Subsidi pada hakikatnya merupakan
instrumen fiskal yang bertujuan untuk
memastikan terlaksanakannya peran negara
dalam aktivitas ekonomi guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara adil dan
merata. Skema ini kian penting tatkala
negara (pemerintah) telah mengurangi
perannya secara signifikan dalam aktivitas
ekonomi, sehingga pemerintah yang
berposisi sebagai regulator layak
mengeksekusi pemberian subsidi. Oleh
karena itu, subsidi sebagai instrumen fiskal
ini kadang kala juga disebut sebagai salah
satu skema untuk mengurangi dampak
kegagalan pasar (market failure). Dalam
kerangka ini, subsidi pasti diperuntukkan
bagi sektor ekonomi yang menyangkut hajat
hidup orang banyak.
Walaupun dalam implementasi di
berbagai negara sektor-sektor ekonomi yang
diberikan subsidi itu memiliki perbedaan,
namun secara umum sektor ekonomi
tersebut bagi pemerintah masing-masing
merupakan sektor ekonomi yang paling
penting. Bagi negara-negara maju, sektor
pertanian merupakan salah satu sektor
ekonomi utama yang mendapatkan subsidi.
Pemilihan sektor ini bukan tanpa dasar,
karena dibandingkan sektor ekonomi
lainnya, sektor pertanian di negara-negara
maju memiliki daya saing yang relatif kurang
baik. Oleh karena itu, sebagai bagian integral
untuk memproteksi serbuan produk
pertanian asing sekaligus memastikan
eksistensi sektor pertanian domestik, maka
subsidi pertanianini diberikan.
Dengan begitu, tampak bahwa subsidi
pertanian selain sebagai salah satu strategi
untuk melaksanakan perdagangan
internasional juga lebih bermakna
meningkatkan produktivitas masyarakat
daripada memenuhi kebutuhan konsumsi
semata.
Kenyataan ini tentu berbeda dengan
realitas yang ada di negara berkembang, di
mana mayoritas subsidi yang diberikan oleh
pemerintah bukan untuk sektor pertanian.
Di negara kita sendiri, porsi terbesar atas
subsidi diberikan dalam bentuk subsidi
bahan bakar minyak (BBM). Dalam satu
dekade terakhir, porsi subsidi BBM selalu
lebih dari 50 persen terhadap total subsidi
yang diberikan oleh pemerintah.
Penumpukan subsidi BBM ini kian besar
tatkala pada sisi penawaran terjadi
penurunan lifting minyak domestik secara
konsisten dalam sepuluh tahun terakhir dan
di sisi permintaan terus naiknya
pertumbuhan konsumsi BBM (terutama
oleh kendaraan bermotor).
Lebih lanjut, data-data yang ada
memberikan gambaran bahwa saat ini
pertumbuhan kendaraan bermotor,
terutama sepeda motor, sangat tinggi. Jauh
di atas rata-rata pertumbuhan kendaraan
satu dekade silam. Fakta yang demikian ini
tidak dapat dilepaskan dari menjamurnya
lembaga pembiayaan kendaraan bermotor
sekaligus kurang ketatnya standar pemberian
kredit, sehingga masyarakat dengan tingkat
kemampuan membayar yang tidak begitu
tinggi dapat leluasa memperoleh kendaraan
bermotor baru. Pada sisi yang lain, fakta
tersebut akan menjadi salah satu pemicu
penting terjadinya instabilitas keuangan.
Perilaku lembaga pembiayaan yang
berafiliasi dengan sektor perbankanini
memang didasarkan atas pertimbangan
rasional, di mana pembiayaan kendaraan
bermotor yang merupakan kredit konsumsi
memberikan imbal hasil yang lebih tinggi
daripada pemberian kredit investasi atau
modal kerja. Sebagai gambaran, selama
2007, rata-rata suku bunga kredit konsumsi
dalam setahun sebesar 16,87 persen.
sedang rata-rata suku bunga untuk kredit
investasi dan modal kerja hanya sebesar 13,93
persen dan 13,86 persen . Perbedaan suku bunga ini menjadi
insentif tersendiri bagi para pelaku ekonomi
(baca: lembaga keuangan) dalam
menyalurkan dana yang dimilikinya. Realitas
ini memang wajar, karena secara teoritis
pelaku ekonomi dalam menjalankan
aktivitasnya selalu dipandu oleh insentif.
Ketika wilayah tertentu memberikan nisbah
ekonomi yang lebih besar daripada lokasi
yang lain, maka di daerah tertentu itulah para
pelaku ekonomi akan menjalankan
aktivitasnya.
Beralaskan argumentasiini , maka
sebagai upaya integral menghemat
pemakaian energi sekaligus supaya subsidi
BBM dapat ditekan, maka harus terdapat
regulasi moneter dari BI yang intinya bisa
merestriksi lembaga pembiayaan dalam
menyalurkan dananya, terutama terhadap
kredit konsumsi kendaraan bermotor. Bila
hal ini dapat dieksekusi, selain menyebabkan
subsidi BBM tidak bertambah secara
siginifikan juga akan mengakibatkan dua hal
penting, yakni (i) instabilitas keuangan
(terutama kemungkinan membumbungnya
NPLs, dapat tereduksi; dan (ii) meningkatkan
kualitas pertumbuhan ekonomi.
Walaupun subsidi BBM ini termasuk
dalam kategori subsidi konsumsi dan belum
pasti memberikan imbas positif terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat kelas
bawah, namun bukan lantas pemberian
subsidi BBM yang sangat besar ini tidak
memiliki dasar yang kuat. Bagi pemerintah,
setidaknya ada dua penyebab atas
dieksekusinya subsidi BBM. Pertama, BBM
merupakan komoditas utama yang memiliki
dampak pengganda strategis bagi
perekonomian nasional, sehingga ketika
subsidi BBM dikurangi yang mengakibatkan
kenaikan harga BBM, secara langsung dan
tidak langsung pasti akan memberikan
tekanan terhadap perekonomian nasional.
Membentang dari sisi moneter (naiknya
inflasi secara drastis), terjadinya
ketidakstabilan pasar modal jangka pendek,
meningkatnya angka kemiskinan dan
pengangguran, tergerusnya iklim investasi,
sampai dengan melambatnya pertumbuhan
ekonomi. Kedua, selama sembilan tahun
terakhir (sejak era demokrasi) BBM bukan
lagi murni sebagai komoditas ekonomi,
tetapi telah menjadi komoditas politik,
sehingga ketika subsidi BBM dipangkas guna
menyesuaikan dengan berbagai keadaan
akan menyebabkan terjadinya instabilitas
politik. Dalam jangka menengah, penurunan
subsidi BBMini juga pasti akan
mereduksi modal politik rezim pemerintah
yang sedang berkuasa untuk
mempertahankan kekuasaan. Oleh karena
itu, subsidi BBM walaupun sangat
membebani APBN dan juga mengurangi hak
warga negara kelas bawah tetap
diberlakukan.
Lebih dari itu, kian besarnya subsidi
yang dipatok dalam APBN negara kita satu
dekade terakhir mengilustrasikan bahwa
subsidi semakin perlu diberlakukan ketika
sistem ekonomi mulai sarat dengan
mekanisme pasar. Seperti diketahui seiring
dengan mulai mengakarnya sistem
demokrasi politik di negara kita , sistem
ekonomi negara kita mau diakui atau tidak
telah banyak dipandu oleh mekanisme pasar.
Sayangnya, sektor privat penggerak
mekanisme pasar terbatasini lebih
banyak didominasi oleh asing dan pelaku
besar domestik, sehingga mekanisme
tersebut berjalan sangat tidak sempurna.
Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa
hasil yang kemudian muncul dari
implementasi mekanisme pasarini
justru lebih banyak mendonasikan
ket idakse imbangan kese jahteraan
masyarakat. Tepat pada titik inilah, subsidi
sebagai salah satu skema untuk mengurangi
imbas kegagalan pasar menyeruak.
Tapi, skema subsidi yang
diformulasikan di negara kita bukan secara
mutlak diperuntukkan bagi masyarakat kelas
bawah, baik dalam bentuk subsidi yang
dapat menstimulus peningkatan
produktivitas masyarakat kelas bawah,
desain subsidi yang bisa membentuk modal
sosial dan akan berkontribusi besar dalam
perekonomian nasional di masa mendatang,
maupun memberikan jaminan sosial secara
berkala kepada masyarakat yang sangat
miskin. Oleh karena itu, secara keseluruhan
implementasi subsidi di negara kita dalam
kerangka mengatasi dampak kegagalan pasar
kurang memerlihatkan hasil yang maksimal.
*****
Lebih dari segalanya, selama Triwulan
I 2008, harga minyak mentah internasional
terus merangkak naik. Dalam perspektif
lokal negara kita , peningkatan itu mau tidak
mau pasti memberikan tekanan kepada
APBN 2008. Pasalnya, seperti diketahui
bahwa neraca BBM negara kita dalam
beberapa tahun terakhir telah negatif.
Walaupun pada arah yang lain defisitini
masih patut dipertanyakan lagi: apakah data
lifting minyak yang disetorkan oleh para
operator minyak kepada pemerintah
memang telah sesuai dengan lifting
sebenarnya atau belum. Namun, secara
umum dengan memerhatikan fakta yang ada
subsidi BBM yang telah dipatok dalam
APBN 2008 pasti harus direvisi. Pada arah
inilah, konsep subsidi di negara kita layak
ditinjau ulang. Tujuannya, pada satu sisi
supaya tidak terjadi pembengkakan subsidi
BBM secara siginifikan sekaligus
menghadirkan defisit APBN yang besar, dan
di sisi lain subsidi yang selama ini diterima
oleh masyarakat kelas menengah atas dapat
disubstitusikan kepada masyarakat kelas
bawah.
Pada satu sisi, kesempatanini
memang merupakan waktu yang tepat untuk
mengubah konsep subsidi di negara kita . Tapi,
pada sisi yang lain upayaini pasti akan
mendapatkan perlawanan dari berbagai
pihak. Pasalnya, pengubahan skema subsidi
tersebut tidak dipandu secara murni oleh
inisiatif meningkatkan kesejahteraan
masyarakat tetapi lebih didorong oleh faktor
kenaikan harga minyak mentah dunia.
Bahkan dengan rentang waktu formulasi
pengubahan subsidi yang relatif pendek, di
samping menyebabkan terjadinya
penurunan kinerja makro ekonomi juga
berpotensi besar mengakibatkan tidak
tercapainya visi subsidi langsung itu.
Selain subsidi BBM, subsidi lain yang
yang cukup menyita anggaran adalah subsidi
listrik. Subsidi ini sepintas memang layak
diberikan, karena listrik merupakan salah
satu infrastruktur yang menyangkut hajat
hidup orang banyak. Namun, ketika
menguliti struktur subsidi listrik di negara kita
tampak sektor rumah tangga merupakan
pihak yang harus membayar listrik dengan
harga tertinggi untuk setiap Kwh yang
dipakainya. sedang sektor industri dan
komersial yang dalam aktivitasnya bertujuan
mendapatkan keuntungan justru memiliki
kewajiban membayar yang lebih rendah. Hal
ini menggambarkan bahwa konsep subsidi
listrik di negara kita kurang tepat, di mana
bukan hanya berakibat pada meningkatnya
biaya listrik oleh masyarakat tetapi juga
menekan anggaran negara yang seharusnya
dapat disubstitusikan untuk pembiayaan
yang lebih produktif.
Terlepas dari polemik di atas,
pemerintah akhirnya mengurangi subsidi
BBM. Kebijakan itu kemudian
diformulasikan pula subsidi langsung tunai
sebagai kompensasi kenaikan harga BBM
tersebut. Subsidi langsungini
bertujuan untuk memastikan bahwa
dampak kenaikan harga BBMini tidak
terlalu menekan masyarakat kelas bawah.
Asumsinya, kenaikan harga-harga pangan
utama akibat kenaikan harga BBMini
dapat ditutupi oleh adanya subsidi langsung
tunai. Bahkan, dari perhitungan yang telah
dilakukan oleh pemerintah, subsidi langsung
tunai itu dapat mengurangi kuantitas
masyarakat miskin, sehingga dengan
kebijakanini dua hasil dicapai sekaligus,
yakni (i) kuantitas penduduk miskin dapat
direduksi; dan (ii) instrumen fiskal
pemerintah tetap dapat berjalan secara
normal.
Sungguh pun begitu, terdapat
pandangan dari beberapa pihak bahwa
pengurangan subsidi BBMini
seharusnya tidak desain sedemikian itu. Tetapi
lebih untuk investasi migas (terutama
minyak). Pandanganini memang
merupakan salah satu varian dari berbagai
pendapat yang muncul. Pendapat lainnya
menyarankan subsidi bahan bakarini
lebih baik dialihkan kepada subdisi langsung
bagi masyarakat miskin yang terkena
dampak pengganda kenaikan harga minyak
atau untuk pengembangan sektor pertanian
(terutama subsidi pangan dan subsidi
produksi pangan). Namun, bila ini yang
diambil sebenarnya salah satu akar
permasalahan krisis energi masih tetap
menganga, sehingga dalam beberapa waktu
ke depan subsidi BBM pasti akan menekan
APBN negara kita .
Kondisi berbeda akan terjadi bila
subsidi bahan bakar dialihkan untuk
mengeksplorasi minyak. Data-data yang ada
melukiskan bahwa saat ini cadangan minyak
yang belum dieksplorasi sebesar 86,9 miliar
barrel (lihat pula artikel yang berjudul
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab
dan Dampaknya Terhadap Subsidi Energi
di negara kita ), sehingga eksplorasi minyak
sangat mungkin dilakukan. Pilihan kebijakan
ini dalam jangka pendek memang akan
memicu inflasi, namun dalam jangka
panjang lifting minyak domestik akan dapat
mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dalam
pandanganini , jika kebijakan-kebijakan
ini yang dieksekusi, maka pola kebijakan
subdisi pemerintah di masa mendatang
dapat didesain ulang secara lebih tepat dan
yang krisis energi akan segera mulai mereda.
Pada akhirnya, kebijakanini bisa
memberikan makna kehidupan yang lebih
baik bagi umat manusia di negara kita .
*****
Atas dasar latar belakang di atas,
beberapa tulisan yang berkaitan dengan
konsep subsidi di negara kita akan disajikan
dalam BEP Volume 9 Nomor 3 Tahun
2008. Tulisan-tulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Kenaikan Harga Minyak Dunia:
Penyebab dan Dampaknya Terhadap
Subsidi Energi di negara kita (Eko
Listiyanto). Artikel ini menguraikan
secara detail faktor-faktor yang
menyebabkan kenaikan harga minyak
mentah dunia, baik dari perspektif global
maupun perspektif domestik negara kita .
Dimulai dari paparan mengenai faktor
fundamental, menurunnya nilai tukar
mata uang dollar AS terhadap beberapa
mata uang lainnya (terutama Euro), krisis
geopolitik di negara-negara penghasil
minyak, sampai dengan ulah para
spekulan komoditas. Pada bagian akhir
artikel juga dibahas mengenai relasi
kenaikan harga minyak mentah dunia
tersebut terhadap subsidi BBM di
negara kita .
2. Modal Manusia dan Globalisasi: Peran
Subsidi Pendidikan (Dias Satria). Dalam
risalah ini diuraikan mengenai peran
subsidi dalam membangun sumber daya
manusia yang tangguh, sehingga
diharapkan dapat menjadi modal sosial
yang sangat penting dalam memapankan
posisi negara kita dalam percaturan
ekonomi dunia di masa mendatang.
Risalah ini dibuka dengan ulasan
mengenai peran modal manusia dalam
meningkatkan kinerja perekonomian
suatu negara. Selanjutnya, dipaparkan
tentang konsep subsidi dalam perspektif
makroekonomi, baik dilihat dari wilayah
global maupun lokal negara kita .
Dilanjutkan dengan uraian tentang
pendidikan dan globalisasi ekonomi.
Bagian akhir dari risalah ini
mengilustrasikan dampak positif apa saja
yang akan muncul dari kebijakan
pemberian subsidi yang pro-poor growth.
3. Kajian Kerangka Subsidi di negara kita
(Evi Noor Afifah). Dalam makalah ini
dikaji secara mendalam berbagai hal yang
berkaitan dengan subsidi di negara kita .
Pada bagian awal dibuka dengan
paparan mengenai realitas subsidi yang
ada di negara kita dalam beberapa tahun
terakhir. Selanjutnya, dibahas tentang
analisis kerangka subsidi di negara kita .
Dilanjutkan lagi dengan uraian mengenai
kerangka subsidi di berbagai negara
terpilih (India, Nigeria, dan Malaysia).
Terakhir, dijelaskan secara detail
mengenai faktor-faktor yang menjadi
determinan penting dalam penentuan
subsidi di Indoensia.
4. Krisis Pangan ’Silent Tsunami’ dan
Pelajaran Bagi negara kita (Abdul Manap
Pulungan). Dalam paper ini dijelaskan
mengenai relasi antara krisis pangan
global dengan kenaikan harga minyak
mentah dunia (terutama dampak dari
penggunaan bahan pangan sebagai
bahan bakar untuk mensubstitusi
penggunaan bahan bakar minyak).
Kemudian, dilanjutkan dengan paparan
mengenai kemungkinan terjadinya krisis
pangan di negara kita , termasuk di
dalamnya di bahas mengenai subsidi
pertanian yang pada kenyataannya bisa
jadi memberikan kontribusi dalam
terjadi krisis pangan di negara kita . Pada
bagian akhir paper ini diulas mengenai
tantangan untuk menciptakan ketahanan
pangan di negara kita , sehingga
diharapkan krisis energi yang mungkin
mendera negara kita di kemudian hari
tidak dibarengi dengan krisis pangan.
5. Perkembangan Indikator Ekonomi
negara kita Triwulan I 2008 (Abdul
Manap Pulungan). Dalam evaluasi ini
terdiri atas: (i) kinerja pertumbuhan
ekonomi; (ii) perkembangan sektor
moneter (inflasi, nilai tukar, dan suku
bunga); (iii) perkembangan sektor
perbankan dan pasar modal (intermediasi
perbankan, perkembangan pasar obligasi,
dan kinerja saham); dan (iv) tekanan
perekonomian global.
Demikianlah, pada edisi ini kami
mengambil topik bahasan tentang Subsidi
dalam Perekonomian. Penentuan topik ini
didasarkan pada krusialnya peranan subsidi
dalam penopang kegiatan perekonomian.
Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat
memperkaya informasi kepada publik
tentang kondisi subsidi nasional.
Kenaik Kenaik Kenaik Kenaik Kenaikan Harga Minyak Dunia:an Harga Minyak Dunia:an Harga Minyak Dunia:an Harga Minyak Dunia:an Harga Minyak Dunia:
PPPPPenyebab dan Dampaknyaenyebab dan Dampaknyaenyebab dan Dampaknyaenyebab dan Dampaknyaenyebab dan Dampaknya
TTTTTerhadap Subsidi Energi di negara kita erhadap Subsidi Energi di negara kita erhadap Subsidi Energi di negara kita erhadap Subsidi Energi di negara kita erhadap Subsidi Energi di negara kita
Persoalan energi menjadi wacana hangat
yang sering diperbincangkan di belahan
dunia. Mulai dari meningkatnya harga
minyak dunia, spekulasi di komoditas minyak
sampai dengan substitusi energi fosil ke biofuel
yang mengancam produksi pangan. Di
negara kita wacana ini tidak kalah serunya,
masyarakat disuguhi pemberitaan
menurunnya lifting minyak dalam negeri yang
diikuti dengan tren meningkatnya impor
minyak nasional. Selain itu, akibat
meningkatnya harga minyak dunia, PLN
kesulitan memenuhi pasokan energi listrik
untuk industri dan rumah tangga. Berbagai
problematika seputar energi kembali
menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan
ekonomi negara kita yang meningkat pada
2007 lalu.
Menghadapi situasi seperti ini
masyarakat tersadarkan kembali bahwa
energi memegang peranan yang sangat
penting bagi kemajuan perekonomian suatu
bangsa. Energi adalah jantung yang
memompa denyut nadi perekonomian.
Berbagai hasil pembangunan terutama
infrastruktur dan mesin industri menjadi
tidak optimal tanpa ketersediaan energi yang
mencukupi. Lebih parahnya, kenaikan harga
minyak menjadi efek domino bagi sektor
energi lain yaitu listrik. Penyediaan energi
listrik menjadi ikut terganggu akibat
meningkatnya harga minyak. Ketika
konsumen minyak (termasuk PLN)
mencoba mensubstitusi dengan sumber
energi lain, hukum ekonomi pun bekerja,
batubara sebagai pengganti BBM harganya
juga ikut naik, demikian pula harga gas elpiji
dan energi alternatif lainnya juga mengalami
kenaikan.
Sejatinya, wacana pentingnya energi
dalam perekonomian bukan hal yang baru
lagi. Bahkan kalau mau ditelusuri lebih jauh
bisa ditarik mulai sejak dilakukannya
revolusi industri atau mungkin sejak adanya
kegiatan ekonomi itu sendiri. Namun, dalam
perkembangannya wacana ini juga
mengalami pasang surut seiring fluktuasi
ekonomi yang terjadi dan kiblat ekonomi
yang dianut. Minyak -komoditas energi
yang paling dominan digunakan dalam
kegiatan ekonomi- bisa dijadikan gambaran
perkembangan wacana energi selama ini
(Gambar 1.). Ketidaksiapan mengantisipasi
kelangkaan energi pada akhirnya menjadi
boomerang bahkan bagi negara yang terkenal
dengan kekayaan alamnya seperti negara kita .
Kekayaan alam yang ada sebenarnya bisa
menjadi potensi bagi pengembangan
berbagai jenis energi apabila tepat
pengelolaannya.
Fluktuasi harga minyak dunia (Gambar
1) mewartakan bahwa minyak sebagai
komoditas energi eksklusif dalam
perekonomian tidak hanya sensitif terhadap
isu ekonomi tetapi juga geopolitik, kondisi
alam dan kebijakan perminyakan dunia.
Pada 1974 harga minyak mulai meningkat
drastis karena efek peperangan antara Arab
dan Israel pada tahun sebelumnya (1973)
yang menyebabkan terjadinya embargo
minyak arab. Pada 1980 harga minyak
kembali naik menyusul perang Irak-Iran yang
berlanjut pada 1981. Setelah tahun 1980-an
penyebab fluktuasi harga minyak semakin
kompleks dan tidak hanya didominasi oleh
faktor geopolitik saja tetapi juga faktor
kebijakan, faktor fundamental (terbatasnya
stok minyak) hingga yang terbaru ini yaitu
adanya faktor spekulasi di pasar berjangka
minyak.
Minyak bumi menjadi energi terbesar
dalam kegiatan produksi dan distribusi.
Apalagi setelah tahun 2000, tren kenaikannya
semakin menanjak. Lonjakan harga minyak
tanggal 6 Juni 2008 yaitu US$139,12 per
barel sebelum akhirnya ditutup pada
US$138,54 per barrel mencatat rekor
kenaikan tertinggi dalam sehari yaitu sebesar
US$10,75 per barrel (Investor Daily, 9 Juni
2008). Tanggal 3 Juli 2008 harga minyak
tembus US$ 145,85 per barrel yang
kemudian membuat kondisi pasar saham
tertekan dan mengalihkan dananya ke pasar
komoditas.
Ada beberapa hal yang mendasari
naiknya harga minyak dunia saat ini. Lebih
lanjut, tulisan ini berusaha mengidentifikasi
beberapa penyebab kenaikan harga minyak
dunia, problem perminyakan di negara kita
serta efeknya terhadap subsidi energi pada
APBN. Tulisan diawali dengan melihat faktor
penyebab disertai dengan data empiris
dalam upaya mengidentifikasi dan
menelusuri penyebab meningkatnya harga
minyak saat ini. Kemudian dilanjutkan
dengan pengkajian singkat mengenai
problematika perminyakan di negara kita
serta perkembangan subsidi energi utamanya
setelah meningkatnya harga minyak dunia.
Selanjutnya, berbagai solusi mengenai
kebijakan energi akan dijadikan sebagai
penutup.
2. Penyebab Meningkatnya Harga
Minyak Dunia
Apabila dikelompokkan setidaknya ada
tiga faktor utama yang menjadi penyebab
naiknya harga minyak dunia saat ini. Pertama,
faktor yang berasal dari sisi permintaan, ini
berupa peningkatan permintaan minyak
bumi oleh banyak negara terutama negara
berkembang yang ingin mengenjot
pertumbuhan ekonominya. Kondisi ini
membuat mereka (negara berkembang)
memerlukan Bahan Bakar Minyak dalam
jumlah yang besar untuk melakukan aktivitas
ekonomi terutama produksi dan distribusi.
Termasuk dalam bagian ini adalah adanya
permintaan yang meningkat dari dua negara
yang sedang mengalami pertumbuhan
ekonomi tinggi yakni India dan China. Selain
itu, permintaan juga datang dari para trader
di pasar berjangka dalam bentuk paper
karena keuntungan memegang komoditas
minyak ini sangat besar. Perdagangan
komoditas minyak sekarang sudah
mengalami ’metamorfosis’ karena infiltrasi
teknologi informasi yang demikian pesat di
pasar berjangka minyak. Pergerakan harga
minyak saat ini lebih mirip fluktuasi harga
saham di bandingkan layaknya harga sebuah
komoditas biasa.
Kedua, faktor dari sisi penawaran, ini
berupa kondisi supply minyak bumi dari
para pemasok minyak dunia serta posisi
kekuatan pasar Organisasi Negara-Negara
Pengekspor Minyak (OPEC) dalam
percaturan bisnis minyak. Dengan lebih
menggali perkembangan kondisi sisi supply
minyak saat ini serta bargaining position OPEC
di kancah perminyakan internasional akan
memperjelas sumber peningkatan harga
yang lebih dominan. Sehingga sisi
penawaran ini juga dianggap cukup krusial
untuk ditelusuri sama pentingnya dengan
melihat kenaikan harga minyak ini dari sisi
permintaan.
Dua faktor sebelumnya (yaitu
permintaan dan penawaran) bisa dikatakan
sebagai faktor fundamental. sedang
yang ketiga adalah faktor-faktor lain di luar
kondisi fundamental tetapi masih berkaitan
erat dengan peningkatan harga minyak
dunia. Termasuk dalam faktor ketiga ini
antara lain; kondisi geopolitik; melemahnya
nilai tukar dolar AS; kondisi cuaca yang
tidak kondusif; serta ulah spekulan di pasar
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 13
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di negara kita
berjangka minyak bumi (Waiquamdee,
2008). Untuk memermudah pemahaman
terhadap tiga faktor penyebab meningkatnya
harga minyak ini Gambar 1.2. bisa
membantu mengilustrasikannya.
Analisis awal penyebab kenaikan harga
minyak bersumber dari faktor fundamental
yaitu sisi permintaan dan penawaran. Dari
sisi fundamental lonjakan harga minyak
disebabkan oleh meningkatnya permintaan
(demand) di satu sisi dan berkurang ataupun
tidak bertambahnya pasokan (supply) di sisi
Gambar 1.2
Penyebab Meningkatnya Harga Minyak
Sumber: Waiquamdee, 2008
Demand Structure Factors:
• Continuously rising demand
especially from Emerging
Market economies
• Becoming more of an asset
class
Supply Structure Factors:
• Decreasing supply sensitivity to
price
• OPEC’s market power
• Increasing oil price trend
• Rising volatility of oil prices
Other Factors:
• Weak US dollars
• Geopolitics
• Severe weather conditions
• Investors’ speculation
lain. Logika yang dibangun sangat
sederhana, walaupun persoalan riil yang
dihadapi tidak sesederhana ini. Permintaan
minyak bumi meningkat sementara pasokan
minyak tidak mampu mengimbangi
peningkatan permintaan yang terjadi, secara
otomatis kondisi ini akan mendorong
naiknya harga. Permintaan yang meningkat
dilatarbelakangi oleh keinginan negara
berkembang untuk memacu pertumbuhan
ekonominya. Selain itu, dua negara industri
China dan India yang dalam beberapa tahun
ini berhasil menyaingi dominasi AS dan
Jepang dalam ekonomi global, sedang giat-
giatnya memacu pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi tinggi di kedua
negara itu tentu membutuhkan jumlah energi
yang besar guna memertahankan
momentum yang telah dicapai. Menjadi
pertanyaan apakah situasi meningkatnya
permintaan ini didukung oleh data
fundamental yang ada? Tabel 1. berikut bisa
memberi gambaran mengenai hal ini.
Tabel 2. menggambarkan faktor
fundamental minyak bumi dari sisi
permintaan dan penawaran. Berdasarkan
Tabel 1.
Permintaan dan Pasokan Minyak (Juta Barrel per Hari)
data sampai 30 April 2008 pasokan minyak
cukup mampu untuk mengimbangi
permintaan pasar. Baik permintaan maupun
pasokan juga cenderung stabil. Namun,
kondisi berbeda terjadi ketika data produksi
minyak dunia dari OPEC per Mei 2008
sebesar 81,85 juta barrel per hari, sementara
konsumsi minyak dunia sebesar 84,81 juta
barrel per hari (tidak ada dalam tabel). Ini
menunjukkan adanya kekurangan pasokan
sebesar 2,96 juta barrel per hari. Data
tersebut dikuatkan dengan hasil riset
Deutsche Bank yang menyebutkan
pendorong kenaikan harga minyak adalah
faktor fundamental yakni terbatasnya
pasokan di tengah kenaikan konsumsi
minyak dunia. Lebih lanjut upaya politisi AS
meredam spekulasi dengan mencoba
menginvestigasi pasar komoditas berjangka
justru dilawan pasar dengan mengerek harga
minyak (Investor Daily, 2008). Sungguh pun
demikian, kondisi Januari – April 2008
menunjukkan pada saat permintaan masih
dapat diimbangi dengan pasokan, harga
minyak tetap saja meroket. Ini membuktikan
bahwa tidak hanya faktor fundamental
(permintaan-penawaran) yang bisa
menyebabkan harga minyak meningkat
tajam.
Tabel 1. sekaligus juga mengilustrasikan
kekerdilan kekuatan pasar negara OPEC
dibandingkan Non OPEC. Pangsa pasar
yang lebih didominasi negara di luar OPEC
menyebabkan tumpulnya berbagai kebijakan
yang dilakukan oleh OPEC dalam merespon
lonjakan harga minyak. Sebagai informasi
tambahan (tidakada di tabel) kontribusi
pasokan minyak negara-negara timur tengah
terhadap produksi OPEC sebesar 65,61
persen (2007). Dengan rincian; Saudi Arabia
berkontribusi sebesar 28,22 persen, Iran
sebesar 11,97 persen, Uni Emirat Arab
sebesar 8,07 persen, Kuwait sebesar 7,97
persen, Iraq sebesar 6,74 persen, serta Qatar
berkontribusi sebesar 2,63 persen (Investor
Daily, 2008). Kontribusi yang besar dari
negara-negara di Timur Tengah terhadap
OPEC seharusnya membuat organisasi ini
punya kekuatan untuk mempengaruhi
kebijakan. Tetapi fakta di lapangan berbeda,
OPEC terlihat kerdil dalam meredam
lonjakan harga minyak dunia. Melihat data
pasokan bulan April 2008 sebenarnya supply
(86,8 juta bph) sudah lebih tinggi dari demand
(85,1 juta bph), tetapi harga minyak tetap
saja meroket.
Selain faktor fundamental ada faktor
lain yang berpengaruh terhadap lonjakan
harga minyak dunia. Turunnya nilai mata
uang dolar AS terhadap Euro dan sebagian
besar mata uang lainnya juga menyebabkan
harga minyak dunia meningkat. Ekspektasi
pasar terhadap melemahnya nilai tukar dolar
mendorong commodity market untuk
menyesuaikan dengan mata uang yang lebih
stabil (Prijambodo, 2008).
Ditinjau dari faktor geopolitik, kondisi
stabilitas di Nigeria, Pakistan dan Timur
Tengah juga menjadi pemicu. Kondisi
keamanan negara-negara yang memiliki
ladang minyak sering mewarnai lonjakan
harga minyak dunia selama tiga dekade
terakhir ini. Tercatat harga minyak sempat
melonjak beberapa kali sebagai akibat
terganggunya keamanan suatu negara
ataupun kawasan penghasil minyak. Pada
1974 harga minyak menyentuh US$ 10 per
barel pasca perang Arab-Israel 1973. Pada
1980 harga minyak mencapai US$ 30 per
barel karena perang Irak-Iran. Satu tahun
kemudian (1981) harga minyak menyetuh
US$ 39 per barrel karena perang masih
berlanjut. Tidak hanya berhenti di sini, pada
1990 harga minyak dunia mencapai US$40
per barrel menyusul invasi Irak ke Kuwait.
Pada Januari 2008 untuk pertama kalinya
harga minyak tembus US$ 100 per barrel
karena faktor geopolitik di Nigeria dan
Pakistan serta pada 6 Juni 2008 tembus US$
138,54 per barel karena meningkatnya suhu
geopolitik di timur tengah,
Faktor lain penyebab kenaikan harga
minyak yang sedang hangat diperbincangkan
saat ini adalah tindakan spekulasi di pasar
berjangka. Fenomena kapitalisasi yang kental
di bisnis perminyakan menjadi semakin
terlihat dengan jelas. Premis bahwa
kelangkaan minyak terjadi tidak hanya karena
meningkatnya permintaan dari negara-
negara yang sedang memacu pertumbuhan
ekonomi seperti China dan India, tetapi juga
terjadinya spekulasi besar-besaran di pasar
derivatif minyak menjadi logis. Dugaan ini
bukan hanya isapan jempol belaka, buktinya
badan pengawas berjangka AS, Commodity
Futures Trading Commission (CFTC) mulai
membuka detail data investor di bursa
berjangka dan di indeks dana kelolaan
komoditas untuk melihat besaran aksi
spekulasi yang dilakukan pengelola dana.
CFTC telah membuat kesepakatan dengan
otoritas keuangan di Inggris (United Kingdom
Financial Services Authority/FSA) dan bursa
berjangka di Eropa, ICE Futures Europe
pada tanggal 29 Mei 2008 (Bisnis negara kita ,
4 Juni 2008). Inti dari kesepakatanini
adalah seluruh pihak yang terlibat dalam
perjanjian berkewajiban memberikan
informasi untuk pengawasan transaksi
kontrak berjangka komoditas energi
(minyak mentah jenis West Texas
Intermediate) dengan tempat pengiriman
dari AS.
Terlepas dari kontroversi yang muncul,
upaya meredam spekulasi di pasar minyak
ini akan menjadi solusi efektif apabila tidak
ditunggangi dengan berbagai kepentingan
parsial terutama dari anggotanya. Hal ini
setidaknya terlihat dari investigasi CFTC
terhadap aktivitas pembelian, transportasi,
penyimpanan, perdagangan minyak, serta
hal-hal lain yang terkait dengan kontrak
berjangka minyak yang membuktikan
adanya manipulasi di pasar minyak AS dan
telah menyebabkan harga minyak melonjak.
Terkait dengan hal ini Alan Greenspan
mantan gubernur The Federal Reserve (Bank
Sentral AS) mengatakan sekitar 10 dolar AS
dari setiap harga minyak yang tercatat
sekarang memang karena ulah spekulan
(Sunarsip, 2008). Hedge funds diduga telah
melakukan spekulasi sehingga harga minyak
melonjak.
Transaksi komoditas minyak di pasar
berjangka menyebabkan harga minyak
cenderung fluktuatif. Parahnya, laba yang
dihasilkan di pasar berjangka minyak justru
lebih banyak dinikmati oleh pelaku pasar
yang tidak mempunyai ladang minyak. Stok
minyak, termasuk kekayaan telah beralih
dari NOC-IOC (National Oil Company -
International Oil Company) kepada para trader
dan pelaku sektor keuangan yang tidak
punya ladang minyak, fasilitas kilang,
gudang, atau kapal tanker
mengemukakan bahwa Kongres AS
mengungkapkan investasi terbesar saat ini
berbentuk paper di sektor energi, dari porsi
semula 4,6 persen (2003) menjadi 30,7
persen (2005) dan di atas 50 persen (2006).
Keuntungan yang bisa diraup pun
menggiurkan, berdasarkan data The New
York Times 2005 yaitu 1,5 miliar dolar AS
dinikmati oleh Goldman Sachs dan Morgan
Stanley. Keuntungan sebesar itu
menimbulkan efek berantai di pasar
berjangka minyak.
Berdasarkan berbagai fakta yang
diungkapkan di atas terlihat bahwa penyebab
kenaikan harga minyak tidak hanya faktor
fundamental yaitu dari sisi permintaan dan
pasokan tetapi juga ada kontribusi dari
faktor geopolitik, melemahnya mata uang
dolar AS serta perilaku spekulatif para trader
minyak bumi. Ketatnya pasar minyak bumi
membuat pasar ini sangat sensitif terhadap
masalah-masalah di luar ekonomi seperti
geopolitik maupun kondisi alam.
Kompleksitas penyebab naiknya harga
minyak saat ini membuat kian rumitnya jalan
keluar yang efektif.
3. Subsidi Energi dan Problematika
Perminyakan di negara kita
Melonjaknya harga minyak dunia telah
menyebabkan instabilitas perekonomian di
banyak negara. Berbeda dengan negara
pengekspor minyak yang mendapat
keuntungan karena meningkatnya windfall
profit, negara pengimpor sampai harus
mempertaruhkan kredibilitas pemerintahan-
nya akibat lonjakan harga minyak ini. Di
negara kita sendiri, melambungnya harga
minyak menyebabkan pembengkakan
anggaran subsidi BBM yang diperkirakan
bisa mencapai Rp 190 triliun, dengan asumsi
harga minyak US$ 124 per barrel. Kondisi
ini memaksa pemerintah mengeluarkan
kebijakan pengurangan subsidi karena
maksimal anggaran subsidi BBM yang bisa
diberikan sebesar Rp 135,3 triliun (Kompas,
2008). Berarti ada selisih 55 triliun apabila
anggaran subsidi tidak dikurangi. Dari sisi
politik, pengurangan subsidi BBM
merupakan suatu bentuk kebijakan yang
tidak populer dan berpotensi menyulut
konflik vertikal antara pemerintah dengan
rakyat. Terlebih lagi pengurangan subsidi ini
terjadi di saat masyarakat sudah terbebani
oleh meningkatnya harga komoditas pangan
dunia. Selain akan mendorong inflasi, hal ini
tentu akan menurunkan tingkat aksesibilitas
masyarakat terhadap kebutuhan pangan.
Selama ini harga BBM di negara kita
berdasarkan ketentuan pemerintah, tanpa
terikat langsung dengan fluktuasi harga
internasional. Tujuannya, menurunkan harga
guna percepatan pembangunan ekonomi.
Dengan BBM yang lebih terjangkau
diharapkan akan mampu memacu
pertumbuhan melalui meningkatnya
berbagai kegiatan ekonomi seperti industri,
transportasi dan distribusi barang dan jasa.
Walaupun di sisi lain disparitas harga BBM
domestik dengan pasar internasional juga
bisa menyuburkan kasus penyelundupan.
Sebuah ekses kebijakan yang cukup sulit
ditanggulangi dalam situasi penegakan
hukum yang carut-marut saat ini.
Secara teoritis kebijakan subsidi BBM
merupakan kebijakan pemerintah dalam
rangka membantu konsumen (dalam hal ini
masyarakat) agar mendapatkan harga BBM
pada tingkat harga yang lebih murah dengan
sebagian beban harga ditanggung
pemerintah. Dengan harga yang lebih
terjangkau maka akan semakin banyak
masyarakat yang bisa mengakses BBM. Pada
gilirannya penggunaan BBM akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi
melalui makin aktifnya kegiatan produksi
dan distribusi barang dan jasa termasuk
kegiatan transportasi. Dalam APBN subsidi
energi yang dimaksud ada dua yaitu subsidi
untuk harga BBM dan subsidi untuk listrik.
Bisa dikatakan subsidi BBM termasuk
kategori subsidi yang diberikan kepada
konsumen agar bisa mengakses komoditas
pada harga yang lebih terjangkau. sedang
subsidi listrik diberikan kepada produsen
(dalam hal ini PLN) agar bisa memroduksi
listrik pada kuantitas yang lebih banyak
dengan harga yang relatif sama.
Harga minyak dunia saat ini sudah
menyentuh US$ 145,85 per barel (Investor
Daily, 2008). Kurtubi (2008) mengingatkan
bila harga minyak mentah selama satu tahun
ke depan berada pada kisaran US$ 130 per
barel, devisa yang harus dikeluarkan untuk
impor minyak mentah sebesar 400.000-
450.000 barrel mencapai US$ 43 miliar.
Suatu situasi yang semakin mengancam
kestabilan ekonomi negara kita yang sangat
terbebani dengan persoalan minyak ini.
Terlebih lagi sekarang negara kita menjadi
negara net importer yang secara otomatis
mengakibatkan kenaikan harga minyak akan
meningkatkan anggaran untuk impor
minyak tanpa disertai pemasukan dari
adanya windfall profit. Gambar arus minyak
nasional tahun 2007 (Gambar 3) bisa
memberikan ilustrasi situasi perminyakan di
negara kita saat ini.
Tren meningkatnya impor minyak sejak
tahun lalu (2007) ditengah situasi
melonjaknya harga minyak dunia membuat
anggaran untuk mengimpor minyak
meningkat. Akibatnya penyesuaian terhadap
situasi ini dianggap perlu dilakukan. Impor
minyak yang meningkat sebenarnya
merupakan sinyal bahwa produksi minyak
dalam negeri sendiri menurun. Setelah
dikonfirmasi dengan data yang ada, fakta
ini memang terjadi. Salah satu indikator
menurunnya produksi minyak bisa ditelusuri
dari data lifting minyak (Gambar 4.).
Peningkatan lifting minyak (produksi minyak
siap jual) perlu dilakukan sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan pasokan minyak
Gambar 4.
bumi dalam negeri. Menurunnya realisasi
lifting minyak dari target yang sudah
ditetapkan menjadi salah satu pemicu naiknya
harga BBM bersubsidi. Bahkan dalam 12
tahun terakhir produksi minyak nasional terus
merosot hingga 35 persen (Investor Daily,
14 Mei 2008). Usaha peningkatan lifting
minyak dalam jangka pendek bisa dimulai
dengan perbaikan infrastruktur dan
pengoptimalan sumur-sumur minyak yang
sudah ada. Dari perbaikan-perbaikan yang
dilakukan diharapkan target yang ditetapkan
bisa terpenuhi.
Dari Gambar 4. terlihat selama lima
tahun terakhir target lifting minyak tidak
tercapai, bahkan sejak tahun 2004
memperlihatkan tren yang menurun.
Sementara harga minyak dunia terus
menanjak. Kondisi yang kontra ini menjadi
salah satu penyebab naiknya harga BBM
dalam negeri. Pasokan minyak yang terus
menurun sementara permintaan cenderung
meningkat menyebabkan harga minyak naik.
Lifting minyak tahun ini (Januari-Mei 2008)
baru mencapai 0,925 juta barrel per hari
sementara target dalam APBN-P adalah
0,927 juta barrel per hari. Dengan kata lain
target belum terpenuhi. Walaupun target
lifting minyak 2008ini kemungkinan
bisa terpenuhi, negara kita masih tetap
menjadi net importer minyak. Hal ini
dikarenakan kebutuhan konsumsi harian
BBM di negara kita lebih tinggi dari target
lifting, yaitu sekitar 1,2-1,4 juta barrel per hari
sementara target realistis hanya 0,927 juta
barel per hari.
Masalah minyak di dalam negeri tidak
hanya berhenti pada soal lifting minyak saja,
ada juga persoalan dalam cost recovery minyak
nasional. Akibat dari meningkatnya cost
recovery (biaya produksi kontraktor minyak
yang harus dikembalikan oleh pemerintah)
penerimaan negara menjadi tergerus karena
digunakan untuk membayar cost recovery
tersebut. Menariknya,ada fenomena
yang berlawanan arah dalam hal ini, dimana
ketika produksi minyak terus menurun
justru cost recovery kian meningkat. Cost recovery
2002 sebesar US$4,338 Miliar meningkat
menjadi US$5,044 Miliar pada 2003. Antara
2002-2007 peningkatan yang cukup besar
terjadi pada 2005 yaitu sebesar US$2,21
Miliar, dari US$5,326 Miliar (2004) menjadi
US$7,533 miliar (2005) [Investor Daily,
2008]. Naiknya sewa rig pengeboran serta
menuanya sejumlah lapangan minyak
menjadi alasan yang mencoba menetralisir
persoalan cost recovery ini.
Kendala lain untuk meningkatkan
produksi minyak adalah pada eksplorasi.
Tren eksplorasi minyak saat ini
menunjukkan kecenderungan menurun,
tidak saja di negara kita tetapi juga di dunia.
Penurunanini diakibatkan oleh
perubahan kebijakan investor multinasional
akibat merosotnya harga pada 1998 serta
pemotongan anggaran investasi secara
signifikan. Terkait dengan masalah
eksplorasi, pakar perminyakan, Kurtubi
menyarankan agar mempercepat produksi
Blok Cepu sebagai langkah jangka pendek.
Dalam jangka menengah eksplorasi di
Natuna dengan tetap memerhatikan faktor
keamanan dan lingkungan hidup. Sedang
dalam jangka panjang perlunya perbaikan
sistem dan regulasi perminyakan nasional
agar investasi pencarian cadangan baru bisa
kembali meningkat (Kompas, 2008). Semua
upayaini diarahkan agar antisipasi
terhadap harga minyak di masa mendatang
menjadi lebih baik lagi.
Berbagai kendala perminyakan baik
yang diakibatkan oleh kenaikan harga minyak
internasional maupun kondisi dalam negeri
yang masih memerlukan pembenahan
berimplikasi pada beban fiskal subsidi BBM
yang semakin meningkat. Setidaknya ini
terlihat pada Tabel 2 dimana secara relatif
dari tahun demi tahun menunjukkan
peningkatan, terlebih lagi pada 2008, subsidi
BBM diperkirakan membebani APBN
sebesar Rp 132,1 triliun.
4. Listrik Sebagai Bagian dari Subsidi
Energi
Selain untuk subsidi BBM, APBN juga
mensubsidi listrik. Pelaksanaannya disalurkan
melalui PLN. Listrik juga merupakan energi
yang sangat penting bagi roda
pembangunan. Dengan diadakannya subsidi
listrik diharapkan lebih banyak masyarakat
yang dapat menikmati penggunaan energi
listrik, terutama untuk aktivitas yang
Tabel 2.
produktif. Termasuk dalam hal ini untuk
listrik di daerah pedesaan yang akan sangat
bermanfaat untuk menstimulus
perekonomian daerah. Alasannya, investasi
di daerah biasanya sangat tergantung
infrastruktur yang ada. Program listrik desa
bisa meningkatkan kemajuan ekonomi desa
melalui multiplier efect yang terjadi.
Ketersediaan energi listrik salah satunya
juga dipengaruhi oleh harga BBM. Kenaikan
harga BBM dapat berpengaruh terhadap
penyediaan listrik karena sebagian besar
pembangkit listrik menggunakan bahan
bakar minyak dan batubara untuk
menggerakkan pembangkit listrik (Tabel 3.).
Untuk pembangkit yang menggunakan
bahan bakar batubara juga terganggu dengan
naiknya harga minyak dunia saat ini.
Persoalannya, untuk mendatangkan
batubara yang tambangnya sebagian besar
di luar Pulau Jawa sedang sebagian besar
pembangkit listrik berada di Jawa
memerlukan alat angkut kapal, sehingga
ongkos angkut juga meningkat bila harga
BBM naik. Terlebih lagi harga batubara
sendiri di pasar internasional juga mengalami
kenaikan. Saat ini (2008) sumber energi
primer untuk pembangkit tenaga listrik
berupa batubara mencapai 48,8 persen, gas
17,0 persen, bahan bakar minyak 11,4
persen, panas bumi 6,1 persen, hidro 9,1
persen dan lainnya seperti biofuel, batubara
hibrid 7 persen (Investor Daily, 4 Juli 2008).
Kenaikan beban subsidi listrik dalam
APBN bisa dilihat melalui perkembangan
subsidi listrik yang diberikan pemerintah
Tabel 3.
Komposisi Sumber Energi Listrik PLN (%)
Sumber: Annual Report PLN,2006
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 23
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di negara kita
(Tabel 4). Walaupun tidak sebesar subsidi
BBM, anggaran untuk subsidi listrik juga ikut
terpengaruh oleh adanya kenaikan BBM.
Porsi yang semakin besar dari tahun ke tahun
selain dikarenakan semakin luasnya jaringan
listrik, juga karena bahan bakar
pembangkitnya yang semakin mahal. Atau
dengan kata lain biaya produksi listrik
meningkat seiring melonjaknya harga minyak
dunia dan batubara sebagai sumber energi
primer untuk pembangkit listrik. Kondisi
tersebut tentunya akan menggangu target
PLN untuk segera meningkatkan jumlah
pengguna listrik di tanah air yakni rasio desa
berlistrik diharapkan 100 persen pada 2010.
Aksesibilitas listrik yang terganggu ini
dipastikan bisa menghambat pembangunan
ekonomi.
Dilihat dari perkembangannya antara
2002-2008 subsidi listrik meningkat drastis
sejak tahun 2006. Peningkatan ini salah
satunya merupakan konsekuensi dari upaya
PLN untuk meningkatkan kuantitas layanan
listrik kepada masyarakat. Disamping itu,
peningkatan subsidi yang terjadi juga
dikarenakan meningkatnya biaya produksi
penyediaan listrik karena bahan energi primer
yang semakin mahal.
Dari sisi investasi, terganggunya
ketersediaan energi listrik akan menurunkan
produktifitas industri dan menurunkan daya
saing investasi. Terganggunya dunia usaha
akan memperburuk keadaan per-
ekonomian. Pengaruh terganggunya supply
energi listrik akan berdampak pada sektor-
sektor yang dominan menggunakan energi
Tabel 4.
ini. Dari Gambar 5 terlihat bahwa konsumen
listrik terbesar di negara kita adalah untuk
industri dan rumah tangga. Terbatasnya
pasokan akan menyebabkan indutri sulit
mengoptimalkan produksinya. Bagi industri
yang padat karya kelangkaan listrik juga
menurunkan penghasilan pekerja karena
pengurangan jam lembur. Industri kecil dan
industri rumah tangga juga tidak bisa
mengelak dari kerugian apabila sampai
terjadi pemadaman bergilir berkepanjangan.
Di sisi lain upaya mengimbangi
kenaikan biaya produksi listrik PLN dengan
menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) akan
Gambar 5.
Penjualan Listrik Berdasarkan Kategori (Gwh)
Sumber: negara kita Energy Statistics 2008, ESDM
mengakibatkan berkurangnya tingkat
kesejahteraan masyarakat. Gambar 5.
menunjukkan sebagian besar konsumen
listrik PLN adalah rumah tangga (household),
ini berarti apabila harga listrik naik beban
rumah tangga akan semakin berat setelah
sebelumnya pada 25 Mei 20008 harga BBM
dinaikkan. Sensitifitas pemerintah sebagai
eksekutor kebijakan publik akan dinilai
semakin merosot oleh masyarakat apabila
kenaikan Tarif Dasar Listrik ini dilakukan.
Kajian Makmun dan Abdurahman
(2003) setidaknya membuktikan akan
dampak kenaikan TDL terhadap konsumsi
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 25
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di negara kita
listrik dan pendapatan masyarakat. Dalam
hasil kajianini dinyatakan bahwa
kenaikan TDL membawa dampak negatif
terhadap pendapatan riil masyarakat. Setiap
kenaikan 10 persen dari TDL akan
mengurangi pendapatan riil rumah tangga
petani 1,47 persen dan sebesar 3,47 persen
untuk rumah tangga di bawahnya. Kenaikan
listrik juga berdampak pada turunnya
permintaan sektoral sebesar 3,52 persen.
Selanjutnya, kenaikan listrik pada akhirnya
juga mengurangi pendapatan institusi 1,46
persen.
Kebutuhan energi listrik semakin
meningkat dari tahun ke tahun.
terus menunjukkan tren peningkatan.
Meskipun demikian peningkatan konsumsi
listrik belum mampu diimbangi dengan
pasokan (produksi masih di bawah
konsumsi). Tidak seimbangnya kebutuhan
listrik dengan pasokan yang ada
menyebabkan terbatasnya penggunaan
energi ini. Menyikapi hal ini pemerintah
berupaya mensosialisasikan penghematan
energi listrik nasional. Selain itu pemerintah
juga mengeluarkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) tentang hemat energi untuk
membatasi serta mengoptimalkan
penggunaan energi listrik.
Pada praktiknya memang tidak mudah
untuk mengurangi dampak fiskal akibat
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008 26
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di negara kita
membengkaknya subsidi energi dalam
APBN, baik untuk subsidi BBM maupun
subsidi listrik. Terlebih lagi faktor penyebab
meningkatnya subsidi tidak hanya berasal
dari dalam negeri seperti masalah lifting, cost
recover y maupun menurunnya kegiatan
eksplorasi minyak bumi. Tetapi juga faktor
dari dunia internasional yakni meningkatnya
harga minyak dan komoditas dunia. Seperti
yang dikemukakan Handoko dan Patriadi
(2005) bahwa upaya konsolidasi fiskal demi
tercapainya kesinambungan fiskal (fiscal
stability) dan pertumbuhan ekonomi yang
stabil memang tidak mudah. Konsolidasi
fiskal dihadapkan pada kenyataan beban
berat utang publik yang cukup tinggi, subsidi
yang semakin meningkat terutama subsidi
BBM dan penerimaan pajak yang kurang
optimal.
Dari sisi kelembagaan, telah cukup
banyak berbagai kebijakan tentang energi
nasional dikeluarkan demi tercapainya
pengelolaan energi yang bernilai guna dan
berkelanjutan. Tabel 5. memberi gambaran
tentang usaha-usaha pemerintah dalam
mengelola sumber energi di negara kita .
Setidaknya sejak 1981 telah terjadi lima kali
penyempurnaan kebijakan energi nasional.
Ini di luar dokumen lain seperti; kebijakan
pengembangan energi terbarukan dan
konservasi energi; Blue print pengelolaan
energi nasional 2005-2025; Perpres No. 5/
2006 tentang Kebijakan Energi Nasional;
Inpres No. 1/2006 tentang Penyedian dan
Pemanfaatan Bahan bakar Nabati sebagai
Bahan Bakar Lain; serta UU No. 30 Tahun
2007 tentang Energi (Rakhmanto, 2008).
Cukup seringnya peraturan kebijakan
energi yang diubah mengidikasikan beratnya
kadar persoalan energi di negara kita .
Sehingga berbagai peraturan harus
mengalami revisi untuk disesuaikan dengan
perkembangan kondisi yang ada. Walaupun
harus diakui perkembanganini
kadang tidak berpihak pada ekonomi
bangsa seperti kenaikan harga minyak saat
ini. Ini juga mengindikasikan minimnya
implementasi, inefisiensi penggunaan energi,
dan tanpa perencanaan dan pelaksanaan
yang lebih spesifik dan terukur. Tetapi
selama kebijakan yang dibuat ditujukan
untuk kepentingan dan keberlangsungan
kehidupan bangsa di masa depan, akan
selalu ada harapan.
Krisis energi yang disebabkan
melonjaknya harga minyak dunia
menyadarkan bangsa ini untuk tidak
menggantungkan lokomotif per-
ekonomian dari energi minyak bumi saja.
Penggunaan energi alternatif terbarukan
dirasa perlu, bukan hanya di saat harga
minyak dunia naik seperti saat ini yang
kemudian membebani APBN melalui
membengkaknya subsidi, tetapi juga demi
kelangsungan perekonomian bangsa di
masa depan. Berkaitan dengan beban
subsidi energi yang meningkat karena
melonjaknya harga minyak dunia, beberapa
solusi berikut perlu untuk menjadi
pertimbangan.
Pertama, usaha untuk meningkatkan
lifting minyak melalui pengoptimalan ladang
minyak perlu dilakukan. Upaya
meningkatkan efisiensi cost recovery yang justru
semakin meningkat ditengah menurunnya
produksi minyak nasional juga penting. Selain
itu, peningkatan investasi di sektor minyak
bumi terutama untuk kegiatan ekplorasi juga
sangat diperlukan. Kedua, program
diversifikasi energi menjadi bagian yang tidak
terelakkan. Harga minyak dunia yang terus
menanjak membuat negara kita harus aktif
dan kreatif untuk menggunakan bahan
bakar alternatif lainnya. Penggunaan
batubara untuk menggantikan BBM di
sektor industri dan pembangkit energi
primer PLN perlu dilakukan. Ketiga,
percepatan pengembangan dan penggunaan
Bahan Bakar Nabati yang berbasis pada
tanaman-tanaman non-pangan. Keempat,
mendukung riset-riset di bidang energi
alternatif yang potensial untuk
dikembangkan di negara kita serta sosialisasi
penggunaannya oleh masyarakat, kalau perlu
pemerintah memberi contoh penggunaan
energi alternatif terlebih dahulu. Kelima,
penghematan penggunaan listrik yang
sekarang sedang disosialisasikan perlu
ditingkatkan melalui contoh yang
mengedukasi masyarakat.
Adalah Thomas Robert Malthus,
ekonom sejak abad ke-18 mengkhawatirkan
ketidakseimbangan antara pertumbuhan
jumlah penduduk dengan pertumbuhan
makanan. Pemikirannya terfokus pada
pertumbuhan penduduk yang mengikuti
deret ukur sedang pertumbuhan
makanan yang mengikuti deret hitung.
Kekhawatiran ekonom klasik ini mulai
terbukti, dengan gambaran ekonomi global
yang terus didera kelangkaan komoditas
pangan yang mendorong kenaikan harga.
Diawali dari pergerakan harga minyak
mentah yang terus melejit, mencapai angka
tertinggi sepanjang sejarah, sebesar 138,54
dollar per barrel (5 Juni 2008) -sempat
menyentuh US$ 139,12 per barrel-, sampai
kenaikan harga komoditas pangan sebagai
efek bawaan dari kenaikan harga minyak.
Jika mengamati kondisi seperti ini, maka
semua akan sejalan dengan ungkapan Henry
Kissinger -38 tahun lalu-”siapa yang menguasai
minyak, ia akan mengendalikan banyak negara
dalam cengkramannya dan siapa yang menguasai
pangan, ia yang akan mengendalikan orang”
Krisis pangan layaknya ’silent tsunami’
yang siap menggulung siapa saja dan bisa
mengakhiri peradaban manusia. Kejadian
awal telah muncul di Haiti dimana kaum
miskin berdemo sampai mengais tumpukan
sampah untuk mendapatkan sisa-sisa
makanan disusul kerusuhan yang
menyebabkan tewasnya sejumlah warga
miskin. Tingkat kematian juga meningkat
akibat emosi dan perkelahian yang tidak
terkendali di Mauritania, Mozambique,
Senegal, Pantai Gading, dan Kamerun.
Selanjutnya, kenaikan harga pangan
mencekik negara-negara di dunia di Afrika
sebelah selatan sampai sub-Sahara di utara.
Kondisi yang sama juga menghampiri
Meksiko sampai Brazil di jajar selatan benua
Amerika, dan Mesir sampai Suriah di Timur
Tengah, Pakistan sampai Bangladesh di
lintang selatan Asia (Jafar, 2008).
Krisis pangan akan semakin serius
karena ancaman kegagalan panen di 33
negara yakni 21 di Afrika (Lesotho, Somalia,
Swaziland, Zimbambwe, Eritrea, Liberia,
Mauritania, Sierra Leone, Burundi, Central
Africam Republic, Chad, Congo, Cote
d’Luoire, Ethiopia, Ghana, Guinea, Bissao,
Kenya, Sudan dan Uganda), 10 di Asia (Irak,
Afganistan, Korea, Bangladesh, China,
Nepal, Sri Langka, Tajikistan, Timor Leste,
Vietnam), 5 di Amerika Latin (Bolivia,
Republic Cominican, Ekuator, Haiti,
Nikaragua) dan 1 di Eropa (Moldova)
[Media negara kita , 2008]. Selain itu, kondisi
tersebut diperburuk oleh penurunan
produksi pangan di China karena terjadinya
banjir di sentral produksi beras. Sejak 1999/
2000 FAO menjelaskan gejala krisis pangan
dunia telah muncul karena menurunnya stok
biji-bijian dunia. Stok biji-bijian dunia hampir
defisit tujuh periode yakni 2000, 2002, 2003,
2004, 2006 dan 2007 serta diprediksi pada
2008
Menurut FAO, walaupun produksi
pangan dunia meningkat dari 2006-2008
yakni 2012 juta, 2108 juta dan 2164 juta
(prediksi) –merupakan kontribusi Asia,
Eropa, dan Amerika Tengah sedang
Afrika, Amerika Selatan, Oceania dan
Amerika Utara mengalami kegagalan
produksi pangan- tetapi keadaanini
masih meninggalkan kekhawatiran karena
stok pangan (sereal) dunia terus menurun.
Tercatat, stok pangan dunia menurun
menjadi 405 juta ton atau turun 21 juta dan
merupakan angka terendah sejak 25 tahun
terakhir. Pada kondisi ini rasio antara stok
dan konsumsi sereal menjadi 18,8 persen
atau turun 6 persen dari tahun sebelumnya
(Prasetyo, 2008).
Disisi lain, ancaman kelaparan juga
melanda kawasan Pasifik karena
mengabaikan sektor pertanian. Kawasan ini
terbuai akan murahnya tarif impor sehingga
pemenuhan pangan tergantung pada kran
impor. Kebergantungan yang terlalu tinggi
menyebabkan kesulitan besar ketika sejumlah
negara produsen pangan membatasi ekspor
pangan guna memenuhi kuota dalam negeri.
Akibatnya, kenaikan harga pangan pun
melebihi 50 persen di kawasanini .
Kenaikan harga pangan di Fiji misalnya, telah
menyedot penghasilan masyarakat miskin
hingga 50-65 persen, sedang orang kaya
sekitar 20 persen. Menurut Bank
Pembangunan Asia (ADB) setidaknya
kenaikan harga pangan yang terjadi telah
mendorong lima persen keluarga
berpendapatan kecil di Pasifik masuk dalam
golongan melarat ,
Selain sejumlah kawasan yang
dikemukakan, lonjakan harga pangan dunia
juga menyebabkan kenaikan harga pangan
di beberapa negara, tetapi dalam porsi yang
berbeda, tergantung kondisi fundalmental
setiap perekonomian (Tabel 1).
Untuk komoditas beras Bangladesh
dan Kamboja mengalami kenaikan tertinggi
diikuti Afghanistan, sedang China
menempati posisi terendah disusul negara kita
yang naik masing-masing US$ 6 dan US$
8,7. Kenaikan tertinggi pada komoditas
gandum dialami Kirgizstan dan Tajikistan
naik masing-masing US$ 100, sedang
India malah mengalami penurunan harga
US$ 2,5. Pada komoditas daging, dari data
lima negara tercatat Bangladesh mengalami
kenaikan tertinggi diikuti Tajikistan masing-
masing US$ 60 persen dan US$ 50.
Dana Moneter Internasional (IMF)
mengemukakan beberapa faktor yang
memicu krisis pangan, (i) lonjakan harga
minyak mentah yang mendorong naiknya
biaya tranportasi dan saranan produksi
pertanian seperti pupuk dan pestisida (ii)
tingginya permintaan pangan dari negara
berkembang (khususnya China dan India),
(iii) munculnya program biofuel (iv) faktor
cuaca yang memicu gagal panen dibeberapa
negara, (vi) pertumbuhan jumlah penduduk
yang signifikan (vii) dari sisi finansial,
dipengaruhi oleh pelemahan nilai tukar
dollar AS, penurunan suku bunga di negara-
negara maju, dan bergesernya motif
spekulasi dari instrumen pasar uang ke pasar
komoditas dan terus diikuti oleh
penimbunan bahan pangan sehingga harga
komoditas semakin melonjak [Samhadi,
2008], (vii) krisis subprime mortage di Amerika
Serikat yang memicu aksi spekulasi investasi
jangka pendek (short term investment) dan
berujung pada pengalihan modal dari pasar
finansial ke bursa komoditas. Di awal
motifnya para spekulan tidak langsung
terlibat di pasar komoditas tetapi bermain
di pasar indeks komoditas (commodity index
market) (Pratomo, 2008).
Harga minyak misalnya, merujuk data
historis, kenaikan harga emas hitam ini sudah
terjadi sejak 2001, tetapi masih turun pada
2003 sebesar 5,39 persen. Kenaikan tertinggi
terjadi pada 2004 sebesar 90,16 persen,
mengangkat harga minyak ke level US$ 36,7
Tabel 1.
Pengaruh Kenaikan Harga Pangan Dunia pada Beberapa Negara
Maret 2007-Maret 2008 (US$ )
Negara Beras Gandum Daging
Afghanistan 70 16 30
Bangladesh 100 74 60
Kamboja 100 45
China 6 7,2
India 9,3 -2,5
negara kita 8,7
Kirgizstan 100
Mongolia 40
Nepal 20
Pakistan 60 38
Filipina 40 30
Sri Lanka 55 36
Tajikistan 100 50
Vietnam 17
Sumber : ADB (dalam Media negara kita , 2008)
per barrel. Namun, lonjakan harga pada
awal tahun 2008 sontak menjadi shock besar
bagi perekonomian global. Harga minyak
dunia meroket dari rata-rata US$ 72 per
barrel (2007) menjadi US$ 100 per barrel
(awal 2008) karena desakan geopolitik di
Nigeria dan Pakistan, pengaruh penurunan
perekonomian Amerika Serikat maupun
penurunan produksi (Bank negara kita ,
2008). Departemen energi Amerika Serikat
(US Department of Energy) menjelaskan
bahwa konsumsi energi dunia memiliki
tendensi peningkatan hingga tahun 2030.
Departemenini menguraikan bahwa
permintaan minyak untuk negara bukan
anggota organisasi untuk Kerja Sama dan
Pembangunan Ekonomi (OECD) naik
sekitar 57 persen dan untuk negara-negara
anggota OECD naik sekitar 24 persen.
Menghadapi harga dan kelangkaan minyak,
banyak negara yang mencoba mencari
subsitusinya yakni biofuel. Brazil, Amerika
Serikat, China, India, Malaysia dan Singapura
telah memiliki rencana matang untuk
memulai proyek pengadaan biofuel. Amerika
Serikat akan memproduksi 35 miliar galon
pada tahun 2017 sedang China dan India
masing-masing 15 persen dan 20 persen
pada tahun 2020 dari total produksi1.
Kenaikan harga dan kelangkaan minyak
yang direspon dengan biofuel akan terus
menekan harga komoditas pangan
internasional dan berujung kepada krisis
pangan dunia yang semakin menjadi-jadi.
Friends of The Earth Eropa
mengemukakan, programini sontak
mendongkrak harga pangan hingga 30
persen. Ditambahkan lagi, programini
akan menyedotkan hampir 20 persen dari
total minyak sayur dunia. Data terbaru
menyebutkan, harga jagung, kedelai,
gandum, beras untuk pengiriman Juli telah
mengalami peningkatan signifikan. Jagung
meningkat 0,9 persen menjadi 6,4925 per
lot. Menurut FAO, harga komoditas ini telah
mengalami kenaikan 73 persen dalam
setahun terakhir. Kedelai naik 0,7 persen
menjadi US$ 14,6275 per lot yang
merupakan level tertinggi sejak Mei 2008.
Komoditas ini sempat menyentuh harga
US$ 15,865 (3 Maret 2008) dan telah
mengalami kenaikan 78 persen lebih tinggi
5 persen dari kenaikan harga jagung selama
setahun terakhir.
Harga gandum mencapai US$ 7,905
per lot, naik 4,3 persen. Kenaikanini
sebagai dampak spekulasi panen gandum
di Kansas sebagai produsen gandum
terbesar di Amerika Serikat. Demikian juga
untuk komoditas beras, naik 2,3 persen
sehingga menjadi US$ 19,805 per 100 ton.
Setahun terakhir komoditas ini telah
mengalami kenaikan 89 persen. Lonjakan
harga beras juga dipicu oleh pengurangan
ekspor yang dilakukan sejumlah negara
produsen beras dengan dalih untuk
memenuhi kuota dalam negeri seperti
dilakukan Brasil, Mesir, India dan Vietnam
(Investor Daily, 2008). Lonjakan harga
sejumlah komoditas pada 10 tahun ke depan
akan tetap naik seperti yang dipublikasikan
oleh FAO. Menurut outlook 2008-2017
terbitan FAO yang dirilis OECD, harga
komoditas beras dan gula masih akan naik
sekitar 10 persen, gandum 20 persen,
produk susu dan biji-bijian masing-masing
30 persen dan minyak nabati 50 persen. Hal
ini masih terkait dengan suplai dan
permintaan komoditas yang belum
seimbang, serta pengaruh iklim ,
Program biofeul yang digawangi
Amerika Serikat dan Uni Eropa mendapat
respon negatif dari sejumlah negara seperti
Argentina, Venezuela dan Kuba
organisasi internasional. FAO telah
melakukan pertemuan di Roma dan
mengimbau agar negara-negara yang gencar
dengan program biofuel-nya untuk
mempertimbangkan kembali kebijakan yang
akan ditempuh. Deklarasiini juga
meminta negara-negara untuk mengurangi
pembatasan perdagangan komoditas
pangan, mendesak mencabut larangan
ekspor dan merevisi kebijakan tarif impor.
Organisasiini menyatakan, perlu
dilakukan pengkajian lebih mendalam untuk
menjamin bahwa produksi biofuel yang akan
diperoleh setara dengan mamfaatnya.
Friends of the Earth Europe
menambahkan, secara moral pe