urunnya pertumbuhan
ekonomi suatu negara pada periode tertentu. Siklus bisnis memiliki
dampak pada inflasi dan pengangguran. Lama atau tidaknya siklus,
serta besar atau kecilnya siklus tentu tergantung dengan kebijakan
pemerintahan dalam pengelolaan siklus itu sendiri.
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang saling
terkoordinasi dengan baik dinilai efektif dalam menstabilkan siklus
bisnis. Musa,et.al. (2013) melakukan studi empiris di Nigeria dengan
menggunakan uji kointegrasi dan Vector Error Correction Model
(VECM). Penelitian ini mencoba melihat hubungan atara kebijakan
fiskal dan moneter terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di
Nigeria dengan melihat hubungan jangka panjang dan jangka pendek
antar variabel. Di Nigeria, kurun periode 1970-2010 terlihat bahwa
koordinasi kebijakan fiskal dan moneter dalam jangka panjang terlihat
telah mencapai tujuannya dengan baik. Penambahan jumlah uang
beredar dan variabel pendapatan pemerintahan sangat efektif dalam
mempengaruhi inflasi dan output. Hal ini memperkuat bahwa
4
koordinasi kebijakan makro ekonomi sangat penting dalam upaya
mewujudkan target ekonomi yang hendak di capai. Penelitian serupa
telah dilakukan di negara kita , seperti Gulo (2008), melihat interaksi
pengeluaran pemerintahan , dan jumlah uang beredar.
Penelitian ini melihat bagaimana efektivitas kebijakan fiskal
dan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dan Inflasi. Hal yang
membedakan yaitu variabel kebijakan fiskal yang di gunakan yaitu
persentase defisit APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan
total pajak.
negara kita latar belakang tersebut penulis ingin menguji
secara empiris bagaimana efektivitas kebijakan makro meliputi
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam pengelolaan siklus
bisnis yang di ukur dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi di
negara kita . Lebih jauh akan di lihat apakah ada kemungkinan hubungan
kausalitas antar variabel, dan hubungan jangka panjang atau jangka
pendek antar variabel yang di teliti.
5.2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini melihat bagaimana efektivitas kebijakan makro
meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam pengelolaan
siklus bisnis yang di ukur dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi di
negara kita . Kebijakan makro meliputi kebijakan moneter dan kebijakan
fiskal. Variabel kebijakan moneter meliputi jumlah uang beredar
(log_M2), variabel kebijakan fiskal meliputi; persentase defisit
anggaran terhadap PDB (Deficit), total penerimaan pajak (log_tax). Ke
dua kebijakan ini akan dilihat bagaimana hubungannya dengan
pertumbuhan ekonomi (GDPgrowth) dan inflasi (inflation) di negara kita
5
sebagai indikator siklus bisnis kurun periode 1988-2012. Data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang diperoleh
dari data Key Indicators For Asia and The Pasific-Asian Development
Bank tahun 1988-2012.
Model yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model
VECM (Vector Error Correction Model). Model VECM memiliki
kelebihan dapat digunakan untuk mengetahui perilaku jangka pendek
dari satu variabel terhadap jangka panjangnya akibat adanya shock
yang permanen ( Kostov dan Lingard dalam Ajija, et.al. 2011). Semua
variabel yang diteliti diasumsikan stasioner. Jika data awal ternyata
tidak stasioner, maka dapat dilakukan diferensiasi atas variabel tersebut
sehingga diperoleh variabel yang stasioner. Adapun tahapan dalam
VECM meliputi uji akar-akar unit (unit root test), uju lag optimum, uji
Granger Causality, uji kointegrasi, dan uji VECM. Bentuk umum dari
Vector Error Correction Model (VECM) dalam penelitian ini yaitu :
ΔYt = β0 + β1ΔX1t + β2ΔX2t + β3 ΔY t-1 + β4ΔX1 t-1 + β5ΔX2 t-1 + εt ....(6.1)
Adapun variabel yang akan di estimasi yaitu variabel
GDPgrowth atau pertumbuhan ekonomi dalam persen, Inflation atau
tingkat inflasi (Consumer Price Index) dalam persen, Log_M2 atau log
jumlah uang beredar (M2) dalam triliun rupiah, Deficit atau persentase
defisit APBN terhadap GDP dalam persen, dan Log_tax yaitu log
total pajak dalam miliar rupiah.
5.2.1 Uji Akar - akar Unit (Unit Roots Test)
Uji akar unit digunakan untuk menguji apakah variabel yaitu
stasioner atau tidak. Uji akar unit dapat dilihat pada model di bawah ini
(Gujarati, 2003): 𝑌𝑡 = 𝛿𝑌𝑡−1 -1 P 1.......................................................... (6.2)
Dengan 𝑒𝑡 yaitu stokastik error term yang bersifat acak dapat
dikatakan juga sebagai white noise error term. Jika nilai P=1 maka akar
unit pada persamaan diatas yaitu tidak stasioner. Data akan diuji pada
tingkat first difference, dan jika nilai P masih sama dengan 1 maka uji
dilanjutkan ke second difference.
𝑌𝑡 − 𝑌𝑡−1 = 𝛿𝑌𝑡−1 + 𝑒𝑡 − 𝑌𝑡−1................................................... (6.3) 𝑌𝑡 − 𝑌𝑡−1 = 𝛿(𝑌𝑡−1 − 𝑌𝑡−1) + 𝑒𝑡 𝑌𝑡 − 𝑌𝑡−1 =(𝛿 − 1) 𝑌𝑡−1+𝑒𝑡 ...................................(6.4)
Persamaan diatas menjadi persamaan first difference dan dapat ditulis: 𝑌𝑡 yaitu random walk : ∆𝑌𝑡 = 𝜙𝑌𝑡−1 + 𝑒𝑡 .....................................(6.5)
Di mana t yaitu trend waktu. Persamaan (6.5) yaitu regresi
first difference dengan memasukkan konstanta dan variabel trend
waktu. Jika data runtun waktu mengandung akar unit maka data
tersebut tidak stasioner dengan hipotesis nolnya yaitu 𝜙 = 0 yang
berarti p=1, dan jika sebaliknya maka data runtun waktu itu stasioner.
Pengujian akar-akar unit di sini menggunakan metode ADF atau
Augmanted Dickey Fuller. Jika nilai ADF test lebih besar dari nilai
critical value maka data tersebut dikatakan tidak stasioner dan harus di
52
uji pada tingkat difference nya yaitu pada tingkat first dan second
difference.
5.2.2. Penentuan Lag Optimal
Penentuan panjangnya lag optimal sangat diperlukan untuk
menampilkan proses white noise sehingga dapat mengestimasi actual
error secara tepat. Hanya saja, lag yang terlalu panjang berdampak
pada kurangnya derajat bebas sehingga kemampuan menolak Ho
berkurang. Besarnya lag yang dipilih berasal dari lag terpendek. Nilai
lag dapat diperoleh dari hasil estimasi melalui criteria Akaike
Information Criteria (AIC), Scwarz Information Criterion (SIC) dan
Hannan Quinn (HQ).
5.2.3 Uji Granger Causality
Dalam penelitian ini uji Granger Causality digunakan untuk
melihat hubungan kausalitas (sebab akibat) diantara dua variabel.
Dengan menggunakan uji Granger Causality dapat diketahui apakah
kedua variabel tersebut memiliki hubungan saling mempengaruhi
(hubungan dua arah), hubungan searah, atau sama sekali tidak ada
hubungan (tidak saling mempengaruhi).
5.2.4. Uji Kointegrasi
Dalam penelitian ini, uji kointegrasi yang digunakan yaitu
Johansen Cointegration Test. Hubungan kointegrasi dapat terlihat dari
besarnya nilai Trace Statistic dan Max Eigen Statistic dibandingkan
dengan nilai critical value pada tingkat kepercayaan 1-10 persen. Jika
nilai Max Eigen Value dan Trace Statistic lebih besar dari nilai Critical
53
Value maka dalam jangka panjang variabel-variabel tersebut cenderung
menuju kepada keseimbangan, sedangkan jika nilai Max Eigen Value
dan Trace Statistic lebih kecil dari Critical Value maka dalam jangka
panjang variabel-variabel tersebut tidak mencapai keseimbangan.
Jika data stasioner pada tingkat diferensi maka dapat di lakukan
uji kointegrasi . Melalui uji kointegrasi ini, dapat dilihat apakah data
berkointegrasi atau tidak. Jika data memiliki hubungan kointegrasi,
maka model yang digunakan yaitu VECM, sedangkan data yang tidak
berkointegrasi, maka model yang digunakan yaitu VAR diferensi.
5.2.5. Estimasi VECM
Estimasi VECM dapat dilihat dari karakteristik dinamis model
VEC yaitu dengan melihat IRF (Impulse Response Function) dan
variance decompotition. Impulse Response merupakan analisis penting
dalam model VAR. Analisis impulse response penting untuk
menjelaskan dampak dari guncangan (shock) pada satu variabel
terhadap variabel lain. Analisis impulse response dapat melihat respon
dari variabel endogen di dalam sistem VAR sebab adanya guncangan
(shock) dari variabel yang lain. Pengaruh suatu variabel bisa positif
ataupun negatif. Model VAR menyediakan analisis Forecast Error
Variance Decomposition (FEVD). Variance Decomposition
menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam model
VAR sebab ada shock. Variance Decomposition memprediksi
kontribusi persentase setiap variabel dalam mempengaruhi variabel
yang lain
5.3. Hasil dan Pembahasan
5.3.1 Hasil Uji Akar-akar Unit
Tabel (5.1) memperlihatkan ringkasan hasil uji akar-akar unit,
di mana data hasil dapat kita lihat pada lampiran. Dari hasil pengujian
terlihat bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan jumlah uang
beredar yaitu variabel yang stasioner pada tingkat level. Hal ini
negara kita hasil uji ADF dimana nilai ADF yaitu lebih kecil dari
nilai critical value.
Tabel 5.1. Ringkasan Hasil Uji Akar-akar Unit
Variabel Level First Difference
GDPgrowth
Inflation
Log_M2
Log_Tax
Deficit
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
-
-
-
Stasioner
Stasioner
Variabel total pajak dan defisit APBN tercatat tidak signifikan
pada tingkat level, sehingga di uji lagi pada tingkat first difference, dan
hasilnya menunjukkan nilai ADF yaitu lebih kecil dari nilai critical
value sehingga variabel tersebut sudah stasioner di tingkat first
difference.
55
5.3.2 Pengujian Lag Optimal
Tabel 5.2. Lag Optimal
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 LOG_TAX DEFICIT
Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 -175.4896 NA 9.198827 16.40815 16.65611 16.46656
1 -62.76912 163.9571 0.003396 8.433556 9.921342 8.784034
2 -12.70512 50.06400* 0.000531 6.155011 8.882617 6.797553
3 49.91054 34.15399 7.50e-05* 2.735406* 6.702833* 3.670012*
* indicates lag order selected by the criterion
Pengujian di lanjutkan dengan uji lag optimal untuk
menentukan lag bagi uji Granger Causality. Pada tabel (5.2) terlihat
bahwa lag optimal ada pada lag 3 dimana pada lag ini banyak ada
tanda bintang yang menandakan tingkat lag optimal. Terlihat tanda
bintang ada pada criteria FPE, AIC, SC dan HQ. Dengan
demikian, untuk uji granger causality kita akan menggunakan lag
optimal 3.
5.3.3. Hasil Uji Granger Causality
negara kita uji Granger Causality pada table (5.3) terlihat
bahwa hanya ada satu hubungan kausalitas antara variabel yaitu
inflasi dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan kausalitas ini terlihat
dari signifikannya nilai F statistik pada tingkat kepercayaan di bawah
10 %. Peningkatan inflasi dapat menurunkan daya beli masyarakat
sehingga permintaan agregat menurun dan pertumbuhan ekonomi juga
menurun. Dalam konteks perekonomian yang memasuki masa
ekspansif, peningkatan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan daya
56
beli msyarakat, menurunkan pengangguran namun berdampak pada
peningkatan inflasi.
Jumlah uang beredar M2 terlihat tidak memiliki hubungan
kausalitas dengan pertumbuhan ekonomi. Idealnya, penambahan
jumlah uang beredar mencerminkan kebijakan moneter yang ekspansif
yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Begitu juga
sebaliknya, pertumbuhan ekonomi pada umumnya akan menambah
jumlah uang beredar. Hanya saja, ada kemungkinan terjadi
crowding out dalam perekonomian, di mana kebijakan fiskal di
negara kita dapat saja menjadikan kebijakan moneter dengan menambah
jumlah uang beredar menjadi tidak efektif. Kejadian ini seringkali
terjadi dan menjadi perdebatan baik secara teori maupun studi-studi
empiris.
Pajak dan defisit APBN terlihat memiliki hubungan se arah
dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini memperlihatkan bagaimana
efektivitas kebijakan fiskal dalam mendorong laju pertumbuhan
ekonomi. Kenaikan pajak mencerminkan kebijakan yang kontraktif
yang akan mengurangi daya beli dan permintaan agregat, sedangkan
defisit anggaran mencerminkan ekspansi ekonomi yang di lakukan oleh
pemerintahan yang ber efek meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Tabel. 5. 3. Uji Granger Causality
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.
INFLATION does not Granger Cause GDPGROWTH 22 3.00202 0.0637
GDPGROWTH does not Granger Cause INFLATION 2.64532 0.0870
LOG_M2 does not Granger Cause GDPGROWTH 22 0.65774 0.5906
GDPGROWTH does not Granger Cause LOG_M2 0.69910 0.5670
LOG_TAX does not Granger Cause GDPGROWTH 22 3.15278 0.0560
GDPGROWTH does not Granger Cause LOG_TAX 2.21913 0.1281
DEFICIT does not Granger Cause GDPGROWTH 22 8.65525 0.0014
GDPGROWTH does not Granger Cause DEFICIT 2.11704 0.1409
LOG_M2 does not Granger Cause INFLATION 22 0.33470 0.8005
INFLATION does not Granger Cause LOG_M2 0.92826 0.4512
LOG_TAX does not Granger Cause INFLATION 22 4.78240 0.0156
INFLATION does not Granger Cause LOG_TAX 1.47800 0.2606
DEFICIT does not Granger Cause INFLATION 22 6.51084 0.0049
INFLATION does not Granger Cause DEFICIT 1.73374 0.2030
Lags: 3
Untuk variabel inflasi, jumlah uang beredar terlihat tidak
memiliki hubungan kausalitas dengan inflasi, yang mengindikasikan
bahwa variabel kebijakan moneter jalur uang (M2) tidak efektif dalam
mempengaruhi tingkat inflasi di negara kita kurun periode penelitian.
Kebijakan fiskal baik tingkat pajak maupun defisit anggaran efektif
dalam mempengaruhi inflasi namun tidak sebaliknya. Pajak merupakan
instrumen yang efektif menekan daya beli masyarakat. Sebaliknya,
menambah defisit akan dapat meningkatkan daya beli sehingga
keduanya dapat mempengaruhi inflasi.
58
5.3.4. Uji Kointegrasi
Sebelum di lakukan uji kointegrasi, perlu di cari lag yang di
pakai untuk pengujian kointegrasi dan VECM. Dari hasil pengujian lag
yang ada pada lampiran(5) terlihat bahwa lag yang di pakai dalam uji
kointegrasi dan VECM yaitu lag 3 3 negara kita Akaike Information
Criteria dan Schwarz Criteria. Hasil uji kointegrasi dapat di lihat pada
tabel (5.4).
Tabel 5.4. Uji Kointegrasi
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.986065 199.5918 88.80380 0.0000
At most 1 * 0.900850 114.1251 63.87610 0.0000
At most 2 * 0.799526 67.90254 42.91525 0.0000
At most 3 * 0.614983 35.76114 25.87211 0.0021
At most 4 * 0.565513 16.67179 12.51798 0.0095
Trace test indicates 5 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.986065 85.46671 38.33101 0.0000
At most 1 * 0.900850 46.22252 32.11832 0.0005
At most 2 * 0.799526 32.14140 25.82321 0.0064
At most 3 0.614983 19.08935 19.38704 0.0552
At most 4 * 0.565513 16.67179 12.51798 0.0095
Max-eigenvalue test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
negara kita hasil uji kointegrasi terlihat bahwa ada
hubungan kointegrasi antar variabel yang bermakna ada hubungan
59
keseimbangan jangka panjang antar variabel moneter, variabel fiskal
dan pertumbuhan ekonomi di negara kita . Hubungan kointegrasi terlihat
dari nilai trace statistic dan nilai max eigen value yang leih besar dari
nilai critical value, dan signifikan pada tingkat kepercayaan 1-10
persen.
5.3.5. Hasil Uji VECM
A. Impulse Response Function (IRF)
Pembahasan IRF hanya di fokuskan kepada kausalitas antara
variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, jumlah uang beredar, pajak,
dan defisit APBN. Hasil IRF dapat di lihat pada gambar (5.1) dan tabel-
tabel IRF. negara kita tabel IRF (tabel 5.5), pertumbuhan ekonomi
(GDPgrowth) merespon shock variabel inflasi (Inflation) secara positif,
namun pada periode ke empat terlihat merespon negatif yaitu sebesar
0.622 SD (Standar Deviasi). Terlihat dalam jangka pendek
pertumbuhan ekonomi merespon perubahan Inflasi yaitu pada periode
ke dua, ke empat, ke enam dan ke delapan. Hal ini menandakan bahwa
inflasi di respon oleh variabel pertumbuhan ekonomi dalam jangka
pendek. Perubahan inflasi akan di ikuti oleh perubahan pertumbuhan
ekonomi dalam jangka pendek.
Pertumbuhan ekonomi merespon shock jumlah uang beredar
(log_m2) dalam jangka pendek pada periode ke dua yaitu pada tingkat
yang positif sebesar 0,515 SD, pada periode ke empat jumlah uang
beredar merespon pertumbuhan ekonomi secara negatif yaitu sebesar
1,328 SD. lalu pada periode ke tujuh kembali positif dan pada
periode ke sepuluh kembali negatif. Hal ini menandakan bahwa jumlah
uang beredar di respon oleh variabel pertumbuhan ekonomi dalam
60
jangka pendek. Perubahan jumlah uang beredar akan di ikuti oleh
perubahan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Tabel 5.5. Impulse Response (IRF) Pertumbuhan Ekonomi
Response of GDPGROWTH:
Period GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
1 5.171466 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
2 2.024261 0.826845 0.515751 -0.116900 0.790662
3 2.002805 0.832482 0.519267 -0.117697 0.796053
4 1.691310 -0.622333 -1.328307 0.022315 -1.013712
5 2.468208 0.281463 -0.053865 0.268256 0.021191
6 2.407185 0.305048 -0.034309 0.267470 0.044908
7 3.354582 0.031451 0.773409 0.058553 0.847642
8 1.567750 0.427457 0.416297 0.210074 0.562409
9 2.278070 0.263685 0.325000 0.242518 0.404874
10 1.659212 0.255097 -0.674279 0.096476 -0.389187
Pada tabel (5.5), pertumbuhan ekonomi merespon shock pajak
dalam jangka pendek. Pada periode ke dua, respon terlihat negatif yaitu
sebesar 0,116 SD, lalu pada periode ke empat kembali positif dan
terus meningkat pada periode ke lima dan ke enam. Respon kembali
turun pada periode ke tujuh dan ke sepuluh. Hal ini berarti perubahan
pajak akan di ikuti oleh perubahan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
pendek.
Terakhir, pertumbuhan ekonomi merespon shock defisit APBN
(Deficit) dalam jangka pendek. Pada periode awal respon pertumbuhan
ekonomi terhadap defisit relatif stabil, namun pada periode ke empat
mengalami respon negatif yaitu sebesar 1,013 SD. Peride ke lima
respon kembali positif dan stabil namun pada periode ke tujuh
meningkat cukup tinggi yaitu sebesar 0,857 SD. Pada periode ke
sepuluh respon pertumbuhan ekonomi terhadap defisit kembali negatif.
61
Kondisi ini berarti perubahan defisit APBN akan di ikuti oleh
perubahan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Gambar 5.1. Impulse Response (IRF)
Sebaliknya tabel (5.6) memperlihatkan bahwa inflasi (inflation)
merespon shock variabel pertumbuhan ekonomi secara negatif dan
dalam jangka pendek di mana respon tersebut tertinggi terjadi pada
periode awal yaitu sebesar 14.32 SD, lalu menurun pada periode
ke dua. Shock terjadi lagi pada periode ke lima, ke tujuh dan periode
ke sembilan. Hal ini berarti perubahan pertumbuhan ekonomi di respon
-2
0
2
4
dan di ikuti oleh perubahan inflasi dalam jangka pendek. Dari hasil IRF
dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan saling
merespon dalam jangka pendek.
Tabel 5.6. Impulse Response (IRF) Inflasi
Response of INFLATION:
Period GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
1 -14.32027 4.720253 0.000000 0.000000 0.000000
2 -5.069833 2.289946 -1.515923 0.343600 -2.323958
3 -5.006767 2.273377 -1.526258 0.345943 -2.339802
4 -4.389045 5.525688 4.239432 0.838195 2.657198
5 -6.849555 2.915707 0.522530 0.108735 -0.340177
6 -6.671397 2.846700 0.465245 0.111002 -0.409584
7 -8.941617 3.945228 -1.716166 0.622821 -2.546406
8 -4.162952 2.967922 -0.510122 0.172091 -1.519948
9 -6.257722 3.451542 -0.240101 0.076554 -1.054692
10 -4.665219 3.335246 2.373283 0.535165 0.967385
Tabel (5.6) juga memperlihatkan bagaimana inflasi merespon
shock jumlah uang beredar, dan defisit anggaran dalam jangka pendek.
Hanya pajak yang di respon oleh inflasi dalam jangka panjang sebab
gerakannya yang relatif kecil dan stabil.
Sebaliknya tabel (5.7) menjelaskan, jumlah uang beredar
merespon pertumbuhan ekonomi secara negatif dan stabil dalam jangka
panjang antara 0,12 hingga 0,13 SD. Begitu juga dengan inflasi di
respon oleh jumlah uang beredar dalam jangka panjang. Hal ini
menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan inflasi di respon oleh
variabel jumlah uang beredar dalam jangka panjang. Perubahan
pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan di ikuti oleh perubahan jumlah
uang beredar dalam jangka panjang.
6
Tabel 5.7. Impulse Response (IRF) Jumlah Uang Beredar
Response of LOG_M2:
Period GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
1 -0.097215 0.021764 0.014072 0.000000 0.000000
2 -0.112237 0.025711 0.016534 -0.000558 0.003774
3 -0.112340 0.025738 0.016551 -0.000562 0.003800
4 -0.129875 0.045766 0.024077 -0.009858 0.015500
5 -0.127259 0.050367 0.030339 -0.008725 0.020715
6 -0.127558 0.050482 0.030433 -0.008729 0.020830
7 -0.138891 0.054070 0.028887 -0.008196 0.019481
8 -0.130619 0.051931 0.024916 -0.006773 0.014325
9 -0.127137 0.051128 0.024468 -0.006614 0.013553
10 -0.125041 0.053472 0.030765 -0.005781 0.018789
Kesimpulan dari hasil IRF pertumbuhan ekonomi, inflasi dan
jumlah uang beredar yaitu bahwa kebijakan moneter dengan
menambah jumlah uang beredar akan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi dan inflasi dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan
bahwa kebijakan moneter dengan penambahan jumlah uang beredar
memiliki pengaruh dalam jangka pendek dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan mempengaruhi inflasi. Sebaliknya,
peningkatan aktivitas ekonomi akibat dari peningkatan pertumbuhan
ekonomi akan meningkatkan permintaan terhadap uang sehingga dalam
jangka panjang jumlah uang beredar meningkat.
Hubungan antara respon pajak terhadap pertumbuhan ekonomi
dan inflasi dapat di lihat pada tabel (5.8). Pajak (Log_tax) merespon
shock pertumbuhan ekonomi cukup stabil dan pengaruhnya positif
namun relatif kecil yaitu sekitar 0,03 SD hingga 0,06 SD, hanya sekali
mencapai 0,09 SD yaitu pada periode ke empat. Begitu juga respon
pajak terhadap inflasi relatif stabil dalam jangka panjang. Ini
menandakan bahwa perubahan pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan
di ikut oleh perubahan pajak dalam jangka panjang.
6
Tabel 5.8. Impulse Response (IRF) Pajak
Response of DLOG_TAX:
Period GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
1 0.040629 0.023380 0.079782 0.122012 0.000000
2 0.037810 0.024121 0.080243 0.121908 0.000708
3 0.037791 0.024126 0.080247 0.121907 0.000713
4 0.094252 0.032876 0.105022 0.148518 0.005065
5 0.049045 0.045745 0.113686 0.147033 0.017524
6 0.048677 0.045849 0.113755 0.147021 0.017623
7 0.051756 0.034556 0.094778 0.152616 -0.003991
8 0.055360 0.049702 0.114050 0.156111 0.012387
9 0.055065 0.049911 0.114261 0.156127 0.012603
10 0.066763 0.044362 0.122350 0.155231 0.019561
Kesimpulan IRF bagi pajak, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi
yaitu bahwa pajak akan mempengaruhi perubahan pertumbuhan
ekonomi dalam jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang akan
mempengaruhi inflasi. Pertumbuhan ekonomi dan inflasi sendiri akan
mempengaruhi besarnya pajak dalam jangka panjang. Pertumbuhan
ekonomi dan inflasi yang stabil akan menciptakan pertumbuhan sektor
riil yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi besarnya pajak.
Pada tabel (5.9) defisit APBN terlihat juga merespon shock
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, respon awal terlihat
negatif yaitu sebesar 0.129 SD, namun pada periode selanjutnya
meningkat positif. Pada periode ke empat respon defisit APBN
terhadap pertumbuhan ekonomi kembali negatif, dan meningkat positif
pada periode selanjutnya. Respon tertinggi terjadi pada periode ke
tujuh. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ada hubungan jangka
pendek dimana perubahan pertumbuhan ekonomi juga di respon dan di
ikuti oleh besarnya defisit APBN. Defisit APBN mersepon variabel
inflasi dalam jangka panjang, hal ini terlihat relatif stabilnya shock
6
pada empat periode pertama dan meningkat pada empet periode ke dua
dan menurun kembali pada empat periode terakhir, yang
mengindikasikan adanya hubungan jangka panjang.
Tabel 5.9. Impulse Response (IRF) Defisit APBN
Response of DDEFICIT:
Period GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
1 -0.129894 0.076733 0.817026 0.042007 0.791428
2 0.028694 0.035068 0.791038 0.047897 0.751586
3 0.029775 0.034784 0.790860 0.047937 0.751315
4 -0.196559 0.357259 0.611723 0.090204 0.603394
5 0.287414 0.174280 0.461777 0.097242 0.419823
6 0.294056 0.172155 0.460207 0.097414 0.417732
7 0.452384 0.152592 0.771443 0.199318 0.633323
8 0.223435 0.032289 0.608715 0.143751 0.523373
9 0.196491 0.036961 0.610277 0.142199 0.527694
10 0.122866 0.087002 0.450137 0.144594 0.386937
Cholesky Ordering: GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
Hubungan jangka pendek antara defisit APBN dengan
pertumbuhan ekonomi memiliki makna bahwa kebijakan fiskal dengan
menambah pengeluaran dengan menambah defisit akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Hal ini berarti
kebijakan fiskal dengan defisit anggaran akan dapat mempengaruhi
kegiatan ekonomi dalam jangka pendek. Sedangkan hubungan jangka
panjang antara defisit APBN dengan inflasi menyiratkan bahwa defisit
akan mempengaruhi inflasi dalam jangka panjang.
B. Variance Decomposition
Pengujian yang tidak kalah penting dalam VECM yaitu
variance decomposition, di mana hasil estimasi ini memberikan
informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada
6
sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini
dan periode yang akan datang (Ajija, 2011). Tabel (5.10) menjelaskan
tentang variance decomposition pertumbuhan ekonomi (GDPgrowth),
yaitu variabel apa saja dan seberapa besar variabel tersebut
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada periode pertama, variabel
pertumbuhan ekonomi di pengaruhi oleh variabelnya sendiri sebesar
100 persen. Pengaruh terhadap variabel sendiri ini semakin menurun
hingga periode ke sepuluh yaitu sebesar 87.89 persen.
Tabel 5.10. Variance Decomposition Pertumbuhan Ekonomi
Variance Decomposition of GDPGROWTH:
Period S.E. GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
1 5.171466 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
2 5.694750 95.10184 2.108135 0.820220 0.042139 1.927670
3 6.168599 91.59379 3.617973 1.407659 0.072319 3.308261
4 6.640177 85.53363 4.000719 5.216456 0.063541 5.185659
5 7.094966 87.02179 3.661641 4.574902 0.198611 4.543055
6 7.503390 88.09818 3.439150 4.092505 0.304645 4.065522
7 8.299106 88.35298 2.812712 4.213823 0.254005 4.366481
8 8.488195 87.87172 2.942395 4.268707 0.304065 4.613116
9 8.811184 88.23208 2.820190 4.097540 0.357938 4.492253
10 9.003913 87.89108 2.781019 4.484813 0.354260 4.488830
Pada periode awal variabel inflasi (Inflation) mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi sebesar 0 persen. Pengaruh ini meningkat
namun tidak terlalu besar yaitu sebesar 4 persen pada periode ke empat
dan 2,78 persen pada periode ke sepuluh. Jumlah uang beredar (Log
_m2) dan Defisit APBN (DDEFICIT) terlihat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi sebesar 0 persen pada periode awal dan
mencapai 4,48 persen dalam jangka panjang pada periode ke sepuluh.
Pajak (Dlog_pajak) terlihat tidak memiliki pengaruh yang signifikan
67
terlihat dari persentasenya di bawah 1 persen. Pajak mampu
menjelaskan pertumbuhan ekonomi sebesar 0 persen di periode awal
dan sebesar 0,35 persen di periode akhir.
Tabel (5.11) menjelaskan variance decomposition variabel
inflasi (inflation). ada hal yang menarik bahwa variabel
pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap inflasi dimana
pengaruhnya pada periode awal yaitu sebesar 90,19 persen. Pengaruh
pertumbuhan ekonomi semakin menurun hingga mencapai 73,42
persen pada periode ke sepuluh. Variabel inflasi di jelaskan oleh
variabel dirinya sendiri sebesar 9,8 persen dan semakin meningkat
hingga mencapai 17,80 persen pada periode ke sepuluh. Jumlah uang
beredar, pajak dan defisit terlihat tidak terlalu besar menjelaskan
variabel inflasi. Hal ini bermakna bahwa kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter jalur uang kurang efektif dalam mempengaruhi inflasi.
Tabel 5.11. Variance Decomposition Inflasi
Variance Decomposition of INFLATION:
Period S.E. GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
1 15.07816 90.19983 9.800175 0.000000 0.000000 0.000000
2 16.31303 86.71945 10.34314 0.863545 0.044365 2.029493
3 17.44347 84.08229 10.74453 1.520825 0.078132 3.574223
4 19.48865 72.43266 16.64688 5.950452 0.247575 4.722432
5 20.87165 73.92149 16.46538 5.250676 0.218566 4.143894
6 22.10506 75.01093 16.33763 4.725371 0.197378 3.728690
7 24.37147 75.16919 16.06079 4.383227 0.227682 4.159113
8 24.95410 74.48306 16.73412 4.222724 0.221930 4.338164
9 25.97990 74.51908 17.20376 3.904386 0.205619 4.167155
10 26.73384 73.42047 17.80354 4.475362 0.234258 4.066370
Tabel (5.12) menjelaskan variance decomposition variabel
jumlah uang beredar (log_m2). Variabel pertumbuhan ekonomi sangat
berpengaruh dan mampu menjelaskan variabel jumlah uang beredar.
68
Pada periode awal pengaruh pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar
93,36 persen dan terus mengalami penurunan yaitu menjadi 84,02
persen pada periode ke sepuluh.
Tabel 5.12. Variance Decomposition Jumlah Uang Beredar
Variance Decomposition of LOG_M2:
Period S.E. GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
1 0.100610 93.36411 4.679579 1.956310 0.000000 0.000000
2 0.153846 93.15253 4.794314 1.991663 0.001315 0.060178
3 0.192977 93.09390 4.825982 2.001419 0.001684 0.077018
4 0.238996 90.22481 6.813391 2.319730 0.171238 0.470832
5 0.277987 87.64691 8.318986 2.905741 0.225076 0.903285
6 0.312302 86.12692 9.204187 3.251899 0.256451 1.160539
7 0.347890 85.34598 9.832985 3.310065 0.262166 1.248801
8 0.376375 84.96083 10.30475 3.266243 0.256370 1.211804
9 0.401574 84.65578 10.67305 3.240434 0.252333 1.178401
10 0.425546 84.02086 11.08337 3.408292 0.243159 1.244323
Variabel inflasi juga cukup signifikan mempengaruhi jumlah
uang beredar. Pada periode awal pengaruh inflasi terhadap jumlah uang
beredar hanya sebesar 4, 67 persen, dan nilai ini semakin meningkat
mencapai 11,08 persen pada periode ke sepuluh. Hal ini
mengindikasikan bahwa jumlah uang beredar mampu di jelaskan oleh
variabel inflasi dalam jangka panjang. Variabel dirinya sendiri
(log_m2), pajak, dan defisit APBN terlihat kurang mampu menjelaskan
variabel jumlah uang beredar terlihat dari persentase pengaruhnya
yang kecil.
Tabel (5.13) menjelaskan variance decomposition variabel
pajak (Dlog_Tax). Variabel pajak cukup signifikan di pengaruhi oleh
dirinya sendiri sebesar 63,48 persen pada periode awal. Pengaruhnya
semakin menurun dalam jangka panjang namun masih signifikan yaitu
69
mencapai 57,22 persen pada periode ke sepuluh. Hal yang menarik
yaitu jumlah uang beredar dalam jangka pendek dan jangka panjang
cukup berpengaruh dan mampu menjelaskan variabel pajak sebesar 27,
14 persen hingga 29, 48 persen. Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi
pajak dalam jangka pendek dan jangka panjang relatif stabil rata-rata 8
persen. Variabel inflasi dan defisit APBN kurang mampu menjelaskan
variabel pajak terlihat dari nilainya yang relatif kecil.
Tabel 5.13. Variance Decomposition Pajak
Variance Decomposition of DLOG_TAX:
Period S.E. GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
1 0.153132 7.039379 2.331159 27.14391 63.48555 0.000000
2 0.216245 6.587173 2.413220 27.38154 63.61699 0.001072
3 0.264714 6.433855 2.441059 27.46213 63.66152 0.001441
4 0.336379 11.83541 2.466950 26.75489 58.91919 0.023562
5 0.390511 10.35892 3.202643 28.32663 57.89297 0.218845
6 0.437992 9.469905 3.641691 29.26345 57.28908 0.335870
7 0.477493 9.142733 3.587815 28.56183 58.41804 0.289583
8 0.520641 8.820773 3.929121 28.82259 58.12733 0.300181
9 0.560518 8.575432 4.182828 29.02285 57.90935 0.309540
10 0.600045 8.720813 4.196478 29.48263 57.22371 0.376373
Tabel (5.14) menjelaskan variance decomposition variabel
Defisit APBN (DDEFICIT). Variabel defisit mampu dijelaskan oleh
dirinya sendiri cukup stabil yaitu sebesar 47,5 persen pada periode
awal. Pengaruhnya terus menurun tapi relatif stabil menjadi sebesar
40,93 persen pada periode ke sepuluh. Hal yang menarik bahwa jumlah
uang beredar cukup signifikan mempengaruhi defisit di mana pada
periode pertama hingga periode ke tiga pengaruhnya terus meningkat
yaitu menjadi sebesar 51,74 persen pada periode ke tiga, namun pada
periode ke empat hingga periode ke sepuluh terus menurun hingga
70
mencapai 48,77 persen pada periode ke sepuluh. Pertumbuhan ekonomi
berpengaruh terhadap pajak dalam jangka pendek relatif kecil yaitu di
bawah 1 persen dan meningkat rata-rata 6 persen dalam jangka
panjang. Variabel inflasi dan pajak terlihat kurang signifikan
mempengaruhi defisit terlihat dari persentasenya yang kecil.
Tabel 5.14. Variance Decomposition Defisit APBN
Variance Decomposition of DDEFICIT:
Period S.E. GDPGROWTH INFLATION LOG_M2 DLOG_TAX DDEFICIT
1 1.148222 1.279745 0.446591 50.63142 0.133839 47.50841
2 1.585365 0.704057 0.283192 51.45542 0.161484 47.39584
3 1.925542 0.501177 0.224603 51.74977 0.171445 47.35301
4 2.149513 1.238372 2.942629 49.62630 0.313685 45.87901
5 2.265465 2.724392 3.240925 48.83110 0.466642 44.73694
6 2.375756 4.009301 3.472090 48.15485 0.592450 43.77131
7 2.628327 6.238247 3.173905 47.95946 1.059143 41.56925
8 2.761193 6.307139 2.889478 48.31496 1.230702 41.25772
9 2.887088 6.232267 2.659363 48.66135 1.368298 41.07872
10 2.954860 6.122562 2.625467 48.77548 1.545708 40.93078
5.4 Kesimpulan dan Saran
negara kita hasil uji Granger Causality terlihat bahwa ada
hubungan kausalitas antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini
sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa pada siklus bisnis yang
sedang ekspansi, meningkatnya aktivitas ekonomi akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan akibatnya inflasi meningkat. Hanya saja,
inflasi yang terlalu tinggi lama-kelamaan akan menurunkan daya beli
masyarakat sehingga permintaan agregat menurun begitu juga
pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab nya saran penulis yaitu bahwa
stabilitas inflasi sangat perlu di jaga untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi yang stabil. Peran kebijakan moneter dalam hal ini Bank
71
negara kita di perlukan dalam hal ini, sehingga terwujud tingkat inflasi
yang wajar dan stabil dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang
stabil dan berkelanjutan.
Variabel jumlah uang beredar (M2) dengan variabel
pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak memiliki hubungan yang saling
mempengaruhi. Hal ini mengindikasikan jalur uang sebagai salah satu
jalur dalam mekanisme transmisi moneter tidak efektif dalam
mewujudkan pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas inflasi, begitu juga
sebaliknya. Perlu di teliti lagi jalur mekanisme transmisi yang lain yang
lebih efektif dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
inflasi.
ada hubungan se arah antara kebijakan fiskal yaitu pajak
dan defisit APBN terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini
memperlihatkan bahwa kurun periode penelitian, kebijakan fiskal lebih
efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di bandingkan dengan
kebijakan moneter. Begitu juga dengan variabel inflasi, pajak dan
defisit terlihat sangat efektif mempengaruhi inflasi.
negara kita uji kointegrasi, terlihat bahwa dalam jangka
panjang kebijakan makro ekonomi meliputi kebijakan fiskal dan
moneter memiliki hubungan keseimbangan dan saling merespon
terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai indikator siklus bisnis. Hal ini
mengindikasikan bahwa kebijakan makro ekonomi efektif di terapkan
dalam pengelolaan siklus pertumbuhan ekonomi dengan target jangka
panjang.
negara kita hasil uji VECM, seluruh variabel kebijakan, yaitu
inflasi, jumlah uang beredar, pajak, dan defisit APBN memiliki
hubungan jangka pendek dengan pertumbuhan ekonomi, di mana
7
perubahan variabel-variabel tersebut akan di ikuti oleh perubahan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Hanya saja pengaruh
variabel kebijakan fiskal dan moneter terlihat tidak terlalu besar yaitu
di bawah 5 persen. Variabel kebijakan moneter dengan menambah
jumlah uang beredar dan variabel fiskal dengan defisit APBN lebih
efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di bandingkan
dengan variabel inflasi dan pajak.
Variabel jumlah uang beredar dan defisit anggaran memiliki
hubungan jangka pendek dengan inflasi dengan pengaruh rata-rata 4
persen, sedangkan pajak memiliki hubungan jangka panjang dengan
inflasi dengan pengaruh yang kurang signifikan di bawah 1 persen.
Variabel pertumbuhan ekonomi sendiri terlihat memiliki hubungan
jangka pendek dengan variabel inflasi. Pertumbuhan ekonomi terlihat
sangat efektif mempengaruhi inflasi terlihat dari persentase
pengaruhnya yang cukup besar di bawah 90 persen tiap periode.
Dari hasil uji empiris di atas, penulis menyarankan, kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter yang di koordinasikan dengan baik sangat
efektif digunakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
inflasi dalam jangka panjang dan jangka pendek. Kebijakan fiskal baik
dengan menambah defisit APBN ataupun dengan pajak, dan kebijakan
moneter dengan menambah jumlah uang beredar akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi dalam jangka
panjang.
Untuk kebijakan jangka pendek, sebab persentase pengaruhnya
yang relatif kecil terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi, maka di
perlukan kebijakan lain yang lebih efektif dalam upaya mendorong laju
pertumbuhan ekonomi dan stbilitas inflasi. Namun bagaimanapun,
73
negara kita hasil penelitian ini, kebijakan moneter ekspansif dengan
menambah jumlah uang beredar dan kebijakan fiskal ekspansif dengan
defisit anggaran lebih efektif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
dan inflasi dalam jangka pendek (kebijakan fiskal dan moneter yang
sama-sama ekpsansif).