Selasa, 03 Desember 2024

Published Desember 03, 2024 by

teknologi bank 2

 



 memang berdampak efisiensi yang besar dari 


berkurangnya secara drastis kebutuhan orang sebagai operator 


pembayaran di pintu-pintu tol, dan kemudian di tempat-tempat 


parkir umum. Saat ini metode transaksi non-tunai yang terbanyak adalah 


dengan menggunakan metode kartu. Total kartu ATM dan Debit 


yang beredar berjumlah lebih dari 150 juta, namun bukan berarti 


setara dengan jumlah nasabah di bank, karena banyak nasabah 


yang mempunyai lebih dari 1 kartu ATM/Debit. Demikian pula 


dengan kartu e-money yang beredar sejumlah mendekati 100 juta 


buah, lebih banyak lagi yang memiliki lebih dari 2 kartu e-money


atau lebih  Jumlah kartu kredit yang beredar jauh lebih sedikit, yaitu 


hanya 17 juta buah. Juga terjadi fenomena satu orang mempunyai 


banyak kartu kredit, bahkan banyak yang mempunyai lebih dari 


10 kartu kredit. Semua hal ini menandakan bahwa masyarakat 


sudah cukup siap dengan metode transaksi non tunai, namun 


masih banyak ruang yang masih bisa diisi (yang belum memiliki). 


Namun melihat tren teknologi, metode transaksi non-tunai dengan 


kartu mungkin akan segera terlindas dengan metode yang lebih 


praktis yaitu dengan QR code, kecuali di daerah-daerah di mana 


signal 4G kurang berfungsi baik.  Usaha kecil mikro di Indonesia juga terus berkembang 


dengan pesat. Umumnya mereka tidak memenuhi persyaratan 


standar peminjaman uang kepada bank, oleh karenanya segmen 


ini banyak disasar oleh fintech dengan pendekatan Peer to Peer 


lending. Sesungguhnya bank dapat pula sekarang menggarap 


segmen ini dengan inovasi pendekatan digital pinjaman tanpa 


kolateral. Walaupun perusahaan fintech pada umumnya juga 


memasuki layanan yang sebelumnya dikuasai bank, termasuk 


pembayaran, peminjaman, investasi, dan lainnya, namun 


kebanyakan perusahaan fintech memasuki pasar yang memang 


kurang digarap oleh bank. Selain itu ukuran perusahaan fintech


pada umumnya kecil-kecil, dan mereka memerlukan bank sebagai 


tempat penyimpanan dana yang mereka kumpulkan. Fintech jenis 


ini walau kelihatan agak mengancam mengambil bisnis bank, 


sesungguhnya bukanlah ancaman besar untuk bank. Yang harus 


diwaspadai adalah justru fintech yang berbasis e-commerce. 


Dalam e-commerce, sudah terbentuk ekosistem keuangan yang 


dikuasai. Ada pihak yang mempunyai uang dan ada pihak yang 


memerlukan uang, serta ada kebutuhan transaksi yang nyata. Menurut ramalan Frost & Sullivan di tahun 2018, nilai 


transaksi e-commerce B2C di Indonesia adalah sebesar USD 3


Milyar (Rp. 45 Triliun) di tahun 2020, dan diperkirakan akan 


menjadi USD 4,6 Milyar (Rp. 70 Triliun) di tahun 2022. Namun 


kenyataannya perkembangan e-commerce di Indonesia terjadi 


lebih pesat, sehingga data Bank Indonesia menunjukkan bahwa 


nilai transaksi e-commerce Indonesia di tahun 2020 adalah 


sebesar Rp. 266 Triliun. Saat ini nilai transaksi e-commerce


barang ritel di Indonesia hanya sekitar 3% dari nilai transaksi ritel 


keseluruhan, dengan dominasi pada transaksi fashion dan travel. 


Di tahun 2020 ini nilai transaksi e-commerce barang ritel di US 


mencapai 14% dari keseluruhan penjualan ritel, sedangkan di 


China mencapai 45%, tertinggi di dunia dan akan mencapai 52% 


di tahun 2021. Dominasi e-commerce barang ritel di Indonesia 


ada pada beberapa perusahaan saja, antara lain Shopee, 


Tokopedia, Bukalapak, Lazada dan Blibli untuk berbagai kategori 


barang konsumen, Traveloka dan Tiket.com untuk travel, dan Go￾jek dan Grab untuk makanan dan transportasi.  Di balik para perusahaan e-commerce yang mendominasi 


tersebut, adalah para investor yang umumnya adalah Alibaba 


group dan Tencent group, dua raksasa e-commerce dari China. 


Alibaba merupakan investor terbesar dalam Tokopedia dan 


Lazada, sedangkan Tencent group merupakan investor terbesar 


dalam Shopee dan JD.id. Di samping itu Tencent bersama JD.id 


juga merupakan menanamkan milyaran USD ke dalam Go-jek. 


Alibaba berkolaborasi dengan perusahaan Indonesia Emtek 


group membuat aplikasi pembayaran Dana. (Morgan Stanley, 


2019)  Dikuasainya para perusahaan e-commerce terbesar di 


Indonesia oleh Alibaba group dan Tencent group, menguatkan 


prinsip “The (few) Winners take it all” dalam perkancahan e￾commerce di dunia. Pada akhirnya pemilik e-commerce di dunia 


ada pada beberapa group besar, namun dengan nama platform


yang berbeda-beda. Perusahaan e-commerce yang dominan di 


Amerika adalah Amazon, dan konon Facebook, Google, dan 


Apple juga bersiap memasuki e-commerce dengan skala besar. 


Mereka inilah ancaman bagi para bank, karena pertama mereka 


menguasai inti dari fungsi uang yaitu transaksi, dan yang kedua 


kekuatan modal mereka melebihi bank terbesar di dunia sekali 


pun.

Bagaimana caranya Alibaba menguasai layanan 


keuangan? Dimulai dengan perusahaan e-commerce


Alibaba.com (atau 1688.com di China) yang melayani pasar B2B 


dari produsen kepada distributor dalam jumlah besar untuk 


barang konsumen, kemudian Alibaba group membuat juga 


Tmall.com untuk pasar B2B dari distributor kepada peritel dan 


juga Taobao.com untuk B2C peritel kepada konsumen. Alibaba 


juga membuat AliExpress.com untuk pasar luar negeri dengan 


pengiriman langsung dari China. Di dalam ekosistem e-commerce


tersebut, Alibaba menggunakan sistem pembayaran Alipay. 


Ketika pengguna Alipay sudah semakin banyak, Alibaba 


memisahkan Alipay menjadi perusahaan keuangan Ant Financial. Ant Financial menawarkan suku bunga yang lebih tinggi 


dibandingkan tabungan di bank bagi saldo Alipay, dan dari saldo 


Alipay yang ada, Ant Financial memberikan kredit usaha bagi para 


produsen, distributor, dan peritel dalam ekosistem e￾commercenya, serta meminjamkan overnight dengan bunga yang 


kompetitif kepada bank-bank kecil di China. Dengan strateginya tersebut, dalam tempo singkat Ant 


Financial mensejajarkan dirinya dengan institusi keuangan 


terbesar di dunia, mengejar nama-nama besar yang sudah 


puluhan tahun eksis seperti HSBC Bank, Mastercard, Citigroup, 


dan lainnya.  Agak berbeda dengan yang dilakukan oleh Alibaba group, 


Tencent group masuk di awal melalui aplikasi platform komunikasi 


WeChat yang kini mempunyai 1 milyar pengguna aktif. Di dalam 


aplikasi tersebut, ditawarkan layanan keuangan digital bernama 


TenPay untuk segala macam pembelian dan transfer, termasuk 


untuk pembelian e-commerce (Shopee dan JD.com, on-line


game, dan sebagainya. Kemudian WeChat menawarkan wealth 


management termasuk tabungan dan investment fund melalui 


Licaitong, bagian dari Tencent group. Melalui aset yang dibangun, 


mereka menawarkan pinjaman yang terbuka kepada siapa pun 


pengguna WeChat Di samping itu Tencent group juga aktif membangun bisnis 


digital lainnya, seperti konsultasi kesehatan dengan artificial 


intelligence yang dinamakan PingAn, Virtual Reality, Cloud 


services, dan sebagainya. Jadi apabila kita lihat, kunci keberhasilan dari penguasaan 


layanan finansial ada pada fungsi dasar keuangan yaitu transaksi. 


Makin sebuah perusahaan menguasai proses transaksi, makin 


kuat posisinya menguasai layanan keuangan turunannya yaitu 


wealth management dan lending.  Jika kita lihat ranking perusahaan global tahun 2018, kita 


akan melihat dari 10 perusahaan terbesar dunia (nilai kapitalisasi) 


ada 3 perusahaan e-commerce yaitu Amazon di urutan ke-4, 


Tencent di urutan ke-6, dan Alibaba di urutan ke-8, dan hanya ada 


2 perusahaan keuangan dalam daftar 10 perusahaan terbesar 


tersebut, yaitu Berkshire di urutan ke-8 dan JP Morgan di urutan 


ke-10. Amazon didirikan di tahun 1994, Tencent di tahun 1998, 


Alibaba di tahun 1999, sedangkan JP Morgan didirikan tahun 


1871. Jadi dalam tempo 20 tahun beberapa perusahaan e￾commerce sudah mengalahkan institusi keuangan mapan 


terbesar di dunia yang berusia 230 tahun. Belum lagi kalau kita 


membandingkan Return on Assets mereka, industri e-commerce


adalah industri yang low assets, sedangkan industri bank adalah 


industri yang high assets, jadi ROA Amazon, Tencent, dan 


Alibaba pasti jauh lebih menggiurkan daripada ROA JP Morgan.  Selain itu kita bisa melihat bahwa enam teratas plus urutan


delapan dari sepuluh perusahaan yang paling berharga di dunia 


pada tahun 2018 adalah perusahaan yang berbasis teknologi 


digital, padahal sepuluh tahun sebelumnya hanya satu 


perusahaan berbasis teknologi digital yaitu Microsoft yang masuk 


dalam sepuluh terbesar dunia tersebut, itu pun hanya di urutan ke 


tujuh. Dengan besarnya kapitalisasi yang mereka miliki di 


samping data pengguna yang lengkap dalam ekosistem yang 


terbentuk oleh jasa mereka, para perusahaan teknologi ini 


mempunyai modal bisnis yang kuat untuk masuk ke dalam industri 


keuangan dengan cara digital, seperti yang telah dilakukan oleh 


Amazon, Tencent dan Alibaba; dirintis oleh Facebook dan Apple, 


yang kemungkinan akan juga disusul oleh Google. 


Dengan kemampuan digital yang bisa menjangkau seluruh 


dunia dengan mudah dan tanpa batas, maka setiap pemain besar 


kelas dunia punya kemampuan untuk menjadi pemain di seluruh 


negara, termasuk di Indonesia. Oleh karenanya, jangan melihat mereka sebagai perusahaan yang hanya akan menguasai 


Amerika, tetapi juga akan menguasai negara lain termasuk 


Indonesia. Dapatkah bank-bank di Indonesia bertahan 


menghadapi mereka? Yang jelas, tanpa bertransformasi digital 


segera, bank-bank di Indonesia pasti tersapu pasarnya oleh 


mereka, terutama di perbankan ritel.


DORONGAN PEMERINTAH DAN BADAN OTORITAS 


KEUANGAN UNTUK TRANSFORMASI DIGITAL


Dalam komunikasi publiknya, Presiden Joko Widodo pada 3 


Agustus 2020 telah menekankan urgensi transformasi digital di 


Indonesia ini. Pandemi Covid-19 ini harus dijadikan momentum 


untuk melakukan percepatan transformasi digital. Beliau 


menyampaikan lima langkah percepatan transformasi digital di 


Indonesia, yaitu: 


1. Percepat perluasan akses dan peningkatan infrastruktur 


digital, seperti penyediaan layanan internet di 12.500 desa 


/ kelurahan serta di titik-titik layanan publik.


2. Siapkan peta jalan transformasi digital di sektor-sektor 


strategis, antara lain pemerintahan, layanan publik, 


bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, perdagangan, 


industri, dan penyiaran. 


3. Percepat integrasi pusat data nasional.


4. Siapkan kebutuhan sumber daya manusia/talenta digital. 


Indonesia membutuhkan talenta digital kurang lebih 


sembilan juta orang untuk 15 tahun ke depan, atau kurang 


lebih 600 ribu per tahun. 


5. Siapkan rencana transformasi digital yang berkaitan 


dengan regulasi, skema pendanaan, dan pembiayaan 


transformasi digital. Sebagai salah satu tindak lanjut untuk percepatan ini, 


Presiden menerbitkan Keputusan Presiden (KEPPRES) no. 3 


tahun 2021 tertanggal 4 Maret 2021 tentang pembentukan Satuan 


Tugas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Satgas 


P2DD). Satgas P2DD ini diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang 


Perekonomian dengan beranggotakan Gubernur Bank Indonesia 


dan enam orang Menteri lainnya, termasuk Menteri Keuangan. 


Satgas P2DD dibentuk dengan tujuan mempercepat dan 


memperluas digitalisasi daerah terutama untuk: 


a. mendorong implementasi Elektronifikasi Transaksi 


Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disebut dengan 


ETPD, guna meningkatkan transparansi transaksi 


keuangan daerah, mendukung tata kelola, dan mengintegrasikan sistem pengelolaan keuangan daerah 


dalam rangka mengoptimalkan pendapatan daerah; dan 


b. mendukung pengembangan transaksi pembayaran digital 


masyarakat, mewujudkan keuangan yang inklusif, serta 


meningkatkan integrasi ekonomi, dan keuangan digital 


nasional.


Di level daerah, implementasi ETPD digariskan untuk 


dikoordinasikan sebagai berikut, yang harus terbentuk paling 


lambat 1 tahun sejak Keppres 03/2021 ini: 


a. pemerintah daerah provinsi membentuk Tim Percepatan 


dan Perluasan Digitalisasi Daerah Provinsi, selanjutnya 


disebut TP2DD Provinsi, yang diketuai oleh Gubernur; dan 


b. pemerintah daerah kabupaten/kota membentuk Tim 


Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah Kabupaten/ 


Kota, selanjutnya disebut TP2DD Kabupatenf Kota, yang 


diketuai oleh Bupati/Walikota.


Dengan demikian, dorongan elektronifikasi atau digitali￾sasi bukan hanya ditujukan pada sistem pemerintah pusat, namun 


juga ke seluruh pemerintah daerah, sehingga tentunya ini 


berdampak menjadi keharusan bagi para Bank Pembangunan 


Daerah untuk segera bertransformasi digital.


Bank Indonesia juga sejak tahun 2019 telah menerbitkan 


Blue-Print Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025, yang 


arahnya selaras dengan Payment Systems Directive 2 (PSD2) 


yaitu regulasi Uni Eropa untuk pembayaran elektronik yang 


menjadi dasar untuk sistem Open Banking. Pada Blue-Print SPI 2025 Bank Indonesia ini terlihat 


bahwa sistem pembayaran elektronik dimudahkan untuk diakses 


lebih luas oleh perusahaan fintech dan e-commmerce, tidak lagi 


menjadi dominasi perbankan, dengan tujuan agar inklusi layanan 


keuangan dapat tercapai seluas-luasnya dengan cara elektronik, 


baik untuk masyarakat maupun UMKM. Dalam SPI 2025 ini Bank 


Indonesia juga membuka ruang untuk berinovasi lebih luas 


dengan memperluas sandbox yang sebelumnya hanya regulatory 


sandbox menjadi 3 sandbox yaitu regulatory, industrial, dan   collaborative. Ini menjawab keluhan dari pelaku industri keuangan 


yang sering mengeluhkan tentang regulator yang kurang fleksibel 


dalam model bisnis transformasi digital. 


Bank Indonesia juga sedang terus membahas dan 


mempersiapkan diri dalam penerbitan mata uang digital (rupiah 


digital) sebagaimana tren Central Bank Digital Currency yang 


telah diujicobakan dan dilaksanakan oleh Bank Sentral beberapa 


negara lain. Hal ini akan berdampak besar karena ini bukan hanya 


merubah dari bentuk fisik mata uang menjadi digital, tetapi akan 


berdampak pada tatacara penyalurannya sehingga bisa 


mengancam peran industri perbankan.


Otoritas Jasa Keuangan juga saat ini sedang 


mempersiapkan Blue-Print Transformasi Digital Perbankan yang


merupakan penjabaran lebih detail pilar kedua akselerasi 


transformasi digital pada peta jalan (roadmap) pengembangan 


perbankan Indonesia 2021-2025, yaitu pilar Pengembangan 


Ekosistem Jasa Keuangan. Blue-Print Transformasi Digital 


Perbankan Indonesia oleh OJK ini diharapkan dapat selesai pada 


akhir tahun 2021. Blue-Print ini akan memberikan arah 


pengembangan digitalisasi perbankan yang mencakup beberapa 


aspek meliputi perlindungan data, kolaborasi seperti kerja sama 


institusi keuangan maupun non-keuangan, manajemen risiko, 


pemanfaatan teknologi, dan tata kelola kelembagaan. Penilaian 


risiko juga beralih dari regulation based menjadi principles based, 


yang memberikan fleksibilitas lebih besar untuk inovasi.


Pada tanggal 19 Agustus 2021, OJK telah menerbitkan 


POJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, di mana di 


dalamnya dipertegas tentang definisi dan tata cara pelaksanaan 


bank digital. Diterbitkannya POJK ini dimaksudkan untuk mendorong akselerasi transformasi digital bank-bank di 


Indonesia. Definisi strategi adalah memilih cara mencapai tujuan yang 


paling efektif, efisien, cepat dan berkesinambungan. Bab ini akan 


membahas apa saja alternatif cara sebuah perusahaan (bank) 


untuk bertransformasi digital sepenuhnya, dan dengan contoh￾contoh bank yang sudah menjalankannya. Apa yang dialami oleh 


bank yang menjadi contoh tentunya tidak menjamin akan 


memberikan hasil yang sama kepada yang mengikutinya, karena 


situasi terus berubah secara dinamik, sehingga setiap bank perlu 


memilih strategi yang ingin diadopsinya berdasarkan kondisi 


terkini.


Prinsip transformasi digital adalah mentransformasikan 


produk, jasa, dan aktifitas menjadi non-fisik. Di bidang produk 


misalkan, fotografi yang dulu adalah identik dengan lembaran 


kertas foto, saat ini tidak dicetak lagi; uang yang dulu identik 


dengan keping logam dan kemudian lembaran uang, saat ini 


berupa angka di handphone; buku peta sekarang tidak diperlukan 


lagi karena ada yang lebih bagus, mudah digunakan dan selalu 


versi terbaru di handphone kita. Di bidang jasa misalkan, 


pendidikan yang dulu identik dengan datang ke gedung sekolah 


saat ini bisa dilakukan di mana saja; mendapatkan berita yang 


dulu dengan membaca lembar suratkabar (berita yang sudah kemarin), atau dengan mendengar radio atau melihat TV yang 


sulit dibawa karena perangkatnya berat, sekarang bisa mendapat 


berita yang sedang berlangsung dengan membaca, mendengar, 


maupun melihat videonya, dengan mudah, murah, dan 


menyenangkan dengan handphone, perangkat kecil yang sama 


dengan yang kita gunakan untuk keperluan lain. Dari segi aktifitas, 


rapat yang dulu identik bertemu secara fisik sehingga harus 


diagendakan jauh sebelumnya, saat ini bisa setiap saat dengan 


Whatsapp Group ataupun video conference call. Semuanya 


mempunyai satu kesamaan; dematerialisasi, menghilangkan 


komponen material fisik yang diperlukan, digantikan menjadi 


virtual.


Demikian pula transformasi digital bank, perlu membuat 


semua produk, jasa, bahkan aktifitas, menjadi virtual dan non￾fisik. Selain semua menjadi virtual, digitalisasi juga harus 


menyambung produk dengan jasa dan aktifitas menjadi satu 


dengan tanpa terasa ada sambungan (seamless), misalkan ketika 


kita memilih untuk membeli modul e-learning online, seharusnya 


itu bisa dibayar dengan non-tunai, dan juga mendaftar tanpa 


harus mengisi formulir fisik. Akan terasa janggal apabila misalkan 


sebuah bank menawarkan pelayanan digital bankingnya, tapi 


nasabah harus mengisi formulir fisik dan mengisi saldo pertama 


dengan setoran tunai misalkan. Digitalisasi yang sempurna 


adalah apabila seorang konsumen dapat memenuhi semua 


kebutuhannya dengan cukup membuka satu aplikasi, kemudian 


satu kali pencet atau perintah suara persetujuan atas produk atau 


jasa yang diinginkannya. Tentunya pengajuan kebutuhan 


konsumen tersebut hanya bisa akan terlayani dengan baik apabila 


di belakangnya ada cara operasi bank yang juga sudah 


terdigitalisasi dengan baik, sehingga interaksi bisa berlangsung 


cepat, tepat, mudah, murah, aman, memenuhi regulasi, serta membuka pintu menuju model bisnis baru. Apabila hari ini hal-hal 


tersebut belum terlaksana pada bank Anda, bagaimana cara 


mencapai hal-hal tersebut dengan cara yang paling efektif dan 


efisien? Membangun infrastruktur, kompetensi, dan budaya digital 


dulu sehingga digitalisasi bisa dibangun dari dasar baru menuju 


ke pelayanan konsumen? Atau sambil menunggu kesiapan 


internal, menggunakan pihak lain untuk menyediakan layanan 


mobile banking yang dibutuhkan konsumen? Atau lebih baik 


membangun divisi terpisah untuk digital banking seperti BTPN 


membangun Jenius? Atau membuat perusahaan terpisah untuk 


digital banking dengan mengakuisisi bank buku kecil seperti yang 


sedang tren dilakukan oleh bank-bank buku besar?


DISRUPSI DIGITAL LAYANAN KEUANGAN


Menurut riset Global Center for Digital Business 


Transformation (2015), Financial Services merupakan sektor 


industri yang akan dilanda disrupsi digital terbesar setelah industri 


hospitality/travel, ritel, dan media. Di Indonesia, kita telah melihat 


saat ini bagaimana hal tersebut sudah dan sedang terjadi. Di 


antaranya adalah Traveloka mengguncang industri 


hospitality/travel, Tokopedia mengguncang ritel, dan media online


seperti detik.com mengguncang industri media.


Dan baru beberapa tahun belakangan ini, kita melihat 


industri financial services diserbu oleh fintech yang menggerogoti 


bisnis perbankan. Di antara berbagai pelayanan jasa keuangan, 


saat ini yang paling ramai adalah bergesernya sistem 


pembayaran ke pembayaran berbasiskan fintech, bukan lagi 


dengan tunai, kartu debit, atau kartu kredit yang ditawarkan oleh 


bank. ShopeePay, Go-pay, Ovo, dan Dana, adalah beberapa 


sistem pembayaran terbesar berbasiskan fintech saat ini. Dari sudut strategi, tentunya keputusan strategi mana 


yang harus diambil oleh perusahaan akan berbeda antara ketika 


disrupsi belum/akan terjadi dengan ketika disrupsi sudah mulai 


terjadi, dan ketika disrupsi sudah menjadi perubahan industri 


secara masif. Karena waktu merupakan faktor dinamis yang terus 


bergerak, maka bank yang sama sekali pun perlu mengambil 


strategi yang beda antara yang jika diputuskan hari ini dengan jika 


diputuskan tahun depan atau bahkan enam bulan ke depan. Oleh 


karenanya, suatu keputusan strategi tidak bisa terlalu lama diolah 


karena jika terlalu lama pasti tidak relevan lagi.


Transformasi digital di dunia perbankan terjadi dalam skala 


yang lebih besar pada perbankan ritel dibandingkan dengan pada


perbankan korporat, karena pada dasarnya digitalisasi mengakibatkan dematerialisasi, yang menyebabkan 


demonetisasi, yang membawa demokratisasi, yaitu inklusi yang 


jauh lebih menjangkau setiap individu. Saat ini di dunia terdapat 


lebih dari 1 milyar orang dewasa yang mempunyai handphone


yang mampu menjalankan digital banking namun tidak 


mempunyai rekening di bank. Demikian pula di Indonesia, orang 


dewasa yang memiliki handphone atau smartphone jauh lebih 


banyak dibandingkan dengan mereka yang memiliki rekening di 


bank. Oleh karena itu transformasi digital industri Financial 


Services memberi dampak yang lebih besar pada negara-negara 


berkembang atau negara dunia ketiga dengan jumlah penduduk 


yang lebih besar. Pada negara-negara maju, transformasi digital 


dalam Financial Services lebih kepada efisiensi operasi yang 


memberikan keunggulan kompetitif yang memberikan 


pertumbuhan organik. Namun di negara-negara berkembang dan 


negara-negara dunia ketiga, pertumbuhan yang terjadi bisa 


eksplosif. Contohnya adalah Ant Financial dari Alibaba group, 


hanya dalam tempo kurang dari sepuluh tahun telah memiliki 


valuasi USD 150 Milyar, termasuk dalam 10 besar perusahaan 


jasa keuangan dunia. Nama Ant Financial sendiri mencerminkan 


bahwa yang dituju adalah nasabah kecil, namun banyak, 


sebagaimana semut.


Selain di jasa pembayaran, di semua jenis pelayanan bank 


lain pun muncul alternatif yang ditawarkan oleh fintech, misalkan 


pengiriman uang baik lokal maupun internasional; pinjaman baik 


untuk konsumsi, investasi, maupun untuk modal usaha; investasi 


baik berupa uang, pinjaman pihak ketiga, surat berharga, emas, 


uang kripto, dan sebagainya. Umumnya fintech berspesialisasi 


dengan satu atau beberapa jasa pelayanan, fokus pada segmen 


tertentu, dan ukurannya tidak besar, jauh jika dibandingkan 


dengan bank buku satu di Indonesia sekali pun. Apa yang membuat mereka bisa bertahan adalah biaya 


operasional yang kecil, tim kecil dengan kompensasi yang tidak 


sebesar jika bekerja di bank. Walaupun biaya operasional mereka 


kecil, biaya akuisisi pelanggan cukup besar, sehingga sebenarnya 


masalah terbesar mereka adalah bagaimana menambah skala 


jumlah pelanggan atau pengguna. Sebenarnya bank yang sedang 


bertransformasi digital seharusnya jeli melihat peluang yang 


muncul dengan kondisi ini, karena sebenarnya mereka adalah 


laboratorium uji coba yang baik untuk bank melihat apa 


pendekatan yang bekerja baik di pasar serta jeli dengan 


kesempatan akuisisi fintech yang berhasil.


Fintech yang perlu dicermati oleh bank adalah fintech yang 


berbasiskan e-commerce ritel, karena sesungguhnya transaksi 


adalah merupakan fungsi dasar dari konsep keuangan. Dan 


dalam industri e-commerce ritel, prinsip yang berlaku adalah “the


winner takes it all”, pemain besar akan semakin besar, khususnya dalam skala global, sehingga mudah bagi mereka melakukan 


akuisisi pengguna atau pelanggan dengan biaya murah. Begitu 


ekosistem transaksi terbentuk antara produsen, penjual, dan 


konsumen, maka ekosistem tersebut cukup untuk membuat 


putaran keuangan yang bergerak sendiri, yang menyedot 


nasabah bank karena bank saat ini hanya menyediakan 


ekosistem parsial dan terputus. Contoh ekosistem terputus adalah


jika suatu bank meminjamkan modal kerja kepada pedagang, 


namun pembeli barang dari pedagang tersebut tidak diketahui 


oleh bank, dan kebanyakan bukan nasabah bank pemberi 


pinjaman. Ini yang dinamakan ekosistem yang terputus.


Bagi bank yang tidak segera menyesuaikan pola pikir dan 


operasinya dengan perkembangan digital, akan melihat 


perusahaan fintech bagaikan ikan piranha yang kecil namun 


banyak dan menggerogoti bisnis mereka dari berbagai sisi, cukup 


membuat resah walaupun tidak mematikan.


PILIHAN CARA BERTRANSFORMASI DIGITAL


Transformasi digital mencakup tiga hal, yaitu Customer 


Experience, Operational Excellence, dan New Business Model. 


Model bisnis lama yang mengandalkan sumberdaya konvensional 


akan tergilas oleh model bisnis baru yang efisien secara 


operasional yang oleh Ross dkk. (2017) disebut sebagai digitisasi 


dan inovasi yang memberikan kepuasan pelanggan lebih tinggi 


yang diistilahkan Ross dkk.(2017) sebagai digitalisasi. Tentunya 


idealnya perusahaan melakukan kedua hal tersebut secara 


bersamaan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tidak 


mudah melakukan digitisasi dan digitalisasi sekaligus. Oleh 


karenanya seringkali perusahaan perlu memprioritaskan mana 


yang dilakukan lebih dulu. Digitisasi dan digitalisasi adalah dua hal yang saling 


berhubungan satu sama lainnya. Hubungan ini lebih mudah 


dipetakan apabila kita menggunakan diagram Balanced 


Scorecard (BSC) ciptaan Kaplan dan Norton yang sudah lama 


digunakan di dunia bisnis dalam menerjemahkan strategi ke 


dalam tindakan. Dalam diagram BSC tersebut, sisi kiri 


menunjukkan sisi meningkatkan revenue sedangkan di sisi kanan 


adalah sisi menurunkan biaya. 


Digitalisasi menuju sisi kiri, yaitu meningkatkan revenue, 


dengan cara meningkatkan penghasilan per pelanggan dan 


memperbanyak jumlah pelanggan, yang bisa dicapai dengan 


meningkatkan kualitas, spesifisitas, kecepatan, dan ketepatan 


dalam proses internal yang mendukung pelayanan terhadap 


pelanggan, yang memerlukan inovasi produk dan proses dari 


sumberdaya manusia perusahaan yang didukung oleh 


infrastruktur. 

Digitisasi menuju sisi kanan, yaitu memperbaiki komposisi 


dan kualitas infrastuktur dan sumberdaya manusia dengan tujuan 


produktifitas setinggi mungkin dengan beban biaya dan investasi 


sekecil mungkin pada proses operasional, sehingga dapat 


melayani pelanggan dengan baik dengan seefisien mungkin yang 


pada ujungnya menurunkan biaya perusahaan secara 


keseluruhan. Di antara proses internal dengan pelanggan, pada 


umumnya ada penghubung atau intermediary yang secara 


konvensional dapat berupa distributor ataupun kantor cabang 


bagi bank, yang harus digantikan dengan penghubung digital 


yang efektif dan efisien serta memberikan kepuasan yang lebih 


besar kepada pelanggan. Contohnya, aplikasi digital banking 


yang menggantikan bahkan melebihi peran kantor cabang bank.


Di tahun 2015 dan 2015 MIT CISR (Massachussets 


Institute of Technology Center for Information System Research) 


melakukan survei terhadap ratusan perusahaan di berbagai 


negara mengenai kematangan transformasi digital (digital maturity) dan cara mereka bertransformasi. Mereka mendapatkan 


bahwa perusahaan yang telah bertransformasi digital dengan 


baik, yang mereka istilahkan Future Ready companies, 


menghasilkan keuntungan 16% lebih tinggi dibandingkan 


keuntungan rata-rata perusahaan di industri yang sama. Jadi jika 


rata-rata perusahaan di industri perbankan misalkan adalah 10%, 


maka bank yang telah bertransformasi digital dengan baik akan 


menghasilkan keuntungan 26%. 

Kuadran satu adalah perusahaan yang belum melakukan 


transformasi digital, cara operasi mereka masih tersekat-sekat 


dan kompleks, dan pendekatan terhadap pelanggan adalah product-driven. Jumlah perusahaan dalam kuadran pertama ini 


adalah 51%. MITCSR menamakan perusahaan dalam kelompok 


ini sebagai Silos and Complexity. Perusahaan dalam kuadran ini 


menghasilkan keuntungan lebih sedikit (minus) 5,1% 


dibandingkan dengan rata-rata perusahaan sejenisnya.


Kuadran empat adalah perusahaan yang telah 


bertransformasi digital dengan baik, mereka dapat menjadi 


inovatif dan berbiaya rendah, lincah, dan membuat pengalaman 


pelanggan yang luar biasa. Jumlah perusahaan dalam kuadran 


empat ini adalah 23%. MITCSR menamakan perusahaan dalam 


kelompok ini sebagai Future Ready. Perusahaan dalam kuadran 


ini menghasilkan keuntungan lebih tinggi (plus) 16% dibandingkan 


dengan rata-rata perusahaan sejenisnya.


Kuadran dua adalah perusahaan yang sedang 


bertransformasi digital dalam operasinya, mereka telah 


melakukan upaya agar produk dan jasanya mudah dioperasikan 


dan telah mengelola data dengan baik, namun belum melakukan 


pengelolaan pengalaman pelanggan secara digital. Jumlah 


perusahaan dalam kuadran kedua ini adalah 11%. MITCSR 


menamakan perusahaan dalam kelompok ini sebagai 


Industrialized. Perusahaan dalam kuadran ini menghasilkan 


keuntungan lebih tinggi (plus) 4,6% dibandingkan dengan rata￾rata perusahaan sejenisnya. Hal ini disebabkan karena efisiensi 


operasional karena digitisasi akan menghemat biaya, yang akan 


menambah keuntungan, walaupun tidak sebaik jika perusahaan 


telah masuk ke kuadran empat atau Future Ready

Kuadran tiga adalah perusahaan yang telah 


bertransformasi digital dalam pengelolaan pengalaman 


pelanggan, aplikasi digital mereka dapat membuat pelanggan 


senang, namun di belakang itu semua operasinya masih 


kompleks. Jumlah perusahaan dalam kuadran tiga ini adalah 


19%. MITCSR menamakan perusahaan dalam kelompok ini 


sebagai Integrated Experience. Perusahaan dalam kuadran ini 


menghasilkan keuntungan lebih sedikit (minus) 3,6%

dibandingkan dengan rata-rata perusahaan sejenisnya. Hal ini 


disebabkan karena untuk dapat memenuhi pengelolaan 


pelanggan secara digital tanpa membenahi efisiensi operasional 


malah akan menambah biaya, yang akan mengurangi 


keuntungan.


Dari riset MITCSR tersebut, jelaslah bahwa kinerja 


perusahaan terbaik akan dicapai jika telah Future Ready, dan 


terburuk jika masih Silos and Spaghetti (atau Silos and 


Complexity) di kuadran 1. Dan masih banyak perusahaan (51%) 


yang masih di kuadran 1 tersebut.

Bagaimana strategi yang bisa diambil oleh perusahaan di 


kuadran 1 untuk berpindah ke kuadran 4? Berdasarkan riset 


MITCSR terhadap ratusan perusahaan tersebut, kita ambil contoh 


dari beberapa bank yang mengambil strategi yang berbeda dalam 


menuju kuadran 4.

Ada beberapa jalur strategi yang dapat diambil oleh bank 


yang bertransformasi digital, yaitu:


Jalur 1: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) melalui 


kuadran Industrialized (kuadran 2), yaitu memprioritaskan 


pembenahan efisiensi operasional lebih dulu, kemudian baru 


meningkatkan pengalaman pelanggan. Contoh bank yang 


menerapkan strategi ini adalah DBS Bank Singapore.


Jalur 2: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) melalui 


kuadran Integrated Experience (kuadran 3), yaitu 


memprioritaskan pembenahan pengalaman pelanggan lebih dulu, 


kemudian baru meningkatkan efisiensi operasional. Contoh bank 


yang mengambil Jalur ini adalah mBank S.A. Polandia Jalur 3: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) melalui 


pendekatan bertahap, yaitu melakukan perbaikan sebagian 


pengalaman pelanggan lebih dulu, kemudian meningkatkan 


efisiensi operasional yang mendukungnya, kemudian kembali 


melakukan perbaikan sebagian lagi pengalaman pelanggan, 


diikuti perbaikan efisiensi operasional lagi, dan seterusnya. 


Contoh bank yang melakukan Jalur ini adalah BBVA S.A. (Banco 


Bilbao Vizcaya Argentaria Sociedad Anonima) Spanyol.


Jalur 4: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) dengan 


jalan meloncat, yaitu membuat divisi/anak perusahaan yang baru 


yang dari awal menerapkan digitalisasi dan digitisasi. Contoh 


bank yang mengambil Jalur ini adalah ING Direk Belanda, atau 


Bank BTPN Indonesia.Jalur 3: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) melalui 


pendekatan bertahap, yaitu melakukan perbaikan sebagian 


pengalaman pelanggan lebih dulu, kemudian meningkatkan 


efisiensi operasional yang mendukungnya, kemudian kembali 


melakukan perbaikan sebagian lagi pengalaman pelanggan, 


diikuti perbaikan efisiensi operasional lagi, dan seterusnya. 


Contoh bank yang melakukan Jalur ini adalah BBVA S.A. (Banco 


Bilbao Vizcaya Argentaria Sociedad Anonima) Spanyol.


Jalur 4: menuju kuadran Future Ready (kuadran 4) dengan 


jalan meloncat, yaitu membuat divisi/anak perusahaan yang baru 


yang dari awal menerapkan digitalisasi dan digitisasi. Contoh 


bank yang mengambil Jalur ini adalah ING Direk Belanda, atau 


Bank BTPN Indonesia.

KEUNTUNGAN DAN KEKURANGAN JALUR 1


Keuntungan Jalur 1, yaitu membereskan efisiensi operasional 


dulu adalah; 


1. Bertransformasi digital melalui pendekatan yang 


mendasar yaitu kesiapan sistem, yaitu mempersiapkan 


Core Banking System (CBS) yang mampu menjadi 


platform yang menyatukan semua data sehingga 


memfasilitasi omnichannel, dapat memfasilitasi API 


(Application Programming Interface) dengan fleksibel, 


memungkinkan akses data yang cepat untuk Big Data 


Analytics dan Artificial Intelligence, cloud based untuk 


intercloud communication, dan tentunya sistem keamanan 


yang mumpuni.


2. Dengan sistem operasi yang sudah didigitisasi penuh, 


maka data dapat digunakan oleh semua divisi tanpa ada 


duplikasi database, tanpa duplikasi pembaruan data, 


kualitas data yang baik, yang meningkatkan efisiensi 


pengolahan data dan efektifitas penggunaan data yang 


bisa digunakan untuk melakukan penawaran produk yang 


tepat misalkan.


3. Sistem yang sudah digitisasi penuh akan memungkinkan 


banyak proses yang memakan biaya tidak diperlukan lagi 


(misalkan transaksi melalui teller atau ATM), sehingga 


banyak biaya dapat dihilangkan.


4. Struktur operasional juga menjadi sederhana karena 


melalui sistem digital. Bayangkan kerumitan pengelolaan 


kantor cabang yang membutuhkan staf kantor cabang, 


kepala cabang, area manager, regional manager, dan 


sebagainya, kini tidak diperlukan lagi dengan proses 


digital.

Kekurangan Jalur 1 adalah; 


1. Melakukan transformasi sistem menjadi digital penuh 


memerlukan investasi yang cukup besar dan tidak mudah. 


Diperlukan tim IT yang kompeten yang dapat mendesain 


dan melaksanakan perubahan sistem secara 


komprehensif. Di satu sisi sistem diperbarui dari yang 


paling mendasar, namun di sisi lain bisnis sehari-hari juga 


perlu tetap dilayani.


2. Untuk dapat mencapai sistem yang benar-benar siap, 


diperlukan waktu yang cukup lama, karena semua harus 


dilakukan secara bertahap. Bank DBS memerlukan waktu 


5 tahun (2009-2014) untuk dapat mengatakan sistemnya 


sudah siap, dan masih terus upgrade berkelanjutan. 


Dengan kemajuan hardware maupun software saat ini, kita 


bisa memperkirakan total upgrade sistem IT ini bisa 


memerlukan waktu dari 18 bulan untuk bank kecil (bank 


buku 1) sampai dengan 3 tahun untuk bank besar (bank 


buku 4)


3. Risiko yang besar. Total upgrade berarti juga mengganti 


Core Banking System (CBS) dengan teknologi dan 


arsitektur terbaru, yang idealnya cloud native. Namun 


migrasi CBS dari sistem lama ke sistem baru merupakan 


proses yang sangat berisiko, apalagi CBS bank besar 


yang datanya sudah berbelit. Oleh karena itu bank besar 


umumnya mengambil jalan yang lebih aman yaitu 


menambahkan middleware yang bisa menjembatani CBS 


dengan sistem lama ke kebutuhan digital dengan sistem 


baru.

DBS Bank Singapore adalah salah satu bank yang 


menerapkan Jalur 1 ini. Di dalam presentasi David Gledhill, yaitu


CIO DBS Bank Singapore, terlihat bahwa fase pertama yang 


dilakukan dalam transformasi digital DBS Bank Singapore adalah 


memperbaiki sistem dasarnya, menjadi “digital to the core”. “Core” 


di sini bisa berarti ganda, yaitu “core” dalam arti Core Banking 


System (CBS), dan juga bisa berarti “core mindset” dalam setiap 


orang di DBS Bank. 


DBS melakukan pembenahan sistem dasar selama 5 


tahun, dimulai tahun 2009. Dalam masa tersebut DBS benar￾benar mentransformasikan core systemnya menjadi mencontoh 


pada perusahaan teknologi terunggul, karena itu pada fase 


tersebut DBS mencanangkan visi GANDALF (Google, Amazon, 


Netflix, DBS, Apple, LinkedIn, Facebook).


DBS menegaskan bahwa visinya adalah mensejajarkan 


dirinya dengan perusahaan teknologi, bukan dengan bank lain. 


DBS mentargetkan untuk sebisanya seluruh sistem yang 


dibangunnya adalah cloud native, meningkatkan 10 kali 


kecepatan menghasilkan produk, membangun API yang siap 


disambungkan dengan ekosistem, dan customer-centric data 


analytics. 


Fase selanjutnya sesudah membenahi core adalah DBS 


mentransformasi customer experience dengan customer 


proposition “Live More, Bank Less”, dan kemudian DBS 


memvisikan fase ketiga yaitu mengubah model bisnisnya dengan 


mencari inovasi sebanyak-banyaknya dari dengan berpikir cara 


start-up. (Gledhill, 2018)


Saat ini DBS Bank Singapore sudah pada kuadran Future 


Ready, dan dinobatkan menjadi World’s Best Digital Bank 2018


oleh majalah Euromoney 

KEUNTUNGAN DAN KEKURANGAN JALUR 2


Keuntungan Jalur 2, yaitu meningkatkan pengalaman pelanggan 


dulu adalah; 


1. Kepuasan pelanggan dapat ditingkatkan dengan 


pendekatan digital, sehingga dapat mempertahankan 


bahkan meningkatkan pangsa pasar.


2. Dampak dari kepuasan pelanggan yang meningkat adalah 


peningkatan revenue.


3. Relatif jauh lebih cepat dapat dilakukan daripada Jalur 1 


yang harus membangun dari sistem dasar. Bahkan untuk 


makin mempercepat, banyak aplikasi digital yang bisa 


dibeli yang tinggal disesuaikan sedikit langsung bisa 


dipakai.


Kekurangan dari Jalur 2 yaitu:


1. Internal proses makin berat, karena sistem dasar untuk 


beroperasinya back office masih menggunakan sistem 


konvensional, yang harus mengakomodasi pelanggan 


yang sudah menggunakan antarmuka (interface) digital.

2. Banyak yang akhirnya menambah layanan digital di atas 


layanan konvensional, sehingga akhirnya biayanya pun 


bertambah bukan berkurang. Misalkan kantor cabang 


tetap mempunyai staf layanan konvensional, ditambah lagi 


staf yang melayani pelanggan dengan menggunakan alat 


digital.


3. Ketika beban melayani pelanggan dengan antarmuka 


digital yang prosesnya masih konvensional meningkat, 


suatu saat sistem akan break-down juga karena tidak 


mampu mengakomodasinya lagi.


Salah satu bank yang mengikuti pendekatan ini adalah 


mBank S.A., berkantor pusat di Warsawa, Polandia. Di tahun 


2000-an mBank menyadari bahwa pengalaman pelanggan 


perbankan di Polandia kurang menyenangkan. mBank kemudian 


memulai serangkaian perubahan, termasuk membuka call-center


24 jam, menawarkan layanan online, dan menambahkan banyak 


produknya. Bahkan mBank membuat light branch yaitu cabang di 


pusat perbelanjaan dengan layanan digital, namun juga dilayani 


pegawai secara tatap muka. Kepuasan pelanggan meningkat 


dengan cepat dan pangsa pasar mBank juga meningkat pesat. 


mBank juga menerima berbagai penghargaan atas keberhasilan 


memuaskan pelanggan


Namun kemudian mBank menyimpulkan bahwa sistem 


perusahaan sudah tidak sanggup lagi mendukung peningkatan 


pengalaman pelanggan lebih jauh lagi, karena telah mencapai 


batasnya. Jika sistem yang lama dipaksakan untuk memberikan 


fleksibilitas dan pengalaman yang diinginkan pelanggan, hasilnya 


malah akan memperburuk situasi. Akhirnya mBank harus 


memperbaik platform digitalnya dari dasar. 14 bulan kemudian, 


mBank dengan platform barunya menawarkan pelanggannya

berbagai fitur baru, termasuk persetujuan pinjaman 30 detik, 


pembayaran mobile, video-chatting customer service, integrasi 


dengan Facebook, layanan transfer dan penarikan ATM tanpa 


kartu. Selama mBank belum memperbaiki platformnya, 


keuntungannya menurun walaupun jumlah pelanggannya 


meningkat (di tahun 2015)

KEUNTUNGAN DAN KEKURANGAN JALUR 3


Keuntungan Jalur 3, yaitu secara berjenjang meningkatkan 


pengalaman pelanggan kemudian memperbaiki sistem dan 


kembali lagi meningkatkan pengalaman pelanggan, adalah; 


1. Pendekatan yang ideal dari segi bisnis, karena 


mengamankan kepuasan pelanggan dulu, dan segera 


mendukungnya dengan sistem yang dibutuhkan secara 


cepat.


2. Sambil terus memperbaiki pengalaman pelanggan sambil 


terus perbaikan sistem.


3. Resiko erosi keuntungan maupu risiko kehilangan pangsa 


pasar lebih sedikit dibandingkan Jalur 1 dan Jalur 2.


Kekurangan dari Jalur 3 yaitu:


1. Hanya dapat dilakukan jika bank mempunyai sedikit 


produk unggulan yang menjadi sumber penghasilan 


terbesar. 


2. Tidak mudah untuk tim internal untuk beralih fokus dari 


pengalaman pelanggan ke perbaikan sistem dan balik lagi 


ke pengalaman pelanggan dengan cepat (3-6 bulan).

3. Perlu koordinasi yang sangat tinggi agar tim internal tidak 


bingung dan hal ini juga bisa menimbulkan stres yang 


tinggi.


Contoh bank yang menerapkan Jalur 3 adalah Banco 


Bilbao Vizcaya Argentaria Sociedad Anonima (BBVA), berbasis di 


Bilbao, Spanyol. BBVA mulai membangun aplikasi digitalnya pada 


2015 yang menawarkan on-boarding kurang dari lima menit bagi 


pelanggan baru.


Aplikasi ini juga memungkinkan pembelian swalayan yang 


mudah dan otomatis. untuk pinjaman konsumen dan dana 


investasi yang merupakan produk unggulan BBVA Perubahan 


yang terjadi disambut dengan baik oleh nasabah bank; Di tahun 


2017, pelanggan berinteraksi dengan bank rata-rata 150 kali per 


tahun melalui handphone mereka, melebih kunjungan pada 


cabang di tahun yang sama.

BBVA secara bertahap meninggalkan legacy proses bisnis 


yang telah dibangun dari waktu ke waktu dari berbagai sistem dan 


versi data, menggantikannya dengan platform digital global yang 


kapasitasnya dapat ditingkatkan dengan mudah. Saat ini, BBVA 


menawarkan pengalaman pelanggan digital melalui core-banking 


platform yang andal, memungkinkan pengembangan baru yang 


menggabungkan open-API dan kemampuan lain. Dengan 


menggunakan API, BBVA dapat mengambil data dari berbagai 


sumber sebagai bahan untuk melengkapi platform BBVA Valora 


yang memberikan informasi yang lengkap tentang properti yang 


ingin dimiliki oleh calon pembeli. 


Di platform BBVA Valora calon pembeli dapat melihat 


berbagai informasi tentang lingkungan properti yang diincarnya, 


antara lain fasilitas yang tersedia, demografi penduduk sekitarnya, 


tingkat kepadatan, dan sebagainya. Juga dapat dilihat perkiraan nilai wajar dari properti. Semua itu diperolehnya dari data pihak 


ketiga yang dihubungkan dengan platform BBVA Valora 


menggunakan API tersebut (padanan di Indonesia; antara lain 


dapat menarik data Nilai Jual Obyek Pajak dari kantor pajak 


Pemerintah Daerah, menarik data status properti dari Badan 


Pertanahan Nasional, dan sebagainya). Dengan demikian BBVA 


dapat memancing calon pembeli untuk menggunakan platform 


tersebut, yang juga menyediakan simulasi kredit yang ditawarkan 


oleh BBVA agar dapat disesuaikan dengan kemampuan 


keuangan dari calon pembeli.

Dengan semua upaya tersebut, BBVA berhasil menaikkan 


penjualannya melalui pendekatan digital, sehingga semakin tahun 


penjualan melalui digital channel makin besar persentasenya 


dalam penjualan keseluruhan.

Seiring dengan waktu, BBVA berhasil mengurangi rasio 


biaya operasional dibandingkan pendapatan, yang diperoleh dari 


efisiensi operasional secara digital.

KEUNTUNGAN DAN KEKURANGAN JALUR 4


Keuntungan Jalur 4, yaitu membuat divisi atau anak perusahaan 


baru yang dirancang digital sejak awal, adalah; 


1. Pendekatan yang paling tidak ribet, karena tidak perlu 


merubah dari yang konvensional, tetapi membuat yang 


baru. Jadi beban legacy sistem yang lama maupun 


karyawan yang pola pikirnya konvensional tidak ada di 


sini. Sistem dibangun dari baru, karyawan direkrut yang 


baru ataupun dari karyawan lama tapi yang sudah pola 


pikir digital, kantor dirancang baru, dan sebagainya.


2. Cepat terlihat hasilnya.


3. Investasi awal yang dibutuhkan tidak sebesar jika 


mentransformasikan perusahaan induk.


Kekurangan dari Jalur 4 yaitu:


1. Sesudah berkembang, makin sulit diintegrasikan ke dalam 


perusahaan induk, karena sistem yang beda, personel 


yang beda jenisnya, beda kultur, bahkan kemungkinan 


besar beda segmen pelanggannya. Perbedaan ini makin

lama biasanya makin besar, dan dapat menimbulkan 


konflik dengan perusahaan induk.


2. Karena sudah dibentuk divisi atau anak perusahaan baru 


yang digital ini, perusahaan induk merasa tugas 


transformasi digital sudah didelegasikan kepada divisi 


atau anak perusahaan baru tersebut, sehingga 


perusahaan induk makin lamban berubah.


3. Walaupun divisi atau anak perusahaan baru ini mendapat 


dukungan dana dari perusahaan induk, namun tetap sulit 


untuk bisa selincah perusahaan start-up, karena tidak 


punya figur founder yang bisa mengambil keputusan 


beresiko dan mencurahkan fokusnya sepenuh hati.


Contoh bank yang mengambil jalur strategi ini adalah Bank 


BTPN. BTPN membuat divisi baru yang menciptakan produk 


digital banking Jenius, yang diluncurkan tanggal 11 Agustus 2016. 


Jenius mendapat pujian dari berbagai pihak karena merupakan 


pionir digital banking di Indonesia. Divisi Jenius dipimpin oleh 


Peterjan van Niewehuijzen, seorang ekspatriat yang sebelumnya 


konsultan di McKinsey. Divisi ini menempati lantai tersendiri, dan 


merekrut orang-orang baru dengan ketrampilan digital, dan 


bahkan menciptakan website baru www.jenius.com yang terpisah 


dengan website BTPN www.btpn.com yang membuat kesan 


Jenius seakan perusahaan terpisah dengan BTPN. Jenius benar￾benar menerapkan pembukaan rekening tanpa harus 


mengunjungi kantor cabang, yang dilakukan adalah proses KYC 


(know your customer) dengan agen yang mengunjungi nasabah 


di tempat yang dikehendaki. Hal ini dilakukan karena pada saat 


Jenius diluncurkan, POJK no. 13/2018 yang membolehkan KYC 


elektronik (eKYC) melalui aplikasi belum terbit. Dalam waktu 2 


tahun, nasabah Jenius hampir mencapai 1 juta orang yang

mayoritas merupakan nasabah baru BTPN dengan profil yang 


beda dengan profil nasabah BTPN sebelumnya. Fitur-fitur dalam 


aplikasi digital banking Jenius terlihat sangat maju setara dengan 


fitur digital banking di negara-negara yang telah maju.


Beberapa bulan sebelum formalisasi akuisisi BTPN oleh 


Sumitomo Mitsubishi Bank Corporation (SMBC) pada Januari 


2019 dan sesudahnya, aktivitas Jenius kurang terlihat segencar 


sebelumnya. Akan sangat menarik untuk melihat bagaimana 


kelanjutan Jenius ini, akankah Jenius mampu terus menjadi role 


model bagi perusahaan induknya BTPN untuk bertransformasi 


digital?


Finansbank S.A. di Turki juga melakukan Jalur 4 ini. Di 


tahun 2010, beberapa tahun sesudah krisis keuangan tahun 2008, 


pemimpin Finansbank melihat kesempatan untuk pasar yang 


bertumbuh di segmen penghasilan menengah. Saat itu 


Finansbank sudah mempunyai online banking, sama seperti bank 


lainnya di Turki. Awalnya mereka mempertimbangkan untuk 


mengembangkan layanan digital banking sebagai pengembangan 


dari online banking yang telah mereka miliki. Namun, ada dua 


pertimbangan lain yang memberatkan; (1) reputasi pelayanan 


perbankan di Turki saat itu tidak baik, dianggap oleh masyarakat 


memberikan pelayanan buruk dengan biaya mahal, (2) Nama 


Finansbank kurang menarik di segmen penghasilan menengah. 


Jika digital banking mereka memakai nama Finansbank akan 


menimbulkan persepsi layanan lama dengan tampilan baru. 


Lagipula mereka melihat untuk membuat digital banking ini 


mereka memerlukan orang-orang yang bisa melakukan yang 


berbeda dengan cara-cara lama dalam pelayanan bank.


Oleh karena itu mereka memutuskan untuk membuat 


sebuah layanan bank yang baru total dan independen. Dengan 


demikian mereka bisa membuat suatu platform digital baru yang terlepas dari perspektif perbankan tradisional. Selain itu, mereka 


juga mempertimbangkan setiap saat mereka bisa menjual divisi 


tersebut sebagai aset independen. Atau jika ternyata gagal, 


lakukan write-off.


Mereka kemudian merekrut Elsa Pekmez Atan, seorang 


wanita yang sebelumnya konsultan di McKinsey untuk merintis ide 


digital banking tersebut. Atan bergabung dengan Finansbank 


pada bulan Mei 2010 untuk mulai mempersiapkan realisasi ide 


tersebut. Atan kemudian membentuk tim, mempersiapkan 


infrastruktur dan proses. Bulan Oktober 2012, diluncurkanlah 


digital banking tersebut yang dinamai Enpara.com sebagai 


layanan bank digital tanpa kantor cabang, yang pertama di Turki.


Saat itu peraturan di Turki juga masih mengharuskan 


tandatangan basah nasabah untuk pembukaan rekening bank. 


Karena tanpa kantor cabang, Enpara menggunakan tim untuk 


mengunjungi nasabah yang membuka rekening di alamat 


nasabah untuk proses KYC yang diperlukan tersebut. Enpara 


menawarkan suku bunga deposit yang lebih tinggi, dan biaya 


administrasi dan transaksi yang rendah, serta pelayanan 


pelanggan online yang ramah dan responsif.


Di bulan pertama Enpara mendapatkan 20.000 nasabah, 


dan di akhir tahun pertama total nasabah yang masuk mencapai 


110.000, melebihi target awalnya yaitu 100.000. Deposit yang 


diperoleh sebesar USD. 1,5 milyar. Di tahun 2014, Enpara 


menawarkan pinjaman konsumen secara online, pertama di Turki. 


Enpara mulai membukukan keuntungan setelah tiga tahun 


beroperasi, namun dengan catatan bahwa banyak biaya sistem IT 


nya masih menumpang di induk perusahaannya.


Di tahun 2015, Finansbank diakuisisi oleh Qatar National 


Bank (QNB), dan berubah nama menjadi QNB Finansbank. 


Dengan pemegang saham baru, semua aktivitas Enpara dievaluasi kembali. Di tahun 2016, Enpara tidak lagi mendapat 


perlakuan khusus, dan diharuskan untuk menurunkan biaya untuk 


menghasilkan keuntungan, sehingga Enpara harus menurunkan 


suku bunga depositnya yang sejak awal ditawarkan lebih tinggi 


kepada konsumen. Selain itu, di tahun 2017 Enpara dihadapkan 


kepada 2 pilihan lain, yaitu dipisahkan dari Finansbank menjadi 


perusahan independen, atau dilebur ke dalam induk 


perusahaannya untuk menghindari duplikasi. Untuk dilebur ke 


dalam induk perusahaannya, setidaknya Enpara menghadapi 2 


masalah:


1. Visi Enpara yang mementingkan jangka panjang berbeda 


dengan visi induknya –Finansbank- yang mementingkan 


kinerja 3-5 tahun ke depan.


2. Budaya sumber daya manusia di perusahaan induknya 


yang sangat berbeda dalam cara berpikir customer 


oriented, yang sangat sulit untuk dirubah.


Sampai saat ini (Juni 2021), hal tersebut belum diputuskan, dan 


Enpara masih menjadi divisi yang terpisah dengan Finansbank.


BANK DIGITAL MURNI


Saat ini ada beberapa bank yang telah mengajukan ijin menjadi 


bank digital, antara lain adalah: Bank BCA Digital, BRI Agroniaga 


Tbk, Bank Neo Commerce Tbk, Bank Capital Tbk, Bank Harda 


Internasional, Bank QNB Indonesia, dan Bank KEB Hana. 


Beberapa bank buku kecil diakuisisi oleh bank buku besar, untuk 


dijadikan bank digital murni. Bank-bank ini adalah sesungguhnya 


produk dari Jalur strategi keempat dengan pemisahan penuh 


secara legal menjadi perusahaan tersendiri bukan hanya divisi 


dari suatu bank. Pendekatan ini tentunya lebih baik lagi, karena para pegawai perusahaan induk tidak dapat lagi mempersoalkan 


tentang perbedaan perlakuan serta perbedaan fitur produk seperti 


yang terjadi pada Finansbank dengan Enpara.com nya, antara 


lain tentang perbedaan suku bunga yang ditawarkan oleh 


Enpara.com yang dianggap lebih menarik dibandingkan yang 


ditawarkan oleh Finansbank sehingga terjadi perpindahan 


konsumen dari Finansbank ke Enpara.com. Visi, misi, strategi, 


nilai-nilai, budaya, target pasar, dan lainnya bisa dengan bebas 


berbeda dengan perusahaan induknya. Namun ini tetap 


menyisakan pertanyaan; jadi masa depan perusahaan (bank) 


induknya akan ke mana? Akankah dibiarkan menjemput umurnya


sesuai dengan siklus hidup?


MENENTUKAN JALUR MANA YANG PALING COCOK


Setiap bank mempunyai kondisi yang berbeda, dan menghadapi 


situasi yang berbeda dengan bank lainnya. Oleh karenanya, 


setiap bank perlu melakukan asesmen, mana dari keempat Jalur


bertransformasi digital ini yang paling cocok. Sebagai panduan 


dasar untuk memilih Jalur mana yang cocok, dapat dilakukan 


langkah sebagai berikut:


1. Tentukan bank Anda ada di kuadran mana.


2. Jika bank Anda di kuadran 1, dan saat ini pelanggan Anda 


merasa cukup puas (masih pada rata-rata industri, dan 


pangsa pasar tidak turun), maka Anda masih punya waktu 


memilih Jalur 1 yaitu memperbaiki efisiensi operasional 


dulu, karena ini merupakan jalan yang paling baik jika 


memungkinkan. 


3. Jika bank Anda di kuadran 1, dan saat ini pelanggan Anda 


merasa tidak puas serta pangsa pasar terancam, maka Anda dapat memilih Jalur 1 yaitu memperbaiki 


pengalaman pelanggan dulu, walaupun harus 


mengeluarkan biaya yang lebih besar yang menggerus 


keuntungan bank Anda. Secepatnya begitu kepuasan 


pelanggan meningkat, bereskan efisiensi operasional.


4. Jika bank Anda di kuadran 1, dan saat ini pelanggan Anda 


merasa tidak puas serta pangsa pasar terancam, maka 


Anda dapat memilih Jalur 3 yaitu pendekatan anak tangga, 


jika portfolio bank Anda menunjukkan beberapa produk 


unggulan yang menjadi sumber penghasilan utama bank 


Anda yang bisa didigitalisasi lebih dulu. 


5. Jika bank Anda di kuadran 1, dan evaluasi menunjukkan 


sulit untuk mentransformasikan sumberdaya manusia 


secara keseluruhan sehingga dikuatirkan proses 


transformasi akan sangat lama, Anda dapat memilih Jalur


4 yaitu membuat divisi atau anak perusahaan baru yang 


langsung digital.


6. Jika saat ini bank Anda sudah di kuadran 2, kembali Anda 


harus waspada jika pelangan Anda mulai tidak sabar 


ataupun pangsa pasar menurun, segera siapkan untuk 


memperbaiki pengalaman pelanggan. Jika tidak, maka 


ketika operasi bank Anda sudah baik, pelanggan Anda 


sudah sangat menurun dan Anda harus mengeluarkan 


biaya mahal untuk akuisisi ulang pelanggan.


7. Jika saat ini bank Anda di kuadran 3, sesudah kepuasan 


pelanggan membaik atau pangsa pasar terlihat 


meningkat, segera perbaiki efisiensi operasi. Jika tidak, 


keuntungan bank Anda akan terus menurun, dan pada titik 


tertentu tim operasi Anda tidak sanggup lagi memenuhi 


permintaan pelanggan disebabkan oleh kelambatan atau 


kesalahan yang disebabkan oleh operasi konvensional 


FAKTOR-FAKTOR UTAMA DALAM SEMUA JALUR 


STRATEGI


Berdasarkan riset oleh MIT CISR 2015 CIO Digital 


Disruption Survey (2015) ada tiga faktor utama yang perlu dicapai baik di Jalur 1, Jalur 2, Jalur 3, atau Jalur 4, yang menentukan 


keberhasilan transformasi digital. Ketiga faktor tersebut adalah:


1. Mempunyai dasar landasan pelayanan yang terhubung 


(Connected Platform of Services) secara digital yang 


menyeluruh, untuk itu hal penting yang perlu dilakukan 


adalah:


a) Bangun dan gunakan platform digital untuk 


dijadikan dasar


b) Hubungkan sebanyak mungkin aset (data dan 


proses) dalam platform tersebut


c) Kembangkan pelayanan yang membuat 


perusahaan Anda unggul


2. Mempunyai pola pikir berfokus pada “Digital First” 


mengandalkan Connected Platform of Services, untuk itu 


hal penting yang perlu dilakukan adalah:


a) Seluruh eksekutif berkomitmen untuk digitalisasi


b) CIO fokus untuk mendukung inovasi secara digital


c) Organisasi mempertajam kemahiran dua sisi; 


inovasi dan efisiensi


3. Menjalankan koordinasi digital dengan pola pikir Digital 


First sebagai pusatnya, dan dilandaskan pada Connected 


Platform of Services, untuk itu hal penting yang perlu 


dilakukan adalah:


a) Mengkoordinasikan pencapaian tujuan bisnis 


secara digital


b) Menumbuhkan hubungan dengan pelanggan dan 


memperbesar suara pelanggan menggunakan 


cara digital


c) Mempercepat pengulangan proses pembelajaran MENGAWAL INVESTASI DALAM TRANSFORMASI DIGITAL


Salah satu hal utama yang perlu dikawal dalam 


melaksanakan transformasi digital adalah bagaimana agar 


investasi yang ditanamkan akan memberi hasil yang terbaik.


Mengingat bahwa transformasi digital merupakan hal baru yang 


akan dilaksanakan yang berbeda dengan cara konvensional yang 


dijalankan sebelumnya, maka wajar bahwa ada risiko yang lebih 


besar yang disebabkan kurangnya pengalaman dalam kebaruan 


tersebut. Risiko ini tidak bisa dihindari dan perlu diambil, namun 


di sisi lain tetap harus diusahakan risiko ini sekecil mungkin 


dengan prinsip-prinsip pelaksanaan yang baik. Riset World Economic Forum / Accenture Analysis


memberi pedoman agar mendapatkan pengembalian investasi 


terbaik, transformasi digital perlu menjalankan empat prinsip 


dalam pelaksanannya, yaitu:


1. Tentukan kepemilikan yang jelas dari investasi digital, 


pemilik tersebut yang harus bertanggungjawab atas hasil 


dari investasi tersebut. Misalkan pemilik investasi untuk 


platform sebagai infrastruktur digital harusnya adalah 


CEO, yang harus bertanggungjawab atas penggunaan 


platform tersebut oleh keseluruhan organisasi yang pada 


ujungnya harus meningkatkan inovasi dan mengirit biaya. 


Pemilik investasi digital pada program aplikasi di atas 


platform dapat dari manajer bisnis yang harus memberikan 


hasil peningkatan revenue dan pangsa pasar, atau dari 


manajer operasional yang harus memberikan hasil 


pengiritan biaya operasional. Ini untuk menghindarkan 


investasi yang tak bertuan sehingga tidak ada yang 


berjuang untuk hasilnya.


2. Investasi hanya untuk kasus yang jelas, bukan demi 


teknologi. Investasi yang dilakukan hendaklah bukan 


didasarkan kepada teknologi yang keren yang ternyata 


jarang digunakan, bagaikan membeli baju pesta. Investasi 


hendaknya pada teknologi yang terpakai bagaikan 


membeli baju yang diperlukan untuk bekerja, yang 


produktif.


3. Gunakan pendekatan berdasarkan hasil. Semua harus 


ada metrik ukuran keberhasilannya, walaupun tidak 


semua metrik harus berupa nilai keuntungan perusahaan 


dalam tempo singkat. Konsep metrik keberhasilan harus 


berdasarkan manfaat bagi pemangku kepentingan 


(stakeholders), bukan hanya bagi pemilik (