Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
Pencucian uang yaitu tindak pidana ikutan (underlying crime) dari tindak
pidana asal (predicate crime). Pidana asal ini akan menjadi dasar apakah suatu
transaksi dapat dijerat dengan undang-undang anti pencucian uang. Jika suatu
perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana, maka uang hasil kegiatan ini
akan dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang.
Adanya ketentuan bahwa TPPU merupakan kejahatan yang berdiri sendiri
pun dalam prakteknya belum dapat diterapkan secara murni. Pembuktian TPPU dalam
hal ini masih memerlukan adanya suatu tindak pidana yang menghasilkan seluruh atau
sebagian dari harta kekayaan yang akan dirampas. Selain itu, penerapan pembuktian
terbalik oleh terdakwa pun sangat dimungkinkan justru merugikan proses penuntutan,
mengingat pelaku sangat memungkinkan untuk menunjukkan sumber perolehan
kekayaannya yang tidak wajar berasal dari bisnis, padahal merupakan hasil rekayasa
dengan bantuan gatekeepers.
Dalam perkara TPPU, aparat penegak hukum harus membuktikan darimana
harta dan atau aset berasal dari suatu tindak pidana asal atas harta dan atau aset yang
menghasilkan harta dan atau aset.
Sementara itu menurut Jan Remmelijk, tindak pidana diartikan sebagai “perilaku
manusia” (gedagringen: yang mencakup dalam hal ini berbuat maupun tidak
berbuat) yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya-
perilaku mana dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana
(Hukum Pidana.2000. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 86).
Sementara itu, menurut Barda Nawawi Arief, istilah tindak pidana sebagai istilah
yang lebih disukai oleh penyusun rancangan KUHP, dirumuskan sebagai
batasan/pengertian yuridis mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana,
dirumuskan dalam Pasal 11 KONSEP sebagai berikut:
1) Tindak pidana yaitu perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana.
2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan ini dilarang dan
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat
melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada
alasan pembenar.
(Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana. Perspektif Perbandingan hukum
Pidana. 2007. Semarang:Pustaka Magister. Hal.38)
2. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan sebagai suatu
suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai
uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius, korupsi, penggelapan pajak,
judi, penyelundupan dan lain-lain yang dikonversi atau diubah ke dalam bentuk
yang tampak sah agar dapat digunakan dengan aman.
Tindak Pidana Pencucian Uang atau disingkat TPPU atau money laundering yaitu
perbuatan pidana yang antara lain menempatkan, mentransfer, membayarkan, atau
membelanjakan, mengibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan,
dan menyembunyikan atau menyamarkan objek berupa harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
berdasar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), formulasi TPPU
mengalami perubahan, sehingga penjelasan unsur perbuatan pencucian uang
sebagai berikut:
1) "Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain
atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana ...” (Pasal 3);
2) "Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber,
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana ..." (Pasal 4);
3) "Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau memakai harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana ..." (Pasal 5).
3. Pembuktian Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Pada Pasal 189 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
untuk dapat menghukum terdakwa, hakim harus yakin atas dua alat bukti yang
disampaikan penuntut umum di sidang pengadilan. Dua alat bukti biasanya
disampaikan untuk masing-masing unsur tindak pidana.
berdasar Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hukum acara
yang dipakai dalam pembuktian yaitu hukum acara yang diatur dalam KUHAP
dan undang-undang lain yang juga mengatur hukum acara seperti Undang-Undang
TPPU, dan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Untuk tindak pidana asal pembuktian dilakukan oleh jaksa penuntut
umum.
Sementara itu, dalam perkara TPPU dikenal adanya pembuktian terbalik,
yaitu terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan
perkara itu bukan berasal dari tindak pidana. Unsur yang harus dibuktikan oleh
terdakwa, yaitu objek perkara yang berupa harta kekayaan yang terkait dengan
perkara bukan berasal dari tindak pidana. Untuk unsur lainnya tetap harus
dibuktikan oleh jaksa penuntut umum.
Teori pembuktian atau sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian negatif
diperkuat oleh prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman.
Indonesia menganut
sistem pembuktian yang disebut dengan sistem pembuktian negatif (negatief
wettelijk) seperti yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Menurut pasal ini untuk
dapat menghukum seseorang, hakim mendasarkan pada dua alat bukti yang sah
menurut undang-undang, dan ada keyakinan hakim, bahwa tindak pidana
benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam perkembangan sistem pembuktian pidana juga mengenal sesuatu
yang baru, yakni sistem pembalikan beban pembuktian (Omkering van het
bewijslast). Sistem pembalikan beban pembuktian atau yang lebih dikenal
masyarakat dengan pembuktian terbalik merupakan sistem yang meletakkan beban
pembuktian pada tersangka.
Artinya, lazimnya jika merujuk pada KUHAP maka
yang berhak membuktikan kesalahan terdakwa ialah jaksa penuntut umum akan
tetapi sistem pembuktian terbalik terdakwa (penasihat hukum) akan membuktikan
sebaliknya terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan.
Pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan TPPU mengatur tentang pembalikan beban pembuktian atau
pembuktian terbalik. Pada Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
mengatur bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa wajib
membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
Selanjutnya, berdasar Pasal 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hakim
memerintahkan terdakwa agar membuktikan, bahwa harta kekayaan yang terkait
dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana asal yang disebut di
Pasal 2 ayat (1). Dengan demikian, kewajiban terdakwalah untuk membuktikan
bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara TPPU bukan berasal dari tindak
pidana asal, misalnya korupsi.
4. Pemisahan Pembuktian Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
dengan Tindak Pidana Asalnya
a. Penggabungan/Pembarengan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan
Tindak Pidana Asal
Terkait dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang
berbarengan dengan tindak pidana pencucian uang dikenal sebagai Concurcus
Realis. Concurcus Realis yaitu seseorang melakukan beberapa perbuatan
pidana, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri. Sebagai suatu tindak
pidana (hal ini tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan).
Hukum pidana mengenal 3 (tiga) jenis perbarengan tindak pidana
yaitu:
1) Perbarengan peraturan (concurcus idealis)
2) Perbuatan Berlanjut (vorgezette handelings); dan
3) Perbarengan Perbuatan (concurcus realis).
Uraian dari jenis-jenis perbarengan tindak pidana, sebagai berikut:
1) Perbarengan peraturan (concurcus idealis) atau eendaaadse semenloop
yaitu jika ada suatu perbuatan yang meskipun dicakup dalam lebih
dari suatu perumusan perbuatan pidana secara yuridis dipandang sebagai
suatu perbuatan.
Ketentuan yang mengatur yaitu Pasal 63 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
2) Perbuatan Berlanjut (vorgezette handelings)
yaitu terjadi beberapa perbuatan pidana bertalian satu dengan lainnya
sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut. Ketentuan
yang mengatur yaitu Pasal 64 KUHP.
3) Perbarengan Perbuatan (concurcus realis)
yaitu dimana perbarengan perbuatan terjadi jika seseorang yang
melakukan dua atau lebih tindak pidana sehingga sebab nya ia secara
hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih tindak pidana sehingga
sebab nya ia secara hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan
pidana, atau dengan kata lain seorang melakukan beberapa perbuatan yang
tidak ada hubungannya satu sama lain dan masing-masing perbuatan itu
merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.
Selanjutnya, jika dilihat dari uraian di atas maka tindak pidana
pencucian uang dengan tindak pidana asal (tindak pidana korupsi) termasuk
pada perbarengan perbuatan pidana (concurcus realis).
Dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dann Pemberantasan Pencucian Uang juga dinyatakan bahwa
dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya
Tindak Pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik
menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak
pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dengan demikian dari ketentuan pasal
ini , penyidikan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dan tindak
pidana asal dapat dilakukan perbarengan secara bersamaan.
b. Alat Bukti Permulaan
berdasar Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk
memulai suatu penyidikan harus ada bukti permulaan. Terkait Tindak Pidana
Pencucian Uang dan tindak pidana asal, dalam hal penyidik menemukan bukti
permulaan yang cukup, penyidik dapat menggabungkan dan memberitahukan
kepada PPATK.
Pemisahan penyidikan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana
pencucian uang sangat bergantung pada arah dominan alat bukti permulaan.
Jika dominan alat bukti permulaan, kecenderungan mengarah ke tindak pidana
pencucian uang, maka penyidikan dapat dipisahkan. Namun, jika sumir atau
mengarah kepada tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal, maka
harus dilakukan penyidikan digabungkan sehingga dibuktikan secara
bersamaam secara maksimal.
c. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Independent Crime
berdasar Pasal 69 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
menyatakan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak
wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Dari ketentuan pasal
ini untuk dapat menyelesaikan perkara TPPU, tidak wajib dibuktikan
terlebih dahulu tindak pidana asalnya (predicate crime).
Terkait dengan pembuktian TPPU, Mahkamah Konstitusi (MK)
menegaskan penyidikan tindak pidana pencucian uang bisa dilakukan tanpa
perlu dibuktikan adanya tindak pidana asalnya terlebih dahulu. Tapi setelah
TPPU terbukti, maka pidana asalnya wajib dibuktikan kemudian.
Hal ini di atas dipertegas dengan keluarnya Keputusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 yang diajukan oleh M. Akil Mochtar.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 tanggal 15 Desember
2014, salah satu amar putusannya menegaskan dalam pembuktian Tindak
Pidana Pencucian Uang tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya (Predicate Crime). Hal ini sesuai dengan Pasal 69 UU Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang. Selain itu, UU
Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang
juga menegaskan bahwa Tindak Pidana Pencucian uang merupakan tindak
pidana yang berdiri sendiri. Hal ini juga tertuang sangat tegas dalam
pertimbangan hukum yang ada dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 77/PUU-XII/2014, yaitu: “Bahwa yang dimaksud dengan “tidak wajib
dibuktikan terlebih dahulu” dalam pasal terkait, yaitu tidak wajib dibuktikan
dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
d. Prinsip Customer Due Diligence
Prinsip customer due diligence (enhanced due diligence) sesuai dengan
Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme Bagi Bank Umum ialah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan
pemantauan yang dilakukan bank untuk memastikan bahwa transaksi sudah
sesuai dengan profil dari nasabah.
Penerapan prinsip customer due diligence tidak hanya sebatas pada
nasabah yang akan membuka rekening saja akan tetapi juga diterapkan kepada
nasabah yang melakukan pinjaman. Pelaksanaan prinsip customer due
diligence bukan hanya sebatas pada kepatuhan bank terhadap bank Indonesia
akan tetapi juga bagian dari manajemen resiko dari bank. Selanjutnya,
keberadaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme bagi Bank Umum diikuti dengan dikeluarkannya Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 11/31/DNDP tanggal 30 November 2009 tentang Pedoman
Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme Bagi Bank Umum.
Dari penjelasan faktor-faktor di atas dapat ditunjukkan bahwa penyidikan terhadap
TPPU dan Tindak Pidana asal dapat dilakukan secara terpisah. TPPU dapat
dilakukan penyidikan tanpa perlu dilakukan atau dibuktikan terlebih dahulu tindak
pidana korupsi awalnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana
korupsi sebagai tindak pidana asal, dapat juga dilakukan pemisahan penyidikan di
atas merupakan bagian dari penegakan hukum secara khusus penegakan hukum
pidana. Bentuk sarana penal ialah tindakan repersif. Tindakan represif yaitu
segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya
tindakan pidana.
5. Kendala Dalam Pemisahan Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang
dengan Tindak Pidana Asal
Dalam hal melakukan pemisahan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan
tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal, pada praktiknya dapat
menghadapi berbagai macam kendala baik dari segi yuridis maupun non yuridis.
berdasar Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan bahwa untuk
dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu
tindak pidana asalnya. jika mencermati bunyi pasal ini , klausula “dapat”
tidak dapat disamakan dengan kata “wajib”, kata “dapat” di dalam pasal ini
tidak memberikan ketegasan mengenai pemisahan penyidikan.
Dalam membaca dan memahami ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang harus dilihat
secara satu kesatuan utuh dan tidak terpotong-potong. Untuk diperhatikan
ketentuan dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang menyatakan bahwa tidak wajib
dibuktikan terlebih dahulu, dengan maksud demikian bukan berarti dalam
melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak
wajib membuktikan tindak pidana asalnya. Namun perlu dipahami secara utuh
bahwa frase “terlebih dahulu” yaitu lebih menjelaskan mengenai waktu untuk
membuktikan tindak pidana asalnya. Frase “tidak wajib” dibuktikan terlebih dahulu
membuat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara tindak pidana pencucian uang tetap dapat dilaksanakan dalam kondisi jika
pelaku tidak dapat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan atau disebab kan
pelaku telah meninggal, hilang, dan lain sebagainya.
Menurut Junaidi, sudah sepantasnya kata “wajib” yang tercantum untuk
menggantikan klausula kata dapat sehingga jika ditemukan alat bukti yang dominan
mengarah kepada tindak pidana pencucian uang maka akan menjadi “wajib
dipisahkan penyidikan” tidak lagi “dapat dipisahkan penyidikan”.
Putusan MK
Nomor 77/PU-XII/2014 Mahkamah tidak bulat dalam mengambil putusan, ada
dua Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (Dissenting Opinion).
sebab berpendapat bahwa untuk dapat seseorang dituntut dengan dakwaan Tindak
Pidana Pencucian Uang, maka harta kekayaan itu harus merupakan hasil dari salah
satu atau beberapa tindak pidana asal (predicate crimes atau predicate offence),
dengan kata lain tidak ada tindak pidana pencucian uang jika tidak ada tindak
pidana asal (predicate crimes atau predicate offence).
Pemisahan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal
(tindak pidana korupsi) sangat mengandalkan kemampuan para penyidik sebab
pada dasarnya kasus-kasus tindak pidana pencucian uang dilakukan pemeriksaan
secara perbarengan atau penggabungan. Namun, kemampuan penyidik yang
seharusnya mampu menunjukkan kecakapan sebagai penyidik ternyata belum
secara maksimal ditunjukkan sebab sejatinya sudah banyak hasil rekomendasi dari
PPATK tetapi tidak dapat ditindaklanjuti bahkan cenderung tidak mampu
dilakukan penyidikan secara terpisah dengan tindak pidana asal. Hasil laporan
PPATK yang mencurigakan atau diduga terindikasi pencucian uang akan
dilaporkan instansi terkait untuk segera ditindak.
Penggabungan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi
sebagai tindak pidana asal membutuhkan tenaga, waktu, sarana dan prasarana yang
lebih banyak. Dalam hal ini diperlukan kecanggihan sarana prasarana dibarengi
teknologi modern. Tindak pidana pencucian uang kita kenal dengan kejahatan
kerah putih (white collar crime).
White collar crime (kejahatan kerah putih) yaitu berbeda dengan kejahatan
konvensional yang melibatkan para pelaku jalanan (street crime, blue collar crime,
blue jenas crime). Pihak yang terlibat dalam white collar crime (WCC) yaitu
mereka yang merupakan orang-orang terpandang di masyarakat dan biasanya
berpendidikan tinggi. Modus operandi dalam WCC ini seringkali memepergunakan
cara-cara yang canggih, dan bahkan bercampur baur dengan teori-teori di bidang
ilmu pengetahuan, seperti akunting dan statistik.
Kurang adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berlangsung dengan lancara. Sarana atau fasilitas ini antara lain,
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,
Selain faktor sarana dan prasarana, ada faktor lain yang dapat menimbulkan
kendala secara tidak langsung yaitu pemahaman masyarakat sendiri. Budaya
hukum masyarakat kini menjurus kepada ketidakpercayaan masyarakat terhadap
penegak hukum.
berdasar Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang formulasi TPPU
mengalami perubahan, sehingga penjelasan unsur perbuatan pencucian uang sebagai
berikut:
1. "Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain
atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana ...” (Pasal 3);
2. "Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber,
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana ..." (Pasal 4);
3. "Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau memakai harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
..." (Pasal 5).
Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Pencucian Uang menyatakan bahwa tidak wajib dibuktikan terlebih
dahulu, dengan maksud demikian bukan berarti dalam melakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak wajib membuktikan tindak
pidana asalnya. Namun perlu dipahami secara utuh bahwa frase “terlebih dahulu”
yaitu lebih menjelaskan mengenai waktu untuk membuktikan tindak pidana asalnya.
Frase “tidak wajib” dibuktikan terlebih dahulu membuat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana pencucian uang tetap
dapat dilaksanakan dalam kondisi jika pelaku tidak dapat dilakukan pemeriksaan di
sidang pengadilan atau disebab kan pelaku telah meninggal, hilang, dan lain
sebagainya.
Putusan MK Nomor 77/PU-XII/2014 Mahkamah tidak bulat dalam mengambil
putusan, ada dua Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda. sebab
berpendapat bahwa untuk dapat seseorang dituntut dengan dakwaan Tindak Pidana
Pencucian Uang, maka harta kekayaan itu harus merupakan hasil dari salah satu atau
beberapa tindak pidana asal (predicate crimes atau predicate offence), dengan kata
lain tidak ada tindak pidana pencucian uang jika tidak ada tindak pidana asal
(predicate crimes atau predicate offence).