Tampilkan postingan dengan label pajak 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pajak 5. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

pajak 5





dibayar dari luar negeri ke pelabuhan tujuan sebesar US$1.000. Bea 
Masuk yang dibebankan sebesar Rp34.200.000 dan pungutan pabean lain 
yang rsemi sebesar Rp16.000.000, kurs yang berlaku saat terjadinya import 
adalah US$1 = Rp10.000. Hitunglah Pajak penghasilan Pasal 22 Bea Cukai, 
dalam kondisi baik importir memiliki API/APIS/APIT dan jika importir belum 
memiliki API/APIS/APIT ? 
 
Perhitungan PPh Pasal 22 Bea Cukai   
Kurs yang berlaku = Rp 10.000   
Harga import US$ 80,000 x Rp 10.000 = Rp  800.000.000 
Biaya Angkut US$ 5,000 x Rp 10.000 = Rp 50.000.000 
Biaya Asuransi US$ 1,000 x Rp 10.000 = Rp 10.000.000 
Bea Masuk = Rp 34.200.000 
Pungutan Pabean dan lain-lain = Rp 16.000.000 + 
Nilai Import  = Rp  910.200.000 
Pajak Penghasilan Psl 22, Bea Cukai bila importir memiliki API/APIS/APIT : 
 2,5 % x Rp910.200.000 = Rp 22.755.000 
  
 
         Pajak Penghasilan Psl 22, Bea Cukai bila importir tidak memiliki API/APIS/APIT : 
 7,5 % x Rp910.200.000 = Rp 68.265.000 
 
b. PPh Pasal 22 yang Dipungut Oleh Bendaharawan 
 
Contoh masalah gawat  1 
Sebuah perusahaan melakukan penyerahan barang kena pajak kepada suatu 
instasi pemerintah seharga Rp1.144.000.000 yang pembayarannya melalui 
Kantor pembendaharaan negara. Berapakah Pajak Penghasilan Pasal 22 
Bendaharawan yang harus dipotong bila: 
1. Harga barang tidak termasuk PPN dan PPnBM.  
2. Harga barang termasuk PPN (10%) tapi bukan Barang Mewah.  
3. Harga barang termasuk PPN (10%) dan PPnBM (20%).  
 
Perhitungan Pajak:  
1. Harga barang tidak termasuk PPN dan PPnBM  
Harga barang yang diserahkan Rp1.144.000.000 
Pajak Penghasilan pasal 22  
1.5 % x Rp1.144.000.000 Rp  17.160.000 - 
Jumlah uang yang diterima Rp1.126.840.000 
2. Harga barang termasuk PPN (10%) tapi bukan Barang Mewah 
Harga barang termasuk PPN (10%) Rp  1.144.000.000 
PPN (10%)=Rp1.144.000.000 x 10/110 Rp     104.000.000 - 
Harga barang tidak termasuk PPN Rp  1.040.000.000 
Pajak Penghasilan pasal 22  
1.5 % x Rp1.040.000.000   Rp        15.600.000 - 
Jumlah uang yang diterima   Rp  1.024.400.000 
 
3. Harga barang termasuk PPN (10%) dan PPnBM (20%)    
Harga barang termasuk PPN (10%) dan PPnBM(20%)   Rp  1.144.000.000  
PPN (10%)=Rp1.144.000.000.000 x 10/130 Rp    88.000.000  
PPnBM (20%) = Rp1.144.000.000 x 20/130 Rp     176.000.000 - 
Harga barang tidak termasuk PPN dan PPnBM Rp 880.000.000  
Pajak Penghasilan pasal 22    
1.5 % x Rp 880.000.000 Rp        13.200.000 - 
Jumlah uang yang diterima Rp     866.800.000 
 
Contoh masalah gawat  2 
 
Bapak Agung menerima pembayaran atas penjualan meja tulis seharga 
Rp750.000 ke Pemprov Bali. Berapakah PPh Pasal 22 yang dipotong atas 
penjualan ini  ? 
  
 
Jawab: 
 
Atas transaksi penerimaan pembayaran penjualan penjualan meja tulis 
sebesar Rp750.000 ke pemprov Bali tidak terutang PPh Pasal 22, disebabkan 
berdasar  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 atas 
pembayaran dari penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang 
dipecah-pecah) meliputi jumlah kurang dari Rp2.000.000 dikecualikan dari 
pemungutan PPh Pasal 22. 
 
 
 
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 
 

 
A.   PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23  
 
Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari deviden, bunga, royalti, 
sewa dan penghasilan lain atas penggunaan harta dan imbalan jasa teknik 
/manajemen dan jasa lainnya.  
 
B.   SUBJEK PAJAK  
 
Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)  
 
C.   PEMOTONG PAJAK 
  
1. Badan Pemerintah  
2. BUMN / BUMD  
3. Badan Hukum Lainya (PT, Fa,Yayasan, Koperasi, Perhimpunan Kongsi, BUT, dll)  
4. Perseoan yang ditunjuk oleh DJP  
5. WPOP dalam negeri tertentu yang ditunjuk DJP  
 
D.  OBJEK PAJAK  
 
1. Deviden 
2. Bunga : Premium, Diskonto, Imbalan sehubungan dengan pengembalian hutang 
3. Sewa atas penggunaan harta 
4. Royalti 
5. Hadiah / penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 
6. Imbalan jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa lainnya selain yang telah 
dipotong PPh Pasal 21.  
 
E.  YANG TIDAK DIPOTONG PAJAK  
 
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank  
2. Sewa yang dibayarkan/terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak 
opsi 
3. Dividen yang diterima oleh :  
a. Perseroan Terbatas WPDN 
b. Koperasi 
c. Yayasan 
d.  Organisasi sejenis  
4.  Bunga obligasi yang diterima/diperoleh perusahaan reksa dana selama lima 
  
 
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha  
5.  Bagian yang diterima / diperoleh perseroan komanditer yang modalnya tidak 
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi.  
6. Simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan 
Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.  
 
TARIF PAJAK (BERSIFAT TIDAK FINAL)  
 
Tarif 15% x jumlah bruto atas: 
1. Deviden badan, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada 
pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi  
2. Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan 
pengembalian hutang  
3. Royalti  
4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh 21 
 
Tarif sebesar 2% x jumlah bruto dan tidak termasuk PPN: 
1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus 
kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasar  
kontrak atau perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis 
2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain 
kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasar  
kontrak atau perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis, kecuali sewa dan 
penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan 
yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.  
 
Tarif 2% atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultasi dan jasa lain: 
1. Jasa Penilai  
2. Jasa Aktuaris  
3. Jasa Akuntansi, pembukuan, atestasi laporan keuangan  
4. Jasa Perancang (design)  
5. Jasa Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi 
(migas) kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap  
6. Jasa penunjang di bidang penambangan migas  
7. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain 
migas  
8. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan  
9. Jasa penebangan hutan  
10. Jasa pengolahan limbah  
11. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourching service)  
12. Jasa perantara dan/atau kegenan  
13. Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilaukan 
oleg Bursa Efek  
14. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan  
 52 
 
15.  Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara  
16.  Jasa mixing film  
17. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, 
pemeliharaan dan perbaikan  
18. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, 
dan/atau TV kabel  
19. Jasa perawatan alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan  
20. Jasa maklon  
21.  Jasa penyelidikan dan keamanan  
22. Jasa penyelenggaraan kegiatan atau event organizer  
23. Jasa pengepakan  
24. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar 
ruang atau media lain untuk penyampaian informasi  
25. Jasa pembasmian hama  
26. Jasa kebersihan/ cleaning service  
27. Jasa catering atau tata boga 
 
Catatan: 
 
pemotongan-pemotongan  pajak penghasilan berdasar  tarif baru sebesar 2 % ini 
dikenakan atas jumlah bruto tidak termasuk PPN sedangkan dalam hal 
penerima imbalan tidak memiliki NPWP besarnya tarif pemotongan-pemotongan  adalah 
lebih tinggi 100% (seratus persen) dari pada tarif yang berlaku. 
 
SAAT TERUTANG, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPh PASAL 23  
 
1. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, 
disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, 
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.  
2. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh 
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.  
3. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 
20 hari setelah Masa Pajak berakhir.  
 
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23 
bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, 
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.  
 
  
 
BAB 7 
PAJAK PENGHASILAN PASAL  4 AYAT (2) 
 
 
 
 
 
A.  PENGERTIAN PENGENAAN PPh berdasar  PASAL 4 AYAT (2)  
 
berdasar  Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 
Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir 
dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 ditentukan 
bahwa atas penghasilan berupa deposito dan tabungan tabungan lainnya, 
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, 
penghasilan dari pegalihan harta berupa tanah dan atau bangunan dan 
pengahasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan 
Pemerintah.  
 
B.  SIFAT  
 
Menurut keputusan Direktorat Jendral Pajak pengenaan pajak penghasilan 
dalam ketentuan ini dapat bersifat final  
 
C.  SUBJEK PAJAK  
 
Subjek pajak yang karena ketentuan dari Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh 
menjadi WPDN adalah semua subjek pajak yang memperoleh penghasilan 
berupa bunga deposito, dan tabungan tabungan lainnya penghasilan dari 
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari 
pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan dan penghasilan tertentu 
lainnya.  
 
D.  OBJEK PAJAK  
 
1. Bunga deposito/tabungan, diskonto SBI dan jasa giro, serta bunga simpanan 
anggota koperasi.  
2. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek  
3. Bunga/diskonto obligasi  
4. Hadiah undian  
5. Jasa konstruksi  
6. Persewaan tanah/bangunan  
7. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan  
8. Deviden orang pribadi  
9. Penghasilan tertentu lainnya  
 54 
 
 
E.  JATUH TEMPO PAJAK  
 
1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh pemotong pajak penghasilan harus 
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa 
pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.  
 
2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak harus 
disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa 
pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. 
 
3. Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran 
pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh, 
wajib menyampaikan SPT masa PPh pasal 4 ayat (2) paling lama 20 (dua 
puluh) hari setelah masa pajak berakhir. 
 
F.  PEMUNGUT PAJAK  
 
1. Penyelenggara bursa dan undian  
2. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan  
3. Bank dan Dana Pensiun  
4. Perusahaan Modal Ventura  
5. Penerbit Obligasi,Bank,Dana Pensiun,Reksadana  
6. Pengguna Jasa Konstruksi  
 
G.  TARIF PAJAK berdasar  PASAL 4 AYAT (2)  
 
1.  Pajak penghasilan atas bunga deposito/tabungan, diskonto SBI dan jasa 
giro (final): sebesar 20% x jumlah bruto  
Catatan:  
Untuk jumlah bunga tabungan yang ≥Rp7.500.000, bunganya dikenakan 
PPh Pasal 4 ayat (2) sedangkan jumlah bunga tabungan yang <Rp7.500.000 
tidak dikenakan pajak.  
 
2. Pajak penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham dibursa 
efek (final):  
 Bukan saham pendiri = 0,6 % x jumlah bruto nilai transaksi penjualan  
 Pemilik saham pendiri = 0,15% dari nilai saham perusahaan 
   
3. Penjualan saham milik perusahaan modal ventura: sebesar 0,1% dari 
jumlah bruto 
 
4. Pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga atau diskonto obligasi 
yang dijual di bursa efek:  
 
 55 
 
Catatan:  
 Untuk bunga/diskonto obligasi yang ditempatkan di dalam negeri sebesar 
15% (lima belas persen) dari jumlah bruto.  
 Untuk bunga/diskonto obligasi yang ditempatkan di luar negeri sebesar 20 
% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.  
 
5. Pajak penghasilan atas hadiah undian (final):  
Atas hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% (duapuluh lima persen) 
dari jumlah bruto hadiah atau nilai pasar hadiah.  
 
6.  Pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah 
dana dan atau bangunan (final):  
10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau 
bangunan  
 
7. Pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi: 
berdasar PeraturanPemerintahNomor 51 tahun 2008 sebagaimana 
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2009 tentang Pajak 
Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, pasal 3 bahwa 
jenis-jenis penghasilan dan tarif pemotongan-pemotongan  yang dikenakan PPh Pasal 4 
ayat2 diantaranya adalah:  
       
 No. Jenis Penghasilan Tarif  
     
     
 1. Jasa Perencanaan/Pengawasan   
  a. Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha 4%  
  b. Penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha 6%  
 2. Jasa Pelaksana Konstruksi   
  a. Penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil 2%  
  b. Penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha 3%  
  c. Penyedia Jasa selain huruf a dan huruf b 4%  
     
 
Catatan: 
 
o FINAL bagi usaha kecil berdasar  sertifikasi lembaga yang berwenang 
serta mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp 1 miliar.  
o  TIDAK FINAL bagi usaha besar.  
 
 
 
 56 
 
BAB 8 
PAJAK PENGHASILAN PASAL  24 
 
 
 
 
A. PAJAK PENGHASILAN PASAL 24  
 
Pajak dipungut diluar negeri atas penghasilan wajib pajak di luar negeri.  
 
Pajak yang dibayar diluar negeri atas penghasilan luar negeri yang 
diperoleh wajib pajak dalam negeri (WPDN) boleh dikreditkan dengan 
pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama, sebesar pajak yang 
dibayarkan diluar negeri ini  tetapi tidak boleh melebihi penghitungan 
pajak yang terutang berdasar  keputusan No. 164/KMK.03/2002. Untuk 
itu harus dicari batas maksimum kredit pajak luar negeri (KPLN). 
 
B. BATAS MAKSIMUM KPLN DIAMBIL YANG TERENDAH DARI KETIGA UNSUR 
BERIKUT:  
 
1. Jumlah pajak yang dibayar / terutang di luar negeri  
2. Penghasilan Luar Negeri x PPh terutang Penghasilan Kena Pajak  
3. Jumlah PPh terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak, dalam hal 
penghasilan kena pajaknya lebih kecil dari penghasilan luar negerinya.  
 
Catatan: 
 
1. Jika Pajak Penghasilan Luar Negeri yang diminta untuk dikreditkan itu 
ternyata dikembalikan maka jumlah pajak yang terutang menurut Undang-
Undang ini harus ditambah dengan jumlah ini  pada tahun 
pengembalian ini  dilakukan. 
2. Jika Penghasilan Luar Negeri berasal dari beberapa Negara maka jumlah 
maksimum KPLN dihitung untuk masing-masing Negara.  
3. Untuk kerugian yang diderita diluar negeri tidak diperhitungkan dalam 
menghitung penghasilan kena pajak. Penghasilan dari Luar Negeri untuk 
tahun-tahun berikutnya dapat dikompensasikan dengan kerugiaan ini .  
4. Dalam hal Pajak dibayarkan di luar negeri lebih besar dari kredit pajak yang 
diperkenankan (PPh Pasal 24), maka kelebihan ini  tidak dapat:  
Diminta kembali (restitusi) 
Dikompensasikan 
Sebagai pengurang penghasilan 
 
 
 57 
 
C. CARA MENCARI PPh PASAL 24 YANG DAPAT DIKREDITKAN DI DALAM NEGERI  
 
1. Cari Penghasilan Kena Pajak 
(PKP) PKP = PNDN + PNLN  
 
Catatan: 
Jika DN rugi diperhitungkan sebagai pengurang dalam menghitung PKP 
 
Jika LN rugi tidak diperhitungkan sebagai pengurang dalam menghitung 
PKP (diabaikan) 
2. Cari Pajak Penghasilan terutang dari Penghasilan Kena Pajak (PKP)  
3. Cari Pajak yang telah dibayar di luar negeri  
4. Cari Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) :  
KPLN = Penghasilan Luar Negeri x PPh terutang Penghasilan Kena Pajak 
5. Bandingkan antara pajak yang telah dibayar di luar negeri (point 3) dengan 
KPLN (point 4) , lalu pilih yang terendah.  
6. Jumlahkan point 5 untuk mencari besarnya PPh Pasal 24 yang dapat 
dikreditkan. Catatan: Jika PKP < PNLN dicari sampai langkah ke dua.  
 
Contoh masalah gawat : 
 
PT. Lancar Terus yang berlokasi di Denpasar selama tahun 2012 memperoleh 
penghasilan baik dari usahanya dari dalam negeri ataupun beberapa 
cabangnya yang berada di luar negeri. Penghasilan netto dari dalam negeri    
Rp 60.000.000.000 sedangkan usahanya di luar negeri, seperti Hongkong 
memperoleh penghasilan Rp 10.000.000.000, Korea memperoleh penghasilan 
Rp4.000.000.000, sedangkan di China mengalami rugi Rp 5.000.000.000. Pajak 
yang telah dibayar diluar negeri sebesar 30% untuk Hongkong, 40% untuk 
Korea, dan 25% untuk China. Berapa PPh Pasal 24 yang diperkenankan untuk 
dikreditkan dengan pajak penghasilan yang harus dibayar di dalam negeri? 
 
Perhitungan Pajak Penghasilan Psl 24 yang Dapat Dikreditkan di Dalam Negeri. 
 1.  Mencari Penghasilan Kena Pajak (PKP) :  
Penghasilan Neto Dalam Negeri Rp 60.000.000.000 
Penghasilan Neto Luar Negeri  
 Hongkong Rp 10.000.000.000  
 Korea Rp 4.000.000.000+  
Jumlah Penghasilan Neto Luar Negeri Rp  14.000.000.000 + 
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 74.000.000.000 
 58 
 
2. Mencari Pajak Penghasilan Terutang dari Jumlah PKP Sebesar =               
Rp 74.000.000.000 : 25% x Rp 74.000.000.000 = Rp 18.500.000.000  
 
3. Mencari Pajak yang Telah Dibayar atas Penghasilan di Luar Negeri =            
Rp 3.000.000.000:  40% x  Rp 4.000.000.000 = Rp 1.600.000.000 
 
4. Mencari Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) :  
· Hongkong :  Rp 10.000.000.000/ Rp74.000.000.000 x Rp 18.500.000.000  
= Rp 2.500.000.000  
· Korea  : Rp 4.000.000.000 / Rp 74.000.000.000 x Rp 18.500.000.000  
= Rp1.000.000.000  
 
5. PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia atas penghasilan di 
Hongkong sebesar Rp2.500.000.000 (Pilih yang terendah)  
 
PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia atas penghasilan di Korea 
sebesar Rp1.000.000.000 (Pilih yang terendah)  
 
6. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan di dalam negeri : Rp 
2.500.000.000 + Rp 1.000.000.000 = Rp 3.500.000.000  
 59 
 
BAB 9 
PAJAK PENGHASILAN PASAL  25 
 
 
 
 
A. Pengertian PPh Pasal 25  
 
Angsuran yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam tahun berjalan 
setiap masa pajak.  
 
B. Cara mencari angsuran pajak penghasilan Pasal 25  
 
PPh Terutang Menurut SPT Tahunan – Kredit Pajak 
12 
 
Kredit Pajak adalah suatu jumlah yang merupakan angsuran pajak, baik yang 
telah dipungut/dipotong maupun dibayar pada tahun pajak yang bersangkutan 
yang meliputi PPh Pasal 21, 22, 23, 24 yang telah dibayar dalam tahun pajak. 
 
C.  Cara Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 
Penghasilan Netto Rp xxx 
Penghasilan Tidak Teratur Rp xxx  - 
Penghasilan Teratur Rp xxx 
Kompensasi Kerugiaan (Max 5 Thn) Rp xxx - 
Penghasilan  Netto Usaha Rp xxx 
PTKP Rp xxx- 
PKP Rp xxx 
Penghasilan Terutang : PKP x PPh Pasal 17 Rp xxx 
Kredit Pajak Penghasilan :   
 PPh Pasal 21 Rp xxx  
 PPh Pasal 22 Rp xxx  
 PPh Pasal 23 Rp xxx  
 PPh Pasal 24 Rp xxx  +  
Jumlah kredit Pajak  Rp xxx – 
Pajak yang masih harus dibayar sendiri  Rp xxx 
 
Angsuran PPh 25 untuk tahun ybs = Pajak yang masih harus dibayar sendiri 
dibagi 12. 
 
 
 
 60 
 
Contoh masalah gawat : 
 
Tn. Janayasa (K/1) mempunyai data penjualan tahun 2013 dengan 
penghasilan neto sebesar Rp 200.000.000 sedangkan ditahun 2008 menderita 
kerugian Rp15.000.000. Pajak yang telah dibayar antara lain PPh Pasal 21 
Rp2.000.000, PPh Pasal 22 Rp 100.000, PPh Pasal 23 Rp 500.000 dan PPh 
Pasal 24 yang dapat dikreditkan sebesar Rp 1.500.000. Berapakah Angsuran 
PPh Pasal 25 tahun 2013? 
 
Perhitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25:    
Penghasilan Neto Rp    200.000.000 
Penghasilan Tidak teratur Rp.                          0 
Penghasilan Teratur Rp    200.000.000 
Kompensasi Kerugian tahun (2008) Rp 15.000.000 
Penghasilan Neto Usaha Rp    185.000.000 
PTKP (K/1) Rp 28.350.000  
    
Penghasilan Kena Pajak   Rp 156.650.000 
Pajak Penghasilan Terhutang :   
5 %  x Rp 50.000.000  = Rp      2.500.000 
15% x Rp106.650.000  = Rp   15.997.500 + 
Jumlah Pajak Penghasilan Terhutang Rp   18.497.500 
Kredit Pajak Penghasilan    
PPh Pasal 21 = Rp  2.000.000  
PPh Pasal 22 = Rp   100.000  
PPh Pasal 23 = Rp   500.000  
PPh Pasal 24 = Rp  1.500.000 + 
Jumlah kredit Pajak     Rp       4.100.000 - 
Pajak Yang Masih Harus Dibayar Sendiri   Rp    14.397.500 
 
Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 = Rp 14.397.500 / 12 = Rp1.199.791,67 
 61 
 
BAB 10 
PAJAK PENGHASILAN PASAL  26 
 
 
 
 
 
A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26  
 
Pajak yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari 
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain 
bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan subjek 
pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak 
badan.  
 
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha 
atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, 
adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri 
yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan ini  (beneficial 
owner).  
 
B. SUBJEK PAJAK  
 
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang berarti orang pribadi yang tidak 
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 
hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan Badan yang tidak didirikan dan tidak 
bertempat kedudukan di Indonesia.  
 
C. PEMOTONG PAJAK 
  
1. Badan Hukum Lainnya ( PT, Fa, Yayasan, Perhimpunan, Kongsi, BUT, dll)  
2. Perseroan Yang Ditunjuk Oleh DJP  
 
D. OBJEK PAJAK  
 
1. Deviden  
2. Bunga termasuk premium, diskonto, premi SWAP, dan imbalan sehubungan 
dengan jaminan pengembalian utang  
3. Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta  
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan  
5. Hadiah dan Penghargaan  
6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya  
7. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali pengalihan harta 
 62 
 
berupa tanah dan / bangunan  
8. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.  
 
E. TARIF (BERSIFAT FINAL) 
  
a. PPh Pasal 26 sebesar 20% dari Penghasilan Bruto :  
1) Deviden  
2) Bunga termasuk premium, diskonto, premi SWAP, dan imbalan 
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang  
3) Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta  
4) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan  
5) Hadiah dan Penghargaan  
6) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya  
 
b. PPh Pasal 26 sebesar 20% dari Perkiraan Penghasilan Netto :  
 
1) Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali pengalihan harta 
berupa tanah dan / bangunan  
2) Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri 
(Keputusan Menteri Keuangan No.624/KMK.04/1994) yaitu : 
a) 20% x 50% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di 
luar negeri  
b) 20% x 10% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi 
LN oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia  
c) 20% x 5% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN 
oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia  
 
c. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau 
perusahaan antara conduit company atau spesial purpose pengalihan 
saham company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang 
memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa 
dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau 
BUT di Indonesia  
 
d. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari 
suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan ini  ditanamkan kembali 
di Indonesia.  
 
F. PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)  
 
Perjanjian Pajak antara dua negara (bilateral) yang mengatur mengenai 
pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh 
penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both 
 63 
 
Contracting State), dimana pembagian hak pemajakan ini  diatur dengan 
tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak 
berganda.  
 
Catatan :  
Dalam hal telah dilakukan perjanjian penghindaran pajak berganda antara 
pemerintah RI dan negara lain (Treaty Partner), penghitungan besarnya 
PPh 26 didasarkan pada tax treaty ini  (dibebaskan dari pengenaan 
PPh Pasal 26 atau dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah). 
 
Contoh Perhitungan PPh Pasal 23 dan Pasal 26 
 
1. Pada  tanggal  17  Agustus  2010  PT.  Jani Wangun  membayar  bunga  atas  
pinjaman kepada PT. Lanjutin Aja sebesar Rp70.000.000.PPh pasal 23 yang 
harus dipotong oleh PT. Jani Wangun adalah:  
PPh Pasal 23: 15 %  x Rp70.000.000 = Rp10.500.000  
 
2. PT.Lintah darat membayar tagihan sewa bus (untuk jemputan karyawan) 
kepada PO. Terima Kasih sebesar Rp 6.600.000 (termasuk PPN 10%). Hitung 
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT. Mantab Nyok!  
Pajak Penghasilan atas Sewa sebesar 
15 % x 10%  x Penghasilan bruto (tanpa PPN) 
1,5% x (100/110 x Rp6.600.000) = Rp 90.000 
Yang melakukan kewajiban pemotongan-pemotongan  PPh Pasal 23 adalah PT. Mantab Nyok 
 
3. PT. Fast food Indonesia membayarkan royalti kepada PT. Fast food yang ada di 
Jepang atas licency yang diberikan sebesar Rp2.500.000.000. Berapa PPh 
dipotong atas royalti ini ?  
PPh Pasal 26 yang dipotong : 20% x Rp2.500.000.000 = Rp500.000.000  
 64 
 
BAB 11 
SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) 
 
 
 
 
A. PENGERTIAN SURAT PEMBERITAHUAN  
 
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak dipakai  untuk 
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak, objek pajak, penghasilan 
bukan objek pajak serta harta dan kewajiban milik wajib pajak, menurut 
ketentuan perundang-undangan perpajakan.  
 
B. FUNGSI SURAT PEMBERITAHUAN  
 
Bagi Wajib Pajak Penghasilan:  
 
1. Sebagai sarana pelaporan dan pertanggungjawaban penghitungan jumlah 
pajak yang sebenarnya terutang.  
2. Untuk melaporkan pembayaran dan pelunasan pajak yang telah dilakukan 
sendiri ataupun yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak dalam satu 
tahun pajak ataupun satu masa pajak.  
 
Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP): 
 
1. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan 
penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang. 
2. Untuk melaporkan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran  
3. Untuk melaporkan pembayaran dan pelunsan pajak yang telah dilakukan 
sendiri oleh PKP ataupun oleh pihak lain dalam satu masa pajak.  
 
C. JENIS SURAT PEMBERITAHUAN  
 
Secara garis besar surat pemberitahuan dibedakan menjadi 2, yaitu: 
  
1. SPT masa yang merupakan surat yang oleh wajib pajak dipakai  untuk 
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam satu 
masa pajak.  
 
2. SPT tahunan yang merupakan surat yang oleh wajib pajak dipakai  untuk 
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam satu 
tahun pajak. 
 
 
 
D. BATAS WAKTU PEMBAYARAN PAJAK  
 
1. Untuk Pajak Masa:  
 
Untuk PPh yang terutang melalui pemotongan-pemotongan  paling lambat tanggal 10 
bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. 
Untuk PPh yang disetor sendiri paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya 
setelah berakhirnya masa pajak. 
 
2. Untuk Pajak Tahunan: 
Selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun 
pajak. 
 
E. BATAS WAKTU PELAPORAN PAJAK  
 
1.  Untuk Pajak Masa:  
Selambat-lambatnya tanggal 20 setelah berakhirnya masa pajak 
 
2. Untuk Pajak Tahunan: 
Bagi WPOP : selambat-lambatnya akhir bulan ketiga setelah berakhirnya 
tahun pajak 
Bagi Badan Usaha: selambat-lambatnya akhir bulan keempat setelah 
berakhirnya tahun pajak. 
 
F. SANKSI KETERLAMBATANATAU TIDAK MENYAMPAIKAN SURAT 
PEMBERITAHUAN 
 
1. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT dikenakan denda:  
SPT Masa PPN sebesar Rp500.000, sedangkan SPT Masa lainnya sebesar 
Rp100.000.  
SPT Tahunan PPh WPOP sebesar Rp100.000, sedangkan SPT Tahunan PPh 
Badan Usaha sebesar Rp1.000.000.  
 
2. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar 
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar 
karena kealpaan wajib pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada 
pendapatan negara, dipidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda 
setinggi-tingginya 2 kali lipat pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.  
 
3. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan atau 
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dengan sengaja 
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana 
penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak 
terutang yang tidak atau kurang bayar.  
 66 
 
 
G. SANKSI PERPAJAKAN  
 
Dalam Undang-Undang Perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi 
administrasi dan sanksi pidana. Ancaman terhadap pelanggaran suatu norma 
perpajakan ada yang diancam dengan sanksi administrasi saja, ada yang 
diancam dengan sanksi pidana saja dan ada pula yang diancam dengan sanksi 
administrasi dan pidana. Perbedaan sanksi administrasi dan sanksi pidana 
menurut undang-undang perpajakan adalah:  
 
1. Sanksi Administrasi  
 
Merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang berupa 
bunga dan kenaikan. Menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan 
ada 3 macam sanksi administrati, yaitu: denda, bunga, kenaikan.  
 
2. Sanksi Pidana  
 
Merupakan siksaan dan penderitaan, menurut undang-undang perpajakan 
ada 3 macam sanksi pidana, yaitu: denda pidana, kurungan, dan penjara.  
Denda Pidana 
 
Berbeda dengan sanksi berupa denda administrasi yang hanya diancam / 
dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan peraturan 
perpajakan, sanksi berupa denda pidana selain dikenakan kepada wajib 
pajak ada juga yang diancam kepada pejabat pajak atau kepada pihak 
ketiga yang melanggar norma. Denda pidana dikenakan kepada tindak 
pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan. 
Pidana Kurungan 
 
Pidana kurungan hanya diancam kepada tindak pidana yang bersifat 
pelanggaran. Dapat ditujukan kepada wajib pajak, pihak ketiga. 
 
Pidana penjara sama halnya pidana kurungan, merupakan hukuman 
perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancam terhadap kejahatan. 
Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditunjukan kepada pihak ketiga, 
adanya kepada pejabat dan kepada wajib pajak. 
 l 
 
H. TARIF PAJAK YANG BERSIFAT FINAL DAN TIDAK FINAL 
 
1. Bunga Deposito dan tabungan  
 
Badan Hukum Lokasi Tarif PPh 
Indonesia Indonesia 20% Final 
Indonesia Luar Negeri 20% Final 
Luar Negeri Indonesia 20% Final 
Luar Negeri Luar Negeri PPh Pasal 24 
 
2. Sewa  
a) Barang Tidak Bergerak (Tanah, Bangunan) baik pemiliknya WPOP/Badan  
10% Final 
b) Barang Bergerak 
- Khusus angkutan Darat 2 % Tidak Final 
- Lainnya 4,5% Tidak Final  
 
3. Pembagian Deviden  
10. Penerima WPOP  
 -   Berasal dari WPOP (Fa, Cv) BOP 
 -   Berasal dari Badan (PT) 10% Final 
b.  Penerima Badan  
 - Pemilikan saham < 25%  15% Final 
 - Pemilikan saham > 25% BOP 
 
4. Penjualan Saham 
a.  Melaui Bursa Efek Final tarif 0,15% 
b.  Tidak melaui bursa efek Tidak Final 15 % 
 
5. Hadiah  
a. Tidak Final  
- Penghargaan atas prestasi tertentu tarif pasal 17  
- Sehubungan dengan pemberian jasa dan kegiatan lain tarif pasal 17  
b.  Final : Hadiah Undian 25% 
c.  Bukan Objek Pajak Hadiah langsung karena membeli produk  
 
6. Keuntungan penjualan tanah / bangunan  
a. Final 10% jika yang menjual WPOP/ Badan, dgn syarat barang dagangan  
b. Tidak Final 10% dengan syarat bangunan ini  sebagai Aktiva Tetap.  
 
 
  
 
7. Penyusutan Aktiva Tetap  
 
 Kelompok Harta Masa Tarif Penyusutan Tarif Penyusutan  
 Berwujud Manfaat Metode Garis Metode Saldo  
   Lurus Menurun  
 I. Non Bangunan     
 Kelompok I 4 thn 25% 50%  
 Kelompok II 8 thn 12.5% 25%  
 Kelompok III 16 thn 6.25% 12.5%  
 Kelompok IV 20 thn 5% 10%  
 II. Bangunan     
 Permanen 20 thn 5% -  
 Tidak Permanen 10 thn 10% -  
      
 
 
TEORI PPN DAN FAKTUR PAJAK 
 
 
 
 
 
A. DASAR HUKUM  
 
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan 
Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah diubah oleh UU No. 18 Tahun 
2000dan saat ini telah diubah menjadi UU No. 42 Tahun 2009. Dalam Pasal 20 
UU No.8 Tahun 1983 ditentukan bahwa UU ini dapat disebut Undang – Unda 
ng Pajak Pertambahan Nilai 1984.  
 
B. KARAKTERISTIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI  
1. Pajak Tidak Langsung  
2. Pajak Objektif  
3. Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri  
4. Bersifat Multi Satge Levy (dikenakan pada setiap jalur distribusi barang / 
jasa)  
5. Perhitungan dengan Indirect Substraction Method (mengurangkan PPN 
yang dipungut penjual atas penyerahan barang/jasa dengan PPN yang 
dibayar kepada penjual lain atas perolehan barang/jasa)  
6. Tarif tunggal  
 
C.  MEKANISME PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 
  
1. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai yang bersifat umum:  
 
a. Setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyerahkan Barang Kena 
Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) diwajibkan membuat Faktur 
Pajak untuk memungut Pajak yang terutang. Pajak yang dipungut 
dinamakan Pajak Keluaran / PK (Output Tax). Hal ini sesuai dengan 
basis akrual (Accrual Bassis) yang dipakai  oleh UU PPN 1984.  
 
b. Pada saat Penguasaha Kena Pajak ini  diatas membeli Barang Kena 
Pajak atau menerima Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak lain, 
juga membayar pajak yang terutang, yang dinamakan Pajak Masukan / 
PM (Input Tax)  
c. Pada akhir masa Pajak, Pajak masukan ini  dikreditkan dengan 
pajak keluaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal jumlah 
 
 
Pajak Keluaran lebih besar dari pada jumlah Pajak Masukan, maka 
kekuranganya dibayar ke kas negara selambat-lambatnya akhir bulan 
berikutnya. (PK > PM = Kurang Bayar)  
 
d. jika  Jumlah Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, 
maka kelebihan pembayaran pajak masukan ini dapat dikompensasikan 
dengan utang pajak dalam masa pajak berikutnya atau diminta kembali 
(restitusi). (PM > PK = Lebih Bayar) 
 
e. Pada akhir masa pajak, setiap Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan 
pemungutan dan pembayaran Pajak yang terutang kepada Kepala Kantor 
Pelayanan Pajak (KPP) setempat, selambat-lambatnya akhir bulan 
berikutnya.  
 
2. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai yang bersifat khusus:  
Mekanisme ini diatur dalam Pasal 16A UU PPN Tahun 1984, sebagai berikut:  
a. Instansi pemerintah, badan atau orang yang ditunjuk sebagai Pemungut 
PPN.  
b. Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa 
Kena Pajak kepada pemungut PPN, wajib membuat Faktur Pajak.  
c. Pada saat pemungut pajak ini  melakukan pembayaran Harga Jual 
atau penggantian, “memungut” pajak yang terutang, kemudi aan 
menyetorkan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama 
Pengusaha Kena Pajak ini  pada butir (b) dan melaporkan kepada 
KPP setempat.  
d. SSP ini  pada butir (c) kemudiaan diserahkan kepada Pengusaha 
Kena Pajak yang bersangkutan.  
 
D. OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI  
 
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas:  
1. Penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) didalam daerah pabean yang 
dilakukan oleh pengusaha.  
2. Impor Barang Kena Pajak (BKP).  
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan didalam daerah pabean 
oleh pengusaha.  
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean didalam daerah 
pabean.  
5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean didalam daerah pabean.  
6. Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak.  
7. Ekspor BKP tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (UU PPN pasal 4 
ayat (1))  
8. Ekspor JKP oleh Pengusaha Kena Pajak (UU PPN pasal 4 ayat (1))  
  
 
 
E. YANG TERMASUK DALAM PENGERTIAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK 
(BKP)  
 
Penyerahan BKP yang telah diatur dalam Pasal 1A angka 1 Undang-Undang 
Nomor 18 Tahun 2000:  
1. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian.  
2. Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian 
leasing.  
3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang.  
4. Pemakaian sendiri atau pemberiaan cuma – cuma atas  BKP  
5. Persediaan BKP dan Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk 
diperjual belikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan  
6. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP 
antarcabang.  
7. Penyerahan BKP secara konsinyasi  
8. Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang 
dilakukan berdasar  prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap 
langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP  
 
F. TIDAK TERMASUK DALAM PENGERTIAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK 
(BKP)  
 
Bukan Penyerahan BKP/ tidak dikenakan PPN (Pasal 1A angka 2 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2000):  
1. Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam KUHD.  
2. Penyerahan BKP untuk jaminan hutang-piutang.  
3. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang dan antar cabang bagi PKP yang 
memperoleh izin melakukan pemusatan tempat pajak terutang dari Dirjen 
Pajak.  
4. Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, 
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang 
melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah PKP.  
5. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk  diperjualbelikan  
  
 
 
G. TIDAK TERMASUK BARANG KENA PAJAK (BKP)  
 
Jenis Barang Tidak Kena Pajak (Pasal 4A ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-
Undang PPN 1984):  
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung 
dari sumbernya, seperti : minyak mentah, gas bumi, panas bumi, pasir dan 
kerikil, biji timah, biji emas, dst.  
2. Barang – barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuh kan oleh rakyat 
banyak, seperti : beras, gabah, jagung, sagu, gandum, kedelai, garam baik 
yang beryodium atau tidak, daging, telur, buah, dan sayur-sayuran.  
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, 
warung dan sejenisnya, tidak termasuk makanan dan minuman yang 
diserahkan oleh usaha jasa boga atau cattering.  
4. Uang, emas batangan, dan surat – surat berharga (sa ham, obligasi).  
 
 
H. TIDAK TERMASUK JASA KENA PAJAK  
1.   Jasa pelayanan kesehatan medis  
2.   Jasa pelayanan sosial  
3.   Jasa pengiriman surat dengan perangko  
4.   Jasa keuangan  
5.   Jasa asuransi  
6.   Jasa keagamaan  
7.   Jasa pendidikan  
8.   Jasa kesenian dan hiburan  
9.   Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan  
10. Jasa angkutan umum di darat dan air  
11. Jasa tenaga kerja  
12. Jasa perhotelan  
13. Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan 
pemerintahan secara umum  
14. Jasa penyediaan tempat parkir  
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam  
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos  
17. Jasa boga atau katering  
 
I. KEWAJIBAN PKP (Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984)  
 
1. Memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) 
2. Melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak / PKP 
(Pasal 2 ayat (2) UU KUP) 
3. Memungut Pajak Terutang 
 73 
 
4. Membuat Faktur Pajak / FP (Pasal 13 UU PPN 1984) c) Menyetor Pajak 
terutang 
5. Wajib mencatat beberapa  perolehan dan penyerahan BKP/JKP dalam 
pembukuan dan pengkreditan PM sesuai dengan ketentuan (Pasal 9 UU 
KUP) 
6. Melaporkan Pajak terutang 
7. Mengisi dan menyampaikan SPT Masa PPN (Pasal 3 UU KUP) 
 
J. SAAT PEMBUATAN FAKTUR PAJAK  
 
1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;  
2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi 
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan 
Jasa Kena Pajak;  
3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian 
tahap pekerjaan; atau  
4. saat lain yang diatur dengan atau berdasar  Peraturan Menteri Keuangan  
 
K. NOMOR FAKTUR PAJAK  
 
Kode dan nomor seri faktur pajak terdiri dari 16 digit yaitu:  
1. 2 digit kode transaksi 
2. 1 digit kode status 
3. 13 digit nomor seri faktur pajak yang ditentukan oleh DJP  
 
 0 0  0 . 0 0 0 - 0 0 . 0 0  0 0 0 0 0  0  
          
  
Kode 
                     
                      
Transaksi  Nomor Seri Faktur Pajak  
 
Kode Status 
 
 
 
L. SYARAT PAJAK MASUKAN DAPAT DIKREDITKAN 
  
1. Pengusaha yang melakukan pengkreditan telah berstatus PKP (sudah 
dikukuhkan).  
2. Adanya bukti Pajak Masukan dalam bentuk Faktur Pajak Standar / Khusus 
yang sah, benar dan lengkap.  
3. Dilakukan dalam masa pajak yang sama, namun masih memungkinkan 
pada masa pajak berikutnya, sepanjang tidak melampaui bulan ketiga 
  
 
setelah berakhirnya tahun buku dan belum dibebankan sebagai biaya 
serta belum dilakukan pemeriksaan.  
4. Pajak Masukan yang dikreditkan berhubungan langsung dengan kegiatan 
usaha yaitu pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran 
dan manajemen dengan syarat ada kaitannya dengan penyerahan yang 
terutang PPN dan sifatnya tidak untuk tujuan konsumtif Direksi, Dewan 
Komisaris, Karyawan, dan Pemegang Saham.  
 
2. PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN  
 
1. Yang dibayar untuk perolehan BKP / JKP atau untuk pemanfaatan BKP / 
JKP dari luar daerah pabean, sebelum pengusaha dikukuhkan menjadi 
Pengusaha Kena Pajak.  
2. Yang dibayar untuk perolehan BKP / JKP yang tidak mempunyai 
hubungan langsung dengan kegiatan usaha.  
3. Yang dibayar untuk perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor 
jenis sedan, danstation wagon kecuali jika barang ini  adalah untuk 
persediaan barang dagangan atau untuk dipakai  langsung sesuai 
dengan bidang usahanya, misalnya usaha persewaan kendaraan 
bermotor.  
4. Yang dibayar untuk pembelian yang sifatnya mempunyai tujuan 
konsumtif Direksi, Dewan Komisaris, Karyawan dan Pemegang Saham  
5. Yang dibayar untuk perolehan BKP / JKP yang berhubungan langsung 
dengan kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahan BKP / JKP yang 
PPN-nya ditanggung Pemerintah (DTP), dibebaskan dari pengenaan PPN.  
6. Bukti pungutan Pajaknya berupa Faktur Pajak sederhana.  
7. Yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi persyaratan.  
8. Yang ditagih dengan penerbitan ketetapan Pajak.  
9. Yang ditemukan pada saat pemeriksaan tetapi belum dilaporkan dalam 
SPT PPN.  
10. Faktur Pajak Standarnya cacat.  
 
 
N. TARIF DAN CARA MENGHITUNG PAJAK (Pasal 7 UU PPN)  
 
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).  
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% 
(nol persen).  
3. Tarif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi 
paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) 
yang perubahan tarif diatur dengan Peraturan Pemerintah.  
 
  
 
O. SYARAT TERUTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI  
 
Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi tiga syarat yang 
bersifat kumulatif dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu:  
1. Barang atau jasa yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa 
Kena Pajak  
2. Penyerahannya dilakukan di dalam Daerah Pabean  
3. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiaan usaha atau pekerjaannya.  
 
P. SUBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI  
 
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Otomatis:  
a. Pabrikan/Produsen termasuk Pengusaha Real Estate/Industrial 
estate/Developer.  
b. Importir, Indentor.  
c. Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pabrikan dan 
atau Importir.  
d. Agen Utama dan Penyalur Utama dari Pabrikan dan atau Importir.  
e. Pemegang Hak Patent dan Merk Dagang.  
f. Pemborong  bangunan dan harta tetap lainnya.  
 
2. Pengusaha Kecil Yang Dikukuhkan Menjadi Pengusaha Kena Pajak 
(PKP) Yang bukan merupakan subjek PPN adalah:  
 
a. Pengusaha yang menghasilkan barang-barang pertanian, perkebunan, 
peternakan, kehutanan, perikanan yang belum diolah lebih lanjut.  
b. Pengusaha Kecil (Mereka juga tidak boleh memungut PPN).  
c. Pengusaha Jasa, untuk jasa-jasa yang tidak dikenai pajak sesuai dengan 
UU No.42 tahun 2009.  
 
 
 
Q. PIHAK YANG WAJIB MEMBAYAR/MENYETORKAN DAN MELAPOR PPN/PPnBM  
 
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)  
2. Pemungut PPN / PPnBM adalah :  
a. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara 
b. Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah 
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 
 
 
 
R.  PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM) 
  
 
 
Karakteristik PPnBM dalam Pasal 5 dan 10 UU PPN 1984 adalah sebagai 
berikut: 
1.  PPnBM merupakan pungutan tambahan di samping PPN 
2. Prinsip pemungutan PPnBM hanya dikenakan satu kali yaitu pada saat:  
a. Penyerahan oleh pabrikan atau produsen BKP yang tergolong mewah, 
atau  
b. Impor BKP yang tergolong mewah  
Sehingga penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai PPnBM.  
3. PPnBM yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan PPN atau 
PPnBM  
 
S.  TARIF PPN DAN PPnBM  
 
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif pajak dengan 
DPP. Tarif PPN dan PPnBM adalah sebagai berikut: 
 
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)  
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi 
paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur 
dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 7 ayat (3) UU PPN)  
2. Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas ekspor BKP berwujud, BKP tidak 
berwujud, dan JKP  
3. Tarif PPnBM adalah serendah - rendahnya 10% dan setinggi - tingginya 
200%  
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0%  
 
 
 
 
 

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) 
 
 
 
 
A. DASAR HUKUM  
 
Undang – Undang No.21 Tahun 1997 yang telah diubah  dengan Undang – 
Undang N0.  
20 Tahun 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001. 
 
Terakhir diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang 
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 
 
B. PENGERTIAN BPHTB  
 
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas 
perolehan hak atas tanah dan bangunan. Adapun pengertian perolehan hak 
atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang 
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi 
atau badan.  
 
C. PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN MELIPUTI:  
 
1. Pemindahan hak karena :  
Jual Beli 
Tukar Menukar 
Hibah Wasiat 
Penggabungan Usaha 
Waris 
Hibah 
Pemasukan dalam perseroan / Badan hukum lain 
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak 
Penunjukan pembeli dalam lelang 
Peleburan Usaha 
Pemekaran Usaha 
Pelaksanaan Putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap 
 
2. Pemberian hak baru 
karena : Kelanjutan 
Pelepasan Hak Di luar 
pelepasan hak 
 
  
 
D. HAK ATAS TANAH SEBAGAI PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN 
Hak milik 
 
Hak guna usaha 
Hak guna 
bangunan Hak 
pakai 
 
Hak milik atas satuan rumah 
susun Hak pengelolaan 
 
E. SUBJEK PAJAK BPHTB  
Orang pribadi/badan yang memperoleh hak atas tanah atau bangunan (pasal 
86 ayat 1). 
  
F. OBJEK PAJAK BPHTB  
 
Perolehan hak atas tanah atau bangunan (pasal 85 ayat 1) yang dapat berupa:  
1. Tanah termasuk tanaman di atasnya  
2. Tanah dan Bangunan  
3. Bangunan  
 
G. OBJEK PAJAK YANG TIDAK DIKENAKAN BPHTB  
 
Objek Pajak yang tidak dikenakan BPHTB ditetapkan dalam Pasal 3 UU No.21 
Tahun 1997 Jo UU No.20 Tahun 2000, yaitu:  
1. Objek Pajak yang diperoleh Perwakilan diplomatik, konsulat berdasar  
asas perlakuan timbal balik.  
2. Objek pajak yang diperoleh negara untuk menyelenggarakan pemerintahan 
dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum dan 
yang semata – mata tidak dipakai  untuk mencari keuntungan.  
3. Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional 
yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan dengan syarat tidak 
melakukan atau menjalankan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan / 
perwakilan organisasi ini .  
4. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak 
atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak ada perubahan nama.  
5. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi / badan karena wakaf.  
6. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi / badan yang dipakai  untuk 
kepentingan ibadah.  
 
 
 
 
  
 
H. TARIF BPHTB  
Tarif BPHTB adalah paling tinggi sebesar 5% (pasal 88 ayat 1).  
 
I. DASAR PENGENAAN PAJAK  
 
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.  
 
Yang dimaksud Nilai Perolehan Objek Pajak adalah dalam hal : 
a. Jual Beli adalah harga transaksi  
b. Tukar Menukar adalah Nilai Pasar  
c. Hibah adalah Nilai Pasar  
d. Hibah Wasiat adalah  Nilai Pasar  
e. Waris adalah Nilai Pasar  
f. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum lainnya adalah Nilai Pasar  
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah Nilai Pasar  
h. Peralihan Hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai 
kekuatan hukum adalah Nilai Pasar  
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak 
adalah Nilai Pasar  
j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan di luar pelepasan hak 
adalah Nilai Pasar  
k. Penggabungan usaha adalah Nilai Pasar  
l. Peleburan usaha adalah Nilai Pasar  
m. Pemekaran usaha adalah Nilai Pasar  
n. Hadiah adalah Nilai Pasar  
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah Harga Transaksi yang 
Tercantum dalam Risalah Lelang  
p. Pemberian hak baru  
 
jika  Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah 
daripada Nilai Jual Objek Pajak Yang dipakai  dalam pengenaan PBB pada 
tahun terjadinya perolehan dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah 
Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan. 
jika  Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan belum ditetapkan, 
besarnya Nilai Jual Objek Pajak bumi dan bangunan ditetapkan oleh 
menteri. 
 
Jika didalam masalah gawat  terdapat dua nilai yaitu nilai perolehan dan nilai 
jual, maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan pajak adalah nilai 
yang terbesar. 
 
J. NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NPOPTKP)  
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara 
  
 
regional serendah-rendahnya Rp 60.000.000 (pasal 87 ayat 4), kecuali 
dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima 
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis 
keturunuan harus satu derajat ke atas dan ke bawah dengan pemberi hibah 
wasiat termasuk suami/istri, maka nilai NPOPTKP ditetapkan secara 
regional serendah-rendahnya Rp 300.000.000 (pasal 87 ayat 5).  
Untuk wilayah Bali NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,- 
untuk semua transaksi selain waris dan hibah, untuk waris dan hibah 
ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,-  
 
K. UNTUK BPHTB YANG TERUTANG DARI WARIS, HIBAH WARIS SEBESAR 50% 
DARI BPHTB YANG SEHARUSNYA TERUTANG.  
 
Contoh masalah gawat  1:  
 
Bapak Ronda membeli tanah dan bangunan dengan nilai perolehan 
objek pajak (harga transaksi) Rp. 70.000.000. NPOPTKP yang ditetapkan 
pemerintah daerah setempat adalah Rp. 60.000.000. Berapakah besarnya 
BPHTB terutang oleh Bapak Ronda?  
 
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp  70.000.000 
NPOPTKP Rp    60.000.000 - 
NPOPKP Rp  10.000.000 
BPHTB terutang 5% x Rp10.000.000 = Rp500.000 
 
Contoh masalah gawat  2: 
 
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan 
bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp. 700.000.000. Berapa 
BPHTB terutang atas warisan ini  jika ditetapkan NPOPTKP sebesar 
Rp350.000.000? 
 
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 700.000.000 
NPOPTKP Rp 350.000.000 - 
NPOPKP Rp 350.000.000 
BPHTB yang seharusnya terutang :  5% x Rp350.000.000 = Rp 17.500.000 
BPHTB terutang : 50% x Rp  17.500.000 = Rp 8.750.000 
 
 
L. SURAT KETETAPAN BPHTB KURANG BAYAR  
 
Ketentuan tentang surat ketetapan BPHTB kurang bayar ditetapkan 
dalam Pasal 11 UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB jo UU No.20 Tahun 
2000 adalah sebagai berikut :  
a. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah ayat terutang pajak, Dirjen Pajak 
dapat menerbitkan surat ketetapan BPHTB kurang bayar jika  
  
 
berdasar  hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah 
pajak yang terutang kurang bayar.  
b. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam surat ketetapan BPHTB 
kurang bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 
sebesar 2% sebulan, jangka waktu 24 bulan, dihitung mulai saat 
terutanganya pajak sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan 
BPHTB kurang bayar.  
 
Contoh masalah gawat  3: 
Seorang wajib pajak memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 21 
Maret 2012 
Nilai Perolehan Wajib Pajak Rp 110.000.000 
NPOPTKP  Rp   60.000.000-  
NPOPKP Rp   50.000.000 
BPHTB Terutang : 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000 
 
berdasar  hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 31 
Desember 2012 ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang 
menunjukan bahwa Nilai Perolehan Objek 
 
Pajak sebenarnya adalah sebagai berikut.  
BPHTB yang seharusnya terutang (5% x Rp100.000.000) = Rp 5.000.000 
BPHTB yang telah dibayar = Rp    2.500.000- 
BPHTB yang kurang bayar = Rp 2.500.000 
Sanksi administrasi berupa bunga dari 21 Maret 2012 sampai 31 
Desember 2012 : 10 Bulan x 2% x Rp 2.500.000 = Rp 500.000 
Jadi Jumlah Pajak yang harus dibayar sebesar: 
Rp2.500.000 + Rp500.000 = Rp3.000.000 
 
 
Catatan : 
 
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan 
untuk jangka waktu maksimal 24 bulan. Jadi jika ditemukan data baru 
dalam jangka waktu lebih dari 24 bulan maka sanksi administrasinya 
sebesar 2% tetap dikalikan dengan 24 bulan. 
 
 
 
 
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive