Tampilkan postingan dengan label PHK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PHK. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

PHK

 



Hubungan antara pengusaha dengan pekerja di lingkungan tempat kerja 

dikenal dengan istilah hubungan kerja. Hubungan kerja ini merupakan dasar 

utama dalam ketenagakerjaan yang menyebabkan lahirnya hak dan kewajiban 

antara pengusaha dengan pekerja. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 13 

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengaturan mengenai hubungan 

kerja.1 Hubungan kerja sebagai hubungan hukum lahir karena adanya perjanjian 

kerja yang disepakati antara pengusaha dan pekerja.2 Keberadaan perjanjian 

kerja ini  penting karena tidak hanya sebagai dasar lahirnya hubungan 

kerja, namun juga sebagai dasar yang menggariskan hak dan kewajiban pekerja 

terhadap pengusaha, dan sebaliknya.

Sebagaimana suatu bentuk hubungan yang lain, hubungan kerja memiliki 

kemungkinan untuk terputus. Terputusnya hubungan kerja antara pengusaha 

dan pekerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan disebut sebagai Pemutusan 

Hubungan Kerja (PHK).4 PHK dapat terjadi karena beberapa hal, yakni karena 

PHK demi hukum seperti dalam hal pekerja memasuki masa pensiun atau pekerja 

meninggal dunia, atau PHK dari sisi pekerja, yakni ketika pekerja mengundurkan 

diri (resign), serta PHK dari sisi pengusaha, yakni ketika pengusaha memutuskan 

hubungan kerja karena sebab tertentu.

PHK diatur secara khusus dalam Bab XII UU Ketenagakerjaan. Pengaturan 

mengenai PHK ini merupakan bagian dari pengejawantahan negara Indonesia 

sebagai penganut sistem welfare state atau tipe negara kesejahteraan, di mana 

negara melalui pemerintah banyak melakukan campur tangan pada berbagai 

urusan warga negaranya untuk melindungi pihak yang lebih lemah. Termasuk 

dalam bidang ketenagakerjaan, UU Ketenagakerjaan dibuat untuk melindungi 

pekerja sebagai pihak yang posisinya lebih lemah.5 Hal ini penting mengingat jika 

berbicara mengenai hak-hak pekerja, maka berarti membicarakan hak-hak asasi,

yang dalam kaitannya dengan PHK yakni hak-hak untuk mendapatkan pekerjaan 

dan penghidupan yang layak sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI Tahun 

1945.7 Untuk itu, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan atau pelanggaran hak, 

pelaksanaan PHK diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Dalam konteks PHK yang dilakukan oleh pengusaha, UU Ketenagakerjaan 

memberi pengaturan yang rigid. Untuk melakukan PHK, pengusaha harus 

mendasarkan pada alasan-alasan yang ditentukan dalam UU Ketenagakerjaan. 

Salah satunya yang diatur dalam ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketengakerjaan, 

yang berbunyi:

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 

pekerja/buruh, karena perusahaan tutup bukan karena mengalami 

kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan 

memaksa ( force majeur) tetapi karena perusahaan melakukan efisiensi, 

dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 

(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 

sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian 

hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).8

PHK yang didasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) ini  sering disebut 

dengan istilah PHK efisiensi. Jika merujuk pada rumusan pasal ini , terlihat 

bahwa terdapat hak dari pengusaha untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya 

bila perusahaannya tutup karena efisiensi. Meski demikian, UU Ketenagakerjaan 

tidak memberikan definisi lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan frasa 

“perusahaan tutup” maupun kata “efisiensi” pada pasal ini .9 Ditambah pula, 

pada bagian penjelasan pasal per pasal, hanya tertulis keterangan “cukup jelas”.10 

Ketidakjelasan ini berdampak pada implementasi ketentuan pasal ini , yang 

kemudian dimaknai berbeda-beda dalam praktiknya. Pertama, terdapat pihak yang 

menafsirkan bahwa frasa “perusahaan tutup” dan kata “efisiensi” merupakan satu 

kesatuan, sehingga PHK efisiensi hanya bisa dilakukan dalam hal perusahaan tutup 

baik permanen ataupun tidak. Atau kedua, terdapat pendapat bahwa “efisiensi” 

dapat dimaknai terpisah dengan “perusahaan tutup”, sehingga dengan melakukan 

efisiensi saja, pengusaha dapat menjatuhkan PHK.

Berbagai perbedaan pandangan ini  menimbulkan permasalahan dan 

ketidakpastian hukum dalam implementasi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. 

Sampai kemudian terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XI.2011. 

Putusan ini diawali dengan permohonan judicial review dari 38 pekerja Hotel 

Papandayan Bandung yang terkena PHK dengan dasar Pasal 164 ayat (3) UU 

Ketenagakerjaan.11 Pengusaha hotel ini  mempergunakan alasan perusahaan 

tutup karena efisiensi, namun yang terjadi adalah perusahaan tutup sementara 

karena proses renovasi hotel ini . Para pekerja merasa dirugikan dan 

berpendapat bahwa PHK dilakukan atas dasar hukum yang tidak tepat. Renovasi 

yang dilakukan mestinya berdasarkan suatu kemampuan finansial yang cukup, 

sehingga sama sekali tidak sejalan dengan konsep efisiensi perusahaan.

Pada pertimbangannya, MK berpendapat bahwa sejatinya PHK yang dilakukan 

oleh Hotel Papandayan ini  tidak tepat jika menggunakan dasar Pasal 164 

ayat (3) UU Ketenagakerjaan.13 Renovasi perusahaan ini  dapat menjadikan 

operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan 

tidaklah sama dengan perusahaan tutup sebagaimana dimaksudkan dalam 

Pasal 164 ayat (3).14 MK berpendapat bahwa efisiensi saja tanpa penutupan 

perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.15 Oleh karena 

itu, dalam putusannya MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU 

Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang frasa 

“perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan 

tutup tidak untuk sementara waktu”.16 Dengan demikian, keberadaan putusan MK 

ini menggariskan bahwa PHK efisiensi hanya bisa dilakukan dengan tutupnya 

perusahaan secara permanen, yang mana tutupnya perusahaan ini  merupakan 

cara dari perusahaan melakukan efisiensi.

Permasalahannya adalah saat pandemi covid-19 merebak, cara utama yang 

dianjurkan oleh ahli kesehatan dan wabah penyakit adalah dengan melakukan 

physical distancing. Atas dasar hal ini, berbagai daerah menerapkan kebijakan 

pembatasan sosial. Pembatasan kegiatan masyarakat dan karantina mandiri 

dianjurkan untuk mengurangi transmisi penularan covid-19. Pembatasan ini 

juga berlaku di berbagai lini kehidupan, termasuk pada kegiatan operasional 

perusahaan. Akibatnya, proses operasional perusahaan tidak dapat berjalan 

maksimal, bahkan terhenti, sehingga menimbulkan kerugian bagi pengusaha. Di 

sisi lain, bagi yang tetap beroperasi pun pendapatannya berkurang dan bahkan 

di titik nol akibat konsumen dan pengguna terdampak pembatasan sosial pula. 

Pandemi covid-19 ini menempatkan perusahaan di posisi yang serba sulit. Pada 

akhirnya, PHK efisiensi menjadi pilihan banyak pengusaha, yakni melakukan 

efisiensi dengan PHK sejumlah pekerja, demi mempertahankan kelangsungan 

usaha dan kelangsungan bekerja sebagian pekerja yang lain.

Padahal jika mendasarkan dari putusan MK di atas, bahwa PHK efisiensi hanya 

dapat dilakukan dalam rangka penutupan perusahaan secara permanen. Fenomena 

yang terjadi pada masa pandemi covid-19 ini, PHK efisiensi dilakukan tanpa 

menutup perusahaan. Rasio dari merebaknya fenomena ini adalah perusahaan 

tidak perlu tutup untuk melakukan efisiensi apabila tindakan perubahan ini  

justru dapat menyelamatkan perusahaan dan sebagian pekerja lainnya.17 Dilihat 

dari aspek kemanfaatan, dalam situasi seperti ini, penutupan perusahaan secara 

permanen justru akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi, yakni hilangnya 

pekerjaan bagi seluruh pekerja, dan termasuk juga pengusahanya. Padahal 

situasi pandemi covid-19 ini sulit dan serba tak menentu, apalagi jika ditambah 

dengan membludaknya angka pengangguran. Lantas, bagaimana justifikasi dan 

aspek hukum dari fenomena PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan di masa 

pandemi covid-19 ini? Hal ini menjadi menarik untuk ditelaah lebih lanjut, sebab 

di tengah situasi yang serba tidak menentu ini, perlindungan hukum bagi pekerja 

maupun pengusaha dalam lingkup ketenagakerjaan juga tidak boleh luput untuk 

diperhatikan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan dalam bagian latar belakang, 

artikel ini akan menelaah lebih lanjut mengenai bagaimana tinjauan justifikasi 

dan aspek hukum atas PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan yang marak 

dilakukan selama masa pandemi covid-19 di Indonesia, dalam kaitannya pula 

dengan keberadaan Putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011.


Hubungan kerja merupakan hubungan hukum antara pekerja dengan 

pengusaha di lingkup tempat kerja. Hubungan kerja ini didasarkan atas perjanjian 

kerja yang disepakati oleh pekerja dan pengusaha, dan sekaligus menggariskan 

hak dan kewajiban keduanya dalam hubungan hukum ini . Pada titik tertentu, 

selayaknya pada hubungan-hubungan yang lain, hubungan kerja juga memiliki 

kemungkinan untuk putus atau berakhir. Istilah untuk menyebut berakhirnya 

hubungan kerja adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PHK merupakan salah 

satu aspek yang diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan Hal ini didasarkan 

pada pertimbangan adanya kemungkinan berselisih, kesewenang-wenangan, dan 

tidak terpenuhinya hak-hak pekerja. Iman Soepomo menyatakan bahwa PHK 

bagi pekerja merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari 

berakhirnya mempunyai pekerjaan, permulaan dari berakhirnya kemampuan 

membiayai keperluan hidup sehari-hari baginya dan keluarganya, permulaan dari 

berakhirnya kemampuan menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.18 Terlihat, 

bahwa PHK merupakan peristiwa yang krusial bagi pekerja, sehingga perlu 

dilakukan pengaturan lebih lanjut untuk melindungi posisi pekerja.

PHK menurut Sastrohadiwiryo merupakan suatu proses pelepasan keterikatan 

kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja yang bersangkutan ataupun 

atas kebijakan perusahan di mana tenaga kerja ini  dipandang sudah tidak 

cakap lagi dan kondisi perusahaan yang tidak memungkinkan.19 Melihat definisi 

ini, PHK disimpulkan sebagai suatu tindakan sepihak dari pengusaha untuk 

mengakhiri hubungan kerja dengan pekerjanya karena alasan tertentu. Berbeda 

dengan definisi ini , UU Ketenagakerjaan justru memberikan pengertian yang 

lebih umum. PHK diartikan sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal 

tertentu, yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan 

pengusaha.20 Definisi ini memberikan generalisasi bahwa PHK tidak hanya secara 

spesifik dapat dilakukan oleh pengusaha saja, namun juga oleh pekerja. Sebab, 

hubungan kerja merupakan hubungan hukum yang sifatnya timbal balik, serta 

perjanjian kerja yang mendasari hubungan ini  juga merupakan perjanjian 

timbal balik di mana masing-masing pihak dapat mempunyai hak serta kewajiban. 

Oleh karena itu, keduanya sama-sama berhak untuk memutus hubungan kerja.

Jenis-jenis PHK dalam doktrin terbagi menjadi:

1. PHK oleh pengusaha, yaitu PHK oleh pihak pengusaha karena 

keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan, dan 

prosedur tertentu.

2. PHK oleh pekerja, yaitu PHK oleh pihak pekerja terjadi karena 

keinginan dari pihak pekerja dengan alasan tertenttu dan prosedur 

tertentu. Misalnya karena pekerja mengundurkan diri.

3. PHK demi hukum, yaitu PHK yang terjadi tanpa perlu adanya suatu 

tindakan, terjadi dengan sendirinya. Misalnya karena pensiun, atau 

karena meninggalnya pekerja.

4. PHK oleh pengadilan hubungan industrial, yaitu PHK oleh putusan 

pengadilan, yang terjadi karena alasan-alasan tertentu yang 

berdasarkan Undang-Undang mendesak dan penting, misalnya 

terjadinya peralihan kepemilikan, peralihan aset atau pailit.

Merincikan masing-masing jenis PHK di atas, UU Ketenagakerjaan secara 

spesifik menyebutkan alasan-alasan apa saja yang dapat digunakan sebagai dasar 

alasan PHK, yakni: 

1. Pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib (Pasal 160);

2. Pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian 

kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 161);

3. Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri (Pasal 162);

4. Dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan 

kepemilikan perusahaan (Pasal 163);

5. Perusahaan tutup baik karena merugi, force majeure atau karena efisiensi 

(Pasal 164);

6. Perusahaan pailit (Pasal 165);

7. Pekerja meninggal dunia (Pasal 166);

8. Pekerja memasuki usia pensiun (Pasal 167); 

9. Pekerja mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa 

keterangan secara tertulis, sehingga dikualisifikasikan mengundurkan diri 

(Pasal 168);

10. Dalam hal pekerja mengajukan permohonan PHK kepada Lembaga Penyelesaian 

Perselisihan Hubungan Industrial (Pasal 169);

11. Pekerja mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan 

kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya (Pasal 172).

21  Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 66.

22  Lihat Bab XII UU Ketenagakerjaan. Diolah dari ketentuan Pasal 160 hingga Pasal 172.


Untuk melindungi jaminan perlindungan terhadap pekerjaan dan penghidupan 

layak bagi pekerja, PHK dipersyaratkan sebagai pilihan atau upaya terakhir sesudah  

hal-hal yang lain gagal ditempuh. Dengan kata lain, semua pihak, termasuk pekerja 

dan pengusaha sendiri mesti mengupayakan sebaik-baiknya supaya tidak terjadi 

PHK.23 Jika semua hal telah diusahakan dan kemudian PHK masih tidak dapat 

dihindari, pelaksanaan PHK diharuskan melalui tahap perundingan antara pekerja 

dengan pengusaha yang bersangkutan.Bila kemudian tidak dapat tercapai 

kesepakatan dalam perundingan ini , PHK barulah dapat dilaksanakan 

sesudah  mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan 

industrial.Keberadaan aturan ini sungguh-sungguh menunjukkan adanya campur 

tangan dari pemerintah agar PHK dilakukan tidak dengan sewenang-wenang dan 

juga melindungi hak-hak pekerja.

Salah satu alasan PHK dalam UU Ketenagakerjaan yang menimbulkan polemik 

yakni PHK yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (3). PHK ini seringkali 

disebut dengan PHK efisiensi. Ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan 

sebagai berikut:

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 

pekerja/buruh, karena perusahaan tutup bukan karena mengalami 

kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan 

memaksa ( force majeur) tetapi karena perusahaan melakukan efisiensi, 

dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 

(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 

sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian 

hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).26

PHK efisiensi ini merupakan salah satu alasan PHK yang mengundang banyak 

argumen dan interpretasi dalam penerapannya. Hal ini berkisar antara frasa 

“perusahaan tutup” dan kata “efisiensi”. Jika merujuk pada rumusan Pasal 164 

ayat (3) ini , terlihat bahwa terdapat hak dari pengusaha untuk melakukan 

PHK terhadap pekerjanya bila perusahaannya tutup karena efisiensi. Meski 

demikian, UU Ketenagakerjaan tidak memberikan definisi lebih lanjut mengenai 

apa yang dimaksud dengan frasa “perusahaan tutup” maupun kata “efisiensi” 

pada pasal ini . Ditambah pula, pada bagian penjelasan pasal per pasal, 


hanya tertulis keterangan “cukup jelas”. Ketidakjelasan ini berdampak pada 

implementasi ketentuan pasal ini , yang kemudian dimaknai berbeda-beda 

dalam praktiknya. ada  pihak yang menafsirkan bahwa frasa “perusahaan 

tutup” dan kata “efisiensi” merupakan satu kesatuan, sehingga PHK efisiensi 

hanya bisa dilakukan dalam hal perusahaan tutup baik permanen ataupun tidak. 

Sebaliknya, terdapat pendapat bahwa “efisiensi” dapat dimaknai terpisah dengan 

“perusahaan tutup”, sehingga dengan melakukan efisiensi saja, pengusaha dapat 

menjatuhkan PHK.

Sampai akhirnya ketika terdapat permohonan judicial review dari pekerja 

terhadap pasal PHK efisiensi ini . Permohonan ini  diajukan kepada 

Mahkamah Konstitusi (MK) oleh 38 pekerja Hotel Papandayan Bandung yang 

terkena PHK dengan dasar Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.29 Pengusaha 

hotel ini  mempergunakan alasan perusahaan tutup karena efisiensi, namun 

yang terjadi adalah perusahaan tutup sementara karena proses renovasi hotel 

ini . Para pekerja merasa dirugikan dan berpendapat bahwa PHK dilakukan 

atas dasar hukum yang tidak tepat. Renovasi yang dilakukan mestinya berdasarkan 

suatu kemampuan finansial yang cukup, sehingga sama sekali tidak sejalan dengan 

konsep efisiensi perusahaan.

Pada pertimbangannya, MK berpendapat bahwa sejatinya PHK yang dilakukan 

oleh Hotel Papandayan ini  tidak tepat jika menggunakan dasar Pasal 164 

ayat (3) UU Ketenagakerjaan.Renovasi perusahaan ini  dapat menjadikan 

operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan 

tidaklah sama dengan perusahaan tutup sebagaimana dimaksudkan dalam 

Pasal 164 ayat (3). MK berpendapat bahwa efisiensi saja tanpa penutupan 

perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.33 MK menilai 

bahwa beragamnya interpretasi dan penerapan terhadap ketentuan pasal PHK 

efisiensi ini didasari karena tidak adanya penjelasan lebih lanjut, sehingga MK 

merasa perlu untuk memberikan rambu-rambu tertentu dalam ketentuan pasal 

ini .

Oleh karena itu, dalam putusannya dengan Nomor 19/PUU-IX/2011, MK 

menyatakan bahwa ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bertentangan 

dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai 

“perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara 

waktu”. Dengan demikian, keberadaan putusan MK ini menggariskan bahwa PHK 

efisiensi hanya bisa dilakukan dengan tutupnya perusahaan secara permanen, yang 

mana tutupnya perusahaan ini  merupakan cara dari perusahaan melakukan 

efisiensi. Artinya, frasa “perusahaan tutup” dan frasa “efisiensi” merupakan satu 

kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Perdebatan mengenai penerapan PHK efisiensi ini ternyata tidak berhenti 

sesudah  adanya putusan MK ini . Baru-baru ini, saat Indonesia dilanda serangan 

pandemi covid-19, perdebatan dan perbedaan tafsir terhadap ketentuan pasal 

ini  kembali mencuat. Keberadaan pembatasan aktivitas masyarakat selama 

pandemi covid-19 menimbulkan dampak yang signifikan terhadap pengusaha. 

Operasional perusahaan dibatasi, bahkan terhenti, di sisi lain konsumen dan 

pengguna barang dan/atau jasa pengusaha ini  menurun drastis, bahkan 

sampai di titik nol. Dengan keadaan yang demikian ini, pengusaha menjadi 

berada di situasi yang sulit. Kondisi ekonomi perusahaan yang menurun dan tidak 

menentu akibat pandemi covid-19 kemudian berujung pada banyaknya fenomena 

keputusan untuk melakukan PHK efisiensi. Meski begitu, fenomena PHK efisiensi 

selama masa pandemi covid-19 ini tidak mendasarkan pada tafsiran putusan MK 

Nomor 19/PUU-IX/2011 yang telah disinggung sebelumnya. Pengusaha melakukan 

efisiensi dengan menjatuhkan PHK pada sejumlah pekerja, demi mempertahankan 

kelangsungan usaha dan kelangsungan bekerja sebagian pekerja yang lain. Hal ini 

kemudian menjadi pertanyaan, lantas bagaimana justifikasi serta aspek hukum 

fenomena PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan selama masa pandemi 

covid-19 ini?

Jika menelusuri kembali ke belakang, pada dasarnya jauh sebelum ada putusan 

MK Nomor 19/PUU-IX/2011 sudah terdapat perbedaan pandangan mengenai PHK 

efisiensi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. 

Perbedaan pendapat ini  yakni berkisar apakah perusahaan mesti tutup 

untuk melakukan PHK efisiensi, ataukah kemudian PHK efisiensi dapat dilakukan 

tanpa tutupnya perusahaan. Pandangan kedua yang mengemukakan bahwa PHK 

efisiensi dapat dilakukan tanpa harus menutup perusahaan, didukung pula dengan 

adanya beberapa putusan Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung 

yang menyamakan PHK efisiensi dengan PHK tanpa kesalahan.35 Dengan kata lain, 

dibenarkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK tanpa ada dasar kesalahan 

yang diperbuat oleh pekerjanya, dan penerapan itu menggunakan ketentuan PHK 

efisiensi dalam Pasal 164 ayat (3) ini . Bahkan tidak ada proses penutupan 

perusahaan dalam tindakan PHK ini , hanya dalih efisiensi semata.

Untuk menganalisis interpretasi atas suatu ketentuan pasal dalam peraturan 

perundnag-undangan, maka perlu untuk kembali mencermati secara seksama 

bunyi dari pasal ini . Ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan 

berbunyi sebagai berikut:

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/

buruh, karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 

(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force 

majeur) tetapi karena perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan 

pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan 

Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali 

ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan 

Pasal 156 ayat (4).36

Mendasarkan pada bunyi Pasal 164 ayat (3) ini , untuk membantu 

memahami dan menganalisis, maka dapat dibuat penggalan-penggalan sebagai 

berikut:

1. Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dalam hal 

perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-

turut. Pada penggalan ini, pengusaha diperbolehkan untuk melakukan PHK 

bila perusahaan tutup, namun tutupnya perusahaan bukan karena mengalami 

kerugian dua tahun berturut-turut.

2. PHK terhadap pekerja/buruh ini  juga dalam hal perusahaan tutup, tapi 

bukan karena keadaan memaksa (force majeur). Penggalan ini menambahkan 

penjelasan pada penggalan pertama, yakni alasan kedua tutupnya perusahaan 

selain bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-turut, namun 

juga bukan karena mengalami keadaan memaksa.

3. Namun, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dalam 

hal perusahaan tutup karena perusahaan melakukan efisiensi. Penggalan ini 

35 Rizqi Fauzia, “Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Perselisihan PHK (Studi Terhadap PHK Efisiensi)”, Publikasi Ilmiah Magister 

Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, November 2017, 

merupakan inti dari ketentuan Pasal 164 ayat (3), yang mana menggarisbawahi 

bahwa PHK ini  dapat dilakukan karena perusahaan tutup, dan tutupnya 

perusahaan ini  akibat perusahaan melakukan efisiensi.

Jika mendasarkan pada interpretasi yang demikian ini, maka PHK efisiensi 

hanya dapat dilakukan dengan tutupnya perusahaan. Jadi, UU Ketenagakerjaan 

sebenarnya tidak mengenal istilah PHK atas efisiensi semata, berbeloknya 

penafsiran ini  disebabkan atas pemahaman Pasal 164 ayat (3) UU 

Ketenagakerjaan yang hanya sepenggal-sepenggal atau tidak dibaca secara 

menyeluruh.38 Membaca secara cermat ketentuan Pasal 164 ayat (3) ini , 

terlihat bahwa penekanan justru diberikan pada frasa “perusahaan tutup”, karena 

ketentuan pasal ini  sebenarnya sedang membahas mengenai tutupnya 

perusahaan.39 Hal ini akan menjadi terang apabila disejajarkan dengan ketentuan 

ayat (1)-nya yang sama-sama membahas mengenai PHK karena perusahaan tutup. 

Hanya saja, ayat (1) perusahaan tutup karena mengalami kerugian terus menerus 

selama dua tahun atau karena force majeure. Sedangkan ayat (3) merupakan 

pengaturan perusahaan tutup karena melakukan efisiensi. Perbandingan rumusan 

ini  tersaji dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.

Perbandingan Rumusan Pasal 164 ayat (1) dan

ayat (3) UU Ketenagakerjaan

Pasal 164 ayat (1) Pasal 164 ayat (3)

Pengusaha dapat melakukan pemutusan 

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh 

karena perusahaan tutup yang disebabkan 

perusahaan mengalami kerugian secara 

terus menerus selama dua tahun, atau 

keadaan memaksa (force majeure), 

dengan ketentuan pekerja/buruh berhak 

atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan 

Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa 

kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 

ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai 

ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pengusaha dapat melakukan pemutusan 

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh, 

karena perusahaan tutup bukan karena 

mengalami kerugian 2 (dua) tahun 

berturut-turut atau bukan karena 

keadaan memaksa (force majeur) tetapi 

karena perusahaan melakukan efisiensi, 

dengan ketentuan pekerja/buruh berhak 

atas uang pesangon sebesar 2 (dua) 

kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang 

penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) 

kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang 

penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 

156 ayat (4).


Merujuk pada kedua rumusan ayat dalam Pasal 164 ini , memang 

sejatinya Pasal 164 memang membicarakan mengenai PHK yang dilakukan 

pengusaha karena perusahaannya tutup. Perbedaannya hanya berkisar pada alasan 

tutupnya saja, sehingga benar bahwa penekanan pada Pasal 164 adalah pada frasa 

“perusahaan tutup”. Hal ini diperkuat pula dengan putusan MK Nomor 19/PUU-

IX/2011, yang mana dalam pertimbangannya MK berpendapat kata “efisiensi” 

yang terdapat dalam Pasal 164 ayat (3) tidak dapat diartikan bahwa hal ini  

menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga 

“mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara PHK pekerja yang ada.40 Harus 

diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan 

tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi.41 Dengan kata lain, pengusaha 

melakukan efisiensi dengan cara menutup perusahaan. Misalnya, pengusaha 

memiliki suatu perusahaan holding dengan beberapa perusahaan anak, dan karena 

suatu hal tertentu pengusaha merasa harus melakukan efisiensi dengan cara 

menutup salah satu perusahaan anak.42 Peristiwa seperti inilah yang kemudian 

dapat mengacu pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Jadi, 

perusahaan yang hanya tutup sementara, atau bahkan tidak tutup tidak dapat 

menggunakan alasan efisiensi dalam pasal ini untuk melakukan PHK.

Meski demikian, masih terdapat pihak-pihak yang menafsirkan bahwa PHK 

efisiensi dapat dilakukan tanpa harus disertai dengan tutupnya perusahaan. Hal ini 

mendasarkan pada argumen bahwa sejatinya MK dalam putusan Nomor 19/PUU-

IX/2011 ini  tidak menilai apakah efisiensi dapat dijadikan alasan PHK oleh 

pengusaha.43 Fokus pertimbangan dan amar putusan MK pada frasa “perusahaan 

tutup” saja, karena pemohon judicial review ini  mempermasalahkan apakah 

memang penghentian operasional Hotel Papandayan untuk renovasi dapat 

dikategorikan sebagai perusahaan tutup sebagaimana termaktub dalam Pasal 

164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, masih timbul pertanyaan 

apakah pengusaha dapat melakukan PHK dengan alasan efisiensi saja, yang 

tujuannya untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan, yang tujuan 

akhirnya kemudian dapat menyelamatkan pekerjaan sebagian pekerja yang lain 

dan membantu pemerintah mencegah persoalan pengangguran baru yang makin 

meluas.

Selain itu, argumen yang dilontarkan lainnya yakni UU Ketenagakerjaan 

sebenarnya tidak menyatakan secara eksplisit apakah efisiensi dapat dijadikan 

alasan PHK.45 Kata “efisiensi” dalam UU Ketenagakerjaan hanya disinggung dalam 

ketentuan Pasal 164 ayat (3) semata, tanpa memberikan penjelasan dan keterangan 

lebih lanjut mengenai definisi kata ini . Bahkan di Pasal 153 ayat (1) yang 

mengatur mengenai alasan-alasan yang dilarang untuk digunakan pengusaha 

dalam melakukan PHK, efisiensi bukan termasuk salah satu alasan yang dilarang. 

Ketentuan Pasal 153 ayat (1) ini  berbunyi sebagai berikut:

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan 

alasan:

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut 

keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) 

bulan secara terus-menerus;

b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena 

memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

d. pekerja/buruh menikah;

e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, 

atau menyusui bayinya;

f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan 

perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;

g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus 

serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan 

serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam 

kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan 

yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau 

perjanjian kerja bersama;

h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib 

mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana 

kejahatan;

i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, 

golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan 

kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat 

keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum 

dapat dipastikan.

Dalam pasal yang berisi larangan PHK ini telihat bahwa sebenarnya tidak 

ada efisiensi sebagai alasan yang dilarang untuk digunakan dalam pengusaha 

melakukan PHK. Artinya, efisiensi bukanlah suatu alasan PHK yang dilarang. Dasar 

inilah yang kemudian menjadi rujukan tafsir pihak-pihak yang mengemukakan 

bahwa PHK efisiensi dapat dilakukan, meski tanpa disertai dengan penutupan 

perusahaan. Ketika perusahaan mengalami kendala ekonomi, yang kemudian 

berujung pada keputusan untuk melakukan efisiensi sektor pekerja, maka hal 

ini dapat dilakukan. Lantas, sebenarnya apa kemudian yang dimaksud dengan 

efisiensi? Lalu bagaimana kaitannya dengan penggunaannya sebagai dasar alasan 

PHK ini ?

Sebagaimana yang telah disinggung, UU Ketenagakerjaan sendiri tidak 

memberikan definisi mengenai efisiensi. Untuk itu, untuk mengetahui apa yang 

disebut sebagai efisiensi, perlu meninjau dari sumber lainnya. Pada Kamus Besar 

Bahasa Indonesia, efisiensi didefinisikan sebagai ketetapan cara usaha dalam 

menjalankan sesuatu dengan tidak membuang, waktu, tenaga, dan biaya.46 Oxford 

Dictionary mengartikan sebagai: (1) kualitas sesuatu pekerjaan dengan baik 

tanpa membuang waktu dan uang, (2) cara mengurangi pemborosan waktu dan 

uang atau cara menghemat waktu dan uang, dan (3) hubungan antara jumlah 

pengeluaran dengan jumlah pendapatan.47 Beberapa definisi lainnya dalam doktrin, 

yakni menurut Dearden (dalam Maulana) efisiensi adalah kesanggupan suatu unit 

usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan, efisiensi senantiasa dihubungkan 

dengan tujuan organisasi yang seharusnya dicapai oleh perusahaan.48 Hasibuan 

memberi pengertian bahwa efisiensi adalah merupakan perbandingan terbaik 

antara input dan output antara keuntungan dengan biaya antara proses dengan 

sumber yang dipakai seperti halnya juga hasil maksimal yang dicapai dengan 

pemakaian sumber yang terbatas.

Merujuk pada definisi-definisi ini , terlihat bahwa sejatinya efisiensi 

adalah konsep yang lahir dalam konteks ekonomi dan bisnis. Efficient is doing 

the things right, yang mana berarti bahwa melakukan segala hal dengan cara 

yang tepat untuk mendapatkan hasil yang baik. Kaitannya dengan operasional 

sebuah perusahaan, efisiensi merupakan jalan yang ditempuh pengusaha untuk 

mengurangi pemborosan sumber daya demi menjaga kelangsungan perusahaan 


akibat persaingan bisnis yang ketat. Dalam kaitannya dengan pekerja, efisiensi ini 

dilakukan dengan cara mengurangi jumlah pekerja (retrentchment).50 Jadi, efisiensi 

merupakan suatu upaya yang dilakukan pengusaha untuk mempertahankan 

kelangsungan perusahaannya, bukan dengan menutupnya. Pada masa pandemi 

covid-19 ini pengusaha mengalami situasi ekonomi yang sulit dalam rangka 

mempertahankan operasional bisnis dan perusahaannya. Upaya untuk mengurangi 

beban perusahaan supaya tetap dapat beroperasi inilah yang kemudian menjadi 

latar belakang dilakukannya efisiensi dengan cara menjatuhkan PHK kepada 

sebagian pekerjanya di masa pandemi ini. Konteks seperti ini dalam lingkup ilmu 

ekonomi dan bisnis memang dapat dilakukan oleh pengusaha.

Pandemi covid-19 ini memberikan dampak yang cukup serius bagi banyak 

pengusaha dalam mempertahankan kelangsungan perusahaannya. Turbulensi 

ekonomi yang diakibatkan oleh masa pandemi ini  menimbulkan terus 

menurunnya jumlah permintaan barang dan/atau jasa yang dihasilkan perusahaan, 

sehingga terjadi adanya kelebihan pekerja (redundancy).51 Persoalan hak untuk 

memperoleh pekerjaan (right to work), dan ketidakstabilan perekonomian 

perusahan serta negara selalu menjadi problem yang dilematis bagi pemerintah, 

pengusaha dan pekerja.52 Jika perekonomian tidak stabil maka pengusaha 

terdampak, dan secara tidak langsung pada akhirnya pekerja pun akan ikut 

merasakan akibat negatifnya. Pada konteks masa pandemi covid-19 ini, bagi pekerja 

yakni kembali munculnya fenomena PHK efisiensi tanpa tutupnya perusahaan.

Sejatinya, UU Ketenagakerjaan sendiri tidak melarang alasan ekonomi sebagai 

alasan PHK.53 Ketentuan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan sendiri merupakan alasan 

PHK dengan latar belakang kondisi ekonomi perusahaan, baik di ayat (1) maupun 

ayat (3). Efisiensi juga merupakan unsur dan alasan kondisi ekonomi perusahaan. 

Namun, jika kemudian sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat (3) dan dalam 

Putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011 bahwa perusahaan harus tutup untuk 

melakukan PHK efisiensi, hal ini tidaklah efektif. Tujuan dari hukum tidak hanya 

sebatas kepastian hukum dan keadilan semata, namun juga kemanfaatan. Dari 

segi kemanfaatan, jika perusahaan harus tutup untuk melakukan efisiensi, maka 

akan memberi dampak ekonomi yang lebih besar. Situasi perekonomian masa 

pandemi covid-19 ini sudah jelas sulit, jika ditambah keberadaan persyaratan 


untuk PHK efisiensi harus dengan menutup perusahaan maka akan menambah 

lebih banyak pengangguran baru. Jika perusahaan ditutup, maka seluruh pekerja 

dan sekaligus pengusaha akan kehilangan pekerjaan mereka. Hal ini tentu saja 

tidak mencerminkan adanya upaya untuk mempertahankan jaminan pekerjaan. 

Sebaliknya, jika PHK efisiensi dapat dilakukan tanpa menutup perusahaan, maka hal 

ini  lebih menjamin dan menyelmatkan jaminan pekerjaan bagi sebagian besar 

pekerja yang lain, sekaligus mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan. 

Merujuk teori utilitis, hal ini sejalan dengan kemanfaatan, yakni menjamin faedah 

dan kebahagiaan terbesar bagi jumlah yang lebih banyak.

Menelusuri lebih jauh dalam aturan-aturan yang sifatnya internasional, 

terdapat Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 158 Tahun 

1982 dan Rekomendasi ILO Nomor 166 Tahun 1982 yang mengatur mengenai 

PHK atas inisiatif pengusaha. Kedua aturan ini  secara khusus dibuat untuk 

menangani masalah PHK akibat kesulitan ekonomi dan perubahan teknologi. 

Keduanya juga tidak menyebutkan efisiensi sebagai alasan yang dilarang untuk 

menjatuhkan PHK. Alasan-alasan yang tidak dapat dijadikan dasar PHK dalam 

kovensi dan rekomendasi ini , yakni:

1. keanggotaan serikat pekerja atau keikutsertaan dalam kegiatan 

serikat pekerja di luar jam kerja, atau dengan persetujuan pengusaha, 

di dalam jam kerja;

2. memegang jabatan sebagai, bertindak atau telah bertindak dalam 

kapasitas sebagai, perwakilan pekerja;

3. pengajuan keluhan atau keikutsertaan dalam pengajuan gugatan 

terhadap pengusaha yang menyangkut dugaan pelanggaran hukum 

atau peraturan atau memanfaatkan otoritas administrasi yang 

berwenang;

4. ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, tanggung jawab 

keluarga, kehamilan, agama, politik, kebangsaan, atau asal sosial;

5. ketidakhadiran kerja selama cuti melahirkan;

6. usia, tunduk pada hukum dan praktik nasional tentang pensiun;

7. ketidakhadiran kerja karena wajib militer atau kewajiban 

kemasyarakatan lainnya sesuai dengan hukum dan praktik nasional; 

dan

8. ketidakhadiran kerja sementara karena sakit atau cedera.

Terlihat dalam rumusan aturan ini  bahwa efisiensi tidak dilarang untuk 

dijadikan alasan untuk melakukan PHK pada pekerja. Justru pada kedua aturan 

ILO ini , secara tegas memberi peluang pada pengusaha untuk melakukan 

PHK atas alasan yang bersifat ekonomi, teknologi, struktur, atau alasan serupa, 

asalkan pengusaha memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. memberikan informasi yang relevan terkait rencana PHK pada 

pekerja dan pemerintah, mengenai alasan PHK, jumlah dan kategori 

pekerja yang terdampak, serta kapan PHK akan dilakukan; dan

2. memberikan kesempatan pada perwakilan pekerja atau serikat 

pekerja untuk berkonsultasi mengenai langkah-langkah yang akan 

diambil untuk mencegah atau meminimalisir PHK, serta mengurangi 

dampak buruk PHK pada pekerja terkait.

Mendasarkan pada paparan di atas, untuk menjawab apakah kemudian 

PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan dapat dilakukan ataukah tidak, maka 

jawabannya akan bergantung pada acuan mana yang akan diambil oleh pengusaha 

sebagai dasar. Melakukan PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan tidak dapat 

dilakukan jika mendasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan 

yang mana telah dibahas sebelumnya, frasa “perusahaan tutup” dan frasa “efisiensi” 

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Apalagi kemudian 

hal ini dikuatkan dengan putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011 yang menafsirkan 

bahwa frasa “perusahaan tutup” di Pasal 164 ayat (3) harus selalu ditafsirkan 

sebagai perusahaan tutup permanen. Yakni maksudnya, dalam melakukan PHK 

ini , penutupan perusahaan merupakan bagian dari proses efisiensi yang 

dilakukan oleh pengusaha.

Meski demikian, jika melihat dari kajian konsep ekonomi yang telah 

disinggung, penerapan efisiensi justru dititikberatkan pada upaya pengusaha untuk 

mempertahankan operasional perusahaannya dalam keadaan yang sulit. Efisiensi 

dalam konsep ini justru tidak identik dengan penutupan perusahaan. Malahan, 

upaya pengurangan pekerja dalam situasi yang demikian adalah langkah yang 

dibolehkan dalam upaya efisiensi. Terlebih, alasan efisiensi sebenarnya bukanlah 

alasan yang dilarang untuk menjatuhkan PHK baik menurut Pasal 153 ayat (1) 

UU Ketenagakerjaan, Konvensi ILO Nomor 158 Tahun 1982, dan Rekomendasi 

ILO Nomor 166 Tahun 1982. Untuk itu, sejatinya PHK efisiensi tanpa penutupan 

perusahaan ini terbuka peluangnya untuk dilakukan. Hanya saja kemudian timbul 

pertanyaan terkait aspek hukumnya, yakni dasar hukumnya menggunakan apa?

Jika mendasarkan pada Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan hal ini  

tentu tidak dapat dilakukan karena terdapat perbedaan konteks yang nyata. 

Pasal 164 ayat (3) membahas mengenai PHK efisiensi akibat dari penutupan 

perusahaan. Lantas jika Pasal 153 ayat (1) tidak memberikan larangan secara 

tegas terhadap alasan efisiensi ini, maka terdapat kekosongan hukum mengenai 

PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan. Untuk tetap menjamin dan melindungi 

hak-hak pekerja yang terkena PHK ini , pemenuhan hak beserta kompensasi 

PHK bagi mereka dapat dianalogikan atau disetarakan dengan pasal-pasal dalam 

UU Ketenagakerjaan yang pada dasarnya mengatur peristiwa PHK tanpa adanya 

kesalahan dari pekerja. Beberapa pasal-pasal ini  yakni:

Tabel 2.

Pengaturan Kompensasi PHK Tanpa Ada Kesalahan Dari Pekerja

Pasal Bunyi Pasal

Pasal 163 ayat (2)

PHK karena perubahan 

status, penggabungan, 

peleburan perusahaan

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan 

kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, 

penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha 

tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan, maka 

pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) 

kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan 

masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat 

(3), dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan 

dalam Pasal 156 ayat (4).

Pasal 166

PHK karena pekerja 

meninggal dunia

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh 

meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah 

uang yang perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) 

kali uang pesangon ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) 

kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan 

dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak 

sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Pasal 167 ayat (2)

PHK karena pekerja 

memasuki masa pensiun

Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang 

diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah 

uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 

156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) 

kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang 

penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 

156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.

Justifikasi Pemutusan Hubungan Kerja Karena Efisiensi Masa Pandemi Covid-19 dan Relevansinya dengan Putusan 

Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011


Pasal 169 ayat (2)

Pekerja memohon 

PHK kepada lembaga 

penyelesaian perselisihan 

hubungan industrial 

karena pengusaha 

melakukan kesalahan

Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat 

uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 

156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) 

kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang 

penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 

156 ayat (4).

Melakukan PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan merupakan hal yang 

serupa dengan PHK tanpa kesalahan sebagaimana diatur dalam keempat pasal 

ini . Pekerja yang terkena keputusan PHK efisiensi ini  tidak melakukan 

kesalahan apapun, dan keputusan PHK ini  merupakan murni keputusan 

pengusaha dalam rangka mempertahankan perusahaannya. Oleh karena itu, 

pemberian kompensasi PHK terhadap PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan 

dapat mengikuti formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan ini , yakni uang 

pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan 

masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian 

hak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Hal ini diterapkan demi 

tetap menjamin dan melindungi hak-hak pekerja yang diputus hubungan kerjanya. 

Terlebih, formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan ini  juga merupakan 

formulasi yang lebih besar dibandingkan dengan formulasi kompensasi alasan 

PHK lainnya.

Kehadiran pandemi covid-19 mengakibatkan kesulitan di segala lini kehidupan 

masyarakat. Termasuk dalam lalu lintas pelaksanaan hukum ketenagakerjaan di 

Indonesia, hal ini juga menjadi momok karena baik pekerja maupun pengusaha 

sama-sama merasakan dampaknya. Pada situasi serba sulit ini tidak boleh pula 

melakukan generalisir kepada seluruh perusahaan, dengan anggapan semua 

perusahaan mampu bertahan tanpa melakukan tindakan-tindakan tertentu. Tidak 

semua perusahaan adalah perusahaan besar yang mempunyai keadaan ekonomi 

yang kuat. Situasi yang tidak ideal ini tentu saja akan memberi dampak yang tidak 

ideal pula. Jika kemudian dalam perjalanannya pengusaha terpaksa melakukan 

PHK efisiensi tanpa melakukan penutupan perusahaan, lembaga penyelesaian 

perselisihan hubungan industrial mesti aktif untuk ikut mengawasi proses PHK 

hingga pemenuhan hak-hak dan kompensasi PHK bagi pekerja. Beberapa hal yang 

perlu diperhatikan, yakni:


1. Memastikan bahwa pengusaha telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk 

mencegah terjadinya PHK dan PHK yang dilakukan adalah jalan terakhir, serta 

satu-satunya yang dapat ditempuh oleh pengusaha.

2. Memastikan bahwa PHK yang dilakukan tidak ada maksud terselubung atau 

itikad buruk semata dari pengusaha, prosesnya harus jelas dan terbuka, serta 

disertai dengan alasan-alasan atau pertimbangan yang adil.

3. Memastikan segala upah dan kompensasi atau hak-hak pekerja lainnya terkait 

hubungan kerja telah dipenuhi oleh pengusaha sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan.

4. Jika perlu, pengusaha dan pekerja dapat memperjanjikan konsep reinstatement, 

yakni ketika situasi perusahaan telah normal kembali, dalam hal dibukanya 

atau diperlukannya kembali posisi pekerjaan yang semula diefisiensikan, 

pekerja yang terkena dampak PHK efisiensi ini  diprioritaskan untuk 

dipekerjakan kembali.


Justifikasi PHK efisiensi tanpa dilakukannya penutupan perusahaan ialah 

semata-mata melihat dari sisi kemanfaatannya, dalam situasi ekonomi akibat 

pandemi covid-19 yang sudah serba sulit ini, memaksakan melakukan PHK 

efisiensi dengan menutup perusahaan akan menimbulkan dampak ekonomi 

yang lebih besar, yakni lebih tingginya angka pengangguran. Hal ini diakibatkan 

seluruh pekerja termasuk pengusaha ini  kehilangan pekerjaan akibat 

penutupan perusahaan. Melakukan PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan 

justru memberikan jaminan perlindungan memperoleh pekerjaan yang lebih, 

karena dapat menyelamatkan kelangsungan operasional perusahaan, sekaligus 

mempertahankan pekerjaan sebagian pekerja lainnya. Meski demikian, dari sisi 

aspek hukum, PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan tidak dapat dilakukan 

dengan mendasarkan pada Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan Putusan 

MK Nomor 19/PUU-IX/2011 karena secara eksplisit menentukan bahwa PHK 

efisiensi adalah bagian dari penutupan perusahaan. Tetapi, alasan efisiensi 

 Lihat Pasal 151 ayat (1) dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tentang Pencegahan Pemutusan 

Hubungan Kerja Massal. Keduanya mengatur menegaskan bahwa PHK haruslah sedapat mungkin dicegah dan dihindari, atau dengan kata 

lain sebagai upaya terakhir yang ditempuh. Sebelum melakukan PHK pengusaha haruslah menempuh berbagai upaya dulu untuk mencegah 

terjadinya PHK seperti mengurangi jam kerja, hari kerja, lembur atau merumahkan pekerja secara bergiliran, dan sebagainya. 


untuk melakukan PHK sejatinya tidak dilarang oleh Pasal 153 ayat (1) UU 

Ketenagakerjaan dan Kovensi serta Rekomendasi ILO tahun 1982. Untuk menjamin 

dan melindungi pekerja, pemenuhan hak dan kompensasi PHK karena efisiensi 

tanpa penutupan perusahaan dapat menggunakan formulasi yang sama dengan 

formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan yang ada di UU Ketenagakerjaan. 

Terakhir, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial juga perlu 

mengawal bahwa proses PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan harus sesuai 

dengan prinsip-prinsip, asas dan aturan PHK yang berlaku, serta memastikan hak 

dan kompensasi PHK pekerja telah dipenuhi oleh pengusaha.


Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive