Tampilkan postingan dengan label pencucian uang 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pencucian uang 1. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

pencucian uang 1

 




Pencucian uang yaitu  tindak pidana ikutan (underlying crime) dari tindak 
pidana asal (predicate crime). Pidana asal ini  akan menjadi dasar apakah suatu 
transaksi dapat dijerat dengan undang-undang anti pencucian uang. Jika suatu 
perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana, maka uang hasil kegiatan ini  
akan dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang.
  Adanya ketentuan bahwa TPPU merupakan kejahatan yang berdiri sendiri 
pun dalam prakteknya belum dapat diterapkan secara murni. Pembuktian TPPU dalam 
hal ini masih memerlukan adanya suatu tindak pidana yang menghasilkan seluruh atau 
sebagian dari harta kekayaan yang akan dirampas. Selain itu, penerapan pembuktian 
terbalik oleh terdakwa pun sangat dimungkinkan justru merugikan proses penuntutan, 
mengingat pelaku sangat memungkinkan untuk menunjukkan sumber perolehan 
kekayaannya yang tidak wajar berasal dari bisnis, padahal merupakan hasil rekayasa 
dengan bantuan gatekeepers.
Dalam perkara TPPU, aparat penegak hukum harus membuktikan darimana 
harta dan atau aset berasal dari suatu tindak pidana asal atas harta dan atau aset yang 
menghasilkan harta dan atau aset.  

 
Sementara itu menurut Jan Remmelijk, tindak pidana diartikan sebagai “perilaku 
manusia” (gedagringen: yang mencakup dalam hal ini berbuat maupun tidak 
berbuat) yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya-
perilaku mana dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana 
(Hukum Pidana.2000. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 86). 
Sementara itu, menurut  Barda Nawawi Arief, istilah tindak pidana sebagai istilah 
yang lebih disukai oleh penyusun rancangan KUHP, dirumuskan sebagai 
batasan/pengertian yuridis mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana, 
dirumuskan dalam Pasal 11 KONSEP sebagai berikut: 
1) Tindak pidana yaitu  perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang 
oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang 
dilarang dan diancam dengan pidana. 
2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan ini  dilarang dan 
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat 
melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. 
3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada 
alasan pembenar. 
(Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana. Perspektif Perbandingan hukum 
Pidana. 2007. Semarang:Pustaka Magister. Hal.38) 
2. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang 
Pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan sebagai suatu 
suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai 
uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius, korupsi, penggelapan pajak, 
judi, penyelundupan dan lain-lain yang dikonversi atau diubah ke dalam bentuk 
yang tampak sah agar dapat digunakan dengan aman.
Tindak Pidana Pencucian Uang atau disingkat TPPU atau money laundering yaitu  
perbuatan pidana yang antara lain menempatkan, mentransfer, membayarkan, atau 
membelanjakan, mengibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, 
dan menyembunyikan atau menyamarkan objek berupa harta kekayaan yang 
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

 
berdasar  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan 
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), formulasi TPPU 
mengalami perubahan, sehingga penjelasan unsur perbuatan pencucian uang 
sebagai berikut: 
1) "Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, 
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah 
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain 
atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil 
tindak pidana ...” (Pasal 3); 
2) "Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, 
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas 
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak 
pidana ..." (Pasal 4); 
3) "Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, 
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau memakai  harta 
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak 
pidana ..." (Pasal 5). 
3. Pembuktian Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)  
Pada Pasal 189 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), 
untuk dapat menghukum terdakwa, hakim harus yakin atas dua alat bukti yang 
disampaikan penuntut umum di sidang pengadilan. Dua alat bukti biasanya 
disampaikan untuk masing-masing unsur tindak pidana. 
berdasar  Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hukum acara 
yang dipakai dalam pembuktian yaitu  hukum acara yang diatur dalam KUHAP 
dan undang-undang lain yang juga mengatur hukum acara seperti Undang-Undang 
TPPU, dan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi. Untuk tindak pidana asal pembuktian dilakukan oleh jaksa penuntut 
umum.  
Sementara itu, dalam perkara TPPU dikenal adanya pembuktian terbalik, 
yaitu terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan 
perkara itu bukan berasal dari tindak pidana. Unsur yang harus dibuktikan oleh 
terdakwa, yaitu objek perkara yang berupa harta kekayaan yang terkait dengan 
 
 
perkara bukan berasal dari tindak pidana. Untuk unsur lainnya tetap harus 
dibuktikan oleh jaksa penuntut umum.  
Teori pembuktian atau sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah sistem 
pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian negatif 
diperkuat oleh prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman.

 Indonesia menganut 
sistem pembuktian yang disebut dengan sistem pembuktian negatif (negatief 
wettelijk) seperti yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Menurut pasal ini untuk 
dapat menghukum seseorang, hakim mendasarkan pada dua alat bukti yang sah 
menurut undang-undang, dan ada  keyakinan hakim, bahwa tindak pidana 
benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. 
Dalam perkembangan sistem pembuktian pidana juga mengenal sesuatu 
yang baru, yakni sistem pembalikan beban pembuktian (Omkering van het 
bewijslast). Sistem pembalikan beban pembuktian atau yang lebih dikenal 
masyarakat dengan pembuktian terbalik merupakan sistem yang meletakkan beban 
pembuktian pada tersangka.

 Artinya, lazimnya jika merujuk pada KUHAP maka 
yang berhak membuktikan kesalahan terdakwa ialah jaksa penuntut umum akan 
tetapi sistem pembuktian terbalik terdakwa (penasihat hukum) akan membuktikan 
sebaliknya terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan 
tindak pidana yang didakwakan.

  
Pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan 
dan Pemberantasan TPPU mengatur tentang pembalikan beban pembuktian atau 
pembuktian terbalik. Pada Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 
mengatur bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa wajib 
membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. 
Selanjutnya, berdasar  Pasal 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hakim 
memerintahkan terdakwa agar membuktikan, bahwa harta kekayaan yang terkait 
dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana asal yang disebut di 
Pasal 2 ayat (1). Dengan demikian, kewajiban terdakwalah untuk membuktikan 
bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara TPPU bukan berasal dari tindak 
pidana asal, misalnya korupsi. 
                                                           

 
4. Pemisahan Pembuktian Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) 
dengan Tindak Pidana Asalnya 
a. Penggabungan/Pembarengan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan 
Tindak Pidana Asal 
Terkait dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang 
berbarengan dengan tindak pidana pencucian uang dikenal sebagai Concurcus 
Realis. Concurcus Realis yaitu  seseorang melakukan beberapa perbuatan 
pidana, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri. Sebagai suatu tindak 
pidana (hal ini tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). 
Hukum pidana mengenal 3 (tiga) jenis perbarengan tindak pidana 
yaitu:

 
1) Perbarengan peraturan (concurcus idealis) 
2) Perbuatan Berlanjut (vorgezette handelings); dan 
3) Perbarengan Perbuatan (concurcus realis). 
Uraian dari jenis-jenis perbarengan tindak pidana, sebagai berikut: 
1) Perbarengan peraturan (concurcus idealis) atau eendaaadse semenloop 
yaitu  jika ada  suatu perbuatan yang meskipun dicakup dalam lebih 
dari suatu perumusan perbuatan pidana secara yuridis dipandang sebagai 
suatu perbuatan.
 Ketentuan yang mengatur yaitu  Pasal 63 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). 
2) Perbuatan Berlanjut (vorgezette handelings) 
yaitu  terjadi beberapa perbuatan pidana bertalian satu dengan lainnya 
sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut. Ketentuan 
yang mengatur yaitu  Pasal 64 KUHP. 
3) Perbarengan Perbuatan (concurcus realis) 
yaitu  dimana perbarengan perbuatan terjadi jika  seseorang yang 
melakukan dua atau lebih tindak pidana sehingga sebab nya ia secara 
hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih tindak pidana sehingga 
sebab nya ia secara hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan 
pidana, atau dengan kata lain seorang melakukan beberapa perbuatan yang 
                                                           
tidak ada hubungannya satu sama lain dan masing-masing perbuatan itu 
merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.

Selanjutnya, jika dilihat dari uraian di atas maka tindak pidana 
pencucian uang dengan tindak pidana asal (tindak pidana korupsi) termasuk 
pada perbarengan perbuatan pidana (concurcus realis).
Dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang 
Pencegahan dann Pemberantasan  Pencucian Uang juga dinyatakan bahwa 
dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya 
Tindak Pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik 
menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak 
pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada Pusat Pelaporan dan 
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dengan demikian dari ketentuan pasal 
ini , penyidikan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dan tindak 
pidana asal dapat dilakukan perbarengan secara bersamaan. 
b. Alat Bukti Permulaan  
berdasar  Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang 
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk 
memulai suatu penyidikan harus ada bukti permulaan. Terkait Tindak Pidana 
Pencucian Uang dan tindak pidana asal, dalam hal penyidik menemukan bukti 
permulaan yang cukup, penyidik dapat menggabungkan dan memberitahukan 
kepada PPATK. 
Pemisahan penyidikan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana 
pencucian uang sangat bergantung pada arah dominan alat bukti permulaan. 
Jika dominan alat bukti permulaan, kecenderungan mengarah ke tindak pidana 
pencucian uang, maka penyidikan dapat dipisahkan. Namun, jika sumir atau 
mengarah kepada tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal, maka 
harus dilakukan penyidikan digabungkan sehingga dibuktikan secara 
bersamaam secara maksimal.
c. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Independent Crime 
berdasar  Pasal 69 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang 
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang 
menyatakan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan 
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak 
wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Dari ketentuan pasal 
ini  untuk dapat menyelesaikan perkara TPPU, tidak wajib dibuktikan 
terlebih dahulu tindak pidana asalnya (predicate crime). 
Terkait dengan pembuktian TPPU, Mahkamah Konstitusi (MK) 
menegaskan penyidikan tindak pidana pencucian uang bisa dilakukan tanpa 
perlu dibuktikan adanya tindak pidana asalnya terlebih dahulu. Tapi setelah 
TPPU terbukti, maka pidana asalnya wajib dibuktikan kemudian.
Hal ini  di atas dipertegas dengan keluarnya Keputusan Mahkamah 
Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 yang diajukan oleh M. Akil Mochtar. 
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 tanggal 15 Desember 
2014, salah satu amar putusannya menegaskan dalam pembuktian Tindak 
Pidana Pencucian Uang tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana 
asalnya (Predicate Crime). Hal ini sesuai dengan Pasal 69 UU Nomor 8 Tahun 
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang. Selain itu, UU 
Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang 
juga menegaskan bahwa Tindak Pidana Pencucian uang merupakan tindak 
pidana yang berdiri sendiri. Hal ini  juga tertuang sangat tegas dalam 
pertimbangan hukum yang ada  dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 
Nomor 77/PUU-XII/2014, yaitu: “Bahwa yang dimaksud dengan “tidak wajib 
dibuktikan terlebih dahulu” dalam pasal terkait, yaitu tidak wajib dibuktikan 
dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum 
tetap.

d. Prinsip Customer Due Diligence 
Prinsip customer due diligence (enhanced due diligence) sesuai dengan 
Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang 
                                                          
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan 
Terorisme Bagi Bank Umum ialah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan 
pemantauan yang dilakukan bank untuk memastikan bahwa transaksi sudah 
sesuai dengan profil dari nasabah. 
Penerapan prinsip customer due diligence tidak hanya sebatas pada 
nasabah yang akan membuka rekening saja akan tetapi juga diterapkan kepada 
nasabah yang melakukan pinjaman. Pelaksanaan prinsip customer due 
diligence bukan hanya sebatas pada kepatuhan bank terhadap bank Indonesia 
akan tetapi juga bagian dari manajemen resiko dari bank. Selanjutnya, 
keberadaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang 
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan 
Terorisme bagi Bank Umum diikuti dengan dikeluarkannya Surat Edaran Bank 
Indonesia Nomor 11/31/DNDP tanggal 30 November 2009 tentang Pedoman 
Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan 
Terorisme Bagi Bank Umum.
Dari penjelasan faktor-faktor di atas dapat ditunjukkan bahwa penyidikan terhadap 
TPPU dan Tindak Pidana asal dapat dilakukan secara terpisah. TPPU dapat 
dilakukan  penyidikan tanpa perlu dilakukan atau dibuktikan terlebih dahulu tindak 
pidana korupsi awalnya. 
Faktor-faktor yang menyebabkan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana 
korupsi sebagai tindak pidana asal, dapat juga dilakukan pemisahan penyidikan di 
atas merupakan bagian dari penegakan hukum secara khusus penegakan hukum 
pidana. Bentuk sarana penal ialah tindakan repersif. Tindakan represif yaitu  
segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya 
tindakan pidana.
5. Kendala Dalam Pemisahan Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang 
dengan Tindak Pidana Asal 
Dalam hal melakukan pemisahan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan 
tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal, pada praktiknya dapat 
menghadapi berbagai macam kendala baik dari segi yuridis maupun non yuridis. 
berdasar  Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan 
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan bahwa untuk 
                                                           
dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan 
terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu 
tindak pidana asalnya. jika  mencermati bunyi pasal ini , klausula “dapat” 
tidak dapat disamakan dengan kata “wajib”, kata “dapat” di dalam pasal ini  
tidak memberikan ketegasan mengenai pemisahan penyidikan. 
Dalam membaca dan memahami ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang harus dilihat 
secara satu kesatuan utuh dan tidak terpotong-potong. Untuk diperhatikan 
ketentuan dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang 
Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang menyatakan bahwa tidak wajib 
dibuktikan terlebih dahulu, dengan maksud demikian bukan berarti dalam 
melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak 
wajib membuktikan tindak pidana asalnya. Namun perlu dipahami secara utuh  
bahwa frase “terlebih dahulu” yaitu  lebih menjelaskan mengenai waktu untuk 
membuktikan tindak pidana asalnya. Frase “tidak wajib” dibuktikan terlebih dahulu 
membuat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam 
perkara tindak pidana pencucian uang tetap dapat dilaksanakan dalam kondisi jika 
pelaku tidak dapat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan atau disebab kan 
pelaku telah meninggal, hilang, dan lain sebagainya.
Menurut Junaidi, sudah sepantasnya kata “wajib” yang tercantum untuk 
menggantikan klausula kata dapat sehingga jika ditemukan alat bukti yang dominan 
mengarah kepada tindak pidana pencucian uang maka akan menjadi “wajib 
dipisahkan penyidikan” tidak lagi “dapat dipisahkan penyidikan”.
 Putusan MK 
Nomor 77/PU-XII/2014 Mahkamah tidak bulat dalam mengambil putusan, ada  
dua Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (Dissenting Opinion). 
sebab  berpendapat bahwa untuk dapat seseorang dituntut dengan dakwaan Tindak 
Pidana Pencucian Uang, maka harta kekayaan itu harus merupakan hasil dari salah 
satu atau beberapa tindak pidana asal (predicate crimes atau predicate offence), 
                                                           

dengan kata lain tidak ada tindak pidana pencucian uang jika  tidak ada tindak 
pidana asal (predicate crimes atau predicate offence).

 
Pemisahan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal 
(tindak pidana korupsi) sangat mengandalkan kemampuan para penyidik sebab  
pada dasarnya kasus-kasus tindak pidana pencucian uang dilakukan pemeriksaan 
secara perbarengan atau penggabungan. Namun, kemampuan penyidik yang 
seharusnya mampu menunjukkan kecakapan sebagai penyidik ternyata belum 
secara maksimal ditunjukkan sebab  sejatinya sudah banyak hasil rekomendasi dari 
PPATK tetapi tidak dapat ditindaklanjuti bahkan cenderung tidak mampu 
dilakukan penyidikan secara terpisah dengan tindak pidana asal. Hasil laporan 
PPATK yang mencurigakan atau diduga terindikasi pencucian uang akan 
dilaporkan instansi terkait untuk segera ditindak.
Penggabungan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi 
sebagai tindak pidana asal membutuhkan tenaga, waktu, sarana dan prasarana yang 
lebih banyak. Dalam hal ini diperlukan kecanggihan sarana prasarana dibarengi 
teknologi modern. Tindak pidana pencucian uang kita kenal dengan kejahatan 
kerah putih (white collar crime). 
White collar crime (kejahatan kerah putih) yaitu  berbeda dengan kejahatan 
konvensional yang melibatkan para pelaku jalanan (street crime, blue collar crime, 
blue jenas crime). Pihak yang terlibat dalam white collar crime (WCC) yaitu  
mereka yang merupakan orang-orang  terpandang di masyarakat dan biasanya 
berpendidikan tinggi. Modus operandi dalam WCC ini seringkali memepergunakan 
cara-cara yang canggih, dan bahkan bercampur baur dengan teori-teori di bidang 
ilmu pengetahuan, seperti akunting dan statistik. 

 
Kurang adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan 
hukum akan berlangsung dengan lancara. Sarana atau fasilitas ini  antara lain, 
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, 
                                                           

 
Selain faktor sarana dan prasarana, ada  faktor lain yang dapat menimbulkan 
kendala secara tidak langsung yaitu  pemahaman masyarakat sendiri. Budaya 
hukum masyarakat kini menjurus kepada ketidakpercayaan masyarakat terhadap 
penegak hukum.

 

berdasar  Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang 
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang formulasi TPPU 
mengalami perubahan, sehingga penjelasan unsur perbuatan pencucian uang sebagai 
berikut: 
1. "Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, 
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah 
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain 
atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil 
tindak pidana ...” (Pasal 3); 
2. "Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, 
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas 
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak 
pidana ..." (Pasal 4); 
3. "Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, 
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau memakai  harta 
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana 
..." (Pasal 5). 
Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan 
Pemberantasan Pencucian Uang menyatakan bahwa tidak wajib dibuktikan terlebih 
dahulu, dengan maksud demikian bukan berarti dalam melakukan penyidikan, 
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak wajib membuktikan tindak 
pidana asalnya. Namun perlu dipahami secara utuh bahwa frase “terlebih dahulu” 
yaitu  lebih menjelaskan mengenai waktu untuk membuktikan tindak pidana asalnya. 
                                                           

Frase “tidak wajib” dibuktikan terlebih dahulu membuat penyidikan, penuntutan dan 
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana pencucian uang tetap 
dapat dilaksanakan dalam kondisi jika pelaku tidak dapat dilakukan pemeriksaan di 
sidang pengadilan atau disebab kan pelaku telah meninggal, hilang, dan lain 
sebagainya. 
Putusan MK Nomor 77/PU-XII/2014 Mahkamah tidak bulat dalam mengambil 
putusan, ada  dua Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda. sebab  
berpendapat bahwa untuk dapat seseorang dituntut dengan dakwaan Tindak Pidana 
Pencucian Uang, maka harta kekayaan itu harus merupakan hasil dari salah satu atau 
beberapa tindak pidana asal (predicate crimes atau predicate offence), dengan kata 
lain tidak ada tindak pidana pencucian uang jika  tidak ada tindak pidana asal 
(predicate crimes atau predicate offence).
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive