Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
Wakaf sebagai bentuk ibadah yang bersifat sosial
dilakukan dengan cara memisahkan sebagian harta milik
dan melembagakan untuk selamalamanya atau sementara
untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya
sesuai dengan syariat (hukum) Islam yang pahalanya terus
mengalir kepada yang mewakafkan (wakif), meskipun ia
telah meninggal dunia. Wakaf merupakan perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka tertentu sesuai dengan kepentinganya guna
keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
Wakaf yang berarti “menahan” adalah menahan
harta yang diambil manfaatnya tanpa musnah seketika,
dan penggunaannya untuk hal-hal yang diperbolehkan
syara’ dengan maksud mendapatkan keridlaan dari Allah.
Dengan melepaskan harta wakaf itu, secara hukum wakif
telah kehilangan hak kepemilikanya sehingga ia tidak lagi
memiliki wewenang atau hak untuk menggunakannya untuk
kepentingan pribadi dan hak untuk memindahtangankan
atau mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain,
seperti menjual, menghibahkan termasuk mewariskan
kepada ahli waris. (Muhammad Daud Ali : 1988, 94).
Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat,
dengan demikian manfaatnya juga harus dirasakan oleh
umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya maka
harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif guna menjaga
keeksisannya. Dengan demikian maka keberadaan
lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan
sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian negara-
negara Islam. Indonesia masih terkesan lamban dalam
mengurusi wakaf sekalipun mayoritas penduduknya
beragama Islam dan menempati ranking pertama dari
populasi umat Islam dunia. Implikasi dari kelambanan ini
menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang
terurus dan bahkan masih ada yang belum dimanfaatkan.
Mendasarkan pertimbangan itu di atas,
pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Lahirnya Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf itu , memberikan
setitik harapan bagi perkembangan dinamis wakaf di
Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 itu
mengamanatkan pemerintah untuk memberikan pembinaan
terhadap lembaga wakaf di Indonesia agar dapat berperan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum. Dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 itu fungsi
pembinaan ini tidak dijalankan sendiri oleh pemerintah,
melainkan melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat
melalui Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Negara Indonesia memiliki masyarakat yang
mayoritas beragama Islam. Kondisi yang demikian ini
tentunya menjadikan masalah pengelolaan wakaf, menjadi
suatu masalah yang sangat urgen dan sangat rentan. Selain
itu, kadang-kadang muncul permasalahan perebutan hak
kepemilikan tanah wakaf antara nadzir dengan ahli waris
wakif bahkan ada oknum yang telah berani secara melawan
hukum untuk memindahtangankan atau mengalihkan
kepemilikannya kepada pihak lain. Permasalahan itu
membutuhkan penanganan serta penegakan hukum baik
secara litigasi maupun non-litigasi agar berkepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan hukum. Negara Indonesia adalah
Negara hukum sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945,
sehingga semua aktifitas di Negara kita diatur oleh hukum.
Secara etimologi, wakaf berasal dari kata waqf yang
berarti al-habs yang berbentuk masdar (infinitive noun)
dengan arti “menahan, berhenti, atau diam”. jika kata
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif
itu dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang
dan yang lain, berarti pembekuan hak milik untuk faedah
tertentu. Secara lexicografis (perkamusan), kata al-waqf sama
artinya dengan at-tahbis dan att-asbil, yaitu al-habs‘an at-
tasarruf, “mencegah agar tidak mengelola”. Kata waqf dibatasi
penggunaanya pada obyek tertentu, yakni benda wakaf,
sehingga kata al-waqf disamakan pengertiannya dengan al-
habs. Kata ini dalam dalam Mausu‘ah Fiqh Umar Ibn Khottab
diartikan dengan menahan asal harta dan menjalankan
hasilnya. Dalam khazanah fikih Islam, wakaf dimaknai
dengan menahan dan memelihara keutuhan suatu benda
yang masih memungkinkan untuk dimanfaatkan pada jalan
kebenaran atau menggunakan hasilnya pada jalan kebaikan
dan kebenaran guna mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Di dalam kitab-kitab fiqh, para ulama berbeda pendapat
dalam memberi pengertian wakaf.
Definisi wakaf menurut mazhab fiqh cukup
bervariasi. Kelompok Hanafiyah mengartikan wakaf
sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik waqif (orang
yang mewakafkan) dan menyedekahkan atau mewakafkan
manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk
tujuan kebajikan. Sementara Malikiyah berpendapat, wakaf
adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki
untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu
akad (sigat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
keinginan waqif. Adapun dari komunitas mazhab Syafi‘iyah
mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa
memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain)
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki
oleh waqif untuk diserahkan kepada nazir yang dibolehkan
oleh syari’ah. Sedangkan Hanabilah mendefinisikan wakaf
dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta
(tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan ,
Di dalam Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004
dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamnya guna kepentingan ibadat atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Definisi
yang termuat dalam Undang-Undang ini tampaknya sama
dengan definisi wakaf yang tercantum dalam kompilasi
hukum Islam di Indonesia pasal 215 jo. pasal 1 (1) PP No.
28 Tahun 1977. Dari beberapa definisi wakaf itu , dapat
disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan
manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang
yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran
syari’ah Islam. Sebagaimana fungsi wakaf yang disebutkan
dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yakni
wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat
ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan
untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalam Kamus istilah Fiqih, wakaf adalah
memindahkan hak milik pribadi yang menjadi milik suatu
badan yang memberi manfaat bagi masyarakat. Hal ini
berdasarkan ketentuan agama dan tujuan taqarub kepada
Allah SWT, untuk mendapatkan kebaikan dan keridloannya
Sejalan dengan perkembangan zaman, di Indonesia
wakaf mulai diatur dalam hukum positif dan masalah yang
berkaitan dengan diselesaikan di Pengadilan Agama. Dalam
(KHI) Kompilasi Hukum Islam pasal 215 disebutkkan
wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok
orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta
miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam,
Hampir di setiap daerah memiliki tanah yang
dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga maupun untuk
kepentingan umum, misalnya di daerah Banten ada
“Huma serang”, Huma adalah lading-ladang yang setiap
tahun dikerjakan secara bersama-sama dan hasilnya
digunakan untuk kepentingan bersama . Di pulau Bali juga
ada lembaga semacam wakaf yakni berupa tanah dan dan
barang-barang lain seperti benda-benda perhiasan untuk
pesta yang menjadi milik candi atau dewa-dewa yang
tinggal di Bali. Di Lombok juga ada tanah adat yang
disebut dengan “Tanah Pareman”, yakni tanah Negara yang
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif
dibebaskan dari pajak Landrente yang diserahkan kepada
desa-desa, subak, dan juga kepada candi untuk kepentingan
bersama ,
Syarat-syarat wakaf menurut hukum Islam dan
Ter Haar tidak jauh berbeda. Ter Har menyatakan bahwa
pembuat wakaf harus memiliki hak dan kuasa penuh
(ditinjau menurut hukum adat) atas barang yang diwakafkan,
barangnya harus ditunjuk dengan jelas dan tidak boleh
dipakai kearah larangan Islam, tujuannya yang halal itu
harus dilukiskan dengan kata-kata terang, itupun jika tujuan
yang tidak dilahirkan tidak kentara dengan sendirinya,
tujuannya itu sifatnya harus tetap, orang-orang diwakafi
harus ditunjuk seterang-terangnya dan seberapa mungkin
mereka menyatakan menerima baik perwakafan itu (Kabul),
Pembuat wakaf menetapkan pengurusannya dengan jalan
mengangkat seseorang pengurus jika pengurusnya tidak ada
maka Kepala Pegawai Masjid menurut hukum diharuskan
mengurusnya, itupun di Jawa. Jika pembuatan wakaf sudah
terlaksana sepenuhnya (untuk itu bisa dibuat surat akte),
maka kedudukan barang itu diatur oleh hukum adapt (oleh
unsur-unsur agama dari padanya), segala tindakan untuk
dicapai tujuannya adalah kewajiban pengurus, termasuk
juga pengurus perkara ,
Persamaan lain tampak dalam pengertian atau
perumusan wakaf menurut hukum adat yang dikemukakan
oleh Hilman Hadikusumo yaitu pemberian, menyediakan
sesuatu benda yang zatnya kekal, seperti tanah, untuk
dinikmati dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 terdiri atas tujuh bab delapan belas pasal yang
meliputi pengertian, syarat-syarat, fungsi, tata cara, dan
pendaftararan wakaf, ketersediaan tenaga yang menangani
pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan
dan pengawasan wakaf, ketentuan pidana, serta ketentuan
peralihan.
Tingginya sikap jujur dan saling percaya satu dengan
yang lain di masa-masa awal. Praktik pelaksanaan wakaf
swmacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui
memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang
harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan-
persengketaan karena tiadanya bukti-bukti yang mampu
menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah
diwakafkan. Keberadaan perwakafan tanah waktu itu
dapat diteliti berdasarkan bukti-bukti catatan di Kantor
Urusan Agama (KUA) di Kabupaten dan Kecamatan, bukti
Arkeologi, Candra Sengkala, Piagam Perwakafan, dan cerita
sejarah tertulis maupun lisan (Achmad Djunaidi, : 48).
Khusus perwakafan tanah, telah ada peraturan
perundang-undangan positif yang berlaku, khususnya
Peraturan (PP) No. 28 Tahun 1977. PP inilah yang banyak
menjadikan acuan Buku III KHI, tetapi PP ini bukan satu-
satunya atuaran yang berlaku tentang perwakafan tanah di
Indonesia, karena PP itu mengatur pelaksanaan salah satu
Undang-undang.
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
tentang tanah wakaf ini semakin lengkap dengan terbitnya
Undang-undand Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
Dalam pasal 32 UU No. 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa
PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf
kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak ikrar wakaf ditandatangani.
Selain itu dalam Pasal 40 UU No. 41/2004 ini
ditentukan pula bahwa harta benda wakaf yang sudah
diwakafkan dilarang untuk dijadikan jaminan, disita,
dihibahkan dijual, diwariskan ditukar atau dialihkan dalam
bentuk pengalihan hak lainnya. Perkecualian atas ketentuan
itu hanya dapat dilakukan jika harta benda wakaf
yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan
umum. Kemudian harta benda wakaf yang ditukar atau
diubah peruntukannya itu haruslah didaftarkan
kembali oleh Nazhir melalui PPAIW kepada Instansi yang
berwenang dan Badan Wakaf Indonesia.
Menindaklanjuti PP Nomor 28 Tahun 1977 yang telah
dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6
Tahun 1977 yang mengatur tentang tatacara pendaftaran
perwakafan tanah hak milik yang memuat antara lain
persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat
akta ikrar wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran,
dan ketentuan peralihan. Selanjutnya Peraturan Menteri
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif
Agama Nomor 1 Tahun 1978 memerinci lebih lanjut tentang
tata cara perwakafan tanah milik, antara lain tentang ikrar
wakaf dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak
dan kewajiban nażir, perubahan perwakafan tanah milik,
pengawasan dan bimbingan, penyelesaian perselisihan
tanah wakaf, serta biaya perwakafan tanah milik.
jika terjadi sengketa hak milik atau keperdataan
lain yang terkait dengan obyek wakaf sengketa yang diatur
dalam pasal 49 itu , jika subyek sengketanya antara
orang-orang yang beragama Islam maka Pengadilan Agama
memiliki wewenang untuk sekaligus memutus sengketa
itu sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 50 ayat
2 sebagai berikut: jika terjadi sengketa hak milik sebagai
dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara
orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa itu
diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
Hal itu sejalan dengan Pasal 49 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana
telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama , yang menyebutkan “Pengadilan
Agama bertugas dan memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam, di bidang : perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syari’ah. Teknis dan tahapan berperkara di
Pengadilan Agama dilakukan menurut Hukum Acara
Peradilan Agama yang terdiri dari dua tahapan. Tahap
pertama, Gugatan/Permohonan, Jawaban/Rekonpensi,
Replik/jawaban Rekonpensi, Duplik/Replik Rekonpensi,
Duplik Rekonpensi, Pembuktian, Kesimpulan, Putusan,
Eksekusi (jika tidak ada upaya hokum banding dari yang
dikalahkan). Tahap kedua, Memori Banding yang dibuat
Pembanding/kuasanya, Kontra Memori Banding yang
dibuat Terbanding/kuasanya, Eksekusi (jika tidak ada
upaya hokum Kasasi dari yang dikalahkan). Tahap ketiga,
Memori Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasi/kuasanya,
Kontra Memori Kasasi yang dibuat Termohon Kasasi/
kuasanya, Eksekusi dan PK tidak menunda pelaksanaan
eksekusi.
Penyelesaian sengketa wakaf berdasarkan tradisi
hukum positif Indonesia adalah:
1. Non-Litigasi
a. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(ADR)
Konsep sulh (perdamaian) sebagaimana yang
itu dalam berbagai kitab fiqih merupakan satu
dokrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah
untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah
merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan
masyarakat manapun, karena pada hakekatnya
perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka,
melainkan lebih berupa fitrah dari manusia. Segenap
manusia menginginkan seluruh aspek kehidupannya
nyaman, tidak ada yang mengganggu, tidak ingin
dimusuhi, ingin damai dan tenteram dalam segala
aspek kehidupan. Dengan demikian institusi
perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia.
Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar
Pengadilan dapat disampaikan sebagai berikut:
1) Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 berbunyi:
“Semua peradilan di seluruh wilayah Republik
Indonesia adalah Peradilan Negara dan
ditetapkan dengan undang-undang”.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) :
Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping
Peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi
adanya peradilan-peradilan yang dilakukan
oleh bukan Badan Peradilan Negara.
Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas
dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase)
tetap diperbolehkan
2) Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan :
“Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan
mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan,
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif
menjanjikan atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang
bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu
perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan
jika dibuat secara tertulis”
3) Pasal 1855 KUHPerdata:
“Setiap perdamaian hanya mengakhiri
perselisihan-perselisihan yang termaktub
didalamnya, baik para pihak merumuskan
maksud mereka dalam perkaraan khusus atau
umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan
sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa
yang dituliskan”
4) Pasal 1858 KUHPerdata :
“Segala perdamaian memiliki diantara para
pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan
hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidak
dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan
klekhilafan mengenai hukum atau dengan
alasan bahwa salah satu pihak dirugikan”
5) Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur
dalam satu pasal yakni Pasal 6 Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
b. Mediasi
Berbicara tentang mediasi, yang penting adalah
bahwa dalam mediasi itu ada keterlibatan pihak
ketiga yang independent untuk memberikan fasilitas
dari mediasi. Dengan kata lain mediasi adalah
negosiasi antara kedua belah pihak yang dibantu
pihak ketiga yang bersifat netral.
Penyelesaian perkara secara mediasi di
Pengadilan berbeda dengan penyelesaian perkara
melalui arbitrase dan lain-lain. Arbitrase menurut
Subekti diartikan sebagai
berikut: “Arbitrase adalah penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para
halim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak
akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang
diberikan oleh hakim atau para hakim mereka pilih
atau tunjuk itu ”. Menurut Pasal 1 angka 1 UU
No. 30 Tahun 1999 mengartikan arbitrase sebagai
berikut: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan
masalah, di mana para pihak yang tidak memihak
bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk
mencari kesepakatan bersama. Pihak luar itu
disebut dengan mediator, yang tidak berwenang
untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu
para pihak untuk menyelesaiakan persoalan-
persoalan yang dikuasakan kepadanya
Tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa
perwakafan Pasal 62 UU No. 41/2004 (BAB VII Pasal
62 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf) menjelaskan sebagai berikut:
1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat
2) jika penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa
dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase,
atau pengadilan.
Mediasi menurut Takdir Rahmadi dalam
bukunya Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui
Pendekatan Mufakat, yang dimaksud dengan
mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa
antara dua pihak atau lebih melalui perundingan
atau cara mufakat dengan bantuan pihak yang
netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.
Pihak netral itu disebut mediator dengan tugas
memberikan bantuan prosedural dan substansial
Pasal 62 UU No. 41/2004 menjelaskan bahwa
dalam menyelesaikan permasalahan terhadap harta
benda wakaf agar terlebih dahulu mengutamakan
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif
sikap musyawarah untuk mencapai mufakat. jika
dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat
tidak berhasil dilakukan, dapat diselesaikan melalui
mediasi maupun arbitrase. Jika ketiga cara itu
juga tidak berhasil dilakukan, maka cara terakhir
yang harus ditempuh adalah melalui jalur pengadilan
(litigation). Berdasarkan setelah pemberlakuan UU
No.3/2006 tentang perubahan atas UU No. 7/1989
tentang kekuasaan mutlak (absolut competence)
Peradilan Agama bahwa perkara perdata antara
orang yang beragama Islam, dalam hal ini masalah
yang berkaitan dengan praktik perwakafan harus
diselesaikan di Pengadilan Agama.
2. Litigasi
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman, secara eksplisit menyebutkan bahwa di
Indonesia ada 4 lingkungan lembaga peradilan yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Agama.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah
suatu pola penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak
yang diselesaikan oleh pengadilan .
Dalam kontek wakaf, Lembaga Peradilan Agama
melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan
hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan
Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi
yang beragama Islam dalam bidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
ekonomi syari’ah.
Penyelesaian perkara perdata wakaf melalui
lembaga peradilan tidak cukup hanya pada lembaga
peradilan dalam arti Pengadilan Agama saja, tetapi bisa
juga di Pengadilan Negeri karena jika dengan putusan
peradilan tingkat pertama itu ada pihak yang
merasa dirugikan, dapat mengajukan upaya hukum
pada peradilan yang lebih tinggi yaitu upaya banding
pada Pengadilan Tinggi. Jika putusan Pengadilan
Tinggi itu mengakibatkan salah satu pihak merasa
keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan
upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung, dan
demikian juga jika salah satu pihak merasa keberatan
terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat
kasasi, dapat mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali pada Mahkamah Agung. Pada kondisi yang
demikian tentunya penyelesaian melalui lembaga
peradilan memerlukan waktu yang cukup lama,
tentunya juga menyangkut masalah biaya dan tenaga
yang tidak sedikit jumlahnya.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Sudargo Gautama (1999) bahwa para pedagang pada
umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun
lamanya. Tentunya banyak biaya yang harus dikeluarkan
sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan kekuatan
pasti (enforceable), artinya dapat dijalankan melalui
eksekusi. Oleh karena itu tentunya penyelesaian melalui
lembaga peradilan khususnya bagi para pedagang
kurang diminati, sesuai pula dengan yang dikemukakan
oleh Ridwan Khairandy bahwa pada perkembanganya,
terutama menyangkut masalah transaksi (kerjasama)
bidang dagang internasional, penyelesaian sengketa
melalui pengadilan kurang begitu diminati oleh pihak-
pihak yang bersengketa.
Undang-Undang Wakaf Nomor 41 tahun 2004
ada ketentuan pidana, yaitu masih terbatas sasaran
Nazdhir dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Hal ini
terjelaskan dalam pasal 67 ayat (1) dan ayat (3);
a. Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan,
menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan
dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda
wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta
benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif
dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
b. Setiap orang yang dengan sengaja mengubah
peruntukan harta benda wakaf tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
c. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah
yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Ketentuan itu merupakan wujud dari Negara
yang berdasarkan hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3)
UUDNRI 1945. memiliki sifat normatif sehingga
berdasarkan asas legalitas, hukum itu merupakan
kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Oleh karena
itu, dengan adanya sanksi itu bertujuan untuk
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana
itu .
Penyelesaian sengketa wakaf berdasarkan tradisi
hukum positif Indonesia adalah:
1. Non-Litigasi
a. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(ADR)
Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar
Pengadilan dapat disampaikan sebagai berikut:
1) Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 berbunyi:
“Semua peradilan di seluruh wilayah Republik
Indonesia adalah Peradilan Negara dan
ditetapkan dengan undang-undang”.
2) Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan :
“Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan
mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang
bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu
perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan
jika dibuat secara tertulis”
3) Pasal 1855 KUHPerdata
4) Pasal 1858 KUHPerdata
5) Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur
dalam satu pasal yakni Pasal 6 Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
b. Mediasi
Tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa
perwakafan Pasal 62 UU No. 41/2004 menjelaskan
sebagai berikut:
1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat
2) jika penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa
dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase,
atau pengadilan
Pasal 62 UU No. 41/2004 menjelaskan bahwa dalam
menyelesaikan permasalahan terhadap harta benda
wakaf agar terlebih dahulu mengutamakan sikap
musyawarah untuk mencapai mufakat
2. Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah
suatu pola penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak
yang diselesaikan oleh pengadilan.
Dalam kontek wakaf, Lembaga Peradilan Agama
melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan
hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan
Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi
Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif
yang beragama Islam dalam bidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
ekonomi syari’ah.
Undang-Undang Wakaf Nomor 41 tahun 2004
ada ketentuan pidana, yaitu masih terbatas sasaran
Nazdhir dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Hal ini
terjelaskan dalam pasal 67 ayat (1) dan ayat (3).