Selasa, 03 Desember 2024

Published Desember 03, 2024 by

teknologi bank 4



 an dirinya terbang di antara pohon-pohon apel 


untuk membantu penyerbukan antara pohon apel. Sesungguhnya

membuat visi fungsional lebih baik dibandingkan membuat visi 


operasional.


Siapakah yang sebaiknya membuat visi ini? Idealnya visi 


merupakan bayangan masa depan yang dibuat dan disepakati 


oleh seluruh anggota organisasi, inilah shared vision yang 


sesungguhnya dan yang ideal. Namun kenyataannya, 


kemampuan untuk menerawang masa depan digital umumnya 


tidak dimiliki oleh seluruh anggota organisasi, dan bagaimana 


mungkin orang yang tidak memiliki kemampuan tersebut 


diharapkan bisa ikut membuat visi digital perusahaannya? Jadi 


pilihan cara yang cukup ideal berikutnya adalah pemimpin 


puncak (BOD, Board of Directors) menseleksi sejumlah orang 


yang mempunyai potensi menjadi pemimpin masa depan, 


bersama-sama melengkapi diri dengan wawasan teknologi 


digital, kemudian mendiskusikan bersama apa visi ke depan dari 


perusahaannya. Jangan lupa untuk juga menyepakati kriteria dan 


besarannya untuk mengukur apakah visi tersebut tercapai, dan 


sepakat dengan kapan besaran kriteria tersebut harus dicapai. 


Visi yang dihasilkan beserta kapan serta bagaimana 


mengukurnya tersebut kemudian harus disosialisasikan kepada 


seluruh anggota organisasi, agar mereka mengerti dan menjadi 


inspirasi serta memberi mereka arah dalam bertransformasi. Ini 


juga bisa dikategorikan shared vision. Dalam bertransformasi, 


sebaiknya pemimpin puncak tidak berganti, karena jika itu terjadi, 


sangat mungkin visi berubah drastis. Jika visi berubah drastis, 


ada kemungkinan semua usaha yang telah dimulai akan 


ditinggalkan diganti yang lain. Pergantian pemimpin puncak 


dalam fase transformasi hanya boleh terjadi apabila dalam 


implementasi transformasi yang sedang dilakukan terlihat tidak 


ada komitmen atau kompetensi dari pimpinan puncak

MENTRANSFORMASI BUDAYA PERUSAHAAN 


(Transforming Organizational Culture)


Pemimpin juga perlu mengubah budaya perusahaan 


menjadi digital. Berbagai riset menunjukkan bahwa halangan 


terbesar transformasi digital adalah budaya perusahaan yang sulit 


berubah padahal transformasi digital dipengaruhi terutama oleh 


budaya, bukan teknologi (Digital transformation is culture-driven, 


not technology-driven).

Hal ini bukan pekerjaan mudah, karena letak budaya 


perusahaan ada dalam otak dari keseluruhan karyawannya. 


Budaya perusahaan adalah perilaku yang biasa dilakukan oleh 


para karyawan perusahaan tersebut, yang dianggap benar dan 


sesuai dengan perusahaan tersebut, berdasarkan pengalaman 


yang telah dilalui oleh orang-orang dalam perusahaan tersebut. 


Ketika situasi berubah dengan cepat seperti dalam era revolusi 


digital ini, pengalaman masa lalu menjadi tidak relevan lagi, 


perilaku harus disesuaikan dengan kondisi masa kini yang sudah 


berbeda signifikan dengan masa lalu, hal itu yang seringkali tidak 


terjadi dalam perusahaan.

Mengubah budaya secara drastis dalam transformasi 


digital itu bagaikan melakukan uninstall operating system dalam 


suatu komputer dan kemudian melakukan instalasi operating 


system yang baru dan berbeda. Selain lama, banyak hal yang bisa 


terjadi, misalkan proses uninstall tidak bisa menghapus semua 


files, operating system yang baru tidak kompatibel dengan 


spesifikasi hardware yang ada, dan sebagainya.


Pada survei yang dilakukan terhadap berbagai 


perusahaan di seluruh dunia, didapatkan bahwa responden 


mengakui bahwa hambatan terbesar di perusahaan mereka 


dalam bertransformasi digital adalah hambatan budaya. Selain itu, 


di urutan kedua adalah adanya aplikasi dan sistem IT lama yang 


sudah tidak memadai lagi namun tetap dipakai karena berbagai 


sebab. Di urutan ketiga adalah kurangnya ketrampilan digital dari 


para karyawan, dan urutan keempat adalah kurangnya visi 


pemimpin yang jelas dalam transformasi digital.

Banyak yang sadar bahwa mengubah budaya sangat 


penting, namun mungkin tidak banyak yang menyadari 


bagaimana hubungan apa saja komponen budaya dan 


hubungannya dengan manajemen perusahaan.


Budaya perusahaan terdiri dari budaya yang tidak terlihat, 


yaitu asumsi yang dianut bersama, persepsi, tradisi, norma, 


kepercayaan, nilai-nilai yang disepakati, peraturan tidak tertulis, 


cerita-cerita atas apa yang pernah terjadi, serta perasaan yang 


menyertainya. Bagian dari budaya perusahaan yang mudah 


dilihat adalah strategi, nilai-nilai perusahaan, tujuan, kebijakan, 


struktur, prosedur perusahaan yang ada. 


Namun bagaikan suatu bongkah es yang mengapung di 


atas air, komponen budaya perusahaan yang tidak terlihat lebih 


besar dan lebih berat dibandingkan komponen budaya 


perusahaan yang terlihat di permukaan, karena itu komponen 


tidak terlihat itu lebih sulit dirubah. 


Ketika kita berusaha mengubah budaya perusahaan, 


secara formal yang kita bisa lakukan adalah mengubah budaya 


perusahaan yang terlihat, namun itu tidak serta merta merubah 


budaya secara keseluruhan, karena memerlukan waktu untuk 


menyeret budaya perusahaan yang tidak terlihat yang lebih besar 


itu untuk bergerak mengikuti.

Karena budaya perusahaan didasarkan pada pengalaman 


masa lalu, maka makin lama sejarah suatu perusahaan makin 


kuat budaya tertanam dan makin sulit mengubahnya. Bapak 


Manajemen Modern Peter Drucker mengatakan “Culture eats 


strategy for breakfast”. Maksudnya, apabila kita mengubah 


strategi perusahaan tanpa mengubah budaya perusahaan, maka 


sejak awal strategi baru tersebut tidak akan diterima dan tidak 


akan dilaksanakan. Jadi mengubah strategi tanpa mengubah 


budaya perusahaan adalah usaha yang sia-sia

Jadi untuk menggerakkan perusahaan untuk mencapai 


visi yang baru yaitu visi bertransformasi digital, pemimpin harus 


menggerakkan dua sisi secara bersamaan, yaitu strategi dan 


budaya. 


Perubahan visi yang diterjemahkan menjadi perubahan 


strategi yang kemudian diturunkan menjadi capaian/target, yang 


menjadi acuan bagi prosedur, dan kemudian memerlukan 


aktivitas yang sesuai, hanya akan mencapai hasil yaitu 


keuntungan, produktifitas, dan pertumbuhan, apabila disertai 


dengan menggerakkan budaya yang mendukung dengan 


mengubah nilai-nilai yang menggerakkan perilaku dan ujungnya 


berupa tindakan.

Nilai-nilai perusahaan sangat menentukan budaya 


perusahaan. Spencer Stuart (2007) membuat peta budaya yang 


didasarkan pada dua jenis nilai perusahaan yang menonjol yaitu 


nilai kebersamaan dan sikap terhadap stabilitas.


Nilai kebersamaan mempunyai dua kutub ekstrim yaitu 


independen dan interdependen. Perusahaan yang mempunyai 


nilai independen menghargai prestasi individu lebih dari prestasi 


tim, sedangkan interdependen berarti kebersamaan diposisikan 


lebih tinggi dibandingkan prestasi individu.


Sikap terhadap stabilitas dibagi menjadi dua kutub ekstrim, 


yaitu stabilitas dan fleksibilitas. Perusahaan yang memilih sikap 


stabilitas, tidak menyukai resiko sehingga mementingkan 


prosedur yang ketat yang dianggap sudah terbukti. Sedangkan 


perusahaan yang memilih sikap fleksibilitas mementingkan 


kelincahan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan

lingkungan dan mau menerima konsekuensinya yaitu resiko 


kesalahan atas mencoba sesuatu yang baru.

Dilihat dari karakter industrinya, bank pada umumnya 


memilih sikap stabilitas, serta nilai kebersamaan, sehingga 


budaya yang terbentuk adalah budaya aman atau safety, yaitu 


sangat menghindari resiko berbuat salah. Sedangkan budaya 


digital adalah budaya pembelajaran atau learning, karena 


mementingkan sikap fleksibilitas untuk berkembang terus 


mencoba sesuatu yang baru dan menghargai pencapaian individu 


lebih daripada kebersamaan. Jika kita lihat letak budaya aman 


dan budaya pembelajaran di peta tersebut, kita akan lihat

posisinya berseberangan, yang berarti sangat bertolak belakang. 


Artinya, mengubah budaya bank pada umumnya untuk menjadi 


budaya digital, merupakan upaya yang sangat berat. Di sisi lain, 


karena kita menyadari ini, maka kita harus memberi sumberdaya 


lebih dan kesabaran lebih dalam mengubah budaya dalam suatu 


bank.


David Gledhill, Chief Information Officer (CIO) DBS Bank 


Singapore pernah membagikan pengalamannya dalam 


mengubah budaya DBS menjadi digital. Ia mengatakan bahwa 


dalam kecepatan perubahan pola pikir pegawai sangat berbeda 


satu dengan lainnya, ada pegawai yang cepat berubah, ada yang 


lambat berubah, dan ada yang langsung menolak untuk berubah. 


Sebagai pemimpin, kita harus menyadari dan mengantisipasi hal 


tersebut.

Secara praktis, apa yang harus dilakukan oleh para 


pemimpin bank untuk bisa mentransformasi budaya organisasi 


(Westerman, 2014) adalah:


1. Secara regular dan terus menerus menunjukkan kepada 


semua pegawai perkembangan ancaman digital terhadap 


perbankan maupun perusahaan, yang ditunjukkan dengan 


data yang meyakinkan.

2. Membangkitkan sense of urgency dengan menyampaikan 


kritisnya kondisi sekarang jika perusahaan tidak berubah 


segera. Inti yang perlu disampaikan adalah segera berubah 


sekarang, sebelum semuanya terlambat.


3. Menunjukkan tindakan perubahan yang nyata, jelas, dan 


cepat. Misalkan merekrut pimpinan baru yang mahir digital, 


melakukan pelatihan besar-besaran mengenai transformasi 


digital, melakukan perubahan core banking system, 


mempromosikan orang-orang yang mendukung perubahan 


digital ke posisi-posisi kunci, dan sebagainya.


4. Berkomunikasi kepada semua jajaran secara positif, bahwa 


perusahaan mampu menjawab tantangan bertransformasi 


digital yang diperlukan, apabila semua secara bersama-sama 


mau berubah.


5. Berkomunikasi menggunakan sebanyak-banyaknya media 


dan cara kepada seluruh jajaran pegawai mengenai upaya￾upaya transformasi digital yang telah dan perlu dilakukan


6. Memastikan bahwa komunikasi tersebut telah menjangkau 


seluruh jajaran pegawai, bukan hanya kalangan atas atau 


kalangan tertentu.


7. Mengidentifikasi dan menyingkirkan penghalang upaya-upaya 


transformasi digital. Apabila penghalang tersebut adalah 


orang-orang yang baik secara terbuka atau tersembunyi 


menentang transformasi digital, maka orang-orang tersebut 


diupayakan untuk dipengaruhi untuk mendukung. Jika tidak 


berhasil dipengaruhi, maka orang-orang tersebut perlu 


disingkirkan supaya tidak menghalangi.


8. Membangun kompetensi digital bagi seluruh jajaran pegawai. 


Kompetensi digital ini mencakup wawasan dan pengertian 


akan teknologi digital, serta kemampuan untuk menjalankan 


menjalankan proses digital di bidang kerjanya.

MENGINTEGRASIKAN ORANG BISNIS DENGAN TEKNOLOGI 


INFORMASI (Integrating Information Technology (IT) and 


Busines People)


Berbeda dengan proses bisnis sebelumnya di mana IT 


menjadi penunjang bagi proses bisnis, saat ini adalah IT menjadi 


jalan utama bahkan jalan satu-satunya bagi semua proses bisnis. 


Oleh karena itu semua proses bisnis harus terintegrasi dalam IT, 


dan IT harus mencakup seluruh proses bisnis. Oleh karenanya, 


dalam transformasi digital, orang IT yang menguasai operasi 


harus bekerja bersama orang bisnis yang menguasai apa yang 


dibutuhkan oleh pelanggan. 


Orang bisnis harus mengerti IT agar bisa memenuhi 


kebutuhan pelanggan dan pemangku kepentingan dengan cara 


yang paling efisien yaitu melalui sistem IT. Demikian pula orang di 


divisi IT yang sebelumnya hanya fokus ke dalam, yaitu bagaimana 


memenuhi permintaan internal, saat ini harus memperluas 


fokusnya ke luar, yaitu kepada pelanggan dan mitra bisnis. Orang 


divisi IT harus memikirkan bagaimana merancang dan membuat 


pendekatan digital yang paling mudah, efektif, dan efisien bagi 


kebutuhan operasional internal, pelanggan dan mitra usaha.


Intinya, hubungan orang dan fungsi IT dengan orang dan 


fungsi bisnis yang sebelumnya bagaikan kakak dan adik, kini 


bagaikan kembar siam dengan DNA yang sama.

Karena itu, menurut disertasi Hie (2020), untuk 


menyatukan orang-orang TI dan bisnis, pemimpin perlu 


memastikan hal-hal di bawah ini:


1. Adanya sinergi antara orang TI dan orang Bisnis, yang 


ditunjukkan dengan mereka memiliki rasa saling percaya dan 


kompak; mempunyai pengertian yang sama mengenai bisnis 


dan TI; serta bisa berkomunikasi dengan sangat baik.


2. Terjadi transformasi digital dalam semua proses bisnis, baik di 


dalam keuangan, pengelolaan pelanggan, operasional 


perusahaan, maupun dalam pengelolaan Sumber Daya 


Manusia.


3. Peningkatan keterampilan digital pada seluruh lapisan 


pegawai. Untuk itu harus dimulai sejak rekrutmen dan seleksi 


yang mengutamakan kompetensi digital dimiliki oleh pegawai 


baru. Bagi pegawai yang ada, adanya program dan aktivitas 


pembelajaran digital bagi semua lapisan pegawai. Di samping 


itu harus dipastikan semua level pegawai dapat menjalankan 


sistem digital yang diterapkan di perusahaan.

Cara kerja yang baru yang sesuai dengan prinsip 


mengintegrasikan TI dengan orang bisnis adalah cara kerja agile


(lincah) dengan metodologi antara lain Scrum yang populer dalam 


masa transformasi digital ini. Prinsip utama cara kerja Scrum 


adalah memfasilitasi kebutuhan orang bisnis sesegera mungkin 


dengan memberikan satu tim software developer yang akan 


berinteraksi setiap hari dengan mereka untuk mewujudkan 


software yang mereka perlukan dalam tempo singkat yang singkat 


yaitu 4-6 minggu. Tim yang terdiri dari orang bisnis sebagai 


product owner (yang memiliki kebutuhan) dan tim developer ini 


disebut sebagai Squad, yang dikoordinasikan oleh seorang Scrum 


Master yang menguasai prosedur Scrum dan menjaga agar 


proses berjalan sesuai dengan target. Kebutuhan orang bisnis 


bisa berupa software yang dibutuhkan oleh pelanggan eksternal, 


maupun kebutuhan internal. Seringkali orang bank berpikir bahwa 


Scrum tidak cocok diterapkan di bank, karena walaupun Scrum 


bisa bekerja dengan cepat, nantinya akan terkendala oleh proses 


memperoleh perijinan dari otoritas keuangan. Perlu dicatat bahwa 


software yang dihasilkan dengan metodologi Scrum bukan hanya 


untuk membuat produk perbankan untuk pelanggan eksternal, 


namun juga untuk upgrade, versi baru, menambah fitur baru, 


process improvement internal termasuk compliance, serta 


koneksi dengan platform pihak ketiga. Bentuk cara kerja baru ini 


sangat berbeda dengan cara konvensional yang mana pekerjaan 


TI dilakukan dengan metodologi waterfall dan hasilnya suatu 


software yang monolitik. Saat ini software yang monolitik sudah 


sangat dihindari karena tidak bisa memenuhi kelincahan yang 


diperlukan dalam era transformasi digital ini. Tren saat ini adalah 


arsitektur software dalam bentuk microservices yang bisa 


menawarkan kelincahan yang terbaik saat ini.

TATAKELOLA TRANSFORMASI DIGITAL


(Digital Transformation Governance)


Proses tatakelola (governance) yang baik perlu diterapkan 


oleh pemimpin sejak awal transformasi digital dilakukan. Tujuan 


tatakelola ini adalah menggerakkan seluruh daya upaya 


perusahaan agar selaras dengan arah yang ingin dituju oleh 


perusahaan. Diperlukan suatu tindakan yang terarah, terstruktur 


dan sistematis oleh para pemimpin, agar seluruh sumberdaya di 


perusahaan dapat dikoordinasikan mencapai tujuan perusahaan 


dengan cepat, tanpa ada tumpang tindih, dan halangan 


disingkirkan. Tanpa melakukan tatakelola transformasi digital 


yang baik, akan terjadi inisiatif-inisiatif digital yang tidak 


terkoordinasi, sehingga ini bisa menjadi bom waktu ketika di 


kemudian hari disadari inisiatif-inisiatif yang dilakukan tidak dapat 


terintegrasi. Jika inisiatif yang dilakukan ternyata tumpang tindih 


dan terjadi duplikasi, maka itu merupakan pemborosan, serta 


menjadi sumber masalah di kemudian hari untuk memutuskan 


inisiatif mana yang diteruskan dan mana yang dihentikan.


Untuk melaksanakan fungsi tatakelola ini, pemimpin 


hendaknya membentuk suatu komite, yang bertugas untuk:


1. Menyelaraskan Key Performance Indicators (KPI) dari setiap 


pegawai dengan strategi transformasi digital, agar peran dan 


tanggung jawab tiap orang menjadi jelas, kinerjanya dapat 


diukur dengan cepat secara digital, serta bisa mendapat 


feedback yang cepat untuk meningkatkan kinerjanya.


2. Menyatukan berbagai divisi dan departemen dalam 


transformasi digital ini. Indikator tercapainya hal ini adalah; a. 


Semua divisi/departemen tau prioritas perusahaan dan 


bekerja bersama mencapainya b. Seluruh organisasi 


menggunakan tim sumberdaya manusia TI, teknologi dan data 

yang sama dalam menjalankan inisiatif-inisiatif digital, agar 


tidak terjadi tumpang tindih dan dapat terkoordinir baik. c. 


adanya kesepakatan semua divisi/departemen dalam 


kebijakan dan alokasi sumberdaya yang diperlukan


3. Menyelaraskan stuktur reward dengan tujuan transformasi 


digital. Mereka yang telah bekerja selaras dengan tujuan 


transformasi digital dan berprestasi, perlu diberikan reward


berupa promosi jabatan, diakui dan diberi penghargaan, baik 


penghargaan finansial maupun non-finansial. Hal ini penting 


agar mereka yang sudah selaras tahu bahwa mereka sudah 


di arah yang benar, serta bagi mereka yang tidak mendapat 


reward mengerti bahwa mereka harus lebih menyelaraskan 


kerjanya.

Dari riset yang dilakukan oleh penulis (Hie, 2020), 


didapatkan bahwa justru Digital Transformation Governance ini 


merupakan faktor terpenting dalam empat pilar tindakan yang 


perlu dilakukan (Digital Vision, Transforming Organizational 


Culture, Integrating IT and Business People, Digital 


Transformation Governance) oleh pemimpin bank di Indonesia

untuk meningkatkan efektifitas kepemimpinan dalam mencapai 


kematangan transformasi digital perusahaan. Hal ini berbeda 


dengan di negara-negara lain yang umumnya mendapatkan 


bahwa merubah budaya (transforming organizational culture) 


merupakan faktor terpenting dalam transformasi digital. 


Jika kita lihat di atas uraian tentang apa saja yang perlu 


dilakukan dalam mentransformasi budaya perusahaan, maka bisa 


kita lihat bahwa pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan 


persuasif komunikatif agar semua lapisan pegawai dapat mengerti 


akan situasi yang genting kemudian berinisiatif untuk bersama 


berubah bertransformasi. Hal ini sangat diperlukan di lingkungan 


kerja di negara-negara yang memiliki power distance (persepsi 


tentang beda kekuasaan pimpinan dan bawahan) yang kecil, yang 


mana bawahan bergerak hanya apabila dirinya mengerti dan 


menerima alasannya. 


Namun di Indonesia yang mana masyarakatnya memiliki 


faktor budaya power distance yang besar, para pegawai lebih 


mudah digerakkan dan diatur oleh pemimpin melalui cara 


governance. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan pemimpin 


dalam transformasi digital ini lebih besar pada memberikan 


arahan yang jelas melalui KPI dan reward system, daripada 


tantangan memenangkan dukungan bawahan. Dan juga berarti 


bahwa pemimpin transformasi digital di Indonesia perlu lebih 


banyak mengerti mendalam mengenai transformasi digital ini 


karena merekalah yang diharapkan oleh para bawahannya 


memberi arahan. 


Di satu sisi hal ini merupakan hal yang positif karena 


bawahan lebih mudah diarahkan dengan KPI dan reward system


yang jelas, di sisi lain inisiatif bawahan dapat dirasakan kurang 


memadai dalam proses transformasi digital yang memerlukan 


upaya besar ini.

KEPEMIMPINAN MERUPAKAN LANGKAH UTAMA DAN 


PERTAMA DALAM BERTRANSFORMASI DIGITAL


Dari riset yang dilakukan oleh Kien et al (2018) dari 


Nanyang Business School di Singapore terhadap transformasi 


digital DBS, disebutkan bahwa keberhasilan DBS dalam 


bertransformasi digital adalah karena langkah awal yang 


ditempuh DBS adalah menyuburkan kepemimpinan untuk 


transformasi digital. Ini dilakukan sebelum melakukan perubahan 


di tiga komponen utama transformasi digital yaitu Customer 


Experience, Operational Excellence, dan New Business Model.


Kepemimpinan transformasi digital ini perlu secara meluas 


dimiliki oleh seluruh lapisan, baik pemimpin senior, pemimpin 


menengah, maupun pemimpin yunior, agar transformasi digital 


dapat terjadi serempak di seluruh lapisan pegawai. Tanpa 


membina kepemimpinan transformasi digital di seluruh lapisan 


pemimpin, maka pekerjaan transformasi digital ini menjadi terlalu 


besar bagi pemimpin bank mana pun, baik bank besar maupun 


bank kecil. Hasil yang diperoleh bisa dipastikan adalah chaos, 


terutama karena digital transformation governance tidak 


terlaksana dengan baik.


Seringkali dijumpai, para pemimpin bank mengira bahwa 


wawasan transformasi digital bagi para pemimpin di semua level 


ini bisa diperoleh sambil berjalan, tanpa harus mempelajarinya


secara komprehensif. Dalam kenyataannya, setiap orang akan 


menginterpretasikan konsep transformasi digital sesuai dengan 


apa yang dialaminya, yang berbeda satu dengan lainnya, dan 


tidak bisa melihat konsep ini secara corporation wide. Akhirnya 


yang terjadi adalah disharmoni dari berbagai divisi dan 


departemen.

APAKAH ANDA PEMIMPIN YANG TEPAT?


Para pemimpin perlu secara sadar mengerti bahwa 


keberhasilan transformasi digital terbesar terletak pada 


pundaknya. Transformasi digital selalu harus dimulai dari 


pemimpin paling atas kemudian menjalar ke bawah, dan 


terlaksana dari operasi perusahaan paling bawah menuju ke atas. 


Seluruh lapisan pemimpin perlu mengukur diri, apakah dirinya 


adalah pemimpin yang kompeten dalam memimpin 


perusahaannya dalam melaksanakan transformasi digital. 


Demikian pula pemangku kepentingan lain juga akan menilai, baik 


terbuka maupun diam-diam, baik ketika transformasi dimulai atau 


telah berjalan.


Transformasi digital merupakan suatu proses yang luar 


biasa radikal, seperti sebelumnya diilustrasikan bagai ulat menjadi 


kupu-kupu, sehingga para pemimpin perlu memenangkan

keyakinan dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) 


bahwa transformasi digital perusahaan dapat dengan selamat 


sampai tujuannya. Bukan hanya pegawai, tetapi juga pemegang 


saham, dan juga nasabah perlu yakin untuk berkomitmen 


transformasi digital yang besar ini. Sebaliknya, keyakinan para 


pemangku kepentingan ini juga akan menentukan efektifitas para 


pemimpin yang akan memimpin transformasi digital. 


Seringkali para pemimpin sulit untuk mengukur seberapa 


besar keyakinan para pemangku kepentingan terhadap 


kemampuannya membawa perusahaan bertransformasi digital. 


Fenomena blind-spot sangat umum terjadi, apalagi bagi pemimpin 


di Indonesia ini di mana budaya pemimpin tidak boleh dikritik 


sangat kental. Banyak pemimpin secara terbuka mengumumkan 


kepada bawahannya bahwa ia sangat demokratis dan terbuka 


terhadap kritik, namun ketika kritik disampaikan, penerimaannya 


tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya. Hal tersebut, 


ditambah dengan memang budaya power distance yang tinggi, 


membuat pemimpin yang benar-benar ingin mengukur 


pandangan terhadap dirinya di mata orang lain menemui 


kesulitan. Sehingga pemimpin seringkali berada dalam kondisi 


bagaikan seorang wanita yang tidak punya cermin di rumah. Hal 


itu seringkali menyebabkan pemimpin berpandangan bahwa 


orang lain perlu berubah sesuai dengan yang ia inginkan, namun 


tidak menyadari bahwa yang perlu berubah yang pertama adalah 


dirinya sendiri.


Untuk memenangkan keyakinan para pemangku 


kepentingan, para pemimpin perlu mengerti bahwa penilaian para 


pemangku kepentingan terhadap dirinya terdiri dari dua hal 


utama:


1. Keyakinan subyektif atas kemampuan personal para 


pemimpin. Untuk memenangkan keyakinan subyektif ini para

pemangku kepentingan perlu melihat bahwa para pemimpin 


dapat dicontoh perilakunya (menjadi role-model) dalam 


kemajuan digital, yaitu perilaku bersedia menerapkan prinsip￾prinsip transformasi digital untuk dirinya sendiri, misalkan 


belajar dengan e-learning, tidak birokratis, selalu antusias 


untuk merubah cara kerja menjadi digital. Selain itu para 


pemangku kepentingan juga perlu melihat bahwa para 


pemimpin mempunyai kompetensi digital yang diperlukan, 


yaitu menguasai wawasan digital, mengerti prinsip-prinsip 


transformasi digital, serta mengerti istilah-istilah teknis yang 


umum dipakai dalam digital seperti cloud, big data analytics, 


artificial intelligence, Scrum, Python, API, open banking, dan 


sebagainya. Keyakinan ini perlu ada sejak awal transformasi 


digital digulirkan.


2. Keyakinan berdasarkan data obyektif yaitu atas hasil yang 


ditunjukkan. Hasil yang ditunjukkan dalam transformasi digital 


bank yang bisa dilihat dalam jangka pendek adalah 


pencapaian hal-hal yang terdapat dalam daftar kematangan 


digital (Digital Maturity) yang diuraikan sebelumnya, yang 


terdiri dari tiga hal utama; Customer Experience, Operational 


Excellence, dan New Business Model. Dengan mengukur 


indeks kematangan digital (Digital Maturity Index), kita dapat 


mengukur secara obyektif dan cepat kemajuan yang dicapai 


dalam transformasi digital ini. Sedangkan hasil jangka 


menengah, seringkali perlu menunggu 2-3 tahun sebelum 


dapat terlihat jelas, yaitu meningkatnya penghasilan (revenue) 


dan menurunnya beban biaya (costs) yang diperoleh dari 


transformasi digital ini. Hasil jangka panjang (3-5 tahun) yang 


harus bisa ditunjukkan adalah perkembangan new business 


model yang harus menambah potensi pertumbuhan 


eksponensial terhadap penghasilan perusahaan. Tanpa

perkembangan new business model yang baik, maka 


pertumbuhan perusahaan akan tetap linier. Jika perusahaan 


telah menjadi perusahaan publik, maka harga saham 


perusahaan dapat juga dijadikan landasan untuk mengukur 


tingkat keyakinan para pemegang saham publik atas 


transformasi digital yang akan dilakukan maupun yang sedang 


dilakukan