Rabu, 12 Februari 2025

Published Februari 12, 2025 by

hukum kontrak 5

 



gguhnya. Hal ini sebenarnya 

harus dihindari oleh ahli hukum. Oleh sebab  itu, ahli hukum perancang kontrak 

harus memahami masalah perpajakan dan jika mungkin bekerja sama dengan 

konsultan pajak.

3. Alas Hak yang Sah

Khusus untuk perjanjian jual beli, calon pembeli harus mengetahui atau berusaha 

mencari tahu bahwa penjual memang memiliki  alas hak yang sah atas barang 

yang dijual. Dalam hal barang bergerak tidak atas nama berlaku ketentuan Pasal 

1977 KUH Perdata yang menetapkan bahwa barangsiapa menguasai barang 

bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus dibayar atas 

tunjuk, dianggap sebagai pemilik sepenuhnya. Namun demikian dalam hal ini berlaku 

asas revindikasi, yaitu bila  barang itu hilang atau hasil curian, pemilik barang 

dapat menuntut susaha  barang itu dikembalikan kepadanya. Memang dalam hal 

ini pembeli yang beriktikad baik akan tetap dilindungi, yaitu minta ganti rugi atas 

harga pembelian barang ini . Namun proses demikian tidak selalu mulus, 

lebih-lebih kalau pencurinya sudah tidak mampu lagi mengembalikan uang pem­

belian.

Dalam hal barang bergerak atas nama dan barang tidak bergerak, yang 

dianggap paling berhak yaitu  orang yang namanya tercantum dalam surat itu. 

Namun demikian, dalam hal barang bergerak atas nama maupun barang tidak 

bergerak merupakan harta bersama dalam perkawinan, perlu ada suatu counter 

sign dari suami/istri. Counter sign juga diperlukan dalam hal perjanjian jaminan.

4. Masalah Keagrariaan

Perancang perjanjian juga harus memperhatikan masalah seputar Hukum 

Agraria. Dalam banyak hal para pihak tidak memahami masalah-masalah 

keagrariaan. Oleh sebab  itu, para ahli hukum harus memberitahukan kepada 

kliennya mengenai hal ini .

5. Pilihan Hukum

Pilihan hukum, yaitu berkaitan dengan hukum manakah yang akan dipakai  

dalam pembuatan kontrak ini .

6. Penyelesaian Sengketa

Perjanjian tidak selalu dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh sebab 

itu, dalam setiap perjanjian perlu dimasukkan klausula mengenai penyelesaian 

sengketa bila  salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian atau wanprestasi. 

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai, arbitrase, atau mungkin 

melalui pengadilan. Dalam hal sengketa diselesaikan melalui pengadilan perlu 

diingat Hukum Acara Perdata Indonesia mengenai kompetensi dan yurisdiksi 

pengadilan negeri ini .

7. Berakhirnya Kontrak

Di dalam Pasal 1266 KUH Perdata ditentukan bahwa: ’’Tiap-tiap pihak 

yang akan mengakhiri kontrak harus dengan putusan pengadilan yang memiliki  

yurisdiksi atas kontrak ini .” Maksud ketentuan ini yaitu  melindungi pihak 

yang lemah.

8. Bentuk Standar Kontrak

a. Pengertian Standar Kontrak

Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah 

dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak 

oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. 

Hondius mengemukakan bahwa syarat-syarat baku yaitu 

’’Syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian 

yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan 

isinya lebih dahulu.” 

Inti dari perjanjian baku menurut Hondius yaitu  isi perjanjian itu tanpa 

dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta 

untuk menerima atau menolak isi perjanjian ini .

Mariam Darus Badrulzaman mengemukaan bahwa standar kontrak merupa­

kan perjanjian yang telah dibakukan 

Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri perjanjian 

baku yaitu  sebagai berikut.

1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) 

kuat.

2) warga  (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan 

isi perjanjian.

3) Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu.

4) Bentuk tertentu (tertulis).

5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif 

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat dari perjanjian baku yaitu  per­

janjian yang telah distandardisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan 

pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. bila  

debitur menerima isi perjanjian ini  maka ia menandatangani perjanjian

ini ,namun  bila  ia menolak maka perjanjian itu dianggap tidak ada. 

Hal ini dipicu  debitur tidak menandatangani perjanjian ini . Dalam 

praktiknya, seringkali debitur yang membutuhkan uang hanya menandatangani 

perjanjian ini  tanpa dibacakan isinya. Akan namun  isi perjanjian baru 

dipersoalkan oleh debitur pada saat debitur tidak mampu melaksanakan 

prestasinya, sebab  kreditur tidak hanya membebani debitur membayar pokok 

disertai bunga,namun  juga membebani debitur dengan membayar denda 

keterlambatan atas bunga sebesar 50% dari besarnya bunga yang dibayar 

setiap bulannya. Jadi, utang yang harus dibayar oleh debitur sangat tinggi. 

Kreditur berpendapat bahwa penerapan denda keterlambatan itu sebab  

dalam standar kontrak telah ditentukan dan diatur secara jelas dan rinci. 

Dengan demikian tidak ada alasan bagi debitur untuk menolak pemenuhan 

denda keterlambatan ini . Oleh sebab itu, debitur harus membayar 

pokok, bunga, beserta denda keterlambatannya.

b. Jenis-Jenis Standar Kontrak

Secara kuantitatif, jumlah standar kontrak yang hidup dan berkembang dalam 

warga  sangat banyak, sebab  masing-masing perusahaan atau lembaga, 

baik yang bergerak di bidang perbankan dan nonbank maupun lainnya, selalu 

menyiapkan standar baku dalam mengelola usahanya. Hal ini bertujuan untuk 

mempermudah dan mempercepat lalu lintas hukum. Hondius mengemukakan 

bahwa dewasa ini ada  syarat-syarat baku, dihampir semua bidang yang 

dibuat kontrak. Beberapa aktivitas penting dan cabang perusahaan, banyak 

perjanjian dibuat atas dasar syarat-syarat baku, seperti perjanjian kerja 

(perjanjian kerja kolektif), perbankan (syarat-syarat umum perbankan), 

pembangunan (syarat-syarat seragam administratif untuk pelaksanaan 

pekerjaan), perdagangan eceran, sektor pemberian jasa, sewa upah (erpacht), 

dagang dan perniagaan, perusahaan pelabuhan, sewa menyewa, beli sewa, 

hipotik, pemberian kredit, pertanian, urusan makelar, praktik notaris dan hukum 

lainnya, perusahaan-perusahaan umum, penyewaan urusan pers, perusahaan 

angkutan (syarat-syarat umum angkutan, syarat-syarat umum ekspedisi 

Belanda), penerbitan, urusan asuransi 

Hondius tidak mengklasifikasikan jenis-jenis standar kontrak ini , baik 

berdasar  usahanya maupun lainnya. Namun, Mariam Darus Badrulzaman 

membagi jenis perjanjian baku menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut.

1) Perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh 

pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat 

di sini ialah pihak kreditur yang lazimnya memiliki  posisi (ekonomi) 

kuat dibandingkan pihak debitur.

2) Perjanjian baku timbal balik, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan

oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang terdiri dari pihak 

majikan (kreditur) dan pihak buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya 

terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

3) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu perjanjian baku 

yang isinya ditentukan Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum 

tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang memiliki  objek hak-hak 

atas tanah. Dalam bidang agraria, lihatlah misalnya formulir-formulir 

perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri 

tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual 

beli.

4) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, yaitu 

perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk 

memenuhi permintaan dari anggota warga  yang minta bantuan notaris 

atau advokat yang bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis 

keempat ini disebut contract model.

Mariam Darus Badrulzaman tidak menyebutkan secara jelas perjanjian baku 

yang berlaku di kalangan perbankan, namun ia hanya menyebutkan bahwa 

perjanjian baku yang dibuat oleh pihak ekonomi kuat terhadap debitur yang 

kedudukan ekonominya lemah. Pihak ekonomi kuat ini, dapat ditafsirkan 

sebagai pihak pemberi kredit atau lembaga perbankan yang memberi  

kredit pada debitur. Memang di dalam lembaga perbankan syarat-syarat 

baku itu telah disiapkan oleh lembaga perbankan, sedangkan nasabah atau 

debitur tinggal menerima atau menolak isi perjanjian. bila  ia menerima 

maka ia menandatangani isi perjanjian ini . Berikut ini disajikan sebuah 

standar kontrak yang dibuat antara Bank Tabungan Negara dengan nasabah, 

dengan maksud untuk mempermudah para mahasiswa maupun kalangan 

lainnya untuk menganalisis standar kontrak ini .

PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH  

ANTARA

BANK TABUNGAN NEGARA  

dan

Salim H.S.

No: 1134/PN/DPS/89

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Bank Tabungan Negara, berkedudukan di Jakarta, Jalan Gajah Mada Nomor 

1 dalam hal ini berdasar  Undang-Undang No. 20 Tahun 1968, Lembaran 

Negara RI No. 73 Tahun 1968, Tambahan Lembaran Negara RI No. 2873 

diwakili oleh:

Dokterrandus Soenyoto, Kepala Cabang Bank Tabungan Negara di Denpasar

bertempat tinggal di Denpasar, dalam hal ini bertindak berdasar  Surat 

Keputusan Direksi Bank Tabungan Negara No. 441 tanggal 25 Januari

1988 selaku kuasa Direksi dari ....................................................................

dan dengan demikian sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang No. 20 

Tahun 1968, Lembaran Negara RI No. 2873 bertindak untuk dan atas 

nama Bank Tabungan Negara selanjutnya disebut Bank:

II. Nyonya Mardiana, Kuasa dari Salim H.S., S.H. No. 09 tanggal 15 November

1988 karyawan dari SDN No. IV Karang Pule Ampenan bertempat tinggal 

di Jalan Towuti 1 No. 6, Perumnas Mataram dalam hal ini bertindak untuk 

dirinya sendiri, selanjutnya disebut Debitur pada hari ini tanggal 06 Februari

1989 bertempat di Mataram telah setuju untuk dan dengan ini pula Bank 

memberi pinjaman uang kepada Debitur yang dengan ini mengaku berutang 

kepada Bank sebab  uang yang dipinjamnya dari Bank ini , yaitu sampai 

jumlah maksimum sebesar Rp2.570.000,00 ( dua juta lima ratus tujuh puluh 

ribu rupiah).

Perjanjian ini selanjutnya disebut Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, dan 

dibuat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

Pasal 1

Jumlah Kredit dan pemakaian nya

Dengan penandatanganan perjanjian ini debitur mengaku telah menarik dan 

jumlah kredit maksimal sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) 

dan dengan demikian sejak penandatanganan perjanjian kredit ini yang merupakan 

tartggal penarikan kredit-debitur wajib untuk memenuhi kewajiban-kewajiban 

atas kreditnya sesuai dengan perjanjian ini.

Jumlah kredit ini  pada ayat (1) perjanjian ini bahwa diberikan oleh 

Bank kepada Debitur dan hanya dipakai  oleh Debitur untuk membeli sebuah 

rumah, berikut tanahnya guna dimiliki dan dihuni sendiri oleh Debitur dari

Proyek Perumahan : Perum Perumnas Mataram.--------------------------------

Lokasi : Perumnas Batu Dawa Mataram.-------------------------

Developer : Perum Perumnas Unit Mataram.-------------------------

(1) Untuk pembayaran lunas harga rumah berikut tanahnya ini  pada ayat

(2) pasal ini dengan penandatanganan perjanjian ini Debitur sekaligus memberi 

kuasa kepada bank untuk dan atas nama Debitur membayarkan pada saat 

yang dianggap baik oleh Bank jumlah uang yang diperoleh dari kredit ini  

pada ayat (1) pasal ini kepada Perum Perumnas Unit Mataram.

(2) Sesuai dengan ayat (1) pasal ini, perjanjian ini efektif berlaku sejak ditanda­

tangani oleh Bank dan Debitur, sehingga tanggal pembayaran oleh bank 

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini tidak memiliki  pengaruh 

apa pun atas hak dan kewajiban pihak Debitur dalam perjanjian ini.

Pasal 2

Suku Bunga dan Provisi Bank

(1) Terhadap kredit ini, debitur dikenakan bunga sebesar 12% setahun yang 

diperhitungkan sejak hari berikut dari tanggal penarikan kredit sampai dengan 

dilunasinya seluruh jumlah utang.

(2) Kecuali bunga tahun pertama yang diperhitungkan atas dasar jumlah kredit 

yang ditarik, bunga tahun-tahun selanjutnya diperhitungkan atas dasar sisa 

utang (yang terdiri dari pokok kredit dan pembebanan bunga biaya-biaya 

tertunggak) pada tanggal 31 Desember tahun yang mendahului.

(3) Setiap saat Bank berhak untuk merubah tarip suku bunga kredit ini untuk 

disesuaikan dengan kebijaksanaan Pemerintah c.q. Bank Indonesia; setiap 

perubahan suku bunga berlaku efektif paling cepat tiga puluh hari kalender 

sesudah  tanggal surat pemberitahuan Bank untuk itu.

(4) Debitur dikenakan Provisi Bank sebesar Rp 22.380,00 (dua puluh dua ribu 

tiga ratus delapan puluh rupiah) yaitu 5% dari harga rumah berikut tanah 

ini  pada ayat (2) Pasal 1 perjanjian ini, yang harus telah dilunasi pada 

saat penandatanganan perjanjian ini.

Pasal 3

Jaminan dan Cara Pengikatannya

(1) Untuk menjamin lebih jauh pembayaran kembali segala sesuatu yang atas 

ketentuan Perjanjian ini atau sebab  apa pun juga harus dibayar Debitur 

kepada Bank, baik sebab  pokok kredit, bunga dan biaya-biaya lainnya 

maka Debitur memberi  jaminan kebendaan (harta) antara lain rumah 

dan tanah yang akan disebut dalam akta tersendiri baik secara notariil 

maupun di bawah tangan, semata-mata menurut pertimbangan dan ketentuan 

Bank, sedang akta pemberian jaminan ini  merupakan bagian yang 

tidak dapat dipisahkan dari Perjanjian Kredit ini.

(2) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan dirinya untuk 

menyerahkan semua surat dan dokumen apa pun, yang asli serta sah dan 

membuktikan pemilikan atas segala harta yang dijadikan jaminan termaksud 

dalam ayat (1) pasal ini, kepada Bank dipergunakan untuk pelaksanaan 

pengikatan harta ini  sebagai jaminan kredit dan selanjutnya dikuasai 

oleh Bank sampai dilunasi seluruh jumlah utangnya.

(3) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk memberi  

bantuan sepenuhnya guna memungkinkan Bank melaksanakan pengikatan 

barang jaminan kredit menurut cara dan pada saat yang dianggap baik oleh 

Bank.

(4) Debitur menyetujui dan mewajibkan diri serta mengikatkan diri, dan dengan 

penandatanganan Perjanjian ini sekaligus memberi kuasa kepada Bank yang

tidak dapat ditarik kembali sebelum seluruh utangnya kepada Bank dilunasi, 

untuk dan atas nama Debitur menutup pertanggungan asuransi kebakaran 

dan risiko kebendaan lainnya atas barang jaminan kredit ini, pada perusahaan 

asuransi maupun serta dengan ketentuan, nilai pertanggungan, jangka waktu 

pertanggungan dan klausula yang dianggap baik oleh Bank.

(5) Seluruh biaya yang diperlakukan dalam pengikatan barang jaminan dan 

pertanggungan asuransinya, termasuk di dalamnya biaya-biaya notaris PPAT 

(Pejabat Pembuat Akta Tanah) pungutan-pungutan pemerintah seperti bea 

meterai dan bila  perlu bea pendaftaran/pencatatan di Kantor Agraria 

dan lain sebagainya serta biaya premi asuransi menjadi tanggungan Debitur 

dalam hal Bank telah membayarkannya terlebih dahulu, seketika sesudah  

menerima penagihan pertama dari Bank, Debitur harus langsung dengan 

sekaligus lunas membayarkannya kembali kepada Bank.

Pasal 4

Jaminan Tambahan

bila  Bank berpendapat bahwa dari segala sesuatu yang ini  pada

ayat (1) Pasal 3 Perjanjian ini tidak lagi mencukupi untuk dijadikan jaminan kredit.

Maka Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk atas

permintaan pertama dari Bank:

a. membayar kepada Bank beberapa  uang menurut ketetapan Bank, atau

b. menambah barang-barang/benda-benda tertentu lainnya yang ditetapkan oleh 

Bank untuk dijadikan jaminan tambahan menurut ketetapan Bank.

Pasal 5

Penghunian Rumah

(1) Debitur wajib dan berhak untuk segera sesudah  menandatangani perjanjian 

ini, untuk menempati rumah yang dibeli dengan serta dijadikan jaminan bagi 

kredit ini, sepanjang dan selama debitur memenuhi dengan baik semua 

kewajiban-kewajiban berdasar  perjanjian ini.

(2) Dengan menempati rumah ini  debitur menurut hukum dianggap telah 

mengetahui serta menerima sepenuhnya keadaan sebagaimana yang

diterimanya dari Perum Perumnas Mataram ..........................................

sehingga bila  di kemudian hari ternyata ada cacat ataupun kekurangan 

apa pun juga termasuk di dalamnya cacat tersembunyi, kiranya yang demikian 

itu ternyata ada pada rumah ini  maka hal itu semata-mata menjadi 

tanggung jawab debitur sendiri dan Bank tidak dapat dikaitkan/dipertanggung- 

jawabkan dengan cara atau dalih apa pun juga atasnya.

(3) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk:

a. menempati rumah ini  secara layak;

b. memelihara dengan baik atas biaya sendiri;

c. memperbaiki atas beban sendiri segala kerusakan yang terjadi atas rumah 

ini ;

d. membayar Ireda/Ipeda maupun pungutan-pungutan lain dari yang 

berwajib yang lazim dikenakan terhadap pemilik/penghuni rumah secara 

tepat dan teratur.

(4) Debitur tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dan Bank dilarang untuk:

a. merubah bentuk atau konstruksi rumah ini ;

b. membebani harta ini  dengan hipotik, atau dengan sesuatu jenis 

pemberian lain apa pun juga untuk keuntungan sesuatu pihak kecuali 

Bank menyewakan atau mengizinkan penempatan atau pemakaian  

maupun menguasakan harta ini  kepada pihak lain;

c. menyerahkan harta ini  kepada pihak lain;

d. menjamin penerimaan uang sewa atas harta ini ;

e. menerima setiap uang muka, sewa, atau sesuatu pembayaran lainnya 

atau pembayaran kompensasi di muka terhadap sewa menyewa 

penempatan, penjualan, atau sesuatu bentuk penguasaan lainnya atas 

harta ini  dari pihak lain.

Pasal 6

Pembayaran Kembali dan Jangka Waktu Kredit

(1) Pembayaran kembali kredit dilakukan secara angsuran bulanan, yang terdiri 

dari angsuran pokok kredit dan bunganya, dengan cara perhitungan anuitas.

(2) berdasar  cara perhitungan anuitas dan sepanjang tingkat suku bunga 

yaitu  sama seperti yang telah ditetapkan pada ayat (1) Pasal 2 perjanjian 

ini maka jumlah angsuran bulanan yang wajib dibayar oleh Debitur kepada 

Bank yaitu  Rp28.680,00 (dua puluh delapan ribu enam ratus delapan puluh 

rupiah) setiap bulannya.

(3) Perubahan jumlah angsuran bulanan yang dipicu  oleh perubahan suku 

bunga, akan diberitahukan secara tertulis oleh Bank; Debitur setuju, mewajibkan 

dan mengikatkan diri untuk menaati dan melaksanakan perubahan angsuran 

bulanan sebagaimana ditetapkan oleh Bank.

(4) Angsuran bulanan ini  pada ayat (2) atau ayat (3) pasal ini harus telah 

diterima oleh Bank pada atau sebelum tanggal 5 setiap bulan menurut cara 

pembayaran dan dibayar pada kantor yang ditentukan Bank.

(5) Pembayaran angsuran bulanan pertama yang merupakan salah satu 

komponen uang muka telah dilakukan pada bulan Februari 1989 dan angsuran 

selanjutnya dibayar berturut-turut setiap bulan sejak bulan ini  selama 

jangka waktu 20 tahun.

Pasal 7

Kuasa Penerimaan Gaji dan Surat Tagihan

(1) Sepanjang mengenai kewajiban-kewajiban pembayaran debitur kepada Bank 

yang timbul dari perjanjian ini, debitur menyetujui dan dengan penandatanganan 

perjanjian ini, sekaligus memberi kuasa kepada Bank untuk selama jumlah 

utang debitur belum dibayar lunas kepada Bank, selanjutnya meminta dan 

menerima bagian gaji dan penerimaan lainnya yang menjadi hak debitur dari 

pejabat yang berwenang membayarkan gaji dan penerimaan lainnya dari Instansi/ 

Kantor ini , untuk pertama-tama dipergunakan untuk membayar/melunasi 

utang debitur kepada Bank, mendahului kewajiban debitur kepada pihak lain.

(2) Pemberian kuasa ini  pada ayat (1) pasal ini sama sekali tidak mengurangi 

pertanggungjawaban pribadi debitur atas kewajiban-kewajiban pembayaran 

kepada Bank yang timbul dari perjanjian ini, sehingga bagaimanapun Bank 

berhak untuk bila  menganggap perlu melakukan penagihan langsung kepada 

debitur atas kewajiban-kewajiban pembayaran ini .

(3) Bank tidak diwajibkan untuk mengirimkan surat-surat tagihan kepada debitur, 

sehingga dengan atau tanpa adanya surat tagihan, debitur harus tetap memenuhi 

pembayaran-pembayaran angsuran setiap bulannya sebagaimana yang di­

tentukan di dalhm ayat (2) dan ayat (3) Pasal 6 perjanjian ini.

Pasal 8

Pelunasan Kembali Sebelum Berakhirnya Jangka Waktu

(1) Menyimpang dari ketentuan jangka waktu sebagaimana disetujui pada ayat

(3) Pasal 6 perjanjian ini Debitur dapat melunasi utangnya sebelum akhir 

jangka waktu ini  yang akan berlaku dua bulan kalender sesudah  Bank 

menerima pemberitahuan dari Debitur mengenai maksudnya ini  ataupun 

dalam hal Debitur tidak akan memberitahukannya terlebih dahulu, pembayaran 

demikian itu baru berlaku dua bulan kalender sesudah  tanggal pembayaran, 

ataupun sesudah  Debitur membayar di muka bunga ekstra sekaligus dua bulan.

(2) Untuk mengurangi jumlah utangnya , Debitur dapat, untuk di samping membayar 

angsuran bulanannya sebagaimana ditentukan dalam ayat (2) Pasal 6 perjanjian 

ini, juga melakukan pembayaran di muka angsuran pokok dengan syarat 

bahwa angsuran demikian itu jumlahnya setiap saat tidak kurang dari 

Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) dalam kelipatan bulat dan berlaku sejak 

dua bulan sesudah  bank menerima pemberitahuan dari Debitur mengenai 

maksudnya, ataupun dalam hal Debitur tidak memberitahukan terlebih dahulu, 

pembayaran demikian itu baru berlaku sejak dua bulan kalender sesudah  tanggal 

pembayaran; angsuran pokok demikian itu tidak akan merubah besarnya 

jumlah angsuran bulanannamun  akan mengurangi jangka waktu kredit yang 

bersangkutan.

iPasal 9

Pengawasan dan Pemeriksaan Barang Jaminan

(1) Selama Debitur belum melunasi seluruh utangnya yang timbul dalam Peijanjian 

ini maka Bank berhak setiap saat yang dianggap layak oleh Bank, melakukan 

pemeriksaan dan meminta keterangan setempat yang diperlukan.

(2) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk memberi  

keterangan secara benar atas berbagai pertanyaan pihak Bank 

dalam rangka pengawasan dan pemeriksaan barang jaminan ini.

Pasal 10

Penagihan Seketika Seluruh Utang

\

(1) Tanpa memperhatikan ketentuan mengenai angsuran bulanan dan jangka 

waktu kredit ini, Bank berhak dan dapat untuk seketika menagih pelunasan 

sekaligus atas seluruh sisa utang Debitur kepada Bank yang timbul dari 

perjanjian ini, dan Debitur wajib membayarnya dengan seketika dan sekaligus 

lunas untuk seluruh sisa utang yang ditagih oleh Bank, dalam hal terjadi 

salah satu atau beberapa keadaan di bawah ini.

a. Debitur cedera janji, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11 

perjanjian ini.

b. Debitur tidak mungkin lagi atau tidak memiliki  dasar hukum untuk 

memenuhi sesuatu ketentuan atau kewajiban berdasar  Perjanjian 

Kredit antara lain: meninggal dunia, diberhentikan dari kantor/instansi 

yang bersangkutan, dijatuhi hukuman pidana, mendapat cacat badan 

sehingga oleh sebab nya belum/tidak dapat dipekerjakan lagi, dipindahkan 

ke kota/daerah lain atau ke luar negeri.

c. Perusahaan tempat Debitur bekerja telah dinyatakan pailit atau tidak 

mampu membayar atau telah dikeluarkan perintah oleh pejabat yang 

berwenang untuk menunjuk wali atau kurator Debitur.

d. Debitur membuat atau memicu  atau menyetujui dilakukan atau 

membiarkan dilakukan sesuatu tindakan yang membahayakan atau dapat 

membahayakan, mengurangi atau meniadakan jaminan yang diberikan 

untuk utang.

e. Harta-harta Debitur yang diberikan sebagai jaminan telah musnah.

f. Setiap keterangan yang diberikan, hal-hal yang disampaikan atau jaminan 

yang dibuat Debitur kepada Bank terbukti palsu atau menyesatkan 

dalam segala segi atau Debitur lalai atau gagal untuk memberi  

keterangan yang bermakna atau sesungguhnya kepada Bank.

g. Debitur gagal dalam memenuhi atau Debitur bertindak bertentangan 

dengan sesuatu peraturan pemerintah atau daerah, undang-undang atau 

peraturan-peraturan yang memiliki  akibat penting terhadap atau 

mempengaruhi hubungan kerjanya dengan Kantor tempat bekerja.

h. Setiap sebab atau kejadian lainnya yang telah terjadi atau mungkin 

akan terjadi sehingga menjadi layak bagi Bank untuk melakukan 

penagihan-penagihan seketika mengenai seluruh (sisa) utang guna 

melindung kepentingan-kepentingannya, satu dan lainnya semata-mata 

menurut penetapan/pertimbarigan Bank.

(2) bila  sesudah  mendapat peringatan dari Bank, Debitur tidak dapat melunasi 

seluruh sisa kewajiban pembayarannya yang seketika ditagih oleh Bank sebab  

terjadinya hal-hal yang disebutkan di dalam ayat (1) pasal ini maka Bank 

berhak memerintahkan kepada Debitur untuk mengosongkan rumah berikut 

tanahnya yang telah dijaminkan oleh Debitur kepada Bank dalam perjanjian 

ini, dan Debitur mengikatkan untuk melaksanakan pengosongan rumah dan 

tanah termaksud, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari dihitung 

mulai tanggal perintah Bank itu, tanpa syarat dan ganti rugi apa pun.

(3) bila  Debitur ternyata tidak mengosongkan rumah dalam jangka waktu 

yang ditentukan dalam ayat (2) pasal ini, maka Bank berhak untuk meminta 

bantuan pihak yang berwenang guna mengeluarkan Debitur dan mengosongkan 

rumah ini .

(4) Debitur dengan ini menyatakan melepaskan haknya untuk meminta bantuan 

dari Instansi mana pun mengenai pengosongan rumah ini , bila  haknya 

untuk itu memang ada.

Pasal 11

Debitur Cedera Janji

Bank dapat menetapkan telah tejadinya cedera janji pihak Debitur dalam hal

berikut ini.

a. Debitur tidak membayar angsuran bulanannya ataupun jumlah angsuran 

bulanan yang dibayarinya kurang dari jumlah yang ditetapkan dalam ayat (2) 

Pasal 6 Perjanjian ini dan atau tidak melunasi kewajiban angsuran bulanannya 

menurut batas tanggal yang ditetapkan dalam ayat (3) Pasal 6 perjanjian ini 

sehingga untuk itu debitur telah mendapat Surat Peringatan tiga kali ber­

turut-turut dari Bank.

b. Debitur melakukan berbagai penunggakan atas kewajiban angsuran bulanannya 

sebagaimana ditentukan dalam ayat (4) pasal 6 perjanjian ini selama dua kali 

baik berturut-turut maupun tidak dalam satu tahun takwim, sehingga untuk itu 

Debitur telah mendapat peringatan terakhir dari Bank.

c. Debitur tidak memenuhi dengan baik kewajibannya sebagaimana ditentukan 

dalam ayat (2), (3), (4), dan (5) Pasal 3 serta ayat (3) Pasal 5 perjanjian ini.

d. Debitur melanggar ketentuan-ketentuan pada ayat (4) Pasal 5 perjanjian ini.

e. Debitur tidak memenuhi dengan baik kewajiban-kewajibannya atau melanggar 

ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian ini, satu dan lain semata-mata menurut 

penetapan/pertimbangan Bank.

Pasal 12

Pelaksanaan (Eksekusi) Barang Jaminan

(1) bila  berdasar  Pasal 10 perjanjian ini Bank memakai  haknya untuk 

menagih pelunasan sekaligus atas utang Debitur, dan Debitur tidak dapat 

memenuhi kewajiban membayar pelunasan ini  walaupun telah mendapat 

peringatan dari Bank, maka Bank berhak untuk setiap saat melaksanakan 

eksekusinya atas jaminan yang dipegangnya, menurut cara dan dengan harga 

yang dianggap baik oleh Bank dalam batas-batas yang diberikan oleh undang- 

undang serta peraturan hukum lainnya.

(2) Hasil eksekusi dan atau penjualan barang jaminan ini  dalam ayat (1) 

pasal ini pertama-tama akan dipakai  untuk melunasi sisa utang Debitur 

kepada Bank. Termasuk semua biaya yang telah dikeluarkan Bank guna 

melaksanakan eksekusi barang jaminan, dan bila  masih ada sisanya jumlah 

sisa ini  akan dibayarkan kembali kepada debitur.

(3) bila  dari hasil penjualan atau eksekusi barang jaminan kredit sebagaimana 

ini  pada ayat (2) pasal ini jumlahnya belum mencukupi untuk melunasi 

seluruh utang Debitur kepada Bank maka sesuai dengan ketentuan/peraturan 

yang berlaku Bank berhak untuk mengambil pelunasan atas sisa utang ini  

dari penjualan barang-barang lain milik Debitur, yang ditunjuk oleh Debitur 

sebagai jaminan tambahan atas kredit ini.

Pasal 13

Timbul dan Berakhirnya Hak-Hak dan Kewajiban

(1) Perjanjian Kredit ini berlaku efektif dan mengikat kedua belah pihak sesudah  

ditandatangani oleh Bank dan Debitur.

(2) Dalam hal Debitur telah melunasi seluruh utangnya dan untuk itu telah 

menerima pernyataan lunas dari Bank maka Bank untuk menghapuskan/ 

menghentikan pengikatan barang jaminan dan/atau meroya hipotik atas barang- 

barang ini  pada Pasal 3 dan Pasal 4 perjanjian ini.

(3) Selanjutnya Bank wajib menyerahkan kembali kepada Debitur semua surat- 

surat dan dokumen-dokumen mengenai rumah berikut tanahnya, serta surat-

surat bukti lainnya yang disimpan/dikuasai Bank.

(4) Seluruh biaya yang diperlukan untuk penghapusan hipotik dan/atau pelepasan 

pengikatan barang jaminan lainnya ini  pada ayat (2) pasal ini, bila  

ada, dibebankan kepada Debitur.

Pasal 14

Penyerahan Piutang kepada Pihak Lain

Debitur menyetujui dan memberi  hak sepenuhnya kepada Bank untuk

menyerahkan (mencessikan) piutang dan/atau tagihan Bank kepada Debitur berikut

semua janji ciccesoimya hak-hak jaminan atas kredit ini, kepada pihak lain yang

ditetapkan oleh Bank sendiri, setiap saat diperlukan oleh Bank.

Pasal 15

Alamat Para Pihak

(1) Seluruh pembayaran utang atau setiap bagian dari utang Debitur dan surat- 

menyurat harus dilakukan/dialamatkan pada Kantor Bank yang telah ditentukan; 

jam-jam kerja dan kantor yang bersangkutan.

(2) Semua surat-menyurat dan pernyataan-pernyataan tertulis yang timbul dari 

dan berakar pada Perjanjian Kredit ini dianggap telah diserahkan dan diterima 

bila  dikirimkan kepada:

-  Pihak Bank dengan Alamat : Jalan Surapati No. 13, Denpasar.

-  Pihak Debitur dengan Alamat : Fakultas Hukum, Universitas Mataram.

(3) Kedua belah pihak masing-masing akan memberitahukan secara tertulis 

pada kesempatan pertama secepatnya setiap terjadi perubahan alamat, 

Debitur pindah/tidak lagi menghuni rumah yang bersangkutan dan sebagainya.

Pasal 16

Kuasa yang Tidak Dapat Ditarik Kembali

Semua kuasa juga yang dibuat dan diberikan oleh Debitur dalam perjanjian 

ini merupakan kuasa mutlak yang tak terpisahkan dari perjanjian ini dan tidak 

dapat ditarik kembali sebab  sebab-sebab apa pun, juga yang dapat mengakhiri 

kuasa terutama yang dimaksud dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum 

Perdata, dan debitur mengikatkan serta mewajibkan diri untuk tidak membuat 

surat-surat kuasa dan/atau janji-janji yang sifat dan atau isinya serupa kepada 

pihak lain, selain kepada Bank.

Pasal 17

Hukum yang Berlaku

Atas perjanjian ini, baik mengenai pelaksanaannya maupun mengenai 

penafsirannya berlaku hukum perdata sebagaimana termaktub dalam Kitab 

Undang-Undang Hukum Perdata untuk Indonesia.

Pasal 18 

Lain-Lain

Hak dan Kewajiban yang timbul dan berakar pada Perjanjian ini diatur

dengan ketentuan dan prosedur kerja yang berlaku pada Bank; semua 

pemberitahuan tertulis dari Bank dan semua surat-menyurat antara Bank dan 

Debitur dalam pelaksanaan perjanjan ini mengikat dan harus ditaati oleh Debitur.

Pasal 19 

Domisili

t

Tentang Perjanjian ini dan segala akibatnya kedua belah pihak memilih tempat

tinggal hukum (domisili) pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri .... Mataram ....

Pihak Bank 

ttd.

Drs. Soenyoto

Mataram, 06 Februari 1989 

Pihak Debitur 

ttd.

Nyonya Mardiana

Nomor: 16/A/Net/1989

Pada hari ini, hari Senin, tanggal enam Februari seribu sembilan ratus delapan 

puluh sembilan, telah menghadap di muka saya, Abdurrahim, Sarjana Hukum, 

Wakil Notaris Sementara di Mataram, menerangkan bahwa Perjanjian Kredit 

Pemilikan Tanah ini  di depan, telah dibacakan dan dijelaskan hingga dimengerti 

maksud dan tujuannya kepada para penghadap Drs. Soenyoto dan Nyonya 

Mardiana, dan selanjutnya mereka menyatakan setuju dan sah di hadapan saya, 

lalu ditandatangani oleh para penghadap dan saya, Wakil Notaris Sementara ini .

bila  diperhatikan standar kontrak ini , ternyata bahwa standar kontrak 

ini  telah ditentukan secara sepihak oleh Bank Tabungan Negara (BTN), 

tetapi di dalam kontrak itu ada beberapa hal yang masih kosong, seperti nama 

nasabah, jumlah kredit yang akan diterimanya, pemakaian  kredit, besarnya 

bunga, provisi bank, besarnya angsuran yang harus disetor nasabah setiap 

bulannya, alamat para pihak, dan tempat tinggal (domisili) nasabah. Sedangkan 

yang telah ditentukan secara baku oleh Bank Tabungan Negara, seperti:

a. jaminan dan cara pengikatannya,

b. jaminan tambahan,

c . penghuni rumah,

d. kuasa menerima gaji dan surat tagihan,

e. pelunasan kembali sebelum berakhirnya jangka waktu,

f. pengawasan dan pemeriksaan barang jaminan,

g. penagihan seketika seluruh utang,

h. debitur cedera janji,

i. pelaksanaan (eksekusi) barang jaminan,

j. timbul dan berakhirnya hak-hak dan kewajiban,

k. penyerahan piutang kepada pihak lain,

l. kuasa yang tidak dapat ditarik kembali,

m. hukum yang berlaku, dan

n. lain-lain. Hal ini berisi tentang hak dan kewajiban yang timbul dan 

berakar pada perjanjian ini diatur dalam ketentuan dan prosedur kerja

. yang berlaku pada bank dan semua pemberitahuan tertulis dari bank

Wakil Notaris Sementara

Abdurrahim, S.H.

dan semua surat-menyurat antara bank dan debitur dalam pelaksanaan 

perjanjian ini mengikat dan harus ditaati oleh debitur.

Dari 19 pasal yang tercantum dalam kontrak standar antara Bank Tabungan 

Negara dengan nasabah maka pasal yang sangat memberatkan nasabah 

yaitu  Pasal 6 ayat (3). Pasal 6 ayat (3) perjanjian kredit pemilikan rumah 

antara Bank Tabungan Negara dengan nasabah berbunyi:

’’Perubahan jumlah angsuran bulanan yang dipicu  oleh perubahan suku 

bunga, akan diberitahukan secara tertulis oleh Bank, debitur setuju, mewajibkan 

dan mengikatkan diri dan menaati dan melaksanakan perubahan angsuran 

bulanan, sebagaimana yang ditetapkan Bank.”

Sejak terjadinya krisis multidemensi pada tahun 1997 yang lalu, ketentuan 

ini dijadikan instrumen oleh Bank untuk menaikkan suku bunga kredit yang 

diterima oleh nasabah. Pada mulanya nasabah hanya dibebankan bunga se­

besar 14%/tahun, namun sejak terjadinya krisis multidimensi maka suku bunga 

yang diberlakukan bagi nasabah antara 16-18%/tahun. Dengan demikian 

sehingga angsuran rumah yang akan dibayar oleh nasabah sangat tinggi. Ini 

berarti bahwa nasabah tinggal menerima apa yang dinyatakan oleh Bank, 

walaupun mereka menerimanya dengan sangat terpaksa.

Begitu juga dengan denda keterlambatan pembayaran angsuran. Nasabah 

yang terlambat membayar angsuran setiap bulannya dikenakan denda keter­

lambatan sebesar 50% dari tarif bunga per bulan (Pasal 2 ayat (3) Surat 

Pengakuan Utang BRI). bila  nasabah membayar pokok setiap bulannya 

sebesar Rp500.000,00/bulan dan bunga sebesar Rp200.000,00/bulan maka 

total pembayaran pokok+bunga sebanyak Rp700.000,00/bulan. bila  terlambat 

1 (satu) bulan maka nasabah membayar pokok+bunga+denda keterlambatan 

sebesar 50% dari tarif bunga, sehingga total pembayaran utang nasabah 

sebesar Rp800.000,00/setiap keter-lambatan.

d. Kekuatan Mengikat Perjanjian Baku (Standar)

Perjanjian yang dibuat antara Bank Tabungan Negara dengan nasabah, 

ternyata ada beberapa pasal yang merugikan nasabah, seperti perubahan 

suku bunga yang diberlakukan kepada nasabah. Persoalannya kini, apakah 

dengan adanya berbagai klausula-klausula ini , perjanjian itu memiliki  

kekuatan mengikat. Dalam perpustakaan hukum telah dicoba untuk membuat 

dasar ikatan dengan syarat-syarat baku. Pertama-tama ada ajaran 

penaklukan kemauan (wilsonderwerping) dari Zeylemaker. Ia berpendapat 

bahwa:

’’Orang mau, sebab  orang merasa takluk kepada satu pengaturan yang 

aman, disusun secara ahli dan tidak sepihak, atau sebab  orang tidak dapat 

berbuat lain dibandingkan  takluk,namun  orang mau dan orang tahu bahwa orang 

mau.” 

Stein tidak sependapat dengan cara berpikir ini. Pihak peserta lain sama 

sekali tidak mau takluk kepada syarat-syarat yang tidak menguntungkan dia, 

melainkan kepada klausula yang pantas. Selanjutnya Stein mengatakan bahwa 

kebutuhan praktis dari lalu lintas hukum memaksa satu kesimpulan bahwa 

pihak lain terikat pada semua syarat-syarat, tanpa mempertimbangkan apakah 

ia mengetahui syarat-syarat itu 

Hondius berpendapat bahwa dua konstruksi itu tidak meyakinkan. Pendapat 

Zeylemaker memang dapat dipakai sebagai dasar pengikatan,namun  hanya 

dengan syarat bahwa hal itu dilengkapi dengan alasan kepercayaan. Hal ini 

mengandung arti penandatanganan hanya ada nilai dalam kerangka pem­

bicaraan: penandatanganan tidak hanya mengikat kalau ia mau, juga jika ia 

sepanjang telah menciptakan kepercayaan pada pihak peserta lain dengan 

cara dapat diperhitungkan, bahwa ia mau terikat 

Pandangan lain berpendapat bahwa perjanjian baku bukan merupakan 

perjanjian sebab  bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Pendapat 

ini diwakili oleh Sluijter dan Mariam Darus Badrulzaman. Sluijter mengatakan 

bahwa:

’’Perjanjian baku, bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam 

perjanjian itu yaitu  seperti pembentuk undang-undang swasta (legio 

particuliere wet-gever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam 

perjanjian itu yaitu  undang-undang dan bukan perjanjian.” 

Pandangan ini melihat perjanjian baku dari aspek pembuatan substansi 

kontrak. Substansi kontrak itu dibuat oleh pengusaha secara sepihak. Sluijter 

berpendapat substansi kontrak itu bukan kontrak,namun  undang-undang swasta 

yang diberlakukan bagi debitur. Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman 

berpendapat bahwa:

’’Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberi  

kesempatan pada debitur mengadakan real bargaining dengan pengusaha 

(kreditur). Debitur tidak memiliki  kekuatan untuk mengutarakan kehendak 

dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Oleh sebab  itu, perjanjian 

baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki Pasal 1320 KUH Perdata jo. 

Pasal 1338 KUH Perdata.” 

Pandangan Mariam Darus Badrulzaman juga mengkaji dari aspek kebebasan 

para pihak. Di sini pihak debitur tidak memiliki  kekuatan tawar-menawar 

dalam menentukan isi kontrak dengan pihak kreditur. Pihak kreditur tinggal 

menyodorkan isi kontrak ini  kepada debitur dan debitur tinggal menyetujui 

”ya” atau ’’tidak”. bila  debitur menyetujui substansinya maka ia me­

nandatangani kontrak ini ,namun  bila  substansi itu tidak disetujui, maka

ia tidak menandatangani kontrak ini . Dengan demikian, kebebasan 

berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata tidak memiliki  

arti bagi debitur, sebab  hak-hak debitur dibatasi oleh kreditur.

Dari kedua pandangan ini , penulis menyetujui pandangan yang dikemu- 

kakan oleh Stein dan Hondius yang menitikberatkan kekuatan mengikat 

perjanjian baku sebab  kebiasaan yang berlaku dalam warga . Pada 

dasarnya, warga  menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis. Artinya 

dengan menandatangani formulir, ia akan segera mendapatkan sesuatu yang 

diinginkannya, tanpa memerlukan waktu dan pikiran yang lama. Misalnya, 

bila  ia membutuhkan kredit bank begitu ia menandatangani perjanjian 

kredit maka perjanjian sudah terjadi. Dengan telah ditandatanganinya standar 

kontrak ini , timbullah hak dan kewajiban para pihak. Hak dari penerima 

kredit yaitu  menerima uang, dan kewajibannya membayar pokok dan 

bunga sesuai yang disepakatinya dalam formulir perjanjian kredit.

Di samping hal di atas, dalam pembuatan kontrak juga ada pembatasannya. 

Pembatasannya, yaitu sebagai berikut.

1. Pembatasan atau persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh hukum dan 

badan-badan Pemerintah. Ketentuan-ketentuan administratif dari instansi 

tertentu, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang 

Penanaman Modal Asing. Setiap perjanjian/kontrak yang dibuat oleh 

perusahaan penanaman modal asing mengenai asetnya, saham dan tenaga 

kerja harus memperoleh persetujuan dari Badan Penanaman Modal (BKPM). 

sebab  itu momentum berlakunya kontrak ini  baru berlaku dan mengikat 

sejak memperoleh persetujuan dari BKPM.

2. Pembatasan dalam penjualan benda tak bergerak.

Seperti kita tahu bahwa tidak setiap orang atau badan hukum diperkenankan 

untuk memperoleh hak milik terhadap benda tak bergerak, khususnya tanah.- 

sebab  di dalam UUPA telah ditentukan bahwa yang berhak memiliki hak 

milik yaitu  warga negara Indonesia, sedangkan orang asing tidak diper­

kenankan untuk mendapatkan hak milik. Sedangkan kepada WNA hanya 

diberikan hak untuk memperoleh HGB, HGU, dan hak pakai. Oleh sebab  

itu, setiap notaris yang akan membuatkan kontrak tentang jual beli benda 

tidak bergerak, harus menanyakan tentang status hukum dari pihak pembeli.

bila  WNA maka notaris akan menolak membuat perjanjian ini .

3. Persyaratan dari Departemen Tenaga Kerja mengenai perjanjian untuk jangka 

waktu tertentu. Syarat adanya perjanjian kerja:

a. jangka waktu kontrak 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang,

b. masa percobaan tidak diperkenankan.

4. Persyaratan dalam perjanjian keagenan dan distributor. Syaratnya:

a. menunjuk badan hukumAVNI sebagai agen tunggal,

b. jangka waktu perjanjian keagenan minimal 3 (tiga) tahun,

c. hukum yang berlaku yaitu  hukum Indonesia, dan

d. agen harus terdaftar di Departemen Perdagangan dan Industri. 

bila  keempat hal itu telah diperhatikan oleh para pihak dan atau para

Notaris maka kemungkinan untuk pembatalan kontrak menjadi berkurang.

B. PRINSIP-PRINSIP DALAM PENYUSUNAN KONTRAK

Di dalam mempersiapkan kontrak, ada dua prinsip hukum yang harus 

diperhatikan, yaitu

(1) beginselen der contrachtsvrijheid atau party autonomy, dan

(2) pacta sunt servanda.

Beginselen der contrachtsvrijheid atau party autonomy, yaitu para pihak 

bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan, dengan syarat tidak 

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Untuk 

menghindari ketidakjelasan maksud para pihak maka langkah pertama yang harus 

dilakukan yaitu  eksekutif perusahaan harus menjelaskan sejelas-jelasnya kepada 

mereka yang terlibat dan bertugas melakukan transaksi. Sedangkan kewajiban 

pertama ahli hukum yaitu  mengomunikasikan kepada kliennya mengenai apakah 

yang telah dirumuskannya ini  sudah sesuai dengan keinginan kliennya.

C. PRAPENYUSUNAN KONTRAK

Sebelum kontrak disusun, ada empat hal yang harus diperhatikan oleh para 

pihak. Keempat hal itu yakni identifikasi para pihak, penelitian awal aspek 

terkait, pembuatan Memorandum o f Understanding (MOU) dan negosiasi. 

Keempat hal itu dijelaskan berikut ini.

1. Identifikasi Para Pihak

Para pihak dalam kontrak harus teridentifikasi secara jelas, perlu diperhatikan 

peraturan perundang-undangan yang berkaitan, terutama tentang kewenangannya 

sebagai pihak dalam kontrak yang bersangkutan, dan apa yang menjadi dasar 

kewenangannya ini . Di samping itu, juga perlu diperhatikan syarat yang 

harus dipenuhi terutama dalam  kaitan dengan tindakan sebagai wakil dari badan 

hukum. Dalam praktik biasanya ditentukan secara rinci dalam anggaran dasar 

(AD), perlu diperhatikan bagaimana jika tindakan ini  dilakukan oleh orang 

yang berwenang atau dilakukan melebihi kewenangan yang diberikan.

2. Penelitian Awal Aspek Terkait

Pada dasarnya pihak-pihak berharap bahwa kontrak yang ditandatangani 

dapat menampung semua keinginannya, sehingga apa yang menjadi hakikat kontrak 

benar-benar terperinci secara jelas. Penyusunan kontrak harus menjelaskan hal- 

hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi yuridis, serta 

alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan. Pada akhirnya penyusun kontrak

menyimpulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, memperhatikan hal terkait 

dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti rugi, serta perpajakan.

3. Pembuatan Memorandum o f Understanding (MOU)

Memorandum o f Understanding (MOU) sebenarnya tidak dikenal dalam 

hukum konvensional Indonesia,namun  dalam praktik sering terjadi. MOU dianggap 

sebagai kontrak yang simpel dan tidak disusun secara formal serta MOU 

dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan.

Pada hakikatnya MOU merupakan suatu perjanjian pendahuluan dalam arti 

akan diikuti perjanjian lainnya. Alasannya dapat dikemukakan sebagai berikut.

a. Dalam prospeknya belum jelas untuk menghindari kesulitan pembatalan 

dibuat MOU yang relatif lebih mudah dibatalkan.

b. Dalam penandatanganan kontrak memerlukan waktu yang lama, sehingga 

dibuat MOU yang akan berlaku sementara waktu.

c. Adanya keraguan para pihak dan memerlukan waktu untuk berpikir jika 

menandatangani kontrak maka untuk sementara dibuat MOU.

Ciri-ciri MOU, yaitu

a. isinya singkat berupa hal pokok,

b. merupakan pendahuluan, yang akan diikuti suatu kontrak terperinci,

c. jangka waktunya terbatas, dan

d. biasanya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang 

memaksa untuk adanya kontrak terperinci.

Meskipun MOU diakui banyak manfaatnya,namun  banyak pihak meragukan 

berlakunya secara yuridis.

4. Negosiasi

a. Pengertian Negosiasi

Negosiasi merupakan sarana bagi para pihak untuk mengadakan komunikasi 

dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan sebagai akibat adanya 

perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal dan dilatarbelakangi oleh kesamaan/ 

ketidaksamaan kepentingan di antara mereka.

b. Jenis-Jenis Negosiasi

Ada dua corak negoisasi, yaitu position bargainer dan hard position 

bargainer (keras). Position bargainer (lunak) ini banyak dilakukan di 

lingkungan keluarga, antara sahabat, dan lain-lain. Tujuannya yaitu  untuk 

membina hubungan baik (culitivating). Kelebihan corak ini cepat 

menghasilkan kesepakatan, namun mengandung risiko, yakni memungkinkan 

pola menang-kalah (win-lose). Sedangkan hard position bargainer (keras) 

sangat mungkin menemui kebuntuan /deadlock akibat adanya tekanan, serta 

ancaman, terutama jika terbentur pada situasi saat bertemu perunding keras 

sesama perunding keras lainnya.

Dengan membandingkan kedua corak ini  maka yang paling efektif yaitu  

perpaduan antara keduanya/corak principled negotiation/interest based 

negotiation, yang menganut pola win-win, yaitu keras dalam permasalahan 

tetapi lunak terhadap orang (hard on the merits, soft on the people). 

Corak perpaduan itu menekankan pada pentingnya pemisahan antara oran'g 

dan masalah, memfokuskan serangan pada permasalahan, dan bukan pada 

orang serta mengandalkan adanya pilihan. Pilihan ini akan mudah diterima 

jika dilandasi adanya kriteria objektif, seperti scientific judgement, peraturan 

perundang-undangan, dan nilai pasar.

Tahapan Negosiasi

Ada dua tahap yang harus dilakukan oleh negosiator dalam melakukan 

negosiasi terhadap kontrak, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. 

Tahap persiapan, yaitu tahap sebelum terjadinya negosiaisi.

Pada tahap persiapan ini, seorang negosiator harus melakukan hal-hal sebagai 

berikut:

1) menguasai konsep/rancangan kontrak bisnis secara komprehensif dan 

rinci;

2) menguasai pengetahuan tentang industri dari apa yang diperjanjikan;

3) menguasai peraturan perundang-undangan yang melingkupi apa yang 

diperjanjikan;

4) memahami betul apa yang diinginkan oleh pihak yang diwakili dan 

posisinya;

5) mengidentifikasi poin-poin yang berpotensi menjadi masalah atau 

dipermasalahkan;

6) mengantisipasi solusi apa dari poin-poin yang berpotensi menjadi masalah 

dan dipermasalahkan serta mendiskusikan solusi ini  terlebih dahulu 

dengan pihak yang diwakili;

7) menumbuhkan percaya diri;

8) sedapat mungkin meminta counterpart agar negosiasi dilakukan di 

kantor atau di tempat yang dipilih negosiator (Hikmahanato Juwana, 

tt: 1-3).

Hal-hal yang harus dilakukan negosiator dalam tahap pelaksanaan, yaitu

1) sedapat mungkin memimpin negosiasi;

2) mengetahui betul siapa yang dihadapi dan mengukur kekuatan dengan 

menanyakan berbagai hal;

3) menetapkan apa saja yang hendak dicapai dalam negosiasi;

4) meminta pihak counterpart untuk memberitahukan lebih dahulu apa 

yang menjadi keinginannya. Sedapat mungkin dimulai dari awal konsep/ 

rancangan kontrak bisnis. sesudah  itu baru kemukakan apa yang menjadi

keinginan negosiator. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengindentifikasi 

poin-poin dalam kontrak bisnis di mana para pihak berbeda pandangan. 

Di samping itu hal ini dimaksudkan juga untuk bargaining chips dalam 

proses negosiasi selanjutnya;

5) menyelesaikan poin-poin yang mudah untuk diselesaikan terlebih dahulu 

atau menunda (pending) hal-hal yang rumit untuk diselesaikan;

6) memberi  argumentasi yang logis serta analogi untuk menjelaskan 

posisi/pandangan;

7) mempermainkan emosi: kapan emosi harus meninggi dan kapan harus 

mereda. Cairkan situasi bila  menjadi tegang, misalnya dengan 

membuat lelucon atau keluar dari ruangan negosiasi;

8) bila  ada  poin yang tidak terselesaikan, jangan terburu-buru dan 

terjebak untuk diselesaikan;

9) tidak mengambil keputusan tehadap poin yang perlu mendapat arahan 

dari pihak yang diwakili sebelum melakukan konsultasi;

10) bila  ada waktu, jangan menyelesaikan negosiasi dalam satu kali 

pertemuan;

11) catat semua hal yang disepakati dan tuangkan dalam kontrak bisnis 

dengan mark-up.

bila  kesebelas hal itu dilakukan oleh Negosiator dengan baik, maka 

kontrak yang dibuat oleh para pihak akan memberi  kepastian hukum 

dan keadilan bagi kedua belah pihak, sebab  substansi kontrak itu telah 

diformulasikan dengan para negosiator.

D. TAHAP PENYUSUNAN

Salah satu tahap yang menentukan dalam pembuatan kontrak, yaitu tahap 

penyusunan kontrak. Penyusunan kontrak ini perlu ketelitian dan kejelian dari para 

pihak maupun para Notaris. sebab , bila  keliru di dalam pembuatan kontrak 

maka akan memicu  persoalan di dalam pelaksanaannya. Ada lima tahap 

dalam penyusunan kontrak di Indonesia, sebagaimana dikemukakan berikut ini.

1. Pembuatan draf pertama, yang meliputi:

a. Judul kontrak

Dalam kontrak harus diperhatikan kesesuaian isi dengan judul serta 

ketentuan hukum yang mengaturnya, sehingga kemungkinan adanya 

kesalahpahaman dapat dihindari.

b. Pembukaan

Biasanya berisi tanggal pembuatan kontrak.

c. Pihak-pihak dalam kontrak

Perlu diperhatikan jika pihak ini  orang pribadi serta badan hukum, 

terutama kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum dalam 

bidang kontrak.

d. Racital

Yaitu penjelasan resmi/latar belakang terjadinya suatu kontrak.

e. Isi kontrak

Bagian yang merupakan inti kontrak. Yang memuat apa yang 

dikehendaki, hak, dan kewajiban termasuk pilihan penyelesaian sengketa.

f. Penutup

Memuat tata cara pengesahan suatu kontrak.

Sedangkan di USA, draf kontrak berisi hal-hal berikut ini.

a. Part racital, yaitu penjelasan resmi/latar belakang terjadinya suatu 

kontrak.

b. Consideration, yaitu berisi tentang prestasi.

c. Warranties and representation.

d. Risk allocation.

e. Condition.

f. Dates and term.

g. Boillerplate.

h. Signature.

2. Saling menukar draf kontrak.

3. Jika perlu diadakan revisi.

4. Dilakukan penyelesaian akhir.

5. Penutup dengan penandatanganan kontrak oleh masing-masing pihak.

E. STRUKTUR DAN ANATOMI KONTRAK

Pada dasarnya, susunan dan anatomi kontrak, dapat digolongkan menjadi 

tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, isi, dan penutup. Ketiga hal itu dijelaskan 

berikut ini.

1. Bagian Pendahuluan

Dalam bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian.

a. Subbagian pembuka (description o f the instrument).

Subbagian ini memuat tiga hal berikut, yaitu

(1) sebutan atau nama kontrak dan penyebutan selanjutnya (penyingkatan) 

yang dilakukan,

(2) tanggal dari kontrak yang dibuat dan ditandatangani, dan

(3) tempat dibuat dan ditandatanganinya kontrak.

b. Subbagian pencantuman identitas para pihak {caption).

Dalam subbagian ini dicantumkan identitas para pihak yang mengikat diri 

dalam kontrak dan siapa-siapa yang menandatangani kontrak ini . Ada 

tiga hal yang perlu diperhatikan tentang identitas para pihak, yaitu 

(1) para pihak harus disebutkan secara jelas;

(2) orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa;

(3) pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak,

c. Subbagian penjelasan.

Pada subbagian ini diberikan penjelasan mengapa para pihak mengatakan 

kontrak (sering disebut bagian premis).

2. Bagian Isi

Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi.

a. Klausula definisi (definition)

Dalam klausula ini biasanya dicantumkan berbagai definisi untuk keperluan 

kontrak. Definisi ini hanya berlaku pada kontrak ini  dan dapat memiliki  

arti dari pengertian umum. Klausula definisi penting dalam rangka mengefisienkan 

klausula-klausula selanjutnya sebab  tidak perlu diadakan pengulangan.

b. Klausula transaksi (operative language)

Klausula transaksi yaitu  klausula-klausula yang berisi tentang transaksi yang 

akan dilakukan. Misalnya dalam jual beli aset maka harus diatur tentang 

objek yang akan dibeli dan pembayarannya. Demikian pula dengan suatu 

kontrak usaha patungan, perlu diatur tentang kesepakatan para pihak dalam 

kontrak ini .

c. Klausula spesifik

Klausula spesifik mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya 

klausula ini  tidak ada  dalam kontrak dengan sanksi yang berbeda.

d. Klausula ketentuan umum

Klausula ketentuan umum yaitu  klausula yang seringkah dijumpai dalam 

berbagai kontrak dagang maupun kontrak lainnya. Klausula ini antara lain 

mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum, 

pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian, dan lain-lain.

3. Bagian Penutup

Ada dua hal yang tercantum pada bagian penutup.

a. Subbagian kata penutup (closing), kata penutup biasanya menerangkan bahwa 

perjanjian ini  dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki 

kapasitas untuk itu. Atau para pihak menyatakan ulang bahwa mereka akan 

terikat dengan isi kontrak.

b. Subbagian ruang penempatan tanda tangan yaitu  tempat pihak-pihak 

menandatangani perjanjian atau kontrak dengan menyebutkan nama pihak 

yang terlibat dalam kontrak, nama jelas orang yang menandatangani dan 

jabatan dari orang yang menandatangani.

Di dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang 

Jasa Konstruksi telah ditentukan uraian-uraian yang harus dimuat dalam Kontrak 

Kerja Konstruksi. Uraian-uraian ini  yaitu  sebagai berikut.

1. Para pihak, yang memuat secara jelas para pihak. Yang dimaksud dengan 

identitas para pihak yaitu  nama, alamat, kewarganegaraan, wewenang 

penanda tangan, dan domisili.

2. Rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup 

kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Lingkup kerja meliputi:

a. volume pekerjaan, yakni besarnya pekerjaan yang harus dilaksanakan, 

termasuk volume pekerjaan tambah atau kurang. Dalam mengadakan 

pembahan volume pekerjaan, perlu ditetapkan besarnya pembahan volume 

yang tidak memerlukan persetujuan para pihak terlebih dahulu;

b. persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para 

pihak dalam mengadakan interaksi;

c. persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh 

penyedia jasa;

d. pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara 

lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan 

bagi tenaga kerja dan warga . Perlindungan ini  dapat berupa 

antara lain asuransi atau jaminan yang diterbitkan oleh bank atau lembaga 

bukan bank;

e. laporan hasil pekerjaan konstruksi.

3. Nilai pekerjaan, yakni jumlah besarnya biaya yang akan diterima oleh penyedia 

jasa untuk pelaksanaan lingkup pekerjaan. Batas waktu pelaksanaan yaitu  

jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk 

masa pemeliharaan.

4. Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka 

waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab 

penyedia jasa.

5. Tenaga ahli, yang memuat tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga 

ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi.

6. Hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh 

hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan 

yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan 

imbalan serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi.

7. Cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna 

jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi.

8. Cedera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal 

salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;

9. Penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara 

penyelesaian akibat ketidaksepakatan.

10. Pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang 

pemutusan kontrak kerja kontruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya 

kewajiban salah satu pihak.

11. Keadaan memaksa (force majeur), yang memuat ketentuan tentang kejadian 

yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang memicu  

kerugian bagi salah satu pihak.

12. Perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak 

dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial.

13. Aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan 

ketentuan tentang lingkungan.

Di samping itu, di dalam kontrak kerja konstruksi dapat juga dimasukkan 

tentang:

1. kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif,

2. subpenyedia jasa, dan

3. pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan yang 

harus memenuhi standar yang berlaku.

Untuk kontrak kerja konstruksi pekerjaan perencanaan harus memuat tentang 

hak atas kekayaan intelektual. Hak atas kekayaan intelektual yaitu  hasil inovasi 

perencanaan konstruksi dalam suatu pelaksanaan kontrak kerja konstruksi baik 

bentuk hasil akhir perencanaan dan/atau bagian-bagiannya yang kepemilikannnya 

dapat diperjanjikan. Ini berarti bahwa atas kekayaan intelektual itu dapat dimiliki 

oleh pemberi jasa atau penyedia jasa. Dengan demikian, salah satu pihak, baik 

pemberi jasa maupun penyedia jasa dapat mengajukan haknya kepada Pemerintah.

bila  dianalisis uraian-uraian tentang substansi kontrak kerja konstruksi, 

tampaklah bahwa uraian-uraian itu telah memenuhi syarat, baik syarat teoretis 

maupun pragmatis. Uraian kontrak itu telah mengatur secara lengkap tentang hal- 

hal yang harus tercantum di dalam kontrak konstruksi. Para pelaksana proyek di 

lapangan, apakah itu Pimpro maupun Penyedia Konstruksi tinggal merinci pasal 

demi pasal dalam kontrak ini , sebab  di dalam uraian ini  telah jelas hal- 

hal yang harus tercantum di dalamnya.

Untuk mempermudah maka berikut ini disajikan sebuah kontrak konsultansi 

yang dibuat antara Pemerintah c.q. Bappeda Kabupaten Dompu dengan 

Konsultansi PDM DKE, yaitu Yayasan Abdi Insani.

Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja)

Pekerjaan Konsultan Pendamping Kabupaten (Kp-Kab)

Proyek Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi 

(PDM-DKE) Kabupaten Dompu Tahun 2000 

Nomor : 050/139/Bappeda 

Tanggal : 5 Oktober 2000

Pada hari ini, Kamis 5 Oktober tahun Dua Ribu, kami yang bertanda tangan 

di bawah ini:

1. Nama : Drs. Imran M. Hasan

Jabatan : Pemimpin Proyek Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi 

Dampak Krisis Ekonomi Kabupaten Dompu

Alamat : Jin. Soekarno-Hatta No. 29 Dompu

berdasar  Surat Keputusan Bupati Dompu Nomor: 954/76/008/2000, tanggal 

28 Juli 2000, telah ditunjuk sebagai Pemimpin Proyek Pemberdayaan Daerah 

dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) Kabupaten Dompu, 

dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kabupaten Dompu 

yang selanjutnya dalam perjanjian ini disebut Pihak Pertama.

2. Nama : Dr. Mahsun, MS.

Jabatan : Direktur Eksekutif Yayasan Abdi Insani Mataram 

Alamat : Jin. Panji Asmara IV No. 6 Tanjung Karang-Ampenan 

berdasar  Akte Pendirian Notaris Nomor: 6 tanggal 9 Maret 1998 oleh 

Notaris Abdullah. SH. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Anggaran 

Dasarnya bertindak untuk dan atas nama Yayasan Abdi Insani yang selanjutnya 

dalam perjanjian ini disebut Pihak Kedua.

Dengan ini Pihak Pertama dan Pihak Kedua menyatakan telah sepakat 

membuat perjanjian kerja sama dalam Pekerjaan Konsultan Pendamping 

Kabupaten (KP-Kab) Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak 

Krisis Ekonomi (PDM-DKE) Kabupaten Dompu Tahun 2000, sebagai hasil proses 

penunjukan langsung yang dilaksanakan sesuai dengan surat penetapan Pemimpin 

Proyek Nomor: 050/137/ Bappeda dengan ketentuan pada pasal-pasal berikut ini.

Pasal 1

Surat Perintah Kerja

Tujuan Surat Perintah Kerja ini yaitu  Pihak Kedua harus melaksanakan 

pekerjaan sebagai Konsultan Pendamping Kabupaten Pelaksanaan Program PDM- 

DKE Kabupaten Dompu Tahun 2000 sesuai dengan ketentuan yang berlaku, 

sehingga memberi  hasil yang memuaskan bagi Pihak Pertama.

Pasal 2

Jenis Pekerjaan

Pekerjaan yang dilaksanakan yaitu  Pekerjaan sebagai Konsultan 

Pendamping Kabupaten (KP-Kab) Pelaksanaan Program Pemberdayaan Daerah 

dalam mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) di Kabupaten Dompu 

Tahun 2000, sesuai dengan Dokumen Pelelangan y