Rabu, 09 Juli 2025

Published Juli 09, 2025 by

ekonomi siklus bisnis 1


 






 

Perekonomian suatu negara tidak selalu berjalan mulus seperti 

yang kita inginkan. Selalu saja suatu perekonomian dihadapkan pada 

masalah-masalah ekonomi seperti inflasi dan pengangguran. Keynes 

seorang ahli ekonomi terkemuka di era tahun 1930 memperlihatkan 

bahwa tidak selalu perekonomian mencapai tingkat penggunaan tenaga 

kerja penuh (full employment), pengangguran pasti akan terjadi namun 

besarnya tergantung kondisi perekonomian saat itu. Hal ini terbukti 

saat  depresi besar (great depression) terjadi di negara-negara 

kapitalis kurun periode 1929-1933, di mana  output ekonomi berkurang 

drastis sementara tingkat pengangguran tercatat sangat tinggi. Di era 

perekonomian terbuka saat ini, sering kali kita menjumpai krisis yang 

yang memiliki pengaruh besar terhadap suatu negara bahkan 

pengaruhnya merembet ke negara lain. Sebut saja krisis moneter yang 

melanda Asia pada tahun 1997/1998, atau krisis global yang di mulai 

dengan krisis keuangan di amerika Serikat pada tahun 2008 lalu.  

 Permasalahan inflasi dan pengangguran kerap kali terjadi pada 

saat perekonomian mengalami naik atau turun (siklus bisnis). 

Permasalahannya, pada tingkat yang mengkhawatirkan kedua masalah 

tadi dapat menyebabkan munculnya masalah-masalah baru dalam 

perekonomian, seperti meningkatnya angka kemiskinan penduduk, 

kesenjangan sosial akibat distribusi pendapatan yang tidak merata, 

bahkan dapat menyebabkan masalah sosial yang lebih luas.  Untuk 

mengantisipasi fluktuasi yang berlebihan pada siklus bisnis, di kenal 

 

ada dua kebijakan pemerintahan , yaitu kebijakan moneter dan kebijakan 

fiskal.  

Menurut Rahardja dan Manurung (2001), kebijakan fiskal 

yaitu  kebijakan  ekonomi yang digunakan pemerintahan  untuk 

mengelola atau mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik 

atau di inginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan (pajak) dan 

pengeluaran pemerintahan . Sedangkan kebijakan moneter yaitu  upaya 

mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro kekondisi yang 

lebih baik dengan mengatur jumlah uang beredar. Adapun yang 

dimaksud dengan kondisi lebih baik yaitu  meningkatnya output 

keseimbangan dan terpeliharanya stabilitas harga.  

 Dalam kebijakan fiskal, tugas utama pemerintahan  yaitu  untuk 

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja 

yang luas bagi masyarakat. Kebijakan ini lebih bersifat langsung 

menyentuh sektor riil. Kebijakan fiskal di negara kita  tercermin dari 

Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ada beberapa 

perubahan di dalam APBN di era reformasi. Periode anggaran yang 

pada era orde lama yaitu  pada bulan April-Maret diubah menjadi 

Januari-Desember.  Perubahan lainnya yaitu  diubahnya struktur 

APBN dari  dua lajur menjadi satu  lajur, sehingga APBN lebih 

transparan dan mudah dianalisis. Dari APBN sekarang, kita bisa 

melihat kebijakan anggaran apa yang diterapkan di negara kita . Selain 

itu pos belanja negara mengalami penambahan pos yaitu dana 

perimbangan yang merupakan dana untuk  desentralisasi daerah. 

 Dalam struktur APBN, pemerintahan  dapat menerapkan anggaran 

defisit sejauh hal ini diperlukan dalam meningkatkan aktivitas 

perekonomian.  Anggaran defisit yaitu  anggaran di mana komposisi 

 

pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Sumber pembiayaan anggaran 

defisit dapat berupa utang luar negeri maupun utang dalam negeri.  

Selain kebijakan anggaran defisit, dikenal juga istilah anggaran  

berimbang di mana pengeluaran yaitu  sama dengan penerimaan, dan 

anggaran surplus di mana pengeluaran lebih kecil dari penerimaan. 

Kebijakan pemerintahan  yang kedua yaitu  kebijakan moneter. Di 

negara kita , kebijakan moneter diserahkan sepenuhnya pada Bank 

negara kita  yang merupakan pihak otoritas moneter. Pasca krisis moneter 

tahun 1997/1998 banyak pembenahan terjadi dalam tubuh Bank 

negara kita . Salah satunya yaitu independensi, tugas dan wewenangnya. 

Perubahan ini diatur dalam UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank 

negara kita , yang diberlakukan pada tanggal 17 Mei 1999 dan lalu  

diubah dengan Undang-Undang Republik negara kita  No.6 tahun 2009. 

Dalam undang-undang ini diatur tentang status dan kedudukan Bank 

negara kita  sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam 

melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan 

pemerintahan  dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas 

diatur dalam undang-undang ini. Hal lain yaitu  menyangkut tujuan 

dan tugas utama Bank negara kita  yang saat ini terfokus pada pencapaian 

dan pemeliharaan stabilitas nilai rupiah. 

 Untuk mencapai stabilitas rupiah tersebut, instrumen moneter 

yang menjadi sasaran antara yaitu  jumlah uang beredar (Money 

Supply), dan tingkat bunga (interest). Sedangkan sasaran akhir yang 

hendak dicapai  yaitu  kestabilan nilai rupiah meliputi inflasi dan nilai 

tukar. Ada beberapa istilah dalam kebijakan moneter yang lazim 

digunakan. Jika yang dilakukan yaitu  menambah jumlah uang 

beredar, maka pemerintahan  dikatakan menempuh kebijakan moneter 

 

ekspansif (monetary expansive). Sebaliknya jika jumlah uang beredar 

dikurangi, maka pemerintahan  (Bank sentral) menempuh kebijakan 

moneter  kontraktif (monetary contractive).  Dalam praktiknya, Bank 

negara kita  memiliki empat cara-cara pengendalian jumlah uang beredar, 

yaitu; operasi pasar terbuka dipasar uang baik rupiah maupun valuta 

asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib 

minimum, pengaturan kredit dan pembiayaan.  

Menurut Warjiyo dan Solikin (2003), Efektivitas kebijakan 

moneter tergantung pada hubungan antara jumlah uang beredar dengan 

variabel ekonomi utama seperti output dan inflasi. Beberapa literatur 

menemukan hubungan antara jumlah uang beredar, inflasi, dan output. 

Temuan memperlihatkan bahwa dalam jangka panjang, hubungan 

antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi yaitu  sempurna, 

sementara hubungan antara pertumbuhan uang atau inflasi dengan 

pertumbuhan output riil mungkin mendekati nol. Temuan ini 

menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya 

berdampak pada inflasi, dan tidak banyak pengaruhnya terhadap 

kegiatan ekonomi riil. Hanya saja, beberapa kalangan praktisi  maupun 

akademisi yakin bahwa dalam jangka pendek kebijakan moneter 

ekspansif dapat mendorong kegiatan ekonomi yang sedang mengalami 

resesi yang berkepanjangan. Sebaliknya kebijakan moneter kontraktif 

dapat memperlambat laju  inflasi yang umumnya terjadi pada saat 

kegiatan perekonomian sedang mengalami booming .  

Efektivitas kebijakan ekonomi meliputi kebijakan fiskal dan 

kebijakan moneter tergantung pada bagaimana koordinasi antara dua 

kebijakan ini bekerja. Jika kebijakan fiskal dan kebijakan moneter 

dilakukan sama-sama ekspansif, kemungkinan kombinasi kebijakan ini 

 

akan dapat menstimulus kegiatan ekonomi dan meningkatkan 

pertumbuhan ekonomi. pemerintahan  dapat saja menambah anggaran 

dengan menerbitkan obligasi atau menambah utang, sedangkan 

kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menurunkan tingkat bunga. 

Pada aktivitas ekonomi yang terlampau tinggi dengan tingkat inflasi 

yang mengkhawatirkan, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang 

sama-sama kontraktif dapat menurunkan permintaan masyarakat yang 

pada akhirnya menurunkan tingkat inflasi.  

Beberapa kebijakan biasanya mengombinasikan antara 

kebijakan yang ekspansif dan kontraktif. Misalnya kebijakan fiskal 

yang ekspansif dan kebijakan moneter yang kontraktif, atau sebaliknya. 

Efektivitas bauran kebijakan ini sangat tergantung seberapa kuat dua 

kebijakan ini mempengaruhi  kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, Bank 

negara kita  pada suatu saat  hendak menekan inflasi dengan kebijakan 

tight money policy nya, namun pada saat itu juga pemerintahan  terus 

melakukan kebijakan anggaran defisitnya. Beberapa penelitian 

menemukan bahwa kebijakan ini cenderung mendorong peningkatan 

suku bunga keseimbangan pasar sehingga dapat menghambat kegiatan 

investasi oleh masyarakat (crowding out). Efek kebijakan yang saling 

berlawanan ini pada akhirnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap 

perekonomian. 

Buku ini akan membahas tentang kebijakan ekonomi makro 

meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara teori dan 

empiris. Buku ini merupakan bagian dari ekonomi makro dan ekonomi 

moneter, di mana fokus bahasan yaitu  kebijakan ekonomi makro 

meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam pengelolaan 

siklus bisnis (The Business Cycle). Pada bagian dua  fokus bahasan 

 

diarahkan pada teori dasar dan teori ter kini mengenai kebijakan 

ekonomi makro dan efektivitasnya. Pada bagian ke tiga, akan dibahas 

tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di negara kita . Pada 

bagian ke empat akan dibahas sekilas tentang kebijakan ekonomi Islam. 

Pada bagian terakhir akan dibahas studi empiris yang telah dilakukan 

penulis berkaitan dengan judul buku ini. 

 

 


 

2.1 Fenomena Siklus Bisnis di Setiap Negara 

Setiap negara mengharapkan  suatu perekonomian  yang ideal di 

mana  pertumbuhan ekonomi  diharapkan tumbuh secara terus menerus, 

tanpa mengalami penurunan. Pertumbuhan tersebut disertai stabilitas 

harga dan kesempatan kerja yang terbuka luas. Sayangnya, dalam dunia 

nyata  perekonomian umumnya mengalami kondisi yang naik turun, 

setidak-tidaknya dilihat dari perkembangan tingkat output dan harga. 

Naik turunnya aktivitas ekonomi tersebut relatif terjadi dan terjadi 

berulang-ulang dengan rentang waktu yang bervariasi. Dalam ilmu 

ekonomi, gerak naik turun tersebut dikenal sebagai siklus bisnis (The 

Business cycle).  

Siklus dapat terjadi dalam jangka pendek, jangka menengah, 

atau jangka panjang, tergantung sistem ekonomi yang dianut dan 

penyebab siklus dalam suatu negara. Kaum kapitalis memperkirakan  

bahwa akan terjadi krisis (economics down turn) dalam siklus bisnis 

setiap 25 tahun sekali, sedang kaum sosialis memperkirakan  krisis 

akan terjadi setiap 45 tahun sekali, jangka waktu ini lebih panjang 

mengingat besarnya peran pemerintahan  dalam perekonomian terutama 

dalam pengaturan harga. Kalau kita melihat ke belakang, sejarah 

terjadinya resesi tahun 1936 telah menyadarkan ekonom klasik tentang 

adanya siklus bisnis dalam perekonomian. Keseimbangan pasar yang 

diatur oleh mekanisme pasar terkadang tidak selamanya terjadi sebab  

adanya potensi over supply (kelebihan penawaran) dalam 

 

perekonomian. Kenyataannya, full employment (penggunaan tenaga 

kerja penuh) tidak akan pernah dapat dicapai, perekonomian akan 

selalu dihadapkan pada masalah inflasi dan pengangguran. Pada satu 

sisi perekonomian berusaha untuk memaksimalkan output (maksimisasi 

penggunaan resourses), sedang pada sisi yang lain akan ada ancaman 

stabilitas harga. Adanya keterbatasan resources (faktor-faktor produksi, 

termasuk didalamnya tenaga kerja) menyebabkan pada satu titik 

kenaikan harga akan melampaui kenaikan barang yang diproduksi, 

akibatnya akan ada penurunan pendapatan riil masyarakat sehingga 

akan terjadi penurunan permintaan (kelebihan supply). Kelebihan 

supply ini akan menyebabkan berlakunya pengangguran faktor-faktor 

produksi (termasuk tenaga kerja) dalam perekonomian.  

 Siklus bisnis dapat digambarkan sebagai gelombang naik-turun 

aktivitas ekonomi. Siklus ini terdiri atas empat elemen (Dornbusch, 

et.al., 2008), yaitu: 

a. Gerakan menaik (Recovery) 

b. Titik puncak (peak) 

c. Gerakan Menurun  (recession) 

d. Titik terendah (trough) 

Pada saat fase gerakan menaik, biasanya pertumbuhan ekonomi 

meningkat dan menyebabkan daya beli masyarakat meningkat. Pada 

fase ini inflasi bergerak naik sampai pada titik puncak dan inflasi 

mencapai titik optimum pada satu siklus tersebut lalu  akan 

kembali menurun seiring penurunan pertumbuhan ekonomi dan daya 

beli masyarakat. Gerakan menurun berimplikasi pada meningkatnya 

angka pengangguran dan deflasi atau penurunan harga-harga barang 

dan jasa. Kadang kala sebab  berbagai faktor, terjadi pertumbuhan 

 

ekonomi yang begitu baik, sehingga titik kulminasinya jauh di atas 

biasanya atau disebut kondisi boom. Namun sebaliknya dapat juga 

terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi jauh dibawah titik nadir yang 

biasanya. Hal ini disebut depresi (depression). Sebagai contoh, depresi 

besar (great depression) yang dialami negara-negara kapitalis selama 

1929-1933, di mana  output ekonomi berkurang drastis sementara 

tingkat pengangguran tercatat sangat tinggi. Demikian juga dengan 

krisis ekonomi yang pernah dialami negara kita  yaitu krisis moneter 

tahun 1997/1998 di mana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi 

(pertumbuhan ekonomi negatif) sebesar 15 % pertahun di tahun 1998. 

 Pengaruh siklus bisnis terhadap inflasi dan pengangguran pada 

siklus yang tergolong ringan bisa dikatakan tidak membahayakan 

perekonomian. Hanya saja pada siklus menurun dengan rentang waktu 

cukup lama dan menyebabkan meningkatnya pengangguran atau siklus 

menaik yang menyebabkan inflasi tercatat cukup tinggi (misalnya di 

atas 10 persen dan terus bergerak naik) maka  kebijakan ekonomi 

sangat berperan penting di sini. Beberapa penelitian menemukan bahwa 

kebijakan moneter dan kebijakan fiskal sangat berperan penting dalam 

stabilitas siklus bisnis terutama dalam pengendalian inflasi dan 

pengangguran. Stimulus kebijakan fiskal dengan menambah anggaran 

pada saat siklus menurun (resesi) beberapa kalangan menilai lebih 

efektif untuk menggerakkan perekonomian sektor riil sehingga pada 

akhirnya pengangguran akan mengalami penurunan. Untuk 

mengendalikan permintaan masyarakat, kebijakan moneter di nilai juga 

efektif dalam mempengaruhi fluktuasi inflasi yang berlebihan. 

Efektivitas kebijakan  ini tergantung jangka waktu (jangka panjang atau 

1

 

jangka pendek) dan tergantung bagaimana sensitivitas respons 

perekonomian terhadap dua kebijakan tersebut. 

 

2.2     Dasar Teori Tentang Kebijakan Pengelolaan Siklus Bisnis 

2.2.1 Teori Klasik dan Pengikutnya 

 Dalam pengelolaan siklus bisnis, kaum klasik yang lalu  

berpendapat bahwa kebijakan moneter lebih efektif mempengaruhi 

kegiatan ekonomi terutama dalam upaya pengendalian inflasi. Pendapat 

ini di dasarkan pada anggapan bahwa dalam perekonomian yang terus 

mencapai full employment, fungsi permintaan uang hanya terbatas pada  

alat transaksi saja. Permintaan uang akan berubah jika terjadi 

perubahan pendapatan, namun sebab  uang hanya digunakan untuk 

transaksi maka permintaan uang tidak terlalu terpengaruh oleh 

perubahan tingkat bunga. Hal ini digambarkan dengan kurva LM yang 

vertikal, di mana elastisitas permintaan terhadap tingkat bunga nol. 

 Dalam konteks perekonomian telah mencapai full employment 

di mana output keseimbangan telah mencapai tingkat maksimum, maka 

kebijakan moneter dengan menambah jumlah uang beredar hanya akan 

meningkatkan harga. Hal inilah yang mendasari pendapat bahwa inflasi 

yaitu  permasalahan moneter yang lebih efektif jika dikendalikan 

dengan kebijakan moneter pula. Kaum klasik menolak anggapan bahwa 

fenomena-fenomena moneter dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi 

secara keseluruhan. Hal ini terkait tentang mekanisme pasar yang akan 

terus mencapai keseimbangan dalam perekonomian. Dengan kata lain, 

tambahan jumlah uang beredar tidak akan berpengaruh terhadap sektor 

riil, tetapi akan sangat efektif dalam mempengaruhi inflasi.  


 

 Teori klasik lalu  berkembang dan memiliki pengikut yang 

lalu  disebut teori kuantitas modern. Pengikut aliran ini di juluki 

sebagai kaum monetarist yang di pelopori oleh Prof. Milton Friedman 

dari Universitas Chicago pada tahun 1956. Beberapa perubahan dan 

perbaikan aliran ini meliputi efektivitas kebijakan moneter terhadap 

sektor riil. Menurut aliran ini, pada perekonomian yang belum 

mencapai full employment, kebijakan moneter dengan menambah 

jumlah uang beredar selain berpengaruh langsung terhadap harga juga 

dapat meningkatkan output perekonomian. Kaum monetarist 

berpendapat bahwa kebijakan moneter saja sudah cukup untuk 

mempengaruhi perekonomian sebab  pengaruhnya bersifat langsung.  

 Dari sisi fiskal, kaum klasik dan pengikutnya kaum monetarist 

mempercayai bahwa mekanisme pasar akan bekerja dalam mencapai 

keseimbangan ekonomi tanpa harus ada campur tangan pemerintahan . 

Kebijakan fiskal hanya akan menimbulkan apa yang disebut”Crowding 

Out”di mana kenaikan pengeluaran pemerintahan  akan mendorong 

tingkat bunga naik sehingga akan menghambat investasi swasta. Akibat 

dari penurunan investasi menyebabkan permintaan agregat tidak 

bertambah dan output juga tidak mengalami peningkatan. Selain itu, 

pengeluaran pemerintahan  yang tidak di sertai dengan penambahan 

jumlah uang beredar dari sisi moneter tidak akan menambah 

permintaan agregat. Lebih jauh, sebab  tingkat perputaran uang 

(velocity)  relatif stabil maka penambahan pengeluaran pemerintahan  

dengan mencetak uang akan meningkatkan permintaan agregat, tetapi 

itu lebih disebabkan sebab  penambahan jumlah uang beredar. 

 

 


 

2.2.2 Teori Keynes dan Pengikutnya 

 Depresi ekonomi tahun 1936 telah memberikan pemikiran 

ekonomi baru tentang keharusan adanya  campur tangan pemerintahan  

dalam perekonomian. Keynes berpendapat tentang keharusan adanya 

peran pemerintahan  dalam perekonomian. pemerintahan  tidak saja berfungsi 

sebagai pemungut pajak dan penjaga keamanan, tetapi lebih dari itu 

mereka memiliki fungsi intervensi dan regulasi. Menurutnya, siklus 

bisnis pasti akan terjadi dalam perekonomian, namun siklus bisnis ini 

dapat diminimalkan dengan adanya intervensi pemerintahan . Implikasi 

dari itu lalu  Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal yang 

ekspansif (dengan menambah defisit anggaran ) dengan cara 

pembiayaan apapun hasilnya akan tetap ekspansif.  Pembiayaan dengan 

pencetakan uang lebih efektif dibanding dengan penjualan obligasi, dan 

efek yang paling kecil yaitu  dengan kenaikan pajak, namun dengan 

cara apapun efeknya tetap positif.  

 Kebijakan moneter juga dapat mempengaruhi output, hanya saja 

pengaruhnya bersifat tidak langsung atau disebut mekanisme transmisi. 

Keynes menekankan adanya tambahan motif permintaan uang yaitu 

motif memegang uang untuk berspekulasi. Permintaan uang untuk 

berspekulasi sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga. Tingkat bunga 

lalu  juga mempengaruhi investasi pada umumnya. Jika tingkat 

bunga tinggi maka investasi akan menurun sehingga pertumbuhan 

output juga menurun. Begitu juga sebaliknya jika ingin menstimulus 

perekonomian dapat dengan cara menurunkan tingkat bunga sehingga 

investasi meningkat dan tujuan akhir yaitu peningkatan output dapat 

dicapai.   

1

 

 Dalam perkembangannya teori Keynes memiliki pengikut yang 

disebut dengan Teori Permintaan Uang Setelah Keynes dimana, 

pengikut aliran ini disebut kaum Fiscalist. Aliran permintaan uang 

setelah Keynes dipelopori oleh Prof. James Tobin dan Prof. William 

Baumol. Aliran ini berkeyakinan bahwa uang hanya merupakan suatu 

aktiva keuangan diantara banyak aktiva lainnya, bahwa perubahan-

perubahan dalam kuantitas uang mempengaruhi sektor  riil hanya 

secara tidak langsung yaitu melalui penyesuaian-penyesuaian 

portofolio. Untuk mencapai stabilitas ekonomi, penggunaan 

kebijaksanaan fiskal lebih ampuh dibandingkan dengan kebijaksanaan 

moneter sebab  pengaruhnya bersifat langsung.  

 

2.3. Teori Sintesis Klasik-Keynesian 

 Teori sintesis Klasik-Keynesian merupakan gabungan antara 

teori klasik dan teori Keynes yang dikembangkan oleh Jhon Hicks. 

Jhon Hicks menjelaskan tentang tingkat bunga keseimbangan umum 

yang menghubungkan antara pasar barang dan pasar uang.  Gambar 

(2.1) memperlihatkan interaksi antara pasar barang dan pasar keuangan. 

Tabungan, tingkat bunga dan pendapatan secara bersama saling 

mempengaruhi di keseimbangan pasar barang dan pasar uang.  

Pada pasar barang, analisis diawali dengan adanya hubungan 

negatif antara investasi dengan tingkat bunga. Klasik meyakini bahwa 

investasi sama nilainya dengan jumlah tabungan yang ada di 

masyarakat, dimana tabungan ini dipengaruhi oleh pendapatan. Jika 

ketiga hal tadi diderivasi maka akan membentuk kurva IS yaitu kurva 

yang menghubungkan antara tingkat bunga dan pendapatan di pasar 

barang. Kurva IS memiliki slope yang negatif dimana tingkat bunga 

1

 

dan pendapatan memiliki hubungan yang negatif yang berarti jika 

tingkat bunga pasar barang meningkat maka pendapatan akan menurun, 

begitu juga sebaliknya. Penurunan pendapatan ini disebabkan oleh 

penurunan investasi. 

 

 

 

 

 Pada pasar uang, analisis didasarkan pada turunan kurva 

permintaan uang Keynes. Menurut Keynes, permintaan uang 

masyarakat selain untuk transaksi dan berjaga-jaga juga di alokasikan 

untuk berspekulasi. Motif permintaan untuk spekulasi sangat 

dipengaruhi oleh tingkat bunga. Jika ketiga motif permintaan uang ini 

di derivasi maka akan membentuk kurva LM yaitu kurva yang 

menghubungkan antara tingkat bunga dan pendapatan di pasar uang. 

Pendapatan/GDP 

Tingkat Bunga 

Kebijakan Fiskal Kebijakan 

Moneter 

Pasar Barang 

Permintaan Agregat 

Output 

 

Ou 

15 

 

Kurva LM memiliki slope yang positif, dimana jika tingkat bunga 

meningkat maka pendapatan juga meningkat. Hal ini sebab  selain 

untuk berspekulasi, permintaan uang juga digunakan untuk transaksi 

dan berjaga-jaga yang besarnya sangat ditentukan oleh pendapatan. Jika 

kurva IS-LM di gabung maka titik potong kedua kurva akan 

membentuk tingkat bunga keseimbangan yang menghubungkan antara 

pasar uang dan pasar barang. 

 

2.3.1. Model IS 

 Model IS yaitu  model ekonomi yang menggambarkan 

hubungan antara tingkat bunga dan pendapatan yang sesuai dengan 

keseimbangan di pasar barang. Berikut analisis model ekonomi makro 

dalam keseimbangan pasar barang yang akan membentuk kurva IS: 

Identitas Pendapatan Nasional yaitu   

Y = C + I + G ……………………………………………….….…(2.1) 

Fungsi konsumsi C = a + b (Y - T)     ...…………….….….... (2.2) 

Fungsi Pajak  T = c + d (Y) …………………..….…….… (2.3) 

Fungsi Investasi I = e – f (R) .…………………….…………(2.4) 

Pengeluaran pemerintahan      G = G………………………………………(2.5) 

Di mana Y yaitu  pendapatan nasional, C yaitu  konsumsi, I 

yaitu  investasi, G yaitu  pengeluaran pemerintahan , T yaitu  pajak,  R 

yaitu  tingkat bunga, a, c dan e yaitu  konstanta, dan b, d, dan f yaitu  

koefisien.  Jika persamaan (2.1) hingga persamaan (2.5) di gabung 

maka: 

C = a + b (Y- T) 

C = a + b (Y- (c + d(Y)) 

16 

 

C = a + by – bc  –  bdY  

Y = a + bY – bc – bdY + e – f (R) + G 

Y – bY + bdY = a – bc + e + G – f (R) 

Y = a − bc  + e + G(1 – b + bd )   -  f (1 – b + bt)  R……….……………………………(2.6) 

Dari persamaan (2.6) kita dapat menyimpulkan faktor-faktor 

yang mempengaruhi pendapatan pada pasar barang. Faktor-faktor 

tersebut yaitu pengeluaran pemerintahan  dan tingkat bunga atau Y = f (R, 

G). Peningkatan tingkat bunga akan membuat pendapatan menurun di 

pasar barang, sedangkan penambahan pengeluaran pemerintahan  akan 

meningkatkan pendapatan yang pada akhirnya akan menggeser kurva 

IS.  

Blanchard (2009) juga menderivasi model IS dan di dapat 

variabel yang mempengaruhi kurva IS yaitu  konsumsi (di pengaruhi 

oleh pendapatan disposibel), investasi (dipengaruhi oleh pendapatan 

dan tingkat bunga) serta pengeluaran pemerintahan .Kurva IS dapat kita 

lihat pada gambar (2.2) dimana kurva tersebut memiliki slope yang 

negatif , hal ini memperlihatkan adanya hubungan negatif antara 

tingkat bunga dan pendapatan. 

       

 

2.3.2. Model LM 

 Model dalam pasar uang dikembangkan oleh Keynes dimana 

ada   tiga motif memegang uang yaitu; pertama, motif memegang 

uang untuk keperluan transaksi.  Kedua, motif memegang uang untuk 

berjaga-jaga, dan ketiga, motif memegang uang untuk spekulasi. 

Permintaan uang ini dipengaruhi oleh pendapatan dan tingkat bunga. 

Secara matematis permintaan uang (Md) yaitu  fungsi dari pendapatan 

dan tingkat bunga (Y dan R) lihat persamaan (2.7).  

Md = f ( Y, R)……....…………………………………..…………(2.7) 

Md = e- f (R) + k (Y)…….. ………………..…………………….(2.8) 

Sedangkan Fungsi penawaran uang yaitu  jumlah uang yang di 

supply oleh otoritas moneter: 

Ms = M………………….…………………………..…………..…(2.9) 

Di mana keseimbangan antara permintaan dan penawaran uang yaitu  : 

Md = Ms…….…………….….…………………………………..(2.10) 

Jika kita gabungkan persamaan (2.8) dan (2.9) pada persamaan (2.10) 

maka didapat: 

e- f (R) + k (Y) = M , dimana nilai pendapatan yaitu : 

Y = 

𝑀−𝑒 k  + f k  (R)……… ……………………………..…….……..(2.11) 

Dari persamaan diatas terlihat hubungan positif antara tingkat 

bunga dan pendapatan di pasar uang. Untuk melihat hubungan ini dapat 

kita lihat gambar (2.3) di mana kurva LM memiliki slope yang positif. 

Selain itu  penambahan jumlah uang beredar (M) akan menggeser 

kurva LM. Untuk melihat kurva IS-LM, maka kita cari nilai R, dimana 

nilai R dapat dilihat pada persamaan 2.(12). 

18 

 

R = k f  Y – (𝑀−e  k    k f  )……………………………………………….(2.12) 

                     R  

                                        LM: Y= f (R, M) 

 

 

                                                                               Y            

Gambar 2.3. Kurva LM 

2.3.3. Model IS-LM 

Untuk mencari keseimbangan IS dan LM, substitusikan 

persamaan (2.12) ke dalam persamaan (2.6), lalu didapat : 

Y =( a − bc  + e + G(1 – b + bd )   -  f (1 – b + bt)  ). R 

Dimana R = k f  Y – (𝑀−e  k    k f  ),  sehingga persamaan IS-LM yaitu : 

Y =( a − bc  + e + G(1 – b + bd )   -  f (1 – b + bt)  ) .  ( k f  Y – (𝑀−e  k    k f ))……….……..(2.13) 

                Dari persamaan (2.13) tersebut dapat dilihat bagaimana peran 

kebijakan fiskal dan moneter dalam mempengaruhi output di mana 

pergeseran kurva IS-LM sangat dipengaruhi oleh perubahan 

pengeluaran pemerintahan  (G) dan perubahan  jumlah uang beredar (M). 

Gambar (2.4) memperlihatkan gabungan kurva IS-LM, di mana 

keseimbangan berupa titik potong kurva IS-LM akan membentuk 

tingkat bunga keseimbangan (Rm) yang akan menghubungkan antara 

pasar uang dan pasar barang.  

19 

 

 

2.4.  Teori Baru Koordinasi Kebijakan Fiskal Dan Moneter  

 Peraih nobel ekonomi tahun 2004, yaitu; Finn Kydland dan 

Edward Prescott (Kungl.Vetenskapsakademien, 2004) menemukan 

teori baru tentang kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan siklus bisnis. 

Teori ini memasukkan unsur mikro dalam permasalahan makro 

ekonomi yang dihadapi suatu negara. Menurut teori ini, keberhasilan 

dari kebijakan fiskal dan moneter sangat tergantung pada pemikiran 

rasional masyarakat berupa ekspektasi atau perkiraan tentang masa 

depan. Beberapa kejadian krisis seperti krisis tahun 1997/1998 di mana 

spekulasi mata uang sangat dominan menyebabkan krisis di ASIA yang 

merembet pada permasalahan inflasi, ke tidak stabilan ekonomi dan 

menyebabkan krisis yang lebih luas lagi. Permasalahan tersebut 

sebenarnya sangat dipengaruhi oleh keputusan dan perilaku rumah 

tangga dan perusahaan. Riset yang dilakukan peraih nobel diatas 

lalu  melahirkan teori baru bahwa aspek mikro ternyata tidak 

boleh diabaikan dalam kebijakan ekonomi negara.  

20 

 

 Bahasan teori ini di mulai dari adanya konsistensi waktu dalam 

peluncuran kebijakan. Asumsi yang digunakan bahwa rumah tangga 

berpikir secara rasional. saat  rumah tangga memperkirakan akan ada 

kebijakan fiskal yang kontraktif bahwa pajak atas modal akan semakin 

tinggi di masa datang, maka rumah tangga akan mengurangi tagungan 

sekarang ini dan meningkatkan pengeluaran modal untuk menghindari 

pajak. Jika mereka menahan diri dan menambah modal pada masa 

kebijakan fiskal di realisasikan, maka mereka akan terkena beban pajak 

modal yang tinggi. Ekspektasi ini pastilah akan merubah hasil akhir 

dari rencana pemerintahan  untuk menerapkan kebijakan kontraktif 

tersebut.  

 Begitu juga saat  perusahaan merespons rencana otoritas 

moneter untuk melakukan ekspansi moneter dengan menurunkan 

tingkat bunga, maka perusahaan akan menetapkan harga-harga dan 

upah yang lebih tinggi sekarang ini. Hal ini disebabkan sebab  jika 

harga dan upah tidak dinaikkan sekarang, maka dimasa datang 

keuntungan yang diperoleh lebih kecil sebab  dipengaruhi inflasi 

sebagai dampak ekspansi moneter. Bisa dibayangkan, bagaimana 

kegagalan kebijakan moneter yang baru akan direncanakan bulan depan 

telah berdampak pada bulan sebelumnya.  

 Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, pemerintahan  harus 

menerapkan kebijakan yang konsisten di masa akan datang. Jika 

pemerintahan  menjalankan kebijakan stabilitas harga di masa sekarang, 

maka penting juga diperhatikan bahwa kebijakan stabilitas harga di 

masa akan datang di pertahankan. Faktor ekspektasi rumah tangga dan 

perusahaan harus dimasukkan dan dipertimbangkan dalam mengambil 

kebijakan. Ekspektasi atau harapan ini akan mempengaruhi perilaku 

21 

 

pelaku ekonomi dan jika diabaikan dapat menyebabkan kegagalan 

kebijakan. Hal lain yang harus diperhatikan yaitu  bahwa kebijakan 

dalam pengelolaan siklus bisnis harus fokus pada permasalahan yang 

menyebabkan siklus bisnis tersebut. Teori ini tetap menekankan bahwa 

aspek mikro meliputi perilaku rumah tangga dan perusahaan yang 

berupa konsumsi, investasi, supply tenaga kerja, dan lain-lain harus 

diperhatikan. 

 

 

 

  

 

3.1  Kebijakan Fiskal 

 Kebijakan fiskal yaitu  kebijakan yang dilakukan pemerintahan  

untuk mengarahkan perekonomian ke arah yang lebih baik dengan 

mengubah-ubah pendapatan dan pengeluaran pemerintahan   (Rahardja 

dan Manurung, 2001). Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa 

kebijakan anggaran, yaitu anggaran berimbang, anggaran surplus, dan 

anggaran defisit. Ketiga kebijakan anggaran di atas digunakan 

negara kita  tiga fungsi kebijakan fiskal yaitu sebagai alat untuk 

mengalokasikan barang publik (allocation), berfungsi sebagai alat 

untuk distribusi pendapatan (distribution), dan alat untuk stabilisasi 

perekonomian (stabilization). 

 

3.1.1 APBN Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal 

  Kebijakan fiskal di negara kita  digambarkan oleh perkembangan 

APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang terus 

meningkat dari tahun ke tahun. APBN merupakan salah satu lokomotif 

dalam mencapai pertumbuhan ekonomi di negara kita .  Pasca krisis 

moneter tahun 1997/ 1998  format APBN mengalami perubahan dari 

format T-Billing menjadi format I-Billing. Format I-Billing yang 

dimaksud yaitu  format APBN hanya terdiri dari satu kolom dimana 

sebelumnya terdiri dari dua kolom dengan sistem anggaran yang 

berimbang.   

2

 

Perubahan ini merupakan salah satu wujud reformasi kebijakan 

fiskal pemerintahan  negara kita . Dengan format anggaran yang baru, 

APBN menjadi lebih transparan dan mudah untuk di analisis. Sumber 

anggaran, pengeluaran dan defisit anggararan jelas terlihat dalam 

format ini. Perhitungan anggaran yang dimulai Januari dan berakhir 

Desember juga di nilai lebih efektif dalam penyusunan dan realisasi 

anggaran.  

negara kita  tabel (3.1), sumber penerimaan dalam negeri 

berupa penerimaan pajak dan bukan pajak. Penerimaan pajak meliputi 

penerimaan pajak penghasilan (pph migas dan non migas), pajak 

pertambahan nilai, cukai, BPHTB, pajak bumi dan angunan dan pajak 

lainnya. Pajak perdagangan internasional meliputi bea masuk dan bea 

keluar. Untuk penerimaan bukan pajak, sumber pendapatan terdiri dari 

penerimaan SDA (Sumber daya alam) meliputi migas dan non migas, 

laba BUMN (Badan Usaha Milik Negara), pendapatan BLU (Badan 

Layanan Umum), dan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) lainnya. 

Sumber pendapatan lainnya yaitu  hibah. 

Untuk pengeluaran, ada   dua pengeluaran dalam APBN, 

yaitu pengeluaran pemerintahan  pusat dan transfer ke daerah. Untuk 

pengeluaran pemerintahan  pusat diantaranya ada   pengeluaran untuk 

belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga 

utang, subsidi,  belanja hibah, bantuan sosial, dan lain-lain. Untuk 

transfer ke daerah, pengeluaran terdiri dari dana perimbangan. Adapun 

dana perimbangan terdiri dari, pertama; bagi hasil pajak dan sumber 

daya alam, kedua; dana alokasi umum, dan ketiga; dana alokasi khusus. 

Pengeluaran lain yaitu  dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. 

 

2

 

Tabel 3.1 Format APBN di Era Reformasi 

 

URAIAN APBN (Rp) 

A. Pendapatan Negara dan Hibah 

1. Penerimaan Dalam Negeri 

- Penerimaan Perpajakan 

- Penerimaan Negara Bukan Pajak 

II. Hibah 

 

B. Belanja Negara 

1. Belanja pemerintahan  Pusat 

- Pengeluaran Rutin 

- Pengeluaran Pembangunan 

II. Transfer ke Daerah 

1.  Dana Perimbangan 

2.  Dana Otonomi Khusus dan  

     Penyeimbang. 

III. Suspen 

 

C. Keseimbangan Primer 

D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B) 

E. Pembiayaan 

1. Pembiayaan Dalam Negeri 

2. Pembiayaan Luar Negeri 

 

Kelebihan/ (kekurangan) 

pembiayaan 

Rp. 

  

 

 

3.1.2 Indikator Kebijakan Fiskal 

  Salah satu tujuan dari kebijakan fiskal yaitu  mengurangi angka 

pengangguran. Dalam upaya menurunkan angka pengangguran, 

pemerintahan  kerap kali menstimulus perekonomian dengan kebijakan 

fiskal yang ekspansif dengan menambah defisit anggararan. 

Meningkatnya pengeluaran pemerintahan  diharapkan dapat meningkatkan 

permintaan agregat sehingga pertumbuhan ekonomi akan meningkat. 

2

 

Meningkatnya aktivitas ekonomi pada akhirnya dapat mengurangi 

angka pengangguran.  

  

 

 

 Kurun periode 1988 hingga tahun 2012 persentase angka 

pengangguran terhadap total angkatan kerja di negara kita  semakin 

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Persentase terendah terjadi 

pada tahun 1990 dimana angka pengangguran tercatat sebesar 2,5 

persen per tahun. Angka pengangguran beranjak naik pasca krisis 

moneter tahun 1997/1998 dan mengalami tingkat tertinggi pada tahun 

2005 sebesar 11, 2 persen. Pasca krisis global tahun 2008 persentase 

pengangguran terus mengalami penurunan pada tingkat rata-rata 6 

persen pertahun. 

 

 

 

2

 

  Peran pemerintahan  dalam upaya menurunkan angka 

penganggurana terlihat dari kebijakan anggaran dalam APBN. Gambar 

(3.2) memperlihatkan persentase defisit anggaran APBN terhadap PDB 

(Produk Domestik Bruto) negara kita . Angka negatif mencerminkan 

pemerintahan  menggunakan anggaran defisit, sedangkan angka positif 

mencerminkan pemerintahan  menggunakan anggaran surplus.  Tahun 

1988 defisit anggaran tercatat sebesar 2,3 persen dar PDB, defisit 

lalu  terus menurun bahkan tercatat surplus yaitu sebesar 3 persen 

pada tahun 2005.  

  Pasca liberalisasi sektor keuangan peran swasta semakin 

meningkat. pemerintahan  mulai menurunkan dominasinya dalam 

perekonomian dengan menggerakkan kinerja sektor keuangan. Krisis 

tahun 1997/1998 merupakan sejarah yang berat bagi perekonomian 

negara kita . Lumpuhnya sektor riil terutama sektor perbankan 

menyebabkan pemerintahan  harus mengeluarkan dana yang banyak bagi 

upaya pemulihan ekonomi. pemerintahan  meningkatkan defisit 

-3


 

anggarannya hingga mencapai  2,5 persen pada tahun 1999. Pasca 

krisis defisit anggaran terus di upayakan berada pada tingkat dibawah 2 

persen dari tingkat PDB negara kita . 

  Studi empiris mengenai peran kebijakan fiskal terhadap 

pertumbuhan ekonomi dan inflasi pernah di teliti oleh Surjaningsih,et 

al.(2012). Penelitian ini menggunakan analisis kointegrasi, danVECM 

(Vector Error Correction Model). Ada beberapa kesimpulan penting 

dalam penelitian ini. Variabel kebijakan fiskal dengan kenaikan 

pengeluaran pemerintahan  memiliki pengaruh yang positif terhadap 

pertumbuhan ekonomi, sementara shock kenaikan pajak memiliki efek 

menurunkan pertumbuhan ekonomi. Hubungan pengeluaran 

pemerintahan  dan pajak terhadap inflasi kemungkinan di sebabkan oleh 

multiplier efek dan dampak kebijakan terhadap permintaan agregat.  

 

3.2  Kebijakan Moneter 

3.2.1 Pengertian dan Instrumen Kebijakan Moneter 

 Perubahan yang besar pada Bank negara kita  sebagai Bank Sentral 

yang independen dalam menjalankan tugasnya tertuang dalam UU No. 

23/1999 tentang Bank negara kita ,  yang berlaku pada tanggal 17 Mei 

1999 Undang-undang ini telah diubah dengan Undang-Undang 

Republik negara kita  No. 6/ 2009. Dalam undang-undang ini status dan 

kedudukan Bank negara kita  dalah lembaga negara yang independen 

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta bebas dari campur 

tangan pemerintahan  dan/atau pihak lain.  ada   perubahan mendasar, 

di mana tugas Bank negara kita  yaitu  menetapkan dan melaksanakan 

kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai 

rupiah. Arah kebijakan di fokuskan pada sasaran laju inflasi yang ingin 

28 

 

dicapai yang di wujudkan dalam kerangka target inflasi (inflation 

targeting framework). 

 Definisi kebijakan moneter sebelum era reformasi dapat 

memperlihatkan bagaimana perbedaan fungsi bank sentral sebelum dan 

sesudah reformasi. Menurut Roswita (1995), kebijakan moneter yaitu  

tindakan yang dilakukan oleh penguasa moneter (bank sentral) untuk 

mempengaruhi jumlah uang beredar, tingkat bunga, dan kredit yang 

pada waktunya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. 

Adapun tujuan dari kebijaksanaan moneter 

1. Pendapatan nasional yang tinggi agar pertumbuhan ekonomi yang 

tinggi. 

2. Kesempatan kerja yang cukup tinggi agar tingkat pengangguran 

rendah 

3. Kestabilan harga atau laju inflasi yang rendah 

4. Neraca pembayaran internasional yang seimbang 

5. Distribusi pendapatan yang merata 

  Setelah krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 

1997 lalu, tujuan dan tugas utama Bank negara kita  saat ini hanya 

terfokus pada pencapaian dan pemeliharaan stabilitas nilai rupiah 

meliputi inflasi dan nilai tukar. negara kita  Undang-Undang Republik 

negara kita  No. 6/ 2009, implementasi kebijakan moneter terlihat dari 

penetapan besaran BI-Rate. Target kebijakan moneter dicapai dengan 

pendekatan pengendalian moneter secara tidak langsung. Adapun 

instrumen yang digunakan yaitu : 

1. Politik Diskonto (Rediscount Rate Policy) yaitu kebijaksanaan 

bank sentral dengan cara menaikkan atau menurunkan tingkat 

bunga yang harus dibayar bank umum apabila bank umum 

2

 

meminjam dana dari bank sentral. Pinjaman tersebut disebut kredit 

likuiditas dimana jika bank umum mengalami kesulitan likuiditas 

dapat meminjam ke bank sentral. Bank sentral dapat memberikan 

pinjaman (kredit likuiditas) atau dengan membeli surat-surat 

berharga milik bank umum yang memerlukan bantuan. Aktivitas 

jual beli surat-surat berharga disebut mendiskontokan surat-surat 

berharga. Kebijaksanaan menaikkan atau menurunkan tingkat 

bunga kredit likuiditas dan tingkat bunga diskonto dapat 

mempengaruhi kemampuan bank umum dalam memberikan kredit 

ke masyarakat sehingga mempengaruhi  jumlah uang beredar dan 

target akhir yaitu inflasi. 

2. Politik Cadangan Minimal (Reserve Requirement) atau di 

negara kita  disebut Giro Wajib Minimum (GWM), yaitu 

kebijaksanaan bank sentral untuk mengubah besarnya cadangan 

minimal. Bank umum harus menyimpan cadangan wajib minimum 

dari aktiva lancar yang dimilikinya  ke bank sentral dalam bentuk 

giro dan besarnya cadangan tersebut ditentukan bank sentral. Di 

negara kita , kebijakan Pakto 1988 telah mewajibkan bank umum 

untuk menyimpan cadangan wajib minimum sebesar 3 % sebagai 

upaya pengendalian moneter. Sejak bulan April 1997 rasio tersebut 

ditingkatkan dimana besarnya rasio cadangan wajib minimum 

yaitu  5 %. Jika bank sentral hendak menerapkan kebijakan 

moneter kontraktif, bank sentral dapat meningkatkan rasio 

cadangan minimum sehingga kemampuan bank umum dalam 

menyalurkan kredit ke masyarakat akan menurun. Akibatnya 

perlambatan pertumbuhan kredit akan memperlambat laju 

pertumbuhan ekonomi dan inflasi. 


 

3. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), yaitu 

kebijaksanaan dengan cara menjual dan membeli surat-surat 

berharga pemerintahan , sehingga akan mengurangi atau menambah 

jumlah uang beredar. Di negara kita  surat berharga yang diperjual 

belikan yaitu  SBI (Sertifikat Bank negara kita ). Penjualan SBI 

dilakukan melalui lelang. Jika bank sentral menjual obligasi 

pemerintahan  kepada masyarakat, maka kebijakan ini berarti bank 

sentral sedang melakukan kebijakan moneter yang kontraktif yaitu 

mengurangi jumlah uang beredar. Begitu juga sebaliknya jika bank 

sentral membeli obligasi pemerintahan  yang ada pada masyarakat 

maka bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif yaitu 

menambah jumlah uang beredar.  

 

3.2.2 Perkembangan Indikator Moneter di negara kita  

Kurun tahun 2005 hingga 2012 secara umum indikator moneter 

seperti inflasi dan kurs (nilai tukar)  terus mengalami perbaikan. Inflasi 

sebagai salah satu target akhir kebijakan moneter tercatat mengalami 

peningkatan cukup tinggi pada bulan Oktober 2005 hingga Februari 

2006 yaitu diatas 17 persen. Kenaikan harga-harga barang umum ini 

lebih disebabkan oleh kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak).  

Jika kita lihat dari pola inflasi, inflasi administered price atau inflasi 

akibat kebijakan pemerintahan  sangat berpengaruh terhadap peningkatan 

Inflasi di negara kita . Gambar (3.3) memperlihatkan perkembangan 

inflasi di negara kita  delapan tahun terakhir. 


 

Pada pertengahan hingga akhir tahun 2008 tingkat inflasi 

kembali mengalami peningkatan rata-rata 11,5 persen. Peningkatan ini 

di sebabkan oleh adanya krisis global yang sedikit banyak memberikan 

imbas pada perekonomian negara kita . Pasca krisis global perekonomian 

negara kita  terlihat membaik hal ini dapat di lihat dari tingkat inflasi 

yang relatif stabil dan masih pada tingkat yang aman yaitu dibawah 10 

persen. Sedikit berbeda dengan perkembangan kurs atau nilai tukar 

rupiah terhadap dolar US, di mana depresiasi nilai tukar rupiah tertinggi 

terjadi pada saat krisis global tahun 2008 yaitu pada Oktober 2008 

hingga Maret tahun 2009. Perkembangan kurs atau nilai tukar rupiah 

dapat dilihat pada gambar (3.4) di bawah. 

0

4

 Pada gambar (3.4) terlihat pasca krisis global nilai tukar rupiah 

terus mengalami apresiasi rata-rata pada tingkat 9.000 rupiah per dolar 

US. Di akhir tahun 2012 kurs terus mengalami depresiasi setelah relatif 

stabil pasca krisis global tahun 2008. Relatif membaiknya indikator 

moneter seperti inflasi dan nilai tukar merupakan implikasi dari 

kebijakan yang diterapkan oleh otoritas moneter dalam hal ini Bank 

negara kita . Kebijakan moneter ini terlihat dari kebijakan moneter yang 

ekspansif dengan menurunkan tingkat bunga BI.  

Pada gambar (3.5) terlihat bahwa kurun tahun 2005 hingga 

tahun 2012 tingkat BI rate tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Juni 

2006 yaitu mencapai tingkat 12,5 persen. BI rate yang terbilang tinggi 

ini merupakan respon dari kenaikan inflasi akibat kenaikan harga 

BBM. Kebijakan meningkatkan tingkat bunga pada saat inflasi yaitu  

untuk menekan permintaan dan daya beli masyarakat sehingga harga-

harga akan mengalami penurunan.  

8,

 

Beberapa penelitian melihat bagaimana pengaruh tingkat bunga 

terhadap inflasi dan output. Arestis dan Sawyer (2002), melihat 

bagaimana tingkat bunga sebagai instrumen utama kebijakan moneter 

mempengaruhi sektor riil di Angeloni salah satu wilayah dalam zona 

Euro. Sektor riil disini  diukur dengan GDP, permintaan agregat, nilai 

tukar, dan investasi. Hasil estimasi dengan OLS memperlihatkan bahwa 

tingkat bunga berpengaruh signifikan terhadap sektor riil. Kenaikan 1 

persen tingkat bunga akan menurunkan 0,2 hingga 0,35 persen GDP 

dan menurunkan 0,2 hingga 0,4 % tingkat inflasi.  

 

 

Bi rate lalu  terus mengalami penurunan. Pada tahun 2008 

BI rate kembali di tingkatkan lagi oleh BI sebagai upaya menahan 

pengaruh krisis global di negara kita  terutama untuk menstabilkan nilai 

tukar rupiah yang terdepresiasi cukup tinggi. Relatif membaiknya 

perekonomian negara kita  pasca krisis global membuat BI terus 

melonggarkan perekonomian dengan menerapkan kebijakan moneter 

5

6

 

ekspansif. Hal ini terlihat dari perkembangan BI rate yang terus  

mengalami penurunan hingga penghujung tahun 2012. 

Perkembangan indikator moneter lainnya yang tidak kalah 

penting yaitu jumlah uang beredar. Jika dilihat dari perkembangan M2 

pada gambar (3.6), kurun periode tahun 1982-2012 jumlah uang 

beredar terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah uang 

beredar M2 mencerminkan meningkatnya aktivitas perekonomian dan 

semakin vitalnya fungsi lembaga keuangan dalam perekonomian.   

 

 

 Pada gambar (3.6) juga digambarkan perkembangan output 

yang diukur dengan perkembangan GDP (Gross domestics Product). 

Jika dilihat pada gambar tersebut, ada   pola yang sama yaitu sama-

sama meningkat dan menunjukkan tren positif antara jumlah uang 

beredar dan GDP. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa 

kebijakan moneter dengan menambah jumlah uang beredar efektif 

dalam mempengaruhi output yaitu GDP. Hafer, et.al (2002) melihat 

hubungan antara kebijakan moneter, jumlah uang beredar, dan output di 

0

1,

 

Amerika Serikat. Penelitian ini terdiri dari tiga kajian. Kajian yang 

pertama yaitu melihat hubungan antara kebijakan moneter dan output 

dengan mengestimasi persamaan output gap di mana tingkat 

pembiayaan bank sentral menjadi instrumen kebijakan moneter.  

Kajian yang kedua yaitu mengestimasi Congressional Budget 

Office (CBO) terhadap output gap, dan yang ketiga mengestimasi 

pengaruh jumlah uang beredar (M0,M1,M2) dengan mempengaruhi 

tingkat bunga terhadap output. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa 

ada korelasi yang signifikan antara tingkat pembiayaan bank sentral 

terhadap output kurun waktu tahun 1961-1982, namun tercatat tidak 

signifikan pada data tahun 1982 hingga tahun 2000.   Penelitian ini juga  

menemukan hubungan yang signifikan antara lag jumlah uang riil dan 

output gap pada tahun 1961-1982, namun juga tidak signifikan pada 

tahun 1982-2000.  

 

3.3. Gabungan Kebijakan (Policy Mix) 

Dalam kebijakan suatu negara, diperlukan adanya gabungan 

kebijakan (policy mix) yang saling terkoordinasi dengan baik. 

Koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter diperlukan 

untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dan ke gagalan kebijakan. 

Kita mengenal istilah informasi yang asimetris (assimetrics 

information) di mana  informasi yang tidak seimbang antara kebijakan 

pemerintahan  dengan ekspektasi rumah tangga atau perusahaan akan 

memicu adanya kegagalan kebijakan tersebut. Kita juga mengenal 

istilah crowding out atau kebijakan yang saling meniadakan sehingga 

kebijakan menjadi gagal dalam pencapaian tujuan.  

36 

 

Kebijakan gabungan dinilai dapat mempengaruhi perekonomian 

lebih maksimal jika di lakukan secara terkoordinasi.   beberapa metode 

dalam pelaksanaan kebijakan gabungan, antara lain; (1) Kebijakan 

moneter ekspansif dan kebijakan fiskal ekspansif, (2) Kebijakan 

moneter kontraktif dan kebijakan fiskal ekspansif, (3) Kebijakan 

moneter  ekspansif dan kebijakan fiskal kontraktif, (4) Kebijakan 

moneter kontraktif  dan kebijakan fiskal kontraktif.   

Metode (1) dan (4) dimana kebijakan di lakukan sama-sama 

ekspansif atau ama-sama kontraktif  merupakan metode kebijakan yang 

paling efektif untuk mengatasi fluktuasi siklus bisnis yang berlebihan. 

Kondisi ini tentu memiliki syarat jika gabungan kebijakan tersebut 

dilakukan secara terkoordinasi. Sementara itu, metode kebijakan (2) 

dan (3) akan memiliki pengaruh yang saling meniadakan, dan hasil 

akhirnya sangat tergantung pada kekuatan pengaruh relatif antara 

kebijakan moneter dan fiskal.  Beberapa studi empiris memperlihatkan 

bahwa kombinasi kebijakan moneter kontraktif dan kebijakan fiskal 

ekspansif  sering kali cenderung mendorong terjadinya crowding out 

dimana kebijakan fiskal ekspansif akan meningkatkan suku bunga 

keseimbangan pasar sehingga dapat menghambat kegiatan investasi 

oleh masyarakat   (warjiyo dan Solikin, 2003). 

 Sejalan dengan hal tadi, menurut Dornbusch,et.al (2008:267), 

Kebijakan moneter yang ekspansif akan menurunkan tingkat bunga, 

sedangankan kebijakan fiskl yang ekspansif akan meningkatkan tingkat 

bunga. Kebijakan moneter yang ekspansif akan meningkatkan output 

dan meningkatkan investasi. Sedangkan kebijakan fiskal dapat 

meningkatkan output namun menyebabkan turunnya tingkat investasi 

akibat crowding out. Oleh sebab nya, pemerintahan  dapat menerapkan 

3

                               

 Jika perekonomian hendak mencapai nilai Y* atau titik full 

employment, maka kebijakan pemerintahan  dapat berupa kebijakan fiskal 

ekspansif dengan konsekuensi tingkat bunga naik dan investasi 

menurun sebab  adanya crowding out (titik E1). Jika dilakukan 

kebijakan moneter maka tingkat bunga akan turun pada tingkat E2 

dimana investasi meningkat. pemerintahan  dapat menerapkan kebijakan 

gabungan atau policy mix sehingga hasilnya ada dipertengahan E1 dan 

E2. Kebijakan gabungan dapat sama-sama mencapai pertumbuhan 

ekonomi pada tingkat bunga yang tidak terlalu rendah atau tidak terlalu 

tinggi. 

Beberapa penelitian memperlihatkan bagaimana koordinasi 

kebijakan fiskal dan kebijakan moneter (policy mix) dalam mencapai 

pertumbuhan ekonomi. Musa,et.al. (2013) melihat interaksi kebijakan 


 

fiskal dan moneter terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di 

Nigeria. Estimasi menggunakan uji kointegrasi dan Vector Error 

Correction Model (VECM). Penggunaan model ini untuk melihat 

hubungan jangka panjang dan jangka pendek antar variabel. 

negara kita  hasil estimasi, terlihat bahwa penambahan jumlah uang 

beredar dan variabel pendapatan pemerintahan  sangat efektif dalam 

mempengaruhi inflasi dan output  dalam jangka panjang. Musa 

menyimpulkan bahwa kedua kebijakan sangat efektif dalam 

mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Nigeria jika di 

lakukan dengan koordinasi yang baik.  

 

3.4  Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter Di negara kita  

 Tahun 1965 merupakan gambaran perekonomian yang suram 

bagi negara kita . Pencetakan uang secara besar-besaran untuk 

membiayai anggaran fiskal pemerintahan  telah berdampak pada hiper 

inflasi dimana inflasi tercatat sebesar 600 persen. Menurunnya nilai 

uang akibat hiper inflasi lalu  menjadi pelajaran penting bagi 

otoritas kebijakan fiskal dan moneter tentang pentingnya pengendalian 

uang dan inflasi. Kesadaran tersebut lalu  mengubah arah 

kebijakan fiskal di negara kita . Di penghujung tahun 1968 hingga 1971, 

pembiayaan defisit APBN lalu  di alihkan dengan cara berutang 

ke luar negeri. Kebijakan fiskal dan moneter diperketat dengan tujuan 

pengendalian inflasi.  

 Potret perekonomian negara kita  tahun 1970 terlihat membaik. 

Pertumbuhan ekonomi tercatat cukup tinggi rata-rata 7 persen per 

tahun.  Selain keberhasilan pengendalian hiper inflasi, negara kita  

mendapatkan berkah  dari kenaikan harga minyak dunia pada periode 


 

ini. Berkah kenaikan harga minyak dapat di nikmati sebab  negara kita  

saat itu tercatat sebagai negara pengekspor minyak. Dominasi 

kebijakan fiskal dalam mendorong  pertumbuhan ekonomi 

menyebabkan terjadi penambahan jumlah uang beredar dari sisi fiskal 

terutama dari penambahan devisa. Peran kebijakan moneter di periode 

ini bisa dikatakan tidak memiliki peran yang vital seperti kebijakan 

fiskal. Bank negara kita  masih menerapkan kebijakan moneter yang 

kontraktif terutama untuk menekan inflasi akibat ekspansi fiskal. 

Berkah kenaikan harga minyak dunia tidak selamanya dapat diandalkan 

dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.  

Di awal tahun 1980 pertumbuhan ekonomi negara kita  melambat 

seiring berakhirnya periode oil boom. Menyadari hal ini pemerintahan  

mulai mencari jalan untuk keluar dari masalah melambatnya ekonomi. 

Tahun 1980 pemerintahan  meliberalisasi sektor-sektor ekonomi sebagai 

upaya pemberdayaan sektor swasta dalam perekonomian. pemerintahan  

mulai memberi peluang bagi kebijakan moneter dengan kebijakan yang 

ekspansif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat juga 

dengan kebijakan liberalisasi sektor keuangan yang cukup mengalami 

perubahan yang besar. Dampak liberalisasi sektor keuangan terlihat 

dengan banyaknya pendirian bank-bank baru di negara kita . Peran bank 

umum dalam memberikan kredit juga di tingkatkan dengan penurunan 

tingkat bunga dan kemudahan pemberian kredit. 

 Peran kebijakan moneter semakin dominan terhadap 

perekonomian di era tahun 1990. Kebijakan moneter yang ekspansif 

dan semakin banyaknya jumlah bank-bank umum berdiri menyebabkan 

dunia usaha semakin berperan dalam mendorong pertumbuhan 

ekonomi. Hanya saja, kemudahan bagi dunia usaha dalam mengakses 


 

kredit termasuk kredit luar negeri menyebabkan sektor perbankan 

sangat rentan terkena krisis yang lalu  hari hal ini terbukti. 

Pertumbuhan sektor keuangan terlihat kebablasan dengan minimnya 

pengawasan Bank negara kita  dan banyaknya bank umum yang tidak 

mematuhi standar kesehatan perbankan.  

 Tahun 1997/1998 merupakan sejarah yang suram bagi sektor 

moneter di negara kita . Berawal dari depresiasi nilai tukar bath Thailand 

yang merembet ke negara-negara lain di ASIA termasuk negara kita . 

Sepertinya negara kita  kurang dapat memprediksikan boom waktu dari 

pertumbuhan sektor moneter yang rapuh dan rentan terkena krisis. 

Meningkatnya utang luar negeri baik dari sisi pemerintahan  maupun 

swasta pasca oil boom menjadi boomerang kehancuran ekonomi pada 

tahun 1997/1998 lalu. Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi hingga 

sempat mencapai 15.000 rupiah per US dolar menyebabkan lonjakan 

utang yang luar biasa dan menyebabkan ketidak mampuan swasta 

dalam membayar kredit. Akibatnya kredit macet meningkat dan 

menjadi titik awal bangkrutnya perbankan di negara kita  dan menjadi 

awal dari krisis multidimensi di negara kita .  

 Kebijakan moneter kontraktif dengan menaikkan tingkat bunga  

yang diterapkan BI sesuai kesepakatan IMF selaku donator dalam 

upaya mengatasi krisis nilai tukar  saat itu sebenarnya malah 

memperburuk keadaan. Naiknya tingkat bunga hingga mencapai 38,8 

persen (tingkat bunga deposito) tidak efektif diterapkan pada saat itu 

dimana kepercayaan publik pada perbankan nyaris tidak ada lagi. 

Kenaikan tingkat bunga malah makin memperparah kredit macet untuk 

pinjaman dalam negeri (dalam rupiah). 


 

 Tahun 1999 merupakan momentum awal tentang pentingnya 

pengawasan dan kesehatan perbankan. pemerintahan  mengupayakan 

restrukturisasi perbankan untuk mengembalikan bank-bank yang pailit 

menjadi dapat beroperasi lagi. Program restrukturisasi dengan obligasi 

rekap terlihat berjalan baik sehingga bank-bank yang masih di nilai 

layak dapat kembali beroperasi. Di sisi kebijakan moneter, lahirnya UU 

No. 23 tahun 1999 melahirkan suatu kebijakan yang mengerucut bagi 

Bank negara kita . Tugas Bank negara kita  hanya di fokuskan pada 

stabilitas harga yaitu stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu 

undang-undang ini mengatur tentang Bank negara kita  sebagai lembaga 

yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain termasuk 

pemerintahan . 

 Pasca krisis moneter tahun 1997/1998, kebijakan moneter yang 

semula menerapkan kebijakan kontraktif perlahan diperlonggar. 

Kebijakan fiskal yang tadinya menerapkan kebijakan ekspansif dengan 

meningkatkan defisit perlahan defisitnya dikurangi. Bahaya utang luar 

negeri bagi sektor fiskal menyebabkan pemerintahan  mengubah cara 

memenuhi defisit anggaran degan cara baru yaitu menerbitkan surat 

utang negara (SUN) atau obligasi. Standar kesehatan dan kehati-hatian 

perbankan diperketat mengingat pentingnya kesehatan perbankan 

dalam menunjang perekonomian. Dampak dari kebijakan ini cukup 

terasa saat  kejadian krisis global tahun 2008/2009 di mana 

perekonomian negara kita  tidak terlalu terkena dampak krisis tersebut. 

Sektor perbankan cukup tangguh menghadapi krisis global tersebut. 

 

  

 

Alquran telah jelas menceritakan tentang adanya siklus bisnis 

dalam perekonomian dan cara pengelolaannya. Al-Qur’an Surat Yusuf 

ayat 43-48 telah menceritakan tentang kebijakan fiskal yang dilakukan 

masyarakat Mesir pada zaman nabi Yusuf, A.S. Dikisahkan bahwa 

pada zaman nabi Yusuf, A.S., raja Mesir saat itu bermimpi melihat 

tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus dan 

tujuh tangkai gandum yang hijau dan (tujuh tangkai ) yang lain kering. 

Nabi Yusuf, A.S., mengartikan mimpi tersebut bahwa akan terjadi tujuh 

masa di mana perekonomian akan mengalami booming (masa subur), 

dan tujuh masa lalu  mengalami paceklik (resesi).   

Mimpi di maknai bahwa dalam perekonomian akan ada siklus 

bisnis. Saran beliau yaitu  bahwa pada masa booming, bercocok 

tanamlah selama tujuh tahun tersebut secara biasa. Sebagian yang telah 

dipanen hendaklah disimpan bersama tangkainya dan sedikit sisanya 

yaitu  untuk konsumsi sekarang. lalu  jika telah datang masa 

tujuh tahun kemarau (kelaparan), simpanan makanan dapat dikonsumsi 

dan sebagian kecil disisakan untuk menjadi benih dan begitu 

seterusnya.  Kebijakan ini berhasil membawa perekonomian mesir pada 

tingkat kemakmuran. Di mana Mesir dapat melalui tahap-tahap siklus 

bisnis dengan baik. Kebijakan anggaran surplus yang diterapkan baik 

dalam tingkat individu maupun pemerintahan  dizaman nabi Yusuf, A.S 

ini merupakan adanya bukti bahwa kebijakan ekonomi telah ada jauh 

sebelum teori modern tentang kebijakan anggaran dan teori siklus 

bisnis  muncul.    

4

 

Dalam konteks modern, masa kaya raya dapat di sinonimkan 

sebagai masa booming, dimana indikator perekonomian rata-rata 

mengalami peningkatan, seperti; pertumbuhan ekonomi, surplus neraca 

perdagangan dan pembayaran, naiknya harga minyak bumi, 

swasembada pangan, dan lain-lain. Sebagai contoh kasus, negara kita  

pernah mengalami masa boom minyak (oil boom) pada tahun 1973 dan 

1979, dimana terjadi kenaikan harga-harga minyak di pasaran 

internasional. Pada saat itu potret perekonomian negara kita  terlihat 

sangat bagus dan gemilang berkat kejutan-kejutan minyak tersebut. 

Masa paceklik dalam sejarah nabi Yusuf A.S dapat diistilahkan sebagai 

masa depresi (depreciation) dimana terjadi penurunan terendah dalam  

aktivitas perekonomian (economics down turn). Masa krisis dalam 

perekonomian modern terjadi sebab  berlakunya pengangguran dan 

penurunan aktivitas perekonomian. Terkadang bahkan perekonomian 

dihadapkan pada masalah inflasi dan pengangguran yang terjadi 

bersamaan, seperti kasus krisis Asia tahun 1997/1998 lalu.  

 Di zaman Nabi Muhammad, S.A.W., lembaga keuangan negara 

yang disebut baitul mal  berperan menjalankan kebijakan fiskal. Baitul 

mal bukanlah sekedar bazis seperti sekarang ini, tetapi juga berperan 

sebagai lembaga pengelola keuangan negara. Baitul mal dapat 

menjalankan kebijakan fiskal sebab  sumber penerimaannya tidak 

terbatas pada zakat saja, namun mencakup pula; karaj (pajak atas 

tanah), khums, jizya, dan penerimaan lainnya seperti khaffarah.  

Ada beberapa hal yang menjadi ciri kebijakan fiskal Baitul Mal, 

pertama: dalam kebijakan fiskal baitul mal anggaran defisit boleh 

digunakan pada saat yang sangat genting. Defisit juga harus secepatnya 

dilunasi. Dalam sejarah perjuangan Rasullullah.S.A.W, tercatat hanya 

4

 

sekali terjadi anggaran defisit yaitu saat  jatuhnya kota Mekah. 

Hutang pemerintahan  saat itu dibayar sebelum satu tahun yaitu setelah 

perang Hunayn selesai. Kedua: ada   perbedaan kharaj (pajak atas 

tanah)  pada setiap tanah. Perhitungan tingkat kharaj ditentukan 

negara kita  produktivitas lahan, bukan negara kita  luas lahan. Suatu 

tanah dikatakan produktif di lihat dari tingkat kesuburan tanah, jumlah 

dan nilai pasar produk pertanian yang ditanam di lahan tersebut, dan 

memasukkan metode irigasi pada tanah tersebut. 

Ciri yang ketiga: akad pada peternakan dikenakan tingkat pajak 

yang regresif yaitu semakin banyak ternak yang dipelihara semakin 

kecil rate nya. Hal ini mendorong adanya skala usaha yang lebih besar 

dan biaya produksi yang lebih rendah. Akibatnya tersedia lebih banyak 

ternak dengan harga relatif murah. Pengenaan pajak dengan system ini 

hanya dikenakan pada peternakan dan tidak pada barang pertanian yang 

cepat rusak. Keempat: zakat perdagangan dikenakan atas keuntungan, 

bukan atas harga jual. Secara ekonomi ini berarti zakat tidak akan 

mengurangi penawaran barang dan tidak akan menaikkan harga jual. 

Bagian terakhir, yaitu bagian kelima: porsi anggaran untuk 

pembangunan infrastruktur lebih besar dari pada anggaran lainnya. 

Kebijakan fiskal baitul mal juga telah mengedepankan manajemen 

administrasi yang baik. Selain itu jaringan kerja antara baitul mal di 

pusat dan baitul mal di daerah-daerah telah di kenal dan di laksanakan 

dengan baik seperti konsep lembaga modern saat ini. 

 Untuk kebijakan moneter dilihat dari sudut pandang Islam, 

secara umum konsep dasar dari aktivitas perekonomian terutama 

disektor moneter tertuang dalam Al-Quran surat Al Baqarah ayat 275  

yang di terjemahkan berikut ini:  

4

 

 

“ Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri, melainkan 

seperti berdirinya orang yang kerasukan setan sebab  tekanan 

penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, yaitu  disebabkan 

mereka berpendapat sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. 

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 

Maka orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-

nya lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang 

telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan dan urusannya 

terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi riba maka orang-

orang itu yaitu  penghuni –penghuni neraka. Mereka kekal di 

dalamnya”. Q.S. Al Baqarah, 2:275. 

 

 Dalam surat tersebut jelas bahwa dalam konsep ekonomi Islam, 

adanya larangan yang tegas mengenai riba atau bunga seperti di zaman 

modern saat ini. Dengan jelas bahwa yang di perbolehkan yaitu  

prinsip-prinsip jual beli yang lalu  menjadi dasar dari kegiatan-

kegiatan sektor keuangan Islam, seperti perbankan dan lembaga 

keuangan lainnya.  

Dalam literatur sejarah, sampai dengan zaman Umar Bin 

Khattab, r.a boleh dikatakan pemerintahan an Islam belum memiliki 

sejenis bank sentral yang mengatur kebijakan moneter, sebab  pada 

waktu itu belum ada mata uang dinar yang dicetak oleh pemerintahan an 

Islam. Sebagaimana diketahui, mata uang resmi masih menggunakan 

dinar romawi dan dinar Persia. Baru dizaman Khalifah Utsman, r.a, 

dinar Islam dibentuk yang menyerupai dinar Persia.  Barulah pada 

pemerintahan an Ali, r.a dinar khas Islam dibentuk. Namun sebab  


 

keadaan politik saat itu, peredarannya masih terbatas. Dalam hal ini 

baitul mal belum menjalankan fungsinya sebagai  pengambil kebijakan 

moneter. 

 Cikal bakal Kebijakan moneter dalam Islam di mulai tentang 

peran uang dalam perekonomian. Nezhad (2004) menjelaskan tentang 

peran uang dan perkembangan uang dalam sejarah Islam. Dalam 

konsep Islam di akui permintaan uang untuk transaksi, standar 

pembayaran dan unit penyimpan nilai. Sedangkan motif spekulasi tidak 

diakui sebab  dapat mendorong pada transaksi maya disektor moneter. 

Uang  bukanlah komoditi sehingga tidak dapat di perjual belikan. Uang 

tidak memiliki harga namun dapat merefleksikan semua  harga.  Uang 

pertama yang di cetak oleh pemerintahan  Islam berbentuk koin emas dan 

perak yaitu pada tahun 40 setelah Hijriyah, namun belum menjadi mata 

uang resmi saat itu. Barulah pada tahun 74 setelah Hijriyah uang dinar 

dan dirham tersebut menjadi mata uang resmi dan menjadi hak 

monopoli pemerintahan . Melengkapi pendapat tersebut, Al-Yosef (2005) 

menyatakan bahwa penyebab utama krisis yang melanda perekonomian 

dunia dalam 3 dekade terakhir yaitu  di sebabkan oleh penggunaan 

uang untuk tindakan spekulasi (gharar). Tindakan spekulasi 

menyebabkan menggelembungnya ekonomi yang rentan terhadap 

krisis, serta terjadinya high cost dalam ekonomi. 

Dalam kebijakan moneter, stok uang yaitu  cerminan aktivitas 

sektor riil, di mana jika penambahan jumlah uang beredar melebihi 

jumlah produksi barang dan jasa maka akan menyebabkan inflasi.  

pemerintahan  harus menjaga nilai uang,  sehingga pencetakan uang harus 

sesuai dengan produksi barang yang dilakukan negara. Dalam sejarah 

ekonomi Islam pernah terjadi inflasi akibat pencetakan uang. Pada awal 

4

 

pemerintahan an Bani Mamluk satu dirham mengandung dua per tiga 

perak dan sepertiga tembaga, namun di zaman pemerintahan an Nasir, 

pemerintahan  merubah nilai mata uang ini menjadi dua pertiga tembaga 

dan sepertiga perak. Hasilnya yaitu  ketidakstabilan ekonomi dan 

meningkatnya inflasi sebab  jumlah uang beredar terlalu banyak. 

Pentingnya tentang menjaga jumlah uang beredar, secara tegas Islam 

mengecam penimbunan uang yang tidak produktif dan pemalsuan uang, 

sebab  menimbun uang sama seperti menarik uang secara sementara 

dalam peredaran. Sedang memalsukan uang yaitu  menambah uang 

beredar. 

 

 

 

 Penelitian ini mencoba melengkapi buku ini dengan pengujian 

secara empiris bagaimana efektivitas kebijakan ekonomi makro 

meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam pengelolaan 

siklus bisnis dengan indikator pertumbuhan ekonomi dan inflasi di 

negara kita . Siklus bisnis merupakan gerakan naik atau turunnya 

perekonomian yang di ukur dengan naik atau t



Read More