5 miliar rupiah, 
namun pada tahun 2014 turun menjadi 75 juta rupiah. Penambangan pasir liar 
dituding sebagai penyebabnya. Namun, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka kewenangan Izin Usaha 
Pertambangan menjadi kewenangan pemerintah daerah Provinsi.
Kerusakan kawasan pesisir terjadi sepanjang Lumajang yang tersebar 
di delapan kecamatan lantaran terjadi eksploitasi pasir pantai berlebihan 
menggunakan eskavator. Pasir hasil tambang pesisir selatan Lumajang dipakai  
untuk memasok kebutuhan bangunan di seluruh Jawa Timur.
Jika dilihat dari karakteristik daerah di sepanjang pesisir selatan termasuk 
Kabupaten Lumajang, bahwa daerah-daerah ini adalah wilayah pertanian yang 
subur. Namun belakangan, perombakan guna lahan gencar terjadi diperlihatkan 
dari jumlah izin penambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Konversi lahan 
pertanian (perhutani) menjadi daerah pertambangan banyak terjadi sehingga 
merugikan petani karena lahan-lahan pertanian semakin berkurang. Degradasi 
kualitas lingkungan sangat cepat. 
Dalam perencanaan tata ruang, Kabupaten Lumajang ditetapkan menjadi 
daerah rawan bencana termasuk banjir dan tsunami. Namun di sisi lain Kabupaten 
Lumajang juga ditetapkan sebagai daerah pertambangan. Hal ini menunjukkan 
adanya tumpang tindih rencana pemanfaatan lahan. Konflik lahan rawan terjadi.
Konflik pertambangan di Lumajang berkaitan dengan isu sengketa kepemilikan 
lahan antara warga  dengan penambang maupun perusahaan tambang, 
interaksi pelaku tambang dengan warga  sekitar lokasi tambang, legalitas 

aktivitas pertambangan, degradasi lingkungan akibat adanya aktivitas lingkungan, 
dan regulasi pertambangan.
Berdasarkan data ini  adanya keterbatasan atau kurangnya kemampuan 
negara melayani warga nya memperoleh keadilan dalam pelayanan hukum, 
maka beberapa persoalan yang akan muncul, mulai dari eigenrechting, sampai 
pada persoalan perubahan nilai-nilai dan penyimpangan terhadap nilai-nilai budaya 
dalam warga  bahkan legal gap yaitu, ada  silang selisih antara apa yang 
dihukumkan secara resmi oleh kekuasaan nasional dan apa yang dijalani dalam 
kehidupan sehari-hari sebagai hukum oleh warga  setempat. 
Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif 
atau alternative dispute resolution yang tidak membuat warga  tergantung 
pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan 
rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme ini  sebenarnya telah 
memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan 
di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme ini  juga memiliki potensi 
untuk semakin dikembangkan di Indonesia. 

A. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Disputes Resolutions)
Alternatif Dispute Resolution (ADR) sering diartikan sebagai alternative to 
litigation dan alternative to adjudication. Pilihan terhadap salah satu dari dua 
pengertian ini  menimbulkan implikasi yang berbeda. sebagai alternative 
to litigation maka ADR adalah salah satu mekanisme penyelesaian sengketa non 
litigasi dengan mempertimbangkan segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan 
masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi pihak yang bersengketa. 
Sedangkan apabila ADR dimaknai sebagai alternative to adjudication dapat 
meliputi mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus seperti halnya 
negoisasi, mediasi dan konsiliasi.7
Secara antropologis setiap orang dalam suatu komunitas memiliki sistem 
dan mekanisme penyelesaian sengketa. Bagi sebagian warga  Indonesia yang 
hidup di pedesaan yang merupakan warga  adat jika timbul sengketa diantara 
mereka jarang sekali dibawa ke pengadilan negara untuk diselesaikan. Mereka 
lebih suka dan dengan senang hati membawa sengketa ke lembaga yang tersedia 
pada warga  adat untuk diselesaikan secara damai. Dalam warga  hukum 
adat penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di hadapan kepala desa atau hakim 
adat. Secara historis kultural warga  Indonesia sangat menjunjung tinggi 
pendekatan konsensus. Pengembangan penyelesaian sengketa di Indonesia sesuai 
dengan mekanisme pengambilan keputusan secara tradisional dan penyelesaian 
sengketa secara adat. Alasan kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR di 
Indonesia tampak lebih kuat daripada ketidakefisienan proses peradilan dalam 
menangani sengketa,
Konflik
Konflik berasal dari terminologi kata bahasa inggris conflict, yang berarti 
persengketaan, perselisihan, percekcokan dan pertentangan. Konflik atau 
persengketaan tentang sesuatu terjadi antara dua pihak atau lebih. Konflik atau 
perselisihan nyaris tidak terpisah dari kehidupan manusia dan warga  sehingga 
sulit dibayangkan bila warga  tanpa konflik. Konflik atau sengketa merupakan 
kosakata yang acapkali muncul dalam fenomena kehidupan berwarga , 
berbangsa bahkan bernegara. Konflik atau sengketa tidak lagi bersifat ideologis 
tetapi sudah bergeser ke arah konflik multikultural yang berbasis pada perbedaan, 
pergeseran bahkan perubahan pemahaman berbudaya warga . Pergeseran 
pemahaman konflik atau sengketa pada gilirannya berdampak pada munculnya 
berbagai konsep alternatif penyelesaian sengketa.9
Konflik dimaknai sebagai suatu struktur ketegangan mental di tengah 
warga , oleh Karl Marx dipahaminya sebagai class struggle.10 Konflik terjadi 
selama ini lebih didominasi oleh pertarungan pada sektor-sektor strategis 
(sumber daya), tentu karena harapan untuk lebih survival.11 Konflik pertambangan 
di Kabupaten Lumajang berkaitan dengan isu sengketa kepemilikan lahan 
antara warga  dengan penambang maupun perusahaan tambang, interaksi 
pelaku tambang dengan warga  sekitar lokasi tambang, legalitas aktivitas 
pertambangan, degradasi lingkungan akibat adanya aktivitas lingkungan, dan 
regulasi pertambangan.
Pemetaan tipologi konflik dilakukan dengan mengelompokkannya ke dalam 
ruang-ruang konflik. Kriteria-kriteria ruang konflik ini  menurut Fuad dan 
Maskanah terbagi kedalam lima ruang konflik, yaitu:
Pertama, Konflik Data. Terjadi ketika seseorang mengalami kekurangan 
informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat 
informasi yang salah, tidak sepakat mengenai data yang relevan, menerjemahkan 
informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian yang 
berbeda. Dari penafsiran diatas dapat dipahami bagaimana informasi  yang beredar 
dalam aktivitas pertambangan bisa memunculkan konflik terbuka maupun tidak.  
keberadaan regulasi tentang pertambangan juga menyumbang potensi konflik, baik 
itu dalam bentuk ketidak tegasan dalam pengawalan regulasi maupun regulasi 
yang ambigu. Kewenangan dalam pengawalan regulasi tentang pertambangan 
antara Kabupaten dengan Provinsi juga menyulitkan dalam proses penindakan 
dan pencegahan secara cepat.
Kedua, konflik kepentingan disebabkan oleh persaingan kepentingan yang 
dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan 
terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif (misalnya uang dan 
sumberdaya), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah) atau masalah 
psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat). Konflik kepentingan 
merupakan tipologi konflik paling dominan. Pemilik modal, pemerintah, penambang 
tradisional dan warga  memiliki kepentingan yang sangat besar dalam aktivitas 
pertambangan. warga  sekitar lokasi tambang melihat aktivitas dalam dua 
sisi: 1). warga  dirugikan dengan rusaknya fasilitas umum, hilangnya lahan, 
dan rusaknya lingkungan sosial warga . 2). warga  merasa diuntungkan 
dengan aktivitas ini  karena mempunyai mata pencaharian, dilibatkan dalam 
aktivitas pertambangan, dan mendapatkan kompensasi ekonomi. Pemerintah 
daerah melihatnya dalam tiga sisi: 1). Tambang bisa menjadi sumber pendapatan 
daerah. 2). Pemerintah melihat aktivitas tambang sebagai sebuah ancaman karena 
dampaknya terhadap stabilitas sosial, dimana pemerintah pada akhirnya harus 
menanggung keseluruhan proses pemulihan jika terjadi kerusakan maupun konflik 
horizontal. 3). Pemerintah melihat aktivitas pertambangan dalam kerangka regulasi 
yang harus dikawal dan ditegakkan.
Ketiga, konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi 
negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tingkah laku negatif 
yang berulang (repetitif). Masalah-masalah ini sering menimbulkan konflik yang 
tidak realistis atau yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tipologi ini terjadi di 
Lumajang. Kecemburuan dan persaingan antara pelaku tambang yang terjadi 
kerap menimbulkan gesekan yang berakibat pada timbulnya konflik Horizontal. 
Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dilapangan terkait konflik horizontal antar 
pelaku tambang. Konflik terjadi antara warga  dengan para penambang 
akibat tidak adanya sosialisasi dan penglibatan dalam proses pertambangan 
kerap menimbulkan konflik. Tidak adanya konpensasi kepada warga  dari 
pihak penambang dan penglibatan warga  setempat sering menjadi sumber 
utama dalam tipologi konflik yang terjadi.
Keempat, konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak 
bersesuaian baik yang hanya dirasakan maupun memang nyata. Nilai adalah 
kepercayaan yang dipakai  manusia untuk memberi arti pada hidupnya. Sehingga 
konflik nilai terjadi ketika seseorang berusaha untuk memaksakan suatu sistem 
nilai kepada orang lain atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan 
di dalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan kepercayaan. Penegakan 
regulasi merupakan sumber konflik yang paling dominan. Masalah kewenangan 
antara pemerintah Provinsi dan pemerintah Daerah membuat para pengambil 
keputusan di Daerah mengalami kesulitan untuk melakukan penegakan regulasi 
akibat terbatasnya kewenangan yang dimiliki daerah. Sehingga penanganan dan 
tindakan yang memerlukan kesegeraan terhambat. Pemerintah daerah sudah 
tidak memiliki kewenangan baik dalam Proses Perizinan maupun pengawasan. 
Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kabupaten sifatnya hanya membantu 
pemerintah provinsi.
Kelima, konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan 
akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki 
wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya memiliki peluang 
untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Pasca 
tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan 
Daerah dan digantikan dengan  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang 
Pemerintahan Daerah pemerintah kabupaten/kota kebingungan mengambil 
langkah. Sebaliknya, para pengusaha pertambangan juga kesulitan mengajukan izin 
dengan alasan belum ada Peraturan Pemerintah atas Undang-Undang Nomor 23 
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini . Dalam Undang-Undang  23 
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mencabut kewenangan Pemerintah 
Kabupaten/Kota dalam mengeluarkan izin usaha pertambangan.
Dalam pandangan Dahrendorf warga  mempunyai sisi ganda konflik dan 
konsensus yang menjadi persyaratan satu sama lain. Tidak akan ada konflik kecuali 
ada konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa adanya konsensus sebelumnya. 
Konsep konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang 
dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme. 
Hal ini posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas 
terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di dalam posisi). Kepentingan 
dikategorikan Dahrendorf menjadi kepentingan tersembunyi dan kepentingan 
nyata.12
Konflik dapat menciptakan konsensus dan integrasi. Oleh sebab itu, proses 
konflik sosial merupakkan kunci adanya struktur sosial. Dahrendrof berpendapat 
bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan ada  
ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk 
pada struktur itu. Kekuasaan memisahkan dengan tegas antara penguasa dan 
yang dikuasai, sehingga di dalam warga  ada  dua pihak yang saling 
bertentangan karena adanya perbedaan kepentingan.13
Konflik yang terjadi di kawasan pertambangan Lumajang melibatkan banyak 
aktor intelektual dan juga pemegang modal. Apabila ditelaah, maka dapat dikatakan 
bahwa konflik pertambangan di kabupaten Lumajang terjadi pada dua tataran 
yaitu tataran makro dan tataran mikro. 
Pada tataran makro, konflik terjadi pada lingkup horizontal yang lebih 
luas, mencakup konflik antar pemerintah sebagai pemangku kekuasaan baik 
itu pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah Pusat. Pada tataran mikro, 
konflik terjadi antara warga  setempat dengan perusahaan dan pemerintah 
setempat, atau dengan oknum spekulan dan aparat. 
Konflik pada tataran mikro ini, umumnya terjadi pada tataran lokal yang 
melibatkan perusahaan legal dan non illegal dengan warga  lokal. ada  
3 (tiga) jenis konflik yang terjadi di kabupaten Lumajang. Pertama, Regulasi di 
tingkat daerah terkait aspek Teknik tambang yang dipakai  oleh para penambang, 
aspek sosial budaya, aspek perizinan, aspek tata ruang kewilayahan, dan kepastian 
hukum. Kedua, Terkait tatacara atau teknik, bagaimana sistem eksplorasinya, 
pengelolaan, reklamasi, dan Pendistribusian hasil tambang (transportasi dan jalan). 
Ketiga, Resistensi dari warga . Tidak adanya pelibatan warga  disekitar 

aktivitas lokasi tambang, Tidak adanya konpensasi, Merusak lingkungan, dan 
Aktivitas ilegal. Penambang berasal dari daerah luar, warga  tidak dilibatkan 
dalam kegiatan pertambangan, penguasaan lahan galian secara ilegal oleh pelaku 
tambang, tidak adanya konpensasi yang diberikan oleh penambang terhadap 
dampak yang diakibatkan aktivitas pertambangan, dan tambang yang dilakukan 
di sepanjang bantaran Daerah Aliran Sungai menyebabkan tanah disekitar sungai 
mengalami abrasi dan beberapa rumah longsor. Lahan pertanian warga warga  
disekitar lokasi tambang hilang atau rusak akibat aktivitas pertambangan, rusaknya 
ekosistem dan infrstruktur, serta tambang dilakukan dengan cara mekanik dan 
cenderung eskploratif sehingga kawasan jadi rusak.
Dari uraian ini  secara garis besar berbagai konflik pertambangan yang 
terjadi di Kabupaten Lumajang dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk 
konflik sebagai berikut:
a)berdasar  sifatnya;
Konflik ini  dapat dibedakan menjadi konflik destruktif dan konflik 
konstruktif. 
1. Konflik Destruktif 
Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, 
rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun  kelompok terhadap pihak 
lain. Kejadian di Kabupaten Lumajang merupakan contoh kongkrit dalam 
kasus konflik Destruktif yang terjadi dalam kegiatan pertambangan. Selain 
itu persaingan yang terjadi antar para penambang baik itu penambang 
lokal dengan pengusaha. Konflik destruktif ini juga berlaku dimana para 
pelaku tambang melaporkan para pelaku tambang yang lain.
2. Konflik Konstruktif 
Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul  karena 
adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok  dalam menghadapi 
suatu permasalahan. Konflik ini akan  menghasilkan suatu konsensus 
dari berbagai pendapat ini   dan menghasilkan suatu perbaikan. 
Dalam konflik yang bersifat konstruktif, warga  memprotes 
keberadaan aktivitas tambang terutama yang ilegal baik itu dari segi 
aspek eksplorasinya maupun aspek interaksi dengan warga  
lokal. Dalam beberapa kasus yang terjadi di daerah ini , aktivitas 
pertambangan dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap stabilitas sosial 
kewarga an dibandingkan nilai ekonomis yang akan mereka dapat.
b)berdasar  Posisi Pelaku yang Berkonflik;
1. Konflik Vertikal 
Merupakan konflik antar komponen warga  di dalam satu  struktur 
yang memiliki hierarki. 
Dalam kasus pertambangan, konflik terjadi dalam perumusan, 
pembuatan, dan pengambilan kebijakan. Keberadaan regulasi sebagai 
produk  kebijakan pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi 
maupun Pemerintah Kabupaten harus memberikan kepastian dan jaminan 
hukum, baik itu dari segi kewenangan daerah, hak warga , dan proses 
legalitas mutlak diperlukan. 
Dalam kasus Lumajang, terjadi tarik ulur kewenangan antara 
Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten terkait kewenangan 
pengelolaan tambang. Kondisi ini memicu terjadinya konflik vertikal antara 
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dengan Pelaku tambang 
serta warga .
2. Konflik Horizontal 
Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok  yang 
memiliki kedudukan yang relatif sama. 
Hampir semua daerah mengalami konflik ini , di Lumajang 
misalnya, warga  dengan warga  (Pro dan kontra) sehingga 
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
3. Konflik Diagonal 
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi 
sumber daya ke seluruh organisasi sehingga  menimbulkan pertentangan 
yang ekstrim. 
Keengganan sebagian perusahaan tambang melibatkan warga  
lokal juga mengakibatkan terjadinya konflik. Selain itu aktivitas tambang 
yang dilakukan oleh orang dari luar daerah juga menyebabkan terjadinya 
konflik diagonal ini .
Bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, 
mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), dan détente.berdasar  observasi 
dan wawancara penulis maka, pendekatan yang dipakai  dalam 
pengendalian konflik oleh Kabupaten Lumajang ada lima yaitu: Konsiliasi, 
mediasi, arbitrasi,  perwasitan dan detente.


1. Konsiliasi 
Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu 
yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan 
keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan 
mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. Hasil 
Wawancara dengan beberapa narasumber pendekatan rekonsiliasi 
banyak dipakai . 
2. Mediasi
Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang  
bersengketa bersama-sama sepakat untuk memberikan nasihatnya 
tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan 
mereka. Usaha untuk memfasilitasi dan mempertemukan kelompok-
kelompok yang terlibat dalam konflik juga telah dilakukan. 
3. Litigasi
Model penyelesaian ini dilakukan oleh semua daerah pertambangan, 
dimana penyelesaiaan konflik akan dilakukan dengan cara penegakan 
peraturan maupun menyerahkan kepada pihak yang berwenang 
dalam menangani hukum, baik yang sifatnya perdata maupun pidana.  
Kabupaten lumajang misalnya menyerahkan penyelesaikan konflik 
melalui proses Hukum. 
4. Perwasitan
Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat 
untuk memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan 
konflik yang terjadi diantara mereka. Model ini akan mengacu pada 
tatanan peraturan dan perundangan sebagai garis acuan untuk 
mengurangi dan menyelesaikan konflik. 
5. Detente
Sebuah usaha untuk mengurangi hubungan tegang antara beberapa 
pihak yang bertikai. Cara ini merupakan persiapan untuk mengadakan 
pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkah-langkah 
mencapai perdamaian. Untuk menghindari timbulnya ketegangan di 
Kabupaten Lumajang, telah melakukan sosialisasi untuk memenuhi 
segala legalitas termasuk aspek amdalnya.
Usaha penyelesaian konflik tambang memiliki banyak hambatan dan tantangan. 
Hambatan-hambatan ini  berhubungan erat dengan sistem sosial budaya dan 
ekonomi yang berlaku di lokasi pertambangan. Hal itu juga dialami oleh pemerintah 
daerah Kabupaten Lumajang. Hambatan dan tantangannya seperti berikut:
1. warga  dalam menyelesaikan konflik pertambangan cenderung menjadikan 
konflik sebagai masalah antara bukan masalah  utama, karena ujung-ujungnya 
warga  hanya menginginkan kompensasi semata.
2. Kebanyakan warga  di lokasi pertambangan hanya pelaksana. Usaha 
pertambangan  biasanya dimiliki para pemodal dari luar yang kadang-kadang 
tidak diketahui siapa pemodalnya. Jarang sekali pemodal yang dari warga  
setempat, apalagi aktikvitas pertambangannya sudah menggunakan metode 
modern.
3. Kewenangan untuk  penindakan pertambangan sudah ditarik ke Pemerintah 
Provinsi, sehingga Pemerintah Kabupaten tidak memiliki kewenangan, 
dan hanya  sebatas membantu jika diminta oleh Pemerintah Provinsi atau 
Pemerintah Pusat.
4. Belum adanya kesepahaman bersama terkait penanganan konflik  
pertambangan. Kecenderungan penanganan sektoral masih terjadi.

Berdasarkan hasil studi konflik pertambangan di Kabupaten Lumajang 
dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu proses disosiatif yang tajam 
yang menekankan pada oposisi, akan tetapi konflik sebagai bentuk proses 
sosial mempunyai fungsi yang positif bagi warga . Hal itu tergantung pada 
permasalahan dan juga dari struktur sosial yang menyangkut tujuan, nilai ataupun 
kepentingan terhadap konflik, dimana konflik diharapkan menghasilkan adanya 
penyesuaian kembali terhadap norma-norma dan hubungan sosial dalam kelompok 
yang bertikai sesuai dengan kebutuhan setiap kelompok. Sikap toleran diperlukan 
dalam usaha penanganan konflik sebagai jalan untuk mengetahui sumber-sumber 
masalah pembawa konflik yang memberikan jalan menuju tercapainya stabilitas 
dan integritas di warga .
Dalam proses penyelesaian konflik, permasalahan konflik diidentifikasi 
secara bertahap dimulai dengan penelusuran pihak-pihak yang terlibat, faktor 
penyebabnya serta hubungan diantara pihak-pihak. Hal ini penting dalam 
menggambarkan konflikberdasar  sejarah terjadinya sehingga berguna untuk 
merumuskan jalur penyelesaian terhadap konflik. Penyelesaian konflik bertujuan 
untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang 
bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah 
melalui jalur hukum.
Resolusi konflik adalah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik 
dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa. Resolusi 
konflik telah dilakukan oleh berbagai pihak baik itu melalui pihak ketiga yaitu 
dengan cara mediasi. Kehadiran konflik dalam penambangan di Kabupaten 
Lumajang tidak dapat dihindarkan tetapi, hanya dapat diminimalisir baik konflik 
antara warga  pro dan kontra tambang, warga  kontra tambang dengan 
perusahaan.
Kaidah/norma hukum merupakan refleksi atau cerminan kepentingan negara 
dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang di dalamnya 
terkandung esensi moral/kepatutan, kebiasaan warga  (consent) dan hukum 
positif. Jika pandangan itu dikaitkan dengan persoalan kemelut penambangan pasir 
di Kabupaten Lumajang. Menjadi penting dilakukan bagi pihak yang berwenang 
menjaga keamanan dan kenyamanan warga yang berkonflik di Kabupaten 
Lumajang, untuk selalu memberikan porsi khusus terhadap isu-isu konflik yang 
berkembang. Mereka harus mampu memanfaatkan sebagai institusi yang berhak 
melakukan pencegahan dan penegakan secara hukum. Tentu kerjasama dan kajian 
mengenai isu-isu konflik harus dilakukan dengan kelompok warga  atau 
institusi yang bersentuhan langsung dengan konflik yang dihadapi warga . 
Mempelajari isu konflik dengan kecepatan dalam merespon situasi konflik 
dapat diyakini akan mampu merekayasa agar konflik tidak berkembang 
menjadi konflik kekerasan. Kekerasan tidak akan terjadi ketika isu-isu konflik 
yang berkembang segera di atasi, baik oleh pemerintah Kabupaten Lumajang 
maupun oleh kepolisian setempat. Penghentian sementara penambangan oleh 
pemerintah kabupaten dan Pemerintah Provinsi merupakan solusi yang tepat 
dalam situasi konflik terbuka, yang ditindaklanjuti dengan melakukan kajian 
secara menyeluruh mengenai potensi sumber daya alam, menemukan regulasi 
yang mampu mengakomodir banyak kepentingan, dan mengelola sumber daya 
alam. Diperlukan konsistensi kebijakan maupun tindakan dari pemerintah daerah. 
Musyawarah mufakat di tingkat desa untuk semua kelompok warga yang terlibat 
konflik penambangan harus dilakukan, musyawarah merupakan langkah konkrit 
yang mendasarkan kepada budaya lokal sebagai nilai yang harus dijunjung 
tinggi. Institusi di atas desa adalah pihak yang juga harus mengambil inisiasi 
melakukan musyawarah mufakat atau pihak lain yang dianggap bisa mewakili 
keduanya. Semangat kekeluargaan harus menjadi ruh dalam penyelesaian konflik 
penambangan sehingga diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya 
konflik berkelanjutan.
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive