Jumat, 29 Desember 2023
Published Desember 29, 2023 by sakit
Dalam pengaturan nasional, regional dan dunia hubungan-
hubungan ekonomi transnasional acapkali dibedakan antara 5
kategori utama transaksi-transaksi internasional:
a. pergerakan barang-barang secara lintas batas negara
(international movement of goods) atau biasa disebut dengan
perdagangan internasional dibidang barang;
b. pergerakan jasa-jasa secara lintas batas negara atau biasa
disebut sebagai perdagangan jasa (invisible trade) melalui
transaksi yang melintasi batas-batas negara;
c. pergerakan orang-orang yang melintasi batas-batas negara
(international movement of persons), misalnya kebebasan
bekerja bagi orang atau badan hukum di negara lain;
d. pergerakan internasional modal yang mensyaratkan
investor-investor asing untuk dapat mengawasi secara
langsung modalnya; dan
e. pembayaran internasional dalam transaksi-transaksi
ekonomi ini diatas yang biasanya menyangkut tukar
menukar mata uang asing(foreign exchange transactions).
Ada dua pendekatan yang memungkinkan untuk
merumuskan defenisi hukum ekonomi internasional.
Pertama, pendekatan yang didasarkan pada asal hukum
(norma) yang mengaturnya; dan kedua, mendasarkan
kepada objek dari hukum internasional.
Menurut sarjana Jerman, Elder, pendekatan yang tepat
yaitu yang kedua. Berarti bahwa hukum nasioanal, hukum
perdata dan hukum publik mengenai hubungan-hubungan
ekonomi internasional publik yaitu hukum ekonomi
internasional.
Kemudian pendekatan yang dikemukan oleh John H.
Jackson, beliau beranggapan bahwa: “international economic
Law could be defined as inculding all legal subjects which have
both an international and an economic component.”
Pengertiannya yaitu bahwa hukum ekonomi internasional
yaitu semua subjek hukum yang memiliki unsur
internasional dan unsur ekonomi.
Selain hukum ekonomi internasional, ada pula cabang-
cabang baru hukum ekonomi internasioanl lainnya. Cabang-
cabang ini timbul sebagai konsekuensi dari perkembangan
transaksi-transaksi ekonomi internasional dewasa ini,
seperti:
1. Hukum Komersial Internasional
Bidang hukum ini mengatur transaksi-transaksi oleh
para pihak swasta. Yaitu, aturan-aturan hukum berupa
prinsip-prinsip hukum perdata dan aspek-aspek
perdata. namun transaksi ini sudah mengalami
perkembangan yaitu bahwa dewasa ini transaksi-
transaksi komersial internasioanal demikian menjadi
bahan kajian hukum internasional publik. Hal ini
timbul sebab sedikitnya tiga perkembagan berikut:
pertama, akibat adanya peralihan urusan-urusan bisnis
atau perdata yang diatur oleh adanya pertimbangan-
pertimbangan komersial perdata kepada keikutsertaan
negara dalam hubungan-hubungan demikian. Kedua,
meningkatnya pengaturan-pengaturan internasioanal
mengenai eksploitasi kekayaan alam seperti minyak-
minyak dan pembangunan-pembangunan sarana
umum. Ketiga, peranan perusahaan-perusahaan
multinasional yang berfungsi sebagai quasi diplomatic
dalam transaksi-transaksi internasioanal.
2. Hukum Pembangunan Ekonomi Internasioanal
Pendekatan terhadap bidang ini lebih menekankan
kepada pendekatan politis dan sosiologis. Lord McNair
mengemukakan sifat-sifat khusus dari perjanjian-
perjanjian pinjaman internasional dari organisasi-
organisasi internasioanal publik dan organisasi-
organisasi keuangan nasioanal;
a. perjanjian-perjanjian ini diadakan antara
suatu pemerintah dan sebuah perusahaan asing;
b. perjanjian-perjanjian ini biasanya mengatur
eksploitasi kekayaan alam untuk jangka waktu
lama;
c. kerapkali pula perjanjian-perjanjian ini
memberi hak-hak yang tidak semata-mata
kontraktual tetapi juga hak-hak kekayaan;
d. biasanya perjanjian-perjanjian ini
memberi perlakuan-perlakuan khusus kepada
pihak swasta;
e. perjanjian-perjanjian seperti ini diatur sebagian
oleh hukum perdata dan sebagian oleh hukum
publik;
f. acapkali diatur pula mengenai perlindungan dari
negara dimana perusahaan induk berada;
g. biasanya tidak banyak persamaan antara sistem
hukum negara penerimaan dengan sistem hukum
dari negara dimana perusahaan ini berada;
h. seringkali sengketa-sengketa yang timbul dari
perjanjian-perjanjian ini diselesaikan oleh
badan arbitrase.
3. Hukum Pembangunan Internasional (International
Development Law)
Lahirnya bidang baru ini sejalan dengan
berkembangnya hubungan-hubungan ekonomi
internasional dalam bentuk pengaturan-pengaturan
yang semakin kompleks. Pengaturan-pengaturan
demikian biasanya dibuat guna kepentingan-
kepentingan ekonomi negara-negara yang kurang maju.
Pengaturan-pengaturan itu dituangkan kedalam
berbagai bentuk perjanjian: deklarasi, Final Acts,
resolusi atau rekomendasi-rekomendasi.
B. KAIDAH-KAIDAH DASAR (FUNDAMENTAL) HUKUM
EKONOMI INTERNASIONAL
1. Kaidah-kaidah dasar ini pada pokoknya mengacu
kepada 2 prinsip kebebasan. yakni kebebasan
komunikasi dan kebebasan berdagang. Prinsip
kebebasan yang sudah berkembang lama ini disebut juga
sebagai prinsip klasik hukum ekonomi internasional.
a. Kebebasan Berkomunikasi
Prinsip yang menyatakan bahwa setiap negara
memiliki kebebasan untuk berhubungan dengan
siapa pun juga. Termasuk kebebasan untuk
memasuki wilayah suatu negara guna melakukan
transaksi-transaksi ekonomi internasional. Seperti
navigasi, kebebasan transit, kebebasan melakukan
perjalanan melalui darat, kereta api, atau
pengangkutan udara.
Implementasi kebebasan berlayar, dalam pasal-
pasal Konvensi Hukum Laut 1982 (the United
Nation Convention on the Law of the sea). Pasal 87
Konvensi mengenai kebebasan dilaut lepas antara
lain menegaskan bahwa semua negara memiliki
hak untuk berlayar.
Kebebasan di ruang udara ini tampak nyata dalam
“five freedoms of the air” yang termuat dalam the
Chicago International Air Transport Agreement
(1944). Kebebasan ini yaitu:
a. Terbang melintasi wilayah negara asing tanpa
mendarat;
b. Mendarat untuk tujuan-tujuan komersial;
c. Menurunkan penumpang pada lalu-lintas
negara asing yang berasal dari negara asal
pesawat udara;
d. Mengangkut penumpang pada lalu-lintas
negara asing yang bertujuan ke negara asal
pesawt udara; dan
e. Mengangkut angkutan antara dua negara
asing.
b. Kebebasan Berdagang
Setiapa negara memiliki kebebasan untuk
berdagang dengan setiap orang atau setiap negara
dimanapun di dunia ini. Kebebasan ini tidak boleh
terhalang oleh sebab negara memilki sistem
ekonomi, ideologi atau politik yang berbeda
dengan negara lainnya.
c. Arti dan Penafsiran Kebebasan Berdagang
Perkembangan cukup penting sehubungan dengan
penafsiran mengenai arti prinsip kebebasan
berdagang (freedom of commerce) dalam hukum
penyelesaian sengketa melalui Mahkamah
Internasional (International Ocurt of Justice).
Putusan mahkamah mengenai keberatan Amerika
Serikat terhadap jurisdiksi Mahkamah dalam
sengketa the Oil Platforms Case (1996) antara Iran
melawan Amerika Serikat.
Hal penting dari sengketa ini yaitu adanya silang
pendapat antara para pihak (Iran dan Amerika
Serikat) mengenai penafsiran kata “freedom of
commerce” yang termuat dalam suatu perjanjian
yang mereka buat.
Dalam sengketa ini Iran berpendapat bahwa:
1. amerika Serikat sudah melanggar pasal I dan
pasal X ayat 1 Perjanjian Persahabatan,
Hubunagan Eonomi dan Hak-Hak Konsuler
(the Treaty of Ainity, Economic Relation and
Consular Rigts) yang ditandatangani oleh kedua
negara pada tanggal 15 Agustus 1955 di Teheran
(berlaku efektif tanggal 16 Juni 1957)
(selanjutnya disebut Perjanjian 1955).
2. Tindakan Amerika Serikat sudah melanggar
tujuan dan maksud dari Perjanjian 1955 dan
hukum Internasional.
Permasalahan hukum utama dalam sengketa
mengenai freedom of commerce yaitu pandangan
atau penafsiran yang cukup tajam antara Iran dan
Amerika Serikat. Pasal X ayat 1 Perjanjian 1955
menegaskan :”Between the territories of the two
High Contracting parties there shall be freedom of
commerce and navigation.”
Masalah penafsiran yang terangkat dalam sengketa
ini yaitu apakah tindakan peledakan kilang
minyak oleh Amerika Serikat mempengaruhi atau
mempunyai akibat terhadap freedom of commerce
sebagaimana dijamin dalam pasal X ayat 12
Perjanjian 1955.
Mahkamah berpendapat bahwa penghancuran
kilang minyak dapat berdampak terhadap ekspor
perdagangan Iran dan sebab itu peledakan
ini dapat pula memiliki pengaruh terhadap
prinsip kebebasan berdagang sebagaimana dijamin
oleh pasal X ayart 1 Perjanjian 1955. berdasar
pertimbangan ini, Mahkamah menolak argumen
Amerika Serikat yang menyatakan bahwa
peledakan kilang minyak Iran tidak ada kaitannya
atau pengaruh terhadap kebebasan dagang.
2. Kaidah-kaidah atau Aturan-aturan Dasar
(“fundamental” atau “sentral”) Hukum Ekonomi
Internasional
a. Kaidah Dasar Minimum (minimum standards)
Kaidah utama dalam hukum ekonomi
internasional. kaidah yang sudah berkembang
menjadi suatu aturan hukum kebiasaan
internasional umum (general international
customary law). Kaidah ini menyatakan, kewajiban
negara untuk sedikitnya memberi jaminan
perlindungan kepada pedagang atau pengusaha
asing dan harta miliknya.
b. Kaidah Dasar mengenai Perlakuan Sama (Identical
Treatment) berdasar prinsip ini, dua raja
bersepakat untuk secara timbal balik memberi
para pedagang mereka perlakuan yang sama
(identik).
Menurut Schwarzenberger, hukum kekebalan
diplomatik yang juga menganut prinsip timbal-
balik. Kaidah dasar ini lebih terkenal dengan istilah
resiprositas (reciprocity). Oliver Long menganggap
resiprositas sebagai suatu prinsip fundamental
dalam perjanjian GATT.
c. Kaidah Dasar Mengenai Perlakuan Nasional
(National treatment)
yaitu salah satu pengejewantahan dari
prinsip non-diskriminasi. Klausul ini ditemukan
dalam berbagai perjanjian termasuk dalam GATT
dan perjanjian-perjanjian persahabatan,
perdagangan dan navigasi. Klausul ini
mensyaratkan suatu negara untuk memperlakukan
hukum yang sama.
kita hidup dalam dunia global. Dengan kata lain, kehidupan
yang kita alami sekarang ini berhubungan dan berkaitan
secara ekonomi, politik, budaya oleh apa yang disebut
sebagai kemajuan teknologi. Sehingga seakan-akan pada saat
sekarang kita hidup dalam suatu “kampung global”.
Kenyataaan atau proses yang terjadi itu disebut sebagai
fenomena globalisasi.
Tentu saja selalu ada hubungan antara satu negara dengan
negara lainnya, satu wilayah dengan wilayah lainnya, akan
tetapi dibandingkan beberapa dekade lalu, perkembangan
yang pesat dari kehidupan global kontemporer bermakna
hubungan-hubungan yang ada sekarang ini yaitu lebih
intensif, perfasiv dan saling mempengaruhi.
Dalam kaitannya dengan hukum ekonomi internasional,
situasi yang digambarkan di atas diartikan bahwa beberapa
konsep fundamental dan dasar menjadi lebih problematik
dan membutuhkan perubahan-perubahan. Framework dan
paradigma lama menjadi kurang relevan. Hal ini tidaklah
terlalu mengejutkan. Secara alamiah hukum ekonomi
internasional tidak dapat berdiri di luar perubahan dari
ekonomi internasional itu sendiri sebab ia yaitu
bagian dari ekonomi internasional ini . Pada dasarnya
hukum ekonomi internasional eksis disebabkan dibutuhkan
oleh negara-negara, untuk berpartisipasi dalam perdagangan,
dan lembaga-lembaga keperdataan semacam korporasi
untuk memperluas pangsa pasarnya. sebab itu, hukum
ekonomi internasional yaitu tindakan responsif atas
perubahan-perubahan dalam ekonomi internasional dan
sebab itu juga suatu negara dan kelompok negara-negara
membuat aturan tentang perdagangan internasional.
Pada bagian berikut akan dibahas sumber-sumber hukum
internasional. Hal ini disebabkan hukum ekonomi
internasional tidak bisa dilepaskan dari hukum internasional.
Jadi pembahasan mengenai sumber-sumber hukum
internasional yaitu juga pembahasan terhadap hukum
ekonomi internasional. Selain itu terminologi sumber pada
hukum internasional yaitu bukti keberadaan hukum
ekonomi internasional. berdasar hal ini , maka
penting untuk membahas konsep-konsep dasar dan
fundamental dalam hukum internasional.
a. Definisi Hukum Internasional
salah satu cara untuk memberi definisi hukum
internsional yaitu dengan jalan negative contention,
yaitu memberi makna hukum internasional yaitu
bukan. Maka, hukum internasional yaitu bukan
hukum domestik, lokal ataupun municipal atau apapun
istilah yang dipakai untuk menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan sebuah yurisdiksi tertentu yang
diterapkan pada penduduk dari sebuah wilayah
geograpi tertentu.
Hukum domestik, lokal atau municipal yaitu
ditujukan pada individu-individu, korporasi maupun
subjek hukum lainnya pada suatu yurisdiksi tertentu.
Misalnya hukum pidana dan hukum yang berkaitan
dengan perkawinan. Perlu dicatat bahwa ada beberapa
pengecualian dalam aturan ini, tapi hal ini dalam
kasus-kasus kecil yang tidak terlalu berpengaruh.
Satu lagi cara untuk mendefinisikan hukum
internasional yaitu dengan jalan mempertanyakan apa
batasan atau ukuran hukum internasional ini . Kata
’internasional’ itu sendiri yaitu bukti tekstual
yang menyatakan bahwa hukum internasional itu
yaitu hukum yang melintasi batas-batas negara
dan lebih luas daripada yurisdiksi suatu negara. namun
bukan berarti bahwa hukum internasional itu bersifat
universal, walaupun dalam hal tertentu hukum
internasional diklaim mempunyai sifat-sifat ini ,
misalnya hukum humaniter internasional, kejahatan-
kejahatan perang dan kejahatan-kejahatan terhadap
kemanusiaan yang diklaim memiliki yurisdiksi
internasional.
Juga patut dipertimbangkan, para pihak yang terlibat
yaitu bangsa-bangsa dan bukan individu warganegara.
Perbedaan yang krusial diantara keduanya yaitu
persamaan formal (formal equality) yang dimiliki
bangsa-bangsa dibandingkan dengan individu warga
negara dalam suatu bangsa yang memiliki sifat
hubungan yang hirarki atau vertikal.
Makna lebih jauh dalam mendefinisikan hukum
internasional yaitu mempertimbangkan para pihak
dan persoalan-persoalan yang diatur oleh hukum
ini . Sebuah perbedaan yang seringkali dibuat
dalam hal ini yaitu pemakaian istilah hukum
internasional publik dan hukum perdata internasional.
Hukum internasional publik merujuk pada hukum yang
mengatur hubungan antar negara, sedang hukum
perdata internasional merujuk pada hukum antar
individu-individu, termasuk korporasi, dimana ada
dimensi internasional didalamnya yang membantu
penentuan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari para
pihak dalam kondisi tertentu. Singkatnya, hukum yang
memberi terbitnya hak-hak dan kewajiban-
kewajiban antar para pihak dan terbitnya aturan-
atuaran yang dijadikan acuan ketika terjadi suatu
sengketa, di mana akan dilihat ada atau tidaknya elemen
internasional.
b. Sumber-Sumber Hukum Internasional
Barangkali salah satu cara untuk menemukan definisi
yang paling baik tentang apakah hukum internasional
itu yaitu dengan jalan melihat sumber-sumber hukum
internasional.
Definisi klasik hukum internasional dapat ditemukan
pada pasal 38 Statuta the International Court of Justice
(ICJ) yang memberi empat buah sumber hukum
internasional yang diakui oleh ICJ. Keempat sumber itu
yaitu :
a. Perjanjian Internasional (International
Conventions) – baik umum maupun khusus yang
memuat aturan-aturan yang diakui oleh Negara-
negara peserta.
b. Kebiasaan Internasional (International Customs) –
sebagai suatu bukti praktek-praktek umum yang
diterima dan dilakukan oleh Negara-negara di
dunia.
c. Prinsip-prinsip umum hukum (General principles
of laws) yang diakui oleh warga internasional
d. Putusan-putusan hakim dan pendapat sarjana
(Judicial decisions and text book writers) – para ahli
dan para pakar pada bidang-bidang yang relevan
dalam hukum internasional.
Pada perkembangan kemudian, produk-produk
hukum internasional banyak dibentuk oleh badan-
badan atau organ-organ internasional selain dari
sumber-sumber yang ada dalam Statuta ICJ.
namun , pada umumnya para teoritisi berpendapat
bahwa produk-produk hukum ini yaitu
bagian dari perjanjian internasional dengan melihat
keabsahan dan kewenangan yang dimiliki oleh organ-
organ dan badan-badan organisasi internasional
ini . Termasuk juga di dalam hal ini yaitu
resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Selanjutnya juga ada keputusan-keputusan
dari organisasi-organisasi internasional yang memuat
aturan-aturan yang berkaitan dengan tingkah laku yang
juga dianggap sebagai sumber hukum ekonomi
internasional. namun , hakekatnya putusan-putusan ini
hanya mengikat dan berlaku untuk kepentingan internal
organisasi internasional ini . Contoh putusan
organisasi internasional ini yaitu putusan dari the
Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD) pada tahun 1977 tentang the
Governing Principle for Energy Policy yang membatasi
impor minyak mentah.
Lalu ada juga apa yang disebut Codes of
Conduct. Menurut Huala Adolf, codes of conduct yaitu
dipakai untuk menunjuk kepada suatu perangkat
aturan yang mengatur hubungan-hubungan bisnis
transnasional yang bukan hanya dibentuk oleh negara,
organisasi antar pemerintah tapi juga oleh pihak swasta
dan organisasi internasional.
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini
yaitu bahwa codes of conduct kekuatan mengikat
hukumnya tidaklah sekuat bentuk-bentuk hukum lain,
tetapi ia dapat dikatakan hanya yaitu suatu
pedoman atau yaitu aturan moral belaka.
c. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Yang Paling
Penting Dalam Hukum Komersial Internasional
Istilah perjanjian internasional yaitu terjemahan
bahasa negara kita untuk istilah convention. Kadangkala
terminologi perjanjian internasional dalam bahasa
inggris juga berbeda-beda, misalnya, agreement, treaty,
protocols, exchange of notes, atau instrument, namun
pada dasarnya semua istilah ini memiliki
pengertian konsep yang sama. Konsep ini yaitu
sebuah perjanjian oleh sebuah negara untuk bertindak,
tidak bertindak dalam tindakan tertentu pada waktu
yang akan datang. Perjanjian internasional ini
umumnya diadakan dalam bentuk multilateral (lebih
dari dua negara) ataupun bilateral (diadakan oleh dua
negara).
Persoalan perjanjian internasional diatur dalam
Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian
Internasional yang memuat seperangkat aturan
mengenai pembentukan, penafsiran dan pengakhiran
perjanjian.
d. Kebiasaan Internasional sebagai Hukum Kebiasaan
Internasional
Hukum kebiasaan internasional mengikat semua
negara, bahkan, walaupun tanpa adanya suatu
persetujuan, jika syarat-syarat berikut dapat
dipenuhi maka ia akan tetap mengikat. Syarat-syarat
ini yaitu :
1. Keseragaman dan konsistensi praktek dari negara-
negara yang ada (misalnya, tindakan resmi
pemerintah, dapat termasuk juga dalam hal ini
yaitu pernyataan, klaim dan tindakan yang
dilakukan oleh pemimpin politik, perwakilan
diplomatik dan lembaga-lembaga yudisial dan
administratif dari suatu negara).
2. Suatu keyakinan oleh sebuah negara bahwa tingkah
laku dalam artian kebiasaan itu dibutuhkan oleh
mereka.
Perlu dicatat bahwa, kebiasaan mungkin dikodifikasikan
dan dibuat dalam bentuk perjanjian.
e. Prinsip-Prinsip Umum Hukum & Putusan-Putusan
Hakim Dan Pendapat Sarjana
Sumber-sumber ini jika dibandingkan dengan dua
sumber sebelumnya yaitu sumber yang kurang
begitu penting dalam hukum internasional, namun
dalam hal tertentu memiliki peranan yang penting
untuk menginterpretasikan aturan-aturan yang ada
dalam hukum internasional.
f. Fungsi Hukum Internasional
Dalam pembahasan akan terlihat bahwa pada level
hukum ekonomi internasional, hukum internasional,
khususnya perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan
antara bangsa-bangsa yang ada, yaitu kritikal poin
dalam memberi kewajiban-kewajiban bagi subjek-
subjek hukum ekonomi internasional. Subjek-subjek
hukum ekonomi internasional maksudnya yaitu
individu-individu perdata termasuk korporasi yang
mungkin menerapkan diantara mereka sendiri
kewajiban-kewajiban tertentu untuk menghormati
perjanjian yang ditandatangani oleh pemerintah mereka
yang berdaulat.
Brierly dalam Law of Nations menyatakan bahwa fungsi
hukum internasional yaitu :
‘….international law is performing a useful and indeed a
necessary function in international life in enabling states
to carry on their day to day intercourse along orderly and
predictable lines. That is the role for which states have
chosen to use it and for that it has provided a serviceable
instrument’.
g. Kontrak Sosial dan Ekonomi Internasional
Salah satu aspek penting dari hukum internasional
khususnya dalam hubungan dengan hukum perjanjian
yaitu kesadaran dan keinginan dari negara-negara itu
untuk mematuhi kewajiban-kewajiban tertentu dibawah
hukum internasional. Dapat juga dikatakan jika
hubungan ini, dalam hal tertentu, dianalogkan dengan
ide tentang kontrak sosial dalam filosofi politik dimana
individu-individu menyerahkan sebagian hak-hak
mereka untuk dapat menikmati jaminan keamanan
misalnya dari negara.
Tapi, perbedaan yang paling penting jika dibandingkan
dengan individu-individu perdata ini , negara-
negara menikmati prinsip persamaan dan kapasitas
dalam hubungan diantara mereka dalam konteks
kedaulatan dan hak atas integritas territorialnya. Dalam
hal ini, dapat juga dipertimbangkan bahwa hukum
internasional, khususnya perjanjian antar negara,
sebagaimana analog suatu kontrak dimana masing-
masing pihak sepakat untuk melepaskan sebagian
keuntungannya atau menghilangkan hambatan yang
ada untuk menerima keuntungan-keuntungan atau
sesuatu yang bernilai sebagai pengembalian dari
kesepakatan itu.
h. Sekilas Hukum Internasional
Menurut Malcolm N. Shaw:
‘Modern international law has its origins in the Europe of
the sixteenth and seventeenth centuries. Although
communities of states regulated by law had previously
existed in Europe and elsewhere it is for reasons apparent
from subsequent world history the law created to govern
the diplomatic, commercial, military, and other relations
of the society of Christian states forming the Europe of
that time that provides the basis for the present law’.
Ide tentang hukum internasional berkembang di Eropa
pada abad ke-XIX,
Pada tahun 1914 bertambah dengan masuknya negara
China dan Jepang. sedang momentum peletakan
dasar bagi hukum internasional ini, khususnya dalam
aspek kelembagaan yaitu dibentuknya Liga Bangsa-
Bangsa pada tahun 1920-an.
i. Hukum Internasional, Hard Law ataukah Soft Law
dan Persoalan Penegakan Hukumnya.
Hukum internasional berkaitan dengan negara
berdaulat, dimana tujuan utamanya itu yaitu :
a. Integritas teritorial
b. Tidak ada campur tangan dari negara lain
c. Perlindungan terhadap warganegara
d. Menjaga kepentingan ekonomi
namun , bagaimana dengan penegakan hukum,
ketika tidak ada pengadilan seperti pada hukum
nasional dan tidak ada persamaan kedaulatan antar
negara-negara dalam prakteknya? Sehingga pertanyaan
itu berpuncak pada apakah hukum internasional benar-
benar yaitu hukum? Tapi senyatanya hukum
internasional itu eksis. Berikut akan dibahas sekilas
tentang persoalan ini.
j. Prinsip mekanisme penegakan hukum
Dalam hukum internasional beberapa konsep
berikut ini diakui sebagai bentuk penegakan hukum
internasional, yaitu
1. Sanksi ekonomi kolektif
2. Sanksi militer kolektif
3. Mahkamah Internasional
Selanjutnya untuk mempertimbangkan persoalan
penegakan hukum ini, penting untuk mendiskusikan
apa yang negara-negara itu lakukan atau ya atau
tidakkah hukum internasional itu dipertimbangkan
sebagai “soft law” jika dibandingkan dengan “hard law”
pada hukum nasional.
Martin Dixon menyatakan: ‘…the most convincing
evidence of the existence of international law is that the
overwhelming majority of international legal rules are
consistently obeyed”.
Jadi, negara-negara umumnya mematuhi hukum
internasional disebabkan hal itu yaitu
kepentingan dalam negara mereka sendiri dan
tindakan-tindakan ini yaitu pendorong
terhadap kekuasaan yang mereka miliki. Misalnya
dalam konteks hukum ekonomi internasional
Morgenthau sebagaimana dikutip Richard Edney
berpendapat: ‘…a nation will be likewise be reluctant to
disregard its obligations under a commercial treaty , since
the benefit that it expects from the execution of the treaty
by the other contracting parties are complementary to
those anticipated by the latter. It may thus stand to lose
more than it would gain by not fulfilling its part of the
bargain. his is particularly so in the long run , since a
nation that has the reputation of reneging on its
commercial obligations will find it hard to conclude
commercial treaties beneficial to itself’.
Dan pendapat yang berbeda yang perlu dicatat
sebagaimana disampaikan oleh Fitzmaurice dalam
Richard Edney, bahwa: ‘…the assumed certainty of
enforcement in the national society masks the fact that in
general the law does not have to be enforced not so much
because it is taken for granted that it would be , but
because it commands in practice the general assent or
tolerance of the community. The real foundation of the
authority of international law resides similarly in the fact
that the states making up the international society
recognize it as binding upon them and moreover as a
system that ipso facto binds them as members of the
society irrespective of their individual wills’.
k. Perjanjian dan Hukum Ekonomi Internasional
Sebagaimana disebutkan terdahulu, sumber hukum
ekonomi internasional yang paling penting yaitu
hukum yang berkaitan dengan perjanjian baik bilateral
maupun multilateral dan bisa saja berkaitan dengan
persoalan persoalan apapun juga.
Dixon & McCorqdale berpendapat: ‘…treaties are
now the most important source of international law.
They offer states a deliberate method by which to create
binding international law’.
Perjanjian yaitu basis dari kesepakatan
internasional antara negara-negara yang mengikat para
pihak ini menurut hukum internasional. Format
perjanjian bukanlah hal yang penting, ketika negara-
negara itu membuat perjanjian tertentu maka mereka
akan melaksanakan perjanjian itu sebagai hal yang
mengikat secara hukum internasional.
Tunduknya suatu negara terhadap suatu perjanjian
yaitu yaitu tindakan sukarela dan tentunya akan
mengurangi kebebasan, kekuasaan dari suatu negara itu
untuk bertindak dalam hal tertentu. Selain itu, setiap
negara yang berdaulat memiliki kapasitas untuk
membuat perjanjian. namun bagaimana proses
suatu perjanjian menjadi hukum nasional, setiap negara
memiliki tata cara tersendiri. Untuk melihat lebih jauh
aturan hukum tentang perjanjian internasional yang
berlaku di negara kita dapat dilihat pada Undang-
Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
Seperti pada umumnya suaru kesepakatan, sekali
suatu perjanjian ditandatangani maka ia membawa
konsekuensi kewajiban atau tanggung jawab, yaitu
mengimplementasikan perjanjian itu, pada negara yang
menandatangani perjanjian ini . Termasuk juga
dalam hal ini barangkali yaitu penghapusan aturan-
aturan atau hukum nasional tertentu yang tidak sesuai
dengan perjanjian internasional yang dibuat.
Baik menurut hukum internasional maupun hukum
ekonomi internasional secara khusus, sebagaimana diuraikan
diatas, terlihat jelas bahwa perjanjian internasional
yaitu sumber utama dan terpenting.
Pembahasan mengenai sumber-sumber hukum berguna
untuk mengetahui dimana kita dapat menemukan hukum
ini . sebab dengan keberadaan sumber-sumber hukum
kita dapat melihat jelas apa hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang ditimbulkan dari suatu tindakan baik untuk
berbuat maupun untuk tidak berbuat sesuatu.
Cita-cita untuk membuat suatu piagam hak-hak dan
kewajiban-kewajiban Ekonomi Negara-negara (Charter of
the Economic Rights and Duties of States) (selanjutnya
disebut “piagam” atau Piagam CERDS”) pertama kali
diusulkan oleh Presiden Mexico Luis Echeverria Alvarez
pada 1972. Alvarez menggunakan forum the United Nations
Conferenceon Trade and Development (UNCTAD) untuk
merancang Piagam ini . Usulan ini mendapat dukungan
dari cukup banyak negara(sedang berkembang).
Latar belakang Alvarez mengusulkan pembentukan
Piagam ini yaitu sebab semakin terpuruknya pereko-
nomian negara sedang berkembang pada tahun 1960-an.
Beliau berpendapat bahwa aktivitas ekonomi internasional
harus diatur oleh suatu dasar hukum yang kuat (firm legal
footong). Untuk itu perlu dirumuskan suatu pigam hak-hak
dan kewajiban-kewajiban ekonomi negara-negara.
Ada dua alasan mengapa perekonomian negara sedang
berkembang tidak tumbuh positif pada tahun 1960-an.
Pertama, usaha di bawah PBB pada masa iyu tidak begitu
konstruktif bagi negara sedang berkembang sebab PBB
semata-mata yaitu lembaga politis.
Kedua, negara-negara maju sudah sejak lama ‘mengusai’
dan ‘mengontrol’ keputusan-keputusan yang menyangkut
pertumbuhan ekonomi, khususnya pasar dan perdangang
internasional. Tujuan dari pengusaan atau kontrol ini sudah
barang tentu semata-mata untuk kepentingan perekonomian
atau perdagangan mereka.
Untuk menjalin kerjasama ekonomi internasional perlu
adanya keinginan negara-negara untuk bekerja sama. Cara
terbaik untuk membukitikan adanya keinginan kerja sama
ekonomi negara-negara yaitu menerima hak-hak dan
kewajiban-kewajiban negara-negara dalam bidang ekonomi.
Masalahnya yaitu tidak ada bab-bab atau ketentuan-
ketentuan dalam piagam PBB yang mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban negara-negara di bidang ekonomi
Internasional.
Disamping itu usaha -usaha yang dilakukan oleh
sebagian negara tidaklah cukup untuk menjembatani
perbedaan tingkat ekonomi antara neagra-negara dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta kemakmuran
negara-negara. sebab itu yang perlu dilaksanakan yaitu
suatu tindakan bersama (joint action) negara-negara untuk
merumuskan prinsip-prinsip (hukum)yang diterima umum
guna mengatur hubungan-hubungan ekonomi internasional.
Kebutuhan perlunya suatu perturan hukum ekonomi
internasional ini semakin dirasakan sesudah timbulnya krisis
minyak dunia pada 1973. sebab itu pula untuk
mengkristalisasi kerja sama nda mengatur kegitan-kegiatan
ekonomi yang saling ketergantungan itu kehadiran hukum
ekonomi internasional yang tertuang dalam suatu instrumen
khusus perlu segera dibentuk.
Setahun kemudian, 1974 warga internasional
menyebut tahun ini sebagai tahun konsolidasi kaidah-kaidah
hubungan-hubungan ekonomi internasional. Pada tanggal 1
mei 1974, majelis Umum PBB mengesahkan dua resolusi
penting
a. Resolusi 3201 (s-v1) mengenai the Declaration on the
establishment of a New International Economic Order
b. Resolusi 3202 (S-VI) mengenai the program of Action on
the Establishment of anew international economic order
Dalam pembahasan mengenai instrument hukum yang
akan dipakai , negara-negara sulit mencapai kata sepakat.
Sesudah berkali-kali bersidang, kelompok kerja akhirnya
menyetujui 26 pasal dari 34 pasal yang direncanakan.
Berbagai usulan perubahan oleh anggota negara-negara
anggota OECD(Organization for economic Cooperation and
Development) ditolak berdasar suara terbanyak, termasuk
usulan untuk memperpanjang perundingan-perundingan
yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu rancangan
piagam yang lengkap dan diterima umum.
Hasil yang akhirnya disetujui yaitu dipakai istilah
piagam. Amerika Serikat tetap teguh dengan pendiriannya
yaitu menggunkan istilah deklarasi. Judul yang tetap
menurut negara ini yaitu Declaration of Principles of
International Economic Law.
Memang istilah yang acapkali atau lazim dipakai
yaitu konvensi untuk menunjukkan kepada perjanjian-
perjanjian internasional yang dirundingkan dan disahkan
oleh PBB dan organisasi-organisasi lainnya. namun negara-
negara sedang berkembang berpendapat, isi (muatan) dari
perjanjian yang dibahas sifatnya khusus. sebabnya istilah
yang dipakai harus khusus pula, dalam hal ini yang
dipakai yaitu piagam.
Menurut keinginan negara-negara berkembang, piagam
kali ini sifatnya harus bersifat khusus. Ia harus yaitu
dokumen terpenting kedua sesudah piagam PBB. Piagam
sebelumnya yang berusaha mengatur hubungan ekonomi
internasional, yaitu piagam Havana (Havana Charter)
mengenai pembentukan Organisasi Perdagangan
Internasional (cikal bakal GATT), gagal terbentuk sebab
kongres Amerika Serikat menolak meratifikasinya.
Piagam CERDS terdiri dari 34 pasal yang dikelompok-
kan menjadi 5 topik. Berikut yaitu uraian singkat mengenai
topik-topik ini :
Mukadimah atau preambul piagam terdiri dari 13
ayat atau paragraf. Mukadimah ini mempertegas tujuan
dibentuknya PBB memelihara perdamaian dan
keamanan internasional, membangun hubungan-
hubungan persahabatan antara negara dan
mengusaha kan kerjasama internasional dalam
menyelesaikan masalah-masalah ekonomi dan sosial
“(paragraf 3).
Paragraf 4 dipandang sebagai pernyataan penting:
yakni bahwa tujuan fundamental dari piagam CERDS
yaitu memajukan pembentukan tata ekonomi
internasional baru yang didasarkan pada keadilan,
persamaan kedaulatan, interpedence (saling
ketergantungan), kepentingan bersama dan kerjasama
di antara negara-negara tanpa melihat sistem ekonomi
sosialnya.
Untuk memajukan pembentukan tata ekonomi
internasional baru ini, dirasa perlu terbentuknya
kondisi-kondisi seperti :
a) Menciptakan kemakmuran yang lebih luas di
antara semua negara dan standar hidup yang lebih
tinggi bagi semua bangsa.
b) Memajukan ekonomi dan sosial semua bangsa
c) Menanggulangi rintangan-rintangan utama bagi
pembangunan ekonomi negara-negara sedang
berkembang
d) Memajukan perkembangan ekonomi negara-
negara sedang berkembang untuk mengurangi
jurang pemisah antara negara berkembang dengan
negara maju
e) Melindungi dan memelihara lingkungan
Paragraf 7 menyatakan tekad negara-negara untuk
memajukan keamanan ekonomi kolektif untuk
pembangunan, khususnya negara sedang berkembang,
dengan menghormati persamaan kedaulatan setiap
negara melalui kerjasama warga internasional
keseluruhannya.
Paragraf 8 menguraikan pertimbangan-
pertimbangan yang menjadi dasar bagi kerjasama
internasional kolektif. Paragraf ini menyatakan bahwa
persyaratan yang sangat esensial untuk memenuhi
keinginan bersama warga untuk mencapai
pembangunan yang adil dan rasional diseluruh dunia
yaitu suatu kerjasama yang tulus (genuine cooperation)
di antara negara berdasar tindakan terkendali
(concerted action) terhadap masalah-masalah ekonomi
internasional.
Paragraf lainnya pada umumnya memuat
penetapan-penetapan perlunya kerjasama antar negara
dan pembangunan ekonomi bagi seluruh negara.
Paragraf yang kontroversial menurut negara-negara
maju yaitu paragraf 4 dan 7.
2. Prinsip-prinsip Fundamental mengenai hubungan-
hubungan ekonomi Internasional
Bab I mengenai “fundamentals of international
economic relations” menetapkan 15 prinsip yang ‘harus’
mengatur hubungan-hubungan ekonomi, politik dan
hubungan-hubungan lainnya diantara negara-negara.”
Beberapa bagian dari prinsip-prinsip ini yaitu
bagian dari hukum kebiasaan internasional. Milan
Bulajic menyebutnya sebagai hukum internasional
klasik.
Adapun prinsip-prinsip fundamental mengenai
hubungan-hubungan ekonomi internasional ini yaitu
sebagai berikut:
1. Kedaulatan, integritas wilayah dan kemerdekaan
politik negara-negara
2. Persamaan kedaulatan semua negara
3. Non-agresi
4. Non-intervensi
5. Saling memberi manfaat dan adil
6. Koeksistensi damai
7. Hak-hak sama dan penetuan nasib sendiri bagi
rakyat
8. Penyelesaian sengketa secara damai
9. Memperbaiki ketidakadilan yang diakibatkan oleh
suatu negara
10. Melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional
dengan itikad baik.
11. Menghormati HAM dan kebebasan-kebebasan
fundamental
12. Tidak mencari hegemony dan pengaruh kekuasaan
13. Memajukan keadilan sosial internasional
14. Kerjasama internasional untuk pembangunan
15. Akses bebas ke dan dari laut oleh negara-negara
yang dikelilingi oleh darat dalam ruang lingkup
prisnsip-prinsip diatas
Sebagian dari prinsip-prisnsip ini di atas
tercantum dalam piagam PBB dan dalam the declaration
on principles of internasional law concerning friendly
relations and co-operatioan among states in accordance
with the united nations charter.
3. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomi negara-
negara (pasa l1-28)
Bagian II mengenai “hak-hak dan kewajiban-
kewajiban ekonomi negara-negara” terdiri dari 28 pasal
mengenai:
1. Kedaulatan dan penanaman modal asing (pasal
1,2,7 dan 16) serta harta kekayaan yang dikelola
bersama (shared resources)(pasal 3)
2. Aturan-aturan perdagangan internasional (pasal 4-
6,14,18,20,21,22,26,27,28)
3. Perlakuan preferensial terhadap negara-negara
kurang maju (pasal 18,19,21,25,26)
4. Organisasi internasional (pasal 10 dan 11)
5. Kelompok-kelompok (organisasi) ekonomi
regional (pasal 12,21,23 dan 24)
6. Alih teknologi (pasal 13)
7. Kewajiban-kewajiban umum untuk memajukan
pembangunan dan kerjasama ekonomi (pasal 7-9,
11 dan 17)
8. Perlucutan senjata (pasal 15 dan 9), dekolonisasi
(pasal 16)
1) Kedaulatan dan penanaman modal asing serta
harta kekayaan yang dikelola bersama (shared
resources)
Pasal 2 masih tetap menjadi ketentuan
atau prinsip yang paling kontroversial di
antara pasal-pasal piagam. Pasal 2 ini
menyatakan bahwa hak setiap negara untuk
“dengan bebas melaksanakan kedaulatan
permanen penuh... atas semua kekayaan dan
kegiatan-kegiatan ekonominya.”(ayat 1 a).
Mengenai kata “full” (penuh) di sini
sarjana salem dengan tegas menyangkal
pendirian yang menyatakan bawha keadulatan
suatu negara mengenai kekayaan alamnya
dapat dibatasi oleh adanya fakta bahwa
kekayaan demikian dibutuhkan pula oleh di
bagian dunia lainnya. Usul atau pandangan
ini tegas-tegas ditolak oleh negara-negra
sedang berkembang.
Menurut salem, kata permanen berarti
bahwa negara yang bersangkutan dapat
memanfaatkan hak-hak berdaulatnya setiap
saat. Dimasukkannya kata ini dimaksud untuk
menyangkal pendapat sarjana-sarjana,
misalnya Nwogugu bawha suatu negara dapat
melaksanakan hak berdaulatnya dengan
memberi pelaksanaan hak ini kepada
pihak ketiga, misalnya dengan memberi
suatu konsesi kepada suatu perusahaan asing.
Pandangan ini dibantah kembali
oleh Hihenverdern. Menurutnya, pengertian
bahwa kedaulatan negara itu permanen tidak
berarti bahwa hak berdaulat negara ini
tidak dapat ditanggalkan (waiver of
sovereignty), meskipun untuk sementara
waktu. Di samping itu, prinsip hukum
perjanjian (kontrak) dalam hukum
internasional, yakni prinsip itikad baik,
membatasi pula pelaksanaan hak berdaulat
suatu negara.
Dalam kaitan ini, masing-masing negara
memiliki hak untuk “mengatur dan
melaksanakan jurisdiksi nasionalnya sesuai
dengan hukum dan perundang-undangan dan
sesuai dengan tujuan dan prioritas-prioritas
(ekonomi,pen) nasional-nya”. Disamping hak
ini hak ini yaitu kewajiban negara
untuk tidak memberi perlakuan khusus
kepada penanaman modal asing (pasal 2:2a).
Sub topik kedua dari pasal 2 ini yaitu
persoalan kompensasi atau ganti rugi terhadap
harta kekayaan orang asing yang diambil alih.
Menurut piagam CERDS, setiap negara
memiliki hak untuk menasionalisasi,
ekspropriasi atau mengalihkan harta kekayaan
orang asing. Atas tindakannya itu, negara
ini harus membayar ganti rugi dengan
memperhatikan hukum dan perundang-
undangan yang relevan dan semua keadaan
yang menurut negara ini penting.
Manakala timbul masalah mengenai ganti
rugi, maka masalah ini harus diselesaikan
berdasar hukum nasional dari negara yang
menasionalisasi. Badan peradilannya pun
haruslah dari (pengadilan) negara ini ,
kecuali para pihak sepakat untuk
menyelesaikannya melalui cara-cara damai
lainnya atas dasar persamaan kedaulatan
negara dan sesuai dengan prinsip-prinsip
pemilihan cara-cara yang bebas (pasal 2:2c).
3. Aturan-aturan perdagangan internasional
Ketentuan mengenai aturan-aturan
pedagang-an internasional yaitu
ketentuan yang cukup banyak dalam piagam.
Ada sepertiga atau 11 pasal dari piagam
CERDS yang mengatur bidang yang penting
ini. Banyaknya pasal mengenai perdagangan
internasional menggambarkan kepentingan-
kepentingan yang dominan dari negara-negara
sedang berkembang.
Salah satu kepentingan yang menonjol
yaitu peranan perdagangan sebagai sumber
penerimaan keuangannya (foreign exchange)
untuk membiayai pembangunan ekonomi dan
sosialnya Pasal 4 Piagam CERDS menyatakan
bahwa yaitu hak setiap negara “untuk
melakukan perdagangan internasional dan
bentuk-bentuk kerjasam ekonomi tapa
memandang perbedaan-perbedaan sistem
poltik, ekonomi dan sosial.
Pasal 14 menyatakan, setiap negara
berkewajiban untuk bekerjasama dalam
memajukan perluasan dan libelarisme
perdagangan dunia serta meningkatkan
kesejahteraan dan standar kehidupan semua
rakyatnya, khususnya bagi negara-negara
sedang berkembang.
Pasal 28 ini menambahkan pula bahwa
negara-negara maju harus memberi
pertimbangan-petimbangan serius untuk
mengam-bil usaha -usaha lainnya yang layak
dan memung-kinkan guna memenuhi
kebutuhan-kebutuhan perdagangan dan
pembangunan negara-negara sedang
berkembang.
Pasal 20 piagam mengatur hubungan
ekonomi negara-negara sedang berkembang
dan negara sosialis. Pasal 21 mengatur
kerjasama perdagangan antara negara-negara
sedang berkembang. Pasal 26 piagam
mengatur prinsip most-favourd-nation(MFN).
Prinsip ini dimasukkan de dalam piagam atas
dasar kepentingan negara-negara maju,
khususnya negara-negara sosialis eropa timur
dan “kewajiban untuk hidup toleransi dan
hidup bersama dengan damai.
sedang dalam hal hubungan-
hubungan perdagangan internasional antara
negara maju dengan negara sedang
berkembang, atau antara negara berkembang
danga negara miskin, maka prinsip yang
berlaku yaitu prinsip “preferential non-
reciprocal treatment”. Ketentuan terakhir
mengenai sub topik ini yaitu mengenai
kewajiban semua negara untuk “bekerjasama
dalam mencapai penyesuaian-penyesuaian
harga ekspor negara-negara sedang
berkembang dalam kaitannya dengan harga
impor mereka.
4. Perlakuan Preferensi terhadap Negara-negara kurang
maju
Pasal yang mempertegas pemberian perlakuan
preferensial (khusus) ini yaitu pasal 19 piagam
CERDS. Pasal 19 menegaskan, untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang
berkembang dan memperkecil jurang perbedaan tingkat
ekonomi negara-negara sedang berkembang dan negara
maju, maka negara maju, manakala memungkinkan,
harus memberi prefernsi umum, prinsip pamrih
(non-reciprocal), dan non-diskriminatif kepada negara-
negara sedang berkembang di bidang kerjasama
ekonomi internasinal.
Berkaitan dengan itu pula, pasal 25 menekankan
kembali, untuk memajukan pembangunan ekonomi
dunia, warga internasional, negara-negara maju
khususnya, “harus memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan dan masalah-masalah khusus negara-negara
miskin di antara negara-negara sedang berkembang dan
negara-negara sedang berkembang kepulauan dengan
tujuan membantu negara-negara ini untuk
menanggulangi kesulitan-kesulitan khusus dan sebab
itu membantu pembangunan ekonomi dan sosial
mereka”.
5. Organisasi Internasional
Ketentuan mengenai organisasi internasional
termuat dalam dua pasal (pasal 10 dan 11). Pasal 10
mempertegas prinsip persamaan kedaulatan negara-
negara. Pasal 11 mengatur kewajiban negara untuk
bekerjasama guna memperkuat dan meningkatkan
efesiensi organisasi internasional.
6. Kelompok-kelompok (organisasi) ekonomi regional.
Piagam CERDS mengakui keberadaan kelompok-
kelompok atau organisasi regional yang bergerak dalam
bidang ekonomi. Pasal penting yang mengatur
kedudukan organisasi regional ini yaitu pasal 12. Pasal
ini menyatakan bahwa negara-negara memiliki hak
untuk bergabung dalam kelompok-kelompok kerjasama
sub-regional, regional dan interregional dalm usaha nya
mengejar pembangunan ekonomi dan sosialnya.
7. Alih teknologi
Piagam menyatakan bahwa “setiap negara memiliki
hak untuk mendapat manfaat dari kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan pembangunan sosial dan ekonominya”
(pasal 13;1). Dibalik hak ini , semua negara
berkewajiban untuk “memajukan kerjasama ilmu
pengetahuan dan teknologi antar negara dan alih
teknologi, dengan memperhatikan semua kepentingan
yang sah, termasuk, antara lain, hak dan kewajiban
pemegang, pemasok dan penerima teknolgi.
8. Kewajiban umum untuk memajukan pembangunan dan
kerjasama ekonomi
Ketentuan-ketentuan mengenai bidang ini
memuat pasal-pasal yang menetapkan kewajiban-
kewajiban yang sifatnya umum. Tujuanny sama, yaitu
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-
negara khususnya negara-negara sedang berkembang.
Kewajiban-kewajiban umum dalam Piagam CERDS
termuat secara khusus dalam pasal 7 sampai 9. Pasal 7
menyatakan bahwa setiap negara memiliki tanggung
jawab utama untuk memajukan pertumbuhan ekonomi,
sosial dan budaya rakyatnya.
Pasal 8 mensyaratkan negara-negara untuk :
1) Bekerjasama dalam memperlancar hubungan
ekonomi internasional yang lebih rasional dan adil
2) Menggalakkan perubahan-perubahan struktural
dalam perekonomian dunia yang harmonis sesuai
dengan kebutuhan dan kepentingan semua negara,
khususnya negara-negara sedang berkembang
Pasal 9 kembali mempertegas kewajiban-kewajian
umum di atas. Pasal ini menetapkan bahwa semua
negara memiliki tanggung jawab untuk bekersama di
dalam lapangan ekonomi, sosial dan budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk memajukan tingkat
ekonomi dan sosial di seluruh dunia, khususnya, sekali
lagi, bagi begara-negara sedang berkembang.
9. Perlucutan Senjata
Piagam CERDS menyadari hubungan yang erat
dan saling mempengaruhi antara perlucutan senjata dan
pertumbuhan ekonomi negara-negara. Pasal 15 piagam
menetapkan kewajiban-kewajiban negara-negara untuk
mencapai perlucutan senjata yang dilaksanakan di
bawah pengawasan internasional guna kepentingan
pembangunan ekonomi dan sosial negara-negara,
khususnya negara sedang berkembang.
10. Dekolonisasi
Dekolonisasi ada kaitan erat dengan negara sedang
berkembang dan dengan hubungan ekonomi
internasional. Kaitannya dengan negara sedang
berkembang sebab negara ini pada umumnya baru saja
melepaskan diri dari kolonisasi negara asing dan bahwa
dekolonisasi memberi kesempatan kepada negara baru
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan
kemampuannya sendiri. Pasal 16 Piagam CERDS secara
implisit menyatakan akibat-akibat dari tindakan-
tindakan yang menindas atau merugikan sesuatu
kelompok, kesatuan warga atau negara.
sebab itu pasal 16 dengan tegas menyatakan
bahwa yaitu hak dan kewajiban semua negara baik
sendiri-sendiri atau bersama untuk menghapuskan
kolonialisme, apartheid, diskriminasi ras, neo-
kolonialisme, dan semua bentuk agresi, okupasi
(pendudukan) dan dominasi ekonomi.
11. Tanggung jawab bersama terhadap warga
internasional
Dua pasal dalam bagian III (pasal 29 dan 30)
mengenai “common responsibility towards the
international community”(tanggung jawab bersama
terhadap warga internasional), medapatkan suara
abstain, namun tidak ada suara negatif/tidak setuju.
Pasal 29 mengakui dan menyatakan konsep warisan
bersama umst msnudi terhadap “dasar laut dan tanah di
bawahnya, di luar wilayah jurisdiksi nasional. Pasal 30
mengatur perlindungan, pemeliharaan dan penegakan
lingkungan yang diakui sebagai tanggung jawab negara
12. Ketentuan penutup
Bagian IV mengatur “ketentuan penutup” yang
berkaitan dengan kewajiban semua negara “untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia yang
berimbang” (pasal 31) dan untuk menahan diri dari
pemakaian tekanan politik dan ekonomi terhadap
negara lain (pasal 32)
C. Kritik terhadap piagam CERDS
Negara maju umumnya melihat piagam ini sebagai
piagam yang memiliki beberapa kelemahan. Pertama,
menurut Brower dan Tepe Jr, Piagam CERDS dianggap sudah
gagal sebab ia tidak tegas dan jelas menyatakan hak-hak dan
kewajiban ekonomi negara-negara ada dan termuat dalam
hukum internasional.
Kedua, menurut Petersmann piagam CERDS kurang
memenuhi prinsip “interest realization”, yakni prinsip yang
mengakomodasikan atau memperhatikan berbagai
kepentingan internasional. Ketiga, Piagam CERDS tidak
memuat mengenai kelembagaan dan prosedur penyelesaian
sengketa agar tujuan-tujuan Piagam CERDS dapat terpenuhi.
Keempat, ruang lingkup piagam CERDS pun terbatas
hanya kepada pengaturan mengenai hak-hak dan kewajiban
negara-negara. Kelima, sarjana-sarjana maju umumnya
memandang isi ketentuan piagam, khususnya pasal 2 sebagai
ketentuan yang kontradiktif. Pasal ini membolehkan negara
untuk mengambil alih harta milik perusahaan asing secara
sepihak manakala negara ini memandangnya perlu.
Keenam, menurut pengamatan Chatterjee, dalam
tahun-tahun belakangan ini ganti rugi menurut formula the
Cordel Hull yaitu dengan menggunakan pembayaran ganti
rugi secara ‘prompt, adequate and effective’ sudah mendapat
dukungan dari banyak negara baik negara berkembang
maupun maju. Ketujuh, kekuatan mengikat piagam itu
sendiri masih ada perdebatan. Perdebatan berkiasar kepada
apakah piagam ini suatu bard law(mengikat) atau soft
law(anjuran)
D. STATUS PIAGAM CERDS DEWASA INI
Dari uraian di atas, ada pandangan yang
tampaknya umum dan masih hidup. Yakni, pandangan yang
menyatakan bahwa piagam CERDS dewasa ini tidak
memiliki kekuatan hukum, hanya sekedar rekomendasi
semata atau sudah ‘mati’.
Penulis berpendapat piagam masih hidup. Ada beberapa
alasan berikut yang memperkuat pendapat ini. Petama,
argumen singkat dan langsung, PBB tidak pernah
menyatakan bahwa piagam tidak berlak lagi. Kedua, dalam
berbagai sidangnya, PBB atau badan khususnya acapkali
mengutip atau menjadikan piagam CERDS sebagai salah satu
bahan penting untuk bahan rujukan dan bahan untuk
membuat kebijakan atau perbandingan.
Ketiga, meskipun literatur-literatur barat dewasa ini
enggan mengutio piagam CERDS, namun ketentuan-
ketentuan hukum internasional di berbagai bidang ternyata
mengutio prinsip-prinsip dalam piagam CERDS
Dari keseluruhan pasal dalam piagam CERDS, tampak
sekali cukup banyak ketentuan yang secara khusus
menempatkan kepentingan ekonomi atau pembangunan
negara-negara sedang berkembang. Hal ini tampaknya tidak
terlepas darim sejarah pembentukan piagam ini yang
diprakarsai oleh negara-negara sedang berkembang dan
melalui lembaga PBB yang banyak memperhatikan
kepentingan negara sedang berkembang, yakni UNCTAD.
Meskipun kepentingan negara sedang berkembang
dominan, namun isi dari ketentuan piagam CERDS
mempertgas kembali beberapa prinsip hukum perdagangan
internasional dan prinsip-prinsip hubungan ekonomi yang
sudah umum.
Pembahasan berikut ini akan memfokuskan pada
perkembangan the General Agreement on Trade and Tariffs
(GATT) dan the World Trade Organization (WTO) serta
prinsip-prinsip yang ada di dalam the World Trade
Agreement tentang regulasi perdagangan internasional.
namun sebelumnya, penting juga dibahas mengenai konsep
perdagangan internasional.
I. Perdagangan Internasional Dan Teori Comparative
Advantage
Sejak lama warga dan bangsa-bangsa didunia
meyakini bahwa untuk meningkatkan produksi dan
pendapatan, pengembangan keahlian khusus dalam
proses produksi tertentu harus dilakukan. Negara-
negara secara tipikal memiliki kelebihan masing-masing
atau dengan kata lain, mereka memiliki keahlian khusus
dalam memproduksi suatu barang jika dibandingkan
dengan negara lainnya. Hal ini disebabkan sebab
adanya perbedaan yang disebabkan oleh geografi,
sumber daya alam, dan lain-lain. Surplus produksi ini
memungkinkan untuk terjadinya perdagangan dengan
bangsa atau komunitas lainnya, sebab kebutuhan
domestik sudah terpenuhi. Selain itu, pasar lokal atau
domestik, melalui perdagangan internasional akan
dapat dikembangkan dan ditingkatkan.
Singkatnya, perdagangan, membuat komunitas
warga atau bangsa-bangsa ini berkonsentrasi
dengan apa yang terbaik yang dapat mereka lakukan
dalam bagian-bagian produksi ini . Tidak ada dua
negara yang memiliki sumber daya alam, iklim dan
cuaca serta tenaga kerja yang sama persis. Perbedaan
yang timbul diantara komunitas atau bangsa-bangsa itu
membuat apa yang disebut sebagai ‘comparative
advantage’ sebagai penjamin produk-produk tertentu
yang dihasilkan oleh suatu komunitas atau suatu bangsa
ini . Bahkan dalam teori perdagangan
kontemporer, produksi ini tidak hanya berupa barang
semata namun juga jasa misalnya dalam bidang
teknologi informasi.
Secara teoritis, perdagangan menterjemahkan
perbedaan ini menjadi suatu produksi maksimum untuk
semua bangsa dan komunitas yang didasarkan pada
keunggulan sumber yang dimiliki yang kemudian
ditempatkan dengan cara yang paling efisien. Teori
perdagangan internasional ini, dalam teori ekonomi
dikenal sebagai ‘theory of comparative advantage’. Teori
ini dikemukakan oleh seorang ekonom yang bernama
Ricardo (1817).
Salah satu kasus yang menarik yaitu case of winter
roses. Walaupun sudah sangat lama, namun teori ini
masih relevan utamanya untuk menjustifikasi
perdagangan internasional dan pangsa pasar dari suatu
bangsa. Dapatlah dikatakan Ricardian theory atau teori
Ricardo ini menjadi dasar perdagangan internasional.
Kunci dari teori Ricardian yaitu mempercayakan
pada market untuk mengalokasikan sumber-sumber
yang ada dengan cara yang paling efisien. Aspek penting
dari teori itu yaitu peranan pemerintah hendaknya
ditujukan untuk mengurangi hambatan yang dapat
mengurangi fungsi efisiensi pada market global.
Sebagaimana kita ketahui, tujuan dari perdagangan
bebas dan liberalisasi perdagangan internasional secara
maksimum yaitu salah satu fokus dari WTO. Secara
khusus hal ini akan melibatkan negara-negara anggota
WTO untuk tidak memaksan aturan-atauran yang
dapat mendistorsi jalannya market global. Asumsikan
dalam hal ini hambatan dan pembatasan dari
pemerintah dalam perdagangan internasional tidak ada,
maka market global, akan mengalokasikan sumber-
sumber yang ada itu dengan cara yang paling efisien.
Selanjutnya kita akan membahas keberadaan WTO
dan pendahulunya GATT. namun perlu diingatkan ada
beberapa poin pembahasan yang tidak dijelaskan lebih
lanjut pada Bab ini, sebab sudah ataupun akan dibahas
tersendiri pada Bab lainnya.
Inisiatif pembentukan GATT muncul dari Amerika
selama dan sesudah Perang Dunia II dimana diyakini bahwa
salah satu pendorong terjadinya perang ini yaitu
kondisi ekonomi dunia. Diyakini bahwa sudah terjadi
disfungsi ekonomi internasional pada masa itu.
Perlindungan terhadap tarif dan perdagangan dipandang
memiliki tanggung jawab yang paling besar atas terjadinya
depresi dan ketidakpercayaan yang tinggi antar bangsa-
bangsa berkaitan dengan isu perdagangan. Konflik yang
terjadi itu yaitu konsekuensi dari ketidakpercayaan.
Oleh sebabnya, kemudian timbul konsep bahwa situasi
seperti itu hendaknya dapat diantisipasi dan perdagangan
internasional pada masa akan datang harus dibuat sebebas
mungkin.
Sebuah aspek penting dari hal ini yaitu keinginan
untuk membentuk institusi yang dapat meyakini
perdagangan ekonomi dunia yang memiliki kemampuan
independen untuk menjaga perdagangan bebas antar negara.
Pentingnya institusi seperti itu diklaim akan dapat
menerapkan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam
rangka perdagangan internasional sebagai tindakan atas
nama kepentingan bangsa-bangsa secara kolektif sehingga
dapat mecegah potensi ego kepentingan suatu bangsa
tertentu.
Dapat dikatakan bahwa Konferensi Bretton Woods
(1944) yaitu awal dari pengaturan ekonomi
internasional sekarang ini. Konferensi ini mengarah pada
terwujudnya the International Monetary Fund (IMF) dan the
International Bank for Reconstruction and Development
(World Bank). Dan yang ketiga yaitu pembentukan the
International Trade Organization (ITO). Draft ITO Charter
ini disiapkan oleh pihak Amerika Serikat.
Secara simultan pekerjaan dalam rangka ekonomi
internasional ini dimulai dengan usaha untuk mengadakan
the General Agreement on Trade and Tariffs (GATT), yang
ditujukan sebagai sebuah pengaturan sementara sampai
dengan terwujudnya institusi ITO. Dalam hal ini termasuk
juga the Protocol of Provisional Application of the General
Agreement on Tariffs and Trade (1947).
GATT yaitu sebuah perjanjian multilateral yang
bukan yaitu sebuah organisasi maupun institusi.
GATT akhirnya terwujud namun ITO (dikenal juga sebagai
the ‘Havana Charter’) gagal untuk dibentuk sebab
ketidaksepakatan negosiasi pendiriannya. Hal ini disebabkan
draft ITO Charter sendiri ternyata tidak mendapat
persetujuan dari kongres Amerika. Sekalipun kegagalan
untuk mendirikan sebuah konstitusi dasar dan struktur
kelembagaan ekonomi internasional, GATT, yang pada
awalnya yaitu sebuah perjanjian multilateral, akhirnya
dikembangkan sebagai sebuah institusi dan dalam
prakteknya beroperasi seperti sebuah organisasi
internasional.
Dengan diberlakukannya Protocol of Provisional
Application, akhirnya GATT dapat beroperasi antara tahun
1948 – 1994. Secara de facto, GATT mampu mencapai hasil
yang signifikan dalam meliberalisasi perdagangan dunia.
Salah satu kunci keberhasilan GATT yaitu pada
pengurangan tarif diantara para pihak anggota GATT.
namun , ada beberapa permasalahan yang substansi
dalam pelaksanaan GATT. Berikut ini akan didiskusikan
permasalahan ini .
a. Kritik terhadap Rezim GATT 1947 – 1994
sepanjang waktu kritikan terhadap GATT
ditujukan pada keefektifan dari struktur GATT itu
sendiri. Umumnya kritikan itu yaitu sebagai berikut:
a. Bagian II dalam aturan GATT
b. Ketidak efektifan prosedur penyelesaian
sengketanya
c. Hanya yaitu sebuah perjanjian yang
ditujukan untuk sementara waktu saja sesudah 40
tahun
d. Meningkatnya peranan korporasi multinasional
yang bukan yaitu subjek GATT (GATT
hanya berlaku untuk pemerintah suatu negara
semata)
e. Meningkatnya pemakaian oleh suatu negara
kebijakan perlindungan non-tarif (misalnya
subsidi)
f. Tidak temasuknya sektor jasa
g. Ketergantungan yang sangat besar antar
perekonomian nasional
h. Isu globalisasi dan akibatnya
b. Reformasi yang terus menerus didalam GATT and
Putaran Uruguay
sebab ketiadaan sebuah struktur institusional,
reformasi di dalam GATT terus dilakukan dengan jalan
saling konsultasi antar negara-negara anggota GATT.
Hal ini terjadi selama tujuh kali putaran negosiasi.
Putaran Uruguay, yaitu yang paling berhasil diantara
lainnya yang dilaksanakan oleh GATT. Puturan
Uruguay dimulai tahun 1986 dengan fokus diskusi
sebagai berikut:
a) Tariffs
b) Non-tariff barriers
c) Natural resources products
d) Textiles and clothing
e) Tropical products
f) GATT articles
g) Tokyo Round codes
h) Anti-dumping
i) Subsidies
j) Intellectual property
k) Investment
l) Dispute settlement
m) GATT and services
c. Capaian putaran Uruguay
Pada akhir Putaran Uruguay di tahun 1994, sebuah
dokumen yang dikenal sebagai the Final Act Embodying
the Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade
Negotiations dihasilkan pada tanggal 15 April 1994.
Beberapa pencapaian ini yaitu sebagai berikut:
a) GATS
b) Trade Related Intellectual Property Agreement
(TRIPS)
c) Peningkatan diskusi terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan produksi pertanian
d) Akses pasar yang lebih luas bagi negara-negara
dengan jalan mengurangi pemakaian Kuota dan
tarif
e) Negara-negara berkembang lebih terintegrasi
kedalam sistem GATT & WTO
f) Prosedur penyelesaian sengketa yang lebih
komprehensif
g) WTO charter
d. Pendirian dan Fungsi WTO
Final Act dari Puturan Uruguay ditandatangani,
bersamaan juga dengan beberapa dokumen lainnya,
pada tanggal 1 January 1995. WTO dan perjanjian
perjanjian yang berkaitan pada saat sekarang ini
mengatur sekitar 90 persen dari perdagangan dunia.
WTO diadopsi lebih dari 146 pemerintahan.
Fungsi WTO ada pada WTO Agreement, yaitu
sebagai berikut:
a) Facilitate the implementation, administration and
operation and further the objectives of ….the
multilateral trade agreements
b) Provide the forum for negotiations among its
members concerning their multilateral trade
relations
c) Administer the dispute settlement understanding
d) Administer the trade policy review mechanism
e) Cooperate with other international organizations
such as the IMF and World Bank
sedang tujuan dari WTO yaitu : Strengthen
international economic cooperation and global economic
welfare through the brining greater stability and
predictability to the international trading system.
e. Struktur WTO
Badan-badan yang yaitu kunci dari WTO yaitu
sebagai berikut:
a. Ministerial Conference – puncak organisasi WTO
organizational membuat keputusan yang sifatnya
hirarki. Pertemuan diadakan paling tidak satu kali
dalam dua tahun serta memiliki tanggung jawab
membuat kebijakan-kebijan yang akan
dilaksanakan oleh WTO.
b. General Council / Dispute Settlement Body & Trade
Policy Review Body – komposisinya yaitu
perwakilan dari setiap anggota WTO dan
yaitu pelaksana dari WTO. Di dalam General
Council , pertemuan diadakan secara bulanan.
c. WTO Secretariat – pelaksana administratif dan
pelaksana harian
d. WTO Councils – ada dewan-dewan pada
setiap bidang perdagangan, yaitu:
1. Council for Trade in Goods
2. Council for Trade in Services
3. Council for Trade Related Aspects of
Intellectual Property
e. Committees and Working Parties
f. WTO Agreements
kunci dari WTO Agreement yaitu the Final Act
Embodying the Results of the Uruguay Round of
Multilateral Trade Negotiations (Final Act). Tambahan
pada Final Act yaitu the Agreement Establishing the
World Trade Organization (The WTO Agreement) yang
memuat 4 buah annexes.
Daftar lengkap perjanjian ada pada ‘list of
annexes’ yang dilampirkan di dalam WTO agreement,
yaitu:
a. Annex 1 – annex 1A : multilateral agreements on
trade in goods (termasuk GATT, TRIM’S &
perjanjian yang berkaitan lainnya)
b. Annex 1B – general agreement on trade in services
and other associated agreements (GATS)
c. Annex 1C – agreement on trade related aspects of
intellectual property rights (TRIPS)
d. Annex 2 – Understanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes
e. Annex 3 – trade policy review mechanism
f. Annex 4 – plurilateral trade agreements
Berikut ini akan dibahas lebih detil tentang
perjanjian-perjanjian di atas dan bagaimana mereka
berfungsi dalam konteks WTO agreement. Perlu dicatat
bahwa pada tahap ini sebuah negara dapat menjadi
anggota WTO, dituntut untuk tidak hanya
menandatangani dan setuju terhadap the Final Act
pendirian WTO, namun juga seluruh tambahan
(annexes) yang terpisah dari WTO agreement.
f. 1. GATT (Annex 1A dari WTO Agreement)
The General Agreement on Trade and Tariffs
(1994) yaitu annex pertama dari WTO
Agreement. GATT 1994 yaitu central dari WTO,
maksudnya bahwa prinsip-prinsip dan kebijakan-
kebijakan pada masa GATT (1947-1994) masih
tetap berlaku sebagai bagian dari hukum
perdagangan internasional.
GATT 1947 & GATT 1994 (diadopsi kedalam
WTO agreement) secara hukum yaitu berbeda.
sebab GATT 1994 yaitu hasil dari berbagai
putaran perundingan dalam proses GATT itu
sendiri. GATT sendiri terdiri dari 38 provisions,
yang tujuannya yaitu untuk menjaga perdagangan
internasional ini ‘fair’ dan ‘equal’ dan
kebutuhan pada saat sekarang untuk ‘develop and
liberalise international trade’.
f. 1. a. Dua Aspek Kunci Prinsip-Prinsip GATT
a. Unifying Rules Governing Customs
Valuation – hal ini yaitu
central dari GATT. Valuation yaitu
pembebanan tarif dan pembatasan
impor lainnya. Sebagai misal, Article
VII GATT memberi nilai impor
barang untuk tujuan cukai
hendaknya di dasarkan pada actual
value negara pengimpor yang
ditujukan pada harga jual atau harga
penawaran dalam kondisi normal
perdagangan dibawah keadaan
kompetisi yang sesungguhnya
dibandingkan dengan nilai yang
ada di negara pengekspor. Hal
ini membolehkan negara pengimpor
untuk mengevaluasi barang-barang
impor dalam konteks hukum
nasional dan pasar domestik untuk
menetapkan bea masuknya.
b. Unifying Rules Governing Exchange
Control .
f. 2. GATS: Annex 1B
GATS agreement yaitu pencapaian utama
dari Putaran Uruguay dengan memperluas GATT,
menjadi .. beyond goods and into the realm of
services dan juga hak-hak yang secara hukum dapat
diterapkan dalam kaitannya dengan perdagangan
jasa.
f. 3. TRIPS Annex 1C
Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights memuat aturan
perlindungan bagi:
1. Patents
2. Copyrights
3. Trade secrets
Perlu dicatat bahwa sebelum keberadaan
TRIPS agreement, sudah ada banyak rezim yang
mengatur bidang ini. Perlu dipahami bahwa TRIPS
mendukung menguatkan sistem yang sudah ada,
misalnya Berne Convention for the Protection of
Literary and Artistic Works (1971) dan Convention
for the Protection of Industrial Property (1883)
(dikenal sebagai ‘Paris Convention’). Dalam hal ini,
TRIPS meminta negara-negara anggota untuk
memenuhi articles I sampai XXI dan the appendix
of the Berne Convention dan articles I sampai XII
dan XIX dari Paris Convention.
f. 4. Trade Policy Review Mechanism: Annex 3
perjanjian ini di desain untuk mendukung
transparansi yang lebih luas dalam pembuatan
kebijakan perdagangan secara nasional. Tujuan
TPRM ini yaitu :
‘contribute to improved adherence by all
members to rules, disciplines, and commitments
made under the multilateral trade agreements and
where applicable the plurilateral trade agreements
and hence to the smoother functioning of the
multilateral trading system by achieving greater
transparency in and understanding of the trade
policies and practices of Members’.
f. 5. Plurilateral Trade Agreements: Annex 4
Annex 4 ini tidaklah wajib untuk
ditandatangani oleh anggota WTO, tidak seperti
annex 1 (1A, 1B & 1C), 2 dan 3 yang yaitu
kewajiban. Perjanjian yang relevan yang dapat
ditandatangani oleh anggota WTO didalam annex
4 yaitu :
1. Agreement on trade in civil aircraft
2. Agreement on government procurement
3. Agreement on information technology
g. Sistem WTO
Sebuah preamble dalam suatu instrumen hukum,
secara tipikal yaitu untuk menyatakan tujuan atau
kehendak yang ingin dicapai oleh instrumen hukum
ini . Beberapa hal penting yang ada dalam
preamble pendirian WTO yaitu sebagai berikut:
1) Provides a forum for negotiation and dispute
settlement
2) Establishes a ministerial conference
3) Parties are bound to the WTO agreement and its
attached annexes unless and until they withdraw
4) Decision making is to be by consensus – consent
being deemed when a decision is taken formally if no
member objects
5) If consensus not possible and if the issue is of a type
of that does not requires unanimity, then a two
thirds vote is required as opposed to a simple
majority
6) Accession to the WTO may on the basis as agreed by
the potential new member and the WTO – a two
third majority must agree to accept a new member
h. Prinsip-Prinsip Dasar WTO
ada 5 prinsip dasar WTO, yaitu:
1. Non-Discrimination
Prinsip non discrimination memuat dua aspek.
Pertama, konsep Most Favoured Nation (MFN)
dan kedua, National Treatment (NT).
Most favoured Nation
Konsep MFN yaitu konsep yang
fundamental dalam perdagangan internasional.
Lebih lanjut lihat Article 1 GATT. (pengaturan
yang sama diterapkan pada Art 11 GATS dan
Article IV TRIPS). Konsep ini tidak hanya terbatas
pada negara-negara anggota semata, oleh
sebabnya jika anggota WTO memberi
perlakuan yang berbeda ke negara yang bukan
anggota maka hal itu juga harus diterapkan bagi
negara-negara anggota.
National Treatment
Konsep NT ada pada Article III GATT,
Article VII GATS dan Article III TRIPS dan sudah
menjadi artikel yang paling sering diinterpretasikan
baik sebelum maupun sesudah pembentukan
WTO.
2. Liberalisation of trade
Tujuan dari WTO yaitu untuk memberi
stabilitas dan prediktibilitas yang lebih luas dalam
sistem perdagangan internasional. Liberalisasi
yaitu salah satu jalan untuk menghapuskan
segala bentuk pembatasan dalam bidang ekspor
dan import. Juga, dalam hal ini tidak ada subsidi
dan tarif sama sekali. Barangkali hal ini terkesan
tidak realistis untuk dicapai secara global dan
mungkin juga hal ini akan membuat negara-negara
menjadi tidak mendukung keberadaan WTO.
namun penting untuk diingat bahwa WTO itu
bertujuan untuk mencapai proses keberlanjutan
dari liberalisasi.
Perlu dicatat bahwa akan selalu ada
pembatasan dari proses liberalisasi. Dalam WTO
agreement, pembatasan ini diwakili dengan apa
yang disebut safeguards, yaitu ‘a further special
agreement on safeguards and the special case of
textiles ‘.
Intinya, safeguards membolehkan negara-
negara anggota untuk mengambil tindakan
‘emergency’ untuk mencegah akibat yang fatal bagi
negara ini . Misalnya, tindakan sementara
waktu atau transisi yang didesain untuk
mempersiapkan industri domestik untuk
menghadapi kompetisi internasional, namun hanya
diperbolehkan untuk jangka waktu 3 tahun.
3. No unfair trade
Berikut ini akan diberikan beberapa contoh
unfair trading. Pertama tentang dumping dan
kedua mengenai subsidi. Dumping produk
dipandang sebagai sebuah contoh diskriminasi
harga secara internasional, di pasar yang berbeda
ada perbedaan harga untuk barang yang sama.
Dumping dipandang juga sebagai predatory pricing
dimana sebuah produsen menjual dibawah harga
untuk mengintimidasi atau menghapuskan
saingannya dan dalam jangka waktu yang panjang
harga ini akan dinaikan sesudah kompetitor
tadi dapat dihapuskan.
Antidumping diperbolehkan oleh Article VI
GATT, dengan pengecualian hanya untuk
melindungi perekonomian nasional dalam
menghadapi kompetisi yang tidak fair dan bukan
sebagai alat untuk melindungi perdagangan.
Kebijakan antidumping bagi para pihak ini
yaitu subjek pada Agreement on
Implementation of Art VI of the GATT
(Antidumping Code 1979), yang bertujuan ... to
unify the practices of the contracting parties in
applying Art VI of GATT, and also represents an
effort at preventing abuse of the antidumping power
of governments as a means of trade protectionism.
For instance, to protect a domestic industry that has
not made efforts to become internationally
competitive.
Article VI menyatakan bahwa dumping occurs
only when the product is sold at a price which is
below the home market price of the product and the
sale is detrimental to the local economy of the
importing country.
Oleh sebabnya dua tingkatan dan persyaratan
yang diperlukan bagi sebuah dumping, yaitu:
1. produk yang sama dijual pada harga dibawa
harga penjualan produk ini di pasar
domestik
2. penjualan ditujukan untuk merusak ekonomi
lokal negara pengimpor.
Jika kedua persyaratan ini tidak terpenuhi
maka tidak terjadi dumping. sedang apa yang
dimaksud dengan ‘produk yang sama’, menurut
Antidumping Code 1979, definisinya yaitu : ‘A
product which is identical, that is alike in all respects
to the product under consideration, or in the absence
of such a product another product which , although
not alike in all respects has characteristics closely
resembling those of the product under
consideration’.
Subsidies
Artikel yang berkaitan dengan subsidi yaitu
Artikel XVI, XVII dan XVIII. Apa itu subsidi?
Dalam Putaran Uruguay (1986-1994) untuk
pertamakalinya subsidi diberikan definisi, yaitu ... a
financial contribution by the government or any
public body where the government practice involves
the following
a. a direct transfer of funds
b. potential direct transfers of liabilities
c. government revenue (for instance taxation and
payroll duty) that is otherwise due is foregone
d. government provisions of goods or services other
than general infrastructure
e. government payments to a funding mechanism
or direction to a private body to carry out the
above functions
Sebagai aturan umum, subsidi dilarang ketika
hal ini memicu terganggu perdagangan
internasional. Jadi bukanlah harga dan kualitas
barang yang sampai ke konsumen, melainkan
harga yang ditimbulkan oleh semata-mata akibat
adanya subsidi ini dan bukanlah yaitu
hasil dari tekanan kompetisi.
GATT membolehkan beberapa bentuk subsidi
dan bantuan pemerintah bagi produsen, misalnya:
a. Article XVIII GATT membolehkan negara
anggota yang termasuk dalam GATT
memberi konsesi khusus pada industri
domestik tertentu
b. Untuk menekan tarif yang diskriminatif
c. Pembatasan kuantitatif pada produk impor
tertentu untuk mendukung industru domestik
d. Sepanjang pelaksanaannya tidak bertentangan
dengan prosedur notifikasi dan negosiasi.
Misalnya dalam Art XVI GATT yang
mensyaratkan negara anggota yang
mensubsidi perdagangan luar negerinya untuk
memberi notifikasi ke negara lain detil dari
subsidi ini dan mendiskusikan
pemakaiannya dengan negara-negara yang
relevan yang meminta untuk itu.
Perbedaan antara dumping dan subsidi yaitu
sebagai suatu aturan umum, anti dumping
berkaitan dengan tindakan oleh suatu perusahaan.
sedang subsidi yaitu praktek yang
dilakukan oleh pemerintah.
4. transparency
Hal yang berkaitan dengan transparansi dapat
ditemukan pada dokumen berikut ini:
a. article X GATT
b. article III GATS
c. article 63 TRIPS
Inti daripada transparansi yang diminta
aturan-aturan ini yaitu :
a. publikasi segala jenis hukum dan aturan
sebelum dilaksanakan
b. keseragaman, tidak terpisah dan administrasi
yang mesuk akal dari aturan dan hukum
ini .
c. judicial review dari setiap putusan
administratif
Prinsip-prinsip transparansi sangat penting
guna kepercayaan para pebisnis. Yang diinginkan
yaitu sistem hukum domestik memperlakukan
korporasi dan individu asing sama perlakuannya
dengan individu dan korporasi lokal.
5. Exceptions (termasuk perlakuan khusus dan
pembedaan)
ada pengecualian didalam prinsip WTO, yaitu:
General Exceptions
Pengecualian horizontal (The horizontal
exceptions) dalam GATT (dan berlaku juga bagi
negara-negara anggota WTO) termuat pada Article
XX. Pengecualian ini termasuk:
a. kepentingan untuk melindungi moral
warga
b. kepentingan untuk melindungi manusia,
binatang atau kehidupan planet bumi dan
kesehatan
c. berkaitan dengan impor atau ekspor emas dan
perak
d. kepentingan atas dasar hukum dan aturan
yang tidak sesuai dengan aturan yang ada
didalam Agreement yang berkaitan dengan:
1. customs enforcement
2. protection of patents, trade marks &
copyrights
3. enforcement of monopolies
4. prevention of deceptive practices
e. produk yang dihasilkan oleh orang yang
dipenjara (prison labour)
f. diterapkan untuk melindungi warisan artistik,
sejarah masa lalu dan yang memiliki nilai
arkeologi.
g. Konservasi sumber daya alam yang sedikit
h. Diambil dalam rangka kewajiban yang timbul
dari perjanjian komoditi antar pemerintah
i. Melibatkan pembatasan ekspor bahan-bahan
domestik yang penting untuk memastikan
kualitas utama bahan ini pada proses
industri domestik selama jangka waktu ketika
harga domestik dari bahan ini berada
dibawah harga dunia, sebagai bagian dari
rencana stabilisasi pemerintah yang termasuk
dalam subject to the principle of non-
discrimination
j. Berguna untuk mengakuisisi atau
mendistribusikan produk sebagai supply
jangka pendek secara umum maupun lokal.
Security Exceptions
yaitu hak sebuah negara untuk
mempertahankan diri dari serangan pihak luar
yang dijamin dalam prinsip dasar hukum
internasional. sebab anggota-anggota WTO
yaitu negara-negara yang berdaulat dan
bertanggung jawab atas keamanan dalam
negerinya, sulit membayangkan bagaimana WTO
dispute settlement body akan dapat bertindak
sebagai hakim pada persoalan ini jika pengecualian
keamanan ini tidak dibuat sejelas mungkin dan
ukuran-ukuran keamanan ini ditempatkan
dalam artian senyatanya dari diskriminasi
perdagangan dalam rangka produsen domestik.
Persoalan ini lebih cocok dibahas oleh hukum
internasional, hukum perang dan dewan keamanan
PBB.
Sesuai dengan Article XXIV GATT dan Article
V & V bis GATS perlakuan tertentu juga
diperbolehkan jika ada perjanjian
perdagangan bebas regional. Misalnya, NAFTA,
ANZCER and EU. Selain itu juga ada
pengecualian, khususnya perlakuan yang berbeda
terhada negara-negara berkembang.
Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun
arbitrase, kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian
diantara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh yaitu
dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu
klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak atau perjanjian
yang mereka buat, baik kepengadilan atau badan arbitrase.
Lazimnya dalam sistem hukum (common law) dikenal
dengan konsep “ Long Arm Jurisdiction “. Dengan konsep ini,
pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk
menerima setiap sengketa yang dibawa kehadapannya
meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa
ini tipis sekali.
Disamping forum pengadilan atau badan arbitrase, para
pihak dapat pula menyertakan sengketanya kepada cara
alternatifnya penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal
sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution) atau APS
(Alternatif Penyelesaian Sengketa). Pengaturan alternatif
disini dapat berupa cara alternatif disamping pengadilan.
B. PARA PIHAK DALAM SENGKETA
1. Sengketa antara pedagang dengan pedagang
Sengketanya diselesaikan melalui berbagai cara.
Cara ini semuanya bergantung pada kebebasan
dan kesepakatan para pihak. Kesepakatan dan
kebebasan yang menentukan forum pengadilan apa
yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Kesepakatan
dan kebebasan pula yang akan menentukan hokum apa
yang akan diberlakukan dan diterapakan oleh badan
pengadilan yang mengadili sengketanya.
2. Sengketa Antara Pedagang dan Negara Asing
Sengketa antara pedagang dan negara juga bukan
yaitu kekecualian. Kontrak–kontrak dagang
antara pedagang dan negara sudah lazim
ditandatangani. Kontrak–kontrak seperti ini biasanya
dalam jumlah (nilai) yang relative besar. Termasuk
didalamnya yaitu kontrak-kontrak pembangunan
(development contracts).
Dalam hukum internasional berkembang
pengertian Jure Imperii dan Jure Gestiones. Jure Imperii
yaitu tindakan–tindakan negara dibidang publik
dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat.
Oleh sebab itu, tindakan–tindakan seperti itu tidak
akan pernah dapat diuji atau diadili dihadapan badan
peradilan.
Konsep kedua, Jure Gestiones yaitu tindakan-
tindakan negara dibidang keperdataan atau dagang.
Oleh sebab itu, tindakan-tindakan seperti itu tidak lain
yaitu tindakan-tindakan negara dalam kapasitasnya
seperti orang – perorangan (pedagang atau privat),
sehingga tindakan-tindakan seperti itu dapat dianggap
sebagai tindakan-tindakan sebagaimana layaknya para
pedagang biasa. Oleha sebab itu, tindakan-tindakan
seperti itu yang dapat saja diselesaikan dihadapan
badan-badan peradilan umum, arbitrase, dan lain – lain.
C. PRINSIP – PRINSIP PENYELESAIAN SENGKETA
1. Prinsip kesepakatan para pihak (Konsensus)
Pengertian kesepakatan ini yaitu :
a. Bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak
tidak berusaha menipu, menekan atau
menyesatkan pihak lainnya.
b. Bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal
dari kesepakatan kedua belah pihak. Artinya,
pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap
muatan kesepakatan harus pula