memang berdampak efisiensi yang besar dari
berkurangnya secara drastis kebutuhan orang sebagai operator
pembayaran di pintu-pintu tol, dan kemudian di tempat-tempat
parkir umum. Saat ini metode transaksi non-tunai yang terbanyak adalah
dengan menggunakan metode kartu. Total kartu ATM dan Debit
yang beredar berjumlah lebih dari 150 juta, namun bukan berarti
setara dengan jumlah nasabah di bank, karena banyak nasabah
yang mempunyai lebih dari 1 kartu ATM/Debit. Demikian pula
dengan kartu e-money yang beredar sejumlah mendekati 100 juta
buah, lebih banyak lagi yang memiliki lebih dari 2 kartu e-money
atau lebih Jumlah kartu kredit yang beredar jauh lebih sedikit, yaitu
hanya 17 juta buah. Juga terjadi fenomena satu orang mempunyai
banyak kartu kredit, bahkan banyak yang mempunyai lebih dari
10 kartu kredit. Semua hal ini menandakan bahwa masyarakat
sudah cukup siap dengan metode transaksi non tunai, namun
masih banyak ruang yang masih bisa diisi (yang belum memiliki).
Namun melihat tren teknologi, metode transaksi non-tunai dengan
kartu mungkin akan segera terlindas dengan metode yang lebih
praktis yaitu dengan QR code, kecuali di daerah-daerah di mana
signal 4G kurang berfungsi baik. Usaha kecil mikro di Indonesia juga terus berkembang
dengan pesat. Umumnya mereka tidak memenuhi persyaratan
standar peminjaman uang kepada bank, oleh karenanya segmen
ini banyak disasar oleh fintech dengan pendekatan Peer to Peer
lending. Sesungguhnya bank dapat pula sekarang menggarap
segmen ini dengan inovasi pendekatan digital pinjaman tanpa
kolateral. Walaupun perusahaan fintech pada umumnya juga
memasuki layanan yang sebelumnya dikuasai bank, termasuk
pembayaran, peminjaman, investasi, dan lainnya, namun
kebanyakan perusahaan fintech memasuki pasar yang memang
kurang digarap oleh bank. Selain itu ukuran perusahaan fintech
pada umumnya kecil-kecil, dan mereka memerlukan bank sebagai
tempat penyimpanan dana yang mereka kumpulkan. Fintech jenis
ini walau kelihatan agak mengancam mengambil bisnis bank,
sesungguhnya bukanlah ancaman besar untuk bank. Yang harus
diwaspadai adalah justru fintech yang berbasis e-commerce.
Dalam e-commerce, sudah terbentuk ekosistem keuangan yang
dikuasai. Ada pihak yang mempunyai uang dan ada pihak yang
memerlukan uang, serta ada kebutuhan transaksi yang nyata. Menurut ramalan Frost & Sullivan di tahun 2018, nilai
transaksi e-commerce B2C di Indonesia adalah sebesar USD 3
Milyar (Rp. 45 Triliun) di tahun 2020, dan diperkirakan akan
menjadi USD 4,6 Milyar (Rp. 70 Triliun) di tahun 2022. Namun
kenyataannya perkembangan e-commerce di Indonesia terjadi
lebih pesat, sehingga data Bank Indonesia menunjukkan bahwa
nilai transaksi e-commerce Indonesia di tahun 2020 adalah
sebesar Rp. 266 Triliun. Saat ini nilai transaksi e-commerce
barang ritel di Indonesia hanya sekitar 3% dari nilai transaksi ritel
keseluruhan, dengan dominasi pada transaksi fashion dan travel.
Di tahun 2020 ini nilai transaksi e-commerce barang ritel di US
mencapai 14% dari keseluruhan penjualan ritel, sedangkan di
China mencapai 45%, tertinggi di dunia dan akan mencapai 52%
di tahun 2021. Dominasi e-commerce barang ritel di Indonesia
ada pada beberapa perusahaan saja, antara lain Shopee,
Tokopedia, Bukalapak, Lazada dan Blibli untuk berbagai kategori
barang konsumen, Traveloka dan Tiket.com untuk travel, dan Gojek dan Grab untuk makanan dan transportasi. Di balik para perusahaan e-commerce yang mendominasi
tersebut, adalah para investor yang umumnya adalah Alibaba
group dan Tencent group, dua raksasa e-commerce dari China.
Alibaba merupakan investor terbesar dalam Tokopedia dan
Lazada, sedangkan Tencent group merupakan investor terbesar
dalam Shopee dan JD.id. Di samping itu Tencent bersama JD.id
juga merupakan menanamkan milyaran USD ke dalam Go-jek.
Alibaba berkolaborasi dengan perusahaan Indonesia Emtek
group membuat aplikasi pembayaran Dana. (Morgan Stanley,
2019) Dikuasainya para perusahaan e-commerce terbesar di
Indonesia oleh Alibaba group dan Tencent group, menguatkan
prinsip “The (few) Winners take it all” dalam perkancahan ecommerce di dunia. Pada akhirnya pemilik e-commerce di dunia
ada pada beberapa group besar, namun dengan nama platform
yang berbeda-beda. Perusahaan e-commerce yang dominan di
Amerika adalah Amazon, dan konon Facebook, Google, dan
Apple juga bersiap memasuki e-commerce dengan skala besar.
Mereka inilah ancaman bagi para bank, karena pertama mereka
menguasai inti dari fungsi uang yaitu transaksi, dan yang kedua
kekuatan modal mereka melebihi bank terbesar di dunia sekali
pun.
Bagaimana caranya Alibaba menguasai layanan
keuangan? Dimulai dengan perusahaan e-commerce
Alibaba.com (atau 1688.com di China) yang melayani pasar B2B
dari produsen kepada distributor dalam jumlah besar untuk
barang konsumen, kemudian Alibaba group membuat juga
Tmall.com untuk pasar B2B dari distributor kepada peritel dan
juga Taobao.com untuk B2C peritel kepada konsumen. Alibaba
juga membuat AliExpress.com untuk pasar luar negeri dengan
pengiriman langsung dari China. Di dalam ekosistem e-commerce
tersebut, Alibaba menggunakan sistem pembayaran Alipay.
Ketika pengguna Alipay sudah semakin banyak, Alibaba
memisahkan Alipay menjadi perusahaan keuangan Ant Financial. Ant Financial menawarkan suku bunga yang lebih tinggi
dibandingkan tabungan di bank bagi saldo Alipay, dan dari saldo
Alipay yang ada, Ant Financial memberikan kredit usaha bagi para
produsen, distributor, dan peritel dalam ekosistem ecommercenya, serta meminjamkan overnight dengan bunga yang
kompetitif kepada bank-bank kecil di China. Dengan strateginya tersebut, dalam tempo singkat Ant
Financial mensejajarkan dirinya dengan institusi keuangan
terbesar di dunia, mengejar nama-nama besar yang sudah
puluhan tahun eksis seperti HSBC Bank, Mastercard, Citigroup,
dan lainnya. Agak berbeda dengan yang dilakukan oleh Alibaba group,
Tencent group masuk di awal melalui aplikasi platform komunikasi
WeChat yang kini mempunyai 1 milyar pengguna aktif. Di dalam
aplikasi tersebut, ditawarkan layanan keuangan digital bernama
TenPay untuk segala macam pembelian dan transfer, termasuk
untuk pembelian e-commerce (Shopee dan JD.com, on-line
game, dan sebagainya. Kemudian WeChat menawarkan wealth
management termasuk tabungan dan investment fund melalui
Licaitong, bagian dari Tencent group. Melalui aset yang dibangun,
mereka menawarkan pinjaman yang terbuka kepada siapa pun
pengguna WeChat Di samping itu Tencent group juga aktif membangun bisnis
digital lainnya, seperti konsultasi kesehatan dengan artificial
intelligence yang dinamakan PingAn, Virtual Reality, Cloud
services, dan sebagainya. Jadi apabila kita lihat, kunci keberhasilan dari penguasaan
layanan finansial ada pada fungsi dasar keuangan yaitu transaksi.
Makin sebuah perusahaan menguasai proses transaksi, makin
kuat posisinya menguasai layanan keuangan turunannya yaitu
wealth management dan lending. Jika kita lihat ranking perusahaan global tahun 2018, kita
akan melihat dari 10 perusahaan terbesar dunia (nilai kapitalisasi)
ada 3 perusahaan e-commerce yaitu Amazon di urutan ke-4,
Tencent di urutan ke-6, dan Alibaba di urutan ke-8, dan hanya ada
2 perusahaan keuangan dalam daftar 10 perusahaan terbesar
tersebut, yaitu Berkshire di urutan ke-8 dan JP Morgan di urutan
ke-10. Amazon didirikan di tahun 1994, Tencent di tahun 1998,
Alibaba di tahun 1999, sedangkan JP Morgan didirikan tahun
1871. Jadi dalam tempo 20 tahun beberapa perusahaan ecommerce sudah mengalahkan institusi keuangan mapan
terbesar di dunia yang berusia 230 tahun. Belum lagi kalau kita
membandingkan Return on Assets mereka, industri e-commerce
adalah industri yang low assets, sedangkan industri bank adalah
industri yang high assets, jadi ROA Amazon, Tencent, dan
Alibaba pasti jauh lebih menggiurkan daripada ROA JP Morgan. Selain itu kita bisa melihat bahwa enam teratas plus urutan
delapan dari sepuluh perusahaan yang paling berharga di dunia
pada tahun 2018 adalah perusahaan yang berbasis teknologi
digital, padahal sepuluh tahun sebelumnya hanya satu
perusahaan berbasis teknologi digital yaitu Microsoft yang masuk
dalam sepuluh terbesar dunia tersebut, itu pun hanya di urutan ke
tujuh. Dengan besarnya kapitalisasi yang mereka miliki di
samping data pengguna yang lengkap dalam ekosistem yang
terbentuk oleh jasa mereka, para perusahaan teknologi ini
mempunyai modal bisnis yang kuat untuk masuk ke dalam industri
keuangan dengan cara digital, seperti yang telah dilakukan oleh
Amazon, Tencent dan Alibaba; dirintis oleh Facebook dan Apple,
yang kemungkinan akan juga disusul oleh Google.
Dengan kemampuan digital yang bisa menjangkau seluruh
dunia dengan mudah dan tanpa batas, maka setiap pemain besar
kelas dunia punya kemampuan untuk menjadi pemain di seluruh
negara, termasuk di Indonesia. Oleh karenanya, jangan melihat mereka sebagai perusahaan yang hanya akan menguasai
Amerika, tetapi juga akan menguasai negara lain termasuk
Indonesia. Dapatkah bank-bank di Indonesia bertahan
menghadapi mereka? Yang jelas, tanpa bertransformasi digital
segera, bank-bank di Indonesia pasti tersapu pasarnya oleh
mereka, terutama di perbankan ritel.
DORONGAN PEMERINTAH DAN BADAN OTORITAS
KEUANGAN UNTUK TRANSFORMASI DIGITAL
Dalam komunikasi publiknya, Presiden Joko Widodo pada 3
Agustus 2020 telah menekankan urgensi transformasi digital di
Indonesia ini. Pandemi Covid-19 ini harus dijadikan momentum
untuk melakukan percepatan transformasi digital. Beliau
menyampaikan lima langkah percepatan transformasi digital di
Indonesia, yaitu:
1. Percepat perluasan akses dan peningkatan infrastruktur
digital, seperti penyediaan layanan internet di 12.500 desa
/ kelurahan serta di titik-titik layanan publik.
2. Siapkan peta jalan transformasi digital di sektor-sektor
strategis, antara lain pemerintahan, layanan publik,
bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, perdagangan,
industri, dan penyiaran.
3. Percepat integrasi pusat data nasional.
4. Siapkan kebutuhan sumber daya manusia/talenta digital.
Indonesia membutuhkan talenta digital kurang lebih
sembilan juta orang untuk 15 tahun ke depan, atau kurang
lebih 600 ribu per tahun.
5. Siapkan rencana transformasi digital yang berkaitan
dengan regulasi, skema pendanaan, dan pembiayaan
transformasi digital. Sebagai salah satu tindak lanjut untuk percepatan ini,
Presiden menerbitkan Keputusan Presiden (KEPPRES) no. 3
tahun 2021 tertanggal 4 Maret 2021 tentang pembentukan Satuan
Tugas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Satgas
P2DD). Satgas P2DD ini diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian dengan beranggotakan Gubernur Bank Indonesia
dan enam orang Menteri lainnya, termasuk Menteri Keuangan.
Satgas P2DD dibentuk dengan tujuan mempercepat dan
memperluas digitalisasi daerah terutama untuk:
a. mendorong implementasi Elektronifikasi Transaksi
Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disebut dengan
ETPD, guna meningkatkan transparansi transaksi
keuangan daerah, mendukung tata kelola, dan mengintegrasikan sistem pengelolaan keuangan daerah
dalam rangka mengoptimalkan pendapatan daerah; dan
b. mendukung pengembangan transaksi pembayaran digital
masyarakat, mewujudkan keuangan yang inklusif, serta
meningkatkan integrasi ekonomi, dan keuangan digital
nasional.
Di level daerah, implementasi ETPD digariskan untuk
dikoordinasikan sebagai berikut, yang harus terbentuk paling
lambat 1 tahun sejak Keppres 03/2021 ini:
a. pemerintah daerah provinsi membentuk Tim Percepatan
dan Perluasan Digitalisasi Daerah Provinsi, selanjutnya
disebut TP2DD Provinsi, yang diketuai oleh Gubernur; dan
b. pemerintah daerah kabupaten/kota membentuk Tim
Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah Kabupaten/
Kota, selanjutnya disebut TP2DD Kabupatenf Kota, yang
diketuai oleh Bupati/Walikota.
Dengan demikian, dorongan elektronifikasi atau digitalisasi bukan hanya ditujukan pada sistem pemerintah pusat, namun
juga ke seluruh pemerintah daerah, sehingga tentunya ini
berdampak menjadi keharusan bagi para Bank Pembangunan
Daerah untuk segera bertransformasi digital.
Bank Indonesia juga sejak tahun 2019 telah menerbitkan
Blue-Print Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025, yang
arahnya selaras dengan Payment Systems Directive 2 (PSD2)
yaitu regulasi Uni Eropa untuk pembayaran elektronik yang
menjadi dasar untuk sistem Open Banking. Pada Blue-Print SPI 2025 Bank Indonesia ini terlihat
bahwa sistem pembayaran elektronik dimudahkan untuk diakses
lebih luas oleh perusahaan fintech dan e-commmerce, tidak lagi
menjadi dominasi perbankan, dengan tujuan agar inklusi layanan
keuangan dapat tercapai seluas-luasnya dengan cara elektronik,
baik untuk masyarakat maupun UMKM. Dalam SPI 2025 ini Bank
Indonesia juga membuka ruang untuk berinovasi lebih luas
dengan memperluas sandbox yang sebelumnya hanya regulatory
sandbox menjadi 3 sandbox yaitu regulatory, industrial, dan collaborative. Ini menjawab keluhan dari pelaku industri keuangan
yang sering mengeluhkan tentang regulator yang kurang fleksibel
dalam model bisnis transformasi digital.
Bank Indonesia juga sedang terus membahas dan
mempersiapkan diri dalam penerbitan mata uang digital (rupiah
digital) sebagaimana tren Central Bank Digital Currency yang
telah diujicobakan dan dilaksanakan oleh Bank Sentral beberapa
negara lain. Hal ini akan berdampak besar karena ini bukan hanya
merubah dari bentuk fisik mata uang menjadi digital, tetapi akan
berdampak pada tatacara penyalurannya sehingga bisa
mengancam peran industri perbankan.
Otoritas Jasa Keuangan juga saat ini sedang
mempersiapkan Blue-Print Transformasi Digital Perbankan yang
merupakan penjabaran lebih detail pilar kedua akselerasi
transformasi digital pada peta jalan (roadmap) pengembangan
perbankan Indonesia 2021-2025, yaitu pilar Pengembangan
Ekosistem Jasa Keuangan. Blue-Print Transformasi Digital
Perbankan Indonesia oleh OJK ini diharapkan dapat selesai pada
akhir tahun 2021. Blue-Print ini akan memberikan arah
pengembangan digitalisasi perbankan yang mencakup beberapa
aspek meliputi perlindungan data, kolaborasi seperti kerja sama
institusi keuangan maupun non-keuangan, manajemen risiko,
pemanfaatan teknologi, dan tata kelola kelembagaan. Penilaian
risiko juga beralih dari regulation based menjadi principles based,
yang memberikan fleksibilitas lebih besar untuk inovasi.
Pada tanggal 19 Agustus 2021, OJK telah menerbitkan
POJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, di mana di
dalamnya dipertegas tentang definisi dan tata cara pelaksanaan
bank digital. Diterbitkannya POJK ini dimaksudkan untuk mendorong akselerasi transformasi digital bank-bank di
Indonesia. Definisi strategi adalah memilih cara mencapai tujuan yang
paling efektif, efisien, cepat dan berkesinambungan. Bab ini akan
membahas apa saja alternatif cara sebuah perusahaan (bank)
untuk bertransformasi digital sepenuhnya, dan dengan contohcontoh bank yang sudah menjalankannya. Apa yang dialami oleh
bank yang menjadi contoh tentunya tidak menjamin akan
memberikan hasil yang sama kepada yang mengikutinya, karena
situasi terus berubah secara dinamik, sehingga setiap bank perlu
memilih strategi yang ingin diadopsinya berdasarkan kondisi
terkini.
Prinsip transformasi digital adalah mentransformasikan
produk, jasa, dan aktifitas menjadi non-fisik. Di bidang produk
misalkan, fotografi yang dulu adalah identik dengan lembaran
kertas foto, saat ini tidak dicetak lagi; uang yang dulu identik
dengan keping logam dan kemudian lembaran uang, saat ini
berupa angka di handphone; buku peta sekarang tidak diperlukan
lagi karena ada yang lebih bagus, mudah digunakan dan selalu
versi terbaru di handphone kita. Di bidang jasa misalkan,
pendidikan yang dulu identik dengan datang ke gedung sekolah
saat ini bisa dilakukan di mana saja; mendapatkan berita yang
dulu dengan membaca lembar suratkabar (berita yang sudah kemarin), atau dengan mendengar radio atau melihat TV yang
sulit dibawa karena perangkatnya berat, sekarang bisa mendapat
berita yang sedang berlangsung dengan membaca, mendengar,
maupun melihat videonya, dengan mudah, murah, dan
menyenangkan dengan handphone, perangkat kecil yang sama
dengan yang kita gunakan untuk keperluan lain. Dari segi aktifitas,
rapat yang dulu identik bertemu secara fisik sehingga harus
diagendakan jauh sebelumnya, saat ini bisa setiap saat dengan
Whatsapp Group ataupun video conference call. Semuanya
mempunyai satu kesamaan; dematerialisasi, menghilangkan
komponen material fisik yang diperlukan, digantikan menjadi
virtual.
Demikian pula transformasi digital bank, perlu membuat
semua produk, jasa, bahkan aktifitas, menjadi virtual dan nonfisik. Selain semua menjadi virtual, digitalisasi juga harus
menyambung produk dengan jasa dan aktifitas menjadi satu
dengan tanpa terasa ada sambungan (seamless), misalkan ketika
kita memilih untuk membeli modul e-learning online, seharusnya
itu bisa dibayar dengan non-tunai, dan juga mendaftar tanpa
harus mengisi formulir fisik. Akan terasa janggal apabila misalkan
sebuah bank menawarkan pelayanan digital bankingnya, tapi
nasabah harus mengisi formulir fisik dan mengisi saldo pertama
dengan setoran tunai misalkan. Digitalisasi yang sempurna
adalah apabila seorang konsumen dapat memenuhi semua
kebutuhannya dengan cukup membuka satu aplikasi, kemudian
satu kali pencet atau perintah suara persetujuan atas produk atau
jasa yang diinginkannya. Tentunya pengajuan kebutuhan
konsumen tersebut hanya bisa akan terlayani dengan baik apabila
di belakangnya ada cara operasi bank yang juga sudah
terdigitalisasi dengan baik, sehingga interaksi bisa berlangsung
cepat, tepat, mudah, murah, aman, memenuhi regulasi, serta membuka pintu menuju model bisnis baru. Apabila hari ini hal-hal
tersebut belum terlaksana pada bank Anda, bagaimana cara
mencapai hal-hal tersebut dengan cara yang paling efektif dan
efisien? Membangun infrastruktur, kompetensi, dan budaya digital
dulu sehingga digitalisasi bisa dibangun dari dasar baru menuju
ke pelayanan konsumen? Atau sambil menunggu kesiapan
internal, menggunakan pihak lain untuk menyediakan layanan
mobile banking yang dibutuhkan konsumen? Atau lebih baik
membangun divisi terpisah untuk digital banking seperti BTPN
membangun Jenius? Atau membuat perusahaan terpisah untuk
digital banking dengan mengakuisisi bank buku kecil seperti yang
sedang tren dilakukan oleh bank-bank buku besar?
DISRUPSI DIGITAL LAYANAN KEUANGAN
Menurut riset Global Center for Digital Business
Transformation (2015), Financial Services merupakan sektor
industri yang akan dilanda disrupsi digital terbesar setelah industri
hospitality/travel, ritel, dan media. Di Indonesia, kita telah melihat
saat ini bagaimana hal tersebut sudah dan sedang terjadi. Di
antaranya adalah Traveloka mengguncang industri
hospitality/travel, Tokopedia mengguncang ritel, dan media online
seperti detik.com mengguncang industri media.
Dan baru beberapa tahun belakangan ini, kita melihat
industri financial services diserbu oleh fintech yang menggerogoti
bisnis perbankan. Di antara berbagai pelayanan jasa keuangan,
saat ini yang paling ramai adalah bergesernya sistem
pembayaran ke pembayaran berbasiskan fintech, bukan lagi
dengan tunai, kartu debit, atau kartu kredit yang ditawarkan oleh
bank. ShopeePay, Go-pay, Ovo, dan Dana, adalah beberapa
sistem pembayaran terbesar berbasiskan fintech saat ini. Dari sudut strategi, tentunya keputusan strategi mana
yang harus diambil oleh perusahaan akan berbeda antara ketika
disrupsi belum/akan terjadi dengan ketika disrupsi sudah mulai
terjadi, dan ketika disrupsi sudah menjadi perubahan industri
secara masif. Karena waktu merupakan faktor dinamis yang terus
bergerak, maka bank yang sama sekali pun perlu mengambil
strategi yang beda antara yang jika diputuskan hari ini dengan jika
diputuskan tahun depan atau bahkan enam bulan ke depan. Oleh
karenanya, suatu keputusan strategi tidak bisa terlalu lama diolah
karena jika terlalu lama pasti tidak relevan lagi.
Transformasi digital di dunia perbankan terjadi dalam skala
yang lebih besar pada perbankan ritel dibandingkan dengan pada
perbankan korporat, karena pada dasarnya digitalisasi mengakibatkan dematerialisasi, yang menyebabkan
demonetisasi, yang membawa demokratisasi, yaitu inklusi yang
jauh lebih menjangkau setiap individu. Saat ini di dunia terdapat
lebih dari 1 milyar orang dewasa yang mempunyai handphone
yang mampu menjalankan digital banking namun tidak
mempunyai rekening di bank. Demikian pula di Indonesia, orang
dewasa yang memiliki handphone atau smartphone jauh lebih
banyak dibandingkan dengan mereka yang memiliki rekening di
bank. Oleh karena itu transformasi digital industri Financial
Services memberi dampak yang lebih besar pada negara-negara
berkembang atau negara dunia ketiga dengan jumlah penduduk
yang lebih besar. Pada negara-negara maju, transformasi digital
dalam Financial Services lebih kepada efisiensi operasi yang
memberikan keunggulan kompetitif yang memberikan
pertumbuhan organik. Namun di negara-negara berkembang dan
negara-negara dunia ketiga, pertumbuhan yang terjadi bisa
eksplosif. Contohnya adalah Ant Financial dari Alibaba group,
hanya dalam tempo kurang dari sepuluh tahun telah memiliki
valuasi USD 150 Milyar, termasuk dalam 10 besar perusahaan
jasa keuangan dunia. Nama Ant Financial sendiri mencerminkan
bahwa yang dituju adalah nasabah kecil, namun banyak,
sebagaimana semut.
Selain di jasa pembayaran, di semua jenis pelayanan bank
lain pun muncul alternatif yang ditawarkan oleh fintech, misalkan
pengiriman uang baik lokal maupun internasional; pinjaman baik
untuk konsumsi, investasi, maupun untuk modal usaha; investasi
baik berupa uang, pinjaman pihak ketiga, surat berharga, emas,
uang kripto, dan sebagainya. Umumnya fintech berspesialisasi
dengan satu atau beberapa jasa pelayanan, fokus pada segmen
tertentu, dan ukurannya tidak besar, jauh jika dibandingkan
dengan bank buku satu di Indonesia sekali pun. Apa yang membuat mereka bisa bertahan adalah biaya
operasional yang kecil, tim kecil dengan kompensasi yang tidak
sebesar jika bekerja di bank. Walaupun biaya operasional mereka
kecil, biaya akuisisi pelanggan cukup besar, sehingga sebenarnya
masalah terbesar mereka adalah bagaimana menambah skala
jumlah pelanggan atau pengguna. Sebenarnya bank yang sedang
bertransformasi digital seharusnya jeli melihat peluang yang
muncul dengan kondisi ini, karena sebenarnya mereka adalah
laboratorium uji coba yang baik untuk bank melihat apa
pendekatan yang bekerja baik di pasar serta jeli dengan
kesempatan akuisisi fintech yang berhasil.
Fintech yang perlu dicermati oleh bank adalah fintech yang
berbasiskan e-commerce ritel, karena sesungguhnya transaksi
adalah merupakan fungsi dasar dari konsep keuangan. Dan
dalam industri e-commerce ritel, prinsip yang berlaku adalah “the
winner takes it all”, pemain besar akan semakin besar, khususnya dalam skala global, sehingga mudah bagi mereka melakukan
akuisisi pengguna atau pelanggan dengan biaya murah. Begitu
ekosistem transaksi terbentuk antara produsen, penjual, dan
konsumen, maka ekosistem tersebut cukup untuk membuat
putaran keuangan yang bergerak sendiri, yang menyedot
nasabah bank karena bank saat ini hanya menyediakan
ekosistem parsial dan terputus. Contoh ekosistem terputus adalah
jika suatu bank meminjamkan modal kerja kepada pedagang,
namun pembeli barang dari pedagang tersebut tidak diketahui
oleh bank, dan kebanyakan bukan nasabah bank pemberi
pinjaman. Ini yang dinamakan ekosistem yang terputus.
Bagi bank yang tidak segera menyesuaikan pola pikir dan
operasinya dengan perkembangan digital, akan melihat
perusahaan fintech bagaikan ikan piranha yang kecil namun
banyak dan menggerogoti bisnis mereka dari berbagai sisi, cukup
membuat resah walaupun tidak mematikan.
PILIHAN CARA BERTRANSFORMASI DIGITAL
Transformasi digital mencakup tiga hal, yaitu Customer
Experience, Operational Excellence, dan New Business Model.
Model bisnis lama yang mengandalkan sumberdaya konvensional
akan tergilas oleh model bisnis baru yang efisien secara
operasional yang oleh Ross dkk. (2017) disebut sebagai digitisasi
dan inovasi yang memberikan kepuasan pelanggan lebih tinggi
yang diistilahkan Ross dkk.(2017) sebagai digitalisasi. Tentunya
idealnya perusahaan melakukan kedua hal tersebut secara
bersamaan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tidak
mudah melakukan digitisasi dan digitalisasi sekaligus. Oleh
karenanya seringkali perusahaan perlu memprioritaskan mana
yang dilakukan lebih dulu. Digitisasi dan digitalisasi adalah dua hal yang saling
berhubungan satu sama lainnya. Hubungan ini lebih mudah
dipetakan apabila kita menggunakan diagram Balanced
Scorecard (BSC) ciptaan Kaplan dan Norton yang sudah lama
digunakan di dunia bisnis dalam menerjemahkan strategi ke
dalam tindakan. Dalam diagram BSC tersebut, sisi kiri
menunjukkan sisi meningkatkan revenue sedangkan di sisi kanan
adalah sisi menurunkan biaya.
Digitalisasi menuju sisi kiri, yaitu meningkatkan revenue,
dengan cara meningkatkan penghasilan per pelanggan dan
memperbanyak jumlah pelanggan, yang bisa dicapai dengan
meningkatkan kualitas, spesifisitas, kecepatan, dan ketepatan
dalam proses internal yang mendukung pelayanan terhadap
pelanggan, yang memerlukan inovasi produk dan proses dari
sumberdaya manusia perusahaan yang didukung oleh
infrastruktur.
Digitisasi menuju sisi kanan, yaitu memperbaiki komposisi
dan kualitas infrastuktur dan sumberdaya manusia dengan tujuan
produktifitas setinggi mungkin dengan beban biaya dan investasi
sekecil mungkin pada proses operasional, sehingga dapat
melayani pelanggan dengan baik dengan seefisien mungkin yang
pada ujungnya menurunkan biaya perusahaan secara
keseluruhan. Di antara proses internal dengan pelanggan, pada
umumnya ada penghubung atau intermediary yang secara
konvensional dapat berupa distributor ataupun kantor cabang
bagi bank, yang harus digantikan dengan penghubung digital
yang efektif dan efisien serta memberikan kepuasan yang lebih
besar kepada pelanggan. Contohnya, aplikasi digital banking
yang menggantikan bahkan melebihi peran kantor cabang bank.
Di tahun 2015 dan 2015 MIT CISR (Massachussets
Institute of Technology Center for Information System Research)
melakukan survei terhadap ratusan perusahaan di berbagai
negara mengenai kematangan transformasi digital (digital maturity) dan cara mereka bertransformasi. Mereka mendapatkan
bahwa perusahaan yang telah bertransformasi digital dengan
baik, yang mereka istilahkan Future Ready companies,
menghasilkan keuntungan 16% lebih tinggi dibandingkan
keuntungan rata-rata perusahaan di industri yang sama. Jadi jika
rata-rata perusahaan di industri perbankan misalkan adalah 10%,
maka bank yang telah bertransformasi digital dengan baik akan
menghasilkan keuntungan 26%.
Kuadran satu adalah perusahaan yang belum melakukan
transformasi digital, cara operasi mereka masih tersekat-sekat
dan kompleks, dan pendekatan terhadap pelanggan adalah product-driven. Jumlah perusahaan dalam kuadran pertama ini
adalah 51%. MITCSR menamakan perusahaan dalam kelompok
ini sebagai Silos and Complexity. Perusahaan dalam kuadran ini
menghasilkan keuntungan lebih sedikit (minus) 5,1%
dibandingkan dengan rata-rata perusahaan sejenisnya.
Kuadran empat adalah perusahaan yang telah
bertransformasi digital dengan baik, mereka dapat menjadi
inovatif dan berbiaya rendah, lincah, dan membuat pengalaman
pelanggan yang luar biasa. Jumlah perusahaan dalam kuadran
empat ini adalah 23%. MITCSR menamakan perusahaan dalam
kelompok ini sebagai Future Ready. Perusahaan dalam kuadran
ini menghasilkan keuntungan lebih tinggi (plus) 16% dibandingkan
dengan rata-rata perusahaan sejenisnya.
Kuadran dua adalah perusahaan yang sedang
bertransformasi digital dalam operasinya, mereka telah
melakukan upaya agar produk dan jasanya mudah dioperasikan
dan telah mengelola data dengan baik, namun belum melakukan
pengelolaan pengalaman pelanggan secara digital. Jumlah
perusahaan dalam kuadran kedua ini adalah 11%. MITCSR
menamakan perusahaan dalam kelompok ini sebagai
Industrialized. Perusahaan dalam kuadran ini menghasilkan
keuntungan lebih tinggi (plus) 4,6% dibandingkan dengan ratarata perusahaan sejenisnya. Hal ini disebabkan karena efisiensi
operasional karena digitisasi akan menghemat biaya, yang akan
menambah keuntungan, walaupun tidak sebaik jika perusahaan
telah masuk ke kuadran empat atau Future Ready
Kuadran tiga adalah perusahaan yang telah
bertransformasi digital dalam pengelolaan pengalaman
pelanggan, aplikasi digital mereka dapat membuat pelanggan
senang, namun di belakang itu semua operasinya masih
kompleks. Jumlah perusahaan dalam kuadran tiga ini adalah
19%. MITCSR menamakan perusahaan dalam kelompok ini
sebagai Integrated Experience. Perusahaan dalam kuadran ini
menghasilkan keuntungan lebih sedikit (minus) 3,6%
dibandingkan dengan rata-rata perusahaan sejenisnya. Hal ini
disebabkan karena untuk dapat memenuhi pengelolaan
pelanggan secara digital tanpa membenahi efisiensi operasional
malah akan menambah biaya, yang akan mengurangi
keuntungan.
Dari riset MITCSR tersebut, jelaslah bahwa kinerja
perusahaan terbaik akan dicapai jika telah Future Ready, dan
terburuk jika masih Silos and Spaghetti (atau Silos and
Complexity) di kuadran 1. Dan masih banyak perusahaan (51%)
yang masih di kuadran 1 tersebut.
Bagaimana strategi yang bisa diambil oleh perusahaan di
kuadran 1 untuk berpindah ke kuadran 4? Berdasarkan riset
MITCSR terhadap ratusan perusahaan tersebut, kita ambil contoh
dari beberapa bank yang mengambil strategi yang berbeda dalam
menuju kuadran 4.
Ada beberapa jalur strategi yang dapat diambil oleh bank
yang bertransformasi digital, yaitu:
Jalur 1: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) melalui
kuadran Industrialized (kuadran 2), yaitu memprioritaskan
pembenahan efisiensi operasional lebih dulu, kemudian baru
meningkatkan pengalaman pelanggan. Contoh bank yang
menerapkan strategi ini adalah DBS Bank Singapore.
Jalur 2: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) melalui
kuadran Integrated Experience (kuadran 3), yaitu
memprioritaskan pembenahan pengalaman pelanggan lebih dulu,
kemudian baru meningkatkan efisiensi operasional. Contoh bank
yang mengambil Jalur ini adalah mBank S.A. Polandia Jalur 3: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) melalui
pendekatan bertahap, yaitu melakukan perbaikan sebagian
pengalaman pelanggan lebih dulu, kemudian meningkatkan
efisiensi operasional yang mendukungnya, kemudian kembali
melakukan perbaikan sebagian lagi pengalaman pelanggan,
diikuti perbaikan efisiensi operasional lagi, dan seterusnya.
Contoh bank yang melakukan Jalur ini adalah BBVA S.A. (Banco
Bilbao Vizcaya Argentaria Sociedad Anonima) Spanyol.
Jalur 4: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) dengan
jalan meloncat, yaitu membuat divisi/anak perusahaan yang baru
yang dari awal menerapkan digitalisasi dan digitisasi. Contoh
bank yang mengambil Jalur ini adalah ING Direk Belanda, atau
Bank BTPN Indonesia.Jalur 3: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) melalui
pendekatan bertahap, yaitu melakukan perbaikan sebagian
pengalaman pelanggan lebih dulu, kemudian meningkatkan
efisiensi operasional yang mendukungnya, kemudian kembali
melakukan perbaikan sebagian lagi pengalaman pelanggan,
diikuti perbaikan efisiensi operasional lagi, dan seterusnya.
Contoh bank yang melakukan Jalur ini adalah BBVA S.A. (Banco
Bilbao Vizcaya Argentaria Sociedad Anonima) Spanyol.
Jalur 4: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) dengan
jalan meloncat, yaitu membuat divisi/anak perusahaan yang baru
yang dari awal menerapkan digitalisasi dan digitisasi. Contoh
bank yang mengambil Jalur ini adalah ING Direk Belanda, atau
Bank BTPN Indonesia.
KEUNTUNGAN DAN KEKURANGAN JALUR 1
Keuntungan Jalur 1, yaitu membereskan efisiensi operasional
dulu adalah;
1. Bertransformasi digital melalui pendekatan yang
mendasar yaitu kesiapan sistem, yaitu mempersiapkan
Core Banking System (CBS) yang mampu menjadi
platform yang menyatukan semua data sehingga
memfasilitasi omnichannel, dapat memfasilitasi API
(Application Programming Interface) dengan fleksibel,
memungkinkan akses data yang cepat untuk Big Data
Analytics dan Artificial Intelligence, cloud based untuk
intercloud communication, dan tentunya sistem keamanan
yang mumpuni.
2. Dengan sistem operasi yang sudah didigitisasi penuh,
maka data dapat digunakan oleh semua divisi tanpa ada
duplikasi database, tanpa duplikasi pembaruan data,
kualitas data yang baik, yang meningkatkan efisiensi
pengolahan data dan efektifitas penggunaan data yang
bisa digunakan untuk melakukan penawaran produk yang
tepat misalkan.
3. Sistem yang sudah digitisasi penuh akan memungkinkan
banyak proses yang memakan biaya tidak diperlukan lagi
(misalkan transaksi melalui teller atau ATM), sehingga
banyak biaya dapat dihilangkan.
4. Struktur operasional juga menjadi sederhana karena
melalui sistem digital. Bayangkan kerumitan pengelolaan
kantor cabang yang membutuhkan staf kantor cabang,
kepala cabang, area manager, regional manager, dan
sebagainya, kini tidak diperlukan lagi dengan proses
digital.
Kekurangan Jalur 1 adalah;
1. Melakukan transformasi sistem menjadi digital penuh
memerlukan investasi yang cukup besar dan tidak mudah.
Diperlukan tim IT yang kompeten yang dapat mendesain
dan melaksanakan perubahan sistem secara
komprehensif. Di satu sisi sistem diperbarui dari yang
paling mendasar, namun di sisi lain bisnis sehari-hari juga
perlu tetap dilayani.
2. Untuk dapat mencapai sistem yang benar-benar siap,
diperlukan waktu yang cukup lama, karena semua harus
dilakukan secara bertahap. Bank DBS memerlukan waktu
5 tahun (2009-2014) untuk dapat mengatakan sistemnya
sudah siap, dan masih terus upgrade berkelanjutan.
Dengan kemajuan hardware maupun software saat ini, kita
bisa memperkirakan total upgrade sistem IT ini bisa
memerlukan waktu dari 18 bulan untuk bank kecil (bank
buku 1) sampai dengan 3 tahun untuk bank besar (bank
buku 4)
3. Risiko yang besar. Total upgrade berarti juga mengganti
Core Banking System (CBS) dengan teknologi dan
arsitektur terbaru, yang idealnya cloud native. Namun
migrasi CBS dari sistem lama ke sistem baru merupakan
proses yang sangat berisiko, apalagi CBS bank besar
yang datanya sudah berbelit. Oleh karena itu bank besar
umumnya mengambil jalan yang lebih aman yaitu
menambahkan middleware yang bisa menjembatani CBS
dengan sistem lama ke kebutuhan digital dengan sistem
baru.
DBS Bank Singapore adalah salah satu bank yang
menerapkan Jalur 1 ini. Di dalam presentasi David Gledhill, yaitu
CIO DBS Bank Singapore, terlihat bahwa fase pertama yang
dilakukan dalam transformasi digital DBS Bank Singapore adalah
memperbaiki sistem dasarnya, menjadi “digital to the core”. “Core”
di sini bisa berarti ganda, yaitu “core” dalam arti Core Banking
System (CBS), dan juga bisa berarti “core mindset” dalam setiap
orang di DBS Bank.
DBS melakukan pembenahan sistem dasar selama 5
tahun, dimulai tahun 2009. Dalam masa tersebut DBS benarbenar mentransformasikan core systemnya menjadi mencontoh
pada perusahaan teknologi terunggul, karena itu pada fase
tersebut DBS mencanangkan visi GANDALF (Google, Amazon,
Netflix, DBS, Apple, LinkedIn, Facebook).
DBS menegaskan bahwa visinya adalah mensejajarkan
dirinya dengan perusahaan teknologi, bukan dengan bank lain.
DBS mentargetkan untuk sebisanya seluruh sistem yang
dibangunnya adalah cloud native, meningkatkan 10 kali
kecepatan menghasilkan produk, membangun API yang siap
disambungkan dengan ekosistem, dan customer-centric data
analytics.
Fase selanjutnya sesudah membenahi core adalah DBS
mentransformasi customer experience dengan customer
proposition “Live More, Bank Less”, dan kemudian DBS
memvisikan fase ketiga yaitu mengubah model bisnisnya dengan
mencari inovasi sebanyak-banyaknya dari dengan berpikir cara
start-up. (Gledhill, 2018)
Saat ini DBS Bank Singapore sudah pada kuadran Future
Ready, dan dinobatkan menjadi World’s Best Digital Bank 2018
oleh majalah Euromoney
KEUNTUNGAN DAN KEKURANGAN JALUR 2
Keuntungan Jalur 2, yaitu meningkatkan pengalaman pelanggan
dulu adalah;
1. Kepuasan pelanggan dapat ditingkatkan dengan
pendekatan digital, sehingga dapat mempertahankan
bahkan meningkatkan pangsa pasar.
2. Dampak dari kepuasan pelanggan yang meningkat adalah
peningkatan revenue.
3. Relatif jauh lebih cepat dapat dilakukan daripada Jalur 1
yang harus membangun dari sistem dasar. Bahkan untuk
makin mempercepat, banyak aplikasi digital yang bisa
dibeli yang tinggal disesuaikan sedikit langsung bisa
dipakai.
Kekurangan dari Jalur 2 yaitu:
1. Internal proses makin berat, karena sistem dasar untuk
beroperasinya back office masih menggunakan sistem
konvensional, yang harus mengakomodasi pelanggan
yang sudah menggunakan antarmuka (interface) digital.
2. Banyak yang akhirnya menambah layanan digital di atas
layanan konvensional, sehingga akhirnya biayanya pun
bertambah bukan berkurang. Misalkan kantor cabang
tetap mempunyai staf layanan konvensional, ditambah lagi
staf yang melayani pelanggan dengan menggunakan alat
digital.
3. Ketika beban melayani pelanggan dengan antarmuka
digital yang prosesnya masih konvensional meningkat,
suatu saat sistem akan break-down juga karena tidak
mampu mengakomodasinya lagi.
Salah satu bank yang mengikuti pendekatan ini adalah
mBank S.A., berkantor pusat di Warsawa, Polandia. Di tahun
2000-an mBank menyadari bahwa pengalaman pelanggan
perbankan di Polandia kurang menyenangkan. mBank kemudian
memulai serangkaian perubahan, termasuk membuka call-center
24 jam, menawarkan layanan online, dan menambahkan banyak
produknya. Bahkan mBank membuat light branch yaitu cabang di
pusat perbelanjaan dengan layanan digital, namun juga dilayani
pegawai secara tatap muka. Kepuasan pelanggan meningkat
dengan cepat dan pangsa pasar mBank juga meningkat pesat.
mBank juga menerima berbagai penghargaan atas keberhasilan
memuaskan pelanggan
Namun kemudian mBank menyimpulkan bahwa sistem
perusahaan sudah tidak sanggup lagi mendukung peningkatan
pengalaman pelanggan lebih jauh lagi, karena telah mencapai
batasnya. Jika sistem yang lama dipaksakan untuk memberikan
fleksibilitas dan pengalaman yang diinginkan pelanggan, hasilnya
malah akan memperburuk situasi. Akhirnya mBank harus
memperbaik platform digitalnya dari dasar. 14 bulan kemudian,
mBank dengan platform barunya menawarkan pelanggannya
berbagai fitur baru, termasuk persetujuan pinjaman 30 detik,
pembayaran mobile, video-chatting customer service, integrasi
dengan Facebook, layanan transfer dan penarikan ATM tanpa
kartu. Selama mBank belum memperbaiki platformnya,
keuntungannya menurun walaupun jumlah pelanggannya
meningkat (di tahun 2015)
KEUNTUNGAN DAN KEKURANGAN JALUR 3
Keuntungan Jalur 3, yaitu secara berjenjang meningkatkan
pengalaman pelanggan kemudian memperbaiki sistem dan
kembali lagi meningkatkan pengalaman pelanggan, adalah;
1. Pendekatan yang ideal dari segi bisnis, karena
mengamankan kepuasan pelanggan dulu, dan segera
mendukungnya dengan sistem yang dibutuhkan secara
cepat.
2. Sambil terus memperbaiki pengalaman pelanggan sambil
terus perbaikan sistem.
3. Resiko erosi keuntungan maupu risiko kehilangan pangsa
pasar lebih sedikit dibandingkan Jalur 1 dan Jalur 2.
Kekurangan dari Jalur 3 yaitu:
1. Hanya dapat dilakukan jika bank mempunyai sedikit
produk unggulan yang menjadi sumber penghasilan
terbesar.
2. Tidak mudah untuk tim internal untuk beralih fokus dari
pengalaman pelanggan ke perbaikan sistem dan balik lagi
ke pengalaman pelanggan dengan cepat (3-6 bulan).
3. Perlu koordinasi yang sangat tinggi agar tim internal tidak
bingung dan hal ini juga bisa menimbulkan stres yang
tinggi.
Contoh bank yang menerapkan Jalur 3 adalah Banco
Bilbao Vizcaya Argentaria Sociedad Anonima (BBVA), berbasis di
Bilbao, Spanyol. BBVA mulai membangun aplikasi digitalnya pada
2015 yang menawarkan on-boarding kurang dari lima menit bagi
pelanggan baru.
Aplikasi ini juga memungkinkan pembelian swalayan yang
mudah dan otomatis. untuk pinjaman konsumen dan dana
investasi yang merupakan produk unggulan BBVA Perubahan
yang terjadi disambut dengan baik oleh nasabah bank; Di tahun
2017, pelanggan berinteraksi dengan bank rata-rata 150 kali per
tahun melalui handphone mereka, melebih kunjungan pada
cabang di tahun yang sama.
BBVA secara bertahap meninggalkan legacy proses bisnis
yang telah dibangun dari waktu ke waktu dari berbagai sistem dan
versi data, menggantikannya dengan platform digital global yang
kapasitasnya dapat ditingkatkan dengan mudah. Saat ini, BBVA
menawarkan pengalaman pelanggan digital melalui core-banking
platform yang andal, memungkinkan pengembangan baru yang
menggabungkan open-API dan kemampuan lain. Dengan
menggunakan API, BBVA dapat mengambil data dari berbagai
sumber sebagai bahan untuk melengkapi platform BBVA Valora
yang memberikan informasi yang lengkap tentang properti yang
ingin dimiliki oleh calon pembeli.
Di platform BBVA Valora calon pembeli dapat melihat
berbagai informasi tentang lingkungan properti yang diincarnya,
antara lain fasilitas yang tersedia, demografi penduduk sekitarnya,
tingkat kepadatan, dan sebagainya. Juga dapat dilihat perkiraan nilai wajar dari properti. Semua itu diperolehnya dari data pihak
ketiga yang dihubungkan dengan platform BBVA Valora
menggunakan API tersebut (padanan di Indonesia; antara lain
dapat menarik data Nilai Jual Obyek Pajak dari kantor pajak
Pemerintah Daerah, menarik data status properti dari Badan
Pertanahan Nasional, dan sebagainya). Dengan demikian BBVA
dapat memancing calon pembeli untuk menggunakan platform
tersebut, yang juga menyediakan simulasi kredit yang ditawarkan
oleh BBVA agar dapat disesuaikan dengan kemampuan
keuangan dari calon pembeli.
Dengan semua upaya tersebut, BBVA berhasil menaikkan
penjualannya melalui pendekatan digital, sehingga semakin tahun
penjualan melalui digital channel makin besar persentasenya
dalam penjualan keseluruhan.
Seiring dengan waktu, BBVA berhasil mengurangi rasio
biaya operasional dibandingkan pendapatan, yang diperoleh dari
efisiensi operasional secara digital.
KEUNTUNGAN DAN KEKURANGAN JALUR 4
Keuntungan Jalur 4, yaitu membuat divisi atau anak perusahaan
baru yang dirancang digital sejak awal, adalah;
1. Pendekatan yang paling tidak ribet, karena tidak perlu
merubah dari yang konvensional, tetapi membuat yang
baru. Jadi beban legacy sistem yang lama maupun
karyawan yang pola pikirnya konvensional tidak ada di
sini. Sistem dibangun dari baru, karyawan direkrut yang
baru ataupun dari karyawan lama tapi yang sudah pola
pikir digital, kantor dirancang baru, dan sebagainya.
2. Cepat terlihat hasilnya.
3. Investasi awal yang dibutuhkan tidak sebesar jika
mentransformasikan perusahaan induk.
Kekurangan dari Jalur 4 yaitu:
1. Sesudah berkembang, makin sulit diintegrasikan ke dalam
perusahaan induk, karena sistem yang beda, personel
yang beda jenisnya, beda kultur, bahkan kemungkinan
besar beda segmen pelanggannya. Perbedaan ini makin
lama biasanya makin besar, dan dapat menimbulkan
konflik dengan perusahaan induk.
2. Karena sudah dibentuk divisi atau anak perusahaan baru
yang digital ini, perusahaan induk merasa tugas
transformasi digital sudah didelegasikan kepada divisi
atau anak perusahaan baru tersebut, sehingga
perusahaan induk makin lamban berubah.
3. Walaupun divisi atau anak perusahaan baru ini mendapat
dukungan dana dari perusahaan induk, namun tetap sulit
untuk bisa selincah perusahaan start-up, karena tidak
punya figur founder yang bisa mengambil keputusan
beresiko dan mencurahkan fokusnya sepenuh hati.
Contoh bank yang mengambil jalur strategi ini adalah Bank
BTPN. BTPN membuat divisi baru yang menciptakan produk
digital banking Jenius, yang diluncurkan tanggal 11 Agustus 2016.
Jenius mendapat pujian dari berbagai pihak karena merupakan
pionir digital banking di Indonesia. Divisi Jenius dipimpin oleh
Peterjan van Niewehuijzen, seorang ekspatriat yang sebelumnya
konsultan di McKinsey. Divisi ini menempati lantai tersendiri, dan
merekrut orang-orang baru dengan ketrampilan digital, dan
bahkan menciptakan website baru www.jenius.com yang terpisah
dengan website BTPN www.btpn.com yang membuat kesan
Jenius seakan perusahaan terpisah dengan BTPN. Jenius benarbenar menerapkan pembukaan rekening tanpa harus
mengunjungi kantor cabang, yang dilakukan adalah proses KYC
(know your customer) dengan agen yang mengunjungi nasabah
di tempat yang dikehendaki. Hal ini dilakukan karena pada saat
Jenius diluncurkan, POJK no. 13/2018 yang membolehkan KYC
elektronik (eKYC) melalui aplikasi belum terbit. Dalam waktu 2
tahun, nasabah Jenius hampir mencapai 1 juta orang yang
mayoritas merupakan nasabah baru BTPN dengan profil yang
beda dengan profil nasabah BTPN sebelumnya. Fitur-fitur dalam
aplikasi digital banking Jenius terlihat sangat maju setara dengan
fitur digital banking di negara-negara yang telah maju.
Beberapa bulan sebelum formalisasi akuisisi BTPN oleh
Sumitomo Mitsubishi Bank Corporation (SMBC) pada Januari
2019 dan sesudahnya, aktivitas Jenius kurang terlihat segencar
sebelumnya. Akan sangat menarik untuk melihat bagaimana
kelanjutan Jenius ini, akankah Jenius mampu terus menjadi role
model bagi perusahaan induknya BTPN untuk bertransformasi
digital?
Finansbank S.A. di Turki juga melakukan Jalur 4 ini. Di
tahun 2010, beberapa tahun sesudah krisis keuangan tahun 2008,
pemimpin Finansbank melihat kesempatan untuk pasar yang
bertumbuh di segmen penghasilan menengah. Saat itu
Finansbank sudah mempunyai online banking, sama seperti bank
lainnya di Turki. Awalnya mereka mempertimbangkan untuk
mengembangkan layanan digital banking sebagai pengembangan
dari online banking yang telah mereka miliki. Namun, ada dua
pertimbangan lain yang memberatkan; (1) reputasi pelayanan
perbankan di Turki saat itu tidak baik, dianggap oleh masyarakat
memberikan pelayanan buruk dengan biaya mahal, (2) Nama
Finansbank kurang menarik di segmen penghasilan menengah.
Jika digital banking mereka memakai nama Finansbank akan
menimbulkan persepsi layanan lama dengan tampilan baru.
Lagipula mereka melihat untuk membuat digital banking ini
mereka memerlukan orang-orang yang bisa melakukan yang
berbeda dengan cara-cara lama dalam pelayanan bank.
Oleh karena itu mereka memutuskan untuk membuat
sebuah layanan bank yang baru total dan independen. Dengan
demikian mereka bisa membuat suatu platform digital baru yang terlepas dari perspektif perbankan tradisional. Selain itu, mereka
juga mempertimbangkan setiap saat mereka bisa menjual divisi
tersebut sebagai aset independen. Atau jika ternyata gagal,
lakukan write-off.
Mereka kemudian merekrut Elsa Pekmez Atan, seorang
wanita yang sebelumnya konsultan di McKinsey untuk merintis ide
digital banking tersebut. Atan bergabung dengan Finansbank
pada bulan Mei 2010 untuk mulai mempersiapkan realisasi ide
tersebut. Atan kemudian membentuk tim, mempersiapkan
infrastruktur dan proses. Bulan Oktober 2012, diluncurkanlah
digital banking tersebut yang dinamai Enpara.com sebagai
layanan bank digital tanpa kantor cabang, yang pertama di Turki.
Saat itu peraturan di Turki juga masih mengharuskan
tandatangan basah nasabah untuk pembukaan rekening bank.
Karena tanpa kantor cabang, Enpara menggunakan tim untuk
mengunjungi nasabah yang membuka rekening di alamat
nasabah untuk proses KYC yang diperlukan tersebut. Enpara
menawarkan suku bunga deposit yang lebih tinggi, dan biaya
administrasi dan transaksi yang rendah, serta pelayanan
pelanggan online yang ramah dan responsif.
Di bulan pertama Enpara mendapatkan 20.000 nasabah,
dan di akhir tahun pertama total nasabah yang masuk mencapai
110.000, melebihi target awalnya yaitu 100.000. Deposit yang
diperoleh sebesar USD. 1,5 milyar. Di tahun 2014, Enpara
menawarkan pinjaman konsumen secara online, pertama di Turki.
Enpara mulai membukukan keuntungan setelah tiga tahun
beroperasi, namun dengan catatan bahwa banyak biaya sistem IT
nya masih menumpang di induk perusahaannya.
Di tahun 2015, Finansbank diakuisisi oleh Qatar National
Bank (QNB), dan berubah nama menjadi QNB Finansbank.
Dengan pemegang saham baru, semua aktivitas Enpara dievaluasi kembali. Di tahun 2016, Enpara tidak lagi mendapat
perlakuan khusus, dan diharuskan untuk menurunkan biaya untuk
menghasilkan keuntungan, sehingga Enpara harus menurunkan
suku bunga depositnya yang sejak awal ditawarkan lebih tinggi
kepada konsumen. Selain itu, di tahun 2017 Enpara dihadapkan
kepada 2 pilihan lain, yaitu dipisahkan dari Finansbank menjadi
perusahan independen, atau dilebur ke dalam induk
perusahaannya untuk menghindari duplikasi. Untuk dilebur ke
dalam induk perusahaannya, setidaknya Enpara menghadapi 2
masalah:
1. Visi Enpara yang mementingkan jangka panjang berbeda
dengan visi induknya –Finansbank- yang mementingkan
kinerja 3-5 tahun ke depan.
2. Budaya sumber daya manusia di perusahaan induknya
yang sangat berbeda dalam cara berpikir customer
oriented, yang sangat sulit untuk dirubah.
Sampai saat ini (Juni 2021), hal tersebut belum diputuskan, dan
Enpara masih menjadi divisi yang terpisah dengan Finansbank.
BANK DIGITAL MURNI
Saat ini ada beberapa bank yang telah mengajukan ijin menjadi
bank digital, antara lain adalah: Bank BCA Digital, BRI Agroniaga
Tbk, Bank Neo Commerce Tbk, Bank Capital Tbk, Bank Harda
Internasional, Bank QNB Indonesia, dan Bank KEB Hana.
Beberapa bank buku kecil diakuisisi oleh bank buku besar, untuk
dijadikan bank digital murni. Bank-bank ini adalah sesungguhnya
produk dari Jalur strategi keempat dengan pemisahan penuh
secara legal menjadi perusahaan tersendiri bukan hanya divisi
dari suatu bank. Pendekatan ini tentunya lebih baik lagi, karena para pegawai perusahaan induk tidak dapat lagi mempersoalkan
tentang perbedaan perlakuan serta perbedaan fitur produk seperti
yang terjadi pada Finansbank dengan Enpara.com nya, antara
lain tentang perbedaan suku bunga yang ditawarkan oleh
Enpara.com yang dianggap lebih menarik dibandingkan yang
ditawarkan oleh Finansbank sehingga terjadi perpindahan
konsumen dari Finansbank ke Enpara.com. Visi, misi, strategi,
nilai-nilai, budaya, target pasar, dan lainnya bisa dengan bebas
berbeda dengan perusahaan induknya. Namun ini tetap
menyisakan pertanyaan; jadi masa depan perusahaan (bank)
induknya akan ke mana? Akankah dibiarkan menjemput umurnya
sesuai dengan siklus hidup?
MENENTUKAN JALUR MANA YANG PALING COCOK
Setiap bank mempunyai kondisi yang berbeda, dan menghadapi
situasi yang berbeda dengan bank lainnya. Oleh karenanya,
setiap bank perlu melakukan asesmen, mana dari keempat Jalur
bertransformasi digital ini yang paling cocok. Sebagai panduan
dasar untuk memilih Jalur mana yang cocok, dapat dilakukan
langkah sebagai berikut:
1. Tentukan bank Anda ada di kuadran mana.
2. Jika bank Anda di kuadran 1, dan saat ini pelanggan Anda
merasa cukup puas (masih pada rata-rata industri, dan
pangsa pasar tidak turun), maka Anda masih punya waktu
memilih Jalur 1 yaitu memperbaiki efisiensi operasional
dulu, karena ini merupakan jalan yang paling baik jika
memungkinkan.
3. Jika bank Anda di kuadran 1, dan saat ini pelanggan Anda
merasa tidak puas serta pangsa pasar terancam, maka Anda dapat memilih Jalur 1 yaitu memperbaiki
pengalaman pelanggan dulu, walaupun harus
mengeluarkan biaya yang lebih besar yang menggerus
keuntungan bank Anda. Secepatnya begitu kepuasan
pelanggan meningkat, bereskan efisiensi operasional.
4. Jika bank Anda di kuadran 1, dan saat ini pelanggan Anda
merasa tidak puas serta pangsa pasar terancam, maka
Anda dapat memilih Jalur 3 yaitu pendekatan anak tangga,
jika portfolio bank Anda menunjukkan beberapa produk
unggulan yang menjadi sumber penghasilan utama bank
Anda yang bisa didigitalisasi lebih dulu.
5. Jika bank Anda di kuadran 1, dan evaluasi menunjukkan
sulit untuk mentransformasikan sumberdaya manusia
secara keseluruhan sehingga dikuatirkan proses
transformasi akan sangat lama, Anda dapat memilih Jalur
4 yaitu membuat divisi atau anak perusahaan baru yang
langsung digital.
6. Jika saat ini bank Anda sudah di kuadran 2, kembali Anda
harus waspada jika pelangan Anda mulai tidak sabar
ataupun pangsa pasar menurun, segera siapkan untuk
memperbaiki pengalaman pelanggan. Jika tidak, maka
ketika operasi bank Anda sudah baik, pelanggan Anda
sudah sangat menurun dan Anda harus mengeluarkan
biaya mahal untuk akuisisi ulang pelanggan.
7. Jika saat ini bank Anda di kuadran 3, sesudah kepuasan
pelanggan membaik atau pangsa pasar terlihat
meningkat, segera perbaiki efisiensi operasi. Jika tidak,
keuntungan bank Anda akan terus menurun, dan pada titik
tertentu tim operasi Anda tidak sanggup lagi memenuhi
permintaan pelanggan disebabkan oleh kelambatan atau
kesalahan yang disebabkan oleh operasi konvensional
FAKTOR-FAKTOR UTAMA DALAM SEMUA JALUR
STRATEGI
Berdasarkan riset oleh MIT CISR 2015 CIO Digital
Disruption Survey (2015) ada tiga faktor utama yang perlu dicapai baik di Jalur 1, Jalur 2, Jalur 3, atau Jalur 4, yang menentukan
keberhasilan transformasi digital. Ketiga faktor tersebut adalah:
1. Mempunyai dasar landasan pelayanan yang terhubung
(Connected Platform of Services) secara digital yang
menyeluruh, untuk itu hal penting yang perlu dilakukan
adalah:
a) Bangun dan gunakan platform digital untuk
dijadikan dasar
b) Hubungkan sebanyak mungkin aset (data dan
proses) dalam platform tersebut
c) Kembangkan pelayanan yang membuat
perusahaan Anda unggul
2. Mempunyai pola pikir berfokus pada “Digital First”
mengandalkan Connected Platform of Services, untuk itu
hal penting yang perlu dilakukan adalah:
a) Seluruh eksekutif berkomitmen untuk digitalisasi
b) CIO fokus untuk mendukung inovasi secara digital
c) Organisasi mempertajam kemahiran dua sisi;
inovasi dan efisiensi
3. Menjalankan koordinasi digital dengan pola pikir Digital
First sebagai pusatnya, dan dilandaskan pada Connected
Platform of Services, untuk itu hal penting yang perlu
dilakukan adalah:
a) Mengkoordinasikan pencapaian tujuan bisnis
secara digital
b) Menumbuhkan hubungan dengan pelanggan dan
memperbesar suara pelanggan menggunakan
cara digital
c) Mempercepat pengulangan proses pembelajaran MENGAWAL INVESTASI DALAM TRANSFORMASI DIGITAL
Salah satu hal utama yang perlu dikawal dalam
melaksanakan transformasi digital adalah bagaimana agar
investasi yang ditanamkan akan memberi hasil yang terbaik.
Mengingat bahwa transformasi digital merupakan hal baru yang
akan dilaksanakan yang berbeda dengan cara konvensional yang
dijalankan sebelumnya, maka wajar bahwa ada risiko yang lebih
besar yang disebabkan kurangnya pengalaman dalam kebaruan
tersebut. Risiko ini tidak bisa dihindari dan perlu diambil, namun
di sisi lain tetap harus diusahakan risiko ini sekecil mungkin
dengan prinsip-prinsip pelaksanaan yang baik. Riset World Economic Forum / Accenture Analysis
memberi pedoman agar mendapatkan pengembalian investasi
terbaik, transformasi digital perlu menjalankan empat prinsip
dalam pelaksanannya, yaitu:
1. Tentukan kepemilikan yang jelas dari investasi digital,
pemilik tersebut yang harus bertanggungjawab atas hasil
dari investasi tersebut. Misalkan pemilik investasi untuk
platform sebagai infrastruktur digital harusnya adalah
CEO, yang harus bertanggungjawab atas penggunaan
platform tersebut oleh keseluruhan organisasi yang pada
ujungnya harus meningkatkan inovasi dan mengirit biaya.
Pemilik investasi digital pada program aplikasi di atas
platform dapat dari manajer bisnis yang harus memberikan
hasil peningkatan revenue dan pangsa pasar, atau dari
manajer operasional yang harus memberikan hasil
pengiritan biaya operasional. Ini untuk menghindarkan
investasi yang tak bertuan sehingga tidak ada yang
berjuang untuk hasilnya.
2. Investasi hanya untuk kasus yang jelas, bukan demi
teknologi. Investasi yang dilakukan hendaklah bukan
didasarkan kepada teknologi yang keren yang ternyata
jarang digunakan, bagaikan membeli baju pesta. Investasi
hendaknya pada teknologi yang terpakai bagaikan
membeli baju yang diperlukan untuk bekerja, yang
produktif.
3. Gunakan pendekatan berdasarkan hasil. Semua harus
ada metrik ukuran keberhasilannya, walaupun tidak
semua metrik harus berupa nilai keuntungan perusahaan
dalam tempo singkat. Konsep metrik keberhasilan harus
berdasarkan manfaat bagi pemangku kepentingan
(stakeholders), bukan hanya bagi pemilik (