Tampilkan postingan dengan label sengketa wakaf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sengketa wakaf. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

sengketa wakaf







Wakaf sebagai bentuk ibadah yang bersifat sosial 
dilakukan dengan cara memisahkan sebagian harta milik 
dan melembagakan untuk selamalamanya atau sementara 
untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya 
sesuai dengan syariat (hukum) Islam yang pahalanya terus 
mengalir kepada yang mewakafkan (wakif), meskipun ia 
telah meninggal dunia. Wakaf merupakan perbuatan hukum 
wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian 
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau 
untuk jangka tertentu sesuai dengan kepentinganya guna 
keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut 
syariah.
Wakaf yang berarti “menahan” adalah menahan 
harta yang diambil manfaatnya tanpa musnah seketika, 
dan penggunaannya untuk hal-hal yang diperbolehkan 
syara’ dengan maksud mendapatkan keridlaan dari Allah. 
Dengan melepaskan harta wakaf itu, secara hukum wakif 
telah kehilangan hak kepemilikanya sehingga ia tidak lagi 
memiliki wewenang atau hak untuk menggunakannya untuk 
kepentingan pribadi dan hak untuk memindahtangankan 
atau mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain, 
seperti menjual, menghibahkan termasuk mewariskan 
kepada ahli waris. (Muhammad Daud Ali : 1988, 94).
Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat, 
dengan demikian manfaatnya juga harus dirasakan oleh 
umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya maka 
harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif guna menjaga 
keeksisannya. Dengan demikian maka keberadaan 
lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan 
sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian negara-
negara Islam. Indonesia masih terkesan lamban dalam 
mengurusi wakaf sekalipun mayoritas penduduknya 
beragama Islam dan menempati ranking pertama dari 
populasi umat Islam dunia. Implikasi dari kelambanan ini 
menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang 
terurus dan bahkan masih ada yang belum dimanfaatkan.
Mendasarkan pertimbangan itu  di atas, 
pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor  
41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Lahirnya Undang-Undang 
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf itu , memberikan 
setitik harapan bagi perkembangan dinamis wakaf di 
Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 itu  
mengamanatkan pemerintah untuk memberikan pembinaan 
terhadap lembaga wakaf di Indonesia agar dapat berperan 
meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum. Dalam 
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 itu  fungsi 
pembinaan ini tidak dijalankan sendiri oleh pemerintah, 
melainkan melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat 
melalui Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Negara Indonesia memiliki masyarakat yang 
mayoritas beragama Islam. Kondisi yang demikian ini 
tentunya menjadikan masalah pengelolaan wakaf, menjadi 
suatu masalah yang sangat urgen dan sangat rentan. Selain 
itu, kadang-kadang muncul permasalahan perebutan hak 
kepemilikan tanah wakaf antara nadzir dengan ahli waris 
wakif bahkan ada oknum yang telah berani secara melawan 
hukum untuk memindahtangankan atau mengalihkan 
kepemilikannya kepada pihak lain. Permasalahan itu  
membutuhkan penanganan serta penegakan hukum baik 
secara litigasi maupun non-litigasi agar berkepastian hukum, 
keadilan dan kemanfaatan hukum. Negara Indonesia adalah 
Negara hukum sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945, 
sehingga semua aktifitas di Negara kita diatur oleh hukum.
Secara etimologi, wakaf berasal dari kata waqf yang 
berarti al-habs yang berbentuk masdar (infinitive noun) 
dengan arti “menahan, berhenti, atau diam”. jika  kata 
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 
itu  dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang 
dan yang lain, berarti pembekuan hak milik untuk faedah 
tertentu. Secara lexicografis (perkamusan), kata al-waqf sama 
artinya dengan at-tahbis dan att-asbil, yaitu al-habs‘an at-
tasarruf, “mencegah agar tidak mengelola”. Kata waqf dibatasi 
penggunaanya pada obyek tertentu, yakni benda wakaf, 
sehingga kata al-waqf disamakan pengertiannya dengan al-
habs. Kata ini dalam dalam Mausu‘ah Fiqh Umar Ibn Khottab 
diartikan dengan menahan asal harta dan menjalankan 
hasilnya. Dalam khazanah fikih Islam, wakaf dimaknai 
dengan menahan dan memelihara keutuhan suatu benda 
yang masih memungkinkan untuk dimanfaatkan pada jalan 
kebenaran atau menggunakan hasilnya pada jalan kebaikan 
dan kebenaran guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. 
Di dalam kitab-kitab fiqh, para ulama berbeda pendapat 
dalam memberi pengertian wakaf. 
Definisi wakaf menurut mazhab fiqh cukup 
bervariasi. Kelompok Hanafiyah mengartikan wakaf 
sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik waqif (orang 
yang mewakafkan) dan menyedekahkan atau mewakafkan 
manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk 
tujuan kebajikan. Sementara Malikiyah berpendapat, wakaf 
adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki 
untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu 
akad (sigat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan 
keinginan waqif. Adapun dari komunitas mazhab Syafi‘iyah 
mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa 
memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) 
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki 
oleh waqif untuk diserahkan kepada nazir yang dibolehkan 
oleh syari’ah. Sedangkan Hanabilah mendefinisikan wakaf 
dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta 
(tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan ,
Di dalam Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 
dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang 
atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan 
sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk 
selama-lamnya guna kepentingan ibadat atau keperluan 
umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Definisi 
yang termuat dalam Undang-Undang ini tampaknya sama 
dengan definisi wakaf yang tercantum dalam kompilasi 
hukum Islam di Indonesia pasal 215 jo. pasal 1 (1) PP No. 
28 Tahun 1977. Dari beberapa definisi wakaf itu , dapat 
disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan 
manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang 
yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran 
syari’ah Islam. Sebagaimana fungsi wakaf yang disebutkan 
dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yakni 
wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat 
ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan 
untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalam Kamus istilah Fiqih, wakaf adalah 
memindahkan hak milik pribadi yang menjadi milik suatu 
badan yang memberi manfaat bagi masyarakat. Hal ini 
berdasarkan ketentuan agama dan tujuan taqarub kepada 
Allah SWT, untuk mendapatkan kebaikan dan keridloannya 
Sejalan dengan perkembangan zaman, di Indonesia 
wakaf mulai diatur dalam hukum positif dan masalah yang 
berkaitan dengan diselesaikan di Pengadilan Agama. Dalam 
(KHI) Kompilasi Hukum Islam pasal 215 disebutkkan 
wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok 
orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta 
miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna 
kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai 
dengan ajaran Islam,
Hampir di setiap daerah memiliki tanah yang 
dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga maupun untuk 
kepentingan umum, misalnya di daerah Banten ada  
“Huma serang”, Huma adalah lading-ladang yang setiap 
tahun dikerjakan secara bersama-sama dan hasilnya 
digunakan untuk kepentingan bersama . Di pulau Bali juga 
ada lembaga semacam wakaf yakni berupa tanah dan dan 
barang-barang lain seperti benda-benda perhiasan untuk 
pesta yang menjadi milik candi atau dewa-dewa yang 
tinggal di Bali. Di Lombok juga ada  tanah adat yang 
disebut dengan “Tanah Pareman”, yakni tanah Negara yang 
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 
dibebaskan dari pajak Landrente yang diserahkan kepada 
desa-desa, subak, dan juga kepada candi untuk kepentingan 
bersama ,
Syarat-syarat wakaf menurut hukum Islam dan 
Ter Haar tidak jauh berbeda. Ter Har menyatakan bahwa 
pembuat wakaf harus memiliki  hak dan kuasa penuh 
(ditinjau menurut hukum adat) atas barang yang diwakafkan, 
barangnya harus ditunjuk dengan jelas dan tidak boleh 
dipakai kearah larangan Islam, tujuannya yang halal itu 
harus dilukiskan dengan kata-kata terang, itupun jika tujuan 
yang tidak dilahirkan tidak kentara dengan sendirinya, 
tujuannya itu sifatnya harus tetap, orang-orang diwakafi 
harus ditunjuk seterang-terangnya dan seberapa mungkin 
mereka menyatakan menerima baik perwakafan itu (Kabul), 
Pembuat wakaf menetapkan pengurusannya dengan jalan 
mengangkat seseorang pengurus jika pengurusnya tidak ada 
maka Kepala Pegawai Masjid menurut hukum diharuskan 
mengurusnya, itupun di Jawa. Jika pembuatan wakaf sudah 
terlaksana sepenuhnya (untuk itu bisa dibuat surat akte), 
maka kedudukan barang itu diatur oleh hukum adapt (oleh 
unsur-unsur agama dari padanya), segala tindakan untuk 
dicapai tujuannya adalah kewajiban pengurus, termasuk 
juga pengurus perkara ,
Persamaan lain tampak dalam pengertian atau 
perumusan wakaf menurut hukum adat yang dikemukakan 
oleh Hilman Hadikusumo yaitu pemberian, menyediakan 
sesuatu benda yang zatnya kekal, seperti tanah, untuk 
dinikmati dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 
1977 terdiri atas tujuh bab delapan belas pasal yang 
meliputi pengertian, syarat-syarat, fungsi, tata cara, dan 
pendaftararan wakaf, ketersediaan tenaga yang menangani 
pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan 
dan pengawasan wakaf, ketentuan pidana, serta ketentuan 
peralihan.
Tingginya sikap jujur dan saling percaya satu dengan 
yang lain di masa-masa awal. Praktik pelaksanaan wakaf 
swmacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui 
memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang 
harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan-
persengketaan karena tiadanya bukti-bukti yang mampu 
menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah 
diwakafkan. Keberadaan perwakafan tanah waktu itu 
dapat diteliti berdasarkan bukti-bukti catatan di Kantor 
Urusan Agama (KUA) di Kabupaten dan Kecamatan, bukti 
Arkeologi, Candra Sengkala, Piagam Perwakafan, dan cerita 
sejarah tertulis maupun lisan (Achmad Djunaidi, : 48).
Khusus perwakafan tanah, telah ada peraturan 
perundang-undangan positif yang berlaku, khususnya 
Peraturan (PP) No. 28 Tahun 1977. PP inilah yang banyak 
menjadikan acuan Buku III KHI, tetapi PP ini bukan satu-
satunya atuaran yang berlaku tentang perwakafan tanah di 
Indonesia, karena PP itu mengatur pelaksanaan salah satu 
Undang-undang.
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur 
tentang tanah wakaf ini semakin lengkap dengan terbitnya 
Undang-undand Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. 
Dalam pasal 32 UU No. 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa 
PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf 
kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) 
hari kerja sejak ikrar wakaf ditandatangani.
Selain itu dalam Pasal 40 UU No. 41/2004 ini 
ditentukan pula bahwa harta benda wakaf yang sudah 
diwakafkan dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, 
dihibahkan dijual, diwariskan ditukar atau dialihkan dalam 
bentuk pengalihan hak lainnya. Perkecualian atas ketentuan 
itu  hanya dapat dilakukan jika  harta benda wakaf 
yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan 
umum. Kemudian harta benda wakaf yang ditukar atau 
diubah peruntukannya itu  haruslah didaftarkan 
kembali oleh Nazhir melalui PPAIW kepada Instansi yang 
berwenang dan Badan Wakaf Indonesia.
Menindaklanjuti PP Nomor 28 Tahun 1977 yang telah 
dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 
Tahun 1977 yang mengatur tentang tatacara pendaftaran 
perwakafan tanah hak milik yang memuat antara lain 
persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat 
akta ikrar wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran, 
dan ketentuan peralihan. Selanjutnya Peraturan Menteri 
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 
Agama Nomor 1 Tahun 1978 memerinci lebih lanjut tentang 
tata cara perwakafan tanah milik, antara lain tentang ikrar 
wakaf dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak 
dan kewajiban nażir, perubahan perwakafan tanah milik, 
pengawasan dan bimbingan, penyelesaian perselisihan 
tanah wakaf, serta biaya perwakafan tanah milik.
jika  terjadi sengketa hak milik atau keperdataan 
lain yang terkait dengan obyek wakaf sengketa yang diatur 
dalam pasal 49 itu , jika  subyek sengketanya antara 
orang-orang yang beragama Islam maka Pengadilan Agama 
memiliki  wewenang untuk sekaligus memutus sengketa 
itu  sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 50 ayat 
2 sebagai berikut: jika  terjadi sengketa hak milik sebagai 
dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara 
orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa itu  
diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 
Hal itu  sejalan dengan Pasal 49 ayat (1) 
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana 
telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama  , yang menyebutkan “Pengadilan 
Agama bertugas dan memeriksa, memutus dan 
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara 
orang-orang yang beragama Islam, di bidang : perkawinan, 
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan 
ekonomi syari’ah. Teknis dan tahapan berperkara di 
Pengadilan Agama dilakukan menurut Hukum Acara 
Peradilan Agama yang terdiri dari dua tahapan. Tahap 
pertama, Gugatan/Permohonan, Jawaban/Rekonpensi, 
Replik/jawaban Rekonpensi, Duplik/Replik Rekonpensi, 
Duplik Rekonpensi, Pembuktian, Kesimpulan, Putusan, 
Eksekusi (jika tidak ada upaya hokum banding dari yang 
dikalahkan). Tahap kedua, Memori Banding yang dibuat 
Pembanding/kuasanya, Kontra Memori Banding yang 
dibuat Terbanding/kuasanya, Eksekusi (jika tidak ada 
upaya hokum Kasasi dari yang dikalahkan). Tahap ketiga, 
Memori Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasi/kuasanya, 
Kontra Memori Kasasi yang dibuat Termohon Kasasi/
kuasanya, Eksekusi dan PK tidak menunda pelaksanaan 
eksekusi.
Penyelesaian sengketa wakaf berdasarkan tradisi 
hukum positif Indonesia adalah:
1. Non-Litigasi
a. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 
(ADR)
Konsep sulh (perdamaian) sebagaimana yang 
itu  dalam berbagai kitab fiqih merupakan satu 
dokrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah 
untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah 
merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan 
masyarakat manapun, karena pada hakekatnya 
perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka, 
melainkan lebih berupa fitrah dari manusia. Segenap 
manusia menginginkan seluruh aspek kehidupannya 
nyaman, tidak ada yang mengganggu, tidak ingin 
dimusuhi, ingin damai dan tenteram dalam segala 
aspek kehidupan. Dengan demikian institusi 
perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia. 
Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar 
Pengadilan dapat disampaikan sebagai berikut:
1) Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 
1970 berbunyi:
“Semua peradilan di seluruh wilayah Republik 
Indonesia adalah Peradilan Negara dan 
ditetapkan dengan undang-undang”.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) :
Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping 
Peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi 
adanya peradilan-peradilan yang dilakukan 
oleh bukan Badan Peradilan Negara.
Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas 
dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) 
tetap diperbolehkan
2) Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan :
“Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan 
mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, 
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 
menjanjikan atau menahan suatu barang, 
mengakhiri suatu perkara yang sedang 
bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu 
perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan 
jika dibuat secara tertulis”
3) Pasal 1855 KUHPerdata:
“Setiap perdamaian hanya mengakhiri 
perselisihan-perselisihan yang termaktub 
didalamnya, baik para pihak merumuskan 
maksud mereka dalam perkaraan khusus atau 
umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan 
sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa 
yang dituliskan”
4) Pasal 1858 KUHPerdata :
“Segala perdamaian memiliki  diantara para 
pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan 
hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidak 
dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan 
klekhilafan mengenai hukum atau dengan 
alasan bahwa salah satu pihak dirugikan”
5) Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur 
dalam satu pasal yakni Pasal 6 Undang-Undang 
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan 
Alternatif Penyelesaian Sengketa
b. Mediasi
Berbicara tentang mediasi, yang penting adalah 
bahwa dalam mediasi itu ada  keterlibatan pihak 
ketiga yang independent untuk memberikan fasilitas 
dari mediasi. Dengan kata lain mediasi adalah 
negosiasi antara kedua belah pihak yang dibantu 
pihak ketiga yang bersifat netral.
Penyelesaian perkara secara mediasi di 
Pengadilan berbeda dengan penyelesaian perkara 
melalui arbitrase dan lain-lain. Arbitrase menurut 
Subekti diartikan sebagai 
berikut: “Arbitrase adalah  penyelesaian atau 
pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para 
halim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak 
akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang  
diberikan oleh hakim atau para hakim mereka pilih 
atau tunjuk itu ”. Menurut Pasal 1 angka 1 UU 
No. 30 Tahun 1999 mengartikan arbitrase sebagai 
berikut: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu 
sengketa perdata di luar peradilan umum yang 
didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat 
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan 
masalah, di mana para pihak yang tidak memihak 
bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk 
mencari kesepakatan bersama. Pihak luar itu  
disebut dengan mediator, yang tidak berwenang 
untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu 
para pihak untuk menyelesaiakan persoalan-
persoalan yang dikuasakan kepadanya 
Tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa 
perwakafan Pasal 62 UU No. 41/2004 (BAB VII Pasal 
62 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang 
Wakaf) menjelaskan sebagai berikut:
1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh 
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat
2) jika  penyelesaian sengketa sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa 
dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, 
atau pengadilan.
Mediasi menurut Takdir Rahmadi dalam 
bukunya Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui 
Pendekatan Mufakat, yang dimaksud dengan 
mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa 
antara dua pihak atau lebih melalui perundingan 
atau cara mufakat dengan bantuan pihak yang 
netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. 
Pihak netral itu  disebut mediator dengan tugas 
memberikan bantuan prosedural dan substansial 
Pasal 62 UU No. 41/2004 menjelaskan bahwa 
dalam menyelesaikan permasalahan terhadap harta 
benda wakaf agar terlebih dahulu mengutamakan 
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 
sikap musyawarah untuk mencapai mufakat. jika  
dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat 
tidak berhasil dilakukan, dapat diselesaikan melalui 
mediasi maupun arbitrase. Jika ketiga cara itu  
juga tidak berhasil dilakukan, maka cara terakhir 
yang harus ditempuh adalah melalui jalur pengadilan 
(litigation). Berdasarkan setelah pemberlakuan UU 
No.3/2006 tentang perubahan atas UU No. 7/1989 
tentang kekuasaan mutlak (absolut competence) 
Peradilan Agama bahwa perkara perdata antara 
orang yang beragama Islam, dalam hal ini masalah 
yang berkaitan dengan praktik perwakafan harus 
diselesaikan di Pengadilan Agama.
2. Litigasi
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang 
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan 
Kehakiman, secara eksplisit menyebutkan bahwa di 
Indonesia ada 4 lingkungan lembaga peradilan yaitu 
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer 
dan Peradilan Agama.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah 
suatu pola penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak 
yang diselesaikan oleh pengadilan .
Dalam kontek wakaf, Lembaga Peradilan Agama 
melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 
yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan 
hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan 
Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, 
memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi 
yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, 
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan 
ekonomi syari’ah.
Penyelesaian perkara perdata wakaf melalui 
lembaga peradilan tidak cukup hanya pada lembaga 
peradilan dalam arti Pengadilan Agama saja, tetapi bisa 
juga di Pengadilan Negeri karena jika dengan putusan  
peradilan tingkat pertama itu  ada  pihak yang 
merasa dirugikan, dapat mengajukan upaya hukum 
pada peradilan yang lebih tinggi yaitu upaya banding 
pada Pengadilan Tinggi. Jika putusan Pengadilan 
Tinggi itu  mengakibatkan salah satu pihak merasa 
keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan 
upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung, dan 
demikian juga jika salah satu pihak merasa keberatan 
terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat 
kasasi, dapat mengajukan upaya hukum peninjauan 
kembali pada Mahkamah Agung. Pada kondisi yang 
demikian tentunya penyelesaian melalui lembaga 
peradilan memerlukan waktu yang cukup lama, 
tentunya juga menyangkut masalah biaya dan tenaga 
yang tidak sedikit jumlahnya.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh 
Sudargo Gautama (1999) bahwa para pedagang pada 
umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun 
lamanya. Tentunya banyak biaya yang harus dikeluarkan 
sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan kekuatan 
pasti (enforceable), artinya dapat dijalankan melalui 
eksekusi. Oleh karena itu tentunya penyelesaian melalui 
lembaga peradilan khususnya bagi para pedagang 
kurang diminati, sesuai pula dengan yang dikemukakan 
oleh Ridwan Khairandy bahwa pada perkembanganya, 
terutama menyangkut masalah transaksi (kerjasama) 
bidang dagang internasional, penyelesaian sengketa 
melalui pengadilan kurang begitu diminati oleh pihak-
pihak yang bersengketa.
Undang-Undang Wakaf Nomor 41 tahun 2004 
ada  ketentuan pidana, yaitu masih terbatas sasaran 
Nazdhir dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Hal ini 
terjelaskan dalam pasal 67 ayat (1) dan ayat (3);
a. Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, 
menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan 
dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda 
wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta 
benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana 
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 
dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana 
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana 
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus 
juta rupiah).
b. Setiap orang yang dengan sengaja mengubah 
peruntukan harta benda wakaf tanpa izin 
sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, dipidana 
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) 
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
c. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan 
atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan 
pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah 
yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling 
lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling 
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Ketentuan itu  merupakan wujud dari Negara 
yang berdasarkan hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) 
UUDNRI 1945. memiliki  sifat normatif sehingga 
berdasarkan asas legalitas, hukum itu  merupakan 
kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Oleh karena 
itu, dengan adanya sanksi itu  bertujuan untuk 
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana 
itu .

Penyelesaian sengketa wakaf berdasarkan tradisi 
hukum positif Indonesia adalah:
1. Non-Litigasi
a. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 
(ADR)
Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar 
Pengadilan dapat disampaikan sebagai berikut:
1) Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 
1970 berbunyi:
“Semua peradilan di seluruh wilayah Republik 
Indonesia adalah Peradilan Negara dan 
ditetapkan dengan undang-undang”.

2) Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan :
“Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan 
mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, 
menjanjikan atau menahan suatu barang, 
mengakhiri suatu perkara yang sedang 
bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu 
perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan 
jika dibuat secara tertulis”
3) Pasal 1855 KUHPerdata
4) Pasal 1858 KUHPerdata
5) Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur 
dalam satu pasal yakni Pasal 6 Undang-Undang 
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan 
Alternatif Penyelesaian Sengketa
b. Mediasi
Tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa 
perwakafan Pasal 62 UU No. 41/2004 menjelaskan 
sebagai berikut:
1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh 
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat
2) jika  penyelesaian sengketa sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa 
dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, 
atau pengadilan
Pasal 62 UU No. 41/2004 menjelaskan bahwa dalam 
menyelesaikan permasalahan terhadap harta benda 
wakaf agar terlebih dahulu mengutamakan sikap 
musyawarah untuk mencapai mufakat
2. Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah 
suatu pola penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak 
yang diselesaikan oleh pengadilan.
Dalam kontek wakaf, Lembaga Peradilan Agama 
melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 
yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan 
hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan 
Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, 
memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi 
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 

yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, 
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan 
ekonomi syari’ah.
Undang-Undang Wakaf Nomor 41 tahun 2004 
ada  ketentuan pidana, yaitu masih terbatas sasaran 
Nazdhir dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Hal ini 
terjelaskan dalam pasal 67 ayat (1) dan ayat (3).

Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive