Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk paling
lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Paraturan
Menteri Keuangan ( UU KUP, Pasal 3 ayat 4). Pemberitahuan yang
dilakukan tersebut, harus disertai dengan penghitungan sementara
pajak yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak dan Surat Setoran
Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak
yang terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (UU KUP, Pasal 3 ayat 5). Apabila
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu atau
batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan dapat diterbitkan Surat Tegoran (UU KUP, Pasal 3 ayat
5a).
Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila :
(a). Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani,
(b). Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan
dan / dokumen;
(c). Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan
setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian
tahun pajak atau tahun pajak dan wajib pajak telah ditegur
secara tertulis;
(d). Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Derektur Jenderal
Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat
ketetapan pajak.
Dan Surat Pemberitahuan wajib pajak badan harus
ditandatangani oleh pengurus atau direksi dalam hal wajib pajak
menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa
khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan.
Selanjutnya, Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan, wajib
pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan harus
dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung
besarnya penghasilan kena pajak. Dalam hal laporan keuangan
diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan, maka Surat Pemberitahuan dianggap atau dinilai
tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan
dianggap tidak disampaikan.
Berdasarkan UU KUP, Pasal 7 ayat 7, apabila Surat
Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan, maka wajib pajak akan dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar :
1. Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai ;
2. Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa lainnya;
3. Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi; dan
4. Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan (tarif denda ini
sebelumnya sudah ada dan sudah beberapa kali dirubah).
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda tersebut, tidak
dilakukan terhadap:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas;
3. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara
asing yang tidak tinggal lagi di Indonenesia;
4. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di
Indonesia;
5. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi
tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
6. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
7. Wajib Pajak yang terkena musibah bencana, yang ketentuannya
lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
8. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan ( UU KUP, Pasal 8 ayat 1).
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan tersebut menyatakan
rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus
sudah disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa
50 Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
penetapan ( UU KUP, Pasal 8 ayat 1a). Dan dalam hal Wajib
Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang
mengakibatkan utang pajak lebih besar, kepadanya dikenakan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
perbulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak
saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan ( UU KUP, Pasal 8 ayat 2).
Demikian pula, dalam hal wajib pajak yang membetulkan
sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan hutang
pajak lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan atas jumlah pajak yang
kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai
dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh
1 (satu) bulan (UU KUP, Pasal 8 ayat 2a).
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi
belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidak
benaran yang dilakukan wajib pajak sebagaimana dimaksud
dalam (UU KUP,Pasal 38), terhadap ketidak benaran perbuatan
wajib pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan apabila wajib
pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran
perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan
pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh
persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar ( UU KUP, Pasal 8
ayat 3). Isi Pasal 38: Setiap orang yang kerena kealpaannya :
(a). Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan ; atau
(b). Menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang
isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara, dan perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak
terhutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak
2 (dua) kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau kurang
dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan
atau paling lama 1 (satu) tahun.
Sistem perpajakan Indonesia menganut selfassesment. Dari
sistem ini yang paling esensial, ialah adanya kewajiban Wajib Pajak
untuk menghitung, memperhitungkan,menyetor dan melapor sediri pajak
yang terhutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Berdasar teori perpajakan yang ada sebenarnya sistem
pemungutan pajak ada 4 (empat) , ialah : ofi cial assesment system, semi
self assesment system, self assesment system dan witholding system.Dalam
merealisasi self assesment system yang diperhatikan, adalah:
1. Harus ada kepatuhan dari wajib pajak.
a. membuat pembukuan usahanya,
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan beserta lampiran-
lampirannya.
2. Ada penegakan hukum perpajakan.
a. pemeriksaan,
b. penyidikan, dan
c. penagihan pajak
Adapun lingkup pembukuan yang dilakukan oleh wajib pajak,
meliputi hal-hal yang ada hubungannya dengan :harta; kewajiban;
modal, penghasilan; biaya; penjualan; dan pembelian. Apabila
wajib pajak akan melakukan pembukuan dengan bahasa dan uang
asing harus memenuhi ketentuan, sebagai berikut :
1. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing berdasarkan
peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Asing;.
2. Wajib Pajak kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia berdasar
peraturan perundang-undangan pertambangan, selain Migas.
3. Wajib Pajak Kontraktor, kontrak kerjasama berdasar peraturan
perundang-undangan migas.
4. Bentuk Usaha Tetap.
5. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya sebagian/
seluruhnya di bursa effek Luar Negeri.
6. Kontrak Investasi Kolektif, yang menerbitkan reksadana dalam
dominasi satuan mata uang dolar AmerikaSerikat berdasar
peraturan perundang-undangan pasar modal.
7. Wajib Pajak berafi liasi langsung dengan perusahaan induk di
Luar Negeri.
Hasil akhir pembukuan yang dilakukan wajib pajak adalah
laporan keuangan. Karena Laporan keuangan merupakan hasil
dari suatu rangkaian proses pembukuan yang akan dijadikan
dasar untuk menentukan posisi dan kinerja entitas. Sesuai dengan
penjelasan Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU
KUP), bahwa tujuan pembukuan adalah agar dapat dihitung
besarnya pajak yang terhutang, maupun pajak-pajak yang lain.
Demikian juga, agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan
harus mencatat =
1. jumlah harga perolehan atau nilai impor;
2. Jumlah harga jual atau nilai ekspor;
3. Jumlah harga jual barang yang dikenai Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah;
4. Jumlah pembayaran atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean.
5. Jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan dan tidak dapat
dikreditkan.
C. Karakteristik laporan keuangan bagi perpajakan.
Yang perlu diperhatikan dalam pelaporan keuangan, adalah
sebagai berikut :
1. Dapat dipahami sesuai perpajakan.
Laporan keuangan baik laba/rugi maupun neraca harus dapat
dipahami oleh aparat pajak, baik untuk menentukan kebenaran
/ kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh wajib pajak.
2. Relevan laporan keuangan bagi perpajakan.
Laporan keuangan bagi keperluan perpajakan terutama
diguna kan pada akhir tahun pajak, baik bagi wajib pajak
yang menggunakan tahun takwin maupun tahun buku, masih
relevan meskipun penyampaian Surat Pemberitahuan tahunan
berakhir bulan Maret dan April tahun berikutnya.
3. Materialitas informasi keuangan pada perpajakan.
Bagi perpajakan karena kesalahan mencatat informasi atau
belum dilakukan pencatatan atas suatu informasi akan berakibat
dapat menambah Penghasilan Kena Pajak.
4. Keandalan laporan keuangan bagi perpajakan.
Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan
iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenar nya, sebab kalau tidak yang sebenarnya dapat di-
kenakan sanksi.
5. Substansi mengungguli bentuk pada perpajakan.
Bagian ini sangat ditekankan pada ketentuan perpajakan, seperti:
Transaksi berkaitan dengan hubungan istimewa tidak hanya
dilihat bentuk transaksinya tetapi juga pada substansinya.
6. Pertimbangan sehat sesuai perpajakan.
Dalam penentukan harga suatu transaksi pada perpajakan
selalu didasarkan pada harga yang sesungguhnya terjadi atau
harga wajar.
7. Kelengkapan laporan keuangan pada perpajakan.
Laporan yang paling utama adalah kebenaran dan dapat dihitung
besarnya penghasilan dengan benar, sedang kelengkapan
laporan disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak dalam
membuat pembukuan.
8. Dapat dibandingkan menurut perpajakan.
Setiap akun pada laporan laba rugi maupun neraca akan
selalu dibandingkan setiap tahunnya oleh aparat pajak untuk
mengetahui tren perkembangan dari wajib pajak.
9. Tepat waktu dalam perpajakan.
Bagi kepentingan perpajakan informasi yang berkaitan dengan
keuangan diharapkan selalu tepat waktu.
10. Keseimbangan antara biaya dan manfaat pada perpajakan.
Biaya - biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak yang terkait
untuk kepentingan mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dapat sebagai faktor pengurang untuk mendapatkan
Penghasilan Kena Pajak.
D. Sanksi.
Dalam Ketentuan Umum Perpajakan, setiap orang dengan
sengaja :
1. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan seolah - olah benar atau tidak
menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
2. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di
Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku
atau dokumen lain, sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
3. tidak melakukan penyimpanan buku, catatan atau dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan,dan dokumen
lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola dengan elektronik atau diselenggarakan secara
program aplikasi online di Indonesia. Wajib pajak yang karena
perbuatannya atau tindakannya tersebut yang dilakukan
dengan sengaja akan dikenai sanksi.
Pemeriksaan serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara obyektif
dan proposional berdasar standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Adapun macam dan
kreteria pemeriksaan pajak, sebagai berikut :
1. Pemeriksaan kantor, ialah pemeriksaan yang dilakukan di
kantor Direktorat Jenderal Pajak.
2. Pemeriksaan lapangan, pemeriksaan yang dilakukan di tempat
kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjan bebas, tempat
tinggal wajib pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
E. Kriteria Pemeriksaan Pajak.
1. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar.
2. Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi.
3. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan
Surat Pemberi-tahuan melebihi jangka waktu yang ditetapkan.
4. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, maupun
likuidasi, akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya.
5. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria
seleksi berdasar hasil analisis resiko, mengindikasikan ada
kewajiban perpajakan yang tidak dipenuhi.
A. Perjalanan Pajak Penghasilan.
Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak
penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara
lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku
sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. Pengenaan pajak
penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu undang-
undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada
tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama
kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar
pengenaan pajak adalah ”a person’s faculty, personal faculties and
abilitites”,
Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak
didasarkan pada “returns and gain”. “Personal faculty and abilities”
secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang
pribadi, sedangkan “Returns and gain” berkonotasi pada pajak
penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak
di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun
1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform,
terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan
Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-
an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah
dipergunakan sampai dengan tahun 1962.13
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan
adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang
dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi
sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai
dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara
penduduk Pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata
lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada
uniformitas dalam perlakuan perpajakan. Tercatat beberapa jenis pajak
yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty”.
Sebaliknya business tax atau bedrijfs belasting untuk orang pribumi. Di
samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya poll
tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah
dan tanah.
Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan
yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan - badan yang
melakukan berbagai usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan
siapa pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya ialah
penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak
gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah,
pensiunan dan pembayaran berkala.Tarifnya bersifat proporsional
dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.
Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifi kasi, dimana
dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya
13 Tiara bakti tax.12. di 02.31
General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan yang
diperbaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting
1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk
Pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak
Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni
asas keadilan, asas domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusaha-
an yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan
(onderneming) pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak
Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschap belasting)
yakni pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan, yang terkenal
dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami
beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan
UU No. 8 tahun 1967 tentang Perobahan dan Penyempurnaan
Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan
1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktek lebih
dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya
adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur
(regulerend) dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya
tentang ketentuan “tax holiday”. Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax
reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan
pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan
untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan
ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie
op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang
dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas
pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia,
kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas
penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga
telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan - perusahaan di
Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap
pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935
ditetapkanlah Ordonansi Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi
60 Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji
pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan
15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting
(Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun
1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan).
Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti
dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan
Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd.
Saja. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 setelah beberapa kali
mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968
yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan
Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944,
Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal
dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan
UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.
Bagaimanapun, kita memang tidak boleh meninggalkan sejarah.
Berbagai hal yang berkaitan dengan pajak yang kita kenal sekarang
seperti Pajak Penghasilan, Bea Cukai, Tax Treaty, Pajak Penjualan,
Bea Materai, Restitusi, dan bahkan Tax Audit adalah warisan dari
sejarah masa lalu. Dengan perjalanan panjang yang penuh luka dan
peperangan, pajak telah mengantarkan kita ke saat ini di mana pajak
bisa menjadi alat yang efektif dan efi sien untuk membiayai pengeluaran
bersama untuk kepentingan bersama pula. Karena itu biarkanlah luka
dan peperangan tetap menjadi masa lalu. Di masa sekarang: “Orang
Bijak Taat Pajak dan Aparat Pajak Harus Bijak “.
Uraian selanjutnya akan dijelaskan berbagai hal yang ter-
kait dengan Pajak Penghasilan, adapun bebagai hal yang akan
dijelaskan, adalah sebagai berikut :
1. Subyek Pajak Penghasilan.
a. Orang Pribadi;
(1). Subyek Pajak –Pajak Penghasilan Dalam Negeri.
(2). Subyek Pajak-PajakPenghasilan Luar Negeri.
b. Badan.
Kewajiban Subyek Pajak Badan, yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia, kewajiban pajak subyektifnya dimulai
pada ;
(1). saat badan tersebut didirikan, atau
(2). bertempat kedudukan di Indonesia,dan
(3). berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia.
c. Warisan belum dibagi menggantikan yang berhak.
d. Bentuk Usaha Tetap.
2. Obyek Pajak Penghasilan, adalah Penghasilan.
Penghasilan, meliputi :
(a). Penghasilan dari pekerjaan hubungan kerja atau pekerjaan
bebas.
(b). Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
(c). Penghasilan dari modal atau investasi.
(d). Penghasilan lain-lain.
3. Menghitung Pajak Penghasilan WP-Orang Pribadi.
(a). Wajib Pajak Penghasilan Dalam Negeri.
Tarip Pajak X Penghasilan.Kena Pajak = Pajak Terhutang.
(b). Wajib Pajak Penghasilan Luar Negeri.
Tarip Pajak X Penghasilan Bruto.= Pajak Terhutang.
4. Menghitung Pajak Penghasilan WP Badan.
Penghasilan. Bruto – Biaya = Penghasilan Kena Pajak.
Penghasilan Kena Pajak X Tarip Pajak = Jumlah Pajak Penghasilan..
Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan berdasar pembukuan.
Peredaran bruto th 2011 .................…………..... Rp 100.000.000.000;
Biaya mendapatkan, menagih, memelihara ph ......Rp 65.000.000.000;
________________(-)
Penghasilan Kena Pajak .....................…….…......Rp 35.000.000.000;
PPh Badan terutang = 25 % X 35.000.000.000; = Rp 8.750.000.000;
5. Penghasilan Sebagai Obyek Pajak.
a. penggantian atau imbalan (gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifi kasi,uang pensiun, dan bentuk lain yang
ditentukan UU PPh;.
b. hadiah.
c. laba usaha.
d. keuntungan penjualan atau pengalihan harta:
(1). Pengalihan harta ke perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
(2). Hadiah dari undian/pekerjaan/kegiatan, dan penghargaan.
(3). Laba usaha.
(4). Keuntungan pejualan atau pengalihan harta termasuk:
a.a. keuntungan pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham/
penyertaan modal.
b.b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang
saham sekuritas atau anggota yang diperoleh perseroan,
persekutuan dan badan lainnya.
c.c. keuntungan disebabkan likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha
atau organisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun.
d.d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan
atau sumbangan.
f.f. keuntungan karena penjualan / pengalihan sebagian/
seluruhnya hak penambangan, tanda turut serta pembiayaan
atau permodalam dalam perusahaan pertambangan.
e. restitusi;
f. bunga;
g. deviden;
h. royalti;
i. sewa atau penghasilan lainnya sehubungan dengan penggunaan
harta;
j. penerimaan pembayaran berkala;
k. keuntungan pembebasan pembayaran hutang;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
6. Penghasilan Bukan Obyek Pajak.
a. bantuan atau sumbangan, zakat.
b. harta hibahan.
c. warisan.
d. setoran tunai pengganti saham yang diterima badan sebagai
pengganti penyertaan modal.
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
diterima dari wajib pajak atau pemerintah.
f. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi.
g. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh Perseroan
Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/
BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan
dan bertempat tinggal di Indonesia, dengan syarat :
(1). dividen dari cadangan laba yang ditahan,
(2). kepemilikan saham paling rendah 25% dari jumlah modal
yang disetor.
7. Perencanaan Pajak Penghasilan Badan.
a. melakukan penghitungan pajak berdasarkan data pembukuan
yang aktual sampai dengan 30 Nopember 2012,
b. ditambah dengan proyeksi laba atau rugi sampai dengan 31
Desember 2012.
c. melakukan identifi kasi koreksi fi scal positif dan negatif atas
pos-pos laba rugi yang tercantum proyeksi tersebut dan
memperhitungkan kompensasi kerugian (jika ada) akan dapat
diperoleh angka PPh Badan terutang 2012.
d. kemudian setelah dikurangi degan kredit pajak (PPh 22, 23, 24,
dan 25) maka akan diketahui apakah perusahaan berada pada
posisi kurang bayar atau lebih bayar atas Pajak Penghasilan
Badan.
8. Perencanaan Pajak Penghasilan Badan Akhir Tahun Pajak.
a. hanya relevan untuk perusahaan yang penghasilannya
dikenakan tarip umum, bukan yang terkena Pajak Penghasilan fi nal.
Seperti :real estate, perusahaan properti dan jasa konstruksi
yang Pajak Penghasilannya dikenakan dari Penghasilan bruto
dengan tarip khusus.
b. membuat estimasi jumlah PPh badan terhutang serta mengetahui
kurang atau lebih bayar adalah merupakan langkah pertama
dalam perencanaan pajak akhir tahun
c. semakin dekat dengan akhir tahun maka semakin akurat
estimasinya dapat dibuat.
d. hasil estimasi akan menentukan strategi berikutnya.
e. idealnya perencanaan pajak akhir tahun dilakukan setidaknya
sejak tiga bulan sebelum tutup buku akhir desember.
9. Estimasi Posisi PPh Badan Kurang Bayar.
Jika posisi estimasi PPh Badan berjumlah besar, akibatnya akan
menguras kas perusahaan; selanjutnya bisa melakukan langkah -
langkah sebagai berikut :
a. Menunda transaksi perusahaan yang akan menghasilkan laba ke
tahun 2013, dimaksudkan untuk mencegah pertambahan jumlah
Penghasilan Kena Pajak tahun 2012 yang dengan sendirian akan
menambah jumlah Pajak Penghasilan Badan terutang.
Contoh.
1). Menunda realisasi penjualan aktiva tetap yang menghasilkan
laba, ke awal 2013 di mana sebelumnya direncanakan akan
dilakukan desember 2012.
2). Menunda realisasi penerimaan piutang atau pembayaran
hutang yang bisa menimbulkan keuntungan selisih kurs di
desember 2012, ke awal 2013.
3). Secara konvensional pergeseran laba perusahaan ke tahun
2013 juga dapat dilakukan dengan melakukan penundaan/
pergeseran penjualan akhir 2012 ke awal tahun 2013.
Hal ini cocok dilakukan apabila ketentuan perpajakan mem-
perkenankan perusahaan menganut stelsel kas murni (pure cash basis)
sehingga perusahaan dapat menunda pengakuan penjualan hingga
pada saat menerima pembayaran dari pelanggan pada awal 2013,
meskipun penyerahan barang atau jasa dilakukan di desember
2012. Sayangnya, ketentuan perpajakan Indonesia menganut stelsel
kas campuran (modifi ed cash basis), di mana penjualan dalam suatu
periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun
yang bukan sehingga langkah tersebut tidak bisa dilakukan
b. Mempercepat pengakuan biaya atau rugi pada akhir tahun 2012.
Dengan melakukan percepatan pengakuan biaya atau rugi
pada akhir 2012, maka Penghasilan Kena Pajakakan berkurang dan
dengan sendirinya akan mengurangi jumlah PPh Badan terutang.
Contoh.
1). Menjual aktiva tetap perusahaan yang tidak produktif dan
nilai bukunya jauh diatas harga pasar pada desember 2012
sehingga menimbulkan kerugian yang segera dapat diakui.
2). Mempercepat biaya iklan dan promosi pada desember 2012
yang sedianya merupakan budget awal 2013.
3) Membayar bonus 2012 kepada direksi dan karyawan pada
desember 2012 yang sedianya dibayarkan pada 2013.
4) Mempercepat realisasi pelunasan utang dalam valuta asing
yang menimbulkan kerugian selisih kurs pada desember
2012.
5). Mempercepat realisasi atas rencana pembelian aktiva tetap
baru di desember 2012 yang sedianya dilakukan pada awal
2013. Dalam hal ini, perusahaan dapat mengakui biaya
penyusutan untuk desember 2012 meskipun aktiva tetap
tersebut baru digunakan mulai Januari 2013.
6). Merealisasi program training karyawan (local andoverseas
training) pada desember 2012 yang sedianya dilaksanakan
pada awal 2013.
7). Melakukan repairand maintenance aktiva tetap produktif
perusahaan di desember 2012 yang sediannya akan
dilakukan pada awal 2013.
Catatan.
Langkah-langkahdi muka, hanya merupakan sebagian dari
yang banyak, dan tentu perlu disesuaikan dengan kegiatan
perusahaan masing-masing.
10. Estimasi Pajak Penghasilan Badan Lebih Bayar.
a. Dari perspektif perusahaan sebagai wajib pajak, kecuali dalam
keadaan terpaksa; perusahaan pada umumnya berupaya
untuk menghindari Pajak Penghasilan Badan lebih bayar yang akan
mengundang pemeriksaan yang cukup menyita waktu, tenaga dan
biaya.
b. Perencanaan Pajak Penghasilan Badan akhir tahun yang
menghasilkan pajak terutang lebih kecil di 2012 juga
menguntungkan dari sisi time value of money karena terdapat
penundaan pembayaran pajak secara riel. (sumber: www.citasco.
com).14
11. Pajak Penghasilan Badan 2013.
a. Untuk peredaran usaha bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000;
b. Tarif PajakPenghasilan Badan= 25 % X 50% X Penghasilan
Kena Pajak.
Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap.
Untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha
Tetap ditetapkan dengan tarip 28 %. Tarip tersebut berubah
menjadi 25 % dan perubahan ini mulai berlaku mulai tahun 2010.
Contoh.
Sebelum tahun 2010.
Penghasilan Kena Pajak =Rp 1.250.000.000;
14 . Sumber: www.citasco.com.
Mustaqiem, Dr., SH., M.Si67
Pajak Ph yang terutang= 28% x Rp 1.250.000.000; = Rp 350.000.000;
Mulai tahun 2010 dan seterusnya.
Penghasilan Kena Pajak =Rp 1.250.000.000;
Sehingga pajak terutang = 25% X Rp 1.250.000.000; = Rp
312.500.000;
Selanjutnya, pengurangan tarip Pajak Penghasilan bagi wajib
pajak badan D.N.
Khusus wajib pajak badan D.N dengan peredaran Bruto sampai
dengan Rp 50.000.000.000; mendapat fasilitas pengurangan tarip
sebesar 50% (Ps. 31E UU PPh). Pengurangan tarip tersebut yang
dikenakan pada Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000;
Contoh.
PT.A tahun pajak 2011 mendapat penghasilan dengan per-
edaran bruto Rp 4.700.000.000; dan Penghasilan Kena Pajak
Rp 600.000.000; Karena peredaran bruto kurang dari Rp
4.800.000.000; Pajak Penghasilan terutang = 50% x 25% (Rp
600.000. 000;) = Rp 75.000.000;
12. Tarip Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Sampai dengan Rp 50.000.000; 5%,
Rp 50.000.000; sd Rp 250.000.000; 15%,
Rp 250.000.000; sd Rp 500.000.000; 25%,
di atas Rp 500.000.000; 30%.
13. Faktor Pengurang Penghasilan Bruto.
Yang menjadi faktor pengurang penghasilan bruto, adalah
biaya yang dipergunakan untuk beberapa kegiatan berikut ini :
a. mendapatkan,
b. menagih, dan
c. memelihara penghasilan.
14. Biaya Pengurang Penghasilan Kena Pajak.
a. Biaya yang langsung atau tidak langsung dengan usaha:
(1). pembelian bahan;
(2). biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah,
gaji, honorarium, bonus, gratifi kasi, dan tunjangan yang
berbentuk uang;
(3). bunga, sewa dan royalty;
(4). biaya perjalanan;
(5). biaya pengolahan limbah;
(6). premi asuransi;
(7). biaya promosi dan penjualan;
(8). biaya administrasi;
(9). pajak kecuali pajak penghasilan;
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh
hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan;
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam perusahaan yang statusnya dimiliki
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan di Indonesia.
g. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. Piutang yang nyata- nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
(1). telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi
komersial;
(2). wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak
dapat ditagih ke Direkturat Jenderal Pajak;
(3). telah diserahkan pekara penagihannya kepada Pengadilan
Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang
negara atau ada perjanjian antara kreditor dan debitur
tentang penghapusan piutang atau utang;
Mustaqiem, Dr., SH., M.Si69
i. Sumbangan penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
k. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
yang dilakukan di Indonesia yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
l. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
m. Bantuan fasilitas pendidikan diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
n. Sumbangan pembinaan Olah Raga diatur dengan
PeraturanPemerintah.
Pertama : Kompensasi Kerugian.
Apabila setelah dilakukan pengurangan penghasilan bruto di
dapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan
dengan penghasilan neto atau laba fi skal selama 5 (lima) tahun berturut-
turut,dimulai tahun pajak berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut.
Contoh.
PT. A, dalam tahun 2009 menderita kerugian fi skal sebesar Rp
1.200.000.000. Selanjutnya keadaan perusahaan dalam 5 (lima) tahun
berikutnya, laba rugi fi skal sebagai berikut :
2010 laba fi skal Rp 200.000.000;
2011 rugi fi skal Rp 300.000.000;
2012 laba fi skal Rp Nihil
2013 laba fi skal Rp 100.000.000;
2014 laba fi skal Rp 500.000.000;
Latihan Soal.
1. Apakah rugi fi skal 2009 sebesar Rp 100.000. 000; yang masih
tersisa pada akhir tahun 2014 masih bisa dikompensasikan pada
tahun 2015?.
2. Sampai tahun berapa rugi fi skal 2011 sebesar Rp300.000.000;
masih dapat dikompensasikan?.
Kedua : Kompensasi kerugian:
Rugi fi skal 2009 Rp 1.200.000.000;
Laba fi skal 2010 Rp 200.000.000;(-)
Sisa rugi fi skal 2009 Rp 1.000.000.000;
rugi fi skal 2011 RP 300.000.000;(-)
Sisa rugi fi skal 2009 Rp 1.000.000.000;
Laba fi skal 2012 Rp Nihil (-)
Sisa rugi fi skal 2009 Rp 1.000.000.000;
Laba fi skikal 2013 Rp 100.000.000;(-)
Sisa rg fi skal 2009 Rp 900.000.000;
Laba fi skal 2014 Rp 800.000.000;(-)
Sisa rugi fi skal 2009 Rp 100.000.000;
Hubungan Istimewa.
Hubungan Istimewa dianggap ada apabila : wajib pajak
mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% pada wajib pajak lain, atau hubungan antara
wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib
pajak atau lebih;
Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya, atau dua atau
lebih di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun
tidak langsung atau terdapat hubungan keluarga baik sedarah
(ayah, ibu, anak,saudara) maupun semenda dalam garis keturunan
lurus (mertua dan anak tiri) dan / atau kesamping satu derajat (ipar).
Contoh.
PT. A mempunyai 50% saham sebagai penyertaan langsung
PT. B; Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50%
saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara
tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar
25%. Dalam hal demikian PT A, PT B, dan PT C terdapat
hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% saham
PT D, maka antara PT B,PT C dan PT D dianggap terdapat
hubungan istimewa.
Aset Yang Dapat Disusutkan.
1. Aset yang diharapkan digunakan selama lebih dari satu periode
akuntansi;
2. Memiliki suatu masa manfaat yang terbatas; dan
3. ditahan oleh suatu perusahaan untuk digunakan dalam
produksi/memasok barang dan jasa untuk disewakan atau
untuk tujuan administrasi.
Jumlah Yang Dapat Disusutkan.
Biaya perolehan suatu aset atau jumlah lain yang disubstitusikan
untuk biaya dalam laporan keuangan dikurangi nilai sisanya.
Syarat Aset Tetap Yang Dapat Disusutkan.
1. harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud;
2. harta tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun;
3. harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara peng-hasilan.
Metode penyusutan menurut perpajakan.
1. Metode garis lurus/saldo menurun untuk aset tetap berwujud
bukan bangunan.
2. Metode garis lurus untuk aset tetap berwujud berupa bangunan.
Kelompok Harta Berwujud dan Tarip Penyusutan.
Kelp harta Masa tarip penyusutan tarip penyusutan
Berwujud manfaat metd garis lurus metd saldo menurun
Bukan Bangunan.
Kelp. 1 4 th 25,00% - 50,0%
2 8 th 12,50% - 25,0%
3 16 th 6,25% - 12,5%
4 20 th 5,00% - 10,0%
72 Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
Bangunan
a. permanen 20 th 5,00%
b. tdk permanen 10 th 10,00%
Contoh Kelompok I.
1. Macam jenis usaha (mebel, mesin kantor).
2. Pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan (peralatan bukan
mesin).
3. Industri makanan dan minuman( mesin ringan huller, pemecah
kulit, dsb).
4. Perhubungan, pergudangan,komunikasi( taksi, bus,truk sbg
angkutan umum)
Contoh Kelompok II.
1. semua jenis usaha (mebel, alat pengatur udara, mobil, bus, truk,
container).
2. pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan (mesin pertanian,
mesin pengolah, penghasil bahan).
3. Industri makanan dan minuman (mesin peng-olah produk dari
hewani, nabati, minuman, penghasil makanan,dansebagainya) .
Contoh Kelompok III.
1. pertambangan selain migas (mesin-mesin).
2. pemintalan, pertenunan,pencelupan( mesin pengolah, dsb).
3. perkayuan (mesin pengolah bahan).
4. Industri kimia (mesin/peralatan pengolah, penghasil produksi).
5. Industri mesin (mesin penghasil mesin mobil, kapal).
Contoh Kelompok IV.
1. konstruksi (mesin berat untuk konstruksi).
2. perhubungan dan telekomunikasi (lokomotif uap, listrik atas rel,
kereta,dsb).
Contoh Penyusutan.
PT Maju Makmur memiliki aset tetap berwujud yang dibeli tahun
2011 sbb:
No. Jenis Th Perolehan Masa Manfaat harga beli kelompok
1. Mesin II 2011 8 tahun. Rp 200 Jt 2
2. Mesin II 2011 8 tahun. Rp 150 jt 2
3. truck II 2011 8 tahun. Rp 70 jt 2
Aset tetap tersebut disusutkan dengan menggunakan metode
garis lurus (dasar penyusutan harga perolehan), penghitungan
penyusutan tahun 2011 :
1. Mesin II = 12,5% X Rp 200.000.000; = Rp 25.000.000;
2. Mesin II = 12,5% X Rp 150.000.000; = Rp 18.750.000;
3. truck II = 12,5% X Rp 70.000.000; = Rp 8.750.000;(+)
Jumlah penyusutan th 2011 =Rp 52.500.000;
Pelatihan Penyusutan.
PT Bangjo memiliki aset tetap berwujud yang di peroleh tahun 2012
sbb :
No. Jenis harta Th Perolehan Masa manfaat Harga perolehan Kelompok
1. Huler 2012 4 th Rp 100 jt I
2. Mebel 2012 4 th Rp 200 jt I
3. mbl taksi 2012 4 th Rp 170 jt I
PT 77, memiliki aset tetap berwujud yang diperoleh tahun 2011, sbb :
No. Jenis harta Th perolehan Masa manfaat Harga perolehan Kelompok
1. Mesin tektil 2011 16 th Rp 700 juta III.
2. Mesin kimia 2011 16 th Rp 300 juta III.
3. Kpl penpng 2011 16 th Rp 900 juta III.
PT 89, memiliki aset tetap berwujud yang diperoleh tahun 2011, sbb :
No. Jenis harta Th perolehan Masa manfaat Harga perolehan Kelompok
1. Mesin tektil 2011 20 th Rp 700 juta IV.
2. Mesin kimia 2011 20 th Rp 300 juta IV.
3. Kpl penpng 2011 20 th Rp 900 juta IV.
Penyusutan Pada Akhir Manfaat.
Cara penghitungan penyusutan dilakukan untuk tahun – tahun
selanjutnya sampai dengan masa manfaat aset tetap tersebut
berakhir. Apabila wajib pajak menggunakan metode saldo menurun,
besar biaya penyusutan makin lama makin menurun dari tahun ketahun.
Contoh.
PT 88 mempunyai aset tetap berwujud mesin dengan harga
perolehan Rp 250 juta masa manfaat 4 tahun. Dasar penyusutan
adalah nilai buku pada awal periode, atau metode penyusutan yang
digunakan adalah metode saldo menurun. Besar biaya penyusutan
selama masa manfaat sebagai berikut :
Th Harga perolehan biaya penyusutan akumulasi nilai sisa buku
penyusutan
1 Rp 250 .000.000; Rp 125.000.000; Rp 125.000.000; Rp 125.000.000;
2. Rp 250.000.000; Rp 62.500.000; Rp 187.500.000; Rp 62.500.000;
3. Rp 250.000.000; Rp 31.250.000; Rp 218.750.000; Rp 31.250.000;
4 Rp 250.000.000; Rp 31.25 0.000; Rp 250.000.000; Rp 0,000;
Contoh Latihan.
PT 66 mempunyai aset tetap berwujud mesin dgn harga perolehan
Rp 300.000.000; masa manfaat 8 tahun. Dasar penyusutan adalah
nilai buku pada awal periode, atau metode penyusutan yang
digunakan adalah metode saldo menurun. Bagaimana penyusutan
selama masa manfaat?.
Contoh Latihan.
PT 67, mempunyai aset tetap berwujud mesin dgn harga perolehan
Rp 700.000.000; masa manfaat 16 tahun. Dasar penyusutan adalah
nilai buku pada awal periode atau metode penyusutan yang
digunakan adalah metode saldo menurun. Bagaimana penyusutan
selama masa manfaat?.
Contoh Latihan.
PT D, mempunyai aset tetap berwujud mesin dgn harga perolehan
Rp 800.000.000; masa manfaat 16 tahun. Dasar penyusutan adalah
nilai buku pada awal periode, atau metode penyusutan yang
Mustaqiem, Dr., SH., M.Si75
digunakan adalah metode saldo menurun. Bagaimana penyusutan
selama masa manfaat?.
Contoh Latihan.
PT D, mempunyai aset tetap berwujud mesin dgn harga perolehan
Rp 800 000.000; masa manfaat 16 tahun. Dasar penyusutan adalah
nilai buku pada awal periode atau metode penyusutan yang
digunakan adalah metode saldo menurun. Bagaimana penyusutan
selama masa manfaat?.
Contoh Latihan.
PT Y mempunyai asset tetap berwujud mesin dgn harga perolehan
Rp 600.000.000; masa manfaat 20 tahun.Dasar penyusutan adalah
nilai buku pada awal periode atau metode penyusutan yang
digunakan adalah metode saldo menurun. Bagaimana cara
penyusutan selama masa manfaat?.
B. Pajak Penghasilan Pasal 21.
1. Tuan A adalah pegawai tetap PT. X yang bergerak di bidang
industri pertenunan dengan klasifi kasi lapangan usaha 17114.
Pada bulan Maret 2009, Tuan A memperoleh gaji beserta
tunjangan berupa uang sebesar Rp. 5.000.000; dan membayar
iuran pensiun Rp. 25.000; Tuan A menikah dan mempunyai 2
(dua) anak (status K/2)
Cara menghitung.
a. Perhitungan PPh Pasal 21 yang terhutang bulan Maret 2009:
Penghasilan bruto sebulan Rp
5.000.000
Pengurang =
1). Biaya jabatan (5% x Rp 5.000.000) = Rp 250.000;
2). Iuran pensiun = Rp 25.000;(+)
Jumlah = Rp 275.000;(-)
Penghasilan neto sebulan = Rp.4.725.000;
Penghasilan neto 1 th (12 bln x Rp 4.725.000;) = Rp 56.700.000;
PTKP 1 th:
- Untuk WP sendiri Rp 24.300.000;
- Untuk istri WP Rp 2.025.000;
- Tambahan utk dua anak Rp 5.050.000;
- Bonus Rp 2.025.000;(+)
Jumlah… …… ……………………………… Rp 33.400.000;(-)
Penghasilan kena pajak pertahun… …………… Rp 23.300.000;
PPh Ps. 21 terutang 1 th: 5%xRp 23.300.000; Rp 1.165.000;
PPh Ps. 21 terutang 1 bl: 1/12xRp 1.165.000; Rp 97.085;
b. Besarnya penghasilan yang diterima Tuan A apabila Pajak
Penghasilan, Pasal 21 tidak ditanggung pemerintah:
Penghasilan bruto sebulan Rp 5.000.000
Dikurangi iuran pensiun Rp 25.000
Dikurangi PPh Ps 21 terhutang Rp 97.851 (-)
Besarnya penghasilan yg diterima Rp 4.877.149;
c. Besarnya penghasilan yang diterima Tuan A apabila PPh Ps 21
ditanggung pemerintah:
Besar penghasilan Ps 21 tdk ditanggung pemerintah Rp 4.877.149;
Ditambah penghasilan Ps 21 ditanggung pemerintah Rp 97.851;
Besar penghasilan yang diterima Rp 4.975.000
2. Tuan B adalah pegawai PT Y yang bergerak pada industri
pertenunan dengan klasifi kasi lapangan usaha 17114. pada
bulan Maret 2009, Tuan B memperoleh gaji sebesar Rp 4.000.000
dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 25.000; besarnya Pajak
Penghasilan, Ps 21 yang terutang ditanggung perusahaan. Tuan
B menikah dan mempunyai 2 (dua) anak (status K/2) .
Cara Menghitung.
Perhitungan PPh Pasal 21 yg terutang bln Maret 2009:
Gaji………………………………………………… = Rp 4.000.000;
Mustaqiem, Dr., SH., M.Si77
Pengurang
Biaya jabatan (5% x Rp 4.000.000) = Rp 250.000;
Iuran pensiun = Rp 25.000;(+)
Jumlah…… ………… …………………… = Rp 225.000;(-)
Penghasilan neto sebulan…………………… = Rp 3.775.000;
Penghasilan neto 1 th 12x Rp 3.775.000 = Rp 43.300.000;
PTKP 1 th:
- Unt WP sendir = Rp 24.300.000;
- Unt WP kawin = Rp 2.025.000;
- Tamb unt 2 anak = Rp 4.050.000;
PTKP …..……………… …………………….. = Rp 30.375.000;(-)
Penghasilan Kena Pajak 1 th…..…....……. = Rp 12.925.000;
PPh Ps. 21 terutang 1 th: 5%xRp 12.925.000; …… = Rp 646.250;;
PPh Ps. 21 terutang 1 bl: 1/12xRp 646.250;………= Rp 53.854;
b. Besarnya penghasilan yang diterima Tn B apabila PPh Ps 21 tdk
ditanggung pemerintah:
Gaji Rp 4.000.000;
Dikurangi iuran pensiun Rp 25.000;
Besarnya penghasilan yg diterima Rp 3.975.000;
c. Besarnya penghasilan yang diterima Tuan B apabila Pajak
Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah:
Besarnya penghasilan apabila PPh
Ps 21 tidak ditanggung pemerintah Rp 3.975.000;
Ditambah PPh Ps 21 ditanggung pemerintah Rp 53.854;
Pesarnya penghasilan yang diterima Rp 4.028.854;
Perlu diperhatikan karena selama ini perusahaan menanggung
PPh Ps 21 maka PajakPenghasilan yang ditanggung tersebut
tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
3. Tuan C sebagai pegawai tetap di PT Z perusahaan yang bergerak
pada industri bubur kertas dengan klasifi kasi lapangan usaha
21011. pada bulan April 2009 Tuan C memperoleh gaji sebesar
Rp 2.500.000; dan diberikan tunjangan PPh Ps 21 sebesar Rp
30.000; Iuran pensiun yang dibayar Tuan C sebesar Rp 25.000;
Tuan C menikah dan mempunyai 2 (dua) anak (K/2).
a). Perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang bulan April 2009 =
Gaji sebulan Rp 2.500.000;
Tunjangan PPh Ps 21 Rp 30.000; (+)
Penghasilan bruto sebulan ....……………Rp 2.530.000;
Pengurangan =
1) Biaya jabatan (5% x Rp 2.530.000) = Rp 126.500;
2). Iuran pensiun = Rp 25.000; (+)
Jumlah ……………………………………….. Rp 151.500; (-)
Penghasilan neto sebulan …………………………Rp. 2.378.500;
Penghasilan neto 1 th: 12 blnx Rp 2.378.000;= Rp 28.542.000;
PTKP 1 tahun:
- Unt WP sendiri Rp 24.300.000;
- Unt WP kawin Rp 2.025.000;
- Tamb unt 2 anak Rp 4.050.000;(+)
Jumlah……………………… = Rp 30.375.000; (-)
Penghasilan Kena Pajak 1 tahun ……..……… = Rp minus
PPh Ps. 21 terutang 1 th: Rp 0;
PPh Ps. 21 terutang 1 bl: Rp 0;
b). Besar penghasilan yang diterima Tuan C apabila PPh Ps 21 tidak
ditanggung pemerintah:
Penghasilan bruto sebulan…………………….......= Rp 2.530.000;
Dikurangi iuran pensiun = Rp 25.000;
Dikurangi PPh Ps 21 terutang = Rp 36.425; (+)
Jumlah…..……………………………………… = Rp 61.425; (-)
Besar penghasilan yang diterima = Rp 2.468.575;
Ditambah PPh Ps 21 ditanggung pemerintah = Rp 36.425;(+)
Besarnya penghasilan yang diterima = Rp 2.505.000;
Mustaqiem, Dr., SH., M.Si79
4. Tuan. Danang pada bulan Juni ‘09 bekerja pada PT. Perkebunan
sebagai tenaga harian lepas. PT Perkebunan merupakan
perusahaan yang bergerak pada kategori usaha perkebunan
dengan Klasifi kasi Lapangan Usaha 011115. Tuan Danang
bekerja selama 6 (enam) hari menerima upah sehari sebesar Rp
200.000 dan belum menikah (status TK/0).
a. Penghitungan PPh Ps 21 terutang:
Upah sehari = Rp 200.000;
Dikurangi batas upah harian
tidak dilakukan pemotongan PPh = Rp 150.000; (-)
(Sesuai PerMentKeu. No 254/PMK.03/2008)
Penghasilan Kena Pajak sehari = Rp 50.000;
PPh ps 21 terutang sehari 5%x Rp 50.000; = Rp 2.500;
PPh ps 21 terutang selama 6 hari adalah: 6 hari x 2.500; = Rp 15.000;
b. Besar ph yang diterima apabila PPh Ps 21 tidak ditanggung
pemerintah:
Penghasilan bruto berupa upah harian pada bulan Juni 2009
(6 x 200.000) =Rp 1.200.000;
Dikurangi PPh ps 21 terutang =Rp 15.000; (-)
Besar penghasilan diterima =Rp 1.185.000;
c. Besar ph yang diterima apabila PPh Ps 21 ditanggung pe merintah:
Besar ph apabila PPh Ps 21 ditanggung pemerintah:
Penghasilan perbulan = Rp 1.185.000;
Ditambah PPh Ps 21 ditanggung pem = Rp 15.000; (+)
Besarnya penghasilan yang diterima = Rp 1.200.000;
C. Pajak Penghasilan Pasal 22.
Adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah
baik pemerintah pusat maupun daerah, instansi atau lembaga
pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan
tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Dasar hukum pengenaan Ph adalah Pasal 22 UU PPh,
selanjutnya diikuti dengan Peraturan Menteri Keuangan No 210/
PMK.03/2008 berlaku sejak 31 Agustus 2010.
Tarip Pajak Penghasilan Pasal 22.
Besarnya pungutan PajakPenghasilan Pasal 22:
1. Atas impor:
a. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API) sebesar 2,5%
dari nilai impor, kecuali impor kedelai, gandum dan tepung
terigu sebesar 0,5% dari nilai impor;
b. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor;
c. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
Pengertian nilai impor: nilai berupa uang yang menjadi
dasar perhitungan beamasuk yaituCost Insurance and Freight (CIF)
ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan
Kepabeanan di bidang impor.
2. Atas pembelian barang yang pemungut pajaknya bendahara
pemerintah dan KPA, bendahara pengeluaran untuk pembiayaan
yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP) dan
KPA atau pejabat penerbit SPM yang diberi delegasi oleh KPA
untuk pembayaran langsung sebesar 1,5% dari harga pembelian;
3. Atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas oleh
produsen atau importir :
a. BBM sebesar:
1. 1,25% dari penjualan tidak termasuk PajakPertambahan
Nilai untuk penjualan kepada SPBU pertamina
2. 0,3% dari penjualan tidak termasuk PajakPertambahan Nilai
untuk penjualan kepada SPBU bukan pertamina dan non-
SPBU.
b. Bahan Bakar Gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk
PPn.
c. Pelumas 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPn.
4. Atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha
yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, dan industri otomotif :
a. Penjualan kertas di dalam negeri sebesar 0,1% dari dasar
pengenaan PPn;
b. Penjualan semua jenis semen di dalam negeri sebesar 0,25% dari
dasar pengenaan PPn;
c. Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau
lebih di dalam negeri sebesar 0,45% dr dasar pengenaan PPn;
d. Penjualan baja di dalam negeri sebesar 0,3% dari dasar
pengenaan PPn.
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry/ekspor
oleh badan usaha industri atau eksporting yang bergerak pada
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan yang
ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dari
pedagang pengumpul sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak
termasuk PPn.
Dalam pemungutan Ps 22 tersebut ternyata pihak wajib pajak
yang dipungut tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
sebagai konsekuensinya. Terhadap wajib pajak yang dipungut
tersebut diterapkan tarif PPh Ps 22 yang lebih tinggi 100% dibanding
tarif yang diterapkan kepada wajib pajak yang memiliki NPWP.
Ketentuan penerapan tarif yang lebih tinggi diberlakukan untuk
pemungutan PPh Ps 22 yang pengenaannya bersifat tidak fi nal.
Saat Terhutangnya Pajak Penghasilan Pasal 22.
Pemungutan dilakukan oleh pihak-pihak sebagaimana diatur
pada Ps 22 ayat (1) UU PPh, tentang pada saat pembayaran kecuali
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Penetapan saat terutang
dan pelunasan PPh Ps 22 diatur sebagai berikut :
1. Atas kegiatan impor barang, PPh Ps 22 terutang pada saat
bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk. Apabila
pembayaran bea masuknya ditunda/dibebaskan, PPh Ps 22
terutang pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan .
Impor Barang (PIB);
2. Atas kegiatan pembelian barang PPh Ps 22 terutang dan
dipungut pada saat dilakukan pembayaran
3. Atas pembelian hasil produksi PPh Ps 22 terutang dan dipungut
saat penjualan
4. Atas penjualan hasil produksi atau pengolahan barang, PPh Ps
22 terutang dan dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah
Pengeluaran Barang (delivery order).
5. Pemungutan PPh Ps 22 atas pembelian barang atau bahan-
bahan oleh pemungut butir 2, 3, 4, 7 dilaksanakan dengan cara
pungutan dan penyetoran oleh pemungut pajak atas nama wajib
pajak ke Bank Persepsi/Kantor Pos.
Dikecualikan Tidak Dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22.
1. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan
ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan tidak
terutang PPh.
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan/
atau PPn:
a. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang
bertugas di Indonesia berdasarkan atas timbal balik;
b. Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya
yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia
yang diakui dan terdaftar dalam peraturan menteri keuangan
yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan bea
masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan
internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
c. Barang kiriman hadiah;
d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konversi
alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;.
e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
f. Barang untuk keperluan khusus tunanetra dan penyandang
cacat lainnya
g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
h. Barang pindahan;
i. Barang pribadi
j. Barang impor untuk kepentingan umum
k. Persenjataan dan suku cadang yang dipergunakan untuk
keperlukan pertahanan negara;
l. Vaksin polio dalam rangka program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN);
m. Buku pelajaran dan buku keagamaan;
n. Kapal laut dan sejenisnya untuk keperluan umum;
o. Pesawat;
p. Kereta api;
q. Peralatan untuk data batas dan foto udara wilayah negara RI;
r. Barang untuk keperluan hulu minyak dan gas bumi;
3. Impor sementara, hanya semata-mata dimaksimalkan untuk di
ekspor kembali;
4. Impor kembali (re-impor) meliputi barang yang telah di ekspor
kemudian di impor kembali dalam kualitas yang sama atau
barang yang telah di ekspor untuk keperluan perbaikan yang
telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal
Bea dan cukai.
5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungutan pajak se-
bagaimana dimaksud pada angka 2, 3 dan 4 berkenaan dengan :
a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000; dan
tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah
b. Pembayaran untuk pembelian BBM, listrik, gas, pelumas, air
minum atau PDAM, dan benda pos.
D. Pajak Penghasilan Pasal 23.
Merupakan pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah di potong Pajak Penghasilan Ps 21, yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subyek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Subjek pajak atau penerima
penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah wajib
pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
Pihak Pemotong Pajak.
1. Badan Pemerintah.
2. Subjek pajak badan dalam negeri.
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk usaha tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
6. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri tertentu, yang
ditunjuk oleh Kepala Kantor Pajak sebagai pemotong Pajak
Penghasilan Pasal 23, yaitu :
a. akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) kecuali PPAT tersebut Camat, pengacara, dan konsultan
yang melakukan pekerjaan bebas; atau
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha dengan
menyelenggarakan pembukuan, atas pembayaran berupa sewa.
Undang Undang Pajak Penghasilan yang diberlakukan per 1
Januari 2009 menetapkan bahwa penghasilan sebagai objek pajak
penghasilan Ps. 23 yaitu : penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan
atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh:
1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak badan dalam negri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk usaha tetap; atau
5. Perwakilan perusahaa luar negeri lainnya kepada wajib pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Terhadap orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat
ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai pemotong pajak.
Saat Terutangnya pajak.
Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak-pihak sebagai
pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 UU Pajak
Penghasilan yaitu :terutang pada akhir bulan dilakukan pembayaran
atau akhir bulan terutangnya penghasilan bersangkutan bergantung pada
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Tarif dan Obyek Pajak.
Dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas:
a. dividen (Ps 4 ayat (1) huruf g UU Pajak Penghasilan)
b. bunga (Ps 4 ayat (1) huruf f)
c. royalti; dan
d. hadiah, penghargaan, bonus,dan sejenisnya selain yang
telah dipotong pajak penghasilan Pasa 21 ayat (1) huruf e
UU Pajak Penghasilan .
e. Hadiah dan penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 23 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk
apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang
pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang
diselenggarakan. Misal : olah-raga, keagamaan, kesenian.
Dalam hal wajib pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan seperti pada butir 1 dan butir 2 tidak memiliki
NPWP, besarnya tarif pemotongan yaitu menjadi lebih tinggi 100%
dibanding tarif sebagai mana ditetapkan pada butir 1 dan butir 2.
Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan
Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konstruksi.
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c UU No 36 Tahun 2008 tentang perubahan
keempat atas UU No 7 Tahun 1983 tentang PajakPenghasilan
mengatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan
nama & dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan, sebesar
2% dalam jumlah bruto atas:
a. Sewa & penghasilan lain sehub dengan penggunaan harta.
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa kontruksi, jasa konsultan, & jasa lain.
2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta sebagai mana dimaksud dalam butir 1 huruf a merupakan
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan
kesepakatan yang bertujuan untuk memberikan hak menggunakan
harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis
maupun tidak sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh
penerima hak selama jangka waktu yang disepakati.
3. Jasa teknik ( butir 1 huruf b ) merupakan pemberian jasa
dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan
pengalaman dalam bidang Industri, bidang perdagangan dan
bidang IPTEK, yaitu :
a. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek
tertentu, misal : pemetaan atau pencarian dengan bantuan
gelombang sismik;
b. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk
tertentu, seperti dalam bentuk gambar, petunjuk produksi,
perhitungan-perhitungan.
c. pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman
di/pada bidang manajemen ,seperti : melalui pelatihan,
seminar dengan peserta dan materi yang ditentukan oleh
pengguna jasa.
4. Jasa manajemen sebagaimana dimaksud butir 1 huruf
b merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara
langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
E. Bukan Obyek Pajak.
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. Sewa yang dibayarkan / terutang sehubungan dengan sewa
dengan hak opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, BUMD,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat di Indonesia, dengan syarat:
a. dividen dari cadangan laba yang ditahan;
b. bagi PT,BUMN, BUMD yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
25% dari jumlah modal yang disetor dan dividen yang
diterima oleh orang pribadi sebagaimana dalam Pasal 17
ayat (2c) UU Pajak Penghasilan.
4. Bagian laba sebagaimana dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I UU PPh.
5. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kapada anggota.
6. Penghasilan yang dibayar/terutang kepada badan usaha atau jasa
kauangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penghasilan Atas Jasa Keuangan.
Pasal 23 ayat (4) huruf h UU Pajak Penghasilan pada prinsipnya
mengatur tidak dilakukannya pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 23 atas penghasilan yang dibayar atau terutang kapada
badan usaha atau jasa keuangan yang berfungsi sebagai pengatur
pinjaman dan/atau pembiayaan lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan no 251/PMK.03/2008 mengatur penghasilan
yang dikecualikan meliputi:
1. Penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang dibayarkan
/ terutang kepada badan usaha yang berfungsi sebagai pengatur
pinjaman dan / atau pembiayaan, tidak dilakukan pemotongan
PajakPenghasilan Pasal 23.
2. Penghasilan jasa keuangan adalah berupa bunga atau imbalan-
imbalan lain yang dilakukan atas penyaluran pinjaman dan/
atau pemberian pembiayaan termasuk yang menggunakan
pembiayaan berbasis syariah.
3. Badan usaha yang dimaksud butir 1 terdiri atas:
a. perubahan pembiayaan yang merupakan badan usaha dalam
bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan
untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
lembaga pembiayaan & telah diperoleh izin usaha dari Menteri
Keuangan;
b. BUMN/D yang khusus didirikan untuk memberikan sarana.
Pembiayaan bagi usaha makro, kecil, menengah, koperasi,
termasuk PT permodalan nasional mandiri.
Saat Terutang, Penyetoran Dan Pelaporan.
1. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir
bulan dilakukanya pebayaran atau pada akhir bulan terutangnya
penghasilan yang bersangkutan, yang dimaksud dengan
saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat
pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan
metode pembukuan yang dianutnya.
2. PajakPenghasilan Pasal 23 harus disetorkan oleh pemotong
pajak selambat- lambatnnya tgl 10 bulan takwim berikutnya
setelah bulan saat terutangnya pajak.
3. Pemotong pajak Pajak Penghasilan Pasal 23 diwajibkan
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya
20 hari setelah masa pajak berakhir.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 harus memberikan
tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang
dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong.
F. Pajak Penghasilan Pasal 26.
Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri,
sebagai mana dimaksud dalam Pasal 26 UU Pajak Penghasilan.
Warga Negara asing (orang asing) yang tinggal atau berniat
tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam satu tahun termasuk
dalam pengertian Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sehingga
atas penghasilan orang asing tersebut apabila lebih dari 183 hari
tinggal di Indonesia merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 21
kecuali terdapat Tax treaty atau P3B yang mengatakan batasan 183
hari tidak berlaku tetapi diatur tersendiri.
Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 26.
1. Undang Undang Nomor: 36 Tahun 2008 tentang Pajak Peng-
hasilan.
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-31/PJ/2009 yang
telah diubah R. dengan PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman
teknis tata cara pemotongan dan pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Tarif dan objek Pajak Penghasilan Pasal 26 berdasarkan UU
PPh Nomor. 36 Tahun 2008 adalah :
a. 20% dan bersifat fi nal dari bruto atas :
(1). Deviden;
(2). Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
(3). Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
(4). Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
(5). Hadiah dan penghargaan;
(6). Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
(7). Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
(8). Keuntungan karena pembebasan utang.
b. 20% dan bersifat fi nal dari Perkiraan Penghasilan Neto dan
bersifat fi nal atas penghasilan berupa:
(1). Penghasilan dari pengalihan atau penjualan harta di Indonesia
(2). Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi
luar negeri
c. 20% dan bersifat fi nal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
pajak dari BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut
90 Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
ditanamkan kembali di Indonesia maka tidak dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 26 .
Contoh
1. Suatu badan Subjek Pajak Dalam Negeri membayarkan royalti
sebesar Rp 100. 000.000; pada wajib pajak luar negeri, maka subjek
pajak dalam negeri berkewajiban memotong PPh sebesar :
20% x Rp 100.000.000 = Rp 20.000.000
2. Seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam
perlombaan lari marathon di Indonesia , dan merebut hadiah
sebesar Rp 10.000.000; maka atas hadiah tersebut dikenakan
pemotongan Pajak Penghasilan :
20% x Rp 10.000.000 = Rp 2.000.000;
3. Pegawai dengan status wajib pajak luar negeri adalah : orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan yang menerima gaji, honorarium dan/atau imbalan lain
sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, misal : Tuan
D adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari
183 hari, status kawin dengan 2 (dua) anak. Dia medapat gaji
bulan Maret sebesar US$ 2,5 perbulan dan kurs yang berlaku
adalah Rp 8.500 per US$ 1
Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 26.
Penghasilan bruto gaji sebulan: US$ 2,5 x Rp 8.500 = Rp
21.250.000;
Penerapan tarif pajak : 20% x Rp 21.250.000 = Rp 4.250.000
PPh Ps 26 atas gaji US$ 2,5 = Rp 4.250.000;
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dipotong pajak sebesar
20%.
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak - BUT di Indonesia dalam tahun 2011
Rp 17,5 M
PPh terutang :25% X Rp 17.500.000.000; = Rp 4.375.000.000;
Penghasilan Kena Pajak :
Rp 17.500.000.000; - Rp 4.375.000.000; = Rp 13.125.000.000;
PPh Ps 26 yang terutang 20% X Rp 13.125.000.000; = Rp
2.625.000.000;
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar = Rp 13.125.000.000;
dan ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan Peraturan
Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong
pajak.
G. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26.
1. Badan Pemerintah.
2. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri.
3. Penyelenggara kegiatan .
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
5. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri .
Pajak yang dikenakan atas setiap pertam-bahan nilai dari
barang atau jasa dalam peredarannya dr produsen ke konsumen.
Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) /
Goods and Services Tax (GST). PPN jenis pajak tidak langsung, pajak
disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung
pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir)
tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Mekanisme
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPn ada pada pihak
pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena
Pajak (PKP).
Perhitungan PPn yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah
pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran, adalah PPn yg
dipungut ketika PKP menjual produknya atau menyerahkan
barang kena pajak. Pajak masukan, adalah PPn yang dibayar ketika
Pengusaha Kena Pajak membeli, memperoleh, membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPn,yaitu sebesar 10
%. Dasar hukum untuk penerapan PPn adalah UU No. 8/1983
berikut revisinya, yaitu UU No. 11/1994 dan UU No. 18/2000, dan
la[n-lain.
A. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai.
1. Pajak tidak langsung,, bahwa pemikul beban pajak dan
penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan
pajak adalah subjek yang berbeda.
2. Multi tahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai
produksi dan distribusi.
3. Pajak objektif, pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
4. Menghindari pengenaan pajak berganda.
5. Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect
subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan
dan pajak keluaran.
Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak obyektif, suatu
jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajak sangat ditentukan oleh
obyek pajak. Keadaan subyek pajak tidak menjadi penentu dalam
pemungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai akan dikenakan
pada setiap rantai distribusi (multi stage tax) barang kena pajak
yang tergolong barang biasa dan mewah. Pihak yang melakukan
pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah pengusaha yang
berstatus sebagai pengusaha kena pajak.
Pengusaha Kena Pajak dalam memungut Pajak Pertambahan
Nilai dapat menggunakan mekanisme pengkreditan antara pajak
masukan dengan pajak keluaran. Katagori Pajak Pertambahan Nilai,
adalah merupakan pajak atas konsumsi barang kena pajak di dalam
negeri. Maksudnya semua barang kena pajak / jasa kena pajak
yang dikonsumsi di dalam negeri akan dikenai Pajak Pertambahan
Nilai /Jasa. Dan bagi Barang Kena Pajak yang tidak dikonsumsi di
dalam negeri (diekspor) tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau
terkena tarip pajak 0 (nol) %.
Pihak yang terbebani Pajak Pertambahan Nilai, adalah pihak
konsumen terakhir apabila “perjalanan” Barang Kena Pajak melalui
beberapa pihak (beberapa tahapan), oleh karena itu konsumen
terakhirlah yang akan terbebani kewajiban membayar Pajak
Pertambahan Nilai. Dan lihat dari aspek sifat, maka sifat Pajak
Pertambahan Nilai adalah Netral dari sifat persaingan. Sebab
Pajak Pertambahan Nilai bukan faktor penambah harga Barang
Kena Pajak / Jasa Kena Pajak. Demikian pula posisi konsumen
menentukan ada pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau tidak
ada, karena pemungutan pajak ini menganut destination principle.
Sedang untuk menentukan suatu transaksi dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai atau tidak, terlebih dahulu harus dilihat berada
di negara mana pihak konsumen. Jika berada di Luar Negeri maka
transaksi barang kena pajak tidak akan menimbulkan pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai; demikian sebaliknya.
B. Perkecualian Tidak Dikenakan PPN.
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena
pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai Barang/Jasa kecuali jenis barang dan jasa sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 4A
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah, tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai, yaitu:
1. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, meliputi:
a. Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah,
beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk: Beras
berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
b. Beras gilingan.
c. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh,
dikilapkan maupun tidak.
d. Beras pecah.
e. Menir (groats) beras.
2. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya, meliputi:
a. Minyak mentah.
b. Gas bumi.
c. Panas bumi.
d. Pasir dan kerikil.
e. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
f. Bijih timah, besi, emas, tembaga, nikel, perak, dan bauksit
3. Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung
kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk:
a. Jagung yang telah dikupas maupun belum.
b. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.
c. Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk
butiran.
4. Makanan dan minuman yg disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman
yg dikonsumsi di tempat mau-pun tidak; tidak termasuk
makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering
atau usaha jasa boga.
5. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
6. Sagu, dalam bentuk: Empulur sagu, Tepung, tepung kasar, dan
bubuk sagu.
7. Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai
kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.
8. Garam, baik yang beriyodium maupun tidak beriyodium,
termasuk:
a. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau
lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.
b. Garam meja.
9. Jasa tidak kena pajak di bid pelayanan kesehatan, meliputi:
a. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
b. Jasa dokter hewan.
c. Jasa ahli kesehatan,seperti akupunktur,fi sioterapis,ahli gizi, dan
ahli gigi.
d. Jasa kebidanan dan dukun bayi.
e. Jasa paramedis dan perawat.
f. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium
kesehatan, dan sanatorium.
10. Dibidang pelayanan sosial, meliputi:
a. Jasa pelayanan panti asuhan/panti jompo.
b. Jasa Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial.
c. Jasa PPPK.
d. Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
e. Jasa pemakaman, termasuk krematorium.
f. Jasa di bidang olah-raga, kecuali yang bersifat komersial.
g. Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.
h. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang
dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero).
11. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha
dengan hak opsi, meliputi:
a. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk
menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian),
b. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
c. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
12. Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
a. pelayanan rumah ibadah.
b. pemberian khotbah atau dakwah.
c. Jasa lainnya di bidang keagamaan
13. Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
a. Jasa dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa
penyelenggaraan pendidikan umum, kejuruan, luar biasa,
kedinasan, keagamaan, akademik, dan profesi.
b. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.
c. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak
tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat
komersial, seperti halnya pementasan kesenian tradisional yang
diselenggarakan secara cuma-cuma.
d. Jasa di bidang penyiaran bukan bersifat iklan, seperti jasa
penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi
pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak
dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
e. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa
angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta .
14. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
a. Jasa tenaga kerja.
b. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia
tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga
kerja tersebut.
c. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
15. Jasa di bidang perhotelan, meliputi:
a. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait
dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
b. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan
di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
16. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti; pemberian IMB,
A. Penggolongan Sengketa Pajak.
1. Sengketa Formal.
Timbul apabila fi scus atau wajib pajak / atau keduannya tidak
memenuhi prosedur atau tata cara yang di tetapkan dalam
undang-undang perpajakan dan undang-undang pengadilan
pajak.
2. Sengketa Material.
Apabila terdapat perbedaan jumlah pajak yang terhutang,
kelebihan pajak (restitusi).maupun kekurangan pajak.
B. Penyebab Sengketa Pajak.
a) perbedaan dasar hukum yang digunakan.
b) persepsi terhadap hukum berbeda,
c) adanya perselisihan terhadap transaksi tertentu.
Dalam menyelesaikan sengketa pajak antara negara (fi scus)
atau pihak yang memungut pajak dengan masyarakat sebagai
pihak yang membayar pajak, ada kalanya memerlukan keterlibatan
hakim pengadilan umum, pada penagihan pajak dalam hal:
a. jika ada concursus atau perbarengan antara fi scus dengan
kreditor lain terhadap wajib pajak.
b. jika ada sanggahan terhadap barang-barang yang disita fi scus,
baik oleh wajib pajak maupun pihak ke 3.
c. jika penagihan pajak oleh fi scus bertentangan dengan ketentuan
hukum..
Penyelesaian sengketa pajak, merupakan rangkaian perbuatan
yang harus dilakukan oleh wajib pajak dan fi scus dihadapan suatu
instansi (administrasi dan pengadilan) yang berwenang mengambil
keputusan untuk mengakhiri persengketaan pajak. Penyelesaian
sengketa pajak erat sekali dengan hak wajib pajak yang ditetapkan
dalam undang-undang pajak. Hak wajib pajak meliputi :
a. Mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
b. Memperbaiki isi Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak yang sudah
diserahkan ke Kantor Pajak.
c. Mengajukan keberatan atas jumlah pajak yang harus dibayar ke
Kantor Direktorat Pajak atau Kantor pelayanan pajak setempat.
d. Mengajukan banding atas putusan sengketa pajak ke Pengadilan
pajak.
e. Mengajukan gugatan atas sengketa pajak ke Pengadilan pajak.
f. Hak mengajukan Peninjauan Kembali ke