Tampilkan postingan dengan label sengketa 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sengketa 1. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

sengketa 1






Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk 
kerjasama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis semakin meningkat dari hari kehari, maka tidak 
mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/diference) diantara para pihak yang terlibat. 
Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya, 
terutama karena adanya conflict of interest di antara para pihak. Sengketa yang timbul di antara 
pihak–pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan 
sengketa bisnis. Di Negara kita fenomena pemakaian  mekanisme Alternative Dispute 
Resolution semakin menguat. Alternative Dispute Resolution dipandang sebagai integral dari 
bisnis itu sendiri dan dianggap cocok untuk dunia bisnis karena penyelesaiannya cepat dan 
biaya murah.Penyelesaian sengketa sebagai mediasi telah dikenal sejak yang pertama di 
Indonesia karena sistem adat dalam menyelesaikan kasus selalu menjunjung tinggi 
musyawarah dan mufakat melalui forum tradisional masing-masing daerah di Indonesia. 
Seperti tumbuh oleh waktu, ini ditegakkan di pengadilan (Pengadilan Terhubung Mediasi) 
sebagai bentuk hukum keadilan. Namun, proses mediasi di pengadilan harus ditegakkan 
melalui penyelesaian sengketa perdata. Jika mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan 
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, jika mediasi tidak dilaksanakan, penghakiman akan 
dihilangkan untuk tujuan hukum. 
Cara penyelesaian sengketa pada dasarnya sudah ada sejak zaman dahulu mengikuti 
perkembangan peradaban manusia. Manusia diciptakan tuhan dengan berbagai karakter, ras 
suku yang berbeda-beda, dengan perbedaan tersebut manusia tidak terlepas dari konflik, baik 
dengan manusia lainnya, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri. 
Namun dengan akal pikiran manusia akan selalu berusaha untuk mencari bagaimana 
cara penyelesaian konflik dalam rangka mencapai posisi keseimbangan dan kerukunan hidup 
di antara sesamanya. Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua cara, 
yang biasa dipakai  adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan, kemudian dengan 
perkembangan peradaban manusia berkembang pula penyelesaian sengketa di luar pengadilan. 
Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan suatu keputusan yang 
bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, karena menghasilkan 
suatu putusan win lose solution, dengan adanya pihak yang menang dan kalah tersebut, di satu 
pihak akan merasa puas tapi di pihak lain merasa tidak puas, sehingga dapat menimbulkan 
suatu persoalan baru di antara para pihak yang bersengketa. 
Belum lagi proses penyelesaian sengketa yang lambat, waktu yang lama, dan biaya 
yang relatif lebih mahal. Sedangkan proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, 
menghasilkan kesepakatan yang “win-win solution” karena penyelesaian sengketa di luar 
pengadilan melalui kesepakatan dan musyawarah di antara para pihak sehingga dapat 
menghasilkan suatu keputusan bersama yang dapat diterima baik oleh kedua belah pihak, dan 
keputusan yang dihasilkan dapat dijamin kerahasiaan sengketa para pihak karena tidak ada 
kewajiban untuk proses persidangan yang terbuka untuk umum dan dipublikasikan. 
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan Alternative Dispute 
Resolution (ADR). 
Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan istilah yang pertama kali muncul di 
Negara Amerika Serikat. Konsep ADR merupakan jawaban atas ketidakpuasan 
(dissatisfaction) yang muncul di tengah kehidupan masyarakat di Amerika terhadap system 
pengadilannya. Ketidakpuasan tersebut muncul karena penyelesaian sengketa melalui 
pengadilan memakan waktu yang cukup lama karena adanya penumpukan perkara di 
pengadilan, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar, serta keraguan masyarakat 
terhadap kemampuan hakim dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat rumit 
yang memerlukan keahlian tertentu untuk menyelesaikannya. 
Kerumitan tersebut dapat disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan 
ilmiah (scientifically complicated) atau dapat juga karena banyaknya serta luasnya stake 
holders yang harus terlibat. Oleh sebab itulah para praktisi hokum dan para akademisi 
mengembangkan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai penyelesaian sengketa yang 
mampu menjembatani kebutuhan masyarakat yang mencari keadilan dalam menyelesaikan 
sengketa di antara mereka. 
Di Indonesia, proses penyelesaian sengketa melalui ADR bukanlah sesuatu yang baru 
dalam nilai-nilai budaya bangsa, karena jiwa dan sifat masyarakat Indonesia dikenal dengan 
sifat kekeluargaan dan kooperatif dalam menyelesaikan masalah. Di berbagai suku bangsa di 
Indonesia biasanya memakai  cara penyelesaian musyawarah dan mufakat untuk 
mengambil keputusan. Misalnya saja di batak dalam forum runggun adatnya menyelesaikan 
sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan, di minang kabau, dikenal adanya lembaga 
hakim perdamaian yang secara umum berperan sebagai mediator dan konsiliator dalam 
menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat. 3 Oleh sebab itu 
masuknya konsep ADR di Indonesia tentu saja dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat 
Indonesia. 

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi antara 
individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan 
kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara 
negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat 
publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional 
maupun internasional. 
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, 
yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika 
situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan 
sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa 
adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap 
kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. 
Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak , yang dimaksud dengan sengketa adalah 
perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang 
dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian. 
bahwa konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling 
mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihanperselisihan yang ada pada 
persepsi mereka saja Dengan demikian, yang dimaksud dengan sengketa ialah suatu 
perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling mempertahankan persepsinya 
masing-masing, di mana perselisihan tersebut dapat terjadi karena adanya suatu tindakan 
wanprestasi dari pihak-pihak atau salah satu pihak dalam perjanjian. 
Persaingan Usaha  
adalah usaha dari dua pihak/lebih perusahaan yang masing-
masing bergiat memperoleh pesanan dengan menawarkan harga/syarat yang paling 
menguntungkan. Persaingan adalah ketika organisasi atau perorangan berlomba untuk 
mencapai tujuan yang diinginkan seperti konsumen, pangsa pasar,peringkat survei, atau 
sumber daya yang dibutuhkan.Persaingan usaha dilakukan untuk merebut hati konsumen. Para 
pelaku usaha berusaha menawarkan produk dan jasa yang menarik, baik dari segi harga, 
kualitas dan pelayanan. 
Kombinasi ketiga faktor tersebut untuk memenangkan persaingan merebut hati para 
konsumen dapat diperoleh melalui inovasi, penerapan teknologi yang tepat, serta kemampuan 
manajerial untuk mengarahkan sumber daya perusahaan dalam memenangkan persaingan. 
Pelaku usaha jarang sekali hanya berdiri sendiri dalam menjual ke suatu pasar pelanggan 
tertentu. 
Perusahaan bersaing dengan sejumlah pesaing. Pesaing-pesaing ini harus diidentifikasi, 
dimonitori dan disiasati untuk memperoleh dan mempertahankan loyalitas pelanggan. Jika 
terjadi proses persaingan antara para pelaku usaha, maka mereka akan berupaya mencapai 
tujuannya dengan saling mengungguli dalam mendapatkan konsumen dan pangsa pasar. 
Pengertian kebijakan persaingan dalam kamus lengkap ekonomi, karya Christopher pass 
dan Bryan Lowes adalah kebijakan yang berkaitan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian 
sumber daya dan perlindungan kepentingan konsumen. Tujuan kebijakan persaingan adalah 
untuk menjamin terlaksananya pasar yang optimal, khususnya biaya produksi yang terendah, 
harga dan tingkat keuntungan yang wajar, kemajuan teknologi, dan pengembangan produk. 
Sedangkan menurut Hermansyah, pokok-pokok hukum persaingan usaha di Indonesia, 
menambahkan bahwa kebijakan persaingan usaha adalah kebijakan yang berkaitan dengan 
masalah masalah Di bidang persaingan usaha yang harus dipedomani oleh pelaku usaha dalam 
menjalankan usahanya dan melindungi kepentingan konsumen. 
Penyelesaian Sengketa Arbitrase 
Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya 
penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR), yang dalam 
perspektif Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 
Penyelesaian Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu pranata penyelesaian 
sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan 
penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan. 
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa semakin 
ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan 
perkara di pengadilan maupun di Mahkamah Agung (Salah satunya penyelesaian sengketa 
yaitu dengan Arbitrase.  
Arbitrase Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan 
Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah cara 
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian 
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase dipakai  
untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami 
perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak 
ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan yang selama 
ini dirasakan memerlukan waktu yang lama. 

Artikel ini menganalis dan membahas tentang Penyelesaian Sengketa yaitu: 
Persaingan Usaha dalam penyelesaian sengketa,dengan memakai  Arbitrase. Riset dan 
artikel terdahulu dan relevan dengan artikel ini di antarnya adalah: 
1. Pengertian sengketa dan pengelompokan nya 
Pertama-tama yang perlu Anda ketahui adalah bahwa dalam setiap kegiatan atau 
hubungan baik antarindividu, antara individu dan institusi (atau badan hukum), maupun 
antarinstitusi dapat saja terjadi perbedaan, misalnya perbedaan pendapat, pandangan, 
penafsiran, sikap, perilaku, dan lain-lain. 
Perbedaan-perbedaan tersebut wajar, tetapi apabila tidak terselesaikan dengan baik 
maka dapat menimbulkan perselisihan. Perselisihan yang perlu diselesaikan inilah yang 
disebut dengan sengketa. 
Selanjutnya, Anda akan menemukan berbagai macam atau bentuk sengketa 
yang sangat beraneka ragam, tergantung dengan hal-hal yang melatarbelakanginya dan 
para pihak yang terlibat di dalamnya. Untuk menentukan macam dan bentuk sengketa 
tersebut seringkali diperlukan kemampuan analisis yang mendalam dan dilakukan 
secara teliti. Mengenai siapa saja yang dapat bersengketa, hal ini pun sangat 
dipengaruhi oleh obyek yang disengketakan. 
 Oleh karena itu, berdasarkan pihak-pihak yang bersengketa maka sengketa 
dapat dikelompokan ke dalam bidang-bidang tertentu. yang batas-batasnya dapat saja 
bersifat tumpang-tindih, yaitu: 
1. Sengketa antarindividu, misalnya perselisihan dalam keluarga akibat 
perceraian  seperti masalah anak, pembagian harta benda, warisan, dan lain-
lain. 
 
2. Sengketa antara individu dan badan hukum, misalya masalah 
ketenagakerjaan di mana perselisihan timbul antara pegawai dan perusahaan 
mengenai upah, jam kerja, pemberian pesangon, dan lain-lain. 
 
3. Sengketa antarbadan hukum, misalnya perselisihan antar korporasi di mana 
perusahaan yang satu menggugat perusahaan lainnya. 
 
Perlu Anda ketahui bahwa pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya 
sengketa dengan orang lain. Tetapi dalam setiap hubungan, khususnya dalam kegiatan bisnis, 
masing-masing pihak harus selalu siap mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang 
dapat terjadi setiap saat di kemudian hari. Misalnya dalam suatu perjanjian, sengketa yang perlu 
diantisipasi dapat timbul karena perbedaan penafsiran baik mengenai bagaimana "cara" 
melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun tentang apa "isi" dari ketentuan-ketentuan di 
dalam perjanjian, ataupun disebabkan hal-hal lainnya. 
Untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa, Anda memiliki beberapa 
pilihan cara penyelesaian. Pada umumnya beberapa cara yang dapat dipilih dibedakan melalui 
pengadilan atau di luar pengadilan seperti negosiasi, konsiliasi, konsultasi, penilaian ahli, 
mediasi, arbitrase dan lainlain, yang sering disebut sebagai alternatif penyelesaian sengketa 
(APS). Untuk cara APS (kecuali arbitrase) biasanya dilakukan dengan mendiskusikan 
perbedaan-perbedaan yang timbul di antara para pihak yang bersengketa melalui “musyawarah 
untuk mufakat” dengan tujuan mencapai win-win solution. Jadi, apakah sengketa tersebut dapat 
diselesaikan atau tidak sangat tergantung pada keinginan dan itikad baik para pihak yang 
bersengketa. 
Artinya, bagaimana mereka mampu menghilangkan perbedaan pendapat di antara 
mereka. Apabila penyelesaian secara damai telah disepakati oleh para pihak, mereka terikat 
pada hasil penyelesaian tersebut. (Lihat Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan 
Alternatif Penyelesaian Sengketa, selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999) Namun 
demikian, terlepas dari perbedaan pengertian APS, pada umumnya cara-cara yang paling sering 
dipakai  oleh para pihak yang bersengketa adalah negosiasi, mediasi, arbitrase, dan 
pengadilan, yang ketiga cara pertama (kecuali pengadilan) akan menjadi topik bahasan utama 
dari buku ini. 
2.Cara alternatif penyelesaian sengketa 
Pada dasarnya adalah cara penyelesaian yang dilakukan di luar pengadilan sebagai 
alternatif dari pengadilan. Jadi, cara penyelesaian alternatif ini, atau dalam pengertian tersebut, 
di dalamnya termasuk arbitrase. Namun demikian, pengertian APS yang memasukkan arbitrase 
merupakan pengertian dalam arti luas, sedangkan dalam arti sempit arbitrase tidak masuk 
pengertian APS.Hal ini mengingat arbitrase pada dasarnya juga merupakan “pengadilan” (atau 
sering pula disebut pengadilan swasta untuk membedakannya dengan pengadilan negara) yang 
putusannya didasarkan pada menang-kalah (win-lose). 
Untuk memudahkan pembahasan, Anda harus membedakan antara APS yang 
putusannya adalah win-win dan arbitrase yang win-lose sehingga keduanya perlu dipisahkan. 
Pembedaan ini juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase 
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dari nama undang-undang tersebut, yaitu “Arbitrase dan 
Alternatif Penyelesaian Sengketa”, pembentuk undang-undang jelas menghendaki 
dipisahkannya arbitrase dan APS. Meskipun demikian, dengan pembedaan tersebut, beberapa 
cara penyelesaian sengketa berdasar APS yang diatur dalam undang-undang tersebut ternyata 
telah menimbulkan beberapa masalah. 
Dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa “Penyelesaian 
sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam 
pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan 
hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.” Tidak ada penjelasan lebih jauh tentang 
hal yang dimaksud dengan ”pertemuan langsung” itu. Jadi, secara subjektif dapat ditafsirkan 
bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dengan cara bertemu secara langsung 
tersebut disebut negosiasi. 
Demikian pula, jika ketentuan Pasal tersebut Anda perhatikan maka akan muncul 
pertanyaan-pertanyaan susulan seperti: 
1. Apakah yang dimaksud dengan pertemuan langsung adalah keharusan untuk bertemu 
(tatap) muka, atau dapat dilakukan melalui media elektronik (teleconference) atau melalui surat 
menyurat secara langsung, misalnya memakai  e-mail, atau chatting melalui internet, atau 
bagaimana jika para pihak tidak dapat bertemu langsung (bertatap muka), apakah negosiasi 
tersebut sah menurut undang-undang tersebut? 
2. Bagaimana menghitung tenggang waktu 14 hari; apakah sejak pemberitahuan setuju 
untuk melakukan negosiasi (meskipun para pihak belum bertemu tatap muka), atau sejak 
dilakukannya pertemuan pertama (yang biasanya hanya untuk berbasa-basi, tetapi belum 
membahas pokok permasalahan), atau sejak dilakukannya pertemuan yang telah masuk pada 
pembahasan mengenai sengketa? Kelemahan tersebut sebenarnya hanya sebagian kecil dari 
begitu banyak persoalan yang mungkin timbul jika sengketa diselesaikan melalui APS dengan 
mengacu pada UU No. 30 Tahun 1999. 
MACAM-MACAM ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA 
a. Negosiasi 
Negosiasi adalah cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi 
(musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya 
diterima oleh para pihak tersebut. Dari pengertian tersebut, Anda dapat merasakan 
bahwa negosiasi tampak lebih sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan daripada 
ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari. Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2 
(dua) alasan, yaitu: 
untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya 
dalam transaksi jual beli, pihak penjual, dan pembeli saling memerlukan untuk 
menentukan harga (di sini tidak terjadi sengketa),untuk memecahkan perselisihan atau 
sengketa yang timbul di antara para pihak. 
 
b. Mediasi 
Pengertian mediasi antara lain adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan 
pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang 
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima 
oleh kedua belah pihak. 
Jika kita perhatikan pengertian mediasi tersebut, sebenarnya mediasi sulit didefinisikan 
karena pengertian tersebut sering dipakai  oleh para pemakainya dengan tujuan yang 
berbeda-beda, sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Misalnya, di 
beberapa negara karena pemerintahnya menyediakan dana untuk lembaga mediasi bagi 
penyelesaian sengketa komersial, banyak lembaga lain menyebut dirinya sebagai 
lembaga mediasi. Jadi, di sini mediasi sengaja dirancukan dengan istilah lainnya, 
misalnya konsiliasi, rekonsiliasi, konsultasi, atau bahkan arbitrase. 
 
c. Konsiliasi 
Hal yang menarik mengenai konsiliasi adalah konsiliasi pada dasarnya hampir sama 
dengan mediasi, mengingat terdapat keterlibatan pihak ke-3 yang netral (yang tidak 
memihak) yang diharapkan dapat membantu para pihak dalam upaya penyelesaian 
sengketa mereka, yaitu konsiliator. 
Namun demikian, Anda perlu perhatikan bahwa konsiliator pada umumnya memiliki 
kewenangan yang lebih besar daripada mediator, mengingat ia dapat mendorong atau 
“memaksa” para pihak untuk lebih kooperatif dalam penyelesaian sengketa mereka. 
Konsiliator pada umum dapat menawarkan alternatif-alternatif penyelesaian yang 
dipakai  sebagai bahan pertimbangan oleh para pihak untuk memutuskan. Jadi, hasil 
konsiliasi, meskipun merupakan kesepakatan para pihak, adalah sering datang dari si 
konsiliator dengan cara “mengintervensi”. Dalam kaitan itu, konsiliasi dalam banyak 
hal mirip dengan mediasi otoritatif di mana mediator juga lebih banyak mengarahkan 
para pihak. 
3.Pengaturan arbitrase UU No. 30 Tahun 1999 
  Pada dasarnya, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar peradilan, 
berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter 
yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan. Arbitrase merupakan pilihan yang 
paling menarik, khususnya bagi kalangan pengusaha. Bahkan, arbitrase dinilai sebagai suatu 
"pengadilan pengusaha" yang independen guna menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan 
keinginan dan kebutuhan mereka. 
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 
Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999) disebutkan 
bahwa: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang 
perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai 
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.” Dengan demikian, sengketa seperti kasus-kasus 
keluarga atau perceraian, yang hak atas harta kekayaan tidak sepenuhnya dikuasai oleh masing-
masing pihak, tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase. 
4.Kelebihan dan kelemahan arbitrase 
Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk 
menyelesaikan sesuatu menurut "kebijaksanaan" (Subekti, 1981: 1 – 3). Jika Anda hanya 
memerhatikan secara sepintas maka dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan 
seolah-olah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam 
menyelesaikan sengketa para pihak tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. 
Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang 
dilakukan oleh hakim di pengadilan. Dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa, arbiter 
atau majelis arbitrase selalu mendasarkan diri pada hukum, yaitu hukum yang telah dipilih oleh 
para pihak yang bersengketa (choice of law). 
Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa para arbiter, apabila 
dikehendaki oleh para pihak, dapat memutus atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et 
bono). Dalam Penjelasan UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa jika arbiter diberi 
kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan 
perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa 
(dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter. 
Jika arbiter tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan putusan berdasarkan keadilan 
dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil 
sebagaimana dilakukan oleh hakim. 
Berikut adalah kelebihan dan kekukrangan arbitse 
Kelebihan arbitrase adalah sebagai berikut:  
1. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dicapai dalam waktu relative singkat 
2. Biaya lebih murah. 
3. Dapat dihindari ekspose dari keputusan di didepan umum 
4. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih kekeluargaan 
5. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase 
6. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter 
7. Dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya 
8. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi 
9. Keputusan arbitrase umumnya final binding (tanpa harus naik banding atau kasasi) 
10.  Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan 
11. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas. 
Adapun kekurangan arbitrase adalah sebagai berikut:  
1. Kemungkinan hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan 
bonafide. 
2. Kurangnya unsur finality 
3. Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi, dan lain-lain 
4. Kurangnya power untuk law enforcement dan eksekusi keputusan 
5. Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat prefentif 
6. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena 
tidak ada system “precedent” terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsure 
fleksibilitas dari arbiter. Karena itu keputusan arbitrase tidak predektif 
7. Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa 
ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase. 
5.Etika dalam berabitrase. 
Secara internasional telah dikeluarkan seperangkat petunjuk etika bagi arbiter 
internasional (Ethics for International Arbitrators) yang dikeluarkan International Bar 
Association (IBA) tahun 1987. Meskipun demikian, kode etik tersebut lebih memfokuskan 
pada kewajiban etika para arbiter daripada perilaku para advokat dalam persidangan arbitrase. 
Salah satu contoh tentang masalah etika dalam berarbitrase yang perlu diselesaikan, misalnya, 
adalah keharusan untuk menjaga kerahasiaan. Sebagaimana diketahui, salah satu alasan utama 
dipilihnya arbitrase oleh para pihak adalah sifat tertutupnya pemeriksaan sengketa dalam 
arbitrase dibandingkan jika diselesaikan melalui pengadilan. Hampir semua lembaga arbitrase 
mengharuskan proses persidangan arbitrase dan hasil-hasilnya dirahasiakan. 
Kewajiban untuk memelihara kerahasiaan dalam arbitrase dapat menjadi masalah etika, 
jika misalnya terjadi perilaku menyimpang dari pengacara yang harus dilaporkan kepada 
organisasi profesinya. Pengungkapan hal ini dapat bertentangan dengan kewajiban-kewajiban 
menjaga kerahasiaan dalam berarbitrase. 
Demikian pula, pengacara dan arbiter seharusnya tidak mengungkapkan proses 
arbitrase bagi tujuan-tujuan yang tidak relevan, misalnya mendapatkan keuntungan dari 
informasi “dalam”, atau memakai  informasi tersebut untuk keunggulan bersaing atau 
kepentingan bisnis lainnya, dan lain-lain. (Sebagai catatan: ringkasan suatu kasus arbitrase 
tanpa menyebutkannya secara mendetil untuk tujuan pendidikan atau pelatihan pada umumnya 
diizinkan). 
Selain pelanggaran kerahasiaan tersebut, masih banyak persoalan etika yang perlu 
mendapat perhatian seperti bias dalam penjatuhan putusan, terjadinya penundaan, keadilan dan 
kejujuran dalam proses persidangan, dan lain-lain. Kesemuanya itu perlu diatur secara hati-
hati, tentunya dengan mempertimbangkan “keunikan” dari penyelesaian sengketa melalui 
arbitrase. 
 
6.Penyelesaian sengketa sebelum adanya Alternative Dispute Resolution (ADR) 
Pada dasarnya tidak seorangpun menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain. 
Tetapi dalam hubungan bisnis, masing-masing pihak harus mengantisipasi kemungkinan 
timbulnya sengketa yang dapat terjadi di kemudian hari. Sengketa yang perlu diantisipasi dapat 
timbul karena penafsiran mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian 
maupun disebabkan hal-hal lainnya. Dari berbagai macam penyelesaian sengketa bisnis, ada 
tiga penyelesaian yang umum dipakai , yaitu: 
1. Adjudikatif 
Mekanisme penyelesaian secara adjudikatif ditandai dengan kewenangan pengambilan 
keputusan oleh pihak ketiga dalam sengketa yang berlangsung diantara para pihak. 
Pihak ketiga dapat bersifat voluntary (sukarela) ataupun involuntary (tidak sukarela). 
Pada umumnya penyelesaian ini menghasilkan putusan yang bersifat win-lose solution. 
 
 
2. Konsensus/Kompromi 
Mekanisme penyelesaian sengketa secara konsensual ditandai dengan cara 
penyelesaian sengketa kooperatif/kompromi untuk mencapai solusi yang win-win 
solution.Kehadiran pihak ketiga kalaupun ada tidak mewakili kewenangan mengambil 
keputusan. Termasuk dalam hal ini misalnya negosiasi (perundingan), mediasi 
(penengahan), dan konsiliasi (permufakatan). 
 
3. Quasi Adjudikatif 
Mekanisme penyelesaian sengketa yang merupakan kombinasi antara unsure 
konsekuensi dan adjudikatif. Termasuk dalam mekanisme ini antara lain Med-Arb, 
Mini Trial, Ombudsman, dan lain-lain. Model penyelesaian ini juga sering disebut 
adjudikatif semu atau penyelesaian hibrida. 
Disamping pembagian diatas, mekanisme penyelesaian sengketa bisnis dapat pula 
dibedakan menjadi dua, yaitu melalui jalur ligitasi dan jalur non ligitasi. Jalur ligitasi 
merupakan mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan 
memakai  pendekatan hukum (law approach) melalui aparat atau lembaga penegak 
hukum yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
 
Pada dasarnya jalur ligitasi merupakan the last resort atau ultimatum remedium, yaitu 
sebagai upaya terakhir manakala penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau 
perdamaian di luar pengadilan ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan keluar. 
Sedangkan jalur non ligitasi adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar 
pengadilan, tetapi memakai  mekanisme yang hidup dalam masyarakat yang bentuk 
dan macamnya sangat bervariasi, seperti musyawarah, perdamaian, kekeluargaan, 
penyelesaian adat, dan lain-lain. Salah satu cara yang sekarang sedang berkembang dan 
diminati oleh para pelaku bisnis adalah melalui lembaga ADR (Alternative Dispute ) 
 sengketa bisnis adalah sengketa yang timbul diantara para 
pihak–pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan, termasuk 
didalamnya unsur–unsur yang lebih luas, seperti pekerjaan, profesi, penghasilan, mata 
pencaharian, dan keuntungan. 
ADR (Alternative Dispute Resolution) merupakan suatu mekanisme penyelesaian 
sengketa di luar pengadilan yang dianggap lebih efektif, efisien, cepat dan biaya murah serta 
menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution) yang berperkara Urgensi penyelesaian 
sengketa bisnis di luar pengadilan ditandai oleh kecenderungan masyarakat kalangan bisnis 
mendayagunakan penyelesaian sengketa tersebut, yang dilandasi oleh beberapa factor yang 
menempatkannya dengan berbagai keunggulan, antara lain factor ekonomis, factor budaya 
hukum, factor luasnya ruang lingkup permasalahan yang dapat di bahas, factor pembinaan 
hubungan baik para pihak dan factor proses. 
Mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para 
pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan–perbedaan mereka secara “pribadi” dengan 
bantuan pihak ketiga yang netral.Seorang mediator dalam suatu mediasi seharusnya tetap 
bersikap netral, selalu membina hubungan baik, berbicara dengan bahasa para pihak, 
mendengarkan secara aktif, menekankan pada keuntungan potensial, meminimalkan 
perbedaan–perbedaan, dan menitik beratkan persamaan.Tujuannya adalah untuk membantu 
para pihak bernegosiasi secara lebih baik atas suatu penyelesaian. 
Lembaga mediasi berfungsi untuk menyediakan sarana bagi pihak–pihak yang bersengketa 
untuk mencari penyeklesaian secara win–win solution berdasarkan kesepakatan. Oleh karena 
itu kiranya perlu diatur adanya sanksi sebagai penekan pendayagunaan mediasi. Barangkali 
perlu di contoh sistem peradilan atau praktek mediasi pengadilan dari Negara lain yang sudah 
mapan kelembagaannya, yang memberikan sanksi berupa putusan “batal” jika hakim tidak 
member kesempatan para pihak untuk menempuh mekanisme mediasi. 
Melakukan koreksi secara terus menerus atas Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang 
mengatur tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa karena dalam Undang– 
Undang tersebut tidak memberikan pengertian yang jelas tentang berbagai bentuk penyelesaian 
sengketa termasuk tentang mediasi, kecuali Arbitrase. Bahkan proses atau mekanisme masing-
masing bentuk lembaganya juga tidak diatur.   
Adapun beberapa saran untuk meningkatkan kualitas arbitrase online :  
a. Kepada DPR, perlu adanya penambahan peraturan yang mengatur tentang arbitrase 
online sehingga para pelaku usaha tidak ragu untuk melakukan aktifitas jual-beli 
elektronik demi kepastian hukum. 
b. Badan Arbitrase Nasional Indonesia tidak ragu-ragu untuk menyelenggarakan 
penyelesaian sengketa secara online. 
c. Pemerintah haruslah menyediakan infrastruktur telekomunikasi dan membentuk 
lembaga baru untuk menangani perkara arbitrase online karena semakin majunya 
teknologi tidak menutup kemungkinan banyaknya sengketa online yang timbul. 
 
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive