Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
Paradigma pengelolaan sumber daya alam di sektor pertambangan yang
dilakukan pemerintah selama ini menimbulkan berbagai permasalahan, antara
lain: semakin meningkatnya konflik, kerusakan lingkungan dan tingkat kemiskinan
warga yang belum berubah serta mengabaikan sistem nilai, sosial, ekonomi,
dan budaya warga lokal. Sebagaimana yang terjadi di Lumajang, Konflik
pertambangan di Lumajang berkaitan dengan isu sengketa kepemilikan lahan
antara warga dengan penambang maupun perusahaan tambang, interaksi
pelaku tambang dengan warga sekitar lokasi tambang, legalitas aktivitas
pertambangan, degradasi lingkungan akibat adanya aktivitas lingkungan, dan
regulasi pertambangan. Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian
sengketa alternatif atau alternative dispute resolution yang tidak membuat
warga tergantung pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun
tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme
ini sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden
serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme ini
juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia.
warga Indonesia adalah warga yang majemuk, dalam kemajemukan
timbul berbagai hal, maka fenomena konflik atau sengketa merupakan suatu
keniscayaan. Konflik-konflik atau sengketa dalam perebutan sumber daya alam,
ekonomi, sosial maupun politik dapat selalu terjadi setiap saat, dan bisa berujung
menjadi suatu sengketa.
Sebagaimana dalam paradigma pengelolaan sumber daya alam di sektor
pertambangan yang dilakukan pemerintah selama ini menimbulkan berbagai
permasalahan, antara lain: semakin meningkatnya konflik, kerusakan lingkungan
dan tingkat kemiskinan warga yang belum berubah serta mengabaikan sistem
nilai, sosial, ekonomi, dan budaya warga lokal.2 Kegiatan pertambangan juga
mengakibatkan berbagai perubahan lingkungan, antara lain perubahan bentang
alam, perubahan habitat flora dan fauna, perubahan struktur tanah, perubahan
pola aliran air permukaan dan air tanah dan sebagainya. Perubahan-perubahan
ini menimbulkan dampak dengan intensitas dan sifat yang bervariasi.
1 Menurut warga majemuk terbentuk dari dipersatukannya warga -warga suku bangsa oleh sistem nasional, yang
biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua, warga -warga
negara jajahan adalah contoh dari warga majemuk. Sedangkan setelah Perang Dunia kedua contoh-contoh dari warga majemuk antara
lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang menyolok dan kritikal dari warga majemuk adalah hubungan antara
sistem nasional atau pemerintah nasional dengan warga suku bangsa, dan hubungan di antara warga suku bangsa yang dipersatukan
oleh sistem nasional...” dalam makalah yang ditulis oleh , 2004, warga Majemuk, warga Multikultural, dan Minoritas:
Memperjuangkan Hak-hak Minoritas, yang dipresentasikan dalam workshop Yayasan Interseksi, hak-hak minoritas dalam Landscape Multikultural,
mungkinkah di Indonesia? Wisma PKBI, 10 Agustus 2004, diakses pertama kali dari The Interseksi Foundation, tanggal 12 Desember 2015.
2 Rachmad Safa’at, 2016, Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Surya Pena Gemilang, Malang, h.
Selain perubahan pada lingkungan fisik, pertambangan juga mengakibatkan
perubahan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.berdasar observasi terkait
kondisi aktivitas pertambangan penulis mendapati banyak fakta konflik tentang
Pengelolaan Pertambangan.
Pengusaha dan pekerja pertambangan seringkali tidak memperhatikan
tentang dampak dari pertambangan, terlebih seringkali tempat penggalian sangat
dekat dengan pemukiman warga, yang lebih parah lagi tidak jarang pengusaha
pertambangan yang melakukan penipuan terhadap warga, sehingga memicu
gerakan penolakan secara sporadis oleh warga. Lahan bekas pertambangan yang
menggunakan metode ekplorasi penggalian dalam, selalu meninggalkan lahan bekas
dengan kondisi permukaan lahan yang tidak rata, dan tentunya berpengaruh
terhadap lingkungan. Kondisi ini akan memicu terjadinya konflik horizontal.
Sebagaimana yang terjadi di Lumajang, Lumajang merupakan salah satu
Kabupaten bagian timur di Jawa Timur dengan potensi sumber daya alam yang
melimpah. Letak geografis kabupaten Lumajang terletak pada koordinat 112°53’
- 113°23’ Bujur Timur dan 7°54’ - 8°23’ Lintang Selatan. Luas wilayahnya adalah
1.790,90 km2, sedangkan jumlah penduduknya 1.064.343 jiwa dan memiliki
wilayah administrasi dengan 21 Kecamatan, dengan 7 Kelurahan dan 168 Desa.3
Dilihat dari letak Kabupaten Lumajang cukup dekat dengan beberapa gunung
yaitu Bromo, Tengger dan Semeru, dimana sekitar 60.000 hektar lahannya
merupakan pertambangan pasir vulkanik dengan kualitas sangat baik. Kandungan
logam yang ada pada pasir Lumajang didominasi oleh kandungan ferum (Fe)
yaitu sekitar 40-50% dan mengandung berbagai bahan pengotor seperti Titanium
(Ti), Vanadium (V), Nikel (Ni), dan Cobalt (Co). Dari kandungan ini , maka
pertambangan pasir Lumajang banyak dipakai sebagai bahan dasar pemenuhan
berbagai kebutuhan industri, seperti logam besi, industri semen, bahan dasar
tinta kering (toner) pada mesin fotokopi dan tinta laser, bahan utama untuk
pita kaset, pewarna serta campuran (filter) untuk cat, dan menjadi bahan dasar
industri magnet permanen.
Potensi yang dimiliki Kabupaten Lumajang dengan pasir yang melimpah
dan berbagai pemanfaatannya menjadi sumber usaha baru dan meningkatkan
pendapatan daerah dan warga nya. Proses pemanfaatan inilah yang harus clear
3 Indah Dwi Qurbani, 2016, Kajian Strategi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pertambangan Iron Sand (Pasir Besi) Di Provinsi Jawa Timur
(Studi Kasus Di Kabupaten Lumajang, Kabupaten Mojokerto Dan Kabupaten Bojonegoro), didanai oleh Badan Penelitian Dan Pengembangan
Provinsi Jawa Timur, Laporan Hasil Penelitian,
baik dari sisi hukum maupun penataan sosial budaya lokal warga Lumajang.
Keinginan besar perorangan ataupun kelompok warga untuk mengelola dan
memanfaatkan potensi pasir Lumajang sudah menjadi naluri manusia. Secara
sosiologis, dalam pemanfaatan potensi alam yang melimpah akan melahirkan
kerjasama, persaingan dan konflik sosial. Situasi ini akan terus berlangsung
sejauh potensi alam di Kabupaten Lumajang masih ada. Proses ini , menjadi
sesuatu yang tidak bisa dihindari dengan alasan apapun, maka menjadi penting
bagi Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk mengambil peran lebih banyak untuk
memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah dan bagaimana mereka menjaga
proses kerjasama, persaingan dan konflik kepentingan tetap dalam kendali.
Data Bagian Perekonomian Kabupaten Lumajang menyebutkan bahwa jumlah
potensi pertambangan dari Gunung Semeru sangat besar dan akan bertambah
terus sesuai dengan aktivitas gunung api yang mengeluarkan material kurang lebih
satu juta meter kubik per tahun. Bukan saja kuantitasnya yang sangat besar, tapi
kualitasnya juga sangat baik, bahkan terbaik se Jawa Timur. Berbagai penelitian
menyimpulkan kualitas pasir Gunung Semeru unggul karena kandungan tanah
(lumpur) sedikit, butiran pasirnya standar, serta warna dan daya rekatnya baik.5
Lokasi penambangan pasir dan batu cukup banyak, di antaranya di sepanjang
Sungai Rejali, Kali Regoyo, dan Kali Glidig. Tepatnya berada di Kecamatan
Candipuro, Pasirian, Tempursari dan Pronojiwo. Areal bahan tambang/galian
pasir dan batu bangunan 82,50 ha dengan volume 5.976.625 m. Areal pasir dan
batu yang di eksploitasi baru 15 ha dengan volume 239.065 m atau hanya 4%
dari kapasitas yang tersedia.6
Khusus mengenai areal tambang pasir besi yang dimiliki Lumajang mencapai
2.650 ha. Lokasinya memanjang dalam satu deret di sepanjang pantai selatan.
Tepatnya, di pantai selatan Kecamatan Yosowilangun, Kecamatan Kunir, Kecamatan
Tempeh dan Kecamatan Pasirian. Pasir besi Lumajang merupakan pasir nomor
satu untuk konstruksi bangunan karena memiliki kandungan besi yang tinggi.
Menurut Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Timur, kandungan
besi antara 48,5 persen sampai 50,2 persen. Sejumlah proyek konstruksi di Jawa
Timur menetapkan pasir Lumajang sebagai spesifikasi bangunan.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur dan Jaringan Advokasi Tambang
(Jatam) menghitung, penambangan pasir besi ilegal berpotensi merugikan negara
hingga Rp 11,5 triliun sejak tahun 2011. Investigasi Walhi di lapangan mendata
truk bermuatan pasir besi sekitar 500 truk sehari. Total setahun mengangkut 6,3
juta ton pasir besi keluar dari Lumajang.
Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
harga pasir besi Lumajang sebesar 36 dolar Amerika Serikat per ton. Dengan
asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Rp. 10.000,-, sehingga total
setahun kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Kerugian itu setara dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Lumajang selama sembilan
tahun, dengan estimasi sebesar Rp 1,3 triliun pertahun.
Menurut data Walhi, Kabupaten Lumajang mengeluarkan izin usaha
pertambangan terbanyak di Indonesia. Namun, pendapatan asli daerah (PAD) dari
sektor tambang terus menyusut. Pada 2012 pendapatan mencapai 5 miliar rupiah,
namun pada tahun 2014 turun menjadi 75 juta rupiah. Penambangan pasir liar
dituding sebagai penyebabnya. Namun, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka kewenangan Izin Usaha
Pertambangan menjadi kewenangan pemerintah daerah Provinsi.
Kerusakan kawasan pesisir terjadi sepanjang Lumajang yang tersebar
di delapan kecamatan lantaran terjadi eksploitasi pasir pantai berlebihan
menggunakan eskavator. Pasir hasil tambang pesisir selatan Lumajang dipakai
untuk memasok kebutuhan bangunan di seluruh Jawa Timur.
Jika dilihat dari karakteristik daerah di sepanjang pesisir selatan termasuk
Kabupaten Lumajang, bahwa daerah-daerah ini adalah wilayah pertanian yang
subur. Namun belakangan, perombakan guna lahan gencar terjadi diperlihatkan
dari jumlah izin penambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Konversi lahan
pertanian (perhutani) menjadi daerah pertambangan banyak terjadi sehingga
merugikan petani karena lahan-lahan pertanian semakin berkurang. Degradasi
kualitas lingkungan sangat cepat.
Dalam perencanaan tata ruang, Kabupaten Lumajang ditetapkan menjadi
daerah rawan bencana termasuk banjir dan tsunami. Namun di sisi lain Kabupaten
Lumajang juga ditetapkan sebagai daerah pertambangan. Hal ini menunjukkan
adanya tumpang tindih rencana pemanfaatan lahan. Konflik lahan rawan terjadi.
Konflik pertambangan di Lumajang berkaitan dengan isu sengketa kepemilikan
lahan antara warga dengan penambang maupun perusahaan tambang,
interaksi pelaku tambang dengan warga sekitar lokasi tambang, legalitas
aktivitas pertambangan, degradasi lingkungan akibat adanya aktivitas lingkungan,
dan regulasi pertambangan.
Berdasarkan data ini adanya keterbatasan atau kurangnya kemampuan
negara melayani warga nya memperoleh keadilan dalam pelayanan hukum,
maka beberapa persoalan yang akan muncul, mulai dari eigenrechting, sampai
pada persoalan perubahan nilai-nilai dan penyimpangan terhadap nilai-nilai budaya
dalam warga bahkan legal gap yaitu, ada silang selisih antara apa yang
dihukumkan secara resmi oleh kekuasaan nasional dan apa yang dijalani dalam
kehidupan sehari-hari sebagai hukum oleh warga setempat.
Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif
atau alternative dispute resolution yang tidak membuat warga tergantung
pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan
rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme ini sebenarnya telah
memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan
di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme ini juga memiliki potensi
untuk semakin dikembangkan di Indonesia.
A. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Disputes Resolutions)
Alternatif Dispute Resolution (ADR) sering diartikan sebagai alternative to
litigation dan alternative to adjudication. Pilihan terhadap salah satu dari dua
pengertian ini menimbulkan implikasi yang berbeda. sebagai alternative
to litigation maka ADR adalah salah satu mekanisme penyelesaian sengketa non
litigasi dengan mempertimbangkan segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan
masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi pihak yang bersengketa.
Sedangkan apabila ADR dimaknai sebagai alternative to adjudication dapat
meliputi mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus seperti halnya
negoisasi, mediasi dan konsiliasi.7
Secara antropologis setiap orang dalam suatu komunitas memiliki sistem
dan mekanisme penyelesaian sengketa. Bagi sebagian warga Indonesia yang
hidup di pedesaan yang merupakan warga adat jika timbul sengketa diantara
mereka jarang sekali dibawa ke pengadilan negara untuk diselesaikan. Mereka
lebih suka dan dengan senang hati membawa sengketa ke lembaga yang tersedia
pada warga adat untuk diselesaikan secara damai. Dalam warga hukum
adat penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di hadapan kepala desa atau hakim
adat. Secara historis kultural warga Indonesia sangat menjunjung tinggi
pendekatan konsensus. Pengembangan penyelesaian sengketa di Indonesia sesuai
dengan mekanisme pengambilan keputusan secara tradisional dan penyelesaian
sengketa secara adat. Alasan kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR di
Indonesia tampak lebih kuat daripada ketidakefisienan proses peradilan dalam
menangani sengketa,
Konflik
Konflik berasal dari terminologi kata bahasa inggris conflict, yang berarti
persengketaan, perselisihan, percekcokan dan pertentangan. Konflik atau
persengketaan tentang sesuatu terjadi antara dua pihak atau lebih. Konflik atau
perselisihan nyaris tidak terpisah dari kehidupan manusia dan warga sehingga
sulit dibayangkan bila warga tanpa konflik. Konflik atau sengketa merupakan
kosakata yang acapkali muncul dalam fenomena kehidupan berwarga ,
berbangsa bahkan bernegara. Konflik atau sengketa tidak lagi bersifat ideologis
tetapi sudah bergeser ke arah konflik multikultural yang berbasis pada perbedaan,
pergeseran bahkan perubahan pemahaman berbudaya warga . Pergeseran
pemahaman konflik atau sengketa pada gilirannya berdampak pada munculnya
berbagai konsep alternatif penyelesaian sengketa.9
Konflik dimaknai sebagai suatu struktur ketegangan mental di tengah
warga , oleh Karl Marx dipahaminya sebagai class struggle.10 Konflik terjadi
selama ini lebih didominasi oleh pertarungan pada sektor-sektor strategis
(sumber daya), tentu karena harapan untuk lebih survival.11 Konflik pertambangan
di Kabupaten Lumajang berkaitan dengan isu sengketa kepemilikan lahan
antara warga dengan penambang maupun perusahaan tambang, interaksi
pelaku tambang dengan warga sekitar lokasi tambang, legalitas aktivitas
pertambangan, degradasi lingkungan akibat adanya aktivitas lingkungan, dan
regulasi pertambangan.
Pemetaan tipologi konflik dilakukan dengan mengelompokkannya ke dalam
ruang-ruang konflik. Kriteria-kriteria ruang konflik ini menurut Fuad dan
Maskanah terbagi kedalam lima ruang konflik, yaitu:
Pertama, Konflik Data. Terjadi ketika seseorang mengalami kekurangan
informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat
informasi yang salah, tidak sepakat mengenai data yang relevan, menerjemahkan
informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian yang
berbeda. Dari penafsiran diatas dapat dipahami bagaimana informasi yang beredar
dalam aktivitas pertambangan bisa memunculkan konflik terbuka maupun tidak.
keberadaan regulasi tentang pertambangan juga menyumbang potensi konflik, baik
itu dalam bentuk ketidak tegasan dalam pengawalan regulasi maupun regulasi
yang ambigu. Kewenangan dalam pengawalan regulasi tentang pertambangan
antara Kabupaten dengan Provinsi juga menyulitkan dalam proses penindakan
dan pencegahan secara cepat.
Kedua, konflik kepentingan disebabkan oleh persaingan kepentingan yang
dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan
terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif (misalnya uang dan
sumberdaya), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah) atau masalah
psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat). Konflik kepentingan
merupakan tipologi konflik paling dominan. Pemilik modal, pemerintah, penambang
tradisional dan warga memiliki kepentingan yang sangat besar dalam aktivitas
pertambangan. warga sekitar lokasi tambang melihat aktivitas dalam dua
sisi: 1). warga dirugikan dengan rusaknya fasilitas umum, hilangnya lahan,
dan rusaknya lingkungan sosial warga . 2). warga merasa diuntungkan
dengan aktivitas ini karena mempunyai mata pencaharian, dilibatkan dalam
aktivitas pertambangan, dan mendapatkan kompensasi ekonomi. Pemerintah
daerah melihatnya dalam tiga sisi: 1). Tambang bisa menjadi sumber pendapatan
daerah. 2). Pemerintah melihat aktivitas tambang sebagai sebuah ancaman karena
dampaknya terhadap stabilitas sosial, dimana pemerintah pada akhirnya harus
menanggung keseluruhan proses pemulihan jika terjadi kerusakan maupun konflik
horizontal. 3). Pemerintah melihat aktivitas pertambangan dalam kerangka regulasi
yang harus dikawal dan ditegakkan.
Ketiga, konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi
negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tingkah laku negatif
yang berulang (repetitif). Masalah-masalah ini sering menimbulkan konflik yang
tidak realistis atau yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tipologi ini terjadi di
Lumajang. Kecemburuan dan persaingan antara pelaku tambang yang terjadi
kerap menimbulkan gesekan yang berakibat pada timbulnya konflik Horizontal.
Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dilapangan terkait konflik horizontal antar
pelaku tambang. Konflik terjadi antara warga dengan para penambang
akibat tidak adanya sosialisasi dan penglibatan dalam proses pertambangan
kerap menimbulkan konflik. Tidak adanya konpensasi kepada warga dari
pihak penambang dan penglibatan warga setempat sering menjadi sumber
utama dalam tipologi konflik yang terjadi.
Keempat, konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak
bersesuaian baik yang hanya dirasakan maupun memang nyata. Nilai adalah
kepercayaan yang dipakai manusia untuk memberi arti pada hidupnya. Sehingga
konflik nilai terjadi ketika seseorang berusaha untuk memaksakan suatu sistem
nilai kepada orang lain atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan
di dalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan kepercayaan. Penegakan
regulasi merupakan sumber konflik yang paling dominan. Masalah kewenangan
antara pemerintah Provinsi dan pemerintah Daerah membuat para pengambil
keputusan di Daerah mengalami kesulitan untuk melakukan penegakan regulasi
akibat terbatasnya kewenangan yang dimiliki daerah. Sehingga penanganan dan
tindakan yang memerlukan kesegeraan terhambat. Pemerintah daerah sudah
tidak memiliki kewenangan baik dalam Proses Perizinan maupun pengawasan.
Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kabupaten sifatnya hanya membantu
pemerintah provinsi.
Kelima, konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan
akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki
wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya memiliki peluang
untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Pasca
tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pemerintah kabupaten/kota kebingungan mengambil
langkah. Sebaliknya, para pengusaha pertambangan juga kesulitan mengajukan izin
dengan alasan belum ada Peraturan Pemerintah atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini . Dalam Undang-Undang 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mencabut kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam mengeluarkan izin usaha pertambangan.
Dalam pandangan Dahrendorf warga mempunyai sisi ganda konflik dan
konsensus yang menjadi persyaratan satu sama lain. Tidak akan ada konflik kecuali
ada konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa adanya konsensus sebelumnya.
Konsep konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang
dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme.
Hal ini posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas
terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di dalam posisi). Kepentingan
dikategorikan Dahrendorf menjadi kepentingan tersembunyi dan kepentingan
nyata.12
Konflik dapat menciptakan konsensus dan integrasi. Oleh sebab itu, proses
konflik sosial merupakkan kunci adanya struktur sosial. Dahrendrof berpendapat
bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan ada
ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk
pada struktur itu. Kekuasaan memisahkan dengan tegas antara penguasa dan
yang dikuasai, sehingga di dalam warga ada dua pihak yang saling
bertentangan karena adanya perbedaan kepentingan.13
Konflik yang terjadi di kawasan pertambangan Lumajang melibatkan banyak
aktor intelektual dan juga pemegang modal. Apabila ditelaah, maka dapat dikatakan
bahwa konflik pertambangan di kabupaten Lumajang terjadi pada dua tataran
yaitu tataran makro dan tataran mikro.
Pada tataran makro, konflik terjadi pada lingkup horizontal yang lebih
luas, mencakup konflik antar pemerintah sebagai pemangku kekuasaan baik
itu pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah Pusat. Pada tataran mikro,
konflik terjadi antara warga setempat dengan perusahaan dan pemerintah
setempat, atau dengan oknum spekulan dan aparat.
Konflik pada tataran mikro ini, umumnya terjadi pada tataran lokal yang
melibatkan perusahaan legal dan non illegal dengan warga lokal. ada
3 (tiga) jenis konflik yang terjadi di kabupaten Lumajang. Pertama, Regulasi di
tingkat daerah terkait aspek Teknik tambang yang dipakai oleh para penambang,
aspek sosial budaya, aspek perizinan, aspek tata ruang kewilayahan, dan kepastian
hukum. Kedua, Terkait tatacara atau teknik, bagaimana sistem eksplorasinya,
pengelolaan, reklamasi, dan Pendistribusian hasil tambang (transportasi dan jalan).
Ketiga, Resistensi dari warga . Tidak adanya pelibatan warga disekitar
aktivitas lokasi tambang, Tidak adanya konpensasi, Merusak lingkungan, dan
Aktivitas ilegal. Penambang berasal dari daerah luar, warga tidak dilibatkan
dalam kegiatan pertambangan, penguasaan lahan galian secara ilegal oleh pelaku
tambang, tidak adanya konpensasi yang diberikan oleh penambang terhadap
dampak yang diakibatkan aktivitas pertambangan, dan tambang yang dilakukan
di sepanjang bantaran Daerah Aliran Sungai menyebabkan tanah disekitar sungai
mengalami abrasi dan beberapa rumah longsor. Lahan pertanian warga warga
disekitar lokasi tambang hilang atau rusak akibat aktivitas pertambangan, rusaknya
ekosistem dan infrstruktur, serta tambang dilakukan dengan cara mekanik dan
cenderung eskploratif sehingga kawasan jadi rusak.
Dari uraian ini secara garis besar berbagai konflik pertambangan yang
terjadi di Kabupaten Lumajang dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk
konflik sebagai berikut:
a)berdasar sifatnya;
Konflik ini dapat dibedakan menjadi konflik destruktif dan konflik
konstruktif.
1. Konflik Destruktif
Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang,
rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak
lain. Kejadian di Kabupaten Lumajang merupakan contoh kongkrit dalam
kasus konflik Destruktif yang terjadi dalam kegiatan pertambangan. Selain
itu persaingan yang terjadi antar para penambang baik itu penambang
lokal dengan pengusaha. Konflik destruktif ini juga berlaku dimana para
pelaku tambang melaporkan para pelaku tambang yang lain.
2. Konflik Konstruktif
Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena
adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi
suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus
dari berbagai pendapat ini dan menghasilkan suatu perbaikan.
Dalam konflik yang bersifat konstruktif, warga memprotes
keberadaan aktivitas tambang terutama yang ilegal baik itu dari segi
aspek eksplorasinya maupun aspek interaksi dengan warga
lokal. Dalam beberapa kasus yang terjadi di daerah ini , aktivitas
pertambangan dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap stabilitas sosial
kewarga an dibandingkan nilai ekonomis yang akan mereka dapat.
b)berdasar Posisi Pelaku yang Berkonflik;
1. Konflik Vertikal
Merupakan konflik antar komponen warga di dalam satu struktur
yang memiliki hierarki.
Dalam kasus pertambangan, konflik terjadi dalam perumusan,
pembuatan, dan pengambilan kebijakan. Keberadaan regulasi sebagai
produk kebijakan pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
maupun Pemerintah Kabupaten harus memberikan kepastian dan jaminan
hukum, baik itu dari segi kewenangan daerah, hak warga , dan proses
legalitas mutlak diperlukan.
Dalam kasus Lumajang, terjadi tarik ulur kewenangan antara
Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten terkait kewenangan
pengelolaan tambang. Kondisi ini memicu terjadinya konflik vertikal antara
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dengan Pelaku tambang
serta warga .
2. Konflik Horizontal
Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang
memiliki kedudukan yang relatif sama.
Hampir semua daerah mengalami konflik ini , di Lumajang
misalnya, warga dengan warga (Pro dan kontra) sehingga
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
3. Konflik Diagonal
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi
sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan
yang ekstrim.
Keengganan sebagian perusahaan tambang melibatkan warga
lokal juga mengakibatkan terjadinya konflik. Selain itu aktivitas tambang
yang dilakukan oleh orang dari luar daerah juga menyebabkan terjadinya
konflik diagonal ini .
Bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi,
mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), dan détente.berdasar observasi
dan wawancara penulis maka, pendekatan yang dipakai dalam
pengendalian konflik oleh Kabupaten Lumajang ada lima yaitu: Konsiliasi,
mediasi, arbitrasi, perwasitan dan detente.
1. Konsiliasi
Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu
yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan
keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan
mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. Hasil
Wawancara dengan beberapa narasumber pendekatan rekonsiliasi
banyak dipakai .
2. Mediasi
Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang
bersengketa bersama-sama sepakat untuk memberikan nasihatnya
tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan
mereka. Usaha untuk memfasilitasi dan mempertemukan kelompok-
kelompok yang terlibat dalam konflik juga telah dilakukan.
3. Litigasi
Model penyelesaian ini dilakukan oleh semua daerah pertambangan,
dimana penyelesaiaan konflik akan dilakukan dengan cara penegakan
peraturan maupun menyerahkan kepada pihak yang berwenang
dalam menangani hukum, baik yang sifatnya perdata maupun pidana.
Kabupaten lumajang misalnya menyerahkan penyelesaikan konflik
melalui proses Hukum.
4. Perwasitan
Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat
untuk memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi diantara mereka. Model ini akan mengacu pada
tatanan peraturan dan perundangan sebagai garis acuan untuk
mengurangi dan menyelesaikan konflik.
5. Detente
Sebuah usaha untuk mengurangi hubungan tegang antara beberapa
pihak yang bertikai. Cara ini merupakan persiapan untuk mengadakan
pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkah-langkah
mencapai perdamaian. Untuk menghindari timbulnya ketegangan di
Kabupaten Lumajang, telah melakukan sosialisasi untuk memenuhi
segala legalitas termasuk aspek amdalnya.
Usaha penyelesaian konflik tambang memiliki banyak hambatan dan tantangan.
Hambatan-hambatan ini berhubungan erat dengan sistem sosial budaya dan
ekonomi yang berlaku di lokasi pertambangan. Hal itu juga dialami oleh pemerintah
daerah Kabupaten Lumajang. Hambatan dan tantangannya seperti berikut:
1. warga dalam menyelesaikan konflik pertambangan cenderung menjadikan
konflik sebagai masalah antara bukan masalah utama, karena ujung-ujungnya
warga hanya menginginkan kompensasi semata.
2. Kebanyakan warga di lokasi pertambangan hanya pelaksana. Usaha
pertambangan biasanya dimiliki para pemodal dari luar yang kadang-kadang
tidak diketahui siapa pemodalnya. Jarang sekali pemodal yang dari warga
setempat, apalagi aktikvitas pertambangannya sudah menggunakan metode
modern.
3. Kewenangan untuk penindakan pertambangan sudah ditarik ke Pemerintah
Provinsi, sehingga Pemerintah Kabupaten tidak memiliki kewenangan,
dan hanya sebatas membantu jika diminta oleh Pemerintah Provinsi atau
Pemerintah Pusat.
4. Belum adanya kesepahaman bersama terkait penanganan konflik
pertambangan. Kecenderungan penanganan sektoral masih terjadi.
Berdasarkan hasil studi konflik pertambangan di Kabupaten Lumajang
dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu proses disosiatif yang tajam
yang menekankan pada oposisi, akan tetapi konflik sebagai bentuk proses
sosial mempunyai fungsi yang positif bagi warga . Hal itu tergantung pada
permasalahan dan juga dari struktur sosial yang menyangkut tujuan, nilai ataupun
kepentingan terhadap konflik, dimana konflik diharapkan menghasilkan adanya
penyesuaian kembali terhadap norma-norma dan hubungan sosial dalam kelompok
yang bertikai sesuai dengan kebutuhan setiap kelompok. Sikap toleran diperlukan
dalam usaha penanganan konflik sebagai jalan untuk mengetahui sumber-sumber
masalah pembawa konflik yang memberikan jalan menuju tercapainya stabilitas
dan integritas di warga .
Dalam proses penyelesaian konflik, permasalahan konflik diidentifikasi
secara bertahap dimulai dengan penelusuran pihak-pihak yang terlibat, faktor
penyebabnya serta hubungan diantara pihak-pihak. Hal ini penting dalam
menggambarkan konflikberdasar sejarah terjadinya sehingga berguna untuk
merumuskan jalur penyelesaian terhadap konflik. Penyelesaian konflik bertujuan
untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang
bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah
melalui jalur hukum.
Resolusi konflik adalah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik
dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa. Resolusi
konflik telah dilakukan oleh berbagai pihak baik itu melalui pihak ketiga yaitu
dengan cara mediasi. Kehadiran konflik dalam penambangan di Kabupaten
Lumajang tidak dapat dihindarkan tetapi, hanya dapat diminimalisir baik konflik
antara warga pro dan kontra tambang, warga kontra tambang dengan
perusahaan.
Kaidah/norma hukum merupakan refleksi atau cerminan kepentingan negara
dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang di dalamnya
terkandung esensi moral/kepatutan, kebiasaan warga (consent) dan hukum
positif. Jika pandangan itu dikaitkan dengan persoalan kemelut penambangan pasir
di Kabupaten Lumajang. Menjadi penting dilakukan bagi pihak yang berwenang
menjaga keamanan dan kenyamanan warga yang berkonflik di Kabupaten
Lumajang, untuk selalu memberikan porsi khusus terhadap isu-isu konflik yang
berkembang. Mereka harus mampu memanfaatkan sebagai institusi yang berhak
melakukan pencegahan dan penegakan secara hukum. Tentu kerjasama dan kajian
mengenai isu-isu konflik harus dilakukan dengan kelompok warga atau
institusi yang bersentuhan langsung dengan konflik yang dihadapi warga .
Mempelajari isu konflik dengan kecepatan dalam merespon situasi konflik
dapat diyakini akan mampu merekayasa agar konflik tidak berkembang
menjadi konflik kekerasan. Kekerasan tidak akan terjadi ketika isu-isu konflik
yang berkembang segera di atasi, baik oleh pemerintah Kabupaten Lumajang
maupun oleh kepolisian setempat. Penghentian sementara penambangan oleh
pemerintah kabupaten dan Pemerintah Provinsi merupakan solusi yang tepat
dalam situasi konflik terbuka, yang ditindaklanjuti dengan melakukan kajian
secara menyeluruh mengenai potensi sumber daya alam, menemukan regulasi
yang mampu mengakomodir banyak kepentingan, dan mengelola sumber daya
alam. Diperlukan konsistensi kebijakan maupun tindakan dari pemerintah daerah.
Musyawarah mufakat di tingkat desa untuk semua kelompok warga yang terlibat
konflik penambangan harus dilakukan, musyawarah merupakan langkah konkrit
yang mendasarkan kepada budaya lokal sebagai nilai yang harus dijunjung
tinggi. Institusi di atas desa adalah pihak yang juga harus mengambil inisiasi
melakukan musyawarah mufakat atau pihak lain yang dianggap bisa mewakili
keduanya. Semangat kekeluargaan harus menjadi ruh dalam penyelesaian konflik
penambangan sehingga diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya
konflik berkelanjutan.