Tampilkan postingan dengan label pajak 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pajak 2. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

pajak 2





pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian 
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk paling 
lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan 
secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak 
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Paraturan 
Menteri Keuangan ( UU KUP, Pasal 3 ayat 4). Pemberitahuan yang 
dilakukan tersebut, harus disertai dengan penghitungan sementara 
pajak yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak dan Surat Setoran 
Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak 
yang terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan 
Peraturan Menteri Keuangan (UU KUP, Pasal 3 ayat 5). Apabila 
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu atau 
batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan  
Tahunan dapat diterbitkan Surat Tegoran (UU KUP, Pasal 3 ayat 
5a). 
Surat Pemberitahuan  dianggap tidak disampaikan apabila  :
(a). Surat Pemberitahuan  tidak ditandatangani,
(b). Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan 
dan / dokumen;
(c). Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan 
setelah 3 (tiga)  tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian 
tahun pajak atau tahun pajak dan wajib pajak telah ditegur 
secara tertulis; 
(d). Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Derektur Jenderal 
Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat 
ketetapan pajak.
Dan Surat Pemberitahuan wajib pajak badan harus 
ditandatangani oleh pengurus atau direksi dalam hal wajib pajak 
menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus  untuk 
mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa 
khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan. 
Selanjutnya, Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan, wajib 
pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan harus 
dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan 
laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung 
besarnya penghasilan kena pajak. Dalam hal laporan keuangan 
diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat 
Pemberitahuan, maka Surat Pemberitahuan  dianggap atau dinilai 
tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan  
dianggap tidak disampaikan.
Berdasarkan UU KUP, Pasal 7 ayat 7, apabila Surat 
Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah 
ditetapkan atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat 
Pemberitahuan, maka wajib pajak akan dikenai sanksi administrasi 
berupa denda sebesar :
1. Rp  500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan  
Masa Pajak Pertambahan Nilai ;
2. Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan 
Masa lainnya;
3. Rp  100.000,00 (seratus ribu rupiah)  untuk Surat Pemberitahuan 
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi; dan
4. Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)  untuk Surat Pemberitahuan 
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan (tarif denda ini 
sebelumnya sudah ada dan sudah beberapa kali dirubah).
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda tersebut, tidak 
dilakukan terhadap: 
1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan 
usaha atau pekerjaan bebas;
3. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara 
asing yang tidak tinggal lagi di Indonenesia;
4. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di 
Indonesia;
5. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi 
tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
6. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
7. Wajib Pajak yang terkena musibah bencana, yang ketentuannya 
lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
8. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan 
Menteri Keuangan.  
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat 
Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan 
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum 
melakukan tindakan pemeriksaan ( UU KUP, Pasal 8 ayat 1). 
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan tersebut menyatakan 
rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus 
sudah disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa 
50  Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
penetapan ( UU KUP, Pasal 8 ayat 1a). Dan dalam hal Wajib 
Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang 
mengakibatkan utang pajak lebih besar,  kepadanya dikenakan 
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) 
perbulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak 
saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan 
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) 
bulan ( UU KUP, Pasal 8 ayat 2). 
Demikian pula, dalam hal wajib pajak yang membetulkan 
sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan hutang 
pajak lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa 
bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan atas jumlah pajak yang 
kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai 
dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 
1 (satu) bulan (UU KUP, Pasal 8 ayat 2a).  
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi 
belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidak 
benaran yang dilakukan wajib pajak  sebagaimana dimaksud 
dalam  (UU KUP,Pasal 38), terhadap ketidak benaran perbuatan 
wajib pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan apabila wajib 
pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran 
perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan 
pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi 
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh 
persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar ( UU KUP, Pasal 8 
ayat 3).  Isi Pasal 38: Setiap orang yang kerena kealpaannya :
(a). Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan ; atau
(b). Menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak 
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang 
isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian 
pada pendapatan negara, dan perbuatan tersebut merupakan 
perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak 
terhutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 
2 (dua) kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau kurang 
dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan 
atau paling lama 1 (satu) tahun.
Sistem perpajakan Indonesia menganut selfassesment. Dari 
sistem ini yang paling esensial, ialah adanya kewajiban Wajib Pajak 
untuk menghitung, memperhitungkan,menyetor dan melapor sediri pajak 
yang terhutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan 
perpajakan. Berdasar teori perpajakan yang ada sebenarnya sistem 
pemungutan pajak ada 4 (empat) , ialah : ofi cial assesment system, semi 
self assesment system, self assesment system dan witholding system.Dalam 
merealisasi self assesment system yang diperhatikan, adalah:
1. Harus ada kepatuhan dari wajib pajak.
a. membuat pembukuan usahanya,
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan beserta lampiran-
lampirannya.
2. Ada penegakan hukum perpajakan.
a. pemeriksaan,
b. penyidikan, dan 
c. penagihan pajak
Adapun lingkup pembukuan yang dilakukan oleh wajib pajak, 
meliputi hal-hal yang ada hubungannya dengan :harta; kewajiban; 
modal, penghasilan;  biaya; penjualan; dan pembelian. Apabila 
wajib pajak akan melakukan pembukuan dengan bahasa dan uang 
asing harus memenuhi ketentuan, sebagai berikut :
1. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing  berdasarkan 
peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Asing;.
2.  Wajib Pajak kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia berdasar  
peraturan perundang-undangan  pertambangan, selain Migas.
3. Wajib Pajak Kontraktor, kontrak kerjasama berdasar peraturan 
perundang-undangan migas.
4. Bentuk Usaha Tetap.
5. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya sebagian/
seluruhnya di bursa effek Luar Negeri.

6.  Kontrak Investasi Kolektif, yang menerbitkan reksadana dalam 
dominasi satuan mata uang dolar AmerikaSerikat  berdasar 
peraturan perundang-undangan pasar modal.
7. Wajib Pajak berafi liasi langsung dengan perusahaan induk di 
Luar Negeri.
Hasil akhir pembukuan yang dilakukan wajib pajak adalah 
laporan keuangan. Karena Laporan keuangan merupakan hasil 
dari suatu rangkaian proses pembukuan yang akan dijadikan 
dasar untuk menentukan posisi dan kinerja entitas. Sesuai dengan 
penjelasan Undang Undang  Ketentuan Umum Perpajakan (UU 
KUP), bahwa tujuan pembukuan adalah agar dapat dihitung 
besarnya pajak yang terhutang, maupun pajak-pajak yang lain. 
Demikian juga, agar Pajak Pertambahan Nilai  dan Pajak Penjualan 
Atas Barang Mewah  dapat dihitung dengan benar, pembukuan 
harus mencatat =
1. jumlah harga perolehan atau nilai impor;
2. Jumlah harga jual atau nilai ekspor;
3. Jumlah harga jual barang yang dikenai Pajak Penjualan Atas 
Barang Mewah;
4. Jumlah pembayaran atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak 
berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean 
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean 
di dalam daerah pabean.
5. Jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan dan tidak dapat 
dikreditkan.
C. Karakteristik laporan keuangan bagi perpajakan.
Yang perlu diperhatikan dalam  pelaporan keuangan, adalah 
sebagai berikut :   
1. Dapat dipahami sesuai perpajakan.
 Laporan keuangan baik laba/rugi maupun neraca harus dapat 
dipahami oleh aparat pajak, baik untuk menentukan kebenaran 
/ kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh wajib pajak.

2. Relevan laporan keuangan bagi perpajakan.
 Laporan keuangan bagi keperluan perpajakan terutama  
diguna kan pada akhir tahun pajak, baik bagi wajib pajak 
yang menggunakan tahun takwin maupun tahun buku, masih 
relevan meskipun  penyampaian Surat Pemberitahuan  tahunan 
berakhir bulan Maret dan April tahun berikutnya.
3.  Materialitas informasi keuangan pada perpajakan.
 Bagi perpajakan karena kesalahan mencatat informasi atau 
belum dilakukan pencatatan atas suatu informasi akan berakibat 
dapat menambah Penghasilan Kena Pajak.
4.  Keandalan laporan keuangan bagi perpajakan.
 Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan 
iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha 
yang sebenar nya, sebab kalau tidak yang sebenarnya dapat di-
kenakan sanksi.
5. Substansi mengungguli bentuk pada perpajakan.
 Bagian ini sangat ditekankan pada ketentuan perpajakan, seperti: 
Transaksi berkaitan dengan hubungan istimewa tidak hanya 
dilihat bentuk transaksinya tetapi juga pada substansinya.
6.  Pertimbangan sehat sesuai perpajakan.
 Dalam penentukan harga suatu transaksi pada perpajakan 
selalu didasarkan pada harga yang sesungguhnya terjadi atau 
harga wajar.
7. Kelengkapan laporan keuangan pada perpajakan.
 Laporan yang paling utama adalah kebenaran dan dapat dihitung 
besarnya penghasilan dengan benar, sedang kelengkapan 
laporan disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak dalam 
membuat pembukuan.
8.  Dapat dibandingkan menurut perpajakan.
 Setiap akun pada laporan laba rugi maupun neraca akan 
selalu dibandingkan setiap tahunnya oleh aparat pajak untuk 
mengetahui tren perkembangan dari wajib pajak.
9. Tepat waktu dalam perpajakan.

    Bagi kepentingan perpajakan informasi yang berkaitan dengan 
keuangan diharapkan selalu tepat waktu.
10. Keseimbangan antara biaya dan manfaat pada perpajakan. 
 Biaya - biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak yang terkait 
untuk kepentingan mendapatkan, menagih, dan memelihara 
penghasilan dapat sebagai faktor pengurang untuk mendapatkan 
Penghasilan Kena Pajak.
D. Sanksi.
Dalam Ketentuan Umum Perpajakan, setiap orang dengan 
sengaja :
1. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain 
yang palsu atau dipalsukan seolah - olah benar atau tidak 
menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
2. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di 
Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku 
atau dokumen lain, sehingga dapat menimbulkan kerugian 
pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara 
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) 
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan 
paling banyak 4 (empat) kali  jumlah pajak terutang yang tidak 
atau kurang dibayar.
3. tidak  melakukan penyimpanan buku, catatan atau dokumen 
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan,dan dokumen 
lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang 
dikelola dengan elektronik atau diselenggarakan secara 
program aplikasi online di Indonesia. Wajib pajak yang karena 
perbuatannya atau tindakannya tersebut yang dilakukan 
dengan sengaja akan dikenai sanksi.
Pemeriksaan serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah 
data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara obyektif 
dan proposional berdasar standar pemeriksaan untuk menguji 
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Adapun macam dan 
kreteria pemeriksaan pajak, sebagai berikut :

1.  Pemeriksaan kantor, ialah pemeriksaan yang dilakukan di 
kantor Direktorat Jenderal  Pajak.
2.  Pemeriksaan lapangan, pemeriksaan yang dilakukan di tempat 
kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjan bebas, tempat 
tinggal wajib pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh 
Direktur Jenderal Pajak.
E. Kriteria Pemeriksaan Pajak.
1.  Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar.
2.  Surat Pemberitahuan  yang menyatakan rugi.
3.  Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan 
Surat Pemberi-tahuan melebihi jangka waktu yang ditetapkan.
4. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, maupun 
likuidasi, akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya.
5.  Menyampaikan Surat Pemberitahuan  yang memenuhi kriteria 
seleksi berdasar hasil analisis resiko, mengindikasikan ada 
kewajiban perpajakan yang tidak dipenuhi.


A. Perjalanan Pajak Penghasilan.
Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak 
penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara 
lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku 
sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. Pengenaan pajak 
penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu undang-
undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada 
tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama 
kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar 
pengenaan pajak adalah ”a person’s faculty, personal faculties and 
abilitites”,

Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak 
didasarkan pada “returns and gain”. “Personal faculty and abilities” 
secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang 
pribadi, sedangkan “Returns and gain” berkonotasi pada pajak 
penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak 
di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 
1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, 
terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan 
Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-
an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah 
dipergunakan sampai dengan tahun 1962.13
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan 
adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang 
dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi 
sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai 
dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara 
penduduk Pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata 
lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada 
uniformitas dalam perlakuan perpajakan. Tercatat beberapa jenis pajak 
yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty”. 
Sebaliknya business tax atau bedrijfs belasting untuk orang pribumi. Di 
samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya poll 
tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah 
dan tanah.
Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan 
yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan - badan yang 
melakukan berbagai usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan 
siapa pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya ialah 
penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak 
gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, 
pensiunan dan pembayaran berkala.Tarifnya bersifat proporsional 
dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.
Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifi kasi, dimana 
dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya 
13 Tiara bakti tax.12. di 02.31
General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan yang 
diperbaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 
1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk 
Pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak 
Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni 
asas keadilan, asas domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusaha-
an yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan 
(onderneming) pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak 
Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschap belasting) 
yakni pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan, yang terkenal 
dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami 
beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan 
UU No. 8 tahun 1967 tentang Perobahan dan Penyempurnaan 
Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 
1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktek lebih 
dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya 
adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur 
(regulerend) dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya 
tentang ketentuan “tax holiday”. Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai 
dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax 
reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya 
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan 
pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan 
untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan 
ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie 
op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang 
dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas 
pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia, 
kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas 
penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga 
telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan - perusahaan di 
Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap 
pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 
ditetapkanlah Ordonansi Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi 
60  Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji 
pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 
15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting 
(Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 
1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). 
Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti 
dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan 
Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. 
Saja. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 setelah beberapa kali 
mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 
yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan 
Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, 
Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal 
dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan 
UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 
Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.
Bagaimanapun, kita memang tidak boleh meninggalkan sejarah. 
Berbagai hal yang berkaitan dengan pajak yang kita kenal sekarang 
seperti Pajak Penghasilan, Bea Cukai, Tax Treaty, Pajak Penjualan, 
Bea Materai, Restitusi, dan bahkan Tax Audit adalah warisan dari 
sejarah masa lalu. Dengan perjalanan panjang yang penuh luka dan 
peperangan, pajak telah mengantarkan kita ke saat ini di mana pajak 
bisa menjadi alat yang efektif dan efi sien untuk membiayai pengeluaran 
bersama untuk kepentingan bersama pula. Karena itu biarkanlah luka 
dan peperangan tetap menjadi masa lalu. Di masa sekarang: “Orang 
Bijak Taat Pajak dan Aparat Pajak Harus Bijak “.
Uraian selanjutnya akan dijelaskan berbagai hal yang ter-
kait dengan Pajak Penghasilan, adapun bebagai hal yang akan 
dijelaskan, adalah sebagai berikut :
1. Subyek Pajak Penghasilan.
a. Orang Pribadi;
(1). Subyek Pajak –Pajak Penghasilan Dalam Negeri.
(2). Subyek Pajak-PajakPenghasilan Luar Negeri.

b. Badan.
 Kewajiban Subyek Pajak Badan, yang didirikan dan bertempat 
kedudukan di Indonesia, kewajiban pajak subyektifnya dimulai 
pada ;
(1). saat badan tersebut didirikan, atau
(2). bertempat kedudukan di Indonesia,dan 
(3).  berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat 
kedudukan di Indonesia.
c. Warisan belum dibagi menggantikan yang berhak.
d. Bentuk Usaha Tetap. 
2. Obyek Pajak Penghasilan, adalah Penghasilan.
 Penghasilan, meliputi :
(a). Penghasilan dari pekerjaan hubungan kerja atau pekerjaan 
bebas.
(b). Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
(c). Penghasilan dari modal atau investasi.
(d). Penghasilan lain-lain. 
3. Menghitung Pajak Penghasilan WP-Orang Pribadi.
(a). Wajib Pajak  Penghasilan  Dalam Negeri.
 Tarip Pajak  X  Penghasilan.Kena Pajak  =  Pajak Terhutang.
(b). Wajib Pajak Penghasilan Luar Negeri.
 Tarip Pajak  X  Penghasilan Bruto.= Pajak Terhutang.
4. Menghitung Pajak Penghasilan WP Badan.
 Penghasilan. Bruto – Biaya = Penghasilan Kena Pajak.
 Penghasilan Kena Pajak  X  Tarip Pajak = Jumlah Pajak Penghasilan..
 Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan berdasar pembukuan.
 Peredaran bruto th 2011 .................…………..... Rp  100.000.000.000;
 Biaya mendapatkan, menagih, memelihara ph ......Rp     65.000.000.000;                                   
________________(-)
 Penghasilan Kena Pajak .....................…….…......Rp 35.000.000.000;
 PPh Badan terutang = 25 % X 35.000.000.000; = Rp 8.750.000.000;

5. Penghasilan Sebagai Obyek Pajak.
a.  penggantian atau imbalan (gaji, upah, tunjangan, honorarium, 
komisi, bonus, gratifi kasi,uang pensiun, dan bentuk lain yang 
ditentukan UU  PPh;.
b. hadiah.
c. laba usaha.
d. keuntungan penjualan atau pengalihan harta:
(1). Pengalihan harta ke perseroan, persekutuan, dan badan 
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
(2). Hadiah dari undian/pekerjaan/kegiatan, dan penghargaan.
(3). Laba usaha.
(4). Keuntungan pejualan atau pengalihan harta termasuk:
a.a. keuntungan  pengalihan  harta  kepada  perseroan, 
persekutuan dan  badan lainnya sebagai pengganti saham/
penyertaan modal. 
b.b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang 
saham sekuritas atau anggota yang  diperoleh perseroan, 
persekutuan dan badan lainnya.
c.c. keuntungan disebabkan likuidasi, penggabungan, 
peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha 
atau organisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun.
d.d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan 
atau sumbangan.
f.f. keuntungan karena penjualan / pengalihan sebagian/
seluruhnya hak penambangan, tanda turut serta pembiayaan 
atau permodalam dalam perusahaan pertambangan.
e. restitusi;
f. bunga;
g. deviden;
h. royalti;
i. sewa atau penghasilan lainnya sehubungan  dengan penggunaan 
harta;
 j. penerimaan pembayaran berkala;
k.  keuntungan pembebasan pembayaran hutang;
 l.  keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m.  selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
 n.  premi asuransi;
6. Penghasilan Bukan Obyek Pajak.
a. bantuan atau sumbangan, zakat.
b.  harta  hibahan.
c.  warisan.
d.  setoran tunai pengganti saham yang diterima badan sebagai 
pengganti penyertaan modal.
e.  penggantian atau imbalan sehubungan  dengan pekerjaan yang 
diterima dari wajib pajak atau pemerintah.
f.  pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi.
g.  dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh Perseroan 
Terbatas  sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/
BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan 
dan bertempat tinggal di Indonesia, dengan syarat :
(1). dividen dari cadangan laba yang ditahan,         
(2). kepemilikan saham paling rendah 25% dari jumlah modal 
yang disetor. 
7. Perencanaan Pajak Penghasilan Badan.
a. melakukan penghitungan pajak berdasarkan data pembukuan 
yang aktual sampai dengan 30 Nopember 2012, 
b. ditambah dengan proyeksi laba atau rugi sampai dengan 31 
Desember 2012.
c.  melakukan identifi kasi koreksi fi scal positif dan negatif atas 
pos-pos laba rugi yang tercantum proyeksi tersebut dan 
memperhitungkan kompensasi kerugian (jika ada)  akan dapat 
diperoleh angka PPh Badan terutang 2012.
d. kemudian setelah dikurangi degan kredit pajak (PPh 22, 23, 24, 
dan 25) maka akan diketahui apakah perusahaan berada pada 
posisi kurang bayar atau lebih bayar atas Pajak Penghasilan 
Badan. 
8. Perencanaan Pajak Penghasilan Badan Akhir Tahun Pajak.
a.  hanya relevan untuk perusahaan yang penghasilannya 
dikenakan tarip umum, bukan yang terkena Pajak Penghasilan fi nal. 
Seperti :real estate, perusahaan properti dan jasa konstruksi 
yang Pajak Penghasilannya dikenakan dari Penghasilan  bruto 
dengan tarip khusus.
b. membuat estimasi jumlah PPh  badan terhutang serta mengetahui 
kurang atau lebih bayar adalah merupakan langkah  pertama 
dalam perencanaan pajak akhir tahun
c.  semakin dekat dengan akhir tahun maka semakin akurat 
estimasinya dapat dibuat.
d.  hasil estimasi akan menentukan strategi berikutnya.
e.  idealnya perencanaan pajak akhir tahun dilakukan setidaknya 
sejak tiga bulan sebelum tutup buku akhir desember. 
9. Estimasi Posisi PPh Badan Kurang Bayar.
Jika posisi estimasi PPh Badan berjumlah besar, akibatnya akan 
menguras kas perusahaan; selanjutnya bisa melakukan langkah - 
langkah  sebagai berikut :
a. Menunda transaksi perusahaan yang akan menghasilkan laba ke 
tahun 2013, dimaksudkan untuk mencegah pertambahan jumlah 
Penghasilan Kena Pajak tahun 2012 yang dengan sendirian akan 
menambah jumlah Pajak Penghasilan  Badan terutang.
Contoh.
1).  Menunda realisasi penjualan aktiva tetap yang menghasilkan 
laba, ke awal 2013 di mana sebelumnya direncanakan  akan 
dilakukan desember 2012.
2). Menunda realisasi penerimaan piutang atau pembayaran 
hutang yang bisa menimbulkan keuntungan selisih kurs di 
desember 2012, ke awal 2013.
3).  Secara konvensional pergeseran laba perusahaan ke tahun 
2013 juga dapat dilakukan dengan  melakukan penundaan/
pergeseran penjualan akhir 2012 ke awal tahun 2013.
Hal ini cocok dilakukan apabila ketentuan perpajakan mem-
perkenankan perusahaan menganut stelsel kas murni (pure cash basis) 
sehingga perusahaan dapat menunda pengakuan penjualan hingga 
pada saat menerima pembayaran dari pelanggan pada awal 2013, 
meskipun penyerahan barang  atau jasa dilakukan di desember 
2012. Sayangnya, ketentuan perpajakan Indonesia menganut stelsel 
kas campuran (modifi ed cash basis), di mana penjualan dalam suatu 
periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun 
yang bukan sehingga langkah tersebut tidak bisa dilakukan
b. Mempercepat pengakuan biaya  atau rugi pada akhir tahun 2012.
 Dengan melakukan percepatan pengakuan biaya atau rugi 
pada akhir 2012, maka Penghasilan Kena Pajakakan berkurang dan 
dengan sendirinya akan mengurangi jumlah PPh Badan terutang.
Contoh. 
1). Menjual aktiva tetap perusahaan yang tidak produktif dan 
nilai bukunya jauh diatas harga pasar pada desember 2012 
sehingga menimbulkan kerugian yang segera dapat diakui.
2).  Mempercepat biaya iklan dan promosi pada desember 2012 
yang sedianya merupakan budget awal 2013.
3)  Membayar bonus 2012 kepada direksi dan karyawan pada 
desember 2012 yang sedianya dibayarkan pada 2013.
4) Mempercepat realisasi pelunasan utang dalam valuta asing 
yang menimbulkan kerugian selisih kurs pada desember 
2012.
 5). Mempercepat realisasi atas rencana pembelian aktiva tetap 
baru di desember 2012 yang sedianya dilakukan pada awal 
2013. Dalam hal ini, perusahaan dapat mengakui biaya 
penyusutan untuk desember 2012 meskipun aktiva  tetap  
tersebut baru digunakan mulai Januari 2013.
            6). Merealisasi program training karyawan (local andoverseas 
training) pada desember 2012 yang sedianya dilaksanakan 
pada awal 2013.
7). Melakukan repairand maintenance aktiva tetap produktif 
perusahaan di desember 2012 yang sediannya akan 
dilakukan pada awal 2013.
Catatan.
Langkah-langkahdi muka, hanya merupakan sebagian dari 
yang banyak, dan tentu perlu disesuaikan dengan kegiatan 
perusahaan masing-masing.
10. Estimasi Pajak Penghasilan  Badan Lebih Bayar.
a. Dari perspektif perusahaan sebagai wajib pajak, kecuali dalam 
keadaan terpaksa; perusahaan pada umumnya  berupaya 
untuk menghindari Pajak Penghasilan  Badan lebih bayar yang akan 
mengundang pemeriksaan yang cukup menyita waktu, tenaga dan 
biaya. 
b. Perencanaan Pajak Penghasilan  Badan akhir tahun yang 
menghasilkan pajak terutang lebih kecil di 2012 juga 
menguntungkan dari sisi time value of money karena terdapat 
penundaan pembayaran pajak secara riel. (sumber: www.citasco.
com).14
11. Pajak Penghasilan Badan 2013.
a. Untuk peredaran usaha bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000;
b.  Tarif PajakPenghasilan Badan= 25 %  X  50%  X Penghasilan 
Kena Pajak. 
 Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap.
 Untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha 
Tetap  ditetapkan dengan tarip 28 %. Tarip tersebut berubah 
menjadi 25 % dan perubahan ini mulai berlaku mulai  tahun 2010.   
Contoh.
 Sebelum tahun 2010.
 Penghasilan Kena Pajak  =Rp 1.250.000.000;
14 . Sumber: www.citasco.com.
Mustaqiem, Dr., SH., M.Si67  
 Pajak Ph yang terutang= 28% x Rp 1.250.000.000; = Rp 350.000.000;
     Mulai tahun 2010 dan seterusnya.
      Penghasilan Kena Pajak =Rp 1.250.000.000;
     Sehingga pajak terutang = 25% X Rp 1.250.000.000; = Rp 
312.500.000;
Selanjutnya, pengurangan tarip Pajak Penghasilan bagi  wajib 
pajak badan D.N.
Khusus wajib pajak badan D.N dengan peredaran Bruto sampai 
dengan Rp 50.000.000.000; mendapat fasilitas pengurangan tarip 
sebesar 50% (Ps. 31E UU PPh). Pengurangan tarip tersebut yang 
dikenakan pada Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran 
bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000;
     Contoh.
  PT.A tahun pajak 2011 mendapat penghasilan dengan  per-
edaran bruto Rp 4.700.000.000; dan Penghasilan Kena Pajak 
Rp 600.000.000; Karena peredaran bruto kurang dari Rp 
4.800.000.000; Pajak Penghasilan terutang = 50% x 25% (Rp 
600.000. 000;) = Rp 75.000.000;
12. Tarip Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
 Sampai dengan Rp 50.000.000;                           5%,
 Rp 50.000.000;  sd Rp 250.000.000;                  15%,
 Rp 250.000.000; sd Rp 500.000.000;                 25%,
 di atas Rp 500.000.000;                                      30%. 
13. Faktor Pengurang Penghasilan Bruto.
Yang menjadi faktor pengurang penghasilan bruto, adalah 
biaya yang dipergunakan untuk beberapa kegiatan berikut ini :
a. mendapatkan,
b. menagih, dan
c. memelihara penghasilan. 
14. Biaya Pengurang Penghasilan Kena Pajak.
a. Biaya yang langsung atau tidak langsung dengan usaha:
(1). pembelian bahan;
(2).  biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, 
gaji, honorarium, bonus, gratifi kasi, dan tunjangan yang 
berbentuk uang;
(3).  bunga, sewa dan royalty;
(4). biaya perjalanan;
(5). biaya pengolahan limbah;
(6). premi asuransi;
(7). biaya promosi dan penjualan;
(8). biaya administrasi;
(9). pajak kecuali pajak penghasilan;
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta 
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh 
hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih 
dari 1 (satu)  tahun;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan 
oleh Menteri Keuangan;
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki 
dan digunakan dalam perusahaan yang statusnya dimiliki 
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan di Indonesia.
g. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. Piutang yang nyata- nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
(1). telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi 
komersial;
(2).  wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak 
dapat ditagih ke Direkturat Jenderal Pajak;
(3). telah diserahkan pekara penagihannya kepada Pengadilan 
Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang 
negara atau ada perjanjian antara kreditor dan debitur 
tentang penghapusan piutang atau utang; 
Mustaqiem, Dr., SH., M.Si69  
i. Sumbangan penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan 
dengan Peraturan Pemerintah;
k. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan 
yang dilakukan di Indonesia yang diatur dengan Peraturan 
Pemerintah;
l. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang diatur dengan 
Peraturan Pemerintah;
m. Bantuan fasilitas pendidikan diatur dengan Peraturan 
Pemerintah;
n. Sumbangan pembinaan Olah Raga diatur dengan  
PeraturanPemerintah.
Pertama : Kompensasi Kerugian.
Apabila setelah dilakukan pengurangan penghasilan bruto  di 
dapat kerugian,  maka kerugian tersebut  dapat dikompensasikan 
dengan penghasilan neto atau laba fi skal selama 5 (lima) tahun berturut-
turut,dimulai tahun pajak berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian 
tersebut.
Contoh.
 PT. A, dalam tahun 2009 menderita kerugian fi skal sebesar Rp 
1.200.000.000. Selanjutnya keadaan perusahaan dalam 5 (lima)  tahun 
berikutnya, laba rugi fi skal sebagai berikut :
 2010 laba fi skal      Rp  200.000.000;
 2011 rugi fi skal      Rp   300.000.000;
 2012 laba fi skal     Rp          Nihil
 2013 laba fi skal    Rp   100.000.000;
 2014 laba fi skal    Rp   500.000.000;
Latihan Soal.
1. Apakah rugi fi skal 2009 sebesar Rp 100.000. 000; yang masih 
tersisa pada akhir tahun 2014 masih bisa dikompensasikan pada 
tahun 2015?.
2. Sampai tahun berapa rugi fi skal 2011 sebesar Rp300.000.000; 
masih dapat dikompensasikan?.
Kedua : Kompensasi kerugian:
Rugi fi skal         2009 Rp 1.200.000.000;
Laba fi skal         2010 Rp    200.000.000;(-)
Sisa rugi fi skal  2009 Rp 1.000.000.000; 
rugi fi skal         2011 RP   300.000.000;(-)
Sisa rugi fi skal  2009 Rp 1.000.000.000;
Laba fi skal         2012 Rp      Nihil           (-)
Sisa rugi fi skal  2009 Rp 1.000.000.000;
Laba fi skikal      2013 Rp    100.000.000;(-)
Sisa rg fi skal     2009  Rp    900.000.000;
Laba fi skal        2014 Rp   800.000.000;(-)
Sisa rugi fi skal  2009 Rp    100.000.000; 
Hubungan Istimewa.
Hubungan Istimewa dianggap ada apabila : wajib pajak 
mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung 
paling rendah 25% pada wajib pajak lain, atau hubungan antara 
wajib pajak dengan  penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib 
pajak atau lebih;
Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya, atau dua atau 
lebih di bawah penguasaan yang  sama  baik  langsung maupun 
tidak langsung  atau terdapat hubungan keluarga baik sedarah 
(ayah, ibu, anak,saudara) maupun semenda dalam garis keturunan 
lurus (mertua dan anak tiri) dan / atau kesamping satu derajat (ipar). 
       Contoh.
PT. A mempunyai 50% saham sebagai penyertaan langsung 
PT. B;  Selanjutnya apabila  PT B tersebut mempunyai 50%  
saham  PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara 
tidak langsung mempunyai  penyertaan  pada PT C sebesar 
25%. Dalam hal demikian PT A, PT B, dan PT C terdapat 
hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% saham 
PT D, maka antara PT B,PT C dan PT D dianggap terdapat 
hubungan istimewa.
Aset Yang Dapat Disusutkan.
1. Aset yang diharapkan digunakan selama lebih dari satu periode 
akuntansi;
2. Memiliki suatu masa manfaat yang terbatas; dan
3. ditahan oleh suatu perusahaan untuk digunakan dalam 
produksi/memasok barang dan jasa untuk disewakan atau 
untuk tujuan administrasi.
Jumlah Yang Dapat Disusutkan.
Biaya perolehan suatu aset atau jumlah lain yang disubstitusikan 
untuk biaya dalam laporan keuangan dikurangi nilai sisanya.
Syarat Aset Tetap Yang Dapat Disusutkan.
1. harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud;
2. harta tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun;
3. harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan 
memelihara peng-hasilan. 
Metode penyusutan menurut perpajakan.
1.  Metode garis lurus/saldo menurun untuk aset tetap berwujud 
bukan bangunan.
2. Metode garis lurus untuk aset tetap berwujud berupa bangunan.
Kelompok Harta Berwujud dan Tarip Penyusutan.
Kelp harta          Masa tarip penyusutan        tarip penyusutan
Berwujud manfaat     metd garis lurus           metd saldo menurun
Bukan Bangunan. 
Kelp.  1              4 th                         25,00%  - 50,0%
           2              8 th                         12,50%  - 25,0%
           3              16 th                       6,25%  - 12,5%
           4              20 th                       5,00%  - 10,0%
72  Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
Bangunan
a. permanen                      20 th                           5,00%     
b. tdk permanen                10 th                         10,00%      
Contoh Kelompok I.
1. Macam  jenis usaha (mebel, mesin kantor).
2. Pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan (peralatan bukan 
mesin).
3.  Industri makanan dan minuman( mesin ringan huller, pemecah 
kulit, dsb).
4. Perhubungan, pergudangan,komunikasi( taksi, bus,truk sbg 
angkutan umum) 
Contoh Kelompok II.
1. semua jenis usaha (mebel, alat pengatur udara, mobil, bus, truk, 
container).
2.  pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan (mesin pertanian, 
mesin pengolah, penghasil bahan).
3. Industri makanan dan minuman (mesin peng-olah produk dari 
hewani, nabati, minuman, penghasil makanan,dansebagainya) .
Contoh Kelompok III.
1. pertambangan selain migas (mesin-mesin).
2. pemintalan, pertenunan,pencelupan( mesin pengolah, dsb).
3. perkayuan (mesin pengolah bahan).
4. Industri kimia (mesin/peralatan pengolah, penghasil produksi).
5. Industri mesin (mesin penghasil mesin mobil, kapal).
Contoh Kelompok IV.
1. konstruksi (mesin berat untuk konstruksi).
2. perhubungan dan telekomunikasi (lokomotif uap, listrik atas rel, 
kereta,dsb).
Contoh Penyusutan.
PT Maju Makmur memiliki aset tetap berwujud yang dibeli tahun 
2011 sbb: 
No.   Jenis Th Perolehan Masa Manfaat     harga beli     kelompok
1.      Mesin II            2011           8  tahun.            Rp 200 Jt           2
2.      Mesin II            2011           8  tahun.            Rp 150  jt          2
3.      truck   II            2011           8  tahun.            Rp   70  jt          2 
Aset tetap tersebut disusutkan dengan menggunakan metode 
garis lurus  (dasar penyusutan harga perolehan), penghitungan 
penyusutan tahun 2011 :
1. Mesin II   = 12,5%  X  Rp 200.000.000;   = Rp 25.000.000;
2. Mesin II  = 12,5%  X  Rp 150.000.000;    = Rp 18.750.000;
3. truck   II  = 12,5%  X  Rp    70.000.000;    = Rp   8.750.000;(+)
      Jumlah penyusutan th 2011  =Rp  52.500.000; 
Pelatihan Penyusutan.
PT Bangjo memiliki aset tetap berwujud yang di peroleh tahun 2012 
sbb :
No.  Jenis harta  Th Perolehan  Masa manfaat  Harga perolehan  Kelompok
1.       Huler            2012                   4 th                  Rp  100 jt                  I
2.       Mebel           2012                    4 th                 Rp  200 jt                  I
3.      mbl taksi        2012                   4 th                 Rp  170 jt                  I 
PT 77, memiliki aset tetap berwujud yang diperoleh tahun 2011, sbb :
No.  Jenis harta     Th perolehan  Masa manfaat   Harga perolehan   Kelompok
1.     Mesin tektil            2011                   16 th          Rp 700 juta               III.
2.     Mesin kimia           2011                   16 th          Rp 300 juta               III.  
3.     Kpl penpng            2011                   16 th          Rp 900 juta               III.
PT  89, memiliki aset tetap berwujud yang diperoleh tahun 2011, sbb :
No. Jenis harta   Th perolehan  Masa manfaat   Harga perolehan  Kelompok
1.    Mesin tektil      2011                   20 th              Rp 700 juta              IV.
2.    Mesin kimia     2011                   20 th              Rp 300 juta              IV.
3.    Kpl penpng      2011                   20 th              Rp 900 juta              IV.
Penyusutan Pada Akhir Manfaat.
Cara penghitungan penyusutan dilakukan untuk tahun – tahun 
selanjutnya sampai dengan masa manfaat aset tetap tersebut 
berakhir. Apabila wajib pajak menggunakan metode saldo menurun, 
besar biaya penyusutan makin lama makin menurun dari tahun ketahun.
Contoh.
PT 88 mempunyai aset tetap berwujud mesin dengan harga 
perolehan Rp 250 juta masa manfaat 4 tahun. Dasar penyusutan 
adalah nilai buku pada awal periode, atau metode penyusutan yang 
digunakan adalah metode saldo menurun. Besar biaya penyusutan 
selama masa manfaat sebagai berikut :
Th  Harga perolehan   biaya penyusutan     akumulasi         nilai sisa buku
                                                                            penyusutan
1      Rp 250 .000.000;       Rp 125.000.000;       Rp 125.000.000;      Rp 125.000.000;
2.    Rp 250.000.000;        Rp   62.500.000;       Rp 187.500.000;      Rp   62.500.000;
3.    Rp 250.000.000;        Rp   31.250.000;       Rp 218.750.000;      Rp   31.250.000; 
4     Rp 250.000.000;        Rp   31.25 0.000;      Rp 250.000.000;      Rp             0,000; 
Contoh Latihan.
PT 66 mempunyai aset tetap berwujud mesin dgn harga perolehan 
Rp 300.000.000; masa manfaat 8 tahun. Dasar penyusutan adalah 
nilai buku pada awal periode, atau metode penyusutan yang 
digunakan adalah metode saldo menurun. Bagaimana penyusutan 
selama masa manfaat?.
Contoh Latihan.
PT  67, mempunyai aset tetap berwujud mesin dgn harga perolehan 
Rp 700.000.000; masa manfaat 16 tahun. Dasar penyusutan adalah 
nilai buku pada awal periode atau metode penyusutan yang 
digunakan adalah metode saldo menurun. Bagaimana penyusutan 
selama masa manfaat?.
Contoh Latihan.
PT  D, mempunyai aset tetap berwujud mesin dgn harga perolehan 
Rp 800.000.000; masa manfaat 16 tahun. Dasar penyusutan adalah 
nilai buku pada awal periode, atau metode penyusutan yang 
Mustaqiem, Dr., SH., M.Si75  
digunakan adalah metode saldo menurun. Bagaimana penyusutan 
selama masa manfaat?.
Contoh Latihan.
PT  D, mempunyai aset tetap berwujud mesin dgn harga perolehan 
Rp 800 000.000;  masa manfaat 16 tahun. Dasar penyusutan adalah 
nilai buku pada awal periode atau metode penyusutan yang 
digunakan adalah metode saldo menurun. Bagaimana penyusutan 
selama masa manfaat?.
Contoh Latihan.
PT Y mempunyai asset  tetap berwujud  mesin dgn harga perolehan 
Rp 600.000.000;  masa manfaat 20 tahun.Dasar penyusutan adalah 
nilai buku pada awal periode  atau metode penyusutan  yang  
digunakan  adalah  metode saldo  menurun.   Bagaimana  cara 
penyusutan selama masa manfaat?.
B.  Pajak Penghasilan Pasal 21.
1. Tuan A adalah pegawai tetap PT. X yang bergerak di bidang 
industri pertenunan dengan klasifi kasi lapangan usaha 17114. 
Pada bulan Maret 2009, Tuan A memperoleh gaji beserta 
tunjangan berupa uang sebesar Rp. 5.000.000;  dan membayar 
iuran pensiun Rp. 25.000; Tuan A menikah dan mempunyai 2 
(dua) anak (status K/2) 
Cara menghitung.
a. Perhitungan PPh Pasal 21 yang terhutang bulan Maret 2009:
      Penghasilan bruto sebulan                                   Rp  
5.000.000
      Pengurang =
1). Biaya jabatan  (5% x Rp 5.000.000) = Rp   250.000;
2). Iuran pensiun            = Rp     25.000;(+)  
 Jumlah      = Rp    275.000;(-)
 Penghasilan neto sebulan           = Rp.4.725.000;
 Penghasilan neto 1 th (12 bln x Rp 4.725.000;) = Rp 56.700.000;
 PTKP 1 th:
      - Untuk WP sendiri  Rp  24.300.000;
      - Untuk istri WP    Rp    2.025.000;
     - Tambahan utk dua anak  Rp    5.050.000;
   - Bonus                                  Rp   2.025.000;(+)
      Jumlah… ……  ……………………………… Rp 33.400.000;(-)
     Penghasilan kena pajak pertahun…  …………… Rp 23.300.000; 
    PPh Ps. 21 terutang 1 th: 5%xRp 23.300.000; Rp 1.165.000;
   PPh Ps. 21 terutang 1 bl: 1/12xRp  1.165.000; Rp       97.085;
b. Besarnya penghasilan yang diterima Tuan A apabila Pajak 
Penghasilan, Pasal 21 tidak ditanggung pemerintah:
      Penghasilan bruto sebulan  Rp  5.000.000
      Dikurangi iuran pensiun   Rp       25.000
     Dikurangi PPh Ps 21 terhutang  Rp       97.851 (-)
     Besarnya penghasilan yg diterima  Rp  4.877.149;
c. Besarnya penghasilan yang diterima Tuan A apabila PPh Ps 21 
ditanggung pemerintah:
Besar   penghasilan Ps 21 tdk ditanggung pemerintah  Rp 4.877.149;
Ditambah penghasilan Ps 21 ditanggung pemerintah   Rp      97.851;
Besar penghasilan yang diterima        Rp 4.975.000
2. Tuan B adalah pegawai PT Y yang bergerak pada industri 
pertenunan dengan klasifi kasi lapangan usaha 17114. pada 
bulan Maret 2009, Tuan B memperoleh gaji sebesar Rp 4.000.000 
dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 25.000; besarnya Pajak 
Penghasilan, Ps 21 yang terutang ditanggung perusahaan. Tuan 
B menikah dan mempunyai 2 (dua)  anak (status K/2) .
 Cara Menghitung.
 Perhitungan PPh Pasal 21 yg terutang bln Maret 2009:
 Gaji………………………………………………… = Rp  4.000.000;
     
Mustaqiem, Dr., SH., M.Si77  
 Pengurang 
 Biaya jabatan  (5% x Rp 4.000.000) = Rp   250.000;
 Iuran pensiun       = Rp     25.000;(+)
 Jumlah…… ………… …………………… = Rp     225.000;(-)
 Penghasilan neto sebulan……………………  = Rp  3.775.000;
 Penghasilan neto 1 th 12x Rp 3.775.000          = Rp  43.300.000;
    PTKP 1 th:
 - Unt WP sendir          = Rp  24.300.000;
 - Unt WP kawin  = Rp    2.025.000;
 - Tamb unt 2 anak         = Rp    4.050.000;
      PTKP …..………………  …………………….. = Rp  30.375.000;(-)
 Penghasilan Kena Pajak 1 th…..…....…….   =  Rp 12.925.000;
 PPh Ps. 21 terutang 1 th: 5%xRp 12.925.000; ……  = Rp   646.250;;
      PPh Ps. 21 terutang 1 bl: 1/12xRp 646.250;………= Rp      53.854;
b. Besarnya penghasilan yang diterima Tn B apabila PPh Ps 21 tdk 
ditanggung pemerintah:
         Gaji     Rp 4.000.000;
         Dikurangi iuran pensiun  Rp     25.000;
         Besarnya penghasilan yg diterima Rp 3.975.000;
c. Besarnya penghasilan yang diterima Tuan B apabila Pajak 
Penghasilan  Pasal 21 ditanggung pemerintah:
     Besarnya penghasilan apabila PPh 
    Ps 21 tidak ditanggung pemerintah  Rp 3.975.000;
     Ditambah PPh Ps 21 ditanggung pemerintah  Rp       53.854;
 Pesarnya penghasilan yang diterima  Rp  4.028.854;
     Perlu diperhatikan karena selama ini perusahaan menanggung 
PPh Ps 21 maka PajakPenghasilan  yang ditanggung tersebut 
tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
3. Tuan C sebagai pegawai tetap di PT Z  perusahaan yang bergerak 
pada industri bubur kertas dengan klasifi kasi lapangan usaha 
21011. pada bulan April 2009 Tuan C memperoleh gaji sebesar 
Rp 2.500.000; dan diberikan tunjangan PPh Ps 21 sebesar Rp 
30.000; Iuran pensiun yang dibayar Tuan C sebesar Rp 25.000; 
Tuan C menikah dan mempunyai 2 (dua) anak (K/2). 
a). Perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang bulan April 2009 =
 Gaji sebulan   Rp  2.500.000; 
 Tunjangan PPh Ps 21  Rp       30.000; (+) 
 Penghasilan bruto sebulan ....……………Rp 2.530.000;
 Pengurangan =
 1) Biaya jabatan  (5% x Rp 2.530.000) = Rp    126.500;
 2). Iuran pensiun                    =  Rp       25.000; (+)
 Jumlah ……………………………………….. Rp 151.500; (-)
 Penghasilan neto sebulan …………………………Rp. 2.378.500;
 Penghasilan neto 1 th: 12 blnx Rp 2.378.000;= Rp 28.542.000;
 PTKP 1 tahun:
 - Unt WP sendiri            Rp  24.300.000;
 - Unt WP kawin             Rp    2.025.000;
 - Tamb unt 2 anak         Rp    4.050.000;(+)
     Jumlah………………………   =  Rp 30.375.000; (-)     
    Penghasilan Kena Pajak 1 tahun ……..……… =  Rp   minus
 PPh Ps. 21 terutang 1 th: Rp 0;
 PPh Ps. 21 terutang 1 bl: Rp 0;
b). Besar penghasilan yang diterima Tuan C apabila PPh Ps 21 tidak 
ditanggung pemerintah:
 Penghasilan bruto sebulan…………………….......= Rp 2.530.000;
 Dikurangi iuran pensiun  = Rp     25.000;
 Dikurangi PPh Ps 21 terutang  = Rp     36.425; (+)
 Jumlah…..……………………………………… = Rp       61.425; (-)
 Besar penghasilan yang diterima  = Rp  2.468.575;
 Ditambah PPh Ps 21 ditanggung pemerintah           = Rp      36.425;(+)
 Besarnya penghasilan yang diterima  = Rp 2.505.000;
Mustaqiem, Dr., SH., M.Si79  
4. Tuan. Danang  pada bulan Juni ‘09 bekerja pada PT. Perkebunan 
sebagai tenaga harian lepas. PT Perkebunan  merupakan 
perusahaan yang bergerak pada kategori usaha perkebunan 
dengan Klasifi kasi  Lapangan  Usaha 011115. Tuan Danang  
bekerja selama 6 (enam) hari menerima upah sehari sebesar Rp 
200.000  dan  belum menikah (status TK/0).
a.  Penghitungan PPh Ps 21 terutang:
 Upah sehari                               = Rp 200.000;
 Dikurangi batas upah harian 
 tidak dilakukan pemotongan PPh      = Rp 150.000; (-)
 (Sesuai PerMentKeu. No 254/PMK.03/2008) 
 Penghasilan Kena Pajak sehari   = Rp   50.000;
 PPh ps 21 terutang sehari 5%x Rp 50.000;  =  Rp    2.500;
 PPh ps 21 terutang selama 6 hari adalah: 6 hari x 2.500; =  Rp  15.000;
b. Besar ph yang diterima apabila PPh Ps 21 tidak ditanggung  
pemerintah:
 Penghasilan bruto berupa upah harian pada bulan Juni 2009
         (6 x 200.000)    =Rp 1.200.000;
         Dikurangi PPh ps 21 terutang   =Rp      15.000; (-)
         Besar penghasilan diterima  =Rp 1.185.000;
c. Besar ph yang diterima apabila PPh Ps 21 ditanggung pe merintah:
 Besar ph apabila PPh  Ps 21 ditanggung pemerintah:
 Penghasilan perbulan   = Rp 1.185.000;
 Ditambah PPh Ps 21 ditanggung pem = Rp      15.000; (+)
 Besarnya penghasilan yang diterima       = Rp 1.200.000;
C. Pajak Penghasilan Pasal 22.
Adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah 
baik pemerintah pusat maupun daerah, instansi atau lembaga 
pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan 
dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan 
tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan 
kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Dasar hukum pengenaan Ph adalah Pasal 22 UU PPh, 
selanjutnya diikuti dengan Peraturan Menteri Keuangan No 210/
PMK.03/2008 berlaku sejak 31 Agustus  2010.
Tarip Pajak Penghasilan Pasal 22.
Besarnya pungutan PajakPenghasilan Pasal  22:
1. Atas impor:
a. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API) sebesar 2,5% 
dari nilai impor, kecuali impor kedelai, gandum dan tepung 
terigu sebesar 0,5% dari nilai impor;
b. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor;
c. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang. 
Pengertian nilai impor: nilai berupa uang yang menjadi 
dasar perhitungan beamasuk yaituCost Insurance and Freight (CIF) 
ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan 
berdasarkan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan 
Kepabeanan di bidang impor.
2. Atas pembelian barang yang pemungut pajaknya bendahara 
pemerintah dan KPA, bendahara pengeluaran untuk pembiayaan 
yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP) dan 
KPA atau pejabat penerbit SPM yang diberi delegasi oleh KPA 
untuk pembayaran langsung sebesar 1,5% dari harga pembelian;
3. Atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas oleh 
produsen atau importir :
a. BBM sebesar:
1. 1,25% dari penjualan tidak termasuk PajakPertambahan 
Nilai untuk penjualan kepada SPBU pertamina
2. 0,3% dari penjualan tidak termasuk PajakPertambahan Nilai 
untuk penjualan kepada SPBU bukan pertamina dan non-
SPBU.
b. Bahan Bakar Gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk 
PPn. 
c. Pelumas 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPn.
4. Atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha 
yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri 
kertas, industri baja, dan industri otomotif :
a. Penjualan kertas di dalam negeri sebesar 0,1% dari dasar 
pengenaan PPn;
b. Penjualan semua jenis semen di dalam negeri sebesar 0,25% dari 
dasar pengenaan PPn;
c. Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau 
lebih di dalam negeri sebesar 0,45% dr dasar pengenaan PPn;
d. Penjualan baja di dalam negeri sebesar 0,3% dari dasar 
pengenaan PPn.
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry/ekspor 
oleh badan usaha industri atau eksporting yang bergerak pada 
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan yang 
ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dari 
pedagang pengumpul sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak 
termasuk PPn.
Dalam pemungutan Ps 22 tersebut ternyata pihak wajib pajak 
yang dipungut tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 
sebagai konsekuensinya. Terhadap wajib pajak yang dipungut 
tersebut diterapkan tarif PPh Ps 22 yang lebih tinggi 100% dibanding 
tarif yang diterapkan kepada wajib pajak yang memiliki NPWP. 
Ketentuan penerapan tarif yang lebih tinggi diberlakukan untuk 
pemungutan PPh Ps 22 yang pengenaannya bersifat tidak fi nal.
Saat Terhutangnya Pajak Penghasilan Pasal 22.
Pemungutan dilakukan oleh pihak-pihak sebagaimana diatur 
pada Ps 22 ayat (1) UU PPh, tentang pada saat pembayaran kecuali 
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Penetapan saat terutang 
dan pelunasan PPh Ps 22 diatur sebagai berikut :
1. Atas kegiatan impor barang, PPh Ps 22 terutang pada saat 
bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk. Apabila 
pembayaran bea masuknya ditunda/dibebaskan, PPh Ps 22 
terutang pada saat penyelesaian dokumen  Pemberitahuan .
Impor Barang (PIB);
2. Atas kegiatan pembelian barang PPh Ps 22 terutang dan 
dipungut pada saat dilakukan pembayaran 
3. Atas pembelian hasil produksi PPh Ps 22 terutang dan dipungut 
saat penjualan 
4. Atas penjualan hasil produksi atau pengolahan barang, PPh Ps 
22 terutang dan dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah 
Pengeluaran Barang (delivery order).
5. Pemungutan PPh Ps 22 atas pembelian barang atau bahan-
bahan oleh pemungut butir 2, 3, 4, 7 dilaksanakan dengan cara 
pungutan dan penyetoran oleh pemungut pajak atas nama wajib 
pajak ke Bank Persepsi/Kantor Pos. 
Dikecualikan Tidak Dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22.
1. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan 
ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan tidak 
terutang PPh.
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan/
atau PPn:
a. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang 
bertugas di Indonesia berdasarkan atas timbal balik;
b. Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya 
yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia 
yang diakui dan terdaftar dalam peraturan menteri keuangan 
yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan bea 
masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan 
internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
c. Barang kiriman hadiah;
d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konversi 
alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;.
e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu 
pengetahuan.
f. Barang untuk keperluan khusus tunanetra dan penyandang 
cacat lainnya 
g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
h. Barang pindahan;
i. Barang pribadi 
j. Barang impor untuk kepentingan umum 
k. Persenjataan dan suku cadang yang dipergunakan untuk 
keperlukan pertahanan negara;
l. Vaksin polio dalam rangka program Pekan Imunisasi Nasional 
(PIN);
m. Buku pelajaran dan buku keagamaan;
n. Kapal laut dan sejenisnya untuk keperluan umum;
o. Pesawat;
p. Kereta api;
q. Peralatan untuk data batas dan foto udara wilayah negara RI;
r. Barang untuk keperluan hulu minyak dan gas bumi;
3. Impor sementara, hanya semata-mata dimaksimalkan untuk di 
ekspor kembali;
4. Impor kembali (re-impor) meliputi barang yang telah di ekspor 
kemudian di impor kembali dalam kualitas yang sama atau 
barang yang telah di ekspor untuk keperluan perbaikan yang 
telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal 
Bea dan cukai.
5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungutan pajak se-
bagaimana dimaksud pada angka 2, 3 dan 4 berkenaan dengan : 
a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000; dan 
tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah 
b. Pembayaran untuk pembelian BBM, listrik, gas, pelumas, air 
minum atau PDAM, dan benda pos.
D. Pajak Penghasilan Pasal 23.
Merupakan pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan 
yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha 
tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan 
kegiatan selain yang telah di potong Pajak Penghasilan Ps 21, yang 
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subyek pajak 
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau 
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Subjek pajak atau penerima 
penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah  wajib 
pajak dalam negeri  dan bentuk usaha tetap.
Pihak Pemotong Pajak.
1. Badan Pemerintah. 
2. Subjek pajak badan dalam negeri. 
3. Penyelenggara kegiatan 
4. Bentuk usaha tetap 
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya 
6. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri tertentu, yang 
ditunjuk oleh Kepala Kantor Pajak sebagai pemotong Pajak 
Penghasilan Pasal 23, yaitu : 
a. akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah 
(PPAT) kecuali PPAT tersebut Camat, pengacara, dan konsultan 
yang melakukan pekerjaan bebas; atau 
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha dengan 
menyelenggarakan pembukuan, atas pembayaran berupa sewa. 
Undang Undang  Pajak Penghasilan yang diberlakukan per 1 
Januari  2009 menetapkan bahwa penghasilan sebagai objek pajak 
penghasilan Ps. 23 yaitu :  penghasilan dengan nama dan  dalam 
bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan 
atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh:
1. Badan Pemerintah 
2. Subjek Pajak badan dalam negri 
3. Penyelenggara kegiatan 
4. Bentuk usaha tetap; atau 
5. Perwakilan perusahaa luar negeri lainnya kepada wajib pajak 
dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Terhadap orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat 
ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai pemotong pajak.
Saat Terutangnya pajak.
Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak-pihak sebagai 
pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 UU Pajak 
Penghasilan yaitu :terutang pada akhir bulan dilakukan pembayaran 
atau akhir bulan terutangnya penghasilan bersangkutan bergantung pada 
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Tarif  dan Obyek Pajak.
Dikelompokkan menjadi  3 (tiga), yaitu :
1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas:
a. dividen (Ps 4 ayat (1) huruf g UU Pajak Penghasilan)
b. bunga (Ps 4 ayat (1) huruf f)
c. royalti; dan 
d. hadiah, penghargaan, bonus,dan sejenisnya selain yang 
telah  dipotong pajak   penghasilan Pasa 21 ayat (1) huruf e 
UU Pajak Penghasilan . 
e. Hadiah dan  penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan 
Pasal 23 adalah hadiah dan  penghargaan dalam bentuk 
apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang 
pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang 
diselenggarakan. Misal  : olah-raga, keagamaan, kesenian. 
Dalam hal wajib pajak yang menerima atau memperoleh 
penghasilan seperti pada butir 1 dan  butir 2 tidak memiliki 
NPWP, besarnya tarif pemotongan yaitu menjadi lebih tinggi 100% 
dibanding tarif sebagai mana ditetapkan pada butir 1 dan  butir 2.
Sewa Dan  Penghasilan  Lain  Sehubungan Dengan Penggunaan  
Harta, Jasa   Teknik, Jasa  Manajemen,  Dan  Jasa  Konstruksi. 
1. Pasal  23 ayat (1) huruf c UU No 36 Tahun 2008 tentang perubahan 
keempat atas UU No 7 Tahun 1983 tentang PajakPenghasilan  
mengatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan 
nama & dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan 
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh 
badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri lainnya 
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, 
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan, sebesar 
2% dalam jumlah bruto atas:
a. Sewa & penghasilan lain sehub dengan penggunaan harta.
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, 
jasa kontruksi, jasa konsultan, & jasa lain.  
2.  Sewa  dan  penghasilan lain sehubungan  dengan penggunaan 
harta sebagai mana dimaksud dalam butir 1 huruf a merupakan 
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan 
kesepakatan yang bertujuan untuk  memberikan hak menggunakan 
harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis 
maupun tidak sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh 
penerima hak selama jangka waktu yang disepakati.
3. Jasa teknik ( butir 1 huruf b ) merupakan pemberian jasa 
dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan 
pengalaman dalam bidang  Industri, bidang perdagangan dan 
bidang IPTEK, yaitu :
a. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek 
tertentu, misal :  pemetaan atau pencarian dengan bantuan 
gelombang sismik;
b. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk 
tertentu, seperti dalam bentuk gambar, petunjuk produksi, 
perhitungan-perhitungan.
c. pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman 
di/pada bidang manajemen ,seperti : melalui pelatihan, 
seminar dengan peserta dan materi yang ditentukan oleh 
pengguna jasa.
4. Jasa manajemen sebagaimana dimaksud butir 1 huruf 
b merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara 
langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
E. Bukan Obyek  Pajak.
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. Sewa yang dibayarkan / terutang sehubungan  dengan sewa 
dengan hak opsi;
3. Dividen atau bagian  laba yang diterima atau diperoleh PT 
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, BUMD, 
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan  
bertempat di Indonesia, dengan syarat:
a. dividen dari cadangan laba yang ditahan;
b. bagi PT,BUMN, BUMD yang menerima dividen, kepemilikan 
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 
25% dari jumlah modal yang disetor dan dividen yang 
diterima oleh orang pribadi sebagaimana dalam Pasal 17 
ayat (2c) UU Pajak Penghasilan. 
4.  Bagian laba sebagaimana dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I UU PPh. 
5. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kapada anggota.
6. Penghasilan yang dibayar/terutang kepada badan usaha atau jasa 
kauangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau 
pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penghasilan Atas Jasa Keuangan. 
Pasal 23 ayat (4) huruf h UU Pajak Penghasilan  pada prinsipnya 
mengatur tidak  dilakukannya pemotongan Pajak Penghasilan 
Pasal 23 atas penghasilan yang dibayar atau terutang kapada 
badan usaha  atau jasa keuangan yang berfungsi sebagai pengatur 
pinjaman dan/atau pembiayaan lebih lanjut dengan Peraturan 
Menteri Keuangan no 251/PMK.03/2008 mengatur penghasilan 
yang dikecualikan meliputi:
1. Penghasilan sehubungan  dengan jasa keuangan yang dibayarkan 
/ terutang kepada badan usaha yang berfungsi sebagai pengatur 
pinjaman dan / atau pembiayaan, tidak dilakukan pemotongan 
PajakPenghasilan Pasal 23.
2. Penghasilan jasa keuangan adalah berupa bunga atau imbalan- 
imbalan  lain  yang dilakukan atas penyaluran pinjaman dan/
atau pemberian pembiayaan termasuk yang menggunakan 
pembiayaan berbasis syariah.

3.  Badan usaha yang dimaksud butir 1 terdiri atas:
a.  perubahan pembiayaan yang merupakan badan usaha dalam 
bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan 
untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha 
lembaga pembiayaan & telah diperoleh izin usaha dari Menteri 
Keuangan;
b. BUMN/D yang khusus didirikan untuk memberikan sarana. 
Pembiayaan bagi usaha makro, kecil, menengah, koperasi, 
termasuk PT permodalan nasional mandiri.
Saat  Terutang, Penyetoran Dan Pelaporan.
1. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir 
bulan dilakukanya pebayaran atau pada akhir bulan terutangnya 
penghasilan yang bersangkutan, yang dimaksud dengan 
saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat 
pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan 
metode pembukuan yang dianutnya.
2. PajakPenghasilan  Pasal 23 harus disetorkan oleh pemotong 
pajak selambat- lambatnnya  tgl 10 bulan takwim berikutnya 
setelah bulan saat terutangnya pajak.
3. Pemotong pajak Pajak Penghasilan  Pasal 23 diwajibkan 
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 
20 hari setelah masa pajak berakhir.
Pemotong Pajak Penghasilan  Pasal 23 harus memberikan 
tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang 
dibebani membayar Pajak Penghasilan  yang dipotong.
F. Pajak Penghasilan Pasal 26.
Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, 
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk 
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan 
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, 
sebagai mana dimaksud dalam Pasal 26 UU Pajak Penghasilan. 
Warga Negara asing (orang asing) yang tinggal atau berniat 
tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam satu tahun termasuk 

dalam pengertian Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sehingga 
atas penghasilan orang asing tersebut apabila lebih dari 183 hari 
tinggal di Indonesia merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 
kecuali terdapat Tax treaty atau P3B yang mengatakan batasan 183 
hari tidak berlaku tetapi diatur tersendiri.
Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 26.
1. Undang Undang Nomor: 36 Tahun 2008 tentang Pajak Peng-
hasilan. 
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-31/PJ/2009 yang 
telah diubah R. dengan PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman 
teknis tata cara pemotongan dan pelaporan Pajak Penghasilan 
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Tarif dan objek Pajak Penghasilan  Pasal 26 berdasarkan UU 
PPh  Nomor. 36 Tahun 2008 adalah :
a.  20% dan bersifat fi nal dari bruto atas :
(1). Deviden;
(2). Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan 
dengan jaminan pengembalian utang; 
(3). Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan 
penggunaan harta; 
(4). Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; 
(5). Hadiah dan penghargaan; 
(6). Pensiun dan pembayaran berkala lainnya; 
(7). Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau 
(8). Keuntungan karena pembebasan utang.
b. 20% dan bersifat fi nal dari Perkiraan Penghasilan Neto dan 
bersifat fi nal atas penghasilan berupa:
(1). Penghasilan dari pengalihan atau penjualan harta di Indonesia 
(2). Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi 
luar negeri 
c. 20% dan bersifat fi nal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi 
pajak dari BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut 
90  Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
ditanamkan kembali di Indonesia maka tidak dipotong Pajak 
Penghasilan Pasal 26 .
Contoh 
1. Suatu badan Subjek Pajak Dalam Negeri  membayarkan royalti 
sebesar Rp 100. 000.000;  pada wajib pajak luar negeri, maka subjek 
pajak dalam negeri berkewajiban memotong PPh  sebesar :
   20% x Rp 100.000.000 = Rp 20.000.000 
2. Seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam 
perlombaan lari marathon di Indonesia , dan merebut hadiah 
sebesar Rp 10.000.000;  maka atas hadiah tersebut  dikenakan 
pemotongan Pajak Penghasilan :
      20% x Rp 10.000.000 = Rp 2.000.000;
3. Pegawai dengan status wajib pajak luar negeri adalah : orang 
pribadi  yang tidak bertempat tinggal di Indonesia  atau berada 
di Indonesia  tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 
bulan yang menerima gaji, honorarium dan/atau imbalan lain 
sehubungan  dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, misal : Tuan 
D adalah pegawai asing yang berada di Indonesia  kurang dari 
183 hari, status kawin dengan 2 (dua) anak. Dia medapat gaji 
bulan Maret sebesar US$ 2,5 perbulan dan  kurs yang berlaku 
adalah Rp 8.500 per US$ 1
 Perhitungan  Pajak Penghasilan  Pasal 26.
 Penghasilan bruto gaji sebulan: US$ 2,5 x Rp 8.500 = Rp 
21.250.000; 
 Penerapan tarif pajak : 20% x Rp 21.250.000 = Rp 4.250.000
    PPh Ps 26 atas gaji US$ 2,5 = Rp 4.250.000;
       Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari 
Bentuk Usaha   Tetap (BUT)  di Indonesia dipotong pajak sebesar 
20%. 
 Contoh:
 Penghasilan Kena Pajak - BUT  di Indonesia dalam tahun 2011 
Rp 17,5 M
 PPh terutang :25%  X Rp 17.500.000.000;  = Rp     4.375.000.000;
 Penghasilan Kena Pajak : 
 Rp 17.500.000.000; - Rp 4.375.000.000;     = Rp  13.125.000.000; 
 PPh Ps 26 yang terutang 20% X Rp 13.125.000.000;  = Rp 
2.625.000.000; 
 Apabila penghasilan  setelah pajak sebesar = Rp 13.125.000.000;  
dan ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan Peraturan 
Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong 
pajak.
G.  Pemotong Pajak Penghasilan  Pasal 26.
1. Badan Pemerintah.
2. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri.
3. Penyelenggara kegiatan .
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
5. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri .

Pajak yang dikenakan atas setiap pertam-bahan nilai dari 
barang atau jasa dalam peredarannya dr produsen ke konsumen.
Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) / 
Goods and Services Tax (GST). PPN jenis pajak tidak langsung, pajak 
disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung 
pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) 
tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Mekanisme 
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPn ada pada pihak 
pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena 
Pajak (PKP).

Perhitungan PPn yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah 
pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran, adalah PPn yg 
dipungut ketika PKP menjual produknya atau menyerahkan 
barang kena pajak. Pajak masukan, adalah PPn yang dibayar ketika 
Pengusaha Kena Pajak membeli, memperoleh, membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPn,yaitu  sebesar 10 
%.  Dasar hukum  untuk penerapan PPn adalah UU No. 8/1983 
berikut revisinya, yaitu UU No. 11/1994 dan UU No. 18/2000, dan 
la[n-lain.
A. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai.
1. Pajak tidak langsung,, bahwa pemikul beban pajak dan 
penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan 
pajak adalah subjek yang berbeda.
2. Multi tahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai 
produksi dan distribusi. 
3. Pajak objektif, pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak. 
4. Menghindari pengenaan pajak berganda.
5.  Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect 
subtraction),    yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan 
dan pajak keluaran.
Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak obyektif, suatu 
jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajak sangat ditentukan oleh 
obyek pajak. Keadaan subyek pajak tidak menjadi penentu dalam 
pemungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai akan dikenakan 
pada setiap rantai distribusi (multi stage tax) barang kena pajak  
yang tergolong barang biasa dan mewah. Pihak yang melakukan 
pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah pengusaha yang 
berstatus sebagai pengusaha kena pajak.
Pengusaha Kena Pajak dalam memungut Pajak Pertambahan 
Nilai  dapat menggunakan mekanisme pengkreditan antara pajak 
masukan dengan pajak keluaran. Katagori Pajak Pertambahan Nilai, 
adalah merupakan pajak atas konsumsi barang kena pajak di dalam 
negeri. Maksudnya semua barang kena pajak / jasa kena pajak 
yang dikonsumsi di dalam negeri  akan dikenai Pajak Pertambahan 
Nilai /Jasa.  Dan bagi Barang Kena Pajak yang tidak dikonsumsi di 
dalam negeri (diekspor) tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau 
terkena tarip pajak  0 (nol) %.
Pihak yang terbebani Pajak Pertambahan Nilai, adalah pihak  
konsumen terakhir apabila “perjalanan” Barang Kena Pajak melalui 
beberapa pihak (beberapa tahapan), oleh karena itu konsumen 
terakhirlah yang akan terbebani  kewajiban membayar Pajak 
Pertambahan Nilai. Dan lihat dari aspek sifat, maka sifat Pajak 
Pertambahan Nilai adalah Netral dari sifat persaingan. Sebab 
Pajak Pertambahan Nilai bukan faktor penambah harga Barang 
Kena Pajak / Jasa Kena Pajak. Demikian pula posisi konsumen 
menentukan ada pemungutan Pajak Pertambahan Nilai  atau tidak 
ada, karena pemungutan pajak ini menganut destination principle. 
Sedang untuk menentukan suatu transaksi dikenakan Pajak 
Pertambahan Nilai atau tidak, terlebih dahulu harus dilihat berada 
di negara mana pihak konsumen. Jika berada di Luar Negeri maka 
transaksi barang kena pajak tidak akan menimbulkan pemungutan 
Pajak Pertambahan Nilai;  demikian sebaliknya. 
B. Perkecualian Tidak Dikenakan PPN.
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena 
pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan 
Nilai Barang/Jasa kecuali jenis barang dan jasa sebagaimana 
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 4A 
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan 
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah 
sebagaimana telah beberapa kali diubah, tidak dikenakan Pajak 
Pertambahan Nilai, yaitu: 
1. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh 
masyarakat, meliputi: 
a. Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, 
beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk: Beras 
berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih. 
b. Beras gilingan. 
c. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, 
dikilapkan maupun tidak. 
d. Beras pecah. 
e. Menir (groats) beras. 
2. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil 
langsung dari sumbernya, meliputi: 
a. Minyak mentah. 
b. Gas bumi. 
c. Panas bumi. 
d. Pasir dan kerikil. 
e. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara. 
f. Bijih timah, besi, emas, tembaga, nikel, perak, dan bauksit 
3. Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung 
kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk: 
a. Jagung yang telah dikupas maupun belum. 
b. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan. 
c. Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk 
butiran. 
4. Makanan dan minuman yg disajikan di hotel, restoran, rumah 
makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman 
yg dikonsumsi di tempat mau-pun tidak; tidak termasuk 
makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering 
atau usaha jasa boga. 
5. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
6. Sagu, dalam bentuk: Empulur sagu, Tepung, tepung kasar, dan 
bubuk sagu.
7.  Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai 
kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.
8. Garam, baik yang beriyodium maupun tidak beriyodium, 
termasuk: 
a. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau 
lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.
b. Garam meja. 
9. Jasa tidak kena pajak di bid pelayanan kesehatan, meliputi: 
a. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
b. Jasa dokter hewan.
c. Jasa ahli kesehatan,seperti akupunktur,fi sioterapis,ahli gizi, dan 
ahli gigi.
d. Jasa kebidanan dan dukun bayi.
e. Jasa paramedis dan perawat.
f. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium 
kesehatan, dan sanatorium. 
10. Dibidang pelayanan sosial, meliputi: 
a. Jasa pelayanan panti asuhan/panti jompo. 
b. Jasa Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial.
c. Jasa PPPK.
d. Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
e. Jasa pemakaman, termasuk krematorium.
f. Jasa di bidang olah-raga, kecuali yang bersifat komersial.
g. Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.
h. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang 
dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero). 
11. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha 
dengan hak opsi, meliputi: 
a. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk 
menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk 
kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), 
b. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi. 
c. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.

12. Jasa di bidang keagamaan, meliputi: 
a. pelayanan rumah ibadah.
b. pemberian khotbah atau dakwah.
c. Jasa lainnya di bidang keagamaan
13. Jasa di bidang pendidikan, meliputi: 
a. Jasa dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa  
penyelenggaraan  pendidikan umum, kejuruan, luar biasa, 
kedinasan, keagamaan,  akademik, dan profesi. 
b. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus. 
c. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak 
tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat 
komersial, seperti halnya pementasan kesenian tradisional yang 
diselenggarakan secara cuma-cuma. 
d. Jasa di bidang penyiaran bukan bersifat iklan, seperti jasa 
penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi 
pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak 
dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
e.  Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa 
angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang 
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta .
14. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi: 
a. Jasa tenaga kerja.
b. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia 
tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga 
kerja tersebut.
c. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja. 
15. Jasa di bidang perhotelan, meliputi: 
a.  Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah 
penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait 
dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
b. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan 

di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
16. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan  
pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang 
dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti;  pemberian IMB, 

A. Penggolongan Sengketa Pajak.
1. Sengketa Formal.
 Timbul apabila fi scus  atau wajib pajak / atau keduannya tidak 
memenuhi prosedur atau tata cara yang di tetapkan dalam 
undang-undang perpajakan dan undang-undang  pengadilan 
pajak.
2. Sengketa Material.
 Apabila terdapat perbedaan jumlah pajak yang terhutang, 
kelebihan pajak (restitusi).maupun kekurangan pajak. 

B. Penyebab Sengketa Pajak.
a) perbedaan dasar hukum yang digunakan.
b)  persepsi terhadap hukum berbeda,
c) adanya perselisihan terhadap transaksi tertentu. 
Dalam menyelesaikan sengketa pajak antara negara (fi scus) 
atau pihak yang memungut pajak dengan masyarakat sebagai 
pihak yang membayar pajak, ada kalanya memerlukan  keterlibatan 
hakim pengadilan umum, pada penagihan pajak dalam hal: 
a. jika ada concursus atau perbarengan antara fi scus dengan 
kreditor  lain terhadap wajib pajak.
b. jika ada sanggahan terhadap barang-barang  yang disita fi scus, 
baik oleh wajib pajak maupun pihak ke 3.
c. jika penagihan pajak oleh fi scus bertentangan dengan ketentuan 
hukum..
Penyelesaian sengketa pajak, merupakan rangkaian perbuatan 
yang harus dilakukan oleh wajib pajak dan fi scus dihadapan suatu 
instansi (administrasi dan pengadilan) yang berwenang mengambil 
keputusan untuk mengakhiri persengketaan  pajak. Penyelesaian 
sengketa pajak erat sekali dengan hak wajib pajak yang ditetapkan 
dalam undang-undang pajak. Hak wajib pajak meliputi :
a. Mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
b. Memperbaiki isi Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak yang sudah 
diserahkan ke Kantor Pajak.
c. Mengajukan keberatan atas jumlah pajak yang harus dibayar ke 
Kantor Direktorat Pajak atau Kantor pelayanan pajak setempat.
d. Mengajukan banding  atas putusan sengketa pajak ke Pengadilan 
pajak.
e. Mengajukan gugatan atas sengketa pajak ke Pengadilan pajak.
f. Hak mengajukan Peninjauan Kembali ke 
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive