Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
Kehidupan ekonomi antara satu negara dengan negara lain
semakin saling tergantung, sehingga ketentuan hukum di bidang
perdagangan internasional dan bisnis transnasional semakin diperlukan.
Kejahatan korporasi yang semakin canggih baik bentuk atau jenisnya
maupun modus operandinya sering melampaui batas-batas negara
(transborder crime) dan juga sering dipengaruhi oleh negara lain akibat era
globalisasi.
Tindak Pidana Pencucian uang merupakan kejahatan yang
mempunyai ciri khas yakni, kejahatan ini bukan merupakan kejahatan
tunggal namun kejahatan ganda. Kejahatan ini ditandai dengan
bentuk pencucian uang merupakan kejahatan yang bersifat follow up crime
atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan
asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara
yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang
menghasilkan uang yang lalu dilakukan proses pencucian
Pencucian uang merupakan suatu usaha perbuatan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta
kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar
uang atau harta kekayaanini tampak seolah-olah berasal dari
kegiatan yang sah/legal. Hal ini bermula terjadi di Amerika pada tahun
1930, dimana pada masa itu mafia kejahatan membeli perusahaan
pencucian pakaian sebagai tempat untuk mencuci uang dari hasil
kejahatannya, dari sinilah istilah money laundring berkembang (Ratna,
2016: 336). Sebelumnya, pada tahun 1900-an Alphonso Capone atau yang
lebih dikenal dengan Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu,
mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya dengan memakai si genius
Meyer Lansky, orang Polandia. Lansky, seorang akuntan yang mencuci
uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu (Laundry). Demikianlah
asal muasal muncul nama Money Laundering .
biasanya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari
tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil
kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum. Sehingga
mereka dapat dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaanini baik
untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh sebab itu, Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak hanya mengancam stabilitas dan
integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga
dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan berwarga , berbangsa,
dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945.
Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan
KUHP dan Hukum Pidana Islam
Begitu besamya kerugian yang ditimbulkan dari praktik pencucian
uang, oleh sebab itu usaha untuk mencegah tindak pidana pencucian
uang telah dilakukan oleh berbagai negara. Perang terhadap kegiatan
pencucian uang oleh organisasi organisasi kejahatan dan oleh individu-
individu yang tidak tergabung dalam organisasi-organisasi kejahatan
telah mencapai tingkat yang jauh lebih serius daripada 15 tahun yang
lampau. Badan kerjasama internasional pertama adalah The Finnacial
Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang didirikan oleh G 7
Summit di Prancis pada bulan Juli 1989 (Neni, 2018: 69), antara lain
mengenai perluasan Pihak Pelapor (Reporting Parties) yang mencakup
pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan
bermotor.
negara kita sendiri dalam usaha pencegahan tindak pidana
pencucian uang telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-
undangan guna untuk menekan maraknya jumlah kejahan TPPU di
negara kita , diantara adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik negara kita
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dari pemaparan diatas, maka penelitian ini akan menguraikan
bagaimana aturan dan pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang di
negara kita serta bagaimana Islam dalam hal ini Fiqih Jinayat mengatur
tentang Tindak Pidana Pencucian Uangini . Penelitian ini adalah
penelitian kepustaan (Library Rearesch) dengan menggunakan pendekatan
studi komparatif.
Perkembangan teknologi telah mendorong peningkatan berbagai
macam kejahatan baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun
oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun melintasi batas
wilayah negara lain , antara lain berupa tindak pidana
korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga
kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika
dan psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak, perdagangan
senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan
dan berbagai kejahatan kerah putih (BPHN, 2012).
Tindak pidana pencucian uang adalah usaha untuk
menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil
kejahatan dengan melalui berbagai cara dan memasukannya ke dalam
sistem keuangan agar harta kekayaan hasil kejahatanini menjadi
kelihatan legal. Oleh sebab itu, agar hasil kejahatan dapat menghasilkan
keuntungan di sistem keuangan yang legal dan juga menjaga reputasi
atau status sosial seseorang atau suatu kelompok, para pelaku melakukan
tindak pidana pencucian uang .
Menurut Munir Fuady mengatakan kegiatan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Money Laundering) secara Universal dewasa ini telah
digolongkan sebagai suatu Tindak Pidana yang tergolong dalam White
Collar Crime. Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang ini untuk dapat
melakukan pemutihan uang dilakukan secara jelas dengan cara illegal.
Sedangkan pencucian uang menurut Sarah N. Welling adalah dimulai
dari adanya uang kotor atau haram yang ditempuh melalui penggelapan
pajak dan memperoleh kekayaan dengan cara melanggar hukum ,
Beberapa jenis Tindak Pidana Pencucian Uang dalam suatu tindak
pidana menggunakan asas ultimum remedium, sebab asas ultimum
remedium adalah jalan terakhir yang harus ditempuh dalam proses
peradilan Tindak Pidana Pencucian Uang. sebab Asas Ultimum remedium
dalam Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai penentu pidana dalam
Undang-undang untuk suatu tindakan pidana sebab alat penegak
hukum atau Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak serasi lagi.
Proses Tindak Pidana Pencucian Uang dengan menggunakan alat
pamungkas atau yang disebut asas Ultimum Remedium untuk dapat
menegakkan hukum Pidana dan penentuan pidana dalam undang-
undang untuk tindakan tertentu harus sedemikian rupa, sebab alat
penegak hukum atau sanksi lainnya sudah tidak serasi, maka
diberlakukanlah Asas Ultimum Remedium untuk suatu Tindak Pidana
Pencucian Uang. Asas ultimum remedium adalah suatu jalan terakhir yang
ditempuh dalam proses pengadilan. Diterapkannya asas ultimum
remedium dalam Tindak Pidana Pencucian Uang sebab asasini
dalam pidana adalah sebagai alat pamungkas untuk menegakkan hukum.
Perlu untuk diketahui bahwa hukum pidana adalah Ultimum
Remedium dengan mengingat ketentuan perumusan ketentuan ancaman
pidana, pembentukan undang-undang selain harus mempertanyakan
apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang cukup
bagi kepentingan termaksud, dan apakah suatu sanksi pidana memang
diperlukan untuk halini ,
Asas ultimum remedium juga sebagai tindak pidana dalam undang-
undang untuk suatu tindakan tertentu yang harus sedemikian rupa,
sebab alat penegak hukum atau sanksi lainnya sudah tidak serasi lagi
atau tidak dipakai. Jenis-jenis suatu tindak pidana yang dilihat dari suatu
asas Ultimum Remedium dapat merupakan pelanggaran-pelanggaran yaitu
1. Norma hukum perdata.
2. Hukum tata negara.
Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan
KUHP dan Hukum Pidana Islam
3. Hukum administrasi.
4. Hukum agama.
5. Hukum adat atau hukum kebiasaan.
Asas Ultimum Remedium dipakai dalam suatu Tindak Pidana
Pencucian Uang sebab adanya batasan tertentu dalam suatu tindakan
yang merupakan pelanggaran norma hukumini tidak perlu
diadakan ketentuan pidana, tetapi jika melampaui batas tertentu maka
asas ultimum remedium sudah perlu diadakan diberlakukan untuk suatu
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selanjutnya ruang berlakunya undang-undang pidana baik tentang
pencucian uang ataupun tentang hukum pidana secara umum dapat
berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Pencucian
Uang, hal ini dapat dilihat dan diatur dalam Pasal 2 KUHP yang
membahas tentang ketentuan pidana dalam peraturan perundangan-
undangan dalam suatu Tindak Pidana Pencucian Uang di negara kita yang
berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang
dalam wilayah Republik negara kita . Jadi ketentuan Pidana di negara kita
berlaku bagi semua penduduk negara kita baik Warga Negara negara kita
maupun Warga Asing yang berdomisili di negara kita .
Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dapat dilihat
ketentuan dalam pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 2010 dijelaskan bahwa
Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa tindak pidana pencucian uang
merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang
dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer
,mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya
Berlakunya ketentuan Pidana di negara kita yang digambarkan
dalam Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berlaku telah diperluas dengan
adanya asas yaitu perluasan wilayah yaitu :
1. Aturan Pidana negara kita akan diberlakukannya untuk Tindak Pidana
yang dilakukan di atas kapal atau pesawat udara negara kita yang
sedang berada di Luar Negeri. Ketentuan Pidana dalam Undang-
Undang negara kita berlaku bagi setiap orang yang di luar negara kita
yang diatur dalam Pasal 4 KUHP melakukan kejahatan yang diatur
dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 111
bis ke-1, Pasal 127 dan Pasal 131 KUHP yang menyangkut kejahatan
terhadap keamanan Negara.
2. Pasal 7 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan Pidana dalam
Undang-Undang negara kita berlaku bagi pegawai Negeri negara kita
pegawai negeri sipil dan tentara nasional negara kita atau polisi
republik negara kita (PNS dan TNI atau POLRI) yang berada di luar
negara kita mengenai salah satu kejahatan yang diatur dalam Bab
XXVIII, buku II KUHP tentang Kejahatan yang dilakukan dalam
jabatan.
3. Pasal 8 KUHP berlaku bagi Nahkoda kapal negara kita yang berada di
luar negara kita melakukan suatu kejahatan yang diatur dalam Bab
XXIX dalam Buku II KUHP tentang kejahatan pelayaran dan Bab IX
dalam Buku III KUHP tentang Pelanggaran Pelayanan.
Pengecualian dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 5,
Pasal 7, Pasal 8 KUHPini di atas yaitu pengecualian yang diakui
oleh Hukum Internasional. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 memperluas cakupannya, dengan jangkauan setiap orang (Orang
perseorangan atau korporasi) yang di luar wilayah negara kita memberikan
bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya dapat
dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010.
Menurut ketentuan Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
masuk dalam kategori kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah
sebagai berikut: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika;
penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang
perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan;
cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme;
penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang;
perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di
bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau indak
pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau
lebih yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita
atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita dan tindak
pidanaini juga merupakan tindak pidana menurut hukum
negara kita . Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan
digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung
untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan
disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf n.
Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan
KUHP dan Hukum Pidana Islam
Adapun bentuk hukuman terhadap pelaku TPPU diatur dalam
pasal 3-10 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU sebagai berikut:
1. Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan dipidana sebab tindak pidana Pencucian Uang dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,
sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan
yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana sebab tindak pidana Pencucian Uang
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
3. Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
5. Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana
dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali
Korporasi.
6. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi jika tindak pidana
Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan
Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
7. Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana
denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat(1), terhadap
Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
8. Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5,
pidana dendaini diganti dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun 4 (empat) bulan.
9. Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana dendaini
diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau
Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan
pidana denda yang dijatuhkan. Dalam hal penjualan Harta Kekayaan
milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan
terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan
denda yang telah dibayar.
10. Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik negara kita yang turut serta melakukan percobaan,
pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak
pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
Pada kasus pencucian uang yang berwenang dalam menyidik,
memeriksa kasus ini adalah, kepolisian, kejaksaan dan yang terakhir
adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diamanatkan untuk
memeriksa dan menyidik kasus ini sejak Oktober 2010. Dari ketiga
penegak hukum itu, yang paling banyak mendapat laporan adalah
kepolisian dan kejaksaan. Lembaga independen lain dibawah Presiden
Republik negara kita yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK), seseorang wajib melaporkan jumlah
kekayaan yang dia miliki sehingga akan memudahkan PPATK
mengontrol adanya transaksi yang mencurigakan
Secara umum proses pencucian uang ini dapat dikelompokkan
dalam tiga tahap ; Pertama, penempatan (placement), yakni usaha menem-
patkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem
Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan
KUHP dan Hukum Pidana Islam
keuangan, terutama sistem perbankan ,. Dalam proses ini
terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyelundupan uang
tunai dari suatu negara ke negara lain, penggabungan antara uang tunai
yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil
kegiatan yang sah .
Menurut Adrian bentuk kegiatan dari placement antara lain:
1. Menempatkan dana pada bank, kadang-kadang kegiatan ini diikuti
dengan pengajuan kredit atau pembiayaan;
2. Menyetorkan uang pada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) sebagai
pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail;
3. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah dari suatu negara ke
negara lain;
4. Membiayai suatu usaha yang seolah olah sah atau terkait dengan
usaha yang sah berupa kredit atau pembiayaan;
5. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk
keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai
penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya
dilakukan melalui PJK
Kedua, transfer (layering), yakni usaha untuk mentransfer harta
kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil
masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan (placement). Dalam
proses ini terdapat rekayasa untuk memisahkan uang hasil kejahatan dari
sumbernya melalui penga- lihan dana hasil placement ke beberapa
rekening lainnya dengan serangkaian transaksi yang kompleks. Layering
dapat pula dilakukan dengan transaksi jaringan internasional baik melalui
bisnis yang sah atau perusahaan yang memiliki nama dan badan hukum
namun tidak memiliki kegiatan apapun. Adapun bentuk kegiatan dari
layering adalah:
1. Transfer dan dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah atau
negara;
2. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung
transaksi yang sah;
3. Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan
kegiatan usaha yang sah maupun Shell
Ketiga, menggunakan harta kekayaan (integration), yakni suatu
usaha menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana
yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui placement
atau layering sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean
money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kegiatan
kejahatan.
Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di negara kita telah
diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik negara kita Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Dalam hal ini pencucian uang dapat dibedakan dalam
tiga tindak pidana:
1. Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu setiap orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun
2010).
2. Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap
orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1). Halini dianggap juga sama dengan
melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor
yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
3. Dalam Pasal 4 UU RI No. 8 Tahun 2010, dikenakan pula bagi mereka
yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan
kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan
yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan
pencucian uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup
berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20
tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah (Rahmi Uzier, 2019).
Pencucian Uang Menurut Pandangan Hukum Pidana Islam
Pidana Islam dalam istilah fikih disebut jinayah, tetapi para fuqaha
sering juga memakai kata jarimah. Kata تایانجلا adalah bentuk jamak dari
kata ةیانج ,yang diambil dari kata ىنج - ىنجی yang artinya
mengambil/memetik (Sayyid Sabiq: 1983, 427). Sedangkan jarimah berasal
dari kata ََمَرَج yang sinonimnya َ َعََطقَوَ َبَسَك yang artinya, berusaha dan
bekerja, pengertian usaha disini khusus untuk usaha atau perbuatan yang
tidak baik dan usaha yang di benci oleh manusia (Abu Zahrah, t.t.h: 22).
Secara istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang yang
dilarang, sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Abdul Qadir ‘Audah bahwa
Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan
KUHP dan Hukum Pidana Islam
jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik
perbuatanini mengenai jiwa, harta, atau yang lainnya . Sedangkan pengertian jarimah menurut istilah sebagaimana yang di
ungkapkan oleh al-Mawardi (al-Mawardi, 1973: 219) adalah perbuatan-
perbuatan yang di larang oleh syara’ yang di ancam dengan hukuman had
atau ta’zir.
Menurut Ahmad Hanafi suatu perbuatan dipandang sebagai
jarimah jika perbuatanini bisa merugikan tata aturan yang ada
dalam warga atau kepercayaannya, merugikan kehidupan anggota
warga atau bendanya, nama baiknya, perasaannya atau
pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara,
dasar larangan melakukan sesuatu jarimah ialah pemeliharaan
kepentingan warga itu sendiri , Suatu
perbuatan baru bisa dianggap sebagai perbuatan yang melanggar/tindak
pidana jika semua unsur-unsur jarimah telah terpenuhi. Adapun
unsur-unsur umum dari jarimah sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Abdul
Qadir Audah adalah sebagai berikut:
1. Terpenuhinya unsur formal (rukun syar’i), yaitu adanya nash
(ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan
hukuman;
2. Terpenuhinya unsur materil (rukun madhi), yaitu adanya tingkah laku
yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif)
maupun sikap tidak berbuat (negatif);
3. Terpenuhinya unsur moral (rukun adabi), yaitu bahwa pelaku adalah
orang mukallaf, iaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban
atas tindak pidana yang diperbuatnya.
Pencucian Uang dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara
tekstual dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, tetapi al-Qur’an
mengungkap prinsip-prinsip umum untuk mengantisipasi perkembangan
zaman, dimana dalam kasus-kasus yang baru dapat diberikan status
hukumnya, pengelompokan jarimah-nya, dan sanksi yang akan diberikan.
Dalam hal ini Islam sangat memperhatikan adanya kejelasan dalam
perolehan harta benda seseorang. Hukum Islam secara detail memang
tidak pernah menyebutkan pelarangan perbuatan pencucian uang, sebab
memang istilah ini belum ada pada zaman Nabi. namun secara
umum, ajaran Islam telah mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara
yang bathil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti
perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan
menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri. Namun,
berangkat dari kenyataan yang meresahkan, membahayakan, dan
merusak, maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa
kejahatan ini bisa diklasifikasikan sebagai jarimah ta’zir
Secara ringkas dapat di jelaskan bahwa jarimah ta’zir adalah
hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ namun diserahkan
kepada hakim, baik penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam
menentukan hukuman ta’zir, hakim hanya menetapkan secara umum,
artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk
masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan
hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya
(Djazuli, 2000: 89). Pengertian ta’zir juga dapat dipahami sebagai
perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau
kaffarat, bentuk hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa
atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan berapa
ukuran dan kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan
tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan
demikian, syariah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan
bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah (Topo Santoso, 2003:
78).
Adapun bentuk sanksi ta’zir bisa beragam, sesuai keputusan hakim.
Secara garis besar jarimah ta’zir dapat dibedakan menjadi beberapa
macam, diantaranya, hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku
hukuman berat yang berulang-ulang, hukuman cambuk, hukuman
penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk
barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman
celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.
Bila dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat
dibagi kedalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau kishas, tetapi
syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian
yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri;
2. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi
hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi
takaran dan timbangan;
3. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan
oleh syara’ jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri,
seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran
terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas (Muslich, 2003: 255).
Bila dikaitkan dengan prinsif dasar ekonomi Islam dimana
ekonomi Islam sangat concern dengan teori porudksi yang digagas oleh
Imam Al-Gazali bahwa pencarian ekonomi merupakan bagian dari
ibadah. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu giat bekerja
dalam mencari harta kekayaan, baik dari perniagaan, pertanian,
perniagaan dan lain sebagaiinya. Pekerjaan dunia menjadikannya sebgai
ibadah dan jihad jika manusia yang bekerja murni niatnya kerna Allah
Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan
KUHP dan Hukum Pidana Islam
dan tidak melalaikan kewajibannya sebagai hambaNya
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah untuk mengapai kebahagiaan
kehidupan dunia dan akhirat, dengan memposisikan Allah lebih dari
segalanya, menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat dan
menghindari kerusakan dan kekacauan di dunia termasuk dalam hal
perekonomian individu, masayarakat serta bangsa dan negara ,
Adapun ciri-ciri Ekonomi Islam sebagaimana yang dikemukan oleh
Ahmad Muhammad Al-AssaI dan Fathi Ahmad Abdul Karim bahwa
Ekonomi Islam mempunyai ciri-ciri khusus, yang membedakannya dari
ekonomi hasil penemuan manusia .. Ciri-ciriini jika diringkas
adalah sebagai berikut :
a. Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam yang
menyeluruh; Bahwa ekonomi yang digagas manusia dengan segala
asbab kelahirannya benar-benar memisahkan anatara ekonomi dan
agama (sekuler). Yang menjadi pembeda utama antara ekonomi Islam
dengan sistem ekonomi buatan manusia adalah hubungannya yang
sempurna antara ekonomi dan Islam, baik sebagai akidah maupun
syariat. Oleh sebab itu adalah tidak mungkin untuk mempelajari
ekonomi Islam terlepas dari akidah dan syariat Islam sebab sistem
ekonomi Islam merupakan bagian dari syariat dan erat hubungannya
dengan akidah sebagai dasar. Maka jelas sekali bahwa tujuan utama
ekonomi Islam adalah untuk mengaktualisasikan nilai-nilai maqasid al-
Syariah.
b. Kegiatan Ekonomi dalam Islam Bersifat Pengabdian yakni sesuai
dengan akidah umum, kegiatan ekonomi menurut Islam berbeda
dengan kegiatan ekonomi dalam sistem-sistem hasil penemuan
manusia, seperti kapitalisme dan sosialisme. Kegiatan ekonomi bisa
saja berubah dari kegiatan material semata-mata menjadi ibadah yang
akan mendapatkan pahala bila dalam kegiatannya itu mengharapkan
wajah Allah SWT, dan ia mengubah niatnya demi keridhaanNya.
c. Kegiatan Ekonomi dalam Islam Bercita-cita Luhur diman sistem hasil
penemuan manusia (kapitalisme dan sosialisme), bertujuan untuk
memberikan keuntungan material semata-mata bagi pengikut-
pengikutnya. Itulah cita-cita dan tujuan ilmunya.
d. Pengawasan terhadap Pelaksanaan Kegiatan Ekonomi dalam Islam
adalah pengawasan yang sebenamya, yang mendapat kedudukan
utama Dalam ekonomi Islam, di samping adanya pengawasan syariat
yang dilaksanakan oleh kekuasaan umum, ada pula pengawasan yang
lebih ketat dan lebih aktif, yakni pengawasan dari hati nurani yang
terbina atas kepercayaan akan adanya Allah dan perhitungan hari
akhir.
e. Ekonomi Islam merealisasikan keseimbangan antara kepentingan
individu dan kepentingan warga
Dengan mengkaji ciri-ciri, prinsip-prinsip, dan etika bisnis Islam,
maka dapat diketahui bahwa pencucian uang termasuk katagori
perbuatan yang diharamkan sebab dua hal; pertama dari proses
memperolehnya, uang diperoleh melalui perbuatan yang diharamkan
(misalnya dari judi, perjualan narkoba, korupsi, atau perbuatan curang
lainnya) dan proses pencuciannya, kedua yaitu berusaha
menyembunyikan uang hasil kemaksiatan dan bahkan menimbulkan
kemaksiatan dan kemudharatan berikutnya.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa Tindak Pidana
Pencucian Uang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an
maupun al-Hadis, sehingga TPPU masuk dalam kategori ta’zir. Akan
tetapi Allah melaui al-Qur’an telah mengatur tentang kejelasan dalam
memperoleh harta benda seperti yang firman Allah SWT dalam surat al-
Baqarah ayat 188:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, susaha kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, Padahal kamu mengetahui.
Serta hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah
itu thayyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang
thayyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada
orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul.
Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik
(halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai
orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah
kami rezekikan kepadamu.'” lalu Nabi SAW menceritakan tentang
seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga
rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya
ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal,
makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram,
pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka
bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?”
Dari ayat dan hadis di atas jelas bahwa money laundring termasuk
dalam kategori perbuatan tercela dan dapat merugikan kehidupan umat
manusia. Selain itu kegiatan pencucian uang sangat jauh dari semangat
Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan
KUHP dan Hukum Pidana Islam
Maqasidu al-Syariah. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa
tujuan diturunkannya syari’ah adalah untuk mencapai kemaslahatan dan
menghindari kemafsadatan pada dua dimensi waktu yang berbeda, dunia
dan akhirat. Hal ini berarti bahwa semua aspek dalam ajaran Islam, harus
mengarah pada tercapainya tujuanini , tidak terkecuali aspek
ekonomi. Oleh sebab nya Ekonomi Islam harus mampu menjadi pan-acea
dan solusi terhadap akutnya problem ekonomi kekinian. Konsekuensi
logisnya adalah, bahwa untuk menyusun sebuah bangunan Ekonomi
Islam maka tidak bisa dilepaskan dari teori Maqashid seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Bahkan Syaikh Muhammad Thahir ibn ‘Asyur
pernah mengatakan bahwa “Melupakan pentingnya sisi maqasid dalam
syariah Islam adalah faktor utama penyebab terjadinya stagnasi pada fiqh
Menurut ketentuan Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
masuk dalam kategori kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah
sebagai berikut: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika;
penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang
perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan;
cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme;
penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang;
perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di
bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau indak
pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau
lebih yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita
atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita dan tindak
pidanaini juga merupakan tindak pidana menurut hukum
negara kita . Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan
digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung
untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan
disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf n.
Adapun bentuk hukuman terhadap pelaku TPPU diatur dalam
pasal 3-10 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU yakni Setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana sebab tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pencucian uang dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara
tekstual dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, tetapi al-Qur’an
mengungkap prinsip-prinsip umum untuk mengantisipasi perkembangan
zaman, dimana dalam kasus-kasus yang baru dapat diberikan status
hukumnya, pengelompokan jarimahnya, dan sanksi yang akan diberikan.
Dalam hal ini Islam sangat memperhatikan adanya kejelasan dalam
perolehan harta benda seseorang. Hukum Islam secara detail memang
tidak pernah menyebutkan pelarangan perbuatan pencucian uang, sebab
memang istilah ini belum ada pada zaman Nabi. namun secara
umum, ajaran Islam telah mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara
yang bathil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti
perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan
menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri. Namun,
berangkat dari kenyataan yang meresahkan, membahayakan, dan
merusak, maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa
kejahatan ini bisa diklasifikasikan sebagai jarimah ta’zir, dimana benuk
hukumannya diserahkan kepada ulil amri.