ak diperkenankan oleh undang-undang, seperti jual beli narkotika,
(3) bertentangan dengan ketertiban, dan
(4) kesusilaan yang baik.
bila hal itu tetap dilakukan maka jual beli itu batal demi hukum. Kepada
penjual dapat dituntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga.
4. Bentuk dan Substansi Perjanjian Jual Beli
Di dalam KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk per
janjian jual beli. Bentuk perjanjian jual beli dapat dilakukan secara lisan maupun
tertulis. Perjanjian jual beli secara lisan cukup dilakukan berdasar konsensus
para pihak tentang barang dan harga. Sedangkan perjanjian jual beli secara tertulis
merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis, apakah
itu dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta autentik. Di dalam perjanjian
jual beli tanah, biasanya dibuat dalam akta autentik yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk membuat akta jual beli tanah
yaitu Camat dan atau Notaris PPAT. Biasanya akta jual beli tanah ini telah
ditentukan bentuknya dalam sebuah formulir. Para Camat atau Notaris PPAT
tinggal mengisi hal-hal yang kosong dalam akta jual beli ini . Secara lengkap
isi akta jual beli tanah antara pihak penjual, yaitu Tati Sukmawati dengan pembeli,
yaitu Akhmad H. Syamsuddin, disajikan berikut ini.
AKTA JUAL BELI
No. 16/akt./Cam./1085
Pada hari ini Senin tanggal 28 Oktober 1985 datang menghadap kepada
kami Damhoedji Camat, Kecamatan Empang oleh Menteri Dalam Negeri dengan
surat keputusannya.......berdasar ketentuan dalam Pasal 5 Peraturan Menteri 1)
tanggal, 19 Nomor Agraria No. 10/1961 bertindak 2) sebagai
Ditunjuk
pejabat pembuat akta tanah yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah untuk Wilayah
Kecamatan Empang ................................
dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang kami kenal/diperkenalkan kepada kami
dan akan disebutkan di bagian akhir akta ini:
I. Tati Sukmawati, Umur 36 tahun, Warga Negara Indonesia, pekerjaan dagang,
bertempat tinggal di Sumbawa Kecamatan Sumbawa Kabupaten Dati II
Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Selanjutnya disebut Penjual:
II. Akhmad H. Syamsuddin, Umur 35 tahun, Warga Negara Indonesia, pekerjaan
tani, bertempat tinggal di desa Empang Atas, Kecamatan Empang, Kabupaten
Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Selanjutnya disebut Pembeli:
Para penghadap menerangkan bahwa penjual dengan akta ini menjual kepada
pembeli dan pembeli membeli dari penjual:
Sebidang 1) dari 1) tanah hak : Milik No............
sebagian
Terletak di :
Daerah tingkat I/Wilayah
Daerah tingkat II/Wilayah
Kecamatan/Wilayah
Desa
Diuraikan dalam surat ukur
Luas tanah
Nusa Tenggara Barat
Sumbawa
Empang
Empang Atas
tgl ........................................... No...............
880 m2 ( delapan ratus delapan puluh meter
persegi) berukuran panjang kurang-lebih: ....m3) berukuran lebar kurang lebih:
....m3), persil nomor 51, kohir nomor .... 301 : blok m3) dan berbatasan di sebelah:
Utara
Timur
Selatan
Barat
dengan jalan raya
dengan tanah/rumah H.M. Sidik
dengan tanah sawah Arifin A.Wahab BA
dengan tanah/rumah H.M. Saleh
Selanjutnya para penghadap menerangkan:
Bahwa jual beli ini meliputi pula bangunan dan tanaman 1) yang ada di atas
tanah ini , yaitu berupa:
Bahwa jual beli ini terjadi dengan harga Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh
ribu rupiah) bahwa penjual mengaku telah menerima sepenuhnya uang pembelian
ini di atas dan untuk penerimaan uang itu akta ini berlaku pula sebagai
tanda penerimaannya (kuitansi).
Bahwa jual beli ini dilakukan dengan syarat-syarat seperti berikut.
Pasal 1
Mulai hari ini tanah hak dan bangunan serta tanaman 1) yang diuraikan
dalam akta ini telah diserahkan kepada pembeli, yang mengaku pula telah
menerima penyerahan itu dan segala keuntungan yang didapat dari serta segala
kerugian/beban yang diderita atas tanah hak dan bangunan serta tanaman 1)
ini di atas menjadi hak tanggungan pembeli.
Pasal 2
Penjual menjamin bahwa tanah hak dan bangunan serta tanaman 1) ini
di atas tidak dikenakan sesuatu sitaan atau tersangkut sebagai tanggungan untuk
sesuatu piutang atau diberati dengan beban-beban lainnya.
Pasal 3
Jika pembeli tidak mendapat izin dari Instansi pemberi izin yang berwenang
untuk membeli tanah hak ini sehingga jual beli ini menjadi batal maka ia
dengan ini oleh penjual diberi kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali;
dengan hak memindahkan kekuasaan itu untuk mengalihkan hak atas tanah itu
kepada pihak lain atas nama penjual, dengan dibebaskan dari pertanggung jawab
sebagai kuasa, dan jika ada, menerima uang ganti kerugian yang menjadi hak
sepenuhnya dari pembeli. Adapun uang pembelian yang sudah diberikan kepada
penjual ini di atas tidak akan dituntut kembali oleh pembeli.
Pasal ....
Ongkos pembuatan akta ini, uang saksi, dan segala biaya mengenai peralihan
hak ini dipikul oleh Pembeli.
Demikian akta ini dibuat dihadapan saksi-saksi
1. Sanusi M Sekretaris Desa Empang Atas
2. M. Ali H.M. Sidik Empang Atas
Sebagai saksi-saksi dan sesudah dibacakan dan di mana perlu dijelaskan oleh
kami maka kemudian akta ini dibubuhi tanda tangan/cap jempol 1) oleh para
penghadap, saksi-saksi dan kami, pejabat pembuat akta tanah.
Penjual Pembeli
ttd. ttd.
(Tati Sukmawati) (Akhmad H. Syamsuddin)
Pejabat Pembuat Akta Tanah
ttd.
(Damhoedji)
NIP. 610000362
Saksi-Saksi
1. Sekretaris Empang Atas 2 .
ttd. ttd.
(Sanusi) (M. Ali H.M. Sidik)
Akta jual beli ini telah dibakukan oleh Pemerintah, sehingga para Camat
atau Notaris tinggal mengisi hal-hal yang kosong dalam lembaran akta jual beli.
Hal-hal yang tercantum dalam akta jual beli ini , meliputi:
a. tanggal dibuatnya perjanjian jual beli tanah;
b. subjek hukum, yang meliputi nama pihak penjual dan pembeli, umur,
kewarganegaraan, pekerjaan, dan domisili;
c. objek jual beli, yang meliputi jenis haknya, apakah hak milik, HGB atau
HGU, luasnya, nomor persil dan kohir, batas-batasnya;
d. harga jual beli tanah;
e. pengakuan dari penjual, bahwa ia telah menerima uang jual beli tanah
ini ;
f. momentum penyerahan tanah, yaitu pada saat tanggal dibuatkan akta;
g. bahwa tanah yang dijual tidak dikenakan sesuatu sitaan atau tersangkut
tanggungan suatu piutang;
h. ongkos pembuatan akta ditanggung pembeli;
i. saksi-saksi.
Keberadaan dua orang saksi ini sangat penting, sebab bila salah satu
dari pihak penjual dan pembeli ingkar terhadap apa yang telah dilakukan maka
kedua saksi inilah yang akan menjelaskan kepada hakim bahwa mereka benar-
benar telah melakukan jual beli tanah seluas dan harga ini di atas.
5. Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli
bila kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli telah tercapai maka
akan memicu hak dan kewajiban di antara para pihak. Yang menjadi hak
penjual yaitu menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli.
Sedangkan kewajiban pihak penjual yaitu sebagai berikut,
a Menyatakan dengan tegas tentang perjanjian jual beli ini
b. Menyerahkan barang.
Penyerahan yaitu suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam
kekuasaan dan kepunyaan si pembeli. Ada tiga cara penyerahan barang,
yaitu
1) penyerahan barang bergerak cukup dengan menyerahkan kekuasaan
atas barang ini ;
2) barang tetap dilakukan dengan memakai akta transport atau balik
nama pada pejabat yang berwenang;
3) barang tak bertubuh dengan cara cessi.
Sedangkan masalah biaya dan tempat penyerahan ditentukan sebagai berikut:
1) biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan
dipikul oleh si pembeli, kecuali diperjanjikan, dan
2) tempat penyerahan dilakukan di tempat di mana barang yang dijual
berada, kecuali diperjanjikan lain.
Pengecualian dari kewajiban penyerahan ini bila pembeli belum melunasi
harga barang secara total kepada si penjual.
c. Kewajiban menanggung pembeli.
Kewajiban menanggung dari si penjual yaitu dimaksudkan agar (1)
penguasaan benda secara aman dan tenteram, dan (2) adanya cacat barang-
barang ini secara sembunyi atau sedemikian rupa sehingga menerbitkan
alasan untuk pembatalan (Pasal 1473 KUH Perdata),
d Wajib mengembalikan kepada si spembeli atau menyuruh mengembalikan
cleh orang yang memajukan tuntutan barang, segala apa yang telah
dikeluarkan oleh pembeli, segala biaya yang telah dikeluarkan untuk
barangnya atau semata-mata untuk perhiasan atau kesenangan,
e. Wajib menanggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak
mengetahui adanya cacat ini , kecuali telah diperjanjikan,
f Wajib mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, jika penjual
mengetahui barang yang telah dijual mengandung cacat, serta mengganti
segala biaya, kerugian, dan bunga kepada si pembeli.
g. Wajib mengembalikan harga pembelian, bila ia sendiri mengetahui adanya
cacat ini .
h. Jika barang yang dijual musnah dipicu sebab cacat tersembunyi, maka
kerugian dipikul oleh si penjual dan diwajibkan mengembalikan uang harga
pembelian dan kerugian.
Kewajiban pembeli yaitu sebagai berikut,
a. Membayar harga pembelian terhadap barang pada waktu dan tempat yang
telah ditentukan (Pasal 1513 KUH Perdata),
b. Membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yang dijual dan diserahkan
memberi hasil (pendapatan).
Hak pembeli yaitu menerima barang yang telah dibelinya, baik secara
nyata maupun secara yuridis. Di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Penjualan Barang-Barang Internasional (United Nations Convention
on Contract fo r the International Sale o f Goods) telah diatur tentang
kewajiban antara penjual dan.pembeli. United Nations Convention on Contract
for the International Sale o f Goods ini ditetapkan pada tanggal 7 April 1980
di Wina. Tujuan konvensi ini yaitu penetapan keseragaman pengaturan yang
akan mengatur berbagai kontrak untuk penjualan barang-barang internasional
memperhitungkan perbedaan sosial, ekonomi, dan sistem hukum. Hal ini akan
memberi sumbangan untuk menghapuskan hambatan hukum dalam per
dagangan internasional dan mendorong pengembangan perdagangan internasional.
Pasal 30 sampai dengan Pasal 52 United Nations Convention on Contract
for the International Sale o f Goods mengatur tentang kewajiban penjual dan
Pasal 53 sampai dengan Pasal 60 United Nations Convention on Contract
for the International Sale o f Goods mengatur tentang kewajiban pembeli.
Ada 3 (tiga) kewajiban pokok penjual, yaitu
a. menyerahkan barang,
b. menyerahterimakan dokumen, dan
c. memindahkan hak milik (Pasal 30).
Kewajiban penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli meliputi:
a. menyerahterimakan barang kepada pengangkut pertama untuk diteruskan
kepada pembeli, jika kontrak penjualan menyangkut pengangkutan barang
(Pasal 31);
b. merinci jenis-jenis barang yang dikirimkan kepada pembeli (Pasal 32);
c. menyerahkan barang sesuai dengan tanggal yang ditetapkan dalam kontrak .
(Pasal 33);
d. menyerahkan barang yang jumlahnya, mutunya, dan uraian barang yang
diminta dalam kontrak yang dipetikan atau dibungkus (Pasal 35);
e. menyerahkan barang yang bebas dari hak apa pun atau klaim dari pihak
ketiga, kecuali pembeli setuju untuk mengambil barang itu bersyarat pada
hak-hak itu atau klaim (Pasal 41);
f. menyerahkan barang yang bebas dari hak apa pun atau klaim dari pihak
ketiga yang berdasar atas hak milik industri atau hak kekayaan intelektual
lainnya (Pasal 42).
Kewajiban pembeli yaitu
a. memeriksa barang-barang yang dikirim oleh penjual (Pasal 38),
b. membayar harga barang sesuai dengan kontrak (Pasal 53), dan
c. menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak (Pasal 53).
Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan
mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin
dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan
pelaksanaan pembayaran (Pasal 54). Tempat pembayaran di tempat yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Jika tidak ditentukan oleh kedua belah pihak,
maka pembayaran dapat dilakukan di tempat bisnis penjual atau jika pembayaran
harus dilakukan dengan penyerahan barang atau dokumen di tempat di mana
serah terima itu dilakukan.
D. TUKAR-MENUKAR
1. Pengertian Tukar-menukar
Tukar-menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH
Perdata. Perjanjian tukar-menukar yaitu
’’Suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya
untuk saling memberi suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu
ganti barang lainnya.” (Pasal 1451 KUH Perdata)
Algra mengartikan perjanjian tukar-menukar yaitu
’’Suatu perjanjian di mana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling
memberi benda kepada satu sama lain.” (Algra, dkk. 1983: 487)
Definisi ini terlalu singkat, sebab yang ditonjolkan yaitu saling memberi
benda antara satu sama lain. Akannamun menurut hemat penulis, perjanjian
tukar-menukar yaitu suatu perjanjian yang dibuat antara pihak yang satu dengan
pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan
barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang
ditukar. Barang yang ditukar oleh para pihak, dapat berupa barang bergerak
maupun barang tidak bergerak. Penyerahan barang bergerak cukup penyerahan
nyata, sedangkan barang tidak bergerak memakai penyerahan secara yuridis
formal.
Unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi di atas yaitu
a. adanya subjek hukum,
b. adanya kesepakatan subjek hukum,
c. adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak, dan
d. masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar-
menukar.
2. Subjek dan Objek dalam Perjanjian Tukar-menukar
Subjek hukum dalam perjanjian tukar-menukar yaitu pihak pertama dan
pihak kedua. Sedangkan yang dapat menjadi objek tukar-menukar yaitu semua
barang, baik barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak (Pasal 1542
KUH Perdata). Dengan syarat barang yang menjadi objek tukar-menukar tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika
barang yang telah ditukarkannya ternyata membuktikan bahwa barang yang
ditukarnya bukan pemilik barang ini , maka pihak lain tidak dapat
memaksakan untuk menyerahkan barang yang telah ia janjikan dari pihak sendiri,
melainkan mengembalikan barang yang ia telah terimanya (Pasal 1543 KUH
Perdata). Pihak yang telah melepaskan barang yang diterima dalam perjanjian
tukar-menukar maka ia dapat memilih, apakah ia akan menuntut penggantian
biaya, rugi, dan bunga dari pihak lawannya atau menuntut pengembalian barang
yang telah ia berikan (Pasal 1544 KUH Perdata). Tuntutan itu hanya dilakukan
terhadap satu alternatif yang dipaparkan di atas, yaitu menuntut biaya, rugi, dan
bunga atau pengembalian barang. Jadi, pihak yang menyerahkan barang tidak
dapat menuntut kedua alternatif ini di atas.
3, Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian Tukar-menukar
Pihak pertama dan pihak kedua, masing-masing berkewajiban untuk
menyerahkan barang yang ditukar sedangkan haknya menerima barang yang
ditukar.
4. Risiko dalam Perjanjian Tukar-menukar
Jika barang yang menjadi objek tukar-menukar musnah di luar kesalahan
salah satu pihak maka perjanjian tukar-menukar itu menjadi gugur. Pihak yang
telah menyerahkan barang dapat menuntut kembali barang yang telah diserahkannya
(Pasal 1545 KUH Perdata).
Pasal-pasal yang mengatur tentang tukar-menukar sangat sedikit, jika
dibandingkan dengan perjanjian jual beli. Namun, di dalam ketentuan mengenai
tukar-menukar disebutkan bahwa ketentuan tentang jual beli berlaku bagi perjanjian
tukar-menukar.
E. SEWA-MENYEWA
1. Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUH
Perdata. Sewa-menyewa yaitu suatu persetujuan, dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk memberi kenikmatan suatu barang kepada
pihak lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi
oleh pihak yang terakhir itu (Pasal 1548 KUH Perdata). Definisi lainnya
menyebutkan bahwa perjanjian sewa-menyewa yaitu
’’Persetujuan untuk pemakaian sementara suatu benda, baik bergerak maupun
tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu.”
Pada dasarnya sewa-menyewa dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan
sewa-menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak
berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu
juga sebab barang yang disewakan dipindahtangankan. Di sini berlaku asas
bahwa jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa.
Dari uraian di atas, dapatlah dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam
perjanjian sewa-menyewa yaitu
a. adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,
b. adanya konsensus antara kedua belah pihak,
c. adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang, baik barang bergerak maupun
tidak bergerak,
d. adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk menyerahkan
kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu benda, dan
e. adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran
kepada pihak yang menyewakan.
2. Subjek dan Objek Sewa-menyewa
Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu pihak yang
menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan yaitu orang atau
badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa,
sedangkan pihak penyewa yaitu orang atau badan hukum yang menyewa
barang atau benda dari pihak yang menyewakan.
Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu barang dan
harga. Dengan syarat barang yang disewakan yaitu barang yang halal, artinya
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban, dan kesusilaan.
3. Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa-menyewa
Di dalam KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk
perjanjian sewa-menyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh sebab itu, perjanjian
sewa-menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan. Dalam perjanjian
sewa-menyewa bangunan, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis
dan isi perjanjian itu telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau Notaris. Akan
tetapi, yang paling dominan dalam menentukan substansi kontrak yaitu dari
pihak yang menyewakan, sehingga pihak penyewa berada pada pihak yang
lemah. Dengan demikian, semua persyaratan yang diajukan oleh pihak yang
menyewakan tinggal disetujui atau tidak oleh pihak penyewa.
Berikut ini dianalisis substansi perjanjian sewa-menyewa, antara Markus
Sunyoto Kusumo sebagai pengelola Mataram Mali dengan Rubyanto ANG sebagai
penyewa. Hal-hal yang tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa bangunan
mail ini yaitu sebagai berikut.
a. Tanggal dibuatnya akta sewa-menyewa.
b. Subjek hukum, yaitu para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa.
Pihak yang menyewakan, yaitu dua orang:
(1) Tuan Markus Sunjoyo Kusumo (Direktur Utama PT Facifik Cilinaya
Fantacy), dan
(2) Tuan Robyanto ANG (Komisaris Utama PT Facifik Cilinaya Fantacy)
dan pihak penyewa, yaitu Meyliya Handoyo.
c. Objek barang yang disewakan, yaitu bangunan Mataram Mali dengan ukuran
panjang 15,50 (lima belas, lima puluh) meter dan lebar 6 (enam) meter.
Tanah itu berdiri di atas tanah HGB.
d. Jangka waktu sewa, yaitu 5 (lima) tahun, yang dimulai dari tahun 2000
sampai dengan 1 September 2004.
e. Besarnya uang sewa. Besarnya uang sewa untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun sebanyak Rp 163.800.000,00 (seratus enam puluh tiga juta delapan
ratus ribu rupiah). Besarnya uang sewa setiap bulan sebanyak Rp2.730.000,00
(dua juta tujuh ratus tiga puluh ribu rupiah). Uang muka sebesar Rp32.760.000,00
(tiga puluh dua juta tujuh ratus enam puluh ribu rupiah). Sisanya akan diangsur
setiap bulan sebesar Rp2.730.000,00 (dua juta tujuh ratus tiga puluh ribu
rupiah), yang mulai diangsur tanggal 1 Juni 2001 sampai dengan 1 September
2004.
f. Hak dan kewajiban antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa
Hak dari pihak yang menyewakan, yaitu
1) menerima uang sewa bangunan,
2) menerima uang jaminan langganan telepon, dan
3) menerima uang jaminan langganan listrik sebesar Rp 162,00 (seratus
enam puluh dua rupiah) per volt ampere.
Kewajiban pihak yang menyewakan, yaitu
1) menyerahkan bangunan seluas 15,50 x 6 m kepada pihak penyewa,
2) menyerahkan telepon kepada pihak penyewa, dan
3) menyerahkan hak pemakaian atas listrik.
Yang menjadi hak pihak penyewa yaitu
1) menerima bangunan seluas 15,50 x 6 m,
2) menerima telepon, dan
3) menerima listrik.
Sedangkan kewajiban pihak yang menyewakan meliputi:
1) membayar sewa bangunan di Mali Mataram, baik berupa uang tunai
dan uang angsuran setiap bulan, sesuai dengan yang disepakati keduanya,
2) membayar biaya langganan listrik dan telepon setiap bulan,
3) membayar denda keterlambatan pembayaran angsuran (jika terlambat),
4) memelihara dan merawat apa yang disewakan, dan
5) membayar service change sebesar Rp4.000,00/bulan. Biaya ini meliputi
biaya operasional fasilitas umum, biaya perbaikan, kebersihan dan
pemeliharaan fasilitas dan area bersama seperti sampah, lift, keamanan,
parkir, toilet, dan lain-lain.
g. Denda.
Di dalam kontrak sewa-menyewa ini ditentukan besarnya denda yang akan
dibayar oleh pihak penyewa, bila terlambat melakukan pembayaran
angsuran. Besarnya denda ditentukan sebagai berikut.
1) terlambat satu bulan dendanya 5% dari pokok angsuran,
2) terlambat 2 bulan dendanya 10% dari pokok angsuran, dan
3) terlambat tiga bulan dendanya 15% dari pokok angsuran.
bila empat bulan berturut-turut pihak kedua tidak membayar angsuran,
maka sanksinya ditentukan sebagai berikut:
1) pihak kedua tetap membayar denda keterlambatan,
2) perjanjian batal dengan sendirinya, dan
3) pihak kedua tetap membayar uang sewa yang sampai saat batalnya
perjanjian ini belum dibayar.
h. Berakhirnya kontrak. bila kontrak berakhir, menjadi kewajiban dari pihak
penyewa untuk menyerahkan bangunan ini kepada pihak yang me
nyewakan. Akannamun , bila pihak penyewa tidak menyerahkan bangunan
ini tepat pada waktunya maka pihak penyewa dibebankan untuk mem
bayar denda sebesar Rpl00.000,00/hari.
bila diperhatikan substansi kontrak sewa-menyewa bangunan itu, jelaslah
bahwa pihak yang dirugikan yaitu pihak penyewa. Pihak penyewa ini berada
dalam posisi yang lemah, hal ini terlihat dari penetapan denda keterlambatan
pembayaran angsuran yang sangat tinggi dan denda keterlambatan dalam
penyerahan barang bila kontraknya telah berakhir. Denda yang dibebankan
kepada penyewa yang tidak menyerahkan bangunan tepat pada waktunya
sebanyak Rpl00.000,00/hari. Denda ini sangat besar, jika dibandingkan dengan
keuntungan yang akan diperoleh si penyewa. Ini menunjukkan bahwa yang di
untungkan dalam perjanjian ini yaitu pihak yang menyewakan.
4. Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa
Hak dari pihak yang menyewakan yaitu menerima harga sewa yang telah
ditentukan. Sedangkan kewajiban pihak yang menyewakan, yaitu
a. menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa (Pasal 1550 ayat
(1) KUH Perdata);
b. memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa, sehingga dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550 ayat (2) KUH Perdata);
c. memberi hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang disewakan
(Pasal 1550 ayat (3) KUH Perdata);
d. melakukan pembetulan pada waktu yang sama (Pasal 1551 KUH Perdata);
e. menanggung cacat dari barang yang disewakan (Pasal 1552 KUH Perdata).
Hak dari pihak penyewa yaitu menerima barang yang disewakan dalam
keadaan baik. Yang menjadi kewajibannya yaitu
a. memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik,
artinya kewajiban memakainya seakan-akan barang itu kepunyaannya sendiri;
b. membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (Pasal 1560
KUH Perdata).
5. Risiko atas Musnahnya Barang
Risiko yaitu suatu ajaran yang mewajibkan seseorang untuk memikul suatu
kerugian, jikalau ada suatu kejadian di luar kemampuan salah satu pihak yang
menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Dalam perjanjian sewa-menyewa
ini, barang itu berada pada pihak penyewa. Persoalannya, apakah barang yang
menjadi objek sewa itu hancur atau musnah, yang bukan dipicu oleh pihak
penyewa? Terhadap hal ini, dapat kita lihat ketentuan yang tercantum dalam Pasal
1553 KUH Perdata. Musnah atas barang objek sewa dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu musnah secara total dan musnah sebagian dari objek sewa.
a. Jika barang yang disewakan oleh penyewa itu musnah secara keseluruhan
di luar kesalahannya pada masa sewa, perjanjian sewa-menyewa itu gugur
demi hukum dan yang menanggung risiko atas musnahnya barang ini
yaitu pihak yang menyewakan (Pasal 1553 KUH Perdata). Artinya, pihak
yang menyewakan yang akan memperbaikinya dan menanggung segala ke
rugiannya.
b. Jika barang yang disewa hanya sebagian yang musnah maka penyewa dapat
memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga sewa atau akan
meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUH Perdata).
Pada dasarnya pihak penyewa dapat menuntut kedua hal itu, namun ia tidak
dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menyewakan (Pasal
1553 KUH Perdata).
F. PERSEKUTUAN
1. Pengertian Persekutuan
Persekutuan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal
1618 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata. Di dalam Pasal
1618 KUH Perdata ditentukan pengertian persekutuan. Persekutuan yaitu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya untuk
memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi
keuntungan sebab nya (Pasal 1618 KUH Perdata).
Unsur-unsur yang tercantum dalam rumusan ini yaitu sebagai berikut:
a. adanya konsensus antara dua orang atau lebih,
b. memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dan
c. maksudnya untuk membagi keuntungan yang terjadi sebab nya.
Segala persekutuan harus mengenai usaha yang halal dan harus dibuat untuk
keuntungan bersama. Hal-hal yang dapat dimasukkan oleh para sekutu, yaitu
a. uang,
b. barang lain, atau
c. kerajinannya dalam perusahaan.
2. Jenis-Jenis Persekutuan
Persekutuan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
a. persekutuan penuh, dan
b. persekutuan khusus (Pasal 1620 KUH perdata).
Persekutuan penuh ialah suatu persekutuan yang penuh mengatur keuntungan
yang akan diperoleh para pihak dengan nama apa pun, selama berlangsungnya
persekutuan sebagai hasil kerja sama mereka. Persekutuan penuh yang dilarang,
yaitu segala persekutuan, baik dari semua kekayaan maupun dari sebagian dari
kekayaan seseorang secara percampuran pada umumnya.
Persekutuan khusus ialah persekutuan yang hanya mengenai barang tertentu
saja, atau pemakaiannya, atau hasil-hasil yang akan didapatnya dari barang itu,
atau mengenai sesuatu perusahaan maupun dalam hal menjalankan sesuatu
perusahaan atau pekerjaan tetap.
3. Momentum Berlakunya Persekutuan
Momentum berlakunya persekutuan diatur dalam Pasal 1624 KUH Perdata.
Di dalam pasal itu ditentukan bahwa persekutuan mulai berlaku sejak saat ter
jadinya persesuaian pernyataan kehendak antara para sekutu, kecuali para sekutu
menentukan yang lain.
4. Hak dan Kewajiban Para Sekutu
Kewajiban para sekutu ditentukan dalam Pasal 1625 sampai dengan Pasal
1641 KUH Perdata. Kewajibannya yaitu sebagai berikut.
a. Masing-masing sekutu berutang kepada persekutuan tentang segala apa
yang disanggupinya.
b. Masing-masing sekutu diwajibkan untuk memasukkan beberapa uang kepada
persekutuan.
c. Diwajibkan memberi perhitungan kepada perusahaan tentang keuntungan
yang di peroleh dengan kerajinan.
d. Masing-masing sekutu diwajibkan memberi ganti rugi kepada persekutuan
tentang kerugian yang diderita persekutuan yang dipicu sebab salahnya
dari sekutu.
Hak para sekutu yang utama yaitu berhak untuk mendapatkan keuntungan
dari hasil para sekutu berdasar besar kecilnya yang telah dimasukkan ke
persekutuan.
5. Hubungan antara Para Sekutu dengan Pihak Ketiga
Pada dasarnya tidak semua sekutu terikat pada pihak ketiga. Yang terikat
hanyalah sekutu yang telah melakukan hubungan atau perbuatan hukum ini
dan tidaklah mengikat sekutu yang lainnya, kecuali sekutu yang lain telah mem
berikan kuasa kepada orang/sekutu yang tidak ada hubungannya.
6. Berakhirnya Persekutuan
Berakhirnya persekutuan telah ditentukan secara tegas dan rinci dalam Pasal
1646 KUH Perdata. Persekutuan berakhir, sebab :
a. telah lewat waktunya yang telah ditentukan oleh para sekutu;
b. musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok
persekutuan;
c. atas kehendaknya semata-mata dari beberapa orang atau sekutu untuk
membubarkannya;
d. meninggalnya salah seorang sekutu atau ditaruh di bawah pengampunan
atau dinyatakan pailit;
e. salah satu dari sekutu sakit secara terus-menerus.
G. BADAN HUKUM
1. Pengertian Badan Hukum
Badan hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtpersoon. Badan hukum
yaitu himpunan dari orang sebagai perkumpulan, baik perkumpulan itu diadakan
atau diakui oleh pejabat umum, maupun perkumpulan itu diterima sebagai
diperolehkan, atau telah didirikan untuk maksud tertentu yang tidak bertentangan
dengan undang-undang dan kesusilaan yang baik (Pasal 1653 KUH Perdata).
Soemitro mengartikan rechtpersoon yaitu
’’Suatu badan yang dapat memiliki harta kekayaan, hak serta kewajiban
seperti orang-orang pribadi.” (Soemitro, 1993: 10)
Pandangan lain berpendapat bahwa badan hukum yaitu
’’Kumpulan orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu
badan, yaitu
(1) berwujud himpunan, dan
(2) harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu dan ini dikenal
dengan yayasan.” (Sri Soedewi Masjchoen, tt: 29)
Kedua pandangan itu mengkaji dan menelaah pengertian badan hukum dari
aspek yang berbeda. Soemitro mengkaji pengertian badan hukum dari segi ke-
wenangannya. Kewenangan itu dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu
(1) kewenangan atas harta kekayaan, dan
(2) kewenangan untuk memiliki hak dan memiliki kewajiban.
Sri Soedewi Masjchoen memfokuskan pengertian badan hukum dari segi
tujuan dan pendiriannya. Dari aspek pendiriannya badan hukum dibedakan menjadi
dua macam, yaitu hsimpunan dan yayasan.
Menurut hemat penulis, badan hukum yaitu
’’Kumpulan orang-orang yang memiliki tujuan tertentu, harta kekayaan,
hak dan kewajiban, serta organisasi.”
Yang dimaksud dengan tujuan yaitu arah atau yang ingin dicapai dari
pembentukan badan hukum ini . Sejak awalnya, pada akta pendiriannya
telah ditentukan tujuan dari badan hukum ini . Misalnya, di dalam akta
disebutkan bahwa badan hukum ini didirikan untuk mengurus anak yatim piatu.
Ini berarti bahwa badan hukum ini bergerak dalam pembinaan dan
pengembangan anak yatim piatu.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur badan hukum:
a. memiliki tujuan tertentu,
b. memiliki harta kekayaan,
c. memiliki hak dan kewajiban, baik untuk menggugat maupun digugat, dan
d. memiliki organisasi.
2. Dasar Hukum Badan Hukum
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang badan hukum, dapat
dilihat pada peraturan perundang-undangan berikut ini.
a. KUH Perdata
Ketentuan tentang badan hukum di dalam KUH Perdata sangat sederhana.
Dalam KUH Perdata hanya ada 13 pasal yang mengatur tentang badan
hukum yang dimulai dari Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata.
Faktor pemicu sedikitnya pasal yang mengatur tentang badan hukum, sebab
orang mempelajari atau membicarakan masalah badan hukum dengan sebenar-
benarnya baru sesudah kodifikasi selesai dibuat. Pada waktu itu orang sudah
dapat menganggap cukup untuk memuat sebuah titel saja, seperti yang termuat
dalam Titel IX Buku III KUH Perdata, yang berjudul Perkumpulan (Zedelijke
Lichameri).
b. KUH Dagang
KUH Dagang ditetapkan berdasar Stb. 1847 Nomor 53. KUH Dagang
ini terdiri atas dua buah buku, yaitu Buku Kesatu: tentang dagang pada
umumnya dan Buku Kedua tentang hak-hak dan kewajiban yang timbul dari
pelayaran. KUH Dagang terdiri atas 13 bab dan 754 pasal. Ketentuan yang
mengatur tentang badan hukum, ada dalam Pasal 15 sampai dengan
Pasal 56 Buku I tentang dagang pada umumnya. Di dalam ketentuan itu
diatur 3 (tiga) jenis badan usaha, yaitu perseroan terbatas, firma, dan
komanditer.
c. NBW Belanda
Di negeri Belanda, ketentuan badan hukum telah diatur dalam Buku II BW
Baru (NBW). Dalam NBW ada 404 pasal yang mengatur tentang
badan hukum dan terdiri dari delapan bab. Yang dimulai dari Pasal 1 sampai
dengan Pasal 404 NBW. Pesatnya perkembangan perundang-undangan
badan hukum di negeri Belanda, dipicu oleh perkembangan teknologi
dan kemajuan industri dalam berbagai kehidupan warga . Dengan adanya
badan hukum ini akan memberi kontribusi yang sangat besar dalam
meningkatkan perekonomian negara. Jadi, sangatlah wajar bila ketentuan
tentang badan hukum diatur di dalam buku tersendiri.
d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 merupakan peraturan yang khusus
mengatur tentang badan hukum Perseroan Terbatas. Undang-undang ini terdiri
atas 12 bab dan 129 pasal. Pertimbangan ditetapkannya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yaitu sebab :
1) peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
, sudah tidak sesuai
dengan perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin pesat
baik secara nasional maupun internasional;
2) adanya dua bentuk badan hukum Perseroan Terbatas, yang diatur dalam
KUH Dagang dan Staatsblad 1939 Nomor 569 jo. 717 tentang Maskapai
Andil Indonesia, sehingga memicu dualisme hukum yang berlaku.
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 meliputi:
1) pendirian, anggaran dasar, pendaftaran, dan pengumuman,
2) modal dan saham,
3) laporan tahunan dan pemakaian laba,
4) rapat umum pemegang saham,
5) direksi dan komisaris,
6) pengabungan, peleburan, dan pengambilalihan,
7) pemeriksaan terhadap perseroan, dan
8) pembubaran perseroan dan likuidasi.
Tujuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
yaitu untuk menciptakan unifikasi hukum yang berlaku bagi badan hukum
perseroan terbatas. Dengan demikian* undang-undang inilah yang akan
dipakai bagi anggota warga yang ingin mendirikan badan hukum
perseroan terbatas.
e. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian ditetapkan
pada tanggal 21 Oktober 1995. Undang-undang ini terdiri atas 16 bab dan
67 pasal. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini meliputi:
1) ketentuan umum,
2) landasan, asas, dan tujuan,
3) fungsi, peran, dan prinsip koperasi,
4) pembentukan,
5) perangkat organisasi,
6) modal,
7) lapangan usaha,
8) sisa hasil usaha,
9) pembubaran koperasi,
10) lembaga gerakan koperasi,
11) pembinaan,
12) ketentuan peralihan, dan
13) penutup.
Undang-undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Koperasi. Penggantian ini dipicu
undang-undang lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan koperasi saat
ini. Koperasi telah mengalami perkembangan yang sangat dahsyat dan
mengalami kemajuan yang sangat berarti. Pada setiap desa/kelurahan selalu
berdiri lembaga koperasi. Ini dipicu lembaga koperasi akan menguntung
kan para anggotanya. sebab prinsip dalam pelaksanaan koperasi dari anggota,
oleh anggota, dan untuk anggota. Namun dalam kenyataannya di pedesaan
banyak koperasi-koperasi yang tidak dapat membayar sisa hasil usaha (SHU)
kepada para anggotanya. Hal ini dipicu kurangnya kemampuan dari
pengurus untuk mengembangkan usahanya.
/ . Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan yaitu sebab :
1) pendirian yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasar
kebiasaan dalam warga , sebab belum ada undang-undang yang
mengatur tentang yayasan;
2) Yayasan di Indonesia telah berkembang dalam berbagai kegiatan, maksud,
dan tujuan.
Undang-undang ini diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001. Undang-
undang ini terdiri atas 16 bab dan 73 pasal. Hal-hal yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, meliputi hal-hal
berikut:
1) ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 8);
2) pendirian (Pasal 9 sampai dengan Pasal 16);
3) perubahan anggaran dasar (Pasal 16 sampai dengan Pasal 23);
4) pengumuman (Pasal 24 sampai dengan Pasal 25);
5) kekayaan (Pasal 26 sampai dengan Pasal 27);
6) organ yayasan (Pasal 28 sampai dengan Pasal 47);
7) laporan tahunan (Pasal 48 sampai dengan Pasal 52);
8) pemeriksaan terhadap yayasan (Pasal 53 sampai dengan Pasal 56);
9) pengabungan (Pasal 57 sampai dengan Pasal 61);
10) pembubaran (Pasal 62 sampai dengan Pasal 68);
11) yayasan asing (Pasal 69);
12) ketentuan pidana (Pasal 70);
13) ketentuan peralihan (Pasal 71);
14) ketentuan penutup (Pasal 72 sampai dengan Pasal 73).
Dari keenam dasar hukum badan hukum ini , tiga undang-undang terakhir
ini merupakan produk dari Pemerintah Indonesia, yang ditetapkan pada dekade
tahun 90-an dan pada masa reformasi. Sedangkan KUH Perdata dan KUH
Dagang merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. NBW sendiri me
rupakan ketentuan tentang Burgerlijk Wetboek Baru di negeri Belanda.
Ketentuan itu berlaku bagi bangsa Belanda, bukan berlaku di Indonesia.
Namun, ketentuan itu dapat dijadikan acuan dan sumber hukum dalam membuat
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan badan hukum.
3. Pembagian Badan Hukum
Badan hukum dapat dibedakan menurut bentuknya, peraturan yang mengaturnya,
dan sifatnya.
a. Badan hukum menurut bentuknya (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 NBW (BW
Baru) Negeri Belanda.
Badan hukum menurut bentuknya yaitu pembagian badan hukum berdasar
pendiriannya. Ada dua macam badan hukum berdasar bentuknya, yaitu
1) badan hukum publik, dan
2) badan hukum privat.
Yang termasuk badan hukum publik yaitu
(1) negara,
(2) provinsi,
(3) kota praja,
(4) majelis-majelis,
(5) lembaga-lembaga, dan
(6) bank-bank negara.
Sedangkan yang termasuk badan hukum privat yaitu
(1) perkumpulan-perkumpulan,
(2) perseroan terbatas (PT),
(3) perusahaan tertutup dengan pertanggungan jawab terbatas, dan
(4) Yayasan.
b. Badan hukum menurut peraturan yang mengaturnya (Masjchoen, tt: 33-34).
Pengertian badan hukum menurut peraturannya yaitu suatu pembagian badan
hukum yang didasarkan atas ketemtuan yang mengatur badan hukum ini .
Ada dua macam badan hukum berdasar aturan yang mengaturnya, yaitu
sebagai berikut.
1) Badan hukum yang terletak dalam lapangan hukum perdata BW. Ini
akan memicu badan hukum perdata Eropa. Yang termasuk dalam
badan hukum Eropa yaitu
(1) zedelijke lichaam: Perhimpunan yang diatur dalam Buku III KUH
Perdata (Pasal 1653 KUH Perdata s.d. Pasal 1665 KUH Perdata)
dan Stb. 1870 No. 64,
(2) PT, Firma, dan lain-lain yang didirikan menurut KUHD, dan
(3) CV didirikan menurut ketentuan Stb. 1933 No. 108.
2) Badan hukum yang letaknya dalam lapangan hukum perdata adat. Ini
akan memicu badan hukum Bumi Putra. Yang termasuk badan
hukum Bumi Putra:
(1) Maskapai Andil Indonesia (M.A.I) yang didirikan menurut Stb.
1939 No. 569;
(2) perkumpulan Indonesia yang didirikan menurut ketentuan Stb. 1939
No. 570;
(3) koperasi Indonesia, yang didirikan menurut ketentuan Stb. 1927
No.l.
c. Badan hukum menurut sifatnya (Utrecht dan Djindang,1983).
Badan hukum menurut sifatnya dibagi dua macam, yaitu:
(1) korporasi (corporatie), dan
(2) yayasan (stichting).
Di dalam hukum positif Indonesia, ada 2 (dua) jenis badan usaha yang telah
diberi status yuridis sebagai badan hukum, yaitu perseroan terbatas dan koperasi.
Sedangkan yayasan yang merupakan badan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan
telah mendapat status yuridis sebagai badan hukum, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. *
Perseroan terbatas diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995.
Pengertian perseroan terbatas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995.
Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan yaitu badan hukum
yang didirikan berdasar perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaan.
Ciri-ciri suatu perseroan terbatas sebagai badan hukum, yaitu
1) didirikan berdasar perjanjian,
2) melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham-saham, dan
3) memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
Perseroan terbatas yang didirikan berdasar perjanjian di depan notaris
tidak cukup untuk dapat melakukan perbuatan hukum keluar,namun perseroan itu
harus disahkan akta pendiriannya oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI. bila
telah disahkan maka perseroan terbatas baru dapat melakukan perbuatan hukum
untuk dan atas nama perseroan terbatas secara mandiri. Jadi, dapat dikatakan
bahwa momentum perseroan terbatas sebagai badan hukum yaitu pada saat
disahkannya akta pendiriannya oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI.
Koperasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Pengertian
koperasi yaitu badan usaha yang beranggotakan orang atau seseorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasar prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian).
Ciri-ciri koperasi sebagai badan hukum, disajikan yaitu sebagai berikut.
a. Anggotanya, terdiri atas orang atau seseorang atau badan hukum. Badan
hukum yang dimaksud di sini yaitu badan hukum koperasi ini , terutama
koperasi sekunder.
b. Tujuannya, yaitu memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan
warga pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian
nasional dalam rangka mewujudkan warga yang maju, adil, dan makmur
berdasar Pancasila dan UUD 1945.
c. Landasan pada prinsip koperasi, yaitu anggotanya bersifat sukarela,
pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha dilakukan
secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;
pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, kemandirian, dan kerja
sama antarkoperasi.
d. Syarat pembentukan, bagi koperasi primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya
20 (dua puluh) orang dan bagi koperasi sekunder dibentuk oleh sekurang-
kurangnya 3 (tiga) koperasi.
e. Pembentukan koperasi dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar,
f. Akta pendirian koperasi disahkan oleh pemerintah, berdasar permintaan
tertulis dari para pendiri.
Pengesahan akta pendirian koperasi oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI merupakan momentum awal dari
koperasi ini memperoleh status sebagai badan hukum. Sehingga dengan
adanya status ini maka koperasi dapat melakukan perbuatan hukum secara
mandiri.
Yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Yang diartikan
dengan yayasan yaitu badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusian, yang tidak memiliki anggota (Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2001).
Ciri yayasan sebagai badan hukum yaitu berikut ini.
a. memiliki kekayaan yang dipisahkan.
b. Mencapai tujuan tertentu.
c. Ruang lingkup kegiatannya bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
d. Yayasan tidak memiliki anggota.
e. Organ yayasan terdiri atas pembina, pengurus, dan pengawas.
f. Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan harta
kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.
g. Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan didirikan berdasar
surat wasiat.
h. Yayasan memperoleh status sebagai badan hukum sesudah akta pendirian
yayasan memperoleh pengesahan menteri.
Menteri yang berwenang untuk melakukan pengesahan akta pendirian
yayasan yaitu Menteri Kehakiman dan HAM RI. Namun, kewenangan
pengesahan akta pendirian oleh Menteri ini dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama Menteri,
yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan yayasan. Pertimbangan
pelimpahan wewenang pengesahan ini yaitu untuk mempercepat proses
pemberian status yayasan sebagai badan hukum. sebab dengan telah ditetapkan
status hukum yayasan ini maka yayasan ini sudah dapat melakukan
perbuatan secara mandiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa momentum
yayasan dikatakan sebagai badan hukum sesudah akta pendiriannya disahkan
oleh Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM atas nama menteri.
Di samping kedua badan usaha dan badan sosial ini , di Indonesia juga
dikenal badan usaha lainnya, yaitu firma, komanditer, dan lainnya. Persoalannya,
kini apakah firma dan komanditer ini dapat dikualifikasi sebagai badan
hukum. Di dalam peraturan perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas
tentang kedudukan hukum firma maupun komanditer. Namun, para ahli berbeda
pandangan antara satu dengan yang lainnya. Ada dua pandangan yang mengemuka,
yaitu
a. bahwa firma merupakan badan hukum, dan
b. bahwa firma bukan merupakan badan hukum.
Pandangan pertama berpendapat bahwa firma disamakan dengan badan
hukum. Pendapat ini diwakili oleh Prof. Subekti dan Hardijan Rush, S.H.
Prof. Subekti berpendapat bahwa firma sebagai badan hukum sebab :
’’Perseroan firma yang dianggap sebagai bentuk khusus dari maatshap/
venootshap telah mula-mula diragukan apakah ia merupakan badan hukum,
sebab meskipun ia memiliki kekayaan sendiri namun para peseronya
masih juga dapat dipertanggungjawabkan untuk utang-utang firma. Sekarang
pada umumnya firma dianggap sebagai badan hukum dan adanya para
pesero dapat dipertanggungjawabkan dianggap sebagai suatu tanggung-jawab
cadangan (subsidair).”
Rusdi Hardijan berpendapat bahwa:
’’Dalam kenyataannya firma itu secara hukum dianggap,ada dan sebab itu
dapat melakukan perbuatan hukum dan ini berarti bahwa firma yaitu badan
hukum. Persoalan modal pribadi para pemodal firma terikat atas perikatan
firma tidaklah merupakan penentu bahwa firma itu bukanlah badan hukum,
tetapi tidak dapatnya suatu badan hukum melakukan perbuatan hukumlah
yang merupakan penentu bahwa badan ini bukan badan hukum”
Pandangan kedua, yang berpendapat bahwa firma, persekutuan perdata,
persekutuan komanditer bukan merupakan badan hukum, sedangkan yang
merupakan badan hukum yaitu perseroan terbatas, koperasi, dan perkumpulan
saling menggantung. Pandangan ini diwakili oleh H.M.N. Purwosutjipto. Ia
berpendapat bahwa:
’’Perbedaan esensial antara badan hukum dan bukan badan hukum terletak
pada prosedur mendirikan badan-badan ini . Untuk mendirikan suatu
badan hukum mutlak diperlukan pengesahan dari pemerintah, misalnya
perseroan terbatas, koperasi, dan perkumpulan saling menanggung. Untuk
mendirikan perkumpulan yang bukan badan hukum maka pengesahaan akta
pendirian oleh pemerintah itu tidak diperlukan, misalnya:
a. untuk mendirikan persekutuan perdata, tidak perlu adanya formalitas
sedikit pun, cukup dengan adanya kesepakatan para pihak, tanpa
pendaftaran dan tanpa pengumuman;
b. untuk mendirikan persekutuan firma, biasanya didirikan dengan akta
notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dan
diumumkan dalam Berita Negara RI;
c. untuk mendirikan persekutuan komanditer, cukup bila dilakukan sebagai
halnya mendirikan persekutuan firma.”
Pandangan pertama berpendapat bahwa firma, persekutuan perdata, dan
komanditer merupakan badan hukum, sebab dalam kenyataan badan itu ada
dan melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian firma, persekutun perdata,
dan komanditer digolongkan sebagai badan hukum. Sedangkan pandangan kedua
melihat pembagian badan hukum dan bukan badan yaitu dari aspek prosedur
dalam pengesahan badan hukum. Firma, persekutuan perdata, dan komanditer
bukan badan hukum sebab tidak disahkan oleh pejabat yang berwenang. Pada
dasarnya, penulis sependapat dengan pandangan yang kedua ini, bahwa badan
hukum baru dapat melakukan perbuatan hukum secara mandiri bila akta
pendiriannya telah disahkan oleh pejabat yang berwenang. Di samping itu, firma,
persekutuan perdata, dan komanditer para anggotanya melakukan perbuatan
hukum secara tanggung renteng dan tanggung jawab bersifat individual. Jadi,
firma, persekutuan perdata, dan komanditer yaitu sama dengan manusia atau
orang secara individual dalam melakukan perbuatan hukum,namun sebagai subjek
hukum, yang bukan badan hukum.
4. Teori-Teori Badan Hukum
Ada lima teori yang menganalisis tentang badan hukum, sebagaimana
dikemukakan berikut ini
a. Teori Fiksi
Teori fiksi berpendapat bahwa kepribadian hukum atas kesatuan-kesatuan
lain dibandingkan manusia yaitu hasil khayalan. Kepribadian yang sebenarnya
hanya pada manusia. Negara-negara, korporasi, lembaga-lembaga, tidak
dapat menjadi subjek dari hak-hak dan kepribadian,namun diperlukan seolah-
olah badan-badan itu manusia. Tokoh teori ini yaitu von Savigny (sarjana
Jerman), daii pembelanya yaitu Salmond (sarjana Inggris). Teori fiksi ini
yaitu semata-mata produk dari konsepsi filsafat; dari sifat pembawaan
manusia, yang secara apriori memberinya kepribadian hal ini tampak dari
pernyataan Savigny: ’’Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat
pada setiap individu. Oleh sebab itu, konsepsi yang asli mengenai kepribadian
harus sesuai dengan gagasan mengenai manusia.” W. Friedmann menyebutkan
bahwa teori fiksi sama sekali bukan teori,namun hanya rumusan. Dalam
bentuk yang murni, teori fiksi secara politis yaitu netral
b. Teori Konsesi
Teori konsesi ini dikemukakan oleh Gierke. Teori ini berpendapat bahwa
badan hukum dalam negara tidak memiliki kepribadian hukum, kecuali
diperkenankan oleh hukum, dan ini berarti negara. Teori ini didukung oleh
von Savigny, Salmond, dan Dicey.
Tujuan dari teori konsesi yaitu memperkuat kekuasaan negara kalau
dikehendakinya, ikut serta dalam kelompok asosiasi-asosiasi dalam negara.
Negara sendiri, walaupun badan hukum tempatnya sejajar dengan individu.
Kelemahan teori ini yaitu dalam usahanya untuk mengombinasikan kenyataan
kelompok-kelompok badan hukum dengan supremasi negara. Ini berarti bahwa
negara sebagai badan hukum memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari
kelompok-kelompok badan hukum yang berada di bawah kekuasaannya.
c. Teori Zweckvermogen
Tokoh dari teori zweckvermogen yaitu Brinz. Teori zweckvermogen ber
pendapat bahwa hak milik badan hukum dapat diperuntukkan dan mengikat
secara sah pada tujuan-tujuan tertentu,namun tanpa pemilik (tanpa subjek).
Teori ini juga menganggap bahwa manusia saja yang dapat memiliki hak-hak.
Teori Brinz ini erat hubungannya dengan sistem-sistem hukum yang menganggap
lembaga hukum publik (anstalt) dan hukum privat (stiftung) sebagai pribadi-
pribadi hukum. Akannamun , badan hukum itu dibentuk berdasar maksud dan
tujuannya sehingga untuk mencapai maksud dan tujuan itu diperlukan pengabdian
dari orang-orang yang mengelola badan hukum ini .
d. Teori Kekayaan Bersama (Teori Jhering)
Jhering yaitu seorang sarjana Jerman. Teori kekayaan bersama ini
berpendapat bahwa yang dapat menjadi subjek hak badan hukum yaitu
(1) manusia yang secara nyata ada di belakangnya,
(2) anggota-anggota badan hukum, dan
(3) mereka yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan (siftung).
Inti kajian dari teori ini yaitu pada pemilikan bersama dari harta kekayan
dari badan hukum.
e. Teori Realis atau Organik
Teori realis atau organik dikemukakan oleh Gierke dan didukung oleh Mitland.
Teori ini berpendapat bahwa badan hukum yaitu suatu badan yang membentuk
kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan ini .
Inti dari teori ini yaitu difokuskan kepada pribadi-pribadi hukum yang nyata
sebagai sumber kepribadian hukumnya.
Dari berbagai teori yang dikemukakan di atas maka teori yang mendekati
kebenaran yaitu teori konsesi dengan sedikit koreksi dari teori fiksi. Teori
konsesi ini ingin membatasi penerapan konsepsi realis atau organik pada
negara dan membatasi subjek hukum dari semua perhimpunan.
H. HIBAH
I. Pengertian Hibah
Perjanjian hibah diatur dalam Pasal 1666 s.d. Pasal 1693 KUH Perdata.
Penghibahan yaitu suatu persetujuan, dengan mana seseorang penghibah
menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali,
untuk kepentingan seseorang menerima barang itu (Pasal 1666 ayat (1) KUH
Perdata).
Pada dasarnya perjanjian hibah merupakan perjanjian sepihak, sebab yang
paling aktif untuk melakukan perbuatan hukum ini yaitu si penghibah,
sedangkan penerima hibah yaitu pihak yang pasif. Artinya penerima hibah
tidak perlu melakukan kewajiban yang timbal balik. Penerima hibah tinggal
menerima barang yang dihibahkan. Unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian
hibah, yaitu
a. adanya pemberi dan penerima hibah,
b. pemberi hibah menyerahkan barang kepada penerima hibah,
c. pemberian dengan cuma-cuma, dan
d. pemberian itu tidak dapat ditarik kembali.
Pengertian tidak dapat ditarik kembali yaitu bahwa pemberian yang telah
diberikan oleh pemberi hibah tidak dapat ditarik atau dicabut kembali dari penerima
hibah.
2. Subjek dan Objek Hibah
Pihak yang terikat dalam perjanjian hibah yaitu penghibah (pemberi hibah)
dan yang menerima hibah (penerima hibah). Syarat adanya perjanjian hibah,
yaitu
a. perjanjian hibah hanya dapat dilakukan antara orang yang masih hidup
(Pasal 1666 ayat (2) KUH Perdata);
b. perjanjian hibah hanya dibolehkan terhadap barang-barang yang sudah ada
pada saat penghibaan terjadi (Pasal 1667 KUH Perdata);
c. perjanjian hibah harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH
Perdata).
Pada perinsipnya perjanjian hibah tidak dapat dicabut dan dibatalkan oleh
pemberi hibah, namun ada tiga pengecualiannya, yaitu
a. jika syarat-syarat penghibaan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;
b. jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan
usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah (pemberi
hibah);
c. jika pemberi hibah jatuh miskin, sedangkan penerima hibah menolak untuk
memberi nafkah kepadanya (Pasal 1688 KUH Perdata).
3. Bentuk Perjanjian Hibah
Bentuk perjanjian hibah diatur dalam Pasal 1682 sampai dengan Pasal 1687
KUH Perdata. Di dalam Pasal 1682 KUH Perdata ditentukan bahwa suatu
perjanjian hibah dikatakan sah bila dilakukan dengan akta notaris, yang asli
disimpan oleh Notaris. Ketentuan itu ada pengecualiannya. Artinya bahwa perjanjian
yang tidak perlu dibuat dengan akta Notaris yaitu seperti pemberian benda
bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang kepada si penunjuk dari
tangan satu ke tangan lainnya. Penyerahan dengan tanpa akta tetap dikatakan sah
(Pasal 1687 KUH Perdata).
I. PENITIPAN BARANG
1. Pengertian Penitipan Barang
Istilah penitipan barang merupakan terjemahan dari istilah bewargeving.
Penitipan barang diatur dalam Pasal 1694 s.d. Pasal 1739 KUH Perdata. Di
dalam Pasal 1694 KUH Perdata tidak dicantumkan pengertian penitipan barang,
namun hanya disebutkan momentum terjadinya penitipan barang. Penitipan barang
terjadi bila seseorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat
bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikan dalam wujud asalnya (Pasal
1694 KUH Perdata). Algra mengemukakan pengertian bewargeving. Bewargeving
yaitu perjanjian untuk menyimpan barang orang lain dan mengembalikannya,
baik dengan maupun tanpa pembayaran (Algra, 1983: 52). Esensi definisi ini
yaitu adanya penyimpanan barang orang lain. Penyimpan barang itu dapat
dilakukan tanpa adanya bayaran maupun dengan adanya bayaran.
2. Jenis-Jenis Penitipan Barang
Penitipan barang dibagi dua macam, yaitu
(1) penitipan mumi (sejati), dan
(2) penitipan sekestrasi (penitipan dalam perselisihan).
Penitipan murni dapat dilakukan dengan cuma-cuma dan hanya dikhususkan
kepada barang bergerak.
Ada dua cara terjadinya penitipan murni (sejati), yaitu
a. sukarela, artinya penitipan barang terjadi sebab sepakat secara timbal balik
antara yang menitipkan dan pihak yang menerima titipan. Penitipan cara ini
dilakukan oleh orang yang cakap melakukan perbuatan hukum;
b. terpaksa, yaitu penitipan yang terpaksa dilakukan oleh seseorang sebab
timbulnya malapetaka. Misalnya, kebakaran, banjir, dan lain-lain
Sekestrasi yaitu penitipan barang kepada pihak ketiga, yang dipicu
adanya perselisihan antara si penitip dengan pihak lainnya atau sebab adanya
perintah hakim (Pasal 1730 KUH Perdata). pemicu terjadinya sekestrasi yaitu
1) adanya perselisihan, dan
2) adanya perintah hakim.
Ada dua cara terjadinya sekestrasi, yaitu
a. sekestrasi sebab persetujuan. Sekestrasi ini terjadi bila barang yang
menjadi sengketa diserahkan kepada pihak ketiga oleh salah seorang atau
secara sukarela;
b. sekestrasi sebab perintah hakim. Terjadinya sekestrasi ini jika hakim
memerintahkan susaha barang sengketa dititipkan pada seseorang. Manfaat
sekestrasi ini yaitu kepentingan pengadilan diperintahkan kepada seseorang
yang disetujui oleh para pihak atau kepada seseorang yang ditetapkan oleh
hakim sebab jabatannya.
Kewenangan hakim dalam sekestrasi yaitu
a. memerintahkan sekestrasi barang bergerak yang telah disita dari tangan
orang yang berutang;
b. barang bergerak dan tidak bergerak, di mana hak miliknya atau penguasaannya
dalam sengketa;
c. barang-barang yang ditawarkan oleh seseorang yang berutang untuk melunasi
utangnya.
Sekestrasi dikhususkan terhadap barang bergerak dan tidak bergerak.
3. Subjek dan Objek dalam Perjanjian Penitipan Barang
Pada dasarnya, ada dua pihak yang terikat dalam perjanjian penitipan barang,
yaitu bewaargever dan bewciarnemer. Bewaargever yaitu orang yang me
nyerahkan barang untuk disimpan. Sedangkan bewaarnemer yaitu Orang yang
menerima barang untuk disimpan. Di samping itu, dikenal juga dengan istilah
bewaarder. Bewaarder, yaitu penyimpan yang ditentukan oleh juru sita untuk
menyimpan barang hasil sitaan dengan menerima ongkos simpan. Objek dalam
penitipan barang ini yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak.
4. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Penitipan Barang
Hubungan kontraktual antara bewaargever dan bewaarnemer akan
memicu hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban bagi yang menyimpan
barang (bewaarnemer):
a. memelihara barang dengan sebaik-baiknya,
b. mengembalikan barang ini kepada penitipnya, dan
c. pemeliharaan harus dilakukan secara hati-hati. Kewajiban ini harus dilakukan
secara lebih teliti jika:
(1) penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan
barang ini ,
(2) penyimpanan dijanjikan untuk mendapat upah,
(3) penitipan terjadi dilakukan untuk keperluan penyimpan, dan
(4) telah diperjanjikan si penerima titipan akan menanggung segala
kelalaiannya (Pasal 1707 KUH Perdata).
Hak-hak si penyimpan barang:
a. penggantian biaya untuk mempertahankan barang,
b. penggantian kerugian yang diderita dalam menyimpanan barang, dan
c . menahan barang sebelum penggantian biaya dan kerugian diterima dari penitip.
Hak penitip yaitu menerima barang yang telah dititip secara utuh. Kewajiban
nya:
a. memberi upah kepada penyimpan, dan
b. memberi penggantian biaya dan rugi kepada penyimpan.
J. PINJAM PAKAI
1. Pengertian Pinjam Pakai
Pinjam pakai diatur dalam Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1753 KUH
Perdata. Pinjam pakai yaitu suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberi suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan
cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini sesudah memakainya
atau sesudah lewatnya suatu waktu tertentu akan mengembalikan (Pasal 1740
KUH Perdata). Pihak yang meminjamkan tetap menjadi pemilik barang yang
dipinjamkan.
2. Hak dan Kewajiban
Kewajiban orang yang menerima pinjaman yaitu
a. menyimpan dan memelihara barang yang dipinjamnya sebagai seorang bapak
rumah yang baik (Pasal 1744 KUH Perdata);
b. mengembalikan barang yang dipinjamnya tepat waktu, sesuai dengan kese
pakatan.
bila barang yang dipinjam oleh yang menerima pinjaman itu musnah
atau rusak maka ia bertanggung jawab atas musnahnya barang ini .
Kewajiban dari pemberi pinjaman yaitu
a. tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamnya kecuali lewat waktu
yang ditentukan