Tampilkan postingan dengan label pajak 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pajak 1. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

pajak 1








A. Sejarah Pajak Sebelum Masehi.
Percayakah Anda bahwa sejarah pajak sebagai momok 
semua orang sudah dimulai sejak Zaman Fir’aun? Tentu saja ini 
berarti sejarah pajak juga berangkat dari masa yang sama. Sejarah 
umat manusia, sangat kental dengan masalah perpajakan. Konon 
kabarnya sejarah pajak tercipta karena kebutuhan manusia untuk 
hidup berkelompok karena ketergantungan satu sama lain. Cara 
hidup seperti ini menciptakan negara dan karenanya dibutuhkan 
sumber-sumber untuk membiayai pengeluaran bersama terutama 
pada waktu perang. Sebab, waktu itu mereka memang senang 
sekali berperang. Sedang sejarah perpajakan dari berbagai masa 
kemasa, sebagai berikut :
SEJARAH PERPAJAKAN

a. Mesir
Sepanjang yang diketahui oleh manusia modern, sejarah pajak 
dimulai dari Mesir. Selama beberapa periode pemerintahan Fir’aun, 
pemungut pajak dikenal dengan nama Scribes. Selama periode 
Scribe mengenakan pajak atas minyak goreng. Untuk memastikan 
bahwa warga masyarakat tidak berusaha menghindari pajak 
minyak goreng, Scribe akan melakukan “audit” terhadap rumah 
tangga untuk memastikan jumlah minyak goreng yang dikonsumsi 
dan pajak tidak dikenakan terhadap minyak goreng yan g bekas 
pakai. Jangan berharap bahwa proses audit yang dilakukan sama 
seperti yang kita kenal sekarang. Pastinya  hanya antropolog dan 
sejarawan yang tahu situasi pemungutan pajak pada waktu itu.
b. Yunani
Pada masa-masa perang bangsa Athena dikenai pajak Eisphora 
yang digunakan untuk membiayai perang. Tak ada seorangpun 
yang lolos alias memperoleh fasilitas pembebasan dari pajak ini. 
Warga bisa meminta pengembalian pajak (restitusi) pada saat 
perang usai yang dananya dicari fi skus dari sumber tambahan lain. 
Tidak ada informasi resmi yang menyebutkan apakah restitusi juga 
berlaku jika perang diakhiri dengan kekalahan bangsa Athena 
sendiri. Selain itu bangsa Athena juga dikenai Pajak Suara atau toll 
tax setiap bulan yang dikenal dengan nama metoikion. Pajak ini wajib 
dikenakan terhadap wajib pajak luar negeri, yaitu mereka yang ibu 
dan bapaknya bukan orang Athena, besarnya satu Drachma (mata 
uang mereka) untuk laki-laki dan setengah Drachma untuk wanita.
c. Romawi
Pajak yang pertama diperkenalkan di Roma adalah Bea Pabean 
atas impor dan ekspor yang disebut portoria. Kaisar Augustus 
dianggap sebagai ahli strategi pajak dalam kekaisaran Roma. Dalam 
masa pemerintahannya, jabatan Publicani pemungut pajak, sebagai 
pemungut pajak pemerintah pusat dihapuskan. Selama periode 
ini kota Roma diberi kekuasaan untuk memungut pajak. Kaisar 
Augustus menetapkan pajak warisan untuk menyediakan dana 
pensiun bagi militer. Pajak ini besarnya 5% atas semua warisan 
kecuali atas pemberian untuk anak-anak dan pasangan. Inggris 
dan Belanda mengacu kepada pajak warisan ciptaan Augustus 
ini dalam rangka upaya/usaha mengembangkan pajak warisan.
Selama zaman Julius Caesar ada pajak penjualan yang dikenakan 
sebesar 1 (satu) persen atas penjualan. Khusus untuk penjualan 
budak dikenai 4 (empat) persen.Pada tahun 60 SM, Boadicea, Ratu 
Anglia Timur memimpin revolusi terhadap korupsi yang dilakukan 
pemungut pajak di British Isles. Revolusi ini menyebabkan 
terbunuhnya semua tentara Romawi dalam radius 100 mil yang 
ditangkapi di London. Lebih dari 80.000 orang terbunuh selama 
revolusi ini. Ratu Boadicea mengerahkan tentara sebanyak 230.000 
orang. Revolusi ini berhasil dipatahkan oleh Kaisar Nero dan 
menyebabkan penunjukan pemerintahan untuk British Isles. Jika 
Anda adalah penggemar game Age of Empires: Age of Kings atau 
Caesar 3, beberapa istilah di bawah ini sudah tidak asing lagi Dalam 
sejarah pajak dikenal beberapa istilah perpajakan kuno seperti: (a). 
Aid; (b).Danegeld; (c). Scutage; (d).Tallage; (e). Carucate; (f). Tax 
Farming. Uraian selanjutnya dari masing-masing istilah perpajakan 
ini, sebagai berikut :
1) Aid.
Pada zaman feodal, Aids adalah sejenis pajak yang dibayarkan 
kepada Tuan Tanah atau Raja kecil. Di Inggris, Aids disebut-sebut 
dalam piagam Magna Carta (1215 M). Aids hanya dibayarkan pada 
saat anak lelaki tertua dari Tuan Tanah menjadi ksatria ( knight ) 
atau anak perempuan tertua dari Tuan Tanah melangsungkan 
perkawinan. Aids juga dibayarkan untuk tebusan bagi majikan 
yang tertawan oleh pihak musuh.
2) Danegeld
Danegeld adalah pajak atas tanah pada abad pertengahan 
yang dipungut untuk membiayai serangan terhadap Denmark 
yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran militer. 
Tribute pertama kali dikenakan di Inggris pada tahun 868 M dan 
kemudian pada tahun 871 M. Di bawah kepemimpinan Aethelred 
(978-1016 M) Tribute menjadi pajak rutin sampai diganti lagi pada 
masa William the Conqueror. Tarif pajaknya dua Shilling untuk 
setiap tanah simpanan yang luasnya 100-120 are.
3) Scutage
Pajak feodal dibayar di tempat pemberian jasa angkatan darat. 
Magna Carta (1215) pasal 12 khususnya menyatakan bahwa tidak 
ada scutage atau bantuan yang dikenakan atas kerajaan kecuali oleh 
persetujuan umum. Pengecualian meliputi uang pembebasan bagi 
raja yang melawan anak laki-laki tertua raja dan menikahi anak 
perempuan tertua raja. Dalam semua hal scutage atau bantuan 
adalah beralasan.
4) Tallage
Mirip dengan Aids. Di Inggris pajak ini menggantikan 
Danegeld. Pajak ini dipungut Raja dan Tuan tanah. Zaman Raja 
Edward III sekitar tahun 1340 M pajak ini dihapuskan. Di Perancis 
kalangan atas masyarakat yang disebut dengan Taille dibebaskan 
dari pajak ini. Subyek pemungutan dijatuhkan ke petani.
5) Carucate
Menggantikan Danegeld dan hanya dikenakan terhadap tanah 
pertanian yang dibajak.
6) TaxFarming.  
Adalah prinsip pelimpahan tanggung jawab pemungutan 
pajak kepada sekelompok masyarakat. Cara ini diterapkan di 
banyak peradaban seperti Mesir, Romawi, Inggris, dan Yunani. 
Dalam prakteknya, kelompok ini lebih banyak menyengsarakan 
rakyat banyak. Salah satu yang paling parah adalah pejabat 
Publicani di Romawi. Pada masa itu pemungutan pajak di Mesir 
sebenarnya sudah cukup efektif. Akan tetapi hal ini berubah sejak 
diterapkannya konsep aturan Ptolemies yang berasal dari Yunani. 
Aturan ini diterapkan dalam rangka mengawasi pembayar dan 
pemungut pajak pemerintah, agar para Scribes tidak meringankan 
pajak yang harus ditanggung oleh orang miskin dan kaum lemah. 
Inilah ciri-ciri dari suatu zaman yang disebut dengan zaman feodal.
d. Inggris
Pajak pertama kali dikenakan di Inggris pada waktu 
pendudukan Kekaisaran Roma. Pada masa itu ada Lady Godiva 
yang sangat terkenal. Ia adalah seorang wanita Anglo-Saxon yang 
tinggal di Inggris pada abad ke 11 Masehi. Menurut cerita, suaminya, 
Earl of Mercia, berjanji untuk mengurangi pajak yang tinggi 
terhadap penduduk kota Coventry karena tekanan Lady Godiva 
yang mengancam akan berkeliling kota tanpa sehelai benangpun 
di tubuhnya. Selanjutnya, karena hal inilah Lady Godiva terkenal 
sampai sekarang. Pada saat Roma runtuh raja-raja wilayah Saxon 
mengenakan pajak Danegeld atas tanah dan bangunan disamping 
Bea Cukai. Selama abad pertengahan sejarah mencatat adanya Perang 
100 tahun antara Inggris dan Prancis yang dimulai pada tahun 1337 M 
dan berakhir pada tahun 1453 M. Salah satu faktor kunci yang memicu 
perang adalah pemberontakan para bangsawan Aquitaine terhadap 
kebijakan pajak Pangeran Edward yang keterlaluan. Pemberontakan 
ini terjadi pada tahun 1369 M. Pajak-pajak pada abad ke-14 dikenal 
sangat progresif. Pajak Suara tahun 1377 M menunjukkan bahwa 
pajak Duke of Lancaster adalah 520 kali atas pajak petani biasa.  Pada 
masa-masa itu juga dikenal adanya Pajak Penghasilan atas kekayaan 
pemilik kantor dan pendeta. Pajak atas Barang Bergerak dikenakan 
terhadap setiap pedagang. Orang miskin membayar sedikit atau 
tidak bayar pajak sama sekali. Raja Charles mengenakan pajak 
atas pelanggar kejahatan. Selama masa pemerintahannya timbul 
masalah dengan Parlemen yang menyebabkan perpecahan pada 
tahun 1629 M. Sumbernya perpecahan itu adalah pembagian antara 
hak pemajakan oleh Raja dan hak pemajakan oleh Parlemen. Di 
kemudian hari Raja Writ menyatakan bahwa individu harus dipajaki 
sesuai dengan status dan kekayaannya. Dari sinilah berkembang ide 
pajak progresif atas mereka yang sanggup membayar pajak. Pajak-
pajak lain yang penting selama periode ini adalah Pajak Tanah dan 
Pajak Properti lain. Untuk membiayai angkatan darat yang dipimpin 
oleh Oliver Cromwell, Parlemen mengenakan pajak atas komoditi 
utama seperti gandum, daging, dan lain-lain pada tahun 1643 M. 
Pajak-pajak yang dikenakan oleh Parlemen menghasilkan lebih 
banyak pemasukan dari pada pajak yang dikenakan oleh Charles I, 
khususnya pajak yang ditarik dari rakyat miskin. Pajak Properti yang 
dikenakan bersifat sangat regresif. Kenaikan pajak atas kaum miskin 
menimbulkan huru hara di wilayah Smithfi elds pada tahun 1647 M. 
Huru hara ini timbul karena pajak-pajak baru membuat rakyat kecil 
tidak mampu membeli gandum. Selain itu, tanah biasa yang dipakai 
untuk berburu oleh para petani ditutup dan perburuan oleh petani 
dilarang. Menurut cerita hal ini menyengsarakan sebuah keluarga 
yang beranggotakan empat orang. Salah satu anggota keluarga itu 
adalah Robin Hood.
e. Amerika.
Bicara tentang sejarah pajak modern, kita tidak bisa lepas dari 
sejarah pajak di Amerika. Rakyat pada abad 17-an membayar pajak 
berdasarkan Molasses Act. Tahun 1764 M peraturan ini diubah dengan 
memasukkan bea import atas gula sirup, gula, bir dan komoditi lain. 
Peraturan baru ini dikenal sebagai Sugar Act. Karena Sugar Act tidak 
menaikkan jumlah penerimaan, maka diberlakukanlah Stamp Act 
pada tahun 1765 M. Stamp Act mengenakan pajak langsung yang 
sasarannya adalah atas surat kabar – surat kabar, dokumen-dokumen 
hukum maupun hal-hal yang berhubungan dengan komersial.
Pada tahun 1794 M penduduk Allegeni Barat melancarkan 
pemberontakan whiskey sebagai perlawanan terhadap pajak 
properti yang diperkenalkan oleh Alexander Hamilton tahun 
1791 M. Pajak properti dianggap sebagai perlakuan diskriminatif. 
Presiden Washington mengirimkan tentaranya untuk menumpas 
pemberontakan ini. Para pelaku kedua pemberontakan ini 
dihukum, tapi kemudian diampuni. Pada tahun 1798 M Kongres 
menerapkan pajak properti federal untuk kepentingan angkatan 
darat dan angkatan laut dalam menghadapi kemungkinan perang 
dengan Perancis. Pada tahun yang sama, John Fries melakukan 
perlawanan terhadap pajak baru itu. Pemberontakan ini dikenal 
dengan nama Pemberontakan Fries. Tidak ada yang terluka 
maupun terbunuh, tetapi Fries ditahan dan kemudian diampuni 
oleh Presiden Adam tahun 1800 M. Fries adalah pemimpin unit 
militer yang diperintahkan untuk menumpas atau menghentikan  
segala bentuk kegiatan yang berkaitan  pemberontakan wiskhey.
Pajak Penghasilan diusulkan pertama kali pada masa Perang Sipil 
tahun 1812 M. Pajak ini didasarkan atas British Tax Act 1798 dan 
menggunakan tarif progresif. Tarifnya 0.08% atas penghasilan di 
atas 60 pound dan 10 % atas penghasilan di atas 200 pound. Pajak ini 
dirumuskan tahun 1814 M tetapi tidak pernah diberlakukan karena 
penandatanganan Ghent Treaty tahun 1815 M yang mengakhiri 
kesewenang-wenangan. Tax Act 1861 M menentukan bahwa pajak 
dikenakan, ditagih dan dibayar atas penghasilan tahunan setiap 
orang yang tinggal di Amerika baik yang didapat dari properti, 
perdagangan profesional, pekerjaan, atau magang yang dilakukan 
di Amerika atau tempat lain dari sumber apapun. Tarif menurut 
Act ini adalah 3% atas penghasilan di atas 800 dolar dan 5% atas 
penghasilan yang diperoleh individu-individu yang bertempat 
tinggal (berdomisili) di luar Amerika.Tax Act 1862 M diberlakukan 
dan ditandatangani oleh Presiden Lincoln pada tanggal 1 Juli 1862. 
Tarifnya adalah 3% untuk penghasilan di atas 600 dolar dan 5% atas 
penghasilan di atas 10.000 dolar. Sewa rumah bisa saja dikurangkan 
dari penghasilan. Walaupun rakyat menerima dengan senang hati, 
kepatuhannya tidak terlalu tinggi. Angka-angka setelah Perang Sipil 
menunjukkan bahwa 276.661 orang melaporkan pajaknya pada tahun 
1870 M yaitu tahun tertinggi untuk angka penyampaian SPT. Padahal 
waktu itu jumlah penduduk belum banyak tetapi diperkirakan baru 
kira-kira 38 juta orang.Tax Act 1864 M diberlakukan untuk menaikkan 
penerimaan tambahan guna menyokong Perang Sipil. Senator 
Garret Davis, dalam kaitannya dengan Act ini menyampaikan 
usulan agar pajak dibayar sesuai dengan kemampuan seseorang 
untuk membayar. Tarif pajak untuk Tax Act 1864 M adalah 5% 
atas penghasilan antara 600 dan 5.000 dolar 7,5% atas penghasilan 
antara 5001 dan 10.000 dolar dan 10% untuk penghasilan di atas 
10.000 dolar. Pengurangan nilai sewa dibatasi sampai 200 dolar. 
Aturan yang membolehkan pengurangan untuk perbaikan atau 
reparasi juga ditambahkan. Dengan berakhirnya Perang Sipil 
penerimaan pajak menurun. Tax Act 1864 dirubah setelah Perang 
Sipil berakhir. Sehubungan dengan tersebut selanjutnya tarifnya 
berubah menjadi tarif fl at 5 % dengan pembebasan pajak atas 
penghasilan sampai dengan jumlah penghasilannya 1.000   dolar. 
Dari tahun 1870 sampai 1872 tarif fl at-nya 2,5  % dan pembebasan 
diberikan untuk penghasilan sampai dengan 2.000 dolar. Pajak ini 
diberlakukan pada tahun 1872 dengan mengadakan pembatasan 
tarif yang jelas dan berlaku sebagai sumber penerimaan penting 
bagi Amerika sampai tahun 1913. Pada tahun 1913 Perubahan ke 
16  diterbitkan yang memperbolehkan kekuasaan kongres untuk 
memajaki warga atas penghasilan yang didapat atau diperolehnya 
yang bias berasal dari berbagai tempat atau dari manapun.
Sehubungan dengan hal itu, berarti bagaimanapun, kita memang 
tidak boleh meninggalkan sejarah. Berbagai hal yang berkaitan 
dengan pajak yang kita kenal sekarang, seperti Pajak Penghasilan, 
Bea Cukai, Tax Treaty, Pajak Penjualan, Bea Materai, Restitusi, dan 
bahkan Tax Audit adalah warisan dari sejarah masa lalu. Dengan 
perjalanan panjang yang penuh luka dan peperangan, pajak telah 
mengantarkan kita ke saat ini di mana pajak bisa menjadi alat yang 
efektif dan efi sien untuk membiayai pengeluaran bersama. Karena 
itu biarkanlah luka dan peperangan tetap menjadi masa lalu. Di 
masa sekarang: “Orang Bijak Taat Pajak dan Aparat Pajak Harus Bijak “ 1
B. Perkembangan Pajak Di Indonesia.
Sejarah pajak di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya 
‘huistaks’ yaitu pada tahun 1816.Huistaks adalah  pajak yang dikena-
kan bagi suatu warga negara yang mendiami suatu wilayah atau 
tempat tertentu di atas bumi. Seperti sewa tanah,bangunanatau 
yang sekarang dikenal dengan Pajak Bumi dan Bangunan.Tetapi 
saat itu, kita (rakyat Indonesia) harus menyetornya ke pemerintah 
Belanda. Berikutnya menunjukkan bahwa jenis - jenis pajak 
bertambah lagi, yaitu :
a. Tahun 1920 ada Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting alias 
Pajak Penghasilan.
b. Tahun 1925 ada Ordonantie op de Vennootschapbelasting alias 
Pajak Perseroan atau sekarang dikenal dengan nama Pajak 
Penghasilan  Badan.

Zaman Belanda dan saat penjajahan Jepang, mereka  memungut 
pajak dari berbagai hasil bumi yang ada di Indonesia. Jauh sebelum itu, 
kerajaan - kerajaan yang ada di Nusantara ini juga sudah menerapkan 
pajak pada masyarakatnya untuk keberlangsungan kerajaan. Hingga 
saat ini, pajak sudah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal 
ini dapat kita liat dari banyaknya jenis pajak yang ada. Dan,sebagai 
warga Negara yang baik, tentunya kita akan membayar pajak 
yang sudah menjadi kewajiban kita. Karena semuanya juga untuk 
kesejahteraan kita bersama.2 Atau sejarah lain menerangkan bahwa 
Pajak pertama kalinya di Indonesia di awali dengan Pajak Bumi dan 
Bangunan atau lebih kita kenal dengan PBB.3
Pada waktu itu lebih dikenal sebagai pajak pertanahan. 
Pungutan ini diberlakukan kepada tanah atau lahan yang dimiliki 
oleh rakyat. Pajak atas tanah ini dimulai sejak Vereenigde Oostindische 
Compagnie (VOC) masuk dan menduduki Hindia Belanda. Untuk 
lebih jelasnya mengenai sejarah pajak di Indonesia terdapat pada 
buku karangan Profesor Tobias Subekti yang berjudul “Perpajakan 
di Indonesia”.4 Profesor Tobias Subekti adalah seorang profesor 
pajak pertama di Indonesia dan buku ini adalah disertasi beliau.
Pada waktu dulu, Inspektur Liefrinch dari VOC mengadakan 
survey atau penelitian di daerah Parahyangan. Hasil dari penelitian 
tersebut membuat VOC memutuskan untuk memberlakukan 
pajak  pertanahan yang  disebut dengan landrente.5 Rakyat setuju 
atas keputusan Pemerintah Hindia Belanda ini. Rakyat harus 
membayar uang sebesar 80 (delapan puluh) % dari harga besaran 
tanah atau hasil lahan yang dimilikinya. Daendels, seorang Jendral 
yang terkenal akan kekejamannya menyatakan bahwa tanah di 
Hindia Belanda adalah milik dari Belanda. Kependudukan Inggris 
yang dipimpin oleh Raffl es kebijakan landrente berubah. Raffl es 
mengenakan tarif sebesar 2,5 (dua koma lima) % untuk golongan 
pribumi dan tarif 5 (lima) % untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa 
lain. Selain itu, Raffl es juga mengeluarkan Surat Tanah sebagai 
Sertifi kat Tanah Internasional bagi penduduk yang dikenal dengan 
nama girik dalam bahasa Jawa.
Ketika, pemerintahan Hindia Belanda kembali, timbul gagasan 
untuk mengenakan pajak penghasilan. Pada tahun 1920-1921 
sudah ada pajak penghasilan terhadap hasil bumi atau hasil lahan 
penduduk. Isitlahnya dikenal dengan nama Versponding Warde yang 
berupa pajak untuk kebun-kebun teh, kelapa, jati, dan tembakau. 
Pengenaan tarifnya sebesar 7,5 (tujuh koma lima) % dari hasil. 
Pada tahun 1934 sudah ada Pajak Kendaraan Bermotor. Setelah 
itu, lahirlah jenis pajak-pajak yang lain yang berkembang hingga 
zaman kemerdekaan hingga sekarang. Oleh karena itulah, kita dapat 
menyebut bahwa Pajak Bumi dan Bangunan merupakan cikal bakal 
dari pajak di Indonesia.
Pajak secara teratur dan permanen sudah dilakukan sejak 
zaman colonial. Akan tetapi perlu juga diingat bahwa ketika wilayah 
nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan pun sudah ada 
pungutan semacam pajak. Ungkapan semacam itu tercermin dalam 
kata-kata bahasa jawa, misalnya :“asok glondhong pengare-areng, peni-
peni rojo peni, guru bakal guru dadi, ngaturaken putrid tondho lintuning 
sih katresnan.“7 Persembahan itu disampaikan kepada raja dengan 
maksud sebagai wujud rasa hormat dan upeti, yang disampaikan 
oleh rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan maupun wilayah 
jajahan. Kiranya perlu diingat bahwa pada masa kerajaan-kerajaan 
di tanah air, fi gure raja dalam hal tertentu dapat dipandang sebagai 
manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (Negara). Pemberian 
sukarela (upeti) dari rakyat kepada raja / penguasa, upeti 
berupa barang (natura): padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya 
seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Awalnya upeti hanya untuk 
kepentingan pribadi penguasa karena tidak ada imbal balik kepada 
rakyat, sehingga pembayaran upeti dikarenakan ada tekanan 
(psikologis) karena raja berkedudukan lebih tinggi dari rakyat.
Pergeseran paradigma upeti dalam perkembangannya, upeti 
tidak hanya untuk kepentingan raja tetapi juga untuk rakyat. Upeti 
mulai digunakan untuk kepentingan umum seperti: keamanan, 
pembangunan jalan, saluran air, fasilitas sosial, dan lain-lain setelah 
ada perubahan sifat upeti, kemudian dibuatlah peraturan agar tetap 
ada sifat memaksa yang melibatkan rakyat untuk memenuhi rasa 
keadilan. Pembuatan aturan – aturan ini dimulai sejak kedatangan 
Belanda ke Indonesia, dan sejak saat itulah dikenal istilah pajak. 
Peraturan pajak zaman Belanda : aturan bea meterai; ordonansi 
pajak rumah tangga; ordonansi pajak kekayaan; ordonansi bea balik 
nama; ordonansi pajak upah; ordonansi pajak kendaraan bermotor; 
ordonansi pajak potong; ordonansi pajak pendapatan; dan lain-lain..
Pengenaan pajak secara sistematis dan permanen dimulai 
dengan pengenaan pajak terhadap tanah. Pengenaan pajak 
terhadap tanah atau sesuatu yang berhubungan dengan tanah 
sudah ada sejak jaman colonial. Seperti Contingenten dan Verplichte 
Laverantieen yang lebih dikenal dengan namaTanam Paksa, yang 
menimbulkan perang Jawa pada tahun 1825-1830. Oleh Gubernur 
Jenderal Raffl es, pajak atas tanah tersebut disebut Landrent yang 
arti sebenarnya adalah “sewa tanah”.
Setelah penjajahan Inggris berakhir maka kemudian Indonesia 
dijajah kembali oleh Belanda. Pjak tersebut kemudian diganti 
menjadi Landrente dengan system atau cara pengenaan yang sama. 
Untuk penertiban pemungutannya, menurut Munawir, pemerintah 
Belanda mengadakan pemetaan desa untuk keperluan klasiran 
dan pengukuran tanah milik perorangan yang disebut rincikan. 
Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian 
diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente tahun 1939.
Pada jaman penjajahan Jepang namanya diganti dengan Pajak 
Tanah, dan setelah Indonesia merdeka namanya diubah menjadi 
Pajak Bumi. Istilah Pajak Bumi inipun diubah menjadi “Pajak Hasil 
Bumi”.Yang dikenakan pajak tidak lagi nilai tanah, melainkan hasil 
yang keluar dari tanah, sehingga timbul frustasi karena hasil yang 
keluar dari tanah merupakan objek dari Pajak Penghasilan, yang 
pada saat itu namanya Pajak Peralihan. Oleh karena itu Pajak Hasil 
Bumi ini kemudian dihapuskan pada tahun 1952 sampai tahun 
1959. Rupanya pemerintah sadar akan kekeliruannya sehingga 
sejak tahun 1959 dipungut lagi pajak hasil bumi atas nilai tanah, 
bukan atas hasil yang keluar dari tanah dan bangunan, dengan 
mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Prp 1959, yang 
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan 
menjadi undang-undang, 
Disamping pengenaan pajak terhadap tanah, pada masa 
penjajahan Belanda juga dikeluarkan berbagai peraturan 
dibidang pajak. Pada tahun 1908 keluar Inkomsten Belasting, yang 
digunakan sebagi dasar untuk mengenakan pajak pendapatan. 
Setelah keluarnya Ordonasi Pajak Perseroan (PPs) tahun  1925 
maka terhadap pendapatan yang berupa laba bersih perusahaan 
dikenakan Pajak Perseroan (PPs). Ordonasi tersebut mengalami 
perubahan beberapa kali dan terakhir diubah dan ditambah dengan 
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1968. Sementara itu pada tahun 
1944 keluar Ordonasi Pajak Pendapatan (PPd) yang digunakan 
sebagai dasar untuk mengenakan pajak terhadap pendapatan 
yang diperoleh oleh orang pribadi. Tahun 1959, dengan Lembaran 
Negara 1959 No 109 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 2a sehingga 
membuka kesempatan bagi pengenaan pajak pendapatan terhadap 
wajib pajak badan. Namun, pengenaan pajak pendapatan terhadap 
badan ini sejak tahun 1966 telah dihapuskan.
Pada masa penjajahan, tepatnya pada tahun 1932, dikeluarkan 
Ordonasi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah, terakhir 
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1964.Yang menjadi subyek 
pajak dari pajak kekayaan ini pada prinsipnya adalah orang pribadi, 
buka badan. Akan tetapi menurut Pasal 3 Ordonasi Pajak Kekayaan itu 
ada kemungkinan perseroan, persekutuan, atau pengkongsian dikenai 
PKk untuk menggantikan kedudukan perseronya yang tidak dikenal 
atau diragukan. Obyek pajaknya adalah seluruh kekayaan wajib pajak 
dikurangi hutang-hutang dan kewajiban pada awal tahun pajak.
Pada masa-masa awal kemerdekaan juga pernah dikeluarkan 
peraturan dibidang pajak. Pada tahun 1950 dikeluarkan Undang-
Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar 
bagi Pajak Peredaran (Barang), yang dalam tahun 1951 diganti 
dengan Pajak Penjualan (PPn) 1951.Pajak ini dikenakan terhadap 
pemakaian umum yang dapat menjadi Pajak Penjualan Dalam 
Negari dan Pajak Penjualan Impor. Sebagai subyek pajaknya 
adalah pihak pabrikan dan pengusaha jasa. Dalam hal pemungutan 
pajak, oleh UUD RI  1945 pada awalnya menetapkan Pasal 23 ayat 2 
: “Segala pajak untuk Negara berdasarkan undang-undang”. Selanjutnya 
Pasal 23 ayat (2) UUD RI 1945 diamandemen dengan  Pasal 23A 
Undang Undang Dasar RI 1945 yang ,menyebutkan bahwa: ”Pajak 
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur 
dengan undang-undang”,. Adapun ketentuan - ketentuan undang-
undang dibidang perpajakan yang “dilahirkan” sesuai apa yang 
dikehendaki oleh Undang Undang Dasar Republik Indonesia 
Tahun 1945, diantaranya beberapa undang-undang :
1). Undang-Undang  RI  Nomor  28  Tahun 2007 Tentang Perubahan 
Keempat Atas Undang-Undang  RI  Nomor  6 Tahun 1983 
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2). Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan 
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang 
Pajak Penghasilan. 
3).  Undang-Undang RI  Nomor  42  Tahun  2009  Tentang Peubahan 
Ketiga Atas Undang Undang RI No. 8 Tahun 1983 Tentang  Pajak 
Pertambahan Nilai  atas Barang dan jasa serta Pajak Penjualan 
atas Barang Mewah.
4).  Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2000 Tentang Perubahan 
ketiga Atas Undang Undang RI No. 12 Tahun 1985 Tentang 
Pajak Bumi dan Bangunan.
5).  Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.
6). Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan 
Penyelesaian Sengketa Pajak (sudah tidak belaku lagi karena 
sudah  dicabut berlakunya)
7). Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2009 Tentang Perubahan 
Ketiga Atas Undang Undang RI Nomor 18 Tahun 1997 Tentang 
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
8). Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan 
Pajak Dengan Surat Paksa.
9). Undang-Undang RI Nomor  20 Tahun  2000 Tentang  Bea  
Perolehan  Hak  Atas Tanah dan Bangunan.
C. Penerimaan Pajak Dibeberapa Negara.
  Dewasa ini, diperbagai Negara (leave reply), pajak merupakan 
sumber penghasilan Negara dan semangkin tinggi nilai pajak yang 
di tetapkan pemerintah maka semangkin besar pendapatan atau 
penerimaan  yang akan di dapatkan oleh  Negara. Dan pajak yang 
di dapatkan negara tersebut akan digunakan untuk pembangunan 
negara agar supaya rakyat menjadi lebih sejahtera kehidupannya. 
Terkait dengan hal dimuka berikut ini ada 10 negara dengan nilai 
pajak tertinggi di dunia, yang meliputi :
a. Irlandia.
Rasio pajak penghasilan: 48%  Penghasilan rata-rata 2010: US$ 
50.400. Tingkat pajak Irlandia merupakan yang tertinggi dibanding 
negara Eropa Utara lainnya. Faktanya, Eropa Utara termasuk area 
dengan pajak penghasilan pribadi tertinggi kedua di dunia.
b. Finlandia.
Rasio pajak penghasilan: 49,2%. Penghasilan rata-rata 2010: 
US$ 49.000. Tingkat marjinal rata-rata Finlandia saat ini 49.2% dan 
berlaku untuk penghasilan US$ 91.000. Pada 2004, Finlandia sempat 
menetapkan pajak 53,5% untuk melawan efek infl asi.
c. Inggris.
Rasio pajak penghasilan: 50% Penghasilan rata-rata 2010: US$ 
52.320 Inggris menaikkan 10% tingkat pajak tertingginya jadi 50% 
pada 2010. Maret lalu, pemerintah Inggris menurunkan tingkat 
pajak untuk warga berpenghasilan tertinggi menjadi 45% dan 
mulai efektif berlaku April 2013.
d. Jepang.
Rasio pajak penghasilan: 50% Penghasilan rata-rata 2010: US$ 
52.200 Jepang satu-satunya negara Asia yang masuk daftar 10 besar. 
Rata-rata tingkat pajak negara di Asia 23%.Tingkat pajak penghasilan 
tertinggi Jepang dikenakan untuk warga berpenghasilan US$ 217.000.
e. Belgia.
Rasio pajak penghasilan: 50% Penghasilan rata-rata 2010: 
US$ 52.700 Tingkat pajak Belgia lebih tinggi 5% dari rata-rata 
negara Eropa Barat lainnya yang dikenal sebagai area berpajak 
tertinggi nomor satu di dunia. Pajak 50% dikenakan bagi warga 
berpenghasilan mulai dari US$ 46.900.
f. Austria.
Rasio pajak penghasilan: 50%. Penghasilan rata-rata 2010: US$ 
50.700. Austria kerap duduk di posisi pertama negara yang paling 
nyaman ditinggali di dunia. Namun pajak yang dikenakan kepada 
warganya termasuk paling tinggi di Eropa.Tingkat pajak tertinggi 
dikenakan untuk warga berpenghasilan US$ 80.000.
g. Belanda.
Rasio pajak penghasilan: 52%Penghasilan rata-rata 2010: US$ 
57.Tingkat pajak Belanda termasuk tinggi dibanding negara Eropa 
Barat yang rata-rata mematok 45,7%. Penghasilan tertinggi yang 
dikenai pajak 52% adalah US$ 74.500.
h. Denmark.
Rasio pajak penghasilan: 55,4%. Penghasilan rata-rata 2010: 
US$ 64.000 Denmark pernah menerapkan tingkat pajak tertingginya 
yaitu 62,3% pada tahun 2008. Penghasilan tertinggi yang dikenai 
pajak paling mahal adalah US$ 76.000.
i. Swedia.
Rasio pajak penghasilan: 56,6% Penghasilan rata-rata 2010: 
US$ 48.800 Tingkat pajak tertinggi dikenakan pada penghasilan 
US$ 81.000. Seluruh penghasilan dari pajak dialokasikan untuk 
keamanan sosial. Menurut OECD, Swedia menghabiskan sebagian 
besar PDB-nya pada pelayanan sosial paling banyak dari negara 
lain di dunia. Warga Swedia menerima pendidikan gratis, fasilitas 
kesehatan bersubsidi, transportasi publik dan pensiun dasar, 
semuanya ditanggung pemerintah.
j. Aruba.
Rasio pajak penghasilan: 58,95% Penghasilan rata-rata 2010: 
Negara yang dikuasai Belanda ini punya tingkat pajak tertinggi di 
dunia sekaligus jadi satu-satunya negara di Amerika yang masuk 
daftar 10 besar. Pada tahun 2007, tingkat pajak Aruba sempat 
mencapai 60%. Warga yang dikenai pajak 58,95% adalah kaum 
lajang dan berpenghasilan USD 165.000. Sementara bagi yang sudah 
menikah ‘hanya’ dikenai pajak 55,85%.Pulau kecil di Kepulauan 
Karibia ini memiliki tingkat pajak tertinggi dari rata-rata 26,7%. 
Bahama, Bermuda dan Cayman Islands bahkan tidak mengenakan 
pajak penghasilan pribadi. Aruba memang dikenal memiliki 
standar hidup paling tinggi dibanding negara Kepulauan Karibia 
lainnya. Pemasukan dari pajak sudah direncanakan dialokasikan 
untuk asuransi kesehatan, pensiun dan kecelakaan premium.
D. Penafsiran Peraturan Pajak.
Masalah penafsiran peraturan perpajakan tidak dapat 
dihindari, terutama jika menghadapi permasalahan yang belum 
atau sudah ada aturan pajaknya, tetapi tidak atau kurang jelas. Lalu 
tafsiran pihak mana yang paling kuat?  Dalam hal terjadi perbedaan 
penafsiran peraturan perpajakan yang mengakibatkan sengketa 
perpajakan, maka hakim badan peradilan pajaklah yang akan 
memutuskan. Oleh karena itu seharusnya putusan-putusan badan 
peradilan pajak seharusnya dapat digunakan sebagai yurisprudensi 
di lapangan. Untuk menafsirkan peraturan perpajakan seseorang 
tidak dapat hanya memperhatikan redaksinya saja. Peraturan yang 
kredibel adalah peraturan yang tidak menimbulkan multi tafsir 
sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Berikut ini cara - 
cara penafsiran peraturan perpajakan yang disusun berdasarkan 
kekuatan hukumnya.
a. Penafsiran Otentik.
Penafsiran peraturan dengan melihat maksud si perumus 
undang - undang atau peraturan itu sendiri. Dalam hal ini peraturan 
sudah memberikan defi nisi - defi nisi yang biasanya dijelaskan 
pada pasal 1 yang berkaitan dengan pengertian-pengertian. Istilah 
- istilah tertentu yang dianggap penting sering diberikan defi nisi 
secara khusus, namun demikian dalam praktek tidak semua 
peraturan menjelaskan mengenai istilah - istilah yang digunakan 
dalam peraturan itu sendiri.Tafsiran yang ada di dalam memori 
penjelasan undang - undang seringkali masih bisa diperdebatkan 
di muka pengadilan. Demikian juga tafsiran yang dilakukan oleh 
fi skus maupun Wajib Pajak tidak mengikat bagi pihak lainnya.
b. Tafsiran Sistematis. 
Penafsiran peraturan perpajakan dengan memperhatikan 
peraturan-peraturan lain yang terkait dan masih berhubungan. 
Hukum perpajakan yang terdiri dari undang-undang sampai dengan 
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak sebenarnya merupakan satu 
kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga penafsirannya 
harus dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya. Oleh 
karena itu pemahaman seorang fi skus atau Wajib Pajak akan sangat 
ditentukan oleh penguasaannya di bidang perpajakan. Pengetahuan 
mengenai ilmu akuntansi dan ilmu hukum akan sangat membantu 
dalam melakukan penafsiran undang-undang.
c. Tafsiran Historis
Penafsiran undang-undang dengan melihat pada kronologis 
atau sejarah dibuatkan undang-undang tersebut dikaitkan dengan 
perkembangan hukum secara umum atau yang masih ada 
hubungannya. Akan lebih baik lagi kalau dalam menafsirkan secara 
historis diperoleh juga draft Rancangan Undang – Undang (RUU), 
risalah rapat para pembuat undang-undang, memori penjelasan umum 
dan pasal perpasal, jawaban pemerintah kepada Dewan Perwakilan 
Rakyat (DPR), notulen sidang komisi dan sebagainya. Dengan 
memahami dokumen-dokumen tersebut, maka akan diketahui asbabun 
nuzul dari suatu aturan perpajakan. Hukum pajak memiliki kontinuitas 
yang memiliki sejarah perkembangannya dan tidak datang sekonyong-
konyong. Oleh karena itu suatu aturan perpajakan seharusnya dapat [ 
bisa dipahami sejarah perkembangannya sampai saat ini.
d. TafsiranSosiologis
Penafsiran aturan perpajakan yang dikaitkan perkembangan dan 
dinamika yang terjadi di masyarakat. Seperti kita ketahui bersama 
bahwa masyarakat akan mengalami perkembangan yang sangat 
dinamis, sementara hukum tertulis tidak bisa berubah setiap saat. Oleh 
karena itu hakim sebagai pelaksana undang-undang perlu melakukan 
penyesuaian antara undang-undang dengan perkembangan 
masyarakat. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk lebih memberikan 
rasa keadilan bagi masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Penafsiran sosiologis diharapkan dapat membentuk perilaku tertentu 
di masyarakat. Namun demikian jangan sampai hakim badan peradilan 
pajak menafsirkan undang-undang secara subyektif sehingga justru 
menimbulkan ketidakadilan.
e. Tafsiran Gramatikal.
Merupakan cara penafsiran undang-undang yang didasarkan 
pada tata bahasa yang terdiri dari rangkaian kata yang membentuk 
kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Tafsiran ini 
lebih didasarkan pada arti dari masing-masing kata yang membentuk 
kalimat dalam undang-undang. Pandangan para ahli hukum 
atas tafsiran gramatikal ini cukup bervariasi. Sebagian ahli hukum 
mengatakan bahwa tafsiran gramatikal ini merupakan tafsiran yang 
paling utama, artinya jika kata-kata undang-undang sudah cukup jelas, 
maka hakim tidak boleh menyimpang dari kata-kata undang-undang, 
meskipun maksud dari para pembuat undang-undang tidak sama 
dengan arti kata-kata tersebut. Sebagian ahli hukum lain menyatakan 
bahwa penafsiran gramatikal memiliki kedudukan yang lemah karena 
arti kata-kata dalam undang-undang bisa berbeda antara orang yang 
satu dengan lainnya. Oleh karena itu penafsiran peraturan perpajakan 
sebaiknya dicari cara penafsiran mana yang paling tepat.
g. Tafsiran Analogis
Penafsiran atas suatu peraturan dengan cara memperluas 
cakupan peraturan tersebut ke permasalahan yang sejenis atau setara 
atau analog yang tidak ada aturannya secara spesifi k. Penafsiran cara 
ini akan cenderung bersifat ekstensif karena akan memperluas arti 
suatu peraturan. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH dalam 
bukunya Asas dan Dasar Perpajakan, cara penafsiran analog ini dalam 
hukum pajak tidak bisa diterapkan karena bila cara ini diterapkan, 
maka akan memberi suatu akibat yang berbahaya yaitu pajak akan 
diperluas hingga obyek yang semula tidak kena pajak. Akibatnya wajib 
pajak dirugikan dan menjadikan tidak adanya kepastian hukum.
h. Tafsirana Contrario
Merupakan penafsiran suatu peraturan perpajakan dengan 
mendasarkan pada kebalikan atau perlawanan pengertian suatu 
masalah yang belum diatur dengan persoalan yang diatur secara tegas 
dalam ketentuan perpajakan. Cara berpikir yang digunakan adalah 
secara terbalik. Misalnya dalam menentukan perlakuan perpajakan 
atas iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum disetujui oleh 
Menteri Keuangan. Dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 
KEP-545/PJ./2000 jo PER-15/PJ/2006 diatur mengenai perlakuan 
iuran pensiun kepada dana pensiun yang sudah disahkan oleh Menteri 
Keuangan, tetapi tidak diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran 
pensiun kepada dana pensiun yang belum disahkan Menteri Keuangan. 
Jika menggunakan penafsiran secara a contrario, maka perlakuan 
perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum atau 
tidak disahkan oleh Menteri Keuangan adalah sama dengan perlakuan 
perpajakan atas premi asuransi. Penafsiran peraturan perpajakan 
sebenarnya boleh dilakukan oleh siapapun, tetapi penafsiran tersebut 
bersifat tidak mengikat. Penafsiran yang mengikat adalah penafsiran 
otentik menurut undang-undang dan tafsiran hakim peradilan pajak 
dalam hal terjadi sengketa pajak antara wajib pajak dengan fi skus.
E. Beberapa Sektor Penerimaan Negara.
Dalam penyelenggaraan organisasi negara,  pemerintahan 
negara memiliki beberapa fungsi, antara lain ialah : (a). Melaksanakan 
penertiban (law and order), (b). Mengusahakan kesejahteraan dan 
kemakmuran rakyat, (c).Pertahanan (d).Menegakkan keadilan. 
Untuk merealisasi fungsi negara, maka negara memerlukan 
berbagai macam penerimaan yang berasal dari berbagai sektor.  
Sebagai contoh, sumber – sumber  penerimaan  negara berasal dari 
sektor pajak, denda, kekayaan alam, bea dan cukai, kontribusi, 
royalti, retribusi, iuran, sumbangan, laba dari Badan Usaha Milik 
Negara / Daerah  dan sumber-sumber lainnya yang halal. Adapun 
masing-masing pengertian penerimaan Negara, sebagai berikut :
a. Kontribusi, pungutan yang dilakukan pemerintah kepada 
sejumlah penduduk yang menggunakan fasilitas yang telah 
disediakan oleh pemerintah.
b. Bea cukai, pungutan negara yang dilakukan oleh Direktorat 
Jenderal Bea Cukai berdasarkan Undang Undang  Kepabeanan 
yang berlaku (UU No.10/1995).
c. Kepabeanan, segala sesuatu yang behubungan dengan peng-
awasan dan pemungutan Bea Masuk atas lalu lintas barang 
yang masuk atau keluar daerah pabean.
d. Retribusi, pungutan yang dilakukan secara langsung oleh 
negara sehubungan dengan penggunaan jasa yang disediakan 
oleh negara, baik berupa Jasa umum, Jasa usaha, maupun 
perizinan tertentu tanpa mendapat kontraprestasi dari negara.
e. Iuran, pungutan yang dilakukan Negara sehubungan dengan 
peng  gunaan jasa yang disediakan oleh negara  untuk kepentingan 
se kelompok orang, seperti iuran TV, air, Listrik, telpon, dan lain-
lain.
f. Sumbangan, pungutan yang dilakukan oleh Negara bagi 
golongan penduduk tertentu saja, karena prestasi itu tidak 
ditujukan kepada penduduk seluruhnya sehingga biaya-biaya 
yang dikerluarkan dari kas umum untuk prestasi pemerintah 
tertentu tidak boleh dikeluarkan dari kas umum.
g. Laba BUMN, pendapatan  negara yang didapatkan dari penghasilan 
BUMN baik , Perusahaan umum dan Perusahaan jawatan, dan 
hasilnya akan dimasukan kembali ke dalam APBN.

Perkembangan terkait dengan defi nisi pajak yang sudah 
berkembang saat ini lebih luas karena dilakukan  oleh para pakar 
di bidang hukum, ekonomi maupun administrasi. Jika dilihat kembali 
pengertian pajak yang terdapat di Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 
1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 
Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan pun 
lebih dekat pengertian pajak dari paradigma hukum. Pendapat 
Bruno Peter, bahwa konsep pajak tidak bisa hanya dilihat semata-
mata hanya sebagai metode untuk mengumpulkan penerimaan 
negara guna membiayai pemerintahan. Pajak sebagai tujuan 
demokratis, yaitu mengalokasikan beban pajak secara adil bagi seluruh 
masyarakat dan untuk menjaga stabilitas ekonomi serta mendorong 
terciptanya kesejahteraan

Lebih lanjut lagi pendapat serupa juga diungkapkan oleh 
Irianto dalam desertasinya pajak dalam perspektif politik. Pajak 
adalah Saham Politik  rakyat atas negara sehingga rakyat memiliki 
hak-hak istimewa dalam setiap politik untuk menentukan kebijakan 
negara. Menurut Irianto, saham politik sebagai bukti setoran 
modal dari rakyat kepada negara guna berdirinya sebuah negara 
sehingga menjadi bukti kepemilikan rakyat atas negara yang 
direpresentasikan dengan kepemilikan hak suara dalam penentuan 
keputusan politik. 
   Sedangkan hak-hak istimewa dalam proses politik disini adalah 
untuk mendapatkan prioritas dipilih dan memilih penyelenggara 
negara termasuk melakukan penilaian atas perencanaan, 
pelaksanaan dan pertanggungjawaban penyelengaaan Negara. 
Dengan landasan itu maka dapat dibangun suatu argumen yang 
melegitimasi bahwa pajak sebagai realitas politik menjadi kuat 
dan jelas. Pajak tidak bisa dipahami sebagai instrumen ekonomi 
pemerintah yang digunakan hanya untuk menjalankan fungsi 
budgeter (pembiayaan penyelenggaran pemerintahan). 
Pajak telah menjadi instrumen politik ketika digunakan oleh 
sebuah pemerintah saat menjalankan fungsinya sebagai regulator, 
yaitu memainkan peran untuk membatasi kepemilikan kaum kaya 
serta melindungi dan mendorong kaum yang lemah secara ekonomi 
melalui pembagian penghasilan10 . 
Adanya hubungan timbal balik antara negara dengan rakyat 
disini bersifat mutual (saling menguntungkan) sesuai dgn slogan 
demo-krasi, pemerintahan dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat. 
Sebuah keniscayaan dalam berdemokrasi dan iklim politik terbuka 
pelaksanaan pengeloaan pajak membutuhkan keterlibatan rakyat. 
Pertanyaannya sudah sejauh manakah keterlibatan rakyat 
dalam pengelolaan pajak? Partisipasi rakyat tidak bisa diabaikan 
dalam berdemokrasi, begitu pula asas-asas politik demokrasi harus 
tercermin dalam setiap proses-proses  perpajakan. 
Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengambilan 
kebijakan perpajakan, rakyat harus terlibat didalamnya. Menurut 
Irianto, rakyat merupakan pemegang mandat tertinggi dalam sistem 
politik Indonesia sehingga perlu dibuka akses bagi rakyat untuk 
mengkontrol kebijakan perpajakan. Kesetaraan antara rakyat selaku 
wajib pajak dengan pemerintah selaku pemungut pajak dirasa masih 
kurang. Karena tingkat partisipasi dan sekaligus akses masyarakat 
terhadap proses perpajakan masih rendah, hal ini  menunjukan 
bahwa masyarakat hanya sekedar menunaikan kewajibannya yang 
menandakan sekaligus menegaskan bahwa tingkat demokratisasi dalam 
bidang perpajakan masih rendah. 
Diperlukan adanya instrumen-instrumen yang mampu untuk 
menjembatani komunikasi antara negara dengan rakyat sehingga 
hak yang melekat di rakyat selaku wajin pajak dapat terpenuhi. 
Komunikasi disini diartikan adanya keterwakilan rakyat dalam 
proses pengambilan kebijakan perpajakan. Seperti hal layaknya 
pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat, karena  Dewan 
Perwakilan Rakyat  berhak menolak RUU-APBN.
Kebijakan perpajakan yang hak prerogatifnya milik 
pemerintah (seperti PP,PMK,SE) sama krusialnya dengan RAPBN 
dimana besaran tarif pajak yang diberlakukan akan menyangkut 
masyaakat selaku wajib pajak dan bahkan akan mempengaruhi 
perekonomian maupun dunia usaha. Bahkan Ikatan Konsultan 
Pajak, saat ini tidak bisa dikatakan sebagai keterwakilan rakyat tapi 
bisa dikatakan sebagai keterwakilan para konsultan pajak. Seperti 
layaknya HKTI yang memiliki peran besar dalam melindungi dan 
membela masyarakat petani Indonesia. Untuk itu perlu diciptakan 
instrument-instrumen formal yang dapat dijadikan jembatan antara 
negara dan masyarakat dalam perumusan kebijakan perpajakan. 
A. Posisi Pajak Dalam Pembangunan.
Pajak semakin penting dalam pembangunan nasional. Konklusi 
ini tampak pada  keputusan pemerintah untuk menaikkan target 
penerimaan pajak setiap tahun.Seperti diketahui, dalam RUU-
APBN 2012, penerimaan pajak direncanakan mencapai Rp1.019,3 
triliun. Jumlah ini hampir 79 (tujuh puluh Sembilan)  % dari total 
pendapatan negara atau naik Rp140,6 triliun atau sekitar 16 (enam 
belas) % dari target APBN-P 2011. Dari total target penerimaan 
pajak tahun 2012 sebagai berikut :
      >PPh    =Rp 512,8 triliun, 
      >PPN dan PPnBM) =Rp 350,3 triliun, 
      >PBB                      =Rp   35,6 triliun, 
      >Cukai              =Rp   72,4 triliun, 
      >perpajakan lainnya  =Rp     5,6 triliun.
      >bea masuk   =Rp   23,5 triliun 
      >bea keluar   =Rp   18,9 triliun.
Muncul tanggapan sejumlah kalangan yang menyoal rencana 
pemerintah menaikkan target penerimaan pajak. Tanggapan itu 
pada umumnya mengatakan bahwa target tersebut tidak realistis 
bahkan dianggap mencederai rasa keadilan rakyat yang selama 
ini taat membayar pajak. Alasannya, RUU-APBN 2012 itu minim 
stimulus untuk membuka kesempatan rakyat meningkatkan 
pendapatan dan kesejahteraan.Padahal, target kenaikan pajak yang 
ideal harus dibarengi dengan upaya serius negara menaikkan taraf 
hidup masyarakat. Dalam kaitan ini, pengamat ekonomi Universitas 
Indonesia Jakarta, Aris Yunanto secara tegas mengatakan bahwa 
rencana pemerintah yang menaikkan target pajak namun minim 
stimulus, pertumbuhan hanya akan menekan wajib pajak lama yang 
potensial atau intensifi kasi tanpa ekstensifi kasi. Aris Yunanto, lalu 
menunjuk RUU-APBN 2012 yang dia sebut tidak atraktif. 
Apalagi, kata Aris Yunanto, penerimaan pajak selama ini 
terkesan hanya untuk kepentingan pemerintah dan mengabaikan 
konsekuensi memberikan pelayanan publik yang lebih transparan dan 
akuntabel.11 Pendapat tersebut di atas ada benarnya. Tengoklah 
keputusan pemerintah untuk menaikkan gaji pegawai pada tahun 
2012 sebesar rata-rata 10 (sepuluh) persen. Konsekuensinya, belanja 
pegawai dalam RUU-APBN 2012 ini meningkat Rp 32,8 (tiga puluh 
dua koma delapan) triliun dari alokasi belanja pegawai dalam 


RUU-APBN-P 2011 yang besarnya Rp182,9 (seratus delapan puluh 
dua koma sembilan) triliun. Menurut pemerintah, alokasi belanja 
pegawai yang ditetapkan sebesar Rp 215,72 triliun di dalam RUU-
APBN 2012 tidak dapat dihindari, sebab merupakan kelanjutan 
dari rencana pemerintah untuk meneruskan program reformasi 
birokrasi di Kementerian/Lembaga yang masih akan berjalan 
selama tahun 2011-2012. 
Pajak ,sebuah instrumen yang menandai relasi negara dengan 
warga negara dan segenap subyek hukum yang dikenai kewajiban 
pajak menurut undang-undang. Sebagai instrumen relasional, di 
sana ada soal hak, kewajiban, dan keadilan. Kebijakan perpajakan yang 
lebih condong kepada pendulum kewajiban tentu akan dirasakan 
tidak adil oleh wajib pajak, jika aspek pemenuhan hak wajib pajak 
atau rakyat yang harus dilakukan oleh negara terabaikan.
B. Sisi Keadilan Pajak.
Dalam kondisi inilah pajak lalu dipertanyakan sisi keadilannya. 
Sementara peningkatan kesejahteraan   tertatih - tatih, target 
penerimaan pajak justru melaju setiap tahunnya. Rasa keadilan 
pun makin terusik tatkala rakyat menyaksikan belanja pegawai 
yang terus melaju dengan menggunakan sandaran pada reformasi 
birokrasi.Akibat eformasi birokrasi,bahwa reformasi birokasi telah 
menguras anggaran yang tidak sedikit. Namun, manfaatnya bagi 
rakyat masih dipertanyakan.
Korupsi yang melilit tubuh birokrasi pemerintah bahkan belum 
dapat diatasi dengan reformasi birokrasi. Maka,wajar jika muncul 
tudingan bahwa pajak hanya melayani kepentingan pemerintah. 
Penting diingatkan, bahwa semakin tinggi target penerimaan 
pajak, maka semakin gencar pula aparat pajak (pemerintah) 
dalam menagih pajak kepada masyarakat (warga). Hal ini tampak 
dikelurahan- kelurahan yang secara terang-terangan mengatakan 
tidak akan melayani warga yang belum membayar pajak, terutama 
Pajak Bumi dan Bangunan. Problematika selanjutnya adalah apakah 
membayar pajak itu suatu kewajiban?. Benar bahwa membayar 
pajak adalah merupakan suatu kewajiban. Tetapi, pada saat yang 
sama, pemerintah juga berkewajiban membantu warga dalam 
meningkatkan kesejahteraan mereka. Maka, peningkatan target 
penerimaan pajak mutlak harus diikuti peningkatan kesejahteraan 
rakyat. Agar supaya rakyat dapat merasakan langsung manfaat 
pajak yang telah dibayar olehnya. 
A. Alasan Pembenar Negara Memungut Pajak.
Pada dasarnya setiap masyarakat yang  mendirikan organisasi 
(termasuk organisasi yang dinamakan negara) bukan merupakan 
tujuan akhir; tetapi merupakan tujuan awal untuk mewujudkan 
tujuan selanjutnya.Demikian pula, negara Indonesia yang didirikan 
pada 17 Agustus 1945 bukan juga merupakan tujuan akhir.Karena 
Indonesia sebagai negara, memiliki tujuan yang telah ditetapkan 
dalam alenia ke IV Pembukaan Undang Undang Dasar Republik 
Indonesia 1945 yang harus diwujudkan. Tujuan negara Indonesia 
meliputi: 


1. melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,
2. mencerdaskan kehidupan bangsa,
3.  memajukan kesejahteraan umum, dan 
4.  ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia.
Guna mewujudkan tujuan negara, pada setiap pemerintahan 
negara memerlukan berbagai macam unsur pendudukung, 
meliputi :Struktur organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM) , 
Peraturan perundang-undangan, Program-pogram  kerja, maupun 
Sumber-sumber penerimaan negara. Contoh, sumber-sumber 
menerimaan negara di Indonesia :pajak, Penerimaan Negara Bukan 
Pajak (PNBP), dan Hibah. Meskipun sektor pajak zaman dahulu, 
masa sekarang maupun masa yang akan datang merupakan 
salah satu sumber pendapatan negara,  tetapi dalam dalam 
perkembangannya diperlukan alasan mengapa negara memiliki 
kewenangan memungut pajak dari warganya?. Adapun teori-teori 
pembenar negara memungut pajak, sebagai berikut :
1. Teori asuransi.
Negara mempunyai tugas melindungi orang dan segala 
ke pentingan atau keselamata atau keamanan jiwa dan harta 
bendanya sebagai mana pada perjanjian asuransi  untuk keperluan 
perlindungan diperlukan pembayaran premi. Dalam hal ini pajak 
diibaratkan pembayaran premi kepada negara. Akan tetapi dalam 
perkembangan saat ini Negara tidak bisa diibartakan dengan sektor 
asuransi. Karena, kewajiban Negara memberikan perlindungan 
kepada warga negaranya tidak didasarkan atas pembayaran pajak. 
Tetapi didasarkan atas tugas kewajiban Negara melindingan semua 
warga negaranya yang membayar pajak atau yang tidak membayar 
pajak karena belum memenuhi persyaratan sebagai wajib pajak yang 
diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Baik 
warga Negara yang berada di dalam negeri maupun yang berada 
di Negara lain. Sedang lembaga asuransi tugas kewajibannya hanya 
terbatas memberi perlindungan khusus bagi anggota masyarakat 
yang terdaftar sebagai nasabahnya dan yang telah memenuhi 
kewajiban membayar premi yang telah disepakati.

2. Teori bhakti.
Teori ini berdasar atas paham “ organische Staatsleer” sehingga 
diajarkanlah olehnya bahwa justru karena sifat negara inilah maka 
timbul hak mutlak untuk memungut pajak.Semenjak berabad-
abad hak ini telah diakui dan orang selalu menginsafi nya sebagai 
kewajiban asli untuk membuktikan tanda bhaktinya terhadap 
negara dalam bentuk pembayaran pajak. Sedang diabad yang 
“melahirkan” Negara modern sama dengan Negara hukum. Maka 
Negara  modern (hukum) dalam membuat kebijakan pemungutan 
pajak tentu ada keharusan didasarkan atas peraturan perundang-
undangan. Seperti halnya di Indonesia yang merupakan Negara 
modern sekaligus sebagai Negara hukum, kebijakan pemungutan 
pajak didasarkan pada Pasal 23 A Undang Undang Dasar Republik 
Indonesia 1945 : “Segala pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa 
untuk keperluan Negara berdasar peraturan perundang-undangan”. Hal 
tersebut menunjukan bahwa siapapun (termasuk Negara) tidak 
berhak dan berwenang memungut pajak kecuali sudah dibuatkan 
dan diberlakukan peraturan perundang-undangnya.
2. Teori kepentingan.
Pada awalnya teori ini hanya memperhatikan pembagian 
beban pajak harus dipungut dari penduduk. Pembagian beban 
terkait dengan kepentingan masing-masing orang, dan kepentingan 
satu dengan lainnya bisa berbeda.Berdasarkan paham organische 
staatsleer karena sifat yang dimiliki oleh negara, maka timbul hak 
mutlak memungut pajak yang dimiliki negara.Pajak yang dipungut 
oleh Negara akan dikelola untuk tujuan kepentingan umum. 
3. Teori gaya beli.
Menurut teori ini, lembaga penyelenggara kepentingan 
masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan  pemungutan 
pajak, bukan untuk kepentingan individu maupun negara tetapi 
untuk kepentingan keduannya
4. Teori gaya pikul.
Teori ini menjelaskan bahwa keadilan pemungutan pajak terletak 
30  Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
pada jasa-jasa yang diberikan negara kepada warganya berupa 
perlindungan jiwa dan harta bendanya.Untuk tugas itu diperlukan 
biaya maka selayaknya masyarakat yang mendapat perlindungan 
negara membayar pajak.
6. Berdasarkan hukum. 
Dalam Undang Undang Dasar  RI 1945, bahwa pengenaan 
dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan 
negara hanya boleh dilakukan apabila berdasarkan undang- undang 
(Pasal 23 ayat 2 sudah diamandemen menjadi Pasal 23A UUD RI 1945). 
Hal itu mengandung makna bahwa siapapun (termasuk Negara) 
tidak memiliki hak memungut pajak apabila tidak dibuatkan lebih 
dahulu undang-undang sebagai landasan hukumnya. Keberadaan 
hukum pajak di setiap Negara harus dapat memberi jaminan 
hukum untuk menyatakan ataumewujudkan keadilan yang tegas 
baik untuk Negara sebagai pihak yang memungut pajak maupun 
untuk masyarakat sebagai pembayar pajak. 
B. Defi nisi Pajak Dan Hukum Pajak.
1. Defi nisi Pajak.
a. Pajak, iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari 
sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-
undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapatkan jasa 
timbal (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk dan yang 
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publieke-
uitgaven) dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau 
pendorong untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang 
keuangan.12 Dalam perkembangannya di sektor perpajakan 
dewasa ini ternyata tidak melulu dalam pembayaran pajak 
hanya terbatas beralihnya kekayaan sector partikelir ke sektor 
pemerintah, karena dalam UU Pajak Penghasilan di Indonesia 
yang menjadi subyek pajak bukan terbatas sektor swasta tetapi 
12 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar HukumPajak Dan PajakPendapatan 1944, 
Eresco, Jakarta-Bandung, 1979,h.23

ada juga subyek pajak yang berasal dari sektor non-swasta ( 
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik 
Daerah (BUMD).  
b. Pajak menurut Andriani, merupakan iuran kepada negara (yang 
dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang membayarnya 
menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi 
kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya untuk 
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung 
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c. Pajak menurut defi nsi Prancis, bahwa pajak merupakan 
bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan 
oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk 
menutup belanja pemerintah
d. Pajak menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919), 
bahwa pajak bantuan uang secara insidental atau secara periodik 
(dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan 
yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, 
dimana terjadi suatu tatbestand (sasaran pemajakan) yang karena 
undang-undang telah menimbulkan hutang pajak.
e. Pajak menurut Edwin, bahwa uang pajak digunakan untuk 
produksi barang dan jasa, jadi benefi t diberikan kepada 
masyarakat hanya tidak mudah ditunjukkannya apalagi secara 
perorangan. 
f. Pajak menurut Feldman, bahwa pajak merupakan prestasi 
yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa 
(menurut norma-norma  yang ditetapkan secara umum) tanpa 
adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk 
menutupi pengeluaran umum. 
g. Pajak menurut Smeets, bahwa pajak adalah prestasi kepada 
pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum dan 
yang dapat dipaksakan tanpa ada kontraprestasi yang dapat 
ditunjukkan.
h. Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock 
Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor 
swasta ke sektor pemerintah bukan akibat pelanggaran hukum, 
namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang 
ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung 
dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-
tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
i. Pajak menurut Soeparman, bahwa pajak iuran wajib berupa 
uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan 
norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-
barang  dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan 
umum. 
j. Menurut Rohmat Soemitro, pajak merupakan iuran rakyat 
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat 
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) 
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk 
membayar pengeluaran umum. Defi nisi tersebut kemudian 
dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah 
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk 
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk 
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai 
public investment.
k. Pajak, adalah pungutan yang dilakukan oleh Negara, untuk 
kepentingan pembiayaan Negara, berdasarkan undang-undang, 
pelaksanaannya dapat dipaksakan, dan kepada pembayar pajak 
tidak mendapat jasa balik secara langsung.
l. Pajak, merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah 
terhadap wajib pajak tertentu berdasarkan undang-undang 
yang ada tanpa harus memberikan imbalan langsung.
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam 
kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan 
pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara 
untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran 
pembangunan.Di Negara hukum, kebijakan pemungutan pajak 
harus dibuatkan landasan hukum, apabila  tidak dibuatkan landasan 
hukumnya maka pemungutan yang dilakukan oleh Negara bukan 
masuk katagori pemungutan pajak tetapi merupakan pungutan 
liar (pungli). Keberadaan pajak diakibatkan karena fungsi pajak 
yang dibutuhkan oleh setiap Negara (fungsi kas Negara dan fungsi 
mengatur), karena Negara harus memberikan perlindungan dan 
pelayanan bagi rakyatnya, sehingga Negara menciptakan pajak untuk 
mengumpulkan dana, supaya dapat melindungi dan melayani rakyatnya. 
Bahwa posisi pajak merupakan pilar (penopang) Negara.Sehingga 
Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Papua memiliki potensi yang 
besar sebagai penopang ekonomi Negara melalui pemungutan 
pajak.
Filosofi  pajak klasik mengatakan bahwa « Taxes are the sinews 
of the State”. Filosofi  kontemporer  “ Taxes are the blood of the state “, 
untuk membangun infrastruktur umum itu berasal dari pemerintah 
bukan dari rakyat. 
Manfaat pajak adalah untuk membiayai pembangunan. Seperti 
:Pajak Bumi dan Bangunan, kita wajib membayar Pajak Bumi dan 
Bangunan karena kita menempati wilayah Negara. Membiayai 
belanja Modal : yaitu belanja pegawai, barang, membangun sarana 
publik.  Pajak yang didapat oleh pemerintah pusat juga di transfer 
ke daerah untuk kelangsungan pergerakan pembangunan di daerah 
baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
2. Defi nisi Hukum Pajak. 
Hukum Pajak, adalah kumpulan peraturan-peraturan yang 
dipergunakan untuk mengatur hubungan hukum antara Negara 
(Fiscus) sebagai pemungut pajak dan masyarakat sebagai pembayar 
pajak. Hal itu, menunjukan bahwa di bidang perpajakan akan  
berhadapan dua subyek hukum, ialah Negara dengan masyarakat 
sebagai wajib pajak . Karena keduanya berstatus sebagai subyek 
hukum, maka secara yuridis memiliki hak dan kewajiban yang 
harus diadopsi dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. 
Apabila berkeinginan untuk mengetahui tujuan hukum pajak, 
maka sebelumnya perlu diketahui tujuan hukum secara umum 
sebagai landasan bagi hukum pajak. Secara umum, tujuan hukum 
telah banyak dikemukakan oleh para ahli, seperti Aristototeles dalam 
bukunya Rhetorica, yang menganggap bahwa hukum bertujuan 
untuk menciptakan keadilan. Selain untuk mencapai keadilan, 

menurut para ahli lainnya, hukum bertujuan untuk menciptakan 
ketertiban, kepastian hingga untuk mencapai kebahagian
Sedangkan tujuan hukum pajak secara umum, adalah 
menciptakan keadilan di dalam pemungutan pajak yang dilakukan 
oleh penguasa (Negara) kepada masyarakat sebagai wajib pajak. 
Bahwa nilai adil di setiap Negara dalam pemungutan pajak berbeda, 
di Jepang pegawai negeri dibebaskan dari pajak pendapatan karena di 
pandang adil, sebab pegawai negeri telah langsung menyumbangkan 
tenaga dan pikiran kepada pemerintah. Di dalam melakukan 
pemungutan pajak, keadilan merupakan hal yang  sangat sulit  
dalam praktek pelaksanaannya, tetapi dengan adanya azas - azas  
yang menjiwai setiap hukum pajak, diharapkan pemungutan pajak 
dapat dilakukan secara baik dan tepat (proposional). Adil menurut 
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :
(1) sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak; 
(2) berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran; dan 
(3) sepatutnya, tidak sewenang-wenang.
Dan menurut Ahmad Azhar Basjir, MA, konsep adil, adalah 
sangat simple ialah : menempatkan sesuatu pada tempatnya. 
Sedangkan keadilan adalah sifat (perbuatan atau perlakuan) yang 
adil. Jadi keadilan pajak adalah sifat (perbuatan atau perlakuan) 
yang tidak sewenang-wenang atau tidak berat sebelah atas sistem 
perpajakan yang berlaku. Lalu, bagaimana dengan keadilan 
membayar pajak? Ketika seseorang tidak bayar pajak padahal 
menikmati fasilitas umum yang dananya dari pajak, tentu menjadi 
tidak adil.  Orang yang tidak bayar pajak pastinya akan melukai 
rasa keadilan. Sehingga aspek keadilan pajak tentu menjadi 
pekerjaan rumah pemerintah untuk memberikan pemahaman dan 
menanamkan dalam hati sanubari setiap orang. 
Kesadaran dan kepedulian memahami aspek keadilan pajak 
menjadi penting untuk terus disosialisasikan ke berbagai lapisan 
masyarakat. Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan kebijakan 
pemungutan pajak yang didasarkan atas peraturan perundang-
undangan. Karena seseorang berkewajiban membayar pajak 
apabila telah memenuhi isi peraturan perundang-undangan yang 
berlaku. Semisal, seseorang memiliki kewajiban membayar pajak 
penghasilan apabila ia memiliki penghasilan. Demikian sebaliknya, 
jika tidak memilki penghasilan maka secara hukum  ia tidak memiliki 
kewajiban membayar pajak penghasilan. Hal ini merupakan juga 
suatu bentuk keadilan dalam pemungutan pajak.  
Keadilan pajak menjadi harga mahal yang harus diperjuangkan 
menuju keadilan dan kesejahteraan bersama. Seperti diketahui, 
undang-undang pajak di mana pun pasti memiliki aspek keadilan, 
baik dari sisi materi maupun cara penerapannya. Aspek penegakan 
hukum merupakan salah satu cara dalam menerapkan undang-
undang guna mewujudkan keadilan pajak. Ketika keadilan pajak 
tidak mampu dilakukan melalui pendekatan persuasif, tentunya 
aspek penegakan hukum melalui pemeriksaan maupun penyidikan 
adalah cara tepat mewujudkan keadilan pajak. Selain soal keadilan 
pajak, aplikasi moral mejadi bagian penting yang harus dilakukan 
oleh setiap pemangku kepentingan (stakeholders) pajak. Aplikasi 
moral itu sendiri pada hakekatnya adalah aplikasi melakukan 
kewajiban bayar pajak dengan cara benar. 
Sedangkan aplikasi moral bagi pejabat dan pengguna pajak 
adalah aplikasi dalam hal mengelola dan/atau menggunakan 
pajak agar supaya sesuai kebutuhannya. Transparan dan akuntabel 
adalah merupakan bagian penting yang tidak bisa diabaikan begitu 
saja. Dalam konteks moral,  bahwa awalnya Tuhan Yang Maha Esa 
sudah memberikan moral baik bagi setiap orang. Artinya, setiap 
orang pasti punya kerinduan untuk menolong sesamanya.Namun, 
ketika unsur kepentingan dan keuntungan pribadi mendominasi 
perasaan, mulailah moral menjadi kendur atau luntur. Aplikasi 
moral yang awalnya baik, menjadi melemah saat pikiran 
kepentingan dan keuntungan pribadi lebih mendominasi.
Aplikasi moral dalam beberapa hal, seperti memenuhi 
kesadaran, kepedulian, pengelolaan dan penggunaan pajak 
nampaknya perlu dibangkitkan.Terlebih setelah terjadi beberapa 
kasus pajak yang mencoreng citra pemerintah, patut kiranya 
aplikasi moral diberikan suntikan kekuatan untuk menjalaninya. 

Seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) pajak hendaknya 
bisa mewujudkan aplikasi moral dalam mewujudkan keadilan dan 
kesejahteraan bersama.
Mengaplikasikan moral adalah modal dasar yang harus 
dipegang teguh. Tanpa itu, berbagai program pemerintah yang 
telah dicanangkan, tidak akan ada artinya. Tanpa aplikasi moral 
pajak, semua akan sia-sia. Aplikasi moral harus menjadi lawan 
dari kecenderungan berpikir dan bertindak sebatas verbal belaka. 
Aplikasi moral harus memberikan warna cerah dibandingkan 
warna hari-hari sebelumnya.Tekad kuat memberikan warna 
cerah yang diinginkan semua pihak, wajib untuk diciptakan dan 
dijaga keberlanjutannya. Warna cerah yang dicerminkan seluruh 
pemangku kepentingan kiranya akan memberikan nadi kehidupan 
reformasi pajak menjadi lebih lancar berjalan. Dengan kesadaran 
melakukan aplikasi moral perpajakan secara baik, diharapkan 
tidak lagi terjadi kerumunan masyarakat mendapatkan sedikit 
uang untuk menambah belanja.
  Dalam abad ke-18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya 
An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (terkenal 
dengan nama Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai azas 
pemungutan pajak yang dinamainya “The Four Maximx” uraiannya 
sebagai berikut :
1. Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing 
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu 
seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing - 
masing, di bawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/ 
asas kepentingan). Dalam asas «equality» ini tidak diperbolehkan 
suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib 
pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan 
pajak yang sama pula. 
2. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) 
dan tidak mengenal kompromis (not-arbitary). Dalam asas 
«certainty» ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah 
mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan ketentuan mengenai 
waktu pembayarannya.

3. «Every taxt ought to be levied at the time, or ini the manner, in which 
it is most likely to be con-venient for the contributor to pay it.» Teknik 
pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut 
«convenience of payment», menetapkan bahwa pajak hendaknya 
dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak , yaitu 
saat sedekat-dekatnya dengan detik atau saat diterimanya 
penghasilan yang bersangkutan.
4. «Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep 
out of the pockets of the people as little as possible over and above 
what it brings into the public treasury of the State». Asas efi siensi ini 
menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan 
atau dilakukan sehemat - hematnya, sehinggadapat dihindari 
terjadinya biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya. 
Perlu diketahui bahwa asas yuridis , asas ekonomis, dan asas 
fi nansial telah dimiliki oleh “The Four Maxims” diatas, seperti asas 
keadilan dalam maxim pertama (1), asas yuridis dalam maxim kedua 
(2), dan asas ekonomis dan fi nansial dianut di dalam maxim ketiga 
(3) dan Keempat (4). Hofstra, dalam mengemukakan pendapat 
mengenai : “The Four Maxims” dari Adam Smith ini mengatakan 
bahwa dalam “formulasi klasik dari teori tentang pajak” itu terlihat 
adanya kepincangan dalam tubuh asas-asas tersebut, disamping 
kenyataan, bahwa cara perumusan Maxim pertama dirasakannya 
kurang tandas dan tuntas (exact). Misalnya :Oleh Adam Smith 
diwariskan kepada generasi penerusnya suatu persoalan penting 
, yaitu : Apa sajakah yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk 
mengukur “equality” tersebut?. 
Namun demikian, ungkapan (Adam Smith) itu merupakan 
sesuatu yang merumuskan suatu asas pemungutan pajak yang 
dalam prinsip diikuti oleh para sarjana pengikutnya. Menurut 
John Stuart Mill, sekitar tahun 1830 ditemukan formulasi yang 
lebih konkret, yaitu bahwa dalam pajak atas pendapatan bukanlah 
pendapatan itu sendiri yang dipakai sebagai ukuran pengenaan 
pajak pendapatan, yang dikenal dengan sebutan “gaya pikul” atau  
ability to pay taxes. 

C. Fungsi Pajak.
1. Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk 
membiayai pengeluaran - pengeluaran negara. Untuk menjalankan 
tugas - tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, 
negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari 
penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan 
rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, 
dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang 
dikeluarkan dari tabungan pemerintah yakni penerimaan dalam 
negeri dikurangi pengeluaran rutin.Tabungan pemerintah ini dari 
tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan 
pebangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan 
dari sektor pajak.
2. Fungsi Mengatur (regulerend).
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui 
kebijaksanaan  pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa diguna-
kan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contoh dalam rangka 
menggiring penanaman modal, baik Dalan Negeri  maupun Luar 
Negeri diberikan berbagai macam fasilitas berupa keringanan pajak. 
Dalam rangka melindungi produksi Dalam Negeri, pemerintah 
menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
3. Fungsi Stabilitas.
Adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan 
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga 
infl asi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan 
jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, 
penggunaan pajak yang efektif dan efesien.
4. Fungsi Redistribusi Pendapatan.
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan 
untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk 
membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan 
kerja, yang akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan 
masyarakat.
D. Syarat Pemungutan Pajak.
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. 
Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. 
Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan 
karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai 
masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan 
yaitu:
1. Pemungutan pajak harus adil.
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan 
untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil 
dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya, 
seperti:
a.   Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak; 
b.  Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi 
syarat sebagai wajib pajak;
c. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai 
dengan berat ringannya pelanggaran.
2. Pemungutan pajak harus undang-undang.
Di Indoneseia pemunutan pajak  sesuai dengan Pasal 23A UUD 
1945 yang berbunyi: «Pajak dan pungutan lain  yang bersifat memaksa 
untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang», ada beberapa 
hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Undang-undang  
tentang pajak, yaitu:
a. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan 
undang-undang tersebut harus dijamin kelancarannya. 
b. Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan 
secara umum.
c. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib 
pajak .

3. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian.
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar 
tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, 
perdagangan, maupun jasa.Pemungutan pajak jangan sampai 
merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya 
usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan 
menengah.
4. Pemungutan pajak harus efi sien.
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan 
pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima 
lebih rendah dari pada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh 
karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah 
dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak  tidak akan mengalami 
kesulitan dalam pembayaran pajak, baik dari segi penghitungan 
maupun waktu.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana .
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan 
keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan 
memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang 
harus dibiayai sehingga akan memberikan dampak positif bagi 
wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran 
pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang 
semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
1. Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 
(dua) macam tarif (di Indonesia Bea Meterai dua macam nilai 
Rp 3.000; dan Rp 6.000;). 
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai yang beragam disederhanakan 
menjadi hanya dua tarif ( di Indonesia  0% dan 10%).
3. Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk 
perseorangan disederhanakan menjadi Pajak Penghasilan (PPh) 
yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi). 
E. Asas Pemungutan Pajak.
Menurut  para ahli, untuk mencapai tujuan dari pemungutan 
pajak, ialah dengan mengemukakan tentang asas pemungutan 
pajak, antara lain=
1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan 
ajaran yang terkenal «The Four Maxims», asas pemungutan pajak 
adalah sebagai berikut =
a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan/ atau 
keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus 
sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara 
tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. 
b. Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya 
pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan 
sampai terjadi adanya biaya pemungutan pajak lebih besar dari 
hasil pajak. 
2. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak sebagai berikut =
a. Asas daya pikul, besar kecilnya pajak yang dipungut harus 
berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin 
tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan. 
b. Asas manfaat, pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan 
untuk kegiatan - kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan 
umum.
c. Asas kesejahteraan, pajak yang dipungut oleh negara digunakan 
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
d.  Asas kesamaan, dalam kondisi yang sama antara wajib pajak 
satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah 
yang sama (diperlakukan sama).
e.  Asas beban yang sekecil-kecilnya, pemungutan pajak diusahakan 
sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan 
nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan wajib pajak.
3. Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak, sebagai berikut: 
a. Asas politik fi nalsial, pajak yang dipungut oleh negara jumlahnya 
memadai sehingga dapat untuk membiayai atau mendorong  
kegiatan negara.
b. Asas ekonomis: penentuan obyek pajak harus tepat. Misal: pajak 
pendapatan, pajak barang-barang mewah, dan sebagainya.
c. Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa 
diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
d.  Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan 
(kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan 
(bagaimana cara membayar) dan besar biaya pajak.
e. Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan undang 
- undang.
f. Asas pemungutan pajak menurut domisili, sumber, dan kebangsaan.
4. Pendapat lain.
Selain pendapat ketiga ahli di atas, ada juga pendapat bahwa 
asas pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga asas, 
yaitu :
a. Asas domisili, adalah cara pemungutan pajak yang dilakukan 
oleh negara berdasarkan tempat tinggal wajib pajak. Menurut 
asas ini, wajib pajak  yang bertempat tinggal di Indonesia akan 
dikenakan pajak atas segala penghasilan baik yang didapat di 
Indonesia maupun didapat dari luar negeri. 
b. Asas sumber, adalah cara pemungutan pajak yang dilakukan 
oleh negara berdasarkan sumber pendapatan tanpa melihat 
tempat tinggal. wajib pajak menurut asas ini adalah siapapun 
yang memperoleh penghasilan di Indonesia akan dikenakan 
pajak sekalipun tempat tinggalnya di luar negeri. Contoh: 
Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan 
sektor apapun yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak 
juga oleh pemerintah Indonesia. 
c. Asas kebangsaan, adalah pemungutan pajak yang dilakukan 
oleh negara berdasarkan atas hubungan kebangsaan wajib pajak. 
Contoh: setiap warga negara asing yang bertempat tinggal di 
Indonesia harus membayar pajak kepada negara asalnya. 
F. Syarat-Syarat Pembuatan Hukum Pajak.
a. Syarat yuridis, menyatakan bahwa dalam pemungutan pajak 
harus dijamin adanya kepastian hukum (semisal: kepastian 
subyek pajak, obyek pajak maupun pelanggaran-pelanggaran 
yang terjadi, dan sebagainya). 
b. Syarat keadilan, dalam arti bahwa pemungutan pajak harus 
bersifat umum, merata dan menurut kekuatan.
c. Syarat ekonomis, bahwa secara ekonomis dapat diterima dalam 
arti pemungutan pajak tidak akan merusak sumber - sumber 
kemakmuran masyarakat. 
d. Syarat fi nansiil, bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh 
lebih banyak jumlahnya dibanding dengan jumlah penerimaan 
pajak.

A. Peristilahan Dalam Hukum Pajak.
1. Dalam Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) disebutkan pula 
tentang Wajib Pajak. Yang dimaksud Wajib Pajak, adalah orang 
pribadi atau badan yang tugasnya  meliputi pembayar pajak, 
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak 
dan kewajiban perpajakan sesuai dengan perturan perundang-
undangan perpajakan  ( UU KUP, Pasal 1 ayat 2). Adapun 
yang dimaksud Badan, adalah sekumpulan orang dan/atau 
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha 
maupun yang tidak melakukan usaha meliputi: perseroan 
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha 

milik Negara (BUMN)  atau badan usaha milik daerah (BUMD)  
dengan nama dan dalam bentuk apapun, fi rma, kongsi, koperasi, 
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,organisasi 
massa,organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga 
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif 
dan bentuk usaha tetap ( UU KUP, Pasal 1 ayat 3). 
2. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk 
apapun yang dalam kegiatan usahanya atau pekerjaannya 
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, 
melakukan usaha perdagangan memanfaatkan barang tidak 
berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa atau 
memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean ( UU KUP, Pasal 1 
ayat 4).
3. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan 
penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang 
dikenai pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan 
Nilai 1984 dan perubahannya (Pasal 1 ayat 5). 
Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif 
dan obyektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang 
- undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor 
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat 
tinggal atau tempat  kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberi 
Nomor Pokok Wajib Pajak / NPWP (UU KUP, Pasal 2 ayat 1).
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak 
berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai dan 
perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada Kantor Direktorat 
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau 
tempat kedudukan pengusaha, dan tempat usaha dilakukan untuk 
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak ( UU KUP, Pasal 2 
ayat 2). Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib 
Pajak (NPWP) dan  atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak 
secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak 
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada  
UU KUP, Pasal 2 ayat (1) dan / atau ayat (2).

B. Surat Pemberitahuan Pajak.
Setiap wajib pajak, wajib mengisi Surat Pemberitahuan 
(SPT) dengan benar, lengkap dan jelas, dengan bahasa Indonesia 
dan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang 
Rupiah, serta menanda tangani selanjutnya  menyampaikannya 
ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar 
atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur 
Jenderal Pajak ( UU KUP, Pasal 3 ayat 1). Untuk keperluan 
menyampaikan Surat Pemberitahuan, wajib pajak mengambil 
sendiri Surat pemberitahuan (SPT)  di tempat yang ditetapkan oleh 
Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata 
cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan 
Menteri Keuangan. Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan 
adalah :
(a). Surat Pemberitahuan Masa Pajak, paling lama 20 hari setelah 
akhir Masa Pajak;
(b). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak 
orang pribadi, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir  tahun 
pajak, atau
     (c) Surat Pemberitahuan  Pajak Penghasilan wajib pajak badan, 
paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak (UU 
KUP. Pasal 3 ayat 3).
Wajib Pajak
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive