Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
dibayar dari luar negeri ke pelabuhan tujuan sebesar US$1.000. Bea
Masuk yang dibebankan sebesar Rp34.200.000 dan pungutan pabean lain
yang rsemi sebesar Rp16.000.000, kurs yang berlaku saat terjadinya import
adalah US$1 = Rp10.000. Hitunglah Pajak penghasilan Pasal 22 Bea Cukai,
dalam kondisi baik importir memiliki API/APIS/APIT dan jika importir belum
memiliki API/APIS/APIT ?
Perhitungan PPh Pasal 22 Bea Cukai
Kurs yang berlaku = Rp 10.000
Harga import US$ 80,000 x Rp 10.000 = Rp 800.000.000
Biaya Angkut US$ 5,000 x Rp 10.000 = Rp 50.000.000
Biaya Asuransi US$ 1,000 x Rp 10.000 = Rp 10.000.000
Bea Masuk = Rp 34.200.000
Pungutan Pabean dan lain-lain = Rp 16.000.000 +
Nilai Import = Rp 910.200.000
Pajak Penghasilan Psl 22, Bea Cukai bila importir memiliki API/APIS/APIT :
2,5 % x Rp910.200.000 = Rp 22.755.000
Pajak Penghasilan Psl 22, Bea Cukai bila importir tidak memiliki API/APIS/APIT :
7,5 % x Rp910.200.000 = Rp 68.265.000
b. PPh Pasal 22 yang Dipungut Oleh Bendaharawan
Contoh masalah gawat 1
Sebuah perusahaan melakukan penyerahan barang kena pajak kepada suatu
instasi pemerintah seharga Rp1.144.000.000 yang pembayarannya melalui
Kantor pembendaharaan negara. Berapakah Pajak Penghasilan Pasal 22
Bendaharawan yang harus dipotong bila:
1. Harga barang tidak termasuk PPN dan PPnBM.
2. Harga barang termasuk PPN (10%) tapi bukan Barang Mewah.
3. Harga barang termasuk PPN (10%) dan PPnBM (20%).
Perhitungan Pajak:
1. Harga barang tidak termasuk PPN dan PPnBM
Harga barang yang diserahkan Rp1.144.000.000
Pajak Penghasilan pasal 22
1.5 % x Rp1.144.000.000 Rp 17.160.000 -
Jumlah uang yang diterima Rp1.126.840.000
2. Harga barang termasuk PPN (10%) tapi bukan Barang Mewah
Harga barang termasuk PPN (10%) Rp 1.144.000.000
PPN (10%)=Rp1.144.000.000 x 10/110 Rp 104.000.000 -
Harga barang tidak termasuk PPN Rp 1.040.000.000
Pajak Penghasilan pasal 22
1.5 % x Rp1.040.000.000 Rp 15.600.000 -
Jumlah uang yang diterima Rp 1.024.400.000
3. Harga barang termasuk PPN (10%) dan PPnBM (20%)
Harga barang termasuk PPN (10%) dan PPnBM(20%) Rp 1.144.000.000
PPN (10%)=Rp1.144.000.000.000 x 10/130 Rp 88.000.000
PPnBM (20%) = Rp1.144.000.000 x 20/130 Rp 176.000.000 -
Harga barang tidak termasuk PPN dan PPnBM Rp 880.000.000
Pajak Penghasilan pasal 22
1.5 % x Rp 880.000.000 Rp 13.200.000 -
Jumlah uang yang diterima Rp 866.800.000
Contoh masalah gawat 2
Bapak Agung menerima pembayaran atas penjualan meja tulis seharga
Rp750.000 ke Pemprov Bali. Berapakah PPh Pasal 22 yang dipotong atas
penjualan ini ?
Jawab:
Atas transaksi penerimaan pembayaran penjualan penjualan meja tulis
sebesar Rp750.000 ke pemprov Bali tidak terutang PPh Pasal 22, disebabkan
berdasar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 atas
pembayaran dari penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah) meliputi jumlah kurang dari Rp2.000.000 dikecualikan dari
pemungutan PPh Pasal 22.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari deviden, bunga, royalti,
sewa dan penghasilan lain atas penggunaan harta dan imbalan jasa teknik
/manajemen dan jasa lainnya.
B. SUBJEK PAJAK
Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)
C. PEMOTONG PAJAK
1. Badan Pemerintah
2. BUMN / BUMD
3. Badan Hukum Lainya (PT, Fa,Yayasan, Koperasi, Perhimpunan Kongsi, BUT, dll)
4. Perseoan yang ditunjuk oleh DJP
5. WPOP dalam negeri tertentu yang ditunjuk DJP
D. OBJEK PAJAK
1. Deviden
2. Bunga : Premium, Diskonto, Imbalan sehubungan dengan pengembalian hutang
3. Sewa atas penggunaan harta
4. Royalti
5. Hadiah / penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
6. Imbalan jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa lainnya selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.
E. YANG TIDAK DIPOTONG PAJAK
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank
2. Sewa yang dibayarkan/terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi
3. Dividen yang diterima oleh :
a. Perseroan Terbatas WPDN
b. Koperasi
c. Yayasan
d. Organisasi sejenis
4. Bunga obligasi yang diterima/diperoleh perusahaan reksa dana selama lima
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha
5. Bagian yang diterima / diperoleh perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi.
6. Simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
TARIF PAJAK (BERSIFAT TIDAK FINAL)
Tarif 15% x jumlah bruto atas:
1. Deviden badan, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
2. Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan
pengembalian hutang
3. Royalti
4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh 21
Tarif sebesar 2% x jumlah bruto dan tidak termasuk PPN:
1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus
kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasar
kontrak atau perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis
2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain
kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasar
kontrak atau perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan
yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Tarif 2% atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultasi dan jasa lain:
1. Jasa Penilai
2. Jasa Aktuaris
3. Jasa Akuntansi, pembukuan, atestasi laporan keuangan
4. Jasa Perancang (design)
5. Jasa Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi
(migas) kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap
6. Jasa penunjang di bidang penambangan migas
7. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain
migas
8. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan
9. Jasa penebangan hutan
10. Jasa pengolahan limbah
11. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourching service)
12. Jasa perantara dan/atau kegenan
13. Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilaukan
oleg Bursa Efek
14. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan
52
15. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara
16. Jasa mixing film
17. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan,
pemeliharaan dan perbaikan
18. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
dan/atau TV kabel
19. Jasa perawatan alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan
20. Jasa maklon
21. Jasa penyelidikan dan keamanan
22. Jasa penyelenggaraan kegiatan atau event organizer
23. Jasa pengepakan
24. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar
ruang atau media lain untuk penyampaian informasi
25. Jasa pembasmian hama
26. Jasa kebersihan/ cleaning service
27. Jasa catering atau tata boga
Catatan:
pemotongan-pemotongan pajak penghasilan berdasar tarif baru sebesar 2 % ini
dikenakan atas jumlah bruto tidak termasuk PPN sedangkan dalam hal
penerima imbalan tidak memiliki NPWP besarnya tarif pemotongan-pemotongan adalah
lebih tinggi 100% (seratus persen) dari pada tarif yang berlaku.
SAAT TERUTANG, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPh PASAL 23
1. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran,
disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
3. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat
20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23
bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
BAB 7
PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT (2)
A. PENGERTIAN PENGENAAN PPh berdasar PASAL 4 AYAT (2)
berdasar Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 ditentukan
bahwa atas penghasilan berupa deposito dan tabungan tabungan lainnya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan dari pegalihan harta berupa tanah dan atau bangunan dan
pengahasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
B. SIFAT
Menurut keputusan Direktorat Jendral Pajak pengenaan pajak penghasilan
dalam ketentuan ini dapat bersifat final
C. SUBJEK PAJAK
Subjek pajak yang karena ketentuan dari Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh
menjadi WPDN adalah semua subjek pajak yang memperoleh penghasilan
berupa bunga deposito, dan tabungan tabungan lainnya penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan dan penghasilan tertentu
lainnya.
D. OBJEK PAJAK
1. Bunga deposito/tabungan, diskonto SBI dan jasa giro, serta bunga simpanan
anggota koperasi.
2. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek
3. Bunga/diskonto obligasi
4. Hadiah undian
5. Jasa konstruksi
6. Persewaan tanah/bangunan
7. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan
8. Deviden orang pribadi
9. Penghasilan tertentu lainnya
54
E. JATUH TEMPO PAJAK
1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh pemotong pajak penghasilan harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak harus
disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
3. Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran
pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh,
wajib menyampaikan SPT masa PPh pasal 4 ayat (2) paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
F. PEMUNGUT PAJAK
1. Penyelenggara bursa dan undian
2. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan
3. Bank dan Dana Pensiun
4. Perusahaan Modal Ventura
5. Penerbit Obligasi,Bank,Dana Pensiun,Reksadana
6. Pengguna Jasa Konstruksi
G. TARIF PAJAK berdasar PASAL 4 AYAT (2)
1. Pajak penghasilan atas bunga deposito/tabungan, diskonto SBI dan jasa
giro (final): sebesar 20% x jumlah bruto
Catatan:
Untuk jumlah bunga tabungan yang ≥Rp7.500.000, bunganya dikenakan
PPh Pasal 4 ayat (2) sedangkan jumlah bunga tabungan yang <Rp7.500.000
tidak dikenakan pajak.
2. Pajak penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham dibursa
efek (final):
Bukan saham pendiri = 0,6 % x jumlah bruto nilai transaksi penjualan
Pemilik saham pendiri = 0,15% dari nilai saham perusahaan
3. Penjualan saham milik perusahaan modal ventura: sebesar 0,1% dari
jumlah bruto
4. Pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga atau diskonto obligasi
yang dijual di bursa efek:
55
Catatan:
Untuk bunga/diskonto obligasi yang ditempatkan di dalam negeri sebesar
15% (lima belas persen) dari jumlah bruto.
Untuk bunga/diskonto obligasi yang ditempatkan di luar negeri sebesar 20
% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
5. Pajak penghasilan atas hadiah undian (final):
Atas hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% (duapuluh lima persen)
dari jumlah bruto hadiah atau nilai pasar hadiah.
6. Pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah
dana dan atau bangunan (final):
10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau
bangunan
7. Pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi:
berdasar PeraturanPemerintahNomor 51 tahun 2008 sebagaimana
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, pasal 3 bahwa
jenis-jenis penghasilan dan tarif pemotongan-pemotongan yang dikenakan PPh Pasal 4
ayat2 diantaranya adalah:
No. Jenis Penghasilan Tarif
1. Jasa Perencanaan/Pengawasan
a. Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha 4%
b. Penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha 6%
2. Jasa Pelaksana Konstruksi
a. Penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil 2%
b. Penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha 3%
c. Penyedia Jasa selain huruf a dan huruf b 4%
Catatan:
o FINAL bagi usaha kecil berdasar sertifikasi lembaga yang berwenang
serta mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp 1 miliar.
o TIDAK FINAL bagi usaha besar.
56
BAB 8
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
A. PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Pajak dipungut diluar negeri atas penghasilan wajib pajak di luar negeri.
Pajak yang dibayar diluar negeri atas penghasilan luar negeri yang
diperoleh wajib pajak dalam negeri (WPDN) boleh dikreditkan dengan
pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama, sebesar pajak yang
dibayarkan diluar negeri ini tetapi tidak boleh melebihi penghitungan
pajak yang terutang berdasar keputusan No. 164/KMK.03/2002. Untuk
itu harus dicari batas maksimum kredit pajak luar negeri (KPLN).
B. BATAS MAKSIMUM KPLN DIAMBIL YANG TERENDAH DARI KETIGA UNSUR
BERIKUT:
1. Jumlah pajak yang dibayar / terutang di luar negeri
2. Penghasilan Luar Negeri x PPh terutang Penghasilan Kena Pajak
3. Jumlah PPh terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak, dalam hal
penghasilan kena pajaknya lebih kecil dari penghasilan luar negerinya.
Catatan:
1. Jika Pajak Penghasilan Luar Negeri yang diminta untuk dikreditkan itu
ternyata dikembalikan maka jumlah pajak yang terutang menurut Undang-
Undang ini harus ditambah dengan jumlah ini pada tahun
pengembalian ini dilakukan.
2. Jika Penghasilan Luar Negeri berasal dari beberapa Negara maka jumlah
maksimum KPLN dihitung untuk masing-masing Negara.
3. Untuk kerugian yang diderita diluar negeri tidak diperhitungkan dalam
menghitung penghasilan kena pajak. Penghasilan dari Luar Negeri untuk
tahun-tahun berikutnya dapat dikompensasikan dengan kerugiaan ini .
4. Dalam hal Pajak dibayarkan di luar negeri lebih besar dari kredit pajak yang
diperkenankan (PPh Pasal 24), maka kelebihan ini tidak dapat:
Diminta kembali (restitusi)
Dikompensasikan
Sebagai pengurang penghasilan
57
C. CARA MENCARI PPh PASAL 24 YANG DAPAT DIKREDITKAN DI DALAM NEGERI
1. Cari Penghasilan Kena Pajak
(PKP) PKP = PNDN + PNLN
Catatan:
Jika DN rugi diperhitungkan sebagai pengurang dalam menghitung PKP
Jika LN rugi tidak diperhitungkan sebagai pengurang dalam menghitung
PKP (diabaikan)
2. Cari Pajak Penghasilan terutang dari Penghasilan Kena Pajak (PKP)
3. Cari Pajak yang telah dibayar di luar negeri
4. Cari Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) :
KPLN = Penghasilan Luar Negeri x PPh terutang Penghasilan Kena Pajak
5. Bandingkan antara pajak yang telah dibayar di luar negeri (point 3) dengan
KPLN (point 4) , lalu pilih yang terendah.
6. Jumlahkan point 5 untuk mencari besarnya PPh Pasal 24 yang dapat
dikreditkan. Catatan: Jika PKP < PNLN dicari sampai langkah ke dua.
Contoh masalah gawat :
PT. Lancar Terus yang berlokasi di Denpasar selama tahun 2012 memperoleh
penghasilan baik dari usahanya dari dalam negeri ataupun beberapa
cabangnya yang berada di luar negeri. Penghasilan netto dari dalam negeri
Rp 60.000.000.000 sedangkan usahanya di luar negeri, seperti Hongkong
memperoleh penghasilan Rp 10.000.000.000, Korea memperoleh penghasilan
Rp4.000.000.000, sedangkan di China mengalami rugi Rp 5.000.000.000. Pajak
yang telah dibayar diluar negeri sebesar 30% untuk Hongkong, 40% untuk
Korea, dan 25% untuk China. Berapa PPh Pasal 24 yang diperkenankan untuk
dikreditkan dengan pajak penghasilan yang harus dibayar di dalam negeri?
Perhitungan Pajak Penghasilan Psl 24 yang Dapat Dikreditkan di Dalam Negeri.
1. Mencari Penghasilan Kena Pajak (PKP) :
Penghasilan Neto Dalam Negeri Rp 60.000.000.000
Penghasilan Neto Luar Negeri
Hongkong Rp 10.000.000.000
Korea Rp 4.000.000.000+
Jumlah Penghasilan Neto Luar Negeri Rp 14.000.000.000 +
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 74.000.000.000
58
2. Mencari Pajak Penghasilan Terutang dari Jumlah PKP Sebesar =
Rp 74.000.000.000 : 25% x Rp 74.000.000.000 = Rp 18.500.000.000
3. Mencari Pajak yang Telah Dibayar atas Penghasilan di Luar Negeri =
Rp 3.000.000.000: 40% x Rp 4.000.000.000 = Rp 1.600.000.000
4. Mencari Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) :
· Hongkong : Rp 10.000.000.000/ Rp74.000.000.000 x Rp 18.500.000.000
= Rp 2.500.000.000
· Korea : Rp 4.000.000.000 / Rp 74.000.000.000 x Rp 18.500.000.000
= Rp1.000.000.000
5. PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia atas penghasilan di
Hongkong sebesar Rp2.500.000.000 (Pilih yang terendah)
PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia atas penghasilan di Korea
sebesar Rp1.000.000.000 (Pilih yang terendah)
6. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan di dalam negeri : Rp
2.500.000.000 + Rp 1.000.000.000 = Rp 3.500.000.000
59
BAB 9
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
A. Pengertian PPh Pasal 25
Angsuran yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam tahun berjalan
setiap masa pajak.
B. Cara mencari angsuran pajak penghasilan Pasal 25
PPh Terutang Menurut SPT Tahunan – Kredit Pajak
12
Kredit Pajak adalah suatu jumlah yang merupakan angsuran pajak, baik yang
telah dipungut/dipotong maupun dibayar pada tahun pajak yang bersangkutan
yang meliputi PPh Pasal 21, 22, 23, 24 yang telah dibayar dalam tahun pajak.
C. Cara Menghitung Angsuran PPh Pasal 25
Penghasilan Netto Rp xxx
Penghasilan Tidak Teratur Rp xxx -
Penghasilan Teratur Rp xxx
Kompensasi Kerugiaan (Max 5 Thn) Rp xxx -
Penghasilan Netto Usaha Rp xxx
PTKP Rp xxx-
PKP Rp xxx
Penghasilan Terutang : PKP x PPh Pasal 17 Rp xxx
Kredit Pajak Penghasilan :
PPh Pasal 21 Rp xxx
PPh Pasal 22 Rp xxx
PPh Pasal 23 Rp xxx
PPh Pasal 24 Rp xxx +
Jumlah kredit Pajak Rp xxx –
Pajak yang masih harus dibayar sendiri Rp xxx
Angsuran PPh 25 untuk tahun ybs = Pajak yang masih harus dibayar sendiri
dibagi 12.
60
Contoh masalah gawat :
Tn. Janayasa (K/1) mempunyai data penjualan tahun 2013 dengan
penghasilan neto sebesar Rp 200.000.000 sedangkan ditahun 2008 menderita
kerugian Rp15.000.000. Pajak yang telah dibayar antara lain PPh Pasal 21
Rp2.000.000, PPh Pasal 22 Rp 100.000, PPh Pasal 23 Rp 500.000 dan PPh
Pasal 24 yang dapat dikreditkan sebesar Rp 1.500.000. Berapakah Angsuran
PPh Pasal 25 tahun 2013?
Perhitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25:
Penghasilan Neto Rp 200.000.000
Penghasilan Tidak teratur Rp. 0
Penghasilan Teratur Rp 200.000.000
Kompensasi Kerugian tahun (2008) Rp 15.000.000
Penghasilan Neto Usaha Rp 185.000.000
PTKP (K/1) Rp 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak Rp 156.650.000
Pajak Penghasilan Terhutang :
5 % x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp106.650.000 = Rp 15.997.500 +
Jumlah Pajak Penghasilan Terhutang Rp 18.497.500
Kredit Pajak Penghasilan
PPh Pasal 21 = Rp 2.000.000
PPh Pasal 22 = Rp 100.000
PPh Pasal 23 = Rp 500.000
PPh Pasal 24 = Rp 1.500.000 +
Jumlah kredit Pajak Rp 4.100.000 -
Pajak Yang Masih Harus Dibayar Sendiri Rp 14.397.500
Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 = Rp 14.397.500 / 12 = Rp1.199.791,67
61
BAB 10
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Pajak yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain
bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan subjek
pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak
badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri
yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan ini (beneficial
owner).
B. SUBJEK PAJAK
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang berarti orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan Badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia.
C. PEMOTONG PAJAK
1. Badan Hukum Lainnya ( PT, Fa, Yayasan, Perhimpunan, Kongsi, BUT, dll)
2. Perseroan Yang Ditunjuk Oleh DJP
D. OBJEK PAJAK
1. Deviden
2. Bunga termasuk premium, diskonto, premi SWAP, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang
3. Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan
5. Hadiah dan Penghargaan
6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
7. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali pengalihan harta
62
berupa tanah dan / bangunan
8. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.
E. TARIF (BERSIFAT FINAL)
a. PPh Pasal 26 sebesar 20% dari Penghasilan Bruto :
1) Deviden
2) Bunga termasuk premium, diskonto, premi SWAP, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
3) Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
4) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan
5) Hadiah dan Penghargaan
6) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
b. PPh Pasal 26 sebesar 20% dari Perkiraan Penghasilan Netto :
1) Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali pengalihan harta
berupa tanah dan / bangunan
2) Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri
(Keputusan Menteri Keuangan No.624/KMK.04/1994) yaitu :
a) 20% x 50% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di
luar negeri
b) 20% x 10% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi
LN oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia
c) 20% x 5% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN
oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia
c. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau
perusahaan antara conduit company atau spesial purpose pengalihan
saham company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang
memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
BUT di Indonesia
d. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan ini ditanamkan kembali
di Indonesia.
F. PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)
Perjanjian Pajak antara dua negara (bilateral) yang mengatur mengenai
pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh
penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both
63
Contracting State), dimana pembagian hak pemajakan ini diatur dengan
tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak
berganda.
Catatan :
Dalam hal telah dilakukan perjanjian penghindaran pajak berganda antara
pemerintah RI dan negara lain (Treaty Partner), penghitungan besarnya
PPh 26 didasarkan pada tax treaty ini (dibebaskan dari pengenaan
PPh Pasal 26 atau dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah).
Contoh Perhitungan PPh Pasal 23 dan Pasal 26
1. Pada tanggal 17 Agustus 2010 PT. Jani Wangun membayar bunga atas
pinjaman kepada PT. Lanjutin Aja sebesar Rp70.000.000.PPh pasal 23 yang
harus dipotong oleh PT. Jani Wangun adalah:
PPh Pasal 23: 15 % x Rp70.000.000 = Rp10.500.000
2. PT.Lintah darat membayar tagihan sewa bus (untuk jemputan karyawan)
kepada PO. Terima Kasih sebesar Rp 6.600.000 (termasuk PPN 10%). Hitung
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT. Mantab Nyok!
Pajak Penghasilan atas Sewa sebesar
15 % x 10% x Penghasilan bruto (tanpa PPN)
1,5% x (100/110 x Rp6.600.000) = Rp 90.000
Yang melakukan kewajiban pemotongan-pemotongan PPh Pasal 23 adalah PT. Mantab Nyok
3. PT. Fast food Indonesia membayarkan royalti kepada PT. Fast food yang ada di
Jepang atas licency yang diberikan sebesar Rp2.500.000.000. Berapa PPh
dipotong atas royalti ini ?
PPh Pasal 26 yang dipotong : 20% x Rp2.500.000.000 = Rp500.000.000
64
BAB 11
SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)
A. PENGERTIAN SURAT PEMBERITAHUAN
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak dipakai untuk
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak, objek pajak, penghasilan
bukan objek pajak serta harta dan kewajiban milik wajib pajak, menurut
ketentuan perundang-undangan perpajakan.
B. FUNGSI SURAT PEMBERITAHUAN
Bagi Wajib Pajak Penghasilan:
1. Sebagai sarana pelaporan dan pertanggungjawaban penghitungan jumlah
pajak yang sebenarnya terutang.
2. Untuk melaporkan pembayaran dan pelunasan pajak yang telah dilakukan
sendiri ataupun yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak dalam satu
tahun pajak ataupun satu masa pajak.
Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP):
1. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang.
2. Untuk melaporkan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran
3. Untuk melaporkan pembayaran dan pelunsan pajak yang telah dilakukan
sendiri oleh PKP ataupun oleh pihak lain dalam satu masa pajak.
C. JENIS SURAT PEMBERITAHUAN
Secara garis besar surat pemberitahuan dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. SPT masa yang merupakan surat yang oleh wajib pajak dipakai untuk
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam satu
masa pajak.
2. SPT tahunan yang merupakan surat yang oleh wajib pajak dipakai untuk
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam satu
tahun pajak.
D. BATAS WAKTU PEMBAYARAN PAJAK
1. Untuk Pajak Masa:
Untuk PPh yang terutang melalui pemotongan-pemotongan paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
Untuk PPh yang disetor sendiri paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
setelah berakhirnya masa pajak.
2. Untuk Pajak Tahunan:
Selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun
pajak.
E. BATAS WAKTU PELAPORAN PAJAK
1. Untuk Pajak Masa:
Selambat-lambatnya tanggal 20 setelah berakhirnya masa pajak
2. Untuk Pajak Tahunan:
Bagi WPOP : selambat-lambatnya akhir bulan ketiga setelah berakhirnya
tahun pajak
Bagi Badan Usaha: selambat-lambatnya akhir bulan keempat setelah
berakhirnya tahun pajak.
F. SANKSI KETERLAMBATANATAU TIDAK MENYAMPAIKAN SURAT
PEMBERITAHUAN
1. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT dikenakan denda:
SPT Masa PPN sebesar Rp500.000, sedangkan SPT Masa lainnya sebesar
Rp100.000.
SPT Tahunan PPh WPOP sebesar Rp100.000, sedangkan SPT Tahunan PPh
Badan Usaha sebesar Rp1.000.000.
2. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
karena kealpaan wajib pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, dipidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda
setinggi-tingginya 2 kali lipat pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
3. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dengan sengaja
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana
penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang bayar.
66
G. SANKSI PERPAJAKAN
Dalam Undang-Undang Perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi
administrasi dan sanksi pidana. Ancaman terhadap pelanggaran suatu norma
perpajakan ada yang diancam dengan sanksi administrasi saja, ada yang
diancam dengan sanksi pidana saja dan ada pula yang diancam dengan sanksi
administrasi dan pidana. Perbedaan sanksi administrasi dan sanksi pidana
menurut undang-undang perpajakan adalah:
1. Sanksi Administrasi
Merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang berupa
bunga dan kenaikan. Menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan
ada 3 macam sanksi administrati, yaitu: denda, bunga, kenaikan.
2. Sanksi Pidana
Merupakan siksaan dan penderitaan, menurut undang-undang perpajakan
ada 3 macam sanksi pidana, yaitu: denda pidana, kurungan, dan penjara.
Denda Pidana
Berbeda dengan sanksi berupa denda administrasi yang hanya diancam /
dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan peraturan
perpajakan, sanksi berupa denda pidana selain dikenakan kepada wajib
pajak ada juga yang diancam kepada pejabat pajak atau kepada pihak
ketiga yang melanggar norma. Denda pidana dikenakan kepada tindak
pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan.
Pidana Kurungan
Pidana kurungan hanya diancam kepada tindak pidana yang bersifat
pelanggaran. Dapat ditujukan kepada wajib pajak, pihak ketiga.
Pidana penjara sama halnya pidana kurungan, merupakan hukuman
perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancam terhadap kejahatan.
Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditunjukan kepada pihak ketiga,
adanya kepada pejabat dan kepada wajib pajak.
l
H. TARIF PAJAK YANG BERSIFAT FINAL DAN TIDAK FINAL
1. Bunga Deposito dan tabungan
Badan Hukum Lokasi Tarif PPh
Indonesia Indonesia 20% Final
Indonesia Luar Negeri 20% Final
Luar Negeri Indonesia 20% Final
Luar Negeri Luar Negeri PPh Pasal 24
2. Sewa
a) Barang Tidak Bergerak (Tanah, Bangunan) baik pemiliknya WPOP/Badan
10% Final
b) Barang Bergerak
- Khusus angkutan Darat 2 % Tidak Final
- Lainnya 4,5% Tidak Final
3. Pembagian Deviden
10. Penerima WPOP
- Berasal dari WPOP (Fa, Cv) BOP
- Berasal dari Badan (PT) 10% Final
b. Penerima Badan
- Pemilikan saham < 25% 15% Final
- Pemilikan saham > 25% BOP
4. Penjualan Saham
a. Melaui Bursa Efek Final tarif 0,15%
b. Tidak melaui bursa efek Tidak Final 15 %
5. Hadiah
a. Tidak Final
- Penghargaan atas prestasi tertentu tarif pasal 17
- Sehubungan dengan pemberian jasa dan kegiatan lain tarif pasal 17
b. Final : Hadiah Undian 25%
c. Bukan Objek Pajak Hadiah langsung karena membeli produk
6. Keuntungan penjualan tanah / bangunan
a. Final 10% jika yang menjual WPOP/ Badan, dgn syarat barang dagangan
b. Tidak Final 10% dengan syarat bangunan ini sebagai Aktiva Tetap.
7. Penyusutan Aktiva Tetap
Kelompok Harta Masa Tarif Penyusutan Tarif Penyusutan
Berwujud Manfaat Metode Garis Metode Saldo
Lurus Menurun
I. Non Bangunan
Kelompok I 4 thn 25% 50%
Kelompok II 8 thn 12.5% 25%
Kelompok III 16 thn 6.25% 12.5%
Kelompok IV 20 thn 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 thn 5% -
Tidak Permanen 10 thn 10% -
TEORI PPN DAN FAKTUR PAJAK
A. DASAR HUKUM
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah diubah oleh UU No. 18 Tahun
2000dan saat ini telah diubah menjadi UU No. 42 Tahun 2009. Dalam Pasal 20
UU No.8 Tahun 1983 ditentukan bahwa UU ini dapat disebut Undang – Unda
ng Pajak Pertambahan Nilai 1984.
B. KARAKTERISTIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
1. Pajak Tidak Langsung
2. Pajak Objektif
3. Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
4. Bersifat Multi Satge Levy (dikenakan pada setiap jalur distribusi barang /
jasa)
5. Perhitungan dengan Indirect Substraction Method (mengurangkan PPN
yang dipungut penjual atas penyerahan barang/jasa dengan PPN yang
dibayar kepada penjual lain atas perolehan barang/jasa)
6. Tarif tunggal
C. MEKANISME PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
1. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai yang bersifat umum:
a. Setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyerahkan Barang Kena
Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) diwajibkan membuat Faktur
Pajak untuk memungut Pajak yang terutang. Pajak yang dipungut
dinamakan Pajak Keluaran / PK (Output Tax). Hal ini sesuai dengan
basis akrual (Accrual Bassis) yang dipakai oleh UU PPN 1984.
b. Pada saat Penguasaha Kena Pajak ini diatas membeli Barang Kena
Pajak atau menerima Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak lain,
juga membayar pajak yang terutang, yang dinamakan Pajak Masukan /
PM (Input Tax)
c. Pada akhir masa Pajak, Pajak masukan ini dikreditkan dengan
pajak keluaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal jumlah
Pajak Keluaran lebih besar dari pada jumlah Pajak Masukan, maka
kekuranganya dibayar ke kas negara selambat-lambatnya akhir bulan
berikutnya. (PK > PM = Kurang Bayar)
d. jika Jumlah Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran,
maka kelebihan pembayaran pajak masukan ini dapat dikompensasikan
dengan utang pajak dalam masa pajak berikutnya atau diminta kembali
(restitusi). (PM > PK = Lebih Bayar)
e. Pada akhir masa pajak, setiap Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan
pemungutan dan pembayaran Pajak yang terutang kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) setempat, selambat-lambatnya akhir bulan
berikutnya.
2. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai yang bersifat khusus:
Mekanisme ini diatur dalam Pasal 16A UU PPN Tahun 1984, sebagai berikut:
a. Instansi pemerintah, badan atau orang yang ditunjuk sebagai Pemungut
PPN.
b. Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak kepada pemungut PPN, wajib membuat Faktur Pajak.
c. Pada saat pemungut pajak ini melakukan pembayaran Harga Jual
atau penggantian, “memungut” pajak yang terutang, kemudi aan
menyetorkan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama
Pengusaha Kena Pajak ini pada butir (b) dan melaporkan kepada
KPP setempat.
d. SSP ini pada butir (c) kemudiaan diserahkan kepada Pengusaha
Kena Pajak yang bersangkutan.
D. OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas:
1. Penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) didalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha.
2. Impor Barang Kena Pajak (BKP).
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan didalam daerah pabean
oleh pengusaha.
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean didalam daerah
pabean.
5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean didalam daerah pabean.
6. Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak.
7. Ekspor BKP tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (UU PPN pasal 4
ayat (1))
8. Ekspor JKP oleh Pengusaha Kena Pajak (UU PPN pasal 4 ayat (1))
E. YANG TERMASUK DALAM PENGERTIAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK
(BKP)
Penyerahan BKP yang telah diatur dalam Pasal 1A angka 1 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000:
1. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian.
2. Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian
leasing.
3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang.
4. Pemakaian sendiri atau pemberiaan cuma – cuma atas BKP
5. Persediaan BKP dan Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjual belikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
6. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP
antarcabang.
7. Penyerahan BKP secara konsinyasi
8. Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang
dilakukan berdasar prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP
F. TIDAK TERMASUK DALAM PENGERTIAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK
(BKP)
Bukan Penyerahan BKP/ tidak dikenakan PPN (Pasal 1A angka 2 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2000):
1. Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam KUHD.
2. Penyerahan BKP untuk jaminan hutang-piutang.
3. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang dan antar cabang bagi PKP yang
memperoleh izin melakukan pemusatan tempat pajak terutang dari Dirjen
Pajak.
4. Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang
melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah PKP.
5. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
G. TIDAK TERMASUK BARANG KENA PAJAK (BKP)
Jenis Barang Tidak Kena Pajak (Pasal 4A ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-
Undang PPN 1984):
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya, seperti : minyak mentah, gas bumi, panas bumi, pasir dan
kerikil, biji timah, biji emas, dst.
2. Barang – barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuh kan oleh rakyat
banyak, seperti : beras, gabah, jagung, sagu, gandum, kedelai, garam baik
yang beryodium atau tidak, daging, telur, buah, dan sayur-sayuran.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung dan sejenisnya, tidak termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau cattering.
4. Uang, emas batangan, dan surat – surat berharga (sa ham, obligasi).
H. TIDAK TERMASUK JASA KENA PAJAK
1. Jasa pelayanan kesehatan medis
2. Jasa pelayanan sosial
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko
4. Jasa keuangan
5. Jasa asuransi
6. Jasa keagamaan
7. Jasa pendidikan
8. Jasa kesenian dan hiburan
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
10. Jasa angkutan umum di darat dan air
11. Jasa tenaga kerja
12. Jasa perhotelan
13. Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum
14. Jasa penyediaan tempat parkir
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
17. Jasa boga atau katering
I. KEWAJIBAN PKP (Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984)
1. Memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
2. Melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak / PKP
(Pasal 2 ayat (2) UU KUP)
3. Memungut Pajak Terutang
73
4. Membuat Faktur Pajak / FP (Pasal 13 UU PPN 1984) c) Menyetor Pajak
terutang
5. Wajib mencatat beberapa perolehan dan penyerahan BKP/JKP dalam
pembukuan dan pengkreditan PM sesuai dengan ketentuan (Pasal 9 UU
KUP)
6. Melaporkan Pajak terutang
7. Mengisi dan menyampaikan SPT Masa PPN (Pasal 3 UU KUP)
J. SAAT PEMBUATAN FAKTUR PAJAK
1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan
Jasa Kena Pajak;
3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian
tahap pekerjaan; atau
4. saat lain yang diatur dengan atau berdasar Peraturan Menteri Keuangan
K. NOMOR FAKTUR PAJAK
Kode dan nomor seri faktur pajak terdiri dari 16 digit yaitu:
1. 2 digit kode transaksi
2. 1 digit kode status
3. 13 digit nomor seri faktur pajak yang ditentukan oleh DJP
0 0 0 . 0 0 0 - 0 0 . 0 0 0 0 0 0 0 0
Kode
Transaksi Nomor Seri Faktur Pajak
Kode Status
L. SYARAT PAJAK MASUKAN DAPAT DIKREDITKAN
1. Pengusaha yang melakukan pengkreditan telah berstatus PKP (sudah
dikukuhkan).
2. Adanya bukti Pajak Masukan dalam bentuk Faktur Pajak Standar / Khusus
yang sah, benar dan lengkap.
3. Dilakukan dalam masa pajak yang sama, namun masih memungkinkan
pada masa pajak berikutnya, sepanjang tidak melampaui bulan ketiga
setelah berakhirnya tahun buku dan belum dibebankan sebagai biaya
serta belum dilakukan pemeriksaan.
4. Pajak Masukan yang dikreditkan berhubungan langsung dengan kegiatan
usaha yaitu pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran
dan manajemen dengan syarat ada kaitannya dengan penyerahan yang
terutang PPN dan sifatnya tidak untuk tujuan konsumtif Direksi, Dewan
Komisaris, Karyawan, dan Pemegang Saham.
2. PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN
1. Yang dibayar untuk perolehan BKP / JKP atau untuk pemanfaatan BKP /
JKP dari luar daerah pabean, sebelum pengusaha dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak.
2. Yang dibayar untuk perolehan BKP / JKP yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
3. Yang dibayar untuk perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor
jenis sedan, danstation wagon kecuali jika barang ini adalah untuk
persediaan barang dagangan atau untuk dipakai langsung sesuai
dengan bidang usahanya, misalnya usaha persewaan kendaraan
bermotor.
4. Yang dibayar untuk pembelian yang sifatnya mempunyai tujuan
konsumtif Direksi, Dewan Komisaris, Karyawan dan Pemegang Saham
5. Yang dibayar untuk perolehan BKP / JKP yang berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahan BKP / JKP yang
PPN-nya ditanggung Pemerintah (DTP), dibebaskan dari pengenaan PPN.
6. Bukti pungutan Pajaknya berupa Faktur Pajak sederhana.
7. Yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi persyaratan.
8. Yang ditagih dengan penerbitan ketetapan Pajak.
9. Yang ditemukan pada saat pemeriksaan tetapi belum dilaporkan dalam
SPT PPN.
10. Faktur Pajak Standarnya cacat.
N. TARIF DAN CARA MENGHITUNG PAJAK (Pasal 7 UU PPN)
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Barang Kena Pajak adalah 0%
(nol persen).
3. Tarif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi
paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)
yang perubahan tarif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
O. SYARAT TERUTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi tiga syarat yang
bersifat kumulatif dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu:
1. Barang atau jasa yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak
2. Penyerahannya dilakukan di dalam Daerah Pabean
3. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiaan usaha atau pekerjaannya.
P. SUBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Otomatis:
a. Pabrikan/Produsen termasuk Pengusaha Real Estate/Industrial
estate/Developer.
b. Importir, Indentor.
c. Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pabrikan dan
atau Importir.
d. Agen Utama dan Penyalur Utama dari Pabrikan dan atau Importir.
e. Pemegang Hak Patent dan Merk Dagang.
f. Pemborong bangunan dan harta tetap lainnya.
2. Pengusaha Kecil Yang Dikukuhkan Menjadi Pengusaha Kena Pajak
(PKP) Yang bukan merupakan subjek PPN adalah:
a. Pengusaha yang menghasilkan barang-barang pertanian, perkebunan,
peternakan, kehutanan, perikanan yang belum diolah lebih lanjut.
b. Pengusaha Kecil (Mereka juga tidak boleh memungut PPN).
c. Pengusaha Jasa, untuk jasa-jasa yang tidak dikenai pajak sesuai dengan
UU No.42 tahun 2009.
Q. PIHAK YANG WAJIB MEMBAYAR/MENYETORKAN DAN MELAPOR PPN/PPnBM
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Pemungut PPN / PPnBM adalah :
a. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
b. Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
R. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM)
Karakteristik PPnBM dalam Pasal 5 dan 10 UU PPN 1984 adalah sebagai
berikut:
1. PPnBM merupakan pungutan tambahan di samping PPN
2. Prinsip pemungutan PPnBM hanya dikenakan satu kali yaitu pada saat:
a. Penyerahan oleh pabrikan atau produsen BKP yang tergolong mewah,
atau
b. Impor BKP yang tergolong mewah
Sehingga penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai PPnBM.
3. PPnBM yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan PPN atau
PPnBM
S. TARIF PPN DAN PPnBM
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif pajak dengan
DPP. Tarif PPN dan PPnBM adalah sebagai berikut:
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi
paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur
dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 7 ayat (3) UU PPN)
2. Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas ekspor BKP berwujud, BKP tidak
berwujud, dan JKP
3. Tarif PPnBM adalah serendah - rendahnya 10% dan setinggi - tingginya
200%
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0%
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
A. DASAR HUKUM
Undang – Undang No.21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang –
Undang N0.
20 Tahun 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001.
Terakhir diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
B. PENGERTIAN BPHTB
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan. Adapun pengertian perolehan hak
atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
C. PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN MELIPUTI:
1. Pemindahan hak karena :
Jual Beli
Tukar Menukar
Hibah Wasiat
Penggabungan Usaha
Waris
Hibah
Pemasukan dalam perseroan / Badan hukum lain
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak
Penunjukan pembeli dalam lelang
Peleburan Usaha
Pemekaran Usaha
Pelaksanaan Putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
2. Pemberian hak baru
karena : Kelanjutan
Pelepasan Hak Di luar
pelepasan hak
D. HAK ATAS TANAH SEBAGAI PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
Hak milik
Hak guna usaha
Hak guna
bangunan Hak
pakai
Hak milik atas satuan rumah
susun Hak pengelolaan
E. SUBJEK PAJAK BPHTB
Orang pribadi/badan yang memperoleh hak atas tanah atau bangunan (pasal
86 ayat 1).
F. OBJEK PAJAK BPHTB
Perolehan hak atas tanah atau bangunan (pasal 85 ayat 1) yang dapat berupa:
1. Tanah termasuk tanaman di atasnya
2. Tanah dan Bangunan
3. Bangunan
G. OBJEK PAJAK YANG TIDAK DIKENAKAN BPHTB
Objek Pajak yang tidak dikenakan BPHTB ditetapkan dalam Pasal 3 UU No.21
Tahun 1997 Jo UU No.20 Tahun 2000, yaitu:
1. Objek Pajak yang diperoleh Perwakilan diplomatik, konsulat berdasar
asas perlakuan timbal balik.
2. Objek pajak yang diperoleh negara untuk menyelenggarakan pemerintahan
dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum dan
yang semata – mata tidak dipakai untuk mencari keuntungan.
3. Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional
yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan dengan syarat tidak
melakukan atau menjalankan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan /
perwakilan organisasi ini .
4. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak
atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak ada perubahan nama.
5. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi / badan karena wakaf.
6. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi / badan yang dipakai untuk
kepentingan ibadah.
H. TARIF BPHTB
Tarif BPHTB adalah paling tinggi sebesar 5% (pasal 88 ayat 1).
I. DASAR PENGENAAN PAJAK
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
Yang dimaksud Nilai Perolehan Objek Pajak adalah dalam hal :
a. Jual Beli adalah harga transaksi
b. Tukar Menukar adalah Nilai Pasar
c. Hibah adalah Nilai Pasar
d. Hibah Wasiat adalah Nilai Pasar
e. Waris adalah Nilai Pasar
f. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum lainnya adalah Nilai Pasar
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah Nilai Pasar
h. Peralihan Hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum adalah Nilai Pasar
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah Nilai Pasar
j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan di luar pelepasan hak
adalah Nilai Pasar
k. Penggabungan usaha adalah Nilai Pasar
l. Peleburan usaha adalah Nilai Pasar
m. Pemekaran usaha adalah Nilai Pasar
n. Hadiah adalah Nilai Pasar
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah Harga Transaksi yang
Tercantum dalam Risalah Lelang
p. Pemberian hak baru
jika Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah
daripada Nilai Jual Objek Pajak Yang dipakai dalam pengenaan PBB pada
tahun terjadinya perolehan dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah
Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
jika Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan belum ditetapkan,
besarnya Nilai Jual Objek Pajak bumi dan bangunan ditetapkan oleh
menteri.
Jika didalam masalah gawat terdapat dua nilai yaitu nilai perolehan dan nilai
jual, maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan pajak adalah nilai
yang terbesar.
J. NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NPOPTKP)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional serendah-rendahnya Rp 60.000.000 (pasal 87 ayat 4), kecuali
dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunuan harus satu derajat ke atas dan ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat termasuk suami/istri, maka nilai NPOPTKP ditetapkan secara
regional serendah-rendahnya Rp 300.000.000 (pasal 87 ayat 5).
Untuk wilayah Bali NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,-
untuk semua transaksi selain waris dan hibah, untuk waris dan hibah
ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,-
K. UNTUK BPHTB YANG TERUTANG DARI WARIS, HIBAH WARIS SEBESAR 50%
DARI BPHTB YANG SEHARUSNYA TERUTANG.
Contoh masalah gawat 1:
Bapak Ronda membeli tanah dan bangunan dengan nilai perolehan
objek pajak (harga transaksi) Rp. 70.000.000. NPOPTKP yang ditetapkan
pemerintah daerah setempat adalah Rp. 60.000.000. Berapakah besarnya
BPHTB terutang oleh Bapak Ronda?
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 70.000.000
NPOPTKP Rp 60.000.000 -
NPOPKP Rp 10.000.000
BPHTB terutang 5% x Rp10.000.000 = Rp500.000
Contoh masalah gawat 2:
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan
bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp. 700.000.000. Berapa
BPHTB terutang atas warisan ini jika ditetapkan NPOPTKP sebesar
Rp350.000.000?
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 700.000.000
NPOPTKP Rp 350.000.000 -
NPOPKP Rp 350.000.000
BPHTB yang seharusnya terutang : 5% x Rp350.000.000 = Rp 17.500.000
BPHTB terutang : 50% x Rp 17.500.000 = Rp 8.750.000
L. SURAT KETETAPAN BPHTB KURANG BAYAR
Ketentuan tentang surat ketetapan BPHTB kurang bayar ditetapkan
dalam Pasal 11 UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB jo UU No.20 Tahun
2000 adalah sebagai berikut :
a. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah ayat terutang pajak, Dirjen Pajak
dapat menerbitkan surat ketetapan BPHTB kurang bayar jika
berdasar hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah
pajak yang terutang kurang bayar.
b. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam surat ketetapan BPHTB
kurang bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan, jangka waktu 24 bulan, dihitung mulai saat
terutanganya pajak sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan
BPHTB kurang bayar.
Contoh masalah gawat 3:
Seorang wajib pajak memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 21
Maret 2012
Nilai Perolehan Wajib Pajak Rp 110.000.000
NPOPTKP Rp 60.000.000-
NPOPKP Rp 50.000.000
BPHTB Terutang : 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000
berdasar hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 31
Desember 2012 ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang
menunjukan bahwa Nilai Perolehan Objek
Pajak sebenarnya adalah sebagai berikut.
BPHTB yang seharusnya terutang (5% x Rp100.000.000) = Rp 5.000.000
BPHTB yang telah dibayar = Rp 2.500.000-
BPHTB yang kurang bayar = Rp 2.500.000
Sanksi administrasi berupa bunga dari 21 Maret 2012 sampai 31
Desember 2012 : 10 Bulan x 2% x Rp 2.500.000 = Rp 500.000
Jadi Jumlah Pajak yang harus dibayar sebesar:
Rp2.500.000 + Rp500.000 = Rp3.000.000
Catatan :
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan
untuk jangka waktu maksimal 24 bulan. Jadi jika ditemukan data baru
dalam jangka waktu lebih dari 24 bulan maka sanksi administrasinya
sebesar 2% tetap dikalikan dengan 24 bulan.