Revolusi industri yang dimulai pada akhir
abad ke-18 merupakan titik balik dalam sejarah
dunia. Dalam kurun dua ratus tahun pertumbuhan
warga dan pendapatan rata-rata yang
berkelanjutan meningkat drastis dan belum
pernah terjadi sebelumnya. Populasi dan produksi
yang semakin berkembang membutuhkan energi
lebih besar dari energi yang dihasilkan dari
pembakaran kayu dan tenaga hewani.
Menjawab permasalahan ini, munculah
inovasi pemakaian energi alternatif batubara dan
produksi dengan berbasis minyak bumi.
Konsekuensi dari pembakaran batubara dan
minyak bumi yaitu banyak gas karbondioksida
(CO2) yang terlepas naik ke atmosfer dan secara
akumulatif mengumpul di udara yang pada
akhirnya menimbulkan eksternalitas negatif
pencemaran udara serta global warming.
Pencemaran udara merupakan eksternalitas
negatif yang patut menjadi perhatian bersama
mengingat pentingnya udara sebagai penunjang
utama kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan
serta karakteristiknya yang merupakan barang
publik. Mengacu pada hasil penelitian United
Nation Environment Programme tahun 1996
diperoleh data bahwa pencemaran udara di
Jakarta telah menempati urutan ketiga terburuk di
dunia setelah Mexico City dan Bangkok. Pada
tahun 2011, data dari World Resources Institute
menyatakan bahwa negara kita merupakan negara
peringkat ke-6 dari 10 besar negara penghasil
emisi karbon di dunia. Hal ini sangat ironis
mengingat pentingnya udara sebagai unsur
penunjang utama dalam kehidupan mahkluk
hidup.
Keberadaaan eksternalitas negatif perlu
diatasi dengan adanya intervensi pemerintah.
Pada pertemuan Konferensi Perubahan Iklim
Kopenhagen, negara kita berkomitmen untuk
menurunkan level emisi karbon sebesar 26%
pada tahun 2020, untuk itu diperlukan sebuah
kebijakan yang dapat memfasilitasi target
penurunan level emisi karbon ini .
Carbon tax merupakan salah satu instrumen
efektif yang tersedia untuk mencapai tujuan
ini .1 Beberapa negara maju seperti Swedia,
Finlandia, dan Denmark telah dapat mengurangi
eksternalitas negatif akibat emisi karbon sebesar
7-15% dengan menggunakan carbon tax
(International Energy Agency, 2013). berdasar
penelitian dan keberhasilan negara-negara lain
dalam penerapan carbon tax peneliti lalu
tertarik untuk melakukan analisis carbon tax
sebagai kebijakan dalam mengatasi eksternalitas
negatif emisi karbon.
Rumusan masalah yang ingin dijawab dalam
penelitian ini yaitu “Bagaimanakah rumusan
kebijakan carbon tax yang ideal di negara kita dan
bagaimana mekanisme penerapan kebijakan
carbon tax untuk mengatasi eksternalitas negatif
emisi karbon di negara kita ?”
2.1. Konsep Eksternalitas
Pemanasan global akibat emisi bahan bakar
fosil merupakan salah satu contoh klasik dari apa
yang para ekonom sebut sebagai eksternalitas.
Eksternalitas terjadi setiap kali tindakan satu
pihak membuat pihak lain lebih buruk atau lebih
baik, namun pihak pertama tidak menanggung
biaya atau menerima manfaat dari tindakannya.
Eksternalitas terjadi sebab adanya perbedaan
antara marginal cost dan marginal benefit atas
suatu barang. Sesuai macamnya, ekternalitas
diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a. Eksternalitas negatif
Eksternalitas negatif timbul saat aktivitas
dari seseorang menimbulkan kerugian bagi orang
lain. Eksternalitas negatif memunculkan biaya
eksternal (external cost) yang merupakan biaya
terhadap pihak ketiga yang tidak dapat
direfleksikan dalam harga pasar. saat terjadi
eksternalitas negatif, harga barang atau jasa tidak
menggambarkan biaya sosial tambahan (marginal
social cost) secara sempurna pada sumber daya
yang dialokasikan. Baik pihak pertama maupun
pihak kedua tidak memperhatikan biaya yang
terbebankan pada pihak ketiga.
b. Eksternalitas positif
Eksternalitas positif timbul saat aktifitas
dari seseorang bermanfaat bagi orang lain.
Eksternalitas positif memunculkan keuntungan
eksternal (external benefit) yang tidak dapat
direfleksikan dalam harga pasar. Eksternalitas
banyak terjadi di kehidupan sehari-hari.
Intervensi pemerintah diperlukan saat
eksternalitas negatif sudah meluas dan merugikan
kepentingan masyarakat. Intervensi dilakukan
dalam bentuk penentuan harga dari dampak yang
ditimbulkan baik dalam bentuk perpajakan atau
Emisi karbon yaitu jumlah emisi gas rumah
kaca yang dilepaskan oleh pribadi atau kelompok
dalam melakukan kegiatannya per periode
tertentu yang diukur dengan satuan ton-setaraCO2 (tCO2e) atau kg-setara-CO2 (kgCO2e). Terdapat
berbagai bentuk gas rumah kaca, yang
berdasar jenis dan sumbernya dapat dirinci
sebagai berikut:
Keenam jenis Gas Rumah Kaca (GRK)
ini memiliki potensi penyebab pemanasan
global yang berbeda-beda. Karbon dioksida
memiliki potensi penyebab pemanasan global
terendah di antara keenam jenis gas, meskipun
konsentrasinya paling tinggi di atmosfer. Oleh
sebab potensinya yang terendah, angka acuan
untuk indeks daya penyebab pemanasan global
yang disebut Global Warming Potential (GWP)
untuk karbon dioksida yaitu 1. Gas metana
mempunyai GWP sebesar 21 yang berarti 1 ton
metana mempunyai potensi menyebabkan
pemanasan global 21 kali lebih tinggi daripada 1
ton karbon dioksida. Hal ini juga berarti bahwa
mengurangi emisi gas metana sebanyak 1 ton
setara dengan mengurangi emisi karbon dioksida
sebanyak 21 ton.
2.3. Konsep Carbon Tax
Carbon tax yaitu jenis pajak atas polusi yang
dikenakan pada penggunaan bahan bakar fosil
untuk memperbaiki kegagalan pasar. Kegagalan
utama pasar pada produk bahan bakar fosil
yaitu timbulnya eksternalitas negatif seperti
perubahan iklim dan polusi udara. Dengan tidak
adanya carbon tax, konsumen tidak menanggung
biaya penuh atas penggunaan produk, yang
merupakan jumlah dari produksi, biaya distribusi
dan biaya sosial seperti kerugian ekonomi dari
perubahan iklim dan polusi udara. Secara teori,
peningkatan biaya akibat pengenaan pajak akan
menurunkan permintaan atas bahan bakar fosil.
berdasar alasan ini , tidak adanya
carbon tax akan mengarah pada konsumsi bahan
bakar yang berlebihan, dan carbon tax bertujuan
mengoreksi kegagalan pasar ini dengan
memasukkan biaya sosial atas eksternalitas
negatif yang timbul ke dalam harga jual bahan
bakar. Pemasukan biaya sosial tadi lalu
membuat harga jual bahan bakar fosil lebih tinggi,
dan diharapkan dapat menurunkan jumlah
permintaan bahan bakar fosil oleh konsumen.
Ada tiga kelebihan utama kebijakan carbon
tax dibanding kebijakan yang lain dalam
mengendalikan emisi gas rumah kaca. Pertama,
carbon tax yaitu kebijakan ekonomi yang luas
dan dapat memotong emisi dari setiap sumber
utama, sementara kebijakan lain cenderung
menargetkan emisi dari sumber tertentu, seperti
listrik, pemanas, atau transportasi. Carbon tax
dapat diberlakukan untuk semua jenis bahan
bakar fosil, sehingga mencakup semua sumber
emisi utama.
Kedua, carbon tax menyediakan sinyal harga
yang jelas untuk perusahaan dan rumah tangga,
yang memungkinkan mereka untuk membuat
pembelian dan keputusan investasi yang lebih
baik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
dengan informasi harga karbon yang telah jelas,
konsumen dan bisnis cenderung lebih terdorong
untuk melakukan tindakan hemat energi dan
berinvestasi lebih banyak pada teknologi hemat
energy. 2 Oleh sebab itu, carbon tax dapat
memaksimalkan efeknya pada perilaku konsumen
dengan menunjukkan sinyal harga yang jelas.
Kesederhanaan administrasi juga merupakan
kelebihan lainnya dari carbon tax. Mekanisme
pemungutan carbon tax dapat dibuat sama dengan
mekanisme pemungutan pajak yang telah ada,
sehingga kemungkinan menimbulkan kesulitan
administrasi saat diterapkannya carbon tax dapat
diminimalkan. Sebaliknya, bentuk regulasi dan
skema perdagangan karbon membutuhkan
bentuk-bentuk baru. Hal ini sering membutuhkan
biaya administrasi yang cukup besar terkait
penciptaan lembaga pemerintah yang baru.
Terakhir, carbon tax dapat membawa dua
manfaat ekonomi. Salah satu manfaat berasal dari
menghilangkan eksternalitas negatif bahan bakar
fosil. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.1,
dengan tidak adanya pajak, biaya privat marjinal
lebih rendah dari biaya sosial marginal sebab
biaya privat marjinal tidak termasuk eksternalitas
negatif. Dalam posisi ini, keseimbangan biaya
privat marjinal dan kurva permintaan berada
pada titik optimal bagi individu tetapi belum
berada pada titik optimal bagi masyarakat. Hal ini
menyebabkan timbulnya welfare loss akibat
kelebihan konsumsi bahan bakar fosil, atau yang
sering disebut sebagai deathweight loss,
sebagaimana ditunjukkan dalam warna merah
pada Gambar 2.1.Adanya carbon tax menggeser kurva biaya
privat marjinal ke kiri menjadi kurva MSC akibat
adanya carbon tax dan memindahkan titik
keseimbangan sepanjang pasar dari E ke E’. Jika
pendapatan dari carbon tax didistribusikan secara
optimal, maka carbon tax akan benar-benar dapat
menghilangkan welfare loss dan meningkatkan
kesejahteraan sosial. Hal itu berarti manfaat lain
carbon tax muncul saat pendapatan dari carbon
tax digunakan untuk mengimbangi pendapatan
pajak lainnya.
Pada prinsipnya, pajak seperti pajak
penghasilan dan pajak komoditi mendistorsi pasar
dan mengurangi kesejahteraan sosial saat
mereka dibebankan pada semua barang. saat
suatu barang tidak memiliki eksternalitas negatif
(atau karakteristik barang publik lainnya), biaya
privat marjinal identik dengan biaya sosial
marjinal, sehingga titik keseimbangan sebelum
pajak sebenarnya sudah merupakan titik optimal
terbaik, baik bagi individu maupun bagi
masyarakat.
Oleh sebab itu, adanya pajak akan menggeser
keseimbangan dari yang titik optimal, yang
mengakibatkan hilangnya kesejahteraan. Welfare
loss ini sering disebut marginal excess tax burden
(deadweight loss). Atas hal ini carbon tax
dapat mencegah hilangnya kesejahteraan jika
pendapatan dari carbon tax digunakan untuk
mengimbangi pajak lainnya. Dengan cara ini,
carbon tax dapat meningkatkan kesejahteraan
sosial dengan menghilangkan welfare loss dari
polusi (perubahan iklim) dan dengan
mengimbangi pajak lainnya yang menimbulkan
welfare loss. Manfaat ini sering disebut sebagai
"dividen ganda" dan merupakan atribut penting
dari carbon tax.3
2.4. DESAIN CARBON TAX
Carbon tax berpotensi mengubah perilaku
rumah tangga dan industri untuk menurunkan
penggunaan energi yang tinggi emisi. Agar tujuan
ini dapat tercapai, maka dalam membuat
desain carbon tax hal-hal yang perlu diperhatikan
menurut Sumner, et al. yaitu terkait dasar pajak,
tarif pajak, distribusi pendapatan, dampak pada
konsumen dan memastikan penurunan emisi.4
OECD (2001) dalam Enviromental Taxation a
Guide for Policy Makers memberikan beberapa
poin penting yang perlu diperhatikan para
pengambil keputusan dalam mendesain
perpajakan lingkungan.5 Poin penting yang perlu
diperhatikan itu yaitu :
a. Dasar pengenaan pajak lingkungan harus
ditujukan kepada polutan atau perilaku polusi.
b. Ruang lingkup pajak lingkungan idealnya
harus seluas lingkup kerusakan lingkungan.
c. Tarif pajak harus sepadan dengan kerusakan
lingkungan.
d. Pajak harus dapat dipercaya dan tarifnya dapat
diprediksi sehingga memotivasi perbaikan
lingkungan.
e. Pendapatan dari pajak lingkungan dapat
membantu konsolidasi fiskal atau membantu
mengurangi pajak yang lainnya.Tujuan dari carbon tax yaitu untuk
memitigasi eksternalitas yang berhubungan
dengan emisi karbon. Tanpa carbon tax, individu
menghadapi distorsi harga dimana kegiatan yang
menghasilkan emisi karbon dihargai relatif terlalu
rendah sebab individu tidak mempertimbangkan
biaya emisi yang dirasakan oleh pihak lain.
Adanya pajak memaksa individu untuk
mempertimbangkan segala konsekuensi dari
tindakan mereka. Selain bertujuan menurunkan
emisi gas rumah kaca, carbon tax juga dapat
meningkatkan pendapatan dengan menyediakan
dana yang dapat digunakan untuk program
mitigasi emisi karbon ataupun membuat sinyal
pasar pada konsumen, bervariasi tergantung
tujuan dari kebijakan yang dipilih.
Pertimbangan desain kebijakan terkait
carbon tax menurut Sumner, et al. mencakup
penentuan: a. Dasar pajak dan sektor mana yang
harus dipajaki; b. Dimana harusnya penentuan
tarif pajak; c. Penggunaan pendapatan dari pajak;
d. Bagaimana menilai dampak pada konsumen;
dan e. Bagaimana memastikan pajak mencapai
tujuan pengurangan emisi.6
6 Jenny Sumner, Op.Cit., hlm. 3.
4.1.1. Dasar pajak
Carbon tax dapat dikenakan pada setiap titik
dalam rantai pasokan energi. Untuk menerapkan
carbon tax, pemerintah harus memutuskan bahan
bakar atau sumber daya mana untuk dikenai
pajak. Pemerintah juga harus memutuskan apakah
akan menempatkan pajak pada hulu atau hilir
sumber emisi.
Mengenakan pajak pada hulu sumber emisi
yang lebih sedikit subyek pajaknya dapat
memberikan metode pemungutan pajak yang
secara administratif efisien, sementara pengenaan
pajak pada hilir seperti konsumsi listrik dapat
memberikan sinyal lebih langsung kepada
konsumen tetapi dapat memungkinkan timbulnya
biaya administrasi yang lebih besar.
Atas hal ini di atas, lalu banyak
penelitian yang lebih menyarankan agar pajak
sebaiknya diterapkan pada pemasok hulu
batubara, fasilitas pengolahan gas alam, dan
kilang minyak sebagai lawan dari pengenaan pada
utilitas listrik ataupun industri energi intensif,
rumah tangga dan kendaraan. Berikut yaitu
ringkasan dasar pengenaan carbon tax di berbagai
negara terhadap sumber emisi.Melihat bahwa emisi bahan bakar fosil belum
mendominasi saat ini dan memungkinkan untuk
mengubah ekonomi negara kita yang rendah
karbon, maka dasar pengenaan carbon tax yang
ideal yaitu dikenakan pada pembakaran bahan
bakar fosil dan dikecualikan untuk LPG. LPG
dikecualikan dari pengenaan pajak agar selaras
dengan program pemerintah dalam mengkonversi
minyak tanah ke LPG. Selain itu juga untuk
menghindari adanya beban yang terlalu besar
pada rumah tangga sebab sebagian besar sumber
bahan bakar untuk memasak yaitu berasal dari
LPG. Terkait mekanisme, pengenaan carbon tax
akan dilakukan pada hulu untuk liquid fuels dan
pada titik poin emisi untuk pembangkit listrik dan
instalasi industri skala besar.
Dasar pengenaan di atas diperkuat dengan
kesimpulan dari OECD (2001) yang menyatakan
bahwa pengenaan pajak pada bahan bakar dapat memberikan keandalan dan sumber pendapatan
yang tinggi sebab permintaannya yang
cenderung inelastis dengan kata lain dapat
memberikan pendapatan yang signifikan,
menghemat energi dan mengurangi emisi
berbahaya serta jika dilaksanakan dengan tepat
dapat memberikan hasil yang progresif.
4.1.2. Tarif pajak
Secara teoritis, prinsip dalam menentukan
tarif pajak yang tepat yaitu setara antara biaya
social marginal damage dari penambahan satu ton
CO2 dengan social marginal benefit dari
pengurangan satu ton CO2. Teori ini juga
menyarankan bahwa tarif pajak harus turut naik
seiring dengan kenaikan tingkat pertumbuhan
kerusakan marginal dari emisi.
Dalam prakteknya, tarif carbon tax bervariasi
antar negara sesuai dengan fungsi dan tujuan
pengenaan pajak yang ingin dicapai. Tarif carbon
tax yang lebih tinggi dapat memberikan sinyal
yang lebih kuat untuk merubah perilaku
masyarakat, sedang tarif pajak yang rendah tidak
terlalu dapat merubah perilaku namun dapat
menyediakan dana untuk program mitigasi emisi
karbon.
The Interagency Panel on the Social Cost of
Carbon (2010) memperkirakan biaya sosial atas
karbon antara USD4.7 hingga USD65 per ton CO2
(2007 USD). Dengan menggunakan perhitungan
biaya sosial atas karbon ini untuk
menentukan tarif awal pajak, tarif pajak dapat
ditetapkan pada tingkat yang relatif rendah dan
menaikkannya seiring waktu untuk
meminimalkan gangguan ekonomi. Jika pajak
harus ditetapkan pada tingkat tarif tetap,
sebagaimana umumnya pajak yang berlaku luas,
tingkat pajak yang optimal akan berada pada
kondisi marginal benefit of abatement sama
dengan marginal cost of abatement.
Menghitung tarif carbon tax yang benar-benar
tepat merupakan hal yang sulit. Penetapan tarif
carbon tax yang lebih memungkinkan yaitu
penetapan tarif yang paling dekat dengan biaya
sosial yang telah ada. Alternatif lain yang dapat
digunakan dalam menentukan tarif carbon tax
yaitu dengan menentukan tarif pajak yang dapat
mencapai penurunan emisi sesuai dengan yang
ditargetkan (misalnya penurunan 26% pada
2020). Pendekatan ini memisahkan analisis
menjadi dua komponen: keputusan sosial secara
menyeluruh tentang seberapa level GRK di
atmosfer yang dapat ditoleransi dan analisis
teknis bagaimana cara terbaik mencapai tujuan
ini . saat analis mengambil pendekatan ini
dan menggunakan target yang sama, rentang tarif
pajak yang mereka hasilkan yaitu sama dengan
hasil penilaian yang tepat dari the social cost of
carbon.7
Penetapan tarif optimal carbon tax
menggunakan persamaan marginal benefit of
abatement sama dengan marginal cost of
abatement, 8 yaitu yang disarankan untuk
negara kita sebab lebih mencerminkan kondisi
harga atas karbon yang sesungguhnya dan lebih
dinamis dapat disesuaikan seiring waktu saat
harga atas karbon berubah.
Menggunakan persamaan ini harga
karbon yang tepat untuk mencapai penurunan
26% pada tahun 2020 yaitu sebesar Rp300.000
per ton CO2. Pemerintah melalui Menteri
Keuangan mengusulkan tarif awal carbon tax
sebesar Rp80.000 per ton CO2 dan dinaikkan
sebesar 5% per tahun hingga 2020 (Kementerian
Keuangan, 2009). Penurunan yang diperoleh dari
penetapan pajak sebesar Rp 80.000 yaitu 10%.
Usulan dari Pemerintah ini belum dapat
mencapai target penurunan 26 % sesuai yang
ditetapkan. Atas kondisi ini peneliti
mengusulkan penetapan tarif carbon tax yaitu
sebesar Rp 80.000 per ton CO2 dan akan dinaikkan
bertahap 5% hingga mencapai besaran Rp
300.000 per ton CO2 sesuai dengan harga yang
tepat atas marginal cost of abatement. Penetapan
tarif awal Rp 80.000 per ton CO2 relatif lebih
rendah dibandingkan besaran tarif yang
diterapkan di negara Finlandia, Swedia, Denmark
dan British Columbia, dan bahkan harga karbon
internasional.
Carbon tax memiliki potensi menaikkan
pendapatan Pemerintah tergantung harga karbon
yang ditetapkan. Pendapatan dari carbon tax
diarahkan dengan cara yang berbeda-beda.
Pendapatan pada prinsipnya: 1) diarahkan secara
khusus untuk program mitigasi emisi karbon, 2)
diarahkan kepada individu melalui langkahlangkah, seperti pengurangan pajak penghasilan,
atau 3) digunakan untuk melengkapi anggaran
pemerintah. Pemilihan distribusi pendapatan
dapat mempengaruhi dukungan keberlanjutan
pajak.Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
mengalokasikan pendapatan carbon tax ke dalam
program penurunan emisi yang telah mereka
tetapkan dan terapkan. Beberapa program carbon
tax mengembalikan pendapatan pajak pada
pengurangan pajak yang lain seperti pengurangan
pada pajak penghasilan. British Columbia dan
Swedia menggunakan metode ini. Pendekatan
Finlandia tidak melakukan earmark pendapatan
carbon tax, namun pajak dilengkapi dengan
pemotongan independen pada pajak penghasilan.
Mekanisme pendapatan netral didesain
untuk mengubah perilaku masyarakat sembari
mengurangi pajak yang lain. Teori dividen ganda
menyatakan bahwa kebijakan pendapatan netral
menghasilkan dua manfaat: sebuah harga
dibebankan pada barang-barang yang
membahayakan lingkungan dan penurunan pajak
penghasilan akan memacu kesempatan kerja baru.
Pendekatan pendapatan netral juga dapat
menurunkan dampak ekonomi secara
keseluruhan atas penerapan carbon tax.10
Penghematan biaya yang lebih besar juga
dapat terjadi saat pendapatan dari pajak
dikembalikan melalui pemotongan pada pajak lain
yang terdistorsi (seperti pajak penghasilan)
daripada saat mereka dikembalikan secara lump
sum ataupun digunakan pada belanja pemerintah
lainnya. Hasil ini telah dibuktikan oleh teori
ekonomi dan didukung oleh simulasi numerik.
Di sisi lain, beberapa carbon tax, seperti di
Swedia, digunakan khusus untuk meningkatkan
pendapatan bagi Pemerintah. Mengarahkan
pendapatan untuk anggaran Pemerintah lebih
mudah dikelola daripada ditujukan untuk
pendanaan program mitigasi emisi karbon.
Namun, kritikus menilai tujuan ini lebih
merupakan cara Pemerintah untuk meningkatkan
pendapatan bukan pada tujuan memberikan
manfaat kepada lingkungan. Jika Pemerintah
menaikkan tarif pajak murni untuk meningkatkan
pendapatan, pajak yang dihasilkan tidak akan
efisien secara ekonomi. Untuk pajak yang efisien,
tarif harus ditetapkan sama dengan kerusakan
marjinal yang disebabkan oleh emisi karbon.
negara kita dengan penetapan tarif carbon tax
sebesar Rp 80.000 dan kenaikan 5% per tahun
hingga Rp 300.000 pendapatan pada tahun
pertama diperkirakan akan terkumpul sebesar Rp
25 trilyun dan mencapai total pendapatan hingga
Rp 95 trilyun sebelum 2020. Pendistribusian
kembali pendapatan melalui penyesuaian pajak
pertambahan nilai (PPN) seperti yang dilakukan
Denmark tidak disarankan untuk negara kita
sebab dinilai kurang efisien. Penyesuaian pada
PPN hanya mengena pada beberapa pihak sebab
10 Menurut pendapat Repetto dalam Ibid.
preferensi atas barang yang dibeli masyarakat
yaitu bervariasi sehingga penyesuaian ini
kurang dapat menghasilkan pemerataan. Maka,
desain carbon tax yang paling baik yaitu dengan
memasukkan efek dari emisi dan melakukan
penyesuaian pada pajak penghasilan hingga
tingkat progresivitas sama atau hampir sama
dengan kondisi sebelum adanya penerapan
carbon tax.
Pada tingkat yang lebih luas, desain carbon
tax sebenarnya terpisah dengan masalah
bagaimana menggunakan uang ini . Namun
demikian, sebab pendapatan dan efek distributif
yaitu signifikan, maka hal lain yang perlu
menjadi perhatian yaitu bagaimana cara terbaik
untuk mendistribusikan pendapatan carbon tax.
Terdapat dua alternatif yang memungkinkan
untuk digunakan oleh negara kita . Alternatif
pertama yaitu pendapatan dari carbon tax akan
ditambahkan pada anggaran dan dapat digunakan
saat Pemerintah menilai sudah tepat untuk
melakukan distribusi. Lebih rinci, strategi yang
dapat digunakan yaitu pendapatan
didistribusikan untuk membantu proses reformasi
perpajakan lingkungan serta membantu
meringankan dampak regresif kenaikan harga
akibat carbon tax (jika terjadi) pada rumah
tangga berpendapatan rendah dan industri
berupa pengurangan pajak yang lain secara
proposional, agar tingkat progresivitas pajak yang
lain tetap terjaga.
Meskipun jika keseluruhan pajak yang lain
disesuaikan pada tingkat progresivitas, carbon tax
tetap akan memiliki dampak yang tidak
proporsional pada industri tertentu, dengan
industri batubara misalnya. Namun, sebab
kandungan karbon batubara sangat tinggi serta
jumlah emisi karbon yang dihasilkan sangat tinggi
pula maka batubara tidak dapat dikecualikan.
Alternatif kedua yaitu menggunakan
sebagian pendapatan untuk menciptakan
pergeseran ke arah ekonomi negara kita yang
rendah karbon. Hal ini dapat dilakukan dengan
salah satunya mengalokasikan pendapatan pada
penelitian dan pengembangan (research and
development) yang berhubungan dengan inovasi
energi dan pengurangan GRK. Selain itu,
dukungan terhadap investasi efisiensi energi
seperti investasi pada teknologi terbarukan,
investasi transportasi umum berbahan bakar
biofuel dan teknologi kendaraan listrik turut
diperlukan dalam rangka mendorong penurunan
konsumsi energi dan emisi karbon. Hal ini seiring
dengan hasil penelitian Hartono dan Resosudarmo
(2007), yang menyatakan bahwa dengan
negara kita melakukan efisiensi energi akan
memberikan dampak yang baik pada golongan rumah tangga. 11 Efisiensi energi akan
meningkatkan pendapatan terutama pendapatan
golongan rendah.
Singkat kata, dari keseluruhan alternatif
yang memungkinkan, pendapatan dari carbon tax
negara kita seharusnya pendapatan netral dan
distribusi netral. Pendapatan dapat digunakan
untuk menyediakan bantuan dalam transisi
reformasi perpajakan lingkungan, mengurangi
dampak distorsi ataupun pengembangan
penelitian inovasi energi serta investasi efisiensi
energi untuk menggeser ekonomi negara kita ke
arah ekonomi yang rendah karbon.
saat merancang carbon tax, dampak pada
rumah tangga berpendapatan rendah juga harus
dipertimbangan. Kritik umum terhadap carbon tax
yaitu bahwa pajak ini tidak membebani
secara proporsional rumah tangga berpendapatan
rendah. Beberapa kebijakan, termasuk
pengurangan pajak penghasilan dan kredit kepada
rumah tangga berpendapatan rendah dapat
digunakan untuk mengurangi masalah ini. Sebagai
contoh, British Columbia menyediakan climate
action tax credit (pengurangan pajak sebesar 5%
pada dua tingkat pajak penghasilan pribadi
pertama), dan mengusulkan memberikan
Northern and Rural Homeowner Benefit hingga
Canadian Dollar (CAD) 200 terhadap rumah
tangga berpenghasilan rendah.
Carbon tax juga akan berdampak pada
perusahaan. Perusahaan mungkin akan lebih
memilih carbon tax dibandingkan kebijakan
mitigasi emisi karbon lainnya sebab carbon tax
memberikan besaran harga yang pasti sehingga
lebih relevan dan mudah untuk dimasukkan ke
dalam proyeksi beban usaha perusahaan
dibanding kebijakan cap-and-trade yang harganya
tidak pasti. Industri energi intensif ataupun
perusahaan dengan persaingan yang sangat
kompetitif terhadap perusahaan lain yang secara
peraturan tidak kena pajak banyak menaruh
kekhawatiran terhadap pengenaan carbon tax.
Untuk mengatasi kekhawatiran atas dampak dari
carbon tax pada perusahaan, beberapa peraturan
memungkinkan perusahaan tertentu untuk
mendapatkan pengurangan pada tarif pajaknya.
Swedia memberikan pengurangan tarif pajak
sebesar 0,8% terhadap perusahaan, sedang
Denmark memberikannya kepada industri yang
menandatangani perjanjian energy savings.
Denmark juga memberikan pengurangan besaran
tarif energy tax saat carbon tax diterapkan,
sehingga tarif pajak efektif pada dasarnya sama.
Untuk negara kita , berdasar penelitian
Yusuf (2008), pengenaan carbon tax tidak seperti
umumnya, dampak carbon tax akan progresif di
daerah pedesaan dan antara netral dan sedikit
progresif di daerah perkotaan.12 Namun, untuk
mengantisipasi kemungkinan timbulnya dampak
regresif, maka untuk negara kita terdapat beberapa
cara yang dapat digunakan untuk membantu
mengurangi dampak carbon tax pada rumah
tangga berpendapatan rendah tanpa menciptakan
kenaikan biaya ekonomi secara luas. Cara pertama
yaitu dengan memberikan keringanan pada
pajak yang lain yang dalam hal ini disarankan
pada pajak penghasilan. Pemerintah dapat
menaikkan ambang batas pengenaan Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga memberikan
jumlah penghasilan tidak kena pajak yang lebih
besar bagi subyek pajak sebagai kompensasi.
Dapat juga dengan pemberian dana tambahan
maupun pengurangan pajak terhadap industri
yang lebih efisien energi dalam melakukan
produksinya. negara kita dapat mencontoh
Denmark yang memberikan insentif terhadap
industri yang bersedia melakukan perjanjian
efisien energi untuk mendapatkan pengurangan
tarif pajak.
Cara lain yang dapat ditempuh yaitu
dengan memberikan potongan langsung secara
lump sum dengan atau tanpa syarat terhadap
penurunan emisi sesuai yang diperjanjikan
kepada rumah tangga berpendapatan rendah,
warga lanjut usia dan pengangguran. Hal yang
sama juga dapat diterapkan pada industri dengan
mengkompensasi usaha-usaha yang mengalami
kerugian akibat timbulnya carbon tax, baik
melalui kompensasi langsung ataupun dengan
insentif efisiensi energi. Insentif dapat digunakan
sebagai alat pendorong transisi pada industri yang
memiliki ketergantungan pada bahan bakar
fosilnya tinggi. Pemerintah dapat memberikan
insentif dari hasil penyisihan dana, kepada
industri yang melakukan klaim atas
keberhasilannya dalam menciptakan efisiensi,
sehingga biaya yang dibebankan ke konsumen
berkurang.
Yang perlu diperhatikan, jika Pemerintah
memilih kebijakan distribusi pendapatan secara
lump sum selain terkait biaya yang lebih besar dan tetap hadirnya distorsi pajak, pemerintah juga
harus mempertimbangkan secara matang sisi
psikologi perilaku dan sisi yang lain.
Dimungkinkan bahwa distribusi secara lump sum
kurang dapat mempengaruhi preferensi
masyarakat terhadap kebijakan rendah emisi dan
memungkinkan pencapaian tujuan tidak optimal
sebagaimana yang diharapkan.
Salah satu argumen utama penolakan carbon
tax dan lebih memilih kebijakan lain seperti capand-trade yaitu bahwa pajak tidak selalu
menjamin pengurangan emisi seperti yang
ditargetkan. Atas argumen ini , pendekatan
lain yang mungkin dan belum dipraktekkan untuk
mengatasi hal ini dapat berupa kebijakan
pajak yang mengakomodasi kenaikan tarif pajak
(secara otomatis) sedemikian rupa saat target
penurunan emisi karbon tidak tercapai, walaupun
kemungkinan tantangan politik atas mekanisme
pajak yang ini akan lebih besar.
Pada kenyataannya, banyak pajak yang
disusun dengan desain yang lebih memungkinkan
untuk dapat diterima secara politik. Kebijakan
pendapatan netral dan adanya pengembalian
kepada rumah tangga berpendapatan rendah
dapat digunakan untuk membuat kebijakan
terlihat lebih menarik secara politik. Beberapa
negara telah menaikkan tarif pajak carbon tax dari
waktu ke waktu, tetapi belum ada yang
menerapkan kebijakan untuk menaikkan tarif
pajak secara otomatis jika target pengurangan
emisi tidak terpenuhi.
Dalam menciptakan kepastian penurunan
emisi, negara kita belum memungkinkan untuk
membuat model carbon tax dengan kenaikan tarif
otomatis saat harga atas karbon meningkat.
Konstitusi di negara kita belum dapat
mengakomodir hal ini . Kementerian
Keuangan selaku pihak yang mengelola carbon
tax, dalam hal melakukan perubahan tarif perlu
mendapatkan ijin terlebih dari lembaga legislatif
dan memakan waktu yang tidak singkat. Selain itu,
melihat bahwa carbon tax masih merupakan hal
yang baru dan perlu penyesuaian, opsi menaikkan
tarif secara otomatis dapat dikesampingkan
terlebih dahulu. Perubahan perilaku dan adaptasi
merupakan hal yang lebih prioritas.
Desain carbon tax yang memungkinkan
yaitu perubahan tarif secara berkala dan tarif
diindeks sesuai dengan inflasi. negara kita dapat
mengacu pada negara Swedia dan Denmark yang
telah mengindeks tarif pajak sesuai dengan inflasi
agar lebih mencerminkan harga atas karbon yang
aktual. Perubahan tarif berkala dinilai tetap
senada dengan pendapat Metcalf dan Wesibach
(2009) yang menyatakan bahwa perubahan tarif
dalam jangka waktu pendek tidak banyak
memberikan manfaat. 13 Pemerintah dapat
meninjau tarif carbon tax per lima atau sepuluh
tahun sekali melalui konsultan ahli. Pemilihan
waktu lima tahun sekali dianggap paling baik
sebab tidak terlalu lama tapi cukup untuk dapat
memotret perubahan harga karbon. Penetapan
tarif dilakukan oleh konsultan ahli sebab dinilai
lebih bebas dari tekanan politik, serta memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang lebih luas
untuk mengolah berbagai informasi kompleks.
Menurut Stiglitz (2000), pajak dan subsidi/
insentif yaitu beberapa solusi sektor publik
dalam mengatasi ekternalitas termasuk di
dalamnya permasalahan emisi karbon.
Dibandingkan dua solusi ini, pajak pengkoreksi
yang sering disebut pajak pigouvian dinilai lebih
baik dalam mengurangi inefisiensi.14
Senada dengan hal ini , Fischhoff,
Profesor Ilmu Sosial dan Keputusan Howard Heinz
University dan Profesor Kebijakan Publik di
Carnegie Mellon University juga mendukung
pendekatan carbon tax. Fischhoff menilai bahwa
pajak lebih sederhana, lebih transparan, dan lebih
dapat dipercaya, dan memiliki kemampuan untuk
menghasilkan respon langsung dari tujuan yang
ditetapkan,
Penelitian Yusuf dan Ramayandi terkait
pemilihan logis instrumen kebijakan publik pajak
karbon dan mengurangi subsidi pada bahan bakar
yang menimbulkan emisi karbon menunjukkan
bahwa dengan jumlah anggaran yang sama,
pemajakan karbon menghasilkan nilai yang lebih
baik dibandingkan dengan pengurangan subsidi
bahan bakar di dalam ukuran biaya dan
memberikan dampak yang lebih baik terhadap
ketidakseimbangan penghasilan dan kemiskinan,
dan lebih cepat dalam mengurangi emisi CO2.
berdasar penelitian ini maka dapat
diperoleh satu kesimpulan bahwa dibandingkan
subsidi dan insentif, maka pajak merupakan solusi
terbaik dalam mengurangi emisi karbon. Pemerintah melihat kebijakan carbon tax
merupakan instrumen yang memungkinan untuk
diterapkan. Tidak hanya negara kita , negara-negara
di dunia kini telah menyadari permasalahan emisi
karbon merupakan permasalahan yang tidak
dapat dipandang sebelah mata. Dengan
meletakkan kebijakan yang dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan upaya
penurunan emisi, negara kita akan mendapatkan
dua keuntungan sekaligus dimana menempatkan
negara kita sebagai bagian penting dari negara
penggerak ramah lingkungan juga sekaligus
bergerak lebih cepat merestukturisasi
ekonominya menjadi rendah emisi. Hal ini akan
memberikan manfaat kompetitif dibandingkan
negara yang lain, baik secara ekonomi maupun
secara keuangan.
Sesuai dengan OECD (2001) tantangan agar
carbon tax dapat diterapkan sesuai dengan tujuan
yaitu perlunya memperhatikan daya saing, biaya
administratif dan kepatuhan, serta acceptance
building/ membangun penerimaan.16 Secara rinci
poin-poin ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
Tantangan utama yang sering muncul dari
pengenalan pajak baru yaitu hadirnya ancaman
penurunan daya saing internasional di beberapa
sektor. Pengenalan pajak lingkungan memaksa
kenaikan harga lebih tinggi pada barang yang
diperdagangkan secara internasional, membuat
cost of production atas barang ekspor lebih mahal,
produksi dalam negeri secara umum diperkirakan
akan menurun, dan adanya guncangan ekonomi.
Carbon tax yang ditujukan untuk mendorong
konservasi energi melalui pengurangan
permintaan barang dan jasa tinggi emisi, dan
pengarahan ke proses dan teknologi ramah
lingkungan bagaimanapun juga menimbulkan
biaya bisnis tambahan yang signifikan yang tidak
dapat diatasi dengan cara menaikkan harga
output yang lebih tinggi maupun menurunkan
imbalan pada tenaga kerja atau modal.
Secara luas, efek pengenalan carbon tax
akan bervariasi tergantung pada situasi pasar.
Oleh sebab itu, diperlukan analisis lebih
mendalam terkait daya saing dan dampak yang
ditimbulkan dari pengenaan carbon tax pada
suatu negara. Menggunakan Inter-Regional System
of Analysis for ASEAN (IRSA-ASEAN) untuk
melihat dampak ekonomi secara luas atas
pengenaan carbon tax di negara-negara ASEAN,
penelitian Nurdianto dan Resosudarmo (2014)
menunjukkan bahwa untuk negara kita pengenaan
carbon tax akan memiliki posisi yang
menguntungkan di antara negara ASEAN yang
16 OECD, Loc.Cit., hlm. 10.
lain.17 Pengenaan carbon tax tidak hanya akan
memberikan pertumbuhan ekonomi yang baik
tetapi juga akan memberikan dampak perbaikan
lingkungan. Meskipun, dampak merugikan pada
beberapa sektor dan segmen masyarakat tetap
harus menjadi perhatian.
Melihat negara-negara yang telah berhasil
menerapkan carbon tax, langkah-langkah yang
dapat dilakukan untuk menjawab tantangan daya
saing yaitu sebagai berikut:
a. Mengurangi tarif pajak, pengecualian pajak,
dan plafon pajak.
Banyak negara mengaplikasikan
pemotongan tarif pajak untuk industri tertentu.
Sebagai contoh, Swedia awalnya memberikan
potongan 75% carbon tax untuk industri, namun
terdapat pengecualian untuk energy tax, yang
berarti bahwa hanya 25% dari basis carbon tax
saja yang diaplikasikan. Potongan tarif pajak
ini lalu dikurangi menjadi 50% pada
Juli 1997. Di Denmark, potongan pajak 50% atas
carbon tax diberikan untuk industri selama
periode 1993-1995. Sebagian besar negara acuan
telah memperkenalkan sistem perpajakan CO2
yang berbeda-beda yang membebankan tarif
terendah (atau tarif nol) pada industri yang paling
energi intensif, namun dengan insentif untuk
mengganti campuran bahan bakarnya dengan
bahan bakar yang rendah karbon secara berkala.
Pada kebanyakan kasus lainnya,
pengecualian pajak penuh diberikan untuk
kegiatan, sektor, atau produk tertentu yang terkait
dengan pajak lingkungan. Satu pendekatan dalam
memberikan pengecualian yaitu dengan
mengeluarkan industri utama dari penerapan
pajak. Pendekatan lainnya yaitu dengan
mengecualikan produk energi yang utamanya
digunakan oleh industri berat.
Dengan demikian, pengecualian pajak dapat
bersyarat, yang dikenal dengan terminologi tax
conditionality. Pada kasus ini , pajak
lingkungan diberlakukan hanya jika industri tidak
mencapai tujuan atau komitmen yang telah
dicanangkan. Sebagai contoh, di Denmark konsesi
pada CO2 tax diberikan untuk industri yang telah
memasuki perjanjian dengan Pemerintah untuk
menurunkan emisi.
Tarif pajak efektif juga dapat dijaga dengan
memperkenalkan plafon pajak atau batasan dari
jumlah pajak yang dibayarkan. Plafon pajak digunakan di Swedia untuk melindungi sektor
tertentu dari pajak yang tinggi.
b. Pengembalian pajak
Denmark struktur carbon tax-nya
memberikan serangkaian pengembalian pada
industri. Sulit untuk memastikan apakah
pengembalian didesain secara khusus untuk
mengurangi dampak daya saing yang mungkin
terjadi. Beberapa pengembalian ini
dimaksudkan untuk memberikan reward atas
praktek atau proses yang ramah lingkungan,
sebagian besar didesain untuk meringankan
beban pajak industri, dibawah persyaratan
tertentu.
c. Daur ulang
Mendaur ulang pendapatan pajak
merupakan jalan lain untuk merujuk tantangan
terkait daya saing. Di Denmark, CO2 dan SO2 tax
didistribusikan ulang sepenuhnya pada industri
dalam bentuk kontribusi keamanan sosial
pemberi kerja dan subsidi untuk investasi hemat
energi.
d. Implementasi berkala (phase-in)
Implementasi berkala dari pajak dapat
mengurangi dampak biaya segera, dan juga
memberikan waktu untuk perusahaan dalam
merencanakan penyesuaian produksi.
e. Penyesuaian boarder tax
Penyesuaian boarder tax dapat diaplikasikan
untuk merujuk permasalahan daya saing di pasar
tertentu. Membebankan pajak atas impor barang
yang ditargetkan dapat membantu melindungi
produsen dalam negeri dari persaingan luar
negeri. Bagaimanapun, membebankan pajak atas
produk dalam negeri atau yang diimpor
memunculkan permasalahan daya saing jika
produk ini digunakan dalam rantai
produksi.
Sebuah contoh dari praktek penyesuaian
boarder tax yaitu pajak yang diberlakukan oleh
Amerika pada produk impor yang mengandung
senyawa perusak ozon, namun pada produk
ini mengandung senyawa yang digunakan
dalam proses produksinya meskipun senyawa
ini tidak lagi terkandung dalam produk
ini . Untuk menghitung pajaknya, bobot
senyawa ini dari barang impor diestimasi
menggunakan data produksi standar.
Importir yang dapat membuktikan bahwa
bobot senyawa perusak ozon dari produk mereka
dibawah benchmark, dikenakan tarif pajak yang
lebih rendah. Apabila sulit untuk mengkalkulasi
bobot senyawanya, metode nilai digunakan,
dimana pajaknya setara dengan 1% dari nilai
produk.
Biaya administratif penerapan carbon tax
bervariasi tergantung pada desain pajak. Pajak
dengan ketentuan dan potongan yang berbedabeda lebih memakan biaya untuk dilaksanakan.
Beberapa pajak lalu menjadi kurang efektif
saat biaya administratif yang ditimbulkan besar.
Denmark merupakan salah satu negara yang
memiliki biaya administratif yang efektif dengan
biaya administratif tambahan diperkirakan hanya
sebesar 1-2% dari total pendapatan atas CO2 tax
yang dikenakan pada sektor bisnis.
Beberapa faktor yang mungkin
mempengaruhi biaya administratif diantaranya:
a. Jumlah dan kerumitan dasar pajak;
b. Jumlah, kerumitan dan ketentuan pajak
spesifik, seperti: pengecualian, pengembalian,
plafon pajak, dll;
c. Jumlah pajak yang berbeda;
d. Jumlah wajib pajak;
e. Kemungkinan dan kesulitan untuk mengukur
atau mengestimasi emisi.
Hingga kini belum ada kesimpulan umum
dan pasti yang dapat ditarik dari biaya
pemberlakuan carbon tax, isu ini harus dinilai
dengan hati-hati pada tahapan desain. Untuk
mengurangi biaya administratif dan kepatuhan,
bila memungkinkan pajak lingkungan harus
mendukung struktur pajak dan catatan
administratif yang sudah ada. Pajak yang rumit
strukturnya, dengan tarif berbeda-beda dan
adanya ketentuan khusus untuk pihak dan kondisi
tertentu, biasanya lebih mahal untuk
diimplementasikan. Pajak yang berdasar pada
emisi yang mudah diukur, atau yang menargetkan
sejumlah kecil wajib pajak, biasanya lebih murah
untuk diberlakukan.
Swedia dan Denmark dalam
memperkenalkan perpajakan lingkungannya
mendirikan sebuah komisi yang dinamakan Green
Tax Commission. Green Tax Commission ini
mempunyai tugas untuk memfasilitasi dan
menciptakan penerimaan publik atas pengenalan
pajak baru. Komisi ini pada umumnya berisi
perwakilan dari pihak-pihak yang terkena
dampak (misalnya dari industri dan publik),
akademisi, serta para ahli di bidang perpajakan
dan lingkungan.
Green Tax Commission menyediakan forum
diskusi dari segala aspek pajak lingkungan,
termasuk bermacam tindakan mitigasi dan
kompensasi untuk industri dan rumah tangga, dan
dapat membantu mempercepat pengenalan serta
menciptakan komitmen politik pada pajak
lingkungan dengan melibatkan seluruh stakeholder utama dalam proses formulasi
kebijakan.
Salah satu bentuk keberhasilan Green Tax
Commission dalam mempercepat implementasi
perpajakan lingkungan dapat dilihat di Denmark
dimana proposal reformasi perpajakan hijau
setelah diajukan dapat dengan mudah segera
diberlakukan. Hal ini tidak lepas dari serangkaian
upaya yang telah dilakukan komite dengan
membuat analisis berbagai kemungkinan untuk
memperkenalkan pajak hijau, mengembangkan
model phase-in tax dan redistibusi pendapatan.
Green Tax Commission juga mengadakan
pertemuan dengan organisasi industri,
lingkungan, dan konsumen. Pemangku
kepentingan ini memberikan kontribusi
terhadap proses reformasi dan amandemen
proposal.
Selain pendekatan dengan mendirikan Green
Tax Commission, alternatif lain yang dapat
ditawarkan untuk menciptakan penerimaan
publik yaitu dengan merencanakan pajak
lingkungan baru secara hati-hati, termasuk tujuan
yang sederhana dan jelas, pembauran informasi,
dan pemberian waktu konsultasi, termasuk public
hearing. Periode konsultasi membuat berbagai
stakeholder mampu mempengaruhi desain
kebijakan dan membuat Pemerintah mampu
menjabarkan tujuan kebijakan yang lebih luas.
Pengumuman detail pajak yang dini, termasuk
tarif pajak, dan implementasi berkala pajak baru,
memberikan wajib pajak waktu untuk
mengadaptasi produksi, konsumsi, dan strategi
investasinya pada instrumen baru.
Menganalisis langkah menciptakan
penerimaan carbon tax di negara kita , hal yang
dapat diambil dari uraian di atas yaitu bahwa
langkah pertama yang dapat dilakukan yaitu
dengan cara menciptakan atau menunjuk suatu
komite atau instansi yang diserahi tanggung
jawab untuk menggiring keberhasilan penerapan
carbon tax. Langkah kedua dilakukan dengan
perencanaan carbon tax secara hati-hati, termasuk
tujuan yang sederhana dan jelas, pembauran
informasi, dan pemberian waktu konsultasi,
termasuk public hearing.
Kedua langkah di atas dapat dilakukan di
negara kita . Namun, terdapat sedikit modifikasi
dimana untuk Pemerintah negara kita melihat
kondisi pemerintahan yang ada sekarang, lebih
baik dilakukan dengan menunjuk instansi untuk
diserahi tanggung jawab, dibandingkan dengan
mendirikan lagi sebuah komite yang khusus untuk
menggiring proses penerapan kebijakan carbon
tax. Langkah ini dinilai lebih efisien dan
lebih mudah dilakukan sebab di Kementerian
Keuangan telah berdiri Badan Kebijakan Fiskal
yang khusus menangani kebijakan-kebijakan
terkait perpajakan.
Timing yang tidak tepat akan beresiko
menimbulkan kegagalan penerapan seperti yang
terjadi di Australia. Belajar dari keempat negara
acuan yang telah berhasil menerapkan carbon tax,
adanya political will yang kuat serta kesadaran
masyarakat yang tinggi akan lingkungan
merupakan faktor kunci keberhasilan penerapan
carbon tax.
untuk negara kita yaitu sebagai berikut:
a. Dasar pajak dikenakan pada pembakaran
bahan bakar fosil dan dikecualikan untuk
LPG (Liquid Petroleum Gas).
b. Tarif carbon tax pada penetapan awal
dikenakan sebesar Rp 80.000 per ton CO2
dan naik 5% per tahun hingga mencapai
besaran Rp 300.000 per ton CO2 sesuai
dengan nilai marginal cost of abatement
dan memberikan penurunan emisi 26% di
bawah BAU pada tahun 2020.
c. Distribusi pendapatan carbon tax
digunakan untuk program mitigasi karbon
dalam rangka menciptakan pergeseran ke
arah ekonomi negara kita yang rendah
karbon, membantu proses reformasi
perpajakan lingkungan dan mengurangi
dampak yang tidak proposional pada
rumah tangga dan industri tertentu.
d. Untuk menjamin pelaksanaan carbon tax di
negara kita tidak berdampak regresif maka
dapat dilakukan langkah mitigasi berupa
pengurangan tarif ataupun kenaikan
ambang batas PTKP pada pajak lainnya,
pemberian potongan secara langsung
dengan atau tanpa perjanjian tertentu,
serta penyisihan dana pada akun
Pemerintah untuk industri dan industri
dapat mengklaimnya saat berhasil
menciptakan efisiensi.
e. Cara untuk memastikan reduksi emisi yang
dapat dilakukan negara kita yaitu dengan
mengindeks tarif carbon tax sesuai dengan
inflasi dan per lima atau sepuluh tahun
sekali dilakukan penilaian ulang. Penilaian
ulang dilakukan oleh konsultan ahli
sehingga lebih bebas dari tekanan politik
dan memadai sesuai dengan kompetensi.
tax untuk mengatasi eksternalitas negatif
emisi karbon di negara kita yaitu dengan mempertimbangkan daya saing, penciptaan
penerimaan publik, dan biaya administratif
dan kepatuhan. Eksternalitas negatif emisi
karbon yaitu masalah bersama baik di
negara kita maupun di dunia global dan
negara kita harus turut serta berupaya
mengatasi permasalahan ini. Atas
permasalahan ini , maka menerapkan
carbon tax yaitu hal yang penting. Carbon
tax tepat digunakan untuk mengubah
perilaku masyarakat dari yang tinggi emisi
menjadi masyarakat yang rendah emisi.
Carbon tax memungkinkan untuk
diterapkan di negara kita namun hingga kini
kendala pemberlakuan penerapan carbon
tax yaitu belum adanya peraturan yang
melandasi kebijakan ini .
sebagai kebijakan untuk mengatasi
eksternalitas negatif emisi karbon dengan
distribusi pendapatan netral. Distribusi
pendapatan netral dapat menghasilkan dua
manfaat yaitu sebuah harga dibebankan
pada barang yang menghasilkan
eksternalitas negatif dan pengurangan pada
pajak yang lain akan memacu kesempatan
kerja baru.
yaitu distribusi pendapatan netral.
Distribusi pendapatan netral dapat
menghasilkan dua manfaat yaitu sebuah
harga dibebankan pada barang yang
menghasilkan eksternalitas negatif dan
pengurangan pada pajak yang lain akan
memacu kesempatan kerja baru.
penghasilan untuk menghindari dampak
regresif carbon tax. Pengurangan pada
pajak komoditi (PPN) tidak disarankan
sebab dinilai kurang efisien.
Pendapatan dari carbon tax harus
digunakan untuk kepentingan lingkungan.
Jika memungkinkan harus dibuat akun
tersendiri (trust fund) untuk menampung
pendapatan ini .
Pemerintah harus memperhatikan waktu
yang tepat untuk menerapkan carbon tax.
Pengenalan carbon tax disarankan bertahap
agar lebih mudah mendapatkan dukungan
dari seluruh pihak dan memungkinkan
untuk mendapatkan pendanaan yang terusmenerus.
Pemerintah perlu terlebih dahulu
menetapkan harga atas karbon, peraturan
yang melandasi, serta institusi yang
melaksanakan carbon tax. Ketiga faktor
ini merupakan faktor kunci
keberhasilan implementasi carbon tax yang
saling berkaitan.
Pemerintah perlu memulai untuk
melakukan gerakan sosialisasi dan
kesadaran peduli lingkungan sembari
mengenalkan harga atas karbon serta
disarankan pula untuk melakukan
pengurangan dan pencabutan subsidi BBM
agar nilai kerusakan dari pembakaran
bahan bakar fosil dapat tercermin tanpa
distorsi dalam harga pasar.
Diperlukan suatu penelitian lebih lanjut
mengingat bahwa penelitian ini terbatas pada
studi terhadap rumusan kebijakan serta
mekanisme penerapan carbon tax, sekaligus
menjadi keterbatasan penelitian ini. Beberapa
area yang perlu diteliti lebih mendalam yaitu
mengenai behavioral effect kesiapan masyarakat
negara kita atas penerapan carbon tax,
pengembangan penelitian inovasi energi dan
efisiensi yang mampu menggeser ekonomi
negara kita ke arah ekonomi yang rendah karbon
serta perhitungan yang komprehensif atas usulan
tarif pajak.