Perekonomian suatu negara tidak selalu berjalan mulus seperti
yang kita inginkan. Selalu saja suatu perekonomian dihadapkan pada
masalah-masalah ekonomi seperti inflasi dan pengangguran. Keynes
seorang ahli ekonomi terkemuka di era tahun 1930 memperlihatkan
bahwa tidak selalu perekonomian mencapai tingkat penggunaan tenaga
kerja penuh (full employment), pengangguran pasti akan terjadi namun
besarnya tergantung kondisi perekonomian saat itu. Hal ini terbukti
saat depresi besar (great depression) terjadi di negara-negara
kapitalis kurun periode 1929-1933, di mana output ekonomi berkurang
drastis sementara tingkat pengangguran tercatat sangat tinggi. Di era
perekonomian terbuka saat ini, sering kali kita menjumpai krisis yang
yang memiliki pengaruh besar terhadap suatu negara bahkan
pengaruhnya merembet ke negara lain. Sebut saja krisis moneter yang
melanda Asia pada tahun 1997/1998, atau krisis global yang di mulai
dengan krisis keuangan di amerika Serikat pada tahun 2008 lalu.
Permasalahan inflasi dan pengangguran kerap kali terjadi pada
saat perekonomian mengalami naik atau turun (siklus bisnis).
Permasalahannya, pada tingkat yang mengkhawatirkan kedua masalah
tadi dapat menyebabkan munculnya masalah-masalah baru dalam
perekonomian, seperti meningkatnya angka kemiskinan penduduk,
kesenjangan sosial akibat distribusi pendapatan yang tidak merata,
bahkan dapat menyebabkan masalah sosial yang lebih luas. Untuk
mengantisipasi fluktuasi yang berlebihan pada siklus bisnis, di kenal
2
ada dua kebijakan pemerintahan , yaitu kebijakan moneter dan kebijakan
fiskal.
Menurut Rahardja dan Manurung (2001), kebijakan fiskal
yaitu kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintahan untuk
mengelola atau mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik
atau di inginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan (pajak) dan
pengeluaran pemerintahan . Sedangkan kebijakan moneter yaitu upaya
mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro kekondisi yang
lebih baik dengan mengatur jumlah uang beredar. Adapun yang
dimaksud dengan kondisi lebih baik yaitu meningkatnya output
keseimbangan dan terpeliharanya stabilitas harga.
Dalam kebijakan fiskal, tugas utama pemerintahan yaitu untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja
yang luas bagi masyarakat. Kebijakan ini lebih bersifat langsung
menyentuh sektor riil. Kebijakan fiskal di negara kita tercermin dari
Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ada beberapa
perubahan di dalam APBN di era reformasi. Periode anggaran yang
pada era orde lama yaitu pada bulan April-Maret diubah menjadi
Januari-Desember. Perubahan lainnya yaitu diubahnya struktur
APBN dari dua lajur menjadi satu lajur, sehingga APBN lebih
transparan dan mudah dianalisis. Dari APBN sekarang, kita bisa
melihat kebijakan anggaran apa yang diterapkan di negara kita . Selain
itu pos belanja negara mengalami penambahan pos yaitu dana
perimbangan yang merupakan dana untuk desentralisasi daerah.
Dalam struktur APBN, pemerintahan dapat menerapkan anggaran
defisit sejauh hal ini diperlukan dalam meningkatkan aktivitas
perekonomian. Anggaran defisit yaitu anggaran di mana komposisi
3
pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Sumber pembiayaan anggaran
defisit dapat berupa utang luar negeri maupun utang dalam negeri.
Selain kebijakan anggaran defisit, dikenal juga istilah anggaran
berimbang di mana pengeluaran yaitu sama dengan penerimaan, dan
anggaran surplus di mana pengeluaran lebih kecil dari penerimaan.
Kebijakan pemerintahan yang kedua yaitu kebijakan moneter. Di
negara kita , kebijakan moneter diserahkan sepenuhnya pada Bank
negara kita yang merupakan pihak otoritas moneter. Pasca krisis moneter
tahun 1997/1998 banyak pembenahan terjadi dalam tubuh Bank
negara kita . Salah satunya yaitu independensi, tugas dan wewenangnya.
Perubahan ini diatur dalam UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank
negara kita , yang diberlakukan pada tanggal 17 Mei 1999 dan lalu
diubah dengan Undang-Undang Republik negara kita No.6 tahun 2009.
Dalam undang-undang ini diatur tentang status dan kedudukan Bank
negara kita sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
pemerintahan dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
diatur dalam undang-undang ini. Hal lain yaitu menyangkut tujuan
dan tugas utama Bank negara kita yang saat ini terfokus pada pencapaian
dan pemeliharaan stabilitas nilai rupiah.
Untuk mencapai stabilitas rupiah tersebut, instrumen moneter
yang menjadi sasaran antara yaitu jumlah uang beredar (Money
Supply), dan tingkat bunga (interest). Sedangkan sasaran akhir yang
hendak dicapai yaitu kestabilan nilai rupiah meliputi inflasi dan nilai
tukar. Ada beberapa istilah dalam kebijakan moneter yang lazim
digunakan. Jika yang dilakukan yaitu menambah jumlah uang
beredar, maka pemerintahan dikatakan menempuh kebijakan moneter
4
ekspansif (monetary expansive). Sebaliknya jika jumlah uang beredar
dikurangi, maka pemerintahan (Bank sentral) menempuh kebijakan
moneter kontraktif (monetary contractive). Dalam praktiknya, Bank
negara kita memiliki empat cara-cara pengendalian jumlah uang beredar,
yaitu; operasi pasar terbuka dipasar uang baik rupiah maupun valuta
asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib
minimum, pengaturan kredit dan pembiayaan.
Menurut Warjiyo dan Solikin (2003), Efektivitas kebijakan
moneter tergantung pada hubungan antara jumlah uang beredar dengan
variabel ekonomi utama seperti output dan inflasi. Beberapa literatur
menemukan hubungan antara jumlah uang beredar, inflasi, dan output.
Temuan memperlihatkan bahwa dalam jangka panjang, hubungan
antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi yaitu sempurna,
sementara hubungan antara pertumbuhan uang atau inflasi dengan
pertumbuhan output riil mungkin mendekati nol. Temuan ini
menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya
berdampak pada inflasi, dan tidak banyak pengaruhnya terhadap
kegiatan ekonomi riil. Hanya saja, beberapa kalangan praktisi maupun
akademisi yakin bahwa dalam jangka pendek kebijakan moneter
ekspansif dapat mendorong kegiatan ekonomi yang sedang mengalami
resesi yang berkepanjangan. Sebaliknya kebijakan moneter kontraktif
dapat memperlambat laju inflasi yang umumnya terjadi pada saat
kegiatan perekonomian sedang mengalami booming .
Efektivitas kebijakan ekonomi meliputi kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter tergantung pada bagaimana koordinasi antara dua
kebijakan ini bekerja. Jika kebijakan fiskal dan kebijakan moneter
dilakukan sama-sama ekspansif, kemungkinan kombinasi kebijakan ini
5
akan dapat menstimulus kegiatan ekonomi dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. pemerintahan dapat saja menambah anggaran
dengan menerbitkan obligasi atau menambah utang, sedangkan
kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menurunkan tingkat bunga.
Pada aktivitas ekonomi yang terlampau tinggi dengan tingkat inflasi
yang mengkhawatirkan, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang
sama-sama kontraktif dapat menurunkan permintaan masyarakat yang
pada akhirnya menurunkan tingkat inflasi.
Beberapa kebijakan biasanya mengombinasikan antara
kebijakan yang ekspansif dan kontraktif. Misalnya kebijakan fiskal
yang ekspansif dan kebijakan moneter yang kontraktif, atau sebaliknya.
Efektivitas bauran kebijakan ini sangat tergantung seberapa kuat dua
kebijakan ini mempengaruhi kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, Bank
negara kita pada suatu saat hendak menekan inflasi dengan kebijakan
tight money policy nya, namun pada saat itu juga pemerintahan terus
melakukan kebijakan anggaran defisitnya. Beberapa penelitian
menemukan bahwa kebijakan ini cenderung mendorong peningkatan
suku bunga keseimbangan pasar sehingga dapat menghambat kegiatan
investasi oleh masyarakat (crowding out). Efek kebijakan yang saling
berlawanan ini pada akhirnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap
perekonomian.
Buku ini akan membahas tentang kebijakan ekonomi makro
meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara teori dan
empiris. Buku ini merupakan bagian dari ekonomi makro dan ekonomi
moneter, di mana fokus bahasan yaitu kebijakan ekonomi makro
meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam pengelolaan
siklus bisnis (The Business Cycle). Pada bagian dua fokus bahasan
6
diarahkan pada teori dasar dan teori ter kini mengenai kebijakan
ekonomi makro dan efektivitasnya. Pada bagian ke tiga, akan dibahas
tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di negara kita . Pada
bagian ke empat akan dibahas sekilas tentang kebijakan ekonomi Islam.
Pada bagian terakhir akan dibahas studi empiris yang telah dilakukan
penulis berkaitan dengan judul buku ini.
2.1 Fenomena Siklus Bisnis di Setiap Negara
Setiap negara mengharapkan suatu perekonomian yang ideal di
mana pertumbuhan ekonomi diharapkan tumbuh secara terus menerus,
tanpa mengalami penurunan. Pertumbuhan tersebut disertai stabilitas
harga dan kesempatan kerja yang terbuka luas. Sayangnya, dalam dunia
nyata perekonomian umumnya mengalami kondisi yang naik turun,
setidak-tidaknya dilihat dari perkembangan tingkat output dan harga.
Naik turunnya aktivitas ekonomi tersebut relatif terjadi dan terjadi
berulang-ulang dengan rentang waktu yang bervariasi. Dalam ilmu
ekonomi, gerak naik turun tersebut dikenal sebagai siklus bisnis (The
Business cycle).
Siklus dapat terjadi dalam jangka pendek, jangka menengah,
atau jangka panjang, tergantung sistem ekonomi yang dianut dan
penyebab siklus dalam suatu negara. Kaum kapitalis memperkirakan
bahwa akan terjadi krisis (economics down turn) dalam siklus bisnis
setiap 25 tahun sekali, sedang kaum sosialis memperkirakan krisis
akan terjadi setiap 45 tahun sekali, jangka waktu ini lebih panjang
mengingat besarnya peran pemerintahan dalam perekonomian terutama
dalam pengaturan harga. Kalau kita melihat ke belakang, sejarah
terjadinya resesi tahun 1936 telah menyadarkan ekonom klasik tentang
adanya siklus bisnis dalam perekonomian. Keseimbangan pasar yang
diatur oleh mekanisme pasar terkadang tidak selamanya terjadi sebab
adanya potensi over supply (kelebihan penawaran) dalam
8
perekonomian. Kenyataannya, full employment (penggunaan tenaga
kerja penuh) tidak akan pernah dapat dicapai, perekonomian akan
selalu dihadapkan pada masalah inflasi dan pengangguran. Pada satu
sisi perekonomian berusaha untuk memaksimalkan output (maksimisasi
penggunaan resourses), sedang pada sisi yang lain akan ada ancaman
stabilitas harga. Adanya keterbatasan resources (faktor-faktor produksi,
termasuk didalamnya tenaga kerja) menyebabkan pada satu titik
kenaikan harga akan melampaui kenaikan barang yang diproduksi,
akibatnya akan ada penurunan pendapatan riil masyarakat sehingga
akan terjadi penurunan permintaan (kelebihan supply). Kelebihan
supply ini akan menyebabkan berlakunya pengangguran faktor-faktor
produksi (termasuk tenaga kerja) dalam perekonomian.
Siklus bisnis dapat digambarkan sebagai gelombang naik-turun
aktivitas ekonomi. Siklus ini terdiri atas empat elemen (Dornbusch,
et.al., 2008), yaitu:
a. Gerakan menaik (Recovery)
b. Titik puncak (peak)
c. Gerakan Menurun (recession)
d. Titik terendah (trough)
Pada saat fase gerakan menaik, biasanya pertumbuhan ekonomi
meningkat dan menyebabkan daya beli masyarakat meningkat. Pada
fase ini inflasi bergerak naik sampai pada titik puncak dan inflasi
mencapai titik optimum pada satu siklus tersebut lalu akan
kembali menurun seiring penurunan pertumbuhan ekonomi dan daya
beli masyarakat. Gerakan menurun berimplikasi pada meningkatnya
angka pengangguran dan deflasi atau penurunan harga-harga barang
dan jasa. Kadang kala sebab berbagai faktor, terjadi pertumbuhan
9
ekonomi yang begitu baik, sehingga titik kulminasinya jauh di atas
biasanya atau disebut kondisi boom. Namun sebaliknya dapat juga
terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi jauh dibawah titik nadir yang
biasanya. Hal ini disebut depresi (depression). Sebagai contoh, depresi
besar (great depression) yang dialami negara-negara kapitalis selama
1929-1933, di mana output ekonomi berkurang drastis sementara
tingkat pengangguran tercatat sangat tinggi. Demikian juga dengan
krisis ekonomi yang pernah dialami negara kita yaitu krisis moneter
tahun 1997/1998 di mana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi
(pertumbuhan ekonomi negatif) sebesar 15 % pertahun di tahun 1998.
Pengaruh siklus bisnis terhadap inflasi dan pengangguran pada
siklus yang tergolong ringan bisa dikatakan tidak membahayakan
perekonomian. Hanya saja pada siklus menurun dengan rentang waktu
cukup lama dan menyebabkan meningkatnya pengangguran atau siklus
menaik yang menyebabkan inflasi tercatat cukup tinggi (misalnya di
atas 10 persen dan terus bergerak naik) maka kebijakan ekonomi
sangat berperan penting di sini. Beberapa penelitian menemukan bahwa
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal sangat berperan penting dalam
stabilitas siklus bisnis terutama dalam pengendalian inflasi dan
pengangguran. Stimulus kebijakan fiskal dengan menambah anggaran
pada saat siklus menurun (resesi) beberapa kalangan menilai lebih
efektif untuk menggerakkan perekonomian sektor riil sehingga pada
akhirnya pengangguran akan mengalami penurunan. Untuk
mengendalikan permintaan masyarakat, kebijakan moneter di nilai juga
efektif dalam mempengaruhi fluktuasi inflasi yang berlebihan.
Efektivitas kebijakan ini tergantung jangka waktu (jangka panjang atau
1
jangka pendek) dan tergantung bagaimana sensitivitas respons
perekonomian terhadap dua kebijakan tersebut.
2.2 Dasar Teori Tentang Kebijakan Pengelolaan Siklus Bisnis
2.2.1 Teori Klasik dan Pengikutnya
Dalam pengelolaan siklus bisnis, kaum klasik yang lalu
berpendapat bahwa kebijakan moneter lebih efektif mempengaruhi
kegiatan ekonomi terutama dalam upaya pengendalian inflasi. Pendapat
ini di dasarkan pada anggapan bahwa dalam perekonomian yang terus
mencapai full employment, fungsi permintaan uang hanya terbatas pada
alat transaksi saja. Permintaan uang akan berubah jika terjadi
perubahan pendapatan, namun sebab uang hanya digunakan untuk
transaksi maka permintaan uang tidak terlalu terpengaruh oleh
perubahan tingkat bunga. Hal ini digambarkan dengan kurva LM yang
vertikal, di mana elastisitas permintaan terhadap tingkat bunga nol.
Dalam konteks perekonomian telah mencapai full employment
di mana output keseimbangan telah mencapai tingkat maksimum, maka
kebijakan moneter dengan menambah jumlah uang beredar hanya akan
meningkatkan harga. Hal inilah yang mendasari pendapat bahwa inflasi
yaitu permasalahan moneter yang lebih efektif jika dikendalikan
dengan kebijakan moneter pula. Kaum klasik menolak anggapan bahwa
fenomena-fenomena moneter dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi
secara keseluruhan. Hal ini terkait tentang mekanisme pasar yang akan
terus mencapai keseimbangan dalam perekonomian. Dengan kata lain,
tambahan jumlah uang beredar tidak akan berpengaruh terhadap sektor
riil, tetapi akan sangat efektif dalam mempengaruhi inflasi.
Teori klasik lalu berkembang dan memiliki pengikut yang
lalu disebut teori kuantitas modern. Pengikut aliran ini di juluki
sebagai kaum monetarist yang di pelopori oleh Prof. Milton Friedman
dari Universitas Chicago pada tahun 1956. Beberapa perubahan dan
perbaikan aliran ini meliputi efektivitas kebijakan moneter terhadap
sektor riil. Menurut aliran ini, pada perekonomian yang belum
mencapai full employment, kebijakan moneter dengan menambah
jumlah uang beredar selain berpengaruh langsung terhadap harga juga
dapat meningkatkan output perekonomian. Kaum monetarist
berpendapat bahwa kebijakan moneter saja sudah cukup untuk
mempengaruhi perekonomian sebab pengaruhnya bersifat langsung.
Dari sisi fiskal, kaum klasik dan pengikutnya kaum monetarist
mempercayai bahwa mekanisme pasar akan bekerja dalam mencapai
keseimbangan ekonomi tanpa harus ada campur tangan pemerintahan .
Kebijakan fiskal hanya akan menimbulkan apa yang disebut”Crowding
Out”di mana kenaikan pengeluaran pemerintahan akan mendorong
tingkat bunga naik sehingga akan menghambat investasi swasta. Akibat
dari penurunan investasi menyebabkan permintaan agregat tidak
bertambah dan output juga tidak mengalami peningkatan. Selain itu,
pengeluaran pemerintahan yang tidak di sertai dengan penambahan
jumlah uang beredar dari sisi moneter tidak akan menambah
permintaan agregat. Lebih jauh, sebab tingkat perputaran uang
(velocity) relatif stabil maka penambahan pengeluaran pemerintahan
dengan mencetak uang akan meningkatkan permintaan agregat, tetapi
itu lebih disebabkan sebab penambahan jumlah uang beredar.
2.2.2 Teori Keynes dan Pengikutnya
Depresi ekonomi tahun 1936 telah memberikan pemikiran
ekonomi baru tentang keharusan adanya campur tangan pemerintahan
dalam perekonomian. Keynes berpendapat tentang keharusan adanya
peran pemerintahan dalam perekonomian. pemerintahan tidak saja berfungsi
sebagai pemungut pajak dan penjaga keamanan, tetapi lebih dari itu
mereka memiliki fungsi intervensi dan regulasi. Menurutnya, siklus
bisnis pasti akan terjadi dalam perekonomian, namun siklus bisnis ini
dapat diminimalkan dengan adanya intervensi pemerintahan . Implikasi
dari itu lalu Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal yang
ekspansif (dengan menambah defisit anggaran ) dengan cara
pembiayaan apapun hasilnya akan tetap ekspansif. Pembiayaan dengan
pencetakan uang lebih efektif dibanding dengan penjualan obligasi, dan
efek yang paling kecil yaitu dengan kenaikan pajak, namun dengan
cara apapun efeknya tetap positif.
Kebijakan moneter juga dapat mempengaruhi output, hanya saja
pengaruhnya bersifat tidak langsung atau disebut mekanisme transmisi.
Keynes menekankan adanya tambahan motif permintaan uang yaitu
motif memegang uang untuk berspekulasi. Permintaan uang untuk
berspekulasi sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga. Tingkat bunga
lalu juga mempengaruhi investasi pada umumnya. Jika tingkat
bunga tinggi maka investasi akan menurun sehingga pertumbuhan
output juga menurun. Begitu juga sebaliknya jika ingin menstimulus
perekonomian dapat dengan cara menurunkan tingkat bunga sehingga
investasi meningkat dan tujuan akhir yaitu peningkatan output dapat
dicapai.
1
Dalam perkembangannya teori Keynes memiliki pengikut yang
disebut dengan Teori Permintaan Uang Setelah Keynes dimana,
pengikut aliran ini disebut kaum Fiscalist. Aliran permintaan uang
setelah Keynes dipelopori oleh Prof. James Tobin dan Prof. William
Baumol. Aliran ini berkeyakinan bahwa uang hanya merupakan suatu
aktiva keuangan diantara banyak aktiva lainnya, bahwa perubahan-
perubahan dalam kuantitas uang mempengaruhi sektor riil hanya
secara tidak langsung yaitu melalui penyesuaian-penyesuaian
portofolio. Untuk mencapai stabilitas ekonomi, penggunaan
kebijaksanaan fiskal lebih ampuh dibandingkan dengan kebijaksanaan
moneter sebab pengaruhnya bersifat langsung.
2.3. Teori Sintesis Klasik-Keynesian
Teori sintesis Klasik-Keynesian merupakan gabungan antara
teori klasik dan teori Keynes yang dikembangkan oleh Jhon Hicks.
Jhon Hicks menjelaskan tentang tingkat bunga keseimbangan umum
yang menghubungkan antara pasar barang dan pasar uang. Gambar
(2.1) memperlihatkan interaksi antara pasar barang dan pasar keuangan.
Tabungan, tingkat bunga dan pendapatan secara bersama saling
mempengaruhi di keseimbangan pasar barang dan pasar uang.
Pada pasar barang, analisis diawali dengan adanya hubungan
negatif antara investasi dengan tingkat bunga. Klasik meyakini bahwa
investasi sama nilainya dengan jumlah tabungan yang ada di
masyarakat, dimana tabungan ini dipengaruhi oleh pendapatan. Jika
ketiga hal tadi diderivasi maka akan membentuk kurva IS yaitu kurva
yang menghubungkan antara tingkat bunga dan pendapatan di pasar
barang. Kurva IS memiliki slope yang negatif dimana tingkat bunga
1
dan pendapatan memiliki hubungan yang negatif yang berarti jika
tingkat bunga pasar barang meningkat maka pendapatan akan menurun,
begitu juga sebaliknya. Penurunan pendapatan ini disebabkan oleh
penurunan investasi.
Pada pasar uang, analisis didasarkan pada turunan kurva
permintaan uang Keynes. Menurut Keynes, permintaan uang
masyarakat selain untuk transaksi dan berjaga-jaga juga di alokasikan
untuk berspekulasi. Motif permintaan untuk spekulasi sangat
dipengaruhi oleh tingkat bunga. Jika ketiga motif permintaan uang ini
di derivasi maka akan membentuk kurva LM yaitu kurva yang
menghubungkan antara tingkat bunga dan pendapatan di pasar uang.
Pendapatan/GDP
Tingkat Bunga
Kebijakan Fiskal Kebijakan
Moneter
Pasar Barang
Permintaan Agregat
Output
Ou
15
Kurva LM memiliki slope yang positif, dimana jika tingkat bunga
meningkat maka pendapatan juga meningkat. Hal ini sebab selain
untuk berspekulasi, permintaan uang juga digunakan untuk transaksi
dan berjaga-jaga yang besarnya sangat ditentukan oleh pendapatan. Jika
kurva IS-LM di gabung maka titik potong kedua kurva akan
membentuk tingkat bunga keseimbangan yang menghubungkan antara
pasar uang dan pasar barang.
2.3.1. Model IS
Model IS yaitu model ekonomi yang menggambarkan
hubungan antara tingkat bunga dan pendapatan yang sesuai dengan
keseimbangan di pasar barang. Berikut analisis model ekonomi makro
dalam keseimbangan pasar barang yang akan membentuk kurva IS:
Identitas Pendapatan Nasional yaitu
Y = C + I + G ……………………………………………….….…(2.1)
Fungsi konsumsi C = a + b (Y - T) ...…………….….….... (2.2)
Fungsi Pajak T = c + d (Y) …………………..….…….… (2.3)
Fungsi Investasi I = e – f (R) .…………………….…………(2.4)
Pengeluaran pemerintahan G = G………………………………………(2.5)
Di mana Y yaitu pendapatan nasional, C yaitu konsumsi, I
yaitu investasi, G yaitu pengeluaran pemerintahan , T yaitu pajak, R
yaitu tingkat bunga, a, c dan e yaitu konstanta, dan b, d, dan f yaitu
koefisien. Jika persamaan (2.1) hingga persamaan (2.5) di gabung
maka:
C = a + b (Y- T)
C = a + b (Y- (c + d(Y))
16
C = a + by – bc – bdY
Y = a + bY – bc – bdY + e – f (R) + G
Y – bY + bdY = a – bc + e + G – f (R)
Y = a − bc + e + G(1 – b + bd ) - f (1 – b + bt) R……….……………………………(2.6)
Dari persamaan (2.6) kita dapat menyimpulkan faktor-faktor
yang mempengaruhi pendapatan pada pasar barang. Faktor-faktor
tersebut yaitu pengeluaran pemerintahan dan tingkat bunga atau Y = f (R,
G). Peningkatan tingkat bunga akan membuat pendapatan menurun di
pasar barang, sedangkan penambahan pengeluaran pemerintahan akan
meningkatkan pendapatan yang pada akhirnya akan menggeser kurva
IS.
Blanchard (2009) juga menderivasi model IS dan di dapat
variabel yang mempengaruhi kurva IS yaitu konsumsi (di pengaruhi
oleh pendapatan disposibel), investasi (dipengaruhi oleh pendapatan
dan tingkat bunga) serta pengeluaran pemerintahan .Kurva IS dapat kita
lihat pada gambar (2.2) dimana kurva tersebut memiliki slope yang
negatif , hal ini memperlihatkan adanya hubungan negatif antara
tingkat bunga dan pendapatan.
2.3.2. Model LM
Model dalam pasar uang dikembangkan oleh Keynes dimana
ada tiga motif memegang uang yaitu; pertama, motif memegang
uang untuk keperluan transaksi. Kedua, motif memegang uang untuk
berjaga-jaga, dan ketiga, motif memegang uang untuk spekulasi.
Permintaan uang ini dipengaruhi oleh pendapatan dan tingkat bunga.
Secara matematis permintaan uang (Md) yaitu fungsi dari pendapatan
dan tingkat bunga (Y dan R) lihat persamaan (2.7).
Md = f ( Y, R)……....…………………………………..…………(2.7)
Md = e- f (R) + k (Y)…….. ………………..…………………….(2.8)
Sedangkan Fungsi penawaran uang yaitu jumlah uang yang di
supply oleh otoritas moneter:
Ms = M………………….…………………………..…………..…(2.9)
Di mana keseimbangan antara permintaan dan penawaran uang yaitu :
Md = Ms…….…………….….…………………………………..(2.10)
Jika kita gabungkan persamaan (2.8) dan (2.9) pada persamaan (2.10)
maka didapat:
e- f (R) + k (Y) = M , dimana nilai pendapatan yaitu :
Y =
𝑀−𝑒 k + f k (R)……… ……………………………..…….……..(2.11)
Dari persamaan diatas terlihat hubungan positif antara tingkat
bunga dan pendapatan di pasar uang. Untuk melihat hubungan ini dapat
kita lihat gambar (2.3) di mana kurva LM memiliki slope yang positif.
Selain itu penambahan jumlah uang beredar (M) akan menggeser
kurva LM. Untuk melihat kurva IS-LM, maka kita cari nilai R, dimana
nilai R dapat dilihat pada persamaan 2.(12).
18
R = k f Y – (𝑀−e k k f )……………………………………………….(2.12)
R
LM: Y= f (R, M)
Y
Gambar 2.3. Kurva LM
2.3.3. Model IS-LM
Untuk mencari keseimbangan IS dan LM, substitusikan
persamaan (2.12) ke dalam persamaan (2.6), lalu didapat :
Y =( a − bc + e + G(1 – b + bd ) - f (1 – b + bt) ). R
Dimana R = k f Y – (𝑀−e k k f ), sehingga persamaan IS-LM yaitu :
Y =( a − bc + e + G(1 – b + bd ) - f (1 – b + bt) ) . ( k f Y – (𝑀−e k k f ))……….……..(2.13)
Dari persamaan (2.13) tersebut dapat dilihat bagaimana peran
kebijakan fiskal dan moneter dalam mempengaruhi output di mana
pergeseran kurva IS-LM sangat dipengaruhi oleh perubahan
pengeluaran pemerintahan (G) dan perubahan jumlah uang beredar (M).
Gambar (2.4) memperlihatkan gabungan kurva IS-LM, di mana
keseimbangan berupa titik potong kurva IS-LM akan membentuk
tingkat bunga keseimbangan (Rm) yang akan menghubungkan antara
pasar uang dan pasar barang.
19
2.4. Teori Baru Koordinasi Kebijakan Fiskal Dan Moneter
Peraih nobel ekonomi tahun 2004, yaitu; Finn Kydland dan
Edward Prescott (Kungl.Vetenskapsakademien, 2004) menemukan
teori baru tentang kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan siklus bisnis.
Teori ini memasukkan unsur mikro dalam permasalahan makro
ekonomi yang dihadapi suatu negara. Menurut teori ini, keberhasilan
dari kebijakan fiskal dan moneter sangat tergantung pada pemikiran
rasional masyarakat berupa ekspektasi atau perkiraan tentang masa
depan. Beberapa kejadian krisis seperti krisis tahun 1997/1998 di mana
spekulasi mata uang sangat dominan menyebabkan krisis di ASIA yang
merembet pada permasalahan inflasi, ke tidak stabilan ekonomi dan
menyebabkan krisis yang lebih luas lagi. Permasalahan tersebut
sebenarnya sangat dipengaruhi oleh keputusan dan perilaku rumah
tangga dan perusahaan. Riset yang dilakukan peraih nobel diatas
lalu melahirkan teori baru bahwa aspek mikro ternyata tidak
boleh diabaikan dalam kebijakan ekonomi negara.
20
Bahasan teori ini di mulai dari adanya konsistensi waktu dalam
peluncuran kebijakan. Asumsi yang digunakan bahwa rumah tangga
berpikir secara rasional. saat rumah tangga memperkirakan akan ada
kebijakan fiskal yang kontraktif bahwa pajak atas modal akan semakin
tinggi di masa datang, maka rumah tangga akan mengurangi tagungan
sekarang ini dan meningkatkan pengeluaran modal untuk menghindari
pajak. Jika mereka menahan diri dan menambah modal pada masa
kebijakan fiskal di realisasikan, maka mereka akan terkena beban pajak
modal yang tinggi. Ekspektasi ini pastilah akan merubah hasil akhir
dari rencana pemerintahan untuk menerapkan kebijakan kontraktif
tersebut.
Begitu juga saat perusahaan merespons rencana otoritas
moneter untuk melakukan ekspansi moneter dengan menurunkan
tingkat bunga, maka perusahaan akan menetapkan harga-harga dan
upah yang lebih tinggi sekarang ini. Hal ini disebabkan sebab jika
harga dan upah tidak dinaikkan sekarang, maka dimasa datang
keuntungan yang diperoleh lebih kecil sebab dipengaruhi inflasi
sebagai dampak ekspansi moneter. Bisa dibayangkan, bagaimana
kegagalan kebijakan moneter yang baru akan direncanakan bulan depan
telah berdampak pada bulan sebelumnya.
Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, pemerintahan harus
menerapkan kebijakan yang konsisten di masa akan datang. Jika
pemerintahan menjalankan kebijakan stabilitas harga di masa sekarang,
maka penting juga diperhatikan bahwa kebijakan stabilitas harga di
masa akan datang di pertahankan. Faktor ekspektasi rumah tangga dan
perusahaan harus dimasukkan dan dipertimbangkan dalam mengambil
kebijakan. Ekspektasi atau harapan ini akan mempengaruhi perilaku
21
pelaku ekonomi dan jika diabaikan dapat menyebabkan kegagalan
kebijakan. Hal lain yang harus diperhatikan yaitu bahwa kebijakan
dalam pengelolaan siklus bisnis harus fokus pada permasalahan yang
menyebabkan siklus bisnis tersebut. Teori ini tetap menekankan bahwa
aspek mikro meliputi perilaku rumah tangga dan perusahaan yang
berupa konsumsi, investasi, supply tenaga kerja, dan lain-lain harus
diperhatikan.
3.1 Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal yaitu kebijakan yang dilakukan pemerintahan
untuk mengarahkan perekonomian ke arah yang lebih baik dengan
mengubah-ubah pendapatan dan pengeluaran pemerintahan (Rahardja
dan Manurung, 2001). Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa
kebijakan anggaran, yaitu anggaran berimbang, anggaran surplus, dan
anggaran defisit. Ketiga kebijakan anggaran di atas digunakan
negara kita tiga fungsi kebijakan fiskal yaitu sebagai alat untuk
mengalokasikan barang publik (allocation), berfungsi sebagai alat
untuk distribusi pendapatan (distribution), dan alat untuk stabilisasi
perekonomian (stabilization).
3.1.1 APBN Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal di negara kita digambarkan oleh perkembangan
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. APBN merupakan salah satu lokomotif
dalam mencapai pertumbuhan ekonomi di negara kita . Pasca krisis
moneter tahun 1997/ 1998 format APBN mengalami perubahan dari
format T-Billing menjadi format I-Billing. Format I-Billing yang
dimaksud yaitu format APBN hanya terdiri dari satu kolom dimana
sebelumnya terdiri dari dua kolom dengan sistem anggaran yang
berimbang.
2
Perubahan ini merupakan salah satu wujud reformasi kebijakan
fiskal pemerintahan negara kita . Dengan format anggaran yang baru,
APBN menjadi lebih transparan dan mudah untuk di analisis. Sumber
anggaran, pengeluaran dan defisit anggararan jelas terlihat dalam
format ini. Perhitungan anggaran yang dimulai Januari dan berakhir
Desember juga di nilai lebih efektif dalam penyusunan dan realisasi
anggaran.
negara kita tabel (3.1), sumber penerimaan dalam negeri
berupa penerimaan pajak dan bukan pajak. Penerimaan pajak meliputi
penerimaan pajak penghasilan (pph migas dan non migas), pajak
pertambahan nilai, cukai, BPHTB, pajak bumi dan angunan dan pajak
lainnya. Pajak perdagangan internasional meliputi bea masuk dan bea
keluar. Untuk penerimaan bukan pajak, sumber pendapatan terdiri dari
penerimaan SDA (Sumber daya alam) meliputi migas dan non migas,
laba BUMN (Badan Usaha Milik Negara), pendapatan BLU (Badan
Layanan Umum), dan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) lainnya.
Sumber pendapatan lainnya yaitu hibah.
Untuk pengeluaran, ada dua pengeluaran dalam APBN,
yaitu pengeluaran pemerintahan pusat dan transfer ke daerah. Untuk
pengeluaran pemerintahan pusat diantaranya ada pengeluaran untuk
belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga
utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan lain-lain. Untuk
transfer ke daerah, pengeluaran terdiri dari dana perimbangan. Adapun
dana perimbangan terdiri dari, pertama; bagi hasil pajak dan sumber
daya alam, kedua; dana alokasi umum, dan ketiga; dana alokasi khusus.
Pengeluaran lain yaitu dana otonomi khusus dan dana penyesuaian.
2
Tabel 3.1 Format APBN di Era Reformasi
URAIAN APBN (Rp)
A. Pendapatan Negara dan Hibah
1. Penerimaan Dalam Negeri
- Penerimaan Perpajakan
- Penerimaan Negara Bukan Pajak
II. Hibah
B. Belanja Negara
1. Belanja pemerintahan Pusat
- Pengeluaran Rutin
- Pengeluaran Pembangunan
II. Transfer ke Daerah
1. Dana Perimbangan
2. Dana Otonomi Khusus dan
Penyeimbang.
III. Suspen
C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B)
E. Pembiayaan
1. Pembiayaan Dalam Negeri
2. Pembiayaan Luar Negeri
Kelebihan/ (kekurangan)
pembiayaan
Rp.
3.1.2 Indikator Kebijakan Fiskal
Salah satu tujuan dari kebijakan fiskal yaitu mengurangi angka
pengangguran. Dalam upaya menurunkan angka pengangguran,
pemerintahan kerap kali menstimulus perekonomian dengan kebijakan
fiskal yang ekspansif dengan menambah defisit anggararan.
Meningkatnya pengeluaran pemerintahan diharapkan dapat meningkatkan
permintaan agregat sehingga pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
2
Meningkatnya aktivitas ekonomi pada akhirnya dapat mengurangi
angka pengangguran.
Kurun periode 1988 hingga tahun 2012 persentase angka
pengangguran terhadap total angkatan kerja di negara kita semakin
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Persentase terendah terjadi
pada tahun 1990 dimana angka pengangguran tercatat sebesar 2,5
persen per tahun. Angka pengangguran beranjak naik pasca krisis
moneter tahun 1997/1998 dan mengalami tingkat tertinggi pada tahun
2005 sebesar 11, 2 persen. Pasca krisis global tahun 2008 persentase
pengangguran terus mengalami penurunan pada tingkat rata-rata 6
persen pertahun.
2
Peran pemerintahan dalam upaya menurunkan angka
penganggurana terlihat dari kebijakan anggaran dalam APBN. Gambar
(3.2) memperlihatkan persentase defisit anggaran APBN terhadap PDB
(Produk Domestik Bruto) negara kita . Angka negatif mencerminkan
pemerintahan menggunakan anggaran defisit, sedangkan angka positif
mencerminkan pemerintahan menggunakan anggaran surplus. Tahun
1988 defisit anggaran tercatat sebesar 2,3 persen dar PDB, defisit
lalu terus menurun bahkan tercatat surplus yaitu sebesar 3 persen
pada tahun 2005.
Pasca liberalisasi sektor keuangan peran swasta semakin
meningkat. pemerintahan mulai menurunkan dominasinya dalam
perekonomian dengan menggerakkan kinerja sektor keuangan. Krisis
tahun 1997/1998 merupakan sejarah yang berat bagi perekonomian
negara kita . Lumpuhnya sektor riil terutama sektor perbankan
menyebabkan pemerintahan harus mengeluarkan dana yang banyak bagi
upaya pemulihan ekonomi. pemerintahan meningkatkan defisit
-3
anggarannya hingga mencapai 2,5 persen pada tahun 1999. Pasca
krisis defisit anggaran terus di upayakan berada pada tingkat dibawah 2
persen dari tingkat PDB negara kita .
Studi empiris mengenai peran kebijakan fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi dan inflasi pernah di teliti oleh Surjaningsih,et
al.(2012). Penelitian ini menggunakan analisis kointegrasi, danVECM
(Vector Error Correction Model). Ada beberapa kesimpulan penting
dalam penelitian ini. Variabel kebijakan fiskal dengan kenaikan
pengeluaran pemerintahan memiliki pengaruh yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, sementara shock kenaikan pajak memiliki efek
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Hubungan pengeluaran
pemerintahan dan pajak terhadap inflasi kemungkinan di sebabkan oleh
multiplier efek dan dampak kebijakan terhadap permintaan agregat.
3.2 Kebijakan Moneter
3.2.1 Pengertian dan Instrumen Kebijakan Moneter
Perubahan yang besar pada Bank negara kita sebagai Bank Sentral
yang independen dalam menjalankan tugasnya tertuang dalam UU No.
23/1999 tentang Bank negara kita , yang berlaku pada tanggal 17 Mei
1999 Undang-undang ini telah diubah dengan Undang-Undang
Republik negara kita No. 6/ 2009. Dalam undang-undang ini status dan
kedudukan Bank negara kita dalah lembaga negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta bebas dari campur
tangan pemerintahan dan/atau pihak lain. ada perubahan mendasar,
di mana tugas Bank negara kita yaitu menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Arah kebijakan di fokuskan pada sasaran laju inflasi yang ingin
28
dicapai yang di wujudkan dalam kerangka target inflasi (inflation
targeting framework).
Definisi kebijakan moneter sebelum era reformasi dapat
memperlihatkan bagaimana perbedaan fungsi bank sentral sebelum dan
sesudah reformasi. Menurut Roswita (1995), kebijakan moneter yaitu
tindakan yang dilakukan oleh penguasa moneter (bank sentral) untuk
mempengaruhi jumlah uang beredar, tingkat bunga, dan kredit yang
pada waktunya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat.
Adapun tujuan dari kebijaksanaan moneter
1. Pendapatan nasional yang tinggi agar pertumbuhan ekonomi yang
tinggi.
2. Kesempatan kerja yang cukup tinggi agar tingkat pengangguran
rendah
3. Kestabilan harga atau laju inflasi yang rendah
4. Neraca pembayaran internasional yang seimbang
5. Distribusi pendapatan yang merata
Setelah krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun
1997 lalu, tujuan dan tugas utama Bank negara kita saat ini hanya
terfokus pada pencapaian dan pemeliharaan stabilitas nilai rupiah
meliputi inflasi dan nilai tukar. negara kita Undang-Undang Republik
negara kita No. 6/ 2009, implementasi kebijakan moneter terlihat dari
penetapan besaran BI-Rate. Target kebijakan moneter dicapai dengan
pendekatan pengendalian moneter secara tidak langsung. Adapun
instrumen yang digunakan yaitu :
1. Politik Diskonto (Rediscount Rate Policy) yaitu kebijaksanaan
bank sentral dengan cara menaikkan atau menurunkan tingkat
bunga yang harus dibayar bank umum apabila bank umum
2
meminjam dana dari bank sentral. Pinjaman tersebut disebut kredit
likuiditas dimana jika bank umum mengalami kesulitan likuiditas
dapat meminjam ke bank sentral. Bank sentral dapat memberikan
pinjaman (kredit likuiditas) atau dengan membeli surat-surat
berharga milik bank umum yang memerlukan bantuan. Aktivitas
jual beli surat-surat berharga disebut mendiskontokan surat-surat
berharga. Kebijaksanaan menaikkan atau menurunkan tingkat
bunga kredit likuiditas dan tingkat bunga diskonto dapat
mempengaruhi kemampuan bank umum dalam memberikan kredit
ke masyarakat sehingga mempengaruhi jumlah uang beredar dan
target akhir yaitu inflasi.
2. Politik Cadangan Minimal (Reserve Requirement) atau di
negara kita disebut Giro Wajib Minimum (GWM), yaitu
kebijaksanaan bank sentral untuk mengubah besarnya cadangan
minimal. Bank umum harus menyimpan cadangan wajib minimum
dari aktiva lancar yang dimilikinya ke bank sentral dalam bentuk
giro dan besarnya cadangan tersebut ditentukan bank sentral. Di
negara kita , kebijakan Pakto 1988 telah mewajibkan bank umum
untuk menyimpan cadangan wajib minimum sebesar 3 % sebagai
upaya pengendalian moneter. Sejak bulan April 1997 rasio tersebut
ditingkatkan dimana besarnya rasio cadangan wajib minimum
yaitu 5 %. Jika bank sentral hendak menerapkan kebijakan
moneter kontraktif, bank sentral dapat meningkatkan rasio
cadangan minimum sehingga kemampuan bank umum dalam
menyalurkan kredit ke masyarakat akan menurun. Akibatnya
perlambatan pertumbuhan kredit akan memperlambat laju
pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
3. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), yaitu
kebijaksanaan dengan cara menjual dan membeli surat-surat
berharga pemerintahan , sehingga akan mengurangi atau menambah
jumlah uang beredar. Di negara kita surat berharga yang diperjual
belikan yaitu SBI (Sertifikat Bank negara kita ). Penjualan SBI
dilakukan melalui lelang. Jika bank sentral menjual obligasi
pemerintahan kepada masyarakat, maka kebijakan ini berarti bank
sentral sedang melakukan kebijakan moneter yang kontraktif yaitu
mengurangi jumlah uang beredar. Begitu juga sebaliknya jika bank
sentral membeli obligasi pemerintahan yang ada pada masyarakat
maka bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif yaitu
menambah jumlah uang beredar.
3.2.2 Perkembangan Indikator Moneter di negara kita
Kurun tahun 2005 hingga 2012 secara umum indikator moneter
seperti inflasi dan kurs (nilai tukar) terus mengalami perbaikan. Inflasi
sebagai salah satu target akhir kebijakan moneter tercatat mengalami
peningkatan cukup tinggi pada bulan Oktober 2005 hingga Februari
2006 yaitu diatas 17 persen. Kenaikan harga-harga barang umum ini
lebih disebabkan oleh kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak).
Jika kita lihat dari pola inflasi, inflasi administered price atau inflasi
akibat kebijakan pemerintahan sangat berpengaruh terhadap peningkatan
Inflasi di negara kita . Gambar (3.3) memperlihatkan perkembangan
inflasi di negara kita delapan tahun terakhir.
Pada pertengahan hingga akhir tahun 2008 tingkat inflasi
kembali mengalami peningkatan rata-rata 11,5 persen. Peningkatan ini
di sebabkan oleh adanya krisis global yang sedikit banyak memberikan
imbas pada perekonomian negara kita . Pasca krisis global perekonomian
negara kita terlihat membaik hal ini dapat di lihat dari tingkat inflasi
yang relatif stabil dan masih pada tingkat yang aman yaitu dibawah 10
persen. Sedikit berbeda dengan perkembangan kurs atau nilai tukar
rupiah terhadap dolar US, di mana depresiasi nilai tukar rupiah tertinggi
terjadi pada saat krisis global tahun 2008 yaitu pada Oktober 2008
hingga Maret tahun 2009. Perkembangan kurs atau nilai tukar rupiah
dapat dilihat pada gambar (3.4) di bawah.
0
4
Pada gambar (3.4) terlihat pasca krisis global nilai tukar rupiah
terus mengalami apresiasi rata-rata pada tingkat 9.000 rupiah per dolar
US. Di akhir tahun 2012 kurs terus mengalami depresiasi setelah relatif
stabil pasca krisis global tahun 2008. Relatif membaiknya indikator
moneter seperti inflasi dan nilai tukar merupakan implikasi dari
kebijakan yang diterapkan oleh otoritas moneter dalam hal ini Bank
negara kita . Kebijakan moneter ini terlihat dari kebijakan moneter yang
ekspansif dengan menurunkan tingkat bunga BI.
Pada gambar (3.5) terlihat bahwa kurun tahun 2005 hingga
tahun 2012 tingkat BI rate tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Juni
2006 yaitu mencapai tingkat 12,5 persen. BI rate yang terbilang tinggi
ini merupakan respon dari kenaikan inflasi akibat kenaikan harga
BBM. Kebijakan meningkatkan tingkat bunga pada saat inflasi yaitu
untuk menekan permintaan dan daya beli masyarakat sehingga harga-
harga akan mengalami penurunan.
8,
Beberapa penelitian melihat bagaimana pengaruh tingkat bunga
terhadap inflasi dan output. Arestis dan Sawyer (2002), melihat
bagaimana tingkat bunga sebagai instrumen utama kebijakan moneter
mempengaruhi sektor riil di Angeloni salah satu wilayah dalam zona
Euro. Sektor riil disini diukur dengan GDP, permintaan agregat, nilai
tukar, dan investasi. Hasil estimasi dengan OLS memperlihatkan bahwa
tingkat bunga berpengaruh signifikan terhadap sektor riil. Kenaikan 1
persen tingkat bunga akan menurunkan 0,2 hingga 0,35 persen GDP
dan menurunkan 0,2 hingga 0,4 % tingkat inflasi.
Bi rate lalu terus mengalami penurunan. Pada tahun 2008
BI rate kembali di tingkatkan lagi oleh BI sebagai upaya menahan
pengaruh krisis global di negara kita terutama untuk menstabilkan nilai
tukar rupiah yang terdepresiasi cukup tinggi. Relatif membaiknya
perekonomian negara kita pasca krisis global membuat BI terus
melonggarkan perekonomian dengan menerapkan kebijakan moneter
5
6
ekspansif. Hal ini terlihat dari perkembangan BI rate yang terus
mengalami penurunan hingga penghujung tahun 2012.
Perkembangan indikator moneter lainnya yang tidak kalah
penting yaitu jumlah uang beredar. Jika dilihat dari perkembangan M2
pada gambar (3.6), kurun periode tahun 1982-2012 jumlah uang
beredar terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah uang
beredar M2 mencerminkan meningkatnya aktivitas perekonomian dan
semakin vitalnya fungsi lembaga keuangan dalam perekonomian.
Pada gambar (3.6) juga digambarkan perkembangan output
yang diukur dengan perkembangan GDP (Gross domestics Product).
Jika dilihat pada gambar tersebut, ada pola yang sama yaitu sama-
sama meningkat dan menunjukkan tren positif antara jumlah uang
beredar dan GDP. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa
kebijakan moneter dengan menambah jumlah uang beredar efektif
dalam mempengaruhi output yaitu GDP. Hafer, et.al (2002) melihat
hubungan antara kebijakan moneter, jumlah uang beredar, dan output di
0
1,
Amerika Serikat. Penelitian ini terdiri dari tiga kajian. Kajian yang
pertama yaitu melihat hubungan antara kebijakan moneter dan output
dengan mengestimasi persamaan output gap di mana tingkat
pembiayaan bank sentral menjadi instrumen kebijakan moneter.
Kajian yang kedua yaitu mengestimasi Congressional Budget
Office (CBO) terhadap output gap, dan yang ketiga mengestimasi
pengaruh jumlah uang beredar (M0,M1,M2) dengan mempengaruhi
tingkat bunga terhadap output. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa
ada korelasi yang signifikan antara tingkat pembiayaan bank sentral
terhadap output kurun waktu tahun 1961-1982, namun tercatat tidak
signifikan pada data tahun 1982 hingga tahun 2000. Penelitian ini juga
menemukan hubungan yang signifikan antara lag jumlah uang riil dan
output gap pada tahun 1961-1982, namun juga tidak signifikan pada
tahun 1982-2000.
3.3. Gabungan Kebijakan (Policy Mix)
Dalam kebijakan suatu negara, diperlukan adanya gabungan
kebijakan (policy mix) yang saling terkoordinasi dengan baik.
Koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter diperlukan
untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dan ke gagalan kebijakan.
Kita mengenal istilah informasi yang asimetris (assimetrics
information) di mana informasi yang tidak seimbang antara kebijakan
pemerintahan dengan ekspektasi rumah tangga atau perusahaan akan
memicu adanya kegagalan kebijakan tersebut. Kita juga mengenal
istilah crowding out atau kebijakan yang saling meniadakan sehingga
kebijakan menjadi gagal dalam pencapaian tujuan.
36
Kebijakan gabungan dinilai dapat mempengaruhi perekonomian
lebih maksimal jika di lakukan secara terkoordinasi. beberapa metode
dalam pelaksanaan kebijakan gabungan, antara lain; (1) Kebijakan
moneter ekspansif dan kebijakan fiskal ekspansif, (2) Kebijakan
moneter kontraktif dan kebijakan fiskal ekspansif, (3) Kebijakan
moneter ekspansif dan kebijakan fiskal kontraktif, (4) Kebijakan
moneter kontraktif dan kebijakan fiskal kontraktif.
Metode (1) dan (4) dimana kebijakan di lakukan sama-sama
ekspansif atau ama-sama kontraktif merupakan metode kebijakan yang
paling efektif untuk mengatasi fluktuasi siklus bisnis yang berlebihan.
Kondisi ini tentu memiliki syarat jika gabungan kebijakan tersebut
dilakukan secara terkoordinasi. Sementara itu, metode kebijakan (2)
dan (3) akan memiliki pengaruh yang saling meniadakan, dan hasil
akhirnya sangat tergantung pada kekuatan pengaruh relatif antara
kebijakan moneter dan fiskal. Beberapa studi empiris memperlihatkan
bahwa kombinasi kebijakan moneter kontraktif dan kebijakan fiskal
ekspansif sering kali cenderung mendorong terjadinya crowding out
dimana kebijakan fiskal ekspansif akan meningkatkan suku bunga
keseimbangan pasar sehingga dapat menghambat kegiatan investasi
oleh masyarakat (warjiyo dan Solikin, 2003).
Sejalan dengan hal tadi, menurut Dornbusch,et.al (2008:267),
Kebijakan moneter yang ekspansif akan menurunkan tingkat bunga,
sedangankan kebijakan fiskl yang ekspansif akan meningkatkan tingkat
bunga. Kebijakan moneter yang ekspansif akan meningkatkan output
dan meningkatkan investasi. Sedangkan kebijakan fiskal dapat
meningkatkan output namun menyebabkan turunnya tingkat investasi
akibat crowding out. Oleh sebab nya, pemerintahan dapat menerapkan
3
Jika perekonomian hendak mencapai nilai Y* atau titik full
employment, maka kebijakan pemerintahan dapat berupa kebijakan fiskal
ekspansif dengan konsekuensi tingkat bunga naik dan investasi
menurun sebab adanya crowding out (titik E1). Jika dilakukan
kebijakan moneter maka tingkat bunga akan turun pada tingkat E2
dimana investasi meningkat. pemerintahan dapat menerapkan kebijakan
gabungan atau policy mix sehingga hasilnya ada dipertengahan E1 dan
E2. Kebijakan gabungan dapat sama-sama mencapai pertumbuhan
ekonomi pada tingkat bunga yang tidak terlalu rendah atau tidak terlalu
tinggi.
Beberapa penelitian memperlihatkan bagaimana koordinasi
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter (policy mix) dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi. Musa,et.al. (2013) melihat interaksi kebijakan
fiskal dan moneter terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di
Nigeria. Estimasi menggunakan uji kointegrasi dan Vector Error
Correction Model (VECM). Penggunaan model ini untuk melihat
hubungan jangka panjang dan jangka pendek antar variabel.
negara kita hasil estimasi, terlihat bahwa penambahan jumlah uang
beredar dan variabel pendapatan pemerintahan sangat efektif dalam
mempengaruhi inflasi dan output dalam jangka panjang. Musa
menyimpulkan bahwa kedua kebijakan sangat efektif dalam
mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Nigeria jika di
lakukan dengan koordinasi yang baik.
3.4 Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter Di negara kita
Tahun 1965 merupakan gambaran perekonomian yang suram
bagi negara kita . Pencetakan uang secara besar-besaran untuk
membiayai anggaran fiskal pemerintahan telah berdampak pada hiper
inflasi dimana inflasi tercatat sebesar 600 persen. Menurunnya nilai
uang akibat hiper inflasi lalu menjadi pelajaran penting bagi
otoritas kebijakan fiskal dan moneter tentang pentingnya pengendalian
uang dan inflasi. Kesadaran tersebut lalu mengubah arah
kebijakan fiskal di negara kita . Di penghujung tahun 1968 hingga 1971,
pembiayaan defisit APBN lalu di alihkan dengan cara berutang
ke luar negeri. Kebijakan fiskal dan moneter diperketat dengan tujuan
pengendalian inflasi.
Potret perekonomian negara kita tahun 1970 terlihat membaik.
Pertumbuhan ekonomi tercatat cukup tinggi rata-rata 7 persen per
tahun. Selain keberhasilan pengendalian hiper inflasi, negara kita
mendapatkan berkah dari kenaikan harga minyak dunia pada periode
ini. Berkah kenaikan harga minyak dapat di nikmati sebab negara kita
saat itu tercatat sebagai negara pengekspor minyak. Dominasi
kebijakan fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
menyebabkan terjadi penambahan jumlah uang beredar dari sisi fiskal
terutama dari penambahan devisa. Peran kebijakan moneter di periode
ini bisa dikatakan tidak memiliki peran yang vital seperti kebijakan
fiskal. Bank negara kita masih menerapkan kebijakan moneter yang
kontraktif terutama untuk menekan inflasi akibat ekspansi fiskal.
Berkah kenaikan harga minyak dunia tidak selamanya dapat diandalkan
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di awal tahun 1980 pertumbuhan ekonomi negara kita melambat
seiring berakhirnya periode oil boom. Menyadari hal ini pemerintahan
mulai mencari jalan untuk keluar dari masalah melambatnya ekonomi.
Tahun 1980 pemerintahan meliberalisasi sektor-sektor ekonomi sebagai
upaya pemberdayaan sektor swasta dalam perekonomian. pemerintahan
mulai memberi peluang bagi kebijakan moneter dengan kebijakan yang
ekspansif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat juga
dengan kebijakan liberalisasi sektor keuangan yang cukup mengalami
perubahan yang besar. Dampak liberalisasi sektor keuangan terlihat
dengan banyaknya pendirian bank-bank baru di negara kita . Peran bank
umum dalam memberikan kredit juga di tingkatkan dengan penurunan
tingkat bunga dan kemudahan pemberian kredit.
Peran kebijakan moneter semakin dominan terhadap
perekonomian di era tahun 1990. Kebijakan moneter yang ekspansif
dan semakin banyaknya jumlah bank-bank umum berdiri menyebabkan
dunia usaha semakin berperan dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Hanya saja, kemudahan bagi dunia usaha dalam mengakses
kredit termasuk kredit luar negeri menyebabkan sektor perbankan
sangat rentan terkena krisis yang lalu hari hal ini terbukti.
Pertumbuhan sektor keuangan terlihat kebablasan dengan minimnya
pengawasan Bank negara kita dan banyaknya bank umum yang tidak
mematuhi standar kesehatan perbankan.
Tahun 1997/1998 merupakan sejarah yang suram bagi sektor
moneter di negara kita . Berawal dari depresiasi nilai tukar bath Thailand
yang merembet ke negara-negara lain di ASIA termasuk negara kita .
Sepertinya negara kita kurang dapat memprediksikan boom waktu dari
pertumbuhan sektor moneter yang rapuh dan rentan terkena krisis.
Meningkatnya utang luar negeri baik dari sisi pemerintahan maupun
swasta pasca oil boom menjadi boomerang kehancuran ekonomi pada
tahun 1997/1998 lalu. Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi hingga
sempat mencapai 15.000 rupiah per US dolar menyebabkan lonjakan
utang yang luar biasa dan menyebabkan ketidak mampuan swasta
dalam membayar kredit. Akibatnya kredit macet meningkat dan
menjadi titik awal bangkrutnya perbankan di negara kita dan menjadi
awal dari krisis multidimensi di negara kita .
Kebijakan moneter kontraktif dengan menaikkan tingkat bunga
yang diterapkan BI sesuai kesepakatan IMF selaku donator dalam
upaya mengatasi krisis nilai tukar saat itu sebenarnya malah
memperburuk keadaan. Naiknya tingkat bunga hingga mencapai 38,8
persen (tingkat bunga deposito) tidak efektif diterapkan pada saat itu
dimana kepercayaan publik pada perbankan nyaris tidak ada lagi.
Kenaikan tingkat bunga malah makin memperparah kredit macet untuk
pinjaman dalam negeri (dalam rupiah).
Tahun 1999 merupakan momentum awal tentang pentingnya
pengawasan dan kesehatan perbankan. pemerintahan mengupayakan
restrukturisasi perbankan untuk mengembalikan bank-bank yang pailit
menjadi dapat beroperasi lagi. Program restrukturisasi dengan obligasi
rekap terlihat berjalan baik sehingga bank-bank yang masih di nilai
layak dapat kembali beroperasi. Di sisi kebijakan moneter, lahirnya UU
No. 23 tahun 1999 melahirkan suatu kebijakan yang mengerucut bagi
Bank negara kita . Tugas Bank negara kita hanya di fokuskan pada
stabilitas harga yaitu stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu
undang-undang ini mengatur tentang Bank negara kita sebagai lembaga
yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain termasuk
pemerintahan .
Pasca krisis moneter tahun 1997/1998, kebijakan moneter yang
semula menerapkan kebijakan kontraktif perlahan diperlonggar.
Kebijakan fiskal yang tadinya menerapkan kebijakan ekspansif dengan
meningkatkan defisit perlahan defisitnya dikurangi. Bahaya utang luar
negeri bagi sektor fiskal menyebabkan pemerintahan mengubah cara
memenuhi defisit anggaran degan cara baru yaitu menerbitkan surat
utang negara (SUN) atau obligasi. Standar kesehatan dan kehati-hatian
perbankan diperketat mengingat pentingnya kesehatan perbankan
dalam menunjang perekonomian. Dampak dari kebijakan ini cukup
terasa saat kejadian krisis global tahun 2008/2009 di mana
perekonomian negara kita tidak terlalu terkena dampak krisis tersebut.
Sektor perbankan cukup tangguh menghadapi krisis global tersebut.
Alquran telah jelas menceritakan tentang adanya siklus bisnis
dalam perekonomian dan cara pengelolaannya. Al-Qur’an Surat Yusuf
ayat 43-48 telah menceritakan tentang kebijakan fiskal yang dilakukan
masyarakat Mesir pada zaman nabi Yusuf, A.S. Dikisahkan bahwa
pada zaman nabi Yusuf, A.S., raja Mesir saat itu bermimpi melihat
tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus dan
tujuh tangkai gandum yang hijau dan (tujuh tangkai ) yang lain kering.
Nabi Yusuf, A.S., mengartikan mimpi tersebut bahwa akan terjadi tujuh
masa di mana perekonomian akan mengalami booming (masa subur),
dan tujuh masa lalu mengalami paceklik (resesi).
Mimpi di maknai bahwa dalam perekonomian akan ada siklus
bisnis. Saran beliau yaitu bahwa pada masa booming, bercocok
tanamlah selama tujuh tahun tersebut secara biasa. Sebagian yang telah
dipanen hendaklah disimpan bersama tangkainya dan sedikit sisanya
yaitu untuk konsumsi sekarang. lalu jika telah datang masa
tujuh tahun kemarau (kelaparan), simpanan makanan dapat dikonsumsi
dan sebagian kecil disisakan untuk menjadi benih dan begitu
seterusnya. Kebijakan ini berhasil membawa perekonomian mesir pada
tingkat kemakmuran. Di mana Mesir dapat melalui tahap-tahap siklus
bisnis dengan baik. Kebijakan anggaran surplus yang diterapkan baik
dalam tingkat individu maupun pemerintahan dizaman nabi Yusuf, A.S
ini merupakan adanya bukti bahwa kebijakan ekonomi telah ada jauh
sebelum teori modern tentang kebijakan anggaran dan teori siklus
bisnis muncul.
4
Dalam konteks modern, masa kaya raya dapat di sinonimkan
sebagai masa booming, dimana indikator perekonomian rata-rata
mengalami peningkatan, seperti; pertumbuhan ekonomi, surplus neraca
perdagangan dan pembayaran, naiknya harga minyak bumi,
swasembada pangan, dan lain-lain. Sebagai contoh kasus, negara kita
pernah mengalami masa boom minyak (oil boom) pada tahun 1973 dan
1979, dimana terjadi kenaikan harga-harga minyak di pasaran
internasional. Pada saat itu potret perekonomian negara kita terlihat
sangat bagus dan gemilang berkat kejutan-kejutan minyak tersebut.
Masa paceklik dalam sejarah nabi Yusuf A.S dapat diistilahkan sebagai
masa depresi (depreciation) dimana terjadi penurunan terendah dalam
aktivitas perekonomian (economics down turn). Masa krisis dalam
perekonomian modern terjadi sebab berlakunya pengangguran dan
penurunan aktivitas perekonomian. Terkadang bahkan perekonomian
dihadapkan pada masalah inflasi dan pengangguran yang terjadi
bersamaan, seperti kasus krisis Asia tahun 1997/1998 lalu.
Di zaman Nabi Muhammad, S.A.W., lembaga keuangan negara
yang disebut baitul mal berperan menjalankan kebijakan fiskal. Baitul
mal bukanlah sekedar bazis seperti sekarang ini, tetapi juga berperan
sebagai lembaga pengelola keuangan negara. Baitul mal dapat
menjalankan kebijakan fiskal sebab sumber penerimaannya tidak
terbatas pada zakat saja, namun mencakup pula; karaj (pajak atas
tanah), khums, jizya, dan penerimaan lainnya seperti khaffarah.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri kebijakan fiskal Baitul Mal,
pertama: dalam kebijakan fiskal baitul mal anggaran defisit boleh
digunakan pada saat yang sangat genting. Defisit juga harus secepatnya
dilunasi. Dalam sejarah perjuangan Rasullullah.S.A.W, tercatat hanya
4
sekali terjadi anggaran defisit yaitu saat jatuhnya kota Mekah.
Hutang pemerintahan saat itu dibayar sebelum satu tahun yaitu setelah
perang Hunayn selesai. Kedua: ada perbedaan kharaj (pajak atas
tanah) pada setiap tanah. Perhitungan tingkat kharaj ditentukan
negara kita produktivitas lahan, bukan negara kita luas lahan. Suatu
tanah dikatakan produktif di lihat dari tingkat kesuburan tanah, jumlah
dan nilai pasar produk pertanian yang ditanam di lahan tersebut, dan
memasukkan metode irigasi pada tanah tersebut.
Ciri yang ketiga: akad pada peternakan dikenakan tingkat pajak
yang regresif yaitu semakin banyak ternak yang dipelihara semakin
kecil rate nya. Hal ini mendorong adanya skala usaha yang lebih besar
dan biaya produksi yang lebih rendah. Akibatnya tersedia lebih banyak
ternak dengan harga relatif murah. Pengenaan pajak dengan system ini
hanya dikenakan pada peternakan dan tidak pada barang pertanian yang
cepat rusak. Keempat: zakat perdagangan dikenakan atas keuntungan,
bukan atas harga jual. Secara ekonomi ini berarti zakat tidak akan
mengurangi penawaran barang dan tidak akan menaikkan harga jual.
Bagian terakhir, yaitu bagian kelima: porsi anggaran untuk
pembangunan infrastruktur lebih besar dari pada anggaran lainnya.
Kebijakan fiskal baitul mal juga telah mengedepankan manajemen
administrasi yang baik. Selain itu jaringan kerja antara baitul mal di
pusat dan baitul mal di daerah-daerah telah di kenal dan di laksanakan
dengan baik seperti konsep lembaga modern saat ini.
Untuk kebijakan moneter dilihat dari sudut pandang Islam,
secara umum konsep dasar dari aktivitas perekonomian terutama
disektor moneter tertuang dalam Al-Quran surat Al Baqarah ayat 275
yang di terjemahkan berikut ini:
4
“ Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri, melainkan
seperti berdirinya orang yang kerasukan setan sebab tekanan
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, yaitu disebabkan
mereka berpendapat sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Maka orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-
nya lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan dan urusannya
terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi riba maka orang-
orang itu yaitu penghuni –penghuni neraka. Mereka kekal di
dalamnya”. Q.S. Al Baqarah, 2:275.
Dalam surat tersebut jelas bahwa dalam konsep ekonomi Islam,
adanya larangan yang tegas mengenai riba atau bunga seperti di zaman
modern saat ini. Dengan jelas bahwa yang di perbolehkan yaitu
prinsip-prinsip jual beli yang lalu menjadi dasar dari kegiatan-
kegiatan sektor keuangan Islam, seperti perbankan dan lembaga
keuangan lainnya.
Dalam literatur sejarah, sampai dengan zaman Umar Bin
Khattab, r.a boleh dikatakan pemerintahan an Islam belum memiliki
sejenis bank sentral yang mengatur kebijakan moneter, sebab pada
waktu itu belum ada mata uang dinar yang dicetak oleh pemerintahan an
Islam. Sebagaimana diketahui, mata uang resmi masih menggunakan
dinar romawi dan dinar Persia. Baru dizaman Khalifah Utsman, r.a,
dinar Islam dibentuk yang menyerupai dinar Persia. Barulah pada
pemerintahan an Ali, r.a dinar khas Islam dibentuk. Namun sebab
keadaan politik saat itu, peredarannya masih terbatas. Dalam hal ini
baitul mal belum menjalankan fungsinya sebagai pengambil kebijakan
moneter.
Cikal bakal Kebijakan moneter dalam Islam di mulai tentang
peran uang dalam perekonomian. Nezhad (2004) menjelaskan tentang
peran uang dan perkembangan uang dalam sejarah Islam. Dalam
konsep Islam di akui permintaan uang untuk transaksi, standar
pembayaran dan unit penyimpan nilai. Sedangkan motif spekulasi tidak
diakui sebab dapat mendorong pada transaksi maya disektor moneter.
Uang bukanlah komoditi sehingga tidak dapat di perjual belikan. Uang
tidak memiliki harga namun dapat merefleksikan semua harga. Uang
pertama yang di cetak oleh pemerintahan Islam berbentuk koin emas dan
perak yaitu pada tahun 40 setelah Hijriyah, namun belum menjadi mata
uang resmi saat itu. Barulah pada tahun 74 setelah Hijriyah uang dinar
dan dirham tersebut menjadi mata uang resmi dan menjadi hak
monopoli pemerintahan . Melengkapi pendapat tersebut, Al-Yosef (2005)
menyatakan bahwa penyebab utama krisis yang melanda perekonomian
dunia dalam 3 dekade terakhir yaitu di sebabkan oleh penggunaan
uang untuk tindakan spekulasi (gharar). Tindakan spekulasi
menyebabkan menggelembungnya ekonomi yang rentan terhadap
krisis, serta terjadinya high cost dalam ekonomi.
Dalam kebijakan moneter, stok uang yaitu cerminan aktivitas
sektor riil, di mana jika penambahan jumlah uang beredar melebihi
jumlah produksi barang dan jasa maka akan menyebabkan inflasi.
pemerintahan harus menjaga nilai uang, sehingga pencetakan uang harus
sesuai dengan produksi barang yang dilakukan negara. Dalam sejarah
ekonomi Islam pernah terjadi inflasi akibat pencetakan uang. Pada awal
4
pemerintahan an Bani Mamluk satu dirham mengandung dua per tiga
perak dan sepertiga tembaga, namun di zaman pemerintahan an Nasir,
pemerintahan merubah nilai mata uang ini menjadi dua pertiga tembaga
dan sepertiga perak. Hasilnya yaitu ketidakstabilan ekonomi dan
meningkatnya inflasi sebab jumlah uang beredar terlalu banyak.
Pentingnya tentang menjaga jumlah uang beredar, secara tegas Islam
mengecam penimbunan uang yang tidak produktif dan pemalsuan uang,
sebab menimbun uang sama seperti menarik uang secara sementara
dalam peredaran. Sedang memalsukan uang yaitu menambah uang
beredar.
Penelitian ini mencoba melengkapi buku ini dengan pengujian
secara empiris bagaimana efektivitas kebijakan ekonomi makro
meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam pengelolaan
siklus bisnis dengan indikator pertumbuhan ekonomi dan inflasi di
negara kita . Siklus bisnis merupakan gerakan naik atau turunnya
perekonomian yang di ukur dengan naik atau t