Hubungan antara pengusaha dengan pekerja di lingkungan tempat kerja
dikenal dengan istilah hubungan kerja. Hubungan kerja ini merupakan dasar
utama dalam ketenagakerjaan yang menyebabkan lahirnya hak dan kewajiban
antara pengusaha dengan pekerja. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengaturan mengenai hubungan
kerja.1 Hubungan kerja sebagai hubungan hukum lahir karena adanya perjanjian
kerja yang disepakati antara pengusaha dan pekerja.2 Keberadaan perjanjian
kerja ini penting karena tidak hanya sebagai dasar lahirnya hubungan
kerja, namun juga sebagai dasar yang menggariskan hak dan kewajiban pekerja
terhadap pengusaha, dan sebaliknya.
Sebagaimana suatu bentuk hubungan yang lain, hubungan kerja memiliki
kemungkinan untuk terputus. Terputusnya hubungan kerja antara pengusaha
dan pekerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan disebut sebagai Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK).4 PHK dapat terjadi karena beberapa hal, yakni karena
PHK demi hukum seperti dalam hal pekerja memasuki masa pensiun atau pekerja
meninggal dunia, atau PHK dari sisi pekerja, yakni ketika pekerja mengundurkan
diri (resign), serta PHK dari sisi pengusaha, yakni ketika pengusaha memutuskan
hubungan kerja karena sebab tertentu.
PHK diatur secara khusus dalam Bab XII UU Ketenagakerjaan. Pengaturan
mengenai PHK ini merupakan bagian dari pengejawantahan negara Indonesia
sebagai penganut sistem welfare state atau tipe negara kesejahteraan, di mana
negara melalui pemerintah banyak melakukan campur tangan pada berbagai
urusan warga negaranya untuk melindungi pihak yang lebih lemah. Termasuk
dalam bidang ketenagakerjaan, UU Ketenagakerjaan dibuat untuk melindungi
pekerja sebagai pihak yang posisinya lebih lemah.5 Hal ini penting mengingat jika
berbicara mengenai hak-hak pekerja, maka berarti membicarakan hak-hak asasi,
yang dalam kaitannya dengan PHK yakni hak-hak untuk mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan yang layak sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI Tahun
1945.7 Untuk itu, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan atau pelanggaran hak,
pelaksanaan PHK diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Dalam konteks PHK yang dilakukan oleh pengusaha, UU Ketenagakerjaan
memberi pengaturan yang rigid. Untuk melakukan PHK, pengusaha harus
mendasarkan pada alasan-alasan yang ditentukan dalam UU Ketenagakerjaan.
Salah satunya yang diatur dalam ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketengakerjaan,
yang berbunyi:
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh, karena perusahaan tutup bukan karena mengalami
kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan
memaksa ( force majeur) tetapi karena perusahaan melakukan efisiensi,
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).8
PHK yang didasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) ini sering disebut
dengan istilah PHK efisiensi. Jika merujuk pada rumusan pasal ini , terlihat
bahwa terdapat hak dari pengusaha untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya
bila perusahaannya tutup karena efisiensi. Meski demikian, UU Ketenagakerjaan
tidak memberikan definisi lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan frasa
“perusahaan tutup” maupun kata “efisiensi” pada pasal ini .9 Ditambah pula,
pada bagian penjelasan pasal per pasal, hanya tertulis keterangan “cukup jelas”.10
Ketidakjelasan ini berdampak pada implementasi ketentuan pasal ini , yang
kemudian dimaknai berbeda-beda dalam praktiknya. Pertama, terdapat pihak yang
menafsirkan bahwa frasa “perusahaan tutup” dan kata “efisiensi” merupakan satu
kesatuan, sehingga PHK efisiensi hanya bisa dilakukan dalam hal perusahaan tutup
baik permanen ataupun tidak. Atau kedua, terdapat pendapat bahwa “efisiensi”
dapat dimaknai terpisah dengan “perusahaan tutup”, sehingga dengan melakukan
efisiensi saja, pengusaha dapat menjatuhkan PHK.
Berbagai perbedaan pandangan ini menimbulkan permasalahan dan
ketidakpastian hukum dalam implementasi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
Sampai kemudian terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XI.2011.
Putusan ini diawali dengan permohonan judicial review dari 38 pekerja Hotel
Papandayan Bandung yang terkena PHK dengan dasar Pasal 164 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan.11 Pengusaha hotel ini mempergunakan alasan perusahaan
tutup karena efisiensi, namun yang terjadi adalah perusahaan tutup sementara
karena proses renovasi hotel ini . Para pekerja merasa dirugikan dan
berpendapat bahwa PHK dilakukan atas dasar hukum yang tidak tepat. Renovasi
yang dilakukan mestinya berdasarkan suatu kemampuan finansial yang cukup,
sehingga sama sekali tidak sejalan dengan konsep efisiensi perusahaan.
Pada pertimbangannya, MK berpendapat bahwa sejatinya PHK yang dilakukan
oleh Hotel Papandayan ini tidak tepat jika menggunakan dasar Pasal 164
ayat (3) UU Ketenagakerjaan.13 Renovasi perusahaan ini dapat menjadikan
operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan
tidaklah sama dengan perusahaan tutup sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 164 ayat (3).14 MK berpendapat bahwa efisiensi saja tanpa penutupan
perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.15 Oleh karena
itu, dalam putusannya MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang frasa
“perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan
tutup tidak untuk sementara waktu”.16 Dengan demikian, keberadaan putusan MK
ini menggariskan bahwa PHK efisiensi hanya bisa dilakukan dengan tutupnya
perusahaan secara permanen, yang mana tutupnya perusahaan ini merupakan
cara dari perusahaan melakukan efisiensi.
Permasalahannya adalah saat pandemi covid-19 merebak, cara utama yang
dianjurkan oleh ahli kesehatan dan wabah penyakit adalah dengan melakukan
physical distancing. Atas dasar hal ini, berbagai daerah menerapkan kebijakan
pembatasan sosial. Pembatasan kegiatan masyarakat dan karantina mandiri
dianjurkan untuk mengurangi transmisi penularan covid-19. Pembatasan ini
juga berlaku di berbagai lini kehidupan, termasuk pada kegiatan operasional
perusahaan. Akibatnya, proses operasional perusahaan tidak dapat berjalan
maksimal, bahkan terhenti, sehingga menimbulkan kerugian bagi pengusaha. Di
sisi lain, bagi yang tetap beroperasi pun pendapatannya berkurang dan bahkan
di titik nol akibat konsumen dan pengguna terdampak pembatasan sosial pula.
Pandemi covid-19 ini menempatkan perusahaan di posisi yang serba sulit. Pada
akhirnya, PHK efisiensi menjadi pilihan banyak pengusaha, yakni melakukan
efisiensi dengan PHK sejumlah pekerja, demi mempertahankan kelangsungan
usaha dan kelangsungan bekerja sebagian pekerja yang lain.
Padahal jika mendasarkan dari putusan MK di atas, bahwa PHK efisiensi hanya
dapat dilakukan dalam rangka penutupan perusahaan secara permanen. Fenomena
yang terjadi pada masa pandemi covid-19 ini, PHK efisiensi dilakukan tanpa
menutup perusahaan. Rasio dari merebaknya fenomena ini adalah perusahaan
tidak perlu tutup untuk melakukan efisiensi apabila tindakan perubahan ini
justru dapat menyelamatkan perusahaan dan sebagian pekerja lainnya.17 Dilihat
dari aspek kemanfaatan, dalam situasi seperti ini, penutupan perusahaan secara
permanen justru akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi, yakni hilangnya
pekerjaan bagi seluruh pekerja, dan termasuk juga pengusahanya. Padahal
situasi pandemi covid-19 ini sulit dan serba tak menentu, apalagi jika ditambah
dengan membludaknya angka pengangguran. Lantas, bagaimana justifikasi dan
aspek hukum dari fenomena PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan di masa
pandemi covid-19 ini? Hal ini menjadi menarik untuk ditelaah lebih lanjut, sebab
di tengah situasi yang serba tidak menentu ini, perlindungan hukum bagi pekerja
maupun pengusaha dalam lingkup ketenagakerjaan juga tidak boleh luput untuk
diperhatikan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan dalam bagian latar belakang,
artikel ini akan menelaah lebih lanjut mengenai bagaimana tinjauan justifikasi
dan aspek hukum atas PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan yang marak
dilakukan selama masa pandemi covid-19 di Indonesia, dalam kaitannya pula
dengan keberadaan Putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011.
Hubungan kerja merupakan hubungan hukum antara pekerja dengan
pengusaha di lingkup tempat kerja. Hubungan kerja ini didasarkan atas perjanjian
kerja yang disepakati oleh pekerja dan pengusaha, dan sekaligus menggariskan
hak dan kewajiban keduanya dalam hubungan hukum ini . Pada titik tertentu,
selayaknya pada hubungan-hubungan yang lain, hubungan kerja juga memiliki
kemungkinan untuk putus atau berakhir. Istilah untuk menyebut berakhirnya
hubungan kerja adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PHK merupakan salah
satu aspek yang diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan Hal ini didasarkan
pada pertimbangan adanya kemungkinan berselisih, kesewenang-wenangan, dan
tidak terpenuhinya hak-hak pekerja. Iman Soepomo menyatakan bahwa PHK
bagi pekerja merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari
berakhirnya mempunyai pekerjaan, permulaan dari berakhirnya kemampuan
membiayai keperluan hidup sehari-hari baginya dan keluarganya, permulaan dari
berakhirnya kemampuan menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.18 Terlihat,
bahwa PHK merupakan peristiwa yang krusial bagi pekerja, sehingga perlu
dilakukan pengaturan lebih lanjut untuk melindungi posisi pekerja.
PHK menurut Sastrohadiwiryo merupakan suatu proses pelepasan keterikatan
kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja yang bersangkutan ataupun
atas kebijakan perusahan di mana tenaga kerja ini dipandang sudah tidak
cakap lagi dan kondisi perusahaan yang tidak memungkinkan.19 Melihat definisi
ini, PHK disimpulkan sebagai suatu tindakan sepihak dari pengusaha untuk
mengakhiri hubungan kerja dengan pekerjanya karena alasan tertentu. Berbeda
dengan definisi ini , UU Ketenagakerjaan justru memberikan pengertian yang
lebih umum. PHK diartikan sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu, yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
pengusaha.20 Definisi ini memberikan generalisasi bahwa PHK tidak hanya secara
spesifik dapat dilakukan oleh pengusaha saja, namun juga oleh pekerja. Sebab,
hubungan kerja merupakan hubungan hukum yang sifatnya timbal balik, serta
perjanjian kerja yang mendasari hubungan ini juga merupakan perjanjian
timbal balik di mana masing-masing pihak dapat mempunyai hak serta kewajiban.
Oleh karena itu, keduanya sama-sama berhak untuk memutus hubungan kerja.
Jenis-jenis PHK dalam doktrin terbagi menjadi:
1. PHK oleh pengusaha, yaitu PHK oleh pihak pengusaha karena
keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan, dan
prosedur tertentu.
2. PHK oleh pekerja, yaitu PHK oleh pihak pekerja terjadi karena
keinginan dari pihak pekerja dengan alasan tertenttu dan prosedur
tertentu. Misalnya karena pekerja mengundurkan diri.
3. PHK demi hukum, yaitu PHK yang terjadi tanpa perlu adanya suatu
tindakan, terjadi dengan sendirinya. Misalnya karena pensiun, atau
karena meninggalnya pekerja.
4. PHK oleh pengadilan hubungan industrial, yaitu PHK oleh putusan
pengadilan, yang terjadi karena alasan-alasan tertentu yang
berdasarkan Undang-Undang mendesak dan penting, misalnya
terjadinya peralihan kepemilikan, peralihan aset atau pailit.
Merincikan masing-masing jenis PHK di atas, UU Ketenagakerjaan secara
spesifik menyebutkan alasan-alasan apa saja yang dapat digunakan sebagai dasar
alasan PHK, yakni:
1. Pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib (Pasal 160);
2. Pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 161);
3. Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri (Pasal 162);
4. Dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan (Pasal 163);
5. Perusahaan tutup baik karena merugi, force majeure atau karena efisiensi
(Pasal 164);
6. Perusahaan pailit (Pasal 165);
7. Pekerja meninggal dunia (Pasal 166);
8. Pekerja memasuki usia pensiun (Pasal 167);
9. Pekerja mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan secara tertulis, sehingga dikualisifikasikan mengundurkan diri
(Pasal 168);
10. Dalam hal pekerja mengajukan permohonan PHK kepada Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Pasal 169);
11. Pekerja mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan
kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya (Pasal 172).
21 Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 66.
22 Lihat Bab XII UU Ketenagakerjaan. Diolah dari ketentuan Pasal 160 hingga Pasal 172.
Untuk melindungi jaminan perlindungan terhadap pekerjaan dan penghidupan
layak bagi pekerja, PHK dipersyaratkan sebagai pilihan atau upaya terakhir sesudah
hal-hal yang lain gagal ditempuh. Dengan kata lain, semua pihak, termasuk pekerja
dan pengusaha sendiri mesti mengupayakan sebaik-baiknya supaya tidak terjadi
PHK.23 Jika semua hal telah diusahakan dan kemudian PHK masih tidak dapat
dihindari, pelaksanaan PHK diharuskan melalui tahap perundingan antara pekerja
dengan pengusaha yang bersangkutan.Bila kemudian tidak dapat tercapai
kesepakatan dalam perundingan ini , PHK barulah dapat dilaksanakan
sesudah mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.Keberadaan aturan ini sungguh-sungguh menunjukkan adanya campur
tangan dari pemerintah agar PHK dilakukan tidak dengan sewenang-wenang dan
juga melindungi hak-hak pekerja.
Salah satu alasan PHK dalam UU Ketenagakerjaan yang menimbulkan polemik
yakni PHK yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (3). PHK ini seringkali
disebut dengan PHK efisiensi. Ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
sebagai berikut:
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh, karena perusahaan tutup bukan karena mengalami
kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan
memaksa ( force majeur) tetapi karena perusahaan melakukan efisiensi,
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).26
PHK efisiensi ini merupakan salah satu alasan PHK yang mengundang banyak
argumen dan interpretasi dalam penerapannya. Hal ini berkisar antara frasa
“perusahaan tutup” dan kata “efisiensi”. Jika merujuk pada rumusan Pasal 164
ayat (3) ini , terlihat bahwa terdapat hak dari pengusaha untuk melakukan
PHK terhadap pekerjanya bila perusahaannya tutup karena efisiensi. Meski
demikian, UU Ketenagakerjaan tidak memberikan definisi lebih lanjut mengenai
apa yang dimaksud dengan frasa “perusahaan tutup” maupun kata “efisiensi”
pada pasal ini . Ditambah pula, pada bagian penjelasan pasal per pasal,
hanya tertulis keterangan “cukup jelas”. Ketidakjelasan ini berdampak pada
implementasi ketentuan pasal ini , yang kemudian dimaknai berbeda-beda
dalam praktiknya. ada pihak yang menafsirkan bahwa frasa “perusahaan
tutup” dan kata “efisiensi” merupakan satu kesatuan, sehingga PHK efisiensi
hanya bisa dilakukan dalam hal perusahaan tutup baik permanen ataupun tidak.
Sebaliknya, terdapat pendapat bahwa “efisiensi” dapat dimaknai terpisah dengan
“perusahaan tutup”, sehingga dengan melakukan efisiensi saja, pengusaha dapat
menjatuhkan PHK.
Sampai akhirnya ketika terdapat permohonan judicial review dari pekerja
terhadap pasal PHK efisiensi ini . Permohonan ini diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) oleh 38 pekerja Hotel Papandayan Bandung yang
terkena PHK dengan dasar Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.29 Pengusaha
hotel ini mempergunakan alasan perusahaan tutup karena efisiensi, namun
yang terjadi adalah perusahaan tutup sementara karena proses renovasi hotel
ini . Para pekerja merasa dirugikan dan berpendapat bahwa PHK dilakukan
atas dasar hukum yang tidak tepat. Renovasi yang dilakukan mestinya berdasarkan
suatu kemampuan finansial yang cukup, sehingga sama sekali tidak sejalan dengan
konsep efisiensi perusahaan.
Pada pertimbangannya, MK berpendapat bahwa sejatinya PHK yang dilakukan
oleh Hotel Papandayan ini tidak tepat jika menggunakan dasar Pasal 164
ayat (3) UU Ketenagakerjaan.Renovasi perusahaan ini dapat menjadikan
operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan
tidaklah sama dengan perusahaan tutup sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 164 ayat (3). MK berpendapat bahwa efisiensi saja tanpa penutupan
perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.33 MK menilai
bahwa beragamnya interpretasi dan penerapan terhadap ketentuan pasal PHK
efisiensi ini didasari karena tidak adanya penjelasan lebih lanjut, sehingga MK
merasa perlu untuk memberikan rambu-rambu tertentu dalam ketentuan pasal
ini .
Oleh karena itu, dalam putusannya dengan Nomor 19/PUU-IX/2011, MK
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai
“perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara
waktu”. Dengan demikian, keberadaan putusan MK ini menggariskan bahwa PHK
efisiensi hanya bisa dilakukan dengan tutupnya perusahaan secara permanen, yang
mana tutupnya perusahaan ini merupakan cara dari perusahaan melakukan
efisiensi. Artinya, frasa “perusahaan tutup” dan frasa “efisiensi” merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Perdebatan mengenai penerapan PHK efisiensi ini ternyata tidak berhenti
sesudah adanya putusan MK ini . Baru-baru ini, saat Indonesia dilanda serangan
pandemi covid-19, perdebatan dan perbedaan tafsir terhadap ketentuan pasal
ini kembali mencuat. Keberadaan pembatasan aktivitas masyarakat selama
pandemi covid-19 menimbulkan dampak yang signifikan terhadap pengusaha.
Operasional perusahaan dibatasi, bahkan terhenti, di sisi lain konsumen dan
pengguna barang dan/atau jasa pengusaha ini menurun drastis, bahkan
sampai di titik nol. Dengan keadaan yang demikian ini, pengusaha menjadi
berada di situasi yang sulit. Kondisi ekonomi perusahaan yang menurun dan tidak
menentu akibat pandemi covid-19 kemudian berujung pada banyaknya fenomena
keputusan untuk melakukan PHK efisiensi. Meski begitu, fenomena PHK efisiensi
selama masa pandemi covid-19 ini tidak mendasarkan pada tafsiran putusan MK
Nomor 19/PUU-IX/2011 yang telah disinggung sebelumnya. Pengusaha melakukan
efisiensi dengan menjatuhkan PHK pada sejumlah pekerja, demi mempertahankan
kelangsungan usaha dan kelangsungan bekerja sebagian pekerja yang lain. Hal ini
kemudian menjadi pertanyaan, lantas bagaimana justifikasi serta aspek hukum
fenomena PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan selama masa pandemi
covid-19 ini?
Jika menelusuri kembali ke belakang, pada dasarnya jauh sebelum ada putusan
MK Nomor 19/PUU-IX/2011 sudah terdapat perbedaan pandangan mengenai PHK
efisiensi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
Perbedaan pendapat ini yakni berkisar apakah perusahaan mesti tutup
untuk melakukan PHK efisiensi, ataukah kemudian PHK efisiensi dapat dilakukan
tanpa tutupnya perusahaan. Pandangan kedua yang mengemukakan bahwa PHK
efisiensi dapat dilakukan tanpa harus menutup perusahaan, didukung pula dengan
adanya beberapa putusan Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung
yang menyamakan PHK efisiensi dengan PHK tanpa kesalahan.35 Dengan kata lain,
dibenarkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK tanpa ada dasar kesalahan
yang diperbuat oleh pekerjanya, dan penerapan itu menggunakan ketentuan PHK
efisiensi dalam Pasal 164 ayat (3) ini . Bahkan tidak ada proses penutupan
perusahaan dalam tindakan PHK ini , hanya dalih efisiensi semata.
Untuk menganalisis interpretasi atas suatu ketentuan pasal dalam peraturan
perundnag-undangan, maka perlu untuk kembali mencermati secara seksama
bunyi dari pasal ini . Ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
berbunyi sebagai berikut:
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/
buruh, karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2
(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force
majeur) tetapi karena perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).36
Mendasarkan pada bunyi Pasal 164 ayat (3) ini , untuk membantu
memahami dan menganalisis, maka dapat dibuat penggalan-penggalan sebagai
berikut:
1. Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dalam hal
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-
turut. Pada penggalan ini, pengusaha diperbolehkan untuk melakukan PHK
bila perusahaan tutup, namun tutupnya perusahaan bukan karena mengalami
kerugian dua tahun berturut-turut.
2. PHK terhadap pekerja/buruh ini juga dalam hal perusahaan tutup, tapi
bukan karena keadaan memaksa (force majeur). Penggalan ini menambahkan
penjelasan pada penggalan pertama, yakni alasan kedua tutupnya perusahaan
selain bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-turut, namun
juga bukan karena mengalami keadaan memaksa.
3. Namun, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dalam
hal perusahaan tutup karena perusahaan melakukan efisiensi. Penggalan ini
35 Rizqi Fauzia, “Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Perselisihan PHK (Studi Terhadap PHK Efisiensi)”, Publikasi Ilmiah Magister
Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, November 2017,
merupakan inti dari ketentuan Pasal 164 ayat (3), yang mana menggarisbawahi
bahwa PHK ini dapat dilakukan karena perusahaan tutup, dan tutupnya
perusahaan ini akibat perusahaan melakukan efisiensi.
Jika mendasarkan pada interpretasi yang demikian ini, maka PHK efisiensi
hanya dapat dilakukan dengan tutupnya perusahaan. Jadi, UU Ketenagakerjaan
sebenarnya tidak mengenal istilah PHK atas efisiensi semata, berbeloknya
penafsiran ini disebabkan atas pemahaman Pasal 164 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan yang hanya sepenggal-sepenggal atau tidak dibaca secara
menyeluruh.38 Membaca secara cermat ketentuan Pasal 164 ayat (3) ini ,
terlihat bahwa penekanan justru diberikan pada frasa “perusahaan tutup”, karena
ketentuan pasal ini sebenarnya sedang membahas mengenai tutupnya
perusahaan.39 Hal ini akan menjadi terang apabila disejajarkan dengan ketentuan
ayat (1)-nya yang sama-sama membahas mengenai PHK karena perusahaan tutup.
Hanya saja, ayat (1) perusahaan tutup karena mengalami kerugian terus menerus
selama dua tahun atau karena force majeure. Sedangkan ayat (3) merupakan
pengaturan perusahaan tutup karena melakukan efisiensi. Perbandingan rumusan
ini tersaji dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1.
Perbandingan Rumusan Pasal 164 ayat (1) dan
ayat (3) UU Ketenagakerjaan
Pasal 164 ayat (1) Pasal 164 ayat (3)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama dua tahun, atau
keadaan memaksa (force majeure),
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh,
karena perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian 2 (dua) tahun
berturut-turut atau bukan karena
keadaan memaksa (force majeur) tetapi
karena perusahaan melakukan efisiensi,
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).
Merujuk pada kedua rumusan ayat dalam Pasal 164 ini , memang
sejatinya Pasal 164 memang membicarakan mengenai PHK yang dilakukan
pengusaha karena perusahaannya tutup. Perbedaannya hanya berkisar pada alasan
tutupnya saja, sehingga benar bahwa penekanan pada Pasal 164 adalah pada frasa
“perusahaan tutup”. Hal ini diperkuat pula dengan putusan MK Nomor 19/PUU-
IX/2011, yang mana dalam pertimbangannya MK berpendapat kata “efisiensi”
yang terdapat dalam Pasal 164 ayat (3) tidak dapat diartikan bahwa hal ini
menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga
“mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara PHK pekerja yang ada.40 Harus
diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan
tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi.41 Dengan kata lain, pengusaha
melakukan efisiensi dengan cara menutup perusahaan. Misalnya, pengusaha
memiliki suatu perusahaan holding dengan beberapa perusahaan anak, dan karena
suatu hal tertentu pengusaha merasa harus melakukan efisiensi dengan cara
menutup salah satu perusahaan anak.42 Peristiwa seperti inilah yang kemudian
dapat mengacu pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Jadi,
perusahaan yang hanya tutup sementara, atau bahkan tidak tutup tidak dapat
menggunakan alasan efisiensi dalam pasal ini untuk melakukan PHK.
Meski demikian, masih terdapat pihak-pihak yang menafsirkan bahwa PHK
efisiensi dapat dilakukan tanpa harus disertai dengan tutupnya perusahaan. Hal ini
mendasarkan pada argumen bahwa sejatinya MK dalam putusan Nomor 19/PUU-
IX/2011 ini tidak menilai apakah efisiensi dapat dijadikan alasan PHK oleh
pengusaha.43 Fokus pertimbangan dan amar putusan MK pada frasa “perusahaan
tutup” saja, karena pemohon judicial review ini mempermasalahkan apakah
memang penghentian operasional Hotel Papandayan untuk renovasi dapat
dikategorikan sebagai perusahaan tutup sebagaimana termaktub dalam Pasal
164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, masih timbul pertanyaan
apakah pengusaha dapat melakukan PHK dengan alasan efisiensi saja, yang
tujuannya untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan, yang tujuan
akhirnya kemudian dapat menyelamatkan pekerjaan sebagian pekerja yang lain
dan membantu pemerintah mencegah persoalan pengangguran baru yang makin
meluas.
Selain itu, argumen yang dilontarkan lainnya yakni UU Ketenagakerjaan
sebenarnya tidak menyatakan secara eksplisit apakah efisiensi dapat dijadikan
alasan PHK.45 Kata “efisiensi” dalam UU Ketenagakerjaan hanya disinggung dalam
ketentuan Pasal 164 ayat (3) semata, tanpa memberikan penjelasan dan keterangan
lebih lanjut mengenai definisi kata ini . Bahkan di Pasal 153 ayat (1) yang
mengatur mengenai alasan-alasan yang dilarang untuk digunakan pengusaha
dalam melakukan PHK, efisiensi bukan termasuk salah satu alasan yang dilarang.
Ketentuan Pasal 153 ayat (1) ini berbunyi sebagai berikut:
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas)
bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan,
atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan
serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam
kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana
kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan
kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat
keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum
dapat dipastikan.
Dalam pasal yang berisi larangan PHK ini telihat bahwa sebenarnya tidak
ada efisiensi sebagai alasan yang dilarang untuk digunakan dalam pengusaha
melakukan PHK. Artinya, efisiensi bukanlah suatu alasan PHK yang dilarang. Dasar
inilah yang kemudian menjadi rujukan tafsir pihak-pihak yang mengemukakan
bahwa PHK efisiensi dapat dilakukan, meski tanpa disertai dengan penutupan
perusahaan. Ketika perusahaan mengalami kendala ekonomi, yang kemudian
berujung pada keputusan untuk melakukan efisiensi sektor pekerja, maka hal
ini dapat dilakukan. Lantas, sebenarnya apa kemudian yang dimaksud dengan
efisiensi? Lalu bagaimana kaitannya dengan penggunaannya sebagai dasar alasan
PHK ini ?
Sebagaimana yang telah disinggung, UU Ketenagakerjaan sendiri tidak
memberikan definisi mengenai efisiensi. Untuk itu, untuk mengetahui apa yang
disebut sebagai efisiensi, perlu meninjau dari sumber lainnya. Pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia, efisiensi didefinisikan sebagai ketetapan cara usaha dalam
menjalankan sesuatu dengan tidak membuang, waktu, tenaga, dan biaya.46 Oxford
Dictionary mengartikan sebagai: (1) kualitas sesuatu pekerjaan dengan baik
tanpa membuang waktu dan uang, (2) cara mengurangi pemborosan waktu dan
uang atau cara menghemat waktu dan uang, dan (3) hubungan antara jumlah
pengeluaran dengan jumlah pendapatan.47 Beberapa definisi lainnya dalam doktrin,
yakni menurut Dearden (dalam Maulana) efisiensi adalah kesanggupan suatu unit
usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan, efisiensi senantiasa dihubungkan
dengan tujuan organisasi yang seharusnya dicapai oleh perusahaan.48 Hasibuan
memberi pengertian bahwa efisiensi adalah merupakan perbandingan terbaik
antara input dan output antara keuntungan dengan biaya antara proses dengan
sumber yang dipakai seperti halnya juga hasil maksimal yang dicapai dengan
pemakaian sumber yang terbatas.
Merujuk pada definisi-definisi ini , terlihat bahwa sejatinya efisiensi
adalah konsep yang lahir dalam konteks ekonomi dan bisnis. Efficient is doing
the things right, yang mana berarti bahwa melakukan segala hal dengan cara
yang tepat untuk mendapatkan hasil yang baik. Kaitannya dengan operasional
sebuah perusahaan, efisiensi merupakan jalan yang ditempuh pengusaha untuk
mengurangi pemborosan sumber daya demi menjaga kelangsungan perusahaan
akibat persaingan bisnis yang ketat. Dalam kaitannya dengan pekerja, efisiensi ini
dilakukan dengan cara mengurangi jumlah pekerja (retrentchment).50 Jadi, efisiensi
merupakan suatu upaya yang dilakukan pengusaha untuk mempertahankan
kelangsungan perusahaannya, bukan dengan menutupnya. Pada masa pandemi
covid-19 ini pengusaha mengalami situasi ekonomi yang sulit dalam rangka
mempertahankan operasional bisnis dan perusahaannya. Upaya untuk mengurangi
beban perusahaan supaya tetap dapat beroperasi inilah yang kemudian menjadi
latar belakang dilakukannya efisiensi dengan cara menjatuhkan PHK kepada
sebagian pekerjanya di masa pandemi ini. Konteks seperti ini dalam lingkup ilmu
ekonomi dan bisnis memang dapat dilakukan oleh pengusaha.
Pandemi covid-19 ini memberikan dampak yang cukup serius bagi banyak
pengusaha dalam mempertahankan kelangsungan perusahaannya. Turbulensi
ekonomi yang diakibatkan oleh masa pandemi ini menimbulkan terus
menurunnya jumlah permintaan barang dan/atau jasa yang dihasilkan perusahaan,
sehingga terjadi adanya kelebihan pekerja (redundancy).51 Persoalan hak untuk
memperoleh pekerjaan (right to work), dan ketidakstabilan perekonomian
perusahan serta negara selalu menjadi problem yang dilematis bagi pemerintah,
pengusaha dan pekerja.52 Jika perekonomian tidak stabil maka pengusaha
terdampak, dan secara tidak langsung pada akhirnya pekerja pun akan ikut
merasakan akibat negatifnya. Pada konteks masa pandemi covid-19 ini, bagi pekerja
yakni kembali munculnya fenomena PHK efisiensi tanpa tutupnya perusahaan.
Sejatinya, UU Ketenagakerjaan sendiri tidak melarang alasan ekonomi sebagai
alasan PHK.53 Ketentuan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan sendiri merupakan alasan
PHK dengan latar belakang kondisi ekonomi perusahaan, baik di ayat (1) maupun
ayat (3). Efisiensi juga merupakan unsur dan alasan kondisi ekonomi perusahaan.
Namun, jika kemudian sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat (3) dan dalam
Putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011 bahwa perusahaan harus tutup untuk
melakukan PHK efisiensi, hal ini tidaklah efektif. Tujuan dari hukum tidak hanya
sebatas kepastian hukum dan keadilan semata, namun juga kemanfaatan. Dari
segi kemanfaatan, jika perusahaan harus tutup untuk melakukan efisiensi, maka
akan memberi dampak ekonomi yang lebih besar. Situasi perekonomian masa
pandemi covid-19 ini sudah jelas sulit, jika ditambah keberadaan persyaratan
untuk PHK efisiensi harus dengan menutup perusahaan maka akan menambah
lebih banyak pengangguran baru. Jika perusahaan ditutup, maka seluruh pekerja
dan sekaligus pengusaha akan kehilangan pekerjaan mereka. Hal ini tentu saja
tidak mencerminkan adanya upaya untuk mempertahankan jaminan pekerjaan.
Sebaliknya, jika PHK efisiensi dapat dilakukan tanpa menutup perusahaan, maka hal
ini lebih menjamin dan menyelmatkan jaminan pekerjaan bagi sebagian besar
pekerja yang lain, sekaligus mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan.
Merujuk teori utilitis, hal ini sejalan dengan kemanfaatan, yakni menjamin faedah
dan kebahagiaan terbesar bagi jumlah yang lebih banyak.
Menelusuri lebih jauh dalam aturan-aturan yang sifatnya internasional,
terdapat Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 158 Tahun
1982 dan Rekomendasi ILO Nomor 166 Tahun 1982 yang mengatur mengenai
PHK atas inisiatif pengusaha. Kedua aturan ini secara khusus dibuat untuk
menangani masalah PHK akibat kesulitan ekonomi dan perubahan teknologi.
Keduanya juga tidak menyebutkan efisiensi sebagai alasan yang dilarang untuk
menjatuhkan PHK. Alasan-alasan yang tidak dapat dijadikan dasar PHK dalam
kovensi dan rekomendasi ini , yakni:
1. keanggotaan serikat pekerja atau keikutsertaan dalam kegiatan
serikat pekerja di luar jam kerja, atau dengan persetujuan pengusaha,
di dalam jam kerja;
2. memegang jabatan sebagai, bertindak atau telah bertindak dalam
kapasitas sebagai, perwakilan pekerja;
3. pengajuan keluhan atau keikutsertaan dalam pengajuan gugatan
terhadap pengusaha yang menyangkut dugaan pelanggaran hukum
atau peraturan atau memanfaatkan otoritas administrasi yang
berwenang;
4. ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, tanggung jawab
keluarga, kehamilan, agama, politik, kebangsaan, atau asal sosial;
5. ketidakhadiran kerja selama cuti melahirkan;
6. usia, tunduk pada hukum dan praktik nasional tentang pensiun;
7. ketidakhadiran kerja karena wajib militer atau kewajiban
kemasyarakatan lainnya sesuai dengan hukum dan praktik nasional;
dan
8. ketidakhadiran kerja sementara karena sakit atau cedera.
Terlihat dalam rumusan aturan ini bahwa efisiensi tidak dilarang untuk
dijadikan alasan untuk melakukan PHK pada pekerja. Justru pada kedua aturan
ILO ini , secara tegas memberi peluang pada pengusaha untuk melakukan
PHK atas alasan yang bersifat ekonomi, teknologi, struktur, atau alasan serupa,
asalkan pengusaha memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. memberikan informasi yang relevan terkait rencana PHK pada
pekerja dan pemerintah, mengenai alasan PHK, jumlah dan kategori
pekerja yang terdampak, serta kapan PHK akan dilakukan; dan
2. memberikan kesempatan pada perwakilan pekerja atau serikat
pekerja untuk berkonsultasi mengenai langkah-langkah yang akan
diambil untuk mencegah atau meminimalisir PHK, serta mengurangi
dampak buruk PHK pada pekerja terkait.
Mendasarkan pada paparan di atas, untuk menjawab apakah kemudian
PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan dapat dilakukan ataukah tidak, maka
jawabannya akan bergantung pada acuan mana yang akan diambil oleh pengusaha
sebagai dasar. Melakukan PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan tidak dapat
dilakukan jika mendasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
yang mana telah dibahas sebelumnya, frasa “perusahaan tutup” dan frasa “efisiensi”
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Apalagi kemudian
hal ini dikuatkan dengan putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011 yang menafsirkan
bahwa frasa “perusahaan tutup” di Pasal 164 ayat (3) harus selalu ditafsirkan
sebagai perusahaan tutup permanen. Yakni maksudnya, dalam melakukan PHK
ini , penutupan perusahaan merupakan bagian dari proses efisiensi yang
dilakukan oleh pengusaha.
Meski demikian, jika melihat dari kajian konsep ekonomi yang telah
disinggung, penerapan efisiensi justru dititikberatkan pada upaya pengusaha untuk
mempertahankan operasional perusahaannya dalam keadaan yang sulit. Efisiensi
dalam konsep ini justru tidak identik dengan penutupan perusahaan. Malahan,
upaya pengurangan pekerja dalam situasi yang demikian adalah langkah yang
dibolehkan dalam upaya efisiensi. Terlebih, alasan efisiensi sebenarnya bukanlah
alasan yang dilarang untuk menjatuhkan PHK baik menurut Pasal 153 ayat (1)
UU Ketenagakerjaan, Konvensi ILO Nomor 158 Tahun 1982, dan Rekomendasi
ILO Nomor 166 Tahun 1982. Untuk itu, sejatinya PHK efisiensi tanpa penutupan
perusahaan ini terbuka peluangnya untuk dilakukan. Hanya saja kemudian timbul
pertanyaan terkait aspek hukumnya, yakni dasar hukumnya menggunakan apa?
Jika mendasarkan pada Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan hal ini
tentu tidak dapat dilakukan karena terdapat perbedaan konteks yang nyata.
Pasal 164 ayat (3) membahas mengenai PHK efisiensi akibat dari penutupan
perusahaan. Lantas jika Pasal 153 ayat (1) tidak memberikan larangan secara
tegas terhadap alasan efisiensi ini, maka terdapat kekosongan hukum mengenai
PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan. Untuk tetap menjamin dan melindungi
hak-hak pekerja yang terkena PHK ini , pemenuhan hak beserta kompensasi
PHK bagi mereka dapat dianalogikan atau disetarakan dengan pasal-pasal dalam
UU Ketenagakerjaan yang pada dasarnya mengatur peristiwa PHK tanpa adanya
kesalahan dari pekerja. Beberapa pasal-pasal ini yakni:
Tabel 2.
Pengaturan Kompensasi PHK Tanpa Ada Kesalahan Dari Pekerja
Pasal Bunyi Pasal
Pasal 163 ayat (2)
PHK karena perubahan
status, penggabungan,
peleburan perusahaan
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status,
penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha
tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(3), dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166
PHK karena pekerja
meninggal dunia
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh
meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah
uang yang perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua)
kali uang pesangon ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu)
kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan
dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167 ayat (2)
PHK karena pekerja
memasuki masa pensiun
Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang
diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu)
kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
Justifikasi Pemutusan Hubungan Kerja Karena Efisiensi Masa Pandemi Covid-19 dan Relevansinya dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011
Pasal 169 ayat (2)
Pekerja memohon
PHK kepada lembaga
penyelesaian perselisihan
hubungan industrial
karena pengusaha
melakukan kesalahan
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu)
kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
156 ayat (4).
Melakukan PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan merupakan hal yang
serupa dengan PHK tanpa kesalahan sebagaimana diatur dalam keempat pasal
ini . Pekerja yang terkena keputusan PHK efisiensi ini tidak melakukan
kesalahan apapun, dan keputusan PHK ini merupakan murni keputusan
pengusaha dalam rangka mempertahankan perusahaannya. Oleh karena itu,
pemberian kompensasi PHK terhadap PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan
dapat mengikuti formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan ini , yakni uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian
hak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Hal ini diterapkan demi
tetap menjamin dan melindungi hak-hak pekerja yang diputus hubungan kerjanya.
Terlebih, formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan ini juga merupakan
formulasi yang lebih besar dibandingkan dengan formulasi kompensasi alasan
PHK lainnya.
Kehadiran pandemi covid-19 mengakibatkan kesulitan di segala lini kehidupan
masyarakat. Termasuk dalam lalu lintas pelaksanaan hukum ketenagakerjaan di
Indonesia, hal ini juga menjadi momok karena baik pekerja maupun pengusaha
sama-sama merasakan dampaknya. Pada situasi serba sulit ini tidak boleh pula
melakukan generalisir kepada seluruh perusahaan, dengan anggapan semua
perusahaan mampu bertahan tanpa melakukan tindakan-tindakan tertentu. Tidak
semua perusahaan adalah perusahaan besar yang mempunyai keadaan ekonomi
yang kuat. Situasi yang tidak ideal ini tentu saja akan memberi dampak yang tidak
ideal pula. Jika kemudian dalam perjalanannya pengusaha terpaksa melakukan
PHK efisiensi tanpa melakukan penutupan perusahaan, lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial mesti aktif untuk ikut mengawasi proses PHK
hingga pemenuhan hak-hak dan kompensasi PHK bagi pekerja. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yakni:
1. Memastikan bahwa pengusaha telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk
mencegah terjadinya PHK dan PHK yang dilakukan adalah jalan terakhir, serta
satu-satunya yang dapat ditempuh oleh pengusaha.
2. Memastikan bahwa PHK yang dilakukan tidak ada maksud terselubung atau
itikad buruk semata dari pengusaha, prosesnya harus jelas dan terbuka, serta
disertai dengan alasan-alasan atau pertimbangan yang adil.
3. Memastikan segala upah dan kompensasi atau hak-hak pekerja lainnya terkait
hubungan kerja telah dipenuhi oleh pengusaha sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4. Jika perlu, pengusaha dan pekerja dapat memperjanjikan konsep reinstatement,
yakni ketika situasi perusahaan telah normal kembali, dalam hal dibukanya
atau diperlukannya kembali posisi pekerjaan yang semula diefisiensikan,
pekerja yang terkena dampak PHK efisiensi ini diprioritaskan untuk
dipekerjakan kembali.
Justifikasi PHK efisiensi tanpa dilakukannya penutupan perusahaan ialah
semata-mata melihat dari sisi kemanfaatannya, dalam situasi ekonomi akibat
pandemi covid-19 yang sudah serba sulit ini, memaksakan melakukan PHK
efisiensi dengan menutup perusahaan akan menimbulkan dampak ekonomi
yang lebih besar, yakni lebih tingginya angka pengangguran. Hal ini diakibatkan
seluruh pekerja termasuk pengusaha ini kehilangan pekerjaan akibat
penutupan perusahaan. Melakukan PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan
justru memberikan jaminan perlindungan memperoleh pekerjaan yang lebih,
karena dapat menyelamatkan kelangsungan operasional perusahaan, sekaligus
mempertahankan pekerjaan sebagian pekerja lainnya. Meski demikian, dari sisi
aspek hukum, PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan tidak dapat dilakukan
dengan mendasarkan pada Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan Putusan
MK Nomor 19/PUU-IX/2011 karena secara eksplisit menentukan bahwa PHK
efisiensi adalah bagian dari penutupan perusahaan. Tetapi, alasan efisiensi
Lihat Pasal 151 ayat (1) dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tentang Pencegahan Pemutusan
Hubungan Kerja Massal. Keduanya mengatur menegaskan bahwa PHK haruslah sedapat mungkin dicegah dan dihindari, atau dengan kata
lain sebagai upaya terakhir yang ditempuh. Sebelum melakukan PHK pengusaha haruslah menempuh berbagai upaya dulu untuk mencegah
terjadinya PHK seperti mengurangi jam kerja, hari kerja, lembur atau merumahkan pekerja secara bergiliran, dan sebagainya.
untuk melakukan PHK sejatinya tidak dilarang oleh Pasal 153 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan dan Kovensi serta Rekomendasi ILO tahun 1982. Untuk menjamin
dan melindungi pekerja, pemenuhan hak dan kompensasi PHK karena efisiensi
tanpa penutupan perusahaan dapat menggunakan formulasi yang sama dengan
formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan yang ada di UU Ketenagakerjaan.
Terakhir, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial juga perlu
mengawal bahwa proses PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan harus sesuai
dengan prinsip-prinsip, asas dan aturan PHK yang berlaku, serta memastikan hak
dan kompensasi PHK pekerja telah dipenuhi oleh pengusaha.