Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
Ad-valorem Tariff (tarif advalorem) adalah suatu pajak yang
dikenakan berdasarkan persentase tetap dari harga per unit
barang yang diimpor.
Autonomous Tariff Suspension/ATS (penangguhan tarif) adalah
tindakan pengecualian dari kondisi normal pengenaan tarif
bea masuk impor barang agar perusahaan-perusahaan di
negara tertentu dapat memakai bahan baku, barang
setengah jadi atau komponen lainnya yang tidak tersedia
atau tidak diproduksi di dalam negeri untuk menstimulasi
aktivitas ekonomi.
Control Devisa (pembatasan valuta asing) adalah peraturan
transaksi penduduk dan bukan penduduk dengan nilai mata
uang domestik dan nilai mata uang lainnya yang merupakan
bagian penting dari mekanisme pengendalian kegiatan
ekonomi asing dengan mata uang asing.
Embargo adalah jenis kuota spesifik yang melarang perdagangan
seperti hambatan pada impor barang tertentu yang dipasok
ke negara tertentu, atau semua barang yang dikirim ke negara
tertentu.
Hambatan non-tarif adalah berbagai kebijakan perdagangan
selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi sehingga
mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional.
Hambatan tarif (tariff barrier) adalah suatu kebijakan perlindungan
terhadap barang-barang produksi dalam negeri dari ancaman
membanjirnya barang-barang sejenis dari luar negeri (impor).
Kuota adalah cara yang ditetapkan untuk membatasi jumlah
maksimum yang dapat diimpor.
Kuota impor adalah pembatasan yang diberlakukan untuk jumlah
barang tertentu yang dapat diimpor, misalnya volume beras
impor yang diperbolehkan.
Lisensi adalah hambatan non-tarif yang paling umum dipakai
pada peraturan impor langsung yang diberikan pemerintah
untuk pengusaha dan memungkinkan pelaku usaha
mengimpor jenis barang tertentu ke negara ini .
Local Content (persyaratan kandungan lokal) adalah kebijakan
pemerintah yang meminta agar pada persentase/bagian
tertentu dari produk dibuat di dalam negeri.
Penundaan Administrasi dan Birokrasi adalah hambatan
non-tarif di pintu masuk (pelabuhan) yang meningkatkan
ketidakpastian dan biaya perdagangan.
Perdagangan bebas adalah kebijakan ketika pemerintah tidak lagi
melakukan diskriminasi terhadap impor atau ekspor, sehingga
pasar bersifat lebih terbuka dengan sedikit pembatasan
perdagangan.
Quantitative restriction (pembatasan kuantitatif) adalah bentuk
hambatan administrasi langsung dari peraturan pemerintah
untuk perdagangan luar negeri biasanya tercermin dalam
kerugian konsumen karena harga menjadi lebih tinggi dan
pilihan barang yang terbatas.
Specific Tariff (tarif spesifik) adalah biaya impor tetap yang
dikenakan pada satu unit barang yang diimpor.
Standard adalah hambatan non-tarif yang mengambil tempat
khusus di antara hambatan non-tarif lainnya dalam bentuk
pelabelan dan pengujian produk agar dapat dijual di dalam
negeri.
Tarif adalah hambatan perdagangan berupa penetapan pajak atas
barang-barang impor atau barang-barang dagangan yang
melintasi daerah pabean (custom area).
Tariff Rate Quota (TRQ) adalah kuota yang ditetapkan untuk
impor pada tingkat tertentu, untuk impor di atas tingkat yang
ditentukan akan dikenakan tarif yang lebih tinggi.
Trilema globalisasi adalah sebuah negara tidak bisa menerapkan
secara penuh tiga hal sekaligus yakni, demokrasi, kedaulatan
nasional, dan globalisasi
Voluntary Export Restraint (VER) adalah pembatasan ekspor
sukarela yang dibuat oleh negara pengekspor bukan negara
pengimpor, biasanya dikenakan atas permintaan negara
pengimpor dan dapat disertai dengan VER timbal balik.
Kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek yang menentukan dalam mewujudkan kedaulatan pangan untuk komoditas pangan strategis yang akhirnya
diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan diperlukan kebijakan
perdagangan internasional yang berpihak kepada petani, sehingga
mereka dapat terlindungi dari gejolak perdagangan komoditas
pangan di pasar dunia.
Di pihak lain, kebijakan perdagangan internasional suatu
negara, termasuk negara kita diatur oleh kesepakatan perdagangan
multilateral di bawah World Trade Organization (WTO). Kesepakatan
dan forum kerja sama regional (yang bersifat mengikat atau tidak
mengikat), seperti ASEAN, APEC, G-20, juga menganut prinsip-
prinsip yang sama dengan yang diatur dalam WTO.
Buku ini membahas berbagai aspek terkait perdagangan
internasional untuk komoditas pangan strategis yaitu, beras,
jagung, kedelai, bawang merah, gula dan daging sapi. Dalam
rangka mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani,
buku ini memberi penekanan pada kebijakan pengendalian
impor dan mendorong ekspor.
Di pihak lain, kebijakan perdagangan internasional suatu
negara, termasuk negara kita diatur oleh kesepakatan perdagangan
multilateral di bawah World Trade Organization (WTO).
Kesepakatan dan forum kerja sama regional (bersifat mengikat
atau tidak mengikat), seperti ASEAN, APEC, G-20, juga menganut
prinsip-prinsip yang sama dengan yang diatur dalam WTO.
Sebagai negara berkembang dan salah satu penghasil pangan
terbesar, negara kita memang diuntungkan dengan kebijakan
perdagangan internasional yang diterapkan WTO, karena
terbukanya kesempatan ekspor ke negara-negara anggota WTO.
Namun, di sisi lain, kebijakan perdagangan internasional juga
secara nyata mengandung berbagai pengaruh negatif. ini
terlihat dari perkembangannya, di mana negara kita telah menjadi
net-importir country untuk beberapa komoditas pertanian sejak
tahun 1995.
Namun demikian, kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan,
karena negara kita akan terperangkap dalam jebakan pangan (food
trap) yang membuat petani/peternak menjadi tidak bergairah
meningkatkan produksi. Ketergantungan terhadap impor yang
semakin tinggi juga akan mengancam kedaulatan pangan.
Sebagai salah satu kekuatan negara, kedaulatan pangan telah
menjadi prioritas pemerintahan Jokowi dan tercantum sebagai
program utama Nawa Cita. Melalui Kementerian Pertanian,
pemerintah melakukan berbagai terobosan agar petani mampu
meningkatkan produksi dan daya saingnya, sehingga produk-
produk pangan yang dihasilkan mampu bersaing, baik di pasar
domestik maupun di pasar global.
Terobosan yang dilakukan antara lain, memberi bantuan
subsidi berupa alat mesin pertanian, subsidi pupuk, benih,
perbaikan irigasi, hingga perbaikan tata niaga pangan. usaha
ini, terbukti mampu memberi kontribusi cukup besar dalam
peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani, bahkan
mampu menekan angka kemiskinan.
Capaian-capaian dalam mewujudkan kedaulatan pangan
dan kesejahteraan petani di era pemerintahan Jokowi-JK diakui
beberapa pihak. Asisten Director General FAO, Kundhawi
Kadiresan, memberi apresiasi pencapaian swasembada
pangan Indonesia.
Penghargaan yang sama juga dilontarkan berbagai lembaga
internasional. Bank Dunia, dalam outlook Perkiraan Produksi Beras
2018 yang dirilis pada Oktober 2017, menempatkan negara kita
ix
sebagai negara yang mampu memasok kebutuhan pangan rakyat
walau dunia tengah dilanda kekeringan.
Data Global Food Secirity Index The Economist juga menunjukkan
ketahanan pangan negara kita mengalami peningkatan cukup
signifikan. Jika pada 2016, ketahanan pangan negara kita berada di
peringkat 71 dari 113 negara, maka di tahun 2017 peringkatnya
melompat di posisi 21. Posisi tertinggi bila disandingkan dengan
negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
Buku ini membahas berbagai aspek terkait perdagangan
internasional untuk komoditas pangan strategis seperti beras,
jagung, kedelai, daging sapi, gula dan lainnya. Buku ini
juga mengurai berbagai learning outcomes negara kita dalam
mengendalikan impor, untuk kemudian meningkatkan ekspor
dan kesejahteraan petani.
Buku ini tersusun atas enam bab utama. Bab pertama
memuat butir-butir pemikiran yang melandasi isi utama buku.
Bab II menguraikan tinjauan kinerja pembangunan pangan dan
dinamika kesejahteraan petani. Bab III menjelaskan dinamika
kebijakan impor pangan.
Sementara pada Bab IV memuat tinjauan aturan WTO dalam
pengendalian impor pangan. Adapun Bab V memuat tentang
usaha mengendalikan impor dan mendorong ekspor pangan untuk
kesejahteraan petani. Buku ini ditutup dengan bab terakhir yang
memuat kesimpulan, pembelajaran, dan perspektif perdagangan
internasional komoditas pangan yang menyejahterakan petani.
Meskipun telah berusaha untuk menghindarkan kesalahan,
penulis menyadari bahwa buku ini masih memiliki kelemahan
sebagai kekurangannya. Karena itu, kami berharap para pembaca
berkenan menyampaikan kritikan dan saran agar dapat menuju
kesempurnaan.
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
UNTUK KESEJAHTERAAN PETANI
Seiring dengan laju pertambahan penduduk di negara kita yang semakin meningkat, kebutuhan pangan pun semakin besar. Badan Pusat Statistik mencatat, laju pertambahan penduduk
di negara kita mencapai 2-3 persen/tahun. Itu artinya, penduduk
negara kita bertambah sekitar 3 juta orang setiap tahun.
Jika pada tahun 2014, jumlah penduduk negara kita tercatat
sekitar 252,2 juta jiwa, maka pada tahun 2018 jumlah penduduk
diperkirakan menjadi 265,02 juta jiwa. Dengan demikian selama
periode 2014-2018 jumlah penduduk negara kita bertambah sekitar
12,8 juta jiwa. ini berarti dibutuhkan tambahan konsumsi
sekitar 1,7 juta ton beras.
Besarnya kebutuhan pangan negara kita ini , akan berisiko
besar juga bila tergantung pada pasokan pangan dari pasar dunia.
Tidak saja mengancam ketahanan pangan, ketergantungan pada
pasar dunia akan membuat negara kita kehilangan kedaulatan
ekonomi maupun politik pada pergaulan internasional.
2 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Sejarah menunjukkan bahwa pangan terkadang juga dipakai
sebagai senjata dalam hubungan politik internasional. Pada masa
lalu perang pangan (food war) terjadi secara langsung atau kasat
mata. Namun gejala belakangan ini menunjukkan perang pangan
terjadi secara terselubung, lebih dikenal dengan istilah proxy food
war. Medan tempur proxy food war utamanya ialah penguasaan
lahan dan air melalui investasi asing. Itulah sebabnya, semua
negara berpenduduk besar selalu berusaha berswasembada atau
bahkan surplus pangan.
Pemerintahan Jokowi-JK melalui visinya yang tertuang dalam
Nawa Cita menaruh komitmen dan perhatian serius pada sektor
pertanian, yaitu menitikberatkan pada usaha mewujudkan
Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani. Pemerintahan
Jokowi-JK telah menetapkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan
petani sebagai single goal dalam pembangunan pertanian.
Karena itu, dalam berbagai kesempatan Menteri Pertanian Dr.
Andi Amran Sulaiman selalu mengatakan, “Kita jangan mewariskan
impor dan kemiskinan bagi generasi mendatang.” Pernyataan-
penyataan inilah yang menjadi satu inspirasi dalam membangun
pertanian secara berkelanjutan. Bahkan harus mengedepankan
asas manfaat yang diperoleh petani, bukan semata-mata pada
kelompok pelaku usaha atau pihak tertentu.
Visi dan komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap
kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani tidak perlu diragukan
lagi. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah
mengamanatkan bahwa mewujudkan kedaulatan, kemandirian
dan ketahanan pangan merupakan hal mendasar yang sangat besar
arti dan manfaatnya untuk mendukung pelaksanaan kebijakan
terkait penyelenggaraan pangan di Indonesia.
Undang-Undang Pangan juga menyebutkan bahwa penye-
lenggaraan pangan bertujuan meningkatkan kemampuan mem-
produksi pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang
beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan
3Perdagangan Internasional untuk Kesejahteraan Petani |
gizi bagi konsumsi warga . Selain itu, mewujudkan tingkat
kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang
wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan warga .
Untuk menyejahterahkan petani lebih diarahkan membuat
petani mampu menghasilkan pendapatan dengan memanfaatkan
sumber daya yang dapat dijangkau, seperti pemanfaatan lahan,
peralatan kerja, teknologi, pupuk, pestisida dan air. Petani
sesungguhnya memiliki kemampuan untuk memproduksi
pangan, karena sudah dilakukan berulang-ulang dari musim
ke musim. Namun, teknologi baru terus berkembang, sehingga
petani perlu dibimbing agar penggunaannya tepat dan efisien.
Pada dasarnya jumlah pendapatan petani tergantung pada
produksi yang diperoleh dan harga jual. Mengingat panen hampir
selalu bersamaan, memicu saat panen terjadi kelebihan hasil,
sehingga sering tidak terserap pasar atau over produksi sesaat.
Pada kondisi ini harga seringkali tidak memberi keuntungan layak
kepada petani.
Memang beberapa petani mampu menunda penjualan hasil
panennya agar bisa memperoleh harga yang baik. Namun,
umumnya petani menjual hasil panennya saat harga yang tidak
menguntungkan, karena harus melunasi utang saprodi yang
dipinjamkan. Keadaan ini terus bergulir, sehingga petani sering
dirugikan ketika menjual hasil panennya.
Pada masa yang lalu, kondisi yang kurang menguntungkan
petani ini diperparah dengan masuknya komoditas sejenis
yang diimpor. Dampaknya, harga menjadi semakin rendah.
Seolah-olah ada skenario membuat harga menjadi lebih murah
oleh mekanisme pasar.
Sementara, pengguna produk yang membeli untuk kebutuhan
bahan baku industrinya menjadi lebih murah. Sebaliknya, bagi
petani justru tidak menguntungkan, sehingga kesejahteraannya
semakin sulit ditingkatkan. Kejadian seperti ini berjalan dari tahun
ke tahun, sampai di era pemerintahan Jokowi-JK ini.
4 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Sebagai dampak ketidakpastian harga, membuat petani dalam
membudidayakan komoditas tidak berani melakukan investasi
teknologi, karena takut merugi saat harga jatuh. Karena itu,
pemerintah melalui Perum Bulog, berkewajiban membeli produk
petani saat panen raya, disimpan sementara, kemudian dilepas
saat harga bergerak naik.
Pembelian pada saat panen mengikuti Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan dalam Inpres Nomor
5 Tahun 2015. Bulog juga mendapat kewenangan mengimpor
apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi. Namun, dengan
tekanan perdagangan internasional membuat perubahan besar
(reformasi), sehingga banyak aturan yang sebelumnya melindungi
kepentingan petani menjadi berubah. Mengatasi situasi yang
kurang menguntungkan ini, pemerintah menetapkan harga
minimum dan mengendalikan impor.
Namun, sebagai salah satu anggota WTO, negara kita harus
bersedia membuka pasar domestiknya bagi produk negara lain dan
menerima segala konsekuensi dari perdagangan bebas. Selain itu,
sebagai anggota, negara kita juga telah meratifikasi pembentukan
WTO melalui UU Nomor 7 Tahun 1994. Artinya, negara kita harus
mematuhi dan menjalani kebijakan-kebijakan yang didesain WTO.
Bersamaan dengan gerakan perdagangan multilateral yang
diwadahi WTO, kesepakatan perdagangan bebas atau Free Trade
Agreement (FTA) atau persetujuan perdagangan kawasan atau
Regional Trade Agreement (RTA) juga telah berkembang sejak tahun
1990-an. Misalnya, ASEAN Free Trade Area (FTA), ASEAN-China
FTA (ACFTA), ASEAN-Australia-New Zealand FTA, ASEAN-
Korea FTA, ASEAN-India FTA, ASEAN-Japan FTA, Indonesia-
Japan Partnership Agreement, dan lainnya.
Secara teoretis, sebagaimana dikumandangkan berbagai ahli
perdagangan internasional, apabila perpindahan dan pergerakan
komoditas dari satu negara ke negara lain tidak dihambat oleh
kebijakan perdagangan dan subsidi, maka kedua negara akan
5Perdagangan Internasional untuk Kesejahteraan Petani |
saling diuntungkan. Dengan perkataan lain, jika suatu negara
memiliki keunggulan komparatif pada suatu komoditas dan
negara lain tidak memiliki nya, tetapi memiliki keunggulan
komparatif pada komoditas lainnya, maka kedua negara
dipastikan akan mendapat manfaat dari perdagangan komoditas-
komoditas ini .
Inilah pegangan dan acuan dalam perundingan di WTO untuk
menyusun aturan-aturan pelaksanaannya. Di pihak lain, FTA oleh
negara-negara yang terbatas, secara teori mungkin memberi
manfaat bagi pesertanya, tetapi negara-negara yang bukan peserta
akan dirugikan.
Pengaruh terhadap Pertanian
Selama ini negara-negara berkembang anggota WTO cenderung
mengalami dampak negatif dari liberalisasi perdagangan,
termasuk negara kita yang telah menjadi net-importir country untuk
beberapa komoditas pertanian sejak tahun 1995. Sedangkan
negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa
(UE), serta G-10 memperoleh manfaat yang signifikan dari AoA
WTO ini .
ini terjadi karena keengganan negara-negara maju untuk
mematuhi AoA yang telah disepakati, terutama terkait dengan tiga
pilar utama ini . Ekonom seperti Myrdal, Presbisch, Singer,
serta Bhagwati menyatakan bahwa perdagangan internasional
memicu terjadinya ketimpangan dan kesenjangan antara
negara maju dan negara berkembang.
Ketimpangan regional terjadi karena adanya kekuatan pasar
yang bebas dengan motif laba. Akibatnya, pembangunan terpusat
pada suatu wilayah tertentu yang memicu terjadinya migrasi
tenaga kerja, modal, dan perdagangan. Negara maju yang memiliki
basis industri yang kuat mengekspor hasil industrinya ke negara
berkembang dengan harga murah. Kondisi itu mematikan industri
6 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
kecil negara berkembang, sehingga mendorong ekspor produk-
produk primer yang harganya berfluktuasi (permintaannya
bersifat inelastis di pasar ekspor).
Pernyataan Myrdal tentang akibat perdagangan bebas antara
negara maju dan negara berkembang adalah awal dari suatu
usaha pemiskinan dan stagnasi yang tercermin dengan jelas dalam
perjanjian pertanian (AoA) WTO.
Di negara kita perdagangan bebas di sektor pertanian telah
membuat pembangunan sektor pertanian menjadi terhambat.
Keadaan ini disebabkan persaingan yang sangat ketat dari
produk-produk pertanian sejenis yang diimpor. Bahkan hingga
kini, produk pangan dalam negeri masih kalah bersaing dengan
produk pangan impor.
Impor pangan negara kita diperkirakan akan semakin besar pada
masa mendatang. Hal itu terjadi, karena tidak adanya proteksi dari
pemerintah seperti kemudahan tata niaga impor, penghapusan
monopoli Bulog sebagai importir tunggal, serta dibebaskannya bea
masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) beberapa komoditas
pangan. Sementara subsidi ekspor oleh negara-negara maju seperti
Amerika Serikat dan Eropa juga membuat pangan impor semakin
menguasai pasaran dalam negeri.
Kebijakan Perdagangan Semakin Proteksionis
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat,
dengan kebijakan-kebijakannya yang bernuansa proteksionis,
membuat seolah-olah era perdagangan bebas dan globalisasi akan
segera berakhir. ini senada seperti yang dilakukan Pemerintah
Inggris melalui referendum, yang akhirnya memutuskan keluar
dari Uni Eropa (Brexit).
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan apakah globalisasi
sudah tidak punya prospek lagi? Untuk menjawab pertanyaan ini,
ada baiknya untuk diketahui terlebih dahulu tren terbaru yang
dinamai “trilema globalisasi (globalization trilemma)”.
Trilema globalisasi adalah istilah yang dilontarkan Dani
Rodrik, ekonom dan profesor dari the Harvard Kennedy School,
Amerika Serikat. Menurut Rodrik, trilema globalisasi menjelaskan
bagaimana sebuah negara tidak bisa menerapkan secara penuh
tiga hal sekaligus yakni, demokrasi, kedaulatan nasional, dan
globalisasi.
Karena itu Rodrik menyebut trilema ini sebagai “teori
ketidakmungkinan”. Sebuah negara hanya mungkin menerapkan
dua dari tiga ini . Satu hal harus dikorbankan. Jika ingin
mempertahankan globalisasi, maka sebuah negara harus
mengorbankan salah satu dari demokrasi atau kedaulatan
nasional.
Menurut Forum Ekonomi Dunia atau WEF (World Economy
Forum), kecenderungan yang ada saat ini mengarah pada
keseimbangan antara demokrasi dan kedaulatan nasional.
Akibatnya, ambisi integrasi perekonomian internasional semakin
terbatas. Rodrik menyebut ini sebagai “versi terbatas
globalisasi” (limited version of globalization). Karena itu, globalisasi
punya dua sisi, sisi baik dan sisi gelap.
Di satu sisi, globalisasi telah mendorong pertumbuhan
perdagangan dan investasi dunia. Berkat pesatnya kemajuan
teknologi, globalisasi juga mendorong industri untuk
menyebarkan lokasi industri ke banyak negara, memanfaatkan
peluang pemotongan biaya sekaligus memaksimalkan profit.
Selain itu, globalisasi juga membantu orang di dunia keluar dari
zona kemiskinan. Harga berbagai produk dan barang pun jadi
lebih bersaing.
Namun di sisi lain, globalisasi juga punya sisi gelap. Di negara
tujuan lokasi industri, globalisasi seolah mengeksploitasi tenaga
kerja. Mereka dibayar murah untuk menghemat ongkos produksi,
bahkan buruh harus bekerja dalam kondisi yang memprihatinkan
di negara-negara berkembang.Sedangkan di negara asal industri,
beberapa besar warga kehilangan lapangan kerja, karena tingginya
biaya produksi. Kelompok warga inilah yang terkesan
tersisih dan terpinggirkan oleh globalisasi.
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (fenomena Brexit) dan
kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden AS
dilatarbelakangi kondisi ini. Dengan demikian, globalisasi pada
akhirnya berada di persimpangan jalan yang bersejarah. Tak ada
negara yang ingin melepas ideologi dan kedaulatan nasionalnya
demi globalisasi. Sulit menemukan negara yang dengan sukarela
membuka pasarnya lebar-lebar bagi produk, investasi sampai
tenaga kerja asing.
beberapa sektor harus dipertahankan dan proteksi tetap
diperlukan untuk menjaga kedaulatan. Namun, mereka juga tidak
ingin melepas sepenuhnya globalisasi. Karena tanpa globalisasi,
sulit membayangkan perdagangan internasional bisa berkembang.
Saat ini tidak ada satu negara pun yang bisa maju dengan hidup
sendirian. Salah satu pilihannya, seperti dikatakan Rodrik, adalah
menjalankan “versi terbatas globalisasi”. Yakni, versi perdagangan
internasional dan investasi yang adil, bukan sekadar bebas.
Untuk melindungi produksi dalam negeri dari ancaman
produk sejenis yang diproduksi di luar negeri, pemerintah suatu
negara biasanya akan menerapkan atau mengeluarkan suatu
kebijakan perdagangan internasional di bidang impor. Kebijakan
perdagangan internasional di bidang impor dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu kebijakan hambatan tarif (tariff barrier)
dan kebijakan hambatan non-tarif (non-tariff barrier).
Hambatan tarif merupakan suatu kebijakan proteksionis
terhadap barang-barang produksi dalam negeri dari ancaman
membanjirnya barang-barang sejenis yang berasal dari luar negeri
(impor). Dengan hambatan tarif yang besar, pendapatan negara
akan meningkat sekaligus membatasi permintaan konsumen
terhadap produk impor dan mendorong konsumen memakai
produk domestik. Sementara, hambatan non-tarif adalah berbagai
kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan
distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan
internasional.
Dalam kondisi tertentu negara anggota WTO juga dapat
melakukan safeguard measures sebagai langkah melindungi industri
domestik dari kerugian karena peningkatan impor. Dengan
ketentuan ini, diharapkan negara ini dapat melakukan
penyesuaian terhadap produk tertentu yang menghadapi tekanan
dari impor barang karena terjadinya persaingan atau kompetisi
secara internasional.
Safeguards measures bersifat sementara dan semata-mata dalam
rangka proses penyesuaian industri domestik yang menghadapi
tekanan dari produk impor. Safeguards measures tidak dapat
dipakai memproteksi industri domestik dalam jangka panjang.
Di Indonesia, kebijakan pengendalian impor, khususnya
komoditas pangan ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan
pangan dan kesejahteraan petani. negara kita dengan penduduk yang
besar membutuhkan kedaulatan pangan. Sebab, ketergantungan
pada pangan impor akan membuat negara kita terperangkap
dalam jebakan pangan (food trap). Jika hal itu sampai terjadi, maka
petani/peternak menjadi tidak bergairah meningkatkan produksi.
Ketergantungan terhadap impor yang semakin tinggi juga akan
berisiko besar terhadap ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
Komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap pangan dan
pertanian tidak diragukan. Pada 17 Oktober 2016, BPS merilis
beberapa data strategis tentang perkembangan perdagangan.
Data ini mengungkapkan kebijakan dan program strategis
Kementerian Pertanian sudah on the track dalam meningkatkan
ekspor, menurunkan impor dan mendongkrak kesejahteraan
petani.
Data BPS ini menyebutkan, ekspor nonmigas pada
September 2016 mencapai 11,45 miliar dolar AS atau naik 2,85
persen dibandingkan ekspor September 2015. Impor nonmigas
September 2016 mencapai 9,55 miliar dolar AS atau naik 0,95
persen dibandingkan September 2015. Barang nonmigas ini
yakni hasil perkebunan, pertanian, peternakan, perikanan, dan
hasil pertambangan yang bukan berupa minyak bumi dan gas.
Uraian ini cukup untuk menjawab kenapa Menteri
Pertanian Dr. Andi Amran Sulaiman demikian bersemangat
mengendalikan impor dan mendorong ekspor pangan. ini
tidak lain adalah untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan
kesejahteraan petani.
Buku ini akan membahas kebijakan dan kinerja perdagangan
internasional untuk beberapa komoditas pangan strategis seperti
beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula dan lainnya. Buku ini
terdiri atas enam bab utama. Bab pertama memuat latar belakang
dan butir-butir pemikian yang melandasi isi utama buku.
Bab kedua menguraikan tinjauan kinerja pembangunan pangan
dan dinamika kesejahteraan petani. Hasil diagnosa ini
merupakan dasar untuk melihat prospektif perdagangan pangan
dan kemampuan negara kita merebut kembali pasar domestik dari
produk pangan impor.
Pada bab ketiga, menguraikan dinamika kebijakan impor
pangan. Sedangkan bab keempat memuat tinjauan aturan WTO
dalam pengendalian impor pangan. Sementara bab kelima tentang
usaha mengendalikan impor pangan untuk kesejahteraan petani.
Terakhir, bab keenam menyampaikan kesimpulan, pembelajaran,
dan perspektif tentang perdagangan internasional komoditas
pangan yang menyejahterakan petani.
PANGAN DAN KESEJAHTERAAN
PETANI DI ERA GLOBALISASI
Pangan dan kesejahteraan merupakan dua kata kunci dalam merangkai kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia. Negara yang sejahtera dengan kecukupan pangan tentunya
akan memperkuat kebijakan umum nasional. Kesejahteraan petani
akan terganggu bila terjadi impor komoditas sejenis dari negara
lain.
Karena itu, kemajuan produksi pangan menjadi perhatian
penting dalam mewujudkan kesejahteran petani. Di sisi lain
ada harapan yang diimpikan seluruh warga Indonesia,
yaitu kebutuhan pangan dalam negeri dapat dipenuhi dari
produksi pangan sendiri.
Dinamika Produksi Pangan
Seiring dengan pertumbuhan penduduk negara kita yang saat ini
(2017) sudah berkisar 260 juta jiwa, kecukupan pangan nasional
menjadi hal yang sangat penting. Bahkan di tingkat regional
maupun global tetap menjadi isu penting bila suatu negara
tertentu terjadi kekurangan atau kegagalan dalam kecukupan
pangan. Beberapa komoditas penting yang menjadi perhatian
dalam kecukupan pangan nasional yaitu, beras, jagung, bawang
merah, cabai, gula, dan daging sapi.
Beras
Saat ini produksi beras didominasi petani kecil (kepemilikan
lahan di bawah 1 ha) dengan jumlah rumah tangga usaha tanaman
pangan (padi dan palawija) mencapai 17,73 juta rumah tangga atau
67,83 persen dari total rumah tangga usaha tani (Sensus Pertanian,
2013). Selama tiga tahun terakhir produksi padi nasional terus
meningkat.
Produksi padi pada tahun 2012 berada pada angka 69 juta ton
dan terus meningkat menjadi 81,8 juta ton pada tahun 2017. Hal
ini seiring dengan perkembangan luas panen sawah yang terus
meningkat dari 13,4 juta ha pada tahun 2012 menjadi 15,78 juta ha
pada tahun 2017
Untuk mengganti lahan sawah yang beralih fungsi, pemerintah
terus melakukan usaha pencetakan sawah baru, baik di Pulau
Jawa maupun luar Pulau Jawa. Namun, pencetakan sawah baru
difokuskan di luar Jawa karena persaingan penggunaan lahan
di Pulau Jawa sangat tinggi. Banyaknya sawah yang beralih
fungsi menjadi lahan pemukiman dan industri di Pulau Jawa
menghambat usaha peningkatan produksi beras.
Grafik perkembangan produksi padi dan luasan sawah dari
tahun 2012-2017 tersaji dalam Gambar 1.
Pola tanam padi di negara kita secara umum memiliki pola
yang sama setiap tahun, yakni terjadi dua pola puncak tanam.
Tanam pertama pada musim penghujan terjadi pada September-
Desember, yang puncaknya terjadi pada Desember. Kemudian
perlahan mengalami penurunan pada Januari-Februari. Tanam
kedua terjadi pada April-Mei, saat itu sawah irigasi masih dapat
ditanam. Sementara sawah tadah hujan sudah tidak mampu
berproduksi lagi. Tanam terendah terjadi pada peralihan antara
musim kemarau dan penghujan, yaitu Juli-September (Gambar 2).
Sebaliknya pola panen berbeda dengan pola tanam. ini
berkaitan dengan umur panen padi pada kisaran 90-110 hari.
Sebagamana pola tanamnya, pola panen padi secara umum
membentuk dua kurva, yaitu panen pertama terjadi pada Januari
– April dengan puncak pada Maret. Panen kedua terjadi pada
Mei – Agustus dengan puncak panen terjadi pada Agustus. Pada
Gambar 2 dapat dilihat puncak panen tertinggi pada tahun 2014
dan 2015 terjadi pada Maret.
Sudah diketahui, usaha tani padi sangat dipengaruhi iklim.
Perubahan iklim tahunan dengan terjadi pergeseran bulan kering
dan bulan hujan dapat mempengaruhi jadwal tanam. Karena
itu, keterlambatan tanam akan memundurkan waktu panen 4-8
minggu. Selanjutnya berdampak pada mundurnya musim tanam
kedua dan meningkatkan kemungkinan musim tanam kedua di
daerah tadah hujan lahan tidak cukup air (lengas).
ada dua potensi risiko berkaitan dengan bergesernya
musim tanam padi di sebagian besar wilayah Indonesia. Pertama,
musim gadu makin panjang. Kedua, meningkatnya risiko keke-
ringan musim tanam kedua.
Panjangnya musim gadu memicu rumah tangga miskin
harus menerima harga bahan pangan naik akibat terlambatnya
waktu panen. Jika tidak dilakukan usaha percepatan tanam, maka
pendapatan buruh tani dan petani gurem akan terus berkurang.
Hasil survei rumah tangga yang dilakukan WFP baru-baru
ini menunjukkan bahwa buruh tani terkena dampak kekeringan
paling parah dengan menurunnya pendapatan. Lalu, diikuti
dengan perilaku bertahan hidup (coping) yang negatif, seperti
menurunkan pengeluaran untuk pangan (BKP, 2016).
Jagung
Jagung merupakan salah satu bahan pangan pokok sesudah beras.
Di beberapa daerah seperti Madura dan Nusa Tenggara, jagung
pernah menjadi makanan pokok. Jagung menjadi komoditas
pangan strategis nasional. Saat ini jagung dominan dipakai
sebagai bahan baku pakan ternak. Fluktuasi stok dan harga jagung
akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan harga ternak dan
turunannya seperti daging dan telur.
Selama ini kebutuhan nasional jagung dipenuhi dari produksi
dalam negeri dan impor. Sebelum pemerintahan Jokowi-JK,
negara kita belum mampu memenuhi kebutuhan jagung nasional
karena luasan lahan produksi jagung masih kurang. Ditambah
dengan pola usaha tani jagung yang mencapai puncak panen
hanya pada Februari, Maret dan April. Pada bulan lainnya
produksi jagung cenderung konstan.
Data menyebutkan, luasan lahan jagung nasional pada tahun
2012 tercatat 3,9 juta ha, sedikit mengalami penurunan sampai
tahun 2015. Namun pada tahun 2016 dan 2017, luasan panen
melonjak sekitar 5,3 juta ha. Jika produksi jagung pada tahun 2012
hanya sebesar 19,37 juta ton, kemudian meningkat cukup besar
pada tahun 2016 dan 2017, masing-masing sebesar 23,57 juta ton
dan 27,95 juta ton (Pusdatin 2016b).
Kedelai
Kedelai merupakan bahan pokok utama bahan baku pembuatan
tahu dan tempe. Keduanya ini merupakan lauk utama bagi masya-
rakat Indonesia. Kedelai juga dimanfaatkan untuk kebutuhan
pembuatan kecap, tauco, dan sari kedelai. Karena produksi kedelai
masih belum bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri,membuat
volume impor cukup besar hingga mencapai 6,33 juta ton (2016).
Sumber negara-negara asal impor kedelai adalah Amerika Seikat,
Brasil, dan Argentina.
Sementara produksi dalam negeri pada tahun 2016 hanya
berkisar 860 ribu ton. Salah satu faktor rendahnya produksi adalah
produktivitas kedelai yaitu hanya berkisar 1,4 ton/ha. Padahal
rata-rata produktivitas kedelai dunia sudah mencapai 2,5 ton/ha.
Data menyebutkan, luas panen kedelai negara kita pada tahun
2012 sebesar 568 ribu ha dengan produksi 843 ribu ton. Hingga
tahun 2016, perkembangannya relatif sama yaitu luas panen 577
ribu ha dan produksi sebanyak 860 ribu ton. Meski pada tahun
2014 dan 2015, produksi kedelai sempat mencapai hampir 1 juta
ton (Gambar 3).
Stagnannya produksi kedelai tidak lepas karena adanya
kompetisi dengan komoditas pangan lainnya, khususnya jagung.
Petani cenderung memilih jagung, karena harganya yang lebih
menguntungkan. Jagung juga merupakan salah satu pesaing
dalam penggunaan lahan pada musim kemarau.
Gambar 4. Luas panen dan produksi kedelai tahun 2012-2016
Bawang Merah
Bawang merah merupakan salah satu komoditas strategis nasional
yang dipakai secara luas sehari-hari dengan konsumsi sebesar
2,71 kg/kapita/tahun. Sebagian besar bawang merah dihasilkan
petani di Pulau Jawa. Panen bawang merah di Pulau Jawa pada
periode 2010-2015 menyumbang 73,25 persen total panen nasional.
Sisanya tersebar di luar Pulau Jawa, terutama Nusa Tenggara
Barat.
Luas panen bawang merah negara kita pada tahun 2012 sebesar
99.519 ha dengan produksi 964.195 ton. Namun pada tahun 2016
luas panen meningkat menjadi 149.635 ha dengan produksi
1.446.860 ton. Terjadi peningkatan produksi sebesar 50,05 persen
(Pusdatin 2016c).
Luas panen bawang merah di Pulau Jawa tumbuh 4,82 persen/
tahun. Sementara luas panen luar Pulau Jawa sebesar 2,71 persen/
tahun. Selama periode 2011-2015, rata-rata pertumbuhan luas
panen bawang merah di luar Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan
Pulau Jawa. ini mengindikasikan semakin banyak petani
mampu membudidayakan bawang merah berkat dukungan
pemerintah.
Produktivitas bawang merah selama kurun waktu 2012-
2016 secara umum tidak mengalami banyak perubahan. Rata-
rata peroduktivitas bawang merah negara kita sebesar 9,9 ton/ha.
Produktivitas petani bawang di Pulau Jawa lebih baik daripada di
luar Pulau Jawa.
Gambar 5. Luas panen dan produksi bawang merah tahun 2012-2016
Gula
Industri gula berbahan baku tebu telah ada di wilayah nusantara
sejak era penjajahan Belanda. Bahkan negara kita pernah meng-
alami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an. Saat itu
jumlah pabrik gula yang beroperasi sebanyak 179 pabrik, dengan
produktivitas sekitar 14,8 persen dan rendemen 11-13,80 persen.
Keberhasilan ini karena didukung kemudahan memperoleh
lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi dan disiplin
dalam penerapan teknologi.
Namun produksi gula GKP selama 2008-2017 terus menurun.
Jika pada tahun 2008 sebanyak 2,668 juta ton, maka tahun 2012
menjadi 2,591 juta ton, bahkan tahun 2017 hanya sebesar 2,11
juta ton (Gambar 6). Pada kurun waktu 2013-2017, hampir semua
parameter produksi menunjukkan pertumbuhan yang negatif.
Gambar 6. Jumlah produksi tebu dan gula
Luas panen tebu, selama kurun waktu 2012-2016 mengalami
fluktuasi (Gambar 7). Pada tahun 2012 luas panen tebu nasional
sebesar 451.255 ha dan meningkat menjadi 478.109 ha pada tahun
2014. Tapi, kemudian turun menjadi 445.520 ha pada tahun 2016
(Pusdatin 2016e). Penurunan luas panen tebu karena daya saing
komoditas tebu yang terus menurun. ini akan dibahas lebih
lanjut pada bagian selanjutnya.
Gambar 7. Luas panen dan volume produksi tebu
Daging Sapi
Produk daging sapi merupakan komoditas unggulan ternak kedua
sesudah unggas (ayam potong). Kontribusi daging sapi terhadap
kebutuhan daging nasional sebesar 23 persen dan diperkirakan
akan terus mengalami peningkatan. Secara umum, kebutuhan
daging sapi masih dipenuhi impor daging maupun sapi bakalan.
Perkembangan populasi sapi potong di negara kita mengalami
peningkatan dari tahun 2013-2017 (Gambar 8). Pada tahun 2013
jumlah populasi sapi potong nasional sebesar 12 jutaan ekor dan
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 7 persen. Sementara
produksi daging sedikit mengalami penurunan pada tahun 2014,
tapi kemudian kembali meningkat pada tahun 2015 hingga 2017.
21Pangan dan Kesejahteraan Petani di Era Globalisasi |
Pada tahun 2013 produksi daging sapi tercatat 504.818 ton dan
produksi tertinggi pada tahun 2017 sebesar 531.760 ton
Gambar 8. Produksi daging sapi dan populasi sapi
Kesejahteraan Petani
Peningkatan kesejahteraan petani merupakan salah satu dari
visi dan misi pembangunan pertanian. Indikator/alat ukur
yang dipakai untuk menilai tingkat kesejahteraan petani adalah
Nilai Tukar Petani (NTP), Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP),
kemiskinan di pedesaan dan gini rasio di perdesaan.
Konsep Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan rasio antara
indeks yang diterima petani dengan indeks yang dibayar petani.
Sementara, Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) merupakan
ukuran kemampuan rumah tangga pertanian dalam memenuhi
kebutuhan usaha pertaniannya.
Selanjutnya, gini rasio atau indeks gini merupakan ukuran
ketimpangan atau pemerataan pendapatan di suatu wilayah. Nilai
indeks gini berada pada 0-1.Angka 0 artinya pendapatan merata
sempurna atau diterima semua orang sama rata. Sedangkan nilai
1 menunjukkan timpang sempurna, artinya pendapatan hanya
diterima satu orang atau satu kelompok tertentu.
Nilai Tukar Petani
Pada tahun 2012, semua NTP dari setiap subsektor berada pada
neraca positif (di atas 100). NTP tertinggi diraih petani pada
subsektor hortikultura sebesar 109,03, diikuti subsektor tanaman
pangan sebesar 104,71 dan terakhir subsektor peternakan sebesar
101,33.
Gambar 9. Nilai Tukar Petani (NTP) dari tiga subsektor utama
Namun, NTP subsektor hortikultura mulai tahun 2013 terus
mengalami penurunan tiap tahun. Penurunan tajam terjadi pada
tahun 2014, yaitu turun 5,8 poin dari tahun sebelumnya atau
menjadi 102,55. Hal serupa dialami petani tanaman pangan yang
pada tahun 2014 turun 5,73 poin menjadi 98,89, posisi terendah
dalam rentang waktu tahun 2012-2016.
Pada tahun 2014 dan 2016 NTP subsektor hortikultura
menunjukkan angka di bawah 100. Artinya petani tidak mampu
memenuhi kebutuhannya dari usaha tani yang dilakukan.
Sebaliknya, nilai NTP peternak justru mengalami kenaikan cukup
tinggi pada tahun 2014 sebesar 4,6 poin menjadi 106,65 dan terus
meningkat hingga 2016 menjadi 107,57 (Pusdatin 2017).
Ketimpangan Pendapatan
Secara umum tingkat ketimpangan pendapatan perdesaan dari
tahun 2011 sampai 2017 berada pada tingkat ketimpangan yang
rendah. Pada tahun 2011 indeks ketimpangan berada pada angka
0,329. Kemudian menurun menjadi 0,324 atau turun sebesar 1,5
persen pada tahun 2013. Pada tahun 2014 terjadi kenaikan indeks
ketimpangan sebesar 3,7 persen menjadi 0,336. Kemudian kembali
turun hingga tahun 2017 menjadi 0,320 (BPS, 2018a).
Ketimpangan pendapatan yang terjadi di perdesaan akibat
adanya perbedaan produktivitas yang dimiliki setiap individu.
Satu individu/kelompok memiliki produktivitas yang lebih
tinggi dibandingkan individu/kelompok lain.
Faktor-faktor yang diduga memiliki keterkaitan erat dengan
ketidakmerataan distribusi pendapatan di antaranya, faktor
internal rumah tangga tani, yaitu distribusi penguasaan lahan
pertanian, distribusi pendidikan, dan angkatan kerja rumah tangga.
Sedangkan faktor eksternalnya adalah distribusi pendapatan
yang berasal dari kegiatan dan usaha di sektor pertanian. Tidak
meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan
pendapatan yang merupakan awal munculnya masalah
kemiskinan.
24 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Gambar 10. Perkembangan gini ratio tahun 2011-2017
Tingkat Kemiskinan
Secara keseluruhan, jumlah penduduk miskin negara kita pada
September 2017 berkurang sebanyak 1,18 juta jiwa menjadi 26,58
juta jiwa dibanding posisi September tahun sebelumnya. Dengan
demikian, tingkat kemiskinan nasional berkurang menjadi 10,12
persen dari sebelumnya. Meskipun demikian tingkat kemiskinan
perdesaan selalu lebih tinggi dibanding perkotaan sejak 1993.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi
kemiskinan perdesaan pada tahun 2017 mencapai 13,47persen dari
populasi, sementara perkotaan hanya 7,26 persen. Pada tahun 2017,
jumlah penduduk miskin perdesaan berkurang sekitar 970 ribu
jiwa atau menjadi 26,58 juta jiwa dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara jumlah penduduk miskin perkotaan berkurang sekitar
220 ribu jiwa atau menjadi 10,27 juta jiwa (BPS 2018b).
Selama periode 2012-2017, tingkat kemiskinan di pedesaan
yang cenderung mengalami penurunan. Artinya lebih banyak
25Pangan dan Kesejahteraan Petani di Era Globalisasi |
rumah tangga petani mampu memperbaiki taraf kesejahteraannya
menjadi lebih baik. ini mengindikasikan adanya beberapa
keberhasilan di sektor pertanian secara umum di Indonesia.
Gambar 11. Persentase penduduk miskin di kota dan pedesaan
Kesejahteraan Petani di Era Perdagangan Bebas
Perdagangan bebas adalah kebijakan ketika pemerintah tidak
lagi melakukan diskriminasi terhadap impor atau ekspor,
sehingga pasar bersifat lebih terbuka dengan sedikit pembatasan
perdagangan. Namun, dalam beberapa hal pemerintah umumnya
masih menerapkan kebijakan proteksionis untuk komoditas yang
bersifat strategis.
Kebijakan proteksionis ini dilakukan untuk melindungi
petani dari dampak perdagangan bebas. Meski demikian, negara kita
sebagai salah satu anggota WTO harus taat terhadap aturan-aturan
di dalamnya. Implikasi dari perjanjian WTO adalah bahwa semua
negara secara bertahap harus melakukan penghapusan terhadap
proteksi-proteksi perdagangan antarnegara.
Selain kerja sama multilateral seperti WTO, negara kita saat ini
ikut serta dalam perjanjian perdagangan bebas regional di wilayah
ASEAN (AFTA). Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing
ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN
sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan
meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN.
Selain itu, ASEAN juga menjalin kerja sama perdagangan
bebas bersama Cina, yaitu ACFTA pada tahun 2010 dan lima
negara lainnya seperti India, Korea, Jepang, Australia, dan Selandia
Baru. Kerja sama ekonomi ini meliputi pembebasan bea masuk
barang dari negara mitra ke ASEAN dan sebaliknya. Pembebasan
bea masuk barang dimaksudkan untuk memperlancar distribusi
barang yang berakibat pada kemajuan perekonomian kedua belah
pihak.
Kerja sama itu dapat menciptakan ancaman sekaligus peluang.
Ancaman produk luar yang mampu bersaing secara harga
maupun kualitas dapat menggerogoti pasar produk pertanian.
Sebaliknya, produk pertanian yang kita hasilkan akan lebih mudah
menembus pasar mancanegara. Dalam menghadapi tantangan
sekaligus mengisi peluang ini, diperlukan produk pertanian yang
berkualitas. Daya saing produk yang dihasilkan harus mampu
mengimbangi produk luar.
Dengan memperhatikan ketiga indikator kesejahteraan petani
yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat secara umum
bahwa kesejahteraan petani mengalami perbaikan. Didukung
dengan peningkatan produksi pertanian yang terus meningkat
dari tahun ke tahun, memberi optimisme bahwa kesejahteraan
petani akan terus membaik.
Menanggapi situasi ini, pemerintah melalui Kementerian
Pertanian berusaha melakukan terobosan kebijakan dalam rangka
mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Ada
beberapa langkah yang diambil. Pertama, memperbaiki regulasi
yang berpotensi menghambat usaha percepatan pembangunan
sektor pertanian. Kedua, peningkatan dan pemerataan infrastruktur
pendukung pertanian, berupa perbaikan jaringan irigasi,
pembangunan embung, optimasi lahan sawah dan mekanisasi
pertanian.
Ketiga, peningkatan sarana produksi pertanian melalui subsidi
pupuk, penyediaan bibit dan asuransi usaha tani untuk menjamin
petani. Keempat, perbaikan manajemen dan koordinasi lintas
sektoral. Kelima, peningkatan nilai tambah produk pertanian,
terutama produk-produk yang akan diekspor, sehingga tidak
hanya mengirim bahan baku, namun mampu mengirim bahan
setengah jadi atau barang jadi.
Keenam, memperbaiki rantai pasok. Untuk itu, pemerintah
melakukan perlindungan terhadap petani melalui kebijakan HPP,
HET, harga atas dan harga bawah, serta optimalisasi BUMN untuk
menyerap hasil pertanian. Ketujuh, melalui pengendalian ekspor
dan impor.
Kinerja Ekspor dan Impor Pangan
Dinamika perdagangan pangan negara kita relatif bervariasi
tergantung kapasitas produksi dan kebutuhan kecukupan pangan
nasional. negara kita cukup berperan aktif dalam usaha mencukupi
kebutuhan pangan nasional, baik melalui produk sendiri ataupun
impor. Ekspor dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri
sudah terpenuhi.
Beberapa komoditas yang menjadi perhatian penting dalam
perdagangan internasional pangan adalah beras, bawang merah,
jagung, kedelai, daging sapi, dan gula.
Beras
negara kita merupakan produsen beras terbesar ketiga sesudah Cina
dan India. Walaupun termasuk produsen terbesar, kebutuhan
konsumsi nasional belum dapat dipenuhi hasil produksi dalam
negeri. Karena itu kita masih memerlukan impor beras untuk
memenuhi kebutuhan ini . Sumber impor beras berasal dari
Vietnam, Thailand, India, Pakistan dan Myanmar.
Di sisi lain, negara kita juga mengekspor beras ke luar negeri,
tetapi dalam porsi yang sangat kecil dibandingkan dengan jumlah
konsumsi dalam negeri. negara kita tidak termasuk ke dalam negara
pengekspor beras utama dunia. Beras yang diekspor merupakan
beras kualitas premium dan memiliki nilai ekonomi lebih
tinggi.
Impor beras tahun 2012 tercatat 1,8 juta ton dengan nilai 945
juta dolar AS (Gambar 12), kemudian turun pada tahun tahun
selanjutnya.Hingga pada 2017 tidak ada impor beras sama sekali.
Sementara ekspor beras cenderung mengalami peningkatan dari
tahun 2012 hingga 2017. Walaupun pada tahun 2015 mengalami
penurunan ekspor. Pada tahun 2012 volume ekspor beras dan
olahan beras total 1.085 ton, namun di tahun 2017 tercatat
volumenya meningkat menjadi 3.433 ton (Pusdatin 2016a).
ini menunjukkan semakin banyak petani mampu
memproduksi beras berkualitas tinggi yang memiliki daya
saing lebih baik untuk menembus pasar internasional. Tentu
menjadi peluang untuk ditingkatkan, karena proporsi beras yang
diekspor masih sangat kecil dibandingkan total produksi beras
nasional.
Gambar 12. Volume dan nilai ekspor impor beras Indonesia
Jagung
negara kita termasuk ke dalam 10 negara penghasil jagung terbesar
di dunia, meski baru menempati posisi kesembilan dengan porsi
2,2 persen dari total produksi dunia. Untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi dalam negeri, negara kita selama ini masih harus
mengimpor jagung dari India, Brasil, Argentina, Thailand, dan
Paraguay.
Impor jagung cenderung meningkat dari tahun 2012 hingga
2015.Impor tertinggi mencapai 3,5 juta ton pada tahun 2015,
kemudian mengalami penurunan pada tahun 2016. Bahkan tahun
2017 hanya 394 ribu ton berupa produk jagung olahan untuk
konsumsi warga . Bahkan impor untuk kebutuhan pakan
ternak telah dihentikan sejak tahun 2017.
Sementara ekspor jagung relatif lebih stabil sekitar 50 ribuan
ton dengan lonjakan ekspor pada tahun 2015 mencapai 250 ribu
ton. Perkembangan ekspor terus menggembirakan, pada April
2018 negara kita mampu mengekspor jagung ke Filipina sebanyak
500 ribu ton.
30 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Gambar 13. Volume dan nilai ekspor impor jagung Indonesia
Bawang Merah
Saat ini negara kita belum termasuk negara yang masuk penghasil
bawang merah terbesar di dunia. Bahkan untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri kita masih impor bawang merah dalam
jumlah cukup besar terutama dari negara India.
Untuk merangsang petani meningkatkan produksi, pemerintah
menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 60/
Permentan/OT.140/9/2012 tentang Kebijakan Pembatasan Impor
Bawang Merah. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi petani
dalam negeri dengan mempertimbangkan jadwal panen, serta
kemampuan produksi dalam negeri sebelum melakukan impor.
Sejak tahun 2013 impor bawang merah mengalami penurunan
sebesar 22.12 persen dibandingkan tahun 2012 (Gambar 14).
Kemudian tahun 2014 turun 20,09 persen atau menjadi 74.903
ton. Tahun 2015 turun lagi 75,91 persen atau menjadi 15.796 ton.
Bahkan tahun 2017, negara kita sudah tidak impor bawang merah
segar, yang ada hanya impor bawang merah olahan sebesar 193
ton.
Gambar 14. Volume dan nilai ekspor impor bawang merah
Seiring dengan penerbitan Permentan Nomor 60 Tahun 2012,
ekspor bawang juga turun sebesar 73,6 persen dari 19.064 ton pada
tahun 2012 menjadi 4.962 ton pada tahun 2013. Artinya produksi
bawang dalam negeri lebih diutamakan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Meskipun demikian dengan berbagai program
terobosan untuk meningkatkan kapasitas produksi bawang merah
domestik, mulai tahun 2017 negara kita sudah mampu mengekspor
bawang merah sebanyak 7.750 ton, baik segar maupun produk
olahan.
Cabai
Ekspor dan impor cabai dilakukan dalam wujud cabai segar dan
cabai olahan. Perkembangan volume ekspor cabai dari tahun
2012-2016 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan rata-
rata laju pertumbuhan sebesar 12,36 persen/tahun (Gambar 15).
Volume ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2015 sebesar 14.888
ton dengan nilai 37,95 juta dolar AS. Sebagian besar ekspor
dilakukan dalam bentuk cabai olahan. Namun, tahun 2017 ekspor
menurun tajam diikuti dengan impor yang meningkat dari tahun
sebelumnya. Sumber impor utama dari negara India dan China.
Gambar 15. Volume dan nilai ekspor-impor cabai
Gula
Sampai saat ini kebutuhan gula dalam negeri masih diisi produk
impor. Fluktuasi produksi tebu dan kecenderungan penurunan
produksi gula dalam negeri semakin meningkatkan angka impor.
Selama periode 2012 hingga 2017, impor tertinggi terjadi pada
tahun 2016 hingga mendekati 5 juta ton dengan nilai lebih dari 2
juta dolar AS.
Selama ini gula yang diimpor adalah jenis GKP (Gula Kristal
Putih), GKR (Gula Kristal Rafinasi), dan GKM (Gula Kristal
Mentah). Impor berasal dari negara Thailand dan Australia. GKM
merupakan gula yang paling banyak diimpor, karena merupakan
bahan mentah yang akan diolah menjadi GKR.
Gambar 16. Volume dan nilai ekspor-impor gula
Daging Sapi
Perkembangan konsumsi daging dalam negeri tidak diikuti
dengan produksi daging sapi yang memadai. Karena itu untuk
memenuhi konsumsi dalam negeri masih ada impor daging sapi
dari Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Kanada, Jepang,
dan Spanyol. Tren impor daging sapi cenderung meningkat,
dengan volume impor tertinggi pada tahun 2014 sebesar 246 ribu
ton dalam bentuk daging segar dan 74 ribu ton dalam bentuk
olahan daging sapi.
Kemudian mulai tahun 2015, pemerintahan Jokowi-JK
menerbitkan kebijakan pembatasan impor daging sapi untuk
meningkatkan gairah peternak sapi. Dalam kurun waktu 2015-
2017 terjadi penurunan angka impor, namun belum terlalu besar.
Sementara itu ekspor daging sapi cenderung stabil dengan angka
yang sangat kecil.
Gambar 17. Volume dan nilai ekspor-impor daging sapi dan olahan
Merebut Kembali Pasar Domestik
Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini
memberi sinyal tentang pentingnya peningkatan daya saing
pertanian. Peningkatan daya saing produk pangan akan semakin
dibutuhkan untuk merebut pasar domestik dari produk pangan
impor. Apalagi, mengingat jumlah penduduk negara kita mencapai
260 juta jiwa, sehingga berpotensi sebagai pasar yang besar bagi
produk sejenis dari negara lain.
Secara umum, daya saing didefinisikan sebagai kemampuan
menghadapi persaingan dan kemampuan memenangi persaingan.
Secara teoritis untuk analisis keunggulan komparatif dan keung-
gulan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan ukuran
daya saing (keunggulan) potensial, dalam artian daya saing akan
dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi.
Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif juga
memiliki efisiensi secara ekonomi. Dengan memakai
beberapa indikator daya saing, suatu komoditas dikatakan
memiliki keunggulan komparatif apabila memiliki koefisien
Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) < 1. Artinya, aktivitas harga
ekonomi ini efisien secara ekonomi dalam memanfaatkan
sumber daya domestik dan memiliki keunggulan komparatif.
Demikian halnya, suatu komoditas dikatakan memiliki
keunggulan kompetitif apabila memiliki koefisien Private Cost
Ratio (PCR) < 1. Jadi, jika makin kecil berarti sistem produksi usaha
pertanian semakin kompetitif dan mampu membiayai faktor
domestiknya pada harga privat.
Daya saing beberapa komoditas pangan seperti beras, jagung,
bawang merah, cabai merah, dan tebu seperti terlihat dalam Tabel
1 memiliki daya saing. Namun, bila daya saing komoditas ini
dibandingkan, maka komoditas jagung memiliki keunggulan yang
relatif lebih baik dibandingkan beras.
Sementara komoditas bawang merah dan cabai merah
memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang paling baik
di antara komoditas lainnya. Bahkan cabai merah memiliki nilai
DRCR dan PCR mencapai 0,29 dan 0,39. Sementara tebu memiliki
daya saing paling rendah karena tidak memiliki keunggulan
komparatif, namun memiliki keunggulan kompetitif karena
adanya perlindungan dari pemerintah.
Tabel 1. Nilai DRCR dan PCR komoditas strategis
Komoditas DRCR PCR
Beras 0,84 0,75
Jagung 0,43 0,70
Bawang Merah 0,50 0,45
Cabai Merah 0,29 0,39
Tebu 1,51 0,84
Sumber: Daryanto (2010)
Dengan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif,
negara kita berpeluang cukup besar merebut kembali pasar domestik
dari produk pangan impor. Efisiensi dan produktivitas merupakan
faktor yang sangat penting dalam usaha merebut pasar domestik
dari produk pangan impor. ini dapat dipahami karena daya
saing sangat ditentukan tingkat efisiensi dan produktivitas.
Karena itu, strategi yang dapat dilakukan untuk menguasai
pasar pangan domestik, antara lain adalah:
1. Memperbaiki dan meningkatkan teknologi di setiap tahapan
produksi.
2. Memperkuat kelembagaan.
3. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana produksi
pertanian.
4. Meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur pertanian.
5. Memperbaiki akses petani terhadap sarana produksi pertanian
dan lembaga pembiayaan.
6. Mengurangi risiko harga yang diterima petani, baik harga
input maupun output melalui kebijakan yang tepat.
Untuk menghadapi dinamika produksi dan globalisasi
perdagangan, negara kita harus mempercepat peningkatan daya
saing pertanian, baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
Dari sisi permintaan, harus disadari bahwa permintaan terhadap
suatu produk semakin kompleks yang menuntut berbagai atribut
atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen
(consumer’s value perception). Dari sisi penawaran, produsen
dituntut untuk dapat bersaing berkaitan dengan kemampuan
merespons atribut produk yang diinginkan konsumen secara
efisien.
Untuk merebut kembali pasar domestik melalui peningkatan
daya saing ini, diperlukan kebijakan terintegrasi antarsektor dan
multidisiplin, baik teknis maupun manajemen dan sosial-ekonomi.
Dalam konteks ini, diperlukan mekanisme menyinergikan dan
mengoordinasikan kebijakan antarsektor.
Mengingat pertanian dan perdagangan adalah urusan
pemerintahan kongruen pilihan dalam UU Nomor 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat sudah selayaknya
mengawasi secara ketat penyelenggaraan urusan ini. Pengawasan
ini disesuaikan asas akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas,
serta kepentingan strategis nasional berdasarkan potensi yang
dimiliki daerah.
usaha -usaha penyelarasan kebijakan di bidang produksi,
politik dan perdagangan luar negeri juga perlu dilakukan,
termasuk penyesuaian komoditas antara program pertanian
dengan RTRW/RUTR Daerah. Penyelarasan peraturan-peraturan
diperlukan pengambil kebijakan di tingkat pusat, antara instansi
tingkat pusat dan daerah, serta antarinstansi tingkat daerah
(provinsi/kabupaten/kota).
Penutup
Secara keseluruhan, hasil produksi pertanian secara umum
menunjukkan tren peningkatan. Untuk itu, pemerintah harus
bersinergi dengan pihak swasta dan warga terus berusaha
meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian.
Peningkatan luasan panen di luar Jawa harus didukung dengan
pemerataan pembangunan sarana pertanian di seluruh wilayah
Indonesia.
Seiring dengan program pemerintah dalam membangun ber-
bagai macam infrastruktur, termasuk di dalamnya infrastruktur
penunjang pertanian dan transportasi, diharapkan dapat menekan
ongkos distribusi dan harga-harga keperluan pertanian seperti
benih, pupuk, peralatan pertanian, dan sebagainya. Dengan
demikian, akan menurunkan modal usaha tani dan meningkatkan
keuntungan petani.
Saat ini kesejahteraan petani telah menunjukkan perbaikan,
meskipun belum mencapai taraf yang diharapkan. Tapi setidaknya
memberi optimisme akan masa depan pertanian yang lebih
baik.
Ekspor-impor komoditas pertanian terlihat menurun. ini
terjadi karena kebijakan pemerintah yang berangsur mengurangi
impor untuk melindungi petani dan memprioritaskan hasil
pertanian untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Selain infrastruktur pendukung, akses petani terhadap modal-
modal pertanian perlu terus ditingkatkan. Kolaborasi dengan
akademisi untuk melakukan riset dalam rangka meningkatkan
kuantitas dan kualitas produk pertanian diperlukan, sehingga
target produksi dapat tercapai dan daya saing produk pertanian
menjadi lebih baik. Pada akhirnya, kedaulatan pangan yang
menjadi cita-cita bangsa dapat tercapai.
DINAMIKA KEBIJAKAN IMPOR
PANGAN
Kebijakan impor barang, termasuk impor pangan, diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Impor didefinisikan sebagai kegiatan memasukkan barang
ke dalam daerah pabean. Dalam rangka menjamin pasokan dan
stabilisasi harga kebutuhan pokok dan barang penting, Menteri
Perdagangan dapat melakukan impor. Importir wajib menaati
semua peraturan yang berlaku untuk melakukan impor.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan disebutkan
bahwa impor pangan dapat dilakukan jika penyediaan pangan
yang berasal dari produksi dalam negeri dan cadangan pangan
nasional tidak mencukupi. Impor pangan yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib memenuhi
persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya warga .
Di samping itu, pemerintah menetapkan kebijakan dan
peraturan impor pangan yang tidak berdampak negatif terhadap
keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan
petani, nelayan, pembudi daya ikan, serta pelaku usaha pangan
mikro dan kecil.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan melindungi
kepentingan petani, UU Nomor 19 Tahun 2013 menyebutkan
bahwa pemerintah wajib mengutamakan produksi pertanian
dalam negeri. Kebijakannya adalah melalui pengaturan impor
komoditas pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau
kebutuhan konsumsi dalam negeri. Selain itu, impor dilarang
dilakukan jika ketersediaan komoditas dalam negeri sudah
mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan
nasional.
Beras
Komoditas beras paling banyak memperoleh perhatian dari
pemerintah karena fungsinya yang sangat strategis sebagai
bahan pangan pokok. Berbagai peraturan, baik Peraturan Menteri
Pertanian maupun Peraturan Menteri Perdagangan dibuat untuk
mengatur impor beras agar tidak merugikan petani padi dan tidak
memicu inflasi. (Lampiran 1)
Pada 15 April 2014 Menteri Pertanian menerbitkan Permentan
Nomor 51 Tahun 2014 tentang Rekomendasi Ekspor dan Impor
Beras tertentu. Permentan ini bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pengelolaan ekspor-impor beras dan
memberi kepastian dalam pelayanan penerbitan rekomendasi
ekspor-impor beras.
Impor beras dilakukan apabila produksi beras dalam negeri
tidak mencukupi dan/atau tidak diproduksi di dalam negeri.
Beras yang dapat diimpor adalah beras untuk kesehatan/dietary
dan konsumsi khusus/segmen tertentu. Seperti, beras ketan utuh,
beras Thai Hom Mali dengan tingkat kepecahan paling tinggi 5
persen, beras kukus, beras Japonica, dan Basmati dengan tingkat
kepecahan paling tinggi 5 persen.
Impor beras hanya bisa dilakukan perusahaan yang telah
mendapat penetapan sebagai IT-Beras dari Menteri Perdagangan.
Impor dilakukan sesudah memperoleh persetujuan dari Menteri
Perdagangan. Persetujuan impor bisa diterbitkan berdasarkan
rekomendasi impor dari Menteri Pertanian. Selanjutnya, penerbitan
rekomendasi impor dilaksanakan Direktur Jenderal, dalam ini
adalah Direktur Jenderal Tanaman Pangan (Permentan Nomor 52
Tahun 2015).
Sementara itu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
74/M-DAG/PER/9/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor
Beras sudah tidak relevan, sehingga direvisi dengan keluarnya
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01 Tahun 2018. Pada
peraturan Menteri Perdagangan itu dinyatakan bahwa impor beras
untuk keperluan umum adalah impor beras sebagai cadangan
yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan pemerintah untuk
keperluan antara lain, stabilisasi harga, penanggulangan keadaan
darurat, warga miskin, kerawanan pangan, dan keadaan
tertentu yang ditetapkan pemerintah.
Di samping impor beras, negara kita juga mengekspor beras
premium ke Malaysia pada Oktober 2018. Ekspor beras juga
pernah dilakukan ke Papua Nugini. Volume ekspor beras pada
tahun 2015, 2016, dan 2107 masing-masing sebesar 519 ton, 999
ton, dan 3.500 ton.
Dalam kebijakan impor beras, ada perbedaan kondisi antara
peraturan Menteri Pertanian dan peraturan Menteri Perdagangan
tentang impor beras. Impor beras dalam Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 51 Tahun 2014 dilakukan apabila produksi
beras dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak diproduksi
di dalam negeri. Namun, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
01 Tahun 2018 menyatakan bahwa impor beras dilakukan sebagai
cadangan yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan di antaranya
untuk menjaga stabilisasi harga.
ini menimbulkan trade off. Dari sisi produsen, jika harga
beras tinggi, maka kesejahteraan petani meningkat.Namun di sisi
lain kesejahteraan konsumen menurun, karena harga beras tinggi.
Sementara stabilisasi harga dilakukan Kementerian Perdagangan
dengan melakukan impor beras, tanpa melihat kondisi produksi
petani dalam negeri. Harusnya, pelaksanaan impor beras tetap
membutuhkan rekomendasi Kementerian Pertanian.
Jagung
Komoditas jagung sebagian besar untuk bahan baku pakan ternak.
Sebagian kecil jagung dimanfaatkan untuk industri. Selain usaha
peningkatan produksi jagung, untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri, pemerintah melalui Menteri Perdagangan juga melakukan
pengaturan impor jagung
Tabel 2. Kebijakan Impor Jagung, 2016-2018
No. Kebijakan yang diterbitkan Uraian
1. Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor
20 Tahun 2016 tentang
Ketentuan Impor Jagung
1. Pasal 2: Jagung dapat diimpor untuk
memenuhi kebutuhan pangan, pakan,
dan bahan baku industri.
2. Pasal 3: Jumlah dan penggunaan impor
jagung disepakati dalam koordinasi
tingkat menteri bidang perekonomian.
3. Pasal 4 dan 5: Impor jagung untuk
pakan hanya dilakukan oleh Bulog atas
persetujuan Menteri Pertanian. Impor
jagung untuk pangan dan bahan baku
industri dilakukan oleh perusahaan yang
memiliki API-P dan API-U
2. Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor
56 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan
Menteri Perdagangan
Nomor 20 Tahun 2016
tentang Ketentuan Impor
Jagung
1. Pasal 4 ayat 1 dan 2: Impor jagung untuk
pemenuhan kebutuhan pakan dilakukan
Bulog atas penugasan Menteri BUMN
atas usulan Menteri Perdagangan.
2. Pasal 4 ayat 3: Impor jagung untuk
memenuhi kebutuhan pangan hanya
dilakukan oleh Bulog dan importir
dengan API-P.
3. Pasal 4 ayat 4: Impor jagung untuk bahan
baku industri hanya dilakukan oleh
perusahaan yang memiliki API-P
43Dinamika Kebijakan Impor Pangan |
No. Kebijakan yang diterbitkan Uraian
3. Peraturan Menteri
Perdagangan
Nomor 21 Tahun 2018
tentang Ketentuan Impor
Jagung
(Perubahan atas Peraturan
Menteri Perdagangan
Nomor 56 Tahun 2016)
1. Untuk persetujuan impor, perusahaan
pemilik API-P tidak perlu melampirkan
akta pendirian perusahaan.
2. Masa berlaku persetujuan impor untuk
pakan berlaku paling lama 6 bulan
(Permendag sebelumnya, masa berlaku
sesuai dengan masa berlaku rekomendasi).
3. Masa berlaku persetujuan impor untuk
pangan dan bahan baku kebutuhan
industri berlaku paling lama 6 bulan
(Permendag sebelumnya, masa berlaku 3
bulan).
Permendag Nomor 20 Tahun 2016 yang ditetapkan pada
24 Maret 2016 mengatur tentang impor jagung, yaitu untuk
keperluan pangan, pakan dan bahan baku industri. Impor jagung
dapat dilakukan sesudah ada kesepakatan dari para menteri bidang
ekonomi dan dilakukan Bulog sesudah disetujui Menteri Pertanian.
Impor dilakukan per triwulan yaitu, Januari-Maret (triwulan 1),
April-Juni (triwulan 2), Juli-September (triwulan 2) dan Oktober-
Desember (triwulan 4). Pengajuan impor dilakukan sebulan
sebelum periode bersangkutan.
Pada waktu bersamaan, Menteri Perdagangan juga menetapkan
Permendag Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Acuan
di Tingkat Petani. Harga acuan jagung berbeda menurut kadar
air jagung yang dijual petani. Tujuannya adalah memberi insentif
kepada petani agar semakin giat meningkatkan produksi.
Dalam Permendag ini , harga jagung biji adalah Rp2.500/
kg untuk kadar air (KA) 35 persen. Untuk biji jagung yang kadar
airnya 30, 25, 20, dan 15 persen berturut-turut harganya Rp2.750,
Rp2.850, Rp3.050, dan Rp3.150/kg. Harga acuan ini berlaku satu
tahun, yaitu dari 1 April 2016 sampai 31 Maret 2017.
Harga acuan pembelian jagung tetap berlaku jika Permendag
yang baru tentang harga acuan belum diterbitkan. Tujuan
penentuan harga acuan secara implisit adalah memberi insentif
kepada petani untuk meningkatkan produksi.
Sedangkan harga jual tingkat petani ditentukan dengan
memperhitungkan keuntungan petani minimal 10 persen dari
biaya produksi. Namun, akan lebih baik lagi jika asuransi pertanian
juga mencakup usaha tani jagung untuk melindungi petani yang
gagal panen.
Permendag Nomor 20 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor
Jagung diubah melalui Permendag Nomor 56 Tahun 2016 tanggal
26 Juli 2016. Beberapa perubahannya antara lain, Bulog melakukan
impor jagung atas penugasan pemerintah, dalam ini adalah
Menteri BUMN. Impor hanya dilakukan Perum Bulog dan
perusahaan API-P (Angka Pengenal Impor Produsen).
Ketentuan lainnya, pengajuan impor jagung dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pakan dalam negeri dapat dilakukan
sewaktu-waktu, bukan hanya per triwulan. Persetujuan impor
jagung untuk pakan juga dapat diterbitkan sewaktu-waktu.
Persetujuan impor jagung untuk kebutuhan pangan dan bahan
baku industri berlaku hanya tiga bulan sejak diterbitkan.
Capaian produksi dan pengendalian impor merupakan usaha
pemerintah dan semua pihak untuk mewujudkan swasembada
jagung. Enam strategi yang menjadi program Kementerian
Pertanian adalah:
1. Program peningkatan produksi dengan mengembangkan
jagung seluas 1,5 juta hektar pada tahun 2016 dan seluas 3,0
juta hektar di tahun 2017.
2. Menanam jagung integrasi sawit, kebun, maupun Perhutani
3. Menanam jagung di lahan tidur bersama Gerakan Pemuda
Tani (Gempita).
4. Membangun kemitraan antara asosiasi Gabungan Perusahaan
Makanan Ternak (GPMT) dengan petani jagung.
5. Kebijakan perlindungan harga petani dengan harga bawah
dan harga atas.
45Dinamika Kebijakan Impor Pangan |
6. Mengendalikan rekomendasi impor jagung pakan ternak dan
mendorong ekspor jagung.
Kedelai
Kedelai diperlukan sebagian besar untuk bahan baku pangan,
khususnya tahu dan tempe. Impor kedelai terus meningkat
dari tahun ke tahun karena permintaan yang terus bertambah.
Sementara produksi dalam negeri belum bertambah secara
signifikan.
Berbagai kebijakan pemerintah dilakukan untuk menekan
impor. Kementerian Perdagangan menetapkan harga pembelian
kedelai petani (HBP) untuk memberi insentif agar petani bergairah
meningkatkan produksi kedelai.
Tabel 3. Kebijakan Impor Kedelai, 2015-2017
No. Kebijakan yang diterbitkan Uraian
1. Permendag Nomor 1 Tahun 2015,
Nomor 25 Tahun 2015, dan Nomor 49
Tahun 2015 tentang Penetapan Harga
Pembeian Kedelai Petani dalam
Rangka Pengamanan Harga Kedelai
di Tingkat Petani.
HPP kedelai ditetapkan sebesar
Rp7.700/kg.
2. Permendag Nomor 62 Tahun 2014
tentang Penetapan Harga Pembeian
Kedelai Petani dalam Rangka
Pengamanan Harga Kedelai di
Tingkat Petani.
HPP kedelai ditetapkan turun
menjadi Rp7.600/kg.
3. Permendag Nomor 27 Tahun 2017
tentang Penetapan Harga Acuan
Pembelian di Petani dan Harga
Acuan Penjualan di Konsumen.
HPP kedelai adalah Rp8.500/kg dan
harga kedelai impor Rp6.500/kg. HET
kedelai lokal sebesar Rp9.200/kg dan
HET kedelai impor Rp6.800/kg.
Kebijakan-kebijakan pemerintah untuk komoditas kedelai turut
mempengaruhi peningkatan produksi di dalam negeri. Berbagai
kebijakan meningkatkan produksi dalam negeri adalah kebijakan
46 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
harga dasar (HBP), campur tangan pemerintah dalam monopoli
impor oleh Bulog, program intensifikasi dan ekstensifikasi, serta
pengenaan tarif bea masuk yang tinggi (10 persen).
Selama beberapa tahun terakhir kebijakan untuk meredam
impor dengan penetapan HBP tidak terlalu efektif. Sebab, harga jual
kedelai petani tetap jauh di bawah HBP. Berdasarkan Permendag
Nomor 62 Tahun 2014 yang ditetapkan pada 30 September 2014
dan berlaku 1 Oktober 2014, HBP kedelai sebesar Rp7.600/kg.
Lalu kebijakan ini direvisi dengan keluarnya Permendag
Nomor 1 Tahun 2015 yang menetapkan HBP kedelai menjadi
Rp7.700/kg yang berlaku pada 5 Januari 2015. Namun, pada 6
Juli 2015, Menteri Perdagangan kembali menerbitkan Permendag
Nomor 49 Tahun 2015 tentang HBP kedelai. Namun, angka HBP
tidak berubah, yaitu Rp7.700/kg.
Meski pemerintah telah menetapkan HBP, tapi di lapangan
harga jual kedelai di petani umumnya di bawah HBP. Misalnya,
pada tahun 2015 harga jual kedelai tingkat petani di Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat, hanya Rp5.500/kg. Pada tahun yang sama
harga jual kedelai di tingkat petani di Kabupaten Ngajuk, Jawa
Timur, sebesar Rp6.000/kg.
Tidak ada usaha khusus dari Bulog maupun lembaga
pemerintah terkait untuk membeli kedelai sesuai HBP membuat
petani tidak terangsang menanam kedelai. Di sisi lain, importir
menyalurkan kedelai ke distributor, bahkan langsung ke KOPTI
(Koperasi Tahu Tempe) membuat pengrajin tahu dan tempe lebih
mudah membeli kedelai impor.
Sementara itu, dalam pemasaran kedelai lokal umumnya,
kedelai petani dijual kepada pedagang pengumpul yang kemudian
dijual kepada pedagang besar, lalu baru dibeli pengrajin tahu
dan tempe. Pedagang pengumpul kadang menjual langsung
kepada pengrajin tahu dan tempe. Dengan harga yang relatif
sama, pengrajian tahu dan tempe lebih memilih kedelai impor
47Dinamika Kebijakan Impor Pangan |
karena penampilannya lebih menarik dan ukurannya seragam. Di
samping itu kedelai impor dapat dibeli sepanjang tahun.
Pada 16 Mei 2017 Menteri Perdagangan menerbitkan
Permendag Nomor 27 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Acuan
Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.
HBP kedelai adalah Rp8.500/kg dan harga kedelai impor Rp6.500/
kg. Harga Eceran Tertinggi (HET) kedelai lokal sebesar Rp9.200/
kg dan HET kedelai impor Rp6.800/kg. Jelas bahwa kebijakan ini
tidak memihak petani kedelai dalam negeri.
Karena itu pemerintah, dalam ini Kementerian Pertanian,
terus mendorong penanaman kedelai agar tercapai swasembada.
Selain melalui program APBN-P 2017 yang dimulai Oktober 2017,
perluasan tanam kedelai juga dibiayai APBN 2018. Bahkan pada
tahun 2018 dicanangkan penanaman kedelai seluas 1,5 juta hektar.
Petani kedelai yang panen hingga Maret 2018 umumnya masih
menikmati harga jual yang memadai, yaitu Rp8.000/kg atau lebih.
ini karena kedelai hasil panen petani dipakai untuk benih.
Masalah akan muncul jika sebagaian besar hasil panen kedelai
pada musim kemarau 2018 yang dijual ke pasar untuk bahan baku
tahu- tempe dan konsumsi. Sebab, selama ini harga kedelai hasil
panen petani hanya sekitar Rp5.000-6.000/kg.
Daging Sapi
Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan penting
memenuhi kebutuhan protein hewani penduduk. Produksi daging
dalam negeri selama ini belum dapat memenuhi permintaan
konsumen domestik. Untuk itu, pemerintah melakukan impor
agar kebutuhan daging dapat dipenuhi dan harga terkendali,
tapi peternak sapi tetap dilindungi. Berbagai kebijakan berupa
Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur tentang impor
sapi diterbitkan sejak beberapa tahun terakhir. (Lampiran 2).
Importir daging sapi harus menghadapi berbagai peraturan
yang pada taraf tertentu tumpang tindih yang tujuannya untuk
menghambat impor ini . Permentan Nomor 16 Tahun 2016
mengatur pemasukan ternak ruminansia besar ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
Permentan ini mengatur tentang impor ternak ruminansia
besar yang terdiri atas bakalan, indukan, dan jantan produktif.
Pemasukan ternak ruminansia besar dapat dilakukan pelaku
usaha, namun wajib mendapatkan izin dari Menteri Perdagangan
sesudah mendapat rekomendasi dari Menteri yang pelaksanaannya
dilakukan Direktur Jenderal atas nama Menteri Perdagangan.
Negara asal yang ditetapkan menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam Permentan Nomor 16 Tahun 2016 harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Rift Valley
Fever (RVF), Contagious Bovine Pleuropneumonia, Peste des Petit
Ruminant yang mengacu pada deklarasi Badan Kesehatan
Hewan Dunia/World Organization for Animal Health/Office
International des Epizooties (WOAH/OIE).
2. Berstatus negligible atau controlled Bovine Spongiform
Encephalopathy (BSE) risk yang mengacu pada deklarasi Badan
Kesehatan Hewan Dunia/World Organization for Animal Health/
Office International des Epizooties (WOAH/OIE).
3. Melaksanakan program monitoring dan surveilans residu
antibiotik, hormon, dan bahan lain yang membahayakan
kesehatan hewan dan manusia.
Bagi negara asal yang berstatus controlled BSE risk harus
memenuhi persyaratan. Pertama, tidak ditemukan kasus BSE
selama tujuh tahun terakhir. Kedua, melakukan surveilans BSE
selama tujuh tahun berturut-turut sesuai dengan standar dan
diakui oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia/World Organization for
Animal Health/Office International des Epizooties (WOAH/OIE).
49Dinamika Kebijakan Impor Pangan |
Ketiga, tidak memberi pakan yang mengandung Meat Bone
Meal (MBM) ruminansia. Keempat, melaporkan status dan situasi
penyakit hewan kepada Badan Kesehatan Hewan Dunia/World
Organization for Animal Health/Office International des Epizooties
(WOAH/OIE).
Sedangkan untuk persyaratan Farm atau Registered Premises/
Approved Premises atau nama lain yang sejenis, pemerintah telah
menetapkan syaratnya.
1. Berasal dari negara asal yang telah ditetapkan oleh menteri.
2. Tidak sedang terjadi wabah penyakit hewan menular.
3. Terdaftar sebagai Farm atau Registered Premises/Approved
Premises atau nama lain yang sejenis dan telah diaudit oleh
otoritas veteriner negara asal.
4. Menerapkan biosecurity.
5. Tidak memberi pakan yang mengandung Meat Bone Meal
(MBM) ruminansia.
6. Tidak mengeluarkan bakalan yang belum melewati withholding
periods antibiotik dan hormon pertumbuhan.
7. Menerapkan kaidah kesejahteraan hewan.
8. Menerapkan pedoman budi daya ternak yang baik (good
farming practice).
Persyaratan ternak ruminansia besar harus sehat dan dibukti-
kan dengan sertifikat kesehatan hewan (animal health certificate)
yang diterbitkan otoritas veteriner negara asal. Sertifikat kesehatan
hewan (animal health certificate) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan pemenuhan persyaratan teknis kesehatan hewan
(health requirement) negara kita yang ditentukan Direktur Kesehatan
Hewan selaku otoritas veteriner Kementerian.
Ada dua spesifikasi ternak ruminansia besar untuk sapi
bakalan. Pertama, berat badan rata-rata maksimal 350 kilogram
berdasarkan Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Kedua, berumur
maksimal 30 bulan yang dibuktikan dengan surat keterangan dari
negara asal.
50 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Sedangkan spesifikasi ternak ruminansia besar untuk kerbau
bakalan sebagai berikut. Pertama, berat badan rata-rata maksimal
400 kilogram berdasarkan Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
Kedua, berumur maksimal 30 bulan yang dibuktikan dengan surat
keterangan dari negara asal.
Bakalan harus digemukkan dalam jangka waktu paling cepat
empat bulan sejak dilakukan tindakan karantina hewan yang
dibuktikan dengan sertifikat pelepasan. Dalam hal tertentu untuk
memenuhi ketersediaan dan pasokan daging, bakalan dapat
dipotong sebelum batas waktu empat bulan. Kekurangan pasokan
ditetapkan dalam rapat koordinasi terbatas yang dikoordinasikan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Menteri Pertanian juga menerbitkan Permentan Nomor 17
Tahun 2016 yang isinya mengenai pemasukan daging tanpa tulang
dalam hal tertentu yang berasal dari negara atau zona dalam
suatu negara asal pemasukan dalam hal tertentu. Pertama, dapat
dilakukan pemasukan produk hewan ke dalam wilayah Negara
Republik negara kita yang berasal dari negara atau zona dalam
suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara
pemasukan produk hewan.
Kedua, pemasukan produk hewan berupa daging beku tanpa
tulang yang berasal dari karkas. Ketiga, pemasukan daging beku
tanpa tulang untuk kecukupan pasokan kebutuhan daging secara
nasional. Jenis daging beku tanpa tulang berasal dari ternak sapi
dan/atau kerbau.
Pemasukan daging diatur sebagai berikut:
1. Pemasukan daging beku tanpa tulang dilakukan berdasarkan
hasil rapat koordinasi yang dipimpin menteri yang
melaksanakan fungsi sinkronisasi dan koordinasi di bidang
perekonomian.
2. Pemasukan dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang ditugaskan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang BUMN.
3. BUMN yang melakukan pemasukan, wajib mendapatkan
izin pemasukan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perdagangan.
4. Izin pemasukan diberikan sesudah memperoleh rekomendasi
dari Direktur Jenderal atas nama Menteri Perdagangan.
5. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam
memberi Rekomendasi dilakukan sesudah mendapat saran
dan pertimbangan teknis dari Direktur Kesehatan warga
Veteriner.
Permentan Nomor 49 Tahun 2016 mengatur tentang pemasukan
(impor) ternak ruminansia besar. Impor ternak ruminansia besar
sebagaimana dimaksud dapat dilakukan pelaku usaha, koperasi
peternak dan kelompok peternak. Koperasi peternak harus
mendapat rekomendasi dari Dinas Koperasi. Sedangkan kelompok
peternak harus mendapat rekomendasi kelompok peternak dari
dinas.
Ketentuan dalam impor daging adalah pelaku usaha, koperasi
peternak, dan kelompok peternak yang melakukan impor wajib
mendapatkan izin pemasukan dari Menteri Perdagangan sesudah
mendapat rekomendasi dari Menteri Pertanian.
Peningkatan produksi daging dalam negeri akan sangat
membantu dalam pengendalian impor. Program SIWAB, misalnya,
perlu terus dilakukan dan ditingkatkan. Kekurangan jumlah dan
kualitas menjadi hambatan dalam pelaksanaan SIWAB. Jumlah
dan sebaran petugas inseminasi pada taraf tertentu belum bisa
memenuhi permintaan peternak sapi yang lokasinya sebagian
besar tersebar. Program SIWAB yang dilakukan Kementerian
Pertanian saat ini mempercepat pembiakan sapi dengan teknologi
Inseminasi Buatan (IB). Diharapkan SIWAB dapat meningkatkan
populasi sapi secara lebih cepat untuk memenuhi permintaan
pasar domestik.
Gambar 18. Sapi di peternakan SPR Ridho Ilahi, Lombok Timur, NTB
Gula
Kebutuhan gula dalam negeri terus meningkat seiring pertam-
bahan penduduk. Sementara itu produksi gula dalam negeri yang
sebagian besar berasal dari tebu rakyat relatif tetap karena berbagai
kendala. Konversi lahan tebu untuk non pertanian atau beralih
untuk budi daya tanaman lain merupakan salah satu penyebab
turunnya produksi gula. Di samping itu, rendemen yang rendah
dan mesin-mesin pengolahan yang sudah tua menjadikan semakin
tidak efisien. Beberapa kebijakan diterbitkan untuk menghambat
impor gula atau mendorong produksi tebu dalam negeri.
53Dinamika Kebijakan Impor Pangan |
Tabel 4. Kebijakan Impor Gula, 2014-2016
No. Kebijakan yang diterbitkan Uraian
1. Surat Menteri Perdagangan kepada
11 produsen gula rafinasi Nomor
1300/MDAG/SD/12/2014
Pengaturan impor gula mentah (raw
sugar) dan disribusi gula rafinasi.
2. Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 117 Tahun 2015 tentang
Ketentuan Impor Gula
Gula rafinasi yang dimiliki perusa-
haan pemilik API-P hanya dapat
didistribusikan kepada industri dan
dilarang diperdagangkan ke pasar
umum di dalam negeri.
3. Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 63 Tahun 2016 tentang
Penetapan Harga Acuan Pembelian
di Petani dan Harga Penjualan di
Konsumen
Penetapan harga acuan beras, gula,
jagung, kedelai, bawang merah, dan
cabai. Harga acuan pembelian gula
kristal di tingkat petani Rp9.100/kg,
harga dasar untuk lelang Rp11.000/
kg, Harga Eceran Tertinggi (HET) di
tingkat konsumen Rp13.000/kg.
Salah satu kebijakan ini adalah Surat Menteri Perdagangan
Nomor 1.300 Tahun 2014 kepada 11 produsen gula rafinasi.
Terbitnya surat ini didasari atas temuan bahwa masih ada
11,16 persen gula rafinasi didistribusikan tidak sesuai ketentuan.
Karena itu, pemerintah menetapkan persetujuan impor kepada
pabrik gula rafinasi yang diberikan tiap triwulan dan dievaluasi
untuk pemberian izin triwulan berikutnya. Tujuan surat ini
adalah mencegah susaha gula rafinasi tidak dijual kepada umum,
tetapi hanya ditujukan sepenuhnya untuk pasokan industri
makanan dan minuman.
Adapun Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/
PER/12/2015 mengatur ketentuan dan pembatasan impor gula.
Dengan kebijakan itu, pemerintah mengatur agar gula rafinasi
tidak masuk ke pasar eceran. Gula Kristal Rafinasi (GKR) hasil
industri yang dimiliki perusahaan pemilik API-P (angka pengenal
impor produsen) yang sumber bahan bakunya berupa gula
kristal mentah atau gula kasar hanya dapat diperdagangkan atau
didistribusikan untuk industri dan dilarang diperdagangkan di
pasar dalam negeri. Meski demikian, kebijakan ini ternyata
belum dapat menyelesaikan persoalan masuknya gula rafinasi ke
pasar eceran.
Pemerintah juga menerbitkan Permendag Nomor 63 Tahun
2016 tentang Harga Acuan Pembelian Gula Kristal di Tingkat
Petani, masing-masing sebesar Rp9.100/kg untuk harga dasar dan
Rp11.000/kg untuk harga lelang. Harga Eceran Tertinggi (HET) di
tingkat konsumen adalah Rp13.000/kg.
Pada tahun 2016 Kementerian Pertanian menunjuk PD Pasar
Jaya untuk menyalurkan gula di Jakarta dengan harga eceran tidak
melebihi Rp12.500/kg. Menteri Perdagangan juga mengeluarkan
Permendag Nomor 27 Tahun 2017 yang menetapkan harga acuan
gula petani (HPP) Rp9.100/kg dan HET gula di tingkat konsumen
Rp12.500/kg. Namun, HPP ini bagi petani tebu dianggap
masih terlalu rendah. Di lain pihak, penetapan HPP gula terlalu
tinggi akan memberatkan konsumen dan meningkatkan inflasi.
Kendala lain dalam usaha pemerintah meningkatkan
produksi gula adalah di tingkat pabrik gula sebagian besar mesin
pengolahan yang dipakai sudah tua, sehingga kurang efisien.
Karena itu, perlu ada revitalisasi mesin pabrik melalui penggantian
total dengan mesin baru yang lebih efisien.
Sementara itu dalam budi daya tebu, sebaran varietas tebu
untuk panen awal, tengah, dan akhir musim idealnya masing-
masing 30, 40, dan 30 persen. Petani juga menanam varietas yang
tidak sesuai dan hanya mengutamakan potensi hasil.
Di lapang umumnya rendemen varietas untuk panen awal
relatif sedikit yaitu hanya sekitar 7 persen, sehingga rendemen
yang diperoleh kurang memadai. Rendemen tebu relatif rendah.
Misalnya di Kabupaten Malang, Jawa Timur, berkisar 7,3-8,3.
Cara penanaman yang memakai sistem keprasan hingga
lebih dari 10 kali dan ketidaksesuaian musim maupun saat panen
membuat rendemen tidak memadai. Budi daya tebu dengan sistem
55Dinamika Kebijakan Impor Pangan |
keprasan memang lebih menghemat biaya produksi, tapi dengan
keprasan hingga lebih dari 10 kali membuat batang tebu semakin
kecil dan hasilnya relatif rendah.
Petani juga kesulitan mengakses KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Misalnya, kelompok tani tebu yang sudah memperoleh KUR secara
akumulasi senilai Rp500 juta tidak akan diizinkan lagi mengajukan
kredit. Sementara itu, biaya tenaga kerja manual relatif semakin
mahal dibanding memakai alat dan mesin pertanian. Karena
itu regrouping pengelolaan lahan tebu menjadi alternatif agar lebih
efisien di tingkat usaha tani.
Di Jawa Timur banyak tanaman tebu dibudidayakan pada
lahan kering yang mengandalkan irigasi tadah hujan, sehingga
produktivitasnya kurang optimal. Penggunaan irigasi tetes
untuk budi daya tebu pada lahan kering dapat meningkatkan
produktivitas dengan biaya relatif murah, walaupun investasi
awalnya cukup mahal.
Gambar 19. Budi daya tanaman tebu di Malang, Jawa Timur
56 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
Bawang Merah
Total produksi bawang merah dalam negeri selama satu tahun
sebenarnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional. Pola
panen musiman memicu pada musim panen hasil bawang
merah melimpah, sementara di luar musim panen persediaan
dalam negeri relatif sedikit yang memicu harus impor untuk
menekan harga di tingkat eceran. Kebijakan impor bawang merah
dan cabai yang telah diterbitkan.
Tabel 5. Kebijakan Impor Bawang Merah dan Cabai 2016
No. Kebijakan yang diterbitkan Uraian
1. Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor
63 Tahun 2016 tentang
Penetapan Harga Acuan
Pembelian d Petani dan
Harga Penjualan di
Konsumen
• Penetapan harga acuan beras, gula, jagung,
kedelai, bawang merah, dan cabai.
• Harga acuan pembelian bawang merah di
tingkat petani Rp22.500/kg. Harga Eceran
Tertinggi (HET) bawang merah di tingkat
konsumen Rp32.000/kg.
• Harga acuan pembelian di tingkat petani
untuk cabai merah keriting Rp15.000, cabai
merah besar Rp15.000, dan cabai rawit merah
Rp17.000/kg.
• Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat
konsumen untuk cabai merah keriting
Rp28.000, cabai merah besar Rp28.000, dan
cabai rawit merah Rp29.000/kg.
2. Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 38/
Permentan/HR.060/11/2017
tentang Rekomendasi
Impor Produk Hortikultura
(Perubahan atas Peraturan
Menteri Pertanian
Nomor 16/Permentan/
HR.060/5/2017)
• Pasal 4, RIPH diterbitkan untuk produk
hortikultura:
1. Segar untuk konsumsi
2. Segar untuk bahan baku industri (dalam
Permentan sebelumnya termasuk olahan).
• Pasal 5, ditambahkan bahwa RIPH harus
mempertimbangkan pelaksanaan program
pemerintah dan kebutuhan nasional.
• Pasal 10, RIPH diterbitkan 2 kali dalam
1 tahun takwim untuk 1 pelaku usaha
(Permentan sebelumnya 1 kali dalam 1
tahun takwim.
• Penerbitan RIPH berikutnya dilakukan
sesudah pelaku usaha merealisasikan impor
dan menyampaikan laporan realisasi
(Permentan sebelumnya tidak diatur).
• Penerbitan RIPH dalam hal pelaksanaan
program pemerintah mendapat
pengecualian.
57Dinamika Kebijakan Impor Pangan |
Impor bawang merah pernah diatur melalui penetapan
referensi harga berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri Nomor 118/PDN/KEP10/2013 tentang
Penetapan Harga Referensi Produk Hortikultura pada 3 Oktober
2013. Harga referensi bawang merah ditetapkan sebesar Rp25.700/
kg dengan memperhitungkan biaya balik modal atau break even
point (BEP) ditambah keuntungan 40 persen.
Harga referensi cabai merah dan cabai keriting ditetapkan
sebesar Rp26.300/kg. Harga referensi cabai rawit adalah Rp28.000/
kg. Impor bawang merah, cabai merah, cabai keriting, dan cabai
rawit akan diizinkan jika harga eceran sudah melampaui harga
referensi masing-masing.
Reaksi pelaku industri beragam sesuai dengan posisi masing-
masing. Importir umumnya tidak menyukai kebijakan ini, karena
menghambat prosedur impor yang sebelumnya relatif mudah.
Berbagai persyaratan yang pemerintah tetapkan, seperti gudang
penyimpanan berpendingin dan kapasitas gudang milik, membuat
sebagian importir tidak bisa lagi mengimpor sebanyak yang
mereka inginkan. Sebagian perusahaan ekspedisi memanfaatkan
situasi ini dengan memenuhi persyaratan sebagai importir,
sehingga bisa memperoleh kuota impor.
Permentan Nomor 42/OT.140/6/2012 tentang Tindakan
Karantina Tumbuhan mengatur pemasukan buah dan sayuran buah
segar ke dalam wilayah Republik Indonesia. ini memberi
keleluasaan kepada petugas karantina pertanian melakukan
pemeriksaan kesehatan barang/produk buah atau sayuran segar
impor terkait dengan lalat buah, termasuk pemeriksaan atas
pemenuhan persyaratan administratif (kelengkapan dokumen).
Di antara aspek yang menonjol dalam peraturan ini adalah
ketentuan tentang pelabuhan atau tempat masuknya produk
hortikultura impor, yakni Pelabuhan Laut Belawan (Medan),
Tanjung Perak (Surabaya), Soekarno-Hatta (Makassar), dan
Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta (Jakarta). Pelabuhan lain yang
58 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
memungkinkan untuk masuknya buah/sayuran segar impor
adalah kawasan perdagangan bebas Batam, Bintan, dan Karimun.
Peraturan ini lebih banyak memuat ketentuan tindakan terhadap
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) dengan
maksud pencegahan masuk dan tersebarnya hama lalat buah di
dalam negeri.
Zona perdagangan bebas atau Free Trade Zone (FTZ), yaitu
Batam, Bintan, dan Karimun juga bisa dipakai untuk impor
buah dan sayur. Walaupun demikian semua komoditas yang
diimpor melalui FTZ ini hanya boleh diperdagangkan secara
internal, tidak boleh didistribusikan ke daerah lain. Distribusi
keluar FTZ dianggap penyelundupan. ini membuat importir
tidak tertarik untuk memasukkan buah melalui FTZ karena
permintaan di wilayah ini relatif kecil.
Pada tahun 2016, Menteri Perdagangan melalui Permendag
Nomor 63 Tahun 2016 menetapkan harga referensi tingkat petani
meliputi padi, jagung, kedelai, gula, daging sapi, bawang merah,
dan cabai. Bulog ditunjuk untuk melakukan operasi pasar jika
harga turun di bawah harga referensi maupun jika harga eceran
melampaui harga referensi.
Namun, kebijakan ini kurang efektif ketika harga sayuran,
termasuk bawang merah relatif rendah di tingkat petani, karena
Bulog tidak membeli komoditas ini dari petani. Harga
bawang merah dan harga cabai jatuh di bawah harga referensi saat
sedang panen raya. Harga cabai dan bawang merah akan berada
di atas harga referensi ketika sedang tidak musim panen, tetapi
impor dibatasi, sehingga memicu inflasi.
Produktivitas bawang merah sudah optimal tetapi masih dapat
ditingkatkan dengan pengandalian hama dan penyakit yang lebih
baik dan irigasi yang lebih efisien pada musim kemarau, seperti
memakai irigasi tetes. Petani diharapkan juga menanam
tanaman lain dan berternak untuk menambah penghasilan dan
mengurangi risiko gagal panen.
59Dinamika Kebijakan Impor Pangan |
Asuransi pertanian yang selama ini baru untuk padi dan sapi
perlu diperluas sehingga mencakup budi daya bawang merah
untuk mengurangi risiko gagal panen maupu harga jual di tingkat
petani yang terlalu rendah.
Penutup
Kebijakan impor pangan bertujuan untuk menjaga ketersediaan
pangan dalam negeri. Beberapa kementerian saling terkait dalam
kebijakan impor pangan. Perlu peningkatan harmonisasi antar
kementerian/lembaga teknis lain, termasuk agar tercipta suatu
kebijakan yang impor yang lebih memihak petani maupun
konsumen dalam negeri.
Komoditas beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula dan
bawang merah merupakan komoditas strategis. Untuk itu
pemerintah perlu mengatur dan mengendalikan ketersediaannya.
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian masing-
masing telah mengeluarkan kebijakan yang mengatur impor
pangan.
Peraturan Menteri Perdagangan maupun Peraturan Menteri
Pertanian mengalami banyak perubahan akhir-akhir ini.
Perubahan ini karena ada perubahan organisasi dalam
struktur kementerian. Alasan lain adalah substansi peraturan
sebelumnya yang dianggap perlu untuk disempurnakan.
Kebijakan impor pangan oleh Kementerian Perdagangan dan
Kementerian BUMN sebaiknya tetap memperhatikan wewenang
dan tanggung jawab Kementerian Pertanian. Dalam ini adalah
peningkatan produksi pertanian untuk menyejahterakan petani
serta melindungi konsumen dalam negeri.
60 | Perdagangan Internasional Komoditas Pangan Strategis
61Pengendalian Impor Pangan dalam Perspektif Aturan WTO |
Bab 4.
PENGENDALIAN IMPOR
PANGAN DALAM PERSPEKTIF
ATURAN WTO
Dalam perdagangan internasional, negara-negara di dunia akan terkena aturan WTO (World Trade Organization). WTO merupakan Organisasi Perdagangan Dunia yang
didirikan pada 1 Januari 1995 untuk menggantikan General
Agreementon Tariff and Trade (GATT).
Pada saat ini WTO beranggotakan 153 negara, sebanyak 117
negara di antaranya adalah negara berkembang. Tujuan utama
pembentukan WTO adalah menjembatani konflik kepentingan
dari berbagai negara dalam melakukan perdagangan yang efektif
dan terbuka.
Setidaknya ada tiga rinci tujuan pembentukan WTO. Pertama,
mendorong aliran barang dan jasa antarnegara dengan mengurangi
dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu
kelancaran perdagangan. Kedua, memfasilitasi perundingan
dengan menyediakan forum negosiasi yang lebih permanen.
Ketiga, menyelesaikan sengketa perdagangan yang netral.
Persetujuan pokok dan komitmen dalam WTO terdiri atas,
barang (goods), jasa (services), kepemilikan intelektual (Trade-
Related Aspects of Intellectual Properties/TRIPs), dan penyelesaian
sengketa (Dispute Settlements).
WTO memiliki fungsi sebagai berikut: (1) Memfasilitasi
implementasi administrasi dan pelaksanaan persetujuan WTO;
(2) memberi suatu forum tetap guna melakukan perundingan
di antara anggota; (3) Administrasi sistem penyelesaian sengketa
WTO; (4) Administrasi dari mekanisme tinjauan atas kebijakan
perdagangan (Trade Policy Review Mechanism); dan (5) Untuk
melakukan kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional
dan organisasi-organisasi non-pemerintah.
Setidaknya ada lima prinsip dasar yang menaungi semua
bentuk perjanjian dalam WTO.
1. Most favoured nations, bahwa suatu kebijakan perdagangan
harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Semua
negara anggota terikat untuk memberi negara-negara
lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan kebijakan
impor dan ekspor
2. Perlindungan melalui tarif yang diikat. Jadi, setiap negara
anggota WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea
masuk atau tarifnya harus diikat (legally binding)
3. National Treatment, produk dari suatu negara yang diimpor ke
dalam suatu negara harus diperlakukan seperti halnya produk
dalam negeri.
4. Perlindungan hanya melalui tarif. WTO hanya memperkenan-
kan tindakan proteksi melalui tarif.
5. Perlakuan khusus bagi negara sedang berkembang (Special
and Differential Treatment for Developing Countries). Dalam arti,
mengakui kebutuhan negara yang sedang berkembang untuk
memanfaatkan akses pasar yang lebih menguntungkan dan
melarang negara-negara maju membuat rintangan terhadap
ekspor dari negara-negara berkembang.
Disiplin dan aturan WTO mencakup unsur fleksibilitas yang
mencerminkan kebutuhan khusus negara-negara berkembang
(Least Developed Countries/LDC). Meskipun WTO didasarkan
pada prinsip non-diskriminasi, negara-negara berkembang dapat
diberikan pengecualian khusus dari pemotongan tarif, periode
penyesuaian yang lebih lama untuk disiplin baru dan penggunaan
tambahan kategori produk sensitif. Karena itu salah satu pilar
sistem perdagangan dunia adalah prinsip ‘perlakuan khusus dan
berbeda’ (Specialand Different Treatment) untuk negara-negara
sedang berkembang (LDC).
Pengendalian Impor Melalui Tariff Barrier
Tarif adalah hambatan perdagangan berupa penetapan pajak atas
barang-barang impor atau barang-barang dagangan yang melintasi
daerah pabean (custom area). Hambatan tarif (tariff barrier) adalah
suatu kebijakan perlindungan terhadap barang-barang produksi
dalam negeri dari ancaman membanjirnya barang-barang sejenis
dari luar negeri (impor).
Hampir semua negara di dunia ini melindungi industri dalam
negerinya. Pada tahap awal pembangunan industri, Amerika
Serikat, Inggris, Jerman, dan Perancis melakukan berbagai macam
proteksi. Demikian pula negara industri di Asia, seperti India,
Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Malaysia melakukan kebijakan
proteksi ini .
Hambatan tarif dipandang lebih transparan serta mampu
memberi kepastian terhadap mitra dagang yang melakukan
impor atau ekspor. Dalam WTO, khususnya GATT 1994, pada
prinsipnya hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap
industri domestik melalui tarif dan tidak melalui usaha -usaha
perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures).
Meski diperbolehkan, penggunaan tarif ini tetap tunduk
kepada ketentuan-ketentuan GATT. Misalnya, pengenaan atau
penerapan tarif ini sifatnya tidak boleh diskriminatif dan
tunduk pada komitmen tarif kepada GATT.
Hasil dari negosiasi tarif di antara negara-negara anggota
dijadikan sebagai “kesepakatan tarif” (tariff concessions) atau
“pengikatan tarif” (tariff binding). Suatu kesepakatan tarif
atau pengikatan tarif merupakan suatu kesediaan untuk tidak
menaikkan tarif terhadap produk-produk tertentu pada batas
yang disetujui.
Kesepakatan atau pengikatan tarif suatu negara anggota
ditentukan berdasarkan skedul kesepakatan anggota. Berdasarkan
hal itu, skedul tarif dan kesepakatan tarif harus diterjemahkan ke
dalam aturan-aturan umum yang telah ditetapkan.
Pada saat ini peran tarif dalam perdagangan internasional telah
menurun.WTO sendiri berusaha mengurangi distorsi produksi
dan konsumsi yang disebabkan tarif atau pajak atas barang impor,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pajak
balasan.
Distorsi produksi merupakan akibat dari produsen dalam
negeri yang memproduksi barang karena harga meningkat.
Sedangkan distorsi konsumsi terjadi karena konsumen membeli
produk lebih sedikit, sebagai akibat dari kenaikan harga. Rata-
rata tarif yang diterapkan di negara berkembang sekitar 20 persen,
jauh lebih rendah daripada tingkat tarif terikat (bound tariff), yaitu
80 persen.
Banyak negara maju telah mengurangi tarif dan hambatan
perdagangan, sehingga dapat meningkatkan integrasi global dan
memungkinkan terjadinya globalisasi. Kesepakatan multilateral
antarpemerintah meningkatkan kemungkinan terjadinya penurun-
an tarif, penegakan kesepakatan yang mengikat serta meningkat-
kan kepastian dalam perdagangan.
Perdagangan bebas menguntungkan konsumen melalui
peningkatan pilihan dan penurunan harga. Namun, karena
ekonomi global memicu ketidakpastian, sehingga banyak
pemerintah memberlakukan hambatan perdagangan lainnya.
Misalnya, hambatan non-tarif untuk melindungi industri dalam
negerinya.
Ada beberapa bentuk-bentuk tariff barrier.
1. Specific Tariff (tarif spesifik) adalah biaya impor tetap yang
dikenakan pada satu unit barang yang diimpor. Tarif ini dapat
bervariasi sesuai dengan jenis barang yang diimpor. Misalnya,
negara kita mengenakan tarif Rp450 untuk setiap kilogram
beras yang diimpor dan mengenakan tarif Rp750 untuk setiap
kilogram gula yang diimpor. Tarif semacam ini memberi
perlindungan yang tinggi untuk barang yang lebih murah,
tetapi perlindungan yang lebih rendah untuk barang yang
lebih mahal.
2. Ad-valorem tariff (tarif Advalorem) yaitu suatu pajak yang
dikenakan berdasarkan persentase tetap dari harga per unit
barang yang diimpor. Contoh tarif advalorem adalah tarif 5
persen yang dikenakan negara kita pada impor bawang putih.
Dengan demikian, 5 persen adalah kenaikan harga pada nilai
bawang putih impor. Jika bawang putih seharga 300