(Pasal 1750 KUH Perdata);
b. menyerahkan barang yang dipinjamnya.
Hak pemberi pinjaman yaitu menerima kembali barang yang telah
dipinjamnya.
K. PERJANJIAN PINJAM-MEMINJAM (PAKAI HABIS)
1. Pengertian
Pinjam-meminjam (pakai habis) diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal
1762 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan pinjam-meminjam (pinjam pakai habis)
yaitu suatu perjanjian yang menentukan pihak pertama menyerahkan beberapa
uang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak
kedua ini akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak lain dalam
jumlah dan keadaan yang sama (Pasal 1754 KUH Perdata).
berdasar definisi di atas maka orang yang menerima pinjaman menjadi
pemilik mutlak barang pinjaman itu dan bila barang itu musnah maka yang
bertanggung jawab yaitu peminjam itu sendiri.
2. Subjek dan Objek Pinjam Pakai Habis
Subjek dalam perjanjian pinjam-meminjam (pakai habis) yaitu pemberi
pinjaman (kreditur) dan penerima pinjaman (debitur). Kreditur yaitu orang yang
memberi pinjaman uang kepada debitur, sedangkan debitur yaitu orang yang
menerima pinjaman dari kreditur. Sedangkan yang menjadi objek pinjam-meminjam
(pakai habis) yaitu semua barang-barang yang habis dipakai, dengan syarat
barang itu harus tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan.
3. Hak dan Kewajiban
Hak dan kewajiban antara pemberi dan penerima pinjaman diatur dalam
Pasal 1759 sampai dengan Pasal 1764 KUH Perdata. Hak dari peminjam yaitu
menerima barang yang dipinjam dari pemberi pinjaman. Kewajiban pemberi pinjaman
tidak dapat meminta kembali barang yang diperpinjamkan sebelum lewat waktu
yang ditentukan dalam perjanjian.
Kewajiban dari peminjam yaitu mengembalikan barang yang dipinjam dalam
jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang diperjanjikan (Pasal 1763
KUH Perdata). Jika ia tidak mampu memenuhi kewajibannya maka ia diwajibkan
membayar harga barang yang dipinjamnya, dengan syarat ia harus memperhatikan
waktu dan tempat di mana barangnya, sesuai dengan kontrak (Pasal 1763 KUH
Perdata). Yang menjadi hak dari peminjam yaitu menerima barang yang dipinjam,
pakai habis.
4. Peminjaman dengan Bunga
Pada dasarnya, peminjaman uang atau barang yang habis dalam pemakaian,
diperbolehkan untuk membuat syarat bahwa atas pinjaman itu akan dibayarkan
bunga (Pasal 1765 KUH Perdata). Akannamun , bila tidak diperjanjikan maka
tidak ada kewajiban dari peminjam untuk membayarkan bunga ini . Jika
peminjam telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan maka peminjam tidak
dapat meminta kembali bunga ini dan tidak dapat menguranginya dari pinjaman
pokok, kecuali bunga yang dibayar melampaui bunga yang ditentukan oleh undang-
undang.
Bunga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
a. bunga yang ditentukan dalam undang-undang;
b. bunga yang didasarkan pada perjanjian (Pasal 1767 KUH Perdata).
Bunga menurut undang-undang yaitu bunga yang ditentukan menurut undang-
undang. Bunga yang ditentukan oleh undang-undang sebesar 6%/tahun, sedangkan
menurut Staatsblaad Tahun 1976 Nomor 239, bunga yang ditetapkan dalam undang-
undang berkisar antara 8 sampai dengan 10%/tahun. Dalam praktiknya, bunga
perbankan berkisar antara 18 sampai dengan 24%/tahun. Sedangkan bunga menurut
perjanjian yaitu bunga yang ditentukan besarnya oleh para pihak, berdasar
atas kesepakatan yang dibuat antara mereka. Bunga berdasar perjanjian ini
boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang dilarang
oleh undang-undang. Di dalam praktik di warga kita, bunga menurut perjanjian
ini seringkali ditentukan oleh salah satu pihak, terutama pemilik uang dan bunga
yang ditentukan sangat tinggi, yaitu berkisar antara 5-7%/bulan. Ini berarti dalam
setahun bunganya berkisar antara 60-84%. Bunga sebesar ini sungguh mem
beratkan bagi peminjam. Ini menunjukkan bahwa kedudukan peminjam berada
pada posisi yang lemah, sehingga apa yang ditawarkan oleh pemilik uang selalu
diterima dengan terpaksa oleh nasabah ini .
L. BUNGA TETAP ATAU BUNGA ABADI
Bunga tetap atau bunga abadi diatur dalam Pasal 1770 sampai dengan Pasal
1773 KUH Perdata. Perjanjian bunga abadi merupakan perjanjian bahwa pihak
yang memberi pinjaman uang akan menerima pembayaran bunga atas beberapa
uang pokok yang tidak akan dimintanya kembali (Pasal 1770 KUH Perdata).
Bunga itu dapat diangsur. Hanya kedua belah pihak dapat mengadakan kesepakatan
bahwa angsuran itu tidak boleh dilakukan sebelum lewat waktu tertentu, yang
tidak boleh ditetapkan lebih lama dari 10 (sepuluh) tahun, atau tidak boleh di
lakukan sebelum diberitahukan kepada kreditur dengan suatu tenggang waktu,
yang sebelumnya telah ditetapkan oleh mereka,namun tidak boleh lebih lama dari
1 (satu) tahun (Pasal 1771 KUH Perdata). Sebagai contoh Indonesia telah berutang
pada negara donor, seperti CGI, IMF, ADB, dan lain-lain. Bunga yang ditetapkan
oleh pemberi pinjaman sangat kecil, yaitu 5-10%/tahun dan jangka waktunya,
berkisar antara 10 sampai 30 tahun.
Seorang berutang bunga abadi dapat dipaksa mengembalikan uang pokok:
a. jika ia tidak membayar apa pun dari bunga yang harus dibayarnya selama 2
(dua) tahun berturut-turut;
b. jika ia lalai memberi jaminan yang dijanjikan kepada kreditur;
c. jika ia dinyatakan pailit atau dalam keadaan benar-benar tidak mampu mem
bayar (Pasal 1772 KUH Perdata).
Dalam hal yang pertama dan kedua, debitur dapat membebaskan diri dari
kewajiban mengembalikan uang pokok, jika dalam waktu 20 (dua puluh) hari
terhitung ia mulai diperingatkan dengan perantaraan hakim, ia membayar angsuran-
angsuran yang sudah harus dibayarnya atau memberi jaminan yang dijanjikan.
M. PERJANJIAN UNTUNG-UNTUNGAN
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Untung-untungan
Istilah perjanjian untung-untungan berasal dari terjemahan kansovereenkomst
(Belanda). Perjanjian ini diatur di dalam Bab XV Buku III KUH Perdata.
Jumlah pasal yang mengatur tentang perjanjian untung-untungan sebanyak 18
pasal, yang dimulai dari Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791 KUH Perdata.
Konsep teoretis tentang perjanjian untung-untungan dapat dilihat dalam Pasal
1774 KUH Perdata. Perjanjian untung-untungan yaitu
’’Suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenai untung ruginya, baik bagi
semua pihak maupun bagi sementara pihak, yang tergantung pada suatu
kejadian yang belum pasti.”
Selanjutnya di dalam Artikel 1811 NBW disebutkan juga pengertian perjanjian
untung-untungan. Perjanjian untung-untungan ialah
’’Suatu perjanjian, di mana suatu hasil untung rugi bagi kedua belah pihak
tidak dapat dipastikan terlebih dahulu,namun didasarkan pada suatu kejadian
yang belum pasti.”
Kedua definisi itu mekonstruksikan perjanjian untung-untungan merupakan
perjanjian yang belum pasti. Belum pasti ini berarti bahwa hasil yang diperoleh
dari kegiatan itu belum tentu ada. Hasil yang diperoleh dari perjanjian ini tergantung
pada faktor nasib dari para pihak.
2. Jenis-Jenis Perjanjian Untung-untungan
Perjanjian untung-untungan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu
(1) perjanjian pertanggungan (asuransi),
(2) bunga cagak hidup, dan
(3) perjudian dan pertaruhan (Pasal 1774 KUH Perdata).
Perjanjian pertanggungan (asuransi) diatur di dalam KUH Dagang, sedangkan
jenis kedua dan ketiga diatur di dalam KUH Perdata. Dengan demikian sehingga
di sini berlaku asas lex specialis derogaat lex generale, artinya undang-
undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.
Walaupun di dalam KUH Perdata hanya diatur secara singkat tentang asuransi,
namun secara khusus hal itu diatur dalam KUH Dagang.
Di dalam subbab ini akan dipaparkan jenis perjanjian untung-untungan yang
kedua dan ketiga, yaitu bunga cagak hidup dan perjudian dan pertaruhan, sebab
kedua hal itu diatur di dalam KUH Perdata, sedangkan hal yang pertama, yaitu
pertanggungan akan dikaji oleh ahli lainnya.
3. Bunga Cagak Hidup
a. Pengertian Bunga Cagak Hidup
Istilah bunga cagak hidup berasal dari terjemahan lijfrente. Di dalam KUH
Perdata tidak kita temui pengertian bunga cagak hidup, yang ada hanya
tentang cara terjadinya bunga cagak hidup dan orang-orang yang berhak
untuk mendapat cagak hidup. Vollmar mengartikan bunga cagak hidup, yaitu
’’Bunga yang harus dibayar selama hidupnya atau selama bagian dari hidupnya
seorang tertentu, yang sebab itu lantas ada harapan, bahwa di situ hanya
perlu dibayarkan (uang) sedikit saja atau sama sekali tidak perlu dibayar apa-
apa atau di situ perlu dibayarkan bunga yang sangat tinggi jumlahnya, satu
dan lain dengan mengingat orang di atas dirinya bunga itu ditanamkan atau
panjang umurnya.” (Vollmar, tt: 408—409)
Inti dari definisi cagak hidup ini yaitu pemberian biaya hidup kepada seorang
tertentu. Definisi yang agak jelas dapat kita baca dalam Kamus Hukum dan
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Di dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa
bunga cagak hidup atau lijfrente yaitu
’’Pembayaran berkala yang dibayar selama hidup orang tertentu, atau selama
waktu tertentu, asal saja orang ini masih hidup.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bunga cagak hidup yaitu
’’Uang atau bunga yang harus dibayarkan setiap tahun (bulan) kepada orang
yang ditunjuk selama ia masih hidup atau dalam beberapa waktu tertentu
untuk keperluan sehari-harinya.”
Kedua definisi itu tidak disebutkan siapa yang memberi bunga ini
kepada orang tertentu. Yang ada hanya penerima bunga cagak hidup, yang
diberikan selama masih hidup. bila yang bersangkutan meninggal dunia
maka pemberian bunga cagak hidup itu menjadi tidak berlaku lagi. Konstruksi
ini analog dengan trust yang dikenal di dalam common law. Di dalam trust,
jelas siapa pemberi dan yang menerima atau yang mengelola uang, sedangkan
dalam bunga cagak hidup tidak dijelaskan pemberi cagak hidup. Oleh sebab
berbagai definisi itu kurang jelas, maka penulis mencoba memberi definisi
yang mendekati kebenaran. Bunga cagak hidup yaitu
’’Bunga yang dibayarkan setiap tahun (bulan) oleh seseorang kepada orang-
orang yang ditunjuk selama ia masih hidup atau selama waktu tertentu
untuk keperluan sehari-hari.”
Unsur yang tampak dalam definisi ini yaitu
1) adanya bunga,
2) adanya pemberi dan penerima,
3) jangka waktu tertentu, yaitu selama masih hidup, dan
4) untuk keperluan hidup sehari-hari.
Cara Terjadinya Bunga Cagak Hidup
Cara terjadinya bunga cagak hidup diatur dalam Pasal 1775 KUH Perdata.
Cara terjadinya bunga cagak hidup dibagi menjadi 3 (tiga) cara, yaitu
1) perjanjian,
2) hibah, dan
3) wasiat.
Terjadinya bunga cagak hidup sebab perjanjian yaitu suatu cara terjadinya
dipicu oleh adanya perjanjian antara para pihak yang mengadakan
bunga cagak hidup. Misalnya, A berjanji pada B untuk memberi bunga
cagak hidup selama hidupnya. Besarnya bunga cagak hidup yang diserahkan
kepada B sebesar Rp50.000,00/bulan. Uang sebanyak itulah dipakai oleh
B untuk biaya hidupnya selama 1 (satu) bulan. Terjadinya sebab hibah
yaitu terjadinya bunga cagak hidup yang didasarkan pada suatu pemberian
dari si pemilik uang kepada yang menerimanya. Misalnya, A menghibahkan
bunga cagak hidup yang ada di bank untuk kepentingan B. Sedangkan
terjadinya bunga cagak hidup sebab wasiat suatu cara terjadinya bunga
cagak hidup adanya pesan dari seseorang kepada orang lainnya. Misalnya
A membuat surat wasiat pada Notaris, bahwa uang cagak hidup sebesar
Rp5.000.000,00 diserahkan kepada B untuk biaya hidupnya. Biasanya wasiat
seperti itu baru berlaku atau dibuka sesudah pemberi wasiat meninggal dunia.
c. Orang yang Berhak Menerima Bunga Cagak Hidup
Orang yang berhak menerima bunga cagak hidup ini diintrodusir dalam
Pasal 1776 sampai dengan Pasal 1778 KUH Perdata. Orang yang berhak
menerima bunga cagak hidup, yaitu
1) atas diri orang yang memberi pinjaman,
2) atas diri orang yang diberi manfaat dari bunga ini ,
3) atas diri seorang pihak ketiga, walaupun orang ini tidak mendapat
manfaat dibandingkan nya,
4) atas diri satu orang atau lebih, dan
5) dapat diadakan untuk seorang pihak ketiga, meskipun uangnya diberikan
oleh orang lain.
Pada dasarnya bunga cagak hidup hanya diberikan kepada orang yang
masih hidup, sedangkan bagi orang yang sudah meninggal pada hari perjanjian
tidak sah atau tidak memiliki kekuatan hukum.
4. Perjudian dan Pertaruhan
Perjudian dan pertaruhan diatur di dalam Pasal 1788 sampai dengan Pasal
1791 KUH Perdata. Perjudian merupakan perbuatan untuk mempertaruhkan
beberapa uang atau harta dalam permainan tebakan berdasar kebetulan,
dengan tujuan untuk mendapatkan harta yang lebih besar dibandingkan jumlah uang
atau harta semula. Sedangkan pertaruhan yaitu uang atau harta benda yang
dipasang ketika berjudi. Secara sosiologis banyak kegiatan-kegiatan berkaitan
dengan perjudian dan pertaruhan, seperti misalnya judi kupon putih, judi ayam,
dan lain-lain.
Perjudian dan pertaruhan ini termasuk dalam perikatan wajar (natuurlijk
verbintenis). Artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian tidak
memiliki hak untuk menuntutnya ke pengadilan, bila salah satu pihak
wanprestasi (Pasal 1788 KUH Perdata). Ini dipicu sebab perjanjian ini
bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Di
dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Perjudian disebutkan bahwa
perjudian pada hakikatnya bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral/,
Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan bangsa dan
negara. Walaupun perjudian dan pertaruhan itu dilarang, namun ada pengecualiannya,
yaitu dalam permainan-permainan yang dapat dipergunakan untuk olahraga,
seperti anggar, lari cepat, dan lain-lain (Pasal 1789 KUH Perdata). Pertaruhan
dan perjudian dalam permainan olahraga ini dibolehkan,namun nilai perjudian dan
pertaruhannya bila melebihi nilai kepantasan maka hakim dapat menolak
gugatan ini .
bila pihak yang kalah dalam judi dan pertaruhan secara sukarela mem
bayar uang ini , sekali-kali tidak dapat menuntut kembali uangnya, kecuali
bila pihak yang menang itu telah melakukan kecurangan dan penipuan (Pasal
1791 KUH Perdata).
N. PEMBERIAN KUASA
1. Pengertian Pemberian Kuasa
Perjanjian pemberian kuasa atau disebut juga dengan lastgeving. Lastgeving
diatur di dalam Pasal 1792 s.d. Pasal 1818 KUH Perdata, sedangkan di dalam
NBW Belanda, lastgeving diatur pada Artikel 1829. Perjanjian pemberian kuasa
yaitu suatu perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain
yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi
kuasa (Pasal 1792 KUH Perdata). Algra, dkk mendefinisikan pemberian kuasa
yaitu
’’Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberi kuasa kepada
pihak yang lain (penerima kuasa/lasthebber), yang menerimanya-untuk
atas namanya sendiri atau tidak-menyelenggarakan satu perbuatan hukum
atau lebih untuk yang memberi kuasa itu.”
Selanjutnya Algra mengemukakan ciri-ciri dari perjanjian pemberian kuasa,
yaitu
a. bebas bentuk, artinya dapat dibuat dalam bentuk lisan atau tertulis, dan
b. persetujuan timbal balik para pihak telah mencukupi.
2. Jenis-Jenis Pemberian Kuasa
bila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan
menjadi enam macam, yaitu
a. akta umum,
b. surat di bawah tangan,
c . lisan,
d. diam-diam,
e. cuma-cuma,
f. kata khusus, dan
g. umum (Pasal 1793 s.d. Pasal 1796 KUH Perdata).
Pemberian kuasa dengan akta umum yaitu suatu pemberian kuasa yang
dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan memakai akta
notaris atau akta notariel. Artinya bahwa pemberian kuasa itu dilakukan di
hadapan dan di muka Notaris. Dengan demikian pemberian kuasa memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna. Pemberian kuasa dengan surat di bawah
tangan yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa, artinya surat pemberian kuasa itu hanya dibuatkan oleh
para pihak. Pemberian kuasa secara lisan yaitu suatu kuasa yang dilakukan
secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Pemberian kuasa
secara diam-diam yaitu suatu kuasa yang dilakukan secara diam-diam oleh
pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Sedangkan pemberian kuasa secara
cuma-cuma yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa, artinya penerima kuasa tidak memungut biaya dari
pemberi kuasa.
Pemberian kuasa khusus, yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara
pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya pemberian kuasa itu hanya
mengenai kepentingan tertentu saja atau lebih dari pemberi kuasa. Sedangkan
pemberian kuasa umum, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi
kuasa kepada penerima kuasa, artinya isi atau substansi kuasanya bersifat umum
dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.
3. Subjek dan Objek Pemberian Kuasa
Subjek dalam perjanjian pemberian kuasa yaitu pemberi kuasa dan penerima
kuasa. Yang menjadi pokok perjanjian pemberian kuasa yaitu dapat satu atau
lebih perbuatan hukum dalam hukum harta kekayaan.
4. Bentuk dan Isi Perjanjian Pemberian Kuasa
Di dalam Pasal 1793 KUH Perdata ditentukan bentuk perjanjian pemberian
kuasa. Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan akta autentik, dalam bentuk
tulisan di bawah tangan, dan dengan lisan. Pemberian kuasa dengan akta autentik
yaitu suatu pemberian kuasa, yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima
kuasa, artinya perjanjian kuasa itu dibuat di muka dan di hadapan notaris.
Pemberian kuasa dalam bentuk tulisan di bawah tangan merupakan perjanjian
pemberian kuasa yang dibuat secara tertulis antara pemberi kuasa dan penerima
kuasa. Perjanjian pemberian kuasa secara lisan merupakan perjanjian pemberian
kuasa, artinya pihak pemberi kuasa memberi kuasa secara lisan kepada
penerima kuasa tentang hal yang dikuasakannya.
Isi pemberian kuasa ditentukan oleh pihak pemberi kuasa. Pemberi kuasa
biasanya memberi kuasa kepada penerima kuasa untuk mewakilinya, baik di
luar pengadilan maupun di muka pengadilan. Suatu contoh pemberian kuasa di
luar pengadilan, yaitu penerima kuasa dikuasakan untuk menandatangani perjanjian
kredit. Ini dipicu pemberi kuasa pada saat akan menandatangani perjanjian
kredit tidak berada di tempat. Sehingga penerima kuasa yang mewakili
menandatangani perjanjian kredit ini . Begitu juga di pengadilan, pemberi
kuasa menguasakan kepada seorang pengacara untuk mewakilinya di pengadilan.
Ini dipicu kurangnya kemampuan dan pengetahuan dari pemberi kuasa
dalam bidang hukum. Pemberi kuasa merasa tenang dan aman dalam mem
perjuangkan hak-haknya di pengadilan bila yang mewakilinya memiliki
kemampuan dan pengetahuan hukum yang luas. Sehingga, pada gilirannya ia
akan mendapatkan hak yang dituntutnya di pengadilan. Biasanya surat kuasa
yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, baik di luar pengadilan
maupun di pengadilan merupakan surat kuasa khusus. Berikut ini disajikan sebuah
contoh surat kuasa dalam perjanjian kredit bank.
SURAT KUASA
Nomor: Sembilan
Pada hari ini, hari Selasa, tanggal lima belas November Dua Ribu Dua,
telah menghadap di muka saya, Abdurrahim Sarjana Hukum, di dalam hal ini
bertindak sebagai Wakil Notaris Sementara, bertempat kedudukan di Mataram,
yang untuk itu diangkat dengan Surat Keputusan Pengadilan Negeri Mataram,
, tanggal, 3 (tiga) Maret 1982 (seribu sembilan ratus delapan dua) Nomor: 03/
PN.MTR/II.SK/UP/1982 (nol tiga garis miring PN titik MTR garis miring dua
romawi titik SK garis miring UP garis miring seribu sembilan ratus delapan
puluh dua). Jo Surat Keputusan Kepala Pengadilan Negeri Mataram di Ampenan
tertanggal 6 (enam) April 1966 (seribu sembilan ratus enam puluh enam), nomor
14 (empat belas), di muka dua orang saksi yang telah saya kenal dan yang
nama-namanya akan disebut pada akhir akta ini:
1. Tuan Salim, H.S. Sarjana Hukum, Dosen Fakultas Hukum Universitas
Mataram, bertempat tinggal di Jalan Towuti 1/6 Komplek Perum Perumnas
Mataram (Lombok Barat), menurut keterangannya di dalam hal ini bertindak
untuk diri sendiri.
Penghadap telah saya, Wakil Notaris Sementara, kenal. Penghadap dalam
kedudukan dan tindakannya ini di atas lebih lanjut menerangkan kepada
saya, Wakil Notaris Sementara, bahwa dengan ini memberi kuasa kepada:
2. Nyonya Mardiana, Guru SDN Nomor IV Karang Pule Ampenan-Mataram
(Lombok Barat), bertempat tinggal di Jalan Towuti 1/6 Perum Perumnas
Mataram (Lombok Barat), yang selanjutnya disebut Yang Diberi Kuasa.
KHUSUS
Untuk mewakili penghadap dalam kedudukan dan tindakannya seperti
diuraikan di depan, yang selanjutnya disebut Yang Memberi Kuasa di mana-
mana dan terhadap siapa pun juga baik instansi-instansi pemerintah maupun
swasta dan badan-badan lainnya, dalam hal pengurusaan, penyelesaian, dan
penandatanganan segala macam surat yang berhubungan dengan Akta Jual Beli
dan Penyerahan Hak pemakaian Atas Tanah dan Realisasi Perjanjian Kredit
Pemilikan Rumah dari Bank Tabungan Negara Cabang Denpasar, atas:
Sebuah Bangunan Rumah Permanen (Proyek Rumah Murah) yang dibangun di
atas tanah Hak Guna Bangunan yang terletak di Jalan Towuti 1/6 Komplek
Perum Perumnas Mataram (Lombok Barat).
Demikian Yang Diberi Kuasa berhak:
Untuk mengurus, menyelesaikan, dan menandatangani segala macam surat yang
berhubungan dengan Akta Jual Beli dan penyerahan Hak pemakaian Atas Tanah
dan Realisasi Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah yang dimaksud.
DEMIKIANLAH
Akta ini dibuat untuk menjadi bukti yang sah dan disahkan di Mataram, pada
hari, tanggal, bulan, dan tahun sebagai diterangkan pada awal akta ini di hadapan
saudara-saudara Ida Wayan Draka dan Saelan masing-masing menjadi pegawai
pada kantor Wakil Notaris Sementara di Mataram, masing-masing bertempat
tinggal di Cakranegara dan Ampenan sebagai saksi-saksi.
Seketika sesudah akta ini dibacakan, lalu ditandatangani oleh penghadap, kedua
saksi dan saya, Wakil Notaris Sementara ini .
Terbuat dengan tidak memakai tambahan, perubahan maupun pencoretan.
Sudah ditandatangani oleh:
1. Salim H.S., S.H.
2. Ida Wayan Draka
3. Saelan
4. Abdurrahim, S.H
Diberikan untuk turunan yang berbunyi;
Wakil Notaris Sementara
ttd.
Abdurrahim S.H.
Substansi surat kuasa ini telah dirumuskan oleh notaris. Para pihak tinggal
menjelaskan tentang isi surat kuasa secara umum dan selanjutnya para notarislah
yang merumuskan substansi surat kuasa ini . Hal-hal yang tercantum dalam
surat kuasa di atas, meliputi:
a. tanggal para pihak menghadap notaris;
b. subjek hukum, yaitu pihak pemberi kuasa, yaitu Salim H.S. dan penerima
kuasa, yaitu Mardiana;
c. sifat surat kuasa, yaitu surat kuasa khusus;
d. objek pemberian kuasa, yaitu mengurus, menyelesaikan, dan menandatangani
segala macam surat yang berhubungan dengan akta jual beli dan penyerahan
hak pemakaian atas tanah dan realisasi perjanjian kredit pemilikan rumah;
e. adanya dua orang saksi.
Surat kuasa yang dibuat oleh para pihak sebagai bukti yang sah. Dengan
adanya surat kuasa ini , pihak Bank Tabungan Negara akan merealisasikan
perjanjian kredit pemilikan rumah antara Salim H.S. dengan bank. Sedangkan
Salim H.S. sendiri diwakili oleh penerima kuasa, yaitu Mardiana.
Di samping contoh surat kuasa di atas, berikut ini juga disajikan contoh
surat kuasa antara seorang klien dengan seorang pengacara.
SURAT KUASA KHUSUS
Yang bertanda tangan di bawah ini : -----------------------------------------------------
Ali S. Bawazir, Pekerjaan swasta, Umur 60 tahun, beralamat di Jalan
Utama V No. 5 RT 005 RW 005 Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan
Duren Sawit Kodya Jakarta Timur, selanjutnya disebut sebagai : -----
’’Pemberi Kuasa”,
dengan ini menerangkan dan memberi kuasa kepada :
M. Irawan Dilaga, S.H., Pengacara Praktik berkedudukan di Wilayah Pengadilan
Negeri Dompu berdasar Surat Keputusan Ketua PT Mataram dengan SK
No. W.24 DMT-03-HK-02.08 tanggal 9 November 1998, bertempat tinggal di
Jalan Merapi No. 16 A Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat,
selanjutnya disebut sebagai : -----------------------------------------------------------------
---------------------------------------- ’’Penerima Kuasa” -------------------------------------
-------------------------------------------- KHUSUS---------------------------------------------
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa, mewakili Pemberi Kuasa dalam Tingkat
Banding sebagai Penggugat/Terbanding dalam Perkara No. /PDT.G/2001/
PN.MTR, di Pengadilan Tinggi Mataram. Untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan
untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan, menghadap hakim-hakim,
menerima, mengajukan dan menandatangani surat-surat, permohonan-
permohonan, memori-memori, kesimpulan-kesimpulan (konklusi-konklusi), meminta
atau memberi segala keterangan yang diperlukan, penting, perlu, dan berguna
sehubungan dengan pembelaan/menjalankan perkara, serta dapat mengerjakan
segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh seorang kuasa/
wakil guna kepentingan ini di atas, juga untuk mengajukan permohonan
kasasi.
Penerima Kuasa,
ttd.
Mataram, 10 Januari 2002
Pemberi Kuasa,
ttd.
M. Irawan Dilaga, S.H. Ali S. Bawazir
Surat Kuasa ini telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Mataram
pada hari: ,Tanggal Januari 2002 di bawah Register Nomor:
Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Mataram
ttd.
Lanabe. S.H.
NIP 040019994
Hal-hal yang tercantum dalam surat kuasa antara klien dengan seorang
lawyer, meliputi:
1. pemberi kuasa dan penerima kuasa, yaitu Ali S. Bawazir dan Irawan Dilaga,
S.H.;
2. objek pemberian kuasa yaitu mewakili pemberi kuasa dalam perkara tingkat
banding;
3. surat kuasa didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimaksudkan susaha perjanjian
pemberian kuasa dapat dipakai dalam mewakili klien pada Pengadilan Tingkat
Banding.
5. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa
Hubungan hukum yang terjadi antara pemberi kuasa dan penerima akan
memicu akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban
para pihak. Kewajiban penerima kuasa disajikan berikut ini.
a. Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian,
dan bunga yang timbul dari tidak dilaksanakannya kuasa itu.
b. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi
kuasa meninggal dan dapat memicu kerugian jika tidak segera diselesaikan.
c. Bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
dan kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
d. Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukan,
serta memberi perhitungan segala sesuatu yang diterimanya.
e. Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya
dalam melaksanakan kuasanya:
(1) bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya;
(2) bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan
orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu
(Pasal 1800 s.d. Pasal 1803 KUH Perdata).
Hak penerima kuasa yaitu menerima jasa dari pemberi kuasa. Hak pemberi
kuasa yaitu menerima hasil atau jasa dari penerima kuasa. Kewajiban pemberi
kuasa yaitu
a. memenuhi perjanjian yang telah dibuat antara penerima kuasa dengan pemberi
kuasa;
b. mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa;
c. membayar upah kepada penerima kuasa;
d. memberi ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian yang dideritanya
sewaktu menjalankan kuasanya;
e. membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan penerima kuasa,
terhitung mulai dikeluarkannya persekot ini (Pasal 1807 s.d. Pasal 1810
KUH Perdata).
6. Berakhirnya Pemberian Kuasa
Ada lima cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu
a. penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa;
b. pemberitahuan penghentian kuasanya oleh pemberi kuasa;
c. meninggalnya salah satu pihak;
d. pemberi kuasa atau penerima berada di bawah pengampuan; atau
e. pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa;
f. kawinnya perempuan yang memberi dan menerima kuasa (Pasal 1813 KUH
Perdata).
0 . PERJANJIAN PENANGGUNGAN UTANG
1. Sifat Perjanjian Penanggungan Utang
Perjanjian penanggungan utang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan
Pasal 1850 KUH Perdata. Penanggungan yaitu suatu perjanjian, di mana
pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi
perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820
KUH Perdata).
bila diperhatikan definisi ini , maka jelaslah bahwa ada tiga pihak
yang terlibat dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak kreditur, debitur,
dan pihak ketiga. Kreditur di sini berkedudukan sebagai pemberi kredit atau
utang, sedangkan debitur yaitu orang yang mendapat pinjaman uang atau
kredit dari kreditur. Pihak ketiga yaitu orang yang akan menjadi penanggung
utang debitur kepada kreditur, manakala debitur tidak memenuhi prestasinya.
Sifat perjanjian penanggungan utang yaitu bersifat accesoir (tambahan),
sedangkan perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian pinjam
uang antara debitur dengan kreditur.
2. Akibat-Akibat Penanggungan antara Kreditur dan Penanggung
Pada prinsipnya, penanggung utang tidak wajib membayar utang debitur
kepada kreditur, kecuali jika debitur lalai membayar utangnya. Untuk membayar
utang debitur ini maka barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual
terlebih dahulu untuk melunasi utangnya (Pasal 1831 KUH Perdata).
Penanggung tidak dapat menuntut susaha barang milik debitur lebih dulu
disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
a. bila ia (penanggung utang) telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut
barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;
b. bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur utama secara
tanggung-menanggung; dalam hal itu akibat-akibat perikatannya diatur
menurut asas-asas utang-utang tanggung menanggung;
c. bila debitur dapat mengajukan suatu eksepsi yang hanya mengenai dirinya
sendiri secara pribadi;
d. bila debitur dalam keadaan pailit;
e. dalam hal penanggungan yang diperintahkan hakim (Pasal 1832 KUH
Perdata).
3. Akibat-Akibat Penanggungan antara Debitur dan Penanggung dan
antara Para Penanggung
Hubungan hukum antara penanggung dengan debitur utama yaitu erat
kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran utang debitur kepada kreditur.
Untuk itu, pihak penanggung menuntut kepada debitur susaha membayar apa
yang telah dilakukan oleh penanggung kepada kreditur. Di samping penanggung
utang juga berhak untuk menuntut:
a. pokok dan bunga;
b. penggantian biaya, kerugian, dan bunga.
Di samping itu, penanggung juga dapat menuntut debitur untuk diberikan
ganti rugi atau untuk dibebaskan dari suatu perikatannya, bahkan sebelum ia
membayar utangnya:
a. bila ia digugat di muka hakim untuk membayar;
b. bila debitur berjanji untuk membebaskannya dari penanggungannya pada
suatu waktu tertentu;
c. bila utangnya sudah dapat ditagih sebab lewatnya jangka waktu yang
telah ditetapkan untuk pembayarannya;
d. sesudah lewat waktu sepuluh tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung
suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali bila perikatan
pokok sedemikian sifatnya, sehingga tidak dapat diakhiri sebelum lewat waktu
tertentu.
Hubungan antara para penanggung dengan debitur disajikan berikut ini. Jika
berbagai orang telah mengikatkan dirinya sebagai penanggung untuk seorang
debitur dan untuk utang yang sama maka penanggung yang melunasi utangnya
berhak untuk menuntut kepada penanggung yang lainnya, masing-masing untuk
bagiannya.
4. Hapusnya Penanggungan Utang
Hapusnya penanggungan utang diatur dalam Pasal 1845 sampai dengan
Pasal 1850 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1845 KUH Perdata disebutkan
bahwa perikatan yang timbul sebab penanggungan, hapus sebab sebab-sebab
yang sama dengan yang memicu berakhirnya perikatan lainnya. Pasal ini
menunjuk kepada Pasal 1381, Pasal 1408, Pasal 1424, Pasal 1420, Pasal 1437,
Pasal 1442, Pasal 1574, Pasal 1846, Pasal 1938, dan Pasal 1984 KUH Perdata.
Di dalam Pasal 1381 KUH Perdata ditentukan 10 (sepuluh) cara berakhirnya
perjanjian penanggungan utang, yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai,
diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; pembaruan utang; kompensasi;
pencampuran utang; pembebasan utang; musnahnya barang yang terutang;
kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya syarat pembatalan.
P. PERJANJIAN PERDAMAIAN
1. Pengertian Perjanjian Perdamaian
Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian
perdamaian diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata.
Perdamaian yaitu suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu
perkara yang sedang diperiksa pengadilan atau mencegah timbulnya suatu perkara
(Pasal 1851 KUH Perdata). Definisi lain disebutkan bahwa perdamaian yaitu
’’Persetujuan dengan mana kedua belah pihak atas dasar saling pengertian
mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung atau mencegah timbulnya
suatu sengketa.” (Art. 1888 NBW)
Unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian perdamaian:
a. adanya kesepakatan kedua belah pihak;
b. isi perjanjiannya menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang;
c. kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa;
d. sengketa ini sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya suatu
perkara (sengketa).
2. Orang yang Berwenang Mengadakan Perdamaian
Pada dasarnya setiap orang dapat mengadakan perdamaian,- namun di dalam
Pasal 1852 KUH Perdata ditentukan bahwa orang yang berwenang untuk
mengadakan perdamaian yaitu orang yang berwenang untuk melepaskan haknya
atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu. Sedangkan orang yang tidak
berwenang mengadakan perdamaian yaitu :
a. para wali dan pengampu, kecuali jika mereka bertindak menurut ketentuan-
ketentuan dari Bab XV dan Bab XVII dalam Buku Kesatu KUH Perdata;
b. kepala-kepala daerah dan kepala lembaga-lembaga umum.
3. Objek Perdamaian
Objek perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1853 KUH Perdata. Adapun
objek perjanjian perdamaian yaitu
a. Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul
dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini, perdamaian sekali-
sekali tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau
pelanggaran yang bersangkutan. (AB. 23, 25, 28, 30; KUH Perdata. 1356
dsb Sv. 10)
b. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya.
Sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan
dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian ini . (KUH Perdata
1350)
4. Bentuk Perjanjian Perdamaian
Perdamaian yang diadakan di antara pihak harus dibuatkan dalam bentuk
tertulis (Pasal 1851 ayat (2) KUH Perdata). Maksud diadakan perjanjian per
damaian secara tertulis ini yaitu menjadi alat bukti bagi para pihak untuk di
ajukan ke hadapan hakim (pengadilan). sebab isi perdamaian itu disamakan
dengan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
5. Perdamaian yang Tidak Dibolehkan
Pada dasarnya substansi perdamaian dapat dilakukan secara bebas oleh
para pihak, namun undang-undang telah mengatur berbagai jenis perdamaian
yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak.
Perdamaian yang tidak dibolehkan ditentukan dalam Pasal 1859 sampai
dengan Pasal 1862 KUH Perdata. Perdamaian yang tidak dibolehkan yaitu
sebagai berikut.
a. Perdamaian tentang telah terjadi kekeliruan mengenai orang yang bersangkutan
atau pokok perkara.
b. Perdamaian yang telah dilakukan dengan cara penipuan (dwelling) atau
paksaan (clwang).
c. Perdamaian mengenai kekeliruan mengenai duduknya perkara tentang suatu
alas hak yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan perdamaian
tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas.
d. Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan
palsu.
e. Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu keputusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak
diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Akannamun , jika
keputusan yang tidak diketahui itu masih dimintakan banding maka
perdamaian mengenai sengketa yang bersangkutan yaitu sah.
f. Perdamaian hanya mengenai suatu urusan, sedangkan dari surat-surat yang
ditemukan kemudian ternyata salah satu pihak tidak berhak atas hal itu.
bila keenam hal itu dilakukan maka perdamaian itu dapat dimintakan
' pembatalan kepada pengadilan.
6. Kekuatan Pembuktian Perjanjian Perdamaian
Perdamaian yang dilakukan oleh para pihak memiliki kekuatan mengikat
sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun
peninjauan kembali (Pasal 1858 KTJH Perdata). Perdamaian itu tidak dapat
dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum
atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.
Kemukakan pengertian kontrak nominaat!
Sebutkan jenis-jenis kontrak nominaat yang Anda ketahui?
Kemukakan perbedaan antara pengertian perjanjian jual beli, sale, dan
agreement salei
Kemukakan momentum terjadinya perjanjian jual beli!
Sebutkan cara-cara penyerahan benda dalam perjanjian jual beli!
Kemukakan orang-orang yang tidak diperkenankan untuk mengadakan
perjanjian jual beli!
Sebutkan hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli!
Kemukakan siapa yang menanggung risiko, bila terjadi overmacht
dalam perjanjian tukar-menukar!
Kemukakan bentuk dan substansi kontrak dalam perjanjian sewa-
menyewa!
Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis persekutuan perdata!
Kemukakan hubungan antara para sekutu dengan pihak ketiga!
Apakah perjanjian hibah dapat dibuatkan dalam bentuk perjanjian lisan?
Jelaskan!
Sebutkan dan jelaskan para pihak dalam perjanjian hibah!
Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis penitipan barang yang Anda ketahui!
Kemukakan perbedaan antara bewaarnemer dengan bewaargeverl
8. a. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis perjanjian pemberian kuasa!
b. Kapan berakhirnya perjanjian pemberian kuasa?
9. a. Apakah para pihak yang bersengketa dapat mengadakan perjanjian
perdamaian? Jelaskan jawaban Anda!
b. Sebutkan orang-orang yang berwenang mengadakan perdamaian!
c. Kemukakan kekuatan pembuktian dalam perjanjian perdamaian!
10. a. Sebutkan jenis badan hukum dari aspek bentuknya!
b. Sebutkan teori-teori badan hukum yang Anda ketahui!
ETENTUAN-KETENTUAN UMUM
DALAM HUKUM KONTRAK
A. SOMASI
1. Dasar Hukum dan Pengertian Somasi
Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekes-
telling. Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH
Perdata. Somasi yaitu teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang
(debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah
disepakati antara keduanya. Somasi timbul dipicu debitur tidak memenuhi
prestasinya, sesuai dengan yang diperjanjikan. Ada tiga cara terjadinya somasi
itu, yaitu
a. debitur melaksanakan prestasi yang keliru, misalnya kreditur menerima
sekeranjang jambu seharusnya sekeranjang apel;
b. debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan. Tidak
memenuhi prestasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelambatan
melaksanakan prestasi dan sama sekali tidak memberi prestasi. pemicu
tidak melaksanakan prestasi sama sekali sebab prestasi tidak mungkin
dilaksanakan atau sebab debitur terang-terangan menolak memberi
prestasi.
c. prestasi yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditur sesudah
lewat waktu yang diperjanjikan.
Ajaran tentang somasi ini sebagai instrumen hukum guna mendorong debitur
untuk memenuhi prestasinya. Bila prestasi sudah tentu tidak dilaksanakan, maka
sudah tentu tidak dapat diharapkan prestasi. Momentum adanya somasi ini
bila prestasi tidak dilakukan pada waktu yang telah diperjanjikan antara
kreditur dengan debitur.
2. Bentuk dan Isi Somasi
Dari telaahan berbagai ketentuan tentang somasi, tampaklah bahwa bentuk
somasi yang harus disampaikan kreditur kepada debitur yaitu dalam bentuk
surat perintah atau sebuah akta yang sejenis.
Yang berwenang mengeluarkan surat perintah itu yaitu kreditur atau pejabat
yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang yaitu Juru Sita, Badan
Urusan Piutang Negara, dan lain-lain. Surat teguran harus dilakukan paling
sedikit tiga kali, dengan mempertimbangkan jarak tempat kedudukan kreditur
dengan tempat tinggal debitur. Tenggang waktu yang ideal untuk menyampaikan
teguran antara peringatan I, II, dan III yaitu tiga puluh hari. Maka waktu yang
diperlukan untuk itu selama tiga bulan atau sembilan puluh hari. Suatu contoh,
BUPN mengirimkan surat teguran kepada debitur susaha menghadap ke Kantor
BUPN dengan tujuan untuk melunasi utang-utang yang tidak dibayarnya kepada
bank.
Berikut ini disajikan contoh surat somasi dari Bank BNI 46 Cabang Mataram.
BANK NEGARA INDONESIA (BNI 46)
CABANG MATARAM
Jin. Langko Mataram, Telp. (0370) 631046
Mataram, 10 Juni 2002
Nomor :
Lamp. : 1 eksp
Hal : Teguran Pertama
Kepada
Yth. Bapak M. Ali HMS
Jin. Towuti 1/13 Tanjung Karang Permai
Ampenan Mataram
di Mataram
Dengan hormat, bersama ini kami sampaikan kepada Saudara bahwa
berdasar perjanjian kredit bank yang telah dibuat antara BNI 46 Cabang
Mataram dengan Saudara, pada tanggal 10 Juli 2001, bahwa setiap tanggal
10 bulan berikutnya Saudara harus membayar angsuran kredit, yaitu pokok
dan bunga sebesar Rp 1.000.000,00/bulan. Namun, berdasar data yang
ada pada kami, ternyata Saudara menunggak kredit atas utang pokok dan
bunga sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
berdasar hal-hal di atas, maka diharapkan kepada Saudara untuk
segera melunasi kewajiban sebanyak ini di atas, paling lambat tanggal
15 Juli 2002.
Demikian, agar dapat saudara laksanakan tepat pada waktunya.
Pimpinan BNI Cabang Mataram
Tanda tangan
(Nama terang)
Isi atau hal-hal yang harus dimuat dalam surat somasi, yaitu
1. apa yang dituntut (pembayaran pokok kredit dan bunganya);
2 dasar tuntutan (perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dan debitur);
dan
3. tanggal paling lambat untuk melakukan pembayaran angsuran, pada tanggal
15 Juli 2002.
3. Peristiwa-Peristiwa yang Tidak Memerlukan Somasi
Ada lima macam peristiwa yang tidak mensyaratkan pernyataan lalai, sebagai
mana dikemukakan berikut ini (Niewenhuis, 1988).
a. Debitur menolak pemenuhan.
Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi bila debitur menolak
pemenuhan prestasinya, sehingga kreditur boleh berpendirian bahwa dalam
sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan memicu suatu
perubahan (HR 1-2-1957).
b. Debitur mengakui kelalaiannya.
Pengakuan demikian dapat terjadi secara tegas, akannamun juga secara
implisit (diam-diam), misalnya dengan menawarkan ganti rugi.
c. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.
Debitur lalai tanpa adanya somasi, bila prestasi (di luar peristiwa over-
macht) tidak mungkin dilakukan, misalnya sebab debitur kehilangan barang
yang harus diserahkan atau barang ini musnah. Tidak perlunya per
nyataan lalai dalam hal ini sudah jelas dari sifatnya (somasi untuk pemenuhan
prestasi).
d. Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos)
Tidak diperlukannya somasi, bila kewajiban debitur untuk memberi
atau melakukan, hanya dapat diberikan atau dilakukan dalam batas waktu
tertentu, yang dibiarkan lampau. Contoh klasik, kewajiban untuk menyerahkan
pakaian pengantin atau peti mati. Penyerahan kedua barang ini sesudah
perkawinan atau sesudah pemakaman tidak ada artinya lagi.
e. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.
Kelima cara itu tidak perlu dilakukan somasi oleh kreditur kepada debitur.
Debitur dapat langsung dinyatakan wanprestasi.
B. WANPRESTASI
1. Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi memiliki hubungan yang sangat erat dengan somasi.
Wanprestasi yaitu tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan
debitur. Dalam restatement o f the law o f contracts (Amerika Serikat),
wanprestasi atau breach o f contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu
total breachts dan partial breachts. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak - .
tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan partial breachts artinya pelaksanaan
perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan. Seorang debitur baru dikatakan \
wanprestasi bila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi
itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. bila
somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu
ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wan
prestasi atau tidak.
2. Akibat Adanya Wanprestasi
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
a. Perikatan tetap ada.
Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, bila
ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut
ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini dipicu
kreditur akan mendapat keuntungan bila debitur melaksanakan prestasi
tepat pada waktunya.
b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Per
data).
c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul sesudah
debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari
pihak kreditur. Oleh sebab itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang
pada keadaan memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan
diri dari kewajibannya memberi kontra prestasi dengan memakai
Pasal 1266 KUH Perdata.
3. Tuntutan Atas Dasar Wanprestasi
Kreditur dapat menuntut kepada debitur yang telah melakukan wanprestasi
hal-hal sebagai berikut.
a. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur.
b. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal
1267 KUH Perdata).
c. Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian
sebab keterlambatan (HR 1 November 1918).
d. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian.
e. Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur.
Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.
Di dalam hukum kontrak Amerika, sanksi utama terhadap breach o f contract
yaitu pembayaran compensation (ganti rugi), yang terdiri atas costs (biaya)
and damages (ganti rugi), serta tuntutan pembatalan perjanjian (rescission).
Akibat kelalaian kreditur yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:
a. debitur berada dalam keadaan memaksa;
b. beban risiko beralih untuk kerugian kreditur, dan dengan demikian debitur
hanya bertanggung jawab atas wanprestasi dalam hal ada kesengajaan atau
kesalahan besar lainnya;
c. kreditur tetap diwajibkan memberi prestasi balasan (Pasal 1602 KUH
Perdata).
Di dalam hukum Common Law, jika terjadi wanprestasi (breach o f
contracht), maka kreditur dapat menggugat debitur untuk membayar ganti rugi
Cdamages), dan bukan pemenuhan prestasi {performance). Akannamun dalam
perkembangannya, adanya kebutuhan akan gugatan pemenuhan prestasi yang
lebih umum, akhirnya dimungkinkan berdasar equity, di samping legal remedy
(ganti rugi), ada equitable remedy (pemenuhan prestasi). Di samping kedua
gugatan ini , dalam hukum Anglo-Amerika tidak dibutuhkan suatu gugatan
khusus untuk pembubaran sebab dapat dilakukan repudiation (penolakan kontrak
sejauh dimungkinkan) tanpa campur tangan hakim
Tidak setiap breach o f contrach (wanprestasi) memicu hak mem
bubarkan perjanjian sebab terbatas pada pelanggaran (breach) yang berat
(substansial).
C. GANTI RUGI
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi sebab wanprestasi dan
perbuatan melawan hukum. Ganti rugi sebab wanprestasi diatur dalam Buku III
KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 124 KUH Perdata s.d. Pasal 1252 KUH
Perdata. Sedangkan ganti rugi sebab perbuatan melawan hukum diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi sebab perbuatan melawan hukum yaitu
suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah memicu
kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul sebab adanya
kesalahan, bukan sebab adanya perjanjian.
Ganti rugi sebab wanprestasi yaitu suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan
kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur
dengan debitur. Misalnya, A berjanji akan mengirimkan barang kepada B pada
tanggal 10 Januari 1996. Akannamun , pada tanggal yang telah ditentukan, A belum
juga mengirimkan barang ini kepada B. Susaha B dapat menuntut ganti rugi
sebab keterlambatan ini , maka B harus memberi peringatan (somasi)
kepada A, minimal tiga kali.
bila peringatan/teguran itu telah dilakukan, maka barulah B dapat
menuntut kepada A untuk membayar ganti kerugian. Jadi, momentum timbulnya
ganti rugi yaitu pada saat telah dilakukan somasi.
Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur yaitu
sebagai berikut
1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan
kerugian.
2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUH Perdata), ini
ditujukan kepada bunga-bunga.
Yang diartikan dengan biaya-biaya (ongkos-ongkos), yaitu ongkos yang telah
dikeluarkan oleh kreditur untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian yaitu
berkurangnya harta kekayaan yang dipicu adanya kerusakan atau kerugian.
Sedangkan bunga-bunga yaitu keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditur.
Penggantian biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat lansung
dari wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.
Di dalam Pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian kerugian
yang dipicu wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang. Namun,
dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materiil, dan ganti rugi
inmateriil (Asser’s 1988: 274). Kerugian materiil yaitu suatu kerugian yang
diderita kreditur dalam bentuk uang/kekayaan/benda. Sedangkan kerugian
inmateriil yaitu suatu kerugian yang diderita oleh kreditur yang tidak bernilai
uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, dan lain-lain.
D. KEADAAN MEMAKSA
1. Dasar Hukum dan Pengertian Keadaan Memaksa
Ketentuan tentang overrnacht (keadaan memaksa) dapat dilihat dan di baca
dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH
Perdata berbunyi: ’’Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan
bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu
atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu dipicu oleh
suatu hal yang tidak terduga, yang tak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya,
walaupun tidak ada iktikad buruk padanya. Selanjutnya dalam Pasal 1245 KUH
Perdata yang berbunyi: ’’Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila
sebab keadaan memaksa atau sebab hal yang terjadi secara kebetulan, debitur
terhalang untuk memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan
sesuatu perbuatan yang terlarang olehnya.”
Ketentuan ini memberi kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan
penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh sebab suatu keadaan
yang berada di luar kekuasaannya.
Ada tiga hal yang memicu debitur tidak melakukan penggantian biaya,
kerugian dan bunga, yaitu
1. adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau
2. terjadinya secara kebetulan, dan atau
3. keadaan memaksa.
Yang diartikan dengan keadaan memaksa yaitu suatu keadaan di mana
debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang dipicu
adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya. Misalnya sebab adanya
gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain.
2. Macam Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
1) keadaan memaksa absolut, dan
2) keadaan memaksa yang relatif.
Keadaan memaksa absolut yaitu suatu keadaan di mana debitur sama
sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh sebab adanya
gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin membayar
utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran
utang, terjadi gempa bumi. Maka A sama sekali tidak dapat membayar utangnya
pada B.
Keadaan memaksa yang relatif yaitu suatu keadaan yang memicu
debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya.namun pelaksanaan prestasi
itu harus dilakukan dengan memberi korban yang besar yang tidak seimbang
atau memakai kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau ke
mungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh keadaan memaksa
relatif, seorang penyanyi telah mengikat dirinya untuk menyanyi di suatu konser,
tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya
meninggal dunia. Contoh lainnya, A telah meminjam kredit usaha tani dari KUD,
dengan janji akan dibayar pada musim panen.namun sebelum panen, padinya
diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu membayar
kredit usaha taninya kepada KUD,namun ia akan membayar pada musim panen
mendatang.
3. Teori-Teori Keadaan Memaksa
Ada dua teori yang membahas tentang keadaan memaksa, yaitu
1) teori ketidakmungkinan (onmogelijkeheid), dan
2) teori penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).
Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa yaitu suatu
keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan.
Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam.
a. Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolut onmogelijkheid), yaitu
suatu ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk melakukan prestasinya
pada kreditur.
b. Ketidakmungkinan relatif atau ketidakmungkinan subjektif (relative
onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk
memenuhi prestasinya.
Teori/ajaran penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheid van
schuld), berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau
overmacht peniadaan kesalahan. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan
tadi tidak boleh/bisa dipertanggungjawabkan (Harahap,1986: 84).
4. Akibat Keadaan Memaksa
Ada tiga akibat keadaan memaksa, yaitu.
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b. beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara;
c. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi,namun sekaligus demi hukum
bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk
yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
Ketiga akibat itu dibedakan menjadi dua macam, yaitu
(1) akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat nomor a dan c, dan
(2) akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat nomor b.
E. RISIKO
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer
(ajaran tentang risiko). Resicoleer yaitu suatu ajaran, yaitu seseorang ber
kewajiban untuk memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini
timbul bila ada keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini dapat
diterapkan pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak
yaitu suatu perjanjian, di mana salah satu pihak aktif melakukan prestasi,
sedangkan pihak lainnya pasif. Misalnya A memberi sebidang tanah pada B.
Tanah itu direncanakan untuk diserahkan pada tanggal 10 Mei 1996,namun pada
tanggal 15 April 1996 tanah itu musnah. Pertanyaannya kini, siapa yang menang
gung risiko? Yang menanggung risiko atas musnahnya tanah ini yaitu B
(penerima tanah) (Pasal 1237 KUH Perdata).
Perjanjian timbal balik yaitu suatu perjanjian yang kedua belah pihak
diwajibkan untuk melakukan prestasi, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat
antara keduanya. Yang termasuk dalam perjanjian timbal balik, yaitu jual beli,
sewa menyewa, tukar menukar, dan lain-lain. Contohnya, A telah membeli sebuah
rumah beserta tanahnya pada B seharga Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Rumah itu dibeli pada tanggal 10 Januari 1996. Namun rumah ini belum
diserahkan kuncinya oleh B kepada A. Akannamun , pada tanggal 10 Februari
1996 terjadi gempa bumi yang memusnahkan rumah ini . Pertanyaannya
kini, siapakah yang menanggung risiko atas rumah ini ? Menurut Pasal
1460 KUH Perdata yang menanggung risiko atas musnahnya rumah ini
yaitu A (pembeli), walaupun rumah ini belum diserahkan dan dibayar
lunas. Jadi, B berhak menagih berapa pembayaran yang belum dilunasi oleh A.
Ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata telah dicabut berdasar SEMA Nomor
3 Tahun 1963. Ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara tegas, namun pene
rapannya harus memperhatikan:
1. bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu, dan
2. bergantung pada orang yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang
ini .
Di dalam perjanjian tukar-menukar, risiko tentang musnahnya barang di
luar kesalahan pemilik, persetujuan dianggap gugur, dan pihak yang telah
memenuhi persetujuan dapat menuntut pengembalian barang yang ia telah berikan
dalam tukar-menukar (Pasal 1545 KUH Perdata).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual beli risiko
atas musnahnya barang menjadi tanggung jawab pembeli, sedangkan dalam
perjanjian tukar-menukar, perjanjian menjadi gugur.
---------------------
1. a. Jelaskan pengertian somasi yang Anda ketahui!
b. Kemukakan tujuan somasi!
2. a. Kemukakan bentuk somasi!
b. Sebutkan hal-hal yang tidak perlu dilakukan somasi!
3. a. Kemukakan akibat adanya wanprestasi!
b. Sebutkan hal-hal yang dapat dituntut oleh kreditur terhadap debitur
yang telah melakukan wanprestasi!
4. a. Kemukakan pemicu timbulnya ganti rugi!
b. Sebutkan kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur!
5. A yaitu pengusaha yang telah meminjam uang pada bank sebanyak
Rp20.000.000,00. Pada mulanya nasabah ini lancar membayar angsurannya.
Namun, sebab adanya banjir maka nasabah sudah tidak mampu membayar
utang-utang bank.
Pertanyaan:
a. Apakah dengan adanya banjir ini , dapat dijadikan alasan adanya
overmacht, sehingga yang bersangkutan tidak perlu membayar utang-
utangnya pada bank? Jelaskan!
b. Sebutkan dan jelaskan macam-macam overmacht yang Anda ketahui!
6. a. Kemukakan apa yang Anda ketahui tentang resicoleer\
b. Siapakah yang menanggung risiko dalam perjanjian tukar-menukar!
Jelaskan!
ENYUSUNAN, STRUKTUR, DAN
ANATOMI KONTRAK
A. PENGANTAR
Pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, kontrak yang dibuat
oleh para pihak disamakan dengan undang-undang. Oleh sebab itu, untuk
membuat kontrak diperlukan ketelitian dan kecermatan dari para pihak, baik dari
pihak kreditur maupun debitur, pihak investor maupun dari pihak negara yang
bersangkutan. Hal-hal yang diperhatikan oleh para pihak yang akan mengadakan
dan membuat kontrak yaitu
(1) kewenangan hukum para pihak,
(2) perpajakan,
(3) alas hak yang sah,
(4) masalah keagrariaan,
(5) pilihan hukum,
(6) penyelesaian sengketa,
(7) pengakhiran kontrak, dan
(8) bentuk perjanjian standar
Kedelapan hal itu dijelaskan berikut ini.
1. Kemampuan Para Pihak
Kemampuan para pihak, yaitu kecakapan dan kemampuan para pihak untuk
mengadakan dan membuat kontrak. Di dalam KUH Perdata ditentukan bahwa
orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum bila telah
dewasa dan atau sudah kawin. Ukuran kedewasaan, yaitu berumur 21 tahun.
Sedangkan orang-orang yang tidak wenang untuk membuat kontrak yaitu
(1) minderjarigheid (di bawah umur),
(2) curatele (di bawah pengampunan), dan
(3) istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Istri kini wenang untuk membuat kontrak
(SEMA Nomor 3 Tahun 1963; Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan).
2. Perpajakan
Dalam banyak hal, para pihak pembuat kontrak menginginkan perjanjian
dirumuskan sedemikian rupa untuk memperkecil pajak, sebab transaksi bisnis
merupakan transaksi kena pajak. Pada dasarnya perancang kontrak, yaitu para
ahli hukum harus memberi pelayanan yang memuaskan kliennya. Akannamun ,
dalam hal memperkecil pengenaan pajak, bukan tidak mungkin rumusan kontrak
itu menjadi lain dari maksud para pihak yang sesun