Tampilkan postingan dengan label sengketa bank. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sengketa bank. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2023

sengketa bank








Konflik yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan 
akan berkembang menjadi sengketa jika  pihak yang 
mengalami kerugian menyatakan rasa tidak puas hati 
atau prihatin, baik secara langsung maupun tidak 
langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab 
kerugian. Secara prinsip dalam hal penegakan hukum 
di Indonesia hanyalah dilakukan oleh kekuasaan 
kehakiman (judicial power) yang dilembagakan secara 
konstitusional yang lazim disebut badan yudikatif 
sesuai dengan pasal 24 UUD 1945. Dengan demikian 
yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa 
hanyalah badan peradilan yang bernaung di bawah 
kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah 
Agung Republik Indonesia.1
Pada pasal 2 No.14/1970 Undang-Undang Kehakiman 
dengan tegas menyatakan bahwa yang ber wenang dan 
Naskah diterima: 13 Februari 2015, direvisi: 4 Maret 2015, 
disetujui untuk terbit: 14 Juni 2015. 
berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan 
peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. 
Di luar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi 
syarat formal dan official serta bertentangan dengan 
prinsip under the authority of law. Namun, berdasarkan 
pasal 1851, 1855 KUH Perdata, penjelasan pasal 3 UU 
No.14/1970 serta UU No. 30/1999 mengenai arbitrase 
dan alternatif penyelesaian sengketa, maka terbuka ke-
mungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan 
meng gunakan lembaga selain pengadilan, seperti arbitrase 
atau perdamaian.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua 
proses, yaitu penyelesaian sengketa di dalam pengadilan 
dan di luar pengadilan. Proses penyelesaian tertua adalah 
melalui proses litigasi di dalam pengadilan. Pengadilan 
dijadikan the frist and last resort dalam penyelesaian 
sengketa. Setiap penyelesaian sengketa yang timbul 
di dalam masyarakat diselesaikan melalui pengadilan, 
karena dianggap bisa memberi  keputusan yang adil 
namun ternyata belum memuaskan banyak pihak, ter-
utama pihak-pihak yang bersengketa, karena hanya 
meng hasilkan kesepakatan yang bersifat adversial 
yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, 
cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam 
penyelesaiannya,membutuhkan biaya yang mahal, 
tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di 
antara pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi 
pe langgaran dalam pelaksanaannya. Hal ini  me-
resahkan masyarakat dan dunia bisnis, sebab jika meng-
andalkan pengadilan sebagai satu-satunya penye lesaian 
sengketa, tentudapat mengganggu kinerja pe bisnis 
dalam menggerakan kinerja pebisnis dalam meng-
gerakan perekonomian, serta memerlukan biaya yang 
relatif besar. Untuk itu dibutuhkan instruksi yang 
lebih efesien dan efektif dalam menyelesaikan sengketa 
bisnis.
Kemudian berkembanglah proses penyelesaian 
sengketa melalui kerja sama di luar pengadilan, yang 
dianggap dapat mengakomodasi kelemahan-kelemahan 
litimigasi dan memberi  jalan keluar yang lebih 
baik dari pengadilan. Proses pengadilan menghasilkan 
kesepakatan yang bersifat win-win solution. Menjamin 
persengketaan para pihak, menghindari keterlambatan 
yang diakibatkan karena hal prosedural dan 
administratif, menyelesaikan masalah karena kom-
prehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga 
hubungan baik.
Penyelesaian Sengketa dalam Konsep Islam
Dalam hukum Islam, penyelesaian sengketa antara 
orang-orang yang berperkara dapat dilakukan dengan tiga 
cara.3 Pertama, melalui Jalan Islah/Shulh (perdamaian). 
Islah secara harfiah mengandung pengertian memutus 
pertengkaran atau perselisihan. Dalam perumusan syariah 
Islam dirumuskan sebagai berikut: “Suatu jenis akad 
(perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan) 
antara dua orang yang berlawanan”.Perdamaian dalam 
syariah Islam sangat dianjurkan, sebab dengan adanya 
perdamaian di antara pihak yang bersengketa, maka 
akan terhindarlah kehancuran silaturahmi diantara para 
pihak, dan sekaligus permusuhan diantara para pihak 
akan dapat diakhiri.Anjuran diadakannya perdamaian 
diantara para pihak yang bersengketa dapat dilihat dalam 
ketentuan Alquran, sunah, dan ijmak.
Masing-masing pihak yang mengadakan perdamai-
an dalam syariah Islam diistilahkan dengan Mushâlih, 
sedangkan objek diperselisihkn oleh para pihak disebut 
dengan Mushâlih ‘anhu, dan pebuatan yang dilaku-
kan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain untuk 
mengakhiri pertengkaran dinamakan Mushâlih ‘alayhi.
Perdamaian dalam syariah Islam sangat dianjurkan, 
sebab dengan adanya perdamaian diantara pihak yang 
bersengketa, maka akan terhindarlah kehancuran 
silaturahmi (hubungan kasih sayang) diantara para 
pihak, dan sekaligus permusuhan diantara para pihak 
akan dapat diakhiri.
Anjuran diadakannya perdamaian diantara para 
pihak yang bersengketa dapat dilihat dalam ketentuan 
Alquran, Sunah Rasul, dan Ijmak.
Alquran seperti dalam Q.s. al-Hujarât [49]: 9, yang 
artinya sebagai berikut:
Dan jika dua golongan dari orang-orang Mukmin 
berperang, maka damaikanlah antara keduannya. Jika 
salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya 
terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan 
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada 
perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada 
perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya 
dengan adil dan berlakuadillah. Sesungguhnya Allah 
menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Hadis dari Abu Daud, al-Tirmizi, Ibnu Majah, al-
Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari ‘Amar 
bin Auf, bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Perjanjian 
diantara orang-orang Muslim itu boleh, kecuali per-
janjian yang menghalalkan yang haram atau meng-
haramkan yang halal.”
Ijmak, yaitu para ahli hukum bersepakat bahwa 
penyelesaian pertikaian di antara para pihak yang ber-
sangketa telah disyariatkan dalam ajaran Islam.4
Penyelesaian sengketa memiliki prinsip tersendiri 
agar masalah-masalah yang ada dapat terselesaikan 
dengan benar. Diantara prinsip ini  adalah (1) 
Adil dalam memutuskan perkara sengketa, tidak ada 
pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan 
keputusan;(2) Kekeluargaan; (3) Win-win solution, 
men jamin kerahasian sengketa para pihak; dan(4) 
Menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam 
kebersamaan.
Rukun dan Syarat Sahnya Islah: (1) Adanyaijab; (2) 
Adanyakabul; dan (3) Adanya lafal.
Ketiga rukun ini sangat penting artinya dalam suatu 
perjanjian perdamaian, sebab tanpa adanya ijab, kabul, 
dan lafal tidak diketahui adanya perdamaian diantara 
mereka. jika  rukun ini telah terpenuhi, maka 
perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikatan hukum, 
yaitu masing-masing pihak berkewajiban untuk menaati 
isi perjanjian. Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu 
perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada 
hal berikut ini: Pertama, perihal subjek. Orang yang 
melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap 
4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, h.846.
233Nurul Ichsan: Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
bertindak menurut hukum, dan juga harus mempunyai 
kekuasaaan atau kewenangan untuk melepaskan haknya 
atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian itu. 
Kedua, perihal objek. Harus memenuhi ketentuan: 
(1) berbentuk harta (baik berwujud maupun tidak 
berwujud) yang dapat dinilai, diserahterimakan, dan 
bermanfaat; (2) dapat diketahui secara jelas, sehingga 
tidak menimbulkan kesamaran dan ketidakjelasan, 
yang dapat menimbulkan pertikaian baru.
 Kedua, melalui Jalan al-tahkîm (arbitrase). 
Arbitrase yang dalam Islam dikenal dengan istilah al-
tahkîm merupakan bagian dari al-qadhâ’ (peradilan). 
Landasan hukum yang memperbolehkan arbitrase, 
baik yang bersumber dari Alquran, sunah dan ijmak, 
jika  ditelaah dengan seksama, pada prinsipnya berisi 
anjuran untuk menyelesaikan perselisihan dengan 
jalan damai. Namun jika  jalan damai tidak mampu 
menyelesaikan perselisihan diantara kedua belah pihak 
maka perlu adanya pihak ketiga untuk menyelesaikan 
perselisihan diantara mereka.
Ketiga, melalui Jalan al-qadhâ’ (peradilan). Al-Qadhâ’ 
secara harfiah berarti antara lain memustuskan atau 
menetapkan. Menurut istilah fikih yaitu menetapakan 
hukum syarak pada suatu peristiwa atau sengketa untuk 
menyelesaikannya secara adil dan mengikat. Lembaga 
peradilan ini berwenang menyelesaikan perkara pidana 
maupun perdata. Kekuasaan qâdhî tak dapat dibatasi 
oleh persetujuan pihak yang bertikai dan keputusan dari 
qadhi ini mengikat kedua belah pihak. Dasar hukum al-
qâdhîdalam Q.s.al-Nisa’ [4]: 35, yang artinya:
“Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara 
keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga 
laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. 
Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan 
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-
isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi 
Maha Mengenal.”
Penyelesaian Sengketa Perkara Perdata di Indonesia 
Penyelesaian sengketa merupakan lingkup hukum 
perjanjian sehingga bersifat open system, karena mengenai 
penyelesaian sengketa ini terkait dengan pilihan 
hukum (choiche of Law) dan pilihan forum (choice of 
forum) sepenuhnya diserahkan kepada para pihak yang 
bersengketa. Klausula mengenai penyelesaian sengketa 
ini biasanya tertuang dalam perjanjian pokok yang 
dibuat oleh para pihak. Dengan demikian ketentuan 
yang ada dalam hukum positif berupa asas kebebasan 
berkontrak (vide pasal 1338 jo 1320 KUHPerdata) 
berlaku disini, begitu dengan asas kebebasan (al-
hurrîyah) sebagimana dikenal dalam sistem perjanjian 
menurut hukum Islam. Akibatnya para pihak terkait 
dengan perjanjian dan harus melaksanakannya dengan 
penuh iktikad baik.5
Penyelesaian sengketa dikatakan bersifat litigasi yaitu 
jika  para pihak yang bersengketa menyelesaikan nya 
melalui lembaga peradilan resmi dalam suatu negara 
yakni peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan 
Militer, dan Peradilan Negeri. Prosedurnya adalah 
melalui beracara di depan sidang pengadilan hingga 
mendapatkan putusan pengadilan yang mempunyai 
hukum tetap (in kracht van gewijsde). Sedangkan pe-
nye lesaian sengketa nonlitigasi maksudnya adalah 
penyelesaian sengketa melalui jalur diluar pengadilan. 
Para pihak bisa memilih forum mediasi, konsiliasi, 
atau arbitrasi baik ad hoc maupun institusional dengan 
mendasarkan pada ketentuan Undang Undang No. 30 
tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian 
sengketa berikut peraturan prosedur yang dikeluarkan 
oleh lembaga lembaga dimaksud.6
Bentuk-bentuk pilihan penyelesaian sengketa 
perkara perdata di luar pengadilan yang ada di 
Indonesia, yaitu: Pertama, arbitrase (perwasitan). M.N. 
Purwosutjipto mengartikan arbitrase atau perwasitan 
sebagai suatu peradilan perdamaian di mana para 
pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang 
hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, 
diperiksa, dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, 
yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya 
mengikat bagi kedua belah pihak.7 Batasan yang lebih 
rinci lagi dikemukakan oleh Abdul Kadir Muhammad 
bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar 
lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus oleh 
orang dalam perusahaan. Arbitrase adalah peradilan 
yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh 
pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian 
sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas 
dari para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan 
dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau 
sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan 
berkontrak dalam hukum perdata.8
Dengan demikian perjanjian arbitrase timbul karena 
adanya perjanjian tertulis dari para pihak untuk me-
nyerahkan penyelesaian sengketa. Adapun kekuatan 
penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah:9 (1) 
cepat dan hemat biaya;(2) kebebasan untuk memilih 
arbiter, kecuali untuk hal-hal yang berkitan dengan 
pajak atau kepailitan;(3) kerahasiaan; (4) bersifat non 
preseden; (5) kepekaan arbiter;dan (6) kepercayaan dan 
keamanan.
Adapun kelemahan dari arbitrase adalah (1) pada 
praktiknya putusan arbitrase tidakdapat langsung di-
eksekusi, tetapi harus meminta eksekusi dari pengadilan; 
dan (2) pengadilan sering kali memeriksa kasus yang 
ditangani oleh arbiter, sehingga terjadi 2 (dua) kali 
proses pemeriksaan sengketa, padahal hal ini  tidak 
boleh dilakukan karena putusan yang dikeluarkan oleh 
arbiter bersifat finaldan mempunyai kekuatan hukum 
tetap dan mengikat para pihak.
Kedua, alternatif penyelesaian sengketa, meliputi:
konsultasi, negosiasi, mediasi (kontrol dipegang oleh 
para pihak, efisien, komunikasi yang lebih efektif, 
fleksibel, pribadi dan rahasia, dasar bagi penyelesaian 
sengketa, kelemahan dari mediasi hanyalah jika  
tugas yang dijalankan oleh mediator tidak berjalan 
secara maksimal karena pelbagai kendala, sehingga 
menghasilkan solusi yang tidak memuaskan para 
pihak), konsiliasi, dan pendapat atau penilaian ahli. 
Penyelesaian Sengketa Pada Bank Syariah di  
Indonesia
Penyelesaian sengketa dibidang Lembaga Ekonomi 
Syariah (LES) seperti perbankan, pasar modal dan 
asuransi syariah belum diatur secara kongkrit dan jelas 
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, 
padahal dalam melakukan kerjasama atau hubungan 
keperdataan tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya 
konflik, oleh karena itu perlu perhatian pemerintah 
dan aturan hukumyang mengatur mengenai hal-
hal penyelesaian sengketa dalam Lembaga Ekonomi 
Syariah (LES) yang di dalamnya termasuk perkara 
perbankan syariah. Oleh karena hal ini  demi 
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, 
maka dalam hal perjanjian kontrak (akad) Lembaga 
Ekonomi Syariah sekarang perlu mencantumkan 
klausul penyelesaian sengketa baik itu melalui jalan 
musyawarah, islah, mediasi, atau arbitrase, ataupun ke 
lembaga Peradilan Agama sebagai pilihan terakhir. 
Pola hubungan yang didasarkan pada keinginan 
untuk menegakkan sistem syariah di dalam lembaga 
ekonomi diyakini sebagai pola hubungan yang 
kokoh antar bank dan nasabah. Kalaupun terjadi 
perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun 
pelaksanaan isi perjanjian, kedua pihak akan ber-
usaha menyelesaikannya secara musyawarah menurut 
ajaran Islam. Sungguhpun demikian tetap saja ada 
kemungkinan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan 
secara musyawarah. Terjadinya keadaan seperti itu 
dalam kehidupan sehari-hari apalagi dalam kehidupan 
dunia ekonomi haruslah diantisipasi dengan cermat.
Lembaga Ekonomi Syariah yang dalam operasi nya 
memakai  prinsip-prinsip syariah tentunya meng-
usahakan agar pelaksanaanya dilakukan secara kaffah 
(menyeluruh), sehingga penyelesaian sengketa pada 
Lembaga Ekonomi Syariah (LES) tentunya juga harus 
memakai  prinsip-prinsip syariah. Penyelesaian 
sengketa yang paling sesuai adalah melalui islah ataupun 
musyawarah tadi. Jika para pihak memilih cara islah, 
maka mereka mencoba terlebih dahulu untuk menyelesai-
kan masalah di antara mereka dengan mengadakan 
pertemuan antara kedua belah pihak. Hasil pertemuan 
ini  dituangkan dalam bentuk tertulis dan jika 
pertemuan ini  gagal untuk mencapai kesepakatan, 
maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 
bantuan dari seseorang atau lembaga sebagai mediator.
Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat 
melalui mediator ini  dengan memegang teguh 
kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 hari harus 
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang 
ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait. 
jika  usaha perdamaian seperti yang telah disebutkan 
di atas itu juga tidak dapat dicapai, maka para pihak 
berdasarkan kesepakatan secara tertulis mengajukan 
usaha penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau 
arbitrase ad hoc.Tidak seperti arbiter atau hakim, 
seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai 
sengketa yang terjadi tapi hanya membantu para pihak 
untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pe-
mecahan masalah dengan hasil win-win solution. 
BASYARNAS sebagai lembaga arbitrase yang 
didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berfungsi 
menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa 
muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, 
industri, keuangan, dan jasa. Pendirian lembaga ini 
awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat 
Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. 
Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia 
ini, diawali dengan bertemunya para pakar cendikiawan 
muslim, praktisi hukum, para ulama untuk bertukar 
pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di 
Indonesia. Pertemuan ini dimotori oleh dewan pemimpin 
MUI pada tanggal 22 April 1992, sesudah  mengadakan 
rapat beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan 
struktur organisasi dan prosedur beracara maka akhirnya 
lahirlah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) 
yang sekarang berubah menjadi Badan Arbitase Syariah 
Nasional (BASYARNAS).
Penyelesaian sengketa pada LES pada hakikatnya 
masuk ranah hukum perjanjian sehingga berlaku asas 
kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya 
para pihak bebas melakukan pilihan hukum dan 
pilihan forum penyelesaian sengketa yang akan dipakai 
manakala terjadi sengketa keperdataan diantara mereka. 
Klausula penyelesaian sengketa ini hampir dapat 
dikatakan selalu ada dalam kontrak-kontrak bisnis 
dewasa ini, termasuk dalam kontrak pembiayaan yang 
dibuat antara pihak nasabah dengan pihak perbankan 
syariah. Pasal 55 UU No. 21 tahun 2008 tentang 
Perbankan Syariah menegaskan bahwa:
1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilaku kan 
oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan pe-
nyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1); dan
3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada 
ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip 
syariah. Kemudian dalam penjelasan pasal 55 ayat (2) 
ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian 
sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah 
upaya melalui musyawarah, mediasi perbankan, 
badan arbitrase syariah nasional (BASYARNAS) atau 
lembaga arbitrase lain, dan melalui pengadilan dalam 
lingkungan peradilan umum.
Ada dua jalur pernyelesaian sengketa pada Lembaga 
Ekonomi Syariah ( LES ) khususnya perbankan 
syariah. Ertama, penyelesaian sengketa melalui jalur 
musyawarah mufakat. Penyelesaian sengketa melalui 
jalur musyawarah mufakat ini merupakan jalur paling 
awal yang dilalui oleh pihak yang bersengkatan sebelum 
akhirnya masuk pada jalur hukum atau pengadilan. 
Berikut ini langkah-langkah dalam penyelesaian 
sengketa melalui jalur musyawarah mufakat, yaitu: (1) 
me ngembalikan pada butir-butir akad yang telah ada 
sebelumnya; (2) para pihak yakni nasabah dan bank 
kembali duduk bersama dan fokus kepada masalah yang 
dipersengketakan; (3) mengedepankan musyawarah dan 
kekeluargaan, hal ini sangat dianjurkan untuk menye-
lesaikan sengketa; dan (4) tercapainya perdamaian 
antara pihak yang bersengketa.
Kedua, penyelesaian sengketa melalui lembaga 
alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute 
resolution). Ada empat lembaga dan cara dalam pe-
nyelesaian perkara perdata perbankan. Pertama, me lalui 
jalur lembaga pengaduan nasabah. Lembaga pengaduan 
nasabah disebutkan dalam pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/
PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, pe-
ngaduan didefinisikan sebagi ungkapan ketidakpuasan 
nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian 
finansial pada nasabah yang diduga karena kesalahan 
atau kelalaian Bank. Kemudian menurut pasal 2 PBI No. 
7/7/PBI/2005 bank diwajibkan menetapkan kebijakan 
dan memiliki prosedur tertulis tentang penerimaan pe-
ngaduan, pe nanganan dan penyelesaian pengaduan serta 
pe mantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan.
Prosedur penyelesaian sengketa melaui lembaga pe-
ngaduan nasabah yang berada dalam internal bank 
yang bersangkutan berdasarkan ketentuan mengenai 
kebijakan dan prosedur tertulis dalam Surat Edaran 
Bank Indoensia (SEBI) No.7/4/24/DPNP tertanggal 18 
Juli 2005 antara lain, sebagai berikut: (1) kewajiban bank 
untuk menyelesaikan pengaduan mencakup kewajiban 
menyelesaikan pengaduan yang diajukan secara lisan dan 
atau tertulis oleh nasabah dan atau perwakilan nasabah 
termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan 
hukum, dan atau bank lain yang menjadi nasabah bank 
ini ; (2) setiap nasabah, termasuk walk in costumer 
memiliki hak untuk mengajukan pengaduan; dan (3) 
pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh perwakilan 
nasabah yang bertindak untuk dan atas nama nasabah 
berdasarkan surat kuasa dari nasabah.
Dalam pasal 10 PBI No. 7/7/PBI/2005 disebutkan 
bahwa bank wajib menyelesaikan pengaduan paling 
lambat 20 hari kerja sesudah  tanggal penerimaan pe-
ngaduan tertulis, kecuali ada  kondisi tertentu 
yang menyebabkan bank dapat memperpanjang jangka 
waktu, yaitu: (1) kantor bank yang menerima pengaduan 
tidak sama dengan kantor bank tempat terjadinya 
permasalahan yang diadukan dan ada  kendala 
komunikasi diantara kedua kantor Bank ini ; (2) 
transaksi keuangan yang diadukan oleh nasabah atau 
perwakilan nasabah memerlukan penelitian khusus 
terhadap dokumen dokumen bank; dan (3) ada  
hal hal lain yang berada di luar kendali bank, seperti 
adanya keterlibatan pihak ketiga di luar bank dalam 
transaksi keuangan yang dilakukan nasabah.
Adanya perpanjangan jangka waktu penyelesaian 
pengaduan dimaksud wajib diberitahukan secara 
tertulis kepada nasabah dan/atau perwakilan nasabah 
yang mengajukan pengaduan sebelum jangka waktu 
yang seharusnya berakhir.
Kedua, melalui jalur BI (Bank Indonesia)/mediasi 
perbankan. Mediasi menurut peraturan Bank Indonesia 
Nomor 8/5/PBI/2006 adalah proses penyelesaian 
sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu 
para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian 
dalam bentuk kesepakatan sekarela terhadap sebagian atau 
seluruh permasalahan yang disengketakan. Pelaksanaan 
fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia ini 
dilakukan dengan mempertemukan nasabah dan bank 
untuk mengkaji kembali pokok permasalahan yang 
menjadi sengketa guna mencapai kesepakatan tanpa 
adanya rekomendasi maupun keputusan dari Bank 
Indonesia. Dalam rangka melaksanakan fungsi mediasi 
perbankan ini  Bank Indonesia menunjuk Mediator. 
Mediator yang ditunjuk harus memenuhi syarat 
sebagai berikut: (1) memiliki pengetahuan di bidang 
perbankan, keuangan dan hukum; (2) tidak memiliki 
hubungan sedarah dengan nasabah atau Perwakilan 
Nasabah Bank; dan (3) tidak mempunyai kepentingan 
finansial atau kepentingan lain atas penyelesaian sengketa.
Pengajuan penyelesaian sengketa dalam rangka 
mediasi perbankan ini kepada Bank Indonesia dilaku-
kan oleh nasabah atau perwakilan nasabah dengan 
memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) diajukan 
secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung 
yang memadai antara lain bukti transaksi keuangan 
yang dilakukan nasabah; (2) pernah diajukan upaya 
penyelesaian oleh nasabah kepada Bank, dibuktikan 
dengan bukti penerimaan pengaduan atau surat hasil 
penyelesaian pengaduan yang dikeluarkan bank; (3) 
sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses 
atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase 
atau peradilan atau belum ada  kesepakatan yang 
difasilitasi oleh lembaga mediasi lainnya; (4) sengketa 
yang diajukan merupakan sengketa keperdataan; dan (5) 
pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 hari 
kerja tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang 
disampaikan Bank kepada nasabah. sesudah  persyaratan 
ini  diatas terpenuhi, maka mulai dilakukan proses 
pemecahan sengketa dengan cara sebagai berikut. 
jika  sengketa itu tidak dapat diselesaikan dengan 
cara kekeluargaan, maka diselesaikan melalui seorang 
mediator dengan kesepakatan tertulis para pihak 
sengketa. jika  para pihak ini  dalam waktu 
paling lambat 14 hari dengan bantuan mediator tidak 
berhasil juga mempertemukan kedua belah pihak, 
maka pihak dapat menghubungi lembaga alternatif 
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang 
mediator, sesudah  itu proses mediasi harus sudah dapat 
dimulai dalam waktu 30 hari harus tercapai kesepakatan 
dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua 
belah pihak yang terkait. 
Kesepakatan penyelesaian sengketa adalah final 
dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan 
iktikad baik serta wajib didaftarkan di pengadilan dalam 
waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan. 
Dengan demikian lembaga mediasi perbankan ini baru 
mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa 
antara nasabah atau perwakilan nasbah dengan pihak 
bank, jika  mereka telah menandatangai perjanjian 
mediasi (agreement to mediate). Isi dari agreement to 
mediate ini yaitu kesepakatan untuk memilih mediasi 
sebagai alternatif penyelesaian sengketa dan persetujuan 
untuk patuh dan tunduk pada peraturan mediasi yang 
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur BASYARNAS 
(Badan Arbitrase Syariah Nasional)
BASYARNAS sebagai lembaga permanen yang di-
dirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi me-
nyelesaikan kemungkinan terjadi sengketa muamalat 
yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, 
keuangan, jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan 
dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan 
Bank perkreditan Rakyat Syariah. Lembaga Arbitrase 
Syariah merupakan penyelesaian sengketa secara 
syariah antara kedua belah pihak di jalur pengendalian 
untuk mencapai kesepakatan masalah ketika upaya 
mufakat tidak tercapai. Disamping itu badan ini dapat 
memberi  suatu rekomendasi atau pendapat hukum, 
yaitu pendapat yang mengikat adanya suatu persoalan 
tetentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian 
atas permintaan para pihak yang mengadakan per-
janjian untuk deselesaikan. jika  jalur arbitrase 
tidak dapat menyelesaikan perselihan, maka lembaga 
peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara 
ini . Hakim harus memperhatian rujukan yang 
berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani 
kasus ini  sebagai bahan pertimbanganuntuk 
meng hindari lamanya proses penyelesaian. 
Dalam ketentuan badan arbitrase, keputusan pen-
damaian harus dijalankan dengan cara sukarela. Namun, 
sekiranya tidak dijalankan menurut ketentuan hukum 
yang ada di Indoensia, maka eksekusi akan dijalankan 
melalui Pengadilan Negeri setempat. Kewenangan 
Pengadilan Negeri tentunya sebatas dalam pelaksanaan 
eksekusi saja, tanpa harus mengolah atau memeriksa 
ulang kembali kasus yang sudah diselesaikan arbiter. 
Sistem hukum seperti ini sering menjadi perdebatan di 
kalangan pemerhati hukum, baik hukum konvensional 
maupun syariah dan cenderung dipandang sebagai 
salah satu kelemahan penyelesaian hukum melalui 
lembaga arbitrase.
Pada pandangan lain dalam realita yang ada 
BASYARNAS sebagai lembaga arbitrase syariah di 
Indonesia saat ini belum maksimal dari aspek keberada an 
dan perkembangannya seperti perkembangan lembaga 
keuangan syariah. Ia masih memerlukan pe ningkatan 
kualitas manajemen dan Sumber daya Manusia. Karena 
untuk dipercayai oleh masyarakat, lembaga ini harus 
mempunyai penampilan yang baik, sekretariat yang selalu 
dapat melayani pihak berkrisis. Di samping keadaan 
internal yang baik dan representatif, perlu juga didukung 
dengan pemberdayaan hukum (law enforcement) 
dari pemerintah, seperti tentang keputusan final dan 
mengikat (final and binding) dalam penyelesaian perkara. 
Pihak pengadilan Negeri juga dapat memaksa pihak 
yang tidak mau melaksanakan eksekusi dan menolak 
jika  pihak ini  meng ajukan kembali kasusnya 
ke pengadilan. Hal ini dapat menjadikan BASYARNAS 
lebih berwibawa dan dianggap sangat diperlukan oleh 
pihak yang bersengketa.
Landasan Hukum Berdirinya BASYARNAS
Pertama, pasal 1388 KUHP, Sistem Hukum Terbuka.
Pasal 1388 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 
(KUHP) menyatakan, “semua perjanjian yang dibuat 
sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu 
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan 
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang 
ditentukan oleh undang-undang. Perjanjian harus 
dilaksanakan dengan baik.”
Dari ketentuan pasal ini , seluruh pakar hukum 
sepakat menyimpulkan bahwa dalam hal hukum per-
janjian, hukum positif (hukum yang berlaku di Indonesia) 
menganut sistem “terbuka”. Artinya, setiap orang bebas 
untuk membuat perjanjian apa dan bagaimanapun 
juga, sepanjang pembuatannya dilakukan sesuai dengan 
undang-undang dan isinya tidak bertentangan dengan 
ketertiban umum dan atau kesusilaan. Termasuk dalam 
pengertian bebas disini, tidak saja yang menyangkut isi 
materinya namun juga yang menyangkut bagaimana cara 
menyelesaikan perselisihan yang terjadi atau mungkin 
dapat terjadi.18
Kedua, Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970. Sejalan 
dengan berlakunya sistem atau asas ini , pasal 14 
UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok 
Kekuasaan Kehakiman menyatakan hal berikut ini: (1) 
pengadilan tidak boleh menolak untuk me meriksa dan 
mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalil 
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib 
untuk memeriksa dan mengadilinya; dan (2) ketentuan 
dalam ayat (a) tidak menutup ke mungkinan untuk 
melakukan usaha penyelesaian perkara perdata secara 
perdamaian.
Dari ketentuan yang termaktub dalam Pasal 14 ayat 
(20) ini , jelas keberadaan ”lembaga yang bertujuan 
untuk menyelesaikan perselisihan yang (mungkin) ter-
jadi di antara dua pihak yang mengadakan perjanjian”, 
sepanjang hal itu disetujui oleh kedua belah pihak, secara 
sah diakui oleh negara kita. Dalam praktik “lembaga” 
dimaksud, ada yang menamakannya”peradilan wasit” 
atau “wasit” saja dan ada pula yang menamakan “Badan 
Arbitrase”. Pada masa penjajahan Belanda dahulu, 
bahkan bagi mereka yang tunduk pada Hukum Perdata 
Barat, telah diadakan ketentuan-ketentuan khusus 
tentang “arbitrase” ini sebagaimana yang dimuat dalam 
Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglement op de 
Rechtsvordering atau RV, yakni Reglemen Acara Perdata 
yang berlaku di Raad Van Justitie atau Badan Peradilan 
bagi Golongan Eropa (S. 1847 – 52 jo 1849 – 63).
Ketiga, Pactum De Compromittendo. Berdasar-
kan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 615 RV, 
penetapan, penunjukan, atau pengangkatan “wasit” 
dapat dilakukan oleh para pihak yang berselisih sesudah 
selisih atau sengketa itu terjadi. Akan tetapi, penunjukan 
itu dapat pula ditetapkan di dalam perjanjian bahwa 
jika  di kemudian hari terjadi perselisihan atau 
persengketaan di antara kedua belah pihak, kedua belah 
pihak telah menetapkan “wasit” yang diminta untuk 
menyelesaikan sengketa yang terjadi ini . Dengan 
demikian, dalam hal yang ini  tertakhir ini, para 
pihak telah menetapkan seseorang atau sesuatu badan 
“wasit” untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin 
terjadi di kemudian hari. Di dalam praktik maupun 
menurut ilmu hukum, cara pertama disebut “akta 
kompromi” , sedangkan cara kedua disebut”pactum de 
compromittendo”. 
Dua Jenis Wasit
1) Wasit Ad Hoc, ini adalah wasit yang berkerja secara 
insidental guna menyelesaiakan sesuatu sengketa 
karena diminta atau ditunjuk oleh dua belah pihak 
yang bersengketa. Wasit ad hoc tidak melembaga 
dan tidak tetap.
2) Wasit Permanen. Wasit ini bersifat melembaga dan 
berkerja secara tetap guna menyelesaikan sengketa 
karena diminta atau mungkin akan terjadi bila hal 
itu diminta para pihak yang bersangkutan. Dengan 
perkataan lain, wasit permanen adalah suatu badan 
yang menyiapkan diri melayani masyarakat yang 
mem butuhkan untuk mendapatkan penyelesaian 
perkara perdata secara perdamaian.
Selain berfungsi sebagai penyelesai perkara perdata 
secara perdamaian, wasit (biasanya wasit permanen) juga 
dapat berfungsi sebagai lembaga pemberi pendapat yang 
bersifat final dalam hal-hal para pihak yang mengadakan 
perjanjian tidak sependapat mengenai penafsiran atas 
makna, maksud atau isi dari suatu perjanjian yang dibuat 
oleh para pihak yang bersangkutan atau bagian bagiannya. 
Dengan demikian jika  ada dua pihak yang mengadakan 
perjanjian dan mereka berselisih pendapat mengenai 
makna atau maksud dari suatu istilah yang termuat di 
dalam perjanjian itu misalnya, kedua belah pihak dapat 
meminta kepada suatu lembaga “wasit permanen” untuk 
memberi  pendapatnya. Pendapat itu, bagi mereka 
yang berselisih, akan diterima sebagi pendapat final.19
Adapun mengenai syarat wasit pada prinsipnya setiap 
orang dapat diangkat sebagai wasit asalkan ia dapat 
menerima atau ditetapkan sebagai kuasa. Demikian 
yang di tetapkan didalam pasal 617 alinea pertama RV. 
Tentang larangan wanita untuk diangkat sebagai wasit 
sebagaimana ditentukan pada alinea kedua pasal ini , 
kini kita dapat mengacu kepada hal yang berlaku di 
lingkungan Badan Peradilan Nagara, baik di lingkungan 
Pengadilan Negeri maupun Peradilan Agama yang tidak 
melarang diangkatnya para hakim wanita.
Kewenangan BASYARNAS
Pertama, menyelesaikan secara adil dan cepat 
sengketa muamalah yang timbul dalam bidang per-
dagangan, keuangan, industri, jasa, dan lain-lain yang 
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan 
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang ber sengketa dan 
para pihak sepakat secara tertulis untk menyerahan 
pe nyelesaian kepada BASYARNAS sesuai dengan 
perutaran prosedur yang berlaku.
Kedua, memberi  pendapat yang mengikat atas 
per mintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa 
mengenai suatu persoalan berkenaan dengan suatu 
perjanjian.
Putusan BASYARNAS
Pertama, dalam waktu selambat-lambatnya 180hari 
sejak di tunjukan sebagai arbiter, seluruh pemeriksaan 
hingga putusan harus selesai. Kedua, salinan resmi putusan 
arbitrase didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri 
setempat.
Keunggulan dan Kekurangan BASYARNAS
BASYARNAS memiliki keunggulan-keunggulan, 
di antaranya: (a) memberi  kepercayaan kepada 
para pihak, karena penyelesaiannya secara terhormat 
dan bertanggung jawab; (b) Para pihak menaruh 
kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani 
oleh orang-orang yang ahli dibidangnya; (c) Proses 
pengambilan keputusan cepat; (d) Para pihak 
menyerahkan persengketaannya secara sukarela 
kepada orang-orang (badan) yang dipercaya; (e) Di 
dalam proses Arbitrase pada hakikatnya te rkandung 
perdamaian dan musyawarah; (f ) BASYARNAS akan 
memberi  peluang bagi ber lakunya hukum Islam 
sebagai pedoman penyelesaian perkara.
BASYARNAS memiliki kekurangan-kekurangan, 
di antaranya: (a) Kurangnya manajemen SDM yang 
ada sehingga masih harus berbenah diri agar dapat 
mengimbangi pesatnya perkembangan lembaga 
keuangan syariah di Indonesia; (b) Belum sepenuhnya 
manjadi lembaga yang dipercaya masyarakat; (c)
Keterbatasan jaringan kantor BASYARNAS di daerah; 
d) Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat dalam 
rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan 
pemahaman mengenai arbitrase syariah.
Prosedur Berperkara di BASYARNAS 
Adapun prosedur berperkara di Badan Arbitrase 
Syariah Nasional yaitu: (a) Setiap pihak dapat me-
nyerahkan penyelesaian sengeketa dengan cara me-
ngadakan perjanjian (pactum de compromitendo) atau 
persetujuan bersama; (b) Arbitase syariah menangani 
perkara yang timbul akibat hubungan perdagangan, 
industri, keuangan jasa, dan lain lain, dan tidak me  nangani 
perselisihan sesuai pasal 616 RV yaitu per selisihan hibah, 
wasiat, nafkah, perceraian antara suami dan isteri serta 
sengketa sengketa lain yang tidak dilakukan perdamaian; 
(c) BASYARNAS memilih arbiter baik dalam bentuk 
tunggal atau majelis, sesudah  persyaratan adminstrasi 
dan klausul arbitrase di  anggap sudah mencukupi. 
Arbiter melakukan proses peradilan berdasarkan asas 
“Demi keadilan dan ber dasarkan Ketuhanan Yang Maha 
Esa” setiap penetapan dan keputusan dimulai dengan 
kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” di ikuti dengan 
“Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha 
Esa”; (d) Keputusan arbiter berdasarkan suara terbanyak 
se  andainya arbiter lebih dari satu orang, sekiranya 
suara terbanyak tidak tercapai maka ketua arbiter bisa 
mengambil dan menjatuhkan keputusan sendiri, dan 
239Nurul Ichsan: Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
ke utusan bersifat final dan binding; (e) Pelaksanaan ke-
putusan harus meminta persetujuan pelaksaan dari 
Pengadilan Negeri yang tentunya tidak mendapat 
persetujuan dari pihak yang kalah, sehingga Pengadilan 
Negeri kembali memeriksa perkara maka terjadilah 
proses dua kali pemeriksaan, hal ini tidak dibenarkan 
dan menjadi kelemahan berperkara di BASYARNAS.21
Dengan demikian seperti halnya dengan lembaga 
arbitrase yang lain BASYARNAS baru memiliki ke-
wenangan/kompetensi untuk menyelesaikan sengketa 
di bidang ekonomi syariah jika  para pihak yang ber-
sengketa terlebih dahulu membuat perjanjian arbitrase 
baik sebelum sengketa terjadi maupun sesudah sengketa 
terjadi. Yang pertama disebut pactum de compromittendo, 
dimana biasanya melekat pada perjanjian pokoknya 
dengan mencantumkan klasula arbitrase, sedangkan yang 
kedua disebut dengan akta kompromis yakni berupa 
perjanjian arbitrase yang terpisah dengan perjanjian 
pokoknya.
Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Pengadilan 
Agama 
Dengan lahirnya UU No.3 Tahun 2006 yaitu 
perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan 
Agama, maka kewenangan absolut sengketa ekonomi 
syariah beralih ke Pengadilan Agama. Kekuatan Peradilan 
Agama yang berwenang menyelesaikan sengketa per-
bankan syariah dikarenakan adanya faktor sebagai 
berikut: (1) SDM yang sudah memahami permasalahan 
syariah; (2) Kewenangan absolut peradilan; dan (3) 
Mayoritas masyarakat Indonesia kesadaran hukum Islam.
Ada pihak yang berpendapat bahwa pengadilan 
Agama lebih berhak berwenang memeriksa, memutus, 
dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah ke-
timbang pengadilan lain dengan pertimbangan sebagai 
berikut: (a) Pengadilan agama mempunyai sumber daya 
manusia yang sudah memahami permasalahan syariah. 
Sedangkan, para aparat hukum di pengadilan Umum 
belum tentu menguasai permasalahan syariah; (b)
Belum adanya hukum materiil yang khusus mengatur 
mengenai bisnis syariah yang dapat menjadi patokan 
para hakim di Pengadilan Umum untuk menyelesaiakan 
perkara; (c) Mengingat sejarah Peradilan Agama bahwa 
wewenang nya sangat luas, tak hanya menangani masalah 
perkawinan, kewarisan, wakaf, dan hibah saja, maka 
meletakkan bisnis syariah dalam kewenangan Pengadilan 
Agama merupakan momentum yang baik demi per-
kembangan pengadilan Agama dan kedudukan yang 
lebih kuat; dan (d) Mendapat dukungan mayoritas 
penduduk Indonesia, yaitu muslim yang saat ini sedang 
mempunyai semangat yang tinggi dalam menegakkan 
nilai-nilai agama yang mereka anut.
Dengan lahirnya UU No. 3 tahun 2006 polemik 
mengenai Peradilan Agama akhirnya terjawab, salah 
satu yang mendasar adalah peradilan agama ber-
tugas dan berwenang memeriksa, memutus dan me-
nyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang 
orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, 
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, 
dan ekonomi syariah. Selain itu, Penjelasan Pasal 49 
UU No. 3 Tahun 2006 menyebutkan bahwa yang 
dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama 
Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang 
dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela 
kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi 
kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan 
pasal ini. Dikaitkan dengan asas personalitas keislaman, 
hal ini berarti seorang nonmuslim yang melakukan 
transaksi pada suatu lembaga Ekonomi Syariah berarti ia 
telah menundukkan diri secara sukarela pada ketentuan 
hukum Islam.
Tugas dan wewenang Peradilan Agama sebagaimana 
yang diatur dalam UU No. 7/1989 dinyatakan pada 
realitas telah berlaku sejak zaman penjajahan Belanda 
walaupun telah terjadi perubahan dan perkembangan, 
namun perubahan yang lebih signifikan dan berarti 
terwujud dalam UU No. 3/2006 dan UU No.50/2009 
mengenai perubahan UU No. 7/1989 tentang Peradilan 
Agama, yaitu adanya penambahan tugas dan kuasa 
Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus, dan 
menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang ekonomi 
Syariah sesuai dengan Pasal 49 huruf (i).23 Akan tetapi 
persoalan lebih lanjut ialah ketika penyelesaian perkara 
ekonomi syariah telah diserahkan kepada peradilan 
agama sesuai dengan UU ini  namun: (a) Dalam 
Pasal 1 ayat (1) UU No. 50 tahun 2009 ternyata 
membatasi pengadilan hanya untuk orang Islam saja; 
(b) Undang-undang tentang perluasan kewenangan 
Peradilan Agama sampai menjangkau masalah ekonomi 
syariah itu belum diringi dengan peraturan perundangan 
lainnya yang secara teknis dapat di jadikan rujukan 
oleh praktisi hukum peradilan agama seperti peraturan 
pemerintah misalnya.
Dengan demikian keterkaitan antara Peradilan 
Agama dengan BASYARNAS antara lain adalah dalam 
hal yaitu:
Pertama, Peradilan Agama wajib menolak perkara 
di bidang ekonomi syariah jang dimajukan kepadanya 
ketika dalam perkara yang menjadi dasar hubungan 
hukum para pihak di bidang ekonomi syariah, 
ada  klausula arbitrase. Yakni sebuah klausula yang 
menyatakan bahwa segala sengketa yang timbul ber-
kaitan dengan perjanjian ini akan diselesaikan melalui 
BASYARNAS”. Dengan adanya klausula dimaksud, 
maka BASYARNAS mempunyai kompetensi absolut 
terhadap perkara yang bersangkutan; dan
Kedua, Peradilan Agama juga dapat memberi  
fiat eksekusi bagi putusan arbitrase dari BASYARNAS 
secara sukarela dalam hal salah satu pihak yang terlibat 
dalam sengketa tidak bersedia melaksanakan putusan 
dimaksud yang sifatnya adalah paripurna dan mengikat 
(final and binding).
Ajaran Islam memberi  tuntunan bagi yang 
me ngalami perselisihan untuk saling berdamai, ber-
musyawarah untuk mufakat, jika  tidak disepakati 
maka diambillah salah seorang ataupun pihak lain 
untuk menjadi pendamai kedua belah pihak yang 
bersengketa, jika  belum juga ada  jalan keluar 
Islam mengajarkan untuk bertahkim ataupun membawa 
perkara kepada pengadilan yang adil. 
Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive