gguhnya. Hal ini sebenarnya
harus dihindari oleh ahli hukum. Oleh sebab itu, ahli hukum perancang kontrak
harus memahami masalah perpajakan dan jika mungkin bekerja sama dengan
konsultan pajak.
3. Alas Hak yang Sah
Khusus untuk perjanjian jual beli, calon pembeli harus mengetahui atau berusaha
mencari tahu bahwa penjual memang memiliki alas hak yang sah atas barang
yang dijual. Dalam hal barang bergerak tidak atas nama berlaku ketentuan Pasal
1977 KUH Perdata yang menetapkan bahwa barangsiapa menguasai barang
bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus dibayar atas
tunjuk, dianggap sebagai pemilik sepenuhnya. Namun demikian dalam hal ini berlaku
asas revindikasi, yaitu bila barang itu hilang atau hasil curian, pemilik barang
dapat menuntut susaha barang itu dikembalikan kepadanya. Memang dalam hal
ini pembeli yang beriktikad baik akan tetap dilindungi, yaitu minta ganti rugi atas
harga pembelian barang ini . Namun proses demikian tidak selalu mulus,
lebih-lebih kalau pencurinya sudah tidak mampu lagi mengembalikan uang pem
belian.
Dalam hal barang bergerak atas nama dan barang tidak bergerak, yang
dianggap paling berhak yaitu orang yang namanya tercantum dalam surat itu.
Namun demikian, dalam hal barang bergerak atas nama maupun barang tidak
bergerak merupakan harta bersama dalam perkawinan, perlu ada suatu counter
sign dari suami/istri. Counter sign juga diperlukan dalam hal perjanjian jaminan.
4. Masalah Keagrariaan
Perancang perjanjian juga harus memperhatikan masalah seputar Hukum
Agraria. Dalam banyak hal para pihak tidak memahami masalah-masalah
keagrariaan. Oleh sebab itu, para ahli hukum harus memberitahukan kepada
kliennya mengenai hal ini .
5. Pilihan Hukum
Pilihan hukum, yaitu berkaitan dengan hukum manakah yang akan dipakai
dalam pembuatan kontrak ini .
6. Penyelesaian Sengketa
Perjanjian tidak selalu dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh sebab
itu, dalam setiap perjanjian perlu dimasukkan klausula mengenai penyelesaian
sengketa bila salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian atau wanprestasi.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai, arbitrase, atau mungkin
melalui pengadilan. Dalam hal sengketa diselesaikan melalui pengadilan perlu
diingat Hukum Acara Perdata Indonesia mengenai kompetensi dan yurisdiksi
pengadilan negeri ini .
7. Berakhirnya Kontrak
Di dalam Pasal 1266 KUH Perdata ditentukan bahwa: ’’Tiap-tiap pihak
yang akan mengakhiri kontrak harus dengan putusan pengadilan yang memiliki
yurisdiksi atas kontrak ini .” Maksud ketentuan ini yaitu melindungi pihak
yang lemah.
8. Bentuk Standar Kontrak
a. Pengertian Standar Kontrak
Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah
dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak
oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.
Hondius mengemukakan bahwa syarat-syarat baku yaitu
’’Syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian
yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan
isinya lebih dahulu.”
Inti dari perjanjian baku menurut Hondius yaitu isi perjanjian itu tanpa
dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta
untuk menerima atau menolak isi perjanjian ini .
Mariam Darus Badrulzaman mengemukaan bahwa standar kontrak merupa
kan perjanjian yang telah dibakukan
Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri perjanjian
baku yaitu sebagai berikut.
1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat.
2) warga (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan
isi perjanjian.
3) Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
4) Bentuk tertentu (tertulis).
5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat dari perjanjian baku yaitu per
janjian yang telah distandardisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan
pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. bila
debitur menerima isi perjanjian ini maka ia menandatangani perjanjian
ini ,namun bila ia menolak maka perjanjian itu dianggap tidak ada.
Hal ini dipicu debitur tidak menandatangani perjanjian ini . Dalam
praktiknya, seringkali debitur yang membutuhkan uang hanya menandatangani
perjanjian ini tanpa dibacakan isinya. Akan namun isi perjanjian baru
dipersoalkan oleh debitur pada saat debitur tidak mampu melaksanakan
prestasinya, sebab kreditur tidak hanya membebani debitur membayar pokok
disertai bunga,namun juga membebani debitur dengan membayar denda
keterlambatan atas bunga sebesar 50% dari besarnya bunga yang dibayar
setiap bulannya. Jadi, utang yang harus dibayar oleh debitur sangat tinggi.
Kreditur berpendapat bahwa penerapan denda keterlambatan itu sebab
dalam standar kontrak telah ditentukan dan diatur secara jelas dan rinci.
Dengan demikian tidak ada alasan bagi debitur untuk menolak pemenuhan
denda keterlambatan ini . Oleh sebab itu, debitur harus membayar
pokok, bunga, beserta denda keterlambatannya.
b. Jenis-Jenis Standar Kontrak
Secara kuantitatif, jumlah standar kontrak yang hidup dan berkembang dalam
warga sangat banyak, sebab masing-masing perusahaan atau lembaga,
baik yang bergerak di bidang perbankan dan nonbank maupun lainnya, selalu
menyiapkan standar baku dalam mengelola usahanya. Hal ini bertujuan untuk
mempermudah dan mempercepat lalu lintas hukum. Hondius mengemukakan
bahwa dewasa ini ada syarat-syarat baku, dihampir semua bidang yang
dibuat kontrak. Beberapa aktivitas penting dan cabang perusahaan, banyak
perjanjian dibuat atas dasar syarat-syarat baku, seperti perjanjian kerja
(perjanjian kerja kolektif), perbankan (syarat-syarat umum perbankan),
pembangunan (syarat-syarat seragam administratif untuk pelaksanaan
pekerjaan), perdagangan eceran, sektor pemberian jasa, sewa upah (erpacht),
dagang dan perniagaan, perusahaan pelabuhan, sewa menyewa, beli sewa,
hipotik, pemberian kredit, pertanian, urusan makelar, praktik notaris dan hukum
lainnya, perusahaan-perusahaan umum, penyewaan urusan pers, perusahaan
angkutan (syarat-syarat umum angkutan, syarat-syarat umum ekspedisi
Belanda), penerbitan, urusan asuransi
Hondius tidak mengklasifikasikan jenis-jenis standar kontrak ini , baik
berdasar usahanya maupun lainnya. Namun, Mariam Darus Badrulzaman
membagi jenis perjanjian baku menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut.
1) Perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat
di sini ialah pihak kreditur yang lazimnya memiliki posisi (ekonomi)
kuat dibandingkan pihak debitur.
2) Perjanjian baku timbal balik, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan
oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang terdiri dari pihak
majikan (kreditur) dan pihak buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya
terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
3) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu perjanjian baku
yang isinya ditentukan Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum
tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang memiliki objek hak-hak
atas tanah. Dalam bidang agraria, lihatlah misalnya formulir-formulir
perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri
tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual
beli.
4) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, yaitu
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota warga yang minta bantuan notaris
atau advokat yang bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis
keempat ini disebut contract model.
Mariam Darus Badrulzaman tidak menyebutkan secara jelas perjanjian baku
yang berlaku di kalangan perbankan, namun ia hanya menyebutkan bahwa
perjanjian baku yang dibuat oleh pihak ekonomi kuat terhadap debitur yang
kedudukan ekonominya lemah. Pihak ekonomi kuat ini, dapat ditafsirkan
sebagai pihak pemberi kredit atau lembaga perbankan yang memberi
kredit pada debitur. Memang di dalam lembaga perbankan syarat-syarat
baku itu telah disiapkan oleh lembaga perbankan, sedangkan nasabah atau
debitur tinggal menerima atau menolak isi perjanjian. bila ia menerima
maka ia menandatangani isi perjanjian ini . Berikut ini disajikan sebuah
standar kontrak yang dibuat antara Bank Tabungan Negara dengan nasabah,
dengan maksud untuk mempermudah para mahasiswa maupun kalangan
lainnya untuk menganalisis standar kontrak ini .
PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH
ANTARA
BANK TABUNGAN NEGARA
dan
Salim H.S.
No: 1134/PN/DPS/89
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Bank Tabungan Negara, berkedudukan di Jakarta, Jalan Gajah Mada Nomor
1 dalam hal ini berdasar Undang-Undang No. 20 Tahun 1968, Lembaran
Negara RI No. 73 Tahun 1968, Tambahan Lembaran Negara RI No. 2873
diwakili oleh:
Dokterrandus Soenyoto, Kepala Cabang Bank Tabungan Negara di Denpasar
bertempat tinggal di Denpasar, dalam hal ini bertindak berdasar Surat
Keputusan Direksi Bank Tabungan Negara No. 441 tanggal 25 Januari
1988 selaku kuasa Direksi dari ....................................................................
dan dengan demikian sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang No. 20
Tahun 1968, Lembaran Negara RI No. 2873 bertindak untuk dan atas
nama Bank Tabungan Negara selanjutnya disebut Bank:
II. Nyonya Mardiana, Kuasa dari Salim H.S., S.H. No. 09 tanggal 15 November
1988 karyawan dari SDN No. IV Karang Pule Ampenan bertempat tinggal
di Jalan Towuti 1 No. 6, Perumnas Mataram dalam hal ini bertindak untuk
dirinya sendiri, selanjutnya disebut Debitur pada hari ini tanggal 06 Februari
1989 bertempat di Mataram telah setuju untuk dan dengan ini pula Bank
memberi pinjaman uang kepada Debitur yang dengan ini mengaku berutang
kepada Bank sebab uang yang dipinjamnya dari Bank ini , yaitu sampai
jumlah maksimum sebesar Rp2.570.000,00 ( dua juta lima ratus tujuh puluh
ribu rupiah).
Perjanjian ini selanjutnya disebut Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, dan
dibuat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
Pasal 1
Jumlah Kredit dan pemakaian nya
Dengan penandatanganan perjanjian ini debitur mengaku telah menarik dan
jumlah kredit maksimal sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)
dan dengan demikian sejak penandatanganan perjanjian kredit ini yang merupakan
tartggal penarikan kredit-debitur wajib untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
atas kreditnya sesuai dengan perjanjian ini.
Jumlah kredit ini pada ayat (1) perjanjian ini bahwa diberikan oleh
Bank kepada Debitur dan hanya dipakai oleh Debitur untuk membeli sebuah
rumah, berikut tanahnya guna dimiliki dan dihuni sendiri oleh Debitur dari
Proyek Perumahan : Perum Perumnas Mataram.--------------------------------
Lokasi : Perumnas Batu Dawa Mataram.-------------------------
Developer : Perum Perumnas Unit Mataram.-------------------------
(1) Untuk pembayaran lunas harga rumah berikut tanahnya ini pada ayat
(2) pasal ini dengan penandatanganan perjanjian ini Debitur sekaligus memberi
kuasa kepada bank untuk dan atas nama Debitur membayarkan pada saat
yang dianggap baik oleh Bank jumlah uang yang diperoleh dari kredit ini
pada ayat (1) pasal ini kepada Perum Perumnas Unit Mataram.
(2) Sesuai dengan ayat (1) pasal ini, perjanjian ini efektif berlaku sejak ditanda
tangani oleh Bank dan Debitur, sehingga tanggal pembayaran oleh bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini tidak memiliki pengaruh
apa pun atas hak dan kewajiban pihak Debitur dalam perjanjian ini.
Pasal 2
Suku Bunga dan Provisi Bank
(1) Terhadap kredit ini, debitur dikenakan bunga sebesar 12% setahun yang
diperhitungkan sejak hari berikut dari tanggal penarikan kredit sampai dengan
dilunasinya seluruh jumlah utang.
(2) Kecuali bunga tahun pertama yang diperhitungkan atas dasar jumlah kredit
yang ditarik, bunga tahun-tahun selanjutnya diperhitungkan atas dasar sisa
utang (yang terdiri dari pokok kredit dan pembebanan bunga biaya-biaya
tertunggak) pada tanggal 31 Desember tahun yang mendahului.
(3) Setiap saat Bank berhak untuk merubah tarip suku bunga kredit ini untuk
disesuaikan dengan kebijaksanaan Pemerintah c.q. Bank Indonesia; setiap
perubahan suku bunga berlaku efektif paling cepat tiga puluh hari kalender
sesudah tanggal surat pemberitahuan Bank untuk itu.
(4) Debitur dikenakan Provisi Bank sebesar Rp 22.380,00 (dua puluh dua ribu
tiga ratus delapan puluh rupiah) yaitu 5% dari harga rumah berikut tanah
ini pada ayat (2) Pasal 1 perjanjian ini, yang harus telah dilunasi pada
saat penandatanganan perjanjian ini.
Pasal 3
Jaminan dan Cara Pengikatannya
(1) Untuk menjamin lebih jauh pembayaran kembali segala sesuatu yang atas
ketentuan Perjanjian ini atau sebab apa pun juga harus dibayar Debitur
kepada Bank, baik sebab pokok kredit, bunga dan biaya-biaya lainnya
maka Debitur memberi jaminan kebendaan (harta) antara lain rumah
dan tanah yang akan disebut dalam akta tersendiri baik secara notariil
maupun di bawah tangan, semata-mata menurut pertimbangan dan ketentuan
Bank, sedang akta pemberian jaminan ini merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari Perjanjian Kredit ini.
(2) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan semua surat dan dokumen apa pun, yang asli serta sah dan
membuktikan pemilikan atas segala harta yang dijadikan jaminan termaksud
dalam ayat (1) pasal ini, kepada Bank dipergunakan untuk pelaksanaan
pengikatan harta ini sebagai jaminan kredit dan selanjutnya dikuasai
oleh Bank sampai dilunasi seluruh jumlah utangnya.
(3) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk memberi
bantuan sepenuhnya guna memungkinkan Bank melaksanakan pengikatan
barang jaminan kredit menurut cara dan pada saat yang dianggap baik oleh
Bank.
(4) Debitur menyetujui dan mewajibkan diri serta mengikatkan diri, dan dengan
penandatanganan Perjanjian ini sekaligus memberi kuasa kepada Bank yang
tidak dapat ditarik kembali sebelum seluruh utangnya kepada Bank dilunasi,
untuk dan atas nama Debitur menutup pertanggungan asuransi kebakaran
dan risiko kebendaan lainnya atas barang jaminan kredit ini, pada perusahaan
asuransi maupun serta dengan ketentuan, nilai pertanggungan, jangka waktu
pertanggungan dan klausula yang dianggap baik oleh Bank.
(5) Seluruh biaya yang diperlakukan dalam pengikatan barang jaminan dan
pertanggungan asuransinya, termasuk di dalamnya biaya-biaya notaris PPAT
(Pejabat Pembuat Akta Tanah) pungutan-pungutan pemerintah seperti bea
meterai dan bila perlu bea pendaftaran/pencatatan di Kantor Agraria
dan lain sebagainya serta biaya premi asuransi menjadi tanggungan Debitur
dalam hal Bank telah membayarkannya terlebih dahulu, seketika sesudah
menerima penagihan pertama dari Bank, Debitur harus langsung dengan
sekaligus lunas membayarkannya kembali kepada Bank.
Pasal 4
Jaminan Tambahan
bila Bank berpendapat bahwa dari segala sesuatu yang ini pada
ayat (1) Pasal 3 Perjanjian ini tidak lagi mencukupi untuk dijadikan jaminan kredit.
Maka Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk atas
permintaan pertama dari Bank:
a. membayar kepada Bank beberapa uang menurut ketetapan Bank, atau
b. menambah barang-barang/benda-benda tertentu lainnya yang ditetapkan oleh
Bank untuk dijadikan jaminan tambahan menurut ketetapan Bank.
Pasal 5
Penghunian Rumah
(1) Debitur wajib dan berhak untuk segera sesudah menandatangani perjanjian
ini, untuk menempati rumah yang dibeli dengan serta dijadikan jaminan bagi
kredit ini, sepanjang dan selama debitur memenuhi dengan baik semua
kewajiban-kewajiban berdasar perjanjian ini.
(2) Dengan menempati rumah ini debitur menurut hukum dianggap telah
mengetahui serta menerima sepenuhnya keadaan sebagaimana yang
diterimanya dari Perum Perumnas Mataram ..........................................
sehingga bila di kemudian hari ternyata ada cacat ataupun kekurangan
apa pun juga termasuk di dalamnya cacat tersembunyi, kiranya yang demikian
itu ternyata ada pada rumah ini maka hal itu semata-mata menjadi
tanggung jawab debitur sendiri dan Bank tidak dapat dikaitkan/dipertanggung-
jawabkan dengan cara atau dalih apa pun juga atasnya.
(3) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk:
a. menempati rumah ini secara layak;
b. memelihara dengan baik atas biaya sendiri;
c. memperbaiki atas beban sendiri segala kerusakan yang terjadi atas rumah
ini ;
d. membayar Ireda/Ipeda maupun pungutan-pungutan lain dari yang
berwajib yang lazim dikenakan terhadap pemilik/penghuni rumah secara
tepat dan teratur.
(4) Debitur tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dan Bank dilarang untuk:
a. merubah bentuk atau konstruksi rumah ini ;
b. membebani harta ini dengan hipotik, atau dengan sesuatu jenis
pemberian lain apa pun juga untuk keuntungan sesuatu pihak kecuali
Bank menyewakan atau mengizinkan penempatan atau pemakaian
maupun menguasakan harta ini kepada pihak lain;
c. menyerahkan harta ini kepada pihak lain;
d. menjamin penerimaan uang sewa atas harta ini ;
e. menerima setiap uang muka, sewa, atau sesuatu pembayaran lainnya
atau pembayaran kompensasi di muka terhadap sewa menyewa
penempatan, penjualan, atau sesuatu bentuk penguasaan lainnya atas
harta ini dari pihak lain.
Pasal 6
Pembayaran Kembali dan Jangka Waktu Kredit
(1) Pembayaran kembali kredit dilakukan secara angsuran bulanan, yang terdiri
dari angsuran pokok kredit dan bunganya, dengan cara perhitungan anuitas.
(2) berdasar cara perhitungan anuitas dan sepanjang tingkat suku bunga
yaitu sama seperti yang telah ditetapkan pada ayat (1) Pasal 2 perjanjian
ini maka jumlah angsuran bulanan yang wajib dibayar oleh Debitur kepada
Bank yaitu Rp28.680,00 (dua puluh delapan ribu enam ratus delapan puluh
rupiah) setiap bulannya.
(3) Perubahan jumlah angsuran bulanan yang dipicu oleh perubahan suku
bunga, akan diberitahukan secara tertulis oleh Bank; Debitur setuju, mewajibkan
dan mengikatkan diri untuk menaati dan melaksanakan perubahan angsuran
bulanan sebagaimana ditetapkan oleh Bank.
(4) Angsuran bulanan ini pada ayat (2) atau ayat (3) pasal ini harus telah
diterima oleh Bank pada atau sebelum tanggal 5 setiap bulan menurut cara
pembayaran dan dibayar pada kantor yang ditentukan Bank.
(5) Pembayaran angsuran bulanan pertama yang merupakan salah satu
komponen uang muka telah dilakukan pada bulan Februari 1989 dan angsuran
selanjutnya dibayar berturut-turut setiap bulan sejak bulan ini selama
jangka waktu 20 tahun.
Pasal 7
Kuasa Penerimaan Gaji dan Surat Tagihan
(1) Sepanjang mengenai kewajiban-kewajiban pembayaran debitur kepada Bank
yang timbul dari perjanjian ini, debitur menyetujui dan dengan penandatanganan
perjanjian ini, sekaligus memberi kuasa kepada Bank untuk selama jumlah
utang debitur belum dibayar lunas kepada Bank, selanjutnya meminta dan
menerima bagian gaji dan penerimaan lainnya yang menjadi hak debitur dari
pejabat yang berwenang membayarkan gaji dan penerimaan lainnya dari Instansi/
Kantor ini , untuk pertama-tama dipergunakan untuk membayar/melunasi
utang debitur kepada Bank, mendahului kewajiban debitur kepada pihak lain.
(2) Pemberian kuasa ini pada ayat (1) pasal ini sama sekali tidak mengurangi
pertanggungjawaban pribadi debitur atas kewajiban-kewajiban pembayaran
kepada Bank yang timbul dari perjanjian ini, sehingga bagaimanapun Bank
berhak untuk bila menganggap perlu melakukan penagihan langsung kepada
debitur atas kewajiban-kewajiban pembayaran ini .
(3) Bank tidak diwajibkan untuk mengirimkan surat-surat tagihan kepada debitur,
sehingga dengan atau tanpa adanya surat tagihan, debitur harus tetap memenuhi
pembayaran-pembayaran angsuran setiap bulannya sebagaimana yang di
tentukan di dalhm ayat (2) dan ayat (3) Pasal 6 perjanjian ini.
Pasal 8
Pelunasan Kembali Sebelum Berakhirnya Jangka Waktu
(1) Menyimpang dari ketentuan jangka waktu sebagaimana disetujui pada ayat
(3) Pasal 6 perjanjian ini Debitur dapat melunasi utangnya sebelum akhir
jangka waktu ini yang akan berlaku dua bulan kalender sesudah Bank
menerima pemberitahuan dari Debitur mengenai maksudnya ini ataupun
dalam hal Debitur tidak akan memberitahukannya terlebih dahulu, pembayaran
demikian itu baru berlaku dua bulan kalender sesudah tanggal pembayaran,
ataupun sesudah Debitur membayar di muka bunga ekstra sekaligus dua bulan.
(2) Untuk mengurangi jumlah utangnya , Debitur dapat, untuk di samping membayar
angsuran bulanannya sebagaimana ditentukan dalam ayat (2) Pasal 6 perjanjian
ini, juga melakukan pembayaran di muka angsuran pokok dengan syarat
bahwa angsuran demikian itu jumlahnya setiap saat tidak kurang dari
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) dalam kelipatan bulat dan berlaku sejak
dua bulan sesudah bank menerima pemberitahuan dari Debitur mengenai
maksudnya, ataupun dalam hal Debitur tidak memberitahukan terlebih dahulu,
pembayaran demikian itu baru berlaku sejak dua bulan kalender sesudah tanggal
pembayaran; angsuran pokok demikian itu tidak akan merubah besarnya
jumlah angsuran bulanannamun akan mengurangi jangka waktu kredit yang
bersangkutan.
iPasal 9
Pengawasan dan Pemeriksaan Barang Jaminan
(1) Selama Debitur belum melunasi seluruh utangnya yang timbul dalam Peijanjian
ini maka Bank berhak setiap saat yang dianggap layak oleh Bank, melakukan
pemeriksaan dan meminta keterangan setempat yang diperlukan.
(2) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk memberi
keterangan secara benar atas berbagai pertanyaan pihak Bank
dalam rangka pengawasan dan pemeriksaan barang jaminan ini.
Pasal 10
Penagihan Seketika Seluruh Utang
\
(1) Tanpa memperhatikan ketentuan mengenai angsuran bulanan dan jangka
waktu kredit ini, Bank berhak dan dapat untuk seketika menagih pelunasan
sekaligus atas seluruh sisa utang Debitur kepada Bank yang timbul dari
perjanjian ini, dan Debitur wajib membayarnya dengan seketika dan sekaligus
lunas untuk seluruh sisa utang yang ditagih oleh Bank, dalam hal terjadi
salah satu atau beberapa keadaan di bawah ini.
a. Debitur cedera janji, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11
perjanjian ini.
b. Debitur tidak mungkin lagi atau tidak memiliki dasar hukum untuk
memenuhi sesuatu ketentuan atau kewajiban berdasar Perjanjian
Kredit antara lain: meninggal dunia, diberhentikan dari kantor/instansi
yang bersangkutan, dijatuhi hukuman pidana, mendapat cacat badan
sehingga oleh sebab nya belum/tidak dapat dipekerjakan lagi, dipindahkan
ke kota/daerah lain atau ke luar negeri.
c. Perusahaan tempat Debitur bekerja telah dinyatakan pailit atau tidak
mampu membayar atau telah dikeluarkan perintah oleh pejabat yang
berwenang untuk menunjuk wali atau kurator Debitur.
d. Debitur membuat atau memicu atau menyetujui dilakukan atau
membiarkan dilakukan sesuatu tindakan yang membahayakan atau dapat
membahayakan, mengurangi atau meniadakan jaminan yang diberikan
untuk utang.
e. Harta-harta Debitur yang diberikan sebagai jaminan telah musnah.
f. Setiap keterangan yang diberikan, hal-hal yang disampaikan atau jaminan
yang dibuat Debitur kepada Bank terbukti palsu atau menyesatkan
dalam segala segi atau Debitur lalai atau gagal untuk memberi
keterangan yang bermakna atau sesungguhnya kepada Bank.
g. Debitur gagal dalam memenuhi atau Debitur bertindak bertentangan
dengan sesuatu peraturan pemerintah atau daerah, undang-undang atau
peraturan-peraturan yang memiliki akibat penting terhadap atau
mempengaruhi hubungan kerjanya dengan Kantor tempat bekerja.
h. Setiap sebab atau kejadian lainnya yang telah terjadi atau mungkin
akan terjadi sehingga menjadi layak bagi Bank untuk melakukan
penagihan-penagihan seketika mengenai seluruh (sisa) utang guna
melindung kepentingan-kepentingannya, satu dan lainnya semata-mata
menurut penetapan/pertimbarigan Bank.
(2) bila sesudah mendapat peringatan dari Bank, Debitur tidak dapat melunasi
seluruh sisa kewajiban pembayarannya yang seketika ditagih oleh Bank sebab
terjadinya hal-hal yang disebutkan di dalam ayat (1) pasal ini maka Bank
berhak memerintahkan kepada Debitur untuk mengosongkan rumah berikut
tanahnya yang telah dijaminkan oleh Debitur kepada Bank dalam perjanjian
ini, dan Debitur mengikatkan untuk melaksanakan pengosongan rumah dan
tanah termaksud, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari dihitung
mulai tanggal perintah Bank itu, tanpa syarat dan ganti rugi apa pun.
(3) bila Debitur ternyata tidak mengosongkan rumah dalam jangka waktu
yang ditentukan dalam ayat (2) pasal ini, maka Bank berhak untuk meminta
bantuan pihak yang berwenang guna mengeluarkan Debitur dan mengosongkan
rumah ini .
(4) Debitur dengan ini menyatakan melepaskan haknya untuk meminta bantuan
dari Instansi mana pun mengenai pengosongan rumah ini , bila haknya
untuk itu memang ada.
Pasal 11
Debitur Cedera Janji
Bank dapat menetapkan telah tejadinya cedera janji pihak Debitur dalam hal
berikut ini.
a. Debitur tidak membayar angsuran bulanannya ataupun jumlah angsuran
bulanan yang dibayarinya kurang dari jumlah yang ditetapkan dalam ayat (2)
Pasal 6 Perjanjian ini dan atau tidak melunasi kewajiban angsuran bulanannya
menurut batas tanggal yang ditetapkan dalam ayat (3) Pasal 6 perjanjian ini
sehingga untuk itu debitur telah mendapat Surat Peringatan tiga kali ber
turut-turut dari Bank.
b. Debitur melakukan berbagai penunggakan atas kewajiban angsuran bulanannya
sebagaimana ditentukan dalam ayat (4) pasal 6 perjanjian ini selama dua kali
baik berturut-turut maupun tidak dalam satu tahun takwim, sehingga untuk itu
Debitur telah mendapat peringatan terakhir dari Bank.
c. Debitur tidak memenuhi dengan baik kewajibannya sebagaimana ditentukan
dalam ayat (2), (3), (4), dan (5) Pasal 3 serta ayat (3) Pasal 5 perjanjian ini.
d. Debitur melanggar ketentuan-ketentuan pada ayat (4) Pasal 5 perjanjian ini.
e. Debitur tidak memenuhi dengan baik kewajiban-kewajibannya atau melanggar
ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian ini, satu dan lain semata-mata menurut
penetapan/pertimbangan Bank.
Pasal 12
Pelaksanaan (Eksekusi) Barang Jaminan
(1) bila berdasar Pasal 10 perjanjian ini Bank memakai haknya untuk
menagih pelunasan sekaligus atas utang Debitur, dan Debitur tidak dapat
memenuhi kewajiban membayar pelunasan ini walaupun telah mendapat
peringatan dari Bank, maka Bank berhak untuk setiap saat melaksanakan
eksekusinya atas jaminan yang dipegangnya, menurut cara dan dengan harga
yang dianggap baik oleh Bank dalam batas-batas yang diberikan oleh undang-
undang serta peraturan hukum lainnya.
(2) Hasil eksekusi dan atau penjualan barang jaminan ini dalam ayat (1)
pasal ini pertama-tama akan dipakai untuk melunasi sisa utang Debitur
kepada Bank. Termasuk semua biaya yang telah dikeluarkan Bank guna
melaksanakan eksekusi barang jaminan, dan bila masih ada sisanya jumlah
sisa ini akan dibayarkan kembali kepada debitur.
(3) bila dari hasil penjualan atau eksekusi barang jaminan kredit sebagaimana
ini pada ayat (2) pasal ini jumlahnya belum mencukupi untuk melunasi
seluruh utang Debitur kepada Bank maka sesuai dengan ketentuan/peraturan
yang berlaku Bank berhak untuk mengambil pelunasan atas sisa utang ini
dari penjualan barang-barang lain milik Debitur, yang ditunjuk oleh Debitur
sebagai jaminan tambahan atas kredit ini.
Pasal 13
Timbul dan Berakhirnya Hak-Hak dan Kewajiban
(1) Perjanjian Kredit ini berlaku efektif dan mengikat kedua belah pihak sesudah
ditandatangani oleh Bank dan Debitur.
(2) Dalam hal Debitur telah melunasi seluruh utangnya dan untuk itu telah
menerima pernyataan lunas dari Bank maka Bank untuk menghapuskan/
menghentikan pengikatan barang jaminan dan/atau meroya hipotik atas barang-
barang ini pada Pasal 3 dan Pasal 4 perjanjian ini.
(3) Selanjutnya Bank wajib menyerahkan kembali kepada Debitur semua surat-
surat dan dokumen-dokumen mengenai rumah berikut tanahnya, serta surat-
surat bukti lainnya yang disimpan/dikuasai Bank.
(4) Seluruh biaya yang diperlukan untuk penghapusan hipotik dan/atau pelepasan
pengikatan barang jaminan lainnya ini pada ayat (2) pasal ini, bila
ada, dibebankan kepada Debitur.
Pasal 14
Penyerahan Piutang kepada Pihak Lain
Debitur menyetujui dan memberi hak sepenuhnya kepada Bank untuk
menyerahkan (mencessikan) piutang dan/atau tagihan Bank kepada Debitur berikut
semua janji ciccesoimya hak-hak jaminan atas kredit ini, kepada pihak lain yang
ditetapkan oleh Bank sendiri, setiap saat diperlukan oleh Bank.
Pasal 15
Alamat Para Pihak
(1) Seluruh pembayaran utang atau setiap bagian dari utang Debitur dan surat-
menyurat harus dilakukan/dialamatkan pada Kantor Bank yang telah ditentukan;
jam-jam kerja dan kantor yang bersangkutan.
(2) Semua surat-menyurat dan pernyataan-pernyataan tertulis yang timbul dari
dan berakar pada Perjanjian Kredit ini dianggap telah diserahkan dan diterima
bila dikirimkan kepada:
- Pihak Bank dengan Alamat : Jalan Surapati No. 13, Denpasar.
- Pihak Debitur dengan Alamat : Fakultas Hukum, Universitas Mataram.
(3) Kedua belah pihak masing-masing akan memberitahukan secara tertulis
pada kesempatan pertama secepatnya setiap terjadi perubahan alamat,
Debitur pindah/tidak lagi menghuni rumah yang bersangkutan dan sebagainya.
Pasal 16
Kuasa yang Tidak Dapat Ditarik Kembali
Semua kuasa juga yang dibuat dan diberikan oleh Debitur dalam perjanjian
ini merupakan kuasa mutlak yang tak terpisahkan dari perjanjian ini dan tidak
dapat ditarik kembali sebab sebab-sebab apa pun, juga yang dapat mengakhiri
kuasa terutama yang dimaksud dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, dan debitur mengikatkan serta mewajibkan diri untuk tidak membuat
surat-surat kuasa dan/atau janji-janji yang sifat dan atau isinya serupa kepada
pihak lain, selain kepada Bank.
Pasal 17
Hukum yang Berlaku
Atas perjanjian ini, baik mengenai pelaksanaannya maupun mengenai
penafsirannya berlaku hukum perdata sebagaimana termaktub dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata untuk Indonesia.
Pasal 18
Lain-Lain
Hak dan Kewajiban yang timbul dan berakar pada Perjanjian ini diatur
dengan ketentuan dan prosedur kerja yang berlaku pada Bank; semua
pemberitahuan tertulis dari Bank dan semua surat-menyurat antara Bank dan
Debitur dalam pelaksanaan perjanjan ini mengikat dan harus ditaati oleh Debitur.
Pasal 19
Domisili
t
Tentang Perjanjian ini dan segala akibatnya kedua belah pihak memilih tempat
tinggal hukum (domisili) pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri .... Mataram ....
Pihak Bank
ttd.
Drs. Soenyoto
Mataram, 06 Februari 1989
Pihak Debitur
ttd.
Nyonya Mardiana
Nomor: 16/A/Net/1989
Pada hari ini, hari Senin, tanggal enam Februari seribu sembilan ratus delapan
puluh sembilan, telah menghadap di muka saya, Abdurrahim, Sarjana Hukum,
Wakil Notaris Sementara di Mataram, menerangkan bahwa Perjanjian Kredit
Pemilikan Tanah ini di depan, telah dibacakan dan dijelaskan hingga dimengerti
maksud dan tujuannya kepada para penghadap Drs. Soenyoto dan Nyonya
Mardiana, dan selanjutnya mereka menyatakan setuju dan sah di hadapan saya,
lalu ditandatangani oleh para penghadap dan saya, Wakil Notaris Sementara ini .
bila diperhatikan standar kontrak ini , ternyata bahwa standar kontrak
ini telah ditentukan secara sepihak oleh Bank Tabungan Negara (BTN),
tetapi di dalam kontrak itu ada beberapa hal yang masih kosong, seperti nama
nasabah, jumlah kredit yang akan diterimanya, pemakaian kredit, besarnya
bunga, provisi bank, besarnya angsuran yang harus disetor nasabah setiap
bulannya, alamat para pihak, dan tempat tinggal (domisili) nasabah. Sedangkan
yang telah ditentukan secara baku oleh Bank Tabungan Negara, seperti:
a. jaminan dan cara pengikatannya,
b. jaminan tambahan,
c . penghuni rumah,
d. kuasa menerima gaji dan surat tagihan,
e. pelunasan kembali sebelum berakhirnya jangka waktu,
f. pengawasan dan pemeriksaan barang jaminan,
g. penagihan seketika seluruh utang,
h. debitur cedera janji,
i. pelaksanaan (eksekusi) barang jaminan,
j. timbul dan berakhirnya hak-hak dan kewajiban,
k. penyerahan piutang kepada pihak lain,
l. kuasa yang tidak dapat ditarik kembali,
m. hukum yang berlaku, dan
n. lain-lain. Hal ini berisi tentang hak dan kewajiban yang timbul dan
berakar pada perjanjian ini diatur dalam ketentuan dan prosedur kerja
. yang berlaku pada bank dan semua pemberitahuan tertulis dari bank
Wakil Notaris Sementara
Abdurrahim, S.H.
dan semua surat-menyurat antara bank dan debitur dalam pelaksanaan
perjanjian ini mengikat dan harus ditaati oleh debitur.
Dari 19 pasal yang tercantum dalam kontrak standar antara Bank Tabungan
Negara dengan nasabah maka pasal yang sangat memberatkan nasabah
yaitu Pasal 6 ayat (3). Pasal 6 ayat (3) perjanjian kredit pemilikan rumah
antara Bank Tabungan Negara dengan nasabah berbunyi:
’’Perubahan jumlah angsuran bulanan yang dipicu oleh perubahan suku
bunga, akan diberitahukan secara tertulis oleh Bank, debitur setuju, mewajibkan
dan mengikatkan diri dan menaati dan melaksanakan perubahan angsuran
bulanan, sebagaimana yang ditetapkan Bank.”
Sejak terjadinya krisis multidemensi pada tahun 1997 yang lalu, ketentuan
ini dijadikan instrumen oleh Bank untuk menaikkan suku bunga kredit yang
diterima oleh nasabah. Pada mulanya nasabah hanya dibebankan bunga se
besar 14%/tahun, namun sejak terjadinya krisis multidimensi maka suku bunga
yang diberlakukan bagi nasabah antara 16-18%/tahun. Dengan demikian
sehingga angsuran rumah yang akan dibayar oleh nasabah sangat tinggi. Ini
berarti bahwa nasabah tinggal menerima apa yang dinyatakan oleh Bank,
walaupun mereka menerimanya dengan sangat terpaksa.
Begitu juga dengan denda keterlambatan pembayaran angsuran. Nasabah
yang terlambat membayar angsuran setiap bulannya dikenakan denda keter
lambatan sebesar 50% dari tarif bunga per bulan (Pasal 2 ayat (3) Surat
Pengakuan Utang BRI). bila nasabah membayar pokok setiap bulannya
sebesar Rp500.000,00/bulan dan bunga sebesar Rp200.000,00/bulan maka
total pembayaran pokok+bunga sebanyak Rp700.000,00/bulan. bila terlambat
1 (satu) bulan maka nasabah membayar pokok+bunga+denda keterlambatan
sebesar 50% dari tarif bunga, sehingga total pembayaran utang nasabah
sebesar Rp800.000,00/setiap keter-lambatan.
d. Kekuatan Mengikat Perjanjian Baku (Standar)
Perjanjian yang dibuat antara Bank Tabungan Negara dengan nasabah,
ternyata ada beberapa pasal yang merugikan nasabah, seperti perubahan
suku bunga yang diberlakukan kepada nasabah. Persoalannya kini, apakah
dengan adanya berbagai klausula-klausula ini , perjanjian itu memiliki
kekuatan mengikat. Dalam perpustakaan hukum telah dicoba untuk membuat
dasar ikatan dengan syarat-syarat baku. Pertama-tama ada ajaran
penaklukan kemauan (wilsonderwerping) dari Zeylemaker. Ia berpendapat
bahwa:
’’Orang mau, sebab orang merasa takluk kepada satu pengaturan yang
aman, disusun secara ahli dan tidak sepihak, atau sebab orang tidak dapat
berbuat lain dibandingkan takluk,namun orang mau dan orang tahu bahwa orang
mau.”
Stein tidak sependapat dengan cara berpikir ini. Pihak peserta lain sama
sekali tidak mau takluk kepada syarat-syarat yang tidak menguntungkan dia,
melainkan kepada klausula yang pantas. Selanjutnya Stein mengatakan bahwa
kebutuhan praktis dari lalu lintas hukum memaksa satu kesimpulan bahwa
pihak lain terikat pada semua syarat-syarat, tanpa mempertimbangkan apakah
ia mengetahui syarat-syarat itu
Hondius berpendapat bahwa dua konstruksi itu tidak meyakinkan. Pendapat
Zeylemaker memang dapat dipakai sebagai dasar pengikatan,namun hanya
dengan syarat bahwa hal itu dilengkapi dengan alasan kepercayaan. Hal ini
mengandung arti penandatanganan hanya ada nilai dalam kerangka pem
bicaraan: penandatanganan tidak hanya mengikat kalau ia mau, juga jika ia
sepanjang telah menciptakan kepercayaan pada pihak peserta lain dengan
cara dapat diperhitungkan, bahwa ia mau terikat
Pandangan lain berpendapat bahwa perjanjian baku bukan merupakan
perjanjian sebab bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Pendapat
ini diwakili oleh Sluijter dan Mariam Darus Badrulzaman. Sluijter mengatakan
bahwa:
’’Perjanjian baku, bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam
perjanjian itu yaitu seperti pembentuk undang-undang swasta (legio
particuliere wet-gever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam
perjanjian itu yaitu undang-undang dan bukan perjanjian.”
Pandangan ini melihat perjanjian baku dari aspek pembuatan substansi
kontrak. Substansi kontrak itu dibuat oleh pengusaha secara sepihak. Sluijter
berpendapat substansi kontrak itu bukan kontrak,namun undang-undang swasta
yang diberlakukan bagi debitur. Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman
berpendapat bahwa:
’’Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberi
kesempatan pada debitur mengadakan real bargaining dengan pengusaha
(kreditur). Debitur tidak memiliki kekuatan untuk mengutarakan kehendak
dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Oleh sebab itu, perjanjian
baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki Pasal 1320 KUH Perdata jo.
Pasal 1338 KUH Perdata.”
Pandangan Mariam Darus Badrulzaman juga mengkaji dari aspek kebebasan
para pihak. Di sini pihak debitur tidak memiliki kekuatan tawar-menawar
dalam menentukan isi kontrak dengan pihak kreditur. Pihak kreditur tinggal
menyodorkan isi kontrak ini kepada debitur dan debitur tinggal menyetujui
”ya” atau ’’tidak”. bila debitur menyetujui substansinya maka ia me
nandatangani kontrak ini ,namun bila substansi itu tidak disetujui, maka
ia tidak menandatangani kontrak ini . Dengan demikian, kebebasan
berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata tidak memiliki
arti bagi debitur, sebab hak-hak debitur dibatasi oleh kreditur.
Dari kedua pandangan ini , penulis menyetujui pandangan yang dikemu-
kakan oleh Stein dan Hondius yang menitikberatkan kekuatan mengikat
perjanjian baku sebab kebiasaan yang berlaku dalam warga . Pada
dasarnya, warga menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis. Artinya
dengan menandatangani formulir, ia akan segera mendapatkan sesuatu yang
diinginkannya, tanpa memerlukan waktu dan pikiran yang lama. Misalnya,
bila ia membutuhkan kredit bank begitu ia menandatangani perjanjian
kredit maka perjanjian sudah terjadi. Dengan telah ditandatanganinya standar
kontrak ini , timbullah hak dan kewajiban para pihak. Hak dari penerima
kredit yaitu menerima uang, dan kewajibannya membayar pokok dan
bunga sesuai yang disepakatinya dalam formulir perjanjian kredit.
Di samping hal di atas, dalam pembuatan kontrak juga ada pembatasannya.
Pembatasannya, yaitu sebagai berikut.
1. Pembatasan atau persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh hukum dan
badan-badan Pemerintah. Ketentuan-ketentuan administratif dari instansi
tertentu, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing. Setiap perjanjian/kontrak yang dibuat oleh
perusahaan penanaman modal asing mengenai asetnya, saham dan tenaga
kerja harus memperoleh persetujuan dari Badan Penanaman Modal (BKPM).
sebab itu momentum berlakunya kontrak ini baru berlaku dan mengikat
sejak memperoleh persetujuan dari BKPM.
2. Pembatasan dalam penjualan benda tak bergerak.
Seperti kita tahu bahwa tidak setiap orang atau badan hukum diperkenankan
untuk memperoleh hak milik terhadap benda tak bergerak, khususnya tanah.-
sebab di dalam UUPA telah ditentukan bahwa yang berhak memiliki hak
milik yaitu warga negara Indonesia, sedangkan orang asing tidak diper
kenankan untuk mendapatkan hak milik. Sedangkan kepada WNA hanya
diberikan hak untuk memperoleh HGB, HGU, dan hak pakai. Oleh sebab
itu, setiap notaris yang akan membuatkan kontrak tentang jual beli benda
tidak bergerak, harus menanyakan tentang status hukum dari pihak pembeli.
bila WNA maka notaris akan menolak membuat perjanjian ini .
3. Persyaratan dari Departemen Tenaga Kerja mengenai perjanjian untuk jangka
waktu tertentu. Syarat adanya perjanjian kerja:
a. jangka waktu kontrak 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang,
b. masa percobaan tidak diperkenankan.
4. Persyaratan dalam perjanjian keagenan dan distributor. Syaratnya:
a. menunjuk badan hukumAVNI sebagai agen tunggal,
b. jangka waktu perjanjian keagenan minimal 3 (tiga) tahun,
c. hukum yang berlaku yaitu hukum Indonesia, dan
d. agen harus terdaftar di Departemen Perdagangan dan Industri.
bila keempat hal itu telah diperhatikan oleh para pihak dan atau para
Notaris maka kemungkinan untuk pembatalan kontrak menjadi berkurang.
B. PRINSIP-PRINSIP DALAM PENYUSUNAN KONTRAK
Di dalam mempersiapkan kontrak, ada dua prinsip hukum yang harus
diperhatikan, yaitu
(1) beginselen der contrachtsvrijheid atau party autonomy, dan
(2) pacta sunt servanda.
Beginselen der contrachtsvrijheid atau party autonomy, yaitu para pihak
bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan, dengan syarat tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Untuk
menghindari ketidakjelasan maksud para pihak maka langkah pertama yang harus
dilakukan yaitu eksekutif perusahaan harus menjelaskan sejelas-jelasnya kepada
mereka yang terlibat dan bertugas melakukan transaksi. Sedangkan kewajiban
pertama ahli hukum yaitu mengomunikasikan kepada kliennya mengenai apakah
yang telah dirumuskannya ini sudah sesuai dengan keinginan kliennya.
C. PRAPENYUSUNAN KONTRAK
Sebelum kontrak disusun, ada empat hal yang harus diperhatikan oleh para
pihak. Keempat hal itu yakni identifikasi para pihak, penelitian awal aspek
terkait, pembuatan Memorandum o f Understanding (MOU) dan negosiasi.
Keempat hal itu dijelaskan berikut ini.
1. Identifikasi Para Pihak
Para pihak dalam kontrak harus teridentifikasi secara jelas, perlu diperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan, terutama tentang kewenangannya
sebagai pihak dalam kontrak yang bersangkutan, dan apa yang menjadi dasar
kewenangannya ini . Di samping itu, juga perlu diperhatikan syarat yang
harus dipenuhi terutama dalam kaitan dengan tindakan sebagai wakil dari badan
hukum. Dalam praktik biasanya ditentukan secara rinci dalam anggaran dasar
(AD), perlu diperhatikan bagaimana jika tindakan ini dilakukan oleh orang
yang berwenang atau dilakukan melebihi kewenangan yang diberikan.
2. Penelitian Awal Aspek Terkait
Pada dasarnya pihak-pihak berharap bahwa kontrak yang ditandatangani
dapat menampung semua keinginannya, sehingga apa yang menjadi hakikat kontrak
benar-benar terperinci secara jelas. Penyusunan kontrak harus menjelaskan hal-
hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi yuridis, serta
alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan. Pada akhirnya penyusun kontrak
menyimpulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, memperhatikan hal terkait
dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti rugi, serta perpajakan.
3. Pembuatan Memorandum o f Understanding (MOU)
Memorandum o f Understanding (MOU) sebenarnya tidak dikenal dalam
hukum konvensional Indonesia,namun dalam praktik sering terjadi. MOU dianggap
sebagai kontrak yang simpel dan tidak disusun secara formal serta MOU
dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan.
Pada hakikatnya MOU merupakan suatu perjanjian pendahuluan dalam arti
akan diikuti perjanjian lainnya. Alasannya dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Dalam prospeknya belum jelas untuk menghindari kesulitan pembatalan
dibuat MOU yang relatif lebih mudah dibatalkan.
b. Dalam penandatanganan kontrak memerlukan waktu yang lama, sehingga
dibuat MOU yang akan berlaku sementara waktu.
c. Adanya keraguan para pihak dan memerlukan waktu untuk berpikir jika
menandatangani kontrak maka untuk sementara dibuat MOU.
Ciri-ciri MOU, yaitu
a. isinya singkat berupa hal pokok,
b. merupakan pendahuluan, yang akan diikuti suatu kontrak terperinci,
c. jangka waktunya terbatas, dan
d. biasanya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang
memaksa untuk adanya kontrak terperinci.
Meskipun MOU diakui banyak manfaatnya,namun banyak pihak meragukan
berlakunya secara yuridis.
4. Negosiasi
a. Pengertian Negosiasi
Negosiasi merupakan sarana bagi para pihak untuk mengadakan komunikasi
dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan sebagai akibat adanya
perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal dan dilatarbelakangi oleh kesamaan/
ketidaksamaan kepentingan di antara mereka.
b. Jenis-Jenis Negosiasi
Ada dua corak negoisasi, yaitu position bargainer dan hard position
bargainer (keras). Position bargainer (lunak) ini banyak dilakukan di
lingkungan keluarga, antara sahabat, dan lain-lain. Tujuannya yaitu untuk
membina hubungan baik (culitivating). Kelebihan corak ini cepat
menghasilkan kesepakatan, namun mengandung risiko, yakni memungkinkan
pola menang-kalah (win-lose). Sedangkan hard position bargainer (keras)
sangat mungkin menemui kebuntuan /deadlock akibat adanya tekanan, serta
ancaman, terutama jika terbentur pada situasi saat bertemu perunding keras
sesama perunding keras lainnya.
Dengan membandingkan kedua corak ini maka yang paling efektif yaitu
perpaduan antara keduanya/corak principled negotiation/interest based
negotiation, yang menganut pola win-win, yaitu keras dalam permasalahan
tetapi lunak terhadap orang (hard on the merits, soft on the people).
Corak perpaduan itu menekankan pada pentingnya pemisahan antara oran'g
dan masalah, memfokuskan serangan pada permasalahan, dan bukan pada
orang serta mengandalkan adanya pilihan. Pilihan ini akan mudah diterima
jika dilandasi adanya kriteria objektif, seperti scientific judgement, peraturan
perundang-undangan, dan nilai pasar.
Tahapan Negosiasi
Ada dua tahap yang harus dilakukan oleh negosiator dalam melakukan
negosiasi terhadap kontrak, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.
Tahap persiapan, yaitu tahap sebelum terjadinya negosiaisi.
Pada tahap persiapan ini, seorang negosiator harus melakukan hal-hal sebagai
berikut:
1) menguasai konsep/rancangan kontrak bisnis secara komprehensif dan
rinci;
2) menguasai pengetahuan tentang industri dari apa yang diperjanjikan;
3) menguasai peraturan perundang-undangan yang melingkupi apa yang
diperjanjikan;
4) memahami betul apa yang diinginkan oleh pihak yang diwakili dan
posisinya;
5) mengidentifikasi poin-poin yang berpotensi menjadi masalah atau
dipermasalahkan;
6) mengantisipasi solusi apa dari poin-poin yang berpotensi menjadi masalah
dan dipermasalahkan serta mendiskusikan solusi ini terlebih dahulu
dengan pihak yang diwakili;
7) menumbuhkan percaya diri;
8) sedapat mungkin meminta counterpart agar negosiasi dilakukan di
kantor atau di tempat yang dipilih negosiator (Hikmahanato Juwana,
tt: 1-3).
Hal-hal yang harus dilakukan negosiator dalam tahap pelaksanaan, yaitu
1) sedapat mungkin memimpin negosiasi;
2) mengetahui betul siapa yang dihadapi dan mengukur kekuatan dengan
menanyakan berbagai hal;
3) menetapkan apa saja yang hendak dicapai dalam negosiasi;
4) meminta pihak counterpart untuk memberitahukan lebih dahulu apa
yang menjadi keinginannya. Sedapat mungkin dimulai dari awal konsep/
rancangan kontrak bisnis. sesudah itu baru kemukakan apa yang menjadi
keinginan negosiator. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengindentifikasi
poin-poin dalam kontrak bisnis di mana para pihak berbeda pandangan.
Di samping itu hal ini dimaksudkan juga untuk bargaining chips dalam
proses negosiasi selanjutnya;
5) menyelesaikan poin-poin yang mudah untuk diselesaikan terlebih dahulu
atau menunda (pending) hal-hal yang rumit untuk diselesaikan;
6) memberi argumentasi yang logis serta analogi untuk menjelaskan
posisi/pandangan;
7) mempermainkan emosi: kapan emosi harus meninggi dan kapan harus
mereda. Cairkan situasi bila menjadi tegang, misalnya dengan
membuat lelucon atau keluar dari ruangan negosiasi;
8) bila ada poin yang tidak terselesaikan, jangan terburu-buru dan
terjebak untuk diselesaikan;
9) tidak mengambil keputusan tehadap poin yang perlu mendapat arahan
dari pihak yang diwakili sebelum melakukan konsultasi;
10) bila ada waktu, jangan menyelesaikan negosiasi dalam satu kali
pertemuan;
11) catat semua hal yang disepakati dan tuangkan dalam kontrak bisnis
dengan mark-up.
bila kesebelas hal itu dilakukan oleh Negosiator dengan baik, maka
kontrak yang dibuat oleh para pihak akan memberi kepastian hukum
dan keadilan bagi kedua belah pihak, sebab substansi kontrak itu telah
diformulasikan dengan para negosiator.
D. TAHAP PENYUSUNAN
Salah satu tahap yang menentukan dalam pembuatan kontrak, yaitu tahap
penyusunan kontrak. Penyusunan kontrak ini perlu ketelitian dan kejelian dari para
pihak maupun para Notaris. sebab , bila keliru di dalam pembuatan kontrak
maka akan memicu persoalan di dalam pelaksanaannya. Ada lima tahap
dalam penyusunan kontrak di Indonesia, sebagaimana dikemukakan berikut ini.
1. Pembuatan draf pertama, yang meliputi:
a. Judul kontrak
Dalam kontrak harus diperhatikan kesesuaian isi dengan judul serta
ketentuan hukum yang mengaturnya, sehingga kemungkinan adanya
kesalahpahaman dapat dihindari.
b. Pembukaan
Biasanya berisi tanggal pembuatan kontrak.
c. Pihak-pihak dalam kontrak
Perlu diperhatikan jika pihak ini orang pribadi serta badan hukum,
terutama kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum dalam
bidang kontrak.
d. Racital
Yaitu penjelasan resmi/latar belakang terjadinya suatu kontrak.
e. Isi kontrak
Bagian yang merupakan inti kontrak. Yang memuat apa yang
dikehendaki, hak, dan kewajiban termasuk pilihan penyelesaian sengketa.
f. Penutup
Memuat tata cara pengesahan suatu kontrak.
Sedangkan di USA, draf kontrak berisi hal-hal berikut ini.
a. Part racital, yaitu penjelasan resmi/latar belakang terjadinya suatu
kontrak.
b. Consideration, yaitu berisi tentang prestasi.
c. Warranties and representation.
d. Risk allocation.
e. Condition.
f. Dates and term.
g. Boillerplate.
h. Signature.
2. Saling menukar draf kontrak.
3. Jika perlu diadakan revisi.
4. Dilakukan penyelesaian akhir.
5. Penutup dengan penandatanganan kontrak oleh masing-masing pihak.
E. STRUKTUR DAN ANATOMI KONTRAK
Pada dasarnya, susunan dan anatomi kontrak, dapat digolongkan menjadi
tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, isi, dan penutup. Ketiga hal itu dijelaskan
berikut ini.
1. Bagian Pendahuluan
Dalam bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian.
a. Subbagian pembuka (description o f the instrument).
Subbagian ini memuat tiga hal berikut, yaitu
(1) sebutan atau nama kontrak dan penyebutan selanjutnya (penyingkatan)
yang dilakukan,
(2) tanggal dari kontrak yang dibuat dan ditandatangani, dan
(3) tempat dibuat dan ditandatanganinya kontrak.
b. Subbagian pencantuman identitas para pihak {caption).
Dalam subbagian ini dicantumkan identitas para pihak yang mengikat diri
dalam kontrak dan siapa-siapa yang menandatangani kontrak ini . Ada
tiga hal yang perlu diperhatikan tentang identitas para pihak, yaitu
(1) para pihak harus disebutkan secara jelas;
(2) orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa;
(3) pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak,
c. Subbagian penjelasan.
Pada subbagian ini diberikan penjelasan mengapa para pihak mengatakan
kontrak (sering disebut bagian premis).
2. Bagian Isi
Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi.
a. Klausula definisi (definition)
Dalam klausula ini biasanya dicantumkan berbagai definisi untuk keperluan
kontrak. Definisi ini hanya berlaku pada kontrak ini dan dapat memiliki
arti dari pengertian umum. Klausula definisi penting dalam rangka mengefisienkan
klausula-klausula selanjutnya sebab tidak perlu diadakan pengulangan.
b. Klausula transaksi (operative language)
Klausula transaksi yaitu klausula-klausula yang berisi tentang transaksi yang
akan dilakukan. Misalnya dalam jual beli aset maka harus diatur tentang
objek yang akan dibeli dan pembayarannya. Demikian pula dengan suatu
kontrak usaha patungan, perlu diatur tentang kesepakatan para pihak dalam
kontrak ini .
c. Klausula spesifik
Klausula spesifik mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya
klausula ini tidak ada dalam kontrak dengan sanksi yang berbeda.
d. Klausula ketentuan umum
Klausula ketentuan umum yaitu klausula yang seringkah dijumpai dalam
berbagai kontrak dagang maupun kontrak lainnya. Klausula ini antara lain
mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum,
pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian, dan lain-lain.
3. Bagian Penutup
Ada dua hal yang tercantum pada bagian penutup.
a. Subbagian kata penutup (closing), kata penutup biasanya menerangkan bahwa
perjanjian ini dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki
kapasitas untuk itu. Atau para pihak menyatakan ulang bahwa mereka akan
terikat dengan isi kontrak.
b. Subbagian ruang penempatan tanda tangan yaitu tempat pihak-pihak
menandatangani perjanjian atau kontrak dengan menyebutkan nama pihak
yang terlibat dalam kontrak, nama jelas orang yang menandatangani dan
jabatan dari orang yang menandatangani.
Di dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi telah ditentukan uraian-uraian yang harus dimuat dalam Kontrak
Kerja Konstruksi. Uraian-uraian ini yaitu sebagai berikut.
1. Para pihak, yang memuat secara jelas para pihak. Yang dimaksud dengan
identitas para pihak yaitu nama, alamat, kewarganegaraan, wewenang
penanda tangan, dan domisili.
2. Rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup
kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Lingkup kerja meliputi:
a. volume pekerjaan, yakni besarnya pekerjaan yang harus dilaksanakan,
termasuk volume pekerjaan tambah atau kurang. Dalam mengadakan
pembahan volume pekerjaan, perlu ditetapkan besarnya pembahan volume
yang tidak memerlukan persetujuan para pihak terlebih dahulu;
b. persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para
pihak dalam mengadakan interaksi;
c. persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh
penyedia jasa;
d. pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara
lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan
bagi tenaga kerja dan warga . Perlindungan ini dapat berupa
antara lain asuransi atau jaminan yang diterbitkan oleh bank atau lembaga
bukan bank;
e. laporan hasil pekerjaan konstruksi.
3. Nilai pekerjaan, yakni jumlah besarnya biaya yang akan diterima oleh penyedia
jasa untuk pelaksanaan lingkup pekerjaan. Batas waktu pelaksanaan yaitu
jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk
masa pemeliharaan.
4. Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka
waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab
penyedia jasa.
5. Tenaga ahli, yang memuat tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga
ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi.
6. Hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh
hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan
yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan
imbalan serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi.
7. Cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna
jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi.
8. Cedera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal
salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
9. Penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara
penyelesaian akibat ketidaksepakatan.
10. Pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang
pemutusan kontrak kerja kontruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya
kewajiban salah satu pihak.
11. Keadaan memaksa (force majeur), yang memuat ketentuan tentang kejadian
yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang memicu
kerugian bagi salah satu pihak.
12. Perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak
dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial.
13. Aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan
ketentuan tentang lingkungan.
Di samping itu, di dalam kontrak kerja konstruksi dapat juga dimasukkan
tentang:
1. kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif,
2. subpenyedia jasa, dan
3. pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan yang
harus memenuhi standar yang berlaku.
Untuk kontrak kerja konstruksi pekerjaan perencanaan harus memuat tentang
hak atas kekayaan intelektual. Hak atas kekayaan intelektual yaitu hasil inovasi
perencanaan konstruksi dalam suatu pelaksanaan kontrak kerja konstruksi baik
bentuk hasil akhir perencanaan dan/atau bagian-bagiannya yang kepemilikannnya
dapat diperjanjikan. Ini berarti bahwa atas kekayaan intelektual itu dapat dimiliki
oleh pemberi jasa atau penyedia jasa. Dengan demikian, salah satu pihak, baik
pemberi jasa maupun penyedia jasa dapat mengajukan haknya kepada Pemerintah.
bila dianalisis uraian-uraian tentang substansi kontrak kerja konstruksi,
tampaklah bahwa uraian-uraian itu telah memenuhi syarat, baik syarat teoretis
maupun pragmatis. Uraian kontrak itu telah mengatur secara lengkap tentang hal-
hal yang harus tercantum di dalam kontrak konstruksi. Para pelaksana proyek di
lapangan, apakah itu Pimpro maupun Penyedia Konstruksi tinggal merinci pasal
demi pasal dalam kontrak ini , sebab di dalam uraian ini telah jelas hal-
hal yang harus tercantum di dalamnya.
Untuk mempermudah maka berikut ini disajikan sebuah kontrak konsultansi
yang dibuat antara Pemerintah c.q. Bappeda Kabupaten Dompu dengan
Konsultansi PDM DKE, yaitu Yayasan Abdi Insani.
Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja)
Pekerjaan Konsultan Pendamping Kabupaten (Kp-Kab)
Proyek Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi
(PDM-DKE) Kabupaten Dompu Tahun 2000
Nomor : 050/139/Bappeda
Tanggal : 5 Oktober 2000
Pada hari ini, Kamis 5 Oktober tahun Dua Ribu, kami yang bertanda tangan
di bawah ini:
1. Nama : Drs. Imran M. Hasan
Jabatan : Pemimpin Proyek Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi
Dampak Krisis Ekonomi Kabupaten Dompu
Alamat : Jin. Soekarno-Hatta No. 29 Dompu
berdasar Surat Keputusan Bupati Dompu Nomor: 954/76/008/2000, tanggal
28 Juli 2000, telah ditunjuk sebagai Pemimpin Proyek Pemberdayaan Daerah
dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) Kabupaten Dompu,
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kabupaten Dompu
yang selanjutnya dalam perjanjian ini disebut Pihak Pertama.
2. Nama : Dr. Mahsun, MS.
Jabatan : Direktur Eksekutif Yayasan Abdi Insani Mataram
Alamat : Jin. Panji Asmara IV No. 6 Tanjung Karang-Ampenan
berdasar Akte Pendirian Notaris Nomor: 6 tanggal 9 Maret 1998 oleh
Notaris Abdullah. SH. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasarnya bertindak untuk dan atas nama Yayasan Abdi Insani yang selanjutnya
dalam perjanjian ini disebut Pihak Kedua.
Dengan ini Pihak Pertama dan Pihak Kedua menyatakan telah sepakat
membuat perjanjian kerja sama dalam Pekerjaan Konsultan Pendamping
Kabupaten (KP-Kab) Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak
Krisis Ekonomi (PDM-DKE) Kabupaten Dompu Tahun 2000, sebagai hasil proses
penunjukan langsung yang dilaksanakan sesuai dengan surat penetapan Pemimpin
Proyek Nomor: 050/137/ Bappeda dengan ketentuan pada pasal-pasal berikut ini.
Pasal 1
Surat Perintah Kerja
Tujuan Surat Perintah Kerja ini yaitu Pihak Kedua harus melaksanakan
pekerjaan sebagai Konsultan Pendamping Kabupaten Pelaksanaan Program PDM-
DKE Kabupaten Dompu Tahun 2000 sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
sehingga memberi hasil yang memuaskan bagi Pihak Pertama.
Pasal 2
Jenis Pekerjaan
Pekerjaan yang dilaksanakan yaitu Pekerjaan sebagai Konsultan
Pendamping Kabupaten (KP-Kab) Pelaksanaan Program Pemberdayaan Daerah
dalam mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) di Kabupaten Dompu
Tahun 2000, sesuai dengan Dokumen Pelelangan y