an dirinya terbang di antara pohon-pohon apel
untuk membantu penyerbukan antara pohon apel. Sesungguhnya
membuat visi fungsional lebih baik dibandingkan membuat visi
operasional.
Siapakah yang sebaiknya membuat visi ini? Idealnya visi
merupakan bayangan masa depan yang dibuat dan disepakati
oleh seluruh anggota organisasi, inilah shared vision yang
sesungguhnya dan yang ideal. Namun kenyataannya,
kemampuan untuk menerawang masa depan digital umumnya
tidak dimiliki oleh seluruh anggota organisasi, dan bagaimana
mungkin orang yang tidak memiliki kemampuan tersebut
diharapkan bisa ikut membuat visi digital perusahaannya? Jadi
pilihan cara yang cukup ideal berikutnya adalah pemimpin
puncak (BOD, Board of Directors) menseleksi sejumlah orang
yang mempunyai potensi menjadi pemimpin masa depan,
bersama-sama melengkapi diri dengan wawasan teknologi
digital, kemudian mendiskusikan bersama apa visi ke depan dari
perusahaannya. Jangan lupa untuk juga menyepakati kriteria dan
besarannya untuk mengukur apakah visi tersebut tercapai, dan
sepakat dengan kapan besaran kriteria tersebut harus dicapai.
Visi yang dihasilkan beserta kapan serta bagaimana
mengukurnya tersebut kemudian harus disosialisasikan kepada
seluruh anggota organisasi, agar mereka mengerti dan menjadi
inspirasi serta memberi mereka arah dalam bertransformasi. Ini
juga bisa dikategorikan shared vision. Dalam bertransformasi,
sebaiknya pemimpin puncak tidak berganti, karena jika itu terjadi,
sangat mungkin visi berubah drastis. Jika visi berubah drastis,
ada kemungkinan semua usaha yang telah dimulai akan
ditinggalkan diganti yang lain. Pergantian pemimpin puncak
dalam fase transformasi hanya boleh terjadi apabila dalam
implementasi transformasi yang sedang dilakukan terlihat tidak
ada komitmen atau kompetensi dari pimpinan puncak
MENTRANSFORMASI BUDAYA PERUSAHAAN
(Transforming Organizational Culture)
Pemimpin juga perlu mengubah budaya perusahaan
menjadi digital. Berbagai riset menunjukkan bahwa halangan
terbesar transformasi digital adalah budaya perusahaan yang sulit
berubah padahal transformasi digital dipengaruhi terutama oleh
budaya, bukan teknologi (Digital transformation is culture-driven,
not technology-driven).
Hal ini bukan pekerjaan mudah, karena letak budaya
perusahaan ada dalam otak dari keseluruhan karyawannya.
Budaya perusahaan adalah perilaku yang biasa dilakukan oleh
para karyawan perusahaan tersebut, yang dianggap benar dan
sesuai dengan perusahaan tersebut, berdasarkan pengalaman
yang telah dilalui oleh orang-orang dalam perusahaan tersebut.
Ketika situasi berubah dengan cepat seperti dalam era revolusi
digital ini, pengalaman masa lalu menjadi tidak relevan lagi,
perilaku harus disesuaikan dengan kondisi masa kini yang sudah
berbeda signifikan dengan masa lalu, hal itu yang seringkali tidak
terjadi dalam perusahaan.
Mengubah budaya secara drastis dalam transformasi
digital itu bagaikan melakukan uninstall operating system dalam
suatu komputer dan kemudian melakukan instalasi operating
system yang baru dan berbeda. Selain lama, banyak hal yang bisa
terjadi, misalkan proses uninstall tidak bisa menghapus semua
files, operating system yang baru tidak kompatibel dengan
spesifikasi hardware yang ada, dan sebagainya.
Pada survei yang dilakukan terhadap berbagai
perusahaan di seluruh dunia, didapatkan bahwa responden
mengakui bahwa hambatan terbesar di perusahaan mereka
dalam bertransformasi digital adalah hambatan budaya. Selain itu,
di urutan kedua adalah adanya aplikasi dan sistem IT lama yang
sudah tidak memadai lagi namun tetap dipakai karena berbagai
sebab. Di urutan ketiga adalah kurangnya ketrampilan digital dari
para karyawan, dan urutan keempat adalah kurangnya visi
pemimpin yang jelas dalam transformasi digital.
Banyak yang sadar bahwa mengubah budaya sangat
penting, namun mungkin tidak banyak yang menyadari
bagaimana hubungan apa saja komponen budaya dan
hubungannya dengan manajemen perusahaan.
Budaya perusahaan terdiri dari budaya yang tidak terlihat,
yaitu asumsi yang dianut bersama, persepsi, tradisi, norma,
kepercayaan, nilai-nilai yang disepakati, peraturan tidak tertulis,
cerita-cerita atas apa yang pernah terjadi, serta perasaan yang
menyertainya. Bagian dari budaya perusahaan yang mudah
dilihat adalah strategi, nilai-nilai perusahaan, tujuan, kebijakan,
struktur, prosedur perusahaan yang ada.
Namun bagaikan suatu bongkah es yang mengapung di
atas air, komponen budaya perusahaan yang tidak terlihat lebih
besar dan lebih berat dibandingkan komponen budaya
perusahaan yang terlihat di permukaan, karena itu komponen
tidak terlihat itu lebih sulit dirubah.
Ketika kita berusaha mengubah budaya perusahaan,
secara formal yang kita bisa lakukan adalah mengubah budaya
perusahaan yang terlihat, namun itu tidak serta merta merubah
budaya secara keseluruhan, karena memerlukan waktu untuk
menyeret budaya perusahaan yang tidak terlihat yang lebih besar
itu untuk bergerak mengikuti.
Karena budaya perusahaan didasarkan pada pengalaman
masa lalu, maka makin lama sejarah suatu perusahaan makin
kuat budaya tertanam dan makin sulit mengubahnya. Bapak
Manajemen Modern Peter Drucker mengatakan “Culture eats
strategy for breakfast”. Maksudnya, apabila kita mengubah
strategi perusahaan tanpa mengubah budaya perusahaan, maka
sejak awal strategi baru tersebut tidak akan diterima dan tidak
akan dilaksanakan. Jadi mengubah strategi tanpa mengubah
budaya perusahaan adalah usaha yang sia-sia
Jadi untuk menggerakkan perusahaan untuk mencapai
visi yang baru yaitu visi bertransformasi digital, pemimpin harus
menggerakkan dua sisi secara bersamaan, yaitu strategi dan
budaya.
Perubahan visi yang diterjemahkan menjadi perubahan
strategi yang kemudian diturunkan menjadi capaian/target, yang
menjadi acuan bagi prosedur, dan kemudian memerlukan
aktivitas yang sesuai, hanya akan mencapai hasil yaitu
keuntungan, produktifitas, dan pertumbuhan, apabila disertai
dengan menggerakkan budaya yang mendukung dengan
mengubah nilai-nilai yang menggerakkan perilaku dan ujungnya
berupa tindakan.
Nilai-nilai perusahaan sangat menentukan budaya
perusahaan. Spencer Stuart (2007) membuat peta budaya yang
didasarkan pada dua jenis nilai perusahaan yang menonjol yaitu
nilai kebersamaan dan sikap terhadap stabilitas.
Nilai kebersamaan mempunyai dua kutub ekstrim yaitu
independen dan interdependen. Perusahaan yang mempunyai
nilai independen menghargai prestasi individu lebih dari prestasi
tim, sedangkan interdependen berarti kebersamaan diposisikan
lebih tinggi dibandingkan prestasi individu.
Sikap terhadap stabilitas dibagi menjadi dua kutub ekstrim,
yaitu stabilitas dan fleksibilitas. Perusahaan yang memilih sikap
stabilitas, tidak menyukai resiko sehingga mementingkan
prosedur yang ketat yang dianggap sudah terbukti. Sedangkan
perusahaan yang memilih sikap fleksibilitas mementingkan
kelincahan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan dan mau menerima konsekuensinya yaitu resiko
kesalahan atas mencoba sesuatu yang baru.
Dilihat dari karakter industrinya, bank pada umumnya
memilih sikap stabilitas, serta nilai kebersamaan, sehingga
budaya yang terbentuk adalah budaya aman atau safety, yaitu
sangat menghindari resiko berbuat salah. Sedangkan budaya
digital adalah budaya pembelajaran atau learning, karena
mementingkan sikap fleksibilitas untuk berkembang terus
mencoba sesuatu yang baru dan menghargai pencapaian individu
lebih daripada kebersamaan. Jika kita lihat letak budaya aman
dan budaya pembelajaran di peta tersebut, kita akan lihat
posisinya berseberangan, yang berarti sangat bertolak belakang.
Artinya, mengubah budaya bank pada umumnya untuk menjadi
budaya digital, merupakan upaya yang sangat berat. Di sisi lain,
karena kita menyadari ini, maka kita harus memberi sumberdaya
lebih dan kesabaran lebih dalam mengubah budaya dalam suatu
bank.
David Gledhill, Chief Information Officer (CIO) DBS Bank
Singapore pernah membagikan pengalamannya dalam
mengubah budaya DBS menjadi digital. Ia mengatakan bahwa
dalam kecepatan perubahan pola pikir pegawai sangat berbeda
satu dengan lainnya, ada pegawai yang cepat berubah, ada yang
lambat berubah, dan ada yang langsung menolak untuk berubah.
Sebagai pemimpin, kita harus menyadari dan mengantisipasi hal
tersebut.
Secara praktis, apa yang harus dilakukan oleh para
pemimpin bank untuk bisa mentransformasi budaya organisasi
(Westerman, 2014) adalah:
1. Secara regular dan terus menerus menunjukkan kepada
semua pegawai perkembangan ancaman digital terhadap
perbankan maupun perusahaan, yang ditunjukkan dengan
data yang meyakinkan.
2. Membangkitkan sense of urgency dengan menyampaikan
kritisnya kondisi sekarang jika perusahaan tidak berubah
segera. Inti yang perlu disampaikan adalah segera berubah
sekarang, sebelum semuanya terlambat.
3. Menunjukkan tindakan perubahan yang nyata, jelas, dan
cepat. Misalkan merekrut pimpinan baru yang mahir digital,
melakukan pelatihan besar-besaran mengenai transformasi
digital, melakukan perubahan core banking system,
mempromosikan orang-orang yang mendukung perubahan
digital ke posisi-posisi kunci, dan sebagainya.
4. Berkomunikasi kepada semua jajaran secara positif, bahwa
perusahaan mampu menjawab tantangan bertransformasi
digital yang diperlukan, apabila semua secara bersama-sama
mau berubah.
5. Berkomunikasi menggunakan sebanyak-banyaknya media
dan cara kepada seluruh jajaran pegawai mengenai upayaupaya transformasi digital yang telah dan perlu dilakukan
6. Memastikan bahwa komunikasi tersebut telah menjangkau
seluruh jajaran pegawai, bukan hanya kalangan atas atau
kalangan tertentu.
7. Mengidentifikasi dan menyingkirkan penghalang upaya-upaya
transformasi digital. Apabila penghalang tersebut adalah
orang-orang yang baik secara terbuka atau tersembunyi
menentang transformasi digital, maka orang-orang tersebut
diupayakan untuk dipengaruhi untuk mendukung. Jika tidak
berhasil dipengaruhi, maka orang-orang tersebut perlu
disingkirkan supaya tidak menghalangi.
8. Membangun kompetensi digital bagi seluruh jajaran pegawai.
Kompetensi digital ini mencakup wawasan dan pengertian
akan teknologi digital, serta kemampuan untuk menjalankan
menjalankan proses digital di bidang kerjanya.
MENGINTEGRASIKAN ORANG BISNIS DENGAN TEKNOLOGI
INFORMASI (Integrating Information Technology (IT) and
Busines People)
Berbeda dengan proses bisnis sebelumnya di mana IT
menjadi penunjang bagi proses bisnis, saat ini adalah IT menjadi
jalan utama bahkan jalan satu-satunya bagi semua proses bisnis.
Oleh karena itu semua proses bisnis harus terintegrasi dalam IT,
dan IT harus mencakup seluruh proses bisnis. Oleh karenanya,
dalam transformasi digital, orang IT yang menguasai operasi
harus bekerja bersama orang bisnis yang menguasai apa yang
dibutuhkan oleh pelanggan.
Orang bisnis harus mengerti IT agar bisa memenuhi
kebutuhan pelanggan dan pemangku kepentingan dengan cara
yang paling efisien yaitu melalui sistem IT. Demikian pula orang di
divisi IT yang sebelumnya hanya fokus ke dalam, yaitu bagaimana
memenuhi permintaan internal, saat ini harus memperluas
fokusnya ke luar, yaitu kepada pelanggan dan mitra bisnis. Orang
divisi IT harus memikirkan bagaimana merancang dan membuat
pendekatan digital yang paling mudah, efektif, dan efisien bagi
kebutuhan operasional internal, pelanggan dan mitra usaha.
Intinya, hubungan orang dan fungsi IT dengan orang dan
fungsi bisnis yang sebelumnya bagaikan kakak dan adik, kini
bagaikan kembar siam dengan DNA yang sama.
Karena itu, menurut disertasi Hie (2020), untuk
menyatukan orang-orang TI dan bisnis, pemimpin perlu
memastikan hal-hal di bawah ini:
1. Adanya sinergi antara orang TI dan orang Bisnis, yang
ditunjukkan dengan mereka memiliki rasa saling percaya dan
kompak; mempunyai pengertian yang sama mengenai bisnis
dan TI; serta bisa berkomunikasi dengan sangat baik.
2. Terjadi transformasi digital dalam semua proses bisnis, baik di
dalam keuangan, pengelolaan pelanggan, operasional
perusahaan, maupun dalam pengelolaan Sumber Daya
Manusia.
3. Peningkatan keterampilan digital pada seluruh lapisan
pegawai. Untuk itu harus dimulai sejak rekrutmen dan seleksi
yang mengutamakan kompetensi digital dimiliki oleh pegawai
baru. Bagi pegawai yang ada, adanya program dan aktivitas
pembelajaran digital bagi semua lapisan pegawai. Di samping
itu harus dipastikan semua level pegawai dapat menjalankan
sistem digital yang diterapkan di perusahaan.
Cara kerja yang baru yang sesuai dengan prinsip
mengintegrasikan TI dengan orang bisnis adalah cara kerja agile
(lincah) dengan metodologi antara lain Scrum yang populer dalam
masa transformasi digital ini. Prinsip utama cara kerja Scrum
adalah memfasilitasi kebutuhan orang bisnis sesegera mungkin
dengan memberikan satu tim software developer yang akan
berinteraksi setiap hari dengan mereka untuk mewujudkan
software yang mereka perlukan dalam tempo singkat yang singkat
yaitu 4-6 minggu. Tim yang terdiri dari orang bisnis sebagai
product owner (yang memiliki kebutuhan) dan tim developer ini
disebut sebagai Squad, yang dikoordinasikan oleh seorang Scrum
Master yang menguasai prosedur Scrum dan menjaga agar
proses berjalan sesuai dengan target. Kebutuhan orang bisnis
bisa berupa software yang dibutuhkan oleh pelanggan eksternal,
maupun kebutuhan internal. Seringkali orang bank berpikir bahwa
Scrum tidak cocok diterapkan di bank, karena walaupun Scrum
bisa bekerja dengan cepat, nantinya akan terkendala oleh proses
memperoleh perijinan dari otoritas keuangan. Perlu dicatat bahwa
software yang dihasilkan dengan metodologi Scrum bukan hanya
untuk membuat produk perbankan untuk pelanggan eksternal,
namun juga untuk upgrade, versi baru, menambah fitur baru,
process improvement internal termasuk compliance, serta
koneksi dengan platform pihak ketiga. Bentuk cara kerja baru ini
sangat berbeda dengan cara konvensional yang mana pekerjaan
TI dilakukan dengan metodologi waterfall dan hasilnya suatu
software yang monolitik. Saat ini software yang monolitik sudah
sangat dihindari karena tidak bisa memenuhi kelincahan yang
diperlukan dalam era transformasi digital ini. Tren saat ini adalah
arsitektur software dalam bentuk microservices yang bisa
menawarkan kelincahan yang terbaik saat ini.
TATAKELOLA TRANSFORMASI DIGITAL
(Digital Transformation Governance)
Proses tatakelola (governance) yang baik perlu diterapkan
oleh pemimpin sejak awal transformasi digital dilakukan. Tujuan
tatakelola ini adalah menggerakkan seluruh daya upaya
perusahaan agar selaras dengan arah yang ingin dituju oleh
perusahaan. Diperlukan suatu tindakan yang terarah, terstruktur
dan sistematis oleh para pemimpin, agar seluruh sumberdaya di
perusahaan dapat dikoordinasikan mencapai tujuan perusahaan
dengan cepat, tanpa ada tumpang tindih, dan halangan
disingkirkan. Tanpa melakukan tatakelola transformasi digital
yang baik, akan terjadi inisiatif-inisiatif digital yang tidak
terkoordinasi, sehingga ini bisa menjadi bom waktu ketika di
kemudian hari disadari inisiatif-inisiatif yang dilakukan tidak dapat
terintegrasi. Jika inisiatif yang dilakukan ternyata tumpang tindih
dan terjadi duplikasi, maka itu merupakan pemborosan, serta
menjadi sumber masalah di kemudian hari untuk memutuskan
inisiatif mana yang diteruskan dan mana yang dihentikan.
Untuk melaksanakan fungsi tatakelola ini, pemimpin
hendaknya membentuk suatu komite, yang bertugas untuk:
1. Menyelaraskan Key Performance Indicators (KPI) dari setiap
pegawai dengan strategi transformasi digital, agar peran dan
tanggung jawab tiap orang menjadi jelas, kinerjanya dapat
diukur dengan cepat secara digital, serta bisa mendapat
feedback yang cepat untuk meningkatkan kinerjanya.
2. Menyatukan berbagai divisi dan departemen dalam
transformasi digital ini. Indikator tercapainya hal ini adalah; a.
Semua divisi/departemen tau prioritas perusahaan dan
bekerja bersama mencapainya b. Seluruh organisasi
menggunakan tim sumberdaya manusia TI, teknologi dan data
yang sama dalam menjalankan inisiatif-inisiatif digital, agar
tidak terjadi tumpang tindih dan dapat terkoordinir baik. c.
adanya kesepakatan semua divisi/departemen dalam
kebijakan dan alokasi sumberdaya yang diperlukan
3. Menyelaraskan stuktur reward dengan tujuan transformasi
digital. Mereka yang telah bekerja selaras dengan tujuan
transformasi digital dan berprestasi, perlu diberikan reward
berupa promosi jabatan, diakui dan diberi penghargaan, baik
penghargaan finansial maupun non-finansial. Hal ini penting
agar mereka yang sudah selaras tahu bahwa mereka sudah
di arah yang benar, serta bagi mereka yang tidak mendapat
reward mengerti bahwa mereka harus lebih menyelaraskan
kerjanya.
Dari riset yang dilakukan oleh penulis (Hie, 2020),
didapatkan bahwa justru Digital Transformation Governance ini
merupakan faktor terpenting dalam empat pilar tindakan yang
perlu dilakukan (Digital Vision, Transforming Organizational
Culture, Integrating IT and Business People, Digital
Transformation Governance) oleh pemimpin bank di Indonesia
untuk meningkatkan efektifitas kepemimpinan dalam mencapai
kematangan transformasi digital perusahaan. Hal ini berbeda
dengan di negara-negara lain yang umumnya mendapatkan
bahwa merubah budaya (transforming organizational culture)
merupakan faktor terpenting dalam transformasi digital.
Jika kita lihat di atas uraian tentang apa saja yang perlu
dilakukan dalam mentransformasi budaya perusahaan, maka bisa
kita lihat bahwa pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
persuasif komunikatif agar semua lapisan pegawai dapat mengerti
akan situasi yang genting kemudian berinisiatif untuk bersama
berubah bertransformasi. Hal ini sangat diperlukan di lingkungan
kerja di negara-negara yang memiliki power distance (persepsi
tentang beda kekuasaan pimpinan dan bawahan) yang kecil, yang
mana bawahan bergerak hanya apabila dirinya mengerti dan
menerima alasannya.
Namun di Indonesia yang mana masyarakatnya memiliki
faktor budaya power distance yang besar, para pegawai lebih
mudah digerakkan dan diatur oleh pemimpin melalui cara
governance. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan pemimpin
dalam transformasi digital ini lebih besar pada memberikan
arahan yang jelas melalui KPI dan reward system, daripada
tantangan memenangkan dukungan bawahan. Dan juga berarti
bahwa pemimpin transformasi digital di Indonesia perlu lebih
banyak mengerti mendalam mengenai transformasi digital ini
karena merekalah yang diharapkan oleh para bawahannya
memberi arahan.
Di satu sisi hal ini merupakan hal yang positif karena
bawahan lebih mudah diarahkan dengan KPI dan reward system
yang jelas, di sisi lain inisiatif bawahan dapat dirasakan kurang
memadai dalam proses transformasi digital yang memerlukan
upaya besar ini.
KEPEMIMPINAN MERUPAKAN LANGKAH UTAMA DAN
PERTAMA DALAM BERTRANSFORMASI DIGITAL
Dari riset yang dilakukan oleh Kien et al (2018) dari
Nanyang Business School di Singapore terhadap transformasi
digital DBS, disebutkan bahwa keberhasilan DBS dalam
bertransformasi digital adalah karena langkah awal yang
ditempuh DBS adalah menyuburkan kepemimpinan untuk
transformasi digital. Ini dilakukan sebelum melakukan perubahan
di tiga komponen utama transformasi digital yaitu Customer
Experience, Operational Excellence, dan New Business Model.
Kepemimpinan transformasi digital ini perlu secara meluas
dimiliki oleh seluruh lapisan, baik pemimpin senior, pemimpin
menengah, maupun pemimpin yunior, agar transformasi digital
dapat terjadi serempak di seluruh lapisan pegawai. Tanpa
membina kepemimpinan transformasi digital di seluruh lapisan
pemimpin, maka pekerjaan transformasi digital ini menjadi terlalu
besar bagi pemimpin bank mana pun, baik bank besar maupun
bank kecil. Hasil yang diperoleh bisa dipastikan adalah chaos,
terutama karena digital transformation governance tidak
terlaksana dengan baik.
Seringkali dijumpai, para pemimpin bank mengira bahwa
wawasan transformasi digital bagi para pemimpin di semua level
ini bisa diperoleh sambil berjalan, tanpa harus mempelajarinya
secara komprehensif. Dalam kenyataannya, setiap orang akan
menginterpretasikan konsep transformasi digital sesuai dengan
apa yang dialaminya, yang berbeda satu dengan lainnya, dan
tidak bisa melihat konsep ini secara corporation wide. Akhirnya
yang terjadi adalah disharmoni dari berbagai divisi dan
departemen.
APAKAH ANDA PEMIMPIN YANG TEPAT?
Para pemimpin perlu secara sadar mengerti bahwa
keberhasilan transformasi digital terbesar terletak pada
pundaknya. Transformasi digital selalu harus dimulai dari
pemimpin paling atas kemudian menjalar ke bawah, dan
terlaksana dari operasi perusahaan paling bawah menuju ke atas.
Seluruh lapisan pemimpin perlu mengukur diri, apakah dirinya
adalah pemimpin yang kompeten dalam memimpin
perusahaannya dalam melaksanakan transformasi digital.
Demikian pula pemangku kepentingan lain juga akan menilai, baik
terbuka maupun diam-diam, baik ketika transformasi dimulai atau
telah berjalan.
Transformasi digital merupakan suatu proses yang luar
biasa radikal, seperti sebelumnya diilustrasikan bagai ulat menjadi
kupu-kupu, sehingga para pemimpin perlu memenangkan
keyakinan dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders)
bahwa transformasi digital perusahaan dapat dengan selamat
sampai tujuannya. Bukan hanya pegawai, tetapi juga pemegang
saham, dan juga nasabah perlu yakin untuk berkomitmen
transformasi digital yang besar ini. Sebaliknya, keyakinan para
pemangku kepentingan ini juga akan menentukan efektifitas para
pemimpin yang akan memimpin transformasi digital.
Seringkali para pemimpin sulit untuk mengukur seberapa
besar keyakinan para pemangku kepentingan terhadap
kemampuannya membawa perusahaan bertransformasi digital.
Fenomena blind-spot sangat umum terjadi, apalagi bagi pemimpin
di Indonesia ini di mana budaya pemimpin tidak boleh dikritik
sangat kental. Banyak pemimpin secara terbuka mengumumkan
kepada bawahannya bahwa ia sangat demokratis dan terbuka
terhadap kritik, namun ketika kritik disampaikan, penerimaannya
tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya. Hal tersebut,
ditambah dengan memang budaya power distance yang tinggi,
membuat pemimpin yang benar-benar ingin mengukur
pandangan terhadap dirinya di mata orang lain menemui
kesulitan. Sehingga pemimpin seringkali berada dalam kondisi
bagaikan seorang wanita yang tidak punya cermin di rumah. Hal
itu seringkali menyebabkan pemimpin berpandangan bahwa
orang lain perlu berubah sesuai dengan yang ia inginkan, namun
tidak menyadari bahwa yang perlu berubah yang pertama adalah
dirinya sendiri.
Untuk memenangkan keyakinan para pemangku
kepentingan, para pemimpin perlu mengerti bahwa penilaian para
pemangku kepentingan terhadap dirinya terdiri dari dua hal
utama:
1. Keyakinan subyektif atas kemampuan personal para
pemimpin. Untuk memenangkan keyakinan subyektif ini para
pemangku kepentingan perlu melihat bahwa para pemimpin
dapat dicontoh perilakunya (menjadi role-model) dalam
kemajuan digital, yaitu perilaku bersedia menerapkan prinsipprinsip transformasi digital untuk dirinya sendiri, misalkan
belajar dengan e-learning, tidak birokratis, selalu antusias
untuk merubah cara kerja menjadi digital. Selain itu para
pemangku kepentingan juga perlu melihat bahwa para
pemimpin mempunyai kompetensi digital yang diperlukan,
yaitu menguasai wawasan digital, mengerti prinsip-prinsip
transformasi digital, serta mengerti istilah-istilah teknis yang
umum dipakai dalam digital seperti cloud, big data analytics,
artificial intelligence, Scrum, Python, API, open banking, dan
sebagainya. Keyakinan ini perlu ada sejak awal transformasi
digital digulirkan.
2. Keyakinan berdasarkan data obyektif yaitu atas hasil yang
ditunjukkan. Hasil yang ditunjukkan dalam transformasi digital
bank yang bisa dilihat dalam jangka pendek adalah
pencapaian hal-hal yang terdapat dalam daftar kematangan
digital (Digital Maturity) yang diuraikan sebelumnya, yang
terdiri dari tiga hal utama; Customer Experience, Operational
Excellence, dan New Business Model. Dengan mengukur
indeks kematangan digital (Digital Maturity Index), kita dapat
mengukur secara obyektif dan cepat kemajuan yang dicapai
dalam transformasi digital ini. Sedangkan hasil jangka
menengah, seringkali perlu menunggu 2-3 tahun sebelum
dapat terlihat jelas, yaitu meningkatnya penghasilan (revenue)
dan menurunnya beban biaya (costs) yang diperoleh dari
transformasi digital ini. Hasil jangka panjang (3-5 tahun) yang
harus bisa ditunjukkan adalah perkembangan new business
model yang harus menambah potensi pertumbuhan
eksponensial terhadap penghasilan perusahaan. Tanpa
perkembangan new business model yang baik, maka
pertumbuhan perusahaan akan tetap linier. Jika perusahaan
telah menjadi perusahaan publik, maka harga saham
perusahaan dapat juga dijadikan landasan untuk mengukur
tingkat keyakinan para pemegang saham publik atas
transformasi digital yang akan dilakukan maupun yang sedang
dilakukan