Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
Dalam usaha menyelesaikan sengketa yang timbul dalam
warga manusia sebagai subyek hukum sudah memiliki
mekanisme untuk menanganinya sendiri, baik dalam bentuk for
mal maupun informal yang dalam perkembangannya menjadi
proses ajudikasi yang formal dilakukan melalui proses litigasi dan
arbitrase.
Proses penyelesaian konflik secara informal disebut proses
konsensus yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang
bersengketa.
Proses penyelesaian sengketa/konflik di warga
mengalami pembahan dan berkembang. lalu muncul bentuk
penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal dengan nama ADR
(alternative dispute resolution). Bentuk ini menekankan pada
pengembangan metode penyelesaian konflik yang bersifat
kooperatif di luar pengadilan. Metode/cara penyelesaian sengketa
ADR bersifat konsensus, dapat diterima para pihak yang
bersengketa (mutual acceptable solution) dengan “informal
procedure”.
Banyak kritik yang dilancarkan kepada lembaga pengadilan.
Hal ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara
industri maju. Perkembangan warga yang menuntut
kecepatan, kerahasiaan, efisien dan efektif dan menjaga
kelangsungan hubungan yang sudah ada, hal ini tidak dapat
direspon oleh lembaga litigasi yang ada, yang mendapat banyak
kritikan dalam operasionalnya dinilai lamban, mahal, memboroskan
energi, waktu dan uang dan terbuka dan tidak dapat memberi
win-win solution sehingga konsep penyelesaian sengketa alternatif
yang ditawarkan memperoleh sambutan yang positif, terutama di
dunia bisnis yang menghendaki efisiensi dan kerahasian dan
lestarinya hubungan / kerja sama dan tidak formalistis dan
menghendaki penyelesaian yang lebih menekankan pada keadilan.
ADR (A lternative D ispute R esolution) yang semula
merupakan konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
menekankan produk win-win solution pada perkembangannya di
Amerika Serikat diintegrasikan ke dalam proses beracara di
pengadilan Court Connected Dispute (CDR) atau Court Annexed
Dispute Resolution (CADR).
Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan konsep
penyelesaian konflik atau sengketa di luar pengadilan secara
kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan atau solusi
terhadap suatu konflik atau sengketa yang bersifat “menang-
menang” (win-win). Yang dimaksudkan solusi “menang-menang”
disini adalah solusi atau kesepakatan yang mampu mencerminkan
kepentingan atau kebutuhan seluruh pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik ini (shared interest). Walaupun pada awal
perkembangannya, terutama di Amerika Serikat ADR hanyalah
merupakan mekanisme penyelesaian konflik di luar pengadilan,
namun kini ADR juga dikembangkan dalam kerangka beracara di
pengadilan atau ADR yang terintegrasi dengan sistem pengadilan
court connected ADR.
Walaupun dalam warga tradisional di Indonesia, ADR
sudah diterapkan dalam menyelesaikan konflik-konflik tradisionil,
namun agak ironis pengembangan konsep dan teori penyelesaian
konflik secara kooperatif justru banyak berkembang di negara-
negara yang warga nya litigous atau tidak memiliki akar
penyelesaian konflik secara kooperatif. Oleh sebab itu tantangan
kita , teru tam a m asyarakat hukum di Indonesia adalah
mendokumentasikan pola-pola penyelesaian konflik dalam
warga tradisional dan secara laboratoris mengembangkan
corak-corak penyelesaian konflik yang merupakan produk Indo
nesia.
Penelitian mengenai ADR yang dilakukan oleh beberapa
perguruan tinggi seperi Monash University di Australia dan
Harvard University di Amerika Serikat ataupun oleh lembaga
penelitian lainnya menunjukan belum adanya kesamaan pendapat
bahwa ADR yang independent dari pengadilan jauh lebih baik
dari proses litigasi atau altematip proses penyelesaian sengketa
yang ada kaitannya dengan pengadilan (court-connected dispute
resolution). Masing-masing lembaga penyelesaian ini dalam
prakteknya mengandung kelebihan dan kekurangan.
Dalam literatur yang dimaksud dengan ADR ialah lembaga
altematip penyelesaian perkara yang sama sekali terlepas dari
pengadilan dan Court-connected Dispute (CDR) atau Court-
annexed Dispute Resolution (CAR) yang ada kaitannya dengan
pengadilan.
ADR YANG TERLEPAS DARI PENGADILAN.
Di Jepang dikenal: Japan Commercial Arbitration Associa
tion, Tokyo Maritime Arbitration Commision, The Japan Shipping
Exchange, Labopur Commision, The Commision for Adjusment o f
Contraction Work Disputes, The Federation o f Trade Council,
Japan Chamber o f Commerce and Industry, The Environmental
Disputes Cordination Commisions, Arbitration Centre o f Local
Bar Association, The Centre o f Handling o f Handling Traffic
Accident Disputes.
Di Korea Selatan dikenal : Korean Commercial Arbitration
Board (KCAB), Di Hongkong : Hongkong International Arbitra
tion Centre (HKIAC). Di Singapore : The Singapore International
Association Centre (SIAC) yang bertujuan untuk memberi
bantuan dalam penyelesaian sengketa domestik maupun
internasional melalui arbitrase dan konsiliasi.
Di Australia dikenal macam-macam ADR yang memiliki
kegiatan di bidang tertentu, seperti : The Noble Part Family
Mediation Centre, Community Justice Centres di bidang keluarga;
The Australian Centre for International Commercial Arbitration
(ACICA) untuk penyelesaian sengketa di bidang perdagangan
domestik maupun internasional.
Di Srilangka: Badan Mediasi Srilangka. Sengketa perkara
tertentu (minor civil disputes) tidak boleh langsung diajukan ke
pengadilan akan tetapi harus diselesiakan oleh Badan Mediasi
S rilangka.
Di Philipina dikenal lembaga konsilisasi yang disebut
“Lupong Tagpaya“ yang ada pada 42.000 desa di Philipina
yang berwenang menyelesaikan sengketa perdata dan pelanggaran
ringan. Penyelesaian melalui lembaga ini adalah wajib (manda
tory).
Di China dikenal People’s Conciliation Commite yang
memiliki cabang di seluruh wilayah China yang jumlahnya
950.000 buah. Penyelesaian sengketa bersifat suka rela (volun
tary). Kegiatannya ialah di bidang perdata (ordinary civil dis
putes) seperti: sengketa antar tetangga, perceraian, utang piutang,
warisan, adopsi, dan perkara perdata ringan lainnya. Perkara yang
berat (major and special disputes) tidak termasuk kewenangan
komisi ini. Komisi ini di tangani oleh sekitar 6000.000 petugas
yang sudah menerima pendidikan khusus sebagai mediator atau
conciliator sebelumnya.
Di Indonesia dikenal Badan Arbitrase Nasional Indonesia,
ADR dalam masalah lingkungan Hidup (UU No. 4 tahun 1982),
Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian, Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Pusat (P4D dan
P4P), dan penyelesaian sengketa melalui konsep perdamaian seperti
tercantum dalam Bab XVIII KUHPerdata.
ADR YANG ADA KAITANNYA DENGAN PENGADILAN
(Court-annexed Displute Resolution)
Di Amerika Serikat dikenal Court-annexed Arbitration yang
dipakai baik oleh pengadilan negara bagian maupun pengadilan
federal. Untuk pengadilan federal diatur dalam Court-annexed Ar
bitration Acts tahun 1979. CAA mengatur penunjukan penyelesaian
sengketa oleh pihak ketiga (arbitrator) oleh pengadilan sebelum
perkara itu diperiksa oleh pengadilan (....the referral o f cases by
the court for dispotion by an arbitrator rather than by adjudica
tion).
Di Australia sistem Amerika ini sudah dicontoh melalui The
Arbitration (Civil Actions) Act 1983. Penyelesaian sengketa melalui
lembaga ini merupakan kewajiban dalam hal sengketa bernilai
tidak lebih dari $10.000. Untuk nilai yang lebih dapat pula diajukan
ke lembaga ini asal disetujui kedua belah pihak.
Kewajiban penyelesaian sengketa berlaku pula pada Supreme
Court dengan diundangkannya Arbitration Amandement Act 1987.
Banding tidak diperkenankan. Pihak yang tidak puas hanya bisa
minta “rehearing” (pemeriksaan biasa) pada pengadilan yang
menunjuk arbitration ini .
Bentuk lain CDR : Pre-trial Conference, Managerial
Judging untuk membantu “ early settlement o f cases”; Mediation
and consiliation in state Court misalnya di New South Wales
pengadilan-pengadilan menunjuk Community Justice Centres untuk
penyelesaian. Queensland Supreme Court mewajibkan para pihak
menyelesaikan sengketa komersial ke lembaga arbitration terlebih
dahulu. berdasar amandemen Rule of Court tahun 1990
pengadilan federal harus menunjuk arbitrator untuk penyelesaian
perkara yang dianggap pantas (judicial referral to mediation of
cases thought suitable).
Selain itu juga dikenal “Settlement Week”, Multidoor-court-
house, Early neutral Evolution, Summary Jury Trial, dan Rent A
Judge.
Di Indonesia, bila dilihat secara mendalam, tata cara
penyelesaian sengketa secara damai sudah lama dan biasa dipakai
oleh warga Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hukum adat
yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi
putusan adat bagi sengketa diantara warganya. Terlebih pada tahun
1945, tatacara ini secara resmi menjadi salah satu falsafah negara
dan bangsa Indonesia yang tercermin dalam asas musyawarah
untuk mufakat.
Peluang pengembangan dan pelembagaan diterapkannya
metode perundingan dan arbitrase sebagai ADR terlihat sangat
baik. ADR merupakan pilihan yang murah, cepat efisien dan sejalan
dengan budaya m asyarakat Indonesia yang dikenal tidak
konfrontatif.
Pelembagaan ADR dilakukan dengan melihat perbandingan
praktek penerapan ADR di negara-negara lain. Pengembangan
dan pelembagaan ADR diharapkan memegang andil dalam
mencegah dan menyelesaikan sengketa di warga . Proses
pelembagaan ADR tidak hanya mencakup suatu badan atau
organisasi, namun mencakup adanya perangkat lembaga yang
memungkinkan dapat dilaksanakan di Indonesia.
Di sektor bisnis, peluang pengembangan dan pelembagaan
ADR terletak pada pemantapan lembaga arbitrase yang sudah ada
dan pengembangan fungsi mediator sengketa bisnis. Perkembangan
arbitrase di Indonesia sudah ada sejak tahun 1977, atas prakarsa
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) didirikan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Walaupun sejauh ini BANI
kurang berperan sebagai lembaga arbitrase bisnis di Indonesia.
Prioritas diperlakukannya pengembangan dan pelembagaan
ADR di indonesia melalui legitimasi atau perangkat hukum
tercermin dengan diselesaikan dan dikeluarkannya Undang-undang
tentang Arbitrase. Dimana undang-undang Arbitrase yang baru
mengadopsi perkembangan bentuk dan prinsip-prinsip ADR
sebagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan.
Menghadapi tantangan penyelesaian sengketa dagang dalam
era perdagangan bebas dimasa datang, tidak ada jalan lain, bangsa
Indonesia perlu mencari sistem penyelesaian sengketa model ADR
sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan
mengembangkan metode dan cara-cara penyelesaiannnya.
Pasal 3 ayat (3) Undang-undang No. 14 Tahun 1970
menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas
dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan
tetapi, putusan arbiter hanya memiliki kekuatan ekskutorial
sesudah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari
pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lebih
disukai oleh pelaku bisnis dan kontrak bisnis internasional karena
sifat kerahasiaan, prosedur sederhana, dan putusan arbiter mengikat
para pihak.
Dalam perkembangan dunia usaha, baik nasional maupun
internasional, dan perkembangan hukum melalui produk
perundang-undangan, pedoman arbitrase yang berdasar
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) sudah
tidak sesuai lagi dan perlu disesuaikan pengaturannya baik secara
substantif maupun filosofisnya.
usaha hukum mengenai perbaharuan Undang-undang
Arbitrase Nasional sudah dilakukan melalui Undang-undang No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dengan demikian, ada konsistensi dan pemanfaatan
ADR (negosiasi, mediasi, konsiliasi) dan arbitrase sebagai sistem
penyelesaian sengketa diluar pengadilan dalam bidang bisnis di
Indonesia.
Dari beberapa temuan kajian diagnostik ada beberapa catatan
yang berkaitan dengan pengembangan ADR di luar dan di dalam
pengadilan meliputi sebagai berikut :
1. Dukungan dan komitmen pemerintah terhadap ADR sangat
besar, namun perlu ditindaklanjuti dengan berbagai langkah
nyata, misalnya menyelesaikan RUU Arbitrase dengan
mengintegrasikan komponen ADR (negosiasi, meditasi dan
konsiliasi) di dalamnya sehingga lebih memiliki landasan
hukum yang kuat.
2. Walaupun pola penyelesaian secara konsensus sudah dikenal
dan mengakar dalam warga , namun konsensus dan
musyawarah yang merupakan embrio dari ADR sebagai
m ekanism e penyelesaian konflik dalam m asyarakat
modem belum dipahami oleh warga luas.
3. Peluang penerapan ADR di dalam pengadilan (court annexed)
berdasar Pasal 131 HIR belum didayagunakan secara
optimal sehingga diperlukan pengenalan tehnik ADR di
kalangan hakim dan petugas pengadilan lainnya. Petunjuk
pelaksanaan ADR dari Ketua Mahkamah Agung dalam bentuk
surat edaran dapat dijadikan sebagai pendorong penerapan
ADR di dalam pengadilan.
4. Pengembangan kelembagaan ADR di luar pengadilan harus
didasarkan pada praktek-praktek ADR dalam warga .
Pengembangan kelembagaan juga perlu dilakukan pada
lembaga-lembaga kuasa pengadilan yang sudah ada, seperti
MPP, Mahkamah Pelayaran dan P4D/P4P yang pada dasarnya
juga merupakan bentuk penyelesaian pola ADR dengan
menyempurnakan prosedur, aturan main yang lebih jelas dan
sumber daya manusia yang profesional.
5. Pengembangan sumber daya manusia yang profesional
membutuhkan sarana pelatihan yang dapat diintegrasikan
melalui kurikulum fakultas hukum dan kursus ketrampilan
hukum Asosiasi Profesi advokat dan pengacara dan LSM
juga berperan dalam pengembangan sumber daya manusia
yang mendukung di bidang ADR.
B. Pengertian ADR dan Bentuk-bentuknya
Untuk memperoleh gambaran umum tentang apa yang disebut
ADR, George Applebey dalam tulisannya “An Overview of Alter
native Dispute Resolution,” dengan merujuk pendapat Liebermann
dan Hendry, berpendapat bahwa ADR pertama-tama adalah
merupakan suatu eksperimen mencari :
1. M odel model baru dalam penyelesaian sengketa.
2. Penerapan-penerapan baru terhadap metode-metode lama.
3. Forum-forum baru bagi penyelesaian sengketan dan
4. Penekanan yang berbeda dalam pendidikan hukum.
Definisi ini diatas sangat luas dan terlalu akademis. Satu
definisi yang lebih sempit dan praktis dikemukan oleh Phillip D.
Bostwick yang menyatakan bahwa ADR merupakan serangkaian
praktek dan teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk :
1. Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaikan diluar
pengadilan untuk keuntungan atau kebaikan para pihak yang
bersengketa sendiri.
2. Mengurangi biaya dan keterlambatan kalau sengketa ini
diselesaikan melalui litigasi konvensional.
3. Mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak dibawa ke
pengadilan .
Dari batasan-batasan ini , satu hal yang perlu mendapat
penekanan, dan yang merupakan kecenderungan umum adalah
bahwa ADR merupakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, dalam arti di luar mekanisme ajudikasi standar
pengadilan konvensional. Dengan demikian meskipun ada beberapa
mekanisme yang masih berada dalam ruang lingkup atau sangat
erat dengan pengadilan, tetapi memakai mekanisme atau
prosedur ajudikasi non standar, mekanisme ini masih
merupakan ADR.
Adapun ADR ditujukan untuk tercapainya efisiensi yang lebih
besar, terutama untuk mengurangi biaya dan keterlambatan dan
dalam rangka mengantisipasi overload pengadilan. Selain itu ADR
juga dalam banyak hal ditujukan untuk memberdayakan individu-
individu atau perseorangan, mengingat dalam proses konvensional,
penyelesaian sengketa pada umumnya ada ditangan para lawyer
yang mempergunakan prosedur dan bahasa dan argumen mereka
sendiri, melalui ajudikasi atau berperkara di pengadilan. Dalam
konteks ini diharapkan bahwa ADR berfungsi reconnecting peo
ple to their own inner wisdom or common sense.
Tetapi teori ini selanjutnya berkembang menjadi :
1. ADR (A lternative D ispute Resolution) /PPS (Pilihan
Penyelesaian Sengketa) di luar pengadilan (ADR outside the
court).
2. ADR (Alternative Dispute Resolution) / PPS di dalam
pengadilan (ADR inside the court).
Pengertian Court Connected Arbitration (CDR) di Amerika
Serikat atau Court Annexed Arbitration di Australia yaitu
sistem menghubungkan pengadilan dengan arbitrase. Perkara
yang diproses terbatas pada “small clain” yang dilaksanakan
dengan mekanisme sebagai berikut :
1. Tidak langsung di proses melalui litigasi, tetapi lebih
dahulu di proses melalui arbitrase.
2. Yang bertindak sebagai arbitrator adalah seorang hakim
yang bertugas di pengadilan ini .
3. Mau tidak mau para pihak mesti mengikuti proses
arbitrase dahulu, oleh karena itu sistem ini disebut juga
Compulsory Arbitration System dan karenanya putusan
hakim dalam bentuk putusan Arbitrase (Arbitral Award).
4. Putusan arbitrase b ila d isetu jui oleh para p ihak
berkekuatan exekutorial, dan bila tidak disetujui, putusan
ini batal demi hukum dan selanjutnya dilakukan
pemeriksaan melalui proses litigasi.
Bentuk-Bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR).
1. Negosiasi
Secara harfiah negosiasi berarti musyawarah atau
berunding. Negosiasi ini tidak lain adalah suatu bentuk
penyelesaian sengketa oleh para pihak sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, dengan cara musyawarah atau
berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap adil
oleh para pihak. Hal yang dicapai dari negosiasi berupa
penyelesaian kompromi atau compromise solution.
2. Good Offices
’’Good Offices” biasanya diteijemahkan sebagai jasa baik,
yang makna sebenarnya adalah suatu penyelesaian
sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang memberi
jasa baik berupa penyediaan tempat atau fasilitas-fasilitas
untuk dipakai oleh para pihak yang sengketa untuk
melakukan musyawarah atau perundingan guna mencapai
penyelesaian. Jadi inisiatif penyelesaian tetap berada di
tangan para pihak, dan pihak ketiga bersifat pasif, tidak
ikut campur mengatur penyelesaian sengketa. Jika
tercapai penyelesaian, para pihak menyampaikan
’’compromise solution : ini kepada pihak ketiga.
3. Mediasi
Mediasi atau penengahan merupakan mekanisme
penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga.
Berbeda dengan “good offices” , pihak ketiga dalam
mediasi bersifat aktif. Pihak ketiga aktif memberi
bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian
namun ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang
mengambil putusan. Jadi inisiatif penyelesaian tetap
berada pada tangan para pihak yang bersengketa. Sama
halnya dengan negosiasi dan ’’good offices” penyelesaian
sengketa bersifat kompromis.
4. Konsiliasi
Konsiliasi juga merupakan mekanisme penyelesaian
sengketa dengan intervensi pihak ketiga, sebagaimana
halnya “good offices” dan mediasi. Hanya saja dalam
konsiliasi, pihak ketiga lebih bersifat aktif. Pihak ketiga
(konsilia to r) mengambil in is ia tif m enyusun dan
merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang
selanjutnya diajukan dan ditawarkan kepada para pihak
yang bersengketa. Konsiliator tidak berwenang mem
buat putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomen
dasi, yang pelaksanaannya sangat tergantung dari itikad
baik para pihak yang bersengketa sendiri.
5. Arbitrase
Sebagaimana ’’good offices”, mediasi dan konsiliasi,
arbitrase juga merupakan mekanisme penyelesaian
sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral.
Namun dibanding ketiga mekanisme ini , dalam
arbitrase pihak ketiga bertindak sebagai “hakim” yang
diberi wewenang penuh oleh para pihak untuk menyele
saikan sengketa. Oleh karena itu ia berwenang mengambil
putusan (“award”) yang bersifat mengikat.
6. Summary J\iry Trial .
Sesuai dengan namanya, mekanisme ini merupakan
mekanisme penyelesaian sengketa khas negara-negara
yang peradilannya memakai sistem jury, khususnya
Amerika Serikat. Suatu sengketa diajukan kepada para
jury yang sebenarnya untuk diputuskan. Namun keputu-
san jury ini sifatnya tidak mengikat, dan para jury ini
tidak mengetahui bahwa keputusannya tidak mengikat.
7. Rent-a-Judge
Mekanisme ini dilakukan dengan cara para pihak
menyewa seorang hakim pengadilan, biasanya yang
sudah pensiun, untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak
membuat suatu kontrak yang isinya menyatakan bahwa
mereka akan mentaati keputusan hakim ini . Jadi
pada dasarnya yang mengikat disini bukanlah keputu-
sannya itu sendiri melainkan kontraknya.
8. Med-arb
M ed-arb ini sebenarnya hanya m erupakan suatu
modifikasi terhadap penyelesaian sengketa melalui
arbitrase. Sebelum sengketa diajukan kepada arbitrator,
terlebih dahulu harus diajukan kepada mediator, media
tor membantu para pihak untuk melakukan negosiasi
guna m encapai penyelesaian . J ika para p ihak
tidak mencapai kesepakatan, maka mediator memberi
pendapat bagaimana penyelesaian sengketa ini jika
diajukan kepada arbitrator. Jika melalui cara inipun masih
belum menyelesaikan sengketa, maka sengketa ini
selanjutnya diperiksa menurut prosedur arbitrase. Yang
dapat bertindak sebagai arbitrator bisa mediator yang
bersangkutan atau orang lain lagi selain mediator yang
memeriksa sengketa sebelumnya. Mekanisme seperti ini
ditempuh dengan suatu asumsi bahwa arbitrase masih
merupakan makanisme penyelesaian sengketa lambat,
mahal dan rigid.
9. Hybrid
Prosedur arbitrase yang mengkombinasikan unsur med-
Arb dengan Private' Judging.
10. CADR/ADR
CDR (Court Dispute Resolution) atau CADR (Court
Annexed Dispute Resolusion) suatu metode yang
menginterasikan proses ADR/pilihan penyelesaian
sengketa dalam proses beracara di dalam pengadilan.
Metode pengintegrasian ADR/Pilihan Penyelesaian
sengketa kedalam proses pengadilan ini, dalam prak
teknya di Indonesia sudah biasa ditempuh sebagimana
tertuang dalam pasal 130 HIR, yang intinya mewajibkan
hakim mendamaikan para pihak yang bersengketa. Apabi
la mereka bersepakat untuk berdamai, maka kesepakatan
ini dirumuskan dalam bentuk dokumen “dading”.
C. MACAM-MACAM SENGKETA OBJEK ADR
Ruang lingkup sengketa yang dapat diselesaikan melalui ADR
sangat luas yang meliputi hampir setiap aspek hukum, sehingga
dikenal adanya beraneka ragam ADR. ADR dalam bidang hukum
publik, ADR yang menyangkut penyelesaian secara damai klaim-
klaim individu yang menyangkut hak-hak asasi manusia, ADR
dalam bidang hukum konsumen. Bermacam-macam ADR lain yang
tidak kalah menariknya adalah ajudikasi klaim-klaim jaminan
sosial, mediasi dalam sengketa keluarga, arbitrase dalam kontrak-
kontrak yang melibatkan pemerintah, ADR yang melibatkan
kepolisian dan lain-lain.
Secara rinci dapat disebutkan beberapa macam sengketa yang
berpotensi untuk diselesaikan melalui ADR sebagai berikut :
1. Sengketa internasional, termasuk masalah-masalah dalam
lapangan hukum internasional publik.
2. Sengketa konstitusi, administratif dan fiskal, yang mencakup
isu-isu yang berkaitan dengan kewarganegaraan dan status
personal, kewenangan lokal lembaga-lembaga pemerintah
dan semi pemerintah, perijinan, perpajakan dan jaminan
sosial.
3. Sengketa yang berkaitan dengan organisasi yang timbul
didalam organisasi yang meliputi manajemen, struktur dan
prosedur dan sengketa antar organisasi.
4. Sengketa perburuhan yang m eliputi tuntutan-tuntutan
pembayaran dan sengketa-sengketa hubungan industrial.
5. Sengketa perusahaaan yang meliputi sengketa-sengketa antar
pemegang saham dan masalah-masalah yang timbul pada
likuidasi dan penerimaan-penerimaan.
6. Sengketa komersial yang merupakan bidang yang sangat luas
meliputi sengketa-sengketa kontraktual, sengketa-sengketa
yang timbul dalam hubungan komersial seperti persekutuan,
perusahaan patungan dan lain-lain. Masalah-masalah lain yang
mungkin timbul dalam berbagai bidang yang berbeda-beda
seperti perbankan, pengangkutan, komoditi, hak atas kekayaan
intelektual, industri konstruksi dan lain-lain.
7. Sengketa-sengketa konsumen, antara produsen atau pemasok
dan konsumen.
8. Sengketa-sengketa perumahan, meliputi sengketa-sengketa
antara pemilik dan penyewa, atau antar penyewa, peninjauan
ongkos sewa, sengketa lingkungan dan sebagainya.
9. Sengketa-sengketa yang berkaitan dengan perbuatan melawan
hukum (tort), meliputi kelalaian dan kegagalan melaksanakan
kewajiban dan termasuk juga klaim-klaim asuransi yang
terkait dengannya.
10. Sengketa-sengketa yang timbul dari perceraian, termasuk yang
berkaitan dengan anak, harta kekayaan dan masalah-masalah
keuangan.
11. Sengketa-sengketa keluarga lain, seperti klaim-klaim warisan,
bisnis keluarga dan sengketa-sengketa lain didalam lingkungan
keluarga.
12. Sengkata-sengketa trust, yang meliputi sengketa antara trus
tees dan beneficiaries.
13. Sengketa-sengketa yang m enim bulkan konsekuensi-
konsekuensi hukum pidana.
14. Sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah-masalah
antar tetangga, antar anggota warga , gender, ras dan etnis.
15. Sengketa-sengketa pribadi antar individu.
16. Sengketa-sengketa tentang fakta, yang mungkin timbul dari
kredibilitas para pihak sendiri, atau yang mungkin timbul
dari data yang diberikan oleh pihak ketiga, termasuk
interpretasi-intrepretasi data yang bersangkutan.
17. Sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah hukum
yang pada umumnya tim biul dari op in i-op in i yang
dikemukakan oleh kuasa hukum yang bersangkutan.
18. Sengekta-sengketa teknis yang meliputi perbedaan pendapat
profesional dan ahli teknis masing-masing pihak.
19. Perbedaan pengertian, misalnya yang timbiul dari penggunaan
kata-kata atau asumsi-asumsi yang tidak jelas yang dipakai .
20. Perbedaan persepsi tentang kewajaran, konsep-konsep
keadilan dan moralitas, kultur dan nilai-nilai dan sikap.
D. Perkembangan Arbitrase di Indonesia
Lembaga Arbitrase di Indonesia sudah dikenal dengan nama
Juru Pemisah pada masa penjajahan Belanda, sebagaimana terlihat
dalam pasal 377 HIR/pasal 705 RBG, yang menentukan :
Jika orang Bumi Putera dan Timur Asing berkehendak
menyerahkan perselisihan mereka kepada keputusan Juru Pemisah,
hendaklah mereka dalam hal itu berlaku menurut peraturan
pengadilan bangsa Eropa.
Namun HIR dan RBG tidak mengatur tentang acara arbitrase,
tetapi menunjuk acara yang berlaku bagi golongan eropa dalam
hal ini adalah pasal 615-651 RV. yang memuat ketentuan tentang
arbitrase sebagai berikut :
Bagian I terdiri dari :
- Pasal 615 s.d. 623 yang memuat tentang kompromi
arbitrase dalam pengangkatan Wasit (Arbitrator).
Bagian II terdiri dari :
- Pasal 264 s.d. 630 yang mengatur tentang berperkara
dimuka wasit.
Bagian III terdiri dari :
- Pasal 631 s.d. 640 yang mengatur tentang keputusan
wasit.
Bagian IV terdiri dari :
- Pasal 641 s.d 647 yang mengatur tentang usaha hukum
terhadap putusan albitrase.
Bagian V terdiri dari :
- Pasal 648 s.d. 651 yang mengatur tentang berakhirnya
berperkara didepan wasit.
Namun instrumen-instrumen tentang arbitrase ini di atas
tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam praktek dewasa ini, dimana
transaksi bisnis terjadi antar lintas batas negara yang belum diatur
dalam peraturan ini diatas.
Sehingga diperlukan instrumen yang dapat mewadahi
kebutuhan ini , sehingga akhirnya diundangkan Undang-
Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa tertanggal 12 Agustus 1999 pada masa
pemerintahan B.J. Habibie.
Persoalan landasan hukum pelembagaan ADR sebagai bentuk
penyelesaian sengketa sudah diusaha kan pemecahannya melalui
perangkat Undang-undang No. 30 Tahun 1999 (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 138) tentang A rbitrase dan A lternatif
Penyelesaian Sengketa.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan
bahwa alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati bersama oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi
atau penilaian ahli.
Undang-undang ini memberi kepastian hukum bagi
berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar pengadilan yang
diharapkan berprosedur informal dan efisien. Hal ini akan
memberi kemudahan bagi warga untuk berperan dan
dan mengembangkan mekanisme penyelesiaian konfliknya sendiri
dan memperoleh pilihan untuk mnyelesaikan sengketa yang
muhgkin timbul.
Pada umumnya, dalam praktek atau aktifitas bisnis, metode
penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam setiap perjanjian yang
dilakukan terutama dalam bidang perdata khususnya bidang
perdagangan. warga bisnis umumnya dihadapkan pada pilihan
penyelesaian sengketa secara litigasi/pengadilan. Sekarang mereka
mendapat pilihan untuk memakai lembaga ADR sebagai
sarana penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dalam aktifitas
bisnisnya.
Dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999, pengertian
arbitrase dibedakan dengan alternatif penyelesaian sengketa
berdasar metode penyelesaiannya. Metode penyelesaian dalam
alternatif mpenyelesaian sengketa dilakukan antara lain melalui:
1. Konsultasi;
2. Negosiasi;
3. Konsiliasi atau
4. Penilaian ahli
Pengertian alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase sudah
diperkenalkan sebagai suatu institusi/lembaga yang dipilih para
pihak yang mengikat apabila timbul beda pendapat atau sengketa.
Dengan demikian, berdasar undang-undang, alternatif
penyelesaian sengketa bertindak sebagai lembaga independen di
luar arbitrase. Arbitrase memiliki ketentuan, cara dan syarat-
syarat tersendiri untuk pemberlakuan formalitasnya, akan tetapi
ada kesamaan mengenai bentuk sengketa yang dapat
diselesaikan yaitu :
1. Sengketa atau beda pendapat secara perdata di bidang
perdagangan, dan
2. Menurut peraturan perundang-undangan sengketa atau beda
pendapat ini dapat diajukan dengan usaha ’’damai”.
Sebagaim ana te lah d iu tarakan sebelumnya bahwa
penyelesaian sengketa model ADR menempuh mode rahasia (con
fidential). Konsepsi kerahasiannya diatur dalam Undang-undang
No. 30 Tahun 1999. D iaturnya konsepsi kerahasiaan ini
memberi jaminan bagi para pihak yang bersengketa dalam
kapasitas yang sama besar dan saling memberi kontrol terhadap
masing-masing.
Bentuk kesepakatan para pihak mengenai cara penyelesaian
sengketa atau beda pendapat dalam suatu hubungan hukum dibuat
dalam suatu pernyataan dari para pihak yang menerangkan bahwa
semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau mungkin
timbul dari hubungan hukum ini akan diselesaikan dengan
cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam Pasal 6 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 dinyatakan
bahwa para pihak dapat memakai cara negosiasi, mediasi,
konsiliasi ataupun penilaian ahli yang diselesaikan dalam suatu
pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu 14 (empat belas)
hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Ketentuan ini memberi keleluasaan para pihak untuk
menetapkan aturan main terhadap penyelesaian konfliknya,
meskipun hanya diberikan waktu maksimal 14 hari.
Jika para pihak dalam penyelesaian sengketa atau perbedaan
pendapat memperoleh jalan buntu dan belum menuangkannya
dalam perjanjian atas kesepakatan tertulis, sengketa ini dapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli
atau mediator.
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tidak mengatur ketentuan
terhadap lembaga terhadap lembaga penyedia jasa (penasihat, ahli,
mediator), tetapi hanya memberi batasan pada lembaga
alternatif penyelesaian sengketa yang menunjuk seorang mediator
atau penasihat ahli. Disinilah lalu terjadi kebingungan pada
warga yang ingin mencari lembaga penyedia jasa, karena di
dalam aturan itu sendiri juga tidak diterangkan syarat-syarat
pengangkatan untuk mediator, negosiator dan penasihat ahli.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara
tertulis bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan
dengan baik dan wajib didaftarkan di pengadilan negeri. Dengan
demikian pengadilan negeri sebagai lembaga yudisial tidak dapat
dipungkiri lagi kekuatan mengikatnya yang berkekuatan hukum.
Akan tetapi Undang-undang No. 30 tahun 1999 tidak menerangkan
lebih lanjut bagaimana jika kesepakatan atau beda pendapat yang
sudah didaftarkan tidak dilaksanakan oleh para pihak sampai batas
waktu yang sudah ditentukan.
E. P raktek CDR di Indonesia
(Implementasi Pasal 131 HIR)
Perdamaian dalam perkara perdata pada umumnya diatur
dalam pasal 130 HIR/154 RBg dan pasal 14 ayat (2) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970.
Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara
hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara para pihak.
Bila usaha perdamaian berhasil dan para pihak sepakat berdamai
di depan hakim, maka perjanjian perdamaian dirumuskan dalam
bentuk dokumen dading yang berkekuatan hukum eksekutorial
dan final karena tidak ada lagi usaha hukum untuk merubahnya.
Namun bila hakim gagal mendamaikan, maka bagi pengadilan
terbuka kewenangan untuk memeriksa dan mengadili dengan
proses litigasi biasa.
Dading ini dapat juga terjadi di luar pengadilan, karena
kedua pihak menyelesaikan sengketanya dengan jasa arbitrator
yang mereka tunjuk (pihak ketiga) di luar pengadilan.
Oleh karena itu peradilan di Indonesia menurut Yahya Harahap
adalah mirip Mixed Arbitration (Arbitrase Campuran), karena pada
tahap pertama proses pemeriksaan perkara Majelis Hakim bertindak
sebagai majelis perdamaian, sesudah gagal sebagai pendamai, baru
dengan jalan pemeriksaan peradilan biasa.
Namun secara faktual dalam kenyataan praktek, khususnya
pada dewasa ini usaha perdamaian sebagaimana ketentuan pasal
130 dan 131 ini diatas hanya dianggap dan diterapkan sebagai
formalitas saja, sehingga tidak menghasilkan penyelesaian dengan
perdamaian secara signifikan.
Perlu dikemukakan disini, tentang proses perdamaian dalam
perkara perceraian di lingkungan peradilan agama yang diatur
dalam pasal 56 (2), 65, 82 dan 83 Undang-undang No. 7 Tahun
1989 dan pasal 31,32 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
ditentukan bagi hakim untuk mengusaha kan perdamaian dengan
lebih serius karena pada sidang pertama, para pihak harus hadir
secara pribadi dan bila salah satu pihak berada diluar negeri dan
tidak dapat datang menghadap secara pribadi, dan diwakilkan
kepada kuasanya dengan secara khusus yang dikuasakan untuk
itu.
Dalam usaha perdamaian hakim dapat meminta bantuan pihak
ketiga baik perorangan maupun badan seperti BP4 (Badan
Penasehat Penyelesaian Perkara Perceraian.
lama penyelesaian memicu makin tinggi biaya yang
harus dikeluarkan, seperti biaya resmi dan upah pengacara
yang harus ditanggung. Melihat kenyataan biaya perkara yang
mahal membuat orang berperkara di pengadilan menjadi
lumpuh dan terkuras segala sumber daya, waktu dan pikiran.
3. Peradilan tidak tanggap (unresponsive)
Kritik lain yang ditujukan kepada pengadilan adalah berupa
kenyataan, pengalaman dan pengamatan bahwa pengadilan kurang
tanggap dan tidak responsif atau unresponsive dalam bentuk
perilaku. Kritik ini antara lain sebagai berikut :
a. Pengadilan kurang tanggap membela dan melindungi
kepentingan umum dan sering mengabaikan perlindungan
umum dan kebutuhan warga .
b. Peradilan dianggap sering berlaku tidak adil atau unfair. Kritik
in i d idasarkan atas alasan bahwa pengadilan dalam
memberi kesempatan dan keleluasaan pelayanan hanya
kepada lembaga besar dan orang kaya.
4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah.
berdasar kenyataan, putusan pengadilan tidak mampu
memberi penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak.
Putusan Pengadilan tidak mampu memberi kedamaian dan
ketentraman kepada pihak-pihak yang berperkara. Hal ini antara
lain disebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut :
a. Salah satu pihak pasti menang dan pihak lain pasti kalah
(win-lose).
b. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah
membawa kedamaian, tetapi menumbuhkan dendam dan
permusuhan dan kebencian.
c. Putusan pengadilan membingungkan.
d. Putusan pengadilan sering tidak memberi kepastian hukum
(uncertainty) dan tidak bisa diprediksi (unpredictable).
5. Kemampuan para hakim bersifat “generalis”
Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat
terbatas. Ilmu pengetahuan yang mereka miliki hanya di bidang
hukum. Di luar itu, pengetahuan mereka hanya bersifat umum.
Memperhatikan para hakim hanya manusia generalis, sangat
m ustahil m ereka mampu m enyelesaikan sengketa yang
mengandung kompleksitas dalam berbagai bidang, misalnya
sengketa konstruksi. Sengketa ini berkaitan langsung dengan
masalah tehnologi konstruksi, akutansi, perkreditan dan sebagainya
Sebenarnya masih banyak kritik yang dapat dideskripsikan.
Akan tetapi, dari deskripsi yang diutarakan diatas sudah dapat
memberi gambaran,mengenai kegoyahan keberadaan peradilan
sebagai kekuasaan kehakiman. Meskipun kedudukan dan
keberadaannya sebagai pressure valve and the last resort dalam
mencari kebenaran dan keadilan, namun kepercayaan warga
terhadapnya sudah berkurang.
Faktor utama penyebab hilangnya kepercayaan warga
terhadap lembaga pengadilan adalah sistem peradilan yang
terlampau formal dan tehnis. Sifat formal dan tehnis pada sistem
peradilan memicu penyelesaian sengketa terlunta-lunta
sehingga membutuhkan waktu yang lama padahal warga
menghendaki penyelesaian yang cepat dan biaya murah. Sengketa
bisnis menuntut penyelesaian yang bersifat informal procedure.
Penyelesaian sengketa yang lambat dalam dunia bisnis
memicu timbulnya biaya tinggi bahkan dapat menguras
segala potensi dan sumber daya perusahaan yang bersangkutan.
Menghadapi kenyataan lambatnya proses penyelesaian sengketa
dan beratnya biaya yang harus dikeluarkan melalui proses litigasi,
muncul kegiatan-kegiatan yang diarahkan kepada pemikiran usaha
memperbaiki sistem peradilan.
Jika kecaman yang diarahkan ke pengadilan dihubungkan
dengan ungkapan-ungkapan yang melekat pada pengadilan, masih
pantaskah mempertahankan pengadilan sebagai the first resort and
the las resort penyelesaian sengketa bisnis pada masa mendatang?
Apakah tidak perlu dicari dan dikembangkan bentuk-bentuk
penyelesaian baru sebagai alternatif ?
B. Kelebihan Lembaga Arbitrase
Secara historis, kultur warga Indonesia sangat
menjunjung tinggi pendekatan konsensus. Pengembangan
penyelesaian sengketa di Indonesia sesuai dengan mekanisme
pengambilan keputusan secara tradisional dan penyelesaian secara
adat. Alasan kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR di
Indonesia tam paknya lebih kua t d ibandingkan alasan
ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani sengketa.
Namun demikian disamping alasan ini diatas ada
beberapa hal yang dapat dilihat sebagai kelebihan faktor ADR
menjadi alternatif di dalam menyelesaikan persoalan yaitu :
1. Faktor ekonomis
ADR memiliki potensi sebagai sarana penyelesaian yang
lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu.
Hal ini berbeda dengan penyelesaian yang dilakukan melalui
proses litigasi. Selain untuk membiayai persidangan yang
relatif mahal untuk perkara perdata, biaya tinggi yang harus
dikeluarkan pencari keadilan terutama sekali untuk membayar
pengacara yang di negara-negara maju sangat tinggi sekali.
Untuk ’’Queen’s Counsel” misalnya, biaya untuk ’’pre-
hearing” ialah $400 sampai $600 perjamnya, sedang untuk
pemeriksaan di persidangan (trial) $3.000 sampai $4.000
perjamnya. Untuk “barrister” $200 sampai $300 untuk pre-
hearing, dan $2.000 sampai $3.000 untuk trial. Sesuai dengan
sistem “adversary” yang berlaku di Australia dan di Amerika
Serikat, pihak yang kalah diwajibkan membayar biaya perkara,
termasuk biaya pengacara pihak yang menang. Hal ini
tentunya memperbanyak biaya yang harus dibayar pihak yang
kalah. Oleh karena itu perlu dikaji apakah biaya perkara
pengadilan di Indonesia termasuk mahal. Menurut hemat kami
biaya perkara di pengadilan tidak terlalu tinggi, yang seringkali
mahal ialah pengacara yang sampai sekarang belum ada
peraturannya.
2. Faktor ruang lingkup yang dibahas
ADR meliliki kemampuan untuk membahas agenda
permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel.
Hal ini dapat terjadi karena aturan main dikembangkan dan
ditentukan oleh para pihak yang bersengketa sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhannya. ADR memiliki potensi untuk
menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit (polycentris)
yang disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan
persoalan-persoalan ilmiah (scientifically complicated).
3. Faktor pembinaan hubungan baik.
ADR mengandalkan cara-cara penyelesaian kooperatif
sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya
pembinaan hubungan baik antar manusia yang sudah
berlangsung maupun yang akan datang.
Konsepsi ADR di Indonesia dalam beberapa tahun ini
mendapat perhatian yang lebih karena hal-hal sebagai
berikut :
1. Antisipasi perdagangan bebas.
Dalam kegiatan bisnis yang ratusan jumlah transaksinya
setiap hari tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa
antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa selalu
menuntut pemecahan dan penyelesaian. Makin banyak
terjadi sengketa, makin banyak sengketa yang harus
diselesaikan.
2. Meningkatnya jumlah dan bobot sengketa di warga .
Membiarkan sengketa bisnis terlambat diselesaikan
memicu pembangunan ekonomi tidak efisien,
produktifitas menurun, dunia bisnis akan mengalami
kemandulan dan biaya produksi akan meningkat.
3. Perlu dicari dan dipikirkan cara dan sistem penyelesaian
sengketa yang cepat, efektif dan efisien.
Era globalisasi mengharuskan adanya suatu sistem
penyelesaian sengketa yang dapat menyesuaikan dengan
laju ’’free market” dan “free competition”. Untuk itu
harus ada lembaga yang mewadahinya.
ADR disamping memiliki daya tarik khusus di Indo
nesia karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya
tradisional berdasar musyawarah mufakat. Beberapa
hal dibawah ini merupakan keuntungan yang sering
muncul dalam ADR :
1. Sifat kesukarelaan dalam proses.
Para pihak percaya bahwa ADR memberi jalan
keluar yang potensial untuk menyelesaikan masalah
dengan lebih baik dibandingkan dengan prosedur
litigasi dan prosedur lainnya yang melibatkan para
pembuat keputusan dari pihak ketiga. Secara umum
tidak seorangpun dipaksa untuk memakai
prosedur-prosedur ADR.
2. Prosedur yang cepat.
Karena prosedur ADR bersifat informal, pihak-pihak
terlibat mampu untuk menegosiasikan syarat-syarat
penggunaannya. Hal ini mencegah terjadinya
penundaan dan mempercepat proses penyelesaian.
3. Keputusan nonyudisial.
Wewenang untuk membuat keputusan tetap berada
pada pihak-pihak yang terlibat atau tidak didelegasi
kan kepada pembuat keputusan dari pihak ketiga.
Hal ini berarti bahwa p ihak-p ihak te rlib a t
memiliki lebih banyak kontrol terhadap hasil-hasil
sengketa dan mampu meramalkan.
4. Kontrol tentang kebutuhan organisasi
Prosedur ADR menempatkan keputusan di tangan
orang yang memiliki posisi tertentu (penting),
baik untuk menafsirkan tujuan-tujuan jangka panjang
dan jangka pendek dari organisasi yang terlibat
maupun menafsirkan dampak-dampak positif dan
negatif dari setiap pilihan penyelesaian masalah
tertentu. Pihak ketiga dalam membuat keputusan
yang mengikat suatu sering kali meminta bantuan
seorang hakim, juri atau arbiter.
5. Prosedur rahasia (confidential).
Prosedur ADR memberi jaminan kerahasiaan
bagi para pihak dengan porsi yang sama. Pihak-
pihak dapat menjajaki pilihan-pilihan sengketa yang
potensial dan hak-hak mereka dalam mem
presentasikan data untuk menyerang balik tetap
terlindungi.
6. F leksib ilitas dalam m erancang syarat-syara t
penyelesaian masalah.
Prosedur MAPS memberi fleksibilitas yang lebih
besar bagi parameter-parameter isu yang sedang
didiskusikan dan cakupan dari penyelesaian masalah.
Disamping itu, memungkinkan pengem-bangan cara
penyelesaian yang lebih komprehensif untuk
membahas penyebab persengketaan. Prosedur ini
dapat menghindari kendala prosedur yudisial yang
sangat terbatas pada pembuatan keputusan
pengadilan yang didasarkan pada titik sempit hukum,
seperti apakah prosedur yang resmi sudah diikuti
atau belum.
7. Hemat Waktu. Selama ini proses penyelesaian
masalah sering mengalami kelambatan yang cukup
bera rti dalam m enunggu kepastian tanggal
persidangan . P rosedur ADR m enawarkan
kesempatan yang lebih cepat untuk menyelesaikan
sengketa tanpa harus menghabiskan waktu berta
hun-tahun untuk melakukan litigasi. Dalam banyak
hal, waktu adalah uang dan penundaan penyelesaian
masalah memerlukan biaya yang sangat mahal.
Penyelesaian sengketa yang dikembangkan melalui
penggunaan prosedur ADR merupakan alternatif
penyelesaian masalah yang tepat.
8. Hemat biaya.
Besarnya biaya biasanya ditentukan oleh lamanya
waktu yang dipergunakan. Pihak ketiga yang netral
rata-rata memasang tarif yang lebih rendah untuk
mengganti waktu mereka dibandingkan apabila
membayar p.aa pengacara hukum.
9. Pemeliharaan hubungan.
ADR menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang
dinegosiasikan dengan memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan pihak-pihak terlibat. Dengan kata lain,
ADR mampu mempertahankan hubungan-hubungan
kerja yang sedang berjalan maupun untuk masa
mendatang.
10. Tingginya kemungkinan untuk m elaksanakan
kesepakatan.
Dalam ADR, para pihak yang sudah mencapai kese
pakatan cenderung untuk memenuhi syarat-syarat
atau isi kesepakatan yang sudah ditentukan oleh
pengambil keputusan (pihak ketiga). Faktor ini
membantu para p ihak yang te rlib a t untuk
menghindari litigasi yang tidak efektif.
11. Kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil.
Pihak-pihak yang menegosiasikan sendiri penyele
saian sengketanya memiliki lebih banyak kontrol
terhadap hasil-hasil penyelesaian sengketa. Cara
penyelesaian melalui negosiasi atau mediasi lebih
mudah memperkirakan keuntungan dan kerugian
dibandingkan jika kasus ini diselesaikan
melalui arbitrase atau di depan seorang hakim.
12. Keputusan bertahan panjang.
Keputusan penyelesaian sengketa dengan prosedur
ADR cenderung bertahan sepanjang waktu. Jika di
lalu hari persengketaan itu menimbulkan
masalah, pihak-pihak terlibat lebih memanfaatkan
bentuk pemecahan masalah kooperatif dibandingkan
menerapkan pendekatan adversial atau pertentangan.
PRAKTEK SISTEM PERADILAN DAN CDR
DI BEBERAPA NEGARA
A. Sistem Peradilan di :
Di beberapa Negara system peradilan lebih spesialisasi,
sehingga pengadilan tingkat tertentu hanya berwenang mengadili
perkara tertentu saja.
Namun demikian tampaknya kekhususan ini pun tidak
dapat mengurangi hambatan dalam penyelesaian perkara, sehingga
lembaga CDR ataupun ADR tetap disarankan untuk diterapkan.
Sebagai gambaran berikut ini system peradilan dari beberapa
Negara dalam praktek banyak memakai ADR dan CDR.
1. Australia
Struktur pengadilan negara bagian di Australia pada dasarnya
terdiri dari :
a. Small Debts Court.
memiliki juridiksi mengadili gugatan perdata/
ganti rugi tidak melebihi $5000. Dilaksanakan oleh hakim
tunggal Magistrate dalam sidang yang tertutup. Biasanya
tidak diwakili oleh penasihat hukum dan tidak ada biaya
perkara. Banding tidak diperkenankan.
b. Magistrate Court.
Jurisdiksi perdata : gugatan tidak melebihi $20.000.
Gugatan harus diajukan dalam wilayah pengadilan yang
berwenang mengadili.
c. District Court.
Jurisdiksi perdata : gugatan ganti rugi tidak melebihi
$200.000 :
Apabila para pihak setuju, District Court dapat mengadili
gugatan yang melebihi jumlah ini .
Sebagai pengadilan banding atas putusan Magistrate
Court dimana dinilai gugatan melebihi $2.400 atau dalam
hal permintaan banding disetujui Distric Court.
Jurisdiksi pidana : mengadili perkara pidana yang
ancaman pidananya tidak lebih dari 14 tahun.
Pemeriksaan banding atas putusan perkara pidana
Magistrate Court.
d. Supreme Court.
Kewenangan : Pengadilan yang mengadili masalah
penerapan “law and equity”.
Jurisdiksi perdata : Tidak ada pembatasan nilai gugatan
dan jurisdiksi wilayah asal ada ’’nexus” (connection)
dengan jurisdiksi Supreme Court.
Dapat memeriksa perkara dibawah $200.000 tapi dengan
biaya perkara yang lebih mahal dengan motivasi agar
perkara diajukan ke Distric Court.
Sebagai pengadilan banding atas putusan Distric Court.
Perkara pidana : semua perkara pidana yang ancaman
hukumannya dilakukan oleh Magistrate dalam perkara
ringan.
Sidang dilakukan dengan Jury.
e. Court of Appeal.
Kewenangan :
Jurisdiksi perdata : pemeriksaan banding atas putusan
Distric Court dimana gugatan lebih dari $10.000 atau
dalam hal-hal yang diberikan ijin (leave) oleh Court of
Appeal.
Jurisdiksi Pidana : pemeriksaan banding atas putusan
atau pidana yang dijatuhkan oleh Distric Court. Hakim-
hakim Supreme Court bertugas juga sebagai hakim
banding.
f. High Court-Pengadilan Tertinggi Federal.
Kewenangan :
Mengadili dalam tingkat pertama sengketa yang
meliputi: perjanjian internasional atau perwakilan negara
lain. Dimana sebagai pihak adalah Negara atau pejabat
dari negara (comonwealth). Antara negara-negara bagian
atau warga yang berbeda negara bagian.
Hal-hal yang diatur oleh konstitusi.
Sebagai pengadilan banding atas : permohonan banding
dari putusan hakim yang mengadili perkara dalam tingkat
pertama di High Court.
2. Singapore.
Struktur pengadilan Singapore pada dasarnya terdiri dari
tiga tingkatan, namun pada subordinate court terlihat beberapa
jenis pengadilan yang memiliki jurisdiksi khusus.
a. Supreme Court merupakan pengadilan yang tertinggi
yang diketuai Chief Justice dan beranggotakan dua
Justices. Pengadilan ini juga merupakan pengadilan
banding bagi perkara tertentu.
b. High Court merupakan pengadilan banding dan juga
sebagai pengadilan yang memeriksa pada tingkat pertama
kasus-kasus tertentu. High Court ini diketuai oleh Chief
Juctice dan beranggotakan beberapa Hakim High Court
dan Judicial Commissioners (Hakim Anggota sementara).
c. The Intermedite Court yang terdiri dari the Subordinate
Court yang terdiri pula dari beberapa District Court, the
Magistrates Court, the Coroner’s Court, the Juvenile
Court, the Family Court dan the Small Tribunal.
The Subordinate Court diketuai oleh Senior District Judge
dan District Judges dan Magistrates. Coroner ialah pejabat
pengadilan yang memimpin Coroner’s Court. Ia diangkat
oleh Presiden berdasar pengusulan Ketua Mahkamah
Agung untuk masa satu tahun. Ia harus memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Legal Profession
Act. Ia melakukan penyelidikan atas adanya kematian
yang tidak wajar (unnatural - couse of death) yang terjadi
di Singapore.
Malaysia.
Malaysia memiliki susunan peradilan sebagai berikut :
a. The Federal Court (Mahkamah Agung).
Setiap perkara pada Federal Court harus diperiksa dan
diputus oleh 3 orang hakim atau dengan jumlah yang
lebih besar namun harus ganjil. Penunjukan perkara mana
ditentukan oleh Chief Justice.
Federal Court memiliki jurisdiksi asli dan banding
sebagaimana diatur dalam Article 121 (2), 128 and 130
Federal Constitution. Federal Court juga memiliki
jurisdiksi dan kewenangan yang sama seperti yang
dilakukan oleh High Court.
Jurisdiksi ekslusip dan sebagai penasehat.
berdasar Article 128(1) dari Federal Constitution,
Federal Court m empunyai kewenangan un tuk
memeriksa :
(1) Apakah undang-undang yang dibuat oleh Parlemen
atau Dewan Pembuat Undang-undang Negara
Bagian memiliki dasar kewenangan atau tidak,
dan
(2) Setiap sengketa yang terjadi antara negara bagian
atau antara pemerintah pusat (federal) dengan negara
bagian.
Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangan
ini hanya dapat mengeluarkan putusan yang bersifat
deklaratif.
Federal Court memeriksa dan memutus permohonan
banding perkara pidana yang diputus oleh High Court
dalam tingkat pertama Federal Court juga memeriksa
dan memutus permohonan banding perkara perdata yang
diputus oleh High Court dalam hal jum lah yang
disengketakan sekurang-kurangnya 250.000 ringgit, atau
permohonan banding atas putusan yang secara langsung
atau tidak langsung menyangkut gugatan terhadap
kekayaan atau hak-hak sipil (civil right) lainnya senilai
ini diatas.
Mahkamah Agung juga berwenang untuk memeriksa
dan memutus permohonan banding atas setiap putusan
pengadilan yang menyangkut pasal-pasal dalam
konstitusi, termasuk keabsahan setiap undang-undang
tertulis terhadap pasal-pasal Konstitusi ini ,
berdasar Article 18(2) Federal Constitution,
Federal Court juga memiliki ju risd ik si untuk
menentukan masalah konstitusi yang diajukan kepadanya
oleh High Court.
Kekuatan mengikat Federal Court.
Setiap putusan Federal Court yang berkenaan dengan
masalah pidana atau perdata, atau masalah hukum atau
acara apa saja haruslah diikuti oleh Court of Appeal,
High Court dan Subordinate Court. Demikian pula
halnya, satu putusan Court of Appeal atau High Court
mengikat semua pengadilan bawahan.
The Court of Appeal.
Pengadilan ini dibentuk pada tanggal 24 Juni 1994
yang bertindak sebagai pengadilan perantara (intermedi
ary court) antara High Court dan Federal Court, sehingga
dengan demikian memberi kepada para pihak lebih
banyak han untuk banding. Court of Appeal memeriksa
perkara pidana dan perdata sesuai dengan jurisdiksinya.
Pada waktu ini Court of Appeal terdiri dari 9 hakim
tinggi yang diketuai oleh President of Court of Appeal.
Jurisdiksi yang dimiliki :
(1) Memeriksa banding perkara pidana yang diputus
oleh High Court yang memeriksa dalam tingkat
pertama.
(2) Memeriksa banding perkara pidana yang diputus
oleh High Court yang bertindak sebagai pengadilan
banding dalam perkara-perkara pidana yang diputus
oleh Pengadilan Magistrate, namun pemeriksaan
hanya terbatas kepada masalah hukum (confined
only to question of law).
(3) Memeriksa banding perkara pidana yang diputus
oleh High Court sebagai pengadilan banding
terhadap putusan perkara pidana yang diputus oleh
Sessions Court.
(4) Memeriksa banding perkara perdata yang nilainya
melebihi 250.000 ringgit dan gugatan yang kurang
dari 250.000 ringgit asal mendapat persetujuan
(leave) dari Court of Appeal.
c. The High Court
High Court didirikan berdasar Article
Federal Constitution. Di Malaysia ada 2 macam High
Court yang setingkat, yaitu High Court di Malaya dan
High Court di Serawak dan Sabah. Setiap High Court
dipimpin langsung oleh Chief Judge (Ketua). Sesuai
dengan undang-undang yang berlaku, jumlah Hakim
Tinggi High Court di Malaya tidak boleh melebihi 47
orang, sedang High Court di Sabah dan Serawak tidak
boleh melebihi 10 orang.
Sekarang ini jumlah Hakim Tinggi adalah 41 orang
dan jumlah Judicial Commissioner (hakim yang diangkat
sementara) adalah 15 orang. Seorang Judicial Commis
sioner memiliki kewenangan dan kekebalan sama
dengan seorang Hakim Tinggi pada High Court.
Pengangkatan Hakim High Court
berdasar Article 122B dari Federal Constitution,
hakim pada High Court diangkat oleh Yang di-Pertuan
Agong yang bertindak atas nasihat Perdana Menteri
(Prime Minister), dan sesudah berkonsultasi dengan Con
ference of Rulers. Sebelum Prime Minister memberi
nasehatnya, ia harus berkonsultasi dahulu dengan Chief
Judge of that High Court.
Kewenangan High Court dalam pemeriksaan perkara
perdata.
berdasar Section 24 dari Court of Judicature Act,
1964, High Court memiliki kewenangan memeriksa
perkara perdata khusus dalam hal :
(1) perkara perceraian dan masalah-masalah perkawi
nan lainnya.
(2) sengketa perkapalan.
(3) masalah “bankcruptcy” dan hal-hal yang bersang
kutan dengan perusahaan-perusahaan;
(4) pengangkatan dan pengawasan wali seorang anak
an pada umumnya terhadap diri dan kekayaan anak-
anak.
(5) pengangkatan dan pengawasan terhadap wali dan
pemegang diri dan kekayaan seorang yang dungu
(idiot), orang-orang yang jiwanya terganggu dan
orang-orang yang gila (unsound mind) dan
(6) hal-hal yang berkenaan surat pelaksanaan surat
wasiat dan tertamen, dan pengurasan kekayaan
seorang yang mati yang meninggalkan kekayaan
dalam jurisdiksi pengadilan, dan untuk merubah atau
mengabulkan pengurasan ini .
Pada tahun 1994 beberapa 26.456 perkara perdata
diajukan ke High Court di seluruh Malaysia.
Kewenangan High Court memeriksa perkara pidana.
Pengadilan ini berwenang untuk menjatuhkan jenis
pidana apa saja yang diatur oleh undang-undang. Perkara
pidana yang diancam dengan pidana mati diadili oleh
High Court. Perkara-perkara ini meliputi: pembunuhan,
drug trafficking, penculikan dengan tujuan membunuh,
dan pelanggaran senjata api. Perkara pidana yang tidak
diancam dengan hukuman mati dapat diajukan ke High
Court oleh Jaksa Agung (Attorney General) dalam hal-
hal tertentu.
Kewenangan memeriksa kembali putusan Subordinate
Court.
Section 26-29 dari Court o f Jud icatu re Act
memberi kewenangan kepada High Court untuk
memeriksa permohonan banding atas putusan Subordi
nate Court.
Kewenangan untuk peninjauan kembali (revisionary
powers)
High Court dapat memiliki kewenangan untuk
meninjau kembali pemeriksaan persidangan pidana dan
hal-hal lainnya yang diputus oleh subordinate court.
High Court boleh memerintahkan untuk memeriksa
kembali persidangan perdata kepada setiap subordinate
court untuk mengetahui kebenaran, keabsahan atau
kewajaran dari putusan yang dicatat atau diputus, dan
kewajaran dari setiap persidangan yang dilaksanakan oleh
subordinate court yang mana saja.
d. The Sessions Court
Sessions Court merupakan subordinate court
(setingkat dengan pengadilan negeri) yang paling tinggi
tingkatannya. Sessions Court ini diketuai oleh seorang
hakim yang paling senior.
Sessions Court memiliki kewenangan untuk
memeriksa dan memutus perkara pidana yang tidak
diancam dengan hukuman mati. Hakim Sessions Court
dapat menjatuhkan pidana penjara seumur hidup.
Dalam perkara perdata Sessions Court berwenang
untuk :
(1) memeriksa gugatan perdata sehubungan dengan
kecelakaan kendaraan bermotor, tuan tanah, penyewa
dan penderitaan yang tidak dibatasi kepada nilai
perkara.
(2) memeriksa gugatan perdata yang nilainya tidak
melebihi 250.000 ringgit.
The Magistrate’s Court
Magistrates Court memeriksa perkara perdata dan
pidana. Satu Magistrates Court dipimpin oleh seorang
M agistra te .
Jumlah magistrates di Semenanjung Malaysia
dan di Sabah dan Serawak
First Class Magistrate berwenang memeriksa perkara
pidana yang ancaman hukumnya tidak melebihi 10 tahun
atau hanya denda saja. Magistrate ini berwenang pula
memeriksa perkara perdata yang nilainya tidak melebihi
25.000 ringgit. Second Class Magistrate berwenang
untuk memeriksa perkara perdata utang piutang yang
nilainya tidak melebihi RM 3.000.
f. Juvenile Court
Pengadilan Kanak-kanak dibentuk berdasar Ju
venile Court Act tahun 1947 (diperbaiki tahun 1972)
untuk mengadili pelaku yang berumur dibawah 18 tahun.
Undang-undang ini diperlakukan ke Sabah dan Serawak
tahun 1981. Pengadilan Kanak-kanak baru dilaksanakan
di Malaysia Barat dan Sabah.
Pengadilan kanak-kanak dipimpin oleh seorang
magistrate yang dibantu oleh 2 orang penasehat yang
dipilih dari penduduk di wilayah Federal negara bagian
itu. Mereka diangkat oleh Minister of State Authority.
Tugas penasehat ialah untuk memberi pertimbangan
mengenai pidana atau ’’treatment” lainnya dari pelaku
yang diperiksa di pengadilan ini .
Pemeriksaan perkara dilakukan secara tertutup
umum untuk menghindari dari publisitas, kecuali bagi
para saksi yang terlibat dalam pemeriksaan ini ,
termasuk orang tua dan wali dari sipelaku. Dalam hal
sipelaku terbukti bersalah, ia dapat dikirim ke lembaga/
sekolah rehabilitasi sampai umur 21 tahun atau dilepaskan
dengan jaminan.
g. Pengadilan Khusus
Pengadilan khusus dibentuk bulan Maret 1993.
berdasar Article 182 (1) Federal Constitution, harus
ada satu Pengadilan Khusus yang terdiri dari Chief Jus
tice of the Federal Court sebagai Ketua, dan para Ketua
High Courts, dan dua orang lainnya yang memegang
atau sudah pernah menjadi hakim federal Court atau High
Court yang diangkat oleh Conference of Rulers.
Special Court ini memiliki kewenangan untuk
memeriksa perkara apa saja yang diajukan oleh atau
terhadap Yang Dipertuan Agong atau Penguasa satu
negara dalam kapasitas pribadi.
Konstitusi Federal mengatur bahwa Special Court
ini memiliki jurisdiksi khusus untuk memeriksa semua
pelanggaran yang dilakukan di wilayah Federation oleh
Yang Di-Pertuan Agong atau Penguasa dari satu Negara
Bagian tanpa memperhatikan darimana kejadian itu
bermula.
Konstitusi itu mengatur bahwa suatu tuntutan tidak
akan diajukan kecuali dengan ijin Jaksa Agung secara
pribadi.
h. The Syariah Court
Pengadilan Syariah di setiap negara bagian dibentuk
dengan Peraturan Negara Bagian. Pengadilan ini
memiliki kewenangan terhadap mereka yang beragama
Islam dan berkenaan dengan pelanggaran yang sudah
diserahkan kepada pengadilan ini oleh Undang-
undang Federal. Kewenangan perkara pidana kini
diberikan berdasar Syariah Court (Criminal Jurisdic
tion) Act tahun 1965.
4. Indenesia
Kalau dilihat dari sejarah Peradilan di Indonesia, tampak
jelas bahwa sistem peradilan sesudah Indonesia merdeka pada
dasarnya mengacu pada sistem peradian negara yang
diterapkan oleh Pemerintah Jepang bagi penduduk Indonesia
yang lalu menjadi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung. Keadaan perang dan darurat pada
waktu itu tidak memungkinkan negara Indonesia yang baru
merdeka untuk meneliti sistem peradilan yang bagaimana yang
paling baik bagi Indonesia. sedang Pemerintah Jepang
sendiri untuk menjaga kekosongan memberlakukan lembaga
pengadilan yang sudah ada dengan sedikit perubahan.
Sistem Peradilan Jaman Penjajahan Belanda
Pada jaman penjajahan Belanda sendiri ada orang
Belanda dan yang belaku bagi golongan pribumi.
Pengadilan yang diberlakukan ialah :
1. Pengadilan Begara (Gubememen);
2. Pengadilan untuk orang pribumi;
3. Pengadilan Swapraja;
4. Pengadilan Agama;
5. Pengadilan (Hakim) Desa;
6. Pengadilan Militer;
7. Pengadilan Semu Tata Usaha Negara.
Yang termasuk ’’Pengadilan Gubememen” ialah:
Hoogerechtshof, raad van Justitie, R esidentiegerecht,
Landraad, Regentschapsgerecht, Districtgerecht, Landgerecht,
Magisstraatsgerecht and Negorijrechbank.
Yang termasuk Peradilan Pribumi (The Indigenopus
Court) adalah : Rapat Mahkamah, Musapat, Kerapatan, Hadat
Majelis, Rapat Besar, Mahkamah Besar.
Yang termasuk Pengadilan Swapraja ialah :
Landschapsrechter untuk luar Jawa-Madura, Pradoto, Surambi
dan Pradoto Gede di karesidenan-karesidenan dari Kasultanan
Surakarta dan Mangkunegaran dan Pengadilan Kepatihan
Darah Dalam, Pengadilan Keraton Darah Dalem dan
Balemangu di karesidenan Yogyakarta.
Pengadilan Agama terdiri dari : Pengadilan Kadi,
Pengadilan Kadi Besar, dan Sidang Jum’at untuk luar Jawa
dan Madura, dan Raad Agama (Priesterraad) dan Mahkamah
Islam Tinggi (Hof voor Islamitische zaken) di Java-Madura.
Peradilan Militer terdiri : Ktijgsraad, zeekrijgsraad dan
Hoog Militair Gerechtshof.
Pengadilan pada jaman Penjajahan Jepang
Pada jaman pendudukan Jepang sejak tahun 1942 s/d
1945 jumlah pengadilan disederhanakan, sehingga menjadi:
Tihoo Hooin m engantikan Landraad , K eisai Hooin
menggantikan Landgerech, Kei Hooin menggantikan Re-
gentschapsgerecht, Gun Hooin menggantikan Districtsgerecht,
Kaikyoo Kootoo Hooin menggantikan Hof voor Islamitiische
zaken dan Sooryoo Hooin menggantikan Priesterraad.
Semuanya berdasar undang-undang No. 14 of 1942.
Dengan Undang-undang No. 34 of 1942 (Osamu Seirei),
Kootoo Hooin (Court of Appeal) dan Saikoo Hooin (Supreme
Court) dibentuk.
Perbedaan antara orang pribumi dan Belanda dihapuskan,
sehingga pengadilan-pengadilan ini , kecuali untuk
pengadilan agama, diperlakukan bagi semua penduduk Indo
nesia.
Pengadilan sesudah merdeka
Sesudah Indonesia merdeka, dengan Undang-undang No.
7 Tahun 1947 diatur susunan dan Kekuasaan Mahkamah
Agung dan Kejaksaan Agung. Dengan Undang-undang
No. 19 Tahun 1948 diatur Peradilan Negara yang terdiri dari
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha negara dan Peradilan
Militer. Peradilan Agama belum diatur, sehingga perkara yang
menyangkut penganut agama Islam diselesaikan oleh
Pengadilan Negeri yang anggotanya terdiri dari Hakim
Pengadilan Negeri sebagai Ketua dan Hakim yang beragama
Islam sebagai anggota yang ahli dalam bidang agama Islam.
berdasar undang-undang Darurat No. 1 tahun 1961
sebagai pelaksanaan Pasal 102 Undang-undang Dasar
Sementara RI, pengadilan-pengadilan disederhanakan
sehingga terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadian Tinggi
dan Mahkamah Agung. Undang-undang ini menghapus
pengadilan Kawedanan, Pengadilan Kabupaten, Pengadilan
Swapraja dan Pengadilan Adat.
Dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1964 diatur
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan
Undang-undang No. 13 Tahun 1965 diatur Susunan dan
Kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
Lingkungan Peradilan terdiri dari: Peradilan Umum, Peradi
lan Agama. Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Namun hakim perdamaian desa tetap dipertahankan.
Dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 maka
Undang-undang No. 19 Tahun 1965 diganti. Dengan Undang-
undang No. 14 Tahun 1985 Undang-undang Mahkamah
Agung No. 13 Tahun 1965 diganti. sedang Peradilan
Umum diatur oleh Undang-undang No. 2 Tahun 1986,
Peradilan Tata Usaha Negara oleh Undang-undang No. 5
Tahun 1986 dan Peradilan Agama oleh Undang-undang No.
7 Tahun 1989. Namun disamping peradilan ini masih
ada beberapa peradilan semu lainnya seperti: Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia penyelesaian
Perburuhan Pusat, dan lainnya yang ex istensi dan
kompetensinya masih sering diperdebatkan. Dalam Undang-
undang No. 5 Tahun 1996 Vide pasal 48 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Badan-badan ini di katagorikan
Banding Administrasi (Administrasi Beroep).
B. Bentuk-bentuk CDR
1. Amerika Serikat dan Australia
a. Pre-trial Conference
Di Amerika Serikat sudah terbukti keberhasilan
penyelesaian perkara melalui ’’pre-trial conference”.
Pada Federal Courts bahkan sudah diundangkan
amandemen Hukum Acara Perdata Federal (the
Federal Rules of Civil Procedure) pada tahun 1983
dimana partisipasi hakim dalam proses perdamaian
secara formal sudah dilembagakan.
Tujuan dari peraturan ini ialah untuk mendorong
hakim untuk lebih aktip dalam mem impin
perdamaian di awal proses dengan memotivasi
hakim untuk memberi waktu yang cukup untuk
mengadakan usaha- usaha perdamaian sebelum
perkara secara resmi diperiksa oleh pengadilan.
B erdasarkan keten tuan in i hakim d iberikan
kewenangan untuk memakai ’’extra-judicial
procedures to resolve the dispute”
Di Australia secara berangsur-angsur pengadi
lan negara bagian mengeluarkan peraturan tentang
“pretrial conference” ini. Di Victoria lembaga ini
diatur pada tahun 1984 untuk Coutry Courts dan
Supreme Court. Di NSW semua pengadilan sudah
memakai acara ’’pre-trial conference”.
Tujuan dari pre-trial conferences ialah untuk
membantu para pihak m elakukan negosiasi.
Seandainya kesepakatan tidak dapat dicapai, hasil
negosiasi akan dapat dipergunakan oleh hakim yang
nantinya akan memeriksa perkara itu. Setidak-
tidaknya masalah hukum dan fakta-fakta sudah dapat
diinventarisasi sebelumnya, sehingga hakim sejak
dini sudah dapat dibekali informasi yang cukup.
Tujuan dari proses ini menurut para ahli dapat
diringkaskan sebagai berikut :
1. Getting parties to talk - Membuat para pihak
berbicara
2. Checking basic fact and isolating issues con
tention - Mencek fakta dasar dan memisahkan
issu-issu sengketa.
3. Evaluating strengths and weaknesses of the re
spective cases - Mengevaluasi kekuatan &
kelemahan kasus-kasus yang diajukan.
4. Assessing risks ang quantum - Menaksir risiko
dan jumlah ganti rugi.
5. Reducing the trauma of the adversial process
for the parties - Mengurangi trauma para pihak
dalam proses adversary.
6. Educating disputants in court processes -
Mendidik orang yang bersengketa dalam proses
peradilan.
7. Ensuring plaintiffs are paid earlier - menjamin
penuntut dibayar lebih cepat.
8. Keeping costs as low as possible - Menjaga
ongkos serendah mungkin.
9. Efficient court management - Mengefisienkan
manajemen peradilan.
10. Trying to ensure that only intractable cases in
trial - Mencoba untuk menjamin bahwa hanya
kasus yang alot yang berlanjut lewat litigasi.
Medition and Conciliation in the Court
Disini pengadilan menentukan pihak ketiga
untuk melakukan “mediasi”. Pengadilan di New Sout
Wales, misalnya, menyerahkan perkara-perkara
tertentu ke “Community Justice Centers”
Di negara bagian Victoria, misalnya, mediasi
diterapkan oleh Country Court di gedung pengadilan
dengan atau tanpa persetujuan para pihak untuk
kasus perbuatan melawan hukum (personal injury
cases).
Pada Federal Court suatu program yang disebut
’’Assisted Dispute Resolution” sudah dilembagakan
pada tahun 1987 dan lalu diperluas ke
pengadilan negara bagian. Dengan lembaga ini
hakim berwenang untuk memerintahkan Registrar
untuk melakukan mediasi, atau untuk mengumpul
kan bahan-bahan untuk memperjelas permasalahan
perkara ini .
Peraturan Pengadilan (the Rules of Court)
disempurnakan pada Bulan Juni 1990 dengan
memberi kewenangan kepada hakim untuk
menentukan perkara apa saja yang dapat diselesaikan
secara mediasi. Federal Court Rules Order 10 r (2)
(g) mengatur :
"the court may order that the parties attend before
a Registrar or a Judge in confidential conference
with a view to reaching a mediated resolution o f the
proceedings or an issue therein or otherwise clari
fying the real issues in dispute so that appropriate
directions may be made for the disposi tion o f the
matter or otherwise to shorten the time taken in
preparation for and at the trial o f the action
(Pengadilan dapat memerintahkan para pihak
untuk satu musyawarah tertutup dalam rangka
menemukan jalan tengah atau untuk mengklarifikasi
pokok sengketa untuk dibuat petunjuk-petunjuk yang
layak untuk m entukan m ateri pokok atau
memperpendek waktu dan tindakan peradilan).
Di New South Wales, Commercial Division of
the Supreme Court sudah mengambil langkah untuk
menyederhanakan prosedur pengadilan untuk
mempermudah pemeriksaan perkara ekonomi
dengan mengembangkan proses sehingga penye
lesaian sengketa bisnis yang besar itu dapat
dilakukan dengan cepat.
c. Settlement Week
Settlement Week merupakan salah satu variasi
dari ’’Court-annexed mediatin’’ yang diperlakukan
untuk perkara-perkara tertentu saja. Prosedur ini
dikembangkan di Amerika Serikat terutama sekali
di pengadilan-pengadilan Washington DC sejak
beberapa tahun yang lalu, yang lalu diikuti
oleh Chicago, Indianapolis, Orange Country Cali
fornia, Milwaukee, Seattle dan Ahio.
Proses ini dilakukan untuk mengurangi ’’back log”
pengadilan dimana pada saat tertentu selama satu
minggu hakim mengenyampingkan prosedur resmi
dan melakukan mediasi dengan para pihak yang
bersengketa dalam pengaw asan pengadilan .
Keberhasilan proses ini sudah banyak dilaporkan.
Model penyelesaian ini sudah diikuti oleh New South
Wales.
d. Multidoor courthouse
Lembaga perdammaian ini diusulkan oleh Prof.
Sander dari Harvard Law School pada tahun 1976
dalam konperensi nasional tentang the Causes of
Popular Dissatisfaction with the Administration of
Justice. Ia mengusulkan sejum lah prosedure
penyelesian perkara secara damai dalam satu gedung
pengadilan. American Bar Association lalu
memelopori satu pilot project yang bernama Multi-
Door Court house (Dispute Resolution) Centers di
Washington DC, Houton dan diikuti oleh beberapa
negara bagian lainnya.
Dengan program ini para p ihak yang
bersengketa dibantu oleh “ trained counsellor “untuk
menentukan pilihan penyelesaian yang sesuai dengan
sengketanya. Sesudah ada pilihan yang cocok lalu
diteruskan ke bagian di dalam “courthouse” untuk
penyelesaian selanjutnya.
Multi-door Courthouse dimaksudkan untuk
memberi fasiitas kepada warga dengan
berbagai cara penyelesaian yang sederhana dan cepat
di tempat terhormat dan sudah dikenal para pihak,
yaitu gedung pengadilan.
e. Early neutral evolution
Proses ini diterapkan oleh beberapa pengadilan
federal. Tujuannya adalah sebagai pencari fakta dan
menemukan kekuatan dan kelemahan masing-
masing pihak.
f. Summary jury trial
Penyelesaian melibatkan jury yang biasanya
terdiri dari 5 orang dan dipimpin oleh seorang
pejabat yang netral atau oleh hakim. Dalam suasana
inform al kedua belah p ihak m enyampaikan
argumentasi kepada anggota jury. lalu jury,
sesudah mendapat penjelasan mengenai masalah
hukum dari hakim, akan memberi putusannya.
Keputusan jury tidak mengikat, dan para pihak dapat
mengajukan perkara untuk diproses oleh pengadilan
melalui prosedur biasa. Setidak-tidaknya dalam
proses itu dapat diketahui bagaimana pendapat dari
suatu badan yang netral mengenai sengketa itu.
Proses ini diterapkan di Northern Distric of Ohio
untuk perkara-perkara yang sulit untuk menentukan
pertanggungan jawab walaupun kerugian yang
diderita korban cukup besar. Juga untuk perkara
dimana terlibat “strong emotions about the case”,
dan dalam hal tidak kepastian mengenai kerugian.
g. Rent a judge
Merupakan proses yang menggabungkan “authority
of the court” dengan kenginan para pihak untuk
penyelesaian secara pribadi. Lembaga ini sudah diatur
di California dimana kepada hakim diberi wewenang
untuk menunjuk pihak ketiga untuk memimpin
penyelesaian sengketa. Biasanya yang ditunjuk ialah
hakim yang sudah pensiun. Referee ini diberi
kew ewenangan yang ham pir sama dengan
kewenangan pengadilan the private judge has the
most o f the powers o f the court.
2. Singapura
Court Dispute Resolution (CDR) pada Subordinate Court
Medition Centre ternyata sudah berhasil menyelesaikan
sebagian besar dari perkara yang masui di District Court,
Family Court dan Small Claims Tribunals dengan melalui
perdamaian yang dipimpin hakim.
CDR sudah dikembangkan oleh Subordinate Court sesuai
dengan kondisi setempat sesudah melihat dan membandingkan
pengalaman-pengalaman negara lain seperti Australia.
berdasar laporan dari para pengacara dan pihak lainnya,
banyak keuntungan yang diperoleh dari “court-annexed
mediation”, oleh karena biaya penggunana mekanisme CDR
ini jauh lebih murah dari pada ADR, terlebih lagi dari proses
litigasi biasa. Pada cara kedua para pihak harus membayar
biaya mediator yang jumlahnya sangat besar, terlebih lagi
dalam perkara-perkara besar tertentu.
Statistik Mediasi tahun 1995 dan triwulan pertama 1996
Tampaknya response publik di Singapore cukup baik
terhadap CDR ini, terbukti dengan banyaknya perkara yang
dapat diselesaikan secara perdamaian.
Hasil mediasi perkara perdata pada Subordinate Court :
Pada tahun 1995 dari 1133 kasus, 963 kasus dapat
diselesaikan (85,0 %) yang masih pending 8,30 % dan tidak
dapat diselesaikan 6,7 %. Pada triwulan pertama tahun 1996,
dari 324 kasus, 296 dapat didamaikan (91 %).
Hasil mediasi pada Family Court :
Pada tahun 1995, dari 30.107 kasus, 27.525 kasus dapat
didamaikan (91,4 %). Triwulan pertama tahun 1996 dari 8.770
kasus, 7.976 dapat didamaikan (90 %).
CDR diperluas untuk perkara pidana tertentu
CDR ini akan diperluas kepada perkara pidana dimana
pemidanaan bukan merupakan tujuan utama peradilan,
misalnya dalam perkara-perkara antar pribadi (inter-personal
relationship, friends and neighbours disputes). Perkara-perkara
ini biasanya diselesaikan melalui proses pidana biasa.
Namun dengan penyelesaian secara perdamaian melalui
pengadilan diharapkan sengketa ini dapat diselesaikan,
dan hubungan yang baik antar anggota warga dapat
dipulihkan kembali. Dengan demikian kemungkinan teijadinya
kasus yang semacam dapat dikurangi.
Komentar publik atas CDR pada Subordinate Court
Ketika pilot project baru dimulai, Harian Straits Times
tanggal 15 Agustus 1994 menulis keberhasilan CDR ini antara
lain sebagai berikut :
” Judges can initiate conference to settle all civil cases out
side the courtroom under a new scheme which will intro
duced soon in the court”.
Litigiants will also be encouraged to be involved in the proc
ess so that an amicable solution can be achieved. The aim of
the process is to provide parties with a framework for a less
costly and role to contribute in the courts’ management o f
civil disputes. The potential savings ini costs and time for
litigants are immense and the standards o f justice are not
compromised. The deputy registrar Mr. Tray Swee King noted
that, fo r example, that 53 court days were saved as a result
o f the settlement o f the 35 cases during the pilot project.
Apart from freeing the court room for other cases, litigants
also saved court fees and legal charges. Daily court fees in
the Subordinate Court range between $15 and $500. On top
o f that, lawyers can charge up to $3000 a day for their fees.
By looking at affidavit evidence and opening statemens, the
court can divert certain cases to settlement conferences. Law
Society President Low also saw settlement conferences as a
positive development for the public. He sa id: the conference
will help settle disputes more quickly and with less expense
to the public”
Komentar harian ini pada pokoknya memberi
informasi bahwa dengan diperkenalkannya CDR hakim dapat
memusyawarahkan sengketa perdata diluar sidang pengadilan
dengan putusan yang tidak memberatkan salah satu pihak.
Dengan pendekatan ini, penyelesaian perkara dapat lebih
dipersingkat. Keuntungan lain yang diperoleh ialah proses
CDR ini lebih banyak menghemat biaya perkara dan
pengacara yang harus ditanggung para pihak
Dari uraian mengenai COR di beberapa negara ini
diatas dapat disimpukan bahwa :
1. Peranan pengadilan dalam proses penyelesaian sengketa
melalui berbagai “alternative dispute resolution” yang
masih ada kaitannya dengan pengadilan cukup penting
oleh karena sudah menunjukan keberhasilannya. Court-
coonected Dispute Resolution ini dimaksudkan
untuk dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan
biaya murah.
2. Pihak lembaga legislatif di luar negeri tampaknya cukup
tanggap menghadapi persoalan yang muncul sehingga
sesudah mengadakan penelitian bersama lembaga
" ju d ik a tif, segera m engeluarkan pera tu ran atau
menyempurnakan hukum acara yang berlaku seperti
amandemen apada Federal Rules of Civil Procedure di
Amerika Serikat, dan undang-undang baru di Australia
yang memberi kewenangan pembentukan/pelaksanaan
’’court-annexed dispute resolutio”, atau dengan “rule
making of the court” peraturan pengadilan untuk
pembentukan Mediation Center yang dipimpin hakim
seperti pada Subordinate Court Singapura.
Pelaksanaan CDR yang dimulai pada tahun 1994, sudah
ditindaklanjuti dengan dilengkapi dengan instrumen yang
berupa peraturan-peraturan yang dikeluarkan, antara
lain :
- Di Pengadilan Rendah R epublik S ingapura
diterbitkan Surat Edaran Ketua No. 1 Tahun 1997
tentang Pembebasan dan Pengembalian B iaya
Sidang. Pengadilan. Bagi Pengguna Jasa Mediasi
Komersiil dikeluarkan pada tanggal 16 April 1997.
Surat Edaran Panitera Mahkamah Agung Singapura
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Perselisihan Alternatif
Penyelesaian yang dikeluarkan pada bulan Agustus
1997 dan dinyatakan berlaku sejak tanggal 2
Pebruari 1998.
sedang lembaga yang menangani CDR yang
ketika berdiri di tahun 1994 bernama Court Medition
Centre, Pengadilan Rendah, selanjutnya sejak tahun 1998
ini diganti menjadi Primary Dispute Resolution
Centre dengan diadakan perbaikan pada proses acaranya
dan perluasan jasa yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan masing-masing kasus
1. CDR (Court Connected Dispute Resolution) merupakan
perkembangan lembaga ADR (Alternative Dispute Resolu
tion) yang dikaitkan dengan peradilan, penerapannya dimanca
negara (Amerika Serikat, Australia dan Singapura) sudah
berhasil menyelesaikan perkara dengan asas, cepat, sederhana
dan biaya ringan secara signifikan.
2. Penggunaan CDR dibanyak negara, khususnya yang sudah
maju dalam bidang industri, mengalami perkembangan yang
cukup pesat dengan banyaknya ragam yang ditawarkan, dan
ternyata banyak yang diminati. Hal ini antara karena prosesnya
yang cepat dan hasilnya memuaskan para pihak. Melalui ADR
diharapkan sengketa dapat diselesaikan dengan cepat dan
biaya yang murah.
3. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak
melarang para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
sengketanya dengan lembaga ADR. Hal mana sesuai pula
dengan kebudayaan Indonesia yang berlandaskan
musyawarah.
4. Penggunaan ADR yang begitu besar akan sangat membantu
dalam mengurangi penumpukan perkara dipengadilan
sehingga. Hal ini tentunya akan mengurangi juga beban dan
biaya pengadilan dan pengadilan dapat mengadili perkara lain
yang tidak diajukan melalui ADR. Namun demikian biaya
untuk ADR cukup besar sehingga hanya golongan tertentu
saja yang akan mendapat manfaat.