Pertumbuhan ekonomi negara kita pada periode
2010-2014 rata-rata tumbuh sebesar 5,8%. Pada
tahun 2013 pendapatan perkapita negara kita
mencapai USD 3.500 yang menempatkan
negara kita berada pada lapis bawah negara-
negara berpenghasilan menengah. Untuk dapat
lepas dari middle income trap dan mencapai
target sebagai negara berpenghasilan tinggi
pada tahun 2030, perekonomian nasional
dituntut tumbuh rata-rata antara 6-8 persen per
tahun.
Sebagai salah satu upaya mencapai
pertumbuhan 6-8 persen per tahun, pemerintah
telah menetapkan program-program prioritas
infrastruktur untuk lima tahun kedepan melalui
Nawacita. Pembangunan infrastruktur juga
diperlukan untuk mendorong penanaman
modal yang lebih merata. Pada tahun 2015-
2019 Pemerintah telah berkomitmen untuk
membangun infrastruktur tenaga listrik sebesar
35 ribu MW. Selain itu, akan dibangun 24
pelabuhan baru, 60 pelabuhan penyeberangan,
15 bandara baru, 3.258 km jalur kereta, 2.650 km
jalan baru, dan 1.000 km jalan tol.
Untuk mencapai target itu , dalam lima
tahun kedepan kebutuhan investasi infrastruktur
negara kita adalah Rp 5.519,4 triliun. Dimana
dari jumah itu , pendanaan pemerintah
hanya berkisar 40,14% atau sekitar Rp 2.215,6
triliun selama 5 (lima) tahun ke depan. Sehingga
ada selisih pendanaan sekitar Rp 3.303,8
trilliun yang akan dikejar dengan partisipasi
swasta.
Dari seluruh proyek infrastruktur yang akan
dibangun selama lima tahun kedepan,
infrastruktur sektor ketenagalistrikan menjadi
perhatian utama pemerintah. Listrik merupakan
kebutuhan dasar yang dibutuhkan negara kita
untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi
rata-rata 6-8 persen selama 2015-2019. Tidak
hanya penting bagi pertumbuhan ekonomi, listrik
juga memberi pengaruh yang menonjol bagi
perbaikan Human Development Index (HDI).
Dalam Journal of the Asia Pasific Economy 2011,
seorang peneliti negara kita yang mengadakan
penelitian di Pulau Jawa menemukan bahwa
setiap kenaikan 1% dari rumah tangga yang
memakai listrik akan menaikkan HDI
sebesar 0,2% dalam jangka panjang. Kenaikan
HDI yang dihasilkan dari pembangunan
listrik paling tinggi dibandingkan dengan
pembangunan infrastruktur lainnya seperti 1%
kenaikan di infrastruktur air dan jalan hanya akan
menaikkan HDI sebesar masing-masing 0,03%
dan 0,01%.
Konsumsi listrik dalam kurun waktu tahun
2000-2012 mengalami pertumbuhan rata-rata
6,2% per tahun. Rendahnya pertumbuhan ini
menyebabkan rasio elektrifikasi nasional masih
tertinggal dibadingkan dengan negara-negara
ASEAN lainnya. Data dari Handbook of Energy &
Economic Statitics tahun 2013 dari Kementerian
ESDM menunjukkan bahwa rasio elektrifikasi
negara kita hanya sebesar 76,56% masih jauh bila
dibandingkan dengan Malaysia (99,4%), Vietnam
(97,6%), Thailand (87,7%), dan bahkan Filipina
(83,3%).
Dalam rangka mencapai target pembangunan
35 ribu GW selama lima tahun kedepan, PLN
melalui RUPTL 2015-2024 telah menetapkan
proyek-proyek infrastruktur ketenagalistrikan.
Selama tahun 2015-2019 akan dibangun 42GW
pembangkit listrik dimana 7 GW merupakan
bagian dari Fast Track Program II dan 35 GW
adalah tambahan program pemerintahan baru.
Dari jumlah itu PLN akan membangun
pembangkit sebesar 17,4 GW, transmisi
sepanjang 50 ribu kms dan gardu induk di 743
lokasi dengan kebutuhan capital expenditure
sebesar Rp545 trilliun. Sedangkan sisanya akan
ditawarkan kepada swasta untuk membangun
pembangkit sebesar 24,9 GW dan transmisi
sepanjang 360 kms dengan kebutuhan capital
expenditure sebesar Rp435 trilliun. Proyek-
proyek ketenagalistrikan ini masih akan
ditambahkan dengan proyek-proyek listrik
diluar rencana PLN. Baik yang diajukan oleh
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
Bappenas, pengelola kawasan industri maupun
pemerintah daerah seperti yang tertuang dalam
Lampiran III Infrastruktur Rencana Strategis
BKPM 2015-2019.
Untuk mencapai target pembangunan
infrastruktur ketenagalistrikan, tantangan
pemerintah khususnya BKPM adalah mendorong
partisipasi swasta dalam pembangunan
infrastruktur baik melalui skema Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS) maupun non KPS
(Business to Business). Untuk itulah diperlukan
perbaikan iklim investasi dan promosi yang tepat
dalam menarik calon penanam modal yang
serius.
Ketertarikan calon penanam modal untuk
berinvestasi di sektor ketenagalistrikan
terlihat dari banyaknya pertanyaan mengenai
ketenagalistrikan melalui Investor Relation
Unit di BKPM. Selama bulan Januari-Februari
2015 saja sudah ada 12 (dua belas) pertanyaan
dari calon investor yang masuk. Minat yang
tinggi juga terlihat dari izin Prinsip untuk sektor
ketenagalistrikan yang dikeluarkan BKPM.
Selama kurun waktu 2010-2014 tercatat ada
114 proyek PMA di sektor ketenagalistrikan
dengan nilai investasi sebesar US$ 22.592,50
juta. Namun selama kurun waktu 2011-2014
hanya ada realisasi sebanyak 3 proyek PMA
dengan nilai investasi sebesar US$ 215 juta. Agar
minat investasi di sektor listrik dapat terealisasi,
Direktorat Perencanaan Industri Agribisnis dan
Sumber Daya Alam Lainnya merasa perlu untuk
membuat panduan investasi sektor listrik di
negara kita . Panduan investasi ini akan memuat
peluang investasi di sektor listrik, regulasi-
regulasi terkait yang perlu diperhatikan oleh
penanam modal baik regulasi teknis maupun
non teknis seperti lahan, penjelasan mengenai
skema-skema investasi, serta penjelasan
mengenai perpajakan di negara kita .
Dengan adanya panduan investasi ini diharapkan
informasi mengenai investasi di sektor listrik
dapat lebih transparan dan terpercaya sehingga
dapat mendukung perbaikan iklim investasi.
Selain itu, buku panduan investasi ini juga dapat
dipakai sebagai media promosi untuk menarik
lebih banyak calon penanam modal.
Pembangunan Sektor
Ketenagalistrikan dalam Rencana
Pembangunan Nasional
Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
tahun 2015-2019, sektor ketenagalistrikan
menjadi bagian dari strategi pembangunan
nasional, yaitu menjadi salah satu dari tiga
dimensi pembangunan nasional:
1. Dimensi pembangunan manusia dan
masyarakat.
2. Dimensi pembangunan sektor unggulan
dengan prioritas
3. Dimensi pemerataan dan kewilayahan.
Sektor ketenagalistrikan masuk dalam dimensi
salah satu sektor unggulan dan prioritas nasional
selain pangan, energi, kemaritiman, kelautan,
pariwisata dan industri.
Pada tahun 2015 ini dengan jumlah penduduk
yang diperkirakan sudah mencapai 257,9 juta
jiwa, jumlah pelanggan listrik PLN baru mencapai
60,3 juta jiwa atau rasio elektrifikasi sebesar 84%.
Kebutuhan listrik saat ini sudah mencapai 219,1
TWH. Tahun 2024 jumlah penduduk negara kita
diperkirakan mencapai 284,8 juta jiwa dengan
jumlah pelanggan listrik mencapai 78,4 juta
jiwa, bila pertumbuhan ekonomi diperkirakan
sebesar 6,1 hingga 7,1% maka pada tahun 2024
tambahan kapasitas listrik nasional mencapai
70.400 MW dengan asumsi pertumbuhan
kebutuhan listrik sebesar 8,7% per tahun, rasio
elektrifikasi mencapai 99,4% maka kebutuhan
listrik nasional akan mencapai 464,2 TWH.
Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam
Journal of the Asia Pasific Economy 2011,sektor
ketenagalistrikan merupakan sektor yang
memberi pengaruh menonjol terhadap
peningkatan kualitas pembangunan manusia
suatu daerah. Setiap kenaikan 1% dari rumah
tangga yang memakai listrik akan
menaikkan HDI (Human Development Index)
sebesar 0,2% dalam jangka panjang. Kenaikan
HDI yang dihasilkan dari pembangunan
listrik paling tinggi dibandingkan dengan
pembangunan infrastruktur lainnya seperti 1%
kenaikan di infrastruktur air dan jalan hanya
akan menaikkan HDI sebesar masing-masing
0,03% dan 0,01%. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya sektor ketenagalistrikan bagi
peningkatan kualitas pembangunan manusia di
negara kita .
Pada tahun 2014, kapasitas pembangkit listrik
nasional baru mencapai 50,7 Giga Watt, selama
masa pembangunan lima tahun saat ini (2015-
2019) peningkatan kapasitas pembangkit
listrik nasional diharapkan mampu mencapai
peningkatan sebesar 35,9 Giga Watt atau
mencapai 86,6 Giga Watt pada akhir tahun
2019. Kondisi ini diharapkan mampu mendorong
rasio elektrifikasi nasional hingga mencapai
96,6 % pada akhir tahun 2019, atau mengalami
peningkatan sebesar 15,1% dari yang saat
ini sudah dicapai. Saat ini masih ada 18,5 %
penduduk negara kita belum menikmati layanan
energi listrik. Dari tingkat rasio elektrifikasi
itu , pelayanan dasar bagi penduduk
rentan dan kurang mampu (40% penduduk yang
berpendapatan terendah), peningkatan akses
penerangan ditargetkan mencapai 100% dari
yang saat ini dicapai (52,3%) atau meningkat
47,7% untuk kurun waktu 5 tahun kedepan.
STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL
NORMAL PEMBANGUNAN KABINET KERJA
Ÿ Membangun manusia dan masyarakat ;
Ÿ Upaya meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran, produktivitas tidak boleh menciptakan
ketimpangan yang semakin melebar. Perhatian khusus diberikan kepada peningkatan
produktivitas rakyat lapisan menengah bawah, tanpa menghalangi, menghambat,
mengecilkan dan
mengurakngi keleluasaan pelaku-pelaku besar untuk terus menjadi bagian pertumbuhan ;
Ÿ aktivitas pembangunan tidak boleh merusak, menurunkan daya dukung lingkungan dan
keseimbangan
ekosistem
Arah kebijakan umum pembangunan
nasional 2015-2019 (Perpres Nomor 2 tahun
2015 tentang RPJMN) saat ini terkait sektor
ketenagalistrikan adalah melakukan percepatan
pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan
dan pemerataan. Pembangunan infrastruktur
diarahkan untuk memperkuat konektivitas
nasional untuk mencapai keseimbangan
pembangunan, mempercepat penyediaan
infrastruktur kelistrikan, menjamin ketahanan
energi untuk mendukung ketahanan
nasional. Pelaksanaan pembangunan sektor
ketenagalistrikan ini dilaksanakan secara
terintegrasi dan dengan meningkatkan peran
kerjasama Pemerintah-Swasta.
Kapasitas Ketenagalistrikan negara kita
Kapasitas ketenagalistrikan di negara kita
ditinjau berdasarkan daya tersambung. Daya
tersambung, energi terjual, jumlah pelanggan
dan kapasitas terpasang merupakan gambaran
umum dari kemampuan negara kita dalam
menyediakan energi listrik saat ini. Daya
tersambung yang merupakan besaran daya
yang disepakati oleh PLN dan pelanggan
dalam perjanjian jual beli tenaga listrik,
daya tersambung ini yang menjadi dasar
penghitungan beban.
Daya tersambung listrik di negara kita totalnya
mencapai 100.030,53 MVA. Pembagian
berdasarkan kelompok pelanggan di negara kita ,
untuk rumah tangga mencapai 48,374,47 MVA
atau 48, 36% dari total daya tersambung, untuk
industri mencapai 23.541,96 MVA atau 23,53%,
untuk bisnis sebesar 21,22% atau mencapai
21.223,71 MVA. Sedangkan sisanya untuk
kebutuhan sosial, gedung kantor pemerintahan
dan penerangan jalan umum.
Daya tersambung untuk Pulau Jawa pada
tahun 2014 mencapai 69.874,20 MVA atau
mencapai 69,85% dari total nasional, dengan
tingkat pemanfaatan daya tersambung terbesar
pada kelompok pelanggan rumah tangga yang
mencapai 30.414,07 MVA atau mencapai 43,16%
dari total daya tersambung di Pulau Jawa.
Sedangkan jumlah energi yang terjual kepada
pelanggan adalah energi (kWh) yang terjual
kepada pelanggan TT (tegangan tinggi), TM
(tegangan menengah) dan TR (tegangan rendah)
sesuai dengan jumlah kWh yang dibuat rekening.
Jumlah energi listrik terjual pada tahun 2014
sebesar 198.601,78 GWh meningkat 5,90%
dibandingkan tahun sebelumnya. Kelompok
pelanggan Industri mengkonsumsi 65.908,68
GWh (33,19%), Rumah Tangga 84.086,46 GWh
(42,34%), Bisnis 36.282,42 GWh (18,27%),
dan Lainnya (sosial, gedung pemerintah dan
penerangan jalan umum) 12.324,21 GWh
(6,21%). Penjualan energi listrik untuk semua
jenis kelompok pelanggan yaitu industri,
rumah tangga, bisnis dan lainnya mengalami
peningkatan masing-masing sebesar 2,37%,
8,90%, 5,17% dan 7,63%. Sedangkan jumlah
pelanggan pada akhir tahun 2014 baru mencapai
57.493.234 pelanggan atau meningkat 6,48%
dari akhir tahun 2013. Harga jual listrik rata-rata
per kWh selama tahun 2014 sebesar Rp 939,74
lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar Rp
818,41.
Kapasitas terpasang dan unit pembangkit PLN
(holding dan anak perusahaan) pada akhir
Desember 2014 mencapai 39.257,53 MW dan
5.007 unit, dengan 31.062,19 MW (79,12%)
berada di Pulau Jawa. Total kapasitas terpasang
meningkat 14,77% dibandingkan dengan akhir
Desember 2013.
Persentase kapasitas terpasang per jenis
pembangkit sebagai berikut : PLTU 20.451,67
MW (52,10%), PLTGU 8.886,11 MW (22,64%),
PLTD 2.798,55 (7,13%), PLTA 3.526,89 MW
(8,98%), PLTG 3.012,10 MW (7,67%), PLTP 573
MW (1,46%), PLT Surya dan PLT Bayu 9,20 MW
(0,02%). Adapun total kapasitas terpasang
nasional termasuk sewa dan IPP adalah
51.620,58 MW.
Selama tahun 2014, jumlah energi listrik produksi
sendiri (termasuk sewa) sebesar 175.296,98
GWh meningkat 6,91% dibandingkan tahun
sebelumnya. Dari jumlah itu , 59,12%
diproduksi oleh PLN Holding, dan 40,88%
diproduksi Anak Perusahaan yaitu PT negara kita
Power, PT PJB, PT PLN Batam dan PT PLN
Tarakan. Persentase energi listrik produksi sendiri
(termasuk sewa) per jenis energi primer adalah:
gas alam 49.312,48 GWh (28,13%), batubara
84.076,12 GWh (47,96%), minyak 26.433,18
GWh (15,08%), tenaga air 11.163,62 GWh
(6,37%), dan 4.285,37 GWh (2,44%) berasal dari
panas bumi.
Dibandingkan tahun sebelumnya penggunaan
bahan bakar minyak untuk pembangkit listrik di
negara kita mengalami peningkatan, sedangkan
pangsa gas alam, batubara, panas bumi dan
air mengalami penurunan. Produksi total PLN
(termasuk pembelian dari luar PLN) pada tahun
2014 sebesar 228.554,91 GWh, mengalami
peningkatan sebesar 12.366,36 GWh atau 5,72%
dari tahun sebelumnya. Dari produksi total PLN
itu , energi listrik yang dibeli dari luar PLN
sebesar 53.257,93 GWh (23,30%). Pembelian
energi listrik itu meningkat 1.035,14 GWh
atau 1,98% dibandingkan tahun 2013. Dari total
energi listrik yang dibeli, pembelian terbesar
sebanyak 8.434 GWh (21,31%) berasal dari PT
Jawa Power, dan 7.435 GWh (18,79%) berasal
dari PT Paiton Energy Company.
Pada akhir tahun 2014, total panjang jaringan
transmisi mencapai 39.909,80 kms, yang
terdiri atas jaringan 500 kV sepanjang 5.053,00
kms, 275 kV sepanjang 1.374,30 kms, 150 kV
sepanjang 29.352,85 kms, 70 kV sepanjang
4.125,49 kms dan 25 & 30 kV sepanjang 4,16
kms. Total panjang jaringan distribusi sepanjang
925.311,61 kms, terdiri atas JTM sepanjang
339.558,24 kms dan JTR sepanjang 585.753,37
kms. Kapasitas terpasang trafo gardu induk
sebesar 86.472 MVA, meningkat 6,30% dari
tahun sebelumnya. Jumlah trafo gardu induk
sebanyak 1.429 unit, terdiri atas trafo sistem 500
kV sebanyak 52 unit, sistem 275 kV sebanyak 5
unit, sistem 150 kV sebanyak 1.179 unit, sistem
70 kV sebanyak 192 unit, dan sistem < 30 kV
sebanyak 1 unit. Kapasitas terpasang dan jumlah
trafo gardu distribusi menjadi 46.779 MVA dan
389.302 unit. Kapasitas terpasang dan jumlah
trafo mengalami peningkatan masing-masing
sebesar 8,32% dan 7,32%.
2.1.3
Kebutuhan listrik negara kita
Pertumbuhan perekonomian negara kita selama
10 tahun terakhir yang dinyatakan dalam
Produk Domestik Bruto (PDB) dengan harga
konstan tahun 2000 mengalami kenaikan rata-
rata 5,8% per tahun. Pertumbuhan 4 tahun
terakhir mencapai nilai tertinggi 6,5% seperti
diperlihatkan pada tabel di bawah ini:
Berdasarkan angka pertumbuhan ekonomi pada
RPJMN tahun 2015-2019 yang dikeluarkan oleh
BAPPENAS, ekonomi negara kita untuk tahun
2015-2019 diperkirakan akan tumbuh antara
6,1%-7,1%, dan untuk periode tahun 2020-2024
mengacu pada RUKN 2015-2034, yaitu rata-rata
7,0% per tahun.
Berdasarkan hal itu maka kebutuhan
tenaga listrik selanjutnya diproyeksikan pada
tahun 2024 akan menjadi 464 TWh, atau tumbuh
rata-rata dari tahun 2015-2024 sebesar 8,7% per
tahun. Sedangkan beban puncak non coincident
pada tahun 2024 akan menjadi 74.536 MW atau
tumbuh rata-rata 8,2% per tahun.
Jumlah pelanggan pada tahun 2014 sebesar
57,3 juta akan bertambah menjadi
78,4 juta pada tahun 2024 atau bertambah rata-
rata 2,2 juta per tahun.
Penambahan pelanggan itu akan
meningkatkan rasio elektrifikasi dari
84,4% pada 2014 menjadi 99,4% pada tahun
2024. Proyeksi jumlah penduduk,
pertumbuhan pelanggan dan rasio elektrifikasi
periode tahun 2015-2024.
Proyeksi kebutuhan listrik periode tahun 2015–
2024 ditunjukkan pada tabel 4 dan gambar 2.
Pada periode tahun 2015-2024 kebutuhan
listrik diperkirakan akan meningkat dari 219,1
TWh pada tahun 2015 menjadi 464,2TWh pada
tahun 2024, atau tumbuh rata-rata 8,7% per
tahun. Untuk wilayah Sumatera pada periode
yang sama, kebutuhan listrik akan meningkat
dari 31,2TWh pada tahun 2015 menjadi 82,8
TWh pada tahun 2024 atau tumbuh rata-rata
11,6% per tahun. Wilayah Jawa-Bali tumbuh dari
165,4 TWh pada tahun2015 menjadi 324,4 TWh
pada tahun 2024 atau tumbuh rata-rata 7,8%
pertahun. Wilayah negara kita Timur tumbuh dari
22,6 TWh menjadi 57,1 TWh atau tumbuh rata-
rata 11,1% per tahun.
Proyeksi penjualan tenaga listrik per kelompok
pelanggan memperlihatkan bahwa pada
sistem Jawa Bali, kelompok pelanggan industri
memiliki porsi yang cukup
besar, yaitu rata-rata 41,4% dari total penjualan.
Sedangkan di negara kita Timur dan Sumatera
rata-rata porsi pelanggan industri adalah
Tahun Pertumbuhan Ekonomi (%) Sales (TWh)
Beban Puncak (Non-coicident)
(MW)
Kebutuhan Investasi Sektor
Ketenagalistrikan
Kebijakan harga energi (BBM dan listrik)
dengan beban subsidi yang masih sangat besar,
mengakibatkan antara lain pengembangan
infrastruktur energi yang memanfaatkan gas
maupun energi baru terbarukan (EBT) menjadi
terkendala. Hal ini mendorong pemanfaatan
energi secara boros, dan tidak memberi
insentif bagi pengembangan energi non-BBM
untuk rumah tangga, transportasi, industri
maupun bisnis, serta tercermin dari tingkat
elastisitas energi yang masih cukup tinggi yaitu
sekitar 1,63 (Thailand 1,4 dan Singapura 1,1,
negara maju 0,1 hingga 0,6), tingkat intensitas
energi pada indeks 400 (Amerika Utara 300,
OECD sekitar 200, Thailand 350, dan Jepang
100). Sejak tahun 2010, subsidi BMM telah
meningkat hampir rata-rata sekitar 100 persen
setiap tahun, sedangkan subsidi listrik telah
meningkat rata-rata hampir 20 persen setiap
tahun.
Isu lainnya yang dihadapi adalah masalah
pengadaan lahan. Sifat yang khusus dari sektor
energi dan ketenagalistrikan menimbulkan
berbagai kendala yang belum diakomodasi
secara memadai oleh peraturan yang ada
saat ini. Misalnya untuk memenuhi kewajiban
penyediaan lahan di awal proses pengadaan /
tender pembangunan pembangkit listrik ternyata
tidak dapat dilakukan dalam kasus pembangunan
pembangkit Mulut Tambang dimana lokasi
pembangunan tidak dapat ditentukan di awal.
Selain itu, pengembangan panas bumi untuk
pembangkit listrik lebih banyak berada di area
hutan lindung maupun di kawasan konservasi.
Demikian pula halnya dengan pembangunan
jaringan transmisi baik gas bumi maupun
ketenagalistrikan yang membentang ratusan
kilometer yang membutuhkan waktu yang
sangat panjang untuk proses pengadaan
lahannya. Selanjutnya, penciptaan industri
yang lebih efisien menjadi salah satu kunci
pokok keberhasilan pembangunan energi
dan ketenagalistrikan. Industri energi dan
ketenagalistrikan masih ditandai oleh perilaku
monopoli yang dapat menghambat efisiensi
maupun efektifitas sistem industri secara
keseluruhan. Kebijakan akses terbuka untuk
pemakaian infrastruktur secara bersama (open
access) sebagai prasyarat bagi tumbuhnya
industri yang efisien masih belum berkembang.
Kesetaraan akses terhadap sistem transmisi
(jaringan gas bumi dan ketenagalistrikan)
diperlukan untuk mendorong kondisi yang lebih
kompetitif baik di sisi pemanfaatan maupun
penyediaannya.
Pembangunan infrastruktur dasar
ketenagalistrikan dalam RPJMN 2015-2019
diarahkan pada Penyediaan Listrik Untuk
Rakyat. Total rasio elektrifikasi pada tahun 2014
diperkirakan baru mencapai sekitar 81,51 persen
atau masih ada sekitar 18,5 persen penduduk
negara kita belum dapat menikmati layanan
ketenagalistrikan. Aksesibilitas sarana prasarana
ketenagalistrikan sangat timpang, beberapa
daerah yang masih memiliki tingkat rasio
elektrifikasi di bawah 60 persen pada tahun 2013
yaitu NTT dan Papua, dimana masing-masing
sebesar 57,58 persen, dan 35,55 persen. Tingkat
layanan ketenagalistrikan yang masih relatif
rendah juga dapat ditunjukkan dari besarnya
konsumsi tenaga listrik per kapita dimana pada
tahun 2012, tingkat konsumsi tenaga listrik
perkapita adalah 0.6 MWh/kapita dengan
produksi tenaga listriksebesar 173,51 ribu GWh.
Penyediaan listrik secara umum untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi, dalam kurun lima tahun
terakhir telah dilakukan penambahan kapasitas
pembangkit listrik lebih kurang sebesar 17
GW, sehingga kapasitas pembangkit listrik
nasional sampai akhir tahun 2014 diperkirakan
akan mencapai sekitar 50,7 GW. Hal ini telah
mampu menunjang pertumbuhan ekonomi
Regional
nasional. Namun, menghadapi kesinambungan
penyediaan listrik untuk kurun waktu beberapa
tahun mendatang, berdasarkan perkiraan
proyeksi neraca daya, diperkirakan akan
terjadi penurunan cadangan daya listrik yang
cukup menonjol , bahkan potensial terjadi
kembali krisis listrik. Hal ini dikarenakan dalam
beberapa tahun terakhir ini, pembangkit
listrik yang sedang berjalan pembangunannya
belum dapat diselesaikan dan masuk ke
dalam sistem ketenagalistrikan sesuai dengan
perencanaan,sehingga perlu segera dilakukan
percepatan pembangunan berbagai pembangkit
listrik.
Program pembangunan ketenagalistrikan
tahun 2015-2019 meliputi pengembangan
pembangkit, jaringan transmisi dan Gardu Induk
(GI) dan jaringan distribusi. Pengembangan
itu untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi
6,7%, pertumbuhan kebutuhan listrik 8,8% dan
rasio elektrifikasi 97% pada 2019. Program ini
merupakan bagian dari rencana pengembangan
ketenagalistrikan 10 tahun ke depan.
Pembangunan Pembangkit Listrik Tahun 2015-
2019
Tingkat kebutuhan elektifikasi yang masih
tinggi memerlukan tambahan pembangkit baru.
Pembangkit baru yang diperlukan untuk 5 tahun
ke depan sebesar 35 GW tidak termasuk yang
sedang dalam tahap konstruksi sebesar 6,6 GW,
seperti terlihat dalam tabel 6.
Berdasarkan rencana pengembangan listrik
35.GW, persiapan infrastruktur pembangkit listrik
sebesar 6,6 GW saat ini sudah dalam tahap
konstruksi, 17 GW telah committed dan 18,7 GW
saat ini masih dalam tahap rencana. Kondisil ini
ditampilkan pada tabel 7
Pembangunan kelistrikan di negara kita untuk
tahun 2015-2019 telah ditetapkan dalam
Kepmen 0074.K/21/MEM/2015 tentang rencana
usaha penyediaan tenaga listrik 2015-2024.
Target pengembangan pembangkit listrik
sebesar 35 GW akan dilaksanakan dengan
pembangunan 109 pembangkit listrik baru.
Pengembangan pembangkit listrik ini tidak
hanya dilaksanakan oleh PT PLN (Persero) saja,
tetapi juga akan melibatkan pihak swasta.
Keterlibatan pihak swasta dalam pengembangan
listrik nasional direncanakan mencapai 71%
dari total pembangunan pembangkit listrik yang
direncanakan di negara kita . Pengembangan listrik
swasta mencapai 25.904 MW dari rencana 36,6
MW, sedangkan sisanya sebesar 29% ( 10.681
MW) dilaksanakan oleh pihak PT PLN (Persero).
Dari 109 pembangkit listrik yang akan
dibangun di seluruh negara kita , ada 24
rencana pembangunan pembangkit listrik
yang akan dilaksanakan di regional Jawa-
Bali, 42 pembangkit listrik akan dibangun di
regional Sumatera, 37 pembangkit listrik yang
akan dibangun di negara kita Timur (termasuk
Kalimantan) dan sisanya sebanyak 6 pembangkit
listrik yang bersifat mobile yang dapat dipindah-
pindahkan akan dikembangkan juga di
negara kita .
Saat ini dari 109 pembangkit listrik yang
akan dibangun itu , ada 35 proyek yang
ditangani PT PLN (Persero) dan delapan (8)
proyek pembangkit listrik pengadaannya sudah
berlangsung. Pengadaan pembangkit listrik milik
PLN yang akan dilakukan pelelangan sebanyak
27 proyek. Sedangkan pengembangan listrik
swasta yang saat ini proyek pengadaannya sudah
berlangsung sebanyak 21 proyek, 9 proyek
pengadaannya merupakan penunjukan langsung,
1 proyek melalui proses pemilihan langsung,
dan sisanya sebanyak 11 proyek pengadaannya
sudah dilakukan dengan mekanisme pelelangan.
Pengembangan listrik swasta yang
pengadaannya akan dibuka, 16 proyek akan
dilakukan penunjukkan langsung, dan 35 proyek
yang pengadaannya akan dibangun melalui
mekanisme pelelangan.
Rencana pengembangan pembangkit listrik
nasional tahun 2015-2019, ada 45 proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau
mencapai 41% dari total proyek pembangkit
listrik yang akan dikembangkan, 15 proyek
atau 14% berupa Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA). 10 proyek atau 9% merupakan
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU),
9 proyek atau 8% merupakan Pembangkit Listrik
Tenaga Gas atau Mesin Gas (PLTG/MG), 15
proyek atau 15% merupakan Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap atau
Mesin Gas Uap. Ada 10 proyek atau 9% yang
merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin
Gas (PLTMG), 4 proyek berupa Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), 1 proyek yang
merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
(PLTD), 1 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas
(PLTG), 2 proyek Pembangkit Listrik Tenaga
Bayu/Angin (PLTB) dan 1 proyek Pembangkit
Listrik Tenaga Gas/Uap.
Profil dan Kebutuhan Investasi Sektor
Kelistrikan Regional Wilayah Sumatera
1. Sistem Pembangkitan
Kapasitas terpasang pembangkit milik PLN
dan IPP yang tersebar di Sumatera sampai
dengan bulan September 2014 adalah 6.116
MW dengan perincian ditunjukkan pada
tabel 8.
Kapasitas pembangkit itu sudah
termasuk IPP dengan kapasitas 818 MW.
Walaupun kapasitas terpasang pembangkit
adalah 6.116 MW, kemampuan netto dari
pembangkit itu lebih rendah dari angka
itu karena banyak PLTD yang telah
berusia lebih dari 10 tahun dan mengalami
derating.
Beban puncak sistem kelistrikan wilayah
Sumatera sampai dengan bulan September
2014 mencapai 5.017 MW. Jika beban
puncak dibandingkan dengan daya mampu
pembangkit pada saat ini dan jika
menerapkan kriteria cadangan 35%, maka
diperkirakan terjadi kekurangan sekitar 2.000
MW. Untuk menanggulangi kekurangan
pembangkit itu , hampir seluruh unit
usaha PLN di Wilayah Sumatera telah
melakukan sewa pembangkit.
2. Sistem Transmisi
Sistem penyaluran di Wilayah Sumatera
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
menunjukkan perkembangan yang cukup
berarti terutama di sistem Sumatera.
Pada tabel dibawah ini diperlihatkan
perkembangan kapasitas trafo pada
gardu induk di Luar Jawa-Bali selama 5
tahun terakhir. Kapasitas terpasang gardu
induk pada tahun 2009 sekitar 5.680 MVA
meningkat menjadi 9.396 MVA pada bulan
September 2014. Hal ini menunjukkan
pembangunan gardu induk meningkat rata-
rata 10,7% per tahun dalam periode tahun
2009-bulan September 2014.
Untuk pengembangan saluran transmisi
dapat dilihat pada tabel 9, yang
menunjukkan bahwa pembangunan sarana
transmisi meningkat rata-rata 4% pertahun
dalam kurun waktu tahun 2009-2014, dimana
panjang saluran transmisi pada tahun 2009
sekitar 9.769 kms meningkat menjadi 11.299
kms pada bulan September 2014.
3. Kondisi Sistem Distribusi
Berikut ini diberikan perbaikan susut jaringan
dan keandalan sistem distribusi pada
lima tahun terakhir. Kondisi susut jaringan
distribusi di wilayah Sumatera, realisasi
susut distribusi 12,43% diatas target RKAP
8,82%. Dari perhitungan memakai
formulasi Peraturan Dirjen Ketenagalistrikan
susut teknis Sumatera adalah 11,18%. Susut
teknis ini jauh diatas target RKAP. Mengingat
workplan teknis untuk mengatasi susut teknis
itu baru dapat dikerjakan fisiknya pada
triwulan IV tahun 2014, maka hasil workplan
itu baru bisa berkontribusi pada tahun
2015.
4. Penanggulangan Jangka Menengah Tahun
2015-2019
Berdasarkan gambaran diatas maka
upaya-upaya mendesak yang hendaknya
dilaksanakan/diselesaikan pada wilayah
Sumatera adalah sebagai berikut:
A. Pembangkitan
Menyelesaikan pembangunan pembangkit
tenaga listrik dengan total kapasitas 9.915
MW dalam kurun waktu tahun 2015-2019,
yang terdiri dari PLTP sebesar 790 MW, PLTU
Batubara 5.475 MW, PLTA/M 741 MW, PLTG/
MG 1.618 MW dan PLTGU 1.280 MW. Secara
khusus berikut ini disebutkan proyek-proyek
pembangkit peaker dan Load Follower untuk
memenuhi kebutuhan sistem kelistrikan
Sumatera :
• PLTMG Arun 200 MW dan PLTGU/MGU
Sumbagut-1 250 MW yang keduanya
direncanakan beroperasi dengan gas
yang akan dipasok dari regasifikasi LNG di
Arun.
• PLTMG Sei Gelam 104 MW yang akan
dipasok dari gas CNG Sei Gelam sebesar
4,5 bbtud.
• PLTG/MG Riau 200 MW yang
direncanakan akan dipasok dari gas Jambi
Merang sebesar 10 bbtud dan disimpan
sebagai CNG.
• PLTG/MG Jambi 100 MW yang
diharapkan dapat memperoleh gas dari
Jambi Merang dan disimpan sebagai
CNG.
• PLTG/MG Lampung 200 MW yang
diharapkan akan mendapatkan gas dari
beberapa alternatif sumber gas, juga
perlu disimpan sebagai CNG.
• PLTGU/MGU Sumbagut-3 dan
Sumbagut-4 masing-masing dengan
kapasitas 250 MW akan memakai
sumber gas Arun.
• PLTGU IPP Riau 250 MW.
Sistem Kelistrikan Provinsi
• Mempercepat pembangunan proyek-
proyek pembangkit lainnya
Untuk mengurangi pembangkit sewa dalam
mengatasi kondisi kekurangan pasokan daya,
perlu dibangun MPP (Barge Mounted atau
Truck Mounted) dengan total kapasitas 625 MW
dengan rincian seperti dalam tabel 11.
B. Transmisi dan Gardu Induk
• Pembangunan Saluran UdaraTegangan
Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV Sumatera
dari New Aur Duri – Peranap – Perawang
sebagai Back Bone koridor timur
Sumatera.
• Percepatan konstruksi transmisi 275 kV
PLTU Pangkalan Susu - Binjai dan IBT
275/150 kV di Binjai yang harus dapat
Tabel 11
Rencana Pengembangan MPP di Sumatera
beroperasi seiring dengan beroperasinya
PLTU Pangkalan Susu pada tahun 2014.
• Percepatan pembangunan gardu
induk dan IBT 275/150 kV pada sistem
transmisi 275 kV di jalur barat Sumatera
(Lahat - Lubuk Linggau - Bangko - Muara
Bungo - Kiliranjao) untuk meningkatkan
kemampuan transfer daya dari Sistem
Sumbagsel ke sistem Sumbagteng.
• Percepatan pembangunan transmisi
275 kV jalur timur Sumatera dari New
Aur Duri - Betung - Palembang, untuk
dapat mengevakuasi power dari PLTU IPP
Sumsel-5, Sumsel-7 dan Sumsel-1.
• Pembangunan transmisi 275 kV Muara
Enim - double pi incomer (Lahat -
Gumawang) dan Gumawang - Lampung
untuk mengevakuasi power dari PLTU IPP
Sumsel-6.
• Percepatan pembangunan transmisi 275
kV Arun – Langsa – Pangkalan Susu untuk
dapat mengevakuasi power dari PLTMG
Arun (200 MW) dan PLTGU Sumbagut-2
(250 MW).
• Percepatan pembangunan transmisi 275
kV Kiliranjao - Payakumbuh - Padang
Sidempuan dan Payakumbuh - Perawang
untuk meningkatkan kemampuan transfer
daya ke provinsi Sumbar dan Riau.
• Percepatan penyelesaian konstruksi
transmisi 275 kV Simangkok - Galang dan
IBT 275/150 kV di Galang untuk evakuasi
daya pembangkit besar berbahan bakar
murah menuju pusat beban di Medan.
• Percepatan pembangunan T/L 150 kV
Tenayan - Teluk Lembu, untuk dapat
mengevakuasi power dari PLTU Tenayan
yang diperkirakan dapat beroperasi pada
akhir tahun 2015.
• Percepatan pembangunan GI 150 kV
Arun dan transmisi terkait, untuk dapat
mengevakuasi power dari PLTMG Arun
yang diperkirakan dapat beroperasi pada
bulan Oktober 2015.
• Percepatan interkoneksi 150 kV Batam –
Bintan melalui kabel laut untuk memenuhi
kebutuhan sistem Bintan dan menurunkan
biaya produksi di pulau Bintan.
• Percepatan interkoneksi 150 kV Sumatera
– Bangka melalui kabel laut. Tujuan
interkoneksi adalah untuk memenuhi
kebutuhan listrik di pulau Bangka karena
ketidakpastian penyelesaian proyek
PLTU disana, menurunkan biaya produksi
dan meningkatkan keandalam sistem
kelistrikan di pulau Bangka. Interkoneksi
dengan kabel laut ini diharapkan dapat
beroperasi pada tahun 2017.
• Percepatan proyek transmisi 275 kV
interkoneksi Kalbar – Serawak agar dapat
beroperasi pada akhir tahun 2015 untuk
memenuhi kebutuhan sistem Kalbar,
mengurangi ketidakpastian kecukupan
daya, menurunkan biaya produksi dan
meningkatkan keandalan.
5. Penambahan Kapasitas Pembangkit
Sistem PLN di wilayah Sumatera terdiri dari 1
sistem interkoneksi, yaitu: Sistem Sumatera.
Di luar sistem interkoneksi itu pada
saat ini ada 2 sistem isolated yang
cukup besar dengan beban puncak di atas
50 MW, yaitu Bangka dan Tanjung Pinang
serta ada beberapa sistem isolated
dengan beban puncak di atas 10 MW, yaitu
Takengon, Sungai Penuh, Rengat, Tanjung
Balai Karimun dan Belitung.
Penambahan Pembangkit Wilayah Sumatera
pada tabel dibawah ini diperlihatkan jumlah
kapasitas dan jenis pembangkit yang
dibutuhkan dalam kurun waktu Tahun 2015-
2024 untuk wilayah Sumatera.
penambahan kapasitas rata-rata 1,7
GW per tahun yang terdiri dari sistem
interkoneksi Sumatera 16,2 GW dan luar
sistem interkoneksi sumatera 1,5 GW.
• PLTU batubara akan mendominasi jenis
pembangkit thermal yang akan dibangun,
yaitu mencapai 8,1 GW atau 45,5%,
disusul oleh PLTG/MG dengan kapasitas
1,8 GW atau 10,3% dan PLTGU 1,3 GW
atau 7,2%. Sementara untuk energi
terbarukan khususnya panas bumi sebesar
2,6 GW atau 14,6%, PLTA/PLTM/pumped
storage sebesar 3,9 GW atau 22,3%, dan
pembangkit lainnya 0,01 GW atau 0,1%.
6. Pengembangan Sistem Penyaluran
Pengembangan transmisi di Sumatera
akan membentuk transmisi back-bone 500
kV yang menyatukan sistem interkoneksi
Sumatera pada koridor timur. Pusat-pusat
pembangkit skala besar dan pusat-pusat
beban yang besar di Sumatera akan
tersambung ke sistem transmmisi 500 kV ini.
Transmisi ini juga akan mentransfer tenaga
listrik dari pembangkit listrik di daerah
yang kaya sumber energi primer murah
(Sumbagsel dan Riau) ke daerah pusat beban
yang kurang memiliki sumber energi primer
murah (Sumbagut). Selain itu transmisi 500
kV juga dikembangkan di Sumatera Selatan
sebagai feeder pemasok listrik dari PLTU
mulut tambang ke stasiun konverter transmisi
HVDC yang akan menghubungkan pulau
Sumatera dan pulau Jawa. Pengembangan
transmisi sistem Sumatera sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 4.
Rencana pengembangan sistem transmisi
dalam RUPTL 2015-2024 akan banyak
mengubah topologi jaringan dengan
terwujudnya sistem interkoneksi 275 kV
di koridor barat dan 500 kV di koridor
timur Sumatera. Pengembangan juga
banyak dilakukan untuk memenuhi
pertumbuhan demand dalam
bentuk penambahan kapasitas trafo.
Pengembangan untuk meningkatkan
keandalan dan debottlenecking yang juga
ada di beberapa sistem, antara lain
rencana pembangunan sirkit kedua dan
reconductoring beberapa ruas transmisi di
sistem Sumbagut dan Sumbagsel. Rencana
interkoneksi dengan tegangan 275 kV di
Sumatera diprogramkan untuk terlaksana
seluruhnya pada tahun 2017. Selain itu
ada pembangunan beberapa gardu
induk dan transmisi 150 kV untuk mengambil
alih beban dari pembangkit diesel ke sistem
interkoneksi (dedieselisasi).
Rencana pengembangan sistem penyaluran
Wilayah Sumatera hingga tahun 2024
diproyeksikan sebesar 49.016 MVA untuk
pengembangan gardu induk (500 kV, 275
kV, 150 kV dan 70 kV) serta 23.613 kms
pengembangan transmisi dengan perincian
pada tabel 13 dan tabel 14
Beberapa proyek transmisi strategis di Sumatera
antara lain:
• Pembangunan transmisi baru 150 dan
275 kV terkait dengan proyek pembangkit
PLTU percepatan, PLTA, PLTU IPP dan
PLTP IPP.
• Pengembangan transmisi 150 kV yang
ada di lokasi tersebar di sistem Sumatera
dalam rangka memenuhi kriteria
keandalan (N-1) dan untuk mengatasi
bottleneck penyaluran, perbaikan
tegangan pelayanan, dediselisasi dan
fleksibilitas operasi.
• Pembangunan transmisi 275 kV mulai
dari Lahat - Lubuk Linggau – Bangko
• Muara Bungo – Kiliranjau – Payakumbuh –
Padangsidempuan – Sarulla – Simangkok
– Galang – Binjai – Pangkalan Susu
sebagai tulang punggung interkoneksi
Sumatera koridor barat yang akan
mengevakuasi daya dari Sumatera
bagian selatan yang kaya akan sumber
energi primer ke pusat beban terbesar
di Sumatera bagian utara. Interkoneksi
275 kV ini akan dapat beroperasi secara
bertahap mulai tahun 2015, tahun 2016
dan tahun 2017.
• Proyek transmisi 500 kV mulai dari
Muara Enim – New Aur Duri – Peranap
– Perawang – Rantau Parapat – Kuala
Tanjung – Galang, sebagai tulang
punggung interkoneksi Sumatera koridor
timur yang akan mengevakuasi daya
dari Sumatera bagian selatan yang kaya
akan sumber energi primer ke pusat
beban terbesar di Sumatera bagian
utara. Interkoneksi 500 kV ini akan dapat
beroperasi secara bertahap mulai tahun
2017 sampai dengan tahun 2022.
• Pembangunan transmisi dan kabel laut
±500 kV HVDC Sumatera – Peninsular
Malaysia yang bertujuan untuk
mengoptimalkan operasi kedua sistem
dengan memanfaatkan perbedaan waktu
terjadinya beban puncak pada kedua
sistem itu .
• Interkoneksi Batam – Bintan dengan
kabel laut 150 kV dimaksudkan untuk
memenuhi sebagian kebutuhan
tenaga listrik pulau Bintan dengan
tenaga listrik dari Batam 53 dengan
mempertimbangkan rencana
pengembangan pembangkit di Batam
yang akan mencukupi kebutuhan
Batam dan sebagian Bintan 54. Adanya
interkoneksi 150 kV itu tidak ada
hubungannya dengan perluasan wilayah
usaha PLN Batam.
• Interkoneksi 150 kV Sumatera – Bangka
dengan kapasitas 200 MW pada kondisi
N-1 dengan perkiraan COD tahun 2017.
Dengan adanya interkoneksi itu ,
maka di Bangka dapat dibangun
PLTU dengan kelas yang lebih besar
dibandingkan jika seandainya tidak ada
interkoneksi, yaitu kelas 100 MW.
Dalam kurun waktu tahun 2015-2024,
panjang transmisi yang akan dibangun
mencapai 23.613 kms dan trafo dengan
kapasitas total mencapai 49.016 MVA.
7. Pengembangan Sistem Distribusi
Rencana pengembangan sistem distribusi
untuk Regional Sumatera dapat dilihat
pada tabel di bawah ini. Kebutuhan fisik
sistem distribusi Sumatera hingga tahun
2024 adalah sebesar 40 ribu kms jaringan
tegangan menengah 41 ribu kms jaringan
tegangan rendah 5,3 ribu MVA tambahan
kebutuhan trafo distribusi. Kebutuhan fisik
itu diperlukan untuk mempertahankan
keandalan serta untuk menampung
tambahan sekitar 4,8 juta pelanggan.
8. Proyeksi Kebutuhan Investasi
Proyeksi kebutuhan investasi pembangkit, sistem
penyaluran dan distribusi dalam kurun waktu
tahun 2015-2024 untuk Wilayah Sumatera adalah
sebesar US$ 17,8 miliar atau rata-rata US$ 1,78
miliar per tahun, tidak termasuk proyek IPP,
dengan disbursement tahunan seperti pada
tabel 16 dan gambar 5.
Kebutuhan investasi Wilayah Sumatera untuk
proyek pembangkitan sampai tahun 2024 adalah
sebesar US$ 8,2 miliar, proyek penyaluran
sebesar US$ 6,6 miliar dan distribusi sebesar US$
3,0 miliar. Disbursement proyek pembangkitan
mencapai puncaknya pada tahun 2018 yang
sebagian besar merupakan proyek reguler
dan percepatan tahap 2 (FTP2). Sedangkan
disbursement proyek pembangkitan pada tahun
berikutnya terus menurun karena proyek-proyek
IPP akan semakin mendominasi sistem Sumatera.
Proyek transmisi Sumatera didominasi oleh
pengembangan transmisi 275 kV dan 500 kV
untuk interkoneksi seluruh Sumatera, di samping
pengembangan transmisi 150 kV.
Profil dan Kebutuhan Investasi Sektor
Kelistrikan Regional Wilayah Jawa -
Bali
1. Sistem Pembangkitan
Pembangkit baru yang masuk ke sistem
Jawa-Bali pada tahun 2014 adalah PLTU
Pelabuhan Ratu unit 2-3 (2x350 MW), PLTU
Tanjung Awar-Awar unit 1(1x350 MW)
dan PLTP Patuha (55 MW). Sedangkan
pembangkit yang akan beroperasi tahun
2015 adalah PLTU Adipala (660 MW), PLTMG
Peaker Pesanggaran (200 MW), PLTU
Celukan Bawang unit 1-2-3 (380 MW), PLTU
Cilacap Ekspansi (614 MW) dan PLTP Karaha
Bodas (30 MW) dengan total penambahan
kapasitas pembangkit tahun 2014-2015
sebesar 2.990 MW. Penambahan pasokan
daya pembangkit itu membantu
meningkatkan kemampuan pasokan sistem
Jawa Bali menjadi total sebesar 35.300
MW pada tahun 2015. Rincian kapasitas
pembangkit sistem Jawa-Bali berdasarkan
jenis pembangkit dapat dilihat pada tabel
17.
2. Sistem Transmisi
Perkembangan kapasitas trafo gardu induk
dan sarana penyaluran sistem Jawa Bali
untuk 5 tahun terakhir ditunjukkan pada
tabel 18 dan tabel 19.
Tabel 19
Perkembangan Saluran Transmisi Sistem Jawa Bali
3. Penanggulangan Jangka Menengah Tahun
2015-2019
Untuk menjaga reserve margin tahun
2015-2017 yang di bawah 30% tidak
makin menipis, diperlukan percepatan
pembangunan pembangkit sebagai berikut:
• Mempercepat penyelesaian
pembangunan PLTU Adipala (660 MW),
PLTMG Peaker Pesanggaran (200 MW),
PLTU Celukan Bawang (380 MW), PLTU
Cilacap ekspansi (614 MW), PLTU Tanjung
Awar-Awar unit-2 (350 MW) dan PLTU
Banten (625 MW) yang diharapkan dapat
beroperasi tahun 2015/2016.
• Mempercepat pembangunan PLTGU
Muara Tawar Add-on (650 MW), PLTGU
Grati Add-on (150 MW), PLTGU Peaker
Grati (450 MW), PLTGU Peaker Muara
Karang (500 MW), PLTGU/MG Peaker
Jawa-Bali 1 (400 MW) indikasi lokasi
Sunyaragi, PLTGU/MG Peaker Jawa-
Bali 2 (500 MW) indikasi lokasi Perak,
PLTGU Peaker Jawa-Bali 3 (500 MW)
indikasi lokasi di Provinsi Banten dan
PLTGU/MG Peaker Jawa-Bali 4 (450 MW)
indikasi lokasi di Provinsi Jawa Barat,
yang diharapkan dapat beroperasi tahun
2016/2017.
Untuk menjaga reserve margin sesuai
kriteria pada tahun 2018-2019, diperlukan
percepatan pembangunan pembangkit
sebagai berikut:
• Mempercepat pembangunan PLTGU
Load Follower Jawa-1 (2x800 MW) lokasi
di Provinsi Jawa Barat dengan koneksi ke
GITET Muara Tawar atau GITET Cibatu
Baru, PLTGU Load Follower Jawa-2 (1x800
MW) lokasi Priok, PLTGU Load Follower
Jawa-3 (1x800 MW) lokasi Gresik, PLTU
Lontar ekspansi (315 MW), PLTU Jawa-
8 (1.000 MW) indikasi lokasi di Provinsi
Jawa Tengah dan PLTU Jawa-9 (600 MW)
indikasi lokasi di Provinsi Banten, yang
diharapkan dapat beroperasi tahun 2018.
• Mempercepat pembangunan PLTU
Indramayu-4 (1.000 MW), PLTA Upper
Cisokan (1.040 MW), PLTU Jawa Tengah
(2x950 MW), PLTA Jatigede (110 MW),
PLTU Jawa-1 (1.000 MW), PLTU Jawa-4
(2x1.000 MW), PLTU Jawa-5 (2x1.000
MW), PLTU Jawa-7 (2x1.000 MW), PLTU
Jawa-10 (660 MW), PLTU Sumsel-8 (2x600
MW) dan beberapa PLTP (220 MW) yang
diharapkan dapat beroperasi tahun 2019.
Transmisi dan Gardu Induk
Diperlukan perkuatan SUTET dan GITET 500
kV untuk evakuasi daya dari pembangkit –
pembangkit skala besar yang terhubung ke
sistem 500 kV sebagai berikut:
• Mempercepat penyelesaian
pembangunan SUTET 500 kV dari
PLTU Cilacap – PLTU Adipala – Rawalo
/ Kesugihan, untuk evakuasi daya dari
PLTU Cilacap ekspansi dan PLTU Adipala,
diharapkan dapat beroperasi tahun 2015.
• Mempercepat pembangunan looping
SUTET 500 kV Kembangan – Duri
Kosambi – Muara Karang – Priok – Muara
Tawar dan GITET 500 kV terkaitnya.
SUTET ini diperlukan untuk evakuasi
daya dari PLTGU Jawa-1, PLTGU Jawa-
2 dan PLTU Jawa-12, diharapkan dapat
beroperasi tahun 2018.
• Mempercepat pelaksanaan
rekonduktoring SUTET 500 kV Suralaya
Baru – Bojanegara- Balaraja, dan
pembangunan SUTET 500 kV Balaraja –
Kembangan untuk evakuasi daya PLTU
Jawa-5, PLTU Jawa-7 dan PLTU Jawa-9,
diharapkan dapat beroperasi tahun 2019.
• Mempercepat pembangunan SUTET
500 KV Tanjung Jati B – Tx Ungaran,
sirkit ke-2 Tx Ungaran – Pedan, sirkit 2-3
(rekonfigurasi sirkit 1 menjadi 2 sirkit)
ruas Mandirancan – Bandung Selatan
dan Bandung Selatan – incomer (Tasik –
Depok) untuk evakuasi daya PLTU Jawa-
1, PLTU Jawa Tengah dan PLTU Jawa-4,
diharapkan dapat beroperasi tahun 2019.
• Mempercepat pembangunan SUTET 500
kV PLTU Indramayu – Delta Mas dan
GITET baru Delta Mas, untuk evakuasi
daya dari PLTU Indramayu-4, diharapkan
dapat beroperasi tahun 2019.
• Mempercepat pembangunan GITET/
IBT baru yaitu: GITET Lengkong, GITET
Cawang Baru, GITET Cibatu Baru,
GITET Tambun, GITET Delta Mas, GITET
Cikalong, GITET Ampel, GITET Surabaya
Selatan termasuk SUTET Grati – Surabaya
Selatan, GITET Pemalang dan beberapa
tambahan IBT di GITET eksisting.
• Rekonfigurasi SUTET Muara Tawar -
cibinong – Bekasi – Cawang.
Penguatan pasokan lainnya terdiri dari
beberapa program, yaitu:
• Mempercepat pembangunan transmisi
interkoneksi HVDC 500 kV Sumatera-Jawa
untuk menyalurkan daya dari PLTU mulut
tambang di Sumsel sebesar 3.000 MW
pada tahun 2019.
• Mempercepat pembangunan Jawa Bali
Crossing 500 kV dari PLTU Paiton ke New
Antosari (tahun 2018) dan GITET Antosari,
untuk memperkuat pasokan ke sistem
Bali.
• Mempercepat pembangunan sirkit 3-4
SUTET 500 kV Tx Ungaran – Pemalang –
Mandirancan – Indramayu – Delta Mas.
4. Penambahan Kapasitas Pembangkit
Penambahan Pembangkit Sistem Jawa Bali
pada tabel 20 diperlihatkan jumlah kapasitas
dan jenis pembangkit yang dibutuhkan pada
tahun 2015-2024 untuk wilayah Jawa-Bali.
Tabel 20 menunjukkan hal-hal sebagai
berikut:
• Tambahan kapasitas pembangkit
tahun 2015-2024 adalah 38,5 GW atau
penambahan kapasitas rata-rata 3,8 GW
per tahun, termasuk PLTM skala kecil
tersebar sebesar 333 MW dan PLT Bayu
50 MW.
• PLTU batubara akan mendominasi jenis
pembangkit yang akan dibangun, yaitu
mencapai 27,0 GW atau 70,1%, disusul
oleh PLTGU gas dengan kapasitas 6.8 GW
atau 17,7% dan PLTG/MG 0,2 GW atau
0,6%.
Sementara untuk energi terbarukan
khususnya panas bumi sebesar 1,9 GW atau
4,9%, PLTA/PLTM/pumped storage sebesar
2,6 GW atau 6,7%, dan pembangkit lainnya
0,05 GW atau 0,1%.
5. Pengembangan Sistem Penyaluran
Pengembangan transmisi 500 kV di Jawa
pada umumnya dimaksudkan untuk
mengevakuasi daya dari pembangkit-
pembangkit baru maupun ekspansi skala
besar dan untuk menjaga kriteria security
N-1, baik statik maupun dinamik.Sedangkan
pengembangan transmisi 150 dimaksudkan
untuk menjaga kriteria security N-1 dan
sebagai transmisi yang terkait dengan gardu
induk 150 kV baru. Pengembangan transmisi
Sistem Jawa-Bali sebagimana ditunjukkan
pada Gambar 6.
Memperhatikan pembangunan SUTET dan
SUTT yang sering terlambat karena masalah
perizinan, ROW dan sosial, serta kebutuhan
tambahan daya yang mendesak, maka
PLN perlu melakukan usaha meningkatkan
kapasitas transmisi dalam waktu dekat.
Pembangunan SUTET dengan memakai
rute baru akan memerlukan waktu yang lama
sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah
rekonduktoring beberapa ruas transmisi
500 kV/150 kV dan mulai akan membangun
under ground cable 500 kV disekitar Jakarta.
Pada tabel 21 dan tabel 22 diperlihatkan
kebutuhan fisik fasilitas penyaluran dan
gardu induk di sistem Jawa-Bali.
Dari Tabel 21 dan 22 terlihat bahwa
sampai dengan tahun 2024 akan dibangun
transmisi 500 kV AC sepanjang 2.806 kms
dan transmisi 500 kV DC sepanjang 300
kms. Transmisi itu dimaksudkan untuk
mengevakuasi daya terkait dengan program
percepatan pembangkit PLTU Suralaya
Baru, PLTU Adipala, PLTU IPP Tanjung Jati
Unit 3 dan 4, PLTU IPP Jawa Tengah, PLTU
Indramayu Unit 4 dan 5, Jawa-Bali Crossing
dari Paiton hingga ke pusat beban di Bali,
PLTA pumped storage Upper Cisokan dan
Matenggeng, dan beberapa PLTU skala
besar baru lainnya.
Gambar 2.6. Rencana Pengembangan Transmisi Sistem Jawa-Bali Tahun 2015-2024Gambar 6
Ruas SUTET 500 kV yang harus segera
direkonduktoring terkait dengan evakuasi
daya PLTU Jawa-7 adalah SUTET Suralaya
Baru-Bojanegara-Balaraja (tahun 2019),
SUTET Suralaya Lama-Balaraja-Gandul (tahun
2020).
Selain itu ruas SUTET 500 kV yang harus
segera dilaksanakan adalah sirkit 2 dari
Ungaran-Pedan, sirkit ke 2-3 Mandirancan-
Bandung Selatan (rekayasa tower 1 sirkit
menjadi 2 sirkit) dan Bandung Selatan –
Incomer (Tasik – Depok) untuk evakuasi daya
dari PLTU Jawa-1, PLTU Jawa-4 dan PLTU
Jawa Tengah.
Rencana pembangunan SUTET 500 kV
baru adalah ruas SUTET dari Tanjung Jati
B-Pemalang-Indramayu-Delta Mas, ruas
SUTET Balaraja-Kembangan-Durikosambi
dan Durikosambi-Muara Karang-Priok-
Muaratawar membentuk looping SUTET
jalur utara Jakarta, untuk perkuatan dan
peningkatan keandalan serta fleksibilitas
operasi sistem Jakarta.
Rencana kebutuhan GITET 500 kV dan
tambahan trafo interbus 500/150 kV yang
direncanakan merupakan perkuatan grid
yang tersebar di Jawa.
Transmisi 500 kV DC adalah transmisi
HVDC interkoneksi Sumatera–Jawa, di sini
hanya diperhitungkan bagian kabel laut
dan overhead line yang berada di pulau
Jawa, selebihnya diperhitungkan sebagai
pengembangan sistem transmisi Sumatra.
Sistem transmisi 70 kV pada dasarnya
sudah tidak dikembangkan lagi, bahkan di
sistem 70 kV di Jawa Barat banyak yang
ditingkatkan menjadi 150 kV.
Rencana proyek reconductoring SUTT 70 kV
yang memasok konsumen besar dan saluran
distribusi khusus. Program pemasangan
trafo-trafo 50/70 kV dan 70/20 kV pada tabel
itu juga hanya merupakan relokasi
trafo-trafo dari Jawa Barat ke Jawa Timur.
Beberapa proyek transmisi strategis di Jawa-
Bali antara lain:
• Proyek transmisi SUTET 500 kV Tx
Ungaran-Pemalang-Mandirancan-
Indramayu tahun 2020.
• Pembangunan transmisi 500 kV HVDC
bipole 3,000 MW Sumatra - Jawa
berikut GITET X Bogor - Incomer (Tasik
- Depok dan Cilegon – Cibinong) untuk
menyalurkan listrik dari PLTU mulut
tambang di Sumatra Selatan ke sistem
Jawa Bali tahun 2019.
• Pembangunan SUTET 500 kV Paiton –
New Kapal termasuk overhead line 500
kV menyeberangi selat Bali (Jawa Bali
Crossing) tahun 2018 sebagai solusi
jangka panjang pasokan listrik ke pulau
Bali.
• SUTET 500 kV Balaraja-Kembangan-
Durikosambi-Muara Karang (tahun 2018)
dan Muara Karang-Priok-Muara Tawar
tahun 2018.
6. Pengembangan Sistem Distribusi
Perencanaan kebutuhan fisik untuk
mengantisipasi pertumbuhan penjualan
energi listrik dapat diproyeksikan seperti
pada tabel 23.
Dalam kurun waktu 10 tahun mendatang
dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2024
untuk sistem Jawa Bali diperlukan tambahan
jaringan tegangan menengah sebanyak 70
ribu kms, jaringan tegangan rendah 53 ribu
kms, kapasitas trafo distribusi 28 ribu MVA
dan jumlah pelanggan 11,2 juta.
7. Proyeksi Kebutuhan Investasi
Pengembangan pembangkitan,
transmisi dan distribusi oleh PLN sampai
dengan tahun 2024 di sistem Jawa Bali
membutuhkan dana investasi sebesar US$
33,6 miliar dengan disbursement tahunan
sebagaimana diperlihatkan pada tabel dan
gambar dibawah ini. Kebutuhan investasi
untuk proyek pembangkitan sampai tahun
2024 adalah sebesar US$ 16,5 miliar atau
sekitar US$ 1,65 miliar per tahun.
Pembiayaan proyek pembangkitan PLN
berasal dari beberapa sumber. Proyek
percepatan pembangkit melalui Peraturan
Presiden Nomor 71 tahun 2006 didanai
dengan pinjaman luar negeri (Cina) dan
dalam negeri yang diusahakan oleh PLN
dengan jaminan Pemerintah. Proyek Upper
Cisokan pumped storage senilai US$ 800
juta telah diusulkan mendapat pendanaan
dari IBRD yang merupakan lender
multilateral, sedangkan PLTU Indramayu
1x1.000 MW senilai US$ 2.000 juta dengan
pendanaan dari lender bilateral.
Kebutuhan dana investasi untuk penyaluran
dan distribusi masing-masing sebesar
US$ 9,6 miliar dan US$ 7,4 miliar. Proyek
penyaluran pada tahun 2018 cukup besar
karena merupakan disbursement proyek
transmisi interkoneksi HVDC Sumatera –
Jawa dan transmisi Jawa – Bali Crossing 500
kV. Proyek itu menurut rencana akan
didanai dari APLN, pinjaman luar negeri (two
step loan) dan kredit ekspor.
Landasan hukum investasi sektor
ketenagalistrikan baik melalui melalui skema
Independent Power Producers (IPP), Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS), Engineering,
Production and Construction (EPC), maupun
Swasta Murni adalah sebagai berikut :
1. Pengadaan Investasi Untuk Ketenagalistrikan
Umum
• UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan
• PP Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
sebagaimana telah diubah dengan PP No
23 Tahun 2014
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 03
Tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian
Tenaga Listrik dan Harga Patokan
Pembelian Tenaga Listrik dari PLTU Mulut
Tambang, PLTU Batubara, PLTG/PLTMG,
dan PLTA oleh Perusahaan Listrik Negara
(Persero) Melalui Pemilihan Langsung dan
Penunjukkan Langsung
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 01
Tahun 2006 jo No 04 Tahun 2007 tentang
Prosedur Pembelian Tenaga listrik dan
atau Sewa Menyewa Jaringan dalam
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk
Kepentingan Umum
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 05 Tahun
2009 tentang Pedoman Harga Pembelian
Tenaga Listrik oleh PT PLN Persero dari
Koperasi atau Badan Usaha Lain
2. Pengadaan Investasi Khusus Energi
Geothermal, ditambah dengan
• UU Nomor 21 Tahun 2016 tentang
Geothermal
• PP Nomor 59 Tahun 2007 jo No 70 Tahun
2010 tentang Kegiatan Geothermal
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun
2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Kegiatan Panas Bumi
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun
2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik
dari PLTP dan Uap Panas Bumi untuk
PLTP oleh PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero)
3. Regulasi Pembiayaan melalui Public Private
Partnership (PPP)
• Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dan
telah direvisi dengan Perpres Nomor 13
Tahun 2010 (perubahan pertama), Perpres
Nomor 56 Tahun 2011 (perubahan kedua),
dan Perpres Nomor 66 Tahun 2013
(perubahan ketiga).
• Peraturan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala
BAPPENAS Nomor 3 Tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan
Infrastruktur melalui Public Private
Partnership (PPP).
Independent Power Producers (IPP)
1. Konsep
Pembelian Tenaga Listrik dan Harga Patokan
Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN
(Persero) Melalui Pemilihan Langsung dan
Penunjukan Langsung, diatur dalam Permen
ESDM Nomor 3 tahun 2015. Regulasi ini
disusun untuk meningkatkan kapasitas
pembangunan tenaga listrik nasional,
khususnya untuk mendorong pembangunan
pembangkit listrik melalui mekanisme
Independent Power Producers (IPP).
Ketentuan itu untuk mendukung
penyediaan tenaga listrik yang tertuang
dalam RUPTL PT PLN (Persero) 2015-2024
telah mempertimbangkan perencanaan
penyediaan tenaga listrik yang ada dalam
Draft Rencana Umum Ketenagalistrikan
Nasional (RUKN) 2012 hingga 2031 dan
Draft RUKN 2015 hingga 2034. Untuk
sepuluh tahun mendatang, PLTU batubara
masih mendominasi jenis pembangkit yang
akan dibangun, yaitu mencapai 42 GW (60%)
sementara PLTGU sekitar 9 GW (13%) dan
PLTG/MG sekitar 5 GW (7%). Adapun energi
terbarukan yang akan dikembangkan adalah
PLTP sekitar 4,8 GW (7%) dan PLTA/PLTM
dan Pump Storage sebesar 9.250 MW (13%).
PT PLN wajib memenuhi kebutuhan tenaga
listrik dalam wilayah usahanya dengan
melakukan pembelian tenaga listrik dari
PLTU Mulut Tambang, PLTU Batubara,
PLTG/PLTMG dan PLTA. Pembelian dengan
pemegang izin usaha penyediaan tenaga
listrik lainnya dilakukan berdasarkan rencana
usaha penyediaan tenaga listrik.
Pembelian tenaga listrik itu dapat dilakukan
melalui pemilihan langsung dan penunjukkan
langsung sepanjang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
• Pembelian tenaga listrik dilakukan dari
PLTU Mulut Tambang, PLTG marginal dan
PLTA
• Pembelian kelebihan tenaga listrik dari
PLTU Mulut Tambang, PLTU Batubara,
PLTG/ PLTMG dan PLTA
• Pembelian tenaga listrik dari PLTU
Mulut Tambang, PLTU Batubara,PLTG/
PLTMG dan PLTA jika sistem tenaga listrik
setempat dalam kondisi krisis atau darurat
penyediaan listrik dan/atau
• Pembelian tenaga listrik dari PLTU Mulut
Tambang, PLTU Batubara,PLTG/PLTMG
dan PLTA dalam rangka penambahan
kapasitas pembangkitan pada pusat
pembangkit tenaga listrik yang telah
beroperasi di lokasi yang sama
2. Mekanisme Pengadaan
A. Prosedur Penunjukan Langsung
Proses penunjukan langsung dengan
uji tuntas atas kemampuan teknis dan
finansial yang dapat dilakukan oleh pihak
procurement agent yang ditunjuk oleh
PT PLN Persero dan sampai dengan
penandatanganan perjanjian jual beli tenaga
listrik, paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Mekanisme IPP untuk Penunjukkan Langsung
sebagaimana gambar 8
B. Prosedur Pemilihan Langsung
Proses pemilihan langsung didahului
dengan uji tuntas atas kemampuan teknis
dan finansial yang dapat dilakukan oleh
pihak procurement agent yang ditunjuk
oleh PT PLN Persero dan sampai dengan
penandatanganan perjanjian jual beli
tenaga listrik, paling lama 45 (empat puluh
lima) hari. Mekanisme IPP untuk Pemilihan
Langsung sebagaimana gambar 9.
C. Tender / Lelang Terbuka
Lelang terbuka dilaksanakan jika
kondisi IPP tidak layak untuk penunjukkan
langsung atau pemilihan langsung atau
PLN menginginkan Lelang Terbuka
untuk semua jenis tenaga pembangkit.
Pemenang ditetapkan pada pengajuan
tarif terendah. Berdasarkan peraturan IPP,
proses lelang terbuka dengan kapasitas >/=
15 MW dari pengumuman tender sampai
penandatanganan kontrak memerlukan
waktu 321 hari jika tidak ada tender ulang.
Adapun mekanisme disajikan pada gambar
10.
3. Tahapan Bisnis IPP
• Tahapan bisnis ketenagalistrikan melalui
Pola IPP mencakup:
• Tahap pra kualifikasi
• Tahap permintaan proposal
• Tahap pengajuan surat penawaran
• Tahap penandatangan kontrak
• Tahap pembayaran sesuai tanggal yang
telah disepakati
• Tahap pelaksanaan komersial
• Tahap akhir masa kontrak
1. Kerangka Regulasi
Di tengah keterbatasan anggaran pemerintah
untuk mengalokasikan belanja modal untuk
mempercepat pembangunan infrastruktur,
pemerintah memilih suatu konsep yang
mengundang para investor untuk bekerjasama
dan berkontribusi secara aktif dalam penyediaan
pembangunan infrastruktur. Konsep itu dikenal
dengan skema Public Private Partnership (PPP)
atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Konsep
ini secara intensif mulai diperkenalkan sejak
tahun 2005.
Regulasi yang terkait dengan proyek KPS
khususnya dalam penyediaan infrastruktur telah
berkembang sejak masa pemerintahan Orde
Baru. Dalam masa itu Pemerintah telah
menerbitkan beberapa regulasi sektoral yang
didalamnya ada pengaturan berkaitan
dengan KPS, contohnya UU dan PP tentang
Ketenagalistrikan serta UU dan PP tentang Jalan
Tol. Pada masa Orde Baru hanya beberapa jenis
infrastruktur saja yang dikerjasamakan dengan
Badan Usaha Swasta, misalkan jalan tol dan
ketenagalistrikan.
Saat ini kebijakan dan dukungan yang strategis
yang sudah dilakukan oleh Pemerintah dalam
rangka mendukung pelaksanaan pembangunan
infrastruktur dengan skema KPS diantaranya
adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden
Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama
Pemerintahdan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur dan telah direvisi dengan Perpres
Nomor 13 Tahun 2010 (perubahan pertama),
Perpres Nomor 56 Tahun 2011 (perubahan
kedua), dan Perpres Nomor 66 Tahun 2013
(perubahan ketiga). Adapun kerangka regulasi
mengenai KPS disajikan pada tabel 25
2. Konsep
Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)
merupakan kerjasama pemerintah dengan swasta
dalam penyediaan infrastruktur yang meliputi:
desain dan konstruksi, peningkatan kapasitas/
rehabilitasi, operasional dan pemeliharaan dalam
rangka memberi pelayanan Pengembangan
KPS di negara kita utamanya didasari oleh
keterbatasan sumber pendanaan yang bisa
dialokasikan oleh pemerintah.
Prinsip Dasar KPS adalah :
• Adanya pembagian risiko antara
pemerintah dan swasta dengan memberi
pengelolaan jenis risiko kepada pihak
yang dapat mengelolanya;
• Pembagian risiko ini ditetapkan dengan
kontrak di antara pihak dimana pihak
swasta diikat untuk menyediakan layanan
dan pengelolaannya atau kombinasi
keduanya;
• Pengembalian investasi dibayar melalui
pendapatan proyek (revenue) yang
dibayar oleh pengguna (user charge);
• Kewajiban penyediaan layanan kepada
masyarakat tetap pada pemerintah, untuk
itu bila swasta tidak dapat memenuhi
pelayanan (sesuai kontrak), pemerintah
dapat mengambil alih.
Tujuan pelaksanaan KPS adalah :
• Mencukupi kebutuhan pendanaan secara
berkelanjutan melalui pengerahan dana
swasta;
• Meningkatkan kuantitas, kualitas dan
efisiensi pelayanan melalui persaingan
sehat;
• Meningkatkan kualitas pengelolaan
dan pemeliharaan dalam penyediaan
infrastruktur;
• Mendorong dipakainya prinsip pengguna
membayar pelayanan yang diterima atau
dalam hal tertentu mempertimbangkan
kemampuan membayar pengguna.
Manfaat Skema KPS meliputi:
47
• Tersedianya alternatif berbagai sumber
pembiayaan;
• Pelaksanaan penyediaan infrastruktur
lebih cepat;
• Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan
risiko pemerintah;
• Infrastruktur yang dapat disediakan
semakin banyak;
• Kinerja layanan masyarakat semakin baik;
• Akuntabilitas dapat lebih ditingkatkan;
• Swasta menyumbangkan modal,
teknologi, dan kemampuan manajerial.
3. Kerangka Pengaturan
Kerjasama Pemerintah Swata (KPS) - merupakan
Tabel 25
Kerangka Regulasi Investasi Pola KPS
PERATURAN KETENTUAN
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrasruktur sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 13 tahun 2010 dan Peraturan Presiden
Nomor 56 tahun 2011.
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan
Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2011.
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur
dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha yang dilakukan
melalui Penjaminan Infrastruktur.
Petunjuk Pelaksanaan Proyek KPS yang merupakan acuan dasar dari
pelaksanaan proyek KPS di tanah air.
Tata Cara Penyusunan Daftar Rencana Proyek Kerjasama dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur.
Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur.
Organisasi dan Tata Kerja Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan
Infrastruktur.
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Nomor 04/M.Ekon/06/2006 tentang Tata Cara Evaluasi Proyek Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur yang
membutuhkan Dukungan Pemerintah.
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Nomor 03/M.Ekon/06/2006 tentang Prosedur dan Kriteria Penyusunan Daftar
Prioritas Proyek Infrastruktur Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha.
Perpres 56/2011
Perpres 12/2011
Perpres 78/2010
PMK 260/2010
Permen PPN
03/2009
Permen PPN
04/2010
Permenko
01/2006
Permenko
04/2006
Perpres 36/2006 jo
Perpres 65/2006
Permenko
03/2006
mekanisme pembiayaan alternatif dalam
pengadaan pelayanan publik yang telah
dipakai secara luas di berbagai negara
khususnya negara maju. KPS sering dipandang
sebagai alternatif dari pembiayaan pengadaan
tradisional melalui desain, pengadaan
dan konstruksi (Engineering, Procurement,
Construction) kontrak, di mana sektor publik
melakukan kompetitif penawaran untuk
membuat kontrak terpisah untuk elemen desain
dan konstruksi dari sebuah proyek.
Sektor publik mempertahankan kepemilikan
aset dan bertanggung jawab untuk pembiayaan
kebijakan itu . KPS atau memungkinkan
sektor publik untuk memanfaatkan kemampuan
manajemen dan keahlian pihak swasta dan juga
meningkatkan dana tambahan untuk mendukung
layanan tertentu. Tergantung pada derajat
keterlibatan swasta dan penggunaan keuangan
swasta, pengaturan pengalihan resiko dalam
proyek KPS dapat bervariasi di seluruh spektrum
risk-return sebagaimana pada gambar 12 dan
tabel 26.
Tabel 26
Bentuk dan Modalitas KPS
No Jenis Uraian
1 Design–Build
Sektor publik melakukan kontrak dengan swasta sebagai penyedia tunggal untuk melakukan
desain dan konstruksi. Dengan cara ini, Pemerintah mendapatkan keuntungan dari economies of
scale dan mengalihkan resiko yang terkait dengan desain kepada sektor swasta.
2
Design, Build,
Operate
Sektor publik melakukan kontrak dengan penyedia swasta untuk merancang, membangun dan
mengoperasikan aset modal. Sektor publik tetap bertanggung jawab untuk meningkatkan modal
yang dibutuhkan dan mempertahankan kepemilikan fasilitas.
3
Design, Build,
Finance, Operate
Sektor publik melakukan kontrak dengan penyedia swasta untuk merancang, membangun,
membiayai dan mengoperasikan (DBFO) aset modal. Model ini biasanya melibatkan perjanjian
konsesi jangka panjang. Sektor publik memiliki pilihan untuk mempertahankan kepemilikan aset
atau sewa aset ke sektor swasta untuk periode waktu. Jenis pengaturan ini umumnya dikenal
sebagai inisiatif keuangan swasta (PFI)
4
Design, Build,
Own,
Operate
Sebuah penyedia swasta bertanggung jawab untuk semua aspek proyek. Kepemilikan fasilitas
baru ditransfer kepenyedia swasta,baik tanpa batas waktu atau untuk jangka waktu yang tetap.
Kesepakatan jenis ini juga termasuk