Rabu, 12 Februari 2025

Published Februari 12, 2025 by

hukum kontrak 3



 ak diperkenankan oleh undang-undang, seperti jual beli narkotika,

(3) bertentangan dengan ketertiban, dan

(4) kesusilaan yang baik.

bila  hal itu tetap dilakukan maka jual beli itu batal demi hukum. Kepada 

penjual dapat dituntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga.

4. Bentuk dan Substansi Perjanjian Jual Beli

Di dalam KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk per­

janjian jual beli. Bentuk perjanjian jual beli dapat dilakukan secara lisan maupun 

tertulis. Perjanjian jual beli secara lisan cukup dilakukan berdasar  konsensus 

para pihak tentang barang dan harga. Sedangkan perjanjian jual beli secara tertulis 

merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis, apakah 

itu dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta autentik. Di dalam perjanjian 

jual beli tanah, biasanya dibuat dalam akta autentik yang dibuat oleh pejabat yang 

berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk membuat akta jual beli tanah 

yaitu  Camat dan atau Notaris PPAT. Biasanya akta jual beli tanah ini  telah 

ditentukan bentuknya dalam sebuah formulir. Para Camat atau Notaris PPAT 

tinggal mengisi hal-hal yang kosong dalam akta jual beli ini . Secara lengkap 

isi akta jual beli tanah antara pihak penjual, yaitu Tati Sukmawati dengan pembeli, 

yaitu Akhmad H. Syamsuddin, disajikan berikut ini.

AKTA JUAL BELI

No. 16/akt./Cam./1085

Pada hari ini Senin tanggal 28 Oktober 1985 datang menghadap kepada 

kami Damhoedji Camat, Kecamatan Empang oleh Menteri Dalam Negeri dengan

surat keputusannya.......berdasar  ketentuan dalam Pasal 5 Peraturan Menteri 1)

tanggal, 19 Nomor Agraria No. 10/1961 bertindak 2) sebagai

Ditunjuk

pejabat pembuat akta tanah yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan 

Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah untuk Wilayah 

Kecamatan Empang ................................

dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang kami kenal/diperkenalkan kepada kami 

dan akan disebutkan di bagian akhir akta ini:

I. Tati Sukmawati, Umur 36 tahun, Warga Negara Indonesia, pekerjaan dagang, 

bertempat tinggal di Sumbawa Kecamatan Sumbawa Kabupaten Dati II 

Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Selanjutnya disebut Penjual:

II. Akhmad H. Syamsuddin, Umur 35 tahun, Warga Negara Indonesia, pekerjaan 

tani, bertempat tinggal di desa Empang Atas, Kecamatan Empang, Kabupaten 

Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Selanjutnya disebut Pembeli:

Para penghadap menerangkan bahwa penjual dengan akta ini menjual kepada 

pembeli dan pembeli membeli dari penjual:

Sebidang 1) dari 1) tanah hak : Milik No............

sebagian 

Terletak di :

Daerah tingkat I/Wilayah 

Daerah tingkat II/Wilayah 

Kecamatan/Wilayah 

Desa

Diuraikan dalam surat ukur 

Luas tanah

Nusa Tenggara Barat 

Sumbawa 

Empang 

Empang Atas

tgl ........................................... No...............

880 m2 ( delapan ratus delapan puluh meter 

persegi) berukuran panjang kurang-lebih: ....m3) berukuran lebar kurang lebih: 

....m3), persil nomor 51, kohir nomor .... 301 : blok m3) dan berbatasan di sebelah:

Utara

Timur

Selatan

Barat

dengan jalan raya 

dengan tanah/rumah H.M. Sidik 

dengan tanah sawah Arifin A.Wahab BA 

dengan tanah/rumah H.M. Saleh

Selanjutnya para penghadap menerangkan:

Bahwa jual beli ini meliputi pula bangunan dan tanaman 1) yang ada di atas 

tanah ini , yaitu berupa:

Bahwa jual beli ini terjadi dengan harga Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh 

ribu rupiah) bahwa penjual mengaku telah menerima sepenuhnya uang pembelian 

ini  di atas dan untuk penerimaan uang itu akta ini berlaku pula sebagai 

tanda penerimaannya (kuitansi).

Bahwa jual beli ini dilakukan dengan syarat-syarat seperti berikut.

Pasal 1

Mulai hari ini tanah hak dan bangunan serta tanaman 1) yang diuraikan 

dalam akta ini telah diserahkan kepada pembeli, yang mengaku pula telah 

menerima penyerahan itu dan segala keuntungan yang didapat dari serta segala 

kerugian/beban yang diderita atas tanah hak dan bangunan serta tanaman 1) 

ini  di atas menjadi hak tanggungan pembeli.

Pasal 2

Penjual menjamin bahwa tanah hak dan bangunan serta tanaman 1) ini  

di atas tidak dikenakan sesuatu sitaan atau tersangkut sebagai tanggungan untuk 

sesuatu piutang atau diberati dengan beban-beban lainnya.

Pasal 3

Jika pembeli tidak mendapat izin dari Instansi pemberi izin yang berwenang 

untuk membeli tanah hak ini  sehingga jual beli ini menjadi batal maka ia 

dengan ini oleh penjual diberi kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali; 

dengan hak memindahkan kekuasaan itu untuk mengalihkan hak atas tanah itu 

kepada pihak lain atas nama penjual, dengan dibebaskan dari pertanggung jawab 

sebagai kuasa, dan jika ada, menerima uang ganti kerugian yang menjadi hak 

sepenuhnya dari pembeli. Adapun uang pembelian yang sudah diberikan kepada 

penjual ini  di atas tidak akan dituntut kembali oleh pembeli.

Pasal ....

Ongkos pembuatan akta ini, uang saksi, dan segala biaya mengenai peralihan 

hak ini dipikul oleh Pembeli.

Demikian akta ini dibuat dihadapan saksi-saksi

1. Sanusi M Sekretaris Desa Empang Atas

2. M. Ali H.M. Sidik Empang Atas

Sebagai saksi-saksi dan sesudah  dibacakan dan di mana perlu dijelaskan oleh 

kami maka kemudian akta ini dibubuhi tanda tangan/cap jempol 1) oleh para 

penghadap, saksi-saksi dan kami, pejabat pembuat akta tanah.

Penjual Pembeli

ttd. ttd.

(Tati Sukmawati) (Akhmad H. Syamsuddin)

Pejabat Pembuat Akta Tanah

ttd.

(Damhoedji)

NIP. 610000362

Saksi-Saksi

1. Sekretaris Empang Atas 2 .

ttd. ttd.

(Sanusi) (M. Ali H.M. Sidik)

Akta jual beli ini telah dibakukan oleh Pemerintah, sehingga para Camat 

atau Notaris tinggal mengisi hal-hal yang kosong dalam lembaran akta jual beli. 

Hal-hal yang tercantum dalam akta jual beli ini , meliputi:

a. tanggal dibuatnya perjanjian jual beli tanah;

b. subjek hukum, yang meliputi nama pihak penjual dan pembeli, umur, 

kewarganegaraan, pekerjaan, dan domisili;

c. objek jual beli, yang meliputi jenis haknya, apakah hak milik, HGB atau 

HGU, luasnya, nomor persil dan kohir, batas-batasnya;

d. harga jual beli tanah;

e. pengakuan dari penjual, bahwa ia telah menerima uang jual beli tanah 

ini ;

f. momentum penyerahan tanah, yaitu pada saat tanggal dibuatkan akta;

g. bahwa tanah yang dijual tidak dikenakan sesuatu sitaan atau tersangkut 

tanggungan suatu piutang;

h. ongkos pembuatan akta ditanggung pembeli;

i. saksi-saksi.

Keberadaan dua orang saksi ini sangat penting, sebab  bila  salah satu 

dari pihak penjual dan pembeli ingkar terhadap apa yang telah dilakukan maka 

kedua saksi inilah yang akan menjelaskan kepada hakim bahwa mereka benar- 

benar telah melakukan jual beli tanah seluas dan harga ini  di atas.

5. Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli

bila  kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli telah tercapai maka 

akan memicu  hak dan kewajiban di antara para pihak. Yang menjadi hak

penjual yaitu  menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli. 

Sedangkan kewajiban pihak penjual yaitu  sebagai berikut, 

a Menyatakan dengan tegas tentang perjanjian jual beli ini 

b. Menyerahkan barang.

Penyerahan yaitu  suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam 

kekuasaan dan kepunyaan si pembeli. Ada tiga cara penyerahan barang, 

yaitu

1) penyerahan barang bergerak cukup dengan menyerahkan kekuasaan 

atas barang ini ;

2) barang tetap dilakukan dengan memakai  akta transport atau balik 

nama pada pejabat yang berwenang;

3) barang tak bertubuh dengan cara cessi.

Sedangkan masalah biaya dan tempat penyerahan ditentukan sebagai berikut:

1) biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan 

dipikul oleh si pembeli, kecuali diperjanjikan, dan

2) tempat penyerahan dilakukan di tempat di mana barang yang dijual 

berada, kecuali diperjanjikan lain.

Pengecualian dari kewajiban penyerahan ini bila  pembeli belum melunasi 

harga barang secara total kepada si penjual.

c. Kewajiban menanggung pembeli.

Kewajiban menanggung dari si penjual yaitu  dimaksudkan agar (1) 

penguasaan benda secara aman dan tenteram, dan (2) adanya cacat barang- 

barang ini  secara sembunyi atau sedemikian rupa sehingga menerbitkan 

alasan untuk pembatalan (Pasal 1473 KUH Perdata), 

d Wajib mengembalikan kepada si spembeli atau menyuruh mengembalikan 

cleh orang yang memajukan tuntutan barang, segala apa yang telah 

dikeluarkan oleh pembeli, segala biaya yang telah dikeluarkan untuk 

barangnya atau semata-mata untuk perhiasan atau kesenangan,

e. Wajib menanggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak 

mengetahui adanya cacat ini , kecuali telah diperjanjikan, 

f  Wajib mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, jika penjual 

mengetahui barang yang telah dijual mengandung cacat, serta mengganti 

segala biaya, kerugian, dan bunga kepada si pembeli.

g. Wajib mengembalikan harga pembelian, bila  ia sendiri mengetahui adanya 

cacat ini .

h. Jika barang yang dijual musnah dipicu  sebab  cacat tersembunyi, maka 

kerugian dipikul oleh si penjual dan diwajibkan mengembalikan uang harga 

pembelian dan kerugian.

Kewajiban pembeli yaitu  sebagai berikut,

a. Membayar harga pembelian terhadap barang pada waktu dan tempat yang

telah ditentukan (Pasal 1513 KUH Perdata),

b. Membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yang dijual dan diserahkan 

memberi  hasil (pendapatan).

Hak pembeli yaitu  menerima barang yang telah dibelinya, baik secara 

nyata maupun secara yuridis. Di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 

tentang Penjualan Barang-Barang Internasional (United Nations Convention 

on Contract fo r  the International Sale o f Goods) telah diatur tentang 

kewajiban antara penjual dan.pembeli. United Nations Convention on Contract 

for the International Sale o f Goods ini ditetapkan pada tanggal 7 April 1980 

di Wina. Tujuan konvensi ini yaitu  penetapan keseragaman pengaturan yang 

akan mengatur berbagai kontrak untuk penjualan barang-barang internasional 

memperhitungkan perbedaan sosial, ekonomi, dan sistem hukum. Hal ini akan 

memberi  sumbangan untuk menghapuskan hambatan hukum dalam per­

dagangan internasional dan mendorong pengembangan perdagangan internasional. 

Pasal 30 sampai dengan Pasal 52 United Nations Convention on Contract 

for the International Sale o f Goods mengatur tentang kewajiban penjual dan 

Pasal 53 sampai dengan Pasal 60 United Nations Convention on Contract 

for the International Sale o f Goods mengatur tentang kewajiban pembeli. 

Ada 3 (tiga) kewajiban pokok penjual, yaitu

a. menyerahkan barang,

b. menyerahterimakan dokumen, dan

c. memindahkan hak milik (Pasal 30).

Kewajiban penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli meliputi:

a. menyerahterimakan barang kepada pengangkut pertama untuk diteruskan 

kepada pembeli, jika kontrak penjualan menyangkut pengangkutan barang 

(Pasal 31);

b. merinci jenis-jenis barang yang dikirimkan kepada pembeli (Pasal 32);

c. menyerahkan barang sesuai dengan tanggal yang ditetapkan dalam kontrak . 

(Pasal 33);

d. menyerahkan barang yang jumlahnya, mutunya, dan uraian barang yang 

diminta dalam kontrak yang dipetikan atau dibungkus (Pasal 35);

e. menyerahkan barang yang bebas dari hak apa pun atau klaim dari pihak 

ketiga, kecuali pembeli setuju untuk mengambil barang itu bersyarat pada 

hak-hak itu atau klaim (Pasal 41);

f. menyerahkan barang yang bebas dari hak apa pun atau klaim dari pihak 

ketiga yang berdasar  atas hak milik industri atau hak kekayaan intelektual 

lainnya (Pasal 42).

Kewajiban pembeli yaitu 

a. memeriksa barang-barang yang dikirim oleh penjual (Pasal 38),

b. membayar harga barang sesuai dengan kontrak (Pasal 53), dan

c. menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak (Pasal 53).

Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan 

mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin 

dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan 

pelaksanaan pembayaran (Pasal 54). Tempat pembayaran di tempat yang 

disepakati oleh kedua belah pihak. Jika tidak ditentukan oleh kedua belah pihak, 

maka pembayaran dapat dilakukan di tempat bisnis penjual atau jika pembayaran 

harus dilakukan dengan penyerahan barang atau dokumen di tempat di mana 

serah terima itu dilakukan.

D. TUKAR-MENUKAR

1. Pengertian Tukar-menukar

Tukar-menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH 

Perdata. Perjanjian tukar-menukar yaitu 

’’Suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya 

untuk saling memberi  suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu 

ganti barang lainnya.” (Pasal 1451 KUH Perdata)

Algra mengartikan perjanjian tukar-menukar yaitu 

’’Suatu perjanjian di mana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling

memberi  benda kepada satu sama lain.” (Algra, dkk. 1983: 487)

Definisi ini terlalu singkat, sebab  yang ditonjolkan yaitu  saling memberi  

benda antara satu sama lain. Akannamun  menurut hemat penulis, perjanjian 

tukar-menukar yaitu  suatu perjanjian yang dibuat antara pihak yang satu dengan 

pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan 

barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang 

ditukar. Barang yang ditukar oleh para pihak, dapat berupa barang bergerak 

maupun barang tidak bergerak. Penyerahan barang bergerak cukup penyerahan 

nyata, sedangkan barang tidak bergerak memakai  penyerahan secara yuridis 

formal.

Unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi di atas yaitu 

a. adanya subjek hukum,

b. adanya kesepakatan subjek hukum,

c. adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak, dan

d. masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar- 

menukar.

2. Subjek dan Objek dalam Perjanjian Tukar-menukar

Subjek hukum dalam perjanjian tukar-menukar yaitu  pihak pertama dan 

pihak kedua. Sedangkan yang dapat menjadi objek tukar-menukar yaitu  semua 

barang, baik barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak (Pasal 1542 

KUH Perdata). Dengan syarat barang yang menjadi objek tukar-menukar tidak

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika 

barang yang telah ditukarkannya ternyata membuktikan bahwa barang yang 

ditukarnya bukan pemilik barang ini , maka pihak lain tidak dapat 

memaksakan untuk menyerahkan barang yang telah ia janjikan dari pihak sendiri, 

melainkan mengembalikan barang yang ia telah terimanya (Pasal 1543 KUH 

Perdata). Pihak yang telah melepaskan barang yang diterima dalam perjanjian 

tukar-menukar maka ia dapat memilih, apakah ia akan menuntut penggantian 

biaya, rugi, dan bunga dari pihak lawannya atau menuntut pengembalian barang 

yang telah ia berikan (Pasal 1544 KUH Perdata). Tuntutan itu hanya dilakukan 

terhadap satu alternatif yang dipaparkan di atas, yaitu menuntut biaya, rugi, dan 

bunga atau pengembalian barang. Jadi, pihak yang menyerahkan barang tidak 

dapat menuntut kedua alternatif ini  di atas.

3, Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian Tukar-menukar

Pihak pertama dan pihak kedua, masing-masing berkewajiban untuk 

menyerahkan barang yang ditukar sedangkan haknya menerima barang yang 

ditukar.

4. Risiko dalam Perjanjian Tukar-menukar

Jika barang yang menjadi objek tukar-menukar musnah di luar kesalahan 

salah satu pihak maka perjanjian tukar-menukar itu menjadi gugur. Pihak yang 

telah menyerahkan barang dapat menuntut kembali barang yang telah diserahkannya 

(Pasal 1545 KUH Perdata).

Pasal-pasal yang mengatur tentang tukar-menukar sangat sedikit, jika 

dibandingkan dengan perjanjian jual beli. Namun, di dalam ketentuan mengenai 

tukar-menukar disebutkan bahwa ketentuan tentang jual beli berlaku bagi perjanjian 

tukar-menukar.

E. SEWA-MENYEWA

1. Pengertian Sewa-menyewa

Sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUH 

Perdata. Sewa-menyewa yaitu  suatu persetujuan, dengan mana pihak yang 

satu mengikatkan dirinya untuk memberi  kenikmatan suatu barang kepada 

pihak lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi 

oleh pihak yang terakhir itu (Pasal 1548 KUH Perdata). Definisi lainnya 

menyebutkan bahwa perjanjian sewa-menyewa yaitu 

’’Persetujuan untuk pemakaian sementara suatu benda, baik bergerak maupun

tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu.” 

Pada dasarnya sewa-menyewa dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan 

sewa-menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak

berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu 

juga sebab  barang yang disewakan dipindahtangankan. Di sini berlaku asas 

bahwa jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa.

Dari uraian di atas, dapatlah dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam 

perjanjian sewa-menyewa yaitu 

a. adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,

b. adanya konsensus antara kedua belah pihak,

c. adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang, baik barang bergerak maupun 

tidak bergerak,

d. adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk menyerahkan 

kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu benda, dan

e. adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran 

kepada pihak yang menyewakan.

2. Subjek dan Objek Sewa-menyewa

Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu  pihak yang 

menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan yaitu  orang atau 

badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa, 

sedangkan pihak penyewa yaitu  orang atau badan hukum yang menyewa 

barang atau benda dari pihak yang menyewakan.

Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu  barang dan 

harga. Dengan syarat barang yang disewakan yaitu  barang yang halal, artinya 

tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban, dan kesusilaan.

3. Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa-menyewa

Di dalam KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk 

perjanjian sewa-menyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh sebab  itu, perjanjian 

sewa-menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan. Dalam perjanjian 

sewa-menyewa bangunan, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis 

dan isi perjanjian itu telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau Notaris. Akan 

tetapi, yang paling dominan dalam menentukan substansi kontrak yaitu  dari 

pihak yang menyewakan, sehingga pihak penyewa berada pada pihak yang 

lemah. Dengan demikian, semua persyaratan yang diajukan oleh pihak yang 

menyewakan tinggal disetujui atau tidak oleh pihak penyewa.

Berikut ini dianalisis substansi perjanjian sewa-menyewa, antara Markus 

Sunyoto Kusumo sebagai pengelola Mataram Mali dengan Rubyanto ANG sebagai 

penyewa. Hal-hal yang tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa bangunan 

mail ini  yaitu  sebagai berikut.

a. Tanggal dibuatnya akta sewa-menyewa.

b. Subjek hukum, yaitu para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa.

Pihak yang menyewakan, yaitu dua orang:

(1) Tuan Markus Sunjoyo Kusumo (Direktur Utama PT Facifik Cilinaya 

Fantacy), dan

(2) Tuan Robyanto ANG (Komisaris Utama PT Facifik Cilinaya Fantacy) 

dan pihak penyewa, yaitu Meyliya Handoyo.

c. Objek barang yang disewakan, yaitu bangunan Mataram Mali dengan ukuran 

panjang 15,50 (lima belas, lima puluh) meter dan lebar 6 (enam) meter. 

Tanah itu berdiri di atas tanah HGB.

d. Jangka waktu sewa, yaitu 5 (lima) tahun, yang dimulai dari tahun 2000 

sampai dengan 1 September 2004.

e. Besarnya uang sewa. Besarnya uang sewa untuk jangka waktu 5 (lima) 

tahun sebanyak Rp 163.800.000,00 (seratus enam puluh tiga juta delapan 

ratus ribu rupiah). Besarnya uang sewa setiap bulan sebanyak Rp2.730.000,00 

(dua juta tujuh ratus tiga puluh ribu rupiah). Uang muka sebesar Rp32.760.000,00 

(tiga puluh dua juta tujuh ratus enam puluh ribu rupiah). Sisanya akan diangsur 

setiap bulan sebesar Rp2.730.000,00 (dua juta tujuh ratus tiga puluh ribu 

rupiah), yang mulai diangsur tanggal 1 Juni 2001 sampai dengan 1 September 

2004.

f. Hak dan kewajiban antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa 

Hak dari pihak yang menyewakan, yaitu

1) menerima uang sewa bangunan,

2) menerima uang jaminan langganan telepon, dan

3) menerima uang jaminan langganan listrik sebesar Rp 162,00 (seratus 

enam puluh dua rupiah) per volt ampere.

Kewajiban pihak yang menyewakan, yaitu

1) menyerahkan bangunan seluas 15,50 x 6 m kepada pihak penyewa,

2) menyerahkan telepon kepada pihak penyewa, dan

3) menyerahkan hak pemakaian atas listrik.

Yang menjadi hak pihak penyewa yaitu 

1) menerima bangunan seluas 15,50 x 6 m,

2) menerima telepon, dan

3) menerima listrik.

Sedangkan kewajiban pihak yang menyewakan meliputi:

1) membayar sewa bangunan di Mali Mataram, baik berupa uang tunai 

dan uang angsuran setiap bulan, sesuai dengan yang disepakati keduanya,

2) membayar biaya langganan listrik dan telepon setiap bulan,

3) membayar denda keterlambatan pembayaran angsuran (jika terlambat),

4) memelihara dan merawat apa yang disewakan, dan

5) membayar service change sebesar Rp4.000,00/bulan. Biaya ini meliputi 

biaya operasional fasilitas umum, biaya perbaikan, kebersihan dan

pemeliharaan fasilitas dan area bersama seperti sampah, lift, keamanan, 

parkir, toilet, dan lain-lain.

g. Denda.

Di dalam kontrak sewa-menyewa ini ditentukan besarnya denda yang akan 

dibayar oleh pihak penyewa, bila  terlambat melakukan pembayaran 

angsuran. Besarnya denda ditentukan sebagai berikut.

1) terlambat satu bulan dendanya 5% dari pokok angsuran,

2) terlambat 2 bulan dendanya 10% dari pokok angsuran, dan

3) terlambat tiga bulan dendanya 15% dari pokok angsuran.

bila  empat bulan berturut-turut pihak kedua tidak membayar angsuran, 

maka sanksinya ditentukan sebagai berikut:

1) pihak kedua tetap membayar denda keterlambatan,

2) perjanjian batal dengan sendirinya, dan

3) pihak kedua tetap membayar uang sewa yang sampai saat batalnya 

perjanjian ini belum dibayar.

h. Berakhirnya kontrak. bila  kontrak berakhir, menjadi kewajiban dari pihak 

penyewa untuk menyerahkan bangunan ini  kepada pihak yang me­

nyewakan. Akannamun , bila  pihak penyewa tidak menyerahkan bangunan 

ini  tepat pada waktunya maka pihak penyewa dibebankan untuk mem­

bayar denda sebesar Rpl00.000,00/hari.

bila  diperhatikan substansi kontrak sewa-menyewa bangunan itu, jelaslah 

bahwa pihak yang dirugikan yaitu  pihak penyewa. Pihak penyewa ini berada 

dalam posisi yang lemah, hal ini terlihat dari penetapan denda keterlambatan 

pembayaran angsuran yang sangat tinggi dan denda keterlambatan dalam 

penyerahan barang bila  kontraknya telah berakhir. Denda yang dibebankan 

kepada penyewa yang tidak menyerahkan bangunan tepat pada waktunya 

sebanyak Rpl00.000,00/hari. Denda ini sangat besar, jika dibandingkan dengan 

keuntungan yang akan diperoleh si penyewa. Ini menunjukkan bahwa yang di­

untungkan dalam perjanjian ini  yaitu  pihak yang menyewakan.

4. Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa

Hak dari pihak yang menyewakan yaitu  menerima harga sewa yang telah 

ditentukan. Sedangkan kewajiban pihak yang menyewakan, yaitu

a. menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa (Pasal 1550 ayat

(1) KUH Perdata);

b. memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa, sehingga dapat dipakai 

untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550 ayat (2) KUH Perdata);

c. memberi  hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang disewakan 

(Pasal 1550 ayat (3) KUH Perdata);

d. melakukan pembetulan pada waktu yang sama (Pasal 1551 KUH Perdata);

e. menanggung cacat dari barang yang disewakan (Pasal 1552 KUH Perdata).

Hak dari pihak penyewa yaitu  menerima barang yang disewakan dalam 

keadaan baik. Yang menjadi kewajibannya yaitu 

a. memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, 

artinya kewajiban memakainya seakan-akan barang itu kepunyaannya sendiri;

b. membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (Pasal 1560 

KUH Perdata).

5. Risiko atas Musnahnya Barang

Risiko yaitu  suatu ajaran yang mewajibkan seseorang untuk memikul suatu 

kerugian, jikalau ada suatu kejadian di luar kemampuan salah satu pihak yang 

menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Dalam perjanjian sewa-menyewa 

ini, barang itu berada pada pihak penyewa. Persoalannya, apakah barang yang 

menjadi objek sewa itu hancur atau musnah, yang bukan dipicu  oleh pihak 

penyewa? Terhadap hal ini, dapat kita lihat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 

1553 KUH Perdata. Musnah atas barang objek sewa dapat dibagi menjadi dua 

macam, yaitu musnah secara total dan musnah sebagian dari objek sewa.

a. Jika barang yang disewakan oleh penyewa itu musnah secara keseluruhan 

di luar kesalahannya pada masa sewa, perjanjian sewa-menyewa itu gugur 

demi hukum dan yang menanggung risiko atas musnahnya barang ini  

yaitu  pihak yang menyewakan (Pasal 1553 KUH Perdata). Artinya, pihak 

yang menyewakan yang akan memperbaikinya dan menanggung segala ke­

rugiannya.

b. Jika barang yang disewa hanya sebagian yang musnah maka penyewa dapat 

memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga sewa atau akan 

meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUH Perdata). 

Pada dasarnya pihak penyewa dapat menuntut kedua hal itu, namun ia tidak

dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menyewakan (Pasal 

1553 KUH Perdata).

F. PERSEKUTUAN

1. Pengertian Persekutuan

Persekutuan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 

1618 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata. Di dalam Pasal 

1618 KUH Perdata ditentukan pengertian persekutuan. Persekutuan yaitu  

persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya untuk 

memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi 

keuntungan sebab nya (Pasal 1618 KUH Perdata).

Unsur-unsur yang tercantum dalam rumusan ini  yaitu  sebagai berikut:

a. adanya konsensus antara dua orang atau lebih,

b. memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dan

c. maksudnya untuk membagi keuntungan yang terjadi sebab nya.

Segala persekutuan harus mengenai usaha yang halal dan harus dibuat untuk 

keuntungan bersama. Hal-hal yang dapat dimasukkan oleh para sekutu, yaitu

a. uang,

b. barang lain, atau

c. kerajinannya dalam perusahaan.

2. Jenis-Jenis Persekutuan

Persekutuan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

a. persekutuan penuh, dan

b. persekutuan khusus (Pasal 1620 KUH perdata).

Persekutuan penuh ialah suatu persekutuan yang penuh mengatur keuntungan 

yang akan diperoleh para pihak dengan nama apa pun, selama berlangsungnya 

persekutuan sebagai hasil kerja sama mereka. Persekutuan penuh yang dilarang, 

yaitu segala persekutuan, baik dari semua kekayaan maupun dari sebagian dari 

kekayaan seseorang secara percampuran pada umumnya.

Persekutuan khusus ialah persekutuan yang hanya mengenai barang tertentu 

saja, atau pemakaiannya, atau hasil-hasil yang akan didapatnya dari barang itu, 

atau mengenai sesuatu perusahaan maupun dalam hal menjalankan sesuatu 

perusahaan atau pekerjaan tetap.

3. Momentum Berlakunya Persekutuan

Momentum berlakunya persekutuan diatur dalam Pasal 1624 KUH Perdata. 

Di dalam pasal itu ditentukan bahwa persekutuan mulai berlaku sejak saat ter­

jadinya persesuaian pernyataan kehendak antara para sekutu, kecuali para sekutu 

menentukan yang lain.

4. Hak dan Kewajiban Para Sekutu

Kewajiban para sekutu ditentukan dalam Pasal 1625 sampai dengan Pasal 

1641 KUH Perdata. Kewajibannya yaitu  sebagai berikut.

a. Masing-masing sekutu berutang kepada persekutuan tentang segala apa 

yang disanggupinya.

b. Masing-masing sekutu diwajibkan untuk memasukkan beberapa  uang kepada 

persekutuan.

c. Diwajibkan memberi perhitungan kepada perusahaan tentang keuntungan 

yang di peroleh dengan kerajinan.

d. Masing-masing sekutu diwajibkan memberi  ganti rugi kepada persekutuan 

tentang kerugian yang diderita persekutuan yang dipicu  sebab  salahnya 

dari sekutu.

Hak para sekutu yang utama yaitu  berhak untuk mendapatkan keuntungan 

dari hasil para sekutu berdasar  besar kecilnya yang telah dimasukkan ke 

persekutuan.

5. Hubungan antara Para Sekutu dengan Pihak Ketiga

Pada dasarnya tidak semua sekutu terikat pada pihak ketiga. Yang terikat 

hanyalah sekutu yang telah melakukan hubungan atau perbuatan hukum ini  

dan tidaklah mengikat sekutu yang lainnya, kecuali sekutu yang lain telah mem­

berikan kuasa kepada orang/sekutu yang tidak ada hubungannya.

6. Berakhirnya Persekutuan

Berakhirnya persekutuan telah ditentukan secara tegas dan rinci dalam Pasal 

1646 KUH Perdata. Persekutuan berakhir, sebab :

a. telah lewat waktunya yang telah ditentukan oleh para sekutu;

b. musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok 

persekutuan;

c. atas kehendaknya semata-mata dari beberapa orang atau sekutu untuk 

membubarkannya;

d. meninggalnya salah seorang sekutu atau ditaruh di bawah pengampunan 

atau dinyatakan pailit;

e. salah satu dari sekutu sakit secara terus-menerus.

G. BADAN HUKUM

1. Pengertian Badan Hukum

Badan hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtpersoon. Badan hukum 

yaitu  himpunan dari orang sebagai perkumpulan, baik perkumpulan itu diadakan 

atau diakui oleh pejabat umum, maupun perkumpulan itu diterima sebagai 

diperolehkan, atau telah didirikan untuk maksud tertentu yang tidak bertentangan 

dengan undang-undang dan kesusilaan yang baik (Pasal 1653 KUH Perdata). 

Soemitro mengartikan rechtpersoon yaitu 

’’Suatu badan yang dapat memiliki  harta kekayaan, hak serta kewajiban 

seperti orang-orang pribadi.” (Soemitro, 1993: 10)

Pandangan lain berpendapat bahwa badan hukum yaitu 

’’Kumpulan orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu

badan, yaitu

(1) berwujud himpunan, dan

(2) harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu dan ini dikenal 

dengan yayasan.” (Sri Soedewi Masjchoen, tt: 29)

Kedua pandangan itu mengkaji dan menelaah pengertian badan hukum dari 

aspek yang berbeda. Soemitro mengkaji pengertian badan hukum dari segi ke- 

wenangannya. Kewenangan itu dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu

(1) kewenangan atas harta kekayaan, dan

(2) kewenangan untuk memiliki  hak dan memiliki  kewajiban.

Sri Soedewi Masjchoen memfokuskan pengertian badan hukum dari segi 

tujuan dan pendiriannya. Dari aspek pendiriannya badan hukum dibedakan menjadi 

dua macam, yaitu hsimpunan dan yayasan.

Menurut hemat penulis, badan hukum yaitu 

’’Kumpulan orang-orang yang memiliki  tujuan tertentu, harta kekayaan, 

hak dan kewajiban, serta organisasi.”

Yang dimaksud dengan tujuan yaitu  arah atau yang ingin dicapai dari 

pembentukan badan hukum ini . Sejak awalnya, pada akta pendiriannya 

telah ditentukan tujuan dari badan hukum ini . Misalnya, di dalam akta 

disebutkan bahwa badan hukum ini didirikan untuk mengurus anak yatim piatu. 

Ini berarti bahwa badan hukum ini  bergerak dalam pembinaan dan 

pengembangan anak yatim piatu.

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur badan hukum:

a. memiliki  tujuan tertentu,

b. memiliki  harta kekayaan,

c. memiliki  hak dan kewajiban, baik untuk menggugat maupun digugat, dan

d. memiliki  organisasi.

2. Dasar Hukum Badan Hukum

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang badan hukum, dapat 

dilihat pada peraturan perundang-undangan berikut ini.

a. KUH Perdata

Ketentuan tentang badan hukum di dalam KUH Perdata sangat sederhana. 

Dalam KUH Perdata hanya ada  13 pasal yang mengatur tentang badan 

hukum yang dimulai dari Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata. 

Faktor pemicu  sedikitnya pasal yang mengatur tentang badan hukum, sebab  

orang mempelajari atau membicarakan masalah badan hukum dengan sebenar- 

benarnya baru sesudah kodifikasi selesai dibuat. Pada waktu itu orang sudah 

dapat menganggap cukup untuk memuat sebuah titel saja, seperti yang termuat 

dalam Titel IX Buku III KUH Perdata, yang berjudul Perkumpulan (Zedelijke 

Lichameri).

b. KUH Dagang

KUH Dagang ditetapkan berdasar  Stb. 1847 Nomor 53. KUH Dagang 

ini terdiri atas dua buah buku, yaitu Buku Kesatu: tentang dagang pada 

umumnya dan Buku Kedua tentang hak-hak dan kewajiban yang timbul dari 

pelayaran. KUH Dagang terdiri atas 13 bab dan 754 pasal. Ketentuan yang 

mengatur tentang badan hukum, ada  dalam Pasal 15 sampai dengan 

Pasal 56 Buku I tentang dagang pada umumnya. Di dalam ketentuan itu 

diatur 3 (tiga) jenis badan usaha, yaitu perseroan terbatas, firma, dan 

komanditer.

c. NBW Belanda

Di negeri Belanda, ketentuan badan hukum telah diatur dalam Buku II BW 

Baru (NBW). Dalam NBW ada  404 pasal yang mengatur tentang 

badan hukum dan terdiri dari delapan bab. Yang dimulai dari Pasal 1 sampai 

dengan Pasal 404 NBW. Pesatnya perkembangan perundang-undangan 

badan hukum di negeri Belanda, dipicu  oleh perkembangan teknologi 

dan kemajuan industri dalam berbagai kehidupan warga . Dengan adanya 

badan hukum ini  akan memberi  kontribusi yang sangat besar dalam 

meningkatkan perekonomian negara. Jadi, sangatlah wajar bila  ketentuan 

tentang badan hukum diatur di dalam buku tersendiri.

d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 merupakan peraturan yang khusus 

mengatur tentang badan hukum Perseroan Terbatas. Undang-undang ini terdiri 

atas 12 bab dan 129 pasal. Pertimbangan ditetapkannya Undang-Undang 

Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yaitu  sebab :

1) peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas 

sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang 

, sudah tidak sesuai 

dengan perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin pesat 

baik secara nasional maupun internasional;

2) adanya dua bentuk badan hukum Perseroan Terbatas, yang diatur dalam 

KUH Dagang dan Staatsblad 1939 Nomor 569 jo. 717 tentang Maskapai 

Andil Indonesia, sehingga memicu  dualisme hukum yang berlaku.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 meliputi:

1) pendirian, anggaran dasar, pendaftaran, dan pengumuman,

2) modal dan saham,

3) laporan tahunan dan pemakaian  laba,

4) rapat umum pemegang saham,

5) direksi dan komisaris,

6) pengabungan, peleburan, dan pengambilalihan,

7) pemeriksaan terhadap perseroan, dan

8) pembubaran perseroan dan likuidasi.

Tujuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas 

yaitu  untuk menciptakan unifikasi hukum yang berlaku bagi badan hukum 

perseroan terbatas. Dengan demikian* undang-undang inilah yang akan 

dipakai  bagi anggota warga  yang ingin mendirikan badan hukum 

perseroan terbatas.

e. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian ditetapkan 

pada tanggal 21 Oktober 1995. Undang-undang ini terdiri atas 16 bab dan

67 pasal. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini meliputi:

1) ketentuan umum,

2) landasan, asas, dan tujuan,

3) fungsi, peran, dan prinsip koperasi,

4) pembentukan,

5) perangkat organisasi,

6) modal,

7) lapangan usaha,

8) sisa hasil usaha,

9) pembubaran koperasi,

10) lembaga gerakan koperasi,

11) pembinaan,

12) ketentuan peralihan, dan

13) penutup.

Undang-undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 12 

Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Koperasi. Penggantian ini dipicu  

undang-undang lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan koperasi saat 

ini. Koperasi telah mengalami perkembangan yang sangat dahsyat dan 

mengalami kemajuan yang sangat berarti. Pada setiap desa/kelurahan selalu 

berdiri lembaga koperasi. Ini dipicu  lembaga koperasi akan menguntung­

kan para anggotanya. sebab  prinsip dalam pelaksanaan koperasi dari anggota, 

oleh anggota, dan untuk anggota. Namun dalam kenyataannya di pedesaan 

banyak koperasi-koperasi yang tidak dapat membayar sisa hasil usaha (SHU) 

kepada para anggotanya. Hal ini dipicu  kurangnya kemampuan dari 

pengurus untuk mengembangkan usahanya.

/ .  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang 

Yayasan yaitu  sebab :

1) pendirian yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasar  

kebiasaan dalam warga , sebab  belum ada undang-undang yang 

mengatur tentang yayasan;

2) Yayasan di Indonesia telah berkembang dalam berbagai kegiatan, maksud, 

dan tujuan.

Undang-undang ini diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001. Undang- 

undang ini terdiri atas 16 bab dan 73 pasal. Hal-hal yang diatur dalam 

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, meliputi hal-hal 

berikut:

1) ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 8);

2) pendirian (Pasal 9 sampai dengan Pasal 16);

3) perubahan anggaran dasar (Pasal 16 sampai dengan Pasal 23);

4) pengumuman (Pasal 24 sampai dengan Pasal 25);

5) kekayaan (Pasal 26 sampai dengan Pasal 27);

6) organ yayasan (Pasal 28 sampai dengan Pasal 47);

7) laporan tahunan (Pasal 48 sampai dengan Pasal 52);

8) pemeriksaan terhadap yayasan (Pasal 53 sampai dengan Pasal 56);

9) pengabungan (Pasal 57 sampai dengan Pasal 61);

10) pembubaran (Pasal 62 sampai dengan Pasal 68);

11) yayasan asing (Pasal 69);

12) ketentuan pidana (Pasal 70);

13) ketentuan peralihan (Pasal 71);

14) ketentuan penutup (Pasal 72 sampai dengan Pasal 73).

Dari keenam dasar hukum badan hukum ini , tiga undang-undang terakhir 

ini merupakan produk dari Pemerintah Indonesia, yang ditetapkan pada dekade 

tahun 90-an dan pada masa reformasi. Sedangkan KUH Perdata dan KUH 

Dagang merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. NBW sendiri me­

rupakan ketentuan tentang Burgerlijk Wetboek Baru di negeri Belanda. 

Ketentuan itu berlaku bagi bangsa Belanda, bukan berlaku di Indonesia. 

Namun, ketentuan itu dapat dijadikan acuan dan sumber hukum dalam membuat 

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan badan hukum.

3. Pembagian Badan Hukum

Badan hukum dapat dibedakan menurut bentuknya, peraturan yang mengaturnya, 

dan sifatnya.

a. Badan hukum menurut bentuknya (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 NBW (BW 

Baru) Negeri Belanda.

Badan hukum menurut bentuknya yaitu  pembagian badan hukum berdasar  

pendiriannya. Ada dua macam badan hukum berdasar  bentuknya, yaitu

1) badan hukum publik, dan

2) badan hukum privat.

Yang termasuk badan hukum publik yaitu 

(1) negara,

(2) provinsi,

(3) kota praja,

(4) majelis-majelis,

(5) lembaga-lembaga, dan

(6) bank-bank negara.

Sedangkan yang termasuk badan hukum privat yaitu 

(1) perkumpulan-perkumpulan,

(2) perseroan terbatas (PT),

(3) perusahaan tertutup dengan pertanggungan jawab terbatas, dan

(4) Yayasan.

b. Badan hukum menurut peraturan yang mengaturnya (Masjchoen, tt: 33-34). 

Pengertian badan hukum menurut peraturannya yaitu  suatu pembagian badan 

hukum yang didasarkan atas ketemtuan yang mengatur badan hukum ini . 

Ada dua macam badan hukum berdasar  aturan yang mengaturnya, yaitu 

sebagai berikut.

1) Badan hukum yang terletak dalam lapangan hukum perdata BW. Ini 

akan memicu  badan hukum perdata Eropa. Yang termasuk dalam 

badan hukum Eropa yaitu 

(1) zedelijke lichaam: Perhimpunan yang diatur dalam Buku III KUH 

Perdata (Pasal 1653 KUH Perdata s.d. Pasal 1665 KUH Perdata) 

dan Stb. 1870 No. 64,

(2) PT, Firma, dan lain-lain yang didirikan menurut KUHD, dan

(3) CV didirikan menurut ketentuan Stb. 1933 No. 108.

2) Badan hukum yang letaknya dalam lapangan hukum perdata adat. Ini 

akan memicu  badan hukum Bumi Putra. Yang termasuk badan 

hukum Bumi Putra:

(1) Maskapai Andil Indonesia (M.A.I) yang didirikan menurut Stb. 

1939 No. 569;

(2) perkumpulan Indonesia yang didirikan menurut ketentuan Stb. 1939 

No. 570;

(3) koperasi Indonesia, yang didirikan menurut ketentuan Stb. 1927 

No.l.

c. Badan hukum menurut sifatnya (Utrecht dan Djindang,1983).

Badan hukum menurut sifatnya dibagi dua macam, yaitu:

(1) korporasi (corporatie), dan

(2) yayasan (stichting).

Di dalam hukum positif Indonesia, ada 2 (dua) jenis badan usaha yang telah 

diberi status yuridis sebagai badan hukum, yaitu perseroan terbatas dan koperasi. 

Sedangkan yayasan yang merupakan badan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan 

telah mendapat status yuridis sebagai badan hukum, sesuai dengan peraturan 

perundang-undangan yang berlaku. *

Perseroan terbatas diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995. 

Pengertian perseroan terbatas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang 

Nomor 1 Tahun 1995.

Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan yaitu  badan hukum 

yang didirikan berdasar  perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal 

dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang 

ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaan.

Ciri-ciri suatu perseroan terbatas sebagai badan hukum, yaitu

1) didirikan berdasar  perjanjian,

2) melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi 

dalam saham-saham, dan

3) memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta 

peraturan pelaksanaannya.

Perseroan terbatas yang didirikan berdasar  perjanjian di depan notaris 

tidak cukup untuk dapat melakukan perbuatan hukum keluar,namun  perseroan itu 

harus disahkan akta pendiriannya oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI. bila  

telah disahkan maka perseroan terbatas baru dapat melakukan perbuatan hukum 

untuk dan atas nama perseroan terbatas secara mandiri. Jadi, dapat dikatakan 

bahwa momentum perseroan terbatas sebagai badan hukum yaitu  pada saat 

disahkannya akta pendiriannya oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI.

Koperasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Pengertian 

koperasi yaitu  badan usaha yang beranggotakan orang atau seseorang atau 

badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasar  prinsip 

koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar  atas asas 

kekeluargaan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang 

Perkoperasian).

Ciri-ciri koperasi sebagai badan hukum, disajikan yaitu  sebagai berikut.

a. Anggotanya, terdiri atas orang atau seseorang atau badan hukum. Badan 

hukum yang dimaksud di sini yaitu  badan hukum koperasi ini , terutama 

koperasi sekunder.

b. Tujuannya, yaitu memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan 

warga  pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian 

nasional dalam rangka mewujudkan warga  yang maju, adil, dan makmur 

berdasar  Pancasila dan UUD 1945.

c. Landasan pada prinsip koperasi, yaitu anggotanya bersifat sukarela, 

pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha dilakukan 

secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota; 

pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, kemandirian, dan kerja 

sama antarkoperasi.

d. Syarat pembentukan, bagi koperasi primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 

20 (dua puluh) orang dan bagi koperasi sekunder dibentuk oleh sekurang- 

kurangnya 3 (tiga) koperasi.

e. Pembentukan koperasi dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar,

f. Akta pendirian koperasi disahkan oleh pemerintah, berdasar  permintaan 

tertulis dari para pendiri.

Pengesahan akta pendirian koperasi oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri 

Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI merupakan momentum awal dari 

koperasi ini  memperoleh status sebagai badan hukum. Sehingga dengan

adanya status ini  maka koperasi dapat melakukan perbuatan hukum secara 

mandiri.

Yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Yang diartikan 

dengan yayasan yaitu  badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan 

dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, 

dan kemanusian, yang tidak memiliki  anggota (Pasal 1 ayat (1) Undang- 

Undang Nomor 16 Tahun 2001).

Ciri yayasan sebagai badan hukum yaitu  berikut ini.

a. memiliki  kekayaan yang dipisahkan.

b. Mencapai tujuan tertentu.

c. Ruang lingkup kegiatannya bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.

d. Yayasan tidak memiliki  anggota.

e. Organ yayasan terdiri atas pembina, pengurus, dan pengawas.

f. Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan harta 

kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.

g. Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan didirikan berdasar  

surat wasiat.

h. Yayasan memperoleh status sebagai badan hukum sesudah  akta pendirian 

yayasan memperoleh pengesahan menteri.

Menteri yang berwenang untuk melakukan pengesahan akta pendirian 

yayasan yaitu  Menteri Kehakiman dan HAM RI. Namun, kewenangan 

pengesahan akta pendirian oleh Menteri ini  dilaksanakan oleh Kepala Kantor 

Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama Menteri, 

yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan yayasan. Pertimbangan 

pelimpahan wewenang pengesahan ini yaitu  untuk mempercepat proses 

pemberian status yayasan sebagai badan hukum. sebab  dengan telah ditetapkan 

status hukum yayasan ini  maka yayasan ini  sudah dapat melakukan 

perbuatan secara mandiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa momentum 

yayasan dikatakan sebagai badan hukum sesudah  akta pendiriannya disahkan 

oleh Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM atas nama menteri.

Di samping kedua badan usaha dan badan sosial ini , di Indonesia juga 

dikenal badan usaha lainnya, yaitu firma, komanditer, dan lainnya. Persoalannya, 

kini apakah firma dan komanditer ini  dapat dikualifikasi sebagai badan 

hukum. Di dalam peraturan perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas 

tentang kedudukan hukum firma maupun komanditer. Namun, para ahli berbeda 

pandangan antara satu dengan yang lainnya. Ada dua pandangan yang mengemuka, 

yaitu

a. bahwa firma merupakan badan hukum, dan

b. bahwa firma bukan merupakan badan hukum.

Pandangan pertama berpendapat bahwa firma disamakan dengan badan 

hukum. Pendapat ini diwakili oleh Prof. Subekti dan Hardijan Rush, S.H.

Prof. Subekti berpendapat bahwa firma sebagai badan hukum sebab : 

’’Perseroan firma yang dianggap sebagai bentuk khusus dari maatshap/ 

venootshap telah mula-mula diragukan apakah ia merupakan badan hukum, 

sebab  meskipun ia memiliki  kekayaan sendiri namun para peseronya 

masih juga dapat dipertanggungjawabkan untuk utang-utang firma. Sekarang 

pada umumnya firma dianggap sebagai badan hukum dan adanya para 

pesero dapat dipertanggungjawabkan dianggap sebagai suatu tanggung-jawab 

cadangan (subsidair).” 

Rusdi Hardijan berpendapat bahwa:

’’Dalam kenyataannya firma itu secara hukum dianggap,ada dan sebab  itu 

dapat melakukan perbuatan hukum dan ini berarti bahwa firma yaitu  badan 

hukum. Persoalan modal pribadi para pemodal firma terikat atas perikatan 

firma tidaklah merupakan penentu bahwa firma itu bukanlah badan hukum, 

tetapi tidak dapatnya suatu badan hukum melakukan perbuatan hukumlah 

yang merupakan penentu bahwa badan ini  bukan badan hukum” 

Pandangan kedua, yang berpendapat bahwa firma, persekutuan perdata, 

persekutuan komanditer bukan merupakan badan hukum, sedangkan yang 

merupakan badan hukum yaitu  perseroan terbatas, koperasi, dan perkumpulan 

saling menggantung. Pandangan ini diwakili oleh H.M.N. Purwosutjipto. Ia 

berpendapat bahwa:

’’Perbedaan esensial antara badan hukum dan bukan badan hukum terletak 

pada prosedur mendirikan badan-badan ini . Untuk mendirikan suatu 

badan hukum mutlak diperlukan pengesahan dari pemerintah, misalnya 

perseroan terbatas, koperasi, dan perkumpulan saling menanggung. Untuk 

mendirikan perkumpulan yang bukan badan hukum maka pengesahaan akta 

pendirian oleh pemerintah itu tidak diperlukan, misalnya:

a. untuk mendirikan persekutuan perdata, tidak perlu adanya formalitas 

sedikit pun, cukup dengan adanya kesepakatan para pihak, tanpa 

pendaftaran dan tanpa pengumuman;

b. untuk mendirikan persekutuan firma, biasanya didirikan dengan akta 

notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dan 

diumumkan dalam Berita Negara RI;

c. untuk mendirikan persekutuan komanditer, cukup bila dilakukan sebagai 

halnya mendirikan persekutuan firma.” 

Pandangan pertama berpendapat bahwa firma, persekutuan perdata, dan 

komanditer merupakan badan hukum, sebab  dalam kenyataan badan itu ada 

dan melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian firma, persekutun perdata, 

dan komanditer digolongkan sebagai badan hukum. Sedangkan pandangan kedua 

melihat pembagian badan hukum dan bukan badan yaitu  dari aspek prosedur

dalam pengesahan badan hukum. Firma, persekutuan perdata, dan komanditer 

bukan badan hukum sebab  tidak disahkan oleh pejabat yang berwenang. Pada 

dasarnya, penulis sependapat dengan pandangan yang kedua ini, bahwa badan 

hukum baru dapat melakukan perbuatan hukum secara mandiri bila  akta 

pendiriannya telah disahkan oleh pejabat yang berwenang. Di samping itu, firma, 

persekutuan perdata, dan komanditer para anggotanya melakukan perbuatan 

hukum secara tanggung renteng dan tanggung jawab bersifat individual. Jadi, 

firma, persekutuan perdata, dan komanditer yaitu  sama dengan manusia atau 

orang secara individual dalam melakukan perbuatan hukum,namun  sebagai subjek 

hukum, yang bukan badan hukum.

4. Teori-Teori Badan Hukum

Ada lima teori yang menganalisis tentang badan hukum, sebagaimana 

dikemukakan berikut ini 

a. Teori Fiksi

Teori fiksi berpendapat bahwa kepribadian hukum atas kesatuan-kesatuan 

lain dibandingkan  manusia yaitu  hasil khayalan. Kepribadian yang sebenarnya 

hanya pada manusia. Negara-negara, korporasi, lembaga-lembaga, tidak 

dapat menjadi subjek dari hak-hak dan kepribadian,namun  diperlukan seolah- 

olah badan-badan itu manusia. Tokoh teori ini yaitu  von Savigny (sarjana 

Jerman), daii pembelanya yaitu  Salmond (sarjana Inggris). Teori fiksi ini 

yaitu  semata-mata produk dari konsepsi filsafat; dari sifat pembawaan 

manusia, yang secara apriori memberinya kepribadian hal ini tampak dari 

pernyataan Savigny: ’’Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat 

pada setiap individu. Oleh sebab  itu, konsepsi yang asli mengenai kepribadian 

harus sesuai dengan gagasan mengenai manusia.” W. Friedmann menyebutkan 

bahwa teori fiksi sama sekali bukan teori,namun  hanya rumusan. Dalam 

bentuk yang murni, teori fiksi secara politis yaitu  netral 

b. Teori Konsesi

Teori konsesi ini dikemukakan oleh Gierke. Teori ini berpendapat bahwa 

badan hukum dalam negara tidak memiliki kepribadian hukum, kecuali 

diperkenankan oleh hukum, dan ini berarti negara. Teori ini didukung oleh 

von Savigny, Salmond, dan Dicey.

Tujuan dari teori konsesi yaitu  memperkuat kekuasaan negara kalau 

dikehendakinya, ikut serta dalam kelompok asosiasi-asosiasi dalam negara. 

Negara sendiri, walaupun badan hukum tempatnya sejajar dengan individu. 

Kelemahan teori ini yaitu  dalam usahanya untuk mengombinasikan kenyataan 

kelompok-kelompok badan hukum dengan supremasi negara. Ini berarti bahwa

negara sebagai badan hukum memiliki  kekuasaan yang lebih tinggi dari 

kelompok-kelompok badan hukum yang berada di bawah kekuasaannya.

c. Teori Zweckvermogen

Tokoh dari teori zweckvermogen yaitu  Brinz. Teori zweckvermogen ber­

pendapat bahwa hak milik badan hukum dapat diperuntukkan dan mengikat 

secara sah pada tujuan-tujuan tertentu,namun  tanpa pemilik (tanpa subjek). 

Teori ini juga menganggap bahwa manusia saja yang dapat memiliki hak-hak. 

Teori Brinz ini erat hubungannya dengan sistem-sistem hukum yang menganggap 

lembaga hukum publik (anstalt) dan hukum privat (stiftung) sebagai pribadi- 

pribadi hukum. Akannamun , badan hukum itu dibentuk berdasar  maksud dan 

tujuannya sehingga untuk mencapai maksud dan tujuan itu diperlukan pengabdian 

dari orang-orang yang mengelola badan hukum ini .

d. Teori Kekayaan Bersama (Teori Jhering)

Jhering yaitu  seorang sarjana Jerman. Teori kekayaan bersama ini 

berpendapat bahwa yang dapat menjadi subjek hak badan hukum yaitu 

(1) manusia yang secara nyata ada di belakangnya,

(2) anggota-anggota badan hukum, dan

(3) mereka yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan (siftung).

Inti kajian dari teori ini yaitu  pada pemilikan bersama dari harta kekayan 

dari badan hukum.

e. Teori Realis atau Organik

Teori realis atau organik dikemukakan oleh Gierke dan didukung oleh Mitland. 

Teori ini berpendapat bahwa badan hukum yaitu  suatu badan yang membentuk 

kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan ini . 

Inti dari teori ini yaitu  difokuskan kepada pribadi-pribadi hukum yang nyata 

sebagai sumber kepribadian hukumnya.

Dari berbagai teori yang dikemukakan di atas maka teori yang mendekati 

kebenaran yaitu  teori konsesi dengan sedikit koreksi dari teori fiksi. Teori 

konsesi ini ingin membatasi penerapan konsepsi realis atau organik pada 

negara dan membatasi subjek hukum dari semua perhimpunan.

H. HIBAH

I. Pengertian Hibah

Perjanjian hibah diatur dalam Pasal 1666 s.d. Pasal 1693 KUH Perdata. 

Penghibahan yaitu  suatu persetujuan, dengan mana seseorang penghibah 

menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, 

untuk kepentingan seseorang menerima barang itu (Pasal 1666 ayat (1) KUH 

Perdata).

Pada dasarnya perjanjian hibah merupakan perjanjian sepihak, sebab  yang 

paling aktif untuk melakukan perbuatan hukum ini  yaitu  si penghibah, 

sedangkan penerima hibah yaitu  pihak yang pasif. Artinya penerima hibah 

tidak perlu melakukan kewajiban yang timbal balik. Penerima hibah tinggal 

menerima barang yang dihibahkan. Unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian 

hibah, yaitu

a. adanya pemberi dan penerima hibah,

b. pemberi hibah menyerahkan barang kepada penerima hibah,

c. pemberian dengan cuma-cuma, dan

d. pemberian itu tidak dapat ditarik kembali.

Pengertian tidak dapat ditarik kembali yaitu  bahwa pemberian yang telah 

diberikan oleh pemberi hibah tidak dapat ditarik atau dicabut kembali dari penerima 

hibah.

2. Subjek dan Objek Hibah

Pihak yang terikat dalam perjanjian hibah yaitu  penghibah (pemberi hibah) 

dan yang menerima hibah (penerima hibah). Syarat adanya perjanjian hibah, 

yaitu

a. perjanjian hibah hanya dapat dilakukan antara orang yang masih hidup 

(Pasal 1666 ayat (2) KUH Perdata);

b. perjanjian hibah hanya dibolehkan terhadap barang-barang yang sudah ada 

pada saat penghibaan terjadi (Pasal 1667 KUH Perdata);

c. perjanjian hibah harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH 

Perdata).

Pada perinsipnya perjanjian hibah tidak dapat dicabut dan dibatalkan oleh 

pemberi hibah, namun ada tiga pengecualiannya, yaitu

a. jika syarat-syarat penghibaan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;

b. jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan 

usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah (pemberi 

hibah);

c. jika pemberi hibah jatuh miskin, sedangkan penerima hibah menolak untuk 

memberi nafkah kepadanya (Pasal 1688 KUH Perdata).

3. Bentuk Perjanjian Hibah

Bentuk perjanjian hibah diatur dalam Pasal 1682 sampai dengan Pasal 1687 

KUH Perdata. Di dalam Pasal 1682 KUH Perdata ditentukan bahwa suatu 

perjanjian hibah dikatakan sah bila  dilakukan dengan akta notaris, yang asli 

disimpan oleh Notaris. Ketentuan itu ada pengecualiannya. Artinya bahwa perjanjian 

yang tidak perlu dibuat dengan akta Notaris yaitu  seperti pemberian benda 

bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang kepada si penunjuk dari 

tangan satu ke tangan lainnya. Penyerahan dengan tanpa akta tetap dikatakan sah 

(Pasal 1687 KUH Perdata).

I. PENITIPAN BARANG

1. Pengertian Penitipan Barang

Istilah penitipan barang merupakan terjemahan dari istilah bewargeving. 

Penitipan barang diatur dalam Pasal 1694 s.d. Pasal 1739 KUH Perdata. Di 

dalam Pasal 1694 KUH Perdata tidak dicantumkan pengertian penitipan barang, 

namun hanya disebutkan momentum terjadinya penitipan barang. Penitipan barang 

terjadi bila  seseorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat 

bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikan dalam wujud asalnya (Pasal 

1694 KUH Perdata). Algra mengemukakan pengertian bewargeving. Bewargeving 

yaitu  perjanjian untuk menyimpan barang orang lain dan mengembalikannya, 

baik dengan maupun tanpa pembayaran (Algra, 1983: 52). Esensi definisi ini 

yaitu  adanya penyimpanan barang orang lain. Penyimpan barang itu dapat 

dilakukan tanpa adanya bayaran maupun dengan adanya bayaran.

2. Jenis-Jenis Penitipan Barang

Penitipan barang dibagi dua macam, yaitu

(1) penitipan mumi (sejati), dan

(2) penitipan sekestrasi (penitipan dalam perselisihan).

Penitipan murni dapat dilakukan dengan cuma-cuma dan hanya dikhususkan 

kepada barang bergerak.

Ada dua cara terjadinya penitipan murni (sejati), yaitu

a. sukarela, artinya penitipan barang terjadi sebab  sepakat secara timbal balik 

antara yang menitipkan dan pihak yang menerima titipan. Penitipan cara ini 

dilakukan oleh orang yang cakap melakukan perbuatan hukum;

b. terpaksa, yaitu penitipan yang terpaksa dilakukan oleh seseorang sebab  

timbulnya malapetaka. Misalnya, kebakaran, banjir, dan lain-lain 

Sekestrasi yaitu  penitipan barang kepada pihak ketiga, yang dipicu 

adanya perselisihan antara si penitip dengan pihak lainnya atau sebab  adanya 

perintah hakim (Pasal 1730 KUH Perdata). pemicu  terjadinya sekestrasi yaitu 

1) adanya perselisihan, dan

2) adanya perintah hakim.

Ada dua cara terjadinya sekestrasi, yaitu

a. sekestrasi sebab  persetujuan. Sekestrasi ini terjadi bila  barang yang 

menjadi sengketa diserahkan kepada pihak ketiga oleh salah seorang atau 

secara sukarela;

b. sekestrasi sebab  perintah hakim. Terjadinya sekestrasi ini jika hakim 

memerintahkan susaha  barang sengketa dititipkan pada seseorang. Manfaat 

sekestrasi ini yaitu  kepentingan pengadilan diperintahkan kepada seseorang 

yang disetujui oleh para pihak atau kepada seseorang yang ditetapkan oleh 

hakim sebab  jabatannya.

Kewenangan hakim dalam sekestrasi yaitu 

a. memerintahkan sekestrasi barang bergerak yang telah disita dari tangan 

orang yang berutang;

b. barang bergerak dan tidak bergerak, di mana hak miliknya atau penguasaannya 

dalam sengketa;

c. barang-barang yang ditawarkan oleh seseorang yang berutang untuk melunasi 

utangnya.

Sekestrasi dikhususkan terhadap barang bergerak dan tidak bergerak.

3. Subjek dan Objek dalam Perjanjian Penitipan Barang

Pada dasarnya, ada dua pihak yang terikat dalam perjanjian penitipan barang, 

yaitu bewaargever dan bewciarnemer. Bewaargever yaitu  orang yang me­

nyerahkan barang untuk disimpan. Sedangkan bewaarnemer yaitu  Orang yang 

menerima barang untuk disimpan. Di samping itu, dikenal juga dengan istilah 

bewaarder. Bewaarder, yaitu penyimpan yang ditentukan oleh juru sita untuk 

menyimpan barang hasil sitaan dengan menerima ongkos simpan. Objek dalam 

penitipan barang ini yaitu  barang bergerak maupun tidak bergerak.

4. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Penitipan Barang

Hubungan kontraktual antara bewaargever dan bewaarnemer akan 

memicu  hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban bagi yang menyimpan 

barang (bewaarnemer):

a. memelihara barang dengan sebaik-baiknya,

b. mengembalikan barang ini  kepada penitipnya, dan

c. pemeliharaan harus dilakukan secara hati-hati. Kewajiban ini harus dilakukan 

secara lebih teliti jika:

(1) penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan 

barang ini ,

(2) penyimpanan dijanjikan untuk mendapat upah,

(3) penitipan terjadi dilakukan untuk keperluan penyimpan, dan

(4) telah diperjanjikan si penerima titipan akan menanggung segala 

kelalaiannya (Pasal 1707 KUH Perdata).

Hak-hak si penyimpan barang:

a. penggantian biaya untuk mempertahankan barang,

b. penggantian kerugian yang diderita dalam menyimpanan barang, dan

c . menahan barang sebelum penggantian biaya dan kerugian diterima dari penitip.

Hak penitip yaitu  menerima barang yang telah dititip secara utuh. Kewajiban­

nya:

a. memberi  upah kepada penyimpan, dan

b. memberi  penggantian biaya dan rugi kepada penyimpan.

J. PINJAM PAKAI

1. Pengertian Pinjam Pakai

Pinjam pakai diatur dalam Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1753 KUH 

Perdata. Pinjam pakai yaitu  suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu 

memberi  suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan 

cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini sesudah  memakainya 

atau sesudah  lewatnya suatu waktu tertentu akan mengembalikan (Pasal 1740 

KUH Perdata). Pihak yang meminjamkan tetap menjadi pemilik barang yang 

dipinjamkan.

2. Hak dan Kewajiban

Kewajiban orang yang menerima pinjaman yaitu 

a. menyimpan dan memelihara barang yang dipinjamnya sebagai seorang bapak 

rumah yang baik (Pasal 1744 KUH Perdata);

b. mengembalikan barang yang dipinjamnya tepat waktu, sesuai dengan kese­

pakatan.

bila  barang yang dipinjam oleh yang menerima pinjaman itu musnah 

atau rusak maka ia bertanggung jawab atas musnahnya barang ini . 

Kewajiban dari pemberi pinjaman yaitu 

a. tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamnya kecuali lewat waktu 

yang ditentukan