Jumat, 29 Desember 2023

sengketa warga






Dalam usaha  menyelesaikan sengketa yang timbul dalam 
warga  manusia sebagai subyek hukum sudah  memiliki  
mekanisme untuk menanganinya sendiri, baik dalam bentuk for­
mal maupun informal yang dalam perkembangannya menjadi 
proses ajudikasi yang formal dilakukan melalui proses litigasi dan 
arbitrase.
Proses penyelesaian konflik secara informal disebut proses 
konsensus yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang 
bersengketa.
Proses penyelesaian  sengketa/konflik  di warga  
mengalami pembahan dan berkembang. lalu  muncul bentuk 
penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal dengan nama ADR 
(alternative dispute resolution). Bentuk ini menekankan pada 
pengembangan metode penyelesaian konflik yang bersifat 
kooperatif di luar pengadilan. Metode/cara penyelesaian sengketa 
ADR bersifat konsensus, dapat diterima para pihak yang 
bersengketa (mutual acceptable solution) dengan “informal 
procedure”.
Banyak kritik yang dilancarkan kepada lembaga pengadilan. 
Hal ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara 
industri maju. Perkembangan warga  yang menuntut 
kecepatan, kerahasiaan, efisien dan efektif dan menjaga 
kelangsungan hubungan yang sudah  ada, hal ini  tidak dapat 
direspon oleh lembaga litigasi yang ada, yang mendapat banyak 
kritikan dalam operasionalnya dinilai lamban, mahal, memboroskan
energi, waktu dan uang dan terbuka dan tidak dapat memberi  
win-win solution sehingga konsep penyelesaian sengketa alternatif 
yang ditawarkan memperoleh  sambutan yang positif, terutama di 
dunia bisnis yang menghendaki efisiensi dan kerahasian dan 
lestarinya hubungan / kerja sama dan tidak formalistis dan 
menghendaki penyelesaian yang lebih menekankan pada keadilan.
ADR (A lternative D ispute R esolution) yang semula 
merupakan konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang 
menekankan produk win-win solution pada perkembangannya di 
Amerika Serikat diintegrasikan ke dalam proses beracara di 
pengadilan Court Connected Dispute (CDR) atau Court Annexed 
Dispute Resolution (CADR).
Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan konsep 
penyelesaian konflik atau sengketa di luar pengadilan secara 
kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan atau solusi 
terhadap suatu konflik atau sengketa yang bersifat “menang- 
menang” (win-win). Yang dimaksudkan solusi “menang-menang” 
disini adalah solusi atau kesepakatan yang mampu mencerminkan 
kepentingan atau kebutuhan seluruh pihak-pihak yang terlibat 
dalam konflik ini  (shared interest). Walaupun pada awal 
perkembangannya, terutama di Amerika Serikat ADR hanyalah 
merupakan mekanisme penyelesaian konflik di luar pengadilan, 
namun kini ADR juga dikembangkan dalam kerangka beracara di 
pengadilan atau ADR yang terintegrasi dengan sistem pengadilan 
court connected ADR.
Walaupun dalam warga  tradisional di Indonesia, ADR 
sudah  diterapkan dalam menyelesaikan konflik-konflik tradisionil, 
namun agak ironis pengembangan konsep dan teori penyelesaian 
konflik secara kooperatif justru banyak berkembang di negara- 
negara yang warga nya litigous atau tidak memiliki akar 
penyelesaian konflik secara kooperatif. Oleh sebab itu tantangan
kita , teru tam a m asyarakat hukum  di Indonesia  adalah  
mendokumentasikan pola-pola penyelesaian konflik dalam  
warga  tradisional dan secara laboratoris mengembangkan 
corak-corak penyelesaian konflik yang merupakan produk Indo­
nesia.
Penelitian mengenai ADR yang dilakukan oleh beberapa 
perguruan tinggi seperi Monash University di Australia dan 
Harvard University di Amerika Serikat ataupun oleh lembaga 
penelitian lainnya menunjukan belum adanya kesamaan pendapat 
bahwa ADR yang independent dari pengadilan jauh lebih baik 
dari proses litigasi atau altematip proses penyelesaian sengketa 
yang ada kaitannya dengan pengadilan (court-connected dispute 
resolution). Masing-masing lembaga penyelesaian ini dalam 
prakteknya mengandung kelebihan dan kekurangan.
Dalam literatur yang dimaksud dengan ADR ialah lembaga 
altematip penyelesaian perkara yang sama sekali terlepas dari 
pengadilan dan Court-connected Dispute (CDR) atau Court- 
annexed Dispute Resolution (CAR) yang ada kaitannya dengan 
pengadilan.
ADR YANG TERLEPAS DARI PENGADILAN.
Di Jepang dikenal: Japan Commercial Arbitration Associa­
tion, Tokyo Maritime Arbitration Commision, The Japan Shipping 
Exchange, Labopur Commision, The Commision for Adjusment o f 
Contraction Work Disputes, The Federation o f Trade Council, 
Japan Chamber o f Commerce and Industry, The Environmental 
Disputes Cordination Commisions, Arbitration Centre o f Local 
Bar Association, The Centre o f Handling o f Handling Traffic 
Accident Disputes.
Di Korea Selatan dikenal : Korean Commercial Arbitration 
Board (KCAB), Di Hongkong : Hongkong International Arbitra­
tion Centre (HKIAC). Di Singapore : The Singapore International 
Association Centre (SIAC) yang bertujuan untuk memberi  
bantuan  dalam  penyelesaian  sengketa domestik  maupun 
internasional melalui arbitrase dan konsiliasi.
Di Australia dikenal macam-macam ADR yang memiliki  
kegiatan di bidang tertentu, seperti : The Noble Part Family 
Mediation Centre, Community Justice Centres di bidang keluarga; 
The Australian Centre for International Commercial Arbitration 
(ACICA) untuk penyelesaian sengketa di bidang perdagangan 
domestik maupun internasional.
Di Srilangka: Badan Mediasi Srilangka. Sengketa perkara 
tertentu (minor civil disputes) tidak boleh langsung diajukan ke 
pengadilan akan tetapi harus diselesiakan oleh Badan Mediasi 
S rilangka.
Di Philipina dikenal lembaga konsilisasi yang disebut 
“Lupong Tagpaya“ yang ada  pada 42.000 desa di Philipina 
yang berwenang menyelesaikan sengketa perdata dan pelanggaran 
ringan. Penyelesaian melalui lembaga ini adalah wajib (manda­
tory).
Di China dikenal People’s Conciliation Commite yang 
memiliki  cabang di seluruh wilayah China yang jumlahnya 
950.000 buah. Penyelesaian sengketa bersifat suka rela (volun­
tary). Kegiatannya ialah di bidang perdata (ordinary civil dis­
putes) seperti: sengketa antar tetangga, perceraian, utang piutang, 
warisan, adopsi, dan perkara perdata ringan lainnya. Perkara yang 
berat (major and special disputes) tidak termasuk kewenangan 
komisi ini. Komisi ini di tangani oleh sekitar 6000.000 petugas 
yang sudah  menerima pendidikan khusus sebagai mediator atau 
conciliator sebelumnya.
Di Indonesia dikenal Badan Arbitrase Nasional Indonesia, 
ADR dalam masalah lingkungan Hidup (UU No. 4 tahun 1982), 
Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian, Panitia 
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Pusat (P4D dan 
P4P), dan penyelesaian sengketa melalui konsep perdamaian seperti 
tercantum dalam Bab XVIII KUHPerdata.
ADR YANG ADA KAITANNYA DENGAN PENGADILAN 
(Court-annexed Displute Resolution)
Di Amerika Serikat dikenal Court-annexed Arbitration yang 
dipakai  baik oleh pengadilan negara bagian maupun pengadilan 
federal. Untuk pengadilan federal diatur dalam Court-annexed Ar­
bitration Acts tahun 1979. CAA mengatur penunjukan penyelesaian 
sengketa oleh pihak ketiga (arbitrator) oleh pengadilan sebelum 
perkara itu diperiksa oleh pengadilan (....the referral o f cases by 
the court for dispotion by an arbitrator rather than by adjudica­
tion).
Di Australia sistem Amerika ini sudah  dicontoh melalui The 
Arbitration (Civil Actions) Act 1983. Penyelesaian sengketa melalui 
lembaga ini merupakan kewajiban dalam hal sengketa bernilai 
tidak lebih dari $10.000. Untuk nilai yang lebih dapat pula diajukan 
ke lembaga ini asal disetujui kedua belah pihak.
Kewajiban penyelesaian sengketa berlaku pula pada Supreme 
Court dengan diundangkannya Arbitration Amandement Act 1987. 
Banding tidak diperkenankan. Pihak yang tidak puas hanya bisa 
minta “rehearing” (pemeriksaan biasa) pada pengadilan yang 
menunjuk arbitration ini .
Bentuk lain CDR : Pre-trial Conference, Managerial
Judging untuk membantu “ early settlement o f cases”; Mediation 
and consiliation in state Court misalnya di New South Wales
pengadilan-pengadilan menunjuk Community Justice Centres untuk 
penyelesaian. Queensland Supreme Court mewajibkan para pihak 
menyelesaikan sengketa komersial ke lembaga arbitration terlebih 
dahulu. berdasar  amandemen Rule of Court tahun 1990 
pengadilan federal harus menunjuk arbitrator untuk penyelesaian 
perkara yang dianggap pantas (judicial referral to mediation of 
cases thought suitable).
Selain itu juga dikenal “Settlement Week”, Multidoor-court- 
house, Early neutral Evolution, Summary Jury Trial, dan Rent A 
Judge.
Di Indonesia, bila dilihat secara mendalam, tata cara 
penyelesaian sengketa secara damai sudah  lama dan biasa dipakai 
oleh warga  Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hukum adat 
yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi 
putusan adat bagi sengketa diantara warganya. Terlebih pada tahun 
1945, tatacara ini secara resmi menjadi salah satu falsafah negara 
dan bangsa Indonesia yang tercermin dalam asas musyawarah 
untuk mufakat.
Peluang pengembangan dan pelembagaan diterapkannya 
metode perundingan dan arbitrase sebagai ADR terlihat sangat 
baik. ADR merupakan pilihan yang murah, cepat efisien dan sejalan 
dengan budaya m asyarakat Indonesia yang dikenal tidak 
konfrontatif.
Pelembagaan ADR dilakukan dengan melihat perbandingan 
praktek penerapan ADR di negara-negara lain. Pengembangan 
dan pelembagaan ADR diharapkan memegang andil dalam 
mencegah dan menyelesaikan sengketa di warga . Proses 
pelembagaan ADR tidak hanya mencakup suatu badan atau 
organisasi, namun mencakup adanya perangkat lembaga yang 
memungkinkan dapat dilaksanakan di Indonesia.
Di sektor bisnis, peluang pengembangan dan pelembagaan 
ADR terletak pada pemantapan lembaga arbitrase yang sudah  ada 
dan pengembangan fungsi mediator sengketa bisnis. Perkembangan 
arbitrase di Indonesia sudah  ada sejak tahun 1977, atas prakarsa 
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) didirikan Badan 
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Walaupun sejauh ini BANI 
kurang berperan sebagai lembaga arbitrase bisnis di Indonesia.
Prioritas diperlakukannya pengembangan dan pelembagaan 
ADR di indonesia melalui legitimasi atau perangkat hukum 
tercermin dengan diselesaikan dan dikeluarkannya Undang-undang 
tentang Arbitrase. Dimana undang-undang Arbitrase yang baru 
mengadopsi perkembangan bentuk dan prinsip-prinsip ADR 
sebagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan.
Menghadapi tantangan penyelesaian sengketa dagang dalam 
era perdagangan bebas dimasa datang, tidak ada jalan lain, bangsa 
Indonesia perlu mencari sistem penyelesaian sengketa model ADR 
sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan 
mengembangkan metode dan cara-cara penyelesaiannnya.
Pasal 3 ayat (3) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 
menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas 
dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan 
tetapi, putusan arbiter hanya memiliki  kekuatan ekskutorial 
sesudah  memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari 
pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lebih 
disukai oleh pelaku bisnis dan kontrak bisnis internasional karena 
sifat kerahasiaan, prosedur sederhana, dan putusan arbiter mengikat 
para pihak.
Dalam perkembangan dunia usaha, baik nasional maupun 
internasional, dan perkembangan hukum melalui produk 
perundang-undangan, pedoman arbitrase yang berdasar  
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) sudah
tidak sesuai lagi dan perlu disesuaikan pengaturannya baik secara 
substantif maupun filosofisnya.
usaha  hukum mengenai perbaharuan Undang-undang 
Arbitrase Nasional sudah  dilakukan melalui Undang-undang No. 
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian 
Sengketa. Dengan demikian, ada  konsistensi dan pemanfaatan 
ADR (negosiasi, mediasi, konsiliasi) dan arbitrase sebagai sistem 
penyelesaian sengketa diluar pengadilan dalam bidang bisnis di 
Indonesia.
Dari beberapa temuan kajian diagnostik ada beberapa catatan 
yang berkaitan dengan pengembangan ADR di luar dan di dalam 
pengadilan meliputi sebagai berikut :
1. Dukungan dan komitmen pemerintah terhadap ADR sangat 
besar, namun perlu ditindaklanjuti dengan berbagai langkah 
nyata, misalnya menyelesaikan RUU Arbitrase dengan 
mengintegrasikan komponen ADR (negosiasi, meditasi dan 
konsiliasi) di dalamnya sehingga lebih memiliki landasan 
hukum yang kuat.
2. Walaupun pola penyelesaian secara konsensus sudah  dikenal 
dan mengakar dalam warga , namun konsensus dan 
musyawarah yang merupakan embrio dari ADR sebagai 
m ekanism e penyelesaian  konflik  dalam  m asyarakat 
modem belum dipahami oleh warga  luas.
3. Peluang penerapan ADR di dalam pengadilan (court annexed) 
berdasar  Pasal 131 HIR belum didayagunakan secara 
optimal sehingga diperlukan pengenalan tehnik ADR di 
kalangan hakim dan petugas pengadilan lainnya. Petunjuk 
pelaksanaan ADR dari Ketua Mahkamah Agung dalam bentuk 
surat edaran dapat dijadikan sebagai pendorong penerapan 
ADR di dalam pengadilan.
4. Pengembangan kelembagaan ADR di luar pengadilan harus 
didasarkan pada praktek-praktek ADR dalam warga . 
Pengembangan kelembagaan juga perlu dilakukan pada 
lembaga-lembaga kuasa pengadilan yang sudah  ada, seperti 
MPP, Mahkamah Pelayaran dan P4D/P4P yang pada dasarnya 
juga merupakan bentuk penyelesaian pola ADR dengan 
menyempurnakan prosedur, aturan main yang lebih jelas dan 
sumber daya manusia yang profesional.
5. Pengembangan sumber daya manusia yang profesional 
membutuhkan sarana pelatihan yang dapat diintegrasikan 
melalui kurikulum fakultas hukum dan kursus ketrampilan 
hukum Asosiasi Profesi advokat dan pengacara dan LSM 
juga berperan dalam pengembangan sumber daya manusia 
yang mendukung di bidang ADR.
B. Pengertian ADR dan Bentuk-bentuknya
Untuk memperoleh gambaran umum tentang apa yang disebut 
ADR, George Applebey dalam tulisannya “An Overview of Alter­
native Dispute Resolution,” dengan merujuk pendapat Liebermann 
dan Hendry, berpendapat bahwa ADR pertama-tama adalah 
merupakan suatu eksperimen mencari :
1. M odel model baru dalam  penyelesaian  sengketa.
2. Penerapan-penerapan baru terhadap metode-metode lama.
3. Forum-forum baru bagi penyelesaian sengketan dan
4. Penekanan yang berbeda dalam pendidikan hukum.
Definisi ini  diatas sangat luas dan terlalu akademis. Satu 
definisi yang lebih sempit dan praktis dikemukan oleh Phillip D. 
Bostwick yang menyatakan bahwa ADR merupakan serangkaian 
praktek dan teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk :
1. Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaikan diluar 
pengadilan untuk keuntungan atau kebaikan para pihak yang 
bersengketa sendiri.
2. Mengurangi biaya dan keterlambatan kalau sengketa ini  
diselesaikan melalui litigasi konvensional.
3. Mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak dibawa ke 
pengadilan .
Dari batasan-batasan ini , satu hal yang perlu mendapat 
penekanan, dan yang merupakan kecenderungan umum adalah 
bahwa ADR merupakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar 
pengadilan, dalam arti di luar mekanisme ajudikasi standar 
pengadilan konvensional. Dengan demikian meskipun ada beberapa 
mekanisme yang masih berada dalam ruang lingkup atau sangat 
erat dengan pengadilan, tetapi memakai  mekanisme atau 
prosedur ajudikasi non standar, mekanisme ini  masih 
merupakan ADR.
Adapun ADR ditujukan untuk tercapainya efisiensi yang lebih 
besar, terutama untuk mengurangi biaya dan keterlambatan dan 
dalam rangka mengantisipasi overload pengadilan. Selain itu ADR 
juga dalam banyak hal ditujukan untuk memberdayakan individu- 
individu atau perseorangan, mengingat dalam proses konvensional, 
penyelesaian sengketa pada umumnya ada ditangan para lawyer 
yang mempergunakan prosedur dan bahasa dan argumen mereka 
sendiri, melalui ajudikasi atau berperkara di pengadilan. Dalam 
konteks ini diharapkan bahwa ADR berfungsi reconnecting peo­
ple to their own inner wisdom or common sense.
Tetapi teori ini selanjutnya berkembang menjadi :
1. ADR (A lternative D ispute Resolution) /PPS (Pilihan 
Penyelesaian Sengketa) di luar pengadilan (ADR outside the 
court).
2. ADR (Alternative Dispute Resolution) / PPS di dalam  
pengadilan (ADR inside the court).
Pengertian Court Connected Arbitration (CDR) di Amerika 
Serikat atau Court Annexed Arbitration di Australia yaitu 
sistem menghubungkan pengadilan dengan arbitrase. Perkara 
yang diproses terbatas pada “small clain” yang dilaksanakan 
dengan mekanisme sebagai berikut :
1. Tidak langsung di proses melalui litigasi, tetapi lebih 
dahulu di proses melalui arbitrase.
2. Yang bertindak sebagai arbitrator adalah seorang hakim 
yang bertugas di pengadilan ini .
3. Mau tidak mau para pihak mesti mengikuti proses 
arbitrase dahulu, oleh karena itu sistem ini disebut juga 
Compulsory Arbitration System dan karenanya putusan 
hakim dalam bentuk putusan Arbitrase (Arbitral Award).
4. Putusan arbitrase b ila  d isetu jui oleh para p ihak  
berkekuatan exekutorial, dan bila tidak disetujui, putusan 
ini  batal demi hukum dan selanjutnya dilakukan 
pemeriksaan melalui proses litigasi.
Bentuk-Bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR).
1. Negosiasi
Secara harfiah negosiasi berarti musyawarah atau 
berunding. Negosiasi ini tidak lain adalah suatu bentuk 
penyelesaian sengketa oleh para pihak sendiri, tanpa 
bantuan pihak lain, dengan cara musyawarah atau 
berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap adil 
oleh para pihak. Hal yang dicapai dari negosiasi berupa 
penyelesaian kompromi atau compromise solution.
2. Good Offices
’’Good Offices” biasanya diteijemahkan sebagai jasa baik, 
yang makna sebenarnya adalah suatu penyelesaian 
sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang memberi  
jasa baik berupa penyediaan tempat atau fasilitas-fasilitas 
untuk dipakai  oleh para pihak yang sengketa untuk 
melakukan musyawarah atau perundingan guna mencapai 
penyelesaian. Jadi inisiatif penyelesaian tetap berada di 
tangan para pihak, dan pihak ketiga bersifat pasif, tidak 
ikut campur mengatur penyelesaian sengketa. Jika 
tercapai penyelesaian, para pihak menyampaikan 
’’compromise solution : ini  kepada pihak ketiga.
3. Mediasi
Mediasi atau penengahan merupakan mekanisme 
penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga. 
Berbeda dengan “good offices” , pihak ketiga dalam 
mediasi bersifat aktif. Pihak ketiga aktif memberi  
bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian 
namun ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang 
mengambil putusan. Jadi inisiatif penyelesaian tetap 
berada pada tangan para pihak yang bersengketa. Sama 
halnya dengan negosiasi dan ’’good offices” penyelesaian 
sengketa bersifat kompromis.
4. Konsiliasi
Konsiliasi juga merupakan mekanisme penyelesaian 
sengketa dengan intervensi pihak ketiga, sebagaimana 
halnya “good offices” dan mediasi. Hanya saja dalam 
konsiliasi, pihak ketiga lebih bersifat aktif. Pihak ketiga 
(konsilia to r) mengambil in is ia tif  m enyusun dan
merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang 
selanjutnya diajukan dan ditawarkan kepada para pihak 
yang bersengketa. Konsiliator tidak berwenang mem­
buat putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomen­
dasi, yang pelaksanaannya sangat tergantung dari itikad 
baik para pihak yang bersengketa sendiri.
5. Arbitrase
Sebagaimana ’’good offices”, mediasi dan konsiliasi, 
arbitrase juga merupakan mekanisme penyelesaian 
sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral. 
Namun dibanding ketiga mekanisme ini , dalam 
arbitrase pihak ketiga bertindak sebagai “hakim” yang 
diberi wewenang penuh oleh para pihak untuk menyele­
saikan sengketa. Oleh karena itu ia berwenang mengambil 
putusan (“award”) yang bersifat mengikat.
6. Summary J\iry Trial .
Sesuai dengan namanya, mekanisme ini merupakan 
mekanisme penyelesaian sengketa khas negara-negara 
yang peradilannya memakai sistem jury, khususnya 
Amerika Serikat. Suatu sengketa diajukan kepada para 
jury yang sebenarnya untuk diputuskan. Namun keputu- 
san jury ini sifatnya tidak mengikat, dan para jury ini 
tidak mengetahui bahwa keputusannya tidak mengikat.
7. Rent-a-Judge
Mekanisme ini dilakukan dengan cara para pihak 
menyewa seorang hakim pengadilan, biasanya yang 
sudah pensiun, untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak 
membuat suatu kontrak yang isinya menyatakan bahwa
mereka akan mentaati keputusan hakim ini . Jadi 
pada dasarnya yang mengikat disini bukanlah keputu- 
sannya itu sendiri melainkan kontraknya.
8. Med-arb
M ed-arb ini sebenarnya hanya m erupakan suatu 
modifikasi terhadap penyelesaian sengketa melalui 
arbitrase. Sebelum sengketa diajukan kepada arbitrator, 
terlebih dahulu harus diajukan kepada mediator, media­
tor membantu para pihak untuk melakukan negosiasi 
guna m encapai penyelesaian . J ika  para p ihak  
tidak mencapai kesepakatan, maka mediator memberi  
pendapat bagaimana penyelesaian sengketa ini  jika 
diajukan kepada arbitrator. Jika melalui cara inipun masih 
belum menyelesaikan sengketa, maka sengketa ini  
selanjutnya diperiksa menurut prosedur arbitrase. Yang 
dapat bertindak sebagai arbitrator bisa mediator yang 
bersangkutan atau orang lain lagi selain mediator yang 
memeriksa sengketa sebelumnya. Mekanisme seperti ini 
ditempuh dengan suatu asumsi bahwa arbitrase masih 
merupakan makanisme penyelesaian sengketa lambat, 
mahal dan rigid.
9. Hybrid
Prosedur arbitrase yang mengkombinasikan unsur med- 
Arb dengan Private' Judging.
10. CADR/ADR
CDR (Court Dispute Resolution) atau CADR (Court 
Annexed Dispute Resolusion) suatu metode yang 
menginterasikan proses ADR/pilihan penyelesaian 
sengketa dalam proses beracara di dalam pengadilan.
Metode pengintegrasian ADR/Pilihan Penyelesaian 
sengketa kedalam proses pengadilan ini, dalam prak­
teknya di Indonesia sudah  biasa ditempuh sebagimana 
tertuang dalam pasal 130 HIR, yang intinya mewajibkan 
hakim mendamaikan para pihak yang bersengketa. Apabi­
la mereka bersepakat untuk berdamai, maka kesepakatan 
ini  dirumuskan dalam bentuk dokumen “dading”.
C. MACAM-MACAM SENGKETA OBJEK ADR
Ruang lingkup sengketa yang dapat diselesaikan melalui ADR 
sangat luas yang meliputi hampir setiap aspek hukum, sehingga 
dikenal adanya beraneka ragam ADR. ADR dalam bidang hukum 
publik, ADR yang menyangkut penyelesaian secara damai klaim- 
klaim individu yang menyangkut hak-hak asasi manusia, ADR 
dalam bidang hukum konsumen. Bermacam-macam ADR lain yang 
tidak kalah menariknya adalah ajudikasi klaim-klaim jaminan 
sosial, mediasi dalam sengketa keluarga, arbitrase dalam kontrak- 
kontrak yang melibatkan pemerintah, ADR yang melibatkan 
kepolisian dan lain-lain.
Secara rinci dapat disebutkan beberapa macam sengketa yang 
berpotensi untuk diselesaikan melalui ADR sebagai berikut :
1. Sengketa internasional, termasuk masalah-masalah dalam 
lapangan hukum internasional publik.
2. Sengketa konstitusi, administratif dan fiskal, yang mencakup 
isu-isu yang berkaitan dengan kewarganegaraan dan status 
personal, kewenangan lokal lembaga-lembaga pemerintah 
dan semi pemerintah, perijinan, perpajakan dan jaminan 
sosial.
3. Sengketa yang berkaitan dengan organisasi yang timbul 
didalam organisasi yang meliputi manajemen, struktur dan 
prosedur dan sengketa antar organisasi.
4. Sengketa perburuhan yang m eliputi tuntutan-tuntutan 
pembayaran dan sengketa-sengketa hubungan industrial.
5. Sengketa perusahaaan yang meliputi sengketa-sengketa antar 
pemegang saham dan masalah-masalah yang timbul pada 
likuidasi dan penerimaan-penerimaan.
6. Sengketa komersial yang merupakan bidang yang sangat luas 
meliputi sengketa-sengketa kontraktual, sengketa-sengketa 
yang timbul dalam hubungan komersial seperti persekutuan, 
perusahaan patungan dan lain-lain. Masalah-masalah lain yang 
mungkin timbul dalam berbagai bidang yang berbeda-beda 
seperti perbankan, pengangkutan, komoditi, hak atas kekayaan 
intelektual, industri konstruksi dan lain-lain.
7. Sengketa-sengketa konsumen, antara produsen atau pemasok 
dan konsumen.
8. Sengketa-sengketa perumahan, meliputi sengketa-sengketa 
antara pemilik dan penyewa, atau antar penyewa, peninjauan 
ongkos sewa, sengketa lingkungan dan sebagainya.
9. Sengketa-sengketa yang berkaitan dengan perbuatan melawan 
hukum (tort), meliputi kelalaian dan kegagalan melaksanakan 
kewajiban dan termasuk juga klaim-klaim asuransi yang 
terkait dengannya.
10. Sengketa-sengketa yang timbul dari perceraian, termasuk yang 
berkaitan dengan anak, harta kekayaan dan masalah-masalah 
keuangan.
11. Sengketa-sengketa keluarga lain, seperti klaim-klaim warisan, 
bisnis keluarga dan sengketa-sengketa lain didalam lingkungan 
keluarga.
12. Sengkata-sengketa trust, yang meliputi sengketa antara trus­
tees dan beneficiaries.
13. Sengketa-sengketa  yang m enim bulkan konsekuensi- 
konsekuensi hukum pidana.
14. Sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah-masalah 
antar tetangga, antar anggota warga , gender, ras dan etnis.
15. Sengketa-sengketa pribadi antar individu.
16. Sengketa-sengketa tentang fakta, yang mungkin timbul dari 
kredibilitas para pihak sendiri, atau yang mungkin timbul 
dari data yang diberikan oleh pihak ketiga, termasuk 
interpretasi-intrepretasi data yang bersangkutan.
17. Sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah hukum 
yang pada umumnya tim biul dari op in i-op in i yang 
dikemukakan oleh kuasa hukum yang bersangkutan.
18. Sengekta-sengketa teknis yang meliputi perbedaan pendapat 
profesional dan ahli teknis masing-masing pihak.
19. Perbedaan pengertian, misalnya yang timbiul dari penggunaan 
kata-kata atau asumsi-asumsi yang tidak jelas yang dipakai .
20. Perbedaan persepsi tentang kewajaran, konsep-konsep 
keadilan dan moralitas, kultur dan nilai-nilai dan sikap.
D. Perkembangan Arbitrase di Indonesia
Lembaga Arbitrase di Indonesia sudah  dikenal dengan nama 
Juru Pemisah pada masa penjajahan Belanda, sebagaimana terlihat 
dalam pasal 377 HIR/pasal 705 RBG, yang menentukan :
Jika orang Bumi Putera dan Timur Asing berkehendak 
menyerahkan perselisihan mereka kepada keputusan Juru Pemisah, 
hendaklah mereka dalam hal itu berlaku menurut peraturan 
pengadilan bangsa Eropa.
Namun HIR dan RBG tidak mengatur tentang acara arbitrase, 
tetapi menunjuk acara yang berlaku bagi golongan eropa dalam 
hal ini adalah pasal 615-651 RV. yang memuat ketentuan tentang 
arbitrase sebagai berikut :
Bagian I terdiri dari :
-  Pasal 615 s.d. 623 yang memuat tentang kompromi 
arbitrase dalam pengangkatan Wasit (Arbitrator).
Bagian II terdiri dari :
-  Pasal 264 s.d. 630 yang mengatur tentang berperkara 
dimuka wasit.
Bagian III terdiri dari :
-  Pasal 631 s.d. 640 yang mengatur tentang keputusan 
wasit.
Bagian IV terdiri dari :
-  Pasal 641 s.d 647 yang mengatur tentang usaha  hukum 
terhadap putusan albitrase.
Bagian V terdiri dari :
-  Pasal 648 s.d. 651 yang mengatur tentang berakhirnya 
berperkara didepan wasit.
Namun instrumen-instrumen tentang arbitrase ini  di atas 
tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam praktek dewasa ini, dimana 
transaksi bisnis terjadi antar lintas batas negara yang belum diatur 
dalam peraturan ini  diatas.
Sehingga diperlukan instrumen yang dapat mewadahi 
kebutuhan ini , sehingga akhirnya diundangkan Undang- 
Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 
Penyelesaian Sengketa tertanggal 12 Agustus 1999 pada masa 
pemerintahan B.J. Habibie.
Persoalan landasan hukum pelembagaan ADR sebagai bentuk 
penyelesaian sengketa sudah  diusaha kan pemecahannya melalui 
perangkat Undang-undang No. 30 Tahun 1999 (Lembaran Negara 
Tahun 1999 Nomor 138) tentang A rbitrase dan A lternatif 
Penyelesaian Sengketa.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan 
bahwa alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga 
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang 
disepakati bersama oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar 
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi 
atau penilaian ahli.
Undang-undang ini  memberi  kepastian hukum bagi 
berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar pengadilan yang 
diharapkan berprosedur informal dan efisien. Hal ini akan 
memberi  kemudahan bagi warga  untuk berperan dan 
dan mengembangkan mekanisme penyelesiaian konfliknya sendiri 
dan memperoleh  pilihan untuk mnyelesaikan sengketa yang 
muhgkin timbul.
Pada umumnya, dalam praktek atau aktifitas bisnis, metode 
penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam setiap perjanjian yang 
dilakukan terutama dalam bidang perdata khususnya bidang 
perdagangan. warga  bisnis umumnya dihadapkan pada pilihan 
penyelesaian sengketa secara litigasi/pengadilan. Sekarang mereka 
mendapat pilihan untuk memakai  lembaga ADR sebagai 
sarana penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dalam aktifitas 
bisnisnya.
Dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999, pengertian 
arbitrase dibedakan dengan alternatif penyelesaian sengketa 
berdasar  metode penyelesaiannya. Metode penyelesaian dalam 
alternatif mpenyelesaian sengketa dilakukan antara lain melalui:
1. Konsultasi;
2. Negosiasi;
3. Konsiliasi atau
4. Penilaian ahli
Pengertian alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase sudah  
diperkenalkan sebagai suatu institusi/lembaga yang dipilih para 
pihak yang mengikat apabila timbul beda pendapat atau sengketa. 
Dengan demikian, berdasar  undang-undang, alternatif 
penyelesaian sengketa bertindak sebagai lembaga independen di 
luar arbitrase. Arbitrase memiliki  ketentuan, cara dan syarat- 
syarat tersendiri untuk pemberlakuan formalitasnya, akan tetapi 
ada  kesamaan mengenai bentuk sengketa yang dapat 
diselesaikan yaitu :
1. Sengketa atau beda pendapat secara perdata di bidang 
perdagangan, dan
2. Menurut peraturan perundang-undangan sengketa atau beda 
pendapat ini  dapat diajukan dengan usaha  ’’damai”.
Sebagaim ana te lah  d iu tarakan  sebelumnya bahwa 
penyelesaian sengketa model ADR menempuh mode rahasia (con­
fidential). Konsepsi kerahasiannya diatur dalam Undang-undang 
No. 30 Tahun 1999. D iaturnya konsepsi kerahasiaan ini 
memberi  jaminan bagi para pihak yang bersengketa dalam 
kapasitas yang sama besar dan saling memberi  kontrol terhadap 
masing-masing.
Bentuk kesepakatan para pihak mengenai cara penyelesaian 
sengketa atau beda pendapat dalam suatu hubungan hukum dibuat 
dalam suatu pernyataan dari para pihak yang menerangkan bahwa 
semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau mungkin 
timbul dari hubungan hukum ini  akan diselesaikan dengan 
cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam Pasal 6 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 dinyatakan 
bahwa para pihak dapat memakai  cara negosiasi, mediasi, 
konsiliasi ataupun penilaian ahli yang diselesaikan dalam suatu 
pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu 14 (empat belas) 
hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Ketentuan ini memberi  keleluasaan para pihak untuk  
menetapkan aturan main terhadap penyelesaian konfliknya, 
meskipun hanya diberikan waktu maksimal 14 hari.
Jika para pihak dalam penyelesaian sengketa atau perbedaan 
pendapat memperoleh jalan buntu dan belum menuangkannya 
dalam perjanjian atas kesepakatan tertulis, sengketa ini  dapat 
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli 
atau mediator.
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tidak mengatur ketentuan 
terhadap lembaga terhadap lembaga penyedia jasa (penasihat, ahli, 
mediator), tetapi hanya memberi  batasan pada lembaga 
alternatif penyelesaian sengketa yang menunjuk seorang mediator 
atau penasihat ahli. Disinilah lalu  terjadi kebingungan pada 
warga  yang ingin mencari lembaga penyedia jasa, karena di 
dalam aturan itu sendiri juga tidak diterangkan syarat-syarat 
pengangkatan untuk mediator, negosiator dan penasihat ahli.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara 
tertulis bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan 
dengan baik dan wajib didaftarkan di pengadilan negeri. Dengan 
demikian pengadilan negeri sebagai lembaga yudisial tidak dapat 
dipungkiri lagi kekuatan mengikatnya yang berkekuatan hukum. 
Akan tetapi Undang-undang No. 30 tahun 1999 tidak menerangkan 
lebih lanjut bagaimana jika kesepakatan atau beda pendapat yang 
sudah didaftarkan tidak dilaksanakan oleh para pihak sampai batas 
waktu yang sudah ditentukan.
E. P raktek  CDR di Indonesia 
(Implementasi Pasal 131 HIR)
Perdamaian dalam perkara perdata pada umumnya diatur 
dalam pasal 130 HIR/154 RBg dan pasal 14 ayat (2) Undang- 
undang Nomor 14 Tahun 1970.
Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara 
hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara para pihak. 
Bila usaha perdamaian berhasil dan para pihak sepakat berdamai 
di depan hakim, maka perjanjian perdamaian dirumuskan dalam 
bentuk dokumen dading yang berkekuatan hukum eksekutorial 
dan final karena tidak ada lagi usaha  hukum untuk merubahnya. 
Namun bila hakim gagal mendamaikan, maka bagi pengadilan 
terbuka kewenangan untuk memeriksa dan mengadili dengan 
proses litigasi biasa.
Dading ini  dapat juga terjadi di luar pengadilan, karena 
kedua pihak menyelesaikan sengketanya dengan jasa arbitrator 
yang mereka tunjuk (pihak ketiga) di luar pengadilan.
Oleh karena itu peradilan di Indonesia menurut Yahya Harahap 
adalah mirip Mixed Arbitration (Arbitrase Campuran), karena pada 
tahap pertama proses pemeriksaan perkara Majelis Hakim bertindak 
sebagai majelis perdamaian, sesudah  gagal sebagai pendamai, baru 
dengan jalan pemeriksaan peradilan biasa.
Namun secara faktual dalam kenyataan praktek, khususnya 
pada dewasa ini usaha  perdamaian sebagaimana ketentuan pasal 
130 dan 131 ini  diatas hanya dianggap dan diterapkan sebagai 
formalitas saja, sehingga tidak menghasilkan penyelesaian dengan 
perdamaian secara signifikan.
Perlu dikemukakan disini, tentang proses perdamaian dalam 
perkara perceraian di lingkungan peradilan agama yang diatur 
dalam pasal 56 (2), 65, 82 dan 83 Undang-undang No. 7 Tahun 
1989 dan pasal 31,32 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, 
ditentukan bagi hakim untuk mengusaha kan perdamaian dengan 
lebih serius karena pada sidang pertama, para pihak harus hadir 
secara pribadi dan bila salah satu pihak berada diluar negeri dan 
tidak dapat datang menghadap secara pribadi, dan diwakilkan
kepada kuasanya dengan secara khusus yang dikuasakan untuk 
itu.
Dalam usaha  perdamaian hakim dapat meminta bantuan pihak 
ketiga baik perorangan maupun badan seperti BP4 (Badan 
Penasehat Penyelesaian Perkara Perceraian.
lama penyelesaian memicu  makin tinggi biaya yang 
harus dikeluarkan, seperti biaya resmi dan upah pengacara 
yang harus ditanggung. Melihat kenyataan biaya perkara yang 
mahal membuat orang berperkara di pengadilan menjadi 
lumpuh dan terkuras segala sumber daya, waktu dan pikiran.
3. Peradilan tidak tanggap (unresponsive)
Kritik lain yang ditujukan kepada pengadilan adalah berupa 
kenyataan, pengalaman dan pengamatan bahwa pengadilan kurang 
tanggap dan tidak responsif atau unresponsive dalam bentuk 
perilaku. Kritik ini  antara lain sebagai berikut :
a. Pengadilan kurang tanggap membela dan melindungi 
kepentingan umum dan sering mengabaikan perlindungan 
umum dan kebutuhan warga .
b. Peradilan dianggap sering berlaku tidak adil atau unfair. Kritik 
in i d idasarkan atas alasan bahwa pengadilan  dalam  
memberi  kesempatan dan keleluasaan pelayanan hanya 
kepada lembaga besar dan orang kaya.
4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah.
berdasar  kenyataan, putusan pengadilan tidak mampu 
memberi  penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak. 
Putusan Pengadilan tidak mampu memberi kedamaian dan 
ketentraman kepada pihak-pihak yang berperkara. Hal ini antara 
lain disebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut :
a. Salah satu pihak pasti menang dan pihak lain pasti kalah 
(win-lose).
b. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah 
membawa kedamaian, tetapi menumbuhkan dendam dan 
permusuhan dan kebencian.
c. Putusan pengadilan membingungkan.
d. Putusan pengadilan sering tidak memberi kepastian hukum
(uncertainty) dan tidak bisa diprediksi (unpredictable).
5. Kemampuan para hakim bersifat “generalis”
Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat 
terbatas. Ilmu pengetahuan yang mereka miliki hanya di bidang 
hukum. Di luar itu, pengetahuan mereka hanya bersifat umum. 
Memperhatikan para hakim hanya manusia generalis, sangat 
m ustahil m ereka mampu m enyelesaikan  sengketa  yang 
mengandung kompleksitas dalam berbagai bidang, misalnya 
sengketa konstruksi. Sengketa ini  berkaitan langsung dengan 
masalah tehnologi konstruksi, akutansi, perkreditan dan sebagainya 
Sebenarnya masih banyak kritik yang dapat dideskripsikan.
Akan tetapi, dari deskripsi yang diutarakan diatas sudah dapat 
memberi  gambaran,mengenai kegoyahan keberadaan peradilan 
sebagai kekuasaan kehakiman. Meskipun kedudukan dan 
keberadaannya sebagai pressure valve and the last resort dalam 
mencari kebenaran dan keadilan, namun kepercayaan warga  
terhadapnya sudah berkurang.
Faktor utama penyebab hilangnya kepercayaan warga  
terhadap lembaga pengadilan adalah sistem peradilan yang 
terlampau formal dan tehnis. Sifat formal dan tehnis pada sistem 
peradilan memicu  penyelesaian sengketa terlunta-lunta 
sehingga membutuhkan waktu yang lama padahal warga  
menghendaki penyelesaian yang cepat dan biaya murah. Sengketa 
bisnis menuntut penyelesaian yang bersifat informal procedure.
Penyelesaian sengketa yang lambat dalam dunia bisnis 
memicu  timbulnya biaya tinggi bahkan dapat menguras 
segala potensi dan sumber daya perusahaan yang bersangkutan. 
Menghadapi kenyataan lambatnya proses penyelesaian sengketa 
dan beratnya biaya yang harus dikeluarkan melalui proses litigasi,
muncul kegiatan-kegiatan yang diarahkan kepada pemikiran usaha  
memperbaiki sistem peradilan.
Jika kecaman yang diarahkan ke pengadilan dihubungkan 
dengan ungkapan-ungkapan yang melekat pada pengadilan, masih 
pantaskah mempertahankan pengadilan sebagai the first resort and 
the las resort penyelesaian sengketa bisnis pada masa mendatang? 
Apakah tidak perlu dicari dan dikembangkan bentuk-bentuk 
penyelesaian baru sebagai alternatif ?
B. Kelebihan Lembaga Arbitrase
Secara historis, kultur warga  Indonesia sangat 
menjunjung tinggi pendekatan konsensus. Pengembangan 
penyelesaian sengketa di Indonesia sesuai dengan mekanisme 
pengambilan keputusan secara tradisional dan penyelesaian secara 
adat. Alasan kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR di 
Indonesia  tam paknya lebih  kua t d ibandingkan  alasan 
ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani sengketa.
Namun demikian disamping alasan ini  diatas ada 
beberapa hal yang dapat dilihat sebagai kelebihan faktor ADR 
menjadi alternatif di dalam menyelesaikan persoalan yaitu :
1. Faktor ekonomis
ADR memiliki potensi sebagai sarana penyelesaian yang 
lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu. 
Hal ini berbeda dengan penyelesaian yang dilakukan melalui 
proses litigasi. Selain untuk membiayai persidangan yang 
relatif mahal untuk perkara perdata, biaya tinggi yang harus 
dikeluarkan pencari keadilan terutama sekali untuk membayar 
pengacara yang di negara-negara maju sangat tinggi sekali.
Untuk ’’Queen’s Counsel” misalnya, biaya untuk ’’pre- 
hearing” ialah $400 sampai $600 perjamnya, sedang  untuk
pemeriksaan di persidangan (trial) $3.000 sampai $4.000 
perjamnya. Untuk “barrister” $200 sampai $300 untuk pre- 
hearing, dan $2.000 sampai $3.000 untuk trial. Sesuai dengan 
sistem “adversary” yang berlaku di Australia dan di Amerika 
Serikat, pihak yang kalah diwajibkan membayar biaya perkara, 
termasuk biaya pengacara pihak yang menang. Hal ini 
tentunya memperbanyak biaya yang harus dibayar pihak yang 
kalah. Oleh karena itu perlu dikaji apakah biaya perkara 
pengadilan di Indonesia termasuk mahal. Menurut hemat kami 
biaya perkara di pengadilan tidak terlalu tinggi, yang seringkali 
mahal ialah pengacara yang sampai sekarang belum ada 
peraturannya.
2. Faktor ruang lingkup yang dibahas
ADR meliliki kemampuan untuk membahas agenda 
permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel. 
Hal ini dapat terjadi karena aturan main dikembangkan dan 
ditentukan oleh para pihak yang bersengketa sesuai dengan 
kepentingan dan kebutuhannya. ADR memiliki potensi untuk 
menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit (polycentris) 
yang disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan 
persoalan-persoalan ilmiah (scientifically complicated).
3. Faktor pembinaan hubungan baik.
ADR mengandalkan cara-cara penyelesaian kooperatif 
sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya 
pembinaan hubungan baik antar manusia yang sudah   
berlangsung maupun yang akan datang.
Konsepsi ADR di Indonesia dalam beberapa tahun ini 
mendapat perhatian yang lebih karena hal-hal sebagai 
berikut :
1. Antisipasi perdagangan bebas.
Dalam kegiatan bisnis yang ratusan jumlah transaksinya 
setiap hari tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa 
antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa selalu 
menuntut pemecahan dan penyelesaian. Makin banyak 
terjadi sengketa, makin banyak sengketa yang harus 
diselesaikan.
2. Meningkatnya jumlah dan bobot sengketa di warga . 
Membiarkan sengketa bisnis terlambat diselesaikan 
memicu  pembangunan ekonomi tidak efisien, 
produktifitas menurun, dunia bisnis akan mengalami 
kemandulan dan biaya produksi akan meningkat.
3. Perlu dicari dan dipikirkan cara dan sistem penyelesaian 
sengketa yang cepat, efektif dan efisien.
Era globalisasi mengharuskan adanya suatu sistem 
penyelesaian sengketa yang dapat menyesuaikan dengan 
laju ’’free market” dan “free competition”. Untuk itu 
harus ada lembaga yang mewadahinya.
ADR disamping memiliki  daya tarik khusus di Indo­
nesia karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya 
tradisional berdasar  musyawarah mufakat. Beberapa 
hal dibawah ini merupakan keuntungan yang sering 
muncul dalam ADR :
1. Sifat kesukarelaan dalam proses.
Para pihak percaya bahwa ADR memberi  jalan 
keluar yang potensial untuk menyelesaikan masalah 
dengan lebih baik dibandingkan dengan prosedur 
litigasi dan prosedur lainnya yang melibatkan para 
pembuat keputusan dari pihak ketiga. Secara umum 
tidak seorangpun dipaksa untuk memakai  
prosedur-prosedur ADR.
2. Prosedur yang cepat.
Karena prosedur ADR bersifat informal, pihak-pihak 
terlibat mampu untuk menegosiasikan syarat-syarat 
penggunaannya. Hal ini mencegah terjadinya 
penundaan dan mempercepat proses penyelesaian.
3. Keputusan nonyudisial.
Wewenang untuk membuat keputusan tetap berada 
pada pihak-pihak yang terlibat atau tidak didelegasi­
kan kepada pembuat keputusan dari pihak ketiga. 
Hal ini berarti bahwa p ihak-p ihak  te rlib a t 
memiliki  lebih banyak kontrol terhadap hasil-hasil 
sengketa dan mampu meramalkan.
4. Kontrol tentang kebutuhan organisasi
Prosedur ADR menempatkan keputusan di tangan 
orang yang memiliki  posisi tertentu (penting), 
baik untuk menafsirkan tujuan-tujuan jangka panjang 
dan jangka pendek dari organisasi yang terlibat 
maupun menafsirkan dampak-dampak positif dan 
negatif dari setiap pilihan penyelesaian masalah 
tertentu. Pihak ketiga dalam membuat keputusan 
yang mengikat suatu sering kali meminta bantuan 
seorang hakim, juri atau arbiter.
5. Prosedur rahasia (confidential).
Prosedur ADR memberi  jaminan kerahasiaan 
bagi para pihak dengan porsi yang sama. Pihak- 
pihak dapat menjajaki pilihan-pilihan sengketa yang 
potensial dan hak-hak mereka dalam  mem ­
presentasikan data untuk menyerang balik tetap 
terlindungi.
6. F leksib ilitas  dalam  m erancang syarat-syara t 
penyelesaian masalah.
Prosedur MAPS memberi  fleksibilitas yang lebih 
besar bagi parameter-parameter isu yang sedang 
didiskusikan dan cakupan dari penyelesaian masalah. 
Disamping itu, memungkinkan pengem-bangan cara 
penyelesaian yang lebih komprehensif untuk 
membahas penyebab persengketaan. Prosedur ini 
dapat menghindari kendala prosedur yudisial yang 
sangat terbatas pada pembuatan keputusan  
pengadilan yang didasarkan pada titik sempit hukum, 
seperti apakah prosedur yang resmi sudah diikuti 
atau belum.
7. Hemat Waktu. Selama ini proses penyelesaian 
masalah sering mengalami kelambatan yang cukup 
bera rti dalam  m enunggu kepastian  tanggal 
persidangan . P rosedur ADR m enawarkan 
kesempatan yang lebih cepat untuk menyelesaikan 
sengketa tanpa harus menghabiskan waktu berta­
hun-tahun untuk melakukan litigasi. Dalam banyak 
hal, waktu adalah uang dan penundaan penyelesaian 
masalah memerlukan biaya yang sangat mahal. 
Penyelesaian sengketa yang dikembangkan melalui 
penggunaan prosedur ADR merupakan alternatif 
penyelesaian masalah yang tepat.
8. Hemat biaya.
Besarnya biaya biasanya ditentukan oleh lamanya 
waktu yang dipergunakan. Pihak ketiga yang netral 
rata-rata memasang tarif yang lebih rendah untuk 
mengganti waktu mereka dibandingkan apabila 
membayar p.aa pengacara hukum.
9. Pemeliharaan hubungan.
ADR menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang 
dinegosiasikan dengan memperhatikan kebutuhan- 
kebutuhan pihak-pihak terlibat. Dengan kata lain, 
ADR mampu mempertahankan hubungan-hubungan 
kerja yang sedang berjalan maupun untuk masa 
mendatang.
10. Tingginya kemungkinan untuk m elaksanakan 
kesepakatan.
Dalam ADR, para pihak yang sudah  mencapai kese­
pakatan cenderung untuk memenuhi syarat-syarat 
atau isi kesepakatan yang sudah  ditentukan oleh 
pengambil keputusan (pihak ketiga). Faktor ini 
membantu para p ihak  yang te rlib a t untuk  
menghindari litigasi yang tidak efektif.
11. Kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil. 
Pihak-pihak yang menegosiasikan sendiri penyele­
saian sengketanya memiliki  lebih banyak kontrol 
terhadap hasil-hasil penyelesaian sengketa. Cara 
penyelesaian melalui negosiasi atau mediasi lebih 
mudah memperkirakan keuntungan dan kerugian 
dibandingkan jika  kasus ini  diselesaikan 
melalui arbitrase atau di depan seorang hakim.
12. Keputusan bertahan panjang.
Keputusan penyelesaian sengketa dengan prosedur 
ADR cenderung bertahan sepanjang waktu. Jika di 
lalu  hari persengketaan itu menimbulkan 
masalah, pihak-pihak terlibat lebih memanfaatkan 
bentuk pemecahan masalah kooperatif dibandingkan 
menerapkan pendekatan adversial atau pertentangan.

PRAKTEK SISTEM PERADILAN DAN CDR 
DI BEBERAPA NEGARA
A. Sistem Peradilan di :
Di beberapa Negara system peradilan lebih spesialisasi, 
sehingga pengadilan tingkat tertentu hanya berwenang mengadili 
perkara tertentu saja.
Namun demikian tampaknya kekhususan ini pun tidak 
dapat mengurangi hambatan dalam penyelesaian perkara, sehingga 
lembaga CDR ataupun ADR tetap disarankan untuk diterapkan.
Sebagai gambaran berikut ini system peradilan dari beberapa 
Negara dalam praktek banyak memakai  ADR dan CDR.
1. Australia
Struktur pengadilan negara bagian di Australia pada dasarnya
terdiri dari :
a. Small Debts Court.
memiliki  juridiksi mengadili gugatan perdata/ 
ganti rugi tidak melebihi $5000. Dilaksanakan oleh hakim 
tunggal Magistrate dalam sidang yang tertutup. Biasanya 
tidak diwakili oleh penasihat hukum dan tidak ada biaya 
perkara. Banding tidak diperkenankan.
b. Magistrate Court.
Jurisdiksi perdata : gugatan tidak melebihi $20.000. 
Gugatan harus diajukan dalam wilayah pengadilan yang 
berwenang mengadili.
c. District Court.
Jurisdiksi perdata : gugatan ganti rugi tidak melebihi 
$200.000 :
Apabila para pihak setuju, District Court dapat mengadili 
gugatan yang melebihi jumlah ini .
Sebagai pengadilan banding atas putusan Magistrate 
Court dimana dinilai gugatan melebihi $2.400 atau dalam 
hal permintaan banding disetujui Distric Court. 
Jurisdiksi pidana : mengadili perkara pidana yang 
ancaman pidananya tidak lebih dari 14 tahun. 
Pemeriksaan banding atas putusan perkara pidana 
Magistrate Court.
d. Supreme Court.
Kewenangan : Pengadilan yang mengadili masalah 
penerapan “law and equity”.
Jurisdiksi perdata : Tidak ada pembatasan nilai gugatan 
dan jurisdiksi wilayah asal ada ’’nexus” (connection) 
dengan jurisdiksi Supreme Court.
Dapat memeriksa perkara dibawah $200.000 tapi dengan 
biaya perkara yang lebih mahal dengan motivasi agar 
perkara diajukan ke Distric Court.
Sebagai pengadilan banding atas putusan Distric Court. 
Perkara pidana : semua perkara pidana yang ancaman 
hukumannya dilakukan oleh Magistrate dalam perkara 
ringan.
Sidang dilakukan dengan Jury.
e. Court of Appeal.
Kewenangan :
Jurisdiksi perdata : pemeriksaan banding atas putusan 
Distric Court dimana gugatan lebih dari $10.000 atau
dalam hal-hal yang diberikan ijin (leave) oleh Court of 
Appeal.
Jurisdiksi Pidana : pemeriksaan banding atas putusan 
atau pidana yang dijatuhkan oleh Distric Court. Hakim- 
hakim Supreme Court bertugas juga sebagai hakim 
banding.
f. High Court-Pengadilan Tertinggi Federal.
Kewenangan :
Mengadili dalam tingkat pertama sengketa yang 
meliputi: perjanjian internasional atau perwakilan negara 
lain. Dimana sebagai pihak adalah Negara atau pejabat 
dari negara (comonwealth). Antara negara-negara bagian 
atau warga yang berbeda negara bagian.
Hal-hal yang diatur oleh konstitusi.
Sebagai pengadilan banding atas : permohonan banding 
dari putusan hakim yang mengadili perkara dalam tingkat 
pertama di High Court.
2. Singapore.
Struktur pengadilan Singapore pada dasarnya terdiri dari 
tiga tingkatan, namun pada subordinate court terlihat beberapa 
jenis pengadilan yang memiliki  jurisdiksi khusus.
a. Supreme Court merupakan pengadilan yang tertinggi 
yang diketuai Chief Justice dan beranggotakan dua 
Justices. Pengadilan ini juga merupakan pengadilan 
banding bagi perkara tertentu.
b. High Court merupakan pengadilan banding dan juga 
sebagai pengadilan yang memeriksa pada tingkat pertama
kasus-kasus tertentu. High Court ini diketuai oleh Chief 
Juctice dan beranggotakan beberapa Hakim High Court 
dan Judicial Commissioners (Hakim Anggota sementara).
c. The Intermedite Court yang terdiri dari the Subordinate 
Court yang terdiri pula dari beberapa District Court, the 
Magistrates Court, the Coroner’s Court, the Juvenile 
Court, the Family Court dan the Small Tribunal.
The Subordinate Court diketuai oleh Senior District Judge 
dan District Judges dan Magistrates. Coroner ialah pejabat 
pengadilan yang memimpin Coroner’s Court. Ia diangkat 
oleh Presiden berdasar  pengusulan Ketua Mahkamah 
Agung untuk masa satu tahun. Ia harus memenuhi 
persyaratan sebagaimana diatur dalam Legal Profession 
Act. Ia melakukan penyelidikan atas adanya kematian 
yang tidak wajar (unnatural - couse of death) yang terjadi 
di Singapore.
Malaysia.
Malaysia memiliki  susunan peradilan sebagai berikut :
a. The Federal Court (Mahkamah Agung).
Setiap perkara pada Federal Court harus diperiksa dan 
diputus oleh 3 orang hakim atau dengan jumlah yang 
lebih besar namun harus ganjil. Penunjukan perkara mana 
ditentukan oleh Chief Justice.
Federal Court memiliki  jurisdiksi asli dan banding 
sebagaimana diatur dalam Article 121 (2), 128 and 130 
Federal Constitution. Federal Court juga memiliki 
jurisdiksi dan kewenangan yang sama seperti yang 
dilakukan oleh High Court.
Jurisdiksi ekslusip dan sebagai penasehat.
berdasar  Article 128(1) dari Federal Constitution, 
Federal Court m empunyai kewenangan un tuk  
memeriksa :
(1) Apakah undang-undang yang dibuat oleh Parlemen 
atau Dewan Pembuat Undang-undang Negara 
Bagian memiliki  dasar kewenangan atau tidak, 
dan
(2) Setiap sengketa yang terjadi antara negara bagian 
atau antara pemerintah pusat (federal) dengan negara 
bagian.
Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangan 
ini hanya dapat mengeluarkan putusan yang bersifat 
deklaratif.
Federal Court memeriksa dan memutus permohonan 
banding perkara pidana yang diputus oleh High Court 
dalam tingkat pertama Federal Court juga memeriksa 
dan memutus permohonan banding perkara perdata yang 
diputus oleh High Court dalam  hal jum lah yang 
disengketakan sekurang-kurangnya 250.000 ringgit, atau 
permohonan banding atas putusan yang secara langsung 
atau tidak langsung menyangkut gugatan terhadap 
kekayaan atau hak-hak sipil (civil right) lainnya senilai 
ini  diatas.
Mahkamah Agung juga berwenang untuk memeriksa 
dan memutus permohonan banding atas setiap putusan 
pengadilan yang menyangkut pasal-pasal dalam  
konstitusi, termasuk keabsahan setiap undang-undang 
tertulis terhadap pasal-pasal Konstitusi ini ,  
berdasar  Article 18(2) Federal Constitution, 
Federal Court juga  memiliki  ju risd ik si untuk 
menentukan masalah konstitusi yang diajukan kepadanya 
oleh High Court.
Kekuatan mengikat Federal Court.
Setiap putusan Federal Court yang berkenaan dengan 
masalah pidana atau perdata, atau masalah hukum atau 
acara apa saja haruslah diikuti oleh Court of Appeal, 
High Court dan Subordinate Court. Demikian pula 
halnya, satu putusan Court of Appeal atau High Court 
mengikat semua pengadilan bawahan.
The Court of Appeal.
Pengadilan ini dibentuk pada tanggal 24 Juni 1994 
yang bertindak sebagai pengadilan perantara (intermedi­
ary court) antara High Court dan Federal Court, sehingga 
dengan demikian memberi  kepada para pihak lebih 
banyak han untuk banding. Court of Appeal memeriksa 
perkara pidana dan perdata sesuai dengan jurisdiksinya. 
Pada waktu ini Court of Appeal terdiri dari 9 hakim 
tinggi yang diketuai oleh President of Court of Appeal.
Jurisdiksi yang dimiliki :
(1) Memeriksa banding perkara pidana yang diputus 
oleh High Court yang memeriksa dalam tingkat 
pertama.
(2) Memeriksa banding perkara pidana yang diputus 
oleh High Court yang bertindak sebagai pengadilan 
banding dalam perkara-perkara pidana yang diputus 
oleh Pengadilan Magistrate, namun pemeriksaan
hanya terbatas kepada masalah hukum (confined 
only to question of law).
(3) Memeriksa banding perkara pidana yang diputus 
oleh High Court sebagai pengadilan banding 
terhadap putusan perkara pidana yang diputus oleh 
Sessions Court.
(4) Memeriksa banding perkara perdata yang nilainya 
melebihi 250.000 ringgit dan gugatan yang kurang 
dari 250.000 ringgit asal mendapat persetujuan 
(leave) dari Court of Appeal.
c. The High Court
High Court didirikan berdasar  Article  
Federal Constitution. Di Malaysia ada 2 macam High 
Court yang setingkat, yaitu High Court di Malaya dan 
High Court di Serawak dan Sabah. Setiap High Court 
dipimpin langsung oleh Chief Judge (Ketua). Sesuai 
dengan undang-undang yang berlaku, jumlah Hakim 
Tinggi High Court di Malaya tidak boleh melebihi 47 
orang, sedang  High Court di Sabah dan Serawak tidak 
boleh melebihi 10 orang.
Sekarang ini jumlah Hakim Tinggi adalah 41 orang 
dan jumlah Judicial Commissioner (hakim yang diangkat 
sementara) adalah 15 orang. Seorang Judicial Commis­
sioner memiliki  kewenangan dan kekebalan sama 
dengan seorang Hakim Tinggi pada High Court.
Pengangkatan Hakim High Court
berdasar  Article 122B dari Federal Constitution, 
hakim pada High Court diangkat oleh Yang di-Pertuan 
Agong yang bertindak atas nasihat Perdana Menteri
(Prime Minister), dan sesudah  berkonsultasi dengan Con­
ference of Rulers. Sebelum Prime Minister memberi  
nasehatnya, ia harus berkonsultasi dahulu dengan Chief 
Judge of that High Court.
Kewenangan High Court dalam pemeriksaan perkara 
perdata.
berdasar  Section 24 dari Court of Judicature Act, 
1964, High Court memiliki  kewenangan memeriksa 
perkara perdata khusus dalam hal :
(1) perkara perceraian dan masalah-masalah perkawi­
nan lainnya.
(2) sengketa perkapalan.
(3) masalah “bankcruptcy” dan hal-hal yang bersang­
kutan dengan perusahaan-perusahaan;
(4) pengangkatan dan pengawasan wali seorang anak 
an pada umumnya terhadap diri dan kekayaan anak- 
anak.
(5) pengangkatan dan pengawasan terhadap wali dan 
pemegang diri dan kekayaan seorang yang dungu 
(idiot), orang-orang yang jiwanya terganggu dan 
orang-orang yang gila (unsound mind) dan
(6) hal-hal yang berkenaan surat pelaksanaan surat 
wasiat dan tertamen, dan pengurasan kekayaan 
seorang yang mati yang meninggalkan kekayaan 
dalam jurisdiksi pengadilan, dan untuk merubah atau 
mengabulkan pengurasan ini .
Pada tahun 1994 beberapa  26.456 perkara perdata 
diajukan ke High Court di seluruh Malaysia.
Kewenangan High Court memeriksa perkara pidana.
Pengadilan ini berwenang untuk menjatuhkan jenis 
pidana apa saja yang diatur oleh undang-undang. Perkara 
pidana yang diancam dengan pidana mati diadili oleh 
High Court. Perkara-perkara ini meliputi: pembunuhan, 
drug trafficking, penculikan dengan tujuan membunuh, 
dan pelanggaran senjata api. Perkara pidana yang tidak 
diancam dengan hukuman mati dapat diajukan ke High 
Court oleh Jaksa Agung (Attorney General) dalam hal- 
hal tertentu.
Kewenangan memeriksa kembali putusan Subordinate 
Court.
Section 26-29 dari Court o f Jud icatu re  Act 
memberi  kewenangan kepada High Court untuk 
memeriksa permohonan banding atas putusan Subordi­
nate Court.
Kewenangan untuk peninjauan kembali (revisionary 
powers)
High Court dapat memiliki  kewenangan untuk 
meninjau kembali pemeriksaan persidangan pidana dan 
hal-hal lainnya yang diputus oleh subordinate court.
High Court boleh memerintahkan untuk memeriksa 
kembali persidangan perdata kepada setiap subordinate 
court untuk mengetahui kebenaran, keabsahan atau 
kewajaran dari putusan yang dicatat atau diputus, dan 
kewajaran dari setiap persidangan yang dilaksanakan oleh 
subordinate court yang mana saja.
d. The Sessions Court
Sessions Court merupakan subordinate court 
(setingkat dengan pengadilan negeri) yang paling tinggi
tingkatannya. Sessions Court ini diketuai oleh seorang 
hakim yang paling senior.
Sessions Court memiliki  kewenangan untuk 
memeriksa dan memutus perkara pidana yang tidak 
diancam dengan hukuman mati. Hakim Sessions Court 
dapat menjatuhkan pidana penjara seumur hidup.
Dalam perkara perdata Sessions Court berwenang 
untuk :
(1) memeriksa gugatan perdata sehubungan dengan 
kecelakaan kendaraan bermotor, tuan tanah, penyewa 
dan penderitaan yang tidak dibatasi kepada nilai 
perkara.
(2) memeriksa gugatan perdata yang nilainya tidak 
melebihi 250.000 ringgit.
The Magistrate’s Court
Magistrates Court memeriksa perkara perdata dan 
pidana. Satu Magistrates Court dipimpin oleh seorang 
M agistra te .
Jumlah magistrates di Semenanjung Malaysia  
dan di Sabah dan Serawak 
First Class Magistrate berwenang memeriksa perkara 
pidana yang ancaman hukumnya tidak melebihi 10 tahun 
atau hanya denda saja. Magistrate ini berwenang pula 
memeriksa perkara perdata yang nilainya tidak melebihi 
25.000 ringgit. Second Class Magistrate berwenang 
untuk memeriksa perkara perdata utang piutang yang 
nilainya tidak melebihi RM 3.000.
f. Juvenile Court
Pengadilan Kanak-kanak dibentuk berdasar  Ju­
venile Court Act tahun 1947 (diperbaiki tahun 1972) 
untuk mengadili pelaku yang berumur dibawah 18 tahun. 
Undang-undang ini diperlakukan ke Sabah dan Serawak 
tahun 1981. Pengadilan Kanak-kanak baru dilaksanakan 
di Malaysia Barat dan Sabah.
Pengadilan kanak-kanak dipimpin oleh seorang 
magistrate yang dibantu oleh 2 orang penasehat yang 
dipilih dari penduduk di wilayah Federal negara bagian 
itu. Mereka diangkat oleh Minister of State Authority. 
Tugas penasehat ialah untuk memberi  pertimbangan 
mengenai pidana atau ’’treatment” lainnya dari pelaku 
yang diperiksa di pengadilan ini .
Pemeriksaan perkara dilakukan secara tertutup 
umum untuk menghindari dari publisitas, kecuali bagi 
para saksi yang terlibat dalam pemeriksaan ini , 
termasuk orang tua dan wali dari sipelaku. Dalam hal 
sipelaku terbukti bersalah, ia dapat dikirim ke lembaga/ 
sekolah rehabilitasi sampai umur 21 tahun atau dilepaskan 
dengan jaminan.
g. Pengadilan Khusus
Pengadilan khusus dibentuk bulan Maret 1993.
berdasar  Article 182 (1) Federal Constitution, harus 
ada satu Pengadilan Khusus yang terdiri dari Chief Jus­
tice of the Federal Court sebagai Ketua, dan para Ketua 
High Courts, dan dua orang lainnya yang memegang 
atau sudah  pernah menjadi hakim federal Court atau High 
Court yang diangkat oleh Conference of Rulers.
Special Court ini memiliki  kewenangan untuk 
memeriksa perkara apa saja yang diajukan oleh atau 
terhadap Yang Dipertuan Agong atau Penguasa satu 
negara dalam kapasitas pribadi.
Konstitusi Federal mengatur bahwa Special Court 
ini memiliki  jurisdiksi khusus untuk memeriksa semua 
pelanggaran yang dilakukan di wilayah Federation oleh 
Yang Di-Pertuan Agong atau Penguasa dari satu Negara 
Bagian tanpa memperhatikan darimana kejadian itu 
bermula.
Konstitusi itu mengatur bahwa suatu tuntutan tidak 
akan diajukan kecuali dengan ijin Jaksa Agung secara 
pribadi.
h. The Syariah Court
Pengadilan Syariah di setiap negara bagian dibentuk 
dengan Peraturan Negara Bagian. Pengadilan ini 
memiliki  kewenangan terhadap mereka yang beragama 
Islam dan berkenaan dengan pelanggaran yang sudah  
diserahkan kepada pengadilan ini  oleh Undang- 
undang Federal. Kewenangan perkara pidana kini 
diberikan berdasar  Syariah Court (Criminal Jurisdic­
tion) Act tahun 1965.
4. Indenesia
Kalau dilihat dari sejarah Peradilan di Indonesia, tampak 
jelas bahwa sistem peradilan sesudah  Indonesia merdeka pada 
dasarnya mengacu pada sistem  peradian negara yang 
diterapkan oleh Pemerintah Jepang bagi penduduk Indonesia 
yang lalu  menjadi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung. Keadaan perang dan darurat pada 
waktu itu tidak memungkinkan negara Indonesia yang baru 
merdeka untuk meneliti sistem peradilan yang bagaimana yang 
paling baik bagi Indonesia. sedang  Pemerintah Jepang 
sendiri untuk menjaga kekosongan memberlakukan lembaga 
pengadilan yang sudah  ada dengan sedikit perubahan.
Sistem Peradilan Jaman Penjajahan Belanda
Pada jaman penjajahan Belanda sendiri ada  orang 
Belanda dan yang belaku bagi golongan pribumi.
Pengadilan yang diberlakukan ialah :
1. Pengadilan Begara (Gubememen);
2. Pengadilan untuk orang pribumi;
3. Pengadilan Swapraja;
4. Pengadilan Agama;
5. Pengadilan (Hakim) Desa;
6. Pengadilan Militer;
7. Pengadilan Semu Tata Usaha Negara.
Yang termasuk ’’Pengadilan Gubememen” ialah: 
Hoogerechtshof, raad van Justitie, R esidentiegerecht, 
Landraad, Regentschapsgerecht, Districtgerecht, Landgerecht, 
Magisstraatsgerecht and Negorijrechbank.
Yang termasuk Peradilan Pribumi (The Indigenopus 
Court) adalah : Rapat Mahkamah, Musapat, Kerapatan, Hadat 
Majelis, Rapat Besar, Mahkamah Besar.
Yang termasuk Pengadilan Swapraja ialah :
Landschapsrechter untuk luar Jawa-Madura, Pradoto, Surambi 
dan Pradoto Gede di karesidenan-karesidenan dari Kasultanan 
Surakarta dan Mangkunegaran dan Pengadilan Kepatihan
Darah Dalam, Pengadilan Keraton Darah Dalem  dan 
Balemangu di karesidenan Yogyakarta.
Pengadilan Agama terdiri dari : Pengadilan Kadi, 
Pengadilan Kadi Besar, dan Sidang Jum’at untuk luar Jawa 
dan Madura, dan Raad Agama (Priesterraad) dan Mahkamah 
Islam Tinggi (Hof voor Islamitische zaken) di Java-Madura.
Peradilan Militer terdiri : Ktijgsraad, zeekrijgsraad dan 
Hoog Militair Gerechtshof.
Pengadilan pada jaman Penjajahan Jepang
Pada jaman pendudukan Jepang sejak tahun 1942 s/d 
1945 jumlah pengadilan disederhanakan, sehingga menjadi: 
Tihoo Hooin m engantikan Landraad , K eisai Hooin 
menggantikan Landgerech, Kei Hooin menggantikan Re- 
gentschapsgerecht, Gun Hooin menggantikan Districtsgerecht, 
Kaikyoo Kootoo Hooin menggantikan Hof voor Islamitiische 
zaken dan Sooryoo Hooin menggantikan Priesterraad.
Semuanya berdasar  undang-undang No. 14 of 1942. 
Dengan Undang-undang No. 34 of 1942 (Osamu Seirei), 
Kootoo Hooin (Court of Appeal) dan Saikoo Hooin (Supreme 
Court) dibentuk.
Perbedaan antara orang pribumi dan Belanda dihapuskan, 
sehingga pengadilan-pengadilan ini , kecuali untuk 
pengadilan agama, diperlakukan bagi semua penduduk Indo­
nesia.
Pengadilan sesudah  merdeka
Sesudah  Indonesia merdeka, dengan Undang-undang No. 
7 Tahun 1947 diatur susunan dan Kekuasaan Mahkamah 
Agung dan Kejaksaan Agung. Dengan Undang-undang
No. 19 Tahun 1948 diatur Peradilan Negara yang terdiri dari 
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha negara dan Peradilan 
Militer. Peradilan Agama belum diatur, sehingga perkara yang 
menyangkut penganut agama Islam  diselesaikan oleh 
Pengadilan Negeri yang anggotanya terdiri dari Hakim 
Pengadilan Negeri sebagai Ketua dan Hakim yang beragama 
Islam sebagai anggota yang ahli dalam bidang agama Islam.
berdasar  undang-undang Darurat No. 1 tahun 1961 
sebagai pelaksanaan Pasal 102 Undang-undang Dasar 
Sementara RI, pengadilan-pengadilan disederhanakan 
sehingga terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadian Tinggi 
dan Mahkamah Agung. Undang-undang ini menghapus 
pengadilan Kawedanan, Pengadilan Kabupaten, Pengadilan 
Swapraja dan Pengadilan Adat.
Dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1964 diatur 
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan 
Undang-undang No. 13 Tahun 1965 diatur Susunan dan 
Kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. 
Lingkungan Peradilan terdiri dari: Peradilan Umum, Peradi­
lan Agama. Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha 
Negara. Namun hakim perdamaian desa tetap dipertahankan.
Dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 maka 
Undang-undang No. 19 Tahun 1965 diganti. Dengan Undang- 
undang No. 14 Tahun 1985 Undang-undang Mahkamah 
Agung No. 13 Tahun 1965 diganti. sedang  Peradilan 
Umum diatur oleh Undang-undang No. 2 Tahun 1986, 
Peradilan Tata Usaha Negara oleh Undang-undang No. 5 
Tahun 1986 dan Peradilan Agama oleh Undang-undang No. 
7 Tahun 1989. Namun disamping peradilan ini  masih 
ada  beberapa peradilan semu lainnya seperti: Badan 
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia penyelesaian 
Perburuhan Pusat, dan lainnya yang ex istensi dan 
kompetensinya masih sering diperdebatkan. Dalam Undang- 
undang No. 5 Tahun 1996 Vide pasal 48 tentang Peradilan 
Tata Usaha Negara, Badan-badan ini  di katagorikan 
Banding Administrasi (Administrasi Beroep).
B. Bentuk-bentuk CDR
1. Amerika Serikat dan Australia
a. Pre-trial Conference
Di Amerika Serikat sudah  terbukti keberhasilan 
penyelesaian perkara melalui ’’pre-trial conference”. 
Pada Federal Courts bahkan sudah  diundangkan 
amandemen Hukum Acara Perdata Federal (the 
Federal Rules of Civil Procedure) pada tahun 1983 
dimana partisipasi hakim dalam proses perdamaian 
secara formal sudah  dilembagakan.
Tujuan dari peraturan ini ialah untuk mendorong 
hakim  untuk lebih  aktip  dalam  mem impin 
perdamaian di awal proses dengan memotivasi 
hakim untuk memberi  waktu yang cukup untuk 
mengadakan usaha- usaha perdamaian sebelum 
perkara secara resmi diperiksa oleh pengadilan. 
B erdasarkan keten tuan  in i hakim  d iberikan  
kewenangan untuk memakai  ’’extra-judicial 
procedures to resolve the dispute”
Di Australia secara berangsur-angsur pengadi­
lan negara bagian mengeluarkan peraturan tentang 
“pretrial conference” ini. Di Victoria lembaga ini 
diatur pada tahun 1984 untuk Coutry Courts dan
Supreme Court. Di NSW semua pengadilan sudah  
memakai  acara ’’pre-trial conference”.
Tujuan dari pre-trial conferences ialah untuk 
membantu para pihak m elakukan negosiasi. 
Seandainya kesepakatan tidak dapat dicapai, hasil 
negosiasi akan dapat dipergunakan oleh hakim yang 
nantinya akan memeriksa perkara itu. Setidak- 
tidaknya masalah hukum dan fakta-fakta sudah  dapat 
diinventarisasi sebelumnya, sehingga hakim sejak 
dini sudah  dapat dibekali informasi yang cukup.
Tujuan dari proses ini menurut para ahli dapat 
diringkaskan sebagai berikut :
1. Getting parties to talk - Membuat para pihak 
berbicara
2. Checking basic fact and isolating issues con­
tention - Mencek fakta dasar dan memisahkan 
issu-issu sengketa.
3. Evaluating strengths and weaknesses of the re­
spective cases - Mengevaluasi kekuatan & 
kelemahan kasus-kasus yang diajukan.
4. Assessing risks ang quantum - Menaksir risiko 
dan jumlah ganti rugi.
5. Reducing the trauma of the adversial process 
for the parties - Mengurangi trauma para pihak 
dalam proses adversary.
6. Educating disputants in court processes - 
Mendidik orang yang bersengketa dalam proses 
peradilan.
7. Ensuring plaintiffs are paid earlier - menjamin 
penuntut dibayar lebih cepat.

8. Keeping costs as low as possible - Menjaga 
ongkos serendah mungkin.
9. Efficient court management - Mengefisienkan 
manajemen peradilan.
10. Trying to ensure that only intractable cases in 
trial - Mencoba untuk menjamin bahwa hanya 
kasus yang alot yang berlanjut lewat litigasi.
Medition and Conciliation in the Court
Disini pengadilan menentukan pihak ketiga 
untuk melakukan “mediasi”. Pengadilan di New Sout 
Wales, misalnya, menyerahkan perkara-perkara 
tertentu ke “Community Justice Centers”
Di negara bagian Victoria, misalnya, mediasi 
diterapkan oleh Country Court di gedung pengadilan 
dengan atau tanpa persetujuan para pihak untuk 
kasus perbuatan melawan hukum (personal injury 
cases).
Pada Federal Court suatu program yang disebut 
’’Assisted Dispute Resolution” sudah  dilembagakan 
pada tahun 1987 dan lalu  diperluas ke 
pengadilan negara bagian. Dengan lembaga ini 
hakim berwenang untuk memerintahkan Registrar 
untuk melakukan mediasi, atau untuk mengumpul­
kan bahan-bahan untuk memperjelas permasalahan 
perkara ini .
Peraturan Pengadilan (the Rules of Court) 
disempurnakan pada Bulan Juni 1990 dengan 
memberi  kewenangan kepada hakim untuk 
menentukan perkara apa saja yang dapat diselesaikan
secara mediasi. Federal Court Rules Order 10 r (2) 
(g) mengatur :
"the court may order that the parties attend before 
a Registrar or a Judge in confidential conference 
with a view to reaching a mediated resolution o f  the 
proceedings or an issue therein or otherwise clari­
fying the real issues in dispute so that appropriate 
directions may be made for the disposi tion o f the 
matter or otherwise to shorten the time taken in 
preparation for and at the trial o f the action
(Pengadilan dapat memerintahkan para pihak 
untuk satu musyawarah tertutup dalam rangka 
menemukan jalan tengah atau untuk mengklarifikasi 
pokok sengketa untuk dibuat petunjuk-petunjuk yang 
layak  untuk m entukan m ateri pokok atau  
memperpendek waktu dan tindakan peradilan).
Di New South Wales, Commercial Division of 
the Supreme Court sudah  mengambil langkah untuk 
menyederhanakan prosedur pengadilan untuk 
mempermudah pemeriksaan perkara ekonomi 
dengan mengembangkan proses sehingga penye­
lesaian sengketa bisnis yang besar itu dapat 
dilakukan dengan cepat.
c. Settlement Week
Settlement Week merupakan salah satu variasi 
dari ’’Court-annexed mediatin’’ yang diperlakukan 
untuk perkara-perkara tertentu saja. Prosedur ini 
dikembangkan di Amerika Serikat terutama sekali
di pengadilan-pengadilan Washington DC sejak 
beberapa tahun yang lalu, yang lalu  diikuti 
oleh Chicago, Indianapolis, Orange Country Cali­
fornia, Milwaukee, Seattle dan Ahio.
Proses ini dilakukan untuk mengurangi ’’back log” 
pengadilan dimana pada saat tertentu selama satu 
minggu hakim mengenyampingkan prosedur resmi 
dan melakukan mediasi dengan para pihak yang 
bersengketa  dalam  pengaw asan  pengadilan . 
Keberhasilan proses ini sudah  banyak dilaporkan. 
Model penyelesaian ini sudah  diikuti oleh New South 
Wales.
d. Multidoor courthouse
Lembaga perdammaian ini diusulkan oleh Prof. 
Sander dari Harvard Law School pada tahun 1976 
dalam konperensi nasional tentang the Causes of 
Popular Dissatisfaction with the Administration of 
Justice. Ia mengusulkan sejum lah prosedure 
penyelesian perkara secara damai dalam satu gedung 
pengadilan. American Bar Association lalu  
memelopori satu pilot project yang bernama Multi- 
Door Court house (Dispute Resolution) Centers di 
Washington DC, Houton dan diikuti oleh beberapa 
negara bagian lainnya.
Dengan program  ini para  p ihak  yang 
bersengketa dibantu oleh “ trained counsellor “untuk 
menentukan pilihan penyelesaian yang sesuai dengan 
sengketanya. Sesudah  ada pilihan yang cocok lalu 
diteruskan ke bagian di dalam “courthouse” untuk 
penyelesaian selanjutnya.
Multi-door Courthouse dimaksudkan untuk 
memberi  fasiitas kepada warga  dengan 
berbagai cara penyelesaian yang sederhana dan cepat 
di tempat terhormat dan sudah  dikenal para pihak, 
yaitu gedung pengadilan.
e. Early neutral evolution
Proses ini diterapkan oleh beberapa pengadilan 
federal. Tujuannya adalah sebagai pencari fakta dan 
menemukan kekuatan dan kelemahan masing- 
masing pihak.
f. Summary jury trial
Penyelesaian melibatkan jury yang biasanya 
terdiri dari 5 orang dan dipimpin oleh seorang 
pejabat yang netral atau oleh hakim. Dalam suasana 
inform al kedua belah p ihak  m enyampaikan 
argumentasi kepada anggota jury. lalu  jury, 
sesudah  mendapat penjelasan mengenai masalah 
hukum dari hakim, akan memberi  putusannya. 
Keputusan jury tidak mengikat, dan para pihak dapat 
mengajukan perkara untuk diproses oleh pengadilan 
melalui prosedur biasa. Setidak-tidaknya dalam 
proses itu dapat diketahui bagaimana pendapat dari 
suatu badan yang netral mengenai sengketa itu.
Proses ini diterapkan di Northern Distric of Ohio 
untuk perkara-perkara yang sulit untuk menentukan 
pertanggungan jawab walaupun kerugian yang 
diderita korban cukup besar. Juga untuk perkara 
dimana terlibat “strong emotions about the case”, 
dan dalam hal tidak kepastian mengenai kerugian.
g. Rent a judge
Merupakan proses yang menggabungkan “authority 
of the court” dengan kenginan para pihak untuk 
penyelesaian secara pribadi. Lembaga ini sudah  diatur 
di California dimana kepada hakim diberi wewenang 
untuk menunjuk pihak ketiga untuk memimpin 
penyelesaian sengketa. Biasanya yang ditunjuk ialah 
hakim yang sudah  pensiun. Referee ini  diberi 
kew ewenangan yang ham pir sama dengan 
kewenangan pengadilan the private judge has the 
most o f the powers o f the court.
2. Singapura
Court Dispute Resolution (CDR) pada Subordinate Court 
Medition Centre ternyata sudah  berhasil menyelesaikan 
sebagian besar dari perkara yang masui di District Court, 
Family Court dan Small Claims Tribunals dengan melalui 
perdamaian yang dipimpin hakim.
CDR sudah  dikembangkan oleh Subordinate Court sesuai 
dengan kondisi setempat sesudah  melihat dan membandingkan 
pengalaman-pengalaman negara lain seperti Australia. 
berdasar  laporan dari para pengacara dan pihak lainnya, 
banyak keuntungan yang diperoleh dari “court-annexed 
mediation”, oleh karena biaya penggunana mekanisme CDR 
ini jauh lebih murah dari pada ADR, terlebih lagi dari proses 
litigasi biasa. Pada cara kedua para pihak harus membayar 
biaya mediator yang jumlahnya sangat besar, terlebih lagi 
dalam perkara-perkara besar tertentu.
Statistik Mediasi tahun 1995 dan triwulan pertama 1996

Tampaknya response publik di Singapore cukup baik 
terhadap CDR ini, terbukti dengan banyaknya perkara yang 
dapat diselesaikan secara perdamaian.
Hasil mediasi perkara perdata pada Subordinate Court :
Pada tahun 1995 dari 1133 kasus, 963 kasus dapat 
diselesaikan (85,0 %) yang masih pending 8,30 % dan tidak 
dapat diselesaikan 6,7 %. Pada triwulan pertama tahun 1996, 
dari 324 kasus, 296 dapat didamaikan (91 %).
Hasil mediasi pada Family Court :
Pada tahun 1995, dari 30.107 kasus, 27.525 kasus dapat 
didamaikan (91,4 %). Triwulan pertama tahun 1996 dari 8.770 
kasus, 7.976 dapat didamaikan (90 %).
CDR diperluas untuk perkara pidana tertentu
CDR ini akan diperluas kepada perkara pidana dimana 
pemidanaan bukan merupakan tujuan utama peradilan, 
misalnya dalam perkara-perkara antar pribadi (inter-personal 
relationship, friends and neighbours disputes). Perkara-perkara 
ini  biasanya diselesaikan melalui proses pidana biasa. 
Namun dengan penyelesaian secara perdamaian melalui 
pengadilan diharapkan sengketa ini  dapat diselesaikan, 
dan hubungan yang baik antar anggota warga  dapat 
dipulihkan kembali. Dengan demikian kemungkinan teijadinya 
kasus yang semacam dapat dikurangi.
Komentar publik atas CDR pada Subordinate Court
Ketika pilot project baru dimulai, Harian Straits Times 
tanggal 15 Agustus 1994 menulis keberhasilan CDR ini antara 
lain sebagai berikut :
” Judges can initiate conference to settle all civil cases out­
side the courtroom under a new scheme which will intro­
duced soon in the court”.
Litigiants will also be encouraged to be involved in the proc­
ess so that an amicable solution can be achieved. The aim of 
the process is to provide parties with a framework for a less 
costly and role to contribute in the courts’ management o f 
civil disputes. The potential savings ini costs and time for  
litigants are immense and the standards o f justice are not 
compromised. The deputy registrar Mr. Tray Swee King noted 
that, fo r example, that 53 court days were saved as a result 
o f the settlement o f the 35 cases during the pilot project. 
Apart from freeing the court room for other cases, litigants 
also saved court fees and legal charges. Daily court fees in 
the Subordinate Court range between $15 and $500. On top 
o f that, lawyers can charge up to $3000 a day for their fees. 
By looking at affidavit evidence and opening statemens, the 
court can divert certain cases to settlement conferences. Law 
Society President Low also saw settlement conferences as a 
positive development for the public. He sa id: the conference 
will help settle disputes more quickly and with less expense 
to the public”
Komentar harian ini  pada pokoknya memberi  
informasi bahwa dengan diperkenalkannya CDR hakim dapat 
memusyawarahkan sengketa perdata diluar sidang pengadilan 
dengan putusan yang tidak memberatkan salah satu pihak.
Dengan pendekatan ini, penyelesaian perkara dapat lebih 
dipersingkat. Keuntungan lain yang diperoleh ialah proses 
CDR ini lebih banyak menghemat biaya perkara dan 
pengacara yang harus ditanggung para pihak
Dari uraian mengenai COR di beberapa negara ini  
diatas dapat disimpukan bahwa :
1. Peranan pengadilan dalam proses penyelesaian sengketa 
melalui berbagai “alternative dispute resolution” yang 
masih ada kaitannya dengan pengadilan cukup penting 
oleh karena sudah  menunjukan keberhasilannya. Court- 
coonected Dispute Resolution ini  dimaksudkan 
untuk dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan 
biaya murah.
2. Pihak lembaga legislatif di luar negeri tampaknya cukup 
tanggap menghadapi persoalan yang muncul sehingga 
sesudah  mengadakan penelitian bersama lembaga
" ju d ik a tif, segera m engeluarkan  pera tu ran  atau  
menyempurnakan hukum acara yang berlaku seperti 
amandemen apada Federal Rules of Civil Procedure di 
Amerika Serikat, dan undang-undang baru di Australia 
yang memberi  kewenangan pembentukan/pelaksanaan 
’’court-annexed dispute resolutio”, atau dengan “rule 
making of the court” peraturan pengadilan untuk 
pembentukan Mediation Center yang dipimpin hakim 
seperti pada Subordinate Court Singapura.
Pelaksanaan CDR yang dimulai pada tahun 1994, sudah  
ditindaklanjuti dengan dilengkapi dengan instrumen yang 
berupa peraturan-peraturan yang dikeluarkan, antara 
lain :
-  Di Pengadilan  Rendah R epublik  S ingapura  
diterbitkan Surat Edaran Ketua No. 1 Tahun 1997 
tentang Pembebasan dan Pengembalian B iaya 
Sidang. Pengadilan. Bagi Pengguna Jasa Mediasi 
Komersiil dikeluarkan pada tanggal 16 April 1997.
Surat Edaran Panitera Mahkamah Agung Singapura 
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Perselisihan Alternatif 
Penyelesaian yang dikeluarkan pada bulan Agustus 
1997 dan dinyatakan berlaku sejak tanggal 2 
Pebruari 1998.
sedang  lembaga yang menangani CDR yang 
ketika berdiri di tahun 1994 bernama Court Medition 
Centre, Pengadilan Rendah, selanjutnya sejak tahun 1998 
ini  diganti menjadi Primary Dispute Resolution 
Centre dengan diadakan perbaikan pada proses acaranya 
dan perluasan jasa  yang diberikan sesuai dengan 
kebutuhan masing-masing kasus 

1. CDR (Court Connected Dispute Resolution) merupakan 
perkembangan lembaga ADR (Alternative Dispute Resolu­
tion) yang dikaitkan dengan peradilan, penerapannya dimanca 
negara (Amerika Serikat, Australia dan Singapura) sudah  
berhasil menyelesaikan perkara dengan asas, cepat, sederhana 
dan biaya ringan secara signifikan.
2. Penggunaan CDR dibanyak negara, khususnya yang sudah  
maju dalam bidang industri, mengalami perkembangan yang 
cukup pesat dengan banyaknya ragam yang ditawarkan, dan 
ternyata banyak yang diminati. Hal ini antara karena prosesnya 
yang cepat dan hasilnya memuaskan para pihak. Melalui ADR 
diharapkan sengketa dapat diselesaikan dengan cepat dan 
biaya yang murah.
3. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak 
melarang para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan 
sengketanya dengan lembaga ADR. Hal mana sesuai pula 
dengan kebudayaan Indonesia  yang berlandaskan  
musyawarah.
4. Penggunaan ADR yang begitu besar akan sangat membantu 
dalam  mengurangi penumpukan perkara dipengadilan 
sehingga. Hal ini tentunya akan mengurangi juga beban dan 
biaya pengadilan dan pengadilan dapat mengadili perkara lain 
yang tidak diajukan melalui ADR. Namun demikian biaya 
untuk ADR cukup besar sehingga hanya golongan tertentu 
saja yang akan mendapat manfaat.


Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive