Kamis, 22 Februari 2024

cuci uang

 




Pencucian uang merupakan  metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan 

menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana 

ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan 

aktivitas tindak pidana. Hal tersebut  dimulai dengan adanya transaksi keuangan, bahkan dalam 

transaksi tersebut terdapat transaksi keuangan yang mencurigakan, yang terdiri dari transaksi 

untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, 

pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah 

uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. Proses pencucian 

uang  pada umumnya melalui  tiga tahap kegiatan yaitu tahap penempatan, tahap penyebaran 

dan tahap pengumpulan. 

Institusi perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat terkait dengan masalah 

pencucian uang, makin tinggi tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor 

perbankan membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian 

uang. 

Perbuatan, sanksi pidana dan denda dalam tindak pidana pencucian uang diatur dalam Undang-

undang  No. 8  Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 

(PPTPPU) 

Pencucuian uang pada hakekatnya merupakan aset  yang disamarkan atau disembunyikan asal 

usulnya agar dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari tindak pidana, 

yang akan diubah menjadi aset yang seolah-olah berasal dari sumber sah/legal. 

Dewasa ini di Indonesia baru berkembang pendeteksian tindak pidana korupsi dengan 

menggunakan pendekatan pencucian uang, sehingga auditor forensik ataupun penyidik 

tindak pidana korupsi selalu mencari hasil tindak pidana/korupsi yang  diubah menjadi 

aset lain. Pemahaman mencegah para pelaku tindak pidana pencucian uang mengubah 

dana hasil tindak pidana dari ”kotor” menjadi ”bersih” dan menyita hasil tindak pidana 

berupa aset dalam segala bentuk,  merupakan cara yang efektif untuk memerangi 

pencucian uang (money laundering). Sebagaimana halnya dengan negara-negara lain, 

Indonesia juga memberikan perhatian besar terhadap tindak pidana lintas negara yang 

terorganisir (transnational organized crime) seperti pencucian uang (money laundering) 

dan terorisme. 

Pencucian uang (money laundering), yang merupakan suatu kejahatan di bidang pidana 

yang melibatkan harta kekayaan yang disamarkan atau disembunyikan asal usulnya 

dengan metode menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu 

tindak pidana, sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut 

berasal dari kegiatan illegal 

Dalam konteks penegakan hukum, istilah money laundering bukanlah suatu konsep yang 

sederhana, melainkan sangat rumit karena masalahnya begitu kompleks sehingga cukup 

sulit untuk merumuskan delik-delik hukumnya (kriminalisasi) secara objektif dan efektif. 

Hal ini tercermin dari batasan pengertiannya yang cukup banyak dan bervariasi. Batasan 

pengertian (definisi) yang relatif tidak sama (berbeda-beda) itu juga terdapat pada negara-

negara yang sama-sama memiliki ketentuan (Undang-Undang) anti pencucian uang. 

Demikian juga halnya di antara lembaga dan organisasi internasional yang kompeten di 

bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Begitupun, dalam 

bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa “pencucian uang” adalah suatu perbuatan 

dengan cara-cara yang licik untuk mengaburkan asal-usul uang hasil kejahatan supaya 

hasil-hasil kejahatan itu akhirnya kelihatan menjadi seolah-olah bersumber dari suatu 

kegiatan usaha yang legal.  

Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks melintasi 

batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan 

lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk 

mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah 

mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam 

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana 

pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special 

Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan pihak pelapor 

(reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan 

pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana 

pencucian uang perlu 

dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral 

agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang 

jumlahnya besar dapat diminimalisasi. Dalam menyikapi permasalahan tindak pidana 

pencucian uang Pemerintah Republik Indonesia sampai saat ini (2014) sudah 

mengeluarkan 3 (tiga) undang-undang yang menyangkut pencucian uang yaitu: Undang-

undang Nomor. 15  Tahun 2002, direvisi menjadi Undang-undang Nomor 25  Tahun 2003 

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan terakhir direvisi dengan Undang-undang 

Nomor  8 Tahun 2010  tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 

(PPTPPU) 

 

1. Pengertian Transaksi Keuangan 

Pada umumnya pencucian uang dimulai dengan adanya transaksi keuangan, 

bahkan dalam transaksi tersebut terdapat transaksi keuangan yang mencurigakan. 

Pengertian transaksi keuangan adalah sebagai berikut (UU Nomor 8 tahun 2010):   

Transaksi keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima 

penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, 

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas 

sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan 

dengan uang. 

Transaksi keuangan mencurigakan adalah: 

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan 

pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan; 

b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan 

tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib 

dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; 

c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan 

harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau 

d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak    

pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak 

pidana. 

  

 

2. Pengertian Pencucian Uang (money laundering) 

 

Sesuai pasal 1 ayat (1)  Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan 

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU)  yang dimaksud dengan 

pencucian uang adalah ”segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana 

sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini”. 

Lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang tersebut dijelaskan 

sebagai berikut: 

Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa hasil tindak pidana adalah harta 

kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: 

a. korupsi; 

b. penyuapan; 

c. narkotika; 

d. psikotropika; 

e. penyelundupan tenaga kerja; 

f. penyelundupan migran; 

g. di bidang perbankan; 

h. di bidang pasar modal; 

i. di bidang perasuransian; 

j. kepabeanan; 

k. cukai; 

l. perdagangan orang; 

m. perdagangan senjata gelap; 

n. terorisme; 

o. penculikan; 

p. pencurian; 

q. penggelapan; 

r. penipuan; 

s. pemalsuan uang; 

t. perjudian; 

u. prostitusi; 

v. di bidang perpajakan; 

w. di bidang kehutanan; 

x. di bidang lingkungan hidup; 

 

y. di bidang kelautan dan perikanan; atau 

z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun 

atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia 

atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak 

pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. 

Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa harta kekayaan yang diketahui atau patut 

diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung 

untuk kegiatan terorisme,  organisasi teroris, atau teroris perseorangan 

disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

huruf n. 

Jadi dapat disimpulkan secara umum pencucian uang dapat diartikan sebagai 

metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari 

suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi, 

korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan 

aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas, maka pencucian uang pada 

intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan atau 

disembunyikan asal usulnya sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa 

aset tersebut berasal dari kegiatan illegal. Melalui pencucian uang, pendapatan 

atau kekayaan yang berasal dari kegiatan melawan hukum diubah menjadi aset 

keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber sah/legal. 

 

B. PERBUATAN, SANKSI PIDANA DAN DENDA DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN 

UANG 

 

Dalam  Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan 

Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) dijelaskan tentang perbuatan, sanksi pidana dan denda 

dalam tindak pidana pencucian uang, yang dituangkan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 10 

sebagai berikut: 

1. Pasal 3  

Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, 

membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah 

bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas 

harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak 

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan 

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak 

pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan 

denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 

2. Pasal 4  

Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, 

peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta 

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana 

pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda 

paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

 

3. Pasal 5  

(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, 

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta 

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak 

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana 

penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 

(satu miliar rupiah). 

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pihak pelapor 

yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-

undang ini. 

4.   Pasal 6 

(1)   Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 

Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap 

korporasi dan/atau personil pengendali korporasi. 

(2)    Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang: 

a. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi; 

b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; 

c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan 

d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. 

 

5.   Pasal 7 

(1)  Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling 

banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 

 

(2)   Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi 

juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: 

a. pengumuman putusan hakim; 

b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi; 

c. pencabutan izin usaha; 

d. pembubaran dan/atau pelarangan korporasi; 

e. perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau 

f. pengambilalihan korporasi oleh negara. 

 

6.   Pasal 8 

Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan 

pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. 

 

7.   Pasal 9 

(1) Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan 

perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi 

yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. 

(2)  Dalam hal penjualan harta kekayaan milik korporasi yang dirampas sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda 

dijatuhkan terhadap personil pengendali korporasi dengan memperhitungkan 

denda yang telah dibayar. 

 

8.    Pasal 10 

Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik 

Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan 

jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang 

sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. 

 

 

C. TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN 

UANG 

 

Uraian mengenai  tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian 

uang, dijelaskan dalam pasal 11 sampai dengan 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) sebagai 

berikut: 

 

1.    Pasal 11 

(1)  Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang 

yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan 

tugasnya menurut undang-undang ini wajib merahasiakan dokumen atau 

keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-

undang ini. 

(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. 

(3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau 

pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam 

rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. 

 

2.    Pasal 12 

(1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak pelapor dilarang 

memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung 

maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi 

keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada 

PPATK. 

(2)  Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak 

berlaku untuk pemberian informasi kepada lembaga pengawas dan pengatur. 

(3)   Pejabat atau pegawai PPATK atau lembaga pengawas dan pengatur dilarang 

memberitahukan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang akan atau 

telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan 

cara apa pun kepada pengguna jasa atau pihak lain. 

 

(4)  Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak 

berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang-Undang ini. 

(5)   Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda 

paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

 

3. Pasal 13 

Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 12 ayat (5), pidanadenda tersebut diganti dengan pidana kurungan 

paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. 

 

4. Pasal 14 

Setiap orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan 

kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana 

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak 

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 

 

5. Pasal 15 

Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 

dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 

 

6. Pasal 16 

Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang 

menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar 

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat 

(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. 

 

  

 

D. PROSES PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) 

 

Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian uang,  namun pada 

dasarnya pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan yaitu 

(BPKP: 2007): 

1.   Tahap Penempatan (Placement stage) 

Tahap ini adalah suatu upaya menempatkan uang hasil kejahatan ke dalam sistem 

keuangan yang antara lain dilakukan melalui pemecahan sejumlah besar uang tunai 

menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam simpanan 

(rekening) bank, atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan 

(cheques, money orders, etc) yang akan ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di  

rekening bank yang berada di lokasi lain. Dalam tahapan ini uang hasil kejahatan 

adakalanya dipergunakan untuk membeli suatu aset/properti yurisdiksi setempat atau 

luar negeri. 

Bentuk kegiatan ini antara lain: 

1)  Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan 

pengajuan kredit/pembiayaan. 

2)   Menyetorkan uang pada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) sebagai pembayaran 

kredit untuk mengaburkan audit trail. 

3)      Menyeludupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain. 

4)    Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang 

sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi 

kredit/pembiayaan. 

5)   Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, 

membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada 

pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK. 

 

2.   Tahap Penyebaran (Layering stage) 

Setelah uang hasil kejahatan masuk dalam sistem keuangan, pencuci uang akan 

terlibat dalam serentetan tindakan konversi atau pergerakan dana yang dimaksudkan 

untuk memisahkan atau menjauhkan dari sumber dana. Dana tersebut mungkin 

disalurkan melalui pembelian dan penjualan instrumen keuangan, atau pencuci uang 

dengan cara sederhana mengirimkan uang tersebut melalui ”electronic funds/wire 

transfer” kepada sejumlah bank yang berada di belahan dunia lain. Tindakan untuk 

11 

 

menyebarkan hasil kejahatan kedalam negara yang tidak mempunyai rezim anti 

money laundering, dalam beberapa hal mungkin dilakukan dengan menyamarkan 

transfer melalui bank sebagai pembayaran pembelian barang atau jasa sehingga 

tindakan tersebut seolah-olah nampak sebagai suatu tindakan hukum yang sah. 

Secara umum bentuk kegiatan ini antara lain: 

1)    Transfer dana dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara. 

2)   Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang 

sah 

3)   Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha 

yang  sah maupun shell company 

 

3.   Tahap Pengumpulan (Integration Stage) 

Dalam tahapan ini merupakan upaya menggunakan harta hasil kejahatan yang 

tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam kegiatan ekonomi 

yang sah misalnya dalam bentuk pembelian real estate, aset-aset yang mewah, atau 

ditanamkan dalam kegiatan usaha yang mengandung risiko. Dalam melakukan money 

laundering, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh, dan 

besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk 

menyamarkan atau menghilangkan asal usul uang sehingga hasil akhirnya dapat 

dinikmati atau digunakan secara aman. 

Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun 

umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Demikian juga dengan modus 

operandinya dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi 

dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal ini terjadi baik pada tahap penempatan 

(placement),tahap penyebaran (layering), maupun tahap pengumpulan (integration), 

sehingga penangananya pun menjadi semakit sulit dan membutuhkan peningkatan 

kemampuan (capacity building) secara sistimatis dan berkesinambungan. 

 

E. TITIK RAWAN PERBANKAN DALAM PROSES PENCUCIAN UANG 

 

Hal-hal yang menyebabkan titik rawan  kegiatan pencucian uang pada sektor perbankan 

yaitu (Nurharyanto:2013): 

1. Peranan sector perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia diperkirakan 

mencapai 93% 

 

2. Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan 

3. Jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan 

dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul 

tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum. 

 

Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang, baik yang dilakukan oleh pelaku 

tanpa melibatkan pihak bank atau dengan melibatkan pihak bank, umumnya berupa: 

1. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposit box 

2. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/giro 

3. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal 

4. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang 

bersangkutan 

5. Penggunaan fasilitas transfer atau electronic funds transfer (EFT) 

6. Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank 

terkait dan 

7. Pendirian/pemanfaatan bank gelap. 

 

Hal-hal tersebut diatas terjadi karena adanya kemudahan dalam proses pengelolaan hasil 

kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank, karena penggunaan bank sangat 

diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-usul sumber dana. Selain hal tersebut perlu 

dicermati berlakunya System Real Time Gross Settlement (RTGS) pada transaksi transfer 

dana antar bank, karena dalam hitungan detik pelaku kejahatan dapat dengan mudah 

memindahkan dana hasil kejahatannya.  Demikian juga  penggunaan media pembayaran 

yang bersifat elektronik lebih sulit dilacak, terutama apabila dana tersebut masuk ke dalam 

sistem perbankan di negara yang ketat dalam menerapkan ketentuan rahasia bank. 

Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan 

membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang. 

 

 

1. Pencucian uang dimulai dengan adanya transaksi keuangan, bahkan dalam 

transaksi tersebut terdapat transaksi keuangan yang mencurigakan 

2. Transaksi keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, 

penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, 

 

sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan 

dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. 

3. Pencucian uang adalah merupakan  metode untuk menyembunyikan, memindahkan, 

dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, 

tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan 

lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. 

4. Perbuatan, sanksi pidana dan denda dalam tindak pidana pencucian uang diatur 

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak 

Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) pasal 3 sampai dengan pasal 10. 

5. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, dijelaskan 

dalam pasal 11 sampai dengan 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang 

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) 

6. Proses pencucian uang  dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan yaitu tahap 

penempatan, tahap penyebaran dan tahap pengumpulan 

7. Institusi perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat terkait dengan 

masalah pencucian uang.   

8. Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan 

membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian 

uang. 

 

 

 

Share:

cuci uang 2

 




 

Berbagai kejahatan terorganisir, baik yang dilakukan 

perseorangan maupun oleh sekumpulan orang dalam ruang lingkup 

batas suatu negara kini semakin meningkat. Kejahatan tersebut 

dilakukan secara terorganisir dengan keterkaitan berbagai pihak. 

Bahkan, keberadaan batas teritorial kini bukan lagi halangan bagi 

perkembangan kejahatan tersebut. Mulai terkikisnya batasan-

batasan teritorial suatu wilayah berbanding terbalik dengan 

keragaman bentuk kejahatan. Keadaan ini melahirkan bentuk 

kejahatan terorganisir berskala internasional tanpa terikat pada 

batas kewilayahan. Bentuk kejahatan ini dikenal dengan kejahatan 

terorganisir lintas batas negara (transnational organized crime). 

Menurut Michael Woodiwiss (Edwards dan Gill, 2004, h.13), yang 

dimaksud sebagai kejahatan terorganisir lintas batas negara adalah 

                                                

kejahatan yang dilakukan secara terorganisir dan telah berkembang 

meliputi beberapa bagian dunia, tanpa terikat pada batas-batas 

kewilayahan suatu negara atau kolektifitas masyarakat internasional. 

Kejahatan terorganisir lintas batas negara ini tak mudah untuk 

dideteksi karena memiliki sistem organisasi yang rapi, melibatkan 

banyak pihak dengan sokongan modal yang besar dan tidak 

mengenal batasan kewilayahan (Shanty, 2008).   

Kejahatan yang dimaksud meliputi perdagangan narkoba, 

perdagangan manusia, penyuapan, perjudian, perdagangan gelap 

senjata, kegiatan terorisme, korupsi, kejahatan di bidang perbankan, 

kejahatan di bidang lingkungan, dan berbagai kejahatan lainnya 

yang terorganisir, diselundupkan dan diperdagangkan secara rapi, 

melibatkan modal besar, serta mengindikasikan adanya 

penyalahgunaan kekuasaan dari berbagai pihak , aktivitas kejahatan 

lintas batas negara yang terorganisir meliputi tujuh bentuk yaitu 

perdagangan narkoba, perdagangan senjata, penyelundupan 

senjata pemusnah massal, perdagangan manusia dan bagian tubuh 

manusia, pencucian uang, kejahatan komputer dan infiltrasi ke 

dalam bisnis legal. 

Keberlangsungan kejahatan lintas batas negara ini bertumpu 

pada keberadaan modal besar yang berperan sebagai penyokong 

sistem finansial kejahatan tersebut. Live bloods of the crime atau 

darah yang menghidupi kejahatan itu sendiri adalah istilah yang 

merefleksikan bentuk kejahatan ini. Hasil kejahatan merupakan 

darah yang menghidupi para pelaku yang harus disita oleh negara 

agar kejahatan tersebut tidak berkembang. Disamping itu, hasil 

kejahatan ini berperan sebagai mata rantai yang paling lemah dalam 

suatu rangkaian tindak pidana ,  

Perubahan cara pandang terhadap kejahatan ini menghasilkan 

perkembangan baru dalam kajian kriminologis. Yaitu dengan 

ditemukenalinya bentuk kejahatan yang mampu memanipulasi atau 

mengubah hasil kejahatan (ilegal) menjadi hasil yang sah (legal) . Objek dari kegiatan tersebut merupakan uang. 

Hasil kejahatan disebut dengan uang kotor atau uang ilegal (dirty 

money atau illegal money). Sedangkan perubahan hasil kejahatan 

tersebut ke dalam bentuk hasil yang sah dikenal dengan uang bersih 

atau uang legal (clean money atau legal money) 

Kemudian, hal ini dikenal sebagai kegiatan pencucian uang. Atau 

yang lebih dikenal dengan istilah money laundering. 

Lucky, Pola pencucian uang hasil perdagangan narkoba dan pembalakan liar

Kelahiran rezim hukum internasional anti pencucian uang 

dilatarlakangi oleh rasa frustrasi masyarakat dunia terkait upaya 

memberantas kejahatan perdagangan narkoba yang telah mencapai 

titik nadir (Husein, 2004). Tingginya tingkat perdagangan narkoba 

berbanding lurus dengan tingkat pengkonsumsian narkoba oleh 

masyarakat internasional.  Dan kehadiran rezim anti pencucian uang 

menjadi ujung tombak dalam memberantas kejahatan perdagangan 

narkoba (Grosse, 2001; van Duyne dan Levi, 2005). Fokusnya tidak 

lagi menangkap para pelakunya (follow the suspect), melainkan 

mengarah pada penyitaan dan perampasan harta kekayaan yang 

dihasilkan,

Kejahatan perdagangan gelap narkoba memiliki kaitan erat 

dengan proses pencucian uang. Dalam Note of the Secretary-

General of the United Nations (1992) terdapat pernyataan bahwa 

kegiatan perdagangan narkoba merupakan bagian dari kejahatan 

terorganisir dan pencucian uang adalah cara untuk memanipulasi 

hasilnya  Kasus mafia internasional, Al Capone 

merupakan contoh klasik dari kegiatan pencucian uang yang berasal 

dari bisnis perdagangan narkoba. Kini perkembangan perdagangan 

narkoba di beberapa negara bahkan mencatat hasil yang 

mencengangkan. Gerard Wyrsch (1990) mengungkapkan bahwa 

pencucian uang yang berasal dari bisnis narkotika di Amerika Serikat 

diperkirakan mencapai 100 hingga 300 miliar USD pertahunnya. 

Sedangkan, di Eropa berkisar antara 300 sampai 500 miliar USD 

pertahunnya. Selang 10 tahun kemudian, Financial Action Task 

Force (FATF) dalam Annual Report tahun 2000-2001 

memperkirakan bahwa dari 600 miliar sampai satu triliun USD uang 

yang dicuci pertahunnya, sebagian besar berasal dari bisnis 

perdagangan gelap narkoba (FATF-GAFI, 2002). Bahkan untuk 

merefleksikan hal ini, van Duyne dan Levi (2005, h.106) 

mengungkapkan bahwa munculnya berbagai ancaman yang 

menjangkiti bidang ekonomi dan politik diduga berasal dari ratusan 

juta USD hasil perdagangan narkoba. Hingga dikenal istilah narco-

dollar, narco-euro atau narco-pounds. 

Jika perdagangan narkoba dianggap sebagai asal dari kegiatan 

pencucian uang maka pada beberapa tahun belakangan ini 

pencucian uang telah merambah berbagai macam bentuk kejahatan 

lainnya. Salah satu kejahatan yang telah menyita perhatian dunia 

adalah kejahatan di bidang kehutanan. Ancaman serius yang 

dihadapi sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup adalah 

kejahatan di bidang kehutanan berupa illegal destructive fishing, 

destructive mining, illegal logging, perburuan dan perdagangan 

satwa yang dilindungi Dari berbagai bentuk 

kejahatan dalam bidang kehutanan di atas, maka yang menjadi 

sorotan utama dalam penelitian ini adalah pencurian kayu atau 

penebangan pohon tanpa izin. Dalam beberapa literatur, istilah yang 

digunakan untuk mendeskripsikan kegiatan ini adalah pembalakan 

liar atau yang lebih dikenal dengan istilah illegal logging 

Permasalahan 

Penelitian ini memfokuskan permasalahan pada pola pencucian 

uang hasil perdagangan narkoba dan pembalakan liar. Hal ini 

mencakup pembandingan dan trend perkembangan pola pencucian 

uang hasil perdagangan narkoba dan pembalakan liar. 

Pembandingan pola pencucian uang dilakukan atas asumsi bahwa 

masing-masing pola pencucian uang tersebut memiliki karakteristik 

tersendiri yang menjadi ciri khas kegiatannya, meliputi berbagai 

kegiatan yeng termasuk ke dalam fase placement, layering dan 

integration. Pembandingan ini menjadi penting dilakukan untuk 

mengetahui predicate crimes uang ilegal dalam pencucian uang. 

Sehingga, dapat diketahui apakah uang ilegal tersebut berasal dari 

hasil perdagangan narkoba atau pembalakan liar. Keberadaan uang 

dalam perdagangan narkoba dan pembalakan liar berperan sebagai 

financial lifeblood sebagai sumber keberlangsungan kehidupan 

kejahatan asal.  

Berdasarkan hasil pembandingan tersebut, maka langkah 

selanjutnya adalah memprediksi trend perkembangan pola 

pencucian uang hasil perdagangan narkoba dan pembalakan liar. 

Trend perkembangan ini meliputi keragaman pola pencucian uang 

hasil perdagangan narkoba dan pembalakan liar, seperti sarana 

penempatan uang ilegal, berbagai pihak yang terkait dalam kegiatan 

melapisi uang tersebut dan keragaman bisnis atau kegiatan yang 

dilakukan untuk menyatukan kembali uang tersebut kepada 

pemiliknya. Tanpa melakukan pembandingan dan memprediksi trend 

perkembangan tersebut, maka akan sulit melakukan penegakan 

hukum terhadap pencucian uang hasil perdagangan narkoba dan 

pembalakan liar. 

 


mengungkapkan rangkaian kegiatan pencucian uang mencakup 

serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terorganisir meliputi 

kegiatan menempatkan sejumlah uang hasil kejahatan ke dalam 

sistem keuangan melalui penyedia jasa keuangan (PJK), melapisi 

uang tersebut melalui berbagai transaksi keuangan guna 

mengaburkan asal usulnya dan menyatukannya kembali dalam 

bentuk investasi pada bisnis yang sah dalam satu kurun waktu 

tertentu. 

Tak jauh berbeda dengan pendapat Lilley, Lamberto Dini dalam 

tulisannya yang berjudul The Problem and its Diverse Dimensions 

(Savona, 2005, h.3) mengungkapkan pencucian uang sebagai, 


kegiatan pencucian uang diungkapkan secara lebih rinci meliputi tiga 

hal yaitu: 

menempatkan uang 

tunai hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan melalui mekanisme 

dan instrumen PJK. Setelah memasuki sistem keuangan, maka fase 

berikutnya adalah layering. Kegiatan ini sangat rumit karena 

didasarkan pada upaya untuk memecah uang ilegal melalui berbagai 

macam transaksi keuangan terkait frekuensi, volume dan 

kompleksitas. Langkah yang terakhir adalah menyatukan kembali 

seluruh uang yang telah terpecah ke berbagai transaksi keuangan 

pada fase layering ke dalam bisnis legal. Kegiatan ini disebut juga 

sebagai integration. 

Berdasarkan berbagai penjelasan diatas, maka pola pencucian 

uang terbagi atas tiga fase yaitu placement, layering dan integartion. 

karakteristik  dari rangkaian kegiatan pencucian uang yang dilakukan 

secara terorganisir dan berulang-ulang meliputi: penempatan 

(placement) uang ke dalam sistem keuangan melalui mekanisme 

dan instrumen dari lembaga keuangan (PJK); melapisinya (layering) 

ke dalam berbagai transaksi keuangan dan menyatukannya kembali 

(integration) melalui investasi ke dalam bisnis atau kegiatan yang 

sah; dan berlangsung dalam kurun waktu dan batasan wilayah 

´ 

narkoba adalah kegiatan memasarkan atau memperdagangkan 

narkoba, baik melalui jalur darat dan laut, yang tergolong sebagai 

kejahatan terorganisir lintas batas negara meliputi sistem 

transportasi, distribusi dan akuntansi dengan jumlah perputaran 

uang yang berada pada price level of expensive places dan high-end 

Lucky, DJangan narkoba yaitu rangkaian 

kegiatan pencucian uang hasil perdagangan narkoba, meliputi 

kegiatan menempatkan uang hasil perdagangan narkoba ke dalam 

sistem keuangan melalui mekanisme dan instrumen PJK, 

melapisinya ke dalam berbagai transaksi keuangan guna 

menyulitkan pendeteksian sumber uang tersebut dan 

menyatukannya kembali melalui investasi ke dalam bisnis atau 

kegiatan sah yang dilakukan secara terorganisir dan berulang-ulang 

serta mampu melintasi batas-


 

Pencucian Uang Hasil Pembalakan Liar 

Pembalakan liar merupakan serangkaian kegiatan ilegal atau 

melanggar hukum yang melibatkan perusahaan dan meliputi 

i. Tahap perencanaan 

 Tahap perencanaan merupakan awal dari kegiatan pembalakan 

liar yang berupa pembuatan surat Hak Pengusahaan Hutan 

(HPH) hingga Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) 

secara ilegal. Selain itu, usaha dilakukan juga usaha pendekatan 

terhadap pemimpin masyarakat lokal, pejabat pemerintah 

(khusunya di bidang kehutanan) dan aparat penegak hukum 

(polisi dan petugas kehutanan). 

ii. Tahap pembalakan 

 Pembalakan dilakukan secara ilegal oleh para pembalak liar 

yang pada umumnya berasal dari masyarakat lokal. Para 

pembalak liar ini disebut sebagai pelaku lapangan. 

iii. Tahap transportasi dan distribusi 

 Tahap transportasi merupakan proses pengangkutan hasil 

pembalakan liar (illegal timber), baik melalui jalur darat dengan 

menggunakan truk maupun melewati jalur perairan dengan kapal 

laut atau menggunakan aliran sungai. Kemudian kayu-kayu 

ilegal tersebut didistribusikan ke negara-negara tujuan (pembeli 

kayu). Tahap ini memerlukan peran serta dari aparat penegak 

hukum (petugas bea cukai) pada titik-titik pemeriksaan kayu 

guna memperlancar transportasi kayu ilegal untuk kemudian 

didistribusikan kepada pembeli kayu. 

iv. Tahap perdagangan 

 Setelah melalui berbagai tahapan diatas, maka dilakukan 

perdagangan berupa proses jual beli kayu hasil pembalakan liar 

antara penyokong dana dengan pembeli kayu. Proses ini 

dilakukan melalui perantara PJK dan melewati batas-batas 

hukum suatu negara. 

pencucian uang hasil pembalakan liar adalah rangkaian kegiatan 

pencucian uang hasil pembalakan liar yang dilakukan secara 

terorganisir dan berulang-ulang, meliputi kegiatan menempatkan 

uang hasil pembalakan liar ke dalam sistem keuangan melalui 

mekanisme dan instrumen lembaga keuangan dan lembaga non-

keuangan, melapisinya ke dalam berbagai transaksi keuangan guna 

menyulitkan pendeteksian sumber uang tersebut dan 

menyatukannya kembali melalui investasi ke dalam bisnis yang sah, 


 

Pola Pencucian Uang Hasil Perdagangan Narkoba 

Pada fase placement, uang hasil perdagangan narkoba 

dimasukkan ke dalam sistem keuangan dengan penempatan melalui 

lembaga perbankan (Finckenauer, 2007; Lilley, 2006; Block & 

Weaver, 2004; Reuter & Truman, 2004). Uang tersebut adalah hasil 

dari perdagangan narkoba dalam bentuk tunai. Uang inilah yang 

kemudian dimasukkan ke dalam sistem keuangan melalui lembaga 

perbankan. Lembaga perbankan yang menjadi tempat penyimpanan 

uang hasil perdagangan narkoba adalah bank-bank di luar negeri 

yang tergolong beresiko tinggi (high risk foreign banks). High risk 

foreign banks menjadi sarana penempatan uang hasil perdagangan 

narkoba dikarenakan memiliki mekanisme dan instrumen keuangan, 

antara lain ): 

i. rekening tanpa nama (anonymous bank account); 

ii. layanan internet banking dan phone banking; 

iii. kartu ATM dan kartu kredit; 

iv. ketersediaan layanan perbankan di mana pun; 

v. penarikan tunai tanpa batasan; dan 

vi. transfer keuangan tanpa perlu menyertakan nama pengirim 

(anonymity). 

 

Fase layering dalam pencucian uang hasil perdagangan narkoba 

dilakukan untuk melapisi, memecah atau mengaburkan uang hasil 

perdagangan narkoba yang terdapat dalam sistem keuangan agar 

sulit untuk dideteksi. Kegiatan layering dalam pencucian uang hasil 

perdagangan narkoba antara lain smurfing, money changer dan 

membeli portofolio saham di pasar bursa. 

i. Smurfing 

Smurfing merupakan kegiatan mentransfer sejumlah uang ke 

berbagai rekening lain yang terdapat di bank dalam atau luar 

negeri (Reuter dan Truman, 2004, h.30). Sejumlah uang hasil 

perdagangan narkoba dari para pedagang (retail dealer atau 

street dealer) disetorkan kepada pelaku utama perdagangan 

narkoba melalui cartel financial manager (Grosse, 2001, h.5). 

Uang tersebut disetorkan dalam bentuk tunai dan ditempatkan 

ke dalam sistem keuangan melalui lembaga perbankan. 

Kemudian, uang hasil perdagangan narkoba yang telah 

terkumpul dipecah ke berbagai pecahan tunai lainnya yang 

ditujukan kepada para smurf. Selanjutnya, para smurf ini-lah 

yang melapisi uang pecahan hasil perdagangan narkoba dengan 

mengkreditnya ke berbagai rekening di beberapa bank. Uang 

tersebut dikreditkan dengan jumlah yang tidak jauh berbeda. 

ii. Money changer 

 Money changer dalam pencucian uang hasil perdagangan 

narkoba adalah kegiatan menukarkan sejumlah uang hasil 

perdagangan narkoba dengan mata uang asing. Mata uang 

asing yang banyak digunakan oleh para pelaku perdagangan 

narkoba adalah USD (Novian, 2009). Modus money changer ini 

mencakup kegiatan, yaitu sejumlah uang hasil perdagangan 

narkoba dalam jumlah besar yang terdapat dalam sistem 

keuangan di lembaga perbankan ditukarkan dengan mata uang 

asing. Pembelian mata uang asing tersebut melalui layanan dan 

instrumen transaksi keuangan elektronik yang disediakan 

lembaga perbankan. Kemudian, terjadilah transaksi antara uang 

hasil perdagangan narkoba yang menggunakan mata uang lokal 

tersebut yang ditukar dengan sejumlah uang bermata uang 

asing. Akibatnya, terdapat perbedaan nilai mata uang yang telah 

ditukarkan tersebut. Kasus money changer dalam kegiatan 

pencucian uang hasil perdagangan narkoba marak terjadi di 

Kolombia, Panama dan Indonesia (Grosse, 2001). 

iii. Membeli portofolio saham 

 Pasar bursa merupakan sarana pencucian uang yang cukup 

efektif (Lilley, 2006, h.69). Menurut Freddy R. Saragih, hal ini 

dikarenakan, berbagai investor, baik dalam dan luar negeri dapat 

melakukan beragam transaksi keuangan di bursa saham 

(Yuhassarie, 2004, h.212). Uang hasil perdagangan narkoba 

ditransfer kepada broker untuk kemudian dikelola dalam bursa 

saham. Uang tersebut digunakan untuk membeli sejumlah 

portofolio saham yang berasal dari perusahaan-perusahaan 

Lucky, Pola pencucian uang hasil perdagangan narkoba dan pembalakan liar  169 

yang dicap infamous companies. Selain itu, perusahaan-

perusahaan tersebut tergolong sebagai red flags atau dotcom 

companies.  

 

Integration sebagai kegiatan akhir dalam proses pencucian uang 

hasil perdagangan narkoba tidak lagi memiliki hubungan yang 

langsung dengan kajahatan asal-nya. Terdapat tiga alasan 

melakukan bisnis integration dalam pencucian uang hasil 

perdagangan narkoba yaitu (Lilley, 2006, h.73): 

ƒ Berusaha untuk tidak melibatkan banyak orang dalam bisnis 

tersebut; 

ƒ Memiliki staf bisnis yang memiliki kecakapan kerja; dan 

ƒ Mencipatakan bisnis yang bergerak dalam bidang perdagangan 

dan memiliki nilai produksi yang murah. 

 

Integration dalam pencucian uang hasil perdagangan narkoba 

berupa investasi pada bisnis restoran, hiburan, olah raga dan 

properti (real-estate). 

i. Investasi pada bisnis restoran 

 Bisnis restoran merupakan bisnis yang telah lama dijalankan 

oleh para mafia Italia di Amerika Serikat (Finckenauer, 2007).. 

Bisnis restoran tersebut berupa restoran pizza atau masakan 

khas Italia lainnya. Selain itu, menurut Savona dan De Foe 

(Savona, 2005, h.17) para pelaku perdagangan narkoba di Cina 

dan Jepang pun memiliki bisnis serupa. 

ii. Investasi pada bisnis hiburan 

 Bisnis hiburan meliputi casino, pacuan kuda dan lotere (Reuter& 

Truman, 2004, h.28-29). Bisnis casino adalah bisnis yang marak 

dilakukan oleh para pelaku perdagangan narkoba (Savona, 

2005, h.25). Perputaran uang yang cepat menjadi alasannya. 

Akan tetapi, bisnis perjudian ini hanya dapat dilakukan di negara 

yang melegalkannya. 

iii. Investasi pada bisnis olah raga 

 Investasi yang dilakuan pelaku perdagangan narkoba yang 

berasal dari Kolombia ditujukan pada bisnis olah raga, yaitu 

kepemilikan America soccer team (Lilley, 2006, h.74). Tak hanya 

itu, bisnis penjualan alat olah raga juga menjadi tempat 

penyatuan kembali uang hasil perdagangan narkoba. 

iv. Investasi pada bisnis properti (real-estate) 

 Bisnis dalam bidang properti dilakukan dengan cara membeli 

real-estate melalui perusahaan afiliasi. Kemudian, pelaku 


perdagangan narkoba membeli real-estate tersebut dengan 

harga yang murah dan menjualnya kembali dengan harga pasar 

Berikut ini skema pola pencucian uang hasil perdagangan 

narkoba:  

 

 

Pola Pencucian Uang Hasil Pembalakan Liar 

PJK yang digunakan dalam kegiatan placement hasil pembalakan 

liar dapat berupa lembaga perbankan atau lembaga asuransi. Selain 

menggunakan PJK, dalam fase placement pencucian uang hasil 

pembalakan liar terdapat kegiatan dengan melibatkan lembaga non-

keuangan, yaitu kegiatan menyelundupkan uang hasil pembalakan 

liar dengan menggunakan perantara kurir (cash courier).  

i. Mengkredit rekening di bank 

 Lembaga perbankan adalah kekuatan utama dalam 

memfasilitasi pencucian uang hasil pembalakan liar (Setiono dan 

Husein, 2005). Uang hasil pembalakan liar dalam bentuk tunai 

ditempatkan ke dalam sistem keuangan melalui lembaga 

perbankan dengan mekanisme mengkredit rekening di bank 

ii. Membeli polis asuransi jiwa 

 Selain lembaga perbankan, kegiatan menempatkan uang hasil 

pembalakan liar kedalam sistem keuangan dapat menggunakan 

lembaga asuransi (Srikandi, 2009). Instrumen keuangan yang 

menjadi celah kegiatan placement hasil pembalakan liar adalah 

dengan membeli polis asuransi jiwa. Modus yang dilakukan para 

penyokong dana adalah dengan membeli polis asuransi jiwa 

dalam jumlah yang besar. Kemudian, dalam kurun waktu yang 

singkat, polis asuransi jiwa tersebut dibatalkan. Konsekuensi dari 

kegiatan ini berupa hukuman (penalty) pemotongan biaya 

administrasi oleh lembaga asuransi.  

iii. Cash courier 

 Penyelundupan sejumlah uang tunai hasil pembalakan liar 

dalam fase placement tergolong sebagai kegiatan yang 

dianggap tradisional dalam pencucian uang. Penyelundupan 

dilakukan dengan menggunakan jasa kurir yang akan membawa 

sejumlah uang ke luar negeri, baik melalui jalur darat, laut 

maupun udara (Savona, 2005, hal. 24). Cara ini tergolong efektif 

untuk menghindari pendeteksian dalam sistem keuangan. 

 

Setelah uang hasil pembalakan liar ditempatkan ke dalam sistem 

keuangan maka langkah selanjutnya adalah melapisi, memindahkan 

atau mengubah uang tersebut melalui berbagai transaksi keuangan 

yang kompleks. Para pelaku utama pembalakan liar akan berusaha 

mengaburkan atau memecah uang ilegal hasil pembalakan liar 

melalui berbagai kegiatan pelapisan meliputi smurfing, transfer 

pricing dan money changer. 

i. Smurfing 

 Melakukan kegiatan mentransfer uang hasil pembalakan liar ke 

berbagai rekening di bank yang terdapat di dalam atau luar 

negeri merupakan salah satu cara untuk melapisi uang tersebut. 

Mekanisme dan instrumen yang ditawarkan lembaga perbankan 

memberikan celah untuk melakukan smurfing. Mekanisme dan 

instrumen keuangan tersebut antara lain investment banking, 

currency exchange, commodities broking, cash management, 

letters of credit, confidential numbered accounts, arbitrage, issue 

of financial guarantees; third-party loans; trust formation;sale and 

exchange of investments; dan export and trade funding 

ii. Transfer pricing 

Pengalihan pendapatan (transfer pricing) adalah kemampuan 

pelaku utama pembalakan liar untuk mentransfer pendapatan 

hasil kayu mereka ke perusahaan-perusahaan afiliasi yang 

beresiko dan berjurisdiksi tinggi. Perusahaan afiliasi ini dapat 

berbentuk shell company atau paper company. Shell company 

merupakan bentuk perusahaan afiliasi laiaknya perusahaan 

cabang. Sedangkan, paper company adalah perusahaan afiliasi 

fiktif atas dasar surat-surat lisensi bisnis semata (Srikandi, 

2009). Modus kegiatan transfer pricing adalah untuk 

menyembunyikan keuntungan yang ditransfer ke dalam bentuk 

pinjaman kepada perusahaan-perusahaan afiliasi (dengan dalih 

kredit macet); menyembunyikan keuntungan yang ditransfer 

melalui pembelian saham di perusahaan afiliasi; dan 

menyembunyikan keuntungan yang ditransfer melalui pembelian 

kayu yang dipasok oleh perusahaan afiliasi dengan harga yang 

telah di mark up .

iii. Money changer 

 Uang hasil pembalakan liar dalam bentuk mata uang lokal 

ditukarkan dengan mata uang asing. Pada umumnya, mata uang 

asing tersebut berupa USD (Novian, 2009). 

 

Integration hasil pembalakan liar meliputi kegiatan investasi pada 

perkebunan kelapa sawit; industri bubur kayu (pulp) dan kertas; dan 

industri penggergajian kayu (sawmill). 

i. Investasi pada bisnis perkebunan kelapa sawit 

 Perkebunan kelapa sawit mampu memberi keuntungan karena 

memiliki nilai ekonomis yang tinggi sebagai penghasil minyak 

kelapa sawit (crued palm oil/ CPO) dan merupakan salah satu 

komoditi perdagangan dunia yang mahal harganya (Glastra, 

1999).  

ii. Investasi pada industri bubur kayu (pulp) dan kertas 

 Industri pulp merupakan kegiatan mengolah kayu hasil 

pembalakan liar untuk kemudian diproduksi kembali menjadi 

kertas atau barang lainnya. Modus industri pulp ini antara lain 

dengan mencampur kayu hasil pembalakan liar dengan kayu 

legal untuk diolah dalam industri yang sama 

iii. Industri penggergajian kayu (sawmill) 

 Uang hasil pembalakan liar diinvestasikan pada industri sawmill 

yang memiliki perizinan legal. Kemudian, jika telah dicurigai 

memiliki modal yang berasal dari uang hasil pembalakan liar 

maka industri tersebut memiliki dalih bahwa mereka mempunyai 

izin untuk menjalankan kegiatannya .


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  Berdasarkan hasil pembandingan pola pencucian uang hasil 

perdagangan narkoba dan pembalakan liar diatas maka berikut ini 

peneliti sajikan tabel pembandingan pola pencucian uang hasil 

perdagangan narkoba dan pembalakan liar: 

 

Uang hasil 

pembalaka

n liar 

Menempatka

n uang tunai  

di bank 

 

PLACEM

Membeli 

polis 

asuransi 

Cash 

courier 

S

m

u

r

f

i

n

Transf

er 

pricin

Smurf  Smurf  Smu

rf  

Ban

k  

Ban

k  

Ban

k  

Ban

k  

Ban

k  

Perusaha

an 

Nasa

bah 

beresi

PLACEM

Industri pulp 

dan kertas 

Industri sawmill  Perkebunan 

kelapa sawit 

LAYERIN

LAYERIN

INTEGRATI INTEGRATI

Mata 

uang 

lokal 

USD 

M

o

n

e

 

c

h

a

n

g

e

r

  

Lucky, Pola pencucian uang hasil perdagangan narkoba dan pembalakan liar  175 

Tabel Pembandingan Pola Pencucian Uang Hasil Perdagangan 

Narkoba dan Pembalakan Liar 

Fase 

Pola Pencucian Uang 

Hasil Perdagangan 

Narkoba 

Pola Pencucian Uang Hasil 

Pembalakan Liar 

Kegiatan Kegiatan 

Placement Mengkredit rekening di bank 

Mengkredit rekening di bank 

Membeli polis asuransi jiwa 

Cash courier 

Layering 

Smurfing Smurfing 

Money changer Money changer 

Membeli portofolio saham Transfer pricing 

Integration 

Diinvestasikan pada bisnis 

restoran 

Diinvestasikan pada binis 

perkebunan kelapa sawit 

Diinvestasikan pada bisnis 

hiburan 

Diinvestasikan pada industri 

pulp dan kertas 

Diinvestasikan pada bisnis 

olah raga Diinvestasikan pada industri 

sawmill Diinvestasikan pada bisnis 

properti (real-estate) 

 

Terlihat bahwa kegiatan mengkredit rekening di bank menjadi 

satu-satunya kegiatan pada fase placement pola pencucian uang 

hasil perdagangan narkoba. Sedangkan, pada pola pencucian uang 

hasil pembalakan liar selain mengkredit rekening di bank, terdapat 

pula kegiatan membeli polis asuransi jiwa dan cash courier. Pada 

pola pencucian uang hasil perdagangan narkoba, uang yang 

dihasilkan pada umumnya berbentuk tunai. Sedangkan, pada 

pembalakan liar pembayaran atas perdagangan kayu hasil 

pembalakan liar menggunakan pentransferan. Alasanya, karena 

kayu tidak seperti obat-obatan terlarang, mudah terlihat dan untuk 

membawa kayu dari daerah terpencil ke kota besar di mana kayu 

tersebut dikonsumsi, harus melewati titik-titik pemeriksaan 

pemerintah. Sehingga, cara mentransfer uang dari pembeli menjadi 

lebih efektif dari pada pembayaran secara tunai. 

Pada fase layering, baik pola pencucian uang hasil perdagangan 

narkoba dan pembalakan liar, keduanya terdiri atas tiga kegiatan. 

Smurfing dan money changer merupakan kegiatan yang terdapat 

diantara keduanya. Sementara itu, pada fase layering pola 

pencucian uang hasil perdagangan narkoba terdapat kegiatan 

Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.II Agustus 2010 : 159 ± 181 176 

membeli portofolio saham. Sedangkan, pada pola pencucian uang 

hasil pembalakan terdapat kegiatan transfer pricing. Uang hasil 

perdagangan narkoba digunakan untuk membeli portofolio saham 

karena bursa saham dinilai aman untuk melakukan pencucian uang. 

Sementara itu, keterlibatan perusahaan fiktif dalam pembalakan liar 

menjadi penting untuk melaksanakan transfer pricing. Terlihat bahwa 

kedua pencucian uang tersebut menggunakan peran serta pihak 

ketiga, berupa broker dan perusahaan afiliasi untuk membantu 

melapisi uang ilegal. 

Di fase integration, pola pencucian uang hasil perdagangan 

narkoba terdiri atas kegiatan investasi pada bisnis restoran, hiburan, 

olah raga dan properti (real-estate). Sedangkan, kegiatan pola 

pencucian uang hasil pembalakan liar yang tergolong fase layering 

adalah investasi pada bisnis perkebunan kelapa sawit, industri pulp 

dan sawmill. Pada pola pencucian uang hasil perdagangan narkoba, 

integration ditujukan pada bisnis yang tidak memiliki hubungan 

dengan predicate crime. Namun, integration pada pembalakan liar 

memiliki kaitan dengan bisnis yang bergerak di bidang kehutanan. 

 

Trend Perkembangan  

Pertama, perkembangan dalam hal semakin terpisahnya 

kejahatan asal dengan kegiatan pencucian uang. Kemajuan 

teknologi dan perkembangan globalisasi semakin menciptakan 

berbagai celah dalam sistem keuangan yang meningkatkan semakin 

beragamnya kegiatan pencucian uang. Hal ini mengakibatkan 

terdapat jurang pemisah antara bentuk kejahatan asal dengan 

berbagai kegiatan pencucian uang. Perdagangan narkoba dan 

pembalakan liar merupakan bentuk kejahatan asal, sedangkan 

kegiatan yang terdapat dalam fase placement, layering dan 

integration tergolong sebagai kegiatan pencucian uang. Merujuk 

pada pernyataan ini, maka perdagangan narkoba dan pembalakan 

liar akan terpisah dengan kegiatan pencucian uang hasil 

perdagangan narkoba dan pembalakan liar. Akibatnya, pendeteksian 

terhadap perdagangan narkoba dan pembalakan liar sebagai 

predicate crime akan semakin sulit. Sebaliknya, dengan sulitnya 

pendeteksian tersebut maka pencucian uang hasil perdagangan 

narkoba dan pembalakan liar dapat dengan mudah dilaksanakan. 

Kedua, kini pencucian uang memiliki keterkaitan erat dengan 

profesi lain. Profesi tersebut antara lain berupa pengacara, notaris, 

akuntan, lembaga pegadaian, broker asuransi dan broker saham. 

Sejalan dengan hal tersebut, Savona dan De Feo (Savona, 2005, 

Lucky, Pola pencucian uang hasil perdagangan narkoba dan pembalakan liar  177 

hal. 21) mengemukakan pendapat serupa bahwa keberadaan para 

profesional tersebut membuat pencucian uang hasil kejahatan 

menjadi semakin mudah.  

Ketiga, kegiatan pencucian uang kini tidak lagi dilakukan tanpa 

adanya keterkaitan dengan pihak lain, baik dengan pelaku kejahatan 

lainnya atau dengan pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum. 

Artinya, para pelaku pencucian uang dan organisasi kejahatan 

lainnya memiliki hubungan satu sama lain dan menjalin hubungan 

baik dengan para pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum. 

Pencucian uang hasil perdagangan narkoba tidak saja menjalin 

hubungan dengan para pelaku lainnya atau pejabat pemerintah dan 

aparat penegak hukum saja, tetapi turut berpartisipasi dalam 

berdirinya lembaga perbankan yang tergolong high risk foreign 

banks di wilayah offshore financial centers (Savona, 2001). 

Sedangkan, pada pencucian uang hasil pembalakan liar, hubungan 

tersebut dalam bentuk perusahaan-perusahaan afiliasi yang 

kepemilikannya merujuk pada para penyokong dana. Selain itu, 

pada pembalakan liar terdapat istilah goodwill atau uang pelicin yang 

diberikan kepada para oknum pemerintahan dan aparat penegak 

hukum. 

Kombinasi hubungan ini akan menciptakan pola pencucian uang 

hasil perdagangan narkoba dan pembalakan liar yang semakin 

rumit. Alasannya, karena rantai hubungan tersebut memiliki 

keterkaitan erat dan saling menguntungkan (van Duyne dan Levi, 

2005). Analoginya adalah semakin erat dan luas hubungan antar 

pelaku pencucian uang hasil perdagangan narkoba dan pembalakan 

liar, maka akan semakin rumit dan sulit terdeteksi. Namun 

sebaliknya, tanpa memiliki hubungan yang erat dan luas antara 

pelaku, maka akan semakin rapuh dan mudah terdeteksi pencucian 

uang yang diduga hasil perdagangan narkoba dan pembalakan liar. 

 

 


Share:

PHK

 



Hubungan antara pengusaha dengan pekerja di lingkungan tempat kerja 

dikenal dengan istilah hubungan kerja. Hubungan kerja ini merupakan dasar 

utama dalam ketenagakerjaan yang menyebabkan lahirnya hak dan kewajiban 

antara pengusaha dengan pekerja. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 13 

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengaturan mengenai hubungan 

kerja.1 Hubungan kerja sebagai hubungan hukum lahir karena adanya perjanjian 

kerja yang disepakati antara pengusaha dan pekerja.2 Keberadaan perjanjian 

kerja ini  penting karena tidak hanya sebagai dasar lahirnya hubungan 

kerja, namun juga sebagai dasar yang menggariskan hak dan kewajiban pekerja 

terhadap pengusaha, dan sebaliknya.

Sebagaimana suatu bentuk hubungan yang lain, hubungan kerja memiliki 

kemungkinan untuk terputus. Terputusnya hubungan kerja antara pengusaha 

dan pekerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan disebut sebagai Pemutusan 

Hubungan Kerja (PHK).4 PHK dapat terjadi karena beberapa hal, yakni karena 

PHK demi hukum seperti dalam hal pekerja memasuki masa pensiun atau pekerja 

meninggal dunia, atau PHK dari sisi pekerja, yakni ketika pekerja mengundurkan 

diri (resign), serta PHK dari sisi pengusaha, yakni ketika pengusaha memutuskan 

hubungan kerja karena sebab tertentu.

PHK diatur secara khusus dalam Bab XII UU Ketenagakerjaan. Pengaturan 

mengenai PHK ini merupakan bagian dari pengejawantahan negara Indonesia 

sebagai penganut sistem welfare state atau tipe negara kesejahteraan, di mana 

negara melalui pemerintah banyak melakukan campur tangan pada berbagai 

urusan warga negaranya untuk melindungi pihak yang lebih lemah. Termasuk 

dalam bidang ketenagakerjaan, UU Ketenagakerjaan dibuat untuk melindungi 

pekerja sebagai pihak yang posisinya lebih lemah.5 Hal ini penting mengingat jika 

berbicara mengenai hak-hak pekerja, maka berarti membicarakan hak-hak asasi,

yang dalam kaitannya dengan PHK yakni hak-hak untuk mendapatkan pekerjaan 

dan penghidupan yang layak sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI Tahun 

1945.7 Untuk itu, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan atau pelanggaran hak, 

pelaksanaan PHK diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Dalam konteks PHK yang dilakukan oleh pengusaha, UU Ketenagakerjaan 

memberi pengaturan yang rigid. Untuk melakukan PHK, pengusaha harus 

mendasarkan pada alasan-alasan yang ditentukan dalam UU Ketenagakerjaan. 

Salah satunya yang diatur dalam ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketengakerjaan, 

yang berbunyi:

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 

pekerja/buruh, karena perusahaan tutup bukan karena mengalami 

kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan 

memaksa ( force majeur) tetapi karena perusahaan melakukan efisiensi, 

dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 

(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 

sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian 

hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).8

PHK yang didasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) ini  sering disebut 

dengan istilah PHK efisiensi. Jika merujuk pada rumusan pasal ini , terlihat 

bahwa terdapat hak dari pengusaha untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya 

bila perusahaannya tutup karena efisiensi. Meski demikian, UU Ketenagakerjaan 

tidak memberikan definisi lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan frasa 

“perusahaan tutup” maupun kata “efisiensi” pada pasal ini .9 Ditambah pula, 

pada bagian penjelasan pasal per pasal, hanya tertulis keterangan “cukup jelas”.10 

Ketidakjelasan ini berdampak pada implementasi ketentuan pasal ini , yang 

kemudian dimaknai berbeda-beda dalam praktiknya. Pertama, terdapat pihak yang 

menafsirkan bahwa frasa “perusahaan tutup” dan kata “efisiensi” merupakan satu 

kesatuan, sehingga PHK efisiensi hanya bisa dilakukan dalam hal perusahaan tutup 

baik permanen ataupun tidak. Atau kedua, terdapat pendapat bahwa “efisiensi” 

dapat dimaknai terpisah dengan “perusahaan tutup”, sehingga dengan melakukan 

efisiensi saja, pengusaha dapat menjatuhkan PHK.

Berbagai perbedaan pandangan ini  menimbulkan permasalahan dan 

ketidakpastian hukum dalam implementasi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. 

Sampai kemudian terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XI.2011. 

Putusan ini diawali dengan permohonan judicial review dari 38 pekerja Hotel 

Papandayan Bandung yang terkena PHK dengan dasar Pasal 164 ayat (3) UU 

Ketenagakerjaan.11 Pengusaha hotel ini  mempergunakan alasan perusahaan 

tutup karena efisiensi, namun yang terjadi adalah perusahaan tutup sementara 

karena proses renovasi hotel ini . Para pekerja merasa dirugikan dan 

berpendapat bahwa PHK dilakukan atas dasar hukum yang tidak tepat. Renovasi 

yang dilakukan mestinya berdasarkan suatu kemampuan finansial yang cukup, 

sehingga sama sekali tidak sejalan dengan konsep efisiensi perusahaan.

Pada pertimbangannya, MK berpendapat bahwa sejatinya PHK yang dilakukan 

oleh Hotel Papandayan ini  tidak tepat jika menggunakan dasar Pasal 164 

ayat (3) UU Ketenagakerjaan.13 Renovasi perusahaan ini  dapat menjadikan 

operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan 

tidaklah sama dengan perusahaan tutup sebagaimana dimaksudkan dalam 

Pasal 164 ayat (3).14 MK berpendapat bahwa efisiensi saja tanpa penutupan 

perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.15 Oleh karena 

itu, dalam putusannya MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU 

Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang frasa 

“perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan 

tutup tidak untuk sementara waktu”.16 Dengan demikian, keberadaan putusan MK 

ini menggariskan bahwa PHK efisiensi hanya bisa dilakukan dengan tutupnya 

perusahaan secara permanen, yang mana tutupnya perusahaan ini  merupakan 

cara dari perusahaan melakukan efisiensi.

Permasalahannya adalah saat pandemi covid-19 merebak, cara utama yang 

dianjurkan oleh ahli kesehatan dan wabah penyakit adalah dengan melakukan 

physical distancing. Atas dasar hal ini, berbagai daerah menerapkan kebijakan 

pembatasan sosial. Pembatasan kegiatan masyarakat dan karantina mandiri 

dianjurkan untuk mengurangi transmisi penularan covid-19. Pembatasan ini 

juga berlaku di berbagai lini kehidupan, termasuk pada kegiatan operasional 

perusahaan. Akibatnya, proses operasional perusahaan tidak dapat berjalan 

maksimal, bahkan terhenti, sehingga menimbulkan kerugian bagi pengusaha. Di 

sisi lain, bagi yang tetap beroperasi pun pendapatannya berkurang dan bahkan 

di titik nol akibat konsumen dan pengguna terdampak pembatasan sosial pula. 

Pandemi covid-19 ini menempatkan perusahaan di posisi yang serba sulit. Pada 

akhirnya, PHK efisiensi menjadi pilihan banyak pengusaha, yakni melakukan 

efisiensi dengan PHK sejumlah pekerja, demi mempertahankan kelangsungan 

usaha dan kelangsungan bekerja sebagian pekerja yang lain.

Padahal jika mendasarkan dari putusan MK di atas, bahwa PHK efisiensi hanya 

dapat dilakukan dalam rangka penutupan perusahaan secara permanen. Fenomena 

yang terjadi pada masa pandemi covid-19 ini, PHK efisiensi dilakukan tanpa 

menutup perusahaan. Rasio dari merebaknya fenomena ini adalah perusahaan 

tidak perlu tutup untuk melakukan efisiensi apabila tindakan perubahan ini  

justru dapat menyelamatkan perusahaan dan sebagian pekerja lainnya.17 Dilihat 

dari aspek kemanfaatan, dalam situasi seperti ini, penutupan perusahaan secara 

permanen justru akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi, yakni hilangnya 

pekerjaan bagi seluruh pekerja, dan termasuk juga pengusahanya. Padahal 

situasi pandemi covid-19 ini sulit dan serba tak menentu, apalagi jika ditambah 

dengan membludaknya angka pengangguran. Lantas, bagaimana justifikasi dan 

aspek hukum dari fenomena PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan di masa 

pandemi covid-19 ini? Hal ini menjadi menarik untuk ditelaah lebih lanjut, sebab 

di tengah situasi yang serba tidak menentu ini, perlindungan hukum bagi pekerja 

maupun pengusaha dalam lingkup ketenagakerjaan juga tidak boleh luput untuk 

diperhatikan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan dalam bagian latar belakang, 

artikel ini akan menelaah lebih lanjut mengenai bagaimana tinjauan justifikasi 

dan aspek hukum atas PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan yang marak 

dilakukan selama masa pandemi covid-19 di Indonesia, dalam kaitannya pula 

dengan keberadaan Putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011.


Hubungan kerja merupakan hubungan hukum antara pekerja dengan 

pengusaha di lingkup tempat kerja. Hubungan kerja ini didasarkan atas perjanjian 

kerja yang disepakati oleh pekerja dan pengusaha, dan sekaligus menggariskan 

hak dan kewajiban keduanya dalam hubungan hukum ini . Pada titik tertentu, 

selayaknya pada hubungan-hubungan yang lain, hubungan kerja juga memiliki 

kemungkinan untuk putus atau berakhir. Istilah untuk menyebut berakhirnya 

hubungan kerja adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PHK merupakan salah 

satu aspek yang diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan Hal ini didasarkan 

pada pertimbangan adanya kemungkinan berselisih, kesewenang-wenangan, dan 

tidak terpenuhinya hak-hak pekerja. Iman Soepomo menyatakan bahwa PHK 

bagi pekerja merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari 

berakhirnya mempunyai pekerjaan, permulaan dari berakhirnya kemampuan 

membiayai keperluan hidup sehari-hari baginya dan keluarganya, permulaan dari 

berakhirnya kemampuan menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.18 Terlihat, 

bahwa PHK merupakan peristiwa yang krusial bagi pekerja, sehingga perlu 

dilakukan pengaturan lebih lanjut untuk melindungi posisi pekerja.

PHK menurut Sastrohadiwiryo merupakan suatu proses pelepasan keterikatan 

kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja yang bersangkutan ataupun 

atas kebijakan perusahan di mana tenaga kerja ini  dipandang sudah tidak 

cakap lagi dan kondisi perusahaan yang tidak memungkinkan.19 Melihat definisi 

ini, PHK disimpulkan sebagai suatu tindakan sepihak dari pengusaha untuk 

mengakhiri hubungan kerja dengan pekerjanya karena alasan tertentu. Berbeda 

dengan definisi ini , UU Ketenagakerjaan justru memberikan pengertian yang 

lebih umum. PHK diartikan sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal 

tertentu, yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan 

pengusaha.20 Definisi ini memberikan generalisasi bahwa PHK tidak hanya secara 

spesifik dapat dilakukan oleh pengusaha saja, namun juga oleh pekerja. Sebab, 

hubungan kerja merupakan hubungan hukum yang sifatnya timbal balik, serta 

perjanjian kerja yang mendasari hubungan ini  juga merupakan perjanjian 

timbal balik di mana masing-masing pihak dapat mempunyai hak serta kewajiban. 

Oleh karena itu, keduanya sama-sama berhak untuk memutus hubungan kerja.

Jenis-jenis PHK dalam doktrin terbagi menjadi:

1. PHK oleh pengusaha, yaitu PHK oleh pihak pengusaha karena 

keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan, dan 

prosedur tertentu.

2. PHK oleh pekerja, yaitu PHK oleh pihak pekerja terjadi karena 

keinginan dari pihak pekerja dengan alasan tertenttu dan prosedur 

tertentu. Misalnya karena pekerja mengundurkan diri.

3. PHK demi hukum, yaitu PHK yang terjadi tanpa perlu adanya suatu 

tindakan, terjadi dengan sendirinya. Misalnya karena pensiun, atau 

karena meninggalnya pekerja.

4. PHK oleh pengadilan hubungan industrial, yaitu PHK oleh putusan 

pengadilan, yang terjadi karena alasan-alasan tertentu yang 

berdasarkan Undang-Undang mendesak dan penting, misalnya 

terjadinya peralihan kepemilikan, peralihan aset atau pailit.

Merincikan masing-masing jenis PHK di atas, UU Ketenagakerjaan secara 

spesifik menyebutkan alasan-alasan apa saja yang dapat digunakan sebagai dasar 

alasan PHK, yakni: 

1. Pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib (Pasal 160);

2. Pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian 

kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 161);

3. Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri (Pasal 162);

4. Dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan 

kepemilikan perusahaan (Pasal 163);

5. Perusahaan tutup baik karena merugi, force majeure atau karena efisiensi 

(Pasal 164);

6. Perusahaan pailit (Pasal 165);

7. Pekerja meninggal dunia (Pasal 166);

8. Pekerja memasuki usia pensiun (Pasal 167); 

9. Pekerja mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa 

keterangan secara tertulis, sehingga dikualisifikasikan mengundurkan diri 

(Pasal 168);

10. Dalam hal pekerja mengajukan permohonan PHK kepada Lembaga Penyelesaian 

Perselisihan Hubungan Industrial (Pasal 169);

11. Pekerja mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan 

kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya (Pasal 172).

21  Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 66.

22  Lihat Bab XII UU Ketenagakerjaan. Diolah dari ketentuan Pasal 160 hingga Pasal 172.


Untuk melindungi jaminan perlindungan terhadap pekerjaan dan penghidupan 

layak bagi pekerja, PHK dipersyaratkan sebagai pilihan atau upaya terakhir sesudah  

hal-hal yang lain gagal ditempuh. Dengan kata lain, semua pihak, termasuk pekerja 

dan pengusaha sendiri mesti mengupayakan sebaik-baiknya supaya tidak terjadi 

PHK.23 Jika semua hal telah diusahakan dan kemudian PHK masih tidak dapat 

dihindari, pelaksanaan PHK diharuskan melalui tahap perundingan antara pekerja 

dengan pengusaha yang bersangkutan.Bila kemudian tidak dapat tercapai 

kesepakatan dalam perundingan ini , PHK barulah dapat dilaksanakan 

sesudah  mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan 

industrial.Keberadaan aturan ini sungguh-sungguh menunjukkan adanya campur 

tangan dari pemerintah agar PHK dilakukan tidak dengan sewenang-wenang dan 

juga melindungi hak-hak pekerja.

Salah satu alasan PHK dalam UU Ketenagakerjaan yang menimbulkan polemik 

yakni PHK yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (3). PHK ini seringkali 

disebut dengan PHK efisiensi. Ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan 

sebagai berikut:

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 

pekerja/buruh, karena perusahaan tutup bukan karena mengalami 

kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan 

memaksa ( force majeur) tetapi karena perusahaan melakukan efisiensi, 

dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 

(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 

sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian 

hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).26

PHK efisiensi ini merupakan salah satu alasan PHK yang mengundang banyak 

argumen dan interpretasi dalam penerapannya. Hal ini berkisar antara frasa 

“perusahaan tutup” dan kata “efisiensi”. Jika merujuk pada rumusan Pasal 164 

ayat (3) ini , terlihat bahwa terdapat hak dari pengusaha untuk melakukan 

PHK terhadap pekerjanya bila perusahaannya tutup karena efisiensi. Meski 

demikian, UU Ketenagakerjaan tidak memberikan definisi lebih lanjut mengenai 

apa yang dimaksud dengan frasa “perusahaan tutup” maupun kata “efisiensi” 

pada pasal ini . Ditambah pula, pada bagian penjelasan pasal per pasal, 


hanya tertulis keterangan “cukup jelas”. Ketidakjelasan ini berdampak pada 

implementasi ketentuan pasal ini , yang kemudian dimaknai berbeda-beda 

dalam praktiknya. ada  pihak yang menafsirkan bahwa frasa “perusahaan 

tutup” dan kata “efisiensi” merupakan satu kesatuan, sehingga PHK efisiensi 

hanya bisa dilakukan dalam hal perusahaan tutup baik permanen ataupun tidak. 

Sebaliknya, terdapat pendapat bahwa “efisiensi” dapat dimaknai terpisah dengan 

“perusahaan tutup”, sehingga dengan melakukan efisiensi saja, pengusaha dapat 

menjatuhkan PHK.

Sampai akhirnya ketika terdapat permohonan judicial review dari pekerja 

terhadap pasal PHK efisiensi ini . Permohonan ini  diajukan kepada 

Mahkamah Konstitusi (MK) oleh 38 pekerja Hotel Papandayan Bandung yang 

terkena PHK dengan dasar Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.29 Pengusaha 

hotel ini  mempergunakan alasan perusahaan tutup karena efisiensi, namun 

yang terjadi adalah perusahaan tutup sementara karena proses renovasi hotel 

ini . Para pekerja merasa dirugikan dan berpendapat bahwa PHK dilakukan 

atas dasar hukum yang tidak tepat. Renovasi yang dilakukan mestinya berdasarkan 

suatu kemampuan finansial yang cukup, sehingga sama sekali tidak sejalan dengan 

konsep efisiensi perusahaan.

Pada pertimbangannya, MK berpendapat bahwa sejatinya PHK yang dilakukan 

oleh Hotel Papandayan ini  tidak tepat jika menggunakan dasar Pasal 164 

ayat (3) UU Ketenagakerjaan.Renovasi perusahaan ini  dapat menjadikan 

operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan 

tidaklah sama dengan perusahaan tutup sebagaimana dimaksudkan dalam 

Pasal 164 ayat (3). MK berpendapat bahwa efisiensi saja tanpa penutupan 

perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.33 MK menilai 

bahwa beragamnya interpretasi dan penerapan terhadap ketentuan pasal PHK 

efisiensi ini didasari karena tidak adanya penjelasan lebih lanjut, sehingga MK 

merasa perlu untuk memberikan rambu-rambu tertentu dalam ketentuan pasal 

ini .

Oleh karena itu, dalam putusannya dengan Nomor 19/PUU-IX/2011, MK 

menyatakan bahwa ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bertentangan 

dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai 

“perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara 

waktu”. Dengan demikian, keberadaan putusan MK ini menggariskan bahwa PHK 

efisiensi hanya bisa dilakukan dengan tutupnya perusahaan secara permanen, yang 

mana tutupnya perusahaan ini  merupakan cara dari perusahaan melakukan 

efisiensi. Artinya, frasa “perusahaan tutup” dan frasa “efisiensi” merupakan satu 

kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Perdebatan mengenai penerapan PHK efisiensi ini ternyata tidak berhenti 

sesudah  adanya putusan MK ini . Baru-baru ini, saat Indonesia dilanda serangan 

pandemi covid-19, perdebatan dan perbedaan tafsir terhadap ketentuan pasal 

ini  kembali mencuat. Keberadaan pembatasan aktivitas masyarakat selama 

pandemi covid-19 menimbulkan dampak yang signifikan terhadap pengusaha. 

Operasional perusahaan dibatasi, bahkan terhenti, di sisi lain konsumen dan 

pengguna barang dan/atau jasa pengusaha ini  menurun drastis, bahkan 

sampai di titik nol. Dengan keadaan yang demikian ini, pengusaha menjadi 

berada di situasi yang sulit. Kondisi ekonomi perusahaan yang menurun dan tidak 

menentu akibat pandemi covid-19 kemudian berujung pada banyaknya fenomena 

keputusan untuk melakukan PHK efisiensi. Meski begitu, fenomena PHK efisiensi 

selama masa pandemi covid-19 ini tidak mendasarkan pada tafsiran putusan MK 

Nomor 19/PUU-IX/2011 yang telah disinggung sebelumnya. Pengusaha melakukan 

efisiensi dengan menjatuhkan PHK pada sejumlah pekerja, demi mempertahankan 

kelangsungan usaha dan kelangsungan bekerja sebagian pekerja yang lain. Hal ini 

kemudian menjadi pertanyaan, lantas bagaimana justifikasi serta aspek hukum 

fenomena PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan selama masa pandemi 

covid-19 ini?

Jika menelusuri kembali ke belakang, pada dasarnya jauh sebelum ada putusan 

MK Nomor 19/PUU-IX/2011 sudah terdapat perbedaan pandangan mengenai PHK 

efisiensi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. 

Perbedaan pendapat ini  yakni berkisar apakah perusahaan mesti tutup 

untuk melakukan PHK efisiensi, ataukah kemudian PHK efisiensi dapat dilakukan 

tanpa tutupnya perusahaan. Pandangan kedua yang mengemukakan bahwa PHK 

efisiensi dapat dilakukan tanpa harus menutup perusahaan, didukung pula dengan 

adanya beberapa putusan Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung 

yang menyamakan PHK efisiensi dengan PHK tanpa kesalahan.35 Dengan kata lain, 

dibenarkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK tanpa ada dasar kesalahan 

yang diperbuat oleh pekerjanya, dan penerapan itu menggunakan ketentuan PHK 

efisiensi dalam Pasal 164 ayat (3) ini . Bahkan tidak ada proses penutupan 

perusahaan dalam tindakan PHK ini , hanya dalih efisiensi semata.

Untuk menganalisis interpretasi atas suatu ketentuan pasal dalam peraturan 

perundnag-undangan, maka perlu untuk kembali mencermati secara seksama 

bunyi dari pasal ini . Ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan 

berbunyi sebagai berikut:

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/

buruh, karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 

(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force 

majeur) tetapi karena perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan 

pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan 

Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali 

ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan 

Pasal 156 ayat (4).36

Mendasarkan pada bunyi Pasal 164 ayat (3) ini , untuk membantu 

memahami dan menganalisis, maka dapat dibuat penggalan-penggalan sebagai 

berikut:

1. Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dalam hal 

perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-

turut. Pada penggalan ini, pengusaha diperbolehkan untuk melakukan PHK 

bila perusahaan tutup, namun tutupnya perusahaan bukan karena mengalami 

kerugian dua tahun berturut-turut.

2. PHK terhadap pekerja/buruh ini  juga dalam hal perusahaan tutup, tapi 

bukan karena keadaan memaksa (force majeur). Penggalan ini menambahkan 

penjelasan pada penggalan pertama, yakni alasan kedua tutupnya perusahaan 

selain bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-turut, namun 

juga bukan karena mengalami keadaan memaksa.

3. Namun, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dalam 

hal perusahaan tutup karena perusahaan melakukan efisiensi. Penggalan ini 

35 Rizqi Fauzia, “Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Perselisihan PHK (Studi Terhadap PHK Efisiensi)”, Publikasi Ilmiah Magister 

Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, November 2017, 

merupakan inti dari ketentuan Pasal 164 ayat (3), yang mana menggarisbawahi 

bahwa PHK ini  dapat dilakukan karena perusahaan tutup, dan tutupnya 

perusahaan ini  akibat perusahaan melakukan efisiensi.

Jika mendasarkan pada interpretasi yang demikian ini, maka PHK efisiensi 

hanya dapat dilakukan dengan tutupnya perusahaan. Jadi, UU Ketenagakerjaan 

sebenarnya tidak mengenal istilah PHK atas efisiensi semata, berbeloknya 

penafsiran ini  disebabkan atas pemahaman Pasal 164 ayat (3) UU 

Ketenagakerjaan yang hanya sepenggal-sepenggal atau tidak dibaca secara 

menyeluruh.38 Membaca secara cermat ketentuan Pasal 164 ayat (3) ini , 

terlihat bahwa penekanan justru diberikan pada frasa “perusahaan tutup”, karena 

ketentuan pasal ini  sebenarnya sedang membahas mengenai tutupnya 

perusahaan.39 Hal ini akan menjadi terang apabila disejajarkan dengan ketentuan 

ayat (1)-nya yang sama-sama membahas mengenai PHK karena perusahaan tutup. 

Hanya saja, ayat (1) perusahaan tutup karena mengalami kerugian terus menerus 

selama dua tahun atau karena force majeure. Sedangkan ayat (3) merupakan 

pengaturan perusahaan tutup karena melakukan efisiensi. Perbandingan rumusan 

ini  tersaji dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.

Perbandingan Rumusan Pasal 164 ayat (1) dan

ayat (3) UU Ketenagakerjaan

Pasal 164 ayat (1) Pasal 164 ayat (3)

Pengusaha dapat melakukan pemutusan 

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh 

karena perusahaan tutup yang disebabkan 

perusahaan mengalami kerugian secara 

terus menerus selama dua tahun, atau 

keadaan memaksa (force majeure), 

dengan ketentuan pekerja/buruh berhak 

atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan 

Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa 

kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 

ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai 

ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pengusaha dapat melakukan pemutusan 

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh, 

karena perusahaan tutup bukan karena 

mengalami kerugian 2 (dua) tahun 

berturut-turut atau bukan karena 

keadaan memaksa (force majeur) tetapi 

karena perusahaan melakukan efisiensi, 

dengan ketentuan pekerja/buruh berhak 

atas uang pesangon sebesar 2 (dua) 

kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang 

penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) 

kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang 

penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 

156 ayat (4).


Merujuk pada kedua rumusan ayat dalam Pasal 164 ini , memang 

sejatinya Pasal 164 memang membicarakan mengenai PHK yang dilakukan 

pengusaha karena perusahaannya tutup. Perbedaannya hanya berkisar pada alasan 

tutupnya saja, sehingga benar bahwa penekanan pada Pasal 164 adalah pada frasa 

“perusahaan tutup”. Hal ini diperkuat pula dengan putusan MK Nomor 19/PUU-

IX/2011, yang mana dalam pertimbangannya MK berpendapat kata “efisiensi” 

yang terdapat dalam Pasal 164 ayat (3) tidak dapat diartikan bahwa hal ini  

menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga 

“mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara PHK pekerja yang ada.40 Harus 

diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan 

tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi.41 Dengan kata lain, pengusaha 

melakukan efisiensi dengan cara menutup perusahaan. Misalnya, pengusaha 

memiliki suatu perusahaan holding dengan beberapa perusahaan anak, dan karena 

suatu hal tertentu pengusaha merasa harus melakukan efisiensi dengan cara 

menutup salah satu perusahaan anak.42 Peristiwa seperti inilah yang kemudian 

dapat mengacu pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Jadi, 

perusahaan yang hanya tutup sementara, atau bahkan tidak tutup tidak dapat 

menggunakan alasan efisiensi dalam pasal ini untuk melakukan PHK.

Meski demikian, masih terdapat pihak-pihak yang menafsirkan bahwa PHK 

efisiensi dapat dilakukan tanpa harus disertai dengan tutupnya perusahaan. Hal ini 

mendasarkan pada argumen bahwa sejatinya MK dalam putusan Nomor 19/PUU-

IX/2011 ini  tidak menilai apakah efisiensi dapat dijadikan alasan PHK oleh 

pengusaha.43 Fokus pertimbangan dan amar putusan MK pada frasa “perusahaan 

tutup” saja, karena pemohon judicial review ini  mempermasalahkan apakah 

memang penghentian operasional Hotel Papandayan untuk renovasi dapat 

dikategorikan sebagai perusahaan tutup sebagaimana termaktub dalam Pasal 

164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, masih timbul pertanyaan 

apakah pengusaha dapat melakukan PHK dengan alasan efisiensi saja, yang 

tujuannya untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan, yang tujuan 

akhirnya kemudian dapat menyelamatkan pekerjaan sebagian pekerja yang lain 

dan membantu pemerintah mencegah persoalan pengangguran baru yang makin 

meluas.

Selain itu, argumen yang dilontarkan lainnya yakni UU Ketenagakerjaan 

sebenarnya tidak menyatakan secara eksplisit apakah efisiensi dapat dijadikan 

alasan PHK.45 Kata “efisiensi” dalam UU Ketenagakerjaan hanya disinggung dalam 

ketentuan Pasal 164 ayat (3) semata, tanpa memberikan penjelasan dan keterangan 

lebih lanjut mengenai definisi kata ini . Bahkan di Pasal 153 ayat (1) yang 

mengatur mengenai alasan-alasan yang dilarang untuk digunakan pengusaha 

dalam melakukan PHK, efisiensi bukan termasuk salah satu alasan yang dilarang. 

Ketentuan Pasal 153 ayat (1) ini  berbunyi sebagai berikut:

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan 

alasan:

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut 

keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) 

bulan secara terus-menerus;

b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena 

memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

d. pekerja/buruh menikah;

e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, 

atau menyusui bayinya;

f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan 

perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;

g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus 

serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan 

serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam 

kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan 

yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau 

perjanjian kerja bersama;

h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib 

mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana 

kejahatan;

i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, 

golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan 

kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat 

keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum 

dapat dipastikan.

Dalam pasal yang berisi larangan PHK ini telihat bahwa sebenarnya tidak 

ada efisiensi sebagai alasan yang dilarang untuk digunakan dalam pengusaha 

melakukan PHK. Artinya, efisiensi bukanlah suatu alasan PHK yang dilarang. Dasar 

inilah yang kemudian menjadi rujukan tafsir pihak-pihak yang mengemukakan 

bahwa PHK efisiensi dapat dilakukan, meski tanpa disertai dengan penutupan 

perusahaan. Ketika perusahaan mengalami kendala ekonomi, yang kemudian 

berujung pada keputusan untuk melakukan efisiensi sektor pekerja, maka hal 

ini dapat dilakukan. Lantas, sebenarnya apa kemudian yang dimaksud dengan 

efisiensi? Lalu bagaimana kaitannya dengan penggunaannya sebagai dasar alasan 

PHK ini ?

Sebagaimana yang telah disinggung, UU Ketenagakerjaan sendiri tidak 

memberikan definisi mengenai efisiensi. Untuk itu, untuk mengetahui apa yang 

disebut sebagai efisiensi, perlu meninjau dari sumber lainnya. Pada Kamus Besar 

Bahasa Indonesia, efisiensi didefinisikan sebagai ketetapan cara usaha dalam 

menjalankan sesuatu dengan tidak membuang, waktu, tenaga, dan biaya.46 Oxford 

Dictionary mengartikan sebagai: (1) kualitas sesuatu pekerjaan dengan baik 

tanpa membuang waktu dan uang, (2) cara mengurangi pemborosan waktu dan 

uang atau cara menghemat waktu dan uang, dan (3) hubungan antara jumlah 

pengeluaran dengan jumlah pendapatan.47 Beberapa definisi lainnya dalam doktrin, 

yakni menurut Dearden (dalam Maulana) efisiensi adalah kesanggupan suatu unit 

usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan, efisiensi senantiasa dihubungkan 

dengan tujuan organisasi yang seharusnya dicapai oleh perusahaan.48 Hasibuan 

memberi pengertian bahwa efisiensi adalah merupakan perbandingan terbaik 

antara input dan output antara keuntungan dengan biaya antara proses dengan 

sumber yang dipakai seperti halnya juga hasil maksimal yang dicapai dengan 

pemakaian sumber yang terbatas.

Merujuk pada definisi-definisi ini , terlihat bahwa sejatinya efisiensi 

adalah konsep yang lahir dalam konteks ekonomi dan bisnis. Efficient is doing 

the things right, yang mana berarti bahwa melakukan segala hal dengan cara 

yang tepat untuk mendapatkan hasil yang baik. Kaitannya dengan operasional 

sebuah perusahaan, efisiensi merupakan jalan yang ditempuh pengusaha untuk 

mengurangi pemborosan sumber daya demi menjaga kelangsungan perusahaan 


akibat persaingan bisnis yang ketat. Dalam kaitannya dengan pekerja, efisiensi ini 

dilakukan dengan cara mengurangi jumlah pekerja (retrentchment).50 Jadi, efisiensi 

merupakan suatu upaya yang dilakukan pengusaha untuk mempertahankan 

kelangsungan perusahaannya, bukan dengan menutupnya. Pada masa pandemi 

covid-19 ini pengusaha mengalami situasi ekonomi yang sulit dalam rangka 

mempertahankan operasional bisnis dan perusahaannya. Upaya untuk mengurangi 

beban perusahaan supaya tetap dapat beroperasi inilah yang kemudian menjadi 

latar belakang dilakukannya efisiensi dengan cara menjatuhkan PHK kepada 

sebagian pekerjanya di masa pandemi ini. Konteks seperti ini dalam lingkup ilmu 

ekonomi dan bisnis memang dapat dilakukan oleh pengusaha.

Pandemi covid-19 ini memberikan dampak yang cukup serius bagi banyak 

pengusaha dalam mempertahankan kelangsungan perusahaannya. Turbulensi 

ekonomi yang diakibatkan oleh masa pandemi ini  menimbulkan terus 

menurunnya jumlah permintaan barang dan/atau jasa yang dihasilkan perusahaan, 

sehingga terjadi adanya kelebihan pekerja (redundancy).51 Persoalan hak untuk 

memperoleh pekerjaan (right to work), dan ketidakstabilan perekonomian 

perusahan serta negara selalu menjadi problem yang dilematis bagi pemerintah, 

pengusaha dan pekerja.52 Jika perekonomian tidak stabil maka pengusaha 

terdampak, dan secara tidak langsung pada akhirnya pekerja pun akan ikut 

merasakan akibat negatifnya. Pada konteks masa pandemi covid-19 ini, bagi pekerja 

yakni kembali munculnya fenomena PHK efisiensi tanpa tutupnya perusahaan.

Sejatinya, UU Ketenagakerjaan sendiri tidak melarang alasan ekonomi sebagai 

alasan PHK.53 Ketentuan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan sendiri merupakan alasan 

PHK dengan latar belakang kondisi ekonomi perusahaan, baik di ayat (1) maupun 

ayat (3). Efisiensi juga merupakan unsur dan alasan kondisi ekonomi perusahaan. 

Namun, jika kemudian sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat (3) dan dalam 

Putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011 bahwa perusahaan harus tutup untuk 

melakukan PHK efisiensi, hal ini tidaklah efektif. Tujuan dari hukum tidak hanya 

sebatas kepastian hukum dan keadilan semata, namun juga kemanfaatan. Dari 

segi kemanfaatan, jika perusahaan harus tutup untuk melakukan efisiensi, maka 

akan memberi dampak ekonomi yang lebih besar. Situasi perekonomian masa 

pandemi covid-19 ini sudah jelas sulit, jika ditambah keberadaan persyaratan 


untuk PHK efisiensi harus dengan menutup perusahaan maka akan menambah 

lebih banyak pengangguran baru. Jika perusahaan ditutup, maka seluruh pekerja 

dan sekaligus pengusaha akan kehilangan pekerjaan mereka. Hal ini tentu saja 

tidak mencerminkan adanya upaya untuk mempertahankan jaminan pekerjaan. 

Sebaliknya, jika PHK efisiensi dapat dilakukan tanpa menutup perusahaan, maka hal 

ini  lebih menjamin dan menyelmatkan jaminan pekerjaan bagi sebagian besar 

pekerja yang lain, sekaligus mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan. 

Merujuk teori utilitis, hal ini sejalan dengan kemanfaatan, yakni menjamin faedah 

dan kebahagiaan terbesar bagi jumlah yang lebih banyak.

Menelusuri lebih jauh dalam aturan-aturan yang sifatnya internasional, 

terdapat Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 158 Tahun 

1982 dan Rekomendasi ILO Nomor 166 Tahun 1982 yang mengatur mengenai 

PHK atas inisiatif pengusaha. Kedua aturan ini  secara khusus dibuat untuk 

menangani masalah PHK akibat kesulitan ekonomi dan perubahan teknologi. 

Keduanya juga tidak menyebutkan efisiensi sebagai alasan yang dilarang untuk 

menjatuhkan PHK. Alasan-alasan yang tidak dapat dijadikan dasar PHK dalam 

kovensi dan rekomendasi ini , yakni:

1. keanggotaan serikat pekerja atau keikutsertaan dalam kegiatan 

serikat pekerja di luar jam kerja, atau dengan persetujuan pengusaha, 

di dalam jam kerja;

2. memegang jabatan sebagai, bertindak atau telah bertindak dalam 

kapasitas sebagai, perwakilan pekerja;

3. pengajuan keluhan atau keikutsertaan dalam pengajuan gugatan 

terhadap pengusaha yang menyangkut dugaan pelanggaran hukum 

atau peraturan atau memanfaatkan otoritas administrasi yang 

berwenang;

4. ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, tanggung jawab 

keluarga, kehamilan, agama, politik, kebangsaan, atau asal sosial;

5. ketidakhadiran kerja selama cuti melahirkan;

6. usia, tunduk pada hukum dan praktik nasional tentang pensiun;

7. ketidakhadiran kerja karena wajib militer atau kewajiban 

kemasyarakatan lainnya sesuai dengan hukum dan praktik nasional; 

dan

8. ketidakhadiran kerja sementara karena sakit atau cedera.

Terlihat dalam rumusan aturan ini  bahwa efisiensi tidak dilarang untuk 

dijadikan alasan untuk melakukan PHK pada pekerja. Justru pada kedua aturan 

ILO ini , secara tegas memberi peluang pada pengusaha untuk melakukan 

PHK atas alasan yang bersifat ekonomi, teknologi, struktur, atau alasan serupa, 

asalkan pengusaha memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. memberikan informasi yang relevan terkait rencana PHK pada 

pekerja dan pemerintah, mengenai alasan PHK, jumlah dan kategori 

pekerja yang terdampak, serta kapan PHK akan dilakukan; dan

2. memberikan kesempatan pada perwakilan pekerja atau serikat 

pekerja untuk berkonsultasi mengenai langkah-langkah yang akan 

diambil untuk mencegah atau meminimalisir PHK, serta mengurangi 

dampak buruk PHK pada pekerja terkait.

Mendasarkan pada paparan di atas, untuk menjawab apakah kemudian 

PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan dapat dilakukan ataukah tidak, maka 

jawabannya akan bergantung pada acuan mana yang akan diambil oleh pengusaha 

sebagai dasar. Melakukan PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan tidak dapat 

dilakukan jika mendasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan 

yang mana telah dibahas sebelumnya, frasa “perusahaan tutup” dan frasa “efisiensi” 

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Apalagi kemudian 

hal ini dikuatkan dengan putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011 yang menafsirkan 

bahwa frasa “perusahaan tutup” di Pasal 164 ayat (3) harus selalu ditafsirkan 

sebagai perusahaan tutup permanen. Yakni maksudnya, dalam melakukan PHK 

ini , penutupan perusahaan merupakan bagian dari proses efisiensi yang 

dilakukan oleh pengusaha.

Meski demikian, jika melihat dari kajian konsep ekonomi yang telah 

disinggung, penerapan efisiensi justru dititikberatkan pada upaya pengusaha untuk 

mempertahankan operasional perusahaannya dalam keadaan yang sulit. Efisiensi 

dalam konsep ini justru tidak identik dengan penutupan perusahaan. Malahan, 

upaya pengurangan pekerja dalam situasi yang demikian adalah langkah yang 

dibolehkan dalam upaya efisiensi. Terlebih, alasan efisiensi sebenarnya bukanlah 

alasan yang dilarang untuk menjatuhkan PHK baik menurut Pasal 153 ayat (1) 

UU Ketenagakerjaan, Konvensi ILO Nomor 158 Tahun 1982, dan Rekomendasi 

ILO Nomor 166 Tahun 1982. Untuk itu, sejatinya PHK efisiensi tanpa penutupan 

perusahaan ini terbuka peluangnya untuk dilakukan. Hanya saja kemudian timbul 

pertanyaan terkait aspek hukumnya, yakni dasar hukumnya menggunakan apa?

Jika mendasarkan pada Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan hal ini  

tentu tidak dapat dilakukan karena terdapat perbedaan konteks yang nyata. 

Pasal 164 ayat (3) membahas mengenai PHK efisiensi akibat dari penutupan 

perusahaan. Lantas jika Pasal 153 ayat (1) tidak memberikan larangan secara 

tegas terhadap alasan efisiensi ini, maka terdapat kekosongan hukum mengenai 

PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan. Untuk tetap menjamin dan melindungi 

hak-hak pekerja yang terkena PHK ini , pemenuhan hak beserta kompensasi 

PHK bagi mereka dapat dianalogikan atau disetarakan dengan pasal-pasal dalam 

UU Ketenagakerjaan yang pada dasarnya mengatur peristiwa PHK tanpa adanya 

kesalahan dari pekerja. Beberapa pasal-pasal ini  yakni:

Tabel 2.

Pengaturan Kompensasi PHK Tanpa Ada Kesalahan Dari Pekerja

Pasal Bunyi Pasal

Pasal 163 ayat (2)

PHK karena perubahan 

status, penggabungan, 

peleburan perusahaan

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan 

kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, 

penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha 

tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan, maka 

pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) 

kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan 

masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat 

(3), dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan 

dalam Pasal 156 ayat (4).

Pasal 166

PHK karena pekerja 

meninggal dunia

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh 

meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah 

uang yang perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) 

kali uang pesangon ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) 

kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan 

dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak 

sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Pasal 167 ayat (2)

PHK karena pekerja 

memasuki masa pensiun

Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang 

diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah 

uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 

156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) 

kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang 

penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 

156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.

Justifikasi Pemutusan Hubungan Kerja Karena Efisiensi Masa Pandemi Covid-19 dan Relevansinya dengan Putusan 

Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011


Pasal 169 ayat (2)

Pekerja memohon 

PHK kepada lembaga 

penyelesaian perselisihan 

hubungan industrial 

karena pengusaha 

melakukan kesalahan

Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat 

uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 

156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) 

kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang 

penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 

156 ayat (4).

Melakukan PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan merupakan hal yang 

serupa dengan PHK tanpa kesalahan sebagaimana diatur dalam keempat pasal 

ini . Pekerja yang terkena keputusan PHK efisiensi ini  tidak melakukan 

kesalahan apapun, dan keputusan PHK ini  merupakan murni keputusan 

pengusaha dalam rangka mempertahankan perusahaannya. Oleh karena itu, 

pemberian kompensasi PHK terhadap PHK efisiensi tanpa menutup perusahaan 

dapat mengikuti formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan ini , yakni uang 

pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan 

masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian 

hak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Hal ini diterapkan demi 

tetap menjamin dan melindungi hak-hak pekerja yang diputus hubungan kerjanya. 

Terlebih, formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan ini  juga merupakan 

formulasi yang lebih besar dibandingkan dengan formulasi kompensasi alasan 

PHK lainnya.

Kehadiran pandemi covid-19 mengakibatkan kesulitan di segala lini kehidupan 

masyarakat. Termasuk dalam lalu lintas pelaksanaan hukum ketenagakerjaan di 

Indonesia, hal ini juga menjadi momok karena baik pekerja maupun pengusaha 

sama-sama merasakan dampaknya. Pada situasi serba sulit ini tidak boleh pula 

melakukan generalisir kepada seluruh perusahaan, dengan anggapan semua 

perusahaan mampu bertahan tanpa melakukan tindakan-tindakan tertentu. Tidak 

semua perusahaan adalah perusahaan besar yang mempunyai keadaan ekonomi 

yang kuat. Situasi yang tidak ideal ini tentu saja akan memberi dampak yang tidak 

ideal pula. Jika kemudian dalam perjalanannya pengusaha terpaksa melakukan 

PHK efisiensi tanpa melakukan penutupan perusahaan, lembaga penyelesaian 

perselisihan hubungan industrial mesti aktif untuk ikut mengawasi proses PHK 

hingga pemenuhan hak-hak dan kompensasi PHK bagi pekerja. Beberapa hal yang 

perlu diperhatikan, yakni:


1. Memastikan bahwa pengusaha telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk 

mencegah terjadinya PHK dan PHK yang dilakukan adalah jalan terakhir, serta 

satu-satunya yang dapat ditempuh oleh pengusaha.

2. Memastikan bahwa PHK yang dilakukan tidak ada maksud terselubung atau 

itikad buruk semata dari pengusaha, prosesnya harus jelas dan terbuka, serta 

disertai dengan alasan-alasan atau pertimbangan yang adil.

3. Memastikan segala upah dan kompensasi atau hak-hak pekerja lainnya terkait 

hubungan kerja telah dipenuhi oleh pengusaha sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan.

4. Jika perlu, pengusaha dan pekerja dapat memperjanjikan konsep reinstatement, 

yakni ketika situasi perusahaan telah normal kembali, dalam hal dibukanya 

atau diperlukannya kembali posisi pekerjaan yang semula diefisiensikan, 

pekerja yang terkena dampak PHK efisiensi ini  diprioritaskan untuk 

dipekerjakan kembali.


Justifikasi PHK efisiensi tanpa dilakukannya penutupan perusahaan ialah 

semata-mata melihat dari sisi kemanfaatannya, dalam situasi ekonomi akibat 

pandemi covid-19 yang sudah serba sulit ini, memaksakan melakukan PHK 

efisiensi dengan menutup perusahaan akan menimbulkan dampak ekonomi 

yang lebih besar, yakni lebih tingginya angka pengangguran. Hal ini diakibatkan 

seluruh pekerja termasuk pengusaha ini  kehilangan pekerjaan akibat 

penutupan perusahaan. Melakukan PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan 

justru memberikan jaminan perlindungan memperoleh pekerjaan yang lebih, 

karena dapat menyelamatkan kelangsungan operasional perusahaan, sekaligus 

mempertahankan pekerjaan sebagian pekerja lainnya. Meski demikian, dari sisi 

aspek hukum, PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan tidak dapat dilakukan 

dengan mendasarkan pada Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan Putusan 

MK Nomor 19/PUU-IX/2011 karena secara eksplisit menentukan bahwa PHK 

efisiensi adalah bagian dari penutupan perusahaan. Tetapi, alasan efisiensi 

 Lihat Pasal 151 ayat (1) dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tentang Pencegahan Pemutusan 

Hubungan Kerja Massal. Keduanya mengatur menegaskan bahwa PHK haruslah sedapat mungkin dicegah dan dihindari, atau dengan kata 

lain sebagai upaya terakhir yang ditempuh. Sebelum melakukan PHK pengusaha haruslah menempuh berbagai upaya dulu untuk mencegah 

terjadinya PHK seperti mengurangi jam kerja, hari kerja, lembur atau merumahkan pekerja secara bergiliran, dan sebagainya. 


untuk melakukan PHK sejatinya tidak dilarang oleh Pasal 153 ayat (1) UU 

Ketenagakerjaan dan Kovensi serta Rekomendasi ILO tahun 1982. Untuk menjamin 

dan melindungi pekerja, pemenuhan hak dan kompensasi PHK karena efisiensi 

tanpa penutupan perusahaan dapat menggunakan formulasi yang sama dengan 

formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan yang ada di UU Ketenagakerjaan. 

Terakhir, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial juga perlu 

mengawal bahwa proses PHK efisiensi tanpa penutupan perusahaan harus sesuai 

dengan prinsip-prinsip, asas dan aturan PHK yang berlaku, serta memastikan hak 

dan kompensasi PHK pekerja telah dipenuhi oleh pengusaha.


Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive