Rabu, 12 Februari 2025

Published Februari 12, 2025 by

hukum kontrak 4

 



(Pasal 1750 KUH Perdata);

b. menyerahkan barang yang dipinjamnya.

Hak pemberi pinjaman yaitu  menerima kembali barang yang telah 

dipinjamnya.

K. PERJANJIAN PINJAM-MEMINJAM (PAKAI HABIS)

1. Pengertian

Pinjam-meminjam (pakai habis) diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 

1762 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan pinjam-meminjam (pinjam pakai habis) 

yaitu  suatu perjanjian yang menentukan pihak pertama menyerahkan beberapa  

uang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak 

kedua ini  akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak lain dalam 

jumlah dan keadaan yang sama (Pasal 1754 KUH Perdata).

berdasar  definisi di atas maka orang yang menerima pinjaman menjadi 

pemilik mutlak barang pinjaman itu dan bila barang itu musnah maka yang 

bertanggung jawab yaitu  peminjam itu sendiri.

2. Subjek dan Objek Pinjam Pakai Habis

Subjek dalam perjanjian pinjam-meminjam (pakai habis) yaitu  pemberi 

pinjaman (kreditur) dan penerima pinjaman (debitur). Kreditur yaitu  orang yang 

memberi  pinjaman uang kepada debitur, sedangkan debitur yaitu  orang yang

menerima pinjaman dari kreditur. Sedangkan yang menjadi objek pinjam-meminjam 

(pakai habis) yaitu  semua barang-barang yang habis dipakai, dengan syarat 

barang itu harus tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan 

kesusilaan.

3. Hak dan Kewajiban

Hak dan kewajiban antara pemberi dan penerima pinjaman diatur dalam 

Pasal 1759 sampai dengan Pasal 1764 KUH Perdata. Hak dari peminjam yaitu  

menerima barang yang dipinjam dari pemberi pinjaman. Kewajiban pemberi pinjaman 

tidak dapat meminta kembali barang yang diperpinjamkan sebelum lewat waktu 

yang ditentukan dalam perjanjian.

Kewajiban dari peminjam yaitu  mengembalikan barang yang dipinjam dalam 

jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang diperjanjikan (Pasal 1763 

KUH Perdata). Jika ia tidak mampu memenuhi kewajibannya maka ia diwajibkan 

membayar harga barang yang dipinjamnya, dengan syarat ia harus memperhatikan 

waktu dan tempat di mana barangnya, sesuai dengan kontrak (Pasal 1763 KUH 

Perdata). Yang menjadi hak dari peminjam yaitu  menerima barang yang dipinjam, 

pakai habis.

4. Peminjaman dengan Bunga

Pada dasarnya, peminjaman uang atau barang yang habis dalam pemakaian, 

diperbolehkan untuk membuat syarat bahwa atas pinjaman itu akan dibayarkan 

bunga (Pasal 1765 KUH Perdata). Akannamun , bila  tidak diperjanjikan maka 

tidak ada kewajiban dari peminjam untuk membayarkan bunga ini . Jika 

peminjam telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan maka peminjam tidak 

dapat meminta kembali bunga ini  dan tidak dapat menguranginya dari pinjaman 

pokok, kecuali bunga yang dibayar melampaui bunga yang ditentukan oleh undang- 

undang.

Bunga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

a. bunga yang ditentukan dalam undang-undang;

b. bunga yang didasarkan pada perjanjian (Pasal 1767 KUH Perdata).

Bunga menurut undang-undang yaitu  bunga yang ditentukan menurut undang- 

undang. Bunga yang ditentukan oleh undang-undang sebesar 6%/tahun, sedangkan 

menurut Staatsblaad Tahun 1976 Nomor 239, bunga yang ditetapkan dalam undang- 

undang berkisar antara 8 sampai dengan 10%/tahun. Dalam praktiknya, bunga 

perbankan berkisar antara 18 sampai dengan 24%/tahun. Sedangkan bunga menurut 

perjanjian yaitu  bunga yang ditentukan besarnya oleh para pihak, berdasar  

atas kesepakatan yang dibuat antara mereka. Bunga berdasar  perjanjian ini 

boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang dilarang 

oleh undang-undang. Di dalam praktik di warga  kita, bunga menurut perjanjian 

ini seringkali ditentukan oleh salah satu pihak, terutama pemilik uang dan bunga 

yang ditentukan sangat tinggi, yaitu berkisar antara 5-7%/bulan. Ini berarti dalam

setahun bunganya berkisar antara 60-84%. Bunga sebesar ini sungguh mem­

beratkan bagi peminjam. Ini menunjukkan bahwa kedudukan peminjam berada 

pada posisi yang lemah, sehingga apa yang ditawarkan oleh pemilik uang selalu 

diterima dengan terpaksa oleh nasabah ini .

L. BUNGA TETAP ATAU BUNGA ABADI

Bunga tetap atau bunga abadi diatur dalam Pasal 1770 sampai dengan Pasal

1773 KUH Perdata. Perjanjian bunga abadi merupakan perjanjian bahwa pihak 

yang memberi  pinjaman uang akan menerima pembayaran bunga atas beberapa  

uang pokok yang tidak akan dimintanya kembali (Pasal 1770 KUH Perdata). 

Bunga itu dapat diangsur. Hanya kedua belah pihak dapat mengadakan kesepakatan 

bahwa angsuran itu tidak boleh dilakukan sebelum lewat waktu tertentu, yang 

tidak boleh ditetapkan lebih lama dari 10 (sepuluh) tahun, atau tidak boleh di­

lakukan sebelum diberitahukan kepada kreditur dengan suatu tenggang waktu, 

yang sebelumnya telah ditetapkan oleh mereka,namun  tidak boleh lebih lama dari 

1 (satu) tahun (Pasal 1771 KUH Perdata). Sebagai contoh Indonesia telah berutang 

pada negara donor, seperti CGI, IMF, ADB, dan lain-lain. Bunga yang ditetapkan 

oleh pemberi pinjaman sangat kecil, yaitu 5-10%/tahun dan jangka waktunya, 

berkisar antara 10 sampai 30 tahun.

Seorang berutang bunga abadi dapat dipaksa mengembalikan uang pokok:

a. jika ia tidak membayar apa pun dari bunga yang harus dibayarnya selama 2 

(dua) tahun berturut-turut;

b. jika ia lalai memberi  jaminan yang dijanjikan kepada kreditur;

c. jika ia dinyatakan pailit atau dalam keadaan benar-benar tidak mampu mem­

bayar (Pasal 1772 KUH Perdata).

Dalam hal yang pertama dan kedua, debitur dapat membebaskan diri dari 

kewajiban mengembalikan uang pokok, jika dalam waktu 20 (dua puluh) hari 

terhitung ia mulai diperingatkan dengan perantaraan hakim, ia membayar angsuran- 

angsuran yang sudah harus dibayarnya atau memberi  jaminan yang dijanjikan.

M. PERJANJIAN UNTUNG-UNTUNGAN

1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Untung-untungan

Istilah perjanjian untung-untungan berasal dari terjemahan kansovereenkomst 

(Belanda). Perjanjian ini diatur di dalam Bab XV Buku III KUH Perdata. 

Jumlah pasal yang mengatur tentang perjanjian untung-untungan sebanyak 18 

pasal, yang dimulai dari Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791 KUH Perdata. 

Konsep teoretis tentang perjanjian untung-untungan dapat dilihat dalam Pasal

1774 KUH Perdata. Perjanjian untung-untungan yaitu 

’’Suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenai untung ruginya, baik bagi 

semua pihak maupun bagi sementara pihak, yang tergantung pada suatu 

kejadian yang belum pasti.”

Selanjutnya di dalam Artikel 1811 NBW disebutkan juga pengertian perjanjian 

untung-untungan. Perjanjian untung-untungan ialah

’’Suatu perjanjian, di mana suatu hasil untung rugi bagi kedua belah pihak 

tidak dapat dipastikan terlebih dahulu,namun  didasarkan pada suatu kejadian 

yang belum pasti.”

Kedua definisi itu mekonstruksikan perjanjian untung-untungan merupakan 

perjanjian yang belum pasti. Belum pasti ini berarti bahwa hasil yang diperoleh 

dari kegiatan itu belum tentu ada. Hasil yang diperoleh dari perjanjian ini tergantung 

pada faktor nasib dari para pihak.

2. Jenis-Jenis Perjanjian Untung-untungan

Perjanjian untung-untungan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu

(1) perjanjian pertanggungan (asuransi),

(2) bunga cagak hidup, dan

(3) perjudian dan pertaruhan (Pasal 1774 KUH Perdata).

Perjanjian pertanggungan (asuransi) diatur di dalam KUH Dagang, sedangkan 

jenis kedua dan ketiga diatur di dalam KUH Perdata. Dengan demikian sehingga 

di sini berlaku asas lex specialis derogaat lex generale, artinya undang- 

undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum. 

Walaupun di dalam KUH Perdata hanya diatur secara singkat tentang asuransi, 

namun secara khusus hal itu diatur dalam KUH Dagang.

Di dalam subbab ini akan dipaparkan jenis perjanjian untung-untungan yang 

kedua dan ketiga, yaitu bunga cagak hidup dan perjudian dan pertaruhan, sebab  

kedua hal itu diatur di dalam KUH Perdata, sedangkan hal yang pertama, yaitu 

pertanggungan akan dikaji oleh ahli lainnya.

3. Bunga Cagak Hidup

a. Pengertian Bunga Cagak Hidup

Istilah bunga cagak hidup berasal dari terjemahan lijfrente. Di dalam KUH 

Perdata tidak kita temui pengertian bunga cagak hidup, yang ada hanya 

tentang cara terjadinya bunga cagak hidup dan orang-orang yang berhak 

untuk mendapat cagak hidup. Vollmar mengartikan bunga cagak hidup, yaitu 

’’Bunga yang harus dibayar selama hidupnya atau selama bagian dari hidupnya 

seorang tertentu, yang sebab  itu lantas ada harapan, bahwa di situ hanya 

perlu dibayarkan (uang) sedikit saja atau sama sekali tidak perlu dibayar apa- 

apa atau di situ perlu dibayarkan bunga yang sangat tinggi jumlahnya, satu 

dan lain dengan mengingat orang di atas dirinya bunga itu ditanamkan atau 

panjang umurnya.” (Vollmar, tt: 408—409)

Inti dari definisi cagak hidup ini yaitu  pemberian biaya hidup kepada seorang 

tertentu. Definisi yang agak jelas dapat kita baca dalam Kamus Hukum dan

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Di dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa 

bunga cagak hidup atau lijfrente yaitu 

’’Pembayaran berkala yang dibayar selama hidup orang tertentu, atau selama 

waktu tertentu, asal saja orang ini  masih hidup.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bunga cagak hidup yaitu  

’’Uang atau bunga yang harus dibayarkan setiap tahun (bulan) kepada orang 

yang ditunjuk selama ia masih hidup atau dalam beberapa waktu tertentu 

untuk keperluan sehari-harinya.”

Kedua definisi itu tidak disebutkan siapa yang memberi  bunga ini  

kepada orang tertentu. Yang ada hanya penerima bunga cagak hidup, yang 

diberikan selama masih hidup. bila  yang bersangkutan meninggal dunia 

maka pemberian bunga cagak hidup itu menjadi tidak berlaku lagi. Konstruksi 

ini analog dengan trust yang dikenal di dalam common law. Di dalam trust, 

jelas siapa pemberi dan yang menerima atau yang mengelola uang, sedangkan 

dalam bunga cagak hidup tidak dijelaskan pemberi cagak hidup. Oleh sebab  

berbagai definisi itu kurang jelas, maka penulis mencoba memberi  definisi 

yang mendekati kebenaran. Bunga cagak hidup yaitu  

’’Bunga yang dibayarkan setiap tahun (bulan) oleh seseorang kepada orang- 

orang yang ditunjuk selama ia masih hidup atau selama waktu tertentu 

untuk keperluan sehari-hari.”

Unsur yang tampak dalam definisi ini yaitu 

1) adanya bunga,

2) adanya pemberi dan penerima,

3) jangka waktu tertentu, yaitu selama masih hidup, dan

4) untuk keperluan hidup sehari-hari.

Cara Terjadinya Bunga Cagak Hidup

Cara terjadinya bunga cagak hidup diatur dalam Pasal 1775 KUH Perdata. 

Cara terjadinya bunga cagak hidup dibagi menjadi 3 (tiga) cara, yaitu

1) perjanjian,

2) hibah, dan

3) wasiat.

Terjadinya bunga cagak hidup sebab  perjanjian yaitu  suatu cara terjadinya 

dipicu  oleh adanya perjanjian antara para pihak yang mengadakan 

bunga cagak hidup. Misalnya, A berjanji pada B untuk memberi  bunga 

cagak hidup selama hidupnya. Besarnya bunga cagak hidup yang diserahkan 

kepada B sebesar Rp50.000,00/bulan. Uang sebanyak itulah dipakai  oleh 

B untuk biaya hidupnya selama 1 (satu) bulan. Terjadinya sebab  hibah 

yaitu  terjadinya bunga cagak hidup yang didasarkan pada suatu pemberian 

dari si pemilik uang kepada yang menerimanya. Misalnya, A menghibahkan

bunga cagak hidup yang ada di bank untuk kepentingan B. Sedangkan 

terjadinya bunga cagak hidup sebab  wasiat suatu cara terjadinya bunga 

cagak hidup adanya pesan dari seseorang kepada orang lainnya. Misalnya 

A membuat surat wasiat pada Notaris, bahwa uang cagak hidup sebesar 

Rp5.000.000,00 diserahkan kepada B untuk biaya hidupnya. Biasanya wasiat 

seperti itu baru berlaku atau dibuka sesudah  pemberi wasiat meninggal dunia.

c. Orang yang Berhak Menerima Bunga Cagak Hidup

Orang yang berhak menerima bunga cagak hidup ini diintrodusir dalam 

Pasal 1776 sampai dengan Pasal 1778 KUH Perdata. Orang yang berhak 

menerima bunga cagak hidup, yaitu

1) atas diri orang yang memberi  pinjaman,

2) atas diri orang yang diberi manfaat dari bunga ini ,

3) atas diri seorang pihak ketiga, walaupun orang ini tidak mendapat 

manfaat dibandingkan nya,

4) atas diri satu orang atau lebih, dan

5) dapat diadakan untuk seorang pihak ketiga, meskipun uangnya diberikan 

oleh orang lain.

Pada dasarnya bunga cagak hidup hanya diberikan kepada orang yang 

masih hidup, sedangkan bagi orang yang sudah meninggal pada hari perjanjian 

tidak sah atau tidak memiliki  kekuatan hukum.

4. Perjudian dan Pertaruhan

Perjudian dan pertaruhan diatur di dalam Pasal 1788 sampai dengan Pasal 

1791 KUH Perdata. Perjudian merupakan perbuatan untuk mempertaruhkan 

beberapa  uang atau harta dalam permainan tebakan berdasar  kebetulan, 

dengan tujuan untuk mendapatkan harta yang lebih besar dibandingkan  jumlah uang 

atau harta semula. Sedangkan pertaruhan yaitu  uang atau harta benda yang 

dipasang ketika berjudi. Secara sosiologis banyak kegiatan-kegiatan berkaitan 

dengan perjudian dan pertaruhan, seperti misalnya judi kupon putih, judi ayam, 

dan lain-lain.

Perjudian dan pertaruhan ini termasuk dalam perikatan wajar (natuurlijk 

verbintenis). Artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian tidak 

memiliki  hak untuk menuntutnya ke pengadilan, bila  salah satu pihak 

wanprestasi (Pasal 1788 KUH Perdata). Ini dipicu  sebab  perjanjian ini 

bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Di 

dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Perjudian disebutkan bahwa 

perjudian pada hakikatnya bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral/, 

Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan bangsa dan 

negara. Walaupun perjudian dan pertaruhan itu dilarang, namun ada pengecualiannya, 

yaitu dalam permainan-permainan yang dapat dipergunakan untuk olahraga,

seperti anggar, lari cepat, dan lain-lain (Pasal 1789 KUH Perdata). Pertaruhan 

dan perjudian dalam permainan olahraga ini dibolehkan,namun  nilai perjudian dan 

pertaruhannya bila  melebihi nilai kepantasan maka hakim dapat menolak 

gugatan ini .

bila  pihak yang kalah dalam judi dan pertaruhan secara sukarela mem­

bayar uang ini , sekali-kali tidak dapat menuntut kembali uangnya, kecuali 

bila pihak yang menang itu telah melakukan kecurangan dan penipuan (Pasal 

1791 KUH Perdata).

N. PEMBERIAN KUASA

1. Pengertian Pemberian Kuasa

Perjanjian pemberian kuasa atau disebut juga dengan lastgeving. Lastgeving 

diatur di dalam Pasal 1792 s.d. Pasal 1818 KUH Perdata, sedangkan di dalam 

NBW Belanda, lastgeving diatur pada Artikel 1829. Perjanjian pemberian kuasa 

yaitu  suatu perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain 

yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi 

kuasa (Pasal 1792 KUH Perdata). Algra, dkk mendefinisikan pemberian kuasa 

yaitu 

’’Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberi  kuasa kepada 

pihak yang lain (penerima kuasa/lasthebber), yang menerimanya-untuk 

atas namanya sendiri atau tidak-menyelenggarakan satu perbuatan hukum 

atau lebih untuk yang memberi kuasa itu.” 

Selanjutnya Algra mengemukakan ciri-ciri dari perjanjian pemberian kuasa, 

yaitu

a. bebas bentuk, artinya dapat dibuat dalam bentuk lisan atau tertulis, dan

b. persetujuan timbal balik para pihak telah mencukupi.

2. Jenis-Jenis Pemberian Kuasa

bila  dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan 

menjadi enam macam, yaitu

a. akta umum,

b. surat di bawah tangan,

c . lisan,

d. diam-diam,

e. cuma-cuma,

f. kata khusus, dan

g. umum (Pasal 1793 s.d. Pasal 1796 KUH Perdata).

Pemberian kuasa dengan akta umum yaitu  suatu pemberian kuasa yang 

dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan memakai  akta 

notaris atau akta notariel. Artinya bahwa pemberian kuasa itu dilakukan di

hadapan dan di muka Notaris. Dengan demikian pemberian kuasa memiliki  

kekuatan pembuktian yang sempurna. Pemberian kuasa dengan surat di bawah 

tangan yaitu  suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa 

dengan penerima kuasa, artinya surat pemberian kuasa itu hanya dibuatkan oleh 

para pihak. Pemberian kuasa secara lisan yaitu  suatu kuasa yang dilakukan 

secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Pemberian kuasa 

secara diam-diam yaitu  suatu kuasa yang dilakukan secara diam-diam oleh 

pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Sedangkan pemberian kuasa secara 

cuma-cuma yaitu  suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa 

dengan penerima kuasa, artinya penerima kuasa tidak memungut biaya dari 

pemberi kuasa.

Pemberian kuasa khusus, yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara 

pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya pemberian kuasa itu hanya 

mengenai kepentingan tertentu saja atau lebih dari pemberi kuasa. Sedangkan 

pemberian kuasa umum, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi 

kuasa kepada penerima kuasa, artinya isi atau substansi kuasanya bersifat umum 

dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.

3. Subjek dan Objek Pemberian Kuasa

Subjek dalam perjanjian pemberian kuasa yaitu  pemberi kuasa dan penerima 

kuasa. Yang menjadi pokok perjanjian pemberian kuasa yaitu  dapat satu atau 

lebih perbuatan hukum dalam hukum harta kekayaan.

4. Bentuk dan Isi Perjanjian Pemberian Kuasa

Di dalam Pasal 1793 KUH Perdata ditentukan bentuk perjanjian pemberian 

kuasa. Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan akta autentik, dalam bentuk 

tulisan di bawah tangan, dan dengan lisan. Pemberian kuasa dengan akta autentik 

yaitu  suatu pemberian kuasa, yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima 

kuasa, artinya perjanjian kuasa itu dibuat di muka dan di hadapan notaris. 

Pemberian kuasa dalam bentuk tulisan di bawah tangan merupakan perjanjian 

pemberian kuasa yang dibuat secara tertulis antara pemberi kuasa dan penerima 

kuasa. Perjanjian pemberian kuasa secara lisan merupakan perjanjian pemberian 

kuasa, artinya pihak pemberi kuasa memberi  kuasa secara lisan kepada 

penerima kuasa tentang hal yang dikuasakannya.

Isi pemberian kuasa ditentukan oleh pihak pemberi kuasa. Pemberi kuasa 

biasanya memberi  kuasa kepada penerima kuasa untuk mewakilinya, baik di 

luar pengadilan maupun di muka pengadilan. Suatu contoh pemberian kuasa di 

luar pengadilan, yaitu penerima kuasa dikuasakan untuk menandatangani perjanjian 

kredit. Ini dipicu  pemberi kuasa pada saat akan menandatangani perjanjian 

kredit tidak berada di tempat. Sehingga penerima kuasa yang mewakili

menandatangani perjanjian kredit ini . Begitu juga di pengadilan, pemberi 

kuasa menguasakan kepada seorang pengacara untuk mewakilinya di pengadilan. 

Ini dipicu  kurangnya kemampuan dan pengetahuan dari pemberi kuasa 

dalam bidang hukum. Pemberi kuasa merasa tenang dan aman dalam mem­

perjuangkan hak-haknya di pengadilan bila  yang mewakilinya memiliki  

kemampuan dan pengetahuan hukum yang luas. Sehingga, pada gilirannya ia 

akan mendapatkan hak yang dituntutnya di pengadilan. Biasanya surat kuasa 

yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, baik di luar pengadilan 

maupun di pengadilan merupakan surat kuasa khusus. Berikut ini disajikan sebuah 

contoh surat kuasa dalam perjanjian kredit bank.

SURAT KUASA

Nomor: Sembilan

Pada hari ini, hari Selasa, tanggal lima belas November Dua Ribu Dua, 

telah menghadap di muka saya, Abdurrahim Sarjana Hukum, di dalam hal ini 

bertindak sebagai Wakil Notaris Sementara, bertempat kedudukan di Mataram, 

yang untuk itu diangkat dengan Surat Keputusan Pengadilan Negeri Mataram, 

, tanggal, 3 (tiga) Maret 1982 (seribu sembilan ratus delapan dua) Nomor: 03/ 

PN.MTR/II.SK/UP/1982 (nol tiga garis miring PN titik MTR garis miring dua 

romawi titik SK garis miring UP garis miring seribu sembilan ratus delapan 

puluh dua). Jo Surat Keputusan Kepala Pengadilan Negeri Mataram di Ampenan 

tertanggal 6 (enam) April 1966 (seribu sembilan ratus enam puluh enam), nomor 

14 (empat belas), di muka dua orang saksi yang telah saya kenal dan yang 

nama-namanya akan disebut pada akhir akta ini:

1. Tuan Salim, H.S. Sarjana Hukum, Dosen Fakultas Hukum Universitas 

Mataram, bertempat tinggal di Jalan Towuti 1/6 Komplek Perum Perumnas 

Mataram (Lombok Barat), menurut keterangannya di dalam hal ini bertindak 

untuk diri sendiri.

Penghadap telah saya, Wakil Notaris Sementara, kenal. Penghadap dalam 

kedudukan dan tindakannya ini  di atas lebih lanjut menerangkan kepada 

saya, Wakil Notaris Sementara, bahwa dengan ini memberi kuasa kepada:

2. Nyonya Mardiana, Guru SDN Nomor IV Karang Pule Ampenan-Mataram 

(Lombok Barat), bertempat tinggal di Jalan Towuti 1/6 Perum Perumnas 

Mataram (Lombok Barat), yang selanjutnya disebut Yang Diberi Kuasa.

KHUSUS

Untuk mewakili penghadap dalam kedudukan dan tindakannya seperti 

diuraikan di depan, yang selanjutnya disebut Yang Memberi Kuasa di mana- 

mana dan terhadap siapa pun juga baik instansi-instansi pemerintah maupun 

swasta dan badan-badan lainnya, dalam hal pengurusaan, penyelesaian, dan

penandatanganan segala macam surat yang berhubungan dengan Akta Jual Beli 

dan Penyerahan Hak pemakaian  Atas Tanah dan Realisasi Perjanjian Kredit 

Pemilikan Rumah dari Bank Tabungan Negara Cabang Denpasar, atas:

Sebuah Bangunan Rumah Permanen (Proyek Rumah Murah) yang dibangun di 

atas tanah Hak Guna Bangunan yang terletak di Jalan Towuti 1/6 Komplek 

Perum Perumnas Mataram (Lombok Barat).

Demikian Yang Diberi Kuasa berhak:

Untuk mengurus, menyelesaikan, dan menandatangani segala macam surat yang 

berhubungan dengan Akta Jual Beli dan penyerahan Hak pemakaian  Atas Tanah 

dan Realisasi Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah yang dimaksud.

DEMIKIANLAH

Akta ini dibuat untuk menjadi bukti yang sah dan disahkan di Mataram, pada 

hari, tanggal, bulan, dan tahun sebagai diterangkan pada awal akta ini di hadapan 

saudara-saudara Ida Wayan Draka dan Saelan masing-masing menjadi pegawai 

pada kantor Wakil Notaris Sementara di Mataram, masing-masing bertempat 

tinggal di Cakranegara dan Ampenan sebagai saksi-saksi.

Seketika sesudah  akta ini dibacakan, lalu ditandatangani oleh penghadap, kedua 

saksi dan saya, Wakil Notaris Sementara ini .

Terbuat dengan tidak memakai tambahan, perubahan maupun pencoretan. 

Sudah ditandatangani oleh:

1. Salim H.S., S.H.

2. Ida Wayan Draka

3. Saelan

4. Abdurrahim, S.H

Diberikan untuk turunan yang berbunyi;

Wakil Notaris Sementara 

ttd.

Abdurrahim S.H.

Substansi surat kuasa ini telah dirumuskan oleh notaris. Para pihak tinggal 

menjelaskan tentang isi surat kuasa secara umum dan selanjutnya para notarislah 

yang merumuskan substansi surat kuasa ini . Hal-hal yang tercantum dalam 

surat kuasa di atas, meliputi:

a. tanggal para pihak menghadap notaris;

b. subjek hukum, yaitu pihak pemberi kuasa, yaitu Salim H.S. dan penerima 

kuasa, yaitu Mardiana;

c. sifat surat kuasa, yaitu surat kuasa khusus;

d. objek pemberian kuasa, yaitu mengurus, menyelesaikan, dan menandatangani 

segala macam surat yang berhubungan dengan akta jual beli dan penyerahan 

hak pemakaian  atas tanah dan realisasi perjanjian kredit pemilikan rumah;

e. adanya dua orang saksi.

Surat kuasa yang dibuat oleh para pihak sebagai bukti yang sah. Dengan 

adanya surat kuasa ini , pihak Bank Tabungan Negara akan merealisasikan 

perjanjian kredit pemilikan rumah antara Salim H.S. dengan bank. Sedangkan 

Salim H.S. sendiri diwakili oleh penerima kuasa, yaitu Mardiana.

Di samping contoh surat kuasa di atas, berikut ini juga disajikan contoh 

surat kuasa antara seorang klien dengan seorang pengacara.

SURAT KUASA KHUSUS

Yang bertanda tangan di bawah ini : -----------------------------------------------------

Ali S. Bawazir, Pekerjaan swasta, Umur 60 tahun, beralamat di Jalan 

Utama V No. 5 RT 005 RW 005 Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan 

Duren Sawit Kodya Jakarta Timur, selanjutnya disebut sebagai : -----

’’Pemberi Kuasa”,

dengan ini menerangkan dan memberi kuasa kepada :

M. Irawan Dilaga, S.H., Pengacara Praktik berkedudukan di Wilayah Pengadilan 

Negeri Dompu berdasar  Surat Keputusan Ketua PT Mataram dengan SK 

No. W.24 DMT-03-HK-02.08 tanggal 9 November 1998, bertempat tinggal di 

Jalan Merapi No. 16 A Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat,

selanjutnya disebut sebagai : -----------------------------------------------------------------

----------------------------------------  ’’Penerima Kuasa” -------------------------------------

-------------------------------------------- KHUSUS---------------------------------------------

Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa, mewakili Pemberi Kuasa dalam Tingkat 

Banding sebagai Penggugat/Terbanding dalam Perkara No. /PDT.G/2001/ 

PN.MTR, di Pengadilan Tinggi Mataram. Untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan 

untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan, menghadap hakim-hakim, 

menerima, mengajukan dan menandatangani surat-surat, permohonan- 

permohonan, memori-memori, kesimpulan-kesimpulan (konklusi-konklusi), meminta 

atau memberi  segala keterangan yang diperlukan, penting, perlu, dan berguna 

sehubungan dengan pembelaan/menjalankan perkara, serta dapat mengerjakan 

segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh seorang kuasa/ 

wakil guna kepentingan ini  di atas, juga untuk mengajukan permohonan 

kasasi.

Penerima Kuasa, 

ttd.

Mataram, 10 Januari 2002 

Pemberi Kuasa,

ttd.

M. Irawan Dilaga, S.H. Ali S. Bawazir

Surat Kuasa ini telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Mataram 

pada hari: ,Tanggal Januari 2002 di bawah Register Nomor:

Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Mataram

ttd.

Lanabe. S.H.

NIP 040019994

Hal-hal yang tercantum dalam surat kuasa antara klien dengan seorang 

lawyer, meliputi:

1. pemberi kuasa dan penerima kuasa, yaitu Ali S. Bawazir dan Irawan Dilaga,

S.H.;

2. objek pemberian kuasa yaitu  mewakili pemberi kuasa dalam perkara tingkat 

banding;

3. surat kuasa didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.

Pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimaksudkan susaha  perjanjian

pemberian kuasa dapat dipakai  dalam mewakili klien pada Pengadilan Tingkat 

Banding.

5. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa

Hubungan hukum yang terjadi antara pemberi kuasa dan penerima akan 

memicu  akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban 

para pihak. Kewajiban penerima kuasa disajikan berikut ini.

a. Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian, 

dan bunga yang timbul dari tidak dilaksanakannya kuasa itu.

b. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi 

kuasa meninggal dan dapat memicu  kerugian jika tidak segera diselesaikan.

c. Bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja 

dan kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.

d. Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukan, 

serta memberi perhitungan segala sesuatu yang diterimanya.

e. Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya 

dalam melaksanakan kuasanya:

(1) bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya;

(2) bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan

orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu 

(Pasal 1800 s.d. Pasal 1803 KUH Perdata).

Hak penerima kuasa yaitu  menerima jasa dari pemberi kuasa. Hak pemberi 

kuasa yaitu  menerima hasil atau jasa dari penerima kuasa. Kewajiban pemberi 

kuasa yaitu 

a. memenuhi perjanjian yang telah dibuat antara penerima kuasa dengan pemberi 

kuasa;

b. mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa;

c. membayar upah kepada penerima kuasa;

d. memberi  ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian yang dideritanya 

sewaktu menjalankan kuasanya;

e. membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan penerima kuasa, 

terhitung mulai dikeluarkannya persekot ini  (Pasal 1807 s.d. Pasal 1810 

KUH Perdata).

6. Berakhirnya Pemberian Kuasa

Ada lima cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu

a. penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa;

b. pemberitahuan penghentian kuasanya oleh pemberi kuasa;

c. meninggalnya salah satu pihak;

d. pemberi kuasa atau penerima berada di bawah pengampuan; atau

e. pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa;

f. kawinnya perempuan yang memberi dan menerima kuasa (Pasal 1813 KUH 

Perdata).

0 .  PERJANJIAN PENANGGUNGAN UTANG

1. Sifat Perjanjian Penanggungan Utang

Perjanjian penanggungan utang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan 

Pasal 1850 KUH Perdata. Penanggungan yaitu  suatu perjanjian, di mana 

pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi 

perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 

KUH Perdata).

bila  diperhatikan definisi ini , maka jelaslah bahwa ada tiga pihak 

yang terlibat dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak kreditur, debitur, 

dan pihak ketiga. Kreditur di sini berkedudukan sebagai pemberi kredit atau 

utang, sedangkan debitur yaitu  orang yang mendapat pinjaman uang atau 

kredit dari kreditur. Pihak ketiga yaitu  orang yang akan menjadi penanggung 

utang debitur kepada kreditur, manakala debitur tidak memenuhi prestasinya.

Sifat perjanjian penanggungan utang yaitu  bersifat accesoir (tambahan), 

sedangkan perjanjian pokoknya yaitu  perjanjian kredit atau perjanjian pinjam 

uang antara debitur dengan kreditur.

2. Akibat-Akibat Penanggungan antara Kreditur dan Penanggung

Pada prinsipnya, penanggung utang tidak wajib membayar utang debitur 

kepada kreditur, kecuali jika debitur lalai membayar utangnya. Untuk membayar 

utang debitur ini  maka barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual 

terlebih dahulu untuk melunasi utangnya (Pasal 1831 KUH Perdata).

Penanggung tidak dapat menuntut susaha  barang milik debitur lebih dulu 

disita dan dijual untuk melunasi utangnya:

a. bila ia (penanggung utang) telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut 

barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;

b. bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur utama secara 

tanggung-menanggung; dalam hal itu akibat-akibat perikatannya diatur 

menurut asas-asas utang-utang tanggung menanggung;

c. bila debitur dapat mengajukan suatu eksepsi yang hanya mengenai dirinya 

sendiri secara pribadi;

d. bila debitur dalam keadaan pailit;

e. dalam hal penanggungan yang diperintahkan hakim (Pasal 1832 KUH 

Perdata).

3. Akibat-Akibat Penanggungan antara Debitur dan Penanggung dan 

antara Para Penanggung

Hubungan hukum antara penanggung dengan debitur utama yaitu  erat 

kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran utang debitur kepada kreditur. 

Untuk itu, pihak penanggung menuntut kepada debitur susaha  membayar apa 

yang telah dilakukan oleh penanggung kepada kreditur. Di samping penanggung 

utang juga berhak untuk menuntut:

a. pokok dan bunga;

b. penggantian biaya, kerugian, dan bunga.

Di samping itu, penanggung juga dapat menuntut debitur untuk diberikan 

ganti rugi atau untuk dibebaskan dari suatu perikatannya, bahkan sebelum ia 

membayar utangnya:

a. bila ia digugat di muka hakim untuk membayar;

b. bila debitur berjanji untuk membebaskannya dari penanggungannya pada 

suatu waktu tertentu;

c. bila utangnya sudah dapat ditagih sebab  lewatnya jangka waktu yang 

telah ditetapkan untuk pembayarannya;

d. sesudah  lewat waktu sepuluh tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung 

suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali bila perikatan 

pokok sedemikian sifatnya, sehingga tidak dapat diakhiri sebelum lewat waktu 

tertentu.

Hubungan antara para penanggung dengan debitur disajikan berikut ini. Jika 

berbagai orang telah mengikatkan dirinya sebagai penanggung untuk seorang

debitur dan untuk utang yang sama maka penanggung yang melunasi utangnya 

berhak untuk menuntut kepada penanggung yang lainnya, masing-masing untuk 

bagiannya.

4. Hapusnya Penanggungan Utang

Hapusnya penanggungan utang diatur dalam Pasal 1845 sampai dengan 

Pasal 1850 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1845 KUH Perdata disebutkan 

bahwa perikatan yang timbul sebab  penanggungan, hapus sebab  sebab-sebab 

yang sama dengan yang memicu  berakhirnya perikatan lainnya. Pasal ini 

menunjuk kepada Pasal 1381, Pasal 1408, Pasal 1424, Pasal 1420, Pasal 1437, 

Pasal 1442, Pasal 1574, Pasal 1846, Pasal 1938, dan Pasal 1984 KUH Perdata.

Di dalam Pasal 1381 KUH Perdata ditentukan 10 (sepuluh) cara berakhirnya 

perjanjian penanggungan utang, yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai, 

diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; pembaruan utang; kompensasi; 

pencampuran utang; pembebasan utang; musnahnya barang yang terutang; 

kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya syarat pembatalan.

P. PERJANJIAN PERDAMAIAN

1. Pengertian Perjanjian Perdamaian

Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian 

perdamaian diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. 

Perdamaian yaitu  suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, 

menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu 

perkara yang sedang diperiksa pengadilan atau mencegah timbulnya suatu perkara 

(Pasal 1851 KUH Perdata). Definisi lain disebutkan bahwa perdamaian yaitu  

’’Persetujuan dengan mana kedua belah pihak atas dasar saling pengertian 

mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung atau mencegah timbulnya 

suatu sengketa.” (Art. 1888 NBW)

Unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian perdamaian:

a. adanya kesepakatan kedua belah pihak;

b. isi perjanjiannya menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang;

c. kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa;

d. sengketa ini  sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya suatu 

perkara (sengketa).

2. Orang yang Berwenang Mengadakan Perdamaian

Pada dasarnya setiap orang dapat mengadakan perdamaian,- namun di dalam 

Pasal 1852 KUH Perdata ditentukan bahwa orang yang berwenang untuk 

mengadakan perdamaian yaitu  orang yang berwenang untuk melepaskan haknya 

atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu. Sedangkan orang yang tidak

berwenang mengadakan perdamaian yaitu :

a. para wali dan pengampu, kecuali jika mereka bertindak menurut ketentuan- 

ketentuan dari Bab XV dan Bab XVII dalam Buku Kesatu KUH Perdata;

b. kepala-kepala daerah dan kepala lembaga-lembaga umum.

3. Objek Perdamaian

Objek perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1853 KUH Perdata. Adapun 

objek perjanjian perdamaian yaitu 

a. Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul 

dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini, perdamaian sekali- 

sekali tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau 

pelanggaran yang bersangkutan. (AB. 23, 25, 28, 30; KUH Perdata. 1356 

dsb Sv. 10)

b. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya. 

Sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan 

dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian ini . (KUH Perdata 

1350)

4. Bentuk Perjanjian Perdamaian

Perdamaian yang diadakan di antara pihak harus dibuatkan dalam bentuk 

tertulis (Pasal 1851 ayat (2) KUH Perdata). Maksud diadakan perjanjian per­

damaian secara tertulis ini yaitu  menjadi alat bukti bagi para pihak untuk di­

ajukan ke hadapan hakim (pengadilan). sebab  isi perdamaian itu disamakan 

dengan putusan hakim yang telah memiliki  kekuatan hukum yang tetap.

5. Perdamaian yang Tidak Dibolehkan

Pada dasarnya substansi perdamaian dapat dilakukan secara bebas oleh 

para pihak, namun undang-undang telah mengatur berbagai jenis perdamaian 

yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak.

Perdamaian yang tidak dibolehkan ditentukan dalam Pasal 1859 sampai 

dengan Pasal 1862 KUH Perdata. Perdamaian yang tidak dibolehkan yaitu  

sebagai berikut.

a. Perdamaian tentang telah terjadi kekeliruan mengenai orang yang bersangkutan 

atau pokok perkara.

b. Perdamaian yang telah dilakukan dengan cara penipuan (dwelling) atau 

paksaan (clwang).

c. Perdamaian mengenai kekeliruan mengenai duduknya perkara tentang suatu 

alas hak yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan perdamaian 

tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas.

d. Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan 

palsu.

e. Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu keputusan 

hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak 

diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Akannamun , jika 

keputusan yang tidak diketahui itu masih dimintakan banding maka 

perdamaian mengenai sengketa yang bersangkutan yaitu  sah.

f. Perdamaian hanya mengenai suatu urusan, sedangkan dari surat-surat yang 

ditemukan kemudian ternyata salah satu pihak tidak berhak atas hal itu. 

bila  keenam hal itu dilakukan maka perdamaian itu dapat dimintakan

' pembatalan kepada pengadilan.

6. Kekuatan Pembuktian Perjanjian Perdamaian

Perdamaian yang dilakukan oleh para pihak memiliki  kekuatan mengikat 

sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun 

peninjauan kembali (Pasal 1858 KTJH Perdata). Perdamaian itu tidak dapat 

dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum 

atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.


Kemukakan pengertian kontrak nominaat!

Sebutkan jenis-jenis kontrak nominaat yang Anda ketahui? 

Kemukakan perbedaan antara pengertian perjanjian jual beli, sale, dan 

agreement salei

Kemukakan momentum terjadinya perjanjian jual beli!

Sebutkan cara-cara penyerahan benda dalam perjanjian jual beli! 

Kemukakan orang-orang yang tidak diperkenankan untuk mengadakan 

perjanjian jual beli!

Sebutkan hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli!

Kemukakan siapa yang menanggung risiko, bila  terjadi overmacht 

dalam perjanjian tukar-menukar!

Kemukakan bentuk dan substansi kontrak dalam perjanjian sewa- 

menyewa!

Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis persekutuan perdata!

Kemukakan hubungan antara para sekutu dengan pihak ketiga! 

Apakah perjanjian hibah dapat dibuatkan dalam bentuk perjanjian lisan? 

Jelaskan!

Sebutkan dan jelaskan para pihak dalam perjanjian hibah!

Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis penitipan barang yang Anda ketahui! 

Kemukakan perbedaan antara bewaarnemer dengan bewaargeverl

8. a. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis perjanjian pemberian kuasa!

b. Kapan berakhirnya perjanjian pemberian kuasa?

9. a. Apakah para pihak yang bersengketa dapat mengadakan perjanjian

perdamaian? Jelaskan jawaban Anda!

b. Sebutkan orang-orang yang berwenang mengadakan perdamaian!

c. Kemukakan kekuatan pembuktian dalam perjanjian perdamaian!

10. a. Sebutkan jenis badan hukum dari aspek bentuknya!

b. Sebutkan teori-teori badan hukum yang Anda ketahui!

ETENTUAN-KETENTUAN UMUM 

DALAM HUKUM KONTRAK

A. SOMASI

1. Dasar Hukum dan Pengertian Somasi

Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekes- 

telling. Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH 

Perdata. Somasi yaitu  teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang 

(debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah 

disepakati antara keduanya. Somasi timbul dipicu  debitur tidak memenuhi 

prestasinya, sesuai dengan yang diperjanjikan. Ada tiga cara terjadinya somasi 

itu, yaitu

a. debitur melaksanakan prestasi yang keliru, misalnya kreditur menerima 

sekeranjang jambu seharusnya sekeranjang apel;

b. debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan. Tidak 

memenuhi prestasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelambatan 

melaksanakan prestasi dan sama sekali tidak memberi  prestasi. pemicu  

tidak melaksanakan prestasi sama sekali sebab  prestasi tidak mungkin 

dilaksanakan atau sebab  debitur terang-terangan menolak memberi  

prestasi.

c. prestasi yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditur sesudah  

lewat waktu yang diperjanjikan.

Ajaran tentang somasi ini sebagai instrumen hukum guna mendorong debitur 

untuk memenuhi prestasinya. Bila prestasi sudah tentu tidak dilaksanakan, maka 

sudah tentu tidak dapat diharapkan prestasi. Momentum adanya somasi ini 

bila  prestasi tidak dilakukan pada waktu yang telah diperjanjikan antara 

kreditur dengan debitur.

2. Bentuk dan Isi Somasi

Dari telaahan berbagai ketentuan tentang somasi, tampaklah bahwa bentuk 

somasi yang harus disampaikan kreditur kepada debitur yaitu  dalam bentuk 

surat perintah atau sebuah akta yang sejenis.

Yang berwenang mengeluarkan surat perintah itu yaitu  kreditur atau pejabat 

yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang yaitu  Juru Sita, Badan

Urusan Piutang Negara, dan lain-lain. Surat teguran harus dilakukan paling 

sedikit tiga kali, dengan mempertimbangkan jarak tempat kedudukan kreditur 

dengan tempat tinggal debitur. Tenggang waktu yang ideal untuk menyampaikan 

teguran antara peringatan I, II, dan III yaitu  tiga puluh hari. Maka waktu yang 

diperlukan untuk itu selama tiga bulan atau sembilan puluh hari. Suatu contoh, 

BUPN mengirimkan surat teguran kepada debitur susaha  menghadap ke Kantor 

BUPN dengan tujuan untuk melunasi utang-utang yang tidak dibayarnya kepada 

bank.

Berikut ini disajikan contoh surat somasi dari Bank BNI 46 Cabang Mataram.

BANK NEGARA INDONESIA (BNI 46)

CABANG MATARAM 

Jin. Langko Mataram, Telp. (0370) 631046

Mataram, 10 Juni 2002

Nomor :

Lamp. : 1 eksp

Hal : Teguran Pertama

Kepada

Yth. Bapak M. Ali HMS

Jin. Towuti 1/13 Tanjung Karang Permai

Ampenan Mataram

di Mataram

Dengan hormat, bersama ini kami sampaikan kepada Saudara bahwa 

berdasar  perjanjian kredit bank yang telah dibuat antara BNI 46 Cabang 

Mataram dengan Saudara, pada tanggal 10 Juli 2001, bahwa setiap tanggal 

10 bulan berikutnya Saudara harus membayar angsuran kredit, yaitu pokok 

dan bunga sebesar Rp 1.000.000,00/bulan. Namun, berdasar  data yang 

ada pada kami, ternyata Saudara menunggak kredit atas utang pokok dan 

bunga sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

berdasar  hal-hal di atas, maka diharapkan kepada Saudara untuk 

segera melunasi kewajiban sebanyak ini  di atas, paling lambat tanggal 

15 Juli 2002.

Demikian, agar dapat saudara laksanakan tepat pada waktunya. 

Pimpinan BNI Cabang Mataram 

Tanda tangan

(Nama terang)

Isi atau hal-hal yang harus dimuat dalam surat somasi, yaitu

1. apa yang dituntut (pembayaran pokok kredit dan bunganya);

2 dasar tuntutan (perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dan debitur); 

dan

3. tanggal paling lambat untuk melakukan pembayaran angsuran, pada tanggal 

15 Juli 2002.

3. Peristiwa-Peristiwa yang Tidak Memerlukan Somasi

Ada lima macam peristiwa yang tidak mensyaratkan pernyataan lalai, sebagai­

mana dikemukakan berikut ini (Niewenhuis, 1988).

a. Debitur menolak pemenuhan.

Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi bila  debitur menolak 

pemenuhan prestasinya, sehingga kreditur boleh berpendirian bahwa dalam 

sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan memicu  suatu 

perubahan (HR 1-2-1957).

b. Debitur mengakui kelalaiannya.

Pengakuan demikian dapat terjadi secara tegas, akannamun  juga secara 

implisit (diam-diam), misalnya dengan menawarkan ganti rugi.

c. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.

Debitur lalai tanpa adanya somasi, bila  prestasi (di luar peristiwa over- 

macht) tidak mungkin dilakukan, misalnya sebab  debitur kehilangan barang 

yang harus diserahkan atau barang ini  musnah. Tidak perlunya per­

nyataan lalai dalam hal ini sudah jelas dari sifatnya (somasi untuk pemenuhan 

prestasi).

d. Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos)

Tidak diperlukannya somasi, bila  kewajiban debitur untuk memberi  

atau melakukan, hanya dapat diberikan atau dilakukan dalam batas waktu 

tertentu, yang dibiarkan lampau. Contoh klasik, kewajiban untuk menyerahkan 

pakaian pengantin atau peti mati. Penyerahan kedua barang ini  sesudah  

perkawinan atau sesudah  pemakaman tidak ada artinya lagi.

e. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.

Kelima cara itu tidak perlu dilakukan somasi oleh kreditur kepada debitur. 

Debitur dapat langsung dinyatakan wanprestasi.

B. WANPRESTASI

1. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi memiliki  hubungan yang sangat erat dengan somasi. 

Wanprestasi yaitu  tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban 

sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan 

debitur. Dalam restatement o f the law o f contracts (Amerika Serikat), 

wanprestasi atau breach o f contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu

total breachts dan partial breachts. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak - . 

tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan partial breachts artinya pelaksanaan 

perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan. Seorang debitur baru dikatakan \ 

wanprestasi bila  ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi 

itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. bila  

somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu 

ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wan­

prestasi atau tidak.

2. Akibat Adanya Wanprestasi

Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.

a. Perikatan tetap ada.

Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, bila  

ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut 

ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini dipicu  

kreditur akan mendapat keuntungan bila  debitur melaksanakan prestasi 

tepat pada waktunya.

b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Per­

data).

c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul sesudah  

debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari 

pihak kreditur. Oleh sebab  itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang 

pada keadaan memaksa.

d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan 

diri dari kewajibannya memberi  kontra prestasi dengan memakai  

Pasal 1266 KUH Perdata.

3. Tuntutan Atas Dasar Wanprestasi

Kreditur dapat menuntut kepada debitur yang telah melakukan wanprestasi 

hal-hal sebagai berikut.

a. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur.

b. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal

1267 KUH Perdata).

c. Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian 

sebab  keterlambatan (HR 1 November 1918).

d. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian.

e. Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. 

Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.

Di dalam hukum kontrak Amerika, sanksi utama terhadap breach o f contract 

yaitu  pembayaran compensation (ganti rugi), yang terdiri atas costs (biaya) 

and damages (ganti rugi), serta tuntutan pembatalan perjanjian (rescission).

Akibat kelalaian kreditur yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:

a. debitur berada dalam keadaan memaksa;

b. beban risiko beralih untuk kerugian kreditur, dan dengan demikian debitur 

hanya bertanggung jawab atas wanprestasi dalam hal ada kesengajaan atau 

kesalahan besar lainnya;

c. kreditur tetap diwajibkan memberi prestasi balasan (Pasal 1602 KUH 

Perdata).

Di dalam hukum Common Law, jika terjadi wanprestasi (breach o f  

contracht), maka kreditur dapat menggugat debitur untuk membayar ganti rugi 

Cdamages), dan bukan pemenuhan prestasi {performance). Akannamun  dalam 

perkembangannya, adanya kebutuhan akan gugatan pemenuhan prestasi yang 

lebih umum, akhirnya dimungkinkan berdasar  equity, di samping legal remedy 

(ganti rugi), ada equitable remedy (pemenuhan prestasi). Di samping kedua 

gugatan ini , dalam hukum Anglo-Amerika tidak dibutuhkan suatu gugatan 

khusus untuk pembubaran sebab  dapat dilakukan repudiation (penolakan kontrak 

sejauh dimungkinkan) tanpa campur tangan hakim 

Tidak setiap breach o f contrach (wanprestasi) memicu  hak mem­

bubarkan perjanjian sebab  terbatas pada pelanggaran (breach) yang berat 

(substansial).

C. GANTI RUGI

Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi sebab  wanprestasi dan 

perbuatan melawan hukum. Ganti rugi sebab  wanprestasi diatur dalam Buku III 

KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 124 KUH Perdata s.d. Pasal 1252 KUH 

Perdata. Sedangkan ganti rugi sebab  perbuatan melawan hukum diatur dalam 

Pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi sebab  perbuatan melawan hukum yaitu  

suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah memicu  

kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul sebab  adanya 

kesalahan, bukan sebab  adanya perjanjian.

Ganti rugi sebab  wanprestasi yaitu  suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan 

kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur 

dengan debitur. Misalnya, A berjanji akan mengirimkan barang kepada B pada 

tanggal 10 Januari 1996. Akannamun , pada tanggal yang telah ditentukan, A belum 

juga mengirimkan barang ini  kepada B. Susaha  B dapat menuntut ganti rugi 

sebab  keterlambatan ini , maka B harus memberi  peringatan (somasi) 

kepada A, minimal tiga kali.

bila  peringatan/teguran itu telah dilakukan, maka barulah B dapat 

menuntut kepada A untuk membayar ganti kerugian. Jadi, momentum timbulnya 

ganti rugi yaitu  pada saat telah dilakukan somasi.

Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur yaitu  

sebagai berikut

1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan 

kerugian.

2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUH Perdata), ini 

ditujukan kepada bunga-bunga.

Yang diartikan dengan biaya-biaya (ongkos-ongkos), yaitu ongkos yang telah 

dikeluarkan oleh kreditur untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian yaitu  

berkurangnya harta kekayaan yang dipicu  adanya kerusakan atau kerugian. 

Sedangkan bunga-bunga yaitu  keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditur. 

Penggantian biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat lansung 

dari wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.

Di dalam Pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian kerugian 

yang dipicu  wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang. Namun, 

dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian 

dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materiil, dan ganti rugi 

inmateriil (Asser’s 1988: 274). Kerugian materiil yaitu  suatu kerugian yang 

diderita kreditur dalam bentuk uang/kekayaan/benda. Sedangkan kerugian 

inmateriil yaitu  suatu kerugian yang diderita oleh kreditur yang tidak bernilai 

uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, dan lain-lain.

D. KEADAAN MEMAKSA

1. Dasar Hukum dan Pengertian Keadaan Memaksa

Ketentuan tentang overrnacht (keadaan memaksa) dapat dilihat dan di baca 

dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH 

Perdata berbunyi: ’’Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan 

bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu 

atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu dipicu  oleh 

suatu hal yang tidak terduga, yang tak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, 

walaupun tidak ada iktikad buruk padanya. Selanjutnya dalam Pasal 1245 KUH 

Perdata yang berbunyi: ’’Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila 

sebab  keadaan memaksa atau sebab  hal yang terjadi secara kebetulan, debitur 

terhalang untuk memberi  atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan 

sesuatu perbuatan yang terlarang olehnya.”

Ketentuan ini memberi  kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan 

penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh sebab  suatu keadaan 

yang berada di luar kekuasaannya.

Ada tiga hal yang memicu  debitur tidak melakukan penggantian biaya, 

kerugian dan bunga, yaitu

1. adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau

2. terjadinya secara kebetulan, dan atau

3. keadaan memaksa.

Yang diartikan dengan keadaan memaksa yaitu  suatu keadaan di mana 

debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang dipicu  

adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya. Misalnya sebab  adanya 

gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain.

2. Macam Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu

1) keadaan memaksa absolut, dan

2) keadaan memaksa yang relatif.

Keadaan memaksa absolut yaitu  suatu keadaan di mana debitur sama 

sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh sebab  adanya 

gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin membayar 

utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran 

utang, terjadi gempa bumi. Maka A sama sekali tidak dapat membayar utangnya 

pada B.

Keadaan memaksa yang relatif yaitu  suatu keadaan yang memicu  

debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya.namun  pelaksanaan prestasi 

itu harus dilakukan dengan memberi  korban yang besar yang tidak seimbang 

atau memakai  kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau ke­

mungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh keadaan memaksa 

relatif, seorang penyanyi telah mengikat dirinya untuk menyanyi di suatu konser, 

tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya 

meninggal dunia. Contoh lainnya, A telah meminjam kredit usaha tani dari KUD, 

dengan janji akan dibayar pada musim panen.namun  sebelum panen, padinya 

diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu membayar 

kredit usaha taninya kepada KUD,namun  ia akan membayar pada musim panen 

mendatang.

3. Teori-Teori Keadaan Memaksa

Ada dua teori yang membahas tentang keadaan memaksa, yaitu

1) teori ketidakmungkinan (onmogelijkeheid), dan

2) teori penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld). 

Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa yaitu  suatu

keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. 

Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam.

a. Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolut onmogelijkheid), yaitu 

suatu ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk melakukan prestasinya 

pada kreditur.

b. Ketidakmungkinan relatif atau ketidakmungkinan subjektif (relative 

onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk 

memenuhi prestasinya.

Teori/ajaran penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheid van 

schuld), berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau 

overmacht peniadaan kesalahan. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan 

tadi tidak boleh/bisa dipertanggungjawabkan (Harahap,1986: 84).

4. Akibat Keadaan Memaksa

Ada tiga akibat keadaan memaksa, yaitu.

a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);

b. beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara;

c. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi,namun  sekaligus demi hukum 

bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk 

yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.

Ketiga akibat itu dibedakan menjadi dua macam, yaitu

(1) akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat nomor a dan c, dan

(2) akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat nomor b.

E. RISIKO

Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer 

(ajaran tentang risiko). Resicoleer yaitu  suatu ajaran, yaitu seseorang ber­

kewajiban untuk memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan 

salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini 

timbul bila  ada  keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini dapat 

diterapkan pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak 

yaitu  suatu perjanjian, di mana salah satu pihak aktif melakukan prestasi, 

sedangkan pihak lainnya pasif. Misalnya A memberi  sebidang tanah pada B. 

Tanah itu direncanakan untuk diserahkan pada tanggal 10 Mei 1996,namun  pada 

tanggal 15 April 1996 tanah itu musnah. Pertanyaannya kini, siapa yang menang­

gung risiko? Yang menanggung risiko atas musnahnya tanah ini  yaitu  B 

(penerima tanah) (Pasal 1237 KUH Perdata).

Perjanjian timbal balik yaitu  suatu perjanjian yang kedua belah pihak 

diwajibkan untuk melakukan prestasi, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat 

antara keduanya. Yang termasuk dalam perjanjian timbal balik, yaitu jual beli, 

sewa menyewa, tukar menukar, dan lain-lain. Contohnya, A telah membeli sebuah 

rumah beserta tanahnya pada B seharga Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 

Rumah itu dibeli pada tanggal 10 Januari 1996. Namun rumah ini  belum 

diserahkan kuncinya oleh B kepada A. Akannamun , pada tanggal 10 Februari 

1996 terjadi gempa bumi yang memusnahkan rumah ini . Pertanyaannya 

kini, siapakah yang menanggung risiko atas rumah ini ? Menurut Pasal 

1460 KUH Perdata yang menanggung risiko atas musnahnya rumah ini  

yaitu  A (pembeli), walaupun rumah ini  belum diserahkan dan dibayar 

lunas. Jadi, B berhak menagih berapa pembayaran yang belum dilunasi oleh A.

Ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata telah dicabut berdasar  SEMA Nomor 

3 Tahun 1963. Ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara tegas, namun pene­

rapannya harus memperhatikan:

1. bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu, dan

2. bergantung pada orang yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang 

ini .

Di dalam perjanjian tukar-menukar, risiko tentang musnahnya barang di 

luar kesalahan pemilik, persetujuan dianggap gugur, dan pihak yang telah 

memenuhi persetujuan dapat menuntut pengembalian barang yang ia telah berikan 

dalam tukar-menukar (Pasal 1545 KUH Perdata).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual beli risiko 

atas musnahnya barang menjadi tanggung jawab pembeli, sedangkan dalam 

perjanjian tukar-menukar, perjanjian menjadi gugur.

---------------------  

1. a. Jelaskan pengertian somasi yang Anda ketahui!

b. Kemukakan tujuan somasi!

2. a. Kemukakan bentuk somasi!

b. Sebutkan hal-hal yang tidak perlu dilakukan somasi!

3. a. Kemukakan akibat adanya wanprestasi!

b. Sebutkan hal-hal yang dapat dituntut oleh kreditur terhadap debitur 

yang telah melakukan wanprestasi!

4. a. Kemukakan pemicu  timbulnya ganti rugi!

b. Sebutkan kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur!

5. A yaitu  pengusaha yang telah meminjam uang pada bank sebanyak 

Rp20.000.000,00. Pada mulanya nasabah ini lancar membayar angsurannya. 

Namun, sebab  adanya banjir maka nasabah sudah tidak mampu membayar 

utang-utang bank.

Pertanyaan:

a. Apakah dengan adanya banjir ini , dapat dijadikan alasan adanya 

overmacht, sehingga yang bersangkutan tidak perlu membayar utang- 

utangnya pada bank? Jelaskan!

b. Sebutkan dan jelaskan macam-macam overmacht yang Anda ketahui!

6. a. Kemukakan apa yang Anda ketahui tentang resicoleer\

b. Siapakah yang menanggung risiko dalam perjanjian tukar-menukar! 

Jelaskan!

ENYUSUNAN, STRUKTUR, DAN 

ANATOMI KONTRAK

A. PENGANTAR

Pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang- 

undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, kontrak yang dibuat 

oleh para pihak disamakan dengan undang-undang. Oleh sebab  itu, untuk 

membuat kontrak diperlukan ketelitian dan kecermatan dari para pihak, baik dari 

pihak kreditur maupun debitur, pihak investor maupun dari pihak negara yang 

bersangkutan. Hal-hal yang diperhatikan oleh para pihak yang akan mengadakan 

dan membuat kontrak yaitu 

(1) kewenangan hukum para pihak,

(2) perpajakan,

(3) alas hak yang sah,

(4) masalah keagrariaan,

(5) pilihan hukum,

(6) penyelesaian sengketa,

(7) pengakhiran kontrak, dan

(8) bentuk perjanjian standar 

Kedelapan hal itu dijelaskan berikut ini.

1. Kemampuan Para Pihak

Kemampuan para pihak, yaitu kecakapan dan kemampuan para pihak untuk 

mengadakan dan membuat kontrak. Di dalam KUH Perdata ditentukan bahwa 

orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum bila  telah 

dewasa dan atau sudah kawin. Ukuran kedewasaan, yaitu berumur 21 tahun. 

Sedangkan orang-orang yang tidak wenang untuk membuat kontrak yaitu 

(1) minderjarigheid (di bawah umur),

(2) curatele (di bawah pengampunan), dan

(3) istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Istri kini wenang untuk membuat kontrak 

(SEMA Nomor 3 Tahun 1963; Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 

1974 tentang Perkawinan).

2. Perpajakan

Dalam banyak hal, para pihak pembuat kontrak menginginkan perjanjian 

dirumuskan sedemikian rupa untuk memperkecil pajak, sebab  transaksi bisnis 

merupakan transaksi kena pajak. Pada dasarnya perancang kontrak, yaitu para 

ahli hukum harus memberi  pelayanan yang memuaskan kliennya. Akannamun , 

dalam hal memperkecil pengenaan pajak, bukan tidak mungkin rumusan kontrak 

itu menjadi lain dari maksud para pihak yang sesun