A. Sejarah Pajak Sebelum Masehi.
Percayakah Anda bahwa sejarah pajak sebagai momok
semua orang sudah dimulai sejak Zaman Fir’aun? Tentu saja ini
berarti sejarah pajak juga berangkat dari masa yang sama. Sejarah
umat manusia, sangat kental dengan masalah perpajakan. Konon
kabarnya sejarah pajak tercipta karena kebutuhan manusia untuk
hidup berkelompok karena ketergantungan satu sama lain. Cara
hidup seperti ini menciptakan negara dan karenanya dibutuhkan
sumber-sumber untuk membiayai pengeluaran bersama terutama
pada waktu perang. Sebab, waktu itu mereka memang senang
sekali berperang. Sedang sejarah perpajakan dari berbagai masa
kemasa, sebagai berikut :
SEJARAH PERPAJAKAN
a. Mesir
Sepanjang yang diketahui oleh manusia modern, sejarah pajak
dimulai dari Mesir. Selama beberapa periode pemerintahan Fir’aun,
pemungut pajak dikenal dengan nama Scribes. Selama periode
Scribe mengenakan pajak atas minyak goreng. Untuk memastikan
bahwa warga masyarakat tidak berusaha menghindari pajak
minyak goreng, Scribe akan melakukan “audit” terhadap rumah
tangga untuk memastikan jumlah minyak goreng yang dikonsumsi
dan pajak tidak dikenakan terhadap minyak goreng yan g bekas
pakai. Jangan berharap bahwa proses audit yang dilakukan sama
seperti yang kita kenal sekarang. Pastinya hanya antropolog dan
sejarawan yang tahu situasi pemungutan pajak pada waktu itu.
b. Yunani
Pada masa-masa perang bangsa Athena dikenai pajak Eisphora
yang digunakan untuk membiayai perang. Tak ada seorangpun
yang lolos alias memperoleh fasilitas pembebasan dari pajak ini.
Warga bisa meminta pengembalian pajak (restitusi) pada saat
perang usai yang dananya dicari fi skus dari sumber tambahan lain.
Tidak ada informasi resmi yang menyebutkan apakah restitusi juga
berlaku jika perang diakhiri dengan kekalahan bangsa Athena
sendiri. Selain itu bangsa Athena juga dikenai Pajak Suara atau toll
tax setiap bulan yang dikenal dengan nama metoikion. Pajak ini wajib
dikenakan terhadap wajib pajak luar negeri, yaitu mereka yang ibu
dan bapaknya bukan orang Athena, besarnya satu Drachma (mata
uang mereka) untuk laki-laki dan setengah Drachma untuk wanita.
c. Romawi
Pajak yang pertama diperkenalkan di Roma adalah Bea Pabean
atas impor dan ekspor yang disebut portoria. Kaisar Augustus
dianggap sebagai ahli strategi pajak dalam kekaisaran Roma. Dalam
masa pemerintahannya, jabatan Publicani pemungut pajak, sebagai
pemungut pajak pemerintah pusat dihapuskan. Selama periode
ini kota Roma diberi kekuasaan untuk memungut pajak. Kaisar
Augustus menetapkan pajak warisan untuk menyediakan dana
pensiun bagi militer. Pajak ini besarnya 5% atas semua warisan
kecuali atas pemberian untuk anak-anak dan pasangan. Inggris
dan Belanda mengacu kepada pajak warisan ciptaan Augustus
ini dalam rangka upaya/usaha mengembangkan pajak warisan.
Selama zaman Julius Caesar ada pajak penjualan yang dikenakan
sebesar 1 (satu) persen atas penjualan. Khusus untuk penjualan
budak dikenai 4 (empat) persen.Pada tahun 60 SM, Boadicea, Ratu
Anglia Timur memimpin revolusi terhadap korupsi yang dilakukan
pemungut pajak di British Isles. Revolusi ini menyebabkan
terbunuhnya semua tentara Romawi dalam radius 100 mil yang
ditangkapi di London. Lebih dari 80.000 orang terbunuh selama
revolusi ini. Ratu Boadicea mengerahkan tentara sebanyak 230.000
orang. Revolusi ini berhasil dipatahkan oleh Kaisar Nero dan
menyebabkan penunjukan pemerintahan untuk British Isles. Jika
Anda adalah penggemar game Age of Empires: Age of Kings atau
Caesar 3, beberapa istilah di bawah ini sudah tidak asing lagi Dalam
sejarah pajak dikenal beberapa istilah perpajakan kuno seperti: (a).
Aid; (b).Danegeld; (c). Scutage; (d).Tallage; (e). Carucate; (f). Tax
Farming. Uraian selanjutnya dari masing-masing istilah perpajakan
ini, sebagai berikut :
1) Aid.
Pada zaman feodal, Aids adalah sejenis pajak yang dibayarkan
kepada Tuan Tanah atau Raja kecil. Di Inggris, Aids disebut-sebut
dalam piagam Magna Carta (1215 M). Aids hanya dibayarkan pada
saat anak lelaki tertua dari Tuan Tanah menjadi ksatria ( knight )
atau anak perempuan tertua dari Tuan Tanah melangsungkan
perkawinan. Aids juga dibayarkan untuk tebusan bagi majikan
yang tertawan oleh pihak musuh.
2) Danegeld
Danegeld adalah pajak atas tanah pada abad pertengahan
yang dipungut untuk membiayai serangan terhadap Denmark
yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran militer.
Tribute pertama kali dikenakan di Inggris pada tahun 868 M dan
kemudian pada tahun 871 M. Di bawah kepemimpinan Aethelred
(978-1016 M) Tribute menjadi pajak rutin sampai diganti lagi pada
masa William the Conqueror. Tarif pajaknya dua Shilling untuk
setiap tanah simpanan yang luasnya 100-120 are.
3) Scutage
Pajak feodal dibayar di tempat pemberian jasa angkatan darat.
Magna Carta (1215) pasal 12 khususnya menyatakan bahwa tidak
ada scutage atau bantuan yang dikenakan atas kerajaan kecuali oleh
persetujuan umum. Pengecualian meliputi uang pembebasan bagi
raja yang melawan anak laki-laki tertua raja dan menikahi anak
perempuan tertua raja. Dalam semua hal scutage atau bantuan
adalah beralasan.
4) Tallage
Mirip dengan Aids. Di Inggris pajak ini menggantikan
Danegeld. Pajak ini dipungut Raja dan Tuan tanah. Zaman Raja
Edward III sekitar tahun 1340 M pajak ini dihapuskan. Di Perancis
kalangan atas masyarakat yang disebut dengan Taille dibebaskan
dari pajak ini. Subyek pemungutan dijatuhkan ke petani.
5) Carucate
Menggantikan Danegeld dan hanya dikenakan terhadap tanah
pertanian yang dibajak.
6) TaxFarming.
Adalah prinsip pelimpahan tanggung jawab pemungutan
pajak kepada sekelompok masyarakat. Cara ini diterapkan di
banyak peradaban seperti Mesir, Romawi, Inggris, dan Yunani.
Dalam prakteknya, kelompok ini lebih banyak menyengsarakan
rakyat banyak. Salah satu yang paling parah adalah pejabat
Publicani di Romawi. Pada masa itu pemungutan pajak di Mesir
sebenarnya sudah cukup efektif. Akan tetapi hal ini berubah sejak
diterapkannya konsep aturan Ptolemies yang berasal dari Yunani.
Aturan ini diterapkan dalam rangka mengawasi pembayar dan
pemungut pajak pemerintah, agar para Scribes tidak meringankan
pajak yang harus ditanggung oleh orang miskin dan kaum lemah.
Inilah ciri-ciri dari suatu zaman yang disebut dengan zaman feodal.
d. Inggris
Pajak pertama kali dikenakan di Inggris pada waktu
pendudukan Kekaisaran Roma. Pada masa itu ada Lady Godiva
yang sangat terkenal. Ia adalah seorang wanita Anglo-Saxon yang
tinggal di Inggris pada abad ke 11 Masehi. Menurut cerita, suaminya,
Earl of Mercia, berjanji untuk mengurangi pajak yang tinggi
terhadap penduduk kota Coventry karena tekanan Lady Godiva
yang mengancam akan berkeliling kota tanpa sehelai benangpun
di tubuhnya. Selanjutnya, karena hal inilah Lady Godiva terkenal
sampai sekarang. Pada saat Roma runtuh raja-raja wilayah Saxon
mengenakan pajak Danegeld atas tanah dan bangunan disamping
Bea Cukai. Selama abad pertengahan sejarah mencatat adanya Perang
100 tahun antara Inggris dan Prancis yang dimulai pada tahun 1337 M
dan berakhir pada tahun 1453 M. Salah satu faktor kunci yang memicu
perang adalah pemberontakan para bangsawan Aquitaine terhadap
kebijakan pajak Pangeran Edward yang keterlaluan. Pemberontakan
ini terjadi pada tahun 1369 M. Pajak-pajak pada abad ke-14 dikenal
sangat progresif. Pajak Suara tahun 1377 M menunjukkan bahwa
pajak Duke of Lancaster adalah 520 kali atas pajak petani biasa. Pada
masa-masa itu juga dikenal adanya Pajak Penghasilan atas kekayaan
pemilik kantor dan pendeta. Pajak atas Barang Bergerak dikenakan
terhadap setiap pedagang. Orang miskin membayar sedikit atau
tidak bayar pajak sama sekali. Raja Charles mengenakan pajak
atas pelanggar kejahatan. Selama masa pemerintahannya timbul
masalah dengan Parlemen yang menyebabkan perpecahan pada
tahun 1629 M. Sumbernya perpecahan itu adalah pembagian antara
hak pemajakan oleh Raja dan hak pemajakan oleh Parlemen. Di
kemudian hari Raja Writ menyatakan bahwa individu harus dipajaki
sesuai dengan status dan kekayaannya. Dari sinilah berkembang ide
pajak progresif atas mereka yang sanggup membayar pajak. Pajak-
pajak lain yang penting selama periode ini adalah Pajak Tanah dan
Pajak Properti lain. Untuk membiayai angkatan darat yang dipimpin
oleh Oliver Cromwell, Parlemen mengenakan pajak atas komoditi
utama seperti gandum, daging, dan lain-lain pada tahun 1643 M.
Pajak-pajak yang dikenakan oleh Parlemen menghasilkan lebih
banyak pemasukan dari pada pajak yang dikenakan oleh Charles I,
khususnya pajak yang ditarik dari rakyat miskin. Pajak Properti yang
dikenakan bersifat sangat regresif. Kenaikan pajak atas kaum miskin
menimbulkan huru hara di wilayah Smithfi elds pada tahun 1647 M.
Huru hara ini timbul karena pajak-pajak baru membuat rakyat kecil
tidak mampu membeli gandum. Selain itu, tanah biasa yang dipakai
untuk berburu oleh para petani ditutup dan perburuan oleh petani
dilarang. Menurut cerita hal ini menyengsarakan sebuah keluarga
yang beranggotakan empat orang. Salah satu anggota keluarga itu
adalah Robin Hood.
e. Amerika.
Bicara tentang sejarah pajak modern, kita tidak bisa lepas dari
sejarah pajak di Amerika. Rakyat pada abad 17-an membayar pajak
berdasarkan Molasses Act. Tahun 1764 M peraturan ini diubah dengan
memasukkan bea import atas gula sirup, gula, bir dan komoditi lain.
Peraturan baru ini dikenal sebagai Sugar Act. Karena Sugar Act tidak
menaikkan jumlah penerimaan, maka diberlakukanlah Stamp Act
pada tahun 1765 M. Stamp Act mengenakan pajak langsung yang
sasarannya adalah atas surat kabar – surat kabar, dokumen-dokumen
hukum maupun hal-hal yang berhubungan dengan komersial.
Pada tahun 1794 M penduduk Allegeni Barat melancarkan
pemberontakan whiskey sebagai perlawanan terhadap pajak
properti yang diperkenalkan oleh Alexander Hamilton tahun
1791 M. Pajak properti dianggap sebagai perlakuan diskriminatif.
Presiden Washington mengirimkan tentaranya untuk menumpas
pemberontakan ini. Para pelaku kedua pemberontakan ini
dihukum, tapi kemudian diampuni. Pada tahun 1798 M Kongres
menerapkan pajak properti federal untuk kepentingan angkatan
darat dan angkatan laut dalam menghadapi kemungkinan perang
dengan Perancis. Pada tahun yang sama, John Fries melakukan
perlawanan terhadap pajak baru itu. Pemberontakan ini dikenal
dengan nama Pemberontakan Fries. Tidak ada yang terluka
maupun terbunuh, tetapi Fries ditahan dan kemudian diampuni
oleh Presiden Adam tahun 1800 M. Fries adalah pemimpin unit
militer yang diperintahkan untuk menumpas atau menghentikan
segala bentuk kegiatan yang berkaitan pemberontakan wiskhey.
Pajak Penghasilan diusulkan pertama kali pada masa Perang Sipil
tahun 1812 M. Pajak ini didasarkan atas British Tax Act 1798 dan
menggunakan tarif progresif. Tarifnya 0.08% atas penghasilan di
atas 60 pound dan 10 % atas penghasilan di atas 200 pound. Pajak ini
dirumuskan tahun 1814 M tetapi tidak pernah diberlakukan karena
penandatanganan Ghent Treaty tahun 1815 M yang mengakhiri
kesewenang-wenangan. Tax Act 1861 M menentukan bahwa pajak
dikenakan, ditagih dan dibayar atas penghasilan tahunan setiap
orang yang tinggal di Amerika baik yang didapat dari properti,
perdagangan profesional, pekerjaan, atau magang yang dilakukan
di Amerika atau tempat lain dari sumber apapun. Tarif menurut
Act ini adalah 3% atas penghasilan di atas 800 dolar dan 5% atas
penghasilan yang diperoleh individu-individu yang bertempat
tinggal (berdomisili) di luar Amerika.Tax Act 1862 M diberlakukan
dan ditandatangani oleh Presiden Lincoln pada tanggal 1 Juli 1862.
Tarifnya adalah 3% untuk penghasilan di atas 600 dolar dan 5% atas
penghasilan di atas 10.000 dolar. Sewa rumah bisa saja dikurangkan
dari penghasilan. Walaupun rakyat menerima dengan senang hati,
kepatuhannya tidak terlalu tinggi. Angka-angka setelah Perang Sipil
menunjukkan bahwa 276.661 orang melaporkan pajaknya pada tahun
1870 M yaitu tahun tertinggi untuk angka penyampaian SPT. Padahal
waktu itu jumlah penduduk belum banyak tetapi diperkirakan baru
kira-kira 38 juta orang.Tax Act 1864 M diberlakukan untuk menaikkan
penerimaan tambahan guna menyokong Perang Sipil. Senator
Garret Davis, dalam kaitannya dengan Act ini menyampaikan
usulan agar pajak dibayar sesuai dengan kemampuan seseorang
untuk membayar. Tarif pajak untuk Tax Act 1864 M adalah 5%
atas penghasilan antara 600 dan 5.000 dolar 7,5% atas penghasilan
antara 5001 dan 10.000 dolar dan 10% untuk penghasilan di atas
10.000 dolar. Pengurangan nilai sewa dibatasi sampai 200 dolar.
Aturan yang membolehkan pengurangan untuk perbaikan atau
reparasi juga ditambahkan. Dengan berakhirnya Perang Sipil
penerimaan pajak menurun. Tax Act 1864 dirubah setelah Perang
Sipil berakhir. Sehubungan dengan tersebut selanjutnya tarifnya
berubah menjadi tarif fl at 5 % dengan pembebasan pajak atas
penghasilan sampai dengan jumlah penghasilannya 1.000 dolar.
Dari tahun 1870 sampai 1872 tarif fl at-nya 2,5 % dan pembebasan
diberikan untuk penghasilan sampai dengan 2.000 dolar. Pajak ini
diberlakukan pada tahun 1872 dengan mengadakan pembatasan
tarif yang jelas dan berlaku sebagai sumber penerimaan penting
bagi Amerika sampai tahun 1913. Pada tahun 1913 Perubahan ke
16 diterbitkan yang memperbolehkan kekuasaan kongres untuk
memajaki warga atas penghasilan yang didapat atau diperolehnya
yang bias berasal dari berbagai tempat atau dari manapun.
Sehubungan dengan hal itu, berarti bagaimanapun, kita memang
tidak boleh meninggalkan sejarah. Berbagai hal yang berkaitan
dengan pajak yang kita kenal sekarang, seperti Pajak Penghasilan,
Bea Cukai, Tax Treaty, Pajak Penjualan, Bea Materai, Restitusi, dan
bahkan Tax Audit adalah warisan dari sejarah masa lalu. Dengan
perjalanan panjang yang penuh luka dan peperangan, pajak telah
mengantarkan kita ke saat ini di mana pajak bisa menjadi alat yang
efektif dan efi sien untuk membiayai pengeluaran bersama. Karena
itu biarkanlah luka dan peperangan tetap menjadi masa lalu. Di
masa sekarang: “Orang Bijak Taat Pajak dan Aparat Pajak Harus Bijak “ 1
B. Perkembangan Pajak Di Indonesia.
Sejarah pajak di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya
‘huistaks’ yaitu pada tahun 1816.Huistaks adalah pajak yang dikena-
kan bagi suatu warga negara yang mendiami suatu wilayah atau
tempat tertentu di atas bumi. Seperti sewa tanah,bangunanatau
yang sekarang dikenal dengan Pajak Bumi dan Bangunan.Tetapi
saat itu, kita (rakyat Indonesia) harus menyetornya ke pemerintah
Belanda. Berikutnya menunjukkan bahwa jenis - jenis pajak
bertambah lagi, yaitu :
a. Tahun 1920 ada Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting alias
Pajak Penghasilan.
b. Tahun 1925 ada Ordonantie op de Vennootschapbelasting alias
Pajak Perseroan atau sekarang dikenal dengan nama Pajak
Penghasilan Badan.
Zaman Belanda dan saat penjajahan Jepang, mereka memungut
pajak dari berbagai hasil bumi yang ada di Indonesia. Jauh sebelum itu,
kerajaan - kerajaan yang ada di Nusantara ini juga sudah menerapkan
pajak pada masyarakatnya untuk keberlangsungan kerajaan. Hingga
saat ini, pajak sudah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal
ini dapat kita liat dari banyaknya jenis pajak yang ada. Dan,sebagai
warga Negara yang baik, tentunya kita akan membayar pajak
yang sudah menjadi kewajiban kita. Karena semuanya juga untuk
kesejahteraan kita bersama.2 Atau sejarah lain menerangkan bahwa
Pajak pertama kalinya di Indonesia di awali dengan Pajak Bumi dan
Bangunan atau lebih kita kenal dengan PBB.3
Pada waktu itu lebih dikenal sebagai pajak pertanahan.
Pungutan ini diberlakukan kepada tanah atau lahan yang dimiliki
oleh rakyat. Pajak atas tanah ini dimulai sejak Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) masuk dan menduduki Hindia Belanda. Untuk
lebih jelasnya mengenai sejarah pajak di Indonesia terdapat pada
buku karangan Profesor Tobias Subekti yang berjudul “Perpajakan
di Indonesia”.4 Profesor Tobias Subekti adalah seorang profesor
pajak pertama di Indonesia dan buku ini adalah disertasi beliau.
Pada waktu dulu, Inspektur Liefrinch dari VOC mengadakan
survey atau penelitian di daerah Parahyangan. Hasil dari penelitian
tersebut membuat VOC memutuskan untuk memberlakukan
pajak pertanahan yang disebut dengan landrente.5 Rakyat setuju
atas keputusan Pemerintah Hindia Belanda ini. Rakyat harus
membayar uang sebesar 80 (delapan puluh) % dari harga besaran
tanah atau hasil lahan yang dimilikinya. Daendels, seorang Jendral
yang terkenal akan kekejamannya menyatakan bahwa tanah di
Hindia Belanda adalah milik dari Belanda. Kependudukan Inggris
yang dipimpin oleh Raffl es kebijakan landrente berubah. Raffl es
mengenakan tarif sebesar 2,5 (dua koma lima) % untuk golongan
pribumi dan tarif 5 (lima) % untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa
lain. Selain itu, Raffl es juga mengeluarkan Surat Tanah sebagai
Sertifi kat Tanah Internasional bagi penduduk yang dikenal dengan
nama girik dalam bahasa Jawa.
Ketika, pemerintahan Hindia Belanda kembali, timbul gagasan
untuk mengenakan pajak penghasilan. Pada tahun 1920-1921
sudah ada pajak penghasilan terhadap hasil bumi atau hasil lahan
penduduk. Isitlahnya dikenal dengan nama Versponding Warde yang
berupa pajak untuk kebun-kebun teh, kelapa, jati, dan tembakau.
Pengenaan tarifnya sebesar 7,5 (tujuh koma lima) % dari hasil.
Pada tahun 1934 sudah ada Pajak Kendaraan Bermotor. Setelah
itu, lahirlah jenis pajak-pajak yang lain yang berkembang hingga
zaman kemerdekaan hingga sekarang. Oleh karena itulah, kita dapat
menyebut bahwa Pajak Bumi dan Bangunan merupakan cikal bakal
dari pajak di Indonesia.
Pajak secara teratur dan permanen sudah dilakukan sejak
zaman colonial. Akan tetapi perlu juga diingat bahwa ketika wilayah
nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan pun sudah ada
pungutan semacam pajak. Ungkapan semacam itu tercermin dalam
kata-kata bahasa jawa, misalnya :“asok glondhong pengare-areng, peni-
peni rojo peni, guru bakal guru dadi, ngaturaken putrid tondho lintuning
sih katresnan.“7 Persembahan itu disampaikan kepada raja dengan
maksud sebagai wujud rasa hormat dan upeti, yang disampaikan
oleh rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan maupun wilayah
jajahan. Kiranya perlu diingat bahwa pada masa kerajaan-kerajaan
di tanah air, fi gure raja dalam hal tertentu dapat dipandang sebagai
manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (Negara). Pemberian
sukarela (upeti) dari rakyat kepada raja / penguasa, upeti
berupa barang (natura): padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya
seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Awalnya upeti hanya untuk
kepentingan pribadi penguasa karena tidak ada imbal balik kepada
rakyat, sehingga pembayaran upeti dikarenakan ada tekanan
(psikologis) karena raja berkedudukan lebih tinggi dari rakyat.
Pergeseran paradigma upeti dalam perkembangannya, upeti
tidak hanya untuk kepentingan raja tetapi juga untuk rakyat. Upeti
mulai digunakan untuk kepentingan umum seperti: keamanan,
pembangunan jalan, saluran air, fasilitas sosial, dan lain-lain setelah
ada perubahan sifat upeti, kemudian dibuatlah peraturan agar tetap
ada sifat memaksa yang melibatkan rakyat untuk memenuhi rasa
keadilan. Pembuatan aturan – aturan ini dimulai sejak kedatangan
Belanda ke Indonesia, dan sejak saat itulah dikenal istilah pajak.
Peraturan pajak zaman Belanda : aturan bea meterai; ordonansi
pajak rumah tangga; ordonansi pajak kekayaan; ordonansi bea balik
nama; ordonansi pajak upah; ordonansi pajak kendaraan bermotor;
ordonansi pajak potong; ordonansi pajak pendapatan; dan lain-lain..
Pengenaan pajak secara sistematis dan permanen dimulai
dengan pengenaan pajak terhadap tanah. Pengenaan pajak
terhadap tanah atau sesuatu yang berhubungan dengan tanah
sudah ada sejak jaman colonial. Seperti Contingenten dan Verplichte
Laverantieen yang lebih dikenal dengan namaTanam Paksa, yang
menimbulkan perang Jawa pada tahun 1825-1830. Oleh Gubernur
Jenderal Raffl es, pajak atas tanah tersebut disebut Landrent yang
arti sebenarnya adalah “sewa tanah”.
Setelah penjajahan Inggris berakhir maka kemudian Indonesia
dijajah kembali oleh Belanda. Pjak tersebut kemudian diganti
menjadi Landrente dengan system atau cara pengenaan yang sama.
Untuk penertiban pemungutannya, menurut Munawir, pemerintah
Belanda mengadakan pemetaan desa untuk keperluan klasiran
dan pengukuran tanah milik perorangan yang disebut rincikan.
Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian
diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente tahun 1939.
Pada jaman penjajahan Jepang namanya diganti dengan Pajak
Tanah, dan setelah Indonesia merdeka namanya diubah menjadi
Pajak Bumi. Istilah Pajak Bumi inipun diubah menjadi “Pajak Hasil
Bumi”.Yang dikenakan pajak tidak lagi nilai tanah, melainkan hasil
yang keluar dari tanah, sehingga timbul frustasi karena hasil yang
keluar dari tanah merupakan objek dari Pajak Penghasilan, yang
pada saat itu namanya Pajak Peralihan. Oleh karena itu Pajak Hasil
Bumi ini kemudian dihapuskan pada tahun 1952 sampai tahun
1959. Rupanya pemerintah sadar akan kekeliruannya sehingga
sejak tahun 1959 dipungut lagi pajak hasil bumi atas nilai tanah,
bukan atas hasil yang keluar dari tanah dan bangunan, dengan
mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Prp 1959, yang
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan
menjadi undang-undang,
Disamping pengenaan pajak terhadap tanah, pada masa
penjajahan Belanda juga dikeluarkan berbagai peraturan
dibidang pajak. Pada tahun 1908 keluar Inkomsten Belasting, yang
digunakan sebagi dasar untuk mengenakan pajak pendapatan.
Setelah keluarnya Ordonasi Pajak Perseroan (PPs) tahun 1925
maka terhadap pendapatan yang berupa laba bersih perusahaan
dikenakan Pajak Perseroan (PPs). Ordonasi tersebut mengalami
perubahan beberapa kali dan terakhir diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1968. Sementara itu pada tahun
1944 keluar Ordonasi Pajak Pendapatan (PPd) yang digunakan
sebagai dasar untuk mengenakan pajak terhadap pendapatan
yang diperoleh oleh orang pribadi. Tahun 1959, dengan Lembaran
Negara 1959 No 109 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 2a sehingga
membuka kesempatan bagi pengenaan pajak pendapatan terhadap
wajib pajak badan. Namun, pengenaan pajak pendapatan terhadap
badan ini sejak tahun 1966 telah dihapuskan.
Pada masa penjajahan, tepatnya pada tahun 1932, dikeluarkan
Ordonasi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1964.Yang menjadi subyek
pajak dari pajak kekayaan ini pada prinsipnya adalah orang pribadi,
buka badan. Akan tetapi menurut Pasal 3 Ordonasi Pajak Kekayaan itu
ada kemungkinan perseroan, persekutuan, atau pengkongsian dikenai
PKk untuk menggantikan kedudukan perseronya yang tidak dikenal
atau diragukan. Obyek pajaknya adalah seluruh kekayaan wajib pajak
dikurangi hutang-hutang dan kewajiban pada awal tahun pajak.
Pada masa-masa awal kemerdekaan juga pernah dikeluarkan
peraturan dibidang pajak. Pada tahun 1950 dikeluarkan Undang-
Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar
bagi Pajak Peredaran (Barang), yang dalam tahun 1951 diganti
dengan Pajak Penjualan (PPn) 1951.Pajak ini dikenakan terhadap
pemakaian umum yang dapat menjadi Pajak Penjualan Dalam
Negari dan Pajak Penjualan Impor. Sebagai subyek pajaknya
adalah pihak pabrikan dan pengusaha jasa. Dalam hal pemungutan
pajak, oleh UUD RI 1945 pada awalnya menetapkan Pasal 23 ayat 2
: “Segala pajak untuk Negara berdasarkan undang-undang”. Selanjutnya
Pasal 23 ayat (2) UUD RI 1945 diamandemen dengan Pasal 23A
Undang Undang Dasar RI 1945 yang ,menyebutkan bahwa: ”Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang”,. Adapun ketentuan - ketentuan undang-
undang dibidang perpajakan yang “dilahirkan” sesuai apa yang
dikehendaki oleh Undang Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945, diantaranya beberapa undang-undang :
1). Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2). Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan.
3). Undang-Undang RI Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Peubahan
Ketiga Atas Undang Undang RI No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai atas Barang dan jasa serta Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
4). Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2000 Tentang Perubahan
ketiga Atas Undang Undang RI No. 12 Tahun 1985 Tentang
Pajak Bumi dan Bangunan.
5). Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.
6). Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (sudah tidak belaku lagi karena
sudah dicabut berlakunya)
7). Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang Undang RI Nomor 18 Tahun 1997 Tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
8). Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa.
9). Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
C. Penerimaan Pajak Dibeberapa Negara.
Dewasa ini, diperbagai Negara (leave reply), pajak merupakan
sumber penghasilan Negara dan semangkin tinggi nilai pajak yang
di tetapkan pemerintah maka semangkin besar pendapatan atau
penerimaan yang akan di dapatkan oleh Negara. Dan pajak yang
di dapatkan negara tersebut akan digunakan untuk pembangunan
negara agar supaya rakyat menjadi lebih sejahtera kehidupannya.
Terkait dengan hal dimuka berikut ini ada 10 negara dengan nilai
pajak tertinggi di dunia, yang meliputi :
a. Irlandia.
Rasio pajak penghasilan: 48% Penghasilan rata-rata 2010: US$
50.400. Tingkat pajak Irlandia merupakan yang tertinggi dibanding
negara Eropa Utara lainnya. Faktanya, Eropa Utara termasuk area
dengan pajak penghasilan pribadi tertinggi kedua di dunia.
b. Finlandia.
Rasio pajak penghasilan: 49,2%. Penghasilan rata-rata 2010:
US$ 49.000. Tingkat marjinal rata-rata Finlandia saat ini 49.2% dan
berlaku untuk penghasilan US$ 91.000. Pada 2004, Finlandia sempat
menetapkan pajak 53,5% untuk melawan efek infl asi.
c. Inggris.
Rasio pajak penghasilan: 50% Penghasilan rata-rata 2010: US$
52.320 Inggris menaikkan 10% tingkat pajak tertingginya jadi 50%
pada 2010. Maret lalu, pemerintah Inggris menurunkan tingkat
pajak untuk warga berpenghasilan tertinggi menjadi 45% dan
mulai efektif berlaku April 2013.
d. Jepang.
Rasio pajak penghasilan: 50% Penghasilan rata-rata 2010: US$
52.200 Jepang satu-satunya negara Asia yang masuk daftar 10 besar.
Rata-rata tingkat pajak negara di Asia 23%.Tingkat pajak penghasilan
tertinggi Jepang dikenakan untuk warga berpenghasilan US$ 217.000.
e. Belgia.
Rasio pajak penghasilan: 50% Penghasilan rata-rata 2010:
US$ 52.700 Tingkat pajak Belgia lebih tinggi 5% dari rata-rata
negara Eropa Barat lainnya yang dikenal sebagai area berpajak
tertinggi nomor satu di dunia. Pajak 50% dikenakan bagi warga
berpenghasilan mulai dari US$ 46.900.
f. Austria.
Rasio pajak penghasilan: 50%. Penghasilan rata-rata 2010: US$
50.700. Austria kerap duduk di posisi pertama negara yang paling
nyaman ditinggali di dunia. Namun pajak yang dikenakan kepada
warganya termasuk paling tinggi di Eropa.Tingkat pajak tertinggi
dikenakan untuk warga berpenghasilan US$ 80.000.
g. Belanda.
Rasio pajak penghasilan: 52%Penghasilan rata-rata 2010: US$
57.Tingkat pajak Belanda termasuk tinggi dibanding negara Eropa
Barat yang rata-rata mematok 45,7%. Penghasilan tertinggi yang
dikenai pajak 52% adalah US$ 74.500.
h. Denmark.
Rasio pajak penghasilan: 55,4%. Penghasilan rata-rata 2010:
US$ 64.000 Denmark pernah menerapkan tingkat pajak tertingginya
yaitu 62,3% pada tahun 2008. Penghasilan tertinggi yang dikenai
pajak paling mahal adalah US$ 76.000.
i. Swedia.
Rasio pajak penghasilan: 56,6% Penghasilan rata-rata 2010:
US$ 48.800 Tingkat pajak tertinggi dikenakan pada penghasilan
US$ 81.000. Seluruh penghasilan dari pajak dialokasikan untuk
keamanan sosial. Menurut OECD, Swedia menghabiskan sebagian
besar PDB-nya pada pelayanan sosial paling banyak dari negara
lain di dunia. Warga Swedia menerima pendidikan gratis, fasilitas
kesehatan bersubsidi, transportasi publik dan pensiun dasar,
semuanya ditanggung pemerintah.
j. Aruba.
Rasio pajak penghasilan: 58,95% Penghasilan rata-rata 2010:
Negara yang dikuasai Belanda ini punya tingkat pajak tertinggi di
dunia sekaligus jadi satu-satunya negara di Amerika yang masuk
daftar 10 besar. Pada tahun 2007, tingkat pajak Aruba sempat
mencapai 60%. Warga yang dikenai pajak 58,95% adalah kaum
lajang dan berpenghasilan USD 165.000. Sementara bagi yang sudah
menikah ‘hanya’ dikenai pajak 55,85%.Pulau kecil di Kepulauan
Karibia ini memiliki tingkat pajak tertinggi dari rata-rata 26,7%.
Bahama, Bermuda dan Cayman Islands bahkan tidak mengenakan
pajak penghasilan pribadi. Aruba memang dikenal memiliki
standar hidup paling tinggi dibanding negara Kepulauan Karibia
lainnya. Pemasukan dari pajak sudah direncanakan dialokasikan
untuk asuransi kesehatan, pensiun dan kecelakaan premium.
D. Penafsiran Peraturan Pajak.
Masalah penafsiran peraturan perpajakan tidak dapat
dihindari, terutama jika menghadapi permasalahan yang belum
atau sudah ada aturan pajaknya, tetapi tidak atau kurang jelas. Lalu
tafsiran pihak mana yang paling kuat? Dalam hal terjadi perbedaan
penafsiran peraturan perpajakan yang mengakibatkan sengketa
perpajakan, maka hakim badan peradilan pajaklah yang akan
memutuskan. Oleh karena itu seharusnya putusan-putusan badan
peradilan pajak seharusnya dapat digunakan sebagai yurisprudensi
di lapangan. Untuk menafsirkan peraturan perpajakan seseorang
tidak dapat hanya memperhatikan redaksinya saja. Peraturan yang
kredibel adalah peraturan yang tidak menimbulkan multi tafsir
sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Berikut ini cara -
cara penafsiran peraturan perpajakan yang disusun berdasarkan
kekuatan hukumnya.
a. Penafsiran Otentik.
Penafsiran peraturan dengan melihat maksud si perumus
undang - undang atau peraturan itu sendiri. Dalam hal ini peraturan
sudah memberikan defi nisi - defi nisi yang biasanya dijelaskan
pada pasal 1 yang berkaitan dengan pengertian-pengertian. Istilah
- istilah tertentu yang dianggap penting sering diberikan defi nisi
secara khusus, namun demikian dalam praktek tidak semua
peraturan menjelaskan mengenai istilah - istilah yang digunakan
dalam peraturan itu sendiri.Tafsiran yang ada di dalam memori
penjelasan undang - undang seringkali masih bisa diperdebatkan
di muka pengadilan. Demikian juga tafsiran yang dilakukan oleh
fi skus maupun Wajib Pajak tidak mengikat bagi pihak lainnya.
b. Tafsiran Sistematis.
Penafsiran peraturan perpajakan dengan memperhatikan
peraturan-peraturan lain yang terkait dan masih berhubungan.
Hukum perpajakan yang terdiri dari undang-undang sampai dengan
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak sebenarnya merupakan satu
kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga penafsirannya
harus dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya. Oleh
karena itu pemahaman seorang fi skus atau Wajib Pajak akan sangat
ditentukan oleh penguasaannya di bidang perpajakan. Pengetahuan
mengenai ilmu akuntansi dan ilmu hukum akan sangat membantu
dalam melakukan penafsiran undang-undang.
c. Tafsiran Historis
Penafsiran undang-undang dengan melihat pada kronologis
atau sejarah dibuatkan undang-undang tersebut dikaitkan dengan
perkembangan hukum secara umum atau yang masih ada
hubungannya. Akan lebih baik lagi kalau dalam menafsirkan secara
historis diperoleh juga draft Rancangan Undang – Undang (RUU),
risalah rapat para pembuat undang-undang, memori penjelasan umum
dan pasal perpasal, jawaban pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), notulen sidang komisi dan sebagainya. Dengan
memahami dokumen-dokumen tersebut, maka akan diketahui asbabun
nuzul dari suatu aturan perpajakan. Hukum pajak memiliki kontinuitas
yang memiliki sejarah perkembangannya dan tidak datang sekonyong-
konyong. Oleh karena itu suatu aturan perpajakan seharusnya dapat [
bisa dipahami sejarah perkembangannya sampai saat ini.
d. TafsiranSosiologis
Penafsiran aturan perpajakan yang dikaitkan perkembangan dan
dinamika yang terjadi di masyarakat. Seperti kita ketahui bersama
bahwa masyarakat akan mengalami perkembangan yang sangat
dinamis, sementara hukum tertulis tidak bisa berubah setiap saat. Oleh
karena itu hakim sebagai pelaksana undang-undang perlu melakukan
penyesuaian antara undang-undang dengan perkembangan
masyarakat. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk lebih memberikan
rasa keadilan bagi masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Penafsiran sosiologis diharapkan dapat membentuk perilaku tertentu
di masyarakat. Namun demikian jangan sampai hakim badan peradilan
pajak menafsirkan undang-undang secara subyektif sehingga justru
menimbulkan ketidakadilan.
e. Tafsiran Gramatikal.
Merupakan cara penafsiran undang-undang yang didasarkan
pada tata bahasa yang terdiri dari rangkaian kata yang membentuk
kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Tafsiran ini
lebih didasarkan pada arti dari masing-masing kata yang membentuk
kalimat dalam undang-undang. Pandangan para ahli hukum
atas tafsiran gramatikal ini cukup bervariasi. Sebagian ahli hukum
mengatakan bahwa tafsiran gramatikal ini merupakan tafsiran yang
paling utama, artinya jika kata-kata undang-undang sudah cukup jelas,
maka hakim tidak boleh menyimpang dari kata-kata undang-undang,
meskipun maksud dari para pembuat undang-undang tidak sama
dengan arti kata-kata tersebut. Sebagian ahli hukum lain menyatakan
bahwa penafsiran gramatikal memiliki kedudukan yang lemah karena
arti kata-kata dalam undang-undang bisa berbeda antara orang yang
satu dengan lainnya. Oleh karena itu penafsiran peraturan perpajakan
sebaiknya dicari cara penafsiran mana yang paling tepat.
g. Tafsiran Analogis
Penafsiran atas suatu peraturan dengan cara memperluas
cakupan peraturan tersebut ke permasalahan yang sejenis atau setara
atau analog yang tidak ada aturannya secara spesifi k. Penafsiran cara
ini akan cenderung bersifat ekstensif karena akan memperluas arti
suatu peraturan. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH dalam
bukunya Asas dan Dasar Perpajakan, cara penafsiran analog ini dalam
hukum pajak tidak bisa diterapkan karena bila cara ini diterapkan,
maka akan memberi suatu akibat yang berbahaya yaitu pajak akan
diperluas hingga obyek yang semula tidak kena pajak. Akibatnya wajib
pajak dirugikan dan menjadikan tidak adanya kepastian hukum.
h. Tafsirana Contrario
Merupakan penafsiran suatu peraturan perpajakan dengan
mendasarkan pada kebalikan atau perlawanan pengertian suatu
masalah yang belum diatur dengan persoalan yang diatur secara tegas
dalam ketentuan perpajakan. Cara berpikir yang digunakan adalah
secara terbalik. Misalnya dalam menentukan perlakuan perpajakan
atas iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum disetujui oleh
Menteri Keuangan. Dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor
KEP-545/PJ./2000 jo PER-15/PJ/2006 diatur mengenai perlakuan
iuran pensiun kepada dana pensiun yang sudah disahkan oleh Menteri
Keuangan, tetapi tidak diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran
pensiun kepada dana pensiun yang belum disahkan Menteri Keuangan.
Jika menggunakan penafsiran secara a contrario, maka perlakuan
perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum atau
tidak disahkan oleh Menteri Keuangan adalah sama dengan perlakuan
perpajakan atas premi asuransi. Penafsiran peraturan perpajakan
sebenarnya boleh dilakukan oleh siapapun, tetapi penafsiran tersebut
bersifat tidak mengikat. Penafsiran yang mengikat adalah penafsiran
otentik menurut undang-undang dan tafsiran hakim peradilan pajak
dalam hal terjadi sengketa pajak antara wajib pajak dengan fi skus.
E. Beberapa Sektor Penerimaan Negara.
Dalam penyelenggaraan organisasi negara, pemerintahan
negara memiliki beberapa fungsi, antara lain ialah : (a). Melaksanakan
penertiban (law and order), (b). Mengusahakan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat, (c).Pertahanan (d).Menegakkan keadilan.
Untuk merealisasi fungsi negara, maka negara memerlukan
berbagai macam penerimaan yang berasal dari berbagai sektor.
Sebagai contoh, sumber – sumber penerimaan negara berasal dari
sektor pajak, denda, kekayaan alam, bea dan cukai, kontribusi,
royalti, retribusi, iuran, sumbangan, laba dari Badan Usaha Milik
Negara / Daerah dan sumber-sumber lainnya yang halal. Adapun
masing-masing pengertian penerimaan Negara, sebagai berikut :
a. Kontribusi, pungutan yang dilakukan pemerintah kepada
sejumlah penduduk yang menggunakan fasilitas yang telah
disediakan oleh pemerintah.
b. Bea cukai, pungutan negara yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Bea Cukai berdasarkan Undang Undang Kepabeanan
yang berlaku (UU No.10/1995).
c. Kepabeanan, segala sesuatu yang behubungan dengan peng-
awasan dan pemungutan Bea Masuk atas lalu lintas barang
yang masuk atau keluar daerah pabean.
d. Retribusi, pungutan yang dilakukan secara langsung oleh
negara sehubungan dengan penggunaan jasa yang disediakan
oleh negara, baik berupa Jasa umum, Jasa usaha, maupun
perizinan tertentu tanpa mendapat kontraprestasi dari negara.
e. Iuran, pungutan yang dilakukan Negara sehubungan dengan
peng gunaan jasa yang disediakan oleh negara untuk kepentingan
se kelompok orang, seperti iuran TV, air, Listrik, telpon, dan lain-
lain.
f. Sumbangan, pungutan yang dilakukan oleh Negara bagi
golongan penduduk tertentu saja, karena prestasi itu tidak
ditujukan kepada penduduk seluruhnya sehingga biaya-biaya
yang dikerluarkan dari kas umum untuk prestasi pemerintah
tertentu tidak boleh dikeluarkan dari kas umum.
g. Laba BUMN, pendapatan negara yang didapatkan dari penghasilan
BUMN baik , Perusahaan umum dan Perusahaan jawatan, dan
hasilnya akan dimasukan kembali ke dalam APBN.
Perkembangan terkait dengan defi nisi pajak yang sudah
berkembang saat ini lebih luas karena dilakukan oleh para pakar
di bidang hukum, ekonomi maupun administrasi. Jika dilihat kembali
pengertian pajak yang terdapat di Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun
1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28
Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan pun
lebih dekat pengertian pajak dari paradigma hukum. Pendapat
Bruno Peter, bahwa konsep pajak tidak bisa hanya dilihat semata-
mata hanya sebagai metode untuk mengumpulkan penerimaan
negara guna membiayai pemerintahan. Pajak sebagai tujuan
demokratis, yaitu mengalokasikan beban pajak secara adil bagi seluruh
masyarakat dan untuk menjaga stabilitas ekonomi serta mendorong
terciptanya kesejahteraan
Lebih lanjut lagi pendapat serupa juga diungkapkan oleh
Irianto dalam desertasinya pajak dalam perspektif politik. Pajak
adalah Saham Politik rakyat atas negara sehingga rakyat memiliki
hak-hak istimewa dalam setiap politik untuk menentukan kebijakan
negara. Menurut Irianto, saham politik sebagai bukti setoran
modal dari rakyat kepada negara guna berdirinya sebuah negara
sehingga menjadi bukti kepemilikan rakyat atas negara yang
direpresentasikan dengan kepemilikan hak suara dalam penentuan
keputusan politik.
Sedangkan hak-hak istimewa dalam proses politik disini adalah
untuk mendapatkan prioritas dipilih dan memilih penyelenggara
negara termasuk melakukan penilaian atas perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban penyelengaaan Negara.
Dengan landasan itu maka dapat dibangun suatu argumen yang
melegitimasi bahwa pajak sebagai realitas politik menjadi kuat
dan jelas. Pajak tidak bisa dipahami sebagai instrumen ekonomi
pemerintah yang digunakan hanya untuk menjalankan fungsi
budgeter (pembiayaan penyelenggaran pemerintahan).
Pajak telah menjadi instrumen politik ketika digunakan oleh
sebuah pemerintah saat menjalankan fungsinya sebagai regulator,
yaitu memainkan peran untuk membatasi kepemilikan kaum kaya
serta melindungi dan mendorong kaum yang lemah secara ekonomi
melalui pembagian penghasilan10 .
Adanya hubungan timbal balik antara negara dengan rakyat
disini bersifat mutual (saling menguntungkan) sesuai dgn slogan
demo-krasi, pemerintahan dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat.
Sebuah keniscayaan dalam berdemokrasi dan iklim politik terbuka
pelaksanaan pengeloaan pajak membutuhkan keterlibatan rakyat.
Pertanyaannya sudah sejauh manakah keterlibatan rakyat
dalam pengelolaan pajak? Partisipasi rakyat tidak bisa diabaikan
dalam berdemokrasi, begitu pula asas-asas politik demokrasi harus
tercermin dalam setiap proses-proses perpajakan.
Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengambilan
kebijakan perpajakan, rakyat harus terlibat didalamnya. Menurut
Irianto, rakyat merupakan pemegang mandat tertinggi dalam sistem
politik Indonesia sehingga perlu dibuka akses bagi rakyat untuk
mengkontrol kebijakan perpajakan. Kesetaraan antara rakyat selaku
wajib pajak dengan pemerintah selaku pemungut pajak dirasa masih
kurang. Karena tingkat partisipasi dan sekaligus akses masyarakat
terhadap proses perpajakan masih rendah, hal ini menunjukan
bahwa masyarakat hanya sekedar menunaikan kewajibannya yang
menandakan sekaligus menegaskan bahwa tingkat demokratisasi dalam
bidang perpajakan masih rendah.
Diperlukan adanya instrumen-instrumen yang mampu untuk
menjembatani komunikasi antara negara dengan rakyat sehingga
hak yang melekat di rakyat selaku wajin pajak dapat terpenuhi.
Komunikasi disini diartikan adanya keterwakilan rakyat dalam
proses pengambilan kebijakan perpajakan. Seperti hal layaknya
pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat, karena Dewan
Perwakilan Rakyat berhak menolak RUU-APBN.
Kebijakan perpajakan yang hak prerogatifnya milik
pemerintah (seperti PP,PMK,SE) sama krusialnya dengan RAPBN
dimana besaran tarif pajak yang diberlakukan akan menyangkut
masyaakat selaku wajib pajak dan bahkan akan mempengaruhi
perekonomian maupun dunia usaha. Bahkan Ikatan Konsultan
Pajak, saat ini tidak bisa dikatakan sebagai keterwakilan rakyat tapi
bisa dikatakan sebagai keterwakilan para konsultan pajak. Seperti
layaknya HKTI yang memiliki peran besar dalam melindungi dan
membela masyarakat petani Indonesia. Untuk itu perlu diciptakan
instrument-instrumen formal yang dapat dijadikan jembatan antara
negara dan masyarakat dalam perumusan kebijakan perpajakan.
A. Posisi Pajak Dalam Pembangunan.
Pajak semakin penting dalam pembangunan nasional. Konklusi
ini tampak pada keputusan pemerintah untuk menaikkan target
penerimaan pajak setiap tahun.Seperti diketahui, dalam RUU-
APBN 2012, penerimaan pajak direncanakan mencapai Rp1.019,3
triliun. Jumlah ini hampir 79 (tujuh puluh Sembilan) % dari total
pendapatan negara atau naik Rp140,6 triliun atau sekitar 16 (enam
belas) % dari target APBN-P 2011. Dari total target penerimaan
pajak tahun 2012 sebagai berikut :
>PPh =Rp 512,8 triliun,
>PPN dan PPnBM) =Rp 350,3 triliun,
>PBB =Rp 35,6 triliun,
>Cukai =Rp 72,4 triliun,
>perpajakan lainnya =Rp 5,6 triliun.
>bea masuk =Rp 23,5 triliun
>bea keluar =Rp 18,9 triliun.
Muncul tanggapan sejumlah kalangan yang menyoal rencana
pemerintah menaikkan target penerimaan pajak. Tanggapan itu
pada umumnya mengatakan bahwa target tersebut tidak realistis
bahkan dianggap mencederai rasa keadilan rakyat yang selama
ini taat membayar pajak. Alasannya, RUU-APBN 2012 itu minim
stimulus untuk membuka kesempatan rakyat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan.Padahal, target kenaikan pajak yang
ideal harus dibarengi dengan upaya serius negara menaikkan taraf
hidup masyarakat. Dalam kaitan ini, pengamat ekonomi Universitas
Indonesia Jakarta, Aris Yunanto secara tegas mengatakan bahwa
rencana pemerintah yang menaikkan target pajak namun minim
stimulus, pertumbuhan hanya akan menekan wajib pajak lama yang
potensial atau intensifi kasi tanpa ekstensifi kasi. Aris Yunanto, lalu
menunjuk RUU-APBN 2012 yang dia sebut tidak atraktif.
Apalagi, kata Aris Yunanto, penerimaan pajak selama ini
terkesan hanya untuk kepentingan pemerintah dan mengabaikan
konsekuensi memberikan pelayanan publik yang lebih transparan dan
akuntabel.11 Pendapat tersebut di atas ada benarnya. Tengoklah
keputusan pemerintah untuk menaikkan gaji pegawai pada tahun
2012 sebesar rata-rata 10 (sepuluh) persen. Konsekuensinya, belanja
pegawai dalam RUU-APBN 2012 ini meningkat Rp 32,8 (tiga puluh
dua koma delapan) triliun dari alokasi belanja pegawai dalam
RUU-APBN-P 2011 yang besarnya Rp182,9 (seratus delapan puluh
dua koma sembilan) triliun. Menurut pemerintah, alokasi belanja
pegawai yang ditetapkan sebesar Rp 215,72 triliun di dalam RUU-
APBN 2012 tidak dapat dihindari, sebab merupakan kelanjutan
dari rencana pemerintah untuk meneruskan program reformasi
birokrasi di Kementerian/Lembaga yang masih akan berjalan
selama tahun 2011-2012.
Pajak ,sebuah instrumen yang menandai relasi negara dengan
warga negara dan segenap subyek hukum yang dikenai kewajiban
pajak menurut undang-undang. Sebagai instrumen relasional, di
sana ada soal hak, kewajiban, dan keadilan. Kebijakan perpajakan yang
lebih condong kepada pendulum kewajiban tentu akan dirasakan
tidak adil oleh wajib pajak, jika aspek pemenuhan hak wajib pajak
atau rakyat yang harus dilakukan oleh negara terabaikan.
B. Sisi Keadilan Pajak.
Dalam kondisi inilah pajak lalu dipertanyakan sisi keadilannya.
Sementara peningkatan kesejahteraan tertatih - tatih, target
penerimaan pajak justru melaju setiap tahunnya. Rasa keadilan
pun makin terusik tatkala rakyat menyaksikan belanja pegawai
yang terus melaju dengan menggunakan sandaran pada reformasi
birokrasi.Akibat eformasi birokrasi,bahwa reformasi birokasi telah
menguras anggaran yang tidak sedikit. Namun, manfaatnya bagi
rakyat masih dipertanyakan.
Korupsi yang melilit tubuh birokrasi pemerintah bahkan belum
dapat diatasi dengan reformasi birokrasi. Maka,wajar jika muncul
tudingan bahwa pajak hanya melayani kepentingan pemerintah.
Penting diingatkan, bahwa semakin tinggi target penerimaan
pajak, maka semakin gencar pula aparat pajak (pemerintah)
dalam menagih pajak kepada masyarakat (warga). Hal ini tampak
dikelurahan- kelurahan yang secara terang-terangan mengatakan
tidak akan melayani warga yang belum membayar pajak, terutama
Pajak Bumi dan Bangunan. Problematika selanjutnya adalah apakah
membayar pajak itu suatu kewajiban?. Benar bahwa membayar
pajak adalah merupakan suatu kewajiban. Tetapi, pada saat yang
sama, pemerintah juga berkewajiban membantu warga dalam
meningkatkan kesejahteraan mereka. Maka, peningkatan target
penerimaan pajak mutlak harus diikuti peningkatan kesejahteraan
rakyat. Agar supaya rakyat dapat merasakan langsung manfaat
pajak yang telah dibayar olehnya.
A. Alasan Pembenar Negara Memungut Pajak.
Pada dasarnya setiap masyarakat yang mendirikan organisasi
(termasuk organisasi yang dinamakan negara) bukan merupakan
tujuan akhir; tetapi merupakan tujuan awal untuk mewujudkan
tujuan selanjutnya.Demikian pula, negara Indonesia yang didirikan
pada 17 Agustus 1945 bukan juga merupakan tujuan akhir.Karena
Indonesia sebagai negara, memiliki tujuan yang telah ditetapkan
dalam alenia ke IV Pembukaan Undang Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 yang harus diwujudkan. Tujuan negara Indonesia
meliputi:
1. melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,
2. mencerdaskan kehidupan bangsa,
3. memajukan kesejahteraan umum, dan
4. ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia.
Guna mewujudkan tujuan negara, pada setiap pemerintahan
negara memerlukan berbagai macam unsur pendudukung,
meliputi :Struktur organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM) ,
Peraturan perundang-undangan, Program-pogram kerja, maupun
Sumber-sumber penerimaan negara. Contoh, sumber-sumber
menerimaan negara di Indonesia :pajak, Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP), dan Hibah. Meskipun sektor pajak zaman dahulu,
masa sekarang maupun masa yang akan datang merupakan
salah satu sumber pendapatan negara, tetapi dalam dalam
perkembangannya diperlukan alasan mengapa negara memiliki
kewenangan memungut pajak dari warganya?. Adapun teori-teori
pembenar negara memungut pajak, sebagai berikut :
1. Teori asuransi.
Negara mempunyai tugas melindungi orang dan segala
ke pentingan atau keselamata atau keamanan jiwa dan harta
bendanya sebagai mana pada perjanjian asuransi untuk keperluan
perlindungan diperlukan pembayaran premi. Dalam hal ini pajak
diibaratkan pembayaran premi kepada negara. Akan tetapi dalam
perkembangan saat ini Negara tidak bisa diibartakan dengan sektor
asuransi. Karena, kewajiban Negara memberikan perlindungan
kepada warga negaranya tidak didasarkan atas pembayaran pajak.
Tetapi didasarkan atas tugas kewajiban Negara melindingan semua
warga negaranya yang membayar pajak atau yang tidak membayar
pajak karena belum memenuhi persyaratan sebagai wajib pajak yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Baik
warga Negara yang berada di dalam negeri maupun yang berada
di Negara lain. Sedang lembaga asuransi tugas kewajibannya hanya
terbatas memberi perlindungan khusus bagi anggota masyarakat
yang terdaftar sebagai nasabahnya dan yang telah memenuhi
kewajiban membayar premi yang telah disepakati.
2. Teori bhakti.
Teori ini berdasar atas paham “ organische Staatsleer” sehingga
diajarkanlah olehnya bahwa justru karena sifat negara inilah maka
timbul hak mutlak untuk memungut pajak.Semenjak berabad-
abad hak ini telah diakui dan orang selalu menginsafi nya sebagai
kewajiban asli untuk membuktikan tanda bhaktinya terhadap
negara dalam bentuk pembayaran pajak. Sedang diabad yang
“melahirkan” Negara modern sama dengan Negara hukum. Maka
Negara modern (hukum) dalam membuat kebijakan pemungutan
pajak tentu ada keharusan didasarkan atas peraturan perundang-
undangan. Seperti halnya di Indonesia yang merupakan Negara
modern sekaligus sebagai Negara hukum, kebijakan pemungutan
pajak didasarkan pada Pasal 23 A Undang Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 : “Segala pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa
untuk keperluan Negara berdasar peraturan perundang-undangan”. Hal
tersebut menunjukan bahwa siapapun (termasuk Negara) tidak
berhak dan berwenang memungut pajak kecuali sudah dibuatkan
dan diberlakukan peraturan perundang-undangnya.
2. Teori kepentingan.
Pada awalnya teori ini hanya memperhatikan pembagian
beban pajak harus dipungut dari penduduk. Pembagian beban
terkait dengan kepentingan masing-masing orang, dan kepentingan
satu dengan lainnya bisa berbeda.Berdasarkan paham organische
staatsleer karena sifat yang dimiliki oleh negara, maka timbul hak
mutlak memungut pajak yang dimiliki negara.Pajak yang dipungut
oleh Negara akan dikelola untuk tujuan kepentingan umum.
3. Teori gaya beli.
Menurut teori ini, lembaga penyelenggara kepentingan
masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan
pajak, bukan untuk kepentingan individu maupun negara tetapi
untuk kepentingan keduannya
4. Teori gaya pikul.
Teori ini menjelaskan bahwa keadilan pemungutan pajak terletak
30 Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia
pada jasa-jasa yang diberikan negara kepada warganya berupa
perlindungan jiwa dan harta bendanya.Untuk tugas itu diperlukan
biaya maka selayaknya masyarakat yang mendapat perlindungan
negara membayar pajak.
6. Berdasarkan hukum.
Dalam Undang Undang Dasar RI 1945, bahwa pengenaan
dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan
negara hanya boleh dilakukan apabila berdasarkan undang- undang
(Pasal 23 ayat 2 sudah diamandemen menjadi Pasal 23A UUD RI 1945).
Hal itu mengandung makna bahwa siapapun (termasuk Negara)
tidak memiliki hak memungut pajak apabila tidak dibuatkan lebih
dahulu undang-undang sebagai landasan hukumnya. Keberadaan
hukum pajak di setiap Negara harus dapat memberi jaminan
hukum untuk menyatakan ataumewujudkan keadilan yang tegas
baik untuk Negara sebagai pihak yang memungut pajak maupun
untuk masyarakat sebagai pembayar pajak.
B. Defi nisi Pajak Dan Hukum Pajak.
1. Defi nisi Pajak.
a. Pajak, iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari
sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-
undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapatkan jasa
timbal (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk dan yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publieke-
uitgaven) dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau
pendorong untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang
keuangan.12 Dalam perkembangannya di sektor perpajakan
dewasa ini ternyata tidak melulu dalam pembayaran pajak
hanya terbatas beralihnya kekayaan sector partikelir ke sektor
pemerintah, karena dalam UU Pajak Penghasilan di Indonesia
yang menjadi subyek pajak bukan terbatas sektor swasta tetapi
12 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar HukumPajak Dan PajakPendapatan 1944,
Eresco, Jakarta-Bandung, 1979,h.23
ada juga subyek pajak yang berasal dari sektor non-swasta (
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD).
b. Pajak menurut Andriani, merupakan iuran kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang membayarnya
menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi
kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c. Pajak menurut defi nsi Prancis, bahwa pajak merupakan
bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan
oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk
menutup belanja pemerintah
d. Pajak menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919),
bahwa pajak bantuan uang secara insidental atau secara periodik
(dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan
yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan,
dimana terjadi suatu tatbestand (sasaran pemajakan) yang karena
undang-undang telah menimbulkan hutang pajak.
e. Pajak menurut Edwin, bahwa uang pajak digunakan untuk
produksi barang dan jasa, jadi benefi t diberikan kepada
masyarakat hanya tidak mudah ditunjukkannya apalagi secara
perorangan.
f. Pajak menurut Feldman, bahwa pajak merupakan prestasi
yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa
(menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa
adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk
menutupi pengeluaran umum.
g. Pajak menurut Smeets, bahwa pajak adalah prestasi kepada
pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum dan
yang dapat dipaksakan tanpa ada kontraprestasi yang dapat
ditunjukkan.
h. Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock
Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor
swasta ke sektor pemerintah bukan akibat pelanggaran hukum,
namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung
dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-
tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
i. Pajak menurut Soeparman, bahwa pajak iuran wajib berupa
uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan
norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-
barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan
umum.
j. Menurut Rohmat Soemitro, pajak merupakan iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum. Defi nisi tersebut kemudian
dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai
public investment.
k. Pajak, adalah pungutan yang dilakukan oleh Negara, untuk
kepentingan pembiayaan Negara, berdasarkan undang-undang,
pelaksanaannya dapat dipaksakan, dan kepada pembayar pajak
tidak mendapat jasa balik secara langsung.
l. Pajak, merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah
terhadap wajib pajak tertentu berdasarkan undang-undang
yang ada tanpa harus memberikan imbalan langsung.
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan
pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara
untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan.Di Negara hukum, kebijakan pemungutan pajak
harus dibuatkan landasan hukum, apabila tidak dibuatkan landasan
hukumnya maka pemungutan yang dilakukan oleh Negara bukan
masuk katagori pemungutan pajak tetapi merupakan pungutan
liar (pungli). Keberadaan pajak diakibatkan karena fungsi pajak
yang dibutuhkan oleh setiap Negara (fungsi kas Negara dan fungsi
mengatur), karena Negara harus memberikan perlindungan dan
pelayanan bagi rakyatnya, sehingga Negara menciptakan pajak untuk
mengumpulkan dana, supaya dapat melindungi dan melayani rakyatnya.
Bahwa posisi pajak merupakan pilar (penopang) Negara.Sehingga
Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Papua memiliki potensi yang
besar sebagai penopang ekonomi Negara melalui pemungutan
pajak.
Filosofi pajak klasik mengatakan bahwa « Taxes are the sinews
of the State”. Filosofi kontemporer “ Taxes are the blood of the state “,
untuk membangun infrastruktur umum itu berasal dari pemerintah
bukan dari rakyat.
Manfaat pajak adalah untuk membiayai pembangunan. Seperti
:Pajak Bumi dan Bangunan, kita wajib membayar Pajak Bumi dan
Bangunan karena kita menempati wilayah Negara. Membiayai
belanja Modal : yaitu belanja pegawai, barang, membangun sarana
publik. Pajak yang didapat oleh pemerintah pusat juga di transfer
ke daerah untuk kelangsungan pergerakan pembangunan di daerah
baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
2. Defi nisi Hukum Pajak.
Hukum Pajak, adalah kumpulan peraturan-peraturan yang
dipergunakan untuk mengatur hubungan hukum antara Negara
(Fiscus) sebagai pemungut pajak dan masyarakat sebagai pembayar
pajak. Hal itu, menunjukan bahwa di bidang perpajakan akan
berhadapan dua subyek hukum, ialah Negara dengan masyarakat
sebagai wajib pajak . Karena keduanya berstatus sebagai subyek
hukum, maka secara yuridis memiliki hak dan kewajiban yang
harus diadopsi dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Apabila berkeinginan untuk mengetahui tujuan hukum pajak,
maka sebelumnya perlu diketahui tujuan hukum secara umum
sebagai landasan bagi hukum pajak. Secara umum, tujuan hukum
telah banyak dikemukakan oleh para ahli, seperti Aristototeles dalam
bukunya Rhetorica, yang menganggap bahwa hukum bertujuan
untuk menciptakan keadilan. Selain untuk mencapai keadilan,
menurut para ahli lainnya, hukum bertujuan untuk menciptakan
ketertiban, kepastian hingga untuk mencapai kebahagian
Sedangkan tujuan hukum pajak secara umum, adalah
menciptakan keadilan di dalam pemungutan pajak yang dilakukan
oleh penguasa (Negara) kepada masyarakat sebagai wajib pajak.
Bahwa nilai adil di setiap Negara dalam pemungutan pajak berbeda,
di Jepang pegawai negeri dibebaskan dari pajak pendapatan karena di
pandang adil, sebab pegawai negeri telah langsung menyumbangkan
tenaga dan pikiran kepada pemerintah. Di dalam melakukan
pemungutan pajak, keadilan merupakan hal yang sangat sulit
dalam praktek pelaksanaannya, tetapi dengan adanya azas - azas
yang menjiwai setiap hukum pajak, diharapkan pemungutan pajak
dapat dilakukan secara baik dan tepat (proposional). Adil menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :
(1) sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak;
(2) berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran; dan
(3) sepatutnya, tidak sewenang-wenang.
Dan menurut Ahmad Azhar Basjir, MA, konsep adil, adalah
sangat simple ialah : menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Sedangkan keadilan adalah sifat (perbuatan atau perlakuan) yang
adil. Jadi keadilan pajak adalah sifat (perbuatan atau perlakuan)
yang tidak sewenang-wenang atau tidak berat sebelah atas sistem
perpajakan yang berlaku. Lalu, bagaimana dengan keadilan
membayar pajak? Ketika seseorang tidak bayar pajak padahal
menikmati fasilitas umum yang dananya dari pajak, tentu menjadi
tidak adil. Orang yang tidak bayar pajak pastinya akan melukai
rasa keadilan. Sehingga aspek keadilan pajak tentu menjadi
pekerjaan rumah pemerintah untuk memberikan pemahaman dan
menanamkan dalam hati sanubari setiap orang.
Kesadaran dan kepedulian memahami aspek keadilan pajak
menjadi penting untuk terus disosialisasikan ke berbagai lapisan
masyarakat. Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan kebijakan
pemungutan pajak yang didasarkan atas peraturan perundang-
undangan. Karena seseorang berkewajiban membayar pajak
apabila telah memenuhi isi peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Semisal, seseorang memiliki kewajiban membayar pajak
penghasilan apabila ia memiliki penghasilan. Demikian sebaliknya,
jika tidak memilki penghasilan maka secara hukum ia tidak memiliki
kewajiban membayar pajak penghasilan. Hal ini merupakan juga
suatu bentuk keadilan dalam pemungutan pajak.
Keadilan pajak menjadi harga mahal yang harus diperjuangkan
menuju keadilan dan kesejahteraan bersama. Seperti diketahui,
undang-undang pajak di mana pun pasti memiliki aspek keadilan,
baik dari sisi materi maupun cara penerapannya. Aspek penegakan
hukum merupakan salah satu cara dalam menerapkan undang-
undang guna mewujudkan keadilan pajak. Ketika keadilan pajak
tidak mampu dilakukan melalui pendekatan persuasif, tentunya
aspek penegakan hukum melalui pemeriksaan maupun penyidikan
adalah cara tepat mewujudkan keadilan pajak. Selain soal keadilan
pajak, aplikasi moral mejadi bagian penting yang harus dilakukan
oleh setiap pemangku kepentingan (stakeholders) pajak. Aplikasi
moral itu sendiri pada hakekatnya adalah aplikasi melakukan
kewajiban bayar pajak dengan cara benar.
Sedangkan aplikasi moral bagi pejabat dan pengguna pajak
adalah aplikasi dalam hal mengelola dan/atau menggunakan
pajak agar supaya sesuai kebutuhannya. Transparan dan akuntabel
adalah merupakan bagian penting yang tidak bisa diabaikan begitu
saja. Dalam konteks moral, bahwa awalnya Tuhan Yang Maha Esa
sudah memberikan moral baik bagi setiap orang. Artinya, setiap
orang pasti punya kerinduan untuk menolong sesamanya.Namun,
ketika unsur kepentingan dan keuntungan pribadi mendominasi
perasaan, mulailah moral menjadi kendur atau luntur. Aplikasi
moral yang awalnya baik, menjadi melemah saat pikiran
kepentingan dan keuntungan pribadi lebih mendominasi.
Aplikasi moral dalam beberapa hal, seperti memenuhi
kesadaran, kepedulian, pengelolaan dan penggunaan pajak
nampaknya perlu dibangkitkan.Terlebih setelah terjadi beberapa
kasus pajak yang mencoreng citra pemerintah, patut kiranya
aplikasi moral diberikan suntikan kekuatan untuk menjalaninya.
Seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) pajak hendaknya
bisa mewujudkan aplikasi moral dalam mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan bersama.
Mengaplikasikan moral adalah modal dasar yang harus
dipegang teguh. Tanpa itu, berbagai program pemerintah yang
telah dicanangkan, tidak akan ada artinya. Tanpa aplikasi moral
pajak, semua akan sia-sia. Aplikasi moral harus menjadi lawan
dari kecenderungan berpikir dan bertindak sebatas verbal belaka.
Aplikasi moral harus memberikan warna cerah dibandingkan
warna hari-hari sebelumnya.Tekad kuat memberikan warna
cerah yang diinginkan semua pihak, wajib untuk diciptakan dan
dijaga keberlanjutannya. Warna cerah yang dicerminkan seluruh
pemangku kepentingan kiranya akan memberikan nadi kehidupan
reformasi pajak menjadi lebih lancar berjalan. Dengan kesadaran
melakukan aplikasi moral perpajakan secara baik, diharapkan
tidak lagi terjadi kerumunan masyarakat mendapatkan sedikit
uang untuk menambah belanja.
Dalam abad ke-18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya
An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (terkenal
dengan nama Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai azas
pemungutan pajak yang dinamainya “The Four Maximx” uraiannya
sebagai berikut :
1. Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu
seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing -
masing, di bawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/
asas kepentingan). Dalam asas «equality» ini tidak diperbolehkan
suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib
pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan
pajak yang sama pula.
2. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain)
dan tidak mengenal kompromis (not-arbitary). Dalam asas
«certainty» ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah
mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan ketentuan mengenai
waktu pembayarannya.
3. «Every taxt ought to be levied at the time, or ini the manner, in which
it is most likely to be con-venient for the contributor to pay it.» Teknik
pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut
«convenience of payment», menetapkan bahwa pajak hendaknya
dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak , yaitu
saat sedekat-dekatnya dengan detik atau saat diterimanya
penghasilan yang bersangkutan.
4. «Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep
out of the pockets of the people as little as possible over and above
what it brings into the public treasury of the State». Asas efi siensi ini
menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan
atau dilakukan sehemat - hematnya, sehinggadapat dihindari
terjadinya biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.
Perlu diketahui bahwa asas yuridis , asas ekonomis, dan asas
fi nansial telah dimiliki oleh “The Four Maxims” diatas, seperti asas
keadilan dalam maxim pertama (1), asas yuridis dalam maxim kedua
(2), dan asas ekonomis dan fi nansial dianut di dalam maxim ketiga
(3) dan Keempat (4). Hofstra, dalam mengemukakan pendapat
mengenai : “The Four Maxims” dari Adam Smith ini mengatakan
bahwa dalam “formulasi klasik dari teori tentang pajak” itu terlihat
adanya kepincangan dalam tubuh asas-asas tersebut, disamping
kenyataan, bahwa cara perumusan Maxim pertama dirasakannya
kurang tandas dan tuntas (exact). Misalnya :Oleh Adam Smith
diwariskan kepada generasi penerusnya suatu persoalan penting
, yaitu : Apa sajakah yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk
mengukur “equality” tersebut?.
Namun demikian, ungkapan (Adam Smith) itu merupakan
sesuatu yang merumuskan suatu asas pemungutan pajak yang
dalam prinsip diikuti oleh para sarjana pengikutnya. Menurut
John Stuart Mill, sekitar tahun 1830 ditemukan formulasi yang
lebih konkret, yaitu bahwa dalam pajak atas pendapatan bukanlah
pendapatan itu sendiri yang dipakai sebagai ukuran pengenaan
pajak pendapatan, yang dikenal dengan sebutan “gaya pikul” atau
ability to pay taxes.
C. Fungsi Pajak.
1. Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk
membiayai pengeluaran - pengeluaran negara. Untuk menjalankan
tugas - tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan,
negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari
penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan
rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan,
dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang
dikeluarkan dari tabungan pemerintah yakni penerimaan dalam
negeri dikurangi pengeluaran rutin.Tabungan pemerintah ini dari
tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan
pebangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan
dari sektor pajak.
2. Fungsi Mengatur (regulerend).
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui
kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa diguna-
kan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contoh dalam rangka
menggiring penanaman modal, baik Dalan Negeri maupun Luar
Negeri diberikan berbagai macam fasilitas berupa keringanan pajak.
Dalam rangka melindungi produksi Dalam Negeri, pemerintah
menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
3. Fungsi Stabilitas.
Adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga
infl asi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan
jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak,
penggunaan pajak yang efektif dan efesien.
4. Fungsi Redistribusi Pendapatan.
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan
untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk
membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan
kerja, yang akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat.
D. Syarat Pemungutan Pajak.
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat.
Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak.
Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan
karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai
masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan
yaitu:
1. Pemungutan pajak harus adil.
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan
untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil
dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya,
seperti:
a. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak;
b. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi
syarat sebagai wajib pajak;
c. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai
dengan berat ringannya pelanggaran.
2. Pemungutan pajak harus undang-undang.
Di Indoneseia pemunutan pajak sesuai dengan Pasal 23A UUD
1945 yang berbunyi: «Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang», ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Undang-undang
tentang pajak, yaitu:
a. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan
undang-undang tersebut harus dijamin kelancarannya.
b. Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan
secara umum.
c. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib
pajak .
3. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian.
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar
tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi,
perdagangan, maupun jasa.Pemungutan pajak jangan sampai
merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya
usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan
menengah.
4. Pemungutan pajak harus efi sien.
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan
pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima
lebih rendah dari pada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh
karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah
dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami
kesulitan dalam pembayaran pajak, baik dari segi penghitungan
maupun waktu.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana .
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan
keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan
memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang
harus dibiayai sehingga akan memberikan dampak positif bagi
wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran
pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang
semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
1. Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2
(dua) macam tarif (di Indonesia Bea Meterai dua macam nilai
Rp 3.000; dan Rp 6.000;).
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai yang beragam disederhanakan
menjadi hanya dua tarif ( di Indonesia 0% dan 10%).
3. Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk
perseorangan disederhanakan menjadi Pajak Penghasilan (PPh)
yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi).
E. Asas Pemungutan Pajak.
Menurut para ahli, untuk mencapai tujuan dari pemungutan
pajak, ialah dengan mengemukakan tentang asas pemungutan
pajak, antara lain=
1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan
ajaran yang terkenal «The Four Maxims», asas pemungutan pajak
adalah sebagai berikut =
a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan/ atau
keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus
sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara
tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
b. Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya
pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan
sampai terjadi adanya biaya pemungutan pajak lebih besar dari
hasil pajak.
2. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak sebagai berikut =
a. Asas daya pikul, besar kecilnya pajak yang dipungut harus
berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin
tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
b. Asas manfaat, pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan
untuk kegiatan - kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan
umum.
c. Asas kesejahteraan, pajak yang dipungut oleh negara digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
d. Asas kesamaan, dalam kondisi yang sama antara wajib pajak
satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah
yang sama (diperlakukan sama).
e. Asas beban yang sekecil-kecilnya, pemungutan pajak diusahakan
sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan
nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan wajib pajak.
3. Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak, sebagai berikut:
a. Asas politik fi nalsial, pajak yang dipungut oleh negara jumlahnya
memadai sehingga dapat untuk membiayai atau mendorong
kegiatan negara.
b. Asas ekonomis: penentuan obyek pajak harus tepat. Misal: pajak
pendapatan, pajak barang-barang mewah, dan sebagainya.
c. Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa
diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
d. Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan
(kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan
(bagaimana cara membayar) dan besar biaya pajak.
e. Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan undang
- undang.
f. Asas pemungutan pajak menurut domisili, sumber, dan kebangsaan.
4. Pendapat lain.
Selain pendapat ketiga ahli di atas, ada juga pendapat bahwa
asas pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga asas,
yaitu :
a. Asas domisili, adalah cara pemungutan pajak yang dilakukan
oleh negara berdasarkan tempat tinggal wajib pajak. Menurut
asas ini, wajib pajak yang bertempat tinggal di Indonesia akan
dikenakan pajak atas segala penghasilan baik yang didapat di
Indonesia maupun didapat dari luar negeri.
b. Asas sumber, adalah cara pemungutan pajak yang dilakukan
oleh negara berdasarkan sumber pendapatan tanpa melihat
tempat tinggal. wajib pajak menurut asas ini adalah siapapun
yang memperoleh penghasilan di Indonesia akan dikenakan
pajak sekalipun tempat tinggalnya di luar negeri. Contoh:
Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan
sektor apapun yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak
juga oleh pemerintah Indonesia.
c. Asas kebangsaan, adalah pemungutan pajak yang dilakukan
oleh negara berdasarkan atas hubungan kebangsaan wajib pajak.
Contoh: setiap warga negara asing yang bertempat tinggal di
Indonesia harus membayar pajak kepada negara asalnya.
F. Syarat-Syarat Pembuatan Hukum Pajak.
a. Syarat yuridis, menyatakan bahwa dalam pemungutan pajak
harus dijamin adanya kepastian hukum (semisal: kepastian
subyek pajak, obyek pajak maupun pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi, dan sebagainya).
b. Syarat keadilan, dalam arti bahwa pemungutan pajak harus
bersifat umum, merata dan menurut kekuatan.
c. Syarat ekonomis, bahwa secara ekonomis dapat diterima dalam
arti pemungutan pajak tidak akan merusak sumber - sumber
kemakmuran masyarakat.
d. Syarat fi nansiil, bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh
lebih banyak jumlahnya dibanding dengan jumlah penerimaan
pajak.
A. Peristilahan Dalam Hukum Pajak.
1. Dalam Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) disebutkan pula
tentang Wajib Pajak. Yang dimaksud Wajib Pajak, adalah orang
pribadi atau badan yang tugasnya meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
dan kewajiban perpajakan sesuai dengan perturan perundang-
undangan perpajakan ( UU KUP, Pasal 1 ayat 2). Adapun
yang dimaksud Badan, adalah sekumpulan orang dan/atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha meliputi: perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik Negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD)
dengan nama dan dalam bentuk apapun, fi rma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,organisasi
massa,organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk usaha tetap ( UU KUP, Pasal 1 ayat 3).
2. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk
apapun yang dalam kegiatan usahanya atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa atau
memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean ( UU KUP, Pasal 1
ayat 4).
3. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya (Pasal 1 ayat 5).
Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif
dan obyektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
- undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberi
Nomor Pokok Wajib Pajak / NPWP (UU KUP, Pasal 2 ayat 1).
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak
berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai dan
perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada Kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan pengusaha, dan tempat usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak ( UU KUP, Pasal 2
ayat 2). Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) dan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak
secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada
UU KUP, Pasal 2 ayat (1) dan / atau ayat (2).
B. Surat Pemberitahuan Pajak.
Setiap wajib pajak, wajib mengisi Surat Pemberitahuan
(SPT) dengan benar, lengkap dan jelas, dengan bahasa Indonesia
dan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, serta menanda tangani selanjutnya menyampaikannya
ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar
atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak ( UU KUP, Pasal 3 ayat 1). Untuk keperluan
menyampaikan Surat Pemberitahuan, wajib pajak mengambil
sendiri Surat pemberitahuan (SPT) di tempat yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata
cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan. Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
adalah :
(a). Surat Pemberitahuan Masa Pajak, paling lama 20 hari setelah
akhir Masa Pajak;
(b). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak
orang pribadi, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun
pajak, atau
(c) Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan wajib pajak badan,
paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak (UU
KUP. Pasal 3 ayat 3).
Wajib Pajak