Tampilkan postingan dengan label sengketa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sengketa. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

sengketa

 



Blok Ambalat yang secara geografis langsung berbatasan langsung dengan negara 

Malaysia dan kaya akan potensi sumber daya alam menjadikan Blok Ambalat 

menjadi rawan konflik. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dasar hukum 

Malaysia untuk melakukan klaim atas sengketa kepemilikan terhadap Blok 

Ambalat, kesesuaian kalim Malaysia terhadap perbatasan Ambalat sesuai dengan 

UNCLOS 1982, cara penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Malaysia di 

perbatasan wilayah Ambalat menurut UNCLOS 1982 dan untuk mengetahui 

langkah-langkah hukum yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi klaim 

Malaysia atas perbatasan Ambalat. Metode dalam penelitian ini berupa penelitian 

yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang (Statute Approach) dan latar 

belakang sejarah.  Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Ambalat 

yang di klaim Malaysia adalah milik Indonesia berdasarkan ketentuan konvensi 

hukum laut Internasional tahun 1982 karena indonesia adalah negara kepulauan. 

Malaysia hanyalah negara pantai biasa yang hanya dibenarkan menarik garis 

pangkal normal (biasa) dan garis pangkal lurus apabila memenuhi persyaratan-

persyaratan 

Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki batas wilayah laut 

berdasarkan pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 

82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang selanjutnya diratifikasi oleh pemerintah 

menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 

pulau dengan luas 2/3 wilayahnya merupakan lautan. Dari pulau-pulau ini  

ada beberapa pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. 

Berdasarkan survei Base Point yang dilakukan DISHIDROS TNI AL, dalam 

menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, saat ini ada 183 titik dasar 

yang berada di 92 pulau terluar, sedangkan lainnya ada di tanjung tanjung terluar 

dan di wilayah pantai. Pada umumnya keberadaan kepulauan merupakan potensi 

Sumber Daya Alam bagi Negara.  

Dari berbagai potensi sumber daya alam ini  adalah Blok Ambalat. 

Ambalat terletak di laut Sulawesi atau Selat Makasar milik dengan luas 15.235 

kilometer persegi, diperkirakan mengandung kandungan minyak dan gas yang 

dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun ke depan.1 Wilayah Blok Ambalat 

merupakan milik Indonesia, hal ini berdasarkan bukti penandatanganan Perjanjian 

Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang 

ditandatangani di Kuala Lumpur yang kemudian diratifikasi pada tanggal 7 

November 1969.2 Hal inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Blok Ambalat 

berada di bawah kepemilikan Indonesia. 

Penyelesaian sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, 

menurut hukum internasional harus dilakukan secara damai. Penyelesaian 

sengketa perbatasan di wilayah perairan berbeda dengan daratan yang lebih 

mudah menentukan batas-batas wilayah. Namun sengketa ini  harus 

diselesaikan dan tidak berlarut-larut sehingga menjadikan masalah sengketa Blok 

Ambalat makin sulit diselesaikan secara damai. 

                                                        

Jenis penelitian yang dipakai  dalam penelitian ini adalah penelitian 

yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach) latar 

belakang sejarah, yaitu sebuah penelitian yang memakai  konsepsi legistis 

positivis dengan mengemukakan bahwa hukum identik dengan norma-norma 

tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. 

3Dan berdasarkan sejarah kepemilikan wilayah ini  apakah ada  fakta-fakta 

yang mendukung kepemilikannya. 

Rumusan masalah dalam penenelitian sebagai berikut: 

1. Apakah dasar hukum Malaysia untuk melakukan klaim atas sengketa 

kepemilikan terhadap Blok Ambalat? 

2. Apakah klaim yang diajukan Malaysia terhadap Blok Ambalat sudah sesuai 

dengan Ketentuan UNCLOS 1982? 

3. Bagaimana penyelesaian klaim Malaysia dalam sengketa Blok Ambalat 

antara Indonesia dan Malaysia menurut UNCLOS 1982? 

4.  Apakah langkah-langkah hukum yang dilakukan Indonesia dalam 

menghadapi klaim Malaysia atas perbatasan wilayah Ambalat?   

Dalam hukum internasiononal publik, dikenal dua macam sengketa 

internasional, yaitu sengketa hukum (legal or judical disputes) dan sengketa 

politik (political or nonjusticiable disputes).4Sengketa internasional secara teoritis 

pada pokoknya selalu dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional.  Sesulit 

apapun seuatu sengketa, sekalipun tidak ada pengaturannya. Pengadilan 

internsional tampaknya bisa memutuskannya dengan bergantung pada prinsip 

kepatutan dan kelayakan (exaequo et bono). Berdasarkan Pasal 33 Konvensi Den 

Haag 1899 pada intinya penyelesaian sengketa secara damai dibagi dalam dua 

kelompok. Penyelesaian secara diplomatik (Negosiasi, penyidikan , mediasi 

Konsiliasi). Dan penyelesaian secara hukum (Arbritase, Pengadilan ).

A. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai 

1. Negosiasi 

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang 

paling tua dipakai  oleh manusia. Cara penyelesaian melalui negosiasi 

merupakan cara yang paling penting.  Banyak sengketa yang diselesaikan melalui 

cara ini tanpa publisitas atau perhatian publik.6 Alasannya dengan cara ini, para 

pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap 

penyelesaian didasarkan kesepakatan atau konsensus para pihak. 

2. Pencarian fakta 

Sengketa seringkali berawal dari mempersoalkan sengketa mengenai suatu 

fakta.  Meskipun suatu sengketa berkaitan dengan hak dan kewajiban, akan tetapi 

sering kali suat permasalahannya bermula pada perbedaan pandangan para pihak 

terhadap fakta yang menentukan hak dan kewajiban ini . Penyelesaian 

sengketa demikian bergantung pada penguraian fakta para pihak yang tidak 

disepakati. Oleh sebab itu, pemastian kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap 

sebagai bagian penting dari prosedur penyelesaian sengketa.  Dengan demikian 

para pihak yang bersengketa dapat memperkecil masalah sengketanya dengan 

menyelesaikannya sengketa melalui metode pencarian fakta yang menimbulkan 

persengketaan. 

3. Jasa-jasa baik 

Jasa-jasa baik merupakan cara penyelesaian sengketa melelui atau dengan 

bantuan pihak ketiga.  Pihak ketiga berupaya agar para pihak menyelesaikan 

sengketanya dengan negosiasi.  Jadi fungsi utama jasa baik ini adalah 

mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga para pihak mau duduk 

bersama, dan bernegosiasi.

4. Mediasi 

Mediasi merupakan cara atau metode penyelesaian melalui pihak ketiga.  

Pihak ketiga ini  sering disebut dengan mediator.  Mediator dalam hal ini bisa 

                                                        

negara, organisasi internasional atau individu, mediator ikut serta secara aktif 

dalam setiap proses negosiasi.  Biasanya mediator dengan kapasitasnya sebagai 

pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran 

penyelesaian sengketa. 

5. Konsiliasi 

Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal 

dibanding mediasi.  Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak 

ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi ini disebut 

dengan komisi konsiliasi.  Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad 

hoc yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima 

oleh para pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak.

6. Arbitrase 

Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase merupakan penyerahan sengketa 

secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan 

bersifat final dan mengikat.  Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer 

dan semakin banyak dipakai  dala penyelesaian sengketa-sengketa 

internasional. Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan 

pembuatan suatu compromis, yaitu penyerahan kepada arbritrase suatu sengketa 

yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbritrase dalam suatu 

perjanjian, sebelum sengketa lahir, orang yang dipilih melakukan arbitrase disebut 

arbitrator atau arbiter.  

7. Pengadilan internasional 

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan internasional merupakan 

alternative penyelesaian sengketa selain cara-cara di atas adalah melalui 

pengadilan. pemakaian  cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara 

penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil. Pengadilan dapat dibagi dalam dua 

katagori, yaitu pengadilan permanen (International Court of Justice) dan 

pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus.

B. Penyelesaian Sengketa Blok Ambalat Antara Indonesia dengan Malaysia 

1. Dasar hukum Malaysia untuk melakukan klaim atas Blok Ambalat 

Berdasarkan undang-undang Essensial Powers Ordonance yang di sahkan 

pada bulan Agustus 1969, Malaysia menetapkan luas territorial laut sejauh 12 mil 

laut yang diukur dari garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut 

ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958 mengenai Laut Teritorial dan Contiguous 

Zone. Berdasarkan undang-undang ini  selanjutnya Malaysia 

mendeklarasikan secara sepihak Peta Malaysia 1979 pada tanggal 21 Desember 

1979. Selanjutnya Pada bulan Desember 1979 Malaysia mengeluarkan Peta Baru 

dengan batas terluar klaim maritim yang sangat eksesif di Laut Sulawesi. Peta 

ini  secara jelas memasukkan kawasan dasar laut sebagai bagian dari 

Malaysia yang kemudian disebut Blok Ambalat oleh Indonesia. Hanya Malaysia 

sendiri yang mengetahui garis pangkal dan titik pangkal untuk menentukan batas 

wilayahnya. Dalam pergaulan internasional suatu negara harus memberitahukan 

titik-titik pangkal dan garis pangkal laut teritorialnya agar negara lain dapat 

mengetahuinya. 

Peta 1979 yang dikeluarkan pemerintah Malaysia ini  tidak hanya 

mendapat protes Indonesia saja tetapi juga dari Filipina, Singapura, Thailand, 

Tiongkok, Vietnam, karena dianggap sebagai upaya atas perebutan wilayah 

negara lain. 13 Filipina dan Tiongkok misalnya mengajukan protes terkait Spratly 

Island. Pada bulan April tahun 1980, Singapura mengirimkan protesnya terkait 

dengan Pedra Branca (Pulau Batu Puteh). Protes juga dilayangkan oleh Vietnam, 

Taiwan, Thailand dan United Kingdom atas nama Brunei Darussalam. Dengan 

demikian klaim Malaysia terhadap wilayah territorial berdasarkan Peta 1979 tidak 

mendapat pengakuan dari negara-negara tetangga dan dunia internasional. Namun 

Malaysia tetap menjadikan Peta 1979 tetap menjadi peta resmi yang berlaku 

hingga saat ini. 

Ditinjau dari hukum laut internasional, Malaysia bukanlah negara 

Kepulauan oleh karena itu tidak dibenarkan menarik garis pangkal demikian 

sebagai penentuan batas laut wilayah dan landas kontinennya. Malaysia hanyalah 

negara pantai biasa yang hanya dibenarkan menarik garis pangkal normal (biasa) 

                                                        

dan garis pangkal lurus apabila memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu ada 

deretan pulau atau karang di hadapan daratan pantainya dan harus mempunyai 

ikatan kedekatan dengan wilayah daratan Sabah untuk tunduk pada rezim hukum 

perairan pedalaman sesuai dengan pasal 5 KHL 1958 tentang Laut Teritorial dan 

Contiguous Zone dan sesuai dengan pasal 7 KHL 1982.14 Pendapat Arif Havas 

oegroseno, direktur perjanjian politik, keamanan, dan kewilayahan Indonesia 

mengatakan, dalam hukum kebiasaan Internasional jika klaim suatu negara 

merupakan tindakan sepihak dari negara ini  (unilateral action)  tidak 

mendapat protes dari negara-negara terutama negara tetangganya, maka setelah 2 

(dua) tahun klaim ini  dinyatakan sah. Sehubungan dengan Peta Malaysia 

1979 yang mendapat banyak protes dari negara-negara tetangga dan negara 

lainnya sesungguhnya peta ini  tidak mempunyai kekuatan hukum.15 

Jika Malaysia berpendapat bawah ‘tiap pulau berhak mempunyai laut 

territorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri’, maka hal 

ini  menyalahi UNCLOS pasal 121, hal itu dapat dibenarkan. Namun rezim 

penetapan batas landas kontinen mempunyai specific rule yang membuktikan 

keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially and economically 

insignificant tidak akan dianggap sebagai special circumtation dalam penentuan 

garis batas landas kontinen. Malaysia bukanlah negara kepulauan sehingga tidak 

berhak mengklaim Ambalat. Menurut Konvensi hukum laut, sebuah negara pantai 

(negara yang wilayah daratannya secara langsung bersentuhan dengan laut) 

berhak atas zona maritim laut teritorial, ZEE, dan landas kontinen sepanjang 

syarat-syarat (jarak dan geologis) memungkinkan.  

Berikut proses klaim yang diajukan Malaysia terhadap Blok Ambalat:   

1. Tahun 1979, Malaysia memakai  Peta Wilayah Malaysia 1979 yang 

secara unilateral memasukkan wilayah Ambalat sebagai wilayahnya sebagai 

dasar klaim ini . Padahal peta ini  sudah diprotes, tidak hanya negara 

Indonesia tetapi juga seperti Filipinan dan Singapore. 

                                                        

2. Klaim Malaysia yaitu 12 mil laut yang berada di sekitar Pulau Karang 

Ambalat, hal ini  jika dari Pulau Sipadan dan Ligitan sudah sejauh 70 

mil. 

3. Malaysia mengklaim wilayah di sebelah timur Kalimantan Timur itu 

miliknya dan menyebut wilayah Ambalat sebagai Blok XYZ berdasarkan 

peta yang dibuatnya pada 1979. Sedangkan Indonesia menyebut blok yang 

sama sebagai Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Di Ambalat, Indonesia 

telah memberikan konsesi eksplorasi kepada ENI (Italia) pada 1999. 

Sementara itu, Blok East Ambalat diberikan kepada Unocal (Amerika 

Serikat) pada 2004. 

4. Malaysia belum siap untuk melakukan dialog dengan Indonesia pada bulan 

Juli 2004, karena sedang melakukan survei titik dasar (precise location) dari 

peta 1979. 

5. Tahun 1961 Indonesia mulai memberikan konsesi eksplorasi kepada berbagai 

perusahaan minyak, dan sampai sekarang konsesi terus berjalan. Masalah 

muncul ketika Malaysia membuat peta secara sepihak pada 1979. Ditambah 

lagi bahwa, Malaysia merasa lebih berperan dalam proses pembangunan 

Ambalat. 

6. Garis dasar adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar, apabila 

tarik dari garis lurus itu, maka Ambalat masuk di dalamnya dan bahkan lebih 

jauh ke luar lagi. Sikap itu sudah dicantumkan Indonesia dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1960, yang kemudian diakui dalam Konvensi 

Hukum Laut 1982. 

7. Keberhasilan Indonesia memperjuangkan konsep hukum negara kepulauan 

(archipelagic state) hingga diakui secara internasional. Pengakuan itu 

terabadikan dengan pemuatan ketentuan mengenai asas dan rezim hukum 

negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau 

United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Konvensi ini 

ditetapkan dalam Konferensi Ketiga PBB tentang Hukum Laut di Montego 

Bay, Jamaica, pada 10 Desember 1982. 

8. Masalah yang dihadapi Indonesia saat ini terkait dengan kasus Sipadan dan 

Ligitan. Masalahnya, pada saat berseteru dengan Malaysia dalam kasus 

Sipadan dan Ligitan, Indonesia tidak meminta Mahkamah Internasional 

memutuskan garis perbatasan laut sekaligus. Indonesia tidak pernah 

merundingkannya.Dalam kelaziman hukum internasional, karena Malaysia 

tidak memprotes, itu berarti pengakuan terhadap sikap Indonesia sebagaimana 

tertuang dalam UU Nomor 4 Tahun 1960. Malaysia, baru mulai mengajukan 

nota protes pada 2004 setelah menang dalam kasus Pulau Sipadan-Ligitan. 

9. Pada 1998 Indonesia memberikan konsesi kepada Shell untuk melakukan 

eksplorasi minyak. Malaysia tahu itu, tapi tidak memprotes. Akhir 2004, saat 

Indonesia menawarkan konsesi blok baru di Ambalat, namun hal ini  

mendapat protes dari Malaysia. 

C. Klaim Malaysia Menurut Ketentuan UNCLOS 1982 

Klaim Malaysia atas kepemilikan blok Ambalat berdasarkan Peta 1979 

dan berdasarkan kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan yang diberikan kepada 

Malaysia. Dalam peta 1979 Malaysia ini  diumumkan lebar laut teritorialnya 

12 mil laut yang diukur dengan garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus 

menurut hukum laut 1958 dengan tindakan ini  Malaysia merugikan negara 

disekitarnya karena garis pangkal dan titik pangkal untuk menentukan batas 

wilayahnya hanya diketahui oleh Malaysia sendiri. Dalam pergaulan Internasional 

suatu negara harus memberitahukan titik-titik pangkal dan garis laut teritorialnya 

agar negara-negara lain dapat mengetahuinya.  

Sebagai negara pantai biasa oleh pengaturan dalam United Nations 

Convention on the Law Of the Sea 1982 dinyatakan bahwa Malaysia hanya 

diperbolehkan menarik garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal 

lurus (Straight Baselines), karena alasan ini seharusnya Malaysia tidak 

diperbolehkan menarik garis pangkal lautnya dari pulau sipadan legitan karena 

malaysia bukan merupakan negara pantai. namun dilain pihak Malaysia 

memakai  pasal 121 UNCLOS yang menyatakan bahwa setiap pulau berhak 

mendapatkan laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas kontinennya 

sendiri-sendiri hal ini dapat dibenarkan namun dalam penetapan landas kontinen 

antar negara juga harus memperhatikan apakah daratan dasar laut itu merupakan 

kelannjutan tanah alamiah tanah diatasnya sehingga itu merupakan daerah landas 

kontinen suatau negara dan juga harus diperhatikan perjanjian batas landas 

kontinen yang telah ditetapkan oleh Indonesia dan Malaysia.

Berdasarkan kelaziman hukum Internasional karena Malaysia tidak 

melakukan Klaim atas tidakan Indonesia atas kegiatan penambangan dan 

eksploitasi di wilayah Blok Ambalat sejak Tahun 1960 hingga pasca keluarnya 

peta Malaysia tahun 1979 itu merupakan bukti pengakuan Malaysia terhadap 

wilayah Blok Ambalat dan Indonesia memiliki Hak berdaulat di wilayah ini  . 

Disampingitu berdasarkan sejarah wilayah ini  sejak zaman penjajah Belanda. 

Indonesia adalah negara Kepulauan (archipelagic state). Deklarasi Negara 

Kepulauan Indonesia telah dimulai ketika diterbitkan Deklarasi Djuanda tahun 

1957, lalu diikuti Prp No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi Negara 

Kepulauan ini juga telah disahkan oleh The United Nations Convention on the 

Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 Bagian IV. Isi deklarasi UNCLOS 1982 

antara lain di antara pulau-pulau Indonesia tidak ada laut bebas, dan sebagai 

Negara Kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines) dari titik-

titik terluar pulau-pulau terluar. 

D. Penyelesaian Sengketa Blok Ambalat Antara Indonesia dan Malaysia 

Menurut UNCLOS 1982 

Menurut Hukum Laut Internasional, Malaysia dan Indonesia telah 

meratifikasi UNCLOS 1982 maka idealnya penyelesaian sengketa berdasarkan 

pada UNCLOS 1982 bukan pada ketentuan yang berlaku sepihak. Menurut 

UNCLOS, Pulau Borneo (yang padanya ada Indonesia, Malaysia dan Brunei 

Darussalam) berhak atas laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. 

Di sebelah timur Borneo, bisa ditentukan batas terluar laut teritorial yang berjarak 

12 mil dari garis pangkal, kemudian garis berjarak 200 mil yang merupakan batas 

ZEE demikian seterusnya untuk landas kontinen. Zona-zona yang terbentuk ini 

adalah hak dari daratan Borneo. Maka secara sederhana bisa dikatakan bahwa 

yang di bagian selatan adalah hak Indonesia dan di utara adalah hak Malaysia. 

Tentu saja, dalam hal ini, perlu ditetapkan garis batas yang membagi kawasan 

perairan ini . 

Sedangkan untuk, garis batas darat antara Indonesia dan Malaysia di 

Borneo memang sudah ditetapkan. Garis itu melalui Pulau Sebatik, sebuah pulau 

kecil di ujung timur Borneo, pada lokasi lintang 4° 10’ (empat derajat 10 menit) 

lintang utara. Garis ini  berhenti di ujung timur Pulau Sebatik. Idealnya, titik 

akhir dari batas darat ini menjadi titik awal dari garis batas maritim. Meski 

demikian, ini tidak berarti bahwa garis batas maritim harus berupa garis lurus 

mengikuti garis 4° 10’ lintang utara. Garis batas maritim ini harus sedemikian 

rupa sehingga membagi kawasan maritim di Laut Sulawesi secara adil. Garis 

inilah yang akan menentukan “pembagian” kedaulatan dan hak berdaulat 

Indonesia dan Malaysia atas kawasan maritim di Laut Sulawesi, termasuk Blok 

Ambalat. Hingga kini, garis ini  ni belum ada/disepakati dan sedang 

dirundingkan. Menurut UNCLOS, proses penentuan garis batas landas kontinen 

mengacu pada Pasal 83 yang mensyaratkan dicapainya solusi yang adil atau 

“equitable solution” (Ayat 1). Untuk mencapai solusi yang adil inilah kedua 

negara dituntut untuk berkreativitas sehingga diperlukan tim negosiasi yang 

berkapasitas memadai. Perlu diperhatikan bahwa ’adil’ tidak selalu berarti sama 

jarak atau equidistance. 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa status hak berdaulat atas Ambalat 

belum sepenuhnya jelas. Belum ada garis batas maritim yang 

menetapkan/membagi kewenangan kedua negara. Meski demikian, pada landas 

kontinen (dasar laut) Laut Sulawesi memang sudah terjadi eksplorasi sumber daya 

laut berupa pemberian konsesi oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1960an 

kepada perusahaan asing yang tidak pernah diprotes secara langsung oleh 

Malaysia sampai dengan tahun 2002. Sejalan dengan itu, Malaysia juga telah 

menyatakan klaimnya atas kawasan tertentu di Laut Sulawesi melalui Peta 1979 

meskipun kenyataannya peta itu diprotes tidak saja oleh Indonesia tetapi juga 

negara tetangga lainnya dan dunia internasional. Klaim oleh Indonesia dalam 

bentuk pemberian blok konsesi sejak tahun 1960an dan klaim terkait oleh 

Malaysia tentu akan menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan delimitasi 

batas maritim di Laut Sulawesi, selain mengacu pada UNCLOS yang lahir 

belakangan. Bagi Indonesia, batas-batas blok konsesi yang sudah ada sejak tahun 

1960an dan tidak ditolak oleh Malaysia tentu akan menjadi pegangan atau acuan 

utama dalam menetapkan batas maritim di Laut Sulawesi. 

Sementara itu, Malaysia yang kini menjadi pemilik sah Sipadan dan 

Ligitan bukan tidak mungkin akan mengambil keuntungan dari posisi kedua pulau 

ini . Meski Malaysia bukan negara kepulauan seperti Indonesia, secara 

teoritis Sipadan dan Ligitan tetap berhak atas kawasan maritim seperti dinyatakan 

dalam UNCLOS, Pasal 121. Namun demikian, tetap ada kemungkinan Indonesia 

menolak memberikan peran penuh (full effect) kepada kedua pulau ini  

sehingga tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap klaim Malaysia. Ada 

kemungkinan Indonesia akan berargumentasi bahwa pulau berukuran kecil seperti 

Sipadan dan Ligitan semestinya tidak memberikan efek yang tidak proporsional 

(disproportionate effect) pada garis batas maritim antara Indonesia dan Malaysia. 

Dalam negosiasi, hal seperti ini sangat penting dan tentu sudah menjadi 

pertimbangan tim Indonesia. 

Seperti dikemukakan sebelumnya, Ambalat hanya terkait dengan dasar 

laut (landas kontinen) saja, tidak ada hubungannya dengan tubuh air. Opsi garis 

yang dibicarakan dalam seksi ini adalah garis batas maritim untuk dasar laut. 

Sementara itu, Indonesia dan Malaysia juga perlu menyelesaikan batas maritim 

untuk perairannya, yang dalam hal ini termasuk dalam rejim ZEE. Jika Malaysia 

dan Indonesia memilih menetapkan garis batas tunggal maka satu garis akan 

membagi dasar laut sekaligus airnya. Secara praktis, garis semacam ini akan 

menentukan batas kewenangan untuk eksploitasi minyak/gas di dasar laut 

sekaligus ikan di perairannya. Opsi seperti ini sangat menguntungkan ditinjau dari 

segi kepraktisan pengelolaan sumberdaya alam dan telah diadopsi di banyak kasus 

yang melibatkan delimitasi multi zona.16 

Sementara itu, jika delimitasi untuk masing-masing rejim (dasar laut dan 

tubuh air) dilakukan secara terpisah maka ada kemungkinan akan dihasilkan garis 

yang berbeda untuk dasar laut (landas kontinen) dan tubuh airnya (ZEE). Solusi 

seperti ini akan menimbulkan suatu situasi yang dalam hal ini ada kawasan 

maritim yang dasar lautnya menjadi kewenangan Indonesia sementara airnya 

adalah kewenangan Malaysia atau sebaliknya. Secara praktis, ikan di kawasan 

tertentu akan menjadi hak Malaysia sementara minyak dan gas di dasar lautnya 

menjadi kewenangan Indonesia atau sebaliknya. Meskipun menimbulkan 

                                                       

kompleksitas yang tinggi, opsi seperti ini telah diadopsi dibeberapa kasus 

sebelumnya. Batas maritim antara Indonesia dan Australia di Laut Timor, 

misalnya, menganut prinsip ini. Batas landas kontinen (dasar laut) yang disepakati 

tahun 1971 dan 1972 antara Indonesia dengan Australia berbeda dengan batas 

ZEE (tubuh air) yang ditetapkan tahun 199717 . Akibatnya, di suatu kawasan 

tertentu, dasar lautnya adalah kewenangan Australia sedangkan airnya menjadi 

kewenangan Indonesia. 

Konvensi Hukum Laut 1982 menyediakan berbagai metode dalam rangka 

penyelesaian sengketa hukum laut. Dilihat dari  perkembangan  sistem  peradilan 

internasional, mekanisme Konvensi ini merupakan yang pertama kali dapat 

mengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur memaksa 

(compulsory procedures), dengan sistem Konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi 

negara-negara pihak Konvensi untuk menunda-nunda sengketa hukum   lautnya   

dengan bersembunyi di belakang konsep kedaulatan negara, karena Konvensi 

secara prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan    

sengketanya   melalui mekanisme Konvensi.18 

Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV tentang Settlement of 

Disputes, Pasal 279 pada intinya menyebutkan bahwa negara-negara pihak diberi 

kebebasan yang luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu 

disepakati bersama. Pasal ini mengarahkan penyelesaian sengketa seperti yang 

dianjurkan dalam Pasal 33 (1) Piagam PBB. Pasal 33 (1) Piagam PBB 

menyebutkan jika terjadi persengketaan hendaknya   diselesaikan dengan cara 

negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement 

resort to regional agencies or arranggements or other peaceful means on their 

own choice.19  Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi antara Indonesia-

Malaysia, kedua negara memilih untuk memakai  metode negotiation atau 

perundingan diplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan 

mereka. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang sudah dilakukan oleh 

perwakilan kedua negara. Penyelesaian kasus batas maritim dapat dilakukan 

                                                        

dengan negosiasi atau dengan bantuan pihak ketiga. Sejauh ini Indonesia dan 

Malaysia memilih negosiasi sebagai jalan penyelesaian sengketa. 

Sejarah membuktikan banyak sengketa antara Indonesia-Malaysia yang 

upaya penyelesaiannya ditempuh dengan cara perundingan. Permasalahan TKI 

ditempuh dengan cara perundingan, penyelesaian sengketa perebutan Pulau 

Sipadan dan Pulau Ligitan pada awalnya ditempuh dengan cara perundingan, baik 

perundingan antar kepala negara, tingkat menteri pembentukan kelompok kerja 

sampai pada tingkat perundingan antar wakil-wakil khusus (special 

representative), walau pada akhirnya upaya perundingan ini  tidak berhasil 

dan penyelesaian akhir sengketa dilakukan melalui Mahkamah Internasional. 

Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme 

perundingan ini adalah cara konvensional yang selalu dipakai  dalam rangka 

upaya penyelesaian sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara ini 

terkadang memerlukan waktu yang sangat lama, sebagai contoh perundingan 

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan memerlukan waktu lebih dari 10 tahun. Hal ini 

bisa terjadi karena dalam perundingan dimungkinka para pihak tetap bersikeras 

dengan pendapatnya dan berusaha untuk mematahkan argumentasi-argumentasi 

yang diberikan pihak lawan kadang hal ini dilakukan sebagai implementasi dari 

kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, sehingga susah untuk 

mencari titk temu penyelesaian. Waktu yang lama adalah resiko yang harus 

diterima oleh para pihak jika menempuh cara ini, akan tetapi metode negosiasi 

atau perundingan mempunyai sisi positif, kedaulatan dari para pihak tetap terjaga. 

Metode penyelesaian sengketa melalui perundingan ini termasuk metode 

penyelesaian non-yurisdiksional, dimana tidak mengikat para pihak yang 

bersengketa. 

Berdasarkan sengketa ini , cara damai seperti negosiasi telah berulang 

kali dilakukan tetapi belum menemukan titik temu. Sejak isu Ambalat muncul, 

negosiasi sudah dilakukan 14 kali secara bergantian di kedua negara. Memang 

harus dipahami bahwa delimitasi batas maritim bukanlah sesuatu yang mudah. 

Negosiasi batas maritim dengan Vietnam, misalnya, berlangsung selama 25 tahun 

sebelum berakhir tahun 2003. Sementara dengan Malaysia, perundingan batas 

maritim sudah berlangsung sejak tahun 1960an dengan perjanjian pertama 

ditandatangani tahun 1969. Pilihan memanfaatkan jalur negosiasi dipandang lebih 

baik dibandingkan menyerahkan kepada pihak ketiga seperti ICJ. Pertama, kedua 

belah pihak bisa memegang kendali penuh terhadap penyelesaian kasus dan tidak 

menyerahkannya kepada pihak ketiga. Dengan demikian, semua kepentingan 

masing-masing pihak dapat diperjuangkan dengan optimal. Kedua, penyelesaian 

kasus melalui ICJ misalnya memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. 

Kasus Sipadan dan Ligitan, misalnya menelan dana tidak kurang dari Rp. 16 

miliar seperti yang dinyatakan oleh Mentri Luar Negeri Hassan Wirajuda.

Kenyataannya, Indonesia dan Malaysia memang bersepakat untuk 

menyelesaiakan sengketa Ambalat ini melalui jalur negosiasi dan tidak akan 

membawanya ke ICJ.

Cara lain seperti mediasi (mediation) juga dapat ditempuh oleh Indonesia 

dan Malaysia dalam menyelesaikan persengketaan mereka. Mediasi ini adalah 

cara penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga untuk ikut membantu 

menyelesaikan persengketaan. Sejarah menyebutkan bahwa Indonesia pernah 

menempuh cara ini dalam menyelesaikan sengketanya. Mediasi Komisi Tiga 

Negara (Australia, Belgia dan USA) yang dibentuk PBB bulan Agustus 1997 

sangat efektif dalam rangka mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan 

Belanda, bahkan juga ikut membantu perumusan Perjanjian Renville. Mediasi 

juga banyak dipakai  negara-negara lain sebagai salah satu upaya dalam 

menyelesaikan persengketaan yang mereka hadapi. 

Dalam hal tidak tercapainya suatu penyelesaian dengan cara yang ini  

diatas, Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai metode   penyelesaian sengketa 

yang tidak mengikat (non-yurisdiksional) lainnya, yaitu dengan metode konsiliasi 

(conciliation) seperti yang diatur dalam Pasal 284 dan teknisnya diatur dalam 

Lampiran V Konvensi Hukum Laut 1982. Cara penyelesaian perselisihan menurut 

prosedur konsiliasi ini dimulai dengan pemberitahuan dari salah satu pihak yang 

berselisih kepada pihak lainnya (pasal 1 Annex V UNCLOS ’82). Sekjen PBB 

akan memegang nama-nama dari konsiliator (juru damai) yang ditunjuk negara-

                                                       

negara peserta Konvensi dimana setiap negara dapat menunjuk 4 konsiliator 

dengan persyaratan bahwa orang-orang ini  mempunyai reputasi tinggi, 

kompeten dan memiliki integritas (pasal 2 Annex V UNCLOS ’82).  

Komisi konsiliasi terdiri dari 5 (lima) anggota, 2 dipilih oleh masing-

masing pihak (sebaiknya dari nama-nama yang ada dalam daftar) dan yang kelima 

dipilih dari daftar oleh keempat anggota dan akan menjadi ketua Komisi 

(Chairman). Jika penunjukan ini tak dapat terlaksana, maka Sekjen PBB akan 

menunjuknya dari dalam daftar setelah yang bersangkutan (pasal 3 Annex V 

UNCLOS ’82).  Keputusan-keputusan tentang masalah prosedural, laporan-

laporan dan rekomendasi dari Komisi, dilaksanakan dengan pemungutan suara 

terbanyak (pasal 4 Annex V UNCLOS ’82). Komisi akan mendengar pihak-pihak 

yang berselisih, memeriksa klaim mereka, serta keberatan-keberatan yang 

diajukan dan menyiapkan usul-usul untuk penyelesaian secara damai (pasal 6 

Annex V UNCLOS ’82). Komisi akan memberikan suatu hasil telahan (report) di 

dalam waktu 12 bulan sejak komisi terbentuk. Report akan mencatat setiap 

persetujuan yang dicapai, persetujuan yang gagal, kesimpulan-kesimpulan atas 

semua fakta dan hukumnya, yang penting bagi masalah yang diperselisihkan   dan 

rekomendasi yang  dipandang  komisi bermanfaat untuk penyelesaian perdamaian. 

Report akan disimpan dikantor Sekjen PBB dan akan segera diteruskan ke 

masing-masing pihak. Report ini tidak mengikat pihak-pihak yang bersangkutan 

(pasal 7 Annex V UNCLOS ’82).   Konsiliasi akan berakhir apabila penyelesaian 

telah tercapai, pada waktu pihak-pihak yang bersangkutan menerima atau salah 

satu pihak pihak menolak report dengan nota tertulis yang dialamatkan ke Sekjen 

PBB atau apabila jangka waktu 3 bulan telah lewat sejak report disampaikan 

kepada para pihak (pasal 8 Annex V UNCLOS ’82). Uang jasa dan pengeluaran-

pengeluaran Komisi dibebankan pada pihak yang berselisih (pasal 9 Annex V 

UNCLOS ’82). 

Akhirnya jika melalui prosedur yang telah ini kan diatas, para pihak 

belum dapat menyelesaikan sengketanya, maka diterapkan prosedur selanjutnya 

yaitu menyampaikan ke salah satu badan peradilan yang disediakan oleh konvensi 

sesuai dengan Pasal 287 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu:

a. Mahkamah / Tribunal Internasional Hukum Laut; 

b. Mahkamah Internasional; 

c. Tribunal Arbitrase; 

d. Tribunal Arbitrasi khusus. 

Lembaga-lembaga ini  mempunyai yurisdiksi atas perselisihan yang 

diajukan kepadanya tentang interpretasi dan penerapan ketentuan-ketentuan 

Konvensi ini. Khusus untuk Arbitrase Khusus, prosedurnya ditentukan dalam 

Annex VIII serta  diperuntukkan bagi perselisihan tentang:

a. Perikanan; 

b. Perlindungan dan pemeliharaan lingkungan kelautan; 

c. Riset ilmiah lautan; 

d. Navigasi termasuk polusi kapal dari dumping. 

Adapun lembaga-lembaga yang ini  diatas adalah lembaga yang 

mempunyai keputusan mengikat (binding decisions). Setiap keputusan yang 

dikeluarkan oleh lembaga ini  merupakan putusan akhir (final decisions). 

Indonesia dan Malaysia pernah memakai  metode penyelesaian sengketa  

mengikat ini (melalui Mahkamah Internasional) sewaktu menyelesaikan sengketa  

perebutan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. 

Secara de jure dan de facto, kasus Ambalat begitu sulit untuk dicarikan 

penyelesaiannya. Hal ini disebabkan, begitu rumitnya konfigurasi geografis dari 

wilayah Ambalat. Artinya, setidaknya untuk sekarang ini, sangat sulit untuk 

membagi wilayah ini  menjadi dua bagian, baik milik Indonesia maupun 

Malaysia. Cara yang paling efektif bagi penyelesian sengketa Ambalat dapat 

ditempuh melalui tiga metode, yaitu pertama, dengan cara adanya zona 

pembangunan bersama (joint development zone), kedua, prinsip yang adil 

(equitable principles), dan ketiga, berdasarkan “Semangat ASEAN”.25 

E. Langkah Hukum Negara Indonesia dalam Menghadapi Klaim 

Malaysia Atas Blok Ambalat 

Kebijakan pemerintah Indonesia sebelum terjadi konflik Ambalat memang 

dapat dikategorikan masih belum optimal dan belum tepat sasaran. Bila saja 

                                                       

Indonesia sejak dahulu lebih memperhatikan masalah perbatasan Indonesia 

mungkin kejadian konflik Ambalat tidak perlu terjadi. Saat ini pemerintah 

Indonesia yang mencakup instansi-instansi terkait berkoordinasi bersama, 

membuat kebijakan yang terkait untuk menyelesaikan konflik Ambalat dan untuk 

mencegah konflik yang sarna terulang. 

Secara yuridis, Indonesia diuntungkan oleh adanya pasal 47 UNCLOS 

bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia dapat menarik garis di pulau-pulau 

terluarnya sebagai patokan untuk garis batas wilayah kedaulatannya. Paling tidak, 

ada empat langkah yang dapat diambil untuk menyelesaikan sengketa wilayah 

Ambalat ini . Pertama, melalui perundingan bilateral, yaitu memberi 

kesempatan kedua belah pihak untuk menyampaikan argumentasinya tentang 

wilayah yang disengketakan dalam forum bilateral.  

Indonesia dan Malaysia harus secara jelas menyampaikan mana batas 

wilayah yang diklaim dan apa landasan yuridisnya. Dalam hal ini, Malaysia 

tampaknya akan memakai  peta 1979 yang kontroversial itu. Sementara 

Indonesia mendasarkan klaimnya pada UNCLOS 1982. Jika gagal, maka perlu 

dilakukan cooling down dan selanjutnya masuk langkah kedua dengan 

menetapkan wilayah sengketa sebagai status quo dalam kurun waktu tertentu. 

Pada tahap ini, bisa saja dilakukan eksplorasi di Blok Ambalat sebagai sarana 

untuk menumbuhkan rasa saling percaya kedua belah pihak (confidence building 

measures). Pola ini pernah dijalankan  Indonesia-Australia dalam mengelola 

Celah Timor.  

Langkah ketiga bisa memanfaatkan organisasi regional sebagai sarana 

resolusi konflik, misalnya, melalui ASEAN dengan memanfaatkan High Council 

seperti termaktub dalam Treaty of Amity and Cooperation yang pernah digagas 

dalam Deklarasi Bali 1976. Malaysia akan enggan memakai  jalur ini karena 

takut dikeroyok negara-negara ASEAN lainnya. Sebab, mereka memiliki 

persoalan perbatasan dengan Malaysia akibat ditetapkannya klaim unilateral 

Malaysia berdasarkan peta 1979, seperti Filipina, Thailand, dan Singapura. Di 

samping itu, kedua negara juga bisa memanfaatkan jasa baik (good office) negara 

yang menjadi ketua ARF (ASEAN Regional Forum) untuk menengahi sengketa 

ini. 

19 

 

Jika langkah ketiga ini  tidak juga berjalan, masih ada cara lain. 

Membawa kasus itu ke Mahkamah Internasional (MI) sebagai langkah 

nonpolitical legal solution. Mungkin, ada keengganan Indonesia untuk membawa 

kasus ini  ke MI karena pengalaman pahit atas lepasnya Sipadan dan Ligitan. 

Tetapi, jika Indonesia mampu menunjukkan bukti yuridis dan fakta-fakta lain 

yang kuat, peluang untuk memenangkan sengketa itu cukup besar. Pasal-pasal 

yang ada pada UNCLOS 1982 cukup menguntungkan Indonesia, bukti ilmiah 

posisi Ambalat yang merupakan kepanjangan alamiah wilayah Kalimantan Timur, 

bukti sejarah bahwa wilayah itu merupakan bagian dari Kerajaan Bulungan, dan 

penempatan kapal-kapal patroli TNI-AL adalah modal bangsa Indonesia untuk 

memenangkan sengketa ini . 

 

Simpulan 

Dari uraian yang telah sampaikan dalam penulisan tesis ini, maka dapat penulis 

simpulkan dalam uraian yang lebih singkat dalam bab ini sebagai berikut: 

1. Dasar hukum Malaysia dalam mengklaim kepemilikan Blok Ambalat yaitu 

peta yang dibuat Tahun 1979 oleh Malaysia dan meletakkan batas terluar 

maritim secara eksesif di daerah Laut Sulawesi karena Malaysia 

memakai  pulau Sipadan-Ligitan untuk menarik garis pangkal terluar 

negaranya sedangkan Malaysia bukan merupakan negara kepulauan. 

Selanjutnya Malaysia memakai  pasal 121 UNCLOS’82 yang 

menyatakan bahwa “ tiap pulau berhak mempunyai laut teritorial, zona 

ekonomi eksklusif dan landas kontinennya”. Dengan Peta baru Malaysia ini 

Malaysia mengumumkan lebar laut teritorialnya 12 mil laut yang diukur 

dengan garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut hukum laut 

1958. 

2. Klaim yang diajukan malaysia terhadap blok ambalat sudah sesuai dengan 

ketentuan Hukum Laut Internasional, dan memakai  mementum 

kepemilikan atas pulau Sipadan dan Ligitan yang sebelumnya memang 

disengketakan. Hal ini berbeda dengan blok Ambalat yang sebelumnya tidak 

ada sengketa dengan Malaysia karena Malaysia belum memiliki landasan 

hukum yang kuat. Bila memakai  Peta Tahun 1979 maka klaim ini  

20 

 

lemah karena peta ini  dibuat secara sepihak dan mendapat penolakan 

dari Indonesia dan negara lainnya namun bila memakai  dasar 

kepemilikian Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk wilayah lautnya sesuai 

dengan Unclos Pasal 12 hal ini  bisa dimungkinkan dijadikan alasan 

untuk mengajukan klaim terhadap Blok Ambalat dari Indonesia. 

3. Penyelesaian klaim Malaysia dalam sengketa Blok Ambalat antara Indonesia 

dan Malaysia menurut Hukum Laut Internasional yaitu dengan memberikan 

kebebasan bagi kedua negara untuk memilih prosedur yang diinginkan 

sepanjang itu disepakati bersama. Dalam piagam PPB Pasal 33 (1) 

menyebutkan jika terjadi persengketaan hendaknya   diselesaikan dengan cara 

negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement 

resort to regional agencies or arranggements or other peaceful means on their 

own choice. Malaysia dan Indonesia sepakat untuk metode negotiation atau 

perundingan diplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan 

persengketaan mereka. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang sudah 

dilakukan oleh perwakilan kedua negara. Penyelesaian kasus batas maritim 

dapat dilakukan dengan negosiasi atau dengan bantuan pihak ketiga. Sejauh 

ini Indonesia dan Malaysia memilih negosiasi sebagai jalan penyelesaian 

sengketa. 

4. Langkah-langkah hukum yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi klaim 

Malaysia atas perbatasan wilayah Ambalat terdiri dari strategi diplomasi luar 

negeri dan pengaturan perundang-undangan. Kementerian Luar negeri 

menekankan pada soft diplomacy yaitu cara penyelesaian masalah secara 

halus tetapi tetap mempertahankan misi dengan kuat tanpa merendahkan 

harga diri bangsa Indonesia. Strategi yang dilakukan oleh TNI AL yaitu 

menggelar operasi yang dikategorikan sebagai tindakan preventif (stabilitas 

keamanan dilaut, melindungi sumber daya alam dari berbagai pencegahan) 

dan represif (tindakan). Yang dapat dilakukan KKP sebagai badan yang 

mengatur mengenai pengelolaan pulau-pulau Indonesia yaitu tertib 

administrasi pemerintahan dan memberikan nama pada smeua pulau di 

Indonesia. Sedangkan pada Perundang-Undangan Nasional dianggap masih 

perlu pengkajian lebih dalam dan perlunya perbaikan. 

21 

 

DAFTAR PUSTAKA 

 

Buku 

Achmad, Ali, 2003, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta. 

 

Adolf Huala, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar 

Grafika, Jakarta. 

 

Anthony Csabafi,  1971, The Concept of State Jurisdiction in International 

Space Law, The Hague. 

 

Baylis, John, Smith, S. P. Owens (4ed), 2008, The Globalization of World 

Politics: An Introduction to International Relations, Oxford University Press, 

New York. 

 

Buzan, Barry, 1991, People, State, and Fear, Harvester Wheatsheaf,  New 

York. 

 

Boer Mauna, 2008, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi 

dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung.  

 

Csabafi,  1971, Anthony The Concept of State Jurisdiction in International 

Space Law, The Hague. 

 

 

Fox JJ, 2009, Legal and Illegal Indonesian Fishing in Australian Waters, 

dalam Cribb, R. dan Ford, M. (eds), Indonesia Beyond the Water’s Edge - 

Managing an Archipelagic State, ISEAS, Singapore. 

 

Holsti, K.J., 1992, The Interaction of States: Conflict and Conflict Resolution, 

Prentice Hall, New jersey. 

 

Istanto, F. Sugeng, 1994, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya 

Yogyakarta. 

 

Kantaatmadja, Komar, dkk., 1991, Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa 

tentang Hukum Laut, Gadjah Mada Press, Yogyakarta. 

 

Kelsen, Hans, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cetakan 

Pertama, Nuansa dan Nusamedia, Bandung,. 

 

Mauna, Boer, 2008, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi 

dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung,. 

 

Moelong, Lexy J., 2005, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, 

Bandung. 

 

22 

 

Mohamad Sodik Dikdik, 2011, Hukum Laut Internasional, Refika Aditama, 

Bandung. 

 

Papanicolopulu, 2007, A Note on Maritime Delimitation in a Multizonal 

Context: The Case of The Mediteranian, Ocean Development and International 

Law. 

 

R. Haller Trost, 1998, The Contested Maritime and Territorial Boundaries of 

Malaysia An International Law Perspective, Kluwer Law International. 

 

Ronny Hanintijo Soemitro, 1983, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia 

Indonesia, Jakarta. 

 

Soehino, 2005, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta. 

 

Sefriani, 2009, Hukum Internasional Suatu Pengatar, Rajawali Press, 

Yogyakarta. 

 

Stean Jill and Pettiford, Lloyd, 2001, International Relations: Perspectives and 

Themes, Pearson Education Limited, London. 

 

Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta. 

Bandung. 

 

Waltz, 1979, Kenneth, Theory of International Politics, Reading, Addison-

Wesley Publishing Company, MA. 

 

W. Poeggel and E. Oeser, 1991, Methods of Diplomatic Settlement, dalam 

Mohammed Bedjaoui (ed.), International Law: Achievements and Prospects, 

Dordrescht: Martinus Nijhoff and UNESCO. 

 

 

Jurnal 

 

V. Prescott, 1997, The completion of marine boundary delimitation between 

Australia and Indonesia, Geopolitics, Volume 2 No. 2. 

 

Thomas Merilin L. I., 2013, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Tentang 

Penetapan Batas Wilayah Laut Negara, Jurnal Lex et Societatis, Volume I No. 

2, April – Juni 2013. 

 

 

Booth, Ken, Security in Anarchy: Utopian Realism in Theory and Practice, 

International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944), Volume 67 

No. 3, July 1991. 

 

Gallo Giorgio dan Marzono, Arturo, The Dynamic of Assymetric Conflict: The 

Israeli-Palestinian Case, Volume 29. 

23 

 

Makalah 

Havas Oegrosewu, Arif, 2004, Delimitasi Batas Maritim dalam Kebijakan 

Border Diplomacy Indonesia, 12-15 Desember 2004, Lokakarya Hukum Laut 

Internasional, Yogyakarta. 

 

Arofah Siti, 2011, Sengketa Internasional Batas Wilayah (Ambalat) Antara 

Indonesia dengan Malaysia, Makalah Universitas Negeri Makassar, Makasar. 

 

 

Peraturan Perundang-undangan 

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 

1997 tentang Rencana: Tata Ruang Wilayah Nasional. 

 

Deplu, 2002, Proses Ligitasi Masalah Pulau Sipadan dan Ligitan Pada 

Mahkamah Internasional (ICJ), Den Haag. 

 

Piagam ASEAN tentang Tujuan dan Prinsip ASEAN. 

Piagam PBB tentang Persengketaan. 

 

UNCLOS 1982 tentang Hukum Laut Internasional. 

 

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah 

Negara Batas Wilayah. 

 

 

Surat Kabar 

Kahar, 3 Januari 2004, Jounil, Penyelesaian Batas Maritim NKRI, Pikiran 

Rakyat. 

 

 

Naskah Internet 

 

 

Analisis Ambalat, http://letbrain-answer.blogspot.com/2008/01/analisis-

ambalat.html. 

 

Kamus 

Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 

ketiga, Balai Pustaka, Jakarta. 

 

Buletin 

Tim Redaksi, 2004, Pulau-pulau Terluar Indonesia, Buletin DISHIDROS TNI 

AL edisi 1/ III. 

 


Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive