shareholders).
4. Jangan ragu untuk bertindak walau dengan risiko gagal,
namun usahakan kegagalan-kegagalan yang terjadi
dalam skala kecil, dan cepat diperbaiki. Dalam
transformasi digital, diperlukan kecepatan dan inovasi,
yang tentunya memerlukan kesiapan untuk menerima
risiko yang lebih tinggi untuk gagal.
Untuk bisa menerapkan prinsip-prinsip eksekusi tersebut,
diperlukan Key Enablers. Tanpa Key Enablers ini, mustahil
prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan. Key Enablers yang
diperlukan adalah:
1. Kepemimpinan yang lincah dan mahir digital, yang
bertugas menjaga visi strategis, tujuan perusahaan,
ketrampilan, motivasi dan keselarasan di seluruh level
manajemen, agar menjamin proses pengambilan
keputusan yang cepat dalam inovasi.
2. Agenda yang melihat ke depan melalui penanaman pola
pikir digital pada pegawai dengan membuat inovasi
sebagai fokus bagi program pelatihan dan perekrutan.
3. Cara berpikir ekosistem, dengan membangun kolaborasi
di dalam rantai nilai (value chain) seperti pemasok,
distributor, pelanggan, maupun yang di luar rantai nilai
seperti para start-ups, akademia, bahkan dengan yang
sebelumnya kita anggap sebagai kompetitor (dalam open
banking system, suatu bank bisa menjualkan produk dari
bank lain, dan sebaliknya)
4. Pengelolaan data dan aksesnya untuk menjadi
keunggulan kompetitif, melalui infrastruktur dan
kemampuan penyimpanan data yang kuat yang
dikombinasikan dengan analisis yang tepat dan alat
komunikasi.
5. Kesiapan infrastruktur teknologi untuk menjamin
kemampuan yang unggul di cloud, security, dan
interoperability. Cara berpikir konvensional yaitu ingin
beroperasi dengan server sendiri harus ditinggalkan.
RANGKUMAN BAB 3:
• Strategi transformasi digital adalah cara yang paling efektif
dan efisien untuk mencapai kematangan digital (digital
maturity), dan setiap bank mempunyai kondisi dinamis dan
visi misi yang berbeda sehingga memerlukan strategi yang
berbeda. • Dalam merancang strategi transformasi digital, suatu
perusahaan/bank akan dihadapkan pada pilihan
memprioritaskan sisi operasional perusahaan dulu atau
memprioritaskan aspek pelanggan dan bisnis dulu.
• MITCSIR membagi strategi bertransformasi digital
menjadi empat jalur besar, yaitu; jalur satu yaitu
memprioritaskan digitisasi operasional, jalur dua yaitu
memprioritaskan aspek pelanggan, jalur tiga yaitu
pendekatan bertahap, dan jalur empat yaitu membuat
divisi atau anak perusahaan yang khusus untuk digital.
Masing-masing pilihan jalur mempunyai keuntungan dan
kelemahan.
• Tiga hal mendasar yang perlu dicapai dari semua jalur
strategi adalah: Connected Platform of Services, Digital
First Focus, dan Digital Coordination.
• Agar maksimal, pelaksanaan investasi transformasi digital
perlu dikawal dengan empat prinsip eksekusi yaitu:
tentukan kepemilikan yang jelas dari investasi digital;
investasi hanya untuk kasus yang jelas, bukan demi
teknologi; gunakan pendekatan berdasarkan hasil; dan
usahakan jika ada kegagalan, terjadi dalam skala kecil,
dan cepat diperbaiki. Empat prinsip eksekusi ini perlu
diberdayakan oleh lima faktor yang berpusat pada
kepemimpinan yang lincah dan mahir digital.
TRANSFORMASI DIGITAL TOTAL TO THE CORE
Banyak bank yang merasa sudah bertransformasi digital
bila ia sudah mempunyai aplikasi mobile banking. Walaupun
memang apa yang dilihat oleh pelanggan pada bank yang telah
bertransformasi digital adalah aplikasi mobile banking dalam
smartphone-nya, itu bukan berarti bank tersebut sudah
bertransformasi digital secara utuh, karena aplikasi mobile
banking hanya salah satu dari banyak hal dalam implementasi
transformasi digital.
Transformasi Digital total harus mentransformasi tiga
komponen utama, yaitu pengalaman pelanggan (Customer
Experience), operasional perusahaan yang terbaik (Operation
Excellence), dan model bisnis baru (New Business Model).
Dengan demikian, bukan hanya tampilan digital, namun
operasional, model bisnis, serta pikir seluruh pegawai juga digital.
Aplikasi mobile banking saja tanpa didukung proses lainnya di
belakangnya, hanya memenuhi sebagian dari salah satu poin
dalam Customer Experience, yaitu pelanggan dapat melakukan
transaksi swalayan. Padahal masih banyak hal yang perlu dicapai dalam Customer Experience saja, dan aplikasi mobile banking
saja belum mencerminkan apakah Operational Excellence dan
New Business Model telah dicapai. PENGALAMAN PELANGGAN (CUSTOMER EXPERIENCE)
Customer Experience adalah salah satu dari tiga
komponen yang harus berubah dengan digitalisasi. Dengan
digitalisasi, kita bisa lebih mengerti tentang pelanggan tersebut
secara individual, membuat pelanggan makin terpenuhi
kebutuhannya dengan produk kita yang sesuai, memudahkan
semua proses interaksi dengan kita, sehingga mereka merasa
senang berinteraksi dengan kita.
Menurut Westerman (2014), komponen Customer
Experience yang bisa kita ukur terdiri dari tiga bagian dengan
delapan komponen, yaitu:
a. Mengerti tentang pelanggan, yang mencakup
i. segmentasi berdasarkan analisis data tentang
pelanggan yang bukan hanya data demografi,
tetapi yang penting adalah analisis tingkahlaku,
kebiasaan, dan kecenderungan pelanggan yang
didasarkan pada data primer tentang hal tersebut
yang diperoleh.
ii. pengetahuan tentang pelanggan yang diperoleh
dari data sosial di internet, misalkan dari akun
Facebook, Instagram, Twitter, Blog, publikasi,
berita, dan lainnya. Hal ini dimungkinkan dengan
menarik data melalui Application Programing
Interface (API)
b. Pertumbuhan penjualan, yang mencakup
i. Penjualan yang diperkuat dengan digital, berupa
penawaran-penawaran produk yang didasarkan
pada analisis kebutuhan pelanggan secara
individual yang datanya diperoleh dari komponen
‘mengerti tentang pelanggan’;
ii. Pemasaran prediktif; membuat produk-produk
baru, penyesuaian harga, cara dan bentuk
promosi, dan pemilihan distribusi (melalui mitra)
yang berdasarkan analisis data tentang kebutuhan
pelanggan
iii. Proses yang singkat; memangkas proses menjadi
sesederhana mungkin sehingga ketika pelanggan
ingin membuka rekening atau membeli suatu
produk secara digital, bisa terlaksana dengan
sederhana dan cepat.
c. Titik sentuh pelanggan, yang mencakup:
i. Pelayanan pelanggan baik pemberian informasi
maupun penanganan keluhan dilakukan secara
digital yang cepat, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
ii. Keselarasan berbagai cara berinteraksi dengan
pelanggan. Ketika pelanggan berinteraksi dengan
perusahaan, seharusnya ia merasa bahwa dengan
apa pun atau siapa pun ia berinteraksi, tidak perlu
mengulangi suatu prosedur yang sama. Misalkan
seorang pelanggan mempunyai keluhan yang
telah ditangani oleh chatbot namun tidak
terselesaikan, sehingga harus ditangani secara
tatap muka oleh petugas customer service,
pastikan data apa yang telah dialami oleh
pelanggan dengan chatbot dapat diperoleh oleh
sang petugas sehingga pelanggan tidak perlu
menyampaikan ulang keluhannya dengan panjang
lebar.
iii. Pelanggan dapat memenuhi kebutuhannya secara
swalayan dengan cara digital. Semakin banyak hal
yang dapat dilakukan sendiri oleh pelanggan,
pelanggan makin senang karena merasa
mempunyai makin banyak kontrol. Dan di sisi
perusahaan, juga merupakan efisiensi biaya
karena tidak perlu membayar pegawai melakukan
hal tersebut untuk pelanggan.
Deloitte Digital melakukan analisis dan pemetaan
terhadap digital channel bank di Eropa, khususnya melalui
aplikasi smartphone, yang membuahkan 826 poin fungsi yang
bisa dinilai dari sudut pandang pelanggan. Secara prinsip, aplikasi
yang ideal haruslah menawarkan cakupan fungsi yang luas dan
relevan untuk pelanggan, serta mempunyai user experience (yang
merupakan bagian dari customer experience) yang nyaman dan
mudah.
826 poin tersebut mencakup keseluruhan apa yang
dialami pelanggan, yaitu dari pengumpulan informasi oleh
pelanggan (informasi tentang pelayanan/produk yang ditawarkan,
harganya, perbandingannya dengan yang lain, dan sebagainya),
proses pembukaan rekening (termasuk apa saja channel yang
tersedia serta metode verifikasi), proses customer onboarding
(bimbingan terhadap pelanggan mengenai proses selanjutnya
dan apa saja yang bisa dilakukan), pelayanan banking untuk
kebutuhan sehari-hari (ketersediaan pelayanan yang dibutuhkan,
mengelola rekening, dan melakukan transfer), memperluas
hubungan (cross-selling produk/layanan tambahan seperti
pinjaman, tabungan, deposito, danareksa, asuransi, dan lainnya),
serta proses menutup rekening (kemudahan menutup,
pemindahan saldo, dan lainnya).
Walaupun apa saja 826 poin yang dinilai oleh Deloitte
tersebut tidak diuraikan di sini satu per satu, namun secara garis
besar bisa dilihat komponen-komponen apa yang dinilai.
Digitalisasi bukan berarti hanya memindahkan proses
yang tadinya manual menjadi sekarang bisa dilakukan melalui
aplikasi di smartphone, namun juga proses itu sendiri haruslah
diefisienkan.
Contohnya adalah yang dilakukan oleh DBS Bank
Singapore, proses pembukaan rekening bukan hanya menjadi
sangat cepat (dalam hitungan menit) namun juga proses yang
sebelumnya ada 15 langkah yang harus dilalui calon nasabah,
dipangkas menjadi 4 langkah yang semua bisa dilakukan secara
digital. Bahkan DBS menginginkan proses banking di DBS
menjadi tidak terlihat (invisible) yang berarti nasabah tidak lagi
menganggap banking menjadi suatu proses atau prosedur yang
terpisah dengan apa yang sebenarnya ingin dilakukannya. Misalkan seorang pelanggan ingin membeli rumah. Jika
sebelumnya sesudah ia sepakat membeli rumah dengan
penjualnya maka ia perlu melakukan proses perbankan untuk
melanjutkan transaksinya (termasuk mengajukan kredit
kepemilikan rumah dan lainnya) baru lanjut ke notaris, kini ia
dapat langsung ke notaris karena proses perbankannya
sedemikian mudah dan luwesnya mengikuti kebutuhannya. Itu
yang dicita-citakan DBS. Karena itu DBS mengeluarkan tagline
“Live more, bank less” yang berarti tidak perlu lagi membuang
waktu dan tenaga untuk proses banking, sehingga waktu dan
tenaga bisa digunakan untuk lebih menikmati hidup.
Dengan segala upaya transformasi digitalnya, DBS
berhasil menjadi World’s Best Digital Bank 2018 versi majalah
Euromoney.
KEUNGGULAN OPERASIONAL
(OPERATIONAL EXCELLENCE)
Seperti yang pernah kita bahas sebelumnya, proses
digitalisasi sesudah mencapai fase disruption akan kemudian
masuk ke fase dematerialisasi (dematerialization), di mana
proses-proses bricks and mortar tidak diperlukan lagi karena
digitalisasi sudah dapat berfungsi menggantikannya dengan hasil
yang lebih memuaskan. Inilah titik acu (benchmark) yang harus
dikejar oleh semua perusahaan yang bertransformasi digital. Jika
dalam permisalan metamorfosis kupu-kupu, cara operasional ulat
yang menggunakan kaki yang walaupun sangat banyak namun
jalannya merambat, harus tergantikan dengan sayap yang walau
hanya empat helai namun mampu menjelajah jauh lebih luas dan
dengan cara terbang bukan merambat.
Di berbagai bidang yang telah tertransformasi digital, kita
lihat dematerialisasi ini dengan jelas. Misalkan industri peta. Dulu
kita perlu buku peta untuk mengetahui posisi suatu tempat,
lingkungannya dan juga jalan untuk mencapainya. Ada peta suatu
kota, suatu propinsi, suatu negara, bahkan suatu benua seperti
Eropa, Amerika, atau Australia, yang bisa berupa buku dengan
beberapa ratus halaman. Ke mana buku peta itu sekarang? Telah
lenyap tergantikan oleh GoogleMap yang merupakan suatu
program tanpa fisik (non-fisik/non-materi). Berat suatu
smartphone yang ada program GoogleMap dengan yang tidak
ada program GoogleMap adalah sama, itu berarti GoogleMap
tidak mempunyai massa, berarti bukan barang fisik. Bukan hanya
produknya yang non-fisik, tetapi juga cara produksinya dan
operasinya juga non-fisik. Bukan lagi produksinya menggunakan
mesin cetak di atas kertas seperti memproduksi buku peta,
melainkan membuat program yang tidak perlu dicetak di atas
kertas. Dan bukan lagi menggunakan orang yang menggambar
peta untuk dicetak melainkan langsung menggunakan image dari
satelit.
Contoh lain adalah industri suratkabar yang produk
sesungguhnya adalah berita. Ke mana para suratkabar yang
sebelumnya merupakan sarapan wajib setiap orang dewasa yang
berpendidikan? Bukan berarti berita yang hilang atau tidak
dibutuhkan lagi, tapi hadir dalam bentuk produk yang non-fisik,
yaitu portal berita on-line. Dalam industri fotografi; dulu foto pribadi
yang dicetak di atas kertas di seluruh dunia merupakan industri
bernilai triliunan dollar, sekarang lenyap membawa Kodak kepada
kebangkrutan. Ke depannya hampir semua produk akan
mengalami dematerialisasi, termasuk uang kartal yang sekarang
masih banyak beredar akan lenyap. Bagaimana dengan bank?
Brett King dalam bukunya Bank 4.0 mengatakan; “Banking
Everywhere, Never at a Bank”. Bill Gates mengatakan; “Banking
is necessary, Bank is not”. Bukan fungsi perbankannya yang akan
hilang, tetapi fisik dari bank itu yang akan mengalami
dematerialisasi.
Jalan berpikir pemimpin transformasi digital haruslah
“Digital First”, yang berarti dalam mencari solusi dari semua
masalah, utamakan solusi digital. Jalan berpikir konvensional
yang terus ada di perusahaan adalah terus menambah jumlah
pegawai ketika lingkup dan jumlah beban kerja bertambah. Jalan
berpikir digital akan memilih merubah desain maupun eksekusi
pekerjaan menjadi digital, sehingga tidak perlu menambah orang,
bahkan mengurangi jumlah orang yang diperlukan, terutama
orang-orang yang mengerjakan pekerjaan dengan cara
konvensional.
Jadi berpikir digital adalah berpikir dematerialisasi yang
bisa sangat bertolak belakang dengan cara berpikir konvensional.
Masih belum lama yang lalu, semua perusahaan mengunggulkan
customer service yang disebut “human touch”, yaitu
menggunakan orang untuk berkomunikasi dengan orang, yang
dianggap cara terunggul. Saat ini kita melihat bahwa justru yang
diunggulkan adalah sentuhan mesin yang mengerti manusia.
Memang pada masa yang lalu, jika kita menghubungi layanan
pelanggan per telpon, lalu dijawab oleh mesin yang
mengharuskan kita memilih menu dengan kaku, terasa
mengesalkan dibandingkan langsung bicara kepada manusia.
Saat ini, perusahaan yang maju sudah menggunakan layanan
pelanggan per telpon menggunakan artificial intellligence yang
mengenali bahasa (natural language processing), sehingga kita
mendapatkan fleksibilitas seperti manusia namun dengan daya
tangkap dan kecepatan berpikir mesin. Di level personal Anda
bisa menggunakan layanan SIRI atau Google Assistant, atau
mempunyai Amazon Alexa atau Google Home.
Oleh karenanya, dematerialiasi merupakan salah satu
ukuran bagi suatu perusahaan telah melakukan transformasi
digital. Dematerialisasi bagi bank pada umumnya adalah pengurangan kantor cabang dan tentunya personel yang bertugas
di kantor cabang. Dan di dalam kantor cabang yang masih ada
pun, terjadi efisiensi jumlah personel dikarenakan pekerjaan yang
tadinya menghabiskan waktu untuk menemui pelanggan, kini
sudah berkurang sangat banyak. Dengan volume bisnis yang
relatif sama, maka diperlukan jumlah kantor cabang dan personel
yang lebih sedikit karena digitisasi. Tidak heran maka kita melihat fenomena penurunan
jumlah pegawai bank di beberapa tahun terakhir ini. Apakah
besarnya pengurangan pegawai bank mencerminkan besarnya
transformasi digital yang terjadi di bank? Yang jelas besarnya
pengurangan pegawai bank berbanding lurus dengan efisiensi operasional yang diciptakan oleh digitisasi, dan efisiensi
operasional merupakan salah satu komponen utama transformasi
digital.
Jika dulu pemimpin perusahaan bangga apabila
perusahaannya mempunyai aset tetap dan pegawai makin
banyak, saat ini yang dibanggakan adalah efisiensi dan scalability,
yaitu menambah skala bisnis perusahaan dengan sesedikit
mungkin penambahan aset dan pegawai.
Jack Ma membanggakan scalability Alibaba dibandingkan
dengan Wal-Mart, dengan mengatakan, “Jika Wal-Mart ingin
menambah 10.000 pelanggan baru, mereka harus membangun
gudang baru dan menambah pegawai... Bagi Alibaba; tambah 2
server saja.” David Gledhill (DBS Bank) ikut menimpali tren ini
dengan mengatakan, “Jika Alibaba perlu menambah 2 server
untuk 10.000 pelanggan baru, DBS menambah 50.000 pelanggan
baru dengan hanya menambah 1 server.” Jadi bisa dilihat, apa
yang dibanggakan perusahaan sebagai keunggulan adalah
sangat berbeda dengan masa sebelum digital yang bangga
dengan makin banyak aset fisik dan jumlah pegawai, yang
diterjemahkan sebagai kapasitas perusahaan yang makin besar.
Rantai nilai dari proses bisnis suatu perusahaan merupakan
komponen yang diperlukan untuk membentuk nilai total dari suatu
produk atau jasa. Setiap rantai nilai ini memerlukan biaya untuk
menjalankannya. Jika kita bisa menghemat biaya dari satu atau
lebih komponen rantai nilai ini, maka kita bisa memperoleh
keuntungan yang lebih besar. Dengan digitisasi maka komponenkomponen tersebut dapat diotomasi yang menghemat biaya. Dan
setiap komponen rantai nilai tersebut telah tersedia teknologiteknologi digital untuk otomasi. Makin banyak kita melakukan
otomasi pada makin banyak komponen rantai nilai, maka makin
besar efisiensi yang bisa diperoleh.
Semua otomasi yang dilakukan dalam transformasi digital
adalah untuk menuju Operational Excellence. Menurut
Westerman (2014) ada tiga hal dengan delapan komponen yang
perlu dicapai dengan Operational Excellence, yaitu:
1. Digitisasi proses, yang mendukung:
i. Peningkatan kinerja operasional sehingga lebih cepat,
tepat, berkualitas
ii. Proses kerja baru yang lebih efisien sehingga
menurunkan biaya penciptaan rantai nilai
2. Pemberdayaan pegawai, yang mendukung:
i. Bekerja di mana saja dan kapan saja tanpa terbatas
oleh ruang dan waktu
ii. Komunikasi yang lebih luas dan lebih cepat dalam
organisasi
iii. Berbagi pengetahuan secara luas dengan pegawai
lain
c. Mengelola kinerja dengan cara:
i. Bekerja dengan cara yang terbuka yang menjamin
obyektifitas penilaian kinerja
ii. Pengambilan keputusan yang berdasarkan data
sehingga bisa lebih tepat
MODEL BISNIS BARU (NEW BUSINESS MODEL)
Model bisnis (Business Model) adalah penjabaran dari
bagaimana suatu perusahaan menciptakan nilai untuk pelanggan
melalui produk atau jasa, yang harus lebih besar daripada biaya
yang diperlukan untuk membuat produk/jasa tersebut, sehingga
dapat dikatakan perusahaan tersebut telah membuat nilai tambah
yang dapat menjadi keuntungan buat perusahaan.
Transformasi digital telah membuka peluang untuk model
bisnis baru yang sebelumnya sulit dilakukan karena tidak
ekonomis karena memerlukan biaya besar untuk
melaksanakannya. Contohnya layanan antar makanan seperti
GoFood atau GrabFood. Sebelumnya hal ini sudah dilakukan
dengan cara manual, yaitu menelpon orang yang bertugas di
restoran atau rumah makan yang bersangkutan, atau kepada
perusahaan layanan food delivery yang sangat terbatas
kapasitasnya karena semua dikerjakan secara manual. Dengan
digital, koordinasi bisa dilakukan dengan cepat, tepat, murah, dan
dengan cakupan yang masif. Sebelum adanya Tokopedia, ada
juga produsen atau pedagang yang menjual langsung
menggunakan katalog atau brosur, namun biaya cetak dan antar
katalog dan brosur mahal sekali, dan juga menangani pesanan
yang didapat dari katalog atau brosur tersebut. Dengan digital,
semua dibuat mudah, cepat, dan murah, seperti di Tokopedia atau
platform e-commerce lainnya. Dengan digital pula, keputusankeputusan kerjasama yang biasanya sangat subjektif tergantung
orang yang memutuskan, dibuat menjadi suatu proses yang
otomatis sehingga semua yang memenuhi persyaratan tersebut,
otomatis masuk. Bayangkan kalau menjadi merchant Tokopedia
atau GoFood harus melalui penilaian orang, maka perluasan
jaringan mereka akan sangat terhambat.
Dengan digital, intermediasi yang dilakukan secara
manual dilakukan melalui orang yang kapasitasnya sangat
terbatas, bisa digantikan dengan digital yang kapasitasnya tidak
terbatas. Karena itu, muncul AirBnB atau Traveloka yang bisa
menawarkan kamar menginap yang jauh lebih banyak
dibandingkan jaringan hotel mana pun. Muncul juga Amazon.com
dan Tokopedia yang bisa menawarkan barang-barang jauh lebih
banyak dibandingkan jaringan toko ritel mana pun. Kemudian
muncul GoCar dan Grab Car yang menawarkan jasa mobil sewa
yang jauh lebih banyak dibandingkan jaringan perusahaan taksi
mana pun. Tentunya bukan suatu hal yang mustahil ada platform
yang menawarkan produk keuangan dan perbankan yang jauh
lebih lengkap dibandingkan jaringan bank mana pun.
Transformasi digital ini membuka peluang yang besar
untuk setiap perusahaan mengadopsi strategi platform, yaitu
menjadi penghubung antara pemilik produk dengan pembelinya,
melalui platform digital. Hal ini menjadi hal baru bagi bank yang
biasanya fokus dalam mencari bisnis dari produk sendiri.
Dengan transformasi digital, bank harus membuka pola
pikir untuk mencari bisnis dengan menghubungkan dua atau lebih
pihak yang saling membutuhkan, atau menjadi bagian dari suatu
rantai ekosistem yang dibutuhkan suatu komunitas.
Misalkan DBS Bank yang membuat platform digital DBS
Marketplace (dbs.com/personal/marketplace), yang mempunyai
fitur property marketplace yang menghubungkan pemilik dan
agen properti dengan pembeli atau penyewa, marketplace jual
beli mobil dan aksesoris, marketplace liburan yang menyediakan
tiket dan hotel, marketplace toko yang menyediakan elektronik,
pakaian, dan barang-barang lain, dan marketplace pendidikan,
serta utilities marketplace.
Hal ini dimungkinkan di Singapore karena Monetary
Authority of Singapore (MAS) di bulan Juni 2017 telah memberi
ijin bank untuk memiliki marketplace, yang langsung disambut
oleh DBS dengan peluncuran property marketplace di bulan Juli
2018.
Model bisnis baru inilah yang membuka kesempatan bagi
bank untuk bisa bertumbuh eksponensial, bukan hanya linier yang
dihasilkan oleh pertumbuhan secara organik. Mengapa? Karena
kesempatan bekerjasama dengan pihak lain itu jauh lebih luas
dibandingkan menghasilkan produk atau jasa sendiri dan
mengandalkan usaha sendiri.
Di samping itu, produk dan jasa kita pun perlu dititipkan
kepada pihak lain yang lebih luas yang telah mempunyai basis
pelanggan, hal ini tentunya akan meniadakan customer
acquisition costs yang biasanya harus kita bayar untuk
memperoleh pelanggan baru bagi produk dan jasa kita.
Agar produk dan jasa kita dapat optimal dalam kerjasama
dengan pihak lain, maka produk dan jasa kita pun harus
memenuhi fitur dan proses digital. Contohnya, sebuah rumah
makan yang bekerjasama dengan GoFood, perlu memenuhi
sistem yang telah dibuat oleh GoJek. Antara lain, pemiliknya
harus punya aplikasi sebagai merchant yang secara otomatis
menerima pemesanan secara digital yang perlu ia proses segera,
membuka account dan menerima pembayaran dengan GoPay
Di dalam struktur organisasi bank pada umumnya, belum
dibentuk divisi khusus untuk fokus pada implementasi model
bisnis baru ini, yang ada umumnya dititipkan pada divisi bisnis
atau pemasaran. Pada dasarnya, kerjasama dengan pihak ketiga
untuk membentuk suatu ekosistem bagi pelanggan merupakan
suatu proses yang rumit dan panjang, dan memerlukan pola pikir
yang berbeda dengan penanganan produk atau jasa sendiri.
Sehingga apabila fungsi tersebut tidak dipisahkan dengan divisi
yang biasa menangani produk atau jasa sendiri, maka cenderung
kurang dapat berkembang. Karena itu sebaiknya ada divisi
khusus yang dibentuk untuk fokus pada penggarapan model
bisnis baru ini.
Beberapa hal yang perlu dicapai dalam suatu bank menerapkan
model bisnis baru ini, yaitu:
1. Mengalihkan bisnis ke model digital, antara lain dengan
membuat produk-produk yang ada menjadi digital baik
sebagian maupun seluruhnya, dan merubah sebanyakbanyaknya bentuk fisik menjadi digital. Contoh paling mudah
tentunya tabungan tidak lagi menggunakan buku atau lembar
cetak, yang bukan saja mengirit biaya, namun juga
memungkinkan untuk dilihat instant oleh nasabah begitu ada
transaksi serta bisa langsung digunakan untuk melakukan
simulasi kredit misalnya.
2. Membuat bisnis digital baru, antara lain membuat produkproduk yang end-to-end digital, baik tabungan, pinjaman, dan
pembelian produk lain. Dengan adanya Peraturan OJK
(POJK) No. 13/POJK.03/2018 yang mana memperbolehkan
proses KYC (Know Your Customers) dilakukan secara
elektronik (proses eKYC), maka hal ini sangat dimungkinkan.
Nasabah tidak perlu lagi datang secara fisik untuk membuka
rekening baru, baik untuk tabungan atau pinjaman. Di samping
KYC yang dilakukan secara digital, bank perlu memastikan
semua proses lain bisa dilakukan secara digital, paperless,
bisa dilakukan melalui smartphone nasabah tanpa harus
kehadiran fisik.
3. Memperluas batasan bisnis. Dengan adanya kapabilitas
digital, perubahan regulasi, dan interkonektifitas yang baru,
model bisnis saat ini yang bentuknya “Banking as a Product”
perlu berevolusi menjadi “Banking as a Service” dan bahkan
mempersiapkan diri menjadi “Banking as a Lifestyle”.
4. Melakukan integrasi digital di antara keseluruhan unit bisnis,
dengan perusahaan lain, merubah koordinasi kerjasama dari
manual menjadi otomasi, dan menyatukan layanan dengan
perusahaan lain secara digital. Dalam hal bank merupakan
bagian dari suatu korporasi misalkan Bank Mega yang
merupakan bagian dari CT Corp, maka sistem digital Bank
Mega perlu terintegrasi dengan sistem dari seluruh
perusahaan dalam CT Corp secara seamless, menciptakan
berbagai model bisnis baru yang memberi nilai tambah bagi
Bank Mega dan perusahaan lain dalam CT Corp.
Suatu hal yang mungkin perlu perlu perubahan pola pikir
yang sangat drastis adalah bahwa di masa mendatang
penghasilan bank terutama diperoleh dari penjualan produk pihak
lain dan dari basis pelanggan pihak lain, bukan seperti saat ini
yang mana penghasilan bank diperoleh dari produk-produknya
sendiri dan diperoleh dari tenaga pemasaran sendiri. Dan lebih
jauh ke depan lagi, bank dan marketplace akan melebur menjadi
satu.
Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa untuk
mengatakan suatu perusahaan sudah bertransformasi digital,
perlu ada ketiga komponen yaitu; Digital Customer Experience,
Digital Operational Excellence, dan Digital New Business Model.
Umumnya dalam proses transformasi digital bank, New Business
Model ini biasanya baru dieksplorasi lebih luas sesudah kedua
pilar lainnya (Customer Experience dan Operational Excellence)
dilakukan terhadap produk-produk atau layanan yang mereka
miliki sendiri telah didigitalisasi. Namun ada perkecualian apabila
suatu bank merupakan bagian dari suatu grup korporasi, misalkan
Bank Mega atau Bank Mayora, maka sesungguhnya mereka bisa
dan harus mengeksplorasi New Business Model ini lebih awal.
Kasus yang menarik adalah apabila kita melihat Bank
Jago, yang dirancang sebagai bank digital murni. Bank Jago yang
merupakan rebranding dari Bank Artos yang diakuisisi oleh
beberapa pemegang saham baru yang juga investor di Gojek,
mempunyai banyak anggota tim manajemen yang berasal dari tim
Jenius BTPN. Desain awal dari Bank Jago ini adalah untuk
bersinergi dengan Gojek, agar Bank Jago dapat melakukan
akuisisi pelanggan dengan lebih murah melalui jalur Gojek.
Kemudian Gojek merger dengan Tokopedia membangun
ekosistem Go-To, suatu langkah lain lagi yang mencari sinergi
antara Gojek dan Tokopedia, dengan tujuan tentunya
menurunkan biaya akuisisi pelanggan bagi kedua pihak. Dengan
kolaborasi ketiga perusahaan berbasiskan kepemilikan silang
(cross ownership), maka diharapkan ketiganya mendapat
manfaat perluasan basis pelanggan dengan biaya akuisisi rendah.
Namun sampai saat ini belum terlihat hasil dari sinergi tersebut,
selain promosi diskon penggunaan Gosend di Tokopedia.
Bank Jago sendiri sudah meluncurkan aplikasi mobile-banking
yang terlihat jelas menyasar segmen usia muda. Aplikasi tersebut
tercatat telah diunduh lebih dari 500.000 kali, dengan penilaian 3,8
di Playstore. Aplikasi ini bisa dihubungkan dengan Gojek dan bisa
dipakai untuk membayar biaya layanan Gojek sebagaimana
Gopay. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Gopay adalah uang
elektronik yang terikat pada Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor 20/6/PBI/ 2018 tentang Uang Elektronik. Dalam aturan
disebutkan 30% dana yang mengendap di dompet digital harus
ditaruh di bank BUKU 4. Selain itu, maksimal 70% dana yang
mengendap ditempatkan pada surat berharga atau instrumen
keuangan yang diterbitkan pemerintah atau BI atau pada rekening
di BI. Dengan menghubungkan Bank Jago untuk pembayaran
Gojek, kelihatannya ditujukan untuk menggeser nasabah Gopay
menjadi nasabah Bank Jago.
SUDUT PANDANG BALANCED SCORECARD
Jika Transformasi Digital dianalisis menggunakan model
Balanced Scorecard yang sudah lama dan banyak dipakai di
berbagai perusahaan, kita bisa memetakan Balanced Scorecard
untuk transformasi digital sebagaimana berikut;
a. Pada intinya pada lapisan Financial tujuannya tetap sama
dengan tujuan klasik, yaitu meningkatkan pendapatan dan
menurunkan biaya.
b. Meningkatkan revenue sejalan dengan komponen Customer
Experience, yaitu dengan menggunakan pendekatan digital, meningkatkan ‘jumlah pelanggan’ dan ‘penghasilan per
pelanggan’
c. Menurunkan biaya berinti pada menurunkan biaya untuk
merangkul pelanggan (customer engagement) melalui
Operasional Excellence termasuk menurunkan biaya
infrastruktur dan Human Resources yang menjadi dasarnya,
melalui prinsip-prinsip antara lain; crowd utilization (open
innovation, open cooperation), gig economy, community
engagement, otomasi, dan asset-sharing (cloud, hire instead
of buy)
d. Operational excellence perlu menurunkan biaya namun
sekaligus bisa meningkatkan kualitas dan kecocokan produk
untuk pelanggan, serta meningkatkan kecepatan dan
ketepatan proses kepada pelanggan.
e. Pemangkasan biaya penjualan yang cukup besar bisa
diperoleh dengan memangkas intermediary/distributor baik
eksternal maupun internal. Distributor eksternal berupa
perusahaan lain yang bertugas menjualkan barang dan
mendistribusikan kepada pelanggan. Jika distributor tersebut
tidak efisien karena model operasinya masih mengandalkan
fisik bukan digital, maka perusahaan ikut menyerap
ketidakefisienan tersebut dalam harga jual kepada
pelanggan. Kita bisa lihat bagaimana e-commerce bisa
menurunkan harga jual ritel kepada pembeli dengan
memangkas jalur distribusi. Distributor internal adalah bagian
dari perusahaan yang menjalankan fungsi penjualan dan
distribusi yang model operasinya belum digital. Contohnya
adalah kantor cabang bank, yang mempunyai
gedung/ruangan (biaya sewa), pegawai dengan fasilitasnya,
mesin-mesin untuk menjalankan operasi cabang. Melalui
pendekatan digital, pelanggan bisa langsung mendapatkan pelayanan yang ia inginkan tanpa harus melalui kantor
cabang, sehingga biaya pemangkasan kantor cabang bisa
dialokasikan untuk diberikan kepada pelanggan sehingga
perusahaan bisa lebih kompetitif.
f. Biaya yang harus diturunkan terutama adalah biaya variabel,
karena itu biaya operasional harus serendah mungkin, dan itu
berarti menyiapkan perusahaan untuk menambah jumlah
transaksi tanpa menambah biaya operasional dengan
bermakna.
g. Biaya tetap yang perlu diturunkan adalah biaya kepemilikan
aset yang sedapatnya dirubah menjadi biaya sewa dan biaya
gaji tetap pegawai berikut kewajibannya yang sedapatnya
dirubah menjadi biaya honor berdasarkan hasil.SEJARAH EVOLUSI DIGITAL BANK 1.0 SAMPAI DENGAN
DIGITAL BANK 4.0
Sesuai dengan perkembangan teknologi, tingkat
digitalisasi perbankan juga berubah mengikutinya.
Digital Bank 1.0 sudah dimulai kurang lebih 20 tahun yang
lalu, yang dinamakan fase e-banking, di mana saat itu dimulai
dengan internet banking dengan metode dial-up, contact center
bank dapat dihubungi dengan email, informasi produk bank bisa
dilihat di web, dan umumnya bank sudah mempunyai sistem IT
untuk Customer Relationship Management.
Fase berikutnya adalah Digital Bank 2.0 (tahun 2003-
2008) yang dinamakan fase Multichannel Integration, di mana
data pelanggan berbagai channel dalam sistem IT disatukan, dan
pelanggan dapat mengajukan layanan melalui web, seperti
mengajukan pinjaman, membayar tagihan dan lainnya. Nasabah
bisa bertansaksi melalui berbagai channel dan tidak harus
berpindah channel setiap kali berpindah transaksi produk pada
bank yang sama. Bank mulai membangun data warehouse, dan
di masa ini pula kemajuan teknologi memadai untuk industri bank
diwajibkan melakukan proses KYC (Know Your Customer). Untuk
mendukung multichannel dengan baik, diperlukan arsitektur IT
yang berbasiskan Service Oriented Architecture (SOA). Data
analytics yang dilakukan adalah analisis berdasarkan data yang
dimiliki oleh bank tersebut yang berasal dari data identitas,
demografi, transaksi, dan riwayat kontak dari nasabah yang
pernah tercatat dalam sistem.
Selanjutnya fase Digital Bank 3.0 atau dinamakan juga
fase Omnichannel Integration. Perbedaan terbesar fase Digital
Bank 3.0 dengan Digital Bank 2.0 adalah dalam Digital Bank 3.0
sudut pandang bisnis Bank sudah Client-centric, bukan lagi
Product-centric seperti dalam Digital Bank 2.0. Dalam fase ini
tidak saja data induk dan data transaksi pelanggan di berbagai
channel produk telah menjadi satu (multichannel integration),
namun juga data lain dari sang pelanggan (data keluhan, data
kunjungan, data media sosial, dan sebagainya) telah terintegrasi
dengan mulus (seamless omnichannel integration). Dengan
demikian bank telah punya sudut pandang 360 derajat (semua
aspek) dari pelanggan. Big Data Analytics telah
diimplementasikan. Data analytics yang dilakukan dalam Bank 3.0
menjadi Big Data Analytics karena bukan hanya data yang dimiliki
internal, namun data yang diambil (data fetch) dari eksternal juga,
yang termasuk structured data maupun unstructured data. Sistem
IT bank sudah menggunakan Hybrid Cloud selain Internal Cloud.
Aplikasi digital banking di smartphone telah ada, dengan fungsi
penuh.
Perbedaan terbesar Digital Bank 4.0 dibandingkan dengan
Digital Bank 1.0 – 3.0 adalah pada fase Digital Bank 1.0 – 3.0
fokus bisnis dan sistem IT bank adalah melihat ke dalam (inward
looking), sedangkan pada Bank 4.0 lebih kepada melihat ke luar
(outward looking). Digital Bank 1.0 – 3.0 ini berfokus pada
pengembangan sistem digital untuk internal bank dan hanya
kepada pelanggan bank sendiri serta pada produk bank itu
sendiri. Ini juga disebut sebagai fase Internet of Everything
ataupun fase Open Banking. Dalam fase ini sistem digital bank
harus bisa berkomunikasi secara otomatis dan selektif (data dan
prosedur yang ditentukan) dengan sistem perusahaan lain
misalkan dengan e-commerce serta dengan bank lain.
Oleh karenanya arsitektur sistem yang dibangun harus
bisa intercloud engagement, dengan menggunakan API
(Application Programming Interface). Melalui API ini juga Bank
bisa bertukar data dan informasi (informasi diperoleh dari
pengolahan data oleh pihak lain), jadi bisa dibayangkan besarnya
data yang bisa diperoleh, yang tentunya harus memberikan output
mengenai apa tindakan atau layanan yang meningkatkan nilai
bisnis. Dalam fase ini Big Data Analytics perlu diperdalam dengan
Machine Learning, Deep Learning, bahkan Neural Network
sebagai dasar dari expert systemnya.
Jika dilihat bank di Indonesia saat ini, umumnya bank di
Indonesia ada pada fase Digital Bank 2.0, sebagian kecil sudah
pada Digital Bank 3.0, dan sebagian lagi masih pada Digital Bank
1.0 yaitu data seorang pelanggan di berbagai channel (misalkan
tabungan, deposito, pinjaman dan lainnya) masih belum menyatu,
sehingga perubahan data pada satu channel tidak merubah
secara otomatis data pada channel lainnya. Padahal di bulan
September 2019 Open Banking telah menjadi suatu keharusan di
Eropa, dan tentunya negara lain juga akan mengikuti prinsip yang
sama
Bankir pada umumnya tidak mengerti istilah-istilah teknis
di atas tersebut, padahal Digital Bank 4.0 merupakan keniscayaan
yang akan dihadapi segera. Padahal banyak pemimpin bank yang
unggul dalam bertransformasi digital mengatakan bahwa di masa
depan mereka akan menjadi perusahaan teknologi yang
mempunyai ijin operasional bank. Karenanya setiap bankir wajib
mengerti konsep dan terminologi digital, walaupun tidak perlu
sampai bisa membuat program.
Di dalam bukunya “Leading Digital” (Harvard Business
Press, 2014), George Westerman meneliti lebih dari 2.500
perusahaan dengan ekstensif selama tiga tahun. Westerman
menggolongkan para perusahaan tersebut ke dalam empat
kategori menurut status transformasi digitalnya berdasarkan dua
sumbu utama, yaitu:
1. Digital Capability atau kemampuan digital; yaitu tingkat
kemajuan perusahaan tersebut dalam memenuhi kebutuhan
dan keinginan pelanggan dengan memberikan fitur dan
pelayanan digital
2. Leadership Capability atau kemampuan kepemimpinan; yaitu
tingkat kemajuan perusahaan tersebut dalam menata
kemampuan sumberdaya manusia dan kemampuan
organisasi dalam bertransformasi digital.
Berdasarkan kedua sumbu tersebut, didapatkan empat
kategori pengelompokan perusahaan yang ditemukan:
1. Kategori Beginners atau pemula; yaitu para perusahaan yang
belum atau sangat awal dalam bertransformasi digital, di
mana tingkat kemampuan digital maupun kemampuan
kepemimpinannya masih rendah.
2. Kategori Fashionistas; yaitu para perusahaan yang telah
cukup maju dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan
pelanggan dengan fitur dan pelayanan digital, namun belum
cukup mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia
dan kemampuan organisasinya dalam transformasi digital.
3. Kategori Conservatives; yaitu para perusahaan yang telah
cukup maju dalam mengembangkan kemampuan
sumberdaya manusia dan kemampuan organisasinya dalam
transformasi digital, namun belum cukup maju dalam
memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan fitur
dan pelayanan digital.
4. Kategori Digital Masters; yaitu para perusahaan yang telah
cukup maju dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan
pelanggan dengan fitur dan pelayanan digital, yang juga telah
mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia dan
kemampuan organisasinya dalam transformasi digital.
Berdasarkan keseluruhan perusahaan yang diteliti,
didapatkan 184 perusahaan yang bisa dianalisis kinerja
keuanganannya karena telah merupakan perusahaan terbuka.
Dari data keuangan yang diperoleh, dibandingkan dengan kinerja
dari perusahaan dalam industri sejenis, dengan metode kalibrasi
sesuai besarnya perusahaan, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Secara rata-rata, para perusahaan dalam kategori Beginners:
a. Memperoleh penghasilan lebih rendah 4%
b. Menghasilkan keuntungan lebih rendah 24%
2. Secara rata-rata, para perusahaan dalam kategori
Fashionistas:
a. Memperoleh penghasilan lebih tinggi 6%
b. Menghasilkan keuntungan lebih rendah 11%
3. Secara rata-rata, para perusahaan dalam kategori
Conservatives:
a. Memperoleh penghasilan lebih rendah 10%
b. Menghasilkan keuntungan lebih tinggi 9%
4. Secara rata-rata, para perusahaan dalam kategori Digital
Masters:
a. Memperoleh penghasilan lebih tinggi 9%
b. Menghasilkan keuntungan lebih tinggi 26%
Jadi jelas bahwa menjadi Digital Masters berarti membawa
keunggulan baik secara penghasilan maupun keuntungan, dan
Beginners yang belum bertransformasi digital menderita baik
secara penghasilan maupun keuntungan. Sehingga tentunya
setiap perusahaan harus menyadari hal ini dan secepatnya
bergerak menuju status Digital Masters. Pertanyaan berikutnya
adalah, bagaimana cara terbaik untuk bergerak menuju status
Digital Masters?
EMPAT PILAR DALAM MEMIMPIN TRANSFORMASI DIGITAL
Dari berbagai riset yang pernah dilakukan, didapatkan
adanya empat hal utama yang perlu dilakukan para pemimpin
perusahaan dalam memimpin transformasi digital yang sukses,
yaitu:
1. Digital Vision
2. Transforming Organizational Culture
3. Integrating IT (Information Technology) and Busines
People
4. Digital Transformation Governance
VISI DIGITAL (Digital Vision)
Digital vision adalah gambaran masa depan perusahaan
sesudah menjalankan transformasi digital, tentunya mencakup
secara garis besar tentang keseluruhan business model yaitu
siapa pelanggan atau konsumennya (apakah target pelanggan
sama, beda, meluas, menyempit), apa customer value
propositionnya, bagaimana supply chainnya, apa sumber
penghasilan dan apa sumber biayanya, dan sebagainya.
Tidak mudah untuk dapat membuat visi yang tepat, karena
perubahan yang terjadi sangatlah banyak dan cepat.
Merencanakan dan melaksanakan perubahan untuk internal
perusahaan jauh lebih mudah dibandingkan menyambungkan
perubahan internal dengan perubahan yang terjadi di luar,
termasuk perubahan teknologi, perubahan perilaku pelanggan,
perubahan peta industri dan persaingan, perubahan regulasi,
perubahan politik ekonomi, dan lainnya. Karena itu, untuk dapat
membuat visi, para pemimpin perusahaan harus berusaha
mengerti perubahan apa yang akan terjadi di masa mendatang,
bukan hanya perubahan teknologi di bidangnya saja, tetapi
perubahan kehidupan manusia dan planet bumi secara
keseluruhan. Para pemimpin harus membayangkan apa peran
perusahaan yang ingin dicapainya dalam memberi manfaat
kepada manusia di masa mendatang, dengan perkiraan waktunya
juga, sehingga bisa diterjemahkan menjadi target-target
pencapaian yang dikaitkan dengan waktu pencapaian.
Contohnya adalah perusahaan Go-jek. Didirikan tahun
2010, pada awalnya Go-jek menggarap layanan ojek motor
melalui call-center. Menilik logonya saat itu, perusahaan Go-jek
yang didirikan oleh Nadiem Makarim mempunyai visi sebagai
perusahaan yang menyediakan jasa ojek untuk semua kebutuhan
pelanggan; transportasi orang, barang, dan jasa. Tertulis sebagai
‘an Ojek for Every Need” di bawah tulisan GO JEK yang di
tengahnya ada gambar orang mengendarai motor dengan 3 garis
lengkung di atas kepalanya yang melambangkan terhubung
secara signal digital (saat itu melalui komunikasi handphone baik
teks maupun suara).
Baru di tahun 2015, Go-jek meluncurkan aplikasinya, dengan 3
layanannya: GoRide (transportasi penumpang dengan ojek
motor), GoSend (antar barang atau dokumen dengan ojek motor),
dan GoMart (jasa membelikan barang di toko oleh pengemudi
ojek motor). Di tahun 2016, Go-jek meluncurkan sistem
pembayaran Go-pay. Dan selanjutnya Go-jek memperluas
pelayanannya dengan GoFood, GoMassage, GoClean, dan
sebagainya, serta menambah GoCar. Terutama dengan
masuknya GoPay dan GoCar, maka logo bergambar motor
menjadi kurang relevan lagi. Oleh karenanya di tahun 2019, Gojek mengganti logonya menjadi titik yang dilingkari oleh lingkaran
bulat yang hampir bertemu berwarna hijau yang dinamakan
“SOLV” yang dimaksudkan sebagai super-apps yang melayani
semua kebutuhan pelanggan.
Gambar 47. Logo Go-Jek: Lama vs Baru
Sumber : Google Image
Bisa disimpulkan bahwa apa yang dilakukan Go-jek hari
ini tidak terbayangkan oleh pendirinya sebagai visi di saat awal
didirikan. Namun hal itu bukan berarti visi tidak penting. Tanpa visi
yang kuat, Go-jek tidak akan sesukses hari ini. Kenyataan di
lapangan bisa menghadirkan tantangan untuk visi yang dibuat,
karena ternyata model bisnisnya tidak berjalan sesuai dengan
yang diharapkan. Misalkan dalam contoh Go-jek ini, sampai saat
ini (Juni 2021), layanan utamanya sejak didirikan yaitu
transportasi penumpang menggunakan ojek motor (dan kemudian
juga mobil) mungkin masih merugi terus. Namun ternyata
peluang-peluang baru yang lebih menguntungkan yang tidak
begitu terlihat di awal seperti GoFood dan GoPay, terbuka ketika
usaha sudah berjalan.
Piyush Gupta, CEO DBS Group, juga dengan terbuka
mengatakan sulit untuk memperkirakan masa depan, namun jelas
bahwa sebagai pemimpin perusahaan, harus punya pandangan
tentang masa depan. Pandangan tentang masa depan ini, yang
bisa dipastikan tidak akan tepat karena banyak hal di masa depan
yang tidak bisa terlihat, diperlukan untuk menjadi panduan bagi
keseluruhan perusahaan dalam mengambil sikap dan tindakan.
Dari riset yang dilakukan penulis (Dr. Bayu Prawira Hie) terhadap
bank-bank di Indonesia, banyak pemimpin bank yang belum
melakukan penetapan visi dalam transformasi digital yang ingin
dilakukannya. Memang sulit, namun harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya dengan berlandaskan pada perubahan
lingkungan strategis yang mempengaruhi bisnis perusahaan,
mengkaji ulang segmen masyarakat yang ingin dilayani, redefinisi
nilai yang ingin diberikan kepada masyarakat, dan rantai nilai yang
dikelola secara digital.
Dalam era transformasi digital saat ini, ke mana arah
digitalisasi bank Anda adalah visi digital yang diperlukan dan
disepakati bersama oleh para pemimpin bank Anda. Menurut
Anda, apa visi digital bank Anda (bisa visi yang sudah dibuat
ataupun yang sedang direncanakan)?
Kriteria visi yang baik adalah yang memenuhi hal-hal
sebagai berikut:
1. Dapat dimengerti oleh semua jajaran karyawan. Tentunya
tingkat kedalaman pengertiannya berbeda sesuai dengan
kapasitas karyawan, namun arah perubahan harus
dimengerti.
2. Mempunyai jangka waktu pencapaian yang jelas. Berbeda
dengan definisi visi di masa lalu yang tidak menyebutkan
kapan visi tersebut akan dicapai, saat ini visi harus
dihubungkan dengan kapan visi itu hendak dicapai.
Umumnya visi di era digital ini dibuat untuk 5 tahun ke depan,
yang dalam perjalanannya bisa diperbarui.
3. Jelas cara mengukurnya. Visi memang seringkali dinyatakan
secara kualitatif, misalkan “menjadi bank pilihan untuk
kebutuhan sehari-hari masyarakat”, namun visi tersebut
kemudian harus diterjemahkan menjadi goals yang
mempunyai cara pengukuran, misalkan: “ranking pertama di
antara seluruh bank di Indonesia dalam jumlah transaksi
kebutuhan rumah tangga menurut data OJK”
4. Menarik bagi semua jajaran. Visi yang menjanjikan
pertumbuhan dan menjawab perkembangan jaman akan
menarik semua jajaran, karena mereka akan melihat bahwa
masa depan mereka ada di sana.
5. Memberi inspirasi bagi karyawan. Visi yang mempunyai
“mass transformative purpose” (MTP) yaitu mempunyai
tujuan untuk mentransformasikan masyarakat secara massal
ke arah yang lebih baik, menjadi inspirasi bagi karyawan.
Contohnya, visi awal Go-jek mentransformasikan komunitas
ojek secara massal untuk membantu seluruh kebutuhan
masyarakat, dan juga mengangkat penghasilan pengemudi
ojek, merupakan suatu visi yang inspiratif.
6. Menampung apa yang diharapkan oleh karyawan. Seringkali
karyawan yang menghadapi kenyataan lapangan di mana
permintaan pelanggan berubah dan kompetisi berubah
karena era digital. Mereka berharap bahwa perusahaan juga
dapat berubah merespon perubahan di luar. Arah perubahan
yang dicerminkan dengan visi yang baik akan menjadi
jawaban atas pengharapan mereka.
7. Membawa ke arah yang beda dengan apa yang dilakukan
selama ini. Transformasi digital memang membawa
perubahan yang fundamental. Visi yang baik bukan seperti
visi ulat yang melihat masa depannya sebagai ulat yang lebih
besar dan gemuk, namun seharusnya visi ulat yang melihat
masa depannya menjadi kupu-kupu.
8. Membawa perubahan radikal. Radikal mempunyai dua
aspek, yaitu arah yang berbeda dan dengan cepat.
Kecepatan perubahan di era digital berpacu dengan
perubahan teknologi yang secara bersamaan mempengaruhi
cara hidup masyarakat. Oleh karenanya perubahan harus
dilakukan dengan cepat, secepat perubahan teknologi.
9. Fleksibel dalam menampung perbedaan yang ada. Tidak ada
yang tahu pasti akan masa depan, oleh karena itu visi yang
dibuat pasti didasarkan atas asumsi yang berbeda satu
dengan lainnya. Sedapat mungkin visi tersebut fleksibel
sehingga dapat menyesuaikan ketika asumsi tersebut
menjadi kenyataan.
TANTANGAN DALAM MEMBUAT VISI TRANSFORMATIF
Semua perjalanan organisasi harus mempunyai tujuan.
Jika organisasi tersebut berada dalam suatu lingkungan bisnis
yang relatif lambat perubahannya, tujuan tersebut mungkin hanya
berupa target-target satu sampai tiga tahun ke depan, dengan
proyeksi linier. Itu bagaikan seorang anak manusia yang tiap
tahun bertambah tinggi dan berat badannya, serta tentunya
kepandaiannya. Visi tiga tahun ke depan dari seorang anak yang
saat ini umur 12 tahun dan bersekolah kelas 1 SMP adalah
menjadi umur 15 tahun, bertambah tinggi 10 cm, bertambah berat
12 kg, dan bersekolah kelas 1 SMA. Mudah. Itulah yang umumnya
dilakukan oleh perusahaan yang kondisi bisnisnya relatif stabil.
Namun hal ini tidak bisa dilakukan apabila kondisi bisnis seperti
yang saat ini dihadapi oleh industri jasa keuangan, khususnya
perbankan. Perubahan digital telah sampai pada industri bank,
setelah sebelumnya menyapu industri media yang antara lain
memakan korban tutup usianya majalah Newsweek yang telah
berusia 100 tahun, menyapu industri jasa pemesanan tiket dan
pemesanan hotel yang telah membuat semua perusahaan jasa
travel harus kehilangan penghasilan bread&butter nya. Mirip seperti dalam industri travel, saat ini industri perbankan sedang
direbut penghasilan bread&butter nya yaitu penghasilan dari jasa
pembayaran ritel.
Apa yang harus dilakukan oleh industri bank bukan lagi
proses perubahan yang linier, tetapi harus transformatif.
Perubahan transformatif itu sangat berbeda dengan perubahan
linier, bahkan dengan perubahan radikal. Jika perubahan linier
dipermisalkan seperti anak berumur 11 tahun kelas 1 SMP yang
disebutkan sebelumnya, perubahan radikal dipermisalkan seperti
ular yang berganti kulit, bukan suatu perubahan yang reguler
tetapi perubahan drastis yang perlu dilakukan setiap beberapa
tahun sekali. Tetapi perubahan transformatif bisa jadi merupakan
perubahan yang hanya sekali seumur hidup, seperti seekor ulat
bertransformasi menjadi seekor kupu-kupu. Ulat dan kupu-kupu
merupakan dua jenis mahluk yang berbeda total yang
transformasinya terjadi di dalam kepompong yang dinamakan
metamorfosis. Ulat yang berkaki pendek dan banyak, menjadi
tinggal enam kaki panjang; tubuh ulat yang merupakan satu
kesatuan tabung, menjadi tiga segmen yaitu kepala, dada, dan
perut di kupu-kupu; ulat yang berjalan merayap, menjadi bisa
terbang dengan sayap yang besar dan indah; ulat yang makan
daun dengan gigi dan dikunyah, menjadi makan nektar dengan
pipa hisap pada kupu-kupu; dan ulat yang tadinya hanya makan
dedaunan, kemudian menjadi kupu-kupu yang membantu
penyerbukan tanaman. Itulah Digital Transformation sejati! Bukan
dari ulat menjadi ulat yang lebih besar, namun menjadi kupu-kupu.
Perjuangan untuk bertransformasi digital pun mirip seperti yang
dialami oleh kupu-kupu di dalam kepompong, di mana hampir
seluruh sel ulat hancur, untuk memberi nutrisi sekelompok sel inti
yang bertumbuh dengan pesat menjadi kupu-kupu dengan organorgan tubuh yang sama sekali berbeda. Dalam transformasi
digital, pemimpin bank harus bisa membuat visi bentuk dan
lingkup jelajah bentuk kupu-kupu dari bank yang dipimpinnya
sekarang.
Professor Jeanne Ross dari MIT (Massachusets Institute of
Technology) mengatakan, digital memberikan kesempatan
kepada setiap pebisnis untuk memikirkan ulang bisnisnya,
terinspirasi dengan apa yang bisa dilakukan teknologi digital
kepada manusia. Sebelum adanya Uber atau Grab, perusahaan
taksi tidak pernah berpikir bahwa penumpang bisa (dan kemudian
menjadi kebutuhan) diberi lebih banyak kontrol tentang
perjalanannya, misalkan kapan taksi yang dipesan akan sampai,
bisa melihat di mana posisi taksi yang dipesannya, tahu berapa
biaya perjalanan yang akan dibayarkannya, tahu rute apa yang
diambil, dan sebagainya. Perusahaan taksi hanya melakukan apa
yang dilakukan sesama perusahaan taksi lainnya, yang
berkembang dengan linier karena malas membayangkan apa
yang sebenarnya mungkin dilakukan dengan kemajuan teknologi.
Bertransformasi digital adalah transformasi besar yang
mungkin sulit dibayangkan sebesar apa oleh seorang pimpinan
organisasi yang ingin memimpin perusahaannya melakukannya.
Bayangkan seekor ulat pasti sulit membayangkan bahwa ketika
jadi kupu-kupu apa yang dimakannya akan beda dengan yang
kemarin dimakannya (pasar yang berbeda), cara berjalan
merayap yang telah biasa dilakukannya kemudian berganti
dengan terbang (cara beroperasi yang berbeda), jenis tanaman
dan jumlah tanaman yang tempat hidupnya akan berbeda
(business model yang berbeda), serta tujuan hidup yang berbeda
yang tadinya sebagai ulat mencari daun (profit) untuk dimakan
supaya tumbuh besar, kini sebagai kupu-kupu menghisap nektar
(profit) namun sekaligus membantu fertilisasi tanaman supaya
tanaman tersebut berkembang biak (bertujuan mentransformasikan kehidupan masyarakat). Semua itu dengan satu
kesinambungan DNA antara sang ulat dengan sang kupu-kupu,
yang bagi bank adalah The Banking License!
Riset yang dilakukan oleh penulis (Dr. Bayu Prawira Hie)
terhadap para Direktur Utama Bank di Indonesia di tahun 2018
menunjukkan bahwa 84% dari mereka mengatakan transformasi
digital untuk bank yang dipimpinnya sangat penting dilakukan,
namun ketika ditanya seberapa mendesaknya, hanya 45% yang
menyatakan sangat mendesak. Ini menunjukkan bahwa
mayoritas dari mereka menyadari cepat atau lambat mereka
harus bertransformasi digital, namun tidak terlalu mendesak untuk
dilakukan sekarang.
Hal tersebut umum dijumpai. Masalahnya adalah bukan
ketidaktahuan tentang pentingnya transformasi digital, namun
masalahnya adalah tidak cukup cepat mengambil tindakan
bertransformasi segera. Mereka pikir mereka masih punya cukup
waktu beberapa tahun untuk mempersiapkan diri, namun
kemudian mereka mendapatkan bisnisnya sudah terhantam
parah jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan, seperti apa
yang dialami oleh industri perbankan dalam transaksi ritel yang
digasak oleh Shopee-pay, Go-pay, Ovo, dan Dana. Masalah
lainnya yang sering dijumpai adalah mereka merasa sudah
melakukan upaya transformasi digital, namun ketika pasar
terdisrupsi mereka baru menyadari bahwa apa yang telah
dilakukannya adalah bukan transformasi digital, melainkan hanya
menambah fitur digital, seperti yang dialami oleh Blue Bird Taxi,
yang tertohok oleh Uber dan Grab di tahun 2016
Hambatan terbesar untuk membuat visi adalah tidak bisa
membayangkan kondisi yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Contohnya adalah perbankan Indonesia tidak ada yang
mengambil langkah untuk membuat sistem pembayaran
berbasiskan QR code sampai melihat Go-jek melakukannya.
Sebelumnya, mereka membayangkan kemajuan dalam
pembayaran non-tunai ya melalui sistem pembayaran kartu, baik
dengan chip ataupun NFC. Dengan QR code, Go-jek bisa
merekrut merchant sebanyak-banyaknya bahkan kaki lima, tanpa
harus melengkapi mereka dengan alat, cukup dengan print QR
code identitas merchant yang bisa dipindai dengan aplikasinya.
Hanya di merchant-merchant besar mereka lengkapi dengan alat
EDC.
Hasilnya adalah tercatat transaksi Go-pay di tahun 2018
mencapai Rp. 87 Triliun yang berarti lebih dari empat kali lipat
seluruh transaksi gabungan e-money Bank Mandiri, BCA, dan
Bank BNI. Padahal Go-pay baru lahir di tahun 2016 dan baru
melakukan metode QR code sejak Mei 2017. Tentunya promosi
cash-back Go-pay sangat berperan dalam akuisisi pembayaran
ritel, namun tanpa distribusi yang luas dengan sistem QR code
yang mudah, nilai tersebut sulit dicapai.
Pengetahuan yang luas tentang perkembangan teknologi
memungkinkan seorang pemimpin lebih mampu membayangkan
visi perusahaannya ke depan. Jika seekor ulat tidak tahu bahwa
ia akan memiliki sayap ketika menjadi kupu-kupu, maka ia akan
sulit membayangkan visi ia akan terbang di atas bunga-bunga di
pepohonan.
Bagi DBS Bank (Singapore), visi yang dibuat oleh CEOnya
Piyush Gupta dan CIOnya David Gledhill adalah menjadi D dalam
GANDALF, yang merupakan singkatan dari Google, Amazon,
Netflix, DBS, Apple, Linkedin, Facebook. GANDALF adalah kata
yang dibuat oleh mereka yang mencerminkan visi mereka bahwa
DBS akan bertransformasi menjadi perusahaan teknologi seperti
Google, Amazon, Netflix, Apple, Linkedin, Facebook
Mereka mengatakan bahwa DBS akan menjadi
perusahaan teknologi dengan lisensi bank. Hal ini berarti bahwa
DBS akan membangun kompetensi inti teknologi, bukan
kompetensi perbankan seperti yang sebelumnya. Visi ini tentu
akan mempengaruhi strategi dan eksekusi yang akan
dilaksanakannya. Salah satunya misalkan, DBS akan merekrut
lebih banyak orang berkompetensi teknologi dibandingkan
kompetensi perbankan, dan semua pemimpin perlu menguasai
kompetensi teknologi. Jika visi DBS GANDALF ini lebih kepada
visi kompetensi intinya (visi operasional), visi bank lain bisa lebih
mengarah kepada apa yang akan mereka lakukan (visi
fungsional). Jika dimisalkan, visi DBS ini mirip seperti ulat
memvisikan dirinya menjadi kupu-kupu, sedangkan ulat yang lain
bisa juga memvisik