Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk
kerjasama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis semakin meningkat dari hari kehari, maka tidak
mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/diference) diantara para pihak yang terlibat.
Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya,
terutama karena adanya conflict of interest di antara para pihak. Sengketa yang timbul di antara
pihak–pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan
sengketa bisnis. Di Negara kita fenomena pemakaian mekanisme Alternative Dispute
Resolution semakin menguat. Alternative Dispute Resolution dipandang sebagai integral dari
bisnis itu sendiri dan dianggap cocok untuk dunia bisnis karena penyelesaiannya cepat dan
biaya murah.Penyelesaian sengketa sebagai mediasi telah dikenal sejak yang pertama di
Indonesia karena sistem adat dalam menyelesaikan kasus selalu menjunjung tinggi
musyawarah dan mufakat melalui forum tradisional masing-masing daerah di Indonesia.
Seperti tumbuh oleh waktu, ini ditegakkan di pengadilan (Pengadilan Terhubung Mediasi)
sebagai bentuk hukum keadilan. Namun, proses mediasi di pengadilan harus ditegakkan
melalui penyelesaian sengketa perdata. Jika mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, jika mediasi tidak dilaksanakan, penghakiman akan
dihilangkan untuk tujuan hukum.
Cara penyelesaian sengketa pada dasarnya sudah ada sejak zaman dahulu mengikuti
perkembangan peradaban manusia. Manusia diciptakan tuhan dengan berbagai karakter, ras
suku yang berbeda-beda, dengan perbedaan tersebut manusia tidak terlepas dari konflik, baik
dengan manusia lainnya, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri.
Namun dengan akal pikiran manusia akan selalu berusaha untuk mencari bagaimana
cara penyelesaian konflik dalam rangka mencapai posisi keseimbangan dan kerukunan hidup
di antara sesamanya. Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua cara,
yang biasa dipakai adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan, kemudian dengan
perkembangan peradaban manusia berkembang pula penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan suatu keputusan yang
bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, karena menghasilkan
suatu putusan win lose solution, dengan adanya pihak yang menang dan kalah tersebut, di satu
pihak akan merasa puas tapi di pihak lain merasa tidak puas, sehingga dapat menimbulkan
suatu persoalan baru di antara para pihak yang bersengketa.
Belum lagi proses penyelesaian sengketa yang lambat, waktu yang lama, dan biaya
yang relatif lebih mahal. Sedangkan proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
menghasilkan kesepakatan yang “win-win solution” karena penyelesaian sengketa di luar
pengadilan melalui kesepakatan dan musyawarah di antara para pihak sehingga dapat
menghasilkan suatu keputusan bersama yang dapat diterima baik oleh kedua belah pihak, dan
keputusan yang dihasilkan dapat dijamin kerahasiaan sengketa para pihak karena tidak ada
kewajiban untuk proses persidangan yang terbuka untuk umum dan dipublikasikan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan Alternative Dispute
Resolution (ADR).
Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan istilah yang pertama kali muncul di
Negara Amerika Serikat. Konsep ADR merupakan jawaban atas ketidakpuasan
(dissatisfaction) yang muncul di tengah kehidupan masyarakat di Amerika terhadap system
pengadilannya. Ketidakpuasan tersebut muncul karena penyelesaian sengketa melalui
pengadilan memakan waktu yang cukup lama karena adanya penumpukan perkara di
pengadilan, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar, serta keraguan masyarakat
terhadap kemampuan hakim dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat rumit
yang memerlukan keahlian tertentu untuk menyelesaikannya.
Kerumitan tersebut dapat disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan
ilmiah (scientifically complicated) atau dapat juga karena banyaknya serta luasnya stake
holders yang harus terlibat. Oleh sebab itulah para praktisi hokum dan para akademisi
mengembangkan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai penyelesaian sengketa yang
mampu menjembatani kebutuhan masyarakat yang mencari keadilan dalam menyelesaikan
sengketa di antara mereka.
Di Indonesia, proses penyelesaian sengketa melalui ADR bukanlah sesuatu yang baru
dalam nilai-nilai budaya bangsa, karena jiwa dan sifat masyarakat Indonesia dikenal dengan
sifat kekeluargaan dan kooperatif dalam menyelesaikan masalah. Di berbagai suku bangsa di
Indonesia biasanya memakai cara penyelesaian musyawarah dan mufakat untuk
mengambil keputusan. Misalnya saja di batak dalam forum runggun adatnya menyelesaikan
sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan, di minang kabau, dikenal adanya lembaga
hakim perdamaian yang secara umum berperan sebagai mediator dan konsiliator dalam
menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat. 3 Oleh sebab itu
masuknya konsep ADR di Indonesia tentu saja dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat
Indonesia.
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi antara
individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan
kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara
negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat
publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional
maupun internasional.
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain,
yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika
situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan
sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa
adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap
kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan.
Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak , yang dimaksud dengan sengketa adalah
perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian.
bahwa konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling
mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihanperselisihan yang ada pada
persepsi mereka saja Dengan demikian, yang dimaksud dengan sengketa ialah suatu
perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling mempertahankan persepsinya
masing-masing, di mana perselisihan tersebut dapat terjadi karena adanya suatu tindakan
wanprestasi dari pihak-pihak atau salah satu pihak dalam perjanjian.
Persaingan Usaha
adalah usaha dari dua pihak/lebih perusahaan yang masing-
masing bergiat memperoleh pesanan dengan menawarkan harga/syarat yang paling
menguntungkan. Persaingan adalah ketika organisasi atau perorangan berlomba untuk
mencapai tujuan yang diinginkan seperti konsumen, pangsa pasar,peringkat survei, atau
sumber daya yang dibutuhkan.Persaingan usaha dilakukan untuk merebut hati konsumen. Para
pelaku usaha berusaha menawarkan produk dan jasa yang menarik, baik dari segi harga,
kualitas dan pelayanan.
Kombinasi ketiga faktor tersebut untuk memenangkan persaingan merebut hati para
konsumen dapat diperoleh melalui inovasi, penerapan teknologi yang tepat, serta kemampuan
manajerial untuk mengarahkan sumber daya perusahaan dalam memenangkan persaingan.
Pelaku usaha jarang sekali hanya berdiri sendiri dalam menjual ke suatu pasar pelanggan
tertentu.
Perusahaan bersaing dengan sejumlah pesaing. Pesaing-pesaing ini harus diidentifikasi,
dimonitori dan disiasati untuk memperoleh dan mempertahankan loyalitas pelanggan. Jika
terjadi proses persaingan antara para pelaku usaha, maka mereka akan berupaya mencapai
tujuannya dengan saling mengungguli dalam mendapatkan konsumen dan pangsa pasar.
Pengertian kebijakan persaingan dalam kamus lengkap ekonomi, karya Christopher pass
dan Bryan Lowes adalah kebijakan yang berkaitan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian
sumber daya dan perlindungan kepentingan konsumen. Tujuan kebijakan persaingan adalah
untuk menjamin terlaksananya pasar yang optimal, khususnya biaya produksi yang terendah,
harga dan tingkat keuntungan yang wajar, kemajuan teknologi, dan pengembangan produk.
Sedangkan menurut Hermansyah, pokok-pokok hukum persaingan usaha di Indonesia,
menambahkan bahwa kebijakan persaingan usaha adalah kebijakan yang berkaitan dengan
masalah masalah Di bidang persaingan usaha yang harus dipedomani oleh pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya dan melindungi kepentingan konsumen.
Penyelesaian Sengketa Arbitrase
Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya
penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR), yang dalam
perspektif Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu pranata penyelesaian
sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan
penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa semakin
ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan
perkara di pengadilan maupun di Mahkamah Agung (Salah satunya penyelesaian sengketa
yaitu dengan Arbitrase.
Arbitrase Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase dipakai
untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami
perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak
ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan yang selama
ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.
Artikel ini menganalis dan membahas tentang Penyelesaian Sengketa yaitu:
Persaingan Usaha dalam penyelesaian sengketa,dengan memakai Arbitrase. Riset dan
artikel terdahulu dan relevan dengan artikel ini di antarnya adalah:
1. Pengertian sengketa dan pengelompokan nya
Pertama-tama yang perlu Anda ketahui adalah bahwa dalam setiap kegiatan atau
hubungan baik antarindividu, antara individu dan institusi (atau badan hukum), maupun
antarinstitusi dapat saja terjadi perbedaan, misalnya perbedaan pendapat, pandangan,
penafsiran, sikap, perilaku, dan lain-lain.
Perbedaan-perbedaan tersebut wajar, tetapi apabila tidak terselesaikan dengan baik
maka dapat menimbulkan perselisihan. Perselisihan yang perlu diselesaikan inilah yang
disebut dengan sengketa.
Selanjutnya, Anda akan menemukan berbagai macam atau bentuk sengketa
yang sangat beraneka ragam, tergantung dengan hal-hal yang melatarbelakanginya dan
para pihak yang terlibat di dalamnya. Untuk menentukan macam dan bentuk sengketa
tersebut seringkali diperlukan kemampuan analisis yang mendalam dan dilakukan
secara teliti. Mengenai siapa saja yang dapat bersengketa, hal ini pun sangat
dipengaruhi oleh obyek yang disengketakan.
Oleh karena itu, berdasarkan pihak-pihak yang bersengketa maka sengketa
dapat dikelompokan ke dalam bidang-bidang tertentu. yang batas-batasnya dapat saja
bersifat tumpang-tindih, yaitu:
1. Sengketa antarindividu, misalnya perselisihan dalam keluarga akibat
perceraian seperti masalah anak, pembagian harta benda, warisan, dan lain-
lain.
2. Sengketa antara individu dan badan hukum, misalya masalah
ketenagakerjaan di mana perselisihan timbul antara pegawai dan perusahaan
mengenai upah, jam kerja, pemberian pesangon, dan lain-lain.
3. Sengketa antarbadan hukum, misalnya perselisihan antar korporasi di mana
perusahaan yang satu menggugat perusahaan lainnya.
Perlu Anda ketahui bahwa pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya
sengketa dengan orang lain. Tetapi dalam setiap hubungan, khususnya dalam kegiatan bisnis,
masing-masing pihak harus selalu siap mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang
dapat terjadi setiap saat di kemudian hari. Misalnya dalam suatu perjanjian, sengketa yang perlu
diantisipasi dapat timbul karena perbedaan penafsiran baik mengenai bagaimana "cara"
melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun tentang apa "isi" dari ketentuan-ketentuan di
dalam perjanjian, ataupun disebabkan hal-hal lainnya.
Untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa, Anda memiliki beberapa
pilihan cara penyelesaian. Pada umumnya beberapa cara yang dapat dipilih dibedakan melalui
pengadilan atau di luar pengadilan seperti negosiasi, konsiliasi, konsultasi, penilaian ahli,
mediasi, arbitrase dan lainlain, yang sering disebut sebagai alternatif penyelesaian sengketa
(APS). Untuk cara APS (kecuali arbitrase) biasanya dilakukan dengan mendiskusikan
perbedaan-perbedaan yang timbul di antara para pihak yang bersengketa melalui “musyawarah
untuk mufakat” dengan tujuan mencapai win-win solution. Jadi, apakah sengketa tersebut dapat
diselesaikan atau tidak sangat tergantung pada keinginan dan itikad baik para pihak yang
bersengketa.
Artinya, bagaimana mereka mampu menghilangkan perbedaan pendapat di antara
mereka. Apabila penyelesaian secara damai telah disepakati oleh para pihak, mereka terikat
pada hasil penyelesaian tersebut. (Lihat Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999) Namun
demikian, terlepas dari perbedaan pengertian APS, pada umumnya cara-cara yang paling sering
dipakai oleh para pihak yang bersengketa adalah negosiasi, mediasi, arbitrase, dan
pengadilan, yang ketiga cara pertama (kecuali pengadilan) akan menjadi topik bahasan utama
dari buku ini.
2.Cara alternatif penyelesaian sengketa
Pada dasarnya adalah cara penyelesaian yang dilakukan di luar pengadilan sebagai
alternatif dari pengadilan. Jadi, cara penyelesaian alternatif ini, atau dalam pengertian tersebut,
di dalamnya termasuk arbitrase. Namun demikian, pengertian APS yang memasukkan arbitrase
merupakan pengertian dalam arti luas, sedangkan dalam arti sempit arbitrase tidak masuk
pengertian APS.Hal ini mengingat arbitrase pada dasarnya juga merupakan “pengadilan” (atau
sering pula disebut pengadilan swasta untuk membedakannya dengan pengadilan negara) yang
putusannya didasarkan pada menang-kalah (win-lose).
Untuk memudahkan pembahasan, Anda harus membedakan antara APS yang
putusannya adalah win-win dan arbitrase yang win-lose sehingga keduanya perlu dipisahkan.
Pembedaan ini juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dari nama undang-undang tersebut, yaitu “Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa”, pembentuk undang-undang jelas menghendaki
dipisahkannya arbitrase dan APS. Meskipun demikian, dengan pembedaan tersebut, beberapa
cara penyelesaian sengketa berdasar APS yang diatur dalam undang-undang tersebut ternyata
telah menimbulkan beberapa masalah.
Dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa “Penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam
pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan
hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.” Tidak ada penjelasan lebih jauh tentang
hal yang dimaksud dengan ”pertemuan langsung” itu. Jadi, secara subjektif dapat ditafsirkan
bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dengan cara bertemu secara langsung
tersebut disebut negosiasi.
Demikian pula, jika ketentuan Pasal tersebut Anda perhatikan maka akan muncul
pertanyaan-pertanyaan susulan seperti:
1. Apakah yang dimaksud dengan pertemuan langsung adalah keharusan untuk bertemu
(tatap) muka, atau dapat dilakukan melalui media elektronik (teleconference) atau melalui surat
menyurat secara langsung, misalnya memakai e-mail, atau chatting melalui internet, atau
bagaimana jika para pihak tidak dapat bertemu langsung (bertatap muka), apakah negosiasi
tersebut sah menurut undang-undang tersebut?
2. Bagaimana menghitung tenggang waktu 14 hari; apakah sejak pemberitahuan setuju
untuk melakukan negosiasi (meskipun para pihak belum bertemu tatap muka), atau sejak
dilakukannya pertemuan pertama (yang biasanya hanya untuk berbasa-basi, tetapi belum
membahas pokok permasalahan), atau sejak dilakukannya pertemuan yang telah masuk pada
pembahasan mengenai sengketa? Kelemahan tersebut sebenarnya hanya sebagian kecil dari
begitu banyak persoalan yang mungkin timbul jika sengketa diselesaikan melalui APS dengan
mengacu pada UU No. 30 Tahun 1999.
MACAM-MACAM ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
a. Negosiasi
Negosiasi adalah cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi
(musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya
diterima oleh para pihak tersebut. Dari pengertian tersebut, Anda dapat merasakan
bahwa negosiasi tampak lebih sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan daripada
ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari. Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2
(dua) alasan, yaitu:
untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya
dalam transaksi jual beli, pihak penjual, dan pembeli saling memerlukan untuk
menentukan harga (di sini tidak terjadi sengketa),untuk memecahkan perselisihan atau
sengketa yang timbul di antara para pihak.
b. Mediasi
Pengertian mediasi antara lain adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan
pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima
oleh kedua belah pihak.
Jika kita perhatikan pengertian mediasi tersebut, sebenarnya mediasi sulit didefinisikan
karena pengertian tersebut sering dipakai oleh para pemakainya dengan tujuan yang
berbeda-beda, sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Misalnya, di
beberapa negara karena pemerintahnya menyediakan dana untuk lembaga mediasi bagi
penyelesaian sengketa komersial, banyak lembaga lain menyebut dirinya sebagai
lembaga mediasi. Jadi, di sini mediasi sengaja dirancukan dengan istilah lainnya,
misalnya konsiliasi, rekonsiliasi, konsultasi, atau bahkan arbitrase.
c. Konsiliasi
Hal yang menarik mengenai konsiliasi adalah konsiliasi pada dasarnya hampir sama
dengan mediasi, mengingat terdapat keterlibatan pihak ke-3 yang netral (yang tidak
memihak) yang diharapkan dapat membantu para pihak dalam upaya penyelesaian
sengketa mereka, yaitu konsiliator.
Namun demikian, Anda perlu perhatikan bahwa konsiliator pada umumnya memiliki
kewenangan yang lebih besar daripada mediator, mengingat ia dapat mendorong atau
“memaksa” para pihak untuk lebih kooperatif dalam penyelesaian sengketa mereka.
Konsiliator pada umum dapat menawarkan alternatif-alternatif penyelesaian yang
dipakai sebagai bahan pertimbangan oleh para pihak untuk memutuskan. Jadi, hasil
konsiliasi, meskipun merupakan kesepakatan para pihak, adalah sering datang dari si
konsiliator dengan cara “mengintervensi”. Dalam kaitan itu, konsiliasi dalam banyak
hal mirip dengan mediasi otoritatif di mana mediator juga lebih banyak mengarahkan
para pihak.
3.Pengaturan arbitrase UU No. 30 Tahun 1999
Pada dasarnya, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar peradilan,
berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter
yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan. Arbitrase merupakan pilihan yang
paling menarik, khususnya bagi kalangan pengusaha. Bahkan, arbitrase dinilai sebagai suatu
"pengadilan pengusaha" yang independen guna menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999) disebutkan
bahwa: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.” Dengan demikian, sengketa seperti kasus-kasus
keluarga atau perceraian, yang hak atas harta kekayaan tidak sepenuhnya dikuasai oleh masing-
masing pihak, tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase.
4.Kelebihan dan kelemahan arbitrase
Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut "kebijaksanaan" (Subekti, 1981: 1 – 3). Jika Anda hanya
memerhatikan secara sepintas maka dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan
seolah-olah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam
menyelesaikan sengketa para pihak tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan.
Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang
dilakukan oleh hakim di pengadilan. Dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa, arbiter
atau majelis arbitrase selalu mendasarkan diri pada hukum, yaitu hukum yang telah dipilih oleh
para pihak yang bersengketa (choice of law).
Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa para arbiter, apabila
dikehendaki oleh para pihak, dapat memutus atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et
bono). Dalam Penjelasan UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa jika arbiter diberi
kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan
perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa
(dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter.
Jika arbiter tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan putusan berdasarkan keadilan
dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil
sebagaimana dilakukan oleh hakim.
Berikut adalah kelebihan dan kekukrangan arbitse
Kelebihan arbitrase adalah sebagai berikut:
1. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dicapai dalam waktu relative singkat
2. Biaya lebih murah.
3. Dapat dihindari ekspose dari keputusan di didepan umum
4. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih kekeluargaan
5. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase
6. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter
7. Dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya
8. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi
9. Keputusan arbitrase umumnya final binding (tanpa harus naik banding atau kasasi)
10. Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan
11. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
Adapun kekurangan arbitrase adalah sebagai berikut:
1. Kemungkinan hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan
bonafide.
2. Kurangnya unsur finality
3. Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi, dan lain-lain
4. Kurangnya power untuk law enforcement dan eksekusi keputusan
5. Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat prefentif
6. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena
tidak ada system “precedent” terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsure
fleksibilitas dari arbiter. Karena itu keputusan arbitrase tidak predektif
7. Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa
ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase.
5.Etika dalam berabitrase.
Secara internasional telah dikeluarkan seperangkat petunjuk etika bagi arbiter
internasional (Ethics for International Arbitrators) yang dikeluarkan International Bar
Association (IBA) tahun 1987. Meskipun demikian, kode etik tersebut lebih memfokuskan
pada kewajiban etika para arbiter daripada perilaku para advokat dalam persidangan arbitrase.
Salah satu contoh tentang masalah etika dalam berarbitrase yang perlu diselesaikan, misalnya,
adalah keharusan untuk menjaga kerahasiaan. Sebagaimana diketahui, salah satu alasan utama
dipilihnya arbitrase oleh para pihak adalah sifat tertutupnya pemeriksaan sengketa dalam
arbitrase dibandingkan jika diselesaikan melalui pengadilan. Hampir semua lembaga arbitrase
mengharuskan proses persidangan arbitrase dan hasil-hasilnya dirahasiakan.
Kewajiban untuk memelihara kerahasiaan dalam arbitrase dapat menjadi masalah etika,
jika misalnya terjadi perilaku menyimpang dari pengacara yang harus dilaporkan kepada
organisasi profesinya. Pengungkapan hal ini dapat bertentangan dengan kewajiban-kewajiban
menjaga kerahasiaan dalam berarbitrase.
Demikian pula, pengacara dan arbiter seharusnya tidak mengungkapkan proses
arbitrase bagi tujuan-tujuan yang tidak relevan, misalnya mendapatkan keuntungan dari
informasi “dalam”, atau memakai informasi tersebut untuk keunggulan bersaing atau
kepentingan bisnis lainnya, dan lain-lain. (Sebagai catatan: ringkasan suatu kasus arbitrase
tanpa menyebutkannya secara mendetil untuk tujuan pendidikan atau pelatihan pada umumnya
diizinkan).
Selain pelanggaran kerahasiaan tersebut, masih banyak persoalan etika yang perlu
mendapat perhatian seperti bias dalam penjatuhan putusan, terjadinya penundaan, keadilan dan
kejujuran dalam proses persidangan, dan lain-lain. Kesemuanya itu perlu diatur secara hati-
hati, tentunya dengan mempertimbangkan “keunikan” dari penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.
6.Penyelesaian sengketa sebelum adanya Alternative Dispute Resolution (ADR)
Pada dasarnya tidak seorangpun menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain.
Tetapi dalam hubungan bisnis, masing-masing pihak harus mengantisipasi kemungkinan
timbulnya sengketa yang dapat terjadi di kemudian hari. Sengketa yang perlu diantisipasi dapat
timbul karena penafsiran mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian
maupun disebabkan hal-hal lainnya. Dari berbagai macam penyelesaian sengketa bisnis, ada
tiga penyelesaian yang umum dipakai , yaitu:
1. Adjudikatif
Mekanisme penyelesaian secara adjudikatif ditandai dengan kewenangan pengambilan
keputusan oleh pihak ketiga dalam sengketa yang berlangsung diantara para pihak.
Pihak ketiga dapat bersifat voluntary (sukarela) ataupun involuntary (tidak sukarela).
Pada umumnya penyelesaian ini menghasilkan putusan yang bersifat win-lose solution.
2. Konsensus/Kompromi
Mekanisme penyelesaian sengketa secara konsensual ditandai dengan cara
penyelesaian sengketa kooperatif/kompromi untuk mencapai solusi yang win-win
solution.Kehadiran pihak ketiga kalaupun ada tidak mewakili kewenangan mengambil
keputusan. Termasuk dalam hal ini misalnya negosiasi (perundingan), mediasi
(penengahan), dan konsiliasi (permufakatan).
3. Quasi Adjudikatif
Mekanisme penyelesaian sengketa yang merupakan kombinasi antara unsure
konsekuensi dan adjudikatif. Termasuk dalam mekanisme ini antara lain Med-Arb,
Mini Trial, Ombudsman, dan lain-lain. Model penyelesaian ini juga sering disebut
adjudikatif semu atau penyelesaian hibrida.
Disamping pembagian diatas, mekanisme penyelesaian sengketa bisnis dapat pula
dibedakan menjadi dua, yaitu melalui jalur ligitasi dan jalur non ligitasi. Jalur ligitasi
merupakan mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan
memakai pendekatan hukum (law approach) melalui aparat atau lembaga penegak
hukum yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya jalur ligitasi merupakan the last resort atau ultimatum remedium, yaitu
sebagai upaya terakhir manakala penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau
perdamaian di luar pengadilan ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan keluar.
Sedangkan jalur non ligitasi adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, tetapi memakai mekanisme yang hidup dalam masyarakat yang bentuk
dan macamnya sangat bervariasi, seperti musyawarah, perdamaian, kekeluargaan,
penyelesaian adat, dan lain-lain. Salah satu cara yang sekarang sedang berkembang dan
diminati oleh para pelaku bisnis adalah melalui lembaga ADR (Alternative Dispute )
sengketa bisnis adalah sengketa yang timbul diantara para
pihak–pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan, termasuk
didalamnya unsur–unsur yang lebih luas, seperti pekerjaan, profesi, penghasilan, mata
pencaharian, dan keuntungan.
ADR (Alternative Dispute Resolution) merupakan suatu mekanisme penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang dianggap lebih efektif, efisien, cepat dan biaya murah serta
menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution) yang berperkara Urgensi penyelesaian
sengketa bisnis di luar pengadilan ditandai oleh kecenderungan masyarakat kalangan bisnis
mendayagunakan penyelesaian sengketa tersebut, yang dilandasi oleh beberapa factor yang
menempatkannya dengan berbagai keunggulan, antara lain factor ekonomis, factor budaya
hukum, factor luasnya ruang lingkup permasalahan yang dapat di bahas, factor pembinaan
hubungan baik para pihak dan factor proses.
Mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para
pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan–perbedaan mereka secara “pribadi” dengan
bantuan pihak ketiga yang netral.Seorang mediator dalam suatu mediasi seharusnya tetap
bersikap netral, selalu membina hubungan baik, berbicara dengan bahasa para pihak,
mendengarkan secara aktif, menekankan pada keuntungan potensial, meminimalkan
perbedaan–perbedaan, dan menitik beratkan persamaan.Tujuannya adalah untuk membantu
para pihak bernegosiasi secara lebih baik atas suatu penyelesaian.
Lembaga mediasi berfungsi untuk menyediakan sarana bagi pihak–pihak yang bersengketa
untuk mencari penyeklesaian secara win–win solution berdasarkan kesepakatan. Oleh karena
itu kiranya perlu diatur adanya sanksi sebagai penekan pendayagunaan mediasi. Barangkali
perlu di contoh sistem peradilan atau praktek mediasi pengadilan dari Negara lain yang sudah
mapan kelembagaannya, yang memberikan sanksi berupa putusan “batal” jika hakim tidak
member kesempatan para pihak untuk menempuh mekanisme mediasi.
Melakukan koreksi secara terus menerus atas Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang
mengatur tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa karena dalam Undang–
Undang tersebut tidak memberikan pengertian yang jelas tentang berbagai bentuk penyelesaian
sengketa termasuk tentang mediasi, kecuali Arbitrase. Bahkan proses atau mekanisme masing-
masing bentuk lembaganya juga tidak diatur.
Adapun beberapa saran untuk meningkatkan kualitas arbitrase online :
a. Kepada DPR, perlu adanya penambahan peraturan yang mengatur tentang arbitrase
online sehingga para pelaku usaha tidak ragu untuk melakukan aktifitas jual-beli
elektronik demi kepastian hukum.
b. Badan Arbitrase Nasional Indonesia tidak ragu-ragu untuk menyelenggarakan
penyelesaian sengketa secara online.
c. Pemerintah haruslah menyediakan infrastruktur telekomunikasi dan membentuk
lembaga baru untuk menangani perkara arbitrase online karena semakin majunya
teknologi tidak menutup kemungkinan banyaknya sengketa online yang timbul.