Kamis, 22 Februari 2024

sengketa 2

 



Sengketa merupakan fenomena manusiawi yang hampir selalu ada 

di  warga . Jika terjadi sengketa, ada dua mekanisme yang dapat 

digunakan untuk menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan (litigasi) 

dan di luar pengadilan (non-litigasi). Paradigma litigasi meyakini bahwa 

hukum harus ditegakkan untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Di 

samping itu, juga digunakan paradigma non-litigasi, yaitu paradigma yang 

berakar pada konsensus, musyawarah atau penyelesaian damai antar para 

pihak. Falsafah resolusinya bukan untuk mencari kemenangan mutlak 

di satu pihak sehingga harus ada pihak lain yang kalah. Paradigma ini 

lebih mendorong agar konflik dapat diakhiri dengan menjadikan semua 

pihak sebagai pemenang (win-win solution). Kalaupun ada keinginan 

yang tak terpenuhi, maka kedua belah pihak harus menanggung beban 

kalah yang sama beratnya. Hukum Islam juga mengenal dua paradigma 

penyelesaian sengketa. Hukum Islam mendukung setiap sengketa 

diselesaikan secara hukum di pengadilan (al-qadha). Tidak ada yang 

salah bila  warga  membawa persoalannya dihadapan hakim. Tetapi 

hukum Islam menyerukan anjuran moral, sebaiknya para pihak berdamai 

dan menyelesaikan masalahnya secara kekeluargaan (islah, tahkim). 

Jika terjadi sengketa di  warga  maka penyelesaiannya dapat 

digolongkan menjadi dua jalur, yaitu melalui pengadilan dan di luar 

pengadilan. Kedua istilah ini dipahami dan dinamai secara berbeda-beda 

oleh para ahli. Sebagian ahli menggunakan istilah penyelesaian sengketa 

melalui lembaga negara (state institutions) dan lembaga rakyat (folk/ 

traditional institutions)  Vago menggunakan 

istilah penyelesaian sengketa secara publik dan formal (public and formal 

methods of conflict resolutions) dan penyelesaian sengketa secara non-

hukum (non-legal methods of conflicts resolutions). Kubasek dan Silverman 

menggunakan istilah litigasi (litigation process) untuk penyelesaian sengketa 

di pengadilan, dan extrajudicial settlement of disputes atau populer dengan 

istilah alternative dispute resolution (ADR) untuk penyelesaian sengketa di 

luar pengadilan,

Dalam kepustakaan Indonesia, ADR disebut pula dengan 

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Kooperatif (MPSSK), atau 

Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS). pemakaian  kata 

“di luar pengadilan,“ “alternatif “ dan “kooperatif “ menunjukkan bahwa 

para pihak yang bersengketa bebas memilih cara lain di luar pengadilan 

(lembaga negara, penyelesaian formal dan publik, litigasi) untuk 

menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Menurut UU No. 30 Tahun 1999 

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 (10) 

menyebutkan: “Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian 

sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak 

Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa 

Volume 18, number 1 (2016) 51

yakni di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi atau 

penilaian ahli.»

Penyelesaian sengketa non-litigasi sebenarnya dapat dilakukan 

baik di dalam (inside the court) maupun di luar pengadilan (outside the 

court). Dalam beberapa literatur, penyelesaian sengketa non-litigasi di 

dalam pengadilan atau disebut pula dengan Court Connected ADR atau 

ADR Inside the Court atau Court Dispute Resolution (CDR) dapat berupa, misalnya perdamaian di pengadilan. Dalam 

sistem hukum acara di Indonesia, pranata perdamaian di pengadilan 

di sebut dading. Secara formal, pedoman hakim untuk mengarahkan 

penyelesaian sengketa melalui dading diatur dalam pasal 130 HIR, sedang 

para pihak yang terlibat sengketa dalam membuat kesepakatan perdamaian 

diatur dalam pasal 1851 KUH Perdata. Pada sisi lain, pranata penyelesaian 

sengketa non-litigasi di luar pengadilan diantaranya meliputi negosiasi, 

mediasi, konsiliasi dan lain-lain. Bagaimana dengan hukum Islam? 

Artikel ini akan mengkaji bagaimana paradigma hukum Islam 

dalam menyelesaikan sengketa. Masalah yang dikaji apakah penyelesaian 

sengketa lebih condong menggunakan pranata litigasi atau non-litigasi? 

Dan masalah-masalah apa saja yang dapat diselesaikan melalui dua 

kecenderungan di atas?

Pembahasanb. 

tentang Paradigma 1. 

Ilmu pengetahuan pada dasarnya dibangun atas dasar asumsi 

dan sudut pandang tertentu tentang dunia dan atau manusia. Suatu 

pandangan  bahwa planet-planet bumi, mars dan sebagainya dalam tata 

surya ini mengelilingi matahari jelas menimbulkan konsekuensi dan 

implikasi teoritis yang berbeda dalam pengembangan ilmu astronomi bila 

dibandingkan dengan paradigma lama bahwa bumi adalah pusat jagad raya. 

Begitu pula paradigma bahwa manusia itu adalah mesin, telah melahirkan 

ilmu pengetahuan kedokteran yang memandang orang sakit sebagai mesin 

rusak sehingga harus diobati atau diperbaiki secara mekanis pula 

Abu Rokhmad  

Demikian pula suatu paradigma bahwa sumber segala eksistensi 

atau yang maujud adalah Tuhan (theocentris) jelas akan mempunyai 

implikasi yang berbeda dalam pengembangan ilmu pengetahuan, 

dibandingkan dengan paradigma lainnya bahwa manusia mempunyai 

kedudukan sentral di jagad raya (anthropocentris). Adalah juga suatu 

paradigma bila konflik tidak harus diselesaikan melalui hukum negara, 

sebab  warga  juga memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan 

masalahnya. Dua paradigma ini akan berimplikasi pada prosedur dan tata 

cara resolusi konflik yang berbeda.

Di dunia penelitian dikenal adanya dua paradigma penelitian, 

yaitu paradigma penelitian kuantitatif dan kualitatif. Secara epistemologis, 

paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan itu 

terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional dan data empiris. Oleh karena 

itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi (sesuai 

dengan teori-teori terdahulu dan sesuai dengan kenyataan empiris). 

Pengembangan ilmunya berputar dan mengikuti siklus logico-hypothetico-

verifikatif , Paradigma kuantitatif cenderung 

pada pendekatan partikularistis dan berlandaskan filsafat positivisme 

August Comte (1798-1857). Berbeda dengan yang di atas, penelitian 

kualitatif bersifat humanistik yang menempatkan manusia sebagai subyek 

utama dalam peristiwa sosial atau budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan 

pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan 

kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam kajian 

sosiologi. Dari dua paradigma penelitian ini, jelas sangat berbeda dan 

segera tampak dalam desain penelitiannya.        

Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (paradigm) pertama kali 

diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific 

Revolution (1962). 

bahwa paradigma merupakan keseluruhan susunan kepercayaan, nilai-

nilai serta teknik-teknik yang sama-sama dipakai oleh anggota komunitas 

ilmuwan tertentu  

Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa 

Volume 18, number 1 (2016) 

Secara umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan 

atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak sehari-

hari. Ada pula yang berpandangan bahwa paradigma merupakan suatu 

citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu. Paradigma 

menggariskan apa yang harus dipelajari, pernyataan-pernyataan yang 

seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah mana yang seharusnya diikuti 

dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Dengan demikian, paradigma 

ibarat sebuah jendela (mental window) yang digunakan seseorang untuk 

mengamati dunia luar atau tempat orang menjelajah dunia dengan 

wawasannya (world view)  

Menurut Patton, paradigma merupakan suatu pandangan, 

perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata 

yang kompleks, kemudian memberikan arti dan penafsiran-penafsiran. 

Pengertian ini menunjukkan bahwa paradigma bukan hanya sekedar 

orientasi metodologis atau seperangkat aturan untuk riset (a set of rules 

for research) melainkan juga membicarakan perspektif, asumsi yang 

mendasari, generalisasi-generalisasi nilai-nilai, keyakinan atau disciplinary 

matrix yang kompleks ,

Egon G. Guba berpendapat bahwa paradigma adalah seperangkat 

keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan manusia baik 

dalam tindakan sehari-hari maupun dalan penelitian ilmiah (disciplin 

inquiry paradigm). Disciplin inquiry paradigm adalah suatu keyakinan 

dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari kebenaran 

realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan tertentu ,

Dalam konteks artikel ini, paradigma tidak dalam pengertian 

penelitian ilmiah, tetapi lebih sebagai cara pandang hukum Islam 

dalam memilih atau menentukan mekanisme yang tepat untuk 

menyelesaikan sengketa. 

Hukum islam dan Penyelesaian sengketa 2. 

Bila mengkaji tentang sengketa, yang akan segera terbayang 

adalah bagaimana hukum ditegakkan (law enforcement). Sengketa tidak 

akan menjadi masalah bila mekanisme penegakan hukumnya berjalan 

sebagaimana diatur dalam suatu undang-undang. Namun, penegakan 

Abu Rokhmad

hukum bukanlah kerja otomat dan logis-linier semata Faktor manusia sangat terlibat dalam usaha menegakkan 

hukum. Dengan demikian, penegakan hukum bukan lagi merupakan 

hasil deduksi logis, melainkan lebih merupakan hasil dari pilihan-pilihan. 

Output dari penegakan hukum tidak dapat hanya didasarkan pada 

ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang ‘tidak menurut logika’ ,

Memang betul bahwa salah satu fungsi hukum adalah untuk 

menyelesaikan konflik yang terjadi di  warga  , Hukum (dengan sistem 

peradilan sebagai model yang paling jelas) baru beroperasi setelah terjadi 

konflik, yakni bila seseorang mengaku kepentingannya telah diganggu pihak 

lain. Tugas pengadilan adalah membuat keputusan yang dapat mengakhiri 

konflik ,Inilah ciri eksplisit maupun implisit 

yang mewarnai kebanyakan kajian tentang hukum dan  warga . Ketika 

hak , yang dimiliki oleh seseorang berbenturan 

dengan hak orang lain, maka saat itulah terjadi konflik antar hak dari 

orang-orang yang terlibat didalamnya. Dalam situasi demikian, keberadaan 

hukum diperlukan kembali dalam rangka menyelesaikan konflik yang 

timbul. pemakaian  hukum yang demikian dikarenakan hukum memiliki 

beberapa kelebihan, yaitu hukum bersifat rasional, integrative, legitimate, 

dan didukung adanya mekanisme pelaksanaan dan sanksi yang jelas ,

Oleh karena tanah merupakan persoalan yang kompleks dan unik, 

maka penyelesaian sengketanya—sering kali—tidak bisa hanya berdasar 

logika hukum semata, tapi juga keadilan dan kemaslahatan bersama. 

Meminjam bahasa hukum Rahardjo, dibutuhkan cara penyelesaian (baca: 

penegakan hukum) yang progresif . Baginya, 

tidak ada standar tipe penegakan hukum yang absolut. Yang ada adalah 

semacam standar struktur penegakan hukum modern. Oleh karena 

itu, dimungkinkan modifikasi tipe-tipe penegakan hukum menurut 

karakteristik bangsa tertentu. Hemat penulis, karakteristik penyelesaian 

sengketa yang progresif adalah melampaui batas prosedur hukum (tidak 

anarkis dan tetap dalam batas-batas hukum), cerdas dan bermakna,  

Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa 

Volume 18, number 1 (2016) 55

berkeadilan sosial dan bertumpu pada  warga  yang otonom (Satjipto 

Rahardjo, 2005).

Dari perspektif hukum Islam, ketika sengketa tanah telah terjadi 

ada dua  jalur penyelesaian yang dapat ditempuh, yaitu hakam (antara lain 

QS, 4: 105), dan islah (antara lain QS, 4: 128). Hakam dalam bentuknya 

yang paling konkret menjelma menjadi qadhi (hakim) atau peradilan 

(qadha/ hukumah) yang memutus perkara secara 

hukum. Sedangkan islah merupakan lembaga hukum yang mendamaikan, 

baik melalui pihak ketiga ataupun tidak (al-Munawar, 2004: 60).

Berbeda dari pendapat di atas, ada pula yang menyatakan bahwa 

penyelesaian sengketa pada prinsipnya dapat menempuh tiga jalur, yaitu 

dengan cara damai (shulh), arbitrase (tahkim) dan terakhir melalui 

proses peradilan (al-qadha’) ,Perbedaan 

dua pendapat di atas terletak pada konsep hakam, tahkim dan al-qadha’. 

Istilah hakam dan tahkim terkadang dipahami dalam konteks penyelesaian 

sengketa secara damai dengan pihak ketiga sebagai penengah (arbitrator/ 

mediator). Pengertian ini mirip dengan shulhu, hanya beda pada kehadiran 

pihak ketiga. Tetapi bila dilihat dari akar katanya, hakam dan tahkim juga 

dapat dipahami sebagai penyelesaian sengketa menurut hukum dengan al-

qadha sebagai tempatnya. Ada pula yang berpendapat, di negara-negara 

Arab (modern-pen), penyelesaian sengketa non-litigasi meliputi beberapa 

cara. Selain sulh (konsiliasi) dan tahkim atau hakam (arbitrase)—

sebagaimana pada masa Nabi Muhammad SAW dan para shahabat—juga 

dikenal dengan istilah al-wasathah (mediasi) (Salah al-Hejailan dan Fathi 

Kemicha, 1996: 3389).  

Secara bahasa, al-qadha (peradilan) dapat diartikan sebagai 

memutuskan, menyelesaikan, menetapkan dan lain-lain ( Jakarta: Depag, 

1994: 1-3). Secara istilah, menurut Salam Madkur, lembaga pengadilan 

adalah (tempat-pen) memutuskan sengketa antara manusia berdasarkan 

(ketentuan)  yang telah diturunkan Allah (Madkur: 20).  Menurut Sayyid 

Sabiq, pengadilan adalah lembaga menyelesaikan persengketaan (al-

khusumat) yang terjadi antara sesama manusia sesuai dengan aturan hukum 

yang telah disyariatkan oleh Allah SWT , Dua 

pandangan di atas menjadikan pengadilan sebagai rujukan penyelesaian 

bila terjadi sengketa, apapun jenis sengketanya (perdata atau pidana).

Abu Rokhmad

Sepanjang sejarah hukum Islam, dijumpai tiga model kekuasaan 

penegak hukum (lembaga penegak hukum), yaitu kekuasaan al-

qadha (wilayat al-qadha), kekuasaan al-hisbah (wilayat al-hisbah) dan 

kekuasaan al-madzalim (wilayah al-madhalim), yang masing-masing 

memiliki kewenangan berbeda ,Al-Qadha berwenang 

menyelesaikan  masalah-masalah tertentu, mencakup perkara-perkara 

madaniyyat, perdata (al-ahwal al-syakhsiyyah), pidana (jinayat) dan tugas 

tambahan lain. Al-Hisbah merupakan lembaga resmi negara yang diberi 

kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah ringan yang menurut 

sifatnya tidak memerlukan proses peradilan. Sedangkan al-madzalim 

merupakan badan pemerintah yang dibentuk khusus untuk membela 

orang-orang yang teraniaya akibat sikap semena-mena penguasa negara 

(yang lazim sulit diselesaikan oleh al-qadha atau al-hisbah). Lembaga ini 

juga berwenang menyelesaikan persoalan suap atau korupsi.

Dalam konteks Indonesia modern, wilayat al-hisbah dan wilayat 

al-madzalim—barangkali—dapat disejajarkan dengan state auxiliaries 

institution, yaitu lembaga negara yang bersifat mandiri dan semi kekuasaan 

yudikatif. Dalam bentuknya yang konkret, lembaga tersebut didepan 

namanya diawali “komisi“ seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha 

(KPPU) atau Komisi Pemberantasan Komisi (KPK) untuk al-Hisbah dan 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk al-Madzalim. 

Tentu saja pensejajaran ini perlu kajian lebih lanjut.  

Keberadan lembaga peradilan merupakan kewajiban kolektif 

(fardhu kifayah) untuk mencegah terjadinya kezaliman dan menyelesaikan 

persengketaan serta wajib bagi seorang hakim untuk menegakkan keadilan 

bagi umat manusia ,Salah satu fungsi peradilan, menurut 

TM. Hasbi Ash-Shiddieqy adalah menampakkan hukum agama, bukan 

menetapkan suatu hukum karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi 

oleh hakim. Hakim hanya menerapkan ke dalam alam kenyataan, bukan 

menetapkan sesuatu yang belum ada . Namun 

demikian, hakim tidak dapat menolak penyelesaian suatu perkara dengan 

alasan tidak ada ketentuan hukumnya. Oleh karena itulah, ijtihad hakim 

dibolehkan dan agama menjamin keabsahannya,

Secara bahasa, ishah adalah memutuskan persengketaan (qath’u 

al-niza’, qath’u al-munaza’ah, qath’u al-khusumah). Menurut istilah, ishlah 

Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa 

Volume 18, number 1 (2016) 57

adalah akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan 

antara dua orang atau lebih yang saling bersengketa (Sayyid Sabiq). Ishlah 

merupakan pintu masuk untuk mencegah suatu perselisihan, memutuskan 

suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila dibiarkan 

terjadi berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu 

maka ishlah mencegah hal-hal yang akan menyebabkan kehancuran dan 

menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan ,  Ishlah dapat dilakukan atas prakarsa pribadi 

pihak-pihak yang sedang bersengketa, bisa pula diusulkan oleh pihak 

lain atau melibatkan pihak ketiga (hakam). Hakam ini berfungsi sebagai 

penengah (pendamai) dari dua atau lebih pihak yang sedang bersengketa. 

Dalam istilah teknis penyelesaian sengketa non-litigasi, hakam sejajar 

dengan mediator atau  arbitator. 

Cara penyelesaian sengketa dengan baik-baik itu (amicable 

settlement) merupakan tradisi yang telah lama berakar pada  warga  

Arab bahkan sebelum agama Islam lahir di sana. Ketika risalah Islam hadir, 

tradisi itu diperkuat lagi dengan doktrin-doktrin Islam yang mengajarkan 

agar umat Islam menciptakan perdamaian dan harmoni dalam  warga . 

Hampir semua komunitas hukum memiliki tradisi-tradisi tersendiri dalam 

menyelesaikan sengketa (local wisdom), tidak hanya komunitas yang 

masih setia dengan tradisi primitifnya, bahkan juga komunitas yang sudah 

modern sekalipun. 

Dalam prakteknya, hukum Islam tidak hanya menganjurkan 

berdamai untuk kasus-kasus perdata saja, bahkan damai dimungkinkan 

untuk masalah pidana. Rasulullah bersabda: ’’Barangsiapa dengan sengaja 

membunuh, maka si pembunuh diserahkan kepada wali korbannya. Jika 

wali ingin melakukan pembalasan yang setimpal  (qishash), mereka dapat 

membunuhnya. Jika mereka tidak ingin membunuhnya, mereka dapat 

mengambil diyat (denda)........Dan bila mereka berdamai, itu terserah kepada 

wali mereka.’’ (Ash-Shiddieqy, 2001: 166) Batas-batas berdamai menurut 

Islam adalah perdamaian yang tidak menghalalkan yang haram dan 

mengharamkan yang halal,

Dengan demikian, Islam mengenal dua paradigma dalam 

penyelesaian sengketa yaitu paradigma litigasi dan non-litigasi. Paradigma 

litigasi adalah suatu pandangan dan keyakinan mendasar bahwa satu-

Abu Rokhmad

58  

satunya institusi yang tepat untuk menyelesaikan sengketa adalah lewat 

pengadilan. Sebaliknya, paradigma non-litigasi berangkat dari asumsi 

dasar bahwa penyelesaian sengketa tidak harus melalui hukum dan 

pengadilan. Cara-cara di luar pengadilan jauh lebih efektif menyelesaikan 

sengketa tanpa meninggalkan luka di hati lawan. Spirit Islam menunjukkan 

bahwa hendaknya penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara-cara 

di luar pengadilan, seperti implisit dijelaskan oleh Umar bin Khattab; 

“radd al-qadha’ baina dzawi al-arham hatta yashthalihu fa inna fashla al-

qadha’ yuritsu al-dhagain” (kembalikanlah penyelesaian perkara kepada 

sanak keluarga sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian karenan 

sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu dapat menimbulkan rasa tidak 

enak) (Madkur: 68).

Dukungan dari teks al-Qur’an maupun al-Hadits untuk 

menyelesaikan sengketa secara damai cukup banyak. Anjuran berdamai itu 

antara lain disebutkan dalam QS, 4: 128, 35, 129, 2: 182, 224, 228, 731: 

9, 10. Bahkan dalam konteks sengketa atau konflik yang telah mengeras 

menjadi perang terbuka pun, ajaran Islam tetap mensuport untuk 

dilakukan perdamaian. Seperti dijelaskan dalam surat al-Anfal (8) ayat 

61, ‘’dan apabila musuhmu condong pada perdamaian, engkau juga harus 

condong pada perdamaian…» (wa in janahu li al-salmi fa ajnah laha…). 

Jadi, perdamaian merupakan prinsip dasar dalam kehidupan (umat) Islam. 

Prinsip ini merupakan suatu jalan hidup yang memungkinkan seseorang 

atau  warga  memecahkan dan mengatasi berbagai persoalan (termasuk 

persoalan di bidang tanah) dengan cara yang mudah, lancar, seimbang dan 

adil ,Bahkan kata Islam sendiri—sebagai 

suatu nomenklatur agama—berarti agama yang damai. 

Dari ayat-ayat al-Qur’an di atas memang tidak secara spesifik 

menjelaskan tentang penyelesaian damai sengketa tanah, namun nilai-

nilai yang diajarkannya dapat diimplementasikan dalam penyelesaian 

semua kasus, termasuk sengketa tanah. Spirit damai juga dijelaskan dalam 

hadits-hadits nabi, antara lain; ’Perdamaian antara orang-orang muslim 

itu dibolehkan, kecuali perjanjian (damai) untuk mengharamkan yang 

halal dan menghalalkan yang haram 

Perdamaian dalam bentuk shulh untuk mengakhiri suatu 

persengketaan terbagi dalam tiga bentuk ,

pertama,  perdamaian dalam suatu kasus yang sudah ada pengakuan pihak 

tergugat, yaitu seorang yang menggugat pihak lain tentang sesuatu obyek 

gugatan dan pihak tergugat membenarkan isi tuntutan tergugat. Perdamaian 

demikian, menurut jumhur ulama dibolehkan. Kedua, perdamaian tentang 

sesuatu yang diingkari oleh pihak tergugat, seperti penggugat mempunyai 

hak atas sesuatu yang dikuasai oleh tergugat tetapi pihak tergugat 

menyangkal tuduhan tersebut. Menurut mazhab Malikiyyah, Hanafiah 

dan Hanabilah, perdamaian seperti demikian diperbolehkan. Alasannya 

karena keumuman ayat al-shulh khair dan hadits Nabi Muhammad SAW 

yang menganjurkan berdamai asal tidak menghalalkan yang haram dan 

mengharamkan yang halal; ketiga, perdamaian dalam kasus diamnya pihak 

tergugat, yakni adanya suatu perkara gugatan di mana pihak tergugat 

tidak memberikan jawaban atas gugatan yang dituduhkan kepadanya. 

Menurut Ibn Abi Laila, perdamaian dalam bentuk ini diperbolehkan. 

Namun mazhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa perdamaian dalam bentuk 

ini tidak diperbolehkan karena sikap diam pihak tergugat adalah bentuk 

pengingkarannya.

simpulan. 

Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa sengketa merupakan 

fenomena manusiawi yang hampir selalu ada di  warga . Langkah yang 

terbaik bila terjadi sengketa adalah diselesaikan dan bukan didiamkan 

saja. Jika terjadi sengketa, ada dua mekanisme yang dapat digunakan 

untuk menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar 

pengadilan (non-litigasi). Paradigma litigasi meyakini bahwa hukum harus 

ditegakkan untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Prosedur dan tata cara 

mengajukan perkara, hukum dan aturan-aturannya sudah jelas sehingga 

kebenaran, siapa kalah dan menang segera dapat terlihat. Keadilan akan 

terwujud bila bukti-bukti formal yang diajukan memenuhi standar norma-

norma hukum yang berlaku.

Di samping itu, di  warga  juga menggunakan paradigma non-

litigasi, yaitu paradigma yang berakar pada konsensus, musyawarah atau 

penyelesaian damai antar para pihak. Falsafah resolusinya bukan untuk 

Abu Rokhmad

mencari kemenangan mutlak di satu pihak sehingga harus ada pihak lain 

yang kalah. Paradigma ini lebih mendorong agar konflik dapat diakhiri 

dengan menjadikan semua pihak sebagai pemenang (win-win solution). 

Kalaupun ada keinginan yang tak terpenuhi, maka kedua belah pihak harus 

menanggung beban kalah yang sama beratnya.

Hukum Islam juga mengenal dua paradigma penyelesaian sengketa. 

Hukum Islam mendukung setiap sengketa diselesaikan secara hukum di 

pengadilan (al-qadha). Tidak ada yang salah bila  warga  membawa 

persoalannya dihadapan hakim. Tetapi hukum Islam menyerukan anjuran 

moral, sebaiknya para pihak berdamai dan menyelesaikan masalahnya 

secara kekeluargaan (islah, tahkim). Dengan demikian, persaudaraan 

(silaturrahmi) tetap terjaga dan perasaan tidak enak dapat dihindari. 

Menurut hukum Islam, semua sengketa dapat diselesaikan secara damai di 

luar pengadilan, termasuk perkara pidana.


Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive