Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
C. Prosen Persidangan Di Pengadilan Pajak.
1. Alat bukti.
a. surat atau tulisan.
b. keterangan ahli, seperti pendapat tentang pengalaman dan
pengetahuan.
c. keterangan para saksi.
d. pengakuan para pihak.
e. pengetahuan hakim.
2. Pihak Yang Tidak Boleh Menjadi Saksi Dalam Sengketa Pajak.
a. keluarga sedarah menurut garis keturunan lurus keatas/
kebawah s/d derajat ketiga dari salah satu pihak.
b. istri atau suami.
c. anak yang belum berumur 17 tahun.
d. orang sakit ingatan.
3. Putusan Pengadilan Pajak.
a. merupakan putusan fi nal.
b. mempunyai kekuatan hukum tetap.
4. Dasar Putusan Pengadilan Pajak.
a. hasil penilaian pembuktian, ber-dasarkan per-uu-ngan dan
keya-kinan hakim.
b. penentuan putusan melalui musyawarah.
c. melalui voting.
5. Putusan Pengadilan Pajak.
a. menolak.
b. mengabulkan seluruhnya atau se-bagian.
c. menambah pajak yang harus dibayar.
d. tidak dapat diterima.
e. membetulkan salah tulis.
f. membatalkan putusan sebelumnya
6. Eksekusi Putusan Pengadilan Pajak
a. pelaksanaan putusan.bahwa putusan pengadilan pajak langsung
dapat dilaksanakan tanpa memerlukan lagi keputusan pejabat
yang berwenang.
b. keputusan pengadilan pajak selam-bat-lambatnya harus
dilaksana kan 30 hari dihitung sejak tanggal putusan diterima.
7. Ketentuan Pengajuan Peninjauan Kembali (PK).
a. Hanya dapat diajukan 1 kali kepada Mahkamah Agung melalui
pengadilan pajak.
b. pengajuan PK tidak menggugurkan putusan pengadilan pajak.
c. permohonan PK dapat dijabut kembali oleh pihak pengaju
sebelum ada putusan dari Mahkamah Agung.
d. Peninjauan Kembali yang sudah dicabut sebelum diputus, tidak
dapat diajukan kembali.
e. Ketentuan Peninjauan Kembali sesuai dengan UU Mahkamah
Agung..
A. Pengaturan Pajak Daerah.
Pada hakekatnya organisasi negara didirikan bukan tanpa
tujuan, tetapi memiliki tujuan yang ditetapkan melalui kesepakatan
masyarakat, kemudian ditetap-kan dalam Konstitusi/UUD.
Keberadaan konstitusi/UUD dalam suatu negara merupakan
condisio sine quanon, sehingga tdk ada satupun negara di dunia saat
ini yang tidak mempunyai konstitusi/UUD.
Konstitusi atau UUD yang dimiliki negara dipergunakan
sebagai aturan main dalam berbangsa dan bernegara, termasuk
untuk mengatur kebijakan dibidang perpajakkan. Karena tujuan
negara sudah ditetapkan dalam Konstitusi/UUD, maka wajib
DINAMIKA PAJAK DAERAH
diwujudkan oleh seluruh bangsa; seperti halnya tujuan negara
Indonesia dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945.Tujuan
negara tidak mengenal limit waktu atau tidak mengenal ruang dan
waktu; dalam arti mewujudkan tujuan negara akan dilakukan terus
menerus sepanjang tahun. Konsekuensinya, upaya perwujudan
tujuan negara akan memerlukan pembiayaan yang terus menerus
juga. Sehingga negara memerlukan sumber-sumber pendapatan,
salah satunya berasal dari sektor pajak.
Sektor pajak merupakan salah satu sumber pen dapatan
negara sebenarnya sudah lama dikenal dan dimanfaatkan,seperti
pemungutan pajak pada zaman Mesir Kuno yang dikenakan
terhadap berbagai aspek kehidupan sehari-hari bahkan mencakup
penggunaan minyak untuk memasak guna mempersiapkan makan
keluarga. Di Roma Kuno, sudah lama memiliki sistem pajak, seperti
halnya pajak penjualan,pajak warisan, maupun pajak ekspor dan
impor. Pemungutan pajak oleh negara mulai berkembang mula-
mula di Inggris sejak abad ke XII di sana diadakan pajak kekayaan
umum, meskipun masih dalam bentuk yang sangat sederhana.
Jauh sebelum Indonesia merdeka banyak sekali kerajaan yang
telah melakukan pemungutan pajak dari rakyat untuk kepentingan
kerajaan. Selaras dengan penjelasan Rochmat Soemitro : Sebelum
terdapat negara yang teratur (geodende - staat), karena pada waktu
negara masih bersifat sederhana (primitief) dikuasai oleh seorang
raja yang mempunyai tugas pemeliharaan keamanan dalam
daerahnya, mempertahankan daerahnya dari serangan-seangan
musuh dari luar. Meskipun masih sederhana atau primitief, namun
terasa juga kebutuhan akan uang untuk membiayai pengeluaran
- pengeluaran kepentingan umum, seperti pembuatan jalan,
membiayai pertahanan, membayar pegawai, dan sebagainya.
Di Indonesia, secara yuridis-konstitusional sektor pajak baru
diakui pada 18 Agustus 1945 bersamaan disahkannya Undang
Undang Dasar RI 1945 sebagai pedoman penyelenggaraan negara,
sebab dalam naskahnya terdapat pasal yang mengatur sektor pajak
(Pasal 23 ayat 2 : “Segala pajak untuk keperluannegara berdasar undang-
undang”. Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 kemudian diamandemen menjadi
Pasal 23A : “Segala pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa
untuk kepentingan negara berdasar peraturan perundang-undangan”.
Pasal amandemen ternyata muatannya lebih luas dari pada pasal
sebelumnya, karena tidak hanya terbatas mengatur pajak semata;
tetapi mengatur pula pungutan lain yang sifatnya memaksa untuk
keperluan negara. Pungutan lain yang sifatnya memaksa untuk
keperluan negara tidak terbatas macamnya, sehingga macamnya
akan lebih banyak dibandingkan dengan macam pajak.
Di Indonesia berdasarkan kewenangan memungut, pajak
digolongan menjadi dua, ialah Pajak Pusat dan Pajak Daerah.
Penggolongan ini karena Indonesia sebagai negara kesatuan
memiliki tingkatan pemerintahan, yaitu pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang merupakan bagian
dari negara, dalam membuat peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah tidak dapat lepas begitu saja dari kebijakan
politik perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Hal tersebut selaras dengan asas negara kesatuan yang di
desentralisasikan “bahwa pemegang kekuasaan tertinggi atas segenap
urusan negara adalah pemerintah pusat (central gavernment) tanpa
adanya gangguan oleh suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan
kepada pemerintah daerah (local gavernment) .Atau “dalam suatu negara
kesatuan segenap urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat
sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan
tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang kekuasaan
tertinggi adalah pemerintah pusat”.
Terkait dengan desentralisasi perpajakan daerah yang
menyangkut pengaturan perpajakan daerah dan produk hukum
pajak daerah dalam sistem hukum pajak nasional. Maka bicara
mengenai sistem hukum nasional akan ditemukan beberapa
pendapat dari dunia pengetahuan, hal ini merupakan persoalan
yang wajar sering terjadi. Adapun beberapa pendapat tentang
sistem hukum nasional, adalah sebagai berikut :
1. Segala hukum yang berlaku secara nasional dan sah diseluruh
tanah air dari Sabang sampai Merauke yang dibuat oleh badan-
badan atau lembaga-lembaga yang berwenang (JCT Simorangkir).
2. Tata hukum baru yang lahir sebagai akibat dari kemerdekaan
bangsa Indonesia dengan UUD 1945 sebagai intinya (Satjipto
Rahardjo).
3. Hukum nasional (national law) has two connotation : one meaning
axacly, national in contrast with the local; the other more prevalent
during the last two decade meaning the law of independent Indonesian
as opposed to law originating in the colony (Daniel S.Lev).
4. Hukum nasional.
a). hukum yang dinyatakan berlaku secara nasional oleh pembentuk
undang-undang nasional;
b). hukum yang bersumber dan menjadi pernyataan langsung dari
tata budaya nasional;
c). hukum yang bahan-bahannya (idiil dan riil) primer berasal
dari kebudayaan nasional sendiri dengan tidak menutup
kemungkinan memasukan bahan-bahan dari luar sebagai
hasil pengolahan yang dibawa oleh perhubungan dengan luar
nasional,
d). sebagai pengertian politis perlawanan antara nasional dan
kolonial (Moh. Koesnoe).
Norma-norma hukum itu berjenjang, dan berlapislapis dalam
suatu hirarhi tata susunan; norma yang lebih rendah berlakunya
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlakunya,
demikian selanjutnya sampai dengan norma dasar (groundnorm).
Teori ini dapat disebut juga teori sinkronisasi vertical atau harmoni
vertical. Konfi gurasi politik tertentu menyebabkan lahirnya produk
hukum dengan karakter tertentu pula (Moh. Mahfud).
Menurut teori peraturan perundang-undangan, pembentukan
peraturan perundang-undangan meliputi dua masalah pokok
yang harus di perhatikan, ialah : aspek materiil/substansi dan aspek
formil/prosedural .Berpedoman pada sistem hukum nasional maka
pengertian hukum pajak nasional tidak berbeda dengan hukum
yang lain, karena secara konstitusional kewajiban negara membuat
hukum pajak sudah ditetapkan dalam Pasal 23 ayat 2 Undang
Undang Dasar RI 1945 (diamandemen menjadi Pasal 23 A Undang
Undang Dasar RI 1945).
Sehubungan hal tersebut, maka yg dimaksud sistem hukum
pajak nasional, ialah: “Sistem hukum pajak yang dibuat berdasar
kehendak Undang Undang Dasar RI 1945 maupun peraturan perundang-
undangan lain yang dipergunakan sebagai pedomam dasar pembuatan
peraturan perpajakan nasional”. Pengaturan perpajakan daerah
selama ini berpedoman pada dua kaedah, ialah sentral (central-
norm) dan lokal (local-norm). Kaedah sentral (central-norm) dalam
pengaturan perpajakan daerah dibedakan menjadi dua, ialah :
a). Peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah, meliputi:
(1). Undang-Undang Nomor 1Tahun 1945.
(2). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
(3). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
(4). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
b). Peraturan perundang-undangan Pajak dan Retribusi Daerah :
(1). Undang - Undang Nomor 11/Drt/ Tahun 1957.
(2). Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1997.
(3). Undang - Undang Nomor 34 Tahun 2000.
(4). Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Substansi peraturan perundang-undangan pajak dan retribusi
daerah tidak dapat lepas dari pengaruh kehendak pemerintah pusat
sebagai pengendali pemerintahan daerah, khususnya dibidang
perpajakan daerah. Oleh karena itu berdasar yuridis-histories,
pengaturan perpajakan daerah yang pernah dan sedang dijalankan
sangat variatif, seperti berikut ini :
a. Masa UU No. 11/ Drt /1957 : Tentang Peraturan Umum Pajak
Daerah. Pasal 56 ayat (1) :DPRD berhak mengadakan pajak dan
retribusi daerah (desentralistik ) yang bersifat demokratis.
b. Pajak Daerah pada masa ini : Pajak anjing, Pajak kendaraan
tidak bermotor, Pajak atas ijin mengadakan perjudian, Pajak atas
tanda kemewahan mengenai luas dan perhiasan kubur, Pajak
berdiam disuatu daerah lebih dari 120 hari dalam satu tahun
pajak kecuali untuk perawatan di Rumah sakit / Sanatorium,
juga atas penyediaan rumah lengkap dengan parabot untuk diri
sendiri atau keluarga selama lebih dari 120 (seratus dua puluh)
hari dalam tahun pajak.
c. Masa UU No. 1 Tahun 1945 : Ketentuan Pokok Pemerintahan di
Daerah.
d. Masa UU No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak Ddaera dan Retribusi
Daerah. Dalam undang-undang ini ditetapkan dua golongan
pajak daerah, ialah Pajak Daerah Tingkat I (Pajak Kendaraan
Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor) dan Pajak Daerah Tingkat II (Pajak
Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan
Galian Golongan C, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan).(sentralistik bersifat otoriter).
e. Masa UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Di Daerah.
f. Masa UU No. 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi
Daerah. Dalam undang – undang ini ditetapkan dua golongan
pajak, ialah Pajak Daerah Propinsi (Pajak Kendaraan Bermotor,
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Ba-han Bakar
Kendaraan Bermotor, Pajak Peman- faatan Air Permukaan
dan Bawah Tanah) dan Pajak Daerah Kota/Kabupaten (Pajak
Hotel, Pa-ak Restoran, Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak
Penerangan Jalan Umum, Pajak Parkir. (sentralistik ).
g. Kabupaten / Kota dengan Peraturan Daerah boleh menetapkan
jenis pajak daerah, diluar yang sudah ditetapkan pemerintah.
(desentralistik) bersifat otoriter dan demokratis UU No. 22 Tahun
1999 TentangPemerintahan Daerah.
h. Masa UU No. 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daeah dan Retribusi
Daerah. Dalam undang-undang ini ada jenis-jenis pajak daerah
(Propinsi dan Kota/ Kabupa-ten) yang ditetapkan pemerintah
(sentralistik). Dan Kota / Kabupaten dengan Peraturan Daerah
boleh menetapkan jenis pajak daerah diluar yang sudah
ditetapkan pemerintah (desentralistik bersifat otoriter dan
demokratis).
i. Masa UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pembuatan hukum pajak daerah atau kaedah lokal (local-norm)
yang berbentuk Peraturan Daerah harus memenuhi dua aspek,
ialah aspek materiil dan aspek formil. Keharusan yuridis tersebut
didasarkan atas beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, sebagai
berikut :
a). Ketentuan Aspek Formil (procedural).
1. UU No. 5 Tahun 1974 Pasal 38 :
“Kepala daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dapat menetapkan Peraturan Daerah”.
2. UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 69 :
“Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas
persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi”.
3. UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 136 ayat 1 :
“Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapatkan persetujuan bersama DPRD”.
b). Ketentuan Aspek Materiil (substansiil).
1. UU No.22 Tahun 1999 Pasal 70 :
“Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
Perda lain, dan peraturan perun dang-undangan yang lebih
tinggi”.
2. UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 136 ayat 4 :
“Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan
umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi”.
3. UU No. 10 Tahun 2004, Pasal 12:
“Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus
daerah, serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi”.
4. UU No. 34 Tahun 2000.
112 Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
Pasal 2 :
1.“Jenis pajak daerah Propinsi, terdiri dari. (sudah ditetapkan
jenis – jenis pajaknya oleh pemerintah pusat)”.
2.“Jenis pajak daerah Kota/Kabupaten, terdiri dari (sudah
ditetapkan jenis-jenis pajaknya oleh pemerintah pusat)”.
Pasal 3.
1. “Maksimal tarip pajak daerah ditetapkan paling tinggi
sebesar......”
2. “Tarip pajak daerah (Propinsi) ditetapkan seragam di seluruh
Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
3. “Tarip pajak daerah (Kota/Kabupaten) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah”.
B. Penggolongan Pajak Daerah (sebelum 2009).
1. Pajak Daerah Propinsi.
a. Pajak Kendaraan Bermotor.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
d. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah Permukaan Tanah
2. Pajak Daerah Kota/kabupaten.
a. Pajak Hotel.
b. Pajak Restoran.
c. Pajak Hiburan.
d. Pajak Penerangan Jalan Umum.
e. Pajak Reklame.
f. Pajak Galian Golongan C.
g. Pajak Parkir.
C. Penggolongan Pajak Daerah (mulai 2009).
Berdasar Undang Undang Nomer : 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah macam pajak daerah sudah
direvisi atau dirubah. Berdasar Pasal 2, pajak daerah digolongkan
menjadi dua jenis ialah pajak Propinsi dan pajak Kota/Kabupaten.
Adapun jenis-jenis pajak daerah bagi Propinsi dan Kota/Kabupaten,
sebagai berikut :
1. Pajak Propinsi.
a. Pajak Kendaraan Bermotor.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
d. Pajak Air Permukaan, dan
e. Pajak Rokok.
2. Pajak Kota / Kabupaten.
a. Pajak Hotel.
b. Pajak Restoran.
c. Pajak Hiburan.
d. Pajak Reklame.
e. Pajak Penerangan Jalan.
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
g. Pajak Parkir.
h. Air Tanah.
i. Pajak Sarang Burung Walet.
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.