Selasa, 03 Desember 2024

Published Desember 03, 2024 by

teknologi bank 3


 shareholders). 

4. Jangan ragu untuk bertindak walau dengan risiko gagal, 


namun usahakan kegagalan-kegagalan yang terjadi 


dalam skala kecil, dan cepat diperbaiki. Dalam


transformasi digital, diperlukan kecepatan dan inovasi, 


yang tentunya memerlukan kesiapan untuk menerima 


risiko yang lebih tinggi untuk gagal.

Untuk bisa menerapkan prinsip-prinsip eksekusi tersebut, 


diperlukan Key Enablers. Tanpa Key Enablers ini, mustahil 


prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan. Key Enablers yang 


diperlukan adalah:

1. Kepemimpinan yang lincah dan mahir digital, yang 


bertugas menjaga visi strategis, tujuan perusahaan, 


ketrampilan, motivasi dan keselarasan di seluruh level 


manajemen, agar menjamin proses pengambilan 


keputusan yang cepat dalam inovasi.


2. Agenda yang melihat ke depan melalui penanaman pola 


pikir digital pada pegawai dengan membuat inovasi 


sebagai fokus bagi program pelatihan dan perekrutan.


3. Cara berpikir ekosistem, dengan membangun kolaborasi 


di dalam rantai nilai (value chain) seperti pemasok, 


distributor, pelanggan, maupun yang di luar rantai nilai 


seperti para start-ups, akademia, bahkan dengan yang 


sebelumnya kita anggap sebagai kompetitor (dalam open 


banking system, suatu bank bisa menjualkan produk dari 


bank lain, dan sebaliknya)


4. Pengelolaan data dan aksesnya untuk menjadi 


keunggulan kompetitif, melalui infrastruktur dan 


kemampuan penyimpanan data yang kuat yang 


dikombinasikan dengan analisis yang tepat dan alat 


komunikasi.


5. Kesiapan infrastruktur teknologi untuk menjamin 


kemampuan yang unggul di cloud, security, dan


interoperability. Cara berpikir konvensional yaitu ingin 


beroperasi dengan server sendiri harus ditinggalkan.


RANGKUMAN BAB 3:


• Strategi transformasi digital adalah cara yang paling efektif 


dan efisien untuk mencapai kematangan digital (digital 


maturity), dan setiap bank mempunyai kondisi dinamis dan 


visi misi yang berbeda sehingga memerlukan strategi yang 


berbeda. • Dalam merancang strategi transformasi digital, suatu 


perusahaan/bank akan dihadapkan pada pilihan 


memprioritaskan sisi operasional perusahaan dulu atau 


memprioritaskan aspek pelanggan dan bisnis dulu. 


• MITCSIR membagi strategi bertransformasi digital 


menjadi empat jalur besar, yaitu; jalur satu yaitu 


memprioritaskan digitisasi operasional, jalur dua yaitu 


memprioritaskan aspek pelanggan, jalur tiga yaitu 


pendekatan bertahap, dan jalur empat yaitu membuat 


divisi atau anak perusahaan yang khusus untuk digital.


Masing-masing pilihan jalur mempunyai keuntungan dan 


kelemahan.


• Tiga hal mendasar yang perlu dicapai dari semua jalur 


strategi adalah: Connected Platform of Services, Digital 


First Focus, dan Digital Coordination.


• Agar maksimal, pelaksanaan investasi transformasi digital 


perlu dikawal dengan empat prinsip eksekusi yaitu: 


tentukan kepemilikan yang jelas dari investasi digital;


investasi hanya untuk kasus yang jelas, bukan demi 


teknologi; gunakan pendekatan berdasarkan hasil; dan 


usahakan jika ada kegagalan, terjadi dalam skala kecil, 


dan cepat diperbaiki. Empat prinsip eksekusi ini perlu 


diberdayakan oleh lima faktor yang berpusat pada 


kepemimpinan yang lincah dan mahir digital.



TRANSFORMASI DIGITAL TOTAL TO THE CORE


Banyak bank yang merasa sudah bertransformasi digital 


bila ia sudah mempunyai aplikasi mobile banking. Walaupun 


memang apa yang dilihat oleh pelanggan pada bank yang telah 


bertransformasi digital adalah aplikasi mobile banking dalam 


smartphone-nya, itu bukan berarti bank tersebut sudah 


bertransformasi digital secara utuh, karena aplikasi mobile 


banking hanya salah satu dari banyak hal dalam implementasi 


transformasi digital.


Transformasi Digital total harus mentransformasi tiga 


komponen utama, yaitu pengalaman pelanggan (Customer 


Experience), operasional perusahaan yang terbaik (Operation 


Excellence), dan model bisnis baru (New Business Model). 


Dengan demikian, bukan hanya tampilan digital, namun 


operasional, model bisnis, serta pikir seluruh pegawai juga digital. 


Aplikasi mobile banking saja tanpa didukung proses lainnya di 


belakangnya, hanya memenuhi sebagian dari salah satu poin 


dalam Customer Experience, yaitu pelanggan dapat melakukan 


transaksi swalayan. Padahal masih banyak hal yang perlu dicapai dalam Customer Experience saja, dan aplikasi mobile banking


saja belum mencerminkan apakah Operational Excellence dan 


New Business Model telah dicapai. PENGALAMAN PELANGGAN (CUSTOMER EXPERIENCE)


Customer Experience adalah salah satu dari tiga 


komponen yang harus berubah dengan digitalisasi. Dengan 


digitalisasi, kita bisa lebih mengerti tentang pelanggan tersebut 


secara individual, membuat pelanggan makin terpenuhi 


kebutuhannya dengan produk kita yang sesuai, memudahkan 


semua proses interaksi dengan kita, sehingga mereka merasa 


senang berinteraksi dengan kita.

Menurut Westerman (2014), komponen Customer 


Experience yang bisa kita ukur terdiri dari tiga bagian dengan 


delapan komponen, yaitu:


a. Mengerti tentang pelanggan, yang mencakup 


i. segmentasi berdasarkan analisis data tentang 


pelanggan yang bukan hanya data demografi, 


tetapi yang penting adalah analisis tingkahlaku, 


kebiasaan, dan kecenderungan pelanggan yang 


didasarkan pada data primer tentang hal tersebut 


yang diperoleh.


ii. pengetahuan tentang pelanggan yang diperoleh 


dari data sosial di internet, misalkan dari akun 


Facebook, Instagram, Twitter, Blog, publikasi, 


berita, dan lainnya. Hal ini dimungkinkan dengan 


menarik data melalui Application Programing 


Interface (API)

b. Pertumbuhan penjualan, yang mencakup


i. Penjualan yang diperkuat dengan digital, berupa 


penawaran-penawaran produk yang didasarkan 


pada analisis kebutuhan pelanggan secara 


individual yang datanya diperoleh dari komponen 


‘mengerti tentang pelanggan’;


ii. Pemasaran prediktif; membuat produk-produk 


baru, penyesuaian harga, cara dan bentuk 


promosi, dan pemilihan distribusi (melalui mitra) 


yang berdasarkan analisis data tentang kebutuhan 


pelanggan


iii. Proses yang singkat; memangkas proses menjadi 


sesederhana mungkin sehingga ketika pelanggan 


ingin membuka rekening atau membeli suatu 


produk secara digital, bisa terlaksana dengan 


sederhana dan cepat.


c. Titik sentuh pelanggan, yang mencakup:


i. Pelayanan pelanggan baik pemberian informasi 


maupun penanganan keluhan dilakukan secara 


digital yang cepat, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. 


ii. Keselarasan berbagai cara berinteraksi dengan 


pelanggan. Ketika pelanggan berinteraksi dengan 


perusahaan, seharusnya ia merasa bahwa dengan 


apa pun atau siapa pun ia berinteraksi, tidak perlu 


mengulangi suatu prosedur yang sama. Misalkan 


seorang pelanggan mempunyai keluhan yang 


telah ditangani oleh chatbot namun tidak 


terselesaikan, sehingga harus ditangani secara 


tatap muka oleh petugas customer service,

pastikan data apa yang telah dialami oleh 


pelanggan dengan chatbot dapat diperoleh oleh 


sang petugas sehingga pelanggan tidak perlu 


menyampaikan ulang keluhannya dengan panjang 


lebar.


iii. Pelanggan dapat memenuhi kebutuhannya secara 


swalayan dengan cara digital. Semakin banyak hal 


yang dapat dilakukan sendiri oleh pelanggan,


pelanggan makin senang karena merasa 


mempunyai makin banyak kontrol. Dan di sisi 


perusahaan, juga merupakan efisiensi biaya 


karena tidak perlu membayar pegawai melakukan 


hal tersebut untuk pelanggan.


Deloitte Digital melakukan analisis dan pemetaan 


terhadap digital channel bank di Eropa, khususnya melalui 


aplikasi smartphone, yang membuahkan 826 poin fungsi yang 


bisa dinilai dari sudut pandang pelanggan. Secara prinsip, aplikasi 


yang ideal haruslah menawarkan cakupan fungsi yang luas dan 


relevan untuk pelanggan, serta mempunyai user experience (yang 


merupakan bagian dari customer experience) yang nyaman dan 


mudah.


826 poin tersebut mencakup keseluruhan apa yang 


dialami pelanggan, yaitu dari pengumpulan informasi oleh 


pelanggan (informasi tentang pelayanan/produk yang ditawarkan, 


harganya, perbandingannya dengan yang lain, dan sebagainya), 


proses pembukaan rekening (termasuk apa saja channel yang 


tersedia serta metode verifikasi), proses customer onboarding


(bimbingan terhadap pelanggan mengenai proses selanjutnya 


dan apa saja yang bisa dilakukan), pelayanan banking untuk

kebutuhan sehari-hari (ketersediaan pelayanan yang dibutuhkan, 


mengelola rekening, dan melakukan transfer), memperluas 


hubungan (cross-selling produk/layanan tambahan seperti 


pinjaman, tabungan, deposito, danareksa, asuransi, dan lainnya), 


serta proses menutup rekening (kemudahan menutup, 


pemindahan saldo, dan lainnya).

Walaupun apa saja 826 poin yang dinilai oleh Deloitte 


tersebut tidak diuraikan di sini satu per satu, namun secara garis 


besar bisa dilihat komponen-komponen apa yang dinilai.

Digitalisasi bukan berarti hanya memindahkan proses 


yang tadinya manual menjadi sekarang bisa dilakukan melalui 


aplikasi di smartphone, namun juga proses itu sendiri haruslah 


diefisienkan. 


Contohnya adalah yang dilakukan oleh DBS Bank 


Singapore, proses pembukaan rekening bukan hanya menjadi 


sangat cepat (dalam hitungan menit) namun juga proses yang 


sebelumnya ada 15 langkah yang harus dilalui calon nasabah, 


dipangkas menjadi 4 langkah yang semua bisa dilakukan secara 


digital. Bahkan DBS menginginkan proses banking di DBS 


menjadi tidak terlihat (invisible) yang berarti nasabah tidak lagi 


menganggap banking menjadi suatu proses atau prosedur yang 


terpisah dengan apa yang sebenarnya ingin dilakukannya. Misalkan seorang pelanggan ingin membeli rumah. Jika 


sebelumnya sesudah ia sepakat membeli rumah dengan 


penjualnya maka ia perlu melakukan proses perbankan untuk 


melanjutkan transaksinya (termasuk mengajukan kredit 


kepemilikan rumah dan lainnya) baru lanjut ke notaris, kini ia 


dapat langsung ke notaris karena proses perbankannya 


sedemikian mudah dan luwesnya mengikuti kebutuhannya. Itu 


yang dicita-citakan DBS. Karena itu DBS mengeluarkan tagline 


“Live more, bank less” yang berarti tidak perlu lagi membuang 


waktu dan tenaga untuk proses banking, sehingga waktu dan 


tenaga bisa digunakan untuk lebih menikmati hidup.


Dengan segala upaya transformasi digitalnya, DBS 


berhasil menjadi World’s Best Digital Bank 2018 versi majalah 


Euromoney.

KEUNGGULAN OPERASIONAL


(OPERATIONAL EXCELLENCE)


Seperti yang pernah kita bahas sebelumnya, proses 


digitalisasi sesudah mencapai fase disruption akan kemudian 


masuk ke fase dematerialisasi (dematerialization), di mana 


proses-proses bricks and mortar tidak diperlukan lagi karena 


digitalisasi sudah dapat berfungsi menggantikannya dengan hasil 


yang lebih memuaskan. Inilah titik acu (benchmark) yang harus 


dikejar oleh semua perusahaan yang bertransformasi digital. Jika 


dalam permisalan metamorfosis kupu-kupu, cara operasional ulat 


yang menggunakan kaki yang walaupun sangat banyak namun 


jalannya merambat, harus tergantikan dengan sayap yang walau 


hanya empat helai namun mampu menjelajah jauh lebih luas dan 


dengan cara terbang bukan merambat.


Di berbagai bidang yang telah tertransformasi digital, kita 


lihat dematerialisasi ini dengan jelas. Misalkan industri peta. Dulu 


kita perlu buku peta untuk mengetahui posisi suatu tempat, 


lingkungannya dan juga jalan untuk mencapainya. Ada peta suatu 


kota, suatu propinsi, suatu negara, bahkan suatu benua seperti 


Eropa, Amerika, atau Australia, yang bisa berupa buku dengan 


beberapa ratus halaman. Ke mana buku peta itu sekarang? Telah 


lenyap tergantikan oleh GoogleMap yang merupakan suatu 


program tanpa fisik (non-fisik/non-materi). Berat suatu 


smartphone yang ada program GoogleMap dengan yang tidak 


ada program GoogleMap adalah sama, itu berarti GoogleMap 


tidak mempunyai massa, berarti bukan barang fisik. Bukan hanya 


produknya yang non-fisik, tetapi juga cara produksinya dan 


operasinya juga non-fisik. Bukan lagi produksinya menggunakan 


mesin cetak di atas kertas seperti memproduksi buku peta, 


melainkan membuat program yang tidak perlu dicetak di atas


kertas. Dan bukan lagi menggunakan orang yang menggambar

peta untuk dicetak melainkan langsung menggunakan image dari 


satelit.


Contoh lain adalah industri suratkabar yang produk 


sesungguhnya adalah berita. Ke mana para suratkabar yang 


sebelumnya merupakan sarapan wajib setiap orang dewasa yang 


berpendidikan? Bukan berarti berita yang hilang atau tidak 


dibutuhkan lagi, tapi hadir dalam bentuk produk yang non-fisik, 


yaitu portal berita on-line. Dalam industri fotografi; dulu foto pribadi 


yang dicetak di atas kertas di seluruh dunia merupakan industri 


bernilai triliunan dollar, sekarang lenyap membawa Kodak kepada 


kebangkrutan. Ke depannya hampir semua produk akan 


mengalami dematerialisasi, termasuk uang kartal yang sekarang 


masih banyak beredar akan lenyap. Bagaimana dengan bank? 


Brett King dalam bukunya Bank 4.0 mengatakan; “Banking 


Everywhere, Never at a Bank”. Bill Gates mengatakan; “Banking 


is necessary, Bank is not”. Bukan fungsi perbankannya yang akan 


hilang, tetapi fisik dari bank itu yang akan mengalami 


dematerialisasi.

Jalan berpikir pemimpin transformasi digital haruslah 


“Digital First”, yang berarti dalam mencari solusi dari semua 


masalah, utamakan solusi digital. Jalan berpikir konvensional 


yang terus ada di perusahaan adalah terus menambah jumlah 


pegawai ketika lingkup dan jumlah beban kerja bertambah. Jalan 


berpikir digital akan memilih merubah desain maupun eksekusi 


pekerjaan menjadi digital, sehingga tidak perlu menambah orang, 


bahkan mengurangi jumlah orang yang diperlukan, terutama 


orang-orang yang mengerjakan pekerjaan dengan cara 


konvensional. 


Jadi berpikir digital adalah berpikir dematerialisasi yang 


bisa sangat bertolak belakang dengan cara berpikir konvensional. 


Masih belum lama yang lalu, semua perusahaan mengunggulkan 


customer service yang disebut “human touch”, yaitu 


menggunakan orang untuk berkomunikasi dengan orang, yang 


dianggap cara terunggul. Saat ini kita melihat bahwa justru yang 


diunggulkan adalah sentuhan mesin yang mengerti manusia. 


Memang pada masa yang lalu, jika kita menghubungi layanan 


pelanggan per telpon, lalu dijawab oleh mesin yang 


mengharuskan kita memilih menu dengan kaku, terasa 


mengesalkan dibandingkan langsung bicara kepada manusia. 


Saat ini, perusahaan yang maju sudah menggunakan layanan 


pelanggan per telpon menggunakan artificial intellligence yang 


mengenali bahasa (natural language processing), sehingga kita 


mendapatkan fleksibilitas seperti manusia namun dengan daya 


tangkap dan kecepatan berpikir mesin. Di level personal Anda 


bisa menggunakan layanan SIRI atau Google Assistant, atau 


mempunyai Amazon Alexa atau Google Home.


Oleh karenanya, dematerialiasi merupakan salah satu 


ukuran bagi suatu perusahaan telah melakukan transformasi 


digital. Dematerialisasi bagi bank pada umumnya adalah pengurangan kantor cabang dan tentunya personel yang bertugas 


di kantor cabang. Dan di dalam kantor cabang yang masih ada 


pun, terjadi efisiensi jumlah personel dikarenakan pekerjaan yang 


tadinya menghabiskan waktu untuk menemui pelanggan, kini 


sudah berkurang sangat banyak. Dengan volume bisnis yang 


relatif sama, maka diperlukan jumlah kantor cabang dan personel 


yang lebih sedikit karena digitisasi. Tidak heran maka kita melihat fenomena penurunan 


jumlah pegawai bank di beberapa tahun terakhir ini. Apakah 


besarnya pengurangan pegawai bank mencerminkan besarnya 


transformasi digital yang terjadi di bank? Yang jelas besarnya 


pengurangan pegawai bank berbanding lurus dengan efisiensi operasional yang diciptakan oleh digitisasi, dan efisiensi 


operasional merupakan salah satu komponen utama transformasi 


digital.


Jika dulu pemimpin perusahaan bangga apabila 


perusahaannya mempunyai aset tetap dan pegawai makin


banyak, saat ini yang dibanggakan adalah efisiensi dan scalability, 


yaitu menambah skala bisnis perusahaan dengan sesedikit 


mungkin penambahan aset dan pegawai. 


Jack Ma membanggakan scalability Alibaba dibandingkan 


dengan Wal-Mart, dengan mengatakan, “Jika Wal-Mart ingin 


menambah 10.000 pelanggan baru, mereka harus membangun 


gudang baru dan menambah pegawai... Bagi Alibaba; tambah 2 


server saja.” David Gledhill (DBS Bank) ikut menimpali tren ini


dengan mengatakan, “Jika Alibaba perlu menambah 2 server


untuk 10.000 pelanggan baru, DBS menambah 50.000 pelanggan 


baru dengan hanya menambah 1 server.” Jadi bisa dilihat, apa 


yang dibanggakan perusahaan sebagai keunggulan adalah 


sangat berbeda dengan masa sebelum digital yang bangga 


dengan makin banyak aset fisik dan jumlah pegawai, yang 


diterjemahkan sebagai kapasitas perusahaan yang makin besar.  

Rantai nilai dari proses bisnis suatu perusahaan merupakan 


komponen yang diperlukan untuk membentuk nilai total dari suatu 


produk atau jasa. Setiap rantai nilai ini memerlukan biaya untuk 


menjalankannya. Jika kita bisa menghemat biaya dari satu atau 


lebih komponen rantai nilai ini, maka kita bisa memperoleh 


keuntungan yang lebih besar. Dengan digitisasi maka komponen￾komponen tersebut dapat diotomasi yang menghemat biaya. Dan 


setiap komponen rantai nilai tersebut telah tersedia teknologi￾teknologi digital untuk otomasi. Makin banyak kita melakukan 


otomasi pada makin banyak komponen rantai nilai, maka makin 


besar efisiensi yang bisa diperoleh.

Semua otomasi yang dilakukan dalam transformasi digital 


adalah untuk menuju Operational Excellence. Menurut 


Westerman (2014) ada tiga hal dengan delapan komponen yang 


perlu dicapai dengan Operational Excellence, yaitu:

1. Digitisasi proses, yang mendukung:


i. Peningkatan kinerja operasional sehingga lebih cepat, 


tepat, berkualitas


ii. Proses kerja baru yang lebih efisien sehingga 


menurunkan biaya penciptaan rantai nilai


2. Pemberdayaan pegawai, yang mendukung:


i. Bekerja di mana saja dan kapan saja tanpa terbatas 


oleh ruang dan waktu


ii. Komunikasi yang lebih luas dan lebih cepat dalam 


organisasi


iii. Berbagi pengetahuan secara luas dengan pegawai 


lain


c. Mengelola kinerja dengan cara:


i. Bekerja dengan cara yang terbuka yang menjamin 


obyektifitas penilaian kinerja


ii. Pengambilan keputusan yang berdasarkan data 


sehingga bisa lebih tepat


MODEL BISNIS BARU (NEW BUSINESS MODEL)


Model bisnis (Business Model) adalah penjabaran dari 


bagaimana suatu perusahaan menciptakan nilai untuk pelanggan 


melalui produk atau jasa, yang harus lebih besar daripada biaya 


yang diperlukan untuk membuat produk/jasa tersebut, sehingga 


dapat dikatakan perusahaan tersebut telah membuat nilai tambah 


yang dapat menjadi keuntungan buat perusahaan.


Transformasi digital telah membuka peluang untuk model 


bisnis baru yang sebelumnya sulit dilakukan karena tidak 


ekonomis karena memerlukan biaya besar untuk 


melaksanakannya. Contohnya layanan antar makanan seperti 


GoFood atau GrabFood. Sebelumnya hal ini sudah dilakukan 


dengan cara manual, yaitu menelpon orang yang bertugas di

restoran atau rumah makan yang bersangkutan, atau kepada 


perusahaan layanan food delivery yang sangat terbatas 


kapasitasnya karena semua dikerjakan secara manual. Dengan 


digital, koordinasi bisa dilakukan dengan cepat, tepat, murah, dan 


dengan cakupan yang masif. Sebelum adanya Tokopedia, ada 


juga produsen atau pedagang yang menjual langsung 


menggunakan katalog atau brosur, namun biaya cetak dan antar 


katalog dan brosur mahal sekali, dan juga menangani pesanan 


yang didapat dari katalog atau brosur tersebut. Dengan digital, 


semua dibuat mudah, cepat, dan murah, seperti di Tokopedia atau 


platform e-commerce lainnya. Dengan digital pula, keputusan￾keputusan kerjasama yang biasanya sangat subjektif tergantung 


orang yang memutuskan, dibuat menjadi suatu proses yang 


otomatis sehingga semua yang memenuhi persyaratan tersebut, 


otomatis masuk. Bayangkan kalau menjadi merchant Tokopedia 


atau GoFood harus melalui penilaian orang, maka perluasan 


jaringan mereka akan sangat terhambat.


Dengan digital, intermediasi yang dilakukan secara 


manual dilakukan melalui orang yang kapasitasnya sangat 


terbatas, bisa digantikan dengan digital yang kapasitasnya tidak 


terbatas. Karena itu, muncul AirBnB atau Traveloka yang bisa 


menawarkan kamar menginap yang jauh lebih banyak 


dibandingkan jaringan hotel mana pun. Muncul juga Amazon.com 


dan Tokopedia yang bisa menawarkan barang-barang jauh lebih 


banyak dibandingkan jaringan toko ritel mana pun. Kemudian 


muncul GoCar dan Grab Car yang menawarkan jasa mobil sewa 


yang jauh lebih banyak dibandingkan jaringan perusahaan taksi 


mana pun. Tentunya bukan suatu hal yang mustahil ada platform


yang menawarkan produk keuangan dan perbankan yang jauh 


lebih lengkap dibandingkan jaringan bank mana pun.

Transformasi digital ini membuka peluang yang besar 


untuk setiap perusahaan mengadopsi strategi platform, yaitu 


menjadi penghubung antara pemilik produk dengan pembelinya, 


melalui platform digital. Hal ini menjadi hal baru bagi bank yang 


biasanya fokus dalam mencari bisnis dari produk sendiri. 


Dengan transformasi digital, bank harus membuka pola 


pikir untuk mencari bisnis dengan menghubungkan dua atau lebih 


pihak yang saling membutuhkan, atau menjadi bagian dari suatu 


rantai ekosistem yang dibutuhkan suatu komunitas. 


Misalkan DBS Bank yang membuat platform digital DBS 


Marketplace (dbs.com/personal/marketplace), yang mempunyai 


fitur property marketplace yang menghubungkan pemilik dan 


agen properti dengan pembeli atau penyewa, marketplace jual 


beli mobil dan aksesoris, marketplace liburan yang menyediakan 


tiket dan hotel, marketplace toko yang menyediakan elektronik, 


pakaian, dan barang-barang lain, dan marketplace pendidikan, 


serta utilities marketplace. 


Hal ini dimungkinkan di Singapore karena Monetary 


Authority of Singapore (MAS) di bulan Juni 2017 telah memberi 


ijin bank untuk memiliki marketplace, yang langsung disambut 


oleh DBS dengan peluncuran property marketplace di bulan Juli 


2018. 


Model bisnis baru inilah yang membuka kesempatan bagi 


bank untuk bisa bertumbuh eksponensial, bukan hanya linier yang 


dihasilkan oleh pertumbuhan secara organik. Mengapa? Karena 


kesempatan bekerjasama dengan pihak lain itu jauh lebih luas 


dibandingkan menghasilkan produk atau jasa sendiri dan 


mengandalkan usaha sendiri.

Di samping itu, produk dan jasa kita pun perlu dititipkan 


kepada pihak lain yang lebih luas yang telah mempunyai basis 


pelanggan, hal ini tentunya akan meniadakan customer 


acquisition costs yang biasanya harus kita bayar untuk 


memperoleh pelanggan baru bagi produk dan jasa kita.

Agar produk dan jasa kita dapat optimal dalam kerjasama 


dengan pihak lain, maka produk dan jasa kita pun harus 


memenuhi fitur dan proses digital. Contohnya, sebuah rumah 


makan yang bekerjasama dengan GoFood, perlu memenuhi 


sistem yang telah dibuat oleh GoJek. Antara lain, pemiliknya 


harus punya aplikasi sebagai merchant yang secara otomatis 


menerima pemesanan secara digital yang perlu ia proses segera, 


membuka account dan menerima pembayaran dengan GoPay

Di dalam struktur organisasi bank pada umumnya, belum 


dibentuk divisi khusus untuk fokus pada implementasi model 


bisnis baru ini, yang ada umumnya dititipkan pada divisi bisnis 


atau pemasaran. Pada dasarnya, kerjasama dengan pihak ketiga 


untuk membentuk suatu ekosistem bagi pelanggan merupakan 


suatu proses yang rumit dan panjang, dan memerlukan pola pikir 


yang berbeda dengan penanganan produk atau jasa sendiri. 


Sehingga apabila fungsi tersebut tidak dipisahkan dengan divisi 


yang biasa menangani produk atau jasa sendiri, maka cenderung 


kurang dapat berkembang. Karena itu sebaiknya ada divisi 


khusus yang dibentuk untuk fokus pada penggarapan model 


bisnis baru ini.


Beberapa hal yang perlu dicapai dalam suatu bank menerapkan 


model bisnis baru ini, yaitu:


1. Mengalihkan bisnis ke model digital, antara lain dengan 


membuat produk-produk yang ada menjadi digital baik 


sebagian maupun seluruhnya, dan merubah sebanyak￾banyaknya bentuk fisik menjadi digital. Contoh paling mudah 


tentunya tabungan tidak lagi menggunakan buku atau lembar 


cetak, yang bukan saja mengirit biaya, namun juga 


memungkinkan untuk dilihat instant oleh nasabah begitu ada 


transaksi serta bisa langsung digunakan untuk melakukan 


simulasi kredit misalnya.


2. Membuat bisnis digital baru, antara lain membuat produk￾produk yang end-to-end digital, baik tabungan, pinjaman, dan 


pembelian produk lain. Dengan adanya Peraturan OJK 


(POJK) No. 13/POJK.03/2018 yang mana memperbolehkan 


proses KYC (Know Your Customers) dilakukan secara 


elektronik (proses eKYC), maka hal ini sangat dimungkinkan.

Nasabah tidak perlu lagi datang secara fisik untuk membuka 


rekening baru, baik untuk tabungan atau pinjaman. Di samping 


KYC yang dilakukan secara digital, bank perlu memastikan 


semua proses lain bisa dilakukan secara digital, paperless, 


bisa dilakukan melalui smartphone nasabah tanpa harus 


kehadiran fisik.


3. Memperluas batasan bisnis. Dengan adanya kapabilitas 


digital, perubahan regulasi, dan interkonektifitas yang baru, 


model bisnis saat ini yang bentuknya “Banking as a Product” 


perlu berevolusi menjadi “Banking as a Service” dan bahkan 


mempersiapkan diri menjadi “Banking as a Lifestyle”.


4. Melakukan integrasi digital di antara keseluruhan unit bisnis, 


dengan perusahaan lain, merubah koordinasi kerjasama dari 


manual menjadi otomasi, dan menyatukan layanan dengan 


perusahaan lain secara digital. Dalam hal bank merupakan 


bagian dari suatu korporasi misalkan Bank Mega yang 


merupakan bagian dari CT Corp, maka sistem digital Bank 


Mega perlu terintegrasi dengan sistem dari seluruh 


perusahaan dalam CT Corp secara seamless, menciptakan 


berbagai model bisnis baru yang memberi nilai tambah bagi 


Bank Mega dan perusahaan lain dalam CT Corp.


Suatu hal yang mungkin perlu perlu perubahan pola pikir 


yang sangat drastis adalah bahwa di masa mendatang 


penghasilan bank terutama diperoleh dari penjualan produk pihak 


lain dan dari basis pelanggan pihak lain, bukan seperti saat ini 


yang mana penghasilan bank diperoleh dari produk-produknya 


sendiri dan diperoleh dari tenaga pemasaran sendiri. Dan lebih 


jauh ke depan lagi, bank dan marketplace akan melebur menjadi 


satu.

Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa untuk 


mengatakan suatu perusahaan sudah bertransformasi digital, 


perlu ada ketiga komponen yaitu; Digital Customer Experience, 


Digital Operational Excellence, dan Digital New Business Model. 


Umumnya dalam proses transformasi digital bank, New Business 


Model ini biasanya baru dieksplorasi lebih luas sesudah kedua 


pilar lainnya (Customer Experience dan Operational Excellence) 


dilakukan terhadap produk-produk atau layanan yang mereka 


miliki sendiri telah didigitalisasi. Namun ada perkecualian apabila 


suatu bank merupakan bagian dari suatu grup korporasi, misalkan 


Bank Mega atau Bank Mayora, maka sesungguhnya mereka bisa 


dan harus mengeksplorasi New Business Model ini lebih awal.

Kasus yang menarik adalah apabila kita melihat Bank 


Jago, yang dirancang sebagai bank digital murni. Bank Jago yang 


merupakan rebranding dari Bank Artos yang diakuisisi oleh 


beberapa pemegang saham baru yang juga investor di Gojek, 


mempunyai banyak anggota tim manajemen yang berasal dari tim 


Jenius BTPN. Desain awal dari Bank Jago ini adalah untuk 


bersinergi dengan Gojek, agar Bank Jago dapat melakukan 


akuisisi pelanggan dengan lebih murah melalui jalur Gojek. 


Kemudian Gojek merger dengan Tokopedia membangun 


ekosistem Go-To, suatu langkah lain lagi yang mencari sinergi 


antara Gojek dan Tokopedia, dengan tujuan tentunya 


menurunkan biaya akuisisi pelanggan bagi kedua pihak. Dengan 


kolaborasi ketiga perusahaan berbasiskan kepemilikan silang 


(cross ownership), maka diharapkan ketiganya mendapat

manfaat perluasan basis pelanggan dengan biaya akuisisi rendah. 


Namun sampai saat ini belum terlihat hasil dari sinergi tersebut, 


selain promosi diskon penggunaan Gosend di Tokopedia.


Bank Jago sendiri sudah meluncurkan aplikasi mobile-banking


yang terlihat jelas menyasar segmen usia muda. Aplikasi tersebut 


tercatat telah diunduh lebih dari 500.000 kali, dengan penilaian 3,8 


di Playstore. Aplikasi ini bisa dihubungkan dengan Gojek dan bisa 


dipakai untuk membayar biaya layanan Gojek sebagaimana 


Gopay. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Gopay adalah uang 


elektronik yang terikat pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) 


Nomor 20/6/PBI/ 2018 tentang Uang Elektronik. Dalam aturan 


disebutkan 30% dana yang mengendap di dompet digital harus 


ditaruh di bank BUKU 4. Selain itu, maksimal 70% dana yang 


mengendap ditempatkan pada surat berharga atau instrumen 


keuangan yang diterbitkan pemerintah atau BI atau pada rekening 


di BI. Dengan menghubungkan Bank Jago untuk pembayaran 


Gojek, kelihatannya ditujukan untuk menggeser nasabah Gopay 


menjadi nasabah Bank Jago.


SUDUT PANDANG BALANCED SCORECARD


Jika Transformasi Digital dianalisis menggunakan model 


Balanced Scorecard yang sudah lama dan banyak dipakai di 


berbagai perusahaan, kita bisa memetakan Balanced Scorecard


untuk transformasi digital sebagaimana berikut;


a. Pada intinya pada lapisan Financial tujuannya tetap sama 


dengan tujuan klasik, yaitu meningkatkan pendapatan dan 


menurunkan biaya.


b. Meningkatkan revenue sejalan dengan komponen Customer 


Experience, yaitu dengan menggunakan pendekatan digital, meningkatkan ‘jumlah pelanggan’ dan ‘penghasilan per 


pelanggan’


c. Menurunkan biaya berinti pada menurunkan biaya untuk 


merangkul pelanggan (customer engagement) melalui 


Operasional Excellence termasuk menurunkan biaya 


infrastruktur dan Human Resources yang menjadi dasarnya, 


melalui prinsip-prinsip antara lain; crowd utilization (open 


innovation, open cooperation), gig economy, community 


engagement, otomasi, dan asset-sharing (cloud, hire instead 


of buy)


d. Operational excellence perlu menurunkan biaya namun 


sekaligus bisa meningkatkan kualitas dan kecocokan produk 


untuk pelanggan, serta meningkatkan kecepatan dan 


ketepatan proses kepada pelanggan.


e. Pemangkasan biaya penjualan yang cukup besar bisa 


diperoleh dengan memangkas intermediary/distributor baik 


eksternal maupun internal. Distributor eksternal berupa 


perusahaan lain yang bertugas menjualkan barang dan 


mendistribusikan kepada pelanggan. Jika distributor tersebut 


tidak efisien karena model operasinya masih mengandalkan 


fisik bukan digital, maka perusahaan ikut menyerap 


ketidakefisienan tersebut dalam harga jual kepada 


pelanggan. Kita bisa lihat bagaimana e-commerce bisa 


menurunkan harga jual ritel kepada pembeli dengan 


memangkas jalur distribusi. Distributor internal adalah bagian 


dari perusahaan yang menjalankan fungsi penjualan dan 


distribusi yang model operasinya belum digital. Contohnya 


adalah kantor cabang bank, yang mempunyai 


gedung/ruangan (biaya sewa), pegawai dengan fasilitasnya, 


mesin-mesin untuk menjalankan operasi cabang. Melalui 


pendekatan digital, pelanggan bisa langsung mendapatkan pelayanan yang ia inginkan tanpa harus melalui kantor 


cabang, sehingga biaya pemangkasan kantor cabang bisa 


dialokasikan untuk diberikan kepada pelanggan sehingga 


perusahaan bisa lebih kompetitif.


f. Biaya yang harus diturunkan terutama adalah biaya variabel, 


karena itu biaya operasional harus serendah mungkin, dan itu 


berarti menyiapkan perusahaan untuk menambah jumlah 


transaksi tanpa menambah biaya operasional dengan 


bermakna.


g. Biaya tetap yang perlu diturunkan adalah biaya kepemilikan 


aset yang sedapatnya dirubah menjadi biaya sewa dan biaya 


gaji tetap pegawai berikut kewajibannya yang sedapatnya 


dirubah menjadi biaya honor berdasarkan hasil.SEJARAH EVOLUSI DIGITAL BANK 1.0 SAMPAI DENGAN 


DIGITAL BANK 4.0


Sesuai dengan perkembangan teknologi, tingkat 


digitalisasi perbankan juga berubah mengikutinya. 


Digital Bank 1.0 sudah dimulai kurang lebih 20 tahun yang 


lalu, yang dinamakan fase e-banking, di mana saat itu dimulai 


dengan internet banking dengan metode dial-up, contact center


bank dapat dihubungi dengan email, informasi produk bank bisa 


dilihat di web, dan umumnya bank sudah mempunyai sistem IT 


untuk Customer Relationship Management.


Fase berikutnya adalah Digital Bank 2.0 (tahun 2003-


2008) yang dinamakan fase Multichannel Integration, di mana 


data pelanggan berbagai channel dalam sistem IT disatukan, dan 


pelanggan dapat mengajukan layanan melalui web, seperti 


mengajukan pinjaman, membayar tagihan dan lainnya. Nasabah 


bisa bertansaksi melalui berbagai channel dan tidak harus 


berpindah channel setiap kali berpindah transaksi produk pada 


bank yang sama. Bank mulai membangun data warehouse, dan 


di masa ini pula kemajuan teknologi memadai untuk industri bank 


diwajibkan melakukan proses KYC (Know Your Customer). Untuk 


mendukung multichannel dengan baik, diperlukan arsitektur IT 


yang berbasiskan Service Oriented Architecture (SOA). Data 


analytics yang dilakukan adalah analisis berdasarkan data yang 


dimiliki oleh bank tersebut yang berasal dari data identitas, 


demografi, transaksi, dan riwayat kontak dari nasabah yang 


pernah tercatat dalam sistem.


Selanjutnya fase Digital Bank 3.0 atau dinamakan juga 


fase Omnichannel Integration. Perbedaan terbesar fase Digital 


Bank 3.0 dengan Digital Bank 2.0 adalah dalam Digital Bank 3.0 


sudut pandang bisnis Bank sudah Client-centric, bukan lagi 


Product-centric seperti dalam Digital Bank 2.0. Dalam fase ini

tidak saja data induk dan data transaksi pelanggan di berbagai 


channel produk telah menjadi satu (multichannel integration), 


namun juga data lain dari sang pelanggan (data keluhan, data 


kunjungan, data media sosial, dan sebagainya) telah terintegrasi 


dengan mulus (seamless omnichannel integration). Dengan 


demikian bank telah punya sudut pandang 360 derajat (semua 


aspek) dari pelanggan. Big Data Analytics telah 


diimplementasikan. Data analytics yang dilakukan dalam Bank 3.0 


menjadi Big Data Analytics karena bukan hanya data yang dimiliki 


internal, namun data yang diambil (data fetch) dari eksternal juga, 


yang termasuk structured data maupun unstructured data. Sistem 


IT bank sudah menggunakan Hybrid Cloud selain Internal Cloud. 


Aplikasi digital banking di smartphone telah ada, dengan fungsi 


penuh. 


Perbedaan terbesar Digital Bank 4.0 dibandingkan dengan 


Digital Bank 1.0 – 3.0 adalah pada fase Digital Bank 1.0 – 3.0 


fokus bisnis dan sistem IT bank adalah melihat ke dalam (inward 


looking), sedangkan pada Bank 4.0 lebih kepada melihat ke luar 


(outward looking). Digital Bank 1.0 – 3.0 ini berfokus pada 


pengembangan sistem digital untuk internal bank dan hanya 


kepada pelanggan bank sendiri serta pada produk bank itu 


sendiri. Ini juga disebut sebagai fase Internet of Everything


ataupun fase Open Banking. Dalam fase ini sistem digital bank 


harus bisa berkomunikasi secara otomatis dan selektif (data dan 


prosedur yang ditentukan) dengan sistem perusahaan lain 


misalkan dengan e-commerce serta dengan bank lain. 


Oleh karenanya arsitektur sistem yang dibangun harus 


bisa intercloud engagement, dengan menggunakan API 


(Application Programming Interface). Melalui API ini juga Bank 


bisa bertukar data dan informasi (informasi diperoleh dari 


pengolahan data oleh pihak lain), jadi bisa dibayangkan besarnya

data yang bisa diperoleh, yang tentunya harus memberikan output


mengenai apa tindakan atau layanan yang meningkatkan nilai 


bisnis. Dalam fase ini Big Data Analytics perlu diperdalam dengan 


Machine Learning, Deep Learning, bahkan Neural Network


sebagai dasar dari expert systemnya.

Jika dilihat bank di Indonesia saat ini, umumnya bank di 


Indonesia ada pada fase Digital Bank 2.0, sebagian kecil sudah 


pada Digital Bank 3.0, dan sebagian lagi masih pada Digital Bank 


1.0 yaitu data seorang pelanggan di berbagai channel (misalkan 


tabungan, deposito, pinjaman dan lainnya) masih belum menyatu, 


sehingga perubahan data pada satu channel tidak merubah 


secara otomatis data pada channel lainnya. Padahal di bulan 


September 2019 Open Banking telah menjadi suatu keharusan di 


Eropa, dan tentunya negara lain juga akan mengikuti prinsip yang 


sama

Bankir pada umumnya tidak mengerti istilah-istilah teknis 


di atas tersebut, padahal Digital Bank 4.0 merupakan keniscayaan 


yang akan dihadapi segera. Padahal banyak pemimpin bank yang 


unggul dalam bertransformasi digital mengatakan bahwa di masa 


depan mereka akan menjadi perusahaan teknologi yang 


mempunyai ijin operasional bank. Karenanya setiap bankir wajib 


mengerti konsep dan terminologi digital, walaupun tidak perlu 


sampai bisa membuat program.

Di dalam bukunya “Leading Digital” (Harvard Business 


Press, 2014), George Westerman meneliti lebih dari 2.500 


perusahaan dengan ekstensif selama tiga tahun. Westerman 


menggolongkan para perusahaan tersebut ke dalam empat 


kategori menurut status transformasi digitalnya berdasarkan dua 


sumbu utama, yaitu:

1. Digital Capability atau kemampuan digital; yaitu tingkat 


kemajuan perusahaan tersebut dalam memenuhi kebutuhan 


dan keinginan pelanggan dengan memberikan fitur dan 


pelayanan digital


2. Leadership Capability atau kemampuan kepemimpinan; yaitu 


tingkat kemajuan perusahaan tersebut dalam menata 


kemampuan sumberdaya manusia dan kemampuan 


organisasi dalam bertransformasi digital.


Berdasarkan kedua sumbu tersebut, didapatkan empat 


kategori pengelompokan perusahaan yang ditemukan:


1. Kategori Beginners atau pemula; yaitu para perusahaan yang 


belum atau sangat awal dalam bertransformasi digital, di 


mana tingkat kemampuan digital maupun kemampuan 


kepemimpinannya masih rendah.


2. Kategori Fashionistas; yaitu para perusahaan yang telah 


cukup maju dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan 


pelanggan dengan fitur dan pelayanan digital, namun belum 


cukup mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia 


dan kemampuan organisasinya dalam transformasi digital.


3. Kategori Conservatives; yaitu para perusahaan yang telah 


cukup maju dalam mengembangkan kemampuan 


sumberdaya manusia dan kemampuan organisasinya dalam 


transformasi digital, namun belum cukup maju dalam 


memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan fitur 


dan pelayanan digital.


4. Kategori Digital Masters; yaitu para perusahaan yang telah 


cukup maju dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan 


pelanggan dengan fitur dan pelayanan digital, yang juga telah 


mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia dan 


kemampuan organisasinya dalam transformasi digital.

Berdasarkan keseluruhan perusahaan yang diteliti, 


didapatkan 184 perusahaan yang bisa dianalisis kinerja 


keuanganannya karena telah merupakan perusahaan terbuka. 


Dari data keuangan yang diperoleh, dibandingkan dengan kinerja 


dari perusahaan dalam industri sejenis, dengan metode kalibrasi 


sesuai besarnya perusahaan, diperoleh hasil sebagai berikut:


1. Secara rata-rata, para perusahaan dalam kategori Beginners:


a. Memperoleh penghasilan lebih rendah 4% 


b. Menghasilkan keuntungan lebih rendah 24%


2. Secara rata-rata, para perusahaan dalam kategori 


Fashionistas:


a. Memperoleh penghasilan lebih tinggi 6% 


b. Menghasilkan keuntungan lebih rendah 11%


3. Secara rata-rata, para perusahaan dalam kategori 


Conservatives:


a. Memperoleh penghasilan lebih rendah 10%

b. Menghasilkan keuntungan lebih tinggi 9%


4. Secara rata-rata, para perusahaan dalam kategori Digital 


Masters:


a. Memperoleh penghasilan lebih tinggi 9% 


b. Menghasilkan keuntungan lebih tinggi 26%

Jadi jelas bahwa menjadi Digital Masters berarti membawa 


keunggulan baik secara penghasilan maupun keuntungan, dan 


Beginners yang belum bertransformasi digital menderita baik 


secara penghasilan maupun keuntungan. Sehingga tentunya 


setiap perusahaan harus menyadari hal ini dan secepatnya 


bergerak menuju status Digital Masters. Pertanyaan berikutnya 


adalah, bagaimana cara terbaik untuk bergerak menuju status 


Digital Masters?

EMPAT PILAR DALAM MEMIMPIN TRANSFORMASI DIGITAL


Dari berbagai riset yang pernah dilakukan, didapatkan 


adanya empat hal utama yang perlu dilakukan para pemimpin 


perusahaan dalam memimpin transformasi digital yang sukses, 


yaitu:


1. Digital Vision


2. Transforming Organizational Culture


3. Integrating IT (Information Technology) and Busines 


People


4. Digital Transformation Governance

VISI DIGITAL (Digital Vision)


Digital vision adalah gambaran masa depan perusahaan 


sesudah menjalankan transformasi digital, tentunya mencakup 


secara garis besar tentang keseluruhan business model yaitu 


siapa pelanggan atau konsumennya (apakah target pelanggan 


sama, beda, meluas, menyempit), apa customer value 


propositionnya, bagaimana supply chainnya, apa sumber 


penghasilan dan apa sumber biayanya, dan sebagainya.


Tidak mudah untuk dapat membuat visi yang tepat, karena 


perubahan yang terjadi sangatlah banyak dan cepat. 


Merencanakan dan melaksanakan perubahan untuk internal 


perusahaan jauh lebih mudah dibandingkan menyambungkan 


perubahan internal dengan perubahan yang terjadi di luar, 


termasuk perubahan teknologi, perubahan perilaku pelanggan, 


perubahan peta industri dan persaingan, perubahan regulasi, 


perubahan politik ekonomi, dan lainnya. Karena itu, untuk dapat 


membuat visi, para pemimpin perusahaan harus berusaha 


mengerti perubahan apa yang akan terjadi di masa mendatang, 


bukan hanya perubahan teknologi di bidangnya saja, tetapi 


perubahan kehidupan manusia dan planet bumi secara 


keseluruhan. Para pemimpin harus membayangkan apa peran 


perusahaan yang ingin dicapainya dalam memberi manfaat 


kepada manusia di masa mendatang, dengan perkiraan waktunya 


juga, sehingga bisa diterjemahkan menjadi target-target 


pencapaian yang dikaitkan dengan waktu pencapaian.


Contohnya adalah perusahaan Go-jek. Didirikan tahun 


2010, pada awalnya Go-jek menggarap layanan ojek motor 


melalui call-center. Menilik logonya saat itu, perusahaan Go-jek 


yang didirikan oleh Nadiem Makarim mempunyai visi sebagai 


perusahaan yang menyediakan jasa ojek untuk semua kebutuhan 



pelanggan; transportasi orang, barang, dan jasa. Tertulis sebagai

‘an Ojek for Every Need” di bawah tulisan GO JEK yang di 


tengahnya ada gambar orang mengendarai motor dengan 3 garis 


lengkung di atas kepalanya yang melambangkan terhubung 


secara signal digital (saat itu melalui komunikasi handphone baik 


teks maupun suara).

Baru di tahun 2015, Go-jek meluncurkan aplikasinya, dengan 3 


layanannya: GoRide (transportasi penumpang dengan ojek 


motor), GoSend (antar barang atau dokumen dengan ojek motor), 


dan GoMart (jasa membelikan barang di toko oleh pengemudi 


ojek motor). Di tahun 2016, Go-jek meluncurkan sistem 


pembayaran Go-pay. Dan selanjutnya Go-jek memperluas 


pelayanannya dengan GoFood, GoMassage, GoClean, dan 


sebagainya, serta menambah GoCar. Terutama dengan 


masuknya GoPay dan GoCar, maka logo bergambar motor 


menjadi kurang relevan lagi. Oleh karenanya di tahun 2019, Go￾jek mengganti logonya menjadi titik yang dilingkari oleh lingkaran

bulat yang hampir bertemu berwarna hijau yang dinamakan 


“SOLV” yang dimaksudkan sebagai super-apps yang melayani 


semua kebutuhan pelanggan.


Gambar 47. Logo Go-Jek: Lama vs Baru


Sumber : Google Image


Bisa disimpulkan bahwa apa yang dilakukan Go-jek hari 


ini tidak terbayangkan oleh pendirinya sebagai visi di saat awal 


didirikan. Namun hal itu bukan berarti visi tidak penting. Tanpa visi 


yang kuat, Go-jek tidak akan sesukses hari ini. Kenyataan di 


lapangan bisa menghadirkan tantangan untuk visi yang dibuat, 


karena ternyata model bisnisnya tidak berjalan sesuai dengan 


yang diharapkan. Misalkan dalam contoh Go-jek ini, sampai saat 


ini (Juni 2021), layanan utamanya sejak didirikan yaitu 


transportasi penumpang menggunakan ojek motor (dan kemudian 


juga mobil) mungkin masih merugi terus. Namun ternyata 


peluang-peluang baru yang lebih menguntungkan yang tidak 


begitu terlihat di awal seperti GoFood dan GoPay, terbuka ketika 


usaha sudah berjalan.


Piyush Gupta, CEO DBS Group, juga dengan terbuka 


mengatakan sulit untuk memperkirakan masa depan, namun jelas 


bahwa sebagai pemimpin perusahaan, harus punya pandangan 


tentang masa depan. Pandangan tentang masa depan ini, yang 


bisa dipastikan tidak akan tepat karena banyak hal di masa depan 


yang tidak bisa terlihat, diperlukan untuk menjadi panduan bagi

keseluruhan perusahaan dalam mengambil sikap dan tindakan. 


Dari riset yang dilakukan penulis (Dr. Bayu Prawira Hie) terhadap 


bank-bank di Indonesia, banyak pemimpin bank yang belum 


melakukan penetapan visi dalam transformasi digital yang ingin 


dilakukannya. Memang sulit, namun harus dilakukan dengan 


sebaik-baiknya dengan berlandaskan pada perubahan 


lingkungan strategis yang mempengaruhi bisnis perusahaan, 


mengkaji ulang segmen masyarakat yang ingin dilayani, redefinisi 


nilai yang ingin diberikan kepada masyarakat, dan rantai nilai yang 


dikelola secara digital.


Dalam era transformasi digital saat ini, ke mana arah 


digitalisasi bank Anda adalah visi digital yang diperlukan dan 


disepakati bersama oleh para pemimpin bank Anda. Menurut 


Anda, apa visi digital bank Anda (bisa visi yang sudah dibuat 


ataupun yang sedang direncanakan)?


Kriteria visi yang baik adalah yang memenuhi hal-hal 


sebagai berikut:


1. Dapat dimengerti oleh semua jajaran karyawan. Tentunya 


tingkat kedalaman pengertiannya berbeda sesuai dengan 


kapasitas karyawan, namun arah perubahan harus 


dimengerti.


2. Mempunyai jangka waktu pencapaian yang jelas. Berbeda 


dengan definisi visi di masa lalu yang tidak menyebutkan 


kapan visi tersebut akan dicapai, saat ini visi harus 


dihubungkan dengan kapan visi itu hendak dicapai. 


Umumnya visi di era digital ini dibuat untuk 5 tahun ke depan, 


yang dalam perjalanannya bisa diperbarui.


3. Jelas cara mengukurnya. Visi memang seringkali dinyatakan 


secara kualitatif, misalkan “menjadi bank pilihan untuk 


kebutuhan sehari-hari masyarakat”, namun visi tersebut 


kemudian harus diterjemahkan menjadi goals yang

mempunyai cara pengukuran, misalkan: “ranking pertama di 


antara seluruh bank di Indonesia dalam jumlah transaksi 


kebutuhan rumah tangga menurut data OJK”


4. Menarik bagi semua jajaran. Visi yang menjanjikan 


pertumbuhan dan menjawab perkembangan jaman akan 


menarik semua jajaran, karena mereka akan melihat bahwa 


masa depan mereka ada di sana.


5. Memberi inspirasi bagi karyawan. Visi yang mempunyai 


“mass transformative purpose” (MTP) yaitu mempunyai 


tujuan untuk mentransformasikan masyarakat secara massal 


ke arah yang lebih baik, menjadi inspirasi bagi karyawan. 


Contohnya, visi awal Go-jek mentransformasikan komunitas 


ojek secara massal untuk membantu seluruh kebutuhan 


masyarakat, dan juga mengangkat penghasilan pengemudi 


ojek, merupakan suatu visi yang inspiratif.


6. Menampung apa yang diharapkan oleh karyawan. Seringkali 


karyawan yang menghadapi kenyataan lapangan di mana 


permintaan pelanggan berubah dan kompetisi berubah 


karena era digital. Mereka berharap bahwa perusahaan juga 


dapat berubah merespon perubahan di luar. Arah perubahan 


yang dicerminkan dengan visi yang baik akan menjadi 


jawaban atas pengharapan mereka.


7. Membawa ke arah yang beda dengan apa yang dilakukan 


selama ini. Transformasi digital memang membawa 


perubahan yang fundamental. Visi yang baik bukan seperti 


visi ulat yang melihat masa depannya sebagai ulat yang lebih 


besar dan gemuk, namun seharusnya visi ulat yang melihat 


masa depannya menjadi kupu-kupu.


8. Membawa perubahan radikal. Radikal mempunyai dua 


aspek, yaitu arah yang berbeda dan dengan cepat. 


Kecepatan perubahan di era digital berpacu dengan

perubahan teknologi yang secara bersamaan mempengaruhi 


cara hidup masyarakat. Oleh karenanya perubahan harus 


dilakukan dengan cepat, secepat perubahan teknologi.


9. Fleksibel dalam menampung perbedaan yang ada. Tidak ada 


yang tahu pasti akan masa depan, oleh karena itu visi yang 


dibuat pasti didasarkan atas asumsi yang berbeda satu 


dengan lainnya. Sedapat mungkin visi tersebut fleksibel 


sehingga dapat menyesuaikan ketika asumsi tersebut 


menjadi kenyataan.


TANTANGAN DALAM MEMBUAT VISI TRANSFORMATIF


Semua perjalanan organisasi harus mempunyai tujuan. 


Jika organisasi tersebut berada dalam suatu lingkungan bisnis 


yang relatif lambat perubahannya, tujuan tersebut mungkin hanya 


berupa target-target satu sampai tiga tahun ke depan, dengan 


proyeksi linier. Itu bagaikan seorang anak manusia yang tiap 


tahun bertambah tinggi dan berat badannya, serta tentunya 


kepandaiannya. Visi tiga tahun ke depan dari seorang anak yang 


saat ini umur 12 tahun dan bersekolah kelas 1 SMP adalah 


menjadi umur 15 tahun, bertambah tinggi 10 cm, bertambah berat 


12 kg, dan bersekolah kelas 1 SMA. Mudah. Itulah yang umumnya 


dilakukan oleh perusahaan yang kondisi bisnisnya relatif stabil. 


Namun hal ini tidak bisa dilakukan apabila kondisi bisnis seperti 


yang saat ini dihadapi oleh industri jasa keuangan, khususnya 


perbankan. Perubahan digital telah sampai pada industri bank, 


setelah sebelumnya menyapu industri media yang antara lain 


memakan korban tutup usianya majalah Newsweek yang telah 


berusia 100 tahun, menyapu industri jasa pemesanan tiket dan 


pemesanan hotel yang telah membuat semua perusahaan jasa 


travel harus kehilangan penghasilan bread&butter nya. Mirip seperti dalam industri travel, saat ini industri perbankan sedang 


direbut penghasilan bread&butter nya yaitu penghasilan dari jasa 


pembayaran ritel.


Apa yang harus dilakukan oleh industri bank bukan lagi 


proses perubahan yang linier, tetapi harus transformatif. 


Perubahan transformatif itu sangat berbeda dengan perubahan 


linier, bahkan dengan perubahan radikal. Jika perubahan linier 


dipermisalkan seperti anak berumur 11 tahun kelas 1 SMP yang 


disebutkan sebelumnya, perubahan radikal dipermisalkan seperti 


ular yang berganti kulit, bukan suatu perubahan yang reguler 


tetapi perubahan drastis yang perlu dilakukan setiap beberapa 


tahun sekali. Tetapi perubahan transformatif bisa jadi merupakan 


perubahan yang hanya sekali seumur hidup, seperti seekor ulat 


bertransformasi menjadi seekor kupu-kupu. Ulat dan kupu-kupu 


merupakan dua jenis mahluk yang berbeda total yang 


transformasinya terjadi di dalam kepompong yang dinamakan 


metamorfosis. Ulat yang berkaki pendek dan banyak, menjadi 


tinggal enam kaki panjang; tubuh ulat yang merupakan satu 


kesatuan tabung, menjadi tiga segmen yaitu kepala, dada, dan 


perut di kupu-kupu; ulat yang berjalan merayap, menjadi bisa 


terbang dengan sayap yang besar dan indah; ulat yang makan 


daun dengan gigi dan dikunyah, menjadi makan nektar dengan 


pipa hisap pada kupu-kupu; dan ulat yang tadinya hanya makan 


dedaunan, kemudian menjadi kupu-kupu yang membantu 


penyerbukan tanaman. Itulah Digital Transformation sejati! Bukan 


dari ulat menjadi ulat yang lebih besar, namun menjadi kupu-kupu. 


Perjuangan untuk bertransformasi digital pun mirip seperti yang 


dialami oleh kupu-kupu di dalam kepompong, di mana hampir 


seluruh sel ulat hancur, untuk memberi nutrisi sekelompok sel inti 


yang bertumbuh dengan pesat menjadi kupu-kupu dengan organ￾organ tubuh yang sama sekali berbeda. Dalam transformasi

digital, pemimpin bank harus bisa membuat visi bentuk dan 


lingkup jelajah bentuk kupu-kupu dari bank yang dipimpinnya 


sekarang.

Professor Jeanne Ross dari MIT (Massachusets Institute of 


Technology) mengatakan, digital memberikan kesempatan 


kepada setiap pebisnis untuk memikirkan ulang bisnisnya, 


terinspirasi dengan apa yang bisa dilakukan teknologi digital 


kepada manusia. Sebelum adanya Uber atau Grab, perusahaan 


taksi tidak pernah berpikir bahwa penumpang bisa (dan kemudian 


menjadi kebutuhan) diberi lebih banyak kontrol tentang 


perjalanannya, misalkan kapan taksi yang dipesan akan sampai, 


bisa melihat di mana posisi taksi yang dipesannya, tahu berapa 


biaya perjalanan yang akan dibayarkannya, tahu rute apa yang 


diambil, dan sebagainya. Perusahaan taksi hanya melakukan apa

yang dilakukan sesama perusahaan taksi lainnya, yang 


berkembang dengan linier karena malas membayangkan apa 


yang sebenarnya mungkin dilakukan dengan kemajuan teknologi.


Bertransformasi digital adalah transformasi besar yang 


mungkin sulit dibayangkan sebesar apa oleh seorang pimpinan 


organisasi yang ingin memimpin perusahaannya melakukannya. 


Bayangkan seekor ulat pasti sulit membayangkan bahwa ketika 


jadi kupu-kupu apa yang dimakannya akan beda dengan yang 


kemarin dimakannya (pasar yang berbeda), cara berjalan 


merayap yang telah biasa dilakukannya kemudian berganti 


dengan terbang (cara beroperasi yang berbeda), jenis tanaman 


dan jumlah tanaman yang tempat hidupnya akan berbeda 


(business model yang berbeda), serta tujuan hidup yang berbeda 


yang tadinya sebagai ulat mencari daun (profit) untuk dimakan 


supaya tumbuh besar, kini sebagai kupu-kupu menghisap nektar 


(profit) namun sekaligus membantu fertilisasi tanaman supaya 


tanaman tersebut berkembang biak (bertujuan men￾transformasikan kehidupan masyarakat). Semua itu dengan satu 


kesinambungan DNA antara sang ulat dengan sang kupu-kupu, 


yang bagi bank adalah The Banking License!


Riset yang dilakukan oleh penulis (Dr. Bayu Prawira Hie) 


terhadap para Direktur Utama Bank di Indonesia di tahun 2018 


menunjukkan bahwa 84% dari mereka mengatakan transformasi 


digital untuk bank yang dipimpinnya sangat penting dilakukan, 


namun ketika ditanya seberapa mendesaknya, hanya 45% yang 


menyatakan sangat mendesak. Ini menunjukkan bahwa 


mayoritas dari mereka menyadari cepat atau lambat mereka 


harus bertransformasi digital, namun tidak terlalu mendesak untuk 


dilakukan sekarang.

Hal tersebut umum dijumpai. Masalahnya adalah bukan 


ketidaktahuan tentang pentingnya transformasi digital, namun 


masalahnya adalah tidak cukup cepat mengambil tindakan 


bertransformasi segera. Mereka pikir mereka masih punya cukup 


waktu beberapa tahun untuk mempersiapkan diri, namun 


kemudian mereka mendapatkan bisnisnya sudah terhantam 


parah jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan, seperti apa 


yang dialami oleh industri perbankan dalam transaksi ritel yang 


digasak oleh Shopee-pay, Go-pay, Ovo, dan Dana. Masalah 


lainnya yang sering dijumpai adalah mereka merasa sudah 


melakukan upaya transformasi digital, namun ketika pasar 


terdisrupsi mereka baru menyadari bahwa apa yang telah 


dilakukannya adalah bukan transformasi digital, melainkan hanya 


menambah fitur digital, seperti yang dialami oleh Blue Bird Taxi, 


yang tertohok oleh Uber dan Grab di tahun 2016

Hambatan terbesar untuk membuat visi adalah tidak bisa 


membayangkan kondisi yang belum pernah dilihat sebelumnya. 


Contohnya adalah perbankan Indonesia tidak ada yang 


mengambil langkah untuk membuat sistem pembayaran 


berbasiskan QR code sampai melihat Go-jek melakukannya. 


Sebelumnya, mereka membayangkan kemajuan dalam 


pembayaran non-tunai ya melalui sistem pembayaran kartu, baik 


dengan chip ataupun NFC. Dengan QR code, Go-jek bisa 


merekrut merchant sebanyak-banyaknya bahkan kaki lima, tanpa 


harus melengkapi mereka dengan alat, cukup dengan print QR 


code identitas merchant yang bisa dipindai dengan aplikasinya. 


Hanya di merchant-merchant besar mereka lengkapi dengan alat 


EDC.


Hasilnya adalah tercatat transaksi Go-pay di tahun 2018 


mencapai Rp. 87 Triliun yang berarti lebih dari empat kali lipat 


seluruh transaksi gabungan e-money Bank Mandiri, BCA, dan 


Bank BNI. Padahal Go-pay baru lahir di tahun 2016 dan baru 


melakukan metode QR code sejak Mei 2017. Tentunya promosi 


cash-back Go-pay sangat berperan dalam akuisisi pembayaran 


ritel, namun tanpa distribusi yang luas dengan sistem QR code


yang mudah, nilai tersebut sulit dicapai.


Pengetahuan yang luas tentang perkembangan teknologi 


memungkinkan seorang pemimpin lebih mampu membayangkan 


visi perusahaannya ke depan. Jika seekor ulat tidak tahu bahwa 


ia akan memiliki sayap ketika menjadi kupu-kupu, maka ia akan 


sulit membayangkan visi ia akan terbang di atas bunga-bunga di 


pepohonan.


Bagi DBS Bank (Singapore), visi yang dibuat oleh CEOnya 


Piyush Gupta dan CIOnya David Gledhill adalah menjadi D dalam 


GANDALF, yang merupakan singkatan dari Google, Amazon, 


Netflix, DBS, Apple, Linkedin, Facebook. GANDALF adalah kata

yang dibuat oleh mereka yang mencerminkan visi mereka bahwa 


DBS akan bertransformasi menjadi perusahaan teknologi seperti 


Google, Amazon, Netflix, Apple, Linkedin, Facebook

Mereka mengatakan bahwa DBS akan menjadi 


perusahaan teknologi dengan lisensi bank. Hal ini berarti bahwa 


DBS akan membangun kompetensi inti teknologi, bukan 


kompetensi perbankan seperti yang sebelumnya. Visi ini tentu 


akan mempengaruhi strategi dan eksekusi yang akan 


dilaksanakannya. Salah satunya misalkan, DBS akan merekrut 


lebih banyak orang berkompetensi teknologi dibandingkan 


kompetensi perbankan, dan semua pemimpin perlu menguasai 


kompetensi teknologi. Jika visi DBS GANDALF ini lebih kepada 


visi kompetensi intinya (visi operasional), visi bank lain bisa lebih 


mengarah kepada apa yang akan mereka lakukan (visi 


fungsional). Jika dimisalkan, visi DBS ini mirip seperti ulat 


memvisikan dirinya menjadi kupu-kupu, sedangkan ulat yang lain 


bisa juga memvisik