Tampilkan postingan dengan label pencucian uang 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pencucian uang 3. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

pencucian uang 3

  



Hukum terus berkembang dalam pergerakan sistem dunia yang dinamis. Perbuatan 
yang semula bersifat konvensional dengan terlingkup dalam ranah hukum yang mengaturnya 
mulai memiliki banyak celah sehingga lepas dari jeratan dan semakin merajalela akibat 
hukum yang masih tertatih-tatih mengikuti perkembangan dinamis dunia untuk merangkulnya 
kembali dalam ketentuan yang mengatur. Kemajuan teknologi sebagai bagian dari globalisasi 
dan perkembangan peradaban manusia menjadi aspek yang sangat mempengaruhi warga  
dalam menjalankan aktifitasnya.  
Kemajuan dan perkembangan revolusi industri membawa perubahan secara ekonomi 
dan sosial. Istilah “perkembangan” membawa dampak pada “revolusi” yang menunjukan 
cepatnya perkembangan ini . Pada umumnya ini merupakan tantangan bagi hukum untuk 
mampu mengikuti perkembangan ini .1 Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang 
bermata dua sebab  selain memberi  kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, 
dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Salah 
satu kejahatan yang menjadi semakin canggih dalam pelaksanaannya yaitu  tindak pidana 
pencucian uang atau money laundering. 
Pada awalnya pencucian uang hanyalah bersifat fisik, dimana tindakan ini  
berjalan mengenai seni menyembunyikan keberadaan sumber ilegal maupun aplikasi ilegal 
dengan membuatnya menjadi uang sah dengan dibatasi oleh kemampuan kreatif untuk 
memanipulasi dunia fisik. Kemudian keadaan ini mulai mengikis dengan kecendrungan 
penggunaan sarana elektronik untuk mempertipis kemungkinan deteksi pada  uang kotor 
ini  yang marak dipakai oleh hampir semua pencuci uang sekarang. Modus pencucian 
uang sekarang tidak terbatas pada perbuatan konvesional yang berlangsung dalam dunia nyata 
untuk diusut dan ditegakkan hukum pada nya. sebab  sifatnya yang virtual maka 
kemudian pencucian uang mengarah ke konteks kejahatan teknologi informasi yang kini 
                                                          
makin marak di dunia. Hal ini disebab kan sebab  telah terjadi pergeseran dari sarana 
kejahatan yang sudah memakai  sarana elektronik. Hingga penggunaan hukum yang 
diterapkan pun sudah mengacu kepada aturan siber. Kaburnya jarak nyata dalam berbagai 
transaksi pencucian uang menjadi salah satu isu sehingga bentuk dan jangkauan luar negeri 
yang dimaksud pada pasal 3 dan pasal 4 di Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang 
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang patut diperjelas dengan 
payung hukum yang menaungi dunia siber lebih jelas lagi, sebab  kaburnya batas ruang dan 
waktu dunia siber ini sendiri dapat mempengaruhi jangkauan ‘wilayah luar negeri’ yang 
ditentukan. 
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang 
akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, sebab  tujuan utamanya yaitu  
untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat 
dinikmati atau dipakai secara aman. Sekalipun terdapat berbagai macam tipologi atau 
modus operandi pencucian uang, namun pada dasarnya proses pencucian uang dapat 
dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan yaitu placement, layering dan integration. 
Dalam praktiknya ketiga kegiatan ini  dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun 
pada umumnya dilakukan secara tumpang tindih.  
Sementara itu terdapat tiga metode umum yang dipakai dalam pencucian uang yaitu 
Buy and Sell Conversions, Offshore Conversions, dan Legitimate Business Conversions. Dari 
berbagai metode ini modus yang berkembang cepat seiring dengan perkembangan teknologi 
yaitu  dengan mengonversi mata uang riil menjadi mata uang digital di dunia maya. Salah 
satu kasus yang paling terkenal yaitu  layanan mata uang digital Costa Rica yang disebut 
Liberty Reserve. Cara cuci uang lain yaitu  melalui online gaming. Pada beberapa  online 
game, orang bisa mengonversi uang dari dunia real menjadi layanan barang virtual atau uang 
virtual. Nantinya uang atau barang virtual bisa dikonversi balik ke uang asli.  
Menurut kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan penggunaan virtual 
currency dapat mempertinggi risiko kejahatan keuangan, yakni pendanaan terorisme dan juga 
pencucian uang. Perkembangan teknologi digital saat ini juga dapat memicu berbagai usaha  
pencucian uang. Bahkan, ia menyebut dunia tengah memasuki 'era digital money laundering'. 
Kiagus memaparkan, bahwa pendapatan yang dihasilkan dari 11 kejahatan transnasional, 
seperti perdagangan narkoba, perdagangan gelap senjata hingga perdagangan manusia 
diperkirakan berkisar antara US$1,6 triliun hingga US$2,2 triliun per tahun. Aliran dana 
illegal lintas negara (Illicit Financial Flows/IFF) yang berasal dari aktivitas kejahatan 
 
ekonomi antarnegara juga meningkat. Terlebih, dengan hadirnya virtual asset seperti 
cryptocurrency yang sulit dilacak. Saat ini nilai dari IFF berkisar sekitar 2 persen hingga 5 
persen dari GDP Global.2 
Dengan demikian, pelaku kejahatan kini tidak lagi melakukan kejahatan keuangan 
dalam bentuk uang tunai ataupun berbagai jenis aset. Melainkan, dengan memanfaatkan 
teknologi informasi yang berfungsi untuk mengelola dana ilegal ini . sebab  sifatnya 
yang virtual maka kemudian pencucian uang mengarah ke konteks kejahatan teknologi 
informasi yang kini makin marak di dunia. Secara internasional hukum yang terkait kejahatan 
teknologi informasi dipakai istilah hukum siber atau cyber law. Istilah lain yang juga 
dipakai yaitu  hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia 
maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Sejalan dengan istilah ini  Barda 
Nawawi Arief menyatakan : ”tindak pidana mayantara”, identik dengan ”tindak pidana di 
ruang siber (”cyber space”)” atau yang biasa juga dikenal dengan istilah ”cybercrime”.3 
Dalam konsep kejahatan siber sendiri terdapat dua hal yang menjadi fokus utama, 
yakni memakai  teknologi siber sebagai sarana dalam melakukan kejahatan dan yang 
kedua yaitu  menjadikan siber itu sendiri sebagai obyek kejahatan. Hingga penggunaan 
hukum yang diterapkan pun menjadikan aturan siber sebagai salah satu payung hukum dalam 
mendukung penegakan hukum atas kejahatan yang dilakukan. Menjawab tuntutan dan 
tantangan komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang diharapkan (ius 
konstituendum) yaitu  perangkat hukum yang akomodatif pada  perkembangan serta 
antisipatif pada  permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan Internet dengan 
berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non 
materi.4 Misalnya saja praktik pencucian uang dalam bentuk uang virtual dalam sebuah 
platform situs digital yang dapat menyebakan situs ini  ditutup dan menghasilkan 
kerugian besar. Kegiatan dalam dunia virtual yang tidak terbatas sangat beragam sehingga 
terkadang jangkauan hukum untuk pengaplikasiannya masih harus diperluas lagi dan saling 
melengkapi.  
Pencucian uang tidak lepas dari sistem perbankan sebagai tempat keluar masuknya 
aliran dan atau investasi. Perkembangan sistem perbankan yang pada masa kini sudah canggih 
                                                          
seperti adanya e-money (electronic money/ uang elektronik) menjadi wajah baru yang berbeda 
dari bentuk konvensional uang yang pernah ada. Uang elektronik ini tidak hanya disimpan 
dalam bentuk chip ataupun kartu, namun juga tersimpan dalam media elektronik yang sifatnya 
tidak nyata sehingga penggunaan uang elektronik inipun hanya dapat dipakai di dunia 
maya saja atau transaksi on-line. Peraturan Bank negara kita  Nomor 16/8/PBI/2014 tentang 
Perubahan Atas Peraturan Bank negara kita  Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik 
(Electronic Money), menetapkan persyaratan mengenai ketentuan penyelenggaraan atas uang 
elektronik ini  sebagai dukungan usaha  pemerintah dalam pencegahan pencucian uang 
seperti batasan nominal, jenis kurs, hingga penerapan prinsip mengenal nasabah (know your 
customer principles). 
Namun jika dalam hal uang elektronik ini ditransaksikan ke dalam website online yang 
memiliki kurs nya sendiri, seperti situs second life dengan Linden Dollarnya, yang mana kita 
melakukan kegiatan harian dalam suatu dunia virtual dengan transaksi yang tidak jauh 
berbeda dari kehidupan nyata yang memiliki aturan hukumnya sendiri, hal ini menjadi 
problematika dalam penegakan hukum atas pencucian uang yang memakai  metode 
layering dengan sifat virtual. 
Menurut Massimo Nardo, isu memerangi kejahatan ekonomi dan keuangan di tingkat 
global telah menjadi semakin penting dalam arena internasional selama puluhan tahun yang 
menandai transisi dari abad kedua puluh ke abad dua puluh satu. Nardo menunjukkan bahwa 
pekerjaan masa lalu di bidang kejahatan keuangan di dunia maya sebagian besar telah 
difokuskan pada struktur dan pendekatan metode dan bukan kerja sosial-hukum kejahatan. 
Dia menyatakan, tampaknya sebab  itu berguna untuk meningkatkan analisis dengan 
membuka usaha  untuk aspek ekonomi dan sosiologis. 5 Kejahatan ekonomi virtual mungkin 
tampak kecil dibandingkan dengan kejahatan terlarang lainnya seperti perdagangan narkoba, 
namun sekarang muncul bahwa ada hubungan yang kuat antara kejahatan terorganisir di dunia 
nyata dan kejahatan ekonomi melalui internet.6 Pencucian uang akan berfokus sebagai 
kegiatan kriminal utama dalam dunia maya, tapi tidak untuk mengatakan bahwa itu yaitu  
satu-satunya kejahatan keuangan yang terjadi. Para kriminal yang melakukan kejahatan 
ekonomi memakai  internet sebagai cara memperoleh, memasukan, dan memakai  
                                                           
informasi berharga.7 Pencucian uang virtual ini yang merupakan bentuk dari kejahatan 
dimensi baru dengan penggunaan sarana yang baru berkembang. Perkembangan hukum 
sendiri diusaha kan dapat mengikuti perkembangan bentuk kejahatan dimensi baru namun 
tidak gegabah dalam merumuskan aturan yang mengaturnya agar tidak terjadi tumpang tindih 
aturan atau perumusan aturan yang kurang matang.  

Beranjak dari latar belakang di atas, dengan tujuan untuk menjelaskan kejahatan 
pencucian uang pada uang virtual dalam hukum pidana sekarang dan penanggulangan 
kejahatan pencucian uang pada  uang virtual di masa yang akan datang maka rumusan 
masalah penelitian ini yaitu  : 
1. Bagaimanakah kejahatan pencucian uang pada uang virtual dalam hukum pidana 
negara kita  saat ini? 
2. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan pencucian uang pada  uang virtual? 

Kejahatan Pencucian Uang Pada Uang Virtual dalam Hukum Pidana Sekarang  
Oleh sifatnya yang terorganisir,  pencucian  uang  merupakan  tindak  pidana  di  
bidang  ekonomi  yang  pada  intinya memberi  gambaran pada  hubungan langsung 
bahwa kriminalitas merupakan suatu kelanjutan  dari  kegiatan  dan  pertumbuhan  ekonomi.  
Fenomena pencucian  uang  bukan permasalahan nasional lagi namun  sudah internasional, 
sehingga sangat penting ditempatkan pada sentral pengaturan hukum. Hampir semua 
kejahatan ekonomi dilakukan dengan motif keuntungan. Oleh sebab  itu untuk membuat 
pelaku jera atau mengurangi tindak pidana itu dengan cara  mencari  fakta  kejahatan  susaha   
pelaku  tidak  dapat  menikmatinya  dan kejahatan juga sirna. Hal ini juga sangat membantu 
dalam pengembalian kerugian negara. 
Kejahatan pencucian uang merupakan delik berganda dan berkait, yang artinya delik 
itu tidak akan ada bila tidak ada delik lainnya sebagai asal terjadinya delik.10 berdasar 
pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan 
Pencucian Uang, menyebutkan hasil tindak pidana yang merupakan harta kekayaan dari 
berbagai tindak pidana asal seperti korupsi, perdagangan obat terlarang, perdagangan orang, 
dan lain sebagainya. Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional 
merupakan hal baru di banyak negara termasuk negara kita . Sebegitu besar dampak negatif 
pada  perekonomian suatu negara yang dapat ditimbulkannya, mendorong negara-negara 
di dunia dan organisasi internasional menaruh perhatian serius dan khusus pada  
                                                           
pencegahan dan pemberantasan masalah ini. Hal ini turut pula menjadi perhatian serius di 
negara kita  sebagai negara berkembang yang tengah menjalankan pembangunan nasional 
sebab  permasalahan money laundering dapat menimbulkan masalah domestik, seperti 
mempersulit pengendalian moneter, dan juga mengurangi pendapat negara.  Tak hanya itu, 
penucian uang juga mempertinggi risiko negara (country risk), sehingga berpotensi 
menciptakan instabilitas sistem keuangan ataupun perlambatan pertumbuhan ekonomi. Untuk 
itu peran PPATK sebagai lembaga sentral yang mengoordinasikan pelaksanaan usaha  
pencegahan dan pemberantasa pencucian uang di negara kita  sangat penting. 
berdasar buletin statistik PPATK bulan Oktober 2020 lalu, dalam lingkup nasional 
terdapat tiga besar dugaan tindak pidana asal yang dilaporkan pada Laporan Transaksi 
Keuangan Mencurigakan (LTKM) yaitu penipuan, narkotika, dan korupsi. Pergerakan aliran 
dana yang diawasi dan dilaporkan yaitu  bahwa secara keseluruhan jumlah LTKM yang 
diterima oleh PPATK sejak Januari 2003 s.d. Oktober 2020 telah mencapai sebanyak 558.933 
LTKM atau bertambah 10,9 persen dibandingkan jumlah kumulatif LTKM pada akhir 
Desember 2019. Peningkatan pelaporan LTKM, terutama terjadi sejak diberlakukannya UU 
TPPU tanggal 22 Oktober 2010. Jumlah LTKM yang telah diterima PPATK sejak Januari 
2011 s.d. Oktober 2020 tercatat sebanyak 495.009 LTKM, atau secara rata-rata tahunan 
meningkat 530,0 persen dibandingkan periode sebelum diberlakukannya UU TPPU.11  Dalam 
pelaksanaan penegakan hukum pada  pencucian uang, terdapat 540 perkara TPPU yang 
telah diputus oleh Pengadilan sejak Januari 2005 s.d. Oktober 2020 dengan hukuman 
maksimal penjara seumur hidup dan denda maksimal Rp32 Miliar. Selama periode ini , 
sebagian besar Putusan Pengadilan terkait TPPU diputus oleh Pengadilan (mencakup 
Pengadilan Negeri/Tipikor, Pengadilan Tinggi, dan atau Mahkamah Agung) di wilayah DKI 
Jakarta, yaitu sebanyak 173 putusan atau 32 persen. Putusan yang telah diputus oleh 
Pengadilan terkait TPPU yaitu  hukuman maksimal selama seumur hidup dan denda 
maksimal sebesar Rp32 Miliar. Sebagian besar putusan Pengadilan perkara TPPU terkait 
dengan tindak pidana asal Narkotika, yakni sebanyak 137 putusan atau 25,4 persen dari total 
keseluruhan putusan TPPU. Di posisi kedua tindak pidana asal pencucian uang yaitu  
korupsi, sebanyak 104 putusan atau 19,3 persen  dari total keseluruhan putusan TPPU.12 
berdasar data yang ini  dalam buletin ini dapat terlihat bahwa saat ini penegakan 
                                                           
pencucian uang di negara kita  belum cukup luas untuk menjangkau praktik pencucian uang 
yang terjadi dibawah radar praktik konvensional, misalnya saja digital money laundering atau 
pencucian uang virtual. Sehingga untuk negara kita  harus meningkatkan kerja sama 
internasional sebagai usaha  pemberantasan pencucian uang. 
Dengan perkembangan globalisasi dan teknologi yang cepat kini membuat kejahatan 
pencucian uang yang dulunya konvensional menjadi tingkatan yang berbeda sehingga 
penanganan yang diperlukan sendiri menjadi khusus. Hal ini salah satunya yaitu  sebab  
pelaksanaan pencucian uang itu sendiri yang dilaksanakan di dunia maya atau virtual. 
Pencucian ini tentu saja berbeda dengan proses pencucian yang memakai  sistem transfer 
dana elektronik maupun pengubahan aset yang berputar dan acak yang jalurnya masih bisa 
dilacak oleh jaringan sistem lembaga keuangan.  
Namun kesulitan menjadi jauh sangat kentara ketika proses pencucian dilakukan di 
dunia virtual dimana bahkan uang rill dapat ditukarkan dengan barang virtual yang memiliki 
nilai tertentu dan perputaran atas barang virtual ini  di dunia maya yang tidak dinaungi 
oleh lembaga terdaftar di dunia nyata. Disebutkan oleh FATF bahwa pencucian uang sekarang 
semakin jarang terjerat, namun mereka menambahkan apakah dipicu  sebab  perbuatan ini yang 
semakin langka atau justru para pencucinya yang semakin canggih hingga lepas dari endusan para 
penegak hukum. Kemajuan teknologi sekarang telah menjadi tombak penting dimana pencucian uang 
yang merupakan white collar crime ini dapat main akal-akalan dalam menyiasati pelegalan uang 
haramnya. Seperti yang disebutkan pada tinjauan pustaka mengenai faktor maraknya pencucian uang 
bahwa kemajuan di bidang teknologi-informasi menyebabkan kejahatan terorganisir dapat lintas 
negara dengan mudah hingga hukum sulit dalam pencapaian perbuatan pidana ini  untuk dijerat 
dan diadili. Di negara kita  sendiri cyber/ digital/ virtual money laundering bukan kata yang umum 
untuk didiskusikan, kebanyakan hanya mengetahui sebatas pencucian uang tapi kurang yakin dengan 
pencucian uang berbasis telematika. Dari kajian komprehensif oleh penulis menyimpulkan bahwa 
unsur-unsur money laundering meliputi  unsur person, unsur objektive yang melibatkan sistem 
elektronik, dan unsur subjektive. Ketiga tahapan pencucian uang pada dasarnya dilakukan dalam dunia 
siber atau virtual untuk menciptakan ”disassociation” antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si 
penjahat serta tindak pidananya, sehingga proses hukum konvensional akan mengalami kesulitan 
dalam melacak si penjahat dan menemukan jenis tindak pidananya. 
Pencucian uang virtual ini dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. Launderer 
bergabung dengan membuka akun pada situs dunia virtual 3D. Dalam situs para pemain bisa 
bergabung dengannya, menciptakan pribadi baru dan aspek fisik baru, cara berjalan, terbang, 
bersenang-senang dengan teman, bisa membeli lahan, dan bisa juga bertransaksi dengan uang 
virtual yang bisa dikonversi ke uang sesungguhnya, dan semua ini dimainkan secara online. 
Pada tahap placement, para launderer dapat membeli kurs virtual ini  dengan mentransfer 
pada rekening milik perusahaan situs virtual ini . Contoh situs yang terkenal dengan 
banyak praktik money laundering dalam permainan ini  yaitu  Second Life oleh Linden 
Research, Inc. yang mana terdapat berbagai profesi aktif yang bisa dijalankan secara virtual 
dan secara ‘sah’ dapat menerima bayaran besar dari profesi yang dilaksanakannya di dunia 
virtual ini , mulai dari pengusaha sukses yang tinggal di mansion mewah virtual, 
penyanyi yang mengadakan konser virtual besar, hingga berbagai jasa dan konsultan misalnya 
psikolog hingga pengecara. Praktik umum yang dipraktikan dalam situs ini  yaitu  agen 
real estate yang menawarkan berbagai lahan virtual yang bisa jadi sangat mahal untuk 
kebanyakan pengguna. Dalam tahap layering seorang pemain dapat membeli lahan itu dan 
akan membuat pembayaran dengan transfer uang virtual antar pemain yang kemudian diubah 
menjadi uang sebenarnya. namun  semenjak pemindahan uang dalam jumlah besar bisa 
beresiko, transaksinya akan dibagi-bagi ke dalam beberapa transfer uang dalam jumlah kecil. 
Uang yang sangat banyak dipindahkan dari seorang pemakai ke pemakai lain dalam angka 
kecil, sebuah medium yang baik untuk pencucian uang, dengan perdagangan memakai  
kurs virtual antar pemain. Pencairan dana besar dari akun pemain yang melakukan permainan 
secara ‘sah sesuai aturan yang diberlakukan situs’ ini  merupakan tahap integrasi 
pencucian uang yakni mengoversi uang virtual ini  ke dalam dunia nyata.  
Transaksi aset virtual dengan uang rill yang sudah dikonversikan ke kurs privat khusus 
situs ini  sehingga menjadi uang virtual yang bukan merupakan mata uang digital resmi, 
menyebabkan transaksi dengan penggunaan mata uang ini  tidak terlacak oleh badan 
resmi. Jika situs ini  terdaftar di negara kita , maka transaksi keuangan berada dalam 
pengawasan OJK. Namun hal ini tentu berbeda jika situs luar negeri yang bukan berada dalam 
pengawasan OJK. Seperti situs Second Life ini  yang bebas diakses dan pelaksanaan 
transaksinya berada ditengah milyaran transaksi antar pemain yang tidak diawasi secara ketat. 
sebab  uang virtual sendiri hanya dapat ditransaksikan secara elektronik dan virtual pula, 
menjadikan nilai ekonomis dari kurs virtual ini  tidak semuanya yang terpayungi oleh 
hukum di dunia nyata dalam pelaksanaan transaksinya. Transaksi ini  akan bertebaran 
dengan acak dalam dunia virtual dengan triliun transaksi sehingga untuk penggalian data dan 
penemuan bukti sulit dilakukan. Apalagi dengan tujuan penegakan hukum pada  pencucian 
uang sendiri yaitu  khususnya untuk pengembalian aset yang merugikan negara sekaligus, 
termasuk semua keuntungan hasil kejahatan ini . Hal ini terkait dengan pelaksanaan 
transaksi bisnis virtual yang berlangsung di dunia virtual, dimana kasus pencucian uang 
virtual masih banyak yang sulit ditelusuri oleh penegak hukum sebab  kerumitan dunia virtual 
itu sendiri sementara aset ini  bisa diuangkan kembali ke dunia nyata untuk dimanfaatkan 
nilai ekonomisnya.  
Uang virtual sebagai objek pencucian uang virtual, merupakan harta kekayaan yang 
menjadi unsur dalam kriminalisasi pencucian uang. Peraturan BI Nomor 16/8/PBI/2014 
mengatur tentang uang elektronik, namun tidak memayungi pada  uang elektronik yang 
tidak terdaftar atau dalam pengawasan lembaga keuangan resmi. Maka untuk penjeratan 
pada  pencucian uang virtual tetap berkiblat kepada undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 
yang menyebutkan bahwa harta kekayaan yang dicuci dapat merupakan barang yang tidak 
berwujud dan dapat Penulis analogikan ke uang virtual. 
Salah satu tren terbaru dalam pencucian uang melibatkan mata uang digital. Banyak 
orang yang hanya mulai belajar tentang meningkatnya penggunaan cryptocurrency virtual 
independen, seperti Bitcoins, Litecoins, Zen dan Namecoins. namun  kenyataannya yaitu  
transaksi online dan alternatif mata uang ada di banyak tempat, dari Dolar Linden yang 
dipakai dalam game online Second Life, dan Justice Poin di World of Warcraft, hingga 
Berkshares, mata uang alternatif yang dibuat oleh lima bank untuk mempromosikan bisnis 
lokal di Berkshire wilayah Massachusetts Barat. Di mana ada kesempatan untuk menukar 
uang riil dengan uang online, maka pencucian uang juga bisa eksis. Beberapa mata uang 
virtual benar-benar anonim, tidak seperti transaksi kartu kredit atau cek pribadi, yang dapat 
dikaitkan dengan seseorang atau entitas tertentu. Mata uang virtual tidak seperti rupiah, dolar, 
yen atau euro sebab  tidak ada pemerintah atau badan pengawas pusat yang mengatur nilai 
mereka atau penggunaan. Mereka dipertukarkan secara bebas dan anonim pada jaringan peer-
to-peer di seluruh dunia.13 
Teknik yang paling banyak dipakai yaitu  dengan mengonversi mata uang riil 
menjadi mata uang digital di dunia maya. Salah satu kasus yang paling terkenal yaitu  
layanan mata uang digital Costa Rica yang disebut Liberty Reserve. Dengan cara uang Dollar 
atau Euro dikonversi ke sebuah mata uang digital yang disebut dollar Liberty Reserve dollars 
atau Euro Liberty Reserve. Mata uang digital Liberty Reserve ini kemudian bisa dikirimkan 
dan diterima secara anomim. Penerimanya bisa mengonversi mata uang Liberty Reserve 
kembali ke uang tunai dengan membayar beberapa  kecil uang jasa. Pada Mei tahun 2013, 
                                                          
pihak berwewenang AS telah menutup layanan ini . Pendiri Liberty Resever dan 
beberapa orang lain didakwa dengan tuduhan mencuci uang. Namun menurut Richet, 
penutupan Liberty Reserve tidak akan menghentikan praktik cuci uang. Sebab ada banyak 
alternatif lain, seperti WebMoney, Bitcoins, Paymer, dan PerfectMoney.14 Yang menjadi 
tantangan besar yaitu  pencucian uang melalui online gaming. Pada beberapa  online game, 
orang bisa mengonversi uang dari dunia real menjadi layanan barang virtual atau uang virtual. 
Nantinya uang atau barang virtual bisa dikonversi balik ke uang asli.  Menurut Richet, game 
Second Life dan World of Warcraft yaitu  game yang paling sering digunakan. 
Bagi sebagian akademisi, pencucian uang melalui banyaknya game online multiplayer 
sebagian besar telah diabaikan oleh penegak hukum untuk waktu yang lama sebab  dianggap 
terlalu rumit. Hal ini disebab kan dunia virtual terpisah dari dunia nyata sehingga dunia 
virtual menjadi  lawless dan unregulated. Sementara bagi sebagian yang lain berpendapat 
bahwa dunia virtual dan dunia nyata melebur sehingga hukum di dunia nyata dapat 
diberlakukan di dunia virtual. Yang menjadi permasalahan yaitu  terkait yurisdiksi yang 
sesuai dalam pengusutan, pengaturan, dan darimana untuk di kontrol.15 Game online ini, dan 
Deep Web pada umumnya, bisa sangat mengintimidasi. Apalagi banyak penjahat yang 
canggih dengan penggunaan kode komputer dan teknologi yang maju dan kompleks dalam 
pencucian uang virtual. Ini bukan hanya subkultur asing, namun  ukuran itu semua bisa terasa 
luar biasa. Dengan triliunan transaksi, banyak di komunitas penegakan hukum bahkan tidak 
bisa membayangkan di mana untuk memulai. Pencucian uang online pada dasarnya tidak jauh 
berbeda dengan pencucian uang offline. Pada kebanyakan kasus, pencucian uang virtual 
merupakan kombinasi dan terintregasi dengan pencucian uang offline. Hanya saja keunikan 
pada pencucian uang virtual yaitu  dunia virtual itu sendiri. Keunikan di dunia virtual 
ini  antara lain yaitu : Anonimitas tinggi; Kerahasiaan tinggi; Banyak kesulitan dalam 
penegakan hukum, artinya banyak pengamanan yang dapat dikelokan sebab  kurangnya 
pengaturan; Biaya dan usaha  rendah; serta Kecepatan transaksi. Hal ini yang menyebabkan 
pencucian uang virtual sulit untuk dideteksi. 
Tantangan tersendiri bagi negara kita  yaitu  negara kita  masih harus meningkatkan 
kerjasama internasional yang lebih baik untuk bisa melakukan pengusutan dan pemulihan aset 
pencucian uang yang beredar di dunia virtual dan lintas negara yang mana belum dipayungi 
                                                          
oleh hukum nasional negara kita  sehingga perlu penerapan hukum internasional. Namun patut 
diketahui hingga per Januari 2021 menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pertemuan 
PPATK tahunan secara virtual, negara kita  yaitu  satu-satunya negara di antara negara G20 
yang  belum bergabung dengan FATF (Finansial Action Task Force) yang merupakan 
gerakan anti pencucian uang global, sehingga saat ini negara kita  belum bisa menerapkan 
aturan pencucian uang internasional. usaha  negara kita  untuk bergabung sebagai anggota pada 
FATF telah dilaksanakan sejak tahun 2017 dengan memenuhi berbagai persyaratan dan 
direncanakan pada 1-17 Maret 2021, akan ada evaluasi yang dilakukan untuk menjadi anggota 
FATF. negara kita  akan mengikuti evaluasi ini sehingga diharapkan bisa segera menjadi 
anggota FATF di akhir 2021. Harapannya setelah itu dapat menerapkan hukum internasional 
dan membangun kebijakan nasional pada  penanggulangan pencucian uang yang lebih baik 
di negara kita , selain itu diharapkan negara kita  bisa menjadi negara yang cukup tinggi terkait 
pencegahan TPPU dan TPPT. Kepala PPATK juga menekankan bahwa keberhasilan menjadi 
anggota FATF menuntut kerja ekstra keras dari seluruh pihak, bahkan dukungan penuh dari 
segenap komponen bangsa, termasuk kalangan pers. Menjadi anggota FATF akan bernilai 
strategis sebagai bentuk pengakuan dunia internasional pada  integritas sistem keuangan 
RI, sekaligus diharapkan mendorong negara kita  yang terus berproses memajukan 
perekonomiannya 16 
berdasar hal ini  diatas, maka untuk saat ini penulis akan menarik hukum 
pidana negara kita  untuk implementasi dalam dunia virtual dan mengupas unsur-unsur 
pencucian uang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan 
Pemberantasan Pencucian Uang pada  uang virtual meliputi  unsur person, unsur objektive 
yang melibatkan sistem elektronik, dan unsur subjektive yang dapat terpenuhi. Selanjutnya 
perlu ditopang Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika untuk 
mencengkram Pencucian uang pada  uang virtual. Dari hasil pengkajian bahan hukum 
ini , maka hukum pidana negara kita  saat ini dapat mengategorikan pencucian uang virtual 
sebagai perbuatan pidana dan dapat menjerat pelakunya maupun terkait jangkauan hukum 
pencucian uang pada  ruang siber dan kegiatan maupun aset yang ada di dalamnya. Hal ini 
dijelaskan sebagai berikut: 
1. Unsur Person 
                                                          
Undang-Undang ini menyebutkan ‘Setiap Orang’ sebagai subjeknya. Pada 
pasal 1 menerangkan bahwa yang dimaksud ‘Setiap Orang’ ini yaitu  orang 
perseorangan atau koorporasi (koorporasi yaitu  kumpulan orang dan/atau kekayaan 
yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum). 
Unsur ini sesuai untuk pencucian uang siber yang merupakan kejahatan terorganisir. 
Tapi kembali pada persoalan sifat kejahatan yang transnasional, unsur pelaku ini 
kurang merinci karakteristik netizen yang menjadi seorang cyber launderer yang 
memakai  pemanfaatan sarana elektronik dalam proses pencuciannya.  
Maka untuk menopang kepentingan unsur person, penulisan berpendapat untuk 
digunakannya Undang-Undang Nomor Nomor 19 tahun 2016 yang menentukan 
bahwa orang yaitu  orang perseorangan, baik WNI, WNA, maupun Badan Hukum 
yang melakukan transaksi elektronika dengan penyelenggaraan sistem elektronik 
seperti yang disebutkan bagi pasal-pasalnya. Menurut Undang-Undang ITE ini, cyber 
launderer sebagai seorang  netizen baik WNI maupun WNA dapat dijerat sebab  
melakukan kejahatan yang memakai  sarana elektronik dalam proses 
perbuatannya. Unsur person pada pencucian uang siber dapat ditopang oleh ketentuan 
dari Undang-Undang ITE. Meski begitu pengusutan person yang terlibat pencucian 
uang di dunia virtual harus benar-benar mewujudkan bukti yang dapat dinyatakan 
secara nyata, sehingga dalam investigasi siber ataupun dalam forensik siber penting 
bagaimana peran kerjasama dunia internasional untuk proses penggalian data siber ini. 
 
2. Unsur Objektif 
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ini merumuskan perbuatan 
pencucian uang dalam 3 jenis kepada pelakunya, yaitu : 
1. Pencuci yang menempatkan, mentrasfer, mengalihkan, membelanjakan, 
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah 
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga dengan tujuan 
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul; 
2. Penyembunyi atau Penyalur yang menyembunyikan, mengaburkan,  
menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau 
kepemilikan yang sebenarnya; dan 
3. Penadah yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, 
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau memakai , 
Atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil 
tindak pidana yang disebutkan oleh pasal 2 Undang-Undang ini. Harta kekayaan yang 
dimaksudkan oleh Undang-Undang ini yaitu  semua benda bergerak atau benda tidak 
 
bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik secara 
langsung maupun tidak langsung. Undang-Undang ini juga dapat melingkupi objek 
cyber laundering yang bersifat digital dengan ditopang oleh UU ITE. Misalnya 
transaksi uang virtual dalam tukar menukar rumah ataupun pulau virtual, yang jika 
aset rumah atau pulau virtual itu di konversikan akan menghasilkan nilai dalam bentuk 
uang yang memiliki nilai ekonomis di dunia nyata. 
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menerangkan tentang transaksi yaitu 
kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban yang menyebabkan timbulnya 
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Meskipun pada poin lain menyebutkan 
dokumen yang terekam secara elektronik, namun hal transaksi ini  tidak 
disebutkan sebagai transaksi elektronika, sebagaimana yang disaranakan oleh cyber 
launderer. Menurut pasal 82 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 bahwa salah satu 
kejahatan dalam transfer dana yaitu  penerima yang dengan sengaja menerima atau 
menampung, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, suatu Dana yang 
diketahui atau patut diduga berasal dari Perintah Transfer Dana yang dibuat secara 
melawan hukum. Untuk menunjang hal ini, Undang-Undang ITE difungsikan untuk 
menambal kelemahan ini dengan memuat ketentuan bahwa transaksi elektronika 
yaitu  perbuatan hukum yang dilakukan dengan memakai  komputer, jaringan 
komputer, dan/atau media elektronik lainnya, sehingga transaksi keuangan yang 
dilakukan secara elektronik pada cyber laundering dapat terjerat oleh ketentuan pasal 
pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ini. 
Meski begitu masih diributkan khalayak banyak mengenai transfer dana 
sebagai salah satu transaksi keuangan yang ditopang oleh Undang-Undang ITE. 
Memang hal ini dengan luas memasung pelaku pencucian uang yang utamanya 
memakai  sistem transfer dana dalam mengalirkan dana haramnya, namun tetap 
saja dirasa perlu untuk tambahan perundangan lain untuk semakin menyempurnakan 
penjeratan cyber launderer.  
Undang-Undang ITE pada sekarang ini difungsikan sebagai norma bagi 
warga  siber, namun aturan pidana yang dimuatnya sejauh ini terfokus pada 
kejahatan komputer berupa larangan pada  jenis-jenis kejahatan seperti hacking, 
cracking, phising, piracy, cybersex, penghinaan, perjudian, pemerasan, HOAX, hingga 
ujaran kebencian. Maka untuk menghadapi pencucian uang pada  uang virtual yang 
merupakan hasil dari electronic funds transfer crime dan cyber crime, Undang-Undang ITE tidak dapat membantu banyak dalam menggarap cyber launderer 
sekalipun memang memuat ketentuan mengenai transaksi elektronik namun tidak 
menyebutkan tentang transaksi keuangan online seperti kejahatan pada transfer dana. 
 
3. Unsur Subjektif 
Tentu saja undang-undang ini sebagai Undang-Undang pencucian uang 
memuat sejelasnya unsur subjektif dari tindak pencucian uang. Undang-Undang ini 
kembali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘patut diduganya’  yaitu  suatu 
kondisi yang memenuhi setidaknya-setidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan 
pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya 
pelanggaran hukum, dengan poin kedua yaitu dengan maksud menyembunyikan atau 
menyamarkan.  
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, Mens rea yang harus dibuktikan yaitu 
knowledge (mengetahui atau patut menduga) dan intended (bermaksud). Kedua hal 
ini  berkaitan bahwa terdakwa mengetahui dana ini  barasal dari hasil 
kejahatan dan pelaku mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. 
Namun pembuktian inipun sulit ketika launderer telah sedemikian rupa hebatnya 
untuk menyembunyikan hasil kejahatannya terlebih dengan penggunaan sarana 
internet yang semakin berkembang praktis dan cangih. Meski kesulitan untuk 
pembuktian pada poin menyembunyikan yang ditransaksikan di dunia siber namun 
pasal kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ini membantu 
dengan pemuatan poin ‘menyamarkan’ sehingga perbuatan yang menyesatkan 
pelacakan pada  keilegalan harta haram didunia siber tetap dapat dipidana. Penulis 
berpendapat bahwa unsur subjektif pada pasal ini memiliki pasung yang kuat dan luas 
dalam menjerat cyber launderer. 
 
Penanggulangan Kejahatan Pencucian Uang pada  Uang Virtual  
Pada awalnya, Yurisdiksi merupakan konsekuensi logis dari kedaulatan negara atas 
wilayahnya. Yurisdiksi negara atas individu, benda dan lain-lain dalam batas wilayahnya 
(teritorial daratan, laut dan udara) pada akhirnya dapat berkembang/meluas melalui batas-
batas negara (perluasan atas individu dan benda-benda yang terletak dinegara lain). Hal ini 
merupakan salah satu dampak/akibat dari semakin terbukanya hubungan internasional dan 
perdagangan internasional yang ada. Di sinilah perlu ada kesepakatan bersama. Adanya  
proses yang berlangsung/berkembang melalui kesepakatan bersama ini , hukum 
internasional menyusun aturan yang mengikat.  
Sebagaimana sering terlihat, kedaulatan yang dimiliki suatu negara, kadang-kadang, 
menimbulkan konflik antar negara yang ada. Hal ini banyak terkait dengan adanya 
kewenangan/yurisdiksi yang dimiliki oleh satu negara pada  individu, benda, dan lain-lain, 
misalnya seorang warga negara dari suatu negara melakukan kejahatan di banyak negara, 
dapat berkembang menjadi masalah pula di negara lain, persoalan ini  masuk dalam 
lingkup yurisdiksi. Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini 
tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk 
mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Di samping itu, ada beberapa orang 
(subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan pada  yurisdiksi wilayah suatu negara 
meskipun mereka berada di dalam negara ini . berdasar kedudukan negara dalam 
hukum internasional, yurisdiksi dapat dibedakan menjadi: 
1. Yurisdiksi teritorial. Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai 
yurisdiksi pada  semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini 
yaitu  prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional. Menurut 
Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi pada  semua orang, 
benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai 
pertanda bahwa negara ini  berdaulat. 
2. Yurisdiksi Personal. Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat 
mengadili warga negaranya sebab  kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. 
Sebaliknya, yaitu  kewajiban negara untuk memberi  perlindungan diplomatik 
kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara universal. 
3. Yurisdiksi menurut Prinsip Perlindungan. berdasar prinsip yurisdiksi 
perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya pada  warga-warga 
asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam 
kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara. Penerapan prinsip ini 
dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang 
pembenaran ini yaitu  perundang-undangan nasional pada umumnya tidak mengatur 
atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di dalam suatu negara yang dapat 
mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan kemerdekaan orang lain. 
4. Prinsip Yurisdiksi Universal. Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai 
yurisdiksi pada  tindak kejahatan yang mengancam warga  internasional. 
Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat di mana kejahatan dilakukan atau warga negara 
yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal pada  jenis 
kejahatan yang merusak pada  warga  internasional sebenarnya juga 
dipicu  sebab  tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili 
kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu). 
                                                          
Cyber space yaitu  media yang tidak mengenal batas. Baik batas-batas wilayah 
maupun batas kenegaraan. Sehubungan dengan adanya unsur-unsur internasional dari 
kejahatan di dunia maya (cyber crime) tentunya akan menimbulkan masalah tersendiri, 
khususnya berkenaan dengan masalah yurisdiksi. Kejahatan Pencucian Uang, sebab  metode, 
sarana yang digunakan, dan/atau objek perbuatan ini  merupakan bentuk digital di dunia 
virtual, maka pencucian uang pada  uang virtual dikategorikan sebagai kejahatan siber 
(cyber crime). Untuk penegakan hukum pencucian uang pada  uang virtual yang dilakukan 
di domain situs luar negeri, mengikuti prinsip yurisdiksi berdasar prinsip hukum 
internasional berlaku. 
Internet memiliki 3 (tiga) level regulasi, yang ketiganya diatur langsung oleh 
infrastruktur internet itu sendiri; regulasi aktivitas yang bisa dilakukan hanya melalui internet; 
dan regulasi aktivitas yang dapat, tapi tidak harus, dilakukan melalui internet. Berikut 3 level 
dari regulasi yang diatur langsung oleh infrastruktur internet itu sendiri menurut Froomkin, 
yaitu : 
1. Lingkup Pertama yaitu  Komunikasi standar; Peralatan yang dipakai untuk 
menyediakan dan mengakses komunikasi internet; dan Perantara yang terlibat dalam 
penyediaan komunikasi internet, seperti ISP. 
2. Lingkup Kedua, berhubungan dengan pengaturan kegiatan yang dapat dilakukan 
hanya melalui internet dan yang tidak memiliki analog pengunjung signifikan. 
3. Lingkup Ketiga yaitu  di mana ada pengaturan kegiatan yang mungkin saja atau 
tidak dilakukan melalui internet, misalnya e-commerce untuk sebuah barang 
berwujud maupun tidak berwujud. 
 
Penanggulangan kejahatan seringkali dimaknai hanya sebatas pendekatan penal yang 
berkaitan dengan masalah kriminalisasi yaitu perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana dan 
penalisasi yaitu sanksi apa yang sebaiknya dikenakan pada si pelaku tindak pidana. Sementara 
pendekatan penal ini  memiliki keterbatasan-keterbatasan. Sehingga, diperlukan usaha  
lain (non-penal) yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan. Oleh sebab  itu dalam 
menanggulangi kejahatan idealnya ditempuh dengan pedekatan integral, secara “penal” dan 
“non-penal”.19 
Dalam hal penanggulangan tindak pidana internasional seperti kasus pencucian uang, 
dikenal asas “au dedere au judicare”, yang berarti “Setiap Negara berkewajiban untuk 
menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk 
                                                          
bekerjasama dengan negara lain di dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili 
pelaku tindak pidana internasional.” Dalam kegiatan cyber space, Darel Manthe menyatakan 
yuridiksi di cyber space membutuhkan prinsip-prinsip yang jelas yang berakar dari hukum 
internasional. Selanjutnya Menthe menyatakan hanya melalui prinsip-prinsip yuridiksi ini, 
maka negara-negara dapat dihimbau untuk mengadopsi pemecahan yang sama pada  
pernyataan mengenai yuridiksi internet. Yuridiksi cyber space oleh Manthe yang berlaku di 
Amerika Serikat ini yaitu :   
1. Theory of The Uploader and the Downloader, Teori ini menekankan bahwa dalam 
dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang memberi  
informasi ke dalam cyber space) dan downloader (pihak yang mengakses informasi) 
2. Theory of Law of the Server, Dalam pendekatan ini, penyidik memperlakukan server 
di mana halaman web secara fisik berlokasi tempat mereka dicatat atau disimpan 
sebagai data elektronik. 
3. Theory of International Space, Menurut teori ini, cyber space dianggap sebagai suatu 
lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional di mana setiap negara 
memiliki kedaulatan yang sama. 
Beberapa hal ini  di atas patut menjadi hal yang dipertimbangkan dalam 
penyusunan kebijakan nasional dan penegakan hukum terkait pencucian uang virtual yang 
transnasional. Hal ini juga dapat dibagi dalam kategori, misalnya beberapa versi internet dari 
suatu kegiatan dapat diatur dengan cara yang berbeda dari versi online atau di mana peraturan 
khusus dibuat sebab  penggunaan internet membuat aturan yang ada tidak mungkin untuk 
diimplementasikan. Oleh sebab  itu sangat sulit untuk menuju ke arah kesepakatan nasional 
maupun internasional tentang apa yang harus atau tidak harus dilaksanakan untuk mengatur 
kegiatan internet jika terdapat ketidaksetaraan atau keseriusan dalam penanggulangan 
pencucian uang virtual secara global. Hal ini disebab kan setiap negara memiliki kerangka 
hukum, administrasi dan operasional yang beragam serta sistem keuangan yang berbeda, 
sehingga tidak dapat mengambil semua tindakan yang identik untuk melawan ancaman ini. 
Kegiatan kontraktual penting di sini sebab  ini yaitu  di mana sebagian besar undang-undang 
ditemukan sebab  ekspansi bisnis dan perdagangan melalui internet. 
Satu cara pemerintah dapat mengontrol akses orang-orang pada  internet dan 
pengetahuan pada  itu yaitu  melalui penegakan hukum secara teknologi dan pembatasan. 
Reidenberg mendemonstrasikan asumsi logik bahwa melalui penggunaan teknologi yang 
berkembang pemerintah bisa memakai  keuntungan dalam teknologi untuk mengontrol 
dan menjaga penegakan hukum. Dengan memiliki pembatasan teknologi untuk semua atau 
                                                           
sebagian internet, pemerintah bisa mengontrol dan membatasi apa yang orang-orang bisa lihat 
dan gunakan di internet dan jika pelanggaran terjadi, maka mereka memiliki yuridiksi 
pada  orang-orang mereka. Banyak negara memakai  metode pembatasan ini sebagai 
jalan untuk menjaga yuridiksi.21 Di negara kita  sendiri, transaksi keuangan dalam situs game 
online maupun aplikasi yang resmi masuk negara kita  saat ini juga sudah banyak yang 
berpayung resmi dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, namun belum menjangkau 
secara ketat jika seorang launderer membuka akun internasional dan melakukan transaksi 
uang virtual pada situs luar negeri. 
Kemudian penegakan hukum secara teknologi diperlukan sebagai salah satu cara 
untuk tetap mengimbangi pesatnya kecanggihan berbagai metode pencucian uang virtual 
sekarang. Tujuan akhir yaitu  untuk mencegah pencucian uang virtual dan kejahatan ekonomi 
terjadi, sebab nya sebuah sistem harus dirancang untuk mencegah ini. Oleh sebab  itu, 
sementara pembatasan teknologi harus dilaksanakan sebagai reaksi pada  masalah, perlu 
dipikirkan dengan baik tentang penggabungan strategi. Banyak pertimbangan yang perlu di 
ambil seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, namun kembali penulis tegaskan sekali lagi 
bahwa pertimbangan-pertimbangan yang perlu diberikan yaitu  mengenai apakah setiap 
negara secara individual menerapkan yurisdiksi dan memantau serta mengendalikan situasi 
dalam batas-batas mereka sendiri atau apakah ada yang disepakati secara internasional 
pada  rencana untuk memerangi kejahatan ekonomi global. Bergabung dengan FATF 
merupakan salah satu strategi yang bagus untuk meningkatkan penanggulangan kejahatan 
ekonomi virtual di negara kita . FATF sendiri yaitu  badan antar-pemerintah yang didirikan 
pada tahun 1989 oleh para Menteri dari yurisdiksi Anggota. Mandat FATF yaitu  untuk 
menetapkan standar dan untuk mempromosikan implementasi yang efektif dari langkah-
langkah hukum, peraturan dan operasional untuk memerangi pencucian uang, pendanaan 
teroris dan pembiayaan proliferasi, dan ancaman terkait lainnya pada  integritas sistem 
keuangan internasional. Bekerja sama dengan pemangku kepentingan internasional lainnya, 
FATF juga bekerja untuk mengidentifikasi kerentanan tingkat nasional dengan tujuan 
melindungi sistem keuangan internasional dari penyalahgunaan. FATF mengeluarkan update 
rekomendasi terbaru yang rilis pada Oktober 2020 lalu. Secara garis besar berisi tentang 
penjabaran langkah-langkah penting yang harus dimiliki negara untuk : 
1. mengidentifikasi risiko, dan mengembangkan kebijakan dan koordinasi domestik; 
2. mengejar pencucian uang, pendanaan teroris dan pembiayaan proliferasi; 
                                                          
3. menerapkan tindakan pencegahan untuk sektor keuangan dan sektor lain yang 
ditunjuk; 
4. menetapkan kekuasaan dan tanggung jawab untuk otoritas yang kompeten (misalnya, 
investigasi, penegakan hukum dan otoritas pengawas) dan tindakan kelembagaan 
lainnya; 
5. meningkatkan transparansi dan ketersediaan informasi Beneficial Ownership dari 
badan hukum dan pengaturan; dan 
6. memfasilitasi kerjasama internasional. 
 
Sehingga dengan bergabungnya negara kita  dalam FATF akan menunjang usaha  non 
penal lebih baik maupun penegakan usaha  penal secara lebih luas. Di negara kita  sendiri sudah 
membentuk lembaga Otoritas Jasa Keuangan berdasar UU No. 21 tahun 2011 tentang 
Otoritas Jasa Keuangan yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan 
yang terintegrasi pada  keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK secara 
umum merupakan Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP) yang menetapkan ketentuan 
prinsip mengenali Pengguna Jasa (nasabah) dan melaksanakan pengawasan kepatuhan Pihak 
Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali nasabah. Pelaksanaan penerapan program APU 
PPT yang dilakukan melalui pengawasan dan pemeriksaan di masing-masing sektor 
pengawasan, yaitu perbankan, pasar modal, dan IKNB (Industri Keuangan Non-Bank) dalam 
bentuk pengawasan offsite & onsite. Sejalan dengan manajemen risiko, pengawasan pada  
APU PPT (Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme) di sektor jasa 
keuangan didasarkan atas penilaian 5 (lima) aspek manajemen risiko APU PPT pada  
keseluruhan proses (end to end business process) kegiatan identifikasi, verifikasi dan 
pemantauan nasabah yaitu: Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris; Kebijakan dan 
Prosedur; Pengendalian Intern; Sistem Informasi Manajemen, dan  Sumber Daya Manusia dan 
Pelatihan. 22  Hal ini juga didukung dengan memakai  sarana dan prasarana yang bersifat 
non penal yang mendukung dalam investigasi dan identifikasi perbuatan ini . Salah satu 
usaha  tersbeut yaitu  dengan peningkatan disiplin etik dan integritas para gatekeeper yaitu 
para profesional khusus yang dapat membantu klien dalam transaksi keuangan nasional 
maupun internasional, misalnya saja pengacara, notaris, akuntan, auditor, agen real estate, dan 
sebagainya.23  
Berkaca pada aturan beberapa negara pada  pencucian uang pada  uang virtual, 
penulis berfokus kepada negara Inggris, Amerika Serikat, dan China yang dapat dijadikan 
                                                          
acuan sebagai bahan pertimbangan penyusunan kebijakan penanggulangan pencucian uang 
virtual. Inggris memakai  aturan siber mereka sebagai negara hingga juga dapat 
memayungi dalam tindakan pencucian uang pada  uang virtual yang berlaku di dunia 
maya. Selanjutnya yaitu  Amerika serikat menjadi salah satu negara yang paling berkembang 
pesat dalam usaha -usaha  penegakan hukum pada  pencucian uang khususnya pada  
pencucian uang pada  uang virtual yang saat ini marak terjadi. Selain meregulasi tentang 
tindak pidana pencucian uang, mereka juga memakai  aturan cyber law dalam 
mempertegas penegakan hukum pada  cyber launderer. Kemudian China, dalam salah satu 
penangkapan terbesar oleh kepolisian di China yaitu  pada  seorang penipu pengusaha 
kecil $48 Juta. Penjahat ini  tidak memakai  uang kejahatannya ini  untuk 
membeli jam swiss mahal atau properti mahal, melainkan kredit atau chips di situs game 
online dan menukarkannya dengan berbagai barang virtual untuk akun avatar mereka yang 
terdaftar di game online ini . 24 Penjahat ini  bermaksud mencuci uang kejahatan 
ini  dalam bentuk lain yang tidak terdeteksi oleh pemerintahan. China juga 
memberlakukan undang-undang siber mereka yang menyebutkan bahwa siapapun yang 
mengakses komputer (internet) dengan maksud menyimpang dan kriminal akan di penjara 
selama 5 tahun. Dapat disimpulkan dari ketiga negara bahwa regulasi siber sangat penting 
untuk menunjang penegakan hukum pencucian uang virtual. Dimensi transnasional yang 
melekat pada teknologi ini sangat menguntungkan pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan dapat 
melakukan kejahatannya pada korban di negara manapun korban berada. Keuntungan yang 
lain bagi pelaku yaitu  perbedaan aturan berkaitan dengan tindak pidana siber di setiap 
negara. Bahkan masih banyak negara yang belum memiliki hukum yang mengatur khusus 
mengenai tindak pidana siber. Hal ini tentu memudahkan pelaku bisa dengan leluasa 
melakukan aktifitasnya tanpa terjerat hukum. 
Berbagai cara dilakukan oleh negara-negara untuk menyelesaikan permasalahan 
yurisdiksi, namun apabila pelaku cyber launderer berada di luar wilayah negara yang terkena 
dampak paling besar, maka harus dipikirkan bagaimana cara membawa pelaku ini  ke 
negara ini . Cara yang biasa ditempuh oleh negara-negara yaitu  melalui jalur kerja sama 
internasional untuk membawa pelaku cyber launderer agar dapat diadili di negaranya, yaitu 
Ekstradisi dan Deportasi serta Bantuan Timbal Balik (Mutual Legal Assistance). Hambatan 
terbesar dalam memerangi pencucian uang virtual yaitu  data besar (Big Data). Secara 
                                                          
harfiah triliunan transaksi melalui sistem keuangan dunia. Di situlah teknologi akan 
membantu dalam pertarungan ini. Pencarian melalui gedung pengadilan negara untuk catatan 
publik telah diganti dengan perangkat penggalian data (data mining) yang kuat yang 
memungkinkan lembaga penegak hukum untuk menelusuri lebih dalam dan lebih luas untuk 
mendapatkan informasi tentang kegiatan kriminal yang mencurigakan dan orang-orang 
berkepentingan. 
Penanggulangan kejahatan ekonomi virtual, khususnya pencucian uang pada  uang 
virtual, di masa yang akan datang yaitu  dengan meningkatkan kemampuan baik dari sarana 
dan prasarana maupun sumber daya manusia. usaha  non penal menduduki posisi kunci dan 
strategis dalam menanggulangi sebab-sebab kejahatan dan kondisi-kondisi yang 
menyebabkan kejahatan, yaitu dengan cara Pencegahan tanpa pidana (prevention without 
punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administrative dan sanksi perdata; dan 
mempengaruhi pandangan warga  mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa 
(influencing views of society on crime and punishment). Chambers-Jones mengutip Interpol 
menyebutkan bahwa untuk menghadapi kejahatan ekonomi virtual ini dibutuhkan aksi 
internasional oleh pemerintah. Terdapat empat aspek yang harus dipertimbangkan, yaitu :  
1. Badan penegak hukum perlu mengetahui secara langsung dimana lokasi basis server 
tempat kejahatan ekonomi ini  terjadi. Mungkin terjadi di berbagai negara yang 
berbeda yang mana menjadi masalah ketika mencari lokasi hukum yang bisa diambil. 
2. Badan penegak hukum harus memberi pengaruh legislator terkait kejahatan ekonomi 
virtual di masa depan dalam menyusun kebijakan baru. Pertimbangan butuh 
diberikan tidak hanya untuk pengusutan namun  juga untuk perolehan kembali aset dan 
informasi dari masing-masing kejahatan virtual yang dilakukan. 
3. Batasan diantara badan penegak hukum dan industri harus dijebol untuk memastikan 
akuntabilitas jaringan pertukaran data. 
4. Badan penegak hukum harus belajar dan menguasai investigasi kejahatan virtual. 
berdasar hal ini  di atas, penanggulangan pada  pencucian uang pada  
uang virtual, khususnya di negara kita , untuk selanjutnya dapat memakai  penegakan 
hukum dengan mengintegrasi aturan undang-undang tentang pencucian uang dan regulasi 
siber. Kementrian terkait harus dengan jeli menyaring dan memberi ijin untuk akses pada  
situs maupun aplikasi yang melakukan penyelenggaraan keuangan sehingga setiap transaksi 
dalam pengawasan. Kerjasama internasional akan sangat membantu dalam investigasi siber 
dan pelacakan sebaran transaksi pencucian sehingga diharapkan pemulihan uang haram 
                                                          
ini  bisa diperoleh dengan optimal dan dapat menutupi kerugian yang dipicu  oleh 
kejahatan ini . 
  
1. Untuk saat ini, penjeratan pada  pencucian uang virtual tetap berkiblat kepada 
undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 dan didukung oleh regulasi siber Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa harta kekayaan yang dicuci 
dapat merupakan barang yang tidak berwujud dan dapat dianalogikan ke uang virtual. 
2. Dalam penanggulangan kejahatan pencucian uang pada  uang virtual, yuridiksi 
siber pada  kejahatan di dunia virtual memakai  yuridiksi hukum yang berlaku 
sebab  dunia virtual yang tidak terbatas maka penegakan hukum dapat dilakukan 
dengan ketentuan pembagian yuridiksi berdasar kedudukan negara dalam hukum 
internasional. Sehingga sangat diperlukan kerjasama internasional yang baik dalam 
penanggulangan pencucian uang virtual yang global. Penegakan hukum secara 
teknologi diperlukan sebagai salah satu cara untuk tetap mengimbangi pesatnya 
kecanggihan berbagai metode pencucian uang virtual sekarang. Penanggulangan 
kejahatan ekonomi virtual, khususnya pencucian uang pada  uang virtual, di masa 
yang akan datang tidak hanya memakai  sarana penal dalam penegakan 
hukumnya, namun juga memakai  usaha  non penal dalam pencegahannya. 
1. Perluasan payung hukum yang lebih baik dan detail agar mampu menjerat penjahat 
siber, khususnya cyber launderer, dalam aktifitas kejahatan di dunia virtual yang 
terselubung dalam. Menjalin jaringan kerja sama internasional dalam pengananan 
berbagai kasus pencucian uang khususnya yang memakai  kurs virtual di berbagai 
situs dunia yang tidak terdeteksi oleh lembaga hukum sah.  
2. Penerapan yang efisian dan efektif usaha  non penal dalam pencegahan pencucian uang 
virtual, dengan pengembangan wawasan kepada warga  luas dan pemangku 
kepentingan khususnya para pebisnis, profesional gatekeeper maupun penyelenggara 
jasa keuangan untuk kontrol yang lebih ketat dalam pengawasan berkelanjutan yang 
dinamis. Serta meningkatkan kesadaran warga  untuk taat dan memiliki integritas 
hukum. 

3. Peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi profesional mandiri maupun di 
lembaga dan badan yang terkait, sehingga dalam forensik siber, khususnya dalam 
penambangan data (data mining), dapat mengumpulkan bukti-bukti secara fakta nyata 
yang detail. Hal ini diharapkan dapat secara optimal memulihkan kekayaan virtual 
yang tidak terdeteksi untuk dapat dikonversi kembali nilai ekonomisnya di dunia nyata 
sehingga bisa menutupi kerugiaan pihak (negara) yang dirugikan.  
 
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive