Rabu, 12 Februari 2025

Published Februari 12, 2025 by

hukum kontrak 7

 


i resolusi yang dapat diterima 

masing-masing pihak, (4) apakah mereka memiliki informasi yang 

diperlukan untuk melakukan negosiasi yang cerdas, dan (5) apakah 

mereka memiliki kemampuan personel untuk melakukan negosiasi 

secara efektif dengan pihak lain.

d) Menentukan aturan dasar

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan aturan dasar.

1) Peryataan pembuka mediator. Tujuannya yaitu 

(a) menjalin hubungan,

(b) mengukur tingkat mediabilitas,

(c) menjelaskan proses,

(d) mendiskusikan aturan dasar.

2) Keharusan, yaitu

(a) penyimpangan,

(b) kendala waktu,

(c) sukarela,

(d) kerahasiaan,

(e) peran mediator, dan

(f) prosedur. _

3) Membuat keputusan: atas dasar apa, atau menurut kriteria apa, 

keputusan harus dibuat/kemungkinan dasar-dasar pengambilan 

keputusan. Dasar-dasar pengambilan yaitu  berdasar :

(a) hukum dan prinsip dasar,

(b) keadilan,

(c) kebutuhan dan kepentingan,

(d) hubungan,

(e) kesepakatan sebelumnya,

(f) kriteria personel, dan

(g) realitas praktis dan ekonomis.

2) Pengembangan isu

a) Pernyataan pembukaan para pihak, yaitu

(1) mengumpulkan informasi,

(2) menentukan kepentingan,

(3) menentukan isu,

(4) meyakinkan pihak lain dengan menyajikan informasi, dan

(5) transisi dari komunikasi dengan mediator sampai komunikasi langsung 

antarpihak.

b) Menyusun agenda: agenda memungkinkan mediator melangkah ke depan.

3) Pembahasan konflik

a) Dapat merupakan tahapan yang paling sulit.

b) bila  mediator menghindari tahapan ini dapat berakibat:

(1) kehilangan inti permasalahan,

(2) kehilangan kesempatan untuk mencapai solusi yang saling meng­

untungkan,

(3) telaah ’’pola”,

(4) menjajaki isu dan mengumpulkan data,

(5) mulai mengatasi isu seringkah lebih produktif dibandingkan  mulai dengan 

pembelaan. Dalam membahas isu, kita sering memecahkan 

masalahnya,

(6) memberi fasilitas untuk melakukan komunikasi negosiasi.

c) Pertanyaan terbuka.

d) Pernyataan ulang terhadap pesan dan memberi  pengakuan terhadap 

pesan.

e) Mencari informasi mengenai isu dan kepentingan.

f) Bahasa yang netral.

g) Mencatat komentar konsiliator.

h) Rangkuman.

4) Penyelesaian konflik (mencari solusi)

a) Meninjau ulang kepentingan.

b) Menentukan pilihan.

c) Mengevaluasi pilihan-pilihan.

d) Memilih dan memodifikasi pilihan.

e) Solusi yang kreatif.

5) Penutup

a) Membuat draf perjanjian tertulis.

b) Tinjauan ulang terhadap masalah teknis (hukum).

c) Penjelasan pembeli.

bila  diperhatikan proses ini , tampaklah bahwa proses itu sangat 

panjang, sehingga memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian suatu masalah . 

Namun, bila  kita meringkasnya maka proses ini  sangat singkat. Prosesnya 

cukup pengembangan isue, pembahasan sengketa, penyelesaian konflik, dan 

kesimpulan.

H. MINI-TRIAL

Persidangan/pemeriksaan mini merupakan suatu negosiasi terstruktur yang 

biasanya berbentuk suatu pertukaran informasi yang tidak mengikat. Hal ini 

dilakukan di hadapan suatu panel yang terdiri dari para pihak dan kadang- 

kadang seorang penasihat netral yang melaksanakan berbagai fungsi. sesudah  

persidangan mini, para wakil pihak-pihak dapat bertanya kepada penasihat netral 

mengenai suatu pendapat seperti pada hasil persidangan pada umumnya. Bilamana 

masalah  tidak terselesaikan, para pihak bebas untuk memulai lagi dengan proses 

penyelesaian sengketa yang lain, termasuk litigasi. Biasanya disepakati bahwa 

keseluruhan proses akan dilakukan secara konfidensial.

I. SUMMARY JURY TRIAL

Summary jury trial yaitu  suatu persidangan jury secara summir yang 

terdiri dari presentasi singkat para pengacara tentang suatu masalah  perdata. Hal 

itu dilakukan kepada para juri (dipilih dengan memakai  cara yang sama 

sebagaimana diperlakukan dalam persidangan formal), yang dimohon untuk 

memberi  keputusan yang tidak mengikat (advisory). Ini merupakan kombinasi 

dari argumentasi pembukaan dan penutupan dengan suatu ulasan tentang pem­

buktian persidangan yang diharapkan.

Prosedur ini yang secara khas berlangsung satu hari, dirancang untuk per­

sidangan perkara perdata yang kompleks yang dapat berlangsung selama seminggu 

bahkan sebulan. Wakil para pihak dengan kewenangan untuk menyelesakan 

masalah  biasanya diminta untuk menghadiri persidangan itu. sesudah  putusan yang 

tidak mengikat itu dinyatakan, para pihak dan penasihat diberikan kesempatan 

untuk menanyai juri mengenai keputusan mereka. Negosiasi-negosiasi penyelesaian 

diharapkan berlangsung sesudah  itu.

J. NEUTRAL EXPERT FACT-FINDING

Neutral expert fact-finding yaitu  penunjukan seorang ahli yang netral 

oleh para pihak untuk membuat penemuan fakta-fakta yang mengikat ataupun 

tidak, atau bahkan membuat pengarahan materi ini  secara mengikat. 

Penunjukan ini dilakukan sebelum memulai litigasi.

Bilamana suatu sengketa sudah benar-benar dalam litigasi, ahli yang netral 

yang ditunjuk oleh pengadilan ataupun oleh pihak-pihak dapat mengarahkan para

pihak untuk melakukan reevaluasi estimasi apa kiranya yang akan mereka peroleh 

dan dalam menjembatani/memperpendek perbedaan-perbedaan di antara mereka.

K. EARLY NEUTRAL EVALUATION

Program ini bertujuan untuk mengurangi biaya-biaya serta hambatan-hambatan 

dalam melakukan proses litigasi. Di dalam program ini, seorang praktisi hukum 

yang handal, netral, berpengalaman, membantu para pihak dan penasihat, sebelum 

pemeriksaan pendahuluan, menganalisis isu-isu kritis yang dipertengkarkan, 

kebutuhan mereka dalam pemeriksaan pendahuluan, kekuatan dan kelemahan 

relatif mereka, nilai keseluruhan dari masalah  ini . Sang penilai secara jujur 

memberi  penilaian terhadap hal-hal itu dan membantu pihak yang bersengketa 

menyusun sendiri suatu rencana untuk berbagai informasi dan atau memimpin 

pemeriksaan pendahuluan yang bertujuan mengarahkan negosiasi yang serius 

sesegera mungkin.



BAB f! ERAKHIRNYA KONTRAK

A. CARA BERAKHIRNYA KONTRAK

Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya sebuah kontrak yang 

dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang sesuatu hal. 

Pihak kreditur yaitu  pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan 

debitur yaitu  pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Sesuatu hal 

di sini bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak, 

bisa jual beli, utang piutang, sewa-menyewa, dan lain-lain.

Di dalam Rancangan Undang-Undang Kontrak telah ditentukan tentang 

berakhirnya kontrak. Pengakhiran kontrak dalam rancangan itu diatur dalam 

Pasal 7.3.1 sampai dengan Pasal 7.3.5. Ada lima hal yang diatur dalam pasal 

ini , yaitu

1. hak untuk mengakhiri kontrak,

2. pemberitahuan pengakhiran,

3. ketidakpelaksanaan yang sudah diantisipasi,

4. jaminan yang memadai dari ketidakpelaksanaan ini , dan

5. pengaruh dari pengakhiran secara umum.

Hak untuk mengakhiri kontrak diatur dalam Pasal 7.3.1. yang berbunyi: 

’’Suatu pihak dapat mengakhiri kontrak ini  di mana kegagalan untuk 

melaksanakan suatu kewajiban sesuai dengan kontrak ini  mencapai pada 

tingkat ketidakpelaksanaan yang mendasar (Pasal 7.3.1 ayat (1)).”

Hal-hal yang harus dipertimbangkan untuk menentukan kegagalan dalam 

melaksanakan suatu kewajiban pada tingkat ketidakpelaksanaan yang mendasar, 

yaitu

1. ketidakpelaksanaan ini  pada prinsipnya telah menghilangkan hak dari 

pihak yang dirugikan untuk mengharapkan apa yang menjadi haknya sesuai 

dengan kontrak ini , kecuali pihak lainnya tidak menduga atau tidak 

dapat menduga atau tidak dapat menduga secara layak hasil semacam itu;

2. kesesuaian yang sangat ketat dengan kewajiban yang tidak dilaksanakan 

yaitu  penting sesuai dengan kontrak ini ;

3. ketidakpelaksanaan ini  telah dilakukan secara sengaja atau sebab  

kecerobohan;

4. ketidakpelaksanaan ini  memberi  kepada pihak yang dirugikan alasan 

untuk percaya bahwa pihak ini  tidak dapat menyandarkan diri pada 

pelaksanaan di masa yang akan datang dari pihak lainnya;

5. pihak yang tidak dapat melaksanakan ini  akan menderita kerugian 

yang tidak proporsional sebagai persiapan dari pelaksanaan bila  kontrak 

diakhiri (Pasal 7.3.1 Rancangan Undang-Undang Kontrak).

Setiap kontrak yang akan diakhiri oleh salah satu pihak maka ia harus 

memberitahukannya kepada pihak lainnya (Pasal 7.3.2 Rancangan Undang- 

Undang Kontrak).

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 

juga diatur secara rinci tentang berakhirnya perjanjian internasional. Ada delapan 

cara berakhirnya perjanjian internasional, yaitu

1. ada  kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam 

perjanjian;

2. tujuan perjanjian telah tercapai;

3. ada  perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;

4. salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;

5. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;

6. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;

7. objek perjanjian hilang;

8. ada  hal-hal yang merugikan kepentingan nasional (Pasal 18 Undang- 

Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).

Di samping kedelapan cara berakhirnya perjanjian internasional ini , di 

dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 ditentukan berakhirnya 

perjanjian sebelum jangka waktunya. Di dalam pasal itu disebutkan bahwa: 

’’Perjanjian internasional berakhir sebelum waktunya, berdasar  kesepakatan 

para pihak, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi 

bagian perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat berakhirnya 

perjanjian ini .” Pasal ini memberi  perlindungan kepada negara peminjam 

atau pihak swasta bahwa perjanjian yang berakhir sebelum waktunya tidak 

mempengaruhi dalam penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian 

perjanjian dan belum dilaksanakan.

Di samping itu, dalam KUH Perdata juga telah diatur tentang berakhirnya 

perikatan. Berakhirnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata. Cara 

berakhirnya perikatan dibagi menjadi sepuluh cara, yaitu (1) pembayaran, (2) 

konsignasi, (3) novasi (pembaruan utang), (4) kompensasi, (5) konfusio (per­

campuran utang), (6) pembebasan utang, (7) musnahnya barang terutang, (8) 

kebatalan atau pembatalan, (9) berlaku syarat batal, dan (10) daluwarsa (Pasal 

1381 KUH Perdata).

Kesepuluh cara berakhirnya perikatan ini  tidak disebutkan, mana 

perikatan yang berakhir sebab  perjanjian dan undang-undang. Sebab untuk 

mengklasifikasinya diperlukan sebuah pengkajian yang teliti dan saksama.

berdasar  hasil kajian terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang 

berakhirnya perikatan maka kesepuluh cara itu dapat digolongkan menjadi dua 

macam, yaitu berakhirnya perikatan sebab  perjanjian dan undang-undang. Yang 

termasuk berakhirnya perikatan sebab  undang-undang yaitu  (1) konsignasi, 

(2) musnahnya barang terutang, dan (3) daluwarsa. Sedangkan berakhirnya 

perikatan sebab  perjanjian dibagi menjadi tujuh macam, yaitu (1) pembayaran, 

(2) novasi (pembaruan utang), (3) kompensasi, (4) konfusio (percampuran 

utang), (5) pembebasan utang, (6) kebatalan atau pembatalan, dan (7) berlaku 

syarat batal.

Di samping ketujuh cara ini , dalam praktik dikenal pula cara berakhirnya 

kontrak, yaitu

1. jangka waktunya berakhir,

2. dilaksanakan objek perjanjian,

3. kesepakatan kedua belah pihak,

4. pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan

5. adanya putusan pengadilan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berakhirnya kontrak dapat 

digolongkan menjadi dua belas macam, yaitu

1. pembayaran,

2. novasi (pembaruan utang),

3. kompensasi,

4. konfusio (percampuran utang),

5. pembebasan utang,

6. kebatalan atau pembatalan,

7. berlaku syarat batal,

8. jangka waktu kontrak telah berakhir,

9. dilaksanakan objek perjanjian,

10. kesepakatan kedua belah pihak,

11. pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan

12. adanya putusan pengadilan.

Kedua belas cara ini , disajikan dalam subbab berikut ini.

«f

B. PEMBAYARAN

1. Pengertian Pembayaran

Berakhirnya kontrak sebab  pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam 

Pasal 1382 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata. Ada dua 

pengertian pembayaran, yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis. 

Pengertian pembayaran dalam arti sempit, yaitu  pelunasan utang oleh debitur

kepada kreditur. Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau 

barang. Namun, pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam 

bentuk uang atau barang,namun  juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter 

bedah, tukang cukur, atau guru privat.

2. Orang yang Berwenang dan Berhak untuk Melakukan Pembayaran

Orang yang dapat melakukan pembayaran utang, yaitu 

a. debitur yang berkepentingan langsung,

b. penjamin atau borgtocher,

c. orang ketiga yang bertindak atas nama debitur.

Orang yang berhak menerima pembayaran, yaitu

a. kreditur,

b. orang yang menerima kuasa dari kreditur,

c. orang yang telah ditunjuk oleh hakim, dan

d. orang-orang yang berhak menurut undang-undang (Pasal 1385 KUH Perdata). 

Pertanyaannya sekarang yaitu  bagaimanakah jika debitur melakukan

pembayaran kepada orang yang tidak berwenang? Pertanyaan ini dijawab oleh 

Pasal 1387 B W, yaitu (1) pembayaran dianggap tidak sah, (2) pembayaran 

dapat dibatalkan, dan (3) pembayaran bisa dianggap sah dan berharga jika 

debitur dapat membuktikan bahwa pembayaran terhadap yang tak berwenang 

tadi benar-benar telah menolong dan membawa manfaat bagi kreditur.

3. Objek Pembayaran

Objek pembayaran ditentukan dalam Pasal 1389 s.d. Pasal 1391 KUH 

Perdata. Pasal 1389 KUH Perdata berbunyi: ’’Tidak seorang kreditur pun dapat 

dipaksa menerima pembayaran suatu barang lain dari barang yang terutang, 

meskipun barang yang ditawarkan sarna harganya dengan barang yang terutang, 

bahkan lebih tinggi.”

Pada dasarnya yang menjadi objek pembayaran dalam Pasal 1389 KUH 

Perdata tergantung dari sifat dan isi perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan 

debitur. Contoh, A meminjam uang pada B sebesar Rp1.000.000,00 dan berjanji 

akan membayar pada tanggal 15 Januari 1996 maka yang harus dibayar oleh A 

yaitu  utangnya sebesar Rpl.000.000,00 bukan dalam bentuk lainnya. Utang itu 

harus dibayar secara kontan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1390 KUH Perdata 

yang berbunyi: ’’Seorang debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima 

pembayaran dengan angsuran, meskipun utang itu dapat dibagi-bagi.” Ketentuan 

Pasal 1390 KUH Perdata itu tidak memperhatikan secara saksama ketentuan 

yang ada  dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang memberi  kebebasan 

kepada individu untuk membuat perjanjian dengan siapa pun. sebab  pada saat 

ini dengan berkembangnya lembaga perbankan, dimungkinkan pembayaran dilakukan 

secara angsuran disertai bunga. Suatu contoh, A telah meminjam uang di bank

sebesar Rp5.000.000,00. Di dalam perjanjian ditentukan bahwa A harus membayar 

pokok pinjaman beserta bunganya setiap bulannya sebesar Rpl67.500,00 selama 

60 bulan. Ini berarti bahwa yang harus dibayar oleh A yaitu  utangnya yang ada 

pada bank, yang berupa pinjaman ditambah bunganya. Dengan demikian, dapat 

dikatakan bahwa objek pembayaran tergantung dari sifat dan isi dari perjanjian.

4. Tempat Pembayaran Dilakukan

Tempat pembayaran dilakukan ditentukan dalam Pasal 1393 KUH Perdata. 

Pada dasarnya, tempat pembayaran dilakukan yaitu  di tempat yang telah 

ditetapkan dalam perjanjian, antara kreditur dan debitur. Akannamun , bila  kedua 

belah pihak tidak menentukan secara tegas tempat pembayaran maka pembayaran 

dapat dilakukan di tempat-tempat sebagai berikut.

a. Tempat barang berada sewaktu perjanjian dibuat. Contohnya, A telah membeli 

sebidang tanah seluas 1,50 ha pada B. Tanah itu terletak di Kecamatan 

Narmada maka tempat pembayarannya dilakukan di Kecamatan Narmada;

b. Tempat tinggal kreditur, dengan syarat kreditur harus secara terus-menerus 

berdiam dan bertempat tinggal di tempat ini . Contohnya, A telah 

membeli benda bergerak, seperti mobil kepada B. Di dalam perjanjian antara 

A dan B tidak ditentukan tempat pembayarannya maka pembayaran itu 

dapat dilakukan di tempat tinggal kreditur;

c. Tempat tinggal debitur.

Tempat pembayaran itu bersifat fakultatif, artinya bahwa pihak debitur 

dan kreditur dapat memilih salah satu dari tiga tempat itu untuk melakukan 

pembayaran utang.

5. Biaya dan Bukti Pembayaran

Biaya pembayaran ditentukan dalam Pasal 1395 KUH Perdata. Di dalam 

pasal itu ditentukan bahwa yang menanggung biaya pembayaran yaitu  debitur. 

Di samping itu, debitur juga berhak untuk menerima tanda bukti pembayaran 

dari kreditur. Tujuan adanya tanda bukti pembayaran itu yaitu  sebagai alat bukti 

di kelak kemudian hari, bila  kreditur sendiri menyangkal tentang adanya 

pembayaran ini .

6. Subrogasi

Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 BW. Subrogasi artinya, penggantian 

kedudukan kreditur oleh pihak ketiga dalam perjanjian sebagai akibat pembayaran 

oleh pihak ketiga atas utang debitur kepada pihak kreditur. Tujuan subrogasi 

yaitu  untuk memperkuat posisi pihak ketiga yang telah melunasi utang-utang 

debitur dan atau meminjamkan uang kepada debitur. Yang paling nyata adanya 

subrogasi yaitu  beralihnya hak tuntutan dan kedudukan kreditur kepada pihak 

ketiga (Pasal 1400 BW). Peralihan kedudukan itu meliputi segala hak dan tuntutan 

termasuk hak previlegi.

Ada dua cara terjadinya subrogasi, yaitu sebab  (1) perjanjian (subrogasi 

kontraktual), dan (2) undang-undang.

Subrogasi kontraktual dapat dilakukan dengan cara:

a. kreditur menerima pembayaran baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya 

dari pihak ketiga, dan serta merta mengalihkan hak dan tuntutan yang di­

milikinya terhadap orang ketiga ini  terhadap debitur;

b. pihak ketiga membantu debitur. Debitur ’’meminjamkan” uang dari pihak 

ketiga

yang dipergunakan untuk membayar utang kepada kreditur sekaligus me­

nempatkan pihak ketiga tadi menggantikan kedudukan semula terhadap diri 

debitur.

Susaha  subrogasi kontraktual dianggap sah, harus diikuti tata cara sebagai 

berikut:

a. pinjaman uang harus ditetapkan dengan akta autentik;

b. dalam akta harus dijelaskan besarnya jumlah pinjaman, dan diperuntukkan 

melunasi utang debitur;

c. tanda pelunasan harus berisi pernyataan bahwa uang pembayaran utang 

yang diserahkan kepada kreditur yaitu  uang yang berasal dari pihak ketiga. 

Subrogasi sebab  undang-undang ini terjadi dipicu  danya pembayaran

yang dilakukan pihak ketiga untuk kepentingannya sendiri dan seorang kreditur 

melunasi utang kepada kreditur lain yang sifat utangnya mendahului. Contoh A 

berkedudukan sebagai kreditur kepada B dan B ini masih memiliki  kreditur 

yang lain bernama C.

Akibat adanya subrogasi yaitu  beralihnya hak tuntutan dari kreditur kepada 

pihak ketiga (Pasal 1400 KUH Perdata). Peralihan hak itu, meliputi segala hak 

dan tuntutan. Misalnya, A telah membeli rumah pada pengembang dengan meng­

gunakan fasilitas KPR BTN, dengan angsuran setiap bulannya Rp300.000,00. 

Namun, dalam perkembangannya A tidak mampu lagi membayar angsuran 

ini . Kemudian A mengalihkan pembayaran rumah itu kepada C. Dengan 

demikan, akhirnya yang membayar rumah ini  selanjutnya yaitu  C kepada 

BTN.

C. NOVASI

1. Pengertian Novasi

Novasi diatur dalam Pasal 1413 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1424 

KUH Perdata. Novasi (pembaruan utang) yaitu  sebuah persetujuan, di mana 

suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus 

dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli (C. Asser’s, 1991: 552). Vollmar 

mengartikan novasi yaitu  suatu perjanjian sebab  di mana sebuah perjanjian 

yang akan dihapuskan, dan seketika itu juga timbul sebuah perjanjian baru 

(Vollmar, 1983: 237).

Kedua definisi di atas, dititikberatkan pada definisi novasi pada penggantian 

objek perjanjian, padahal dalam KUH Perdata tidak hanya penggantian objek 

perjanjian yang lama, dibandingkan  perjanjian baru,namun  juga penggantian subjek 

perjanjian, baik debitur maupun kreditur lama kepada debitur dan kreditur baru. 

Dengan demikian, penulis cenderung memberi  definisi novasi sebagai berikut. 

Novasi yaitu  suatu perjanjian antara debitur dan kreditur, di mana perjanjian 

lama dan subjeknya yang ada dihapuskan dan timbul sebuah objek dan subjek 

perjanjian yang baru.

Unsur-unsur novasi:

a. adanya perjanjian baru,

b. adanya subjek yang baru,

c. adanya hak dan kewajiban, dan

d. adanya prestasi.

2. Macam Novasi

Di dalam Pasal 1413 KUH Perdata, novasi dibedakan menjadi tiga macam, 

yaitu (1) novasi objektif, (2) novasi subjektif yang pasif, dan (3) novasi subjektif 

yang aktif.

Novasi objektif, yaitu suatu perjanjian yang dibuat antara debitur dan kreditur, 

di mana perjanjian lama dihapuskan. Ini berkaitan dengan objek perjanjian. 

Contohnya, A telah membeli kain baju pada B seharga Rp200.000,00,namun  

harga barang itu baru dibayar Rpl00.000,00. Ini berarti bahwa A masih berutang 

pada B sebesar Rpl00.000,00. Akannamun , A membeli kain baju yang lain 

seharga Rp200.000,00 dan harga ini  belum dibayarnya. Kemudian antara 

A dan B membuat perjanjian, yang isinya bahwa utang A sebanyak Rp400.000,00 

termasuk utang lamanya.

Novasi subjektif yang pasif, yaitu perjanjian yang dibuat antara kreditur 

dan debitur, namun debiturnya diganti oleh debitur yang baru, sehingga debitur 

lama dibebaskan. Inti dari novasi subjektif yang pasif yaitu  penggantian debitur 

lama dengan debitur baru. Contohnya, A berutang pada B. Namun, dalam 

pelaksanaan pembayaran utangnya A diganti oleh C sebagai debitur baru, sehingga 

yang berutang akhirnya yaitu  C kepada B.

Novasi subjektif yang aktif, yaitu penggantian kreditur, di mana kreditur 

lama dibebaskan dari kontrak, dan kemudian muncul kreditur baru dengan debitur 

lama. Inti novasi ini yaitu  penggantian kreditur. Contohnya, si Ani berutang 

pada Mina. Namun di dalam pelaksanaan perjanjian ini kedudukan si Mina yang 

tadinya sebagai kreditur kini diganti oleh si Ali sebagai kreditur. Sehingga 

perjanjian utang piutang itu tadinya terjadi antara si Ani (debitur) dengan si Ali 

(kreditur).

3. Orang Yang Cakap Melakukan Novasi

Pada dasarnya, orang yang cakap melakukan novasi, baik objektif maupun 

subjektif yaitu  orang-orang yang sudah dewasa atau sudah kawin. Ukuran 

kedewasaan yaitu  sudah berumur 21 tahun. Orang yang tidak cakap melakukan 

novasi yaitu  orang yang di bawah umur, di bawah pengampuan, atau istri. Istri 

dalam melakukan novasi harus didampingi oleh suaminya. Namun, dalam perkem­

bangannya istri dapat melakukan novasi secara mandiri (SEMA No. 3 Tahun 

1963 jo. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Kehendak untuk melaku­

kan novasi harus dilakukan dengan sebuah akta. Ketentuan ini tidak bersifat 

memaksa, oleh sebab  untuk novasi subjektif yang pasif tidak perlu bantuan 

debitur (Pasal 1415 KUH Perdata).

4. Akibat Novasi

Di dalam Pasal 1418 KUH Perdata telah ditentukan akibat novasi. Salah 

satu akibat novasi yaitu  bahwa debitur lama yang telah dibebaskan dari kewajiban 

oleh kreditur tidak dapat meminta pembayaran kepada debitur lama, sekalipun 

debitur baru jatuh pailit atau debitur baru ternyata orang yang tidak dapat melakukan 

perbuatan hukum.

D. KOMPENSASI

1. Pengertian Kompensasi

Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 KUH Perdata 

sampai dengan Pasal 1435 KUH Perdata. Yang diartikan dengan kompensasi, 

yaitu  penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan 

utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur (Pasal 1425 KUH 

Perdata). Syarat terjadinya kompensasi:

a. kedua-duanya berpokok pada beberapa  uang; atau

b. berpokok pada jumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama; 

atau

c. kedua-duanya dapat ditetapkan dan ditagih seketika.

Tujuan utama kompensasi yaitu 

a. penyederhanaan pembayaran yang simpang siur antara pihak kreditur dan 

debitur;

b. dimungkinkan terjadinya pembayaran sebagian;

c. memberi  kepastian pembayaran dalam keadaan pailit.

2. Cara Terjadinya Kompensasi

Cara terjadinya kompensasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) 

demi hukum, dan (2) atas permintaan kedua belah pihak (Pasal 1426 KUH 

Perdata; Pasal 1431 KUH Perdata).

Perjumpaan utang demi hukum atau ipso jure compensatur yaitu  suatu 

perjumpaan utang yang terjadi tanpa adanya pemberitahuan dan permintaan dari 

pihak debitur dan kreditur. Ada dua kelemahan kompensasi yang terjadi demi 

hukum, yaitu

a. akan memicu  terjadinya hal-hal yang menegangkan antara pihak- 

pihak yang berkepentingan;

b. adanya larangan kompensasi yang tercantum dalam Pasal 1429 KUH 

Perdata.

Ada tiga larangan kompensasi, yaitu (1) dituntutnya pengembalian suatu 

barang yang secara berlawanan dengan hukum, yaitu merampas dari 

pemiliknya, (2) dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan 

atau dipinjamkan, dan (3) terhadap suatu utang yang bersumber dari 

tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita (Pasal 1429 KUH 

Perdata).

Pada kompensasi dengan sendirinya saling perhitungan yang menghapuskan/ 

meniadakan masing-masing pihak, sesuai dengan besar kecilnya tagihan yang ada 

pada masing-masing pihak. Misalnya, A telah menyewakan rumah kepada B seharga 

Rp300.000,00/tahun. B baru menyerahkan uang sewa sebesar Rp 150.000,00 untuk 

enam bulan pertama, dan B berjanji menyerahkan sisanya pada bulan ketujuh pada 

A. Akannamun , pada saat bulan kedua A sangat membutuhkan uang untuk 

menyekolahkan anaknya, dan A meminjam uang pada B sebesar Rpl50.000,00. Ini 

berarti bahwa demi hukum erjadi kompensasi antara A dan B, walaupun B seharusnya 

menyerahkan sisa sewa rumah pada bulan ketujuh.

Kompensasi kontraktual yaitu  suatu bentuk kompensasi yang terjadi atas 

dasar permintaan dan persetujuan antara pihak debitur dan kreditur (Pasal 1431 

KUH Perdata).

Pada dasarnya semua utang piutang yang telah disetujui oleh kedua belah 

pihak dapat dilakukan kompensasi kontraktual. Namun, ada beberapa pengecualian, 

yaitu sebagai berikut.

a. Jika utang-utang dari kedua belah pihak tidak dapat dibayar di tempat yang 

sama maka utang itu tidak dapat dikompensasi, selain penggantian biaya 

pengiriman (Pasal 1432 KUH Perdata).

b. Kompensasi tidak dapat dilakukan atas kerugian hak yang diperoleh pihak 

ketiga (Pasal 1434 ayat (1) KUH Perdata).

c. Seorang debitur yang kemudian menjadi kreditur pula, sesudah  pihak ketiga 

menyita barang yang harus dibayarkan, tidak dapat memakai  kompensasi 

atas kerugian penyita (Pasal 1434 ayat (2) KUH Perdata).

Ketiga hal itu tidak dapat dilakukan kompensasi kontraktual sebab  cara 

memperolehnya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

E. PERCAMPURAN UTANG

Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata sampai dengan 

Pasal 1437 KUH Perdata. Di dalam NBW (BW Baru) negeri Belanda, 

percampuran utang diatur dalam Pasal 1472 NBW. Percampuran utang yaitu  

percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai 

kreditur menjadi satu (Pasal 1436 KUH Perdata). Ada dua cara terjadinya 

percampuran utang, yaitu

1. dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum. Misalnya, si kreditur 

meninggal dunia dan meninggalkan satu-satunya ahli waris, yaitu debitur. Ini 

berarti bahwa dengan meninggalnya kreditur maka kedudukan debitur 

menjadi kreditur;

2. dengan jalan penerusan hak di bawah alas hak khusus, misalnya pada jual 

beli atau legaat.

Pada umumnya percampuran utang terjadi pada bentuk-bentuk debitur menjadi 

ahli waris dari kreditur.

F. PEMBEBASAN UTANG

Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUH Perdata s.d. 1443 KUH 

Perdata. Pembebasan utang yaitu  suiatu pernyataan sepihak dari kreditur kepada 

debitur, bahwa debitur dibebaskan dari perutangan. Ada dua cara terjadinya 

pembebasan utang, yaitu (1) cuma-cuma, dan (2) prestasi dari pihak debitur. 

Pembebasan utang dengan cuma-cuma harus dipandang sebagai penghadiahan 

(HR 16 Januari 1899 dan 10 Januari 1902). Sedangkan prestasi dari pihak debitur, 

artinya sebuah prestasi lain, selain prestasi yang terutang. Pembebasan ini didasar­

kan pada perjanjian.

G. KEBATALAN ATAU PEMBATALAN KONTRAK  

1. Pengertiannya

Kebatalan kontrak diatur dalam Pasal 1446 KUH Perdata s.d. Pasal 1456 

KUH Perdata. Ada tiga pemicu  timbulnya pembatalan kontrak, yaitu

a. adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan 

di bawah pengampuan;

b. tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam undang-undang;

c. adanya cacat kehendak.

Cacat kehendak (wilsgebreken) yaitu  kekurangan dalam kehendak orang 

atau orang-orang yang melakukan perbuatan yang menghalangi terjadinya 

persesuaian kehendak dari para pihak dalam perjanjian.

Cacat kehendak dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut, 

a. Kekhilafan (dwelling) yaitu  suatu penggambaran yang keliru mengenai 

orangnya atau objek perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dwaling dibagi

menjadi dua macam, yaitu (1) dwelling tentang orangnya dan (2) dwelling 

di dalam kemandirian benda. Contoh dwelling tentang orangnya, A meminta 

kepada Hetty Koes Endang untuk melakukan pertunjukan di Mataram. 

Namun, yang datang bukan Hetty Koes Endang yang memiliki  suara 

bagus dan merdu. Contoh dwelling dalam kemandirian benda, A berkehendak 

membeli lukisan Affandy, namun yang diterimanya dari penjual yaitu  lukisan 

tiruan.

b. Paksaan (dwang), yaitu suatu ancaman yang dilakukan oleh seseorang 

kepada orang lain atau pihak ketiga, sehingga memberi kesan dan dapat 

memicu  ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, 

orang-orangnya, atau kekayaannya terancam rugi besar dalam waktu dekat 

(Pasal 1324 KUH Perdata).

c. Penipuan (bedrog) yaitu  dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta 

yang salah untuk memasuki suatu perjanjian.

Di samping ketiga cacat kehendak itu, dalam doktrin dikenal cacat kehendak 

keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan (undue influence).

Pada mulanya ajaran penyalahgunaan keadaan timbul di Inggris pada abad 

ke-15 dan 16. Hal ini dipicu  dalam hukum Inggris hanya dikenal paksaan 

fisik, sedangkan paksaan moral tidak diatur dalam Common Law. Untuk 

melengkapi hal itu maka dalam equity diciptakan doktrin atau ajaran undue 

influence ini . Undue influence didasarkan pada penyalahgunaan keadaan 

ekonomis dan psikologis salah satu pihak. Penyalahgunaan keadaan ekonomis 

yaitu  penyalahgunaan keadaan oleh salah satu pihak, terutama ekonomi kuat 

terhadap ekonomi lemah. Dengan demikian, si ekonomi lemah tidak memiliki  

kekuasaan yang berimbang untuk saling tawar-menawar antara keduanya.

2. Macam Kebatalan

Kebatalan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) kebatalan mutlak 

dan (2) kebatalan relatif. Kebatalan mutlak yaitu  suatu kebatalan yang tidak 

perlu dituntut secara tegas. Kebatalan mutlak terjadi sebab  (1) cacat bentuknya, 

(2) perjanjian itu dilarang undang-undang, (3) bertentangan dengan kesusilaan, dan 

(4) bertentangan dengan ketertiban umum. Contoh kebatalan mutlak, dikemukakan 

berikut ini.

a. Perjanjian yang harus dibuat dengan bentuk tertentu, ternyata bentuk itu 

tidak dipenuhi.

b. Perjanjian yang bersifat formil, misalnya hibah yang harus dibuat dengan 

akta notaris.

c. Perjanjian perburuhan harus tertulis.

d. Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris (Pasal 147 KUH Perdata). 

Kebatalan relatif yaitu  suatu kebatalan yang dituntut secara tegas, dan

biasanya diajukan oleh salah satu pihak. Misalnya wakil dari orang yang tidak

wenang melakukan perbuatan hukum atau orang yang terhadapnya dilakukan 

kekerasan atau penipuan atau orang yang berada dalam kekhilafan. Contoh 

kebatalan relatif, dikemukakan berikut ini.

a. Perjanjian yang diancam dengan actio pauliana, yaitu perjanjian yang 

memicu  kerugian pihak kreditur maka kreditur dapat meminta kebatalan/ 

pembatalan yang dibuat dengan debitur yang merugikan kreditur.

b. Perjanjian yang hanya berlaku bagi Pihak I dan II,namun  tidak berlaku bagi 

kreditur.

c . Perjanjian jual beli antara suami istri, kalau merugikan kreditur dapat dimintakan 

pembatalan.

d. Perjanjian penghadiahan antara suami istri, kalau merugikan kreditur dapat 

dimintakan pembatalan.

3. Akibat Kebatalan

Akibat kebatalan kontrak dapat' dilihat dari dua aspek, yaitu (1) orang- 

orang yang tidak wenang melakukan perbuatan hukum, dan (2) cacat kehendak. 

Akibat kebatalan perikatan bagi orang-orang yang tidak berwenang melakukan 

perbuatan hukum yaitu  pulihnya barang-barang dan orang-orang yang ber­

sangkutan, seperti sebelum perikatan dibuat (Pasal 1451 KUH Perdata). Dengan 

pengertian, bahwa segala sesuatu yang telah diberikan atau dibayar kepada orang 

yang tidak berwenang hanya dapat dituntut kembali bila:

a. barang yang bersangkutan masih terada di tangan orang yang tidak berwenang 

lagi;

b. orang yang tidak berwenang itu telah mendapat keuntungan dari apa yang 

telah diberikan atau dibayar;

c. apa yang dinikmati telah dipakai bagi kepentingannya.

Akibat kebatalan sebab  cacat kehendak, yaitu pulihnya barang-barang 

dan orang-orang yang bersangkutan seperti dalam keadaan semula (Pasal 1452 

KUH Perdata).

4. Jangka Waktu Pembatalan Perjanjian

Undang-undang tidak membatasi jangka waktu tuntutan pembatalan perjanjian 

secara khusus. Namun, dalam undang-undang ditentukan jangka waktu yang 

pendek, yaitu lima tahun (Pasal 1454 KUH Perdata). Jangka waktu itu mulai 

berlaku bagi:

a. orang yang belum dewasa, sejak hari kedewasaannya;

b. pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan;

c. paksaan, sejak hari paksaan berhenti;

d. penipuan, sejak hari diketahuinya penipuan;

e. pembayaran tak terutang, sejak debitur mengetahui bahwa ia tidak memiliki  

utang pada kreditur; dan

f. tuntutan pembatalan perikatan menjadi gugur, bila  perikatan itu dikuatkan 

secara tegas atau secara diam-diam oleh orang-orang ini  di atas (Pasal 

1456 KUH Perdata).

H. BERLAKUNYA SYARAT BATAL

Syarat batal yaitu  suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan 

perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak 

ada suatu perjanjian (Pasal 1265 KUH Perdata). Biasanya syarat batal berlaku 

pada perjanjian timbal balik. Seperti pada perjanjian jual beli, sewa-menyewa, 

dan lain-lain.

I. JANGKA WAKTU KONTRAK TELAH BERAKHIR

Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, baik kontrak yang dibuat melalui 

akta di bawah tangan maupun yang dibuat oleh atau di muka pejabat yang 

berwenang telah ditentukan secara tegas jangka waktu dan tanggal berakhirnya 

kontrak. Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak dimaksudkan 

bahwa salah satu pihak tidak perlu memberitahukan tentang berakhirnya kontrak 

ini , namun para pihak telah mengetahuinya masing-masing.

Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak yaitu  didasarkan 

pada kemauan dan kesepakatan para pihak. Ada kontrak yang jangka waktu 

dan tanggal berakhirnya kontrak singkat dan ada juga jangka waktu dan tanggal 

berakhirnya lama.

Berikut ini disajikan berbagai substansi kontrak yang mencantumkan jangka 

waktu berakhirnya kontrak.

1. Perjanjian kredit antara BRI dengan nasabah.

Perjanjian ini merupakan perjanjian kredit antara BRI dengan nasabah. 

Besarnya pinjaman yang diterima oleh nasabah sebanyak Rp 10.000.000,00 

(sepuluh juta rupiah). Bunga per tahun sebesar 18%. Besarnya angsuran 

setiap bulan yang harus diangsur oleh nasabah sebanyak Rp442.800,00 (empat 

ratus empat puluh dua ribu delapan ratus rupiah). Jangka waktu kredit selama 

36 bulan dan dimulai bulan November 2000 sampai dengan bulan Oktober 

2004. Pada dasarnya, BRI Cabang Mataram memberi  kelonggaran kepada 

nasabah tentang jangka waktu pinjaman, yaitu selama 60 bulan. Jangka waktu 

itu tergantung pada nasabah. Semakin lama jangka waktu kredit maka semakin 

kecil angsurannya,namun  semakin pendek jangka waktunya, semakin besar 

angsurannya. Nasabah tinggal memilih waktu yang pendek atau lama.

2. Perjanjian kredit pemilikan rumah antara BTN Cabang Mataram dengan 

nasabah.

Jangka waktu kontrak selama 20 tahun dan mulai membayar angsuran bulan 

Maret 1989 dan berakhir nantinya pada bulan Maret 2009. Pertimbangan 

para nasabah memilih jangka waktu pembayaran kredit yang lebih lama 

yaitu  didasarkan pada besar atau kecil pembayaran angsuran yang harus

dilakukan oleh nasabah. Jangka waktu kredit yang lama ini, pada saat perjanjian 

dibuat penghasilan nasabah pada waktu itu sangat kecil. sebab  untuk 

mendapatkan pinjaman kredit, penghasilan nasabah minimal Rpl00.000,00 

(seratus ribu rupiah). bila  nasabah membayar angsuran sebesar 

Rp30.000,00/bulan maka nasabah masih dapat membiayai kebutuhan hidupnya.

3. Perjanjian sewa pemakaian  fasilitas dan pelayanan jasa pelabuhan 

penyeberangan Kayangan.

Perjanjian ini merupakan perjanjian yang dibuat antara PT Angkutan Sungai 

Danau dan Penyeberangan (Persero), Cabang Kayangan, Jalan Pelabuhan 

Kayangan, Lombok NTB, Indonesia dengan PT Newmont Nusa Tenggara 

(PT NNT), Jalan Pendidikan Nomor 64, Mataram, Lombok NTB, Indonesia. 

Isi perjanjian meliputi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum, dasar- 

dasar pelaksanaan perjanjian, ruang lingkup perjanjian, pembayaran, jangka 

waktu perjanjian, kewajiban para pihak, pembatalan dan sanksi, berakhirnya 

perjanjian, penyelesaian perselisihan, tempat kedudukan, fasilitas lainnya, 

dan lainnya. Ruang lingkup perjanjian meliputi sewa perairan/kolam pelabuhan, 

sewa tanah, biaya pas masuk penumpang, biaya pas petugas operasional dan 

ABK, biaya pas masuk dan parkir kendaraan. Besarnya sewa pemakaian  

fasilitas ini  selama setahun sebanyak Rp300.054.000,00 (tiga ratus 

juta lima puluh empat ribu rupiah). Jangka waktu perjanjian selama 12 

bulan, yang dimulai dari tanggal 1 Agustus 2000 sampai dengan 31 Juli 

2001. Perjanjian ini  kini telah berakhir, dan pihak PT Newmont Nusa 

Tenggara tidak memperpanjang perjanjian ini , sebab  perusahaan ini 

telah menyewa lokasi yang lainnya.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa jangka waktu berakhirnya kontrak tidak 

ada yang sama antara satu dengan yang lainnya. Ada jangka waktu kontraknya 

singkat dan ada juga jangka kontraknya panjang. Penentuan jangka waktunya 

tergantung kepada kemauan para pihak. bila  kita meminjam kredit maka 

semakin lama waktu peminjaman, semakin kecil angsuran yang harus dibayar. 

Akannamun , semakin singkat jangka waktu yang diperjanjikan maka semakin 

besar angsuran kredit yang harus dibayar oleh nasabah.

J. DILAKSANAKAN OBJEK PERJANJIAN

Pada dasarnya objek perjanjian yaitu  sama dengan prestasi. Prestasi itu 

terdiri dari melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Di 

dalam perjanjian timbal balik, seperti jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, 

dan lain-lain telah ditentukan objek perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian jual 

beli tanah, yang menjadi objek perjanjian yaitu  barang dan harga. Pihak penjual 

tanah berkewajiban untuk menyerahkan tanah secara riil dan menyerahkan 

surat-surat tanah ini , begitu juga pembeli tanah berkewajiban untuk 

menyerahkan uang harga tanah ini . Sedangkan hak dari penjual tanah

yaitu  menerima uang harga tanah dan hak dari pihak pembeli menerima tanah 

beserta surat-surat yang menyertainya.

Dengan telah dilaksanakan objek perjanjian maka perjanjian antara penjual 

dan pembeli telah berakhir, baik secara diam-diam maupun secara tegas. Contoh 

lainnya, dalam perjanjian jasa dokter, di mana dokter memeriksa pasien dan 

menyerahkan resep kepada pasien, dan pasien membayar jasa dokter. Sejak 

terjadi pembayaran jasa dokter oleh pasien, pada saat itulah perjanjian itu telah 

berakhir.

K. KESEPAKATAN KEDUA BELAH PIHAK

Kesepakatan kedua belah pihak merupakan salah satu cara berakhirnya 

kontrak, di mana kedua belah pihak telah sepakat untuk menghentikan kontrak 

yang telah ditutup antara keduanya. Motivasi mereka untuk menyepakati 

berakhirnya kontrak ini  yaitu  berbeda-beda antara satu dengan lainnya. 

Ada yang menyepakatinya didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan ada juga 

yang menyepakati sebab  bisnis. Pertimbangan sebab  bisnis yaitu  didasarkan 

pada untung rugi. bila  salah satu pihak merasa rugi untuk melaksanakan 

substansi kontrak ini , salah satu meminta kepada pihak lainnya untuk 

mengakhiri kontrak ini  dan pihak lainnya akan menyetujuinya.

berdasar  hasil analisis terhadap berbagai kontrak yang dibuat oleh para 

pihak, ditemukan pasal-pasal yang mengatur tentang berakhirnya perjanjian 

berdasar  atas kesepakatan kedua belah pihak. Pasal-pasal yang berkaitan 

dengan hal itu, dapat dilihat pada Pasal 22 Kontrak Karya antara Pemerintah 

Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Pasal 22 ayat (1) Kontrak Karya 

itu berbunyi: ’’Selama jangka waktu persetujuan ini, sesudah  mempergunakan 

segenap kesungguhan yang wajar di dalam usahanya untuk melaksanakan 

kegiatan-kegiatannya berdasar  persetujuan ini, bila  menurut pendapat 

perusahaan bahwa pengusahaan tidak dapat dikerjakan, perusahaan akan 

berkonsultasi dengan Menteri dan kemudian dapat menyampaikan pemberitahuan 

tertulis kepada Menteri untuk mengakhiri perjanjian ini, dan untuk dibebaskan 

dari kewajiban-kewajibannya. Pemberitahuan ini  harus disertai dengan data 

dan keterangan tentang kegiatan perusahaan berdasar  perjanjian ini yang 

akan meliputi,namun  tidak terbatas pada dokumen-dokumen, peta-peta, rencana- 

rencana, lembaran-lembaran kerja, dan lain-lain data dan keterangan teknis. 

Dengan penegasan tentang perjanjian tentang pengakhiran itu oleh Menteri atau 

dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah  dikirimkannya pemberita-huan tertulis oleh 

perusahaan, mana yang terlebih dahulu, perjanjian ini dengan sendirinya akan 

berakhir dan perusahaan akan dibebaskan dari kewajiban-kewajibannya berdasar­

kan perjanjian ini, kecuali mengenai hal-hal yang secara khusus diatur selanjutnya 

dalam pasal ini.

Pengakhiran ini dipicu  sebab  perusahaan tidak dapat mengerjakan 

usahanya dengan baik, sehingga PT Newmont Nusa Tenggara dapat meminta 

kepada Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kontrak ini . Tentunya 

pengakhiran ini , harus disetujui oleh Pemerintah Indonesia. Ada empat 

periode dalam pengakhiran kontrak berdasar  kesepakatan ini, yaitu sebagai 

berikut.

1. Periode penyelidikan umum atau eksplorasi, yaitu periode untuk melakukan 

penyelidikan atau eksplorasi terhadap potengi sumber daya tambang yang 

ada  di Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat.

2. Periode studi kelayakan (feasibility studies), yaitu tahap untuk menilai 

layak atau tidaknya potensi sumber daya tambang yang akan dikelola oleh 

perusahaan.

3. Periode konstruksi, yaitu periode untuk membangun infrastruktur untuk 

menunjang pelaksanaan kegiatan tambang.

4. Periode operasi, yaitu suatu periode perusahaan telah melaksanakan kegiatan 

tambang untuk dikelola menjadi konsentrat. Konsentrat inilah yang akan 

dipasarkan atau dijual oleh perusahaan.

Masing-masing periode para pihak dapat menyepakati untuk mengakhiri 

kontrak karya yang dibuat oleh para pihak. Para pihaknya yaitu  Pemerintah 

Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi dan PT 

Newmont Nusa Tenggara. Pengakhiran kontrak ini didasarkan nilai-nilai ekonomis 

dari objek perjanjian. bila  objeknya tidak memiliki  nilai ekonomis yang 

tinggi maka salah satu pihak, terutama PT Newmont Nusa Tenggara akan 

mengajukan permohonan kepada Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kontrak 

ini , walaupun jangka waktu kontrak belum berakhir.

L. PEMUTUSAN KONTRAK SECARA SEPIHAK

Pada dasarnya kontrak harus dilaksanakan oleh para pihak berdasar  

itikad baik, namun dalam kenyataannya sering kali salah satu pihak tidak 

melaksanakan ^ substansi kontrak, walaupun mereka telah diberikan somasi 

sebanyak tiga kali berturut-turut. sebab  salah satu pihak lalai melaksanakan 

prestasinya maka pihak yang lainnya dengan sangat terpaksa memutuskan kontrak 

itu secara sepihak. Pemutusan kontrak secara sepihak merupakan salah satu 

cara untuk mengakhiri kontrak yang dibuat oleh para pihak. Artinya pihak kreditur 

menghentikan berlakunya kontrak yang dibuat dengan debitur, walaupun jangka 

waktunya belum berakhir. Ini dipicu  debitur tidak melaksanakan prestasi 

sebagaimana mestinya.

Di dalam praktik pembuatan kontrak yang dibuat oleh para pihak, banyak 

ditemui substansi kontrak yang telah mencantumkan berakhirnya kontrak ber­

dasarkan pemutusan kontrak oleh salah satu pihak. Berbagai isi kontrak ini , 

disajikan berikut ini.

1. Surat perjanjian pelaksanaan pengadaan bahan operasional pendidikan (bahan 

kimia) Universitas Mataram tahun anggaran 1999/2000 antara Pemimpin 

Proyek Universitas Mataram dengan PT Matra Magita.

Pemutusan perjanjian secara sepihak diatur dalam Pasal 20 Surat Perjanjian 

Pelaksanaan Pengadaan Bahan Operasional Pendidikan (bahan kimia). Pasal 

20 berbunyi: ’’Pihak Pertama berhak memutuskan perjanjian secara sepihak, 

dengan pemberitahuan 7 (tujuh) hari sebelumnya sesudah  melakukan 

peringatan/teguran tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut kepada Pihak Kedua.” 

Adapun yang dijadikan alasan pemutusan perjanjian secara sepihak oleh 

Pihak Pertama kepada Pihak Kedua yaitu  sebagai berikut.

a. Dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung tanggal surat perjanjian ini tidak 

atau belum mulai melaksanakan pekerjaan pemborongan sebagaimana 

yang diatur dalam Pasal 1 surat perjanjian ini.

b. Dalam waktu 1 (satu) bulan berturut-turut tidak melanjutkan pekerjaan 

pemborongan yang telah dimulainya.

c. Secara langsung atau tidak langsung dengan sengaja memperlambat 

penyelesaian pekerjaan ini.

d. memberi  keterangan tidak benar yang merugikan atau dapat merugi­

kan Pihak Pertama sehubungan dengan pekerjaan pemborongan ini.

e. Jika pekerjaan pemborongan ini dilaksanakan oleh Pihak Kedua tidak 

sesuai dengan jadwal waktu (time schedule) yang dibuat oleh Pihak 

Kedua dan telah disetujui oleh Pihak Pertama.

f. Telah dikenakan denda keterlambatan sebesar 5% dari harga borongan.

Alasan-alasan pemutusan kontrak secara sepihak yang dilakukan oleh 

Pihak Pertama, bukanlah kumulatif,namun  bila  salah satu alasan ini  

tidak dipenuhi oleh Pihak Kedua maka sudah dianggap cukup oleh Pihak 

Pertama untuk melakukan pemutusan kontrak secara sepihak kepada Pihak 

Kedua. bila  pemutusan kontrak secara sepihak terjadi maka Pihak 

Pertama dapat menunjuk pemborong lain atas kehendak dan berdasar  

pilihan sendiri untuk menyelesaikan pemborongan ini . Pihak Kedua 

berkewajiban untuk menyerahkan kepada Pihak Pertama segala arsip, 

gambar-gambar, perhitungan, dan keterangan lainnya yang 

berhubungan dengan perjanjian ini. Persoalannya kini, bagaimana dengan 

jaminan pelaksanaan dan jaminan uang muka yang telah disetorkan oleh 

Pihak Kedua kepada Pihak Pertama? Pada dasarnya, jaminan pelaksanaan 

dan uang muka akan dikembalikan kepada Pihak Kedua, dengan syarat 

harus memperhitungkan prestasi yang telah dilaksanakan oleh Pihak Kedua.

2. Perjanjian kerja sama penanaman tembakau.

Perjanjiannya dibuat antara PT BAT Indonesia Tbk. (Pihak Pertama) dengan 

petani tembakau (Pihak Kedua). Objek perjanjiannya yaitu  pemberian 

bantuan modal kerja guna membiayai pengelolaan penanaman tembakau.

Perjanjian ini terdiri atas 12 pasal. Pasal yang berkaitan dengan pemutusan 

kontrak secara sepihak diatur dalam Pasal 9 Perjanjian Kerja Sama 

Penanaman Tembakau. Di dalam pasal itu ditentukan bahwa Pihak Pertama 

dapat mengakhiri perjanjian ini setiap waktu tanpa mengindahkan sesuatu 

jangka waktu, bila  terjadi salah satu atau lebih hal-hal sebagai berikut.

a. Pihak Kedua tidak atau belum memakai  panjar biaya operasional 

sesudah  lewat waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal berlaku efektifnya 

perjanjian ini.

b. Pihak Kedua memberi  keterangan yang tidak benar 

kepada Pihak Pertama.

c. Pihak Kedua ternyata sebelum perjanjian ini ditandatangani telah 

memperoleh fasilitas kredit atau pinjaman dari bank atau pemberi uang 

pinjaman atau bantuan lainnya tanpa pemberitahuan hal ini  kepada 

Pihak Pertama.

d. Pihak Kedua ternyata sesudah  perjanjian ini ditandatangani memperoleh 

fasilitas kredit atau pinjaman dari bank atau pemberi pinjaman atau 

bantuan lainnya tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis 

dari Pihak Pertama.

e. Pihak Kedua memakai  panjar biaya operasional berdasar  

perjanjian ini tidak sesuai dengan pemakaian nya.

f. Pihak Kedua tidak melakukan pembayaran kembali atas panjar biaya 

operasional yang telah diterima beserta biaya-biaya dan kewajiban- 

kewajiban lainnya terhadap Pihak Pertama yang timbul berdasar  

perjanjian ini pada waktu ditentukan dalam perjanjian ini.

g. Pihak Kedua menanggung utang pihak ketiga tanpa mendapatkan 

persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Pertama.

h. Pihak Kedua meninggalkan tempat/kedudukan tanpa seizin Pihak Pertama, 

meninggal dunia, atau dalam hal Pihak Kedua merupakan sesuatu badan 

hukum, pengurusnya meninggalkan tempat tinggal/kedudukan tanpa seizin 

Pihak Pertama, meninggal dunia atau mengambil keputusan untuk 

membubarkan badan itu, atau bila  susunan pengurus atau anggaran 

dasarnya diubah sehingga menurut pendapat Pihak Pertama risiko menjadi 

bertambah besar atau jaminan menjadi berkurang.

i. Terhadap Pihak Kedua diajukan permohonan pernyataan pailit atau ia 

sendiri mengajukan permohonan ini  dan dalam hal Pihak Kedua 

minta atau mendapat penundaan pembayaran.

j. Pihak Kedua menurut keputusan hakim atau menurut hukum tidak 

diperbolehkan menguasai atau mengurus harta bendanya atau dikenakan 

hukuman penjara.

k. Harta benda Pihak Kedua yang dipakai sebagai jaminan untuk mendapatkan 

pinjaman berdasar  perjanjian ini habis binasa atau terkena pencabutan

hak atasnya, ataupun pemilik tanah menghentikan hak-hak kebendaan 

atas harta/aset yang terikat kepada Pihak Pertama sebagai jaminan.

l. Timbulnya berbagai keadaan atau kejadian yang sedemikian rupa 

sehingga menurut pendapat Pihak Pertama menghendaki seketika itu 

juga perlu diambil tindakan-tindakan untuk mengamankan, menagih, 

dan menuntut pengembalian dari seluruh jumlah pinjaman serta jumlah 

lainnya yang telah diterima dan terutang oleh Pihak kedua terhadap 

Pihak Pertama.

m. Atas harta benda Pihak Kedua dilakukan penyitaan executorial atas 

penyitaan conservator.

Walaupun Pihak Pertama telah menentukan isi perjanjian secara lengkap dan 

menyeluruh, namun para pihak sering kali tidak mengotak atik substansi kontrak. 

Kontrak itu hanya sebuah pedoman bagi para pihak dalam melaksanakan hak dan 

kewajiban. Kontrak itu sesudah  ditandatangani lalu disimpan dalam lemari. Baru 

dibuka kembali bila  dalam pelaksanaan kontrak ini  memicu  persoalan, 

seperti Pihak Kedua tidak melaksanakan prestasi sebagaimana mestinya.

Pihak Pertama, dalam hal ini ekonomi kuat telah menentukan cara berakhirnya 

kontrak yang dilakukan secara sepihak, namun dalam kenyataannya pengusaha 

ekonomi kuat belum pemah menghentikan kontrak secara sepihak. Ini dipicu  

pengusaha membutuhkan mitra kerja yang saling menguntungkan. Tanpa adanya 

bantuan mitra ini  tidak mungkin pengusaha ekonomi, kuat dapat melaksanakan 

usahanya dengan baik. Pengusaha ekonomi kuat berkewajiban untuk membina 

mitra kerjanya.

M. PUTUSAN PENGADILAN

Penyelesaian sengketa di bidang kontrak dapat ditempuh melalui dua pola, 

yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar 

pengadilan lazim disebut dengan alternative dispute resolution (ADR). Cara ini 

dapat dilakukan dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. 

bila  kelima cara itu telah dilakukan oleh para pihak namun masih juga menemui 

jalan buntu maka salah satu pihak, terutama pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan 

kontrak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat kontrak atau 

objek berada.

Biasanya dalam kontrak yang dibuat oleh para pihak, telah ditentukan tempat 

penyelesaian sengketa. Di dalam Pasal 19 Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan 

Hutan tanpa Kompensasi antara Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan 

PT Newmont Nusa Tenggara disebutkan: ’’bila  persengketaan ini  tidak 

dapat diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat maka kedua belah pihak 

sepakat dan setuju untuk menyelesaikannya dengan memilih domisili di Pengadilan 

Negeri Mataram.” Ini berarti bahwa para pihak memilih Pengadilan Negeri Mataram 

tempat menyelesaikan sengketa. Pertimbangan dipilihnya Pengadilan Negeri

Mataram sebagai tempat menyelesaikan sengketa kontrak ini , sebab  sebagai 

berikut.

1. Perjanjian itu dibuat dan ditandatangani di Mataram.

2. Kantor Cabahg PT Newmont Nusa Tenggara dan Kantor Wilayah Kehutanan

dan Perkebunan Nusa Tenggara Barat berada di Mataram.

bila  dilihat objek perjanjian maka objeknya berada di wilayah hukum 

Pengadilan Negeri Sumbawa. Seharusnya penyelesaian sengketa kontrak itu 

diselesaikan oleh Pengadilan Negeri Sumbawa sebab  objeknya berada di 

Sumbawa, namun para pihak telah sepakat untuk menyelesaikannya di Pengadilan 

Negeri Mataram.

Hal yang sangat penting dilakukan oleh para pihak yang mengajukan sengketa 

kontrak ke Pengadilan yaitu  para pihak harus dapat membuktikan tentang apa 

yang dituntut. Misalnya, yang dituntut yaitu  menghentikan kontrak yang dibuat 

antara kreditur dan debitur. Permintaan penghentian kontrak ini dipicu  debitur 

tidak melaksanakan prestasi sebagaimana mestinya.

berdasar  apa yang diajukan oleh para pihak maka Pengadilan dapat 

memutuskan untuk mengakhiri kontrak yang dibuat oleh para pihak, berdasar  

alat bukti yang disampaikannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 

berakhirnya kontrak sebab  putusan pengadilan, yaitu tidak berlakunya kontrak 

yang dibuat oleh para pihak, yang dipicu  adanya putusan pengadilan yang 

telah memiliki  kekuatan hukum tetap.

Di kalangan pengusaha, dalam penyelesaian sengketa jarang mengajukan 

gugatan ke Pengadilan. sebab  untuk mengajukan perkara ke pengadilan 

membutuhkan biaya yang besar, waktu yang lama, dan timbulnya konflik yang 

terus-menerus di kalangan mereka. Untuk menghindari hal itu, mereka memakai  

cara-cara yang dianggap menguntungkan kedua belah pihak.

Walaupun di dalam kontrak yang dibuat oleh para pihak telah ditentukan 

cara penyelesaian sengketa, yaitu melalui pengadilan, namun dalam kenyataannya 

para pihak jarang menyelesaikan sengketa ini  ke pengadilan. Di kalangan 

pengusaha, jarang para pihak menggugat pihak lawannya ke pengadilan, hal ini 

dikemukakan Stewart Maculay. Stewart Maculay yang telah melakukan riset 

terhadap pengusaha di Wiscounsen, Amerika Serikat    bahwa banyak di antara mereka cenderung 

mengenyampingkan hukum kontrak (formal) dan doktrin kontrak. Terutama 

mereka menghindari untuk saling menggugat meskipun perkaranya benar-benar 

menurut hukum formal. Alasannya tidak aneh; pengusaha saling tergantung; 

mereka hidup dan bekerja dalam jaringan hubungan yang berkesinambungan. Di 

antara perusahaan manufaktur mungkin membeli penjepit kertas, pulpen, dan 

peralatan kantor dari dealer yang sama dari tahun ke tahun. Langsung menggugat; 

atau berselisih kelewat batas, atau mempertahankan hak-hak, atau mempertahankan

hak-hak yang tidak masuk akal akan- mengganggu; ini cenderung meretakkan 

hubungan yang bernilai ini. Juga ada norma, praktik, dan konsepsi rasa hormat 

dan sportif yang biasanya dianut oleh pengusaha.

Dari uraian ini, jelaslah bahwa para pengusaha di Amerika Serikat, di dalam 

menyelesaikan sengketa di kalangan mereka sebab  pengusaha saling tergantung; 

mereka hidup dan bekerja dalam jaringan hubungan yang berkesinambungan.


Read More
Published Februari 12, 2025 by

hukum kontrak 6

 



ang diajukan oleh Pihak 

Kedua.

Pasal 3

Tata Cara Pelaksanaan SPK

1. Untuk melaksanakan tugas ini  pada Pasal 1 Surat Perjanjian Kerja 

(Kontrak Kerja) ini, Pihak Kedua diwajibkan memenuhi persyaratan yang 

ada  pada dokumen kontrak yang terdiri dari: 

a. Surat Perjanjian Kerja;

b. Kerangka Acuan Kerja;

c. Dokumen Data Teknis;

d. Surat Penawaran;

e. Rencana Kerja;

f. dan lain-lain.

2. Semua dokumen ini  di atas merupakan suatu kesatuan yang tidak 

terpisah satu dengan lainnya.

Pasal 4

Hasil Pekerjaan

Produk dari pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan Pasal 2 di atas berupa buku- 

buku laporan.

a. Laporan Pendahuluan, merupakan laporan kemajuan pertama konsultan yang 

menguraikan hal-hal yang telah dilaksanakan oleh konsultan hingga bulan 1 

sebanyak 10 (sepuluh) eksemplar.

b. Laporan Kemajuan Bulanan, mengenai kegiatan program PDM-DKE di 

Kabupaten, yaitu

a. Laporan Kemajuan Bulan ke-1 berupa laporan pelaksanaan kegiatan 

sampai dengan bulan ke-2. Laporan ini dibuat sebanyak sepuluh 

eksemplar;

b. Laporan Kemajuan Bulan ke-2 berupa laporan pelaksanaan kegiatan 

sampai dengan bulan ke-3 termasuk laporan indikator dan target kinerja. 

Laporan ini dibuat sebanyak 10 (sepuluh) eksemplar;

c. Laporan Kemajuan Bulan ke-3 merupakan laporan pelaksanaan kegiatan 

sampai dengan bulan ke-4 termasuk laporan indikator dan target kinerja. 

Laporan ini dibuat sebanyak 10 (sepuluh) eksemplar;

d. Konsep Laporan Akhir, menguraikan sepuluh kegiatan yang telah 

dilaksanakan konsultan. Laporan ini dibuat sebanyak 10 (sepuluh) 

eksemplar;

e. Laporan Akhir, laporan ini dibuat sebanyak 20 (dua puluh) eksemplar;

f. Eksekutif Summary, laporan ini dibuat sebanyak 20 (dua puluh) eksemplar.

Pasal 5

Pengawasan dan Pelaksanaan Pekerjaan

1. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan yang disebutkan dalam Surat Perjanjian 

Kerja (SPK) akan dilakukan oleh Pengurus Yayasan, Konsultan Manajemen 

Pusat (KM-Pusat), Konsultan Monitoring Provinsi (KM-Prov), Tim Koordinasi 

Pengelola Program Kabupaten (TKPP-Kab)

2. Konsultan diharuskan melaksanakan pekerjaan ini  berdasar  perintah 

dan petunjuk dari Pengurus Yayasan, Konsultan Manajemen Pusat (KM-

Pusat), Konsultan Monitoring Provinsi (KM-Prop), Tim Koordinasi Pengelola 

Program Kabupaten (TKPP-Kab) dalam batas-batas dokumen penawaran.

3. Pengurus bertanggung jawab untuk mempersiapkan dan menyerahkan 

kepada konsultan segala sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan 

pekerjaan pada waktunya, sebelum atau selama berlangsungnya pekerjaan.

Pasal 6

Harga Kontrak

Harga kontrak ini  pada Pasal 1 yaitu  sebesar Rp 150.200.000,00 

(seratus lima puluh juta dua ratus ribu rupiah).

Pasal 7

Prosedur Pembayaran

1. Pembayaran dilakukan sebagai Beban Tetap melalui Bank Pemerintah yang 

ditunjuk.

2. Pembayaran ini  dalam ayat (1) pasal ini, dilakukan atas dasar Berita 

Acara Pemeriksaan prestasi kerja.

Pasal 8

Cara Pembayaran

Pembayaran harga kontrak pekerjaan sebagaimana disebutkan pada Pasal 6 

Surat Perjanjian Kerja ini dilaksanakan secara bertahap sebagai berikut.

1. Uang muka 30% dari harga kontrak, yaitu: 30% x Rp 150.200.000,00 = 

Rp45.060.000,00 (empat puluh lima juta enam puluh ribu rupiah)

2. Pembayaran dilakukan sekaligus tiga kali dari harga kontrak, yaitu

a. Pembayaran angsuran I (pertama) = 50% x Rpl50.200.000 = 

Rp75.100.000,00

Pengembalian uang muka = 50 % x Rp45.060.000,00 = Rp22.530.000,00 

Jumlah yang diterima = Rp52.570.000,00

(lima puluh dua juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah), dibayarkan 

bila  kemajuan pekerjaan telah mencapai 50% dan pihak kedua telah 

menyerahkan buku Laporan Pendahuluan, Laporan Bulanan Pertama 

dan Kedua serta diterima dengan baik oleh Pihak Pertama yang dinyatakan 

dengan Berita Acara kemajuan Pekerjaan yang disetujui oleh Pihak 

Pertama.

b. Pembayaran Angsuran II (kedua) = 40% x Rpl50.200.000,00 = Rp60.800.000,00 

Pengembalian Uang Muka = 40% x Rp45.060.000,00 = Rp18.024.000,00 

Jumlah yang diterima = Rp42.776.000,00

(empat puluh dua juta enam ribu rupiah), dibayarkan bila  kemajuan 

pekerjaan telah mencapai 90% dan Pihak Kedua telah menyerahkan

buku Draf Laporan Akhir, serta diterima dengan baik oleh Pihak Pertama 

yang dinyatakan dengan Berita Acara Kemajuan Pekerjaan yang 

disetujui oleh Pihak Pertama.

c. Pembayaran Angsuran III = 10% x Rpl50.200.000,00 = Rpl5.020.000,00 

Pengembalian uang muka = 10% x Rp45.060.000,00 = Rp4.506.000,00 

Jumlah yang diterima = Rp 10.514.000,00

(sepuluh juta lima ratus empat belas ribu rupiah), dibayarkan bila  

kemajuan pekerjaan telah mencapai 100% dan Pihak Kedua telah 

menyerahkan buku Executif Summary, serta diterima dengan baik oleh 

Pihak Pertama yang dinyatakan dengan Berita Acara Kemajuan 

Pekerjaan yang disetujui oleh Pihak Pertama.

Pasal 9 

Uang Muka

Jaminan Uang Muka:

1. Sebelum pembayaran uang muka oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua 

dilakukan maka Pihak Kedua wajib menyerahkan kepada Pihak Pertama 

jaminan uang muka berupa syarat jaminan yang diterbitkan oleh Menteri 

Keuangan sebesar Rp45.060.000,00 (empat puluh lima juta enam puluh ribu 

rupiah) atau 30% dari harga kontrak.

2. Jaminan uang muka ini  pada ayat 9.1. pasal ini secara berangsur- 

angsur diperhitungkan dalam tahap-tahap pembayaran sebagaimana 

dimaksud pada Pasal 8.

3. Surat jaminan uang muka dalam ayat 9.1. pasal ini menjadi milik negara dan 

dapat dicairkan oleh Pihak Pertama secara langsung bila  terjadi pemutusan 

perjanjian antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua sebagaimana yang di­

maksud pada Pasal 15 surat perjanjian ini.

Pasal 10

Pajak dan Pungutan Resmi Lainnya

Semua jenis pajak dan pungutan resmi lainnya yang berhubungan dengan

pelaksanaan pekerjaan pada Pasal 1 di atas ditanggung oleh Pihak Kedua.

Pasal 11

Jangka Waktu Pelaksanaan

1. Seluruh pekerjaan ini harus selesai dalam jangka waktu sesuai dengan 

waktu 3 (tiga) bulan terhitung tanggal 5 Oktober 2000 dan berakhir pada 

tanggal 31 Desember 2000.

2. Pekerjaan yang tercantum dalam F’asal 1 surat perjanjian ini harus diselesaikan 

tahap demi tahap, sesudah  mendapat persetujuan dari Pihak Pertama.

Pasal 12 

Domisili

Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat untuk memilih domisili tetap dan 

segala yang timbul akibat Surat Perintah Kerja (SPK) ini yaitu di Kantor Pengadilan 

Negeri Dompu.

Pasal 13

Keadaan Memaksa (Force Mejeure)

1. Jika kedaan memaksa Pihak Kedua akan dibebaskan dari tanggung jawab 

atas kerugian dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan.

2. Yang dimaksud keadaan memaksa pada ayat di atas yaitu  keadaan atau 

peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan Pihak Kedua untuk dapat mengatasinya 

maka dapat dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan adanya perubahan 

waktu pelaksanaan.

3. Yang dapat dianggap force mejeure antara lain, seperti

h. bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, dan banjir),

i. kebakaran,

j. perang, huru-hara, pemberontakan, pemogokan dan epidemi (wabah 

penyakit),

k. tindakan pemerintah di bidang moneter yang langsung memicu  

kerugian luar biasa, dan

l. untuk kelancaran pekerjaan, penentuan keadaan memaksa dalam hal 

ini  dapat diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah 

pihak.

Pasal 14

Penyelesaian Perselisihan

1. Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, pada dasarnya diselesaikan 

secara musyawarah.

2. Jika dengan jalan ayat (1) di atas gagal, maka dibentuk suatu Panitia Perwasitan 

(Arbitrase) yang anggotanya terdiri dari 3 (tiga) orang, yaitu

e. seorang wakil dari Pihak Pertama sebagai anggota,

f. seorang wakil dari Pihak Kedua sebagai anggota, dan

g. seorang Ahli sebagai Ketua pengangkatannya disetujui oleh kedua belah 

pihak.

3. Jika ternyata dengan jalan ayat (1) dan (2) gagal maka perselisihan ini akan 

diteruskan ke Pengadilan Negeri Dompu.

Pasal 15

Pembatalan Pekerjaan

1. Pihak Pertama berhak membatalkan pemberian tugas pekerjaan ini bila  

ternyata Pihak Kedua telah menyerahkan atau melimpahkan pekerjaan pada 

Pihak Ketiga.

2. bila  Pihak Kedua menurut pertimbangan Pihak Pertama ternyata dinilai 

tidak dapat atau tidak mampu lagi menyelenggarakan atau menyelesaikan 

pekerjaan ini  maka Pihak Pertama dapat membatalkan pekerjaan 

ini .

Pasal 16

Denda-Denda dan Sanksi-Sanksi

Kepada Pihak Kedua akan dikenakan denda/sanksi bila :

1. pekerjaan tidak dapat diselesaikan sesuai dengan batas waktu ini  

dalam Pasal 10;

2. dalam pelaksanaan pekerjaan ini  terbukti telah melanggar syarat-syarat 

yang telah ditentukan dan telah mendapat teguran secara tertulis selama 

tiga kali berturut-turut tapi tidak diindahkan;

3. besarnya denda untuk setiap hari keterlambatan ditetapkan 1/1000 (satu 

permil) dari nilai kontrak atau setinggi-tingginya 5% dari nilai kontrak;

4. semua penerimaan denda dalam hal ini seluruhnya disetor ke Kas Daerah;

5. bila  Pihak Kedua melanggar ketentuan yang tercantum dalam dokumen 

lelang ini maka kontrak akan dibatalkan dan Pihak Kedua bersedia untuk 

tidak diundang untuk mengikuti segala jenis proyek selama satu tahun.

Pasal 17

Aturan Tambahan

1. Segala sesuatu yang terjadi atas pelaksanaan pekerjaan ini yang belum diatur 

dalam pasal-pasal terdahulu akan diatur kemudian secara musyawarah oleh 

kedua belah pihak.

2. Jika dalam Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja) dimaksud ada  

kekeliruan dan kesalahan akan diperbaiki sebagaimana mestinya.

Pasal 18

Penutup

1. Surat perjanjian kerja ini dianggap sah dan mengikat sesudah  ditandatangani 

oleh kedua belah pihak.

2. Surat perjanjian kerja ini beserta lampiran-lampirannya merupakan suatu 

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

3. Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja) ini dibuat dan ditandatangani di 

Dompu oleh kedua belah pihak pada hari, tanggal, bulan, dan tahun ini 

di atas masing-masing dibubuhi meterai Rp6.000,00. Untuk keperluan 

administrasi Surat Perjanjian Kerja ini dibuat dalam rangkap sepuluh untuk 

dapat dipakai  sebagaimana mestinya.

Pihak Kedua 

Yayasan Abdi Insani 

ttd.

Dr. Mahsun. M.S.

Direktur Eksekutif

Pihak Pertama 

Pemimpin Proyek 

ttd.

Drs. Imran M. Hasan

NIP. 610 010 289

Mengetahui

Ketua BAPPEDA Kabupaten Dompu 

ttd.

Drs. H.B. Thamrin Rayes 

NIP. ....

bila  diperhatikan struktur dan substansi kontrak konsultasi di atas, tampaklah 

bahwa struktur dan substansi kontrak ini  telah memenuhi persyaratan- 

persyaratan teoretis, namun yang masih kurang dalam kontrak di atas yaitu  

belum dicantumkan berbagai definisi-definisi yang penting dalam kontrak. Sehingga 

pada masa yang akan datang definisi ini  perlu dicantumkan.

Struktur dan substansi kontrak konsultan pendamping ini dikemukakan berikut 

ini.

1. Subbagian pembuka (description o f the instrument), yang terdiri dari: (1) 

nama kontrak yaitu  Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja) Pekerjaan 

Konsultan Pendamping Kabupaten (KP-Kab) Proyek PDM-DKE, (2) tanggal 

kontrak, yaitu 5 Oktober 2000, dan (3) tempat dibuatnya perjanjian ini, yaitu  

di Kabupaten Dompu.

2. Subbagian pencantuman identitas para pihak (caption). Para pihak dalam 

perjanjian konsultan ini yaitu  Drs. Imran Hasan sebagai Pimpinan Proyek 

dan Dr. Mahsun, M.S. sebagai Konsultan Pendamping.

3. Alasan mengadakan kontrak, yaitu untuk menjadi konsultan pendamping 

dalam pelaksanaan PDM-DKE.

4. Bagian Isi

Bagian isi dari kontrak konsultan pendamping ini dimulai dari Pasal 1 sampai 

dengan Pasal 16. Isinya meliputi:

(1) surat perintah kerja,

(2) jenis pekerjaan,

(3) tata cara pelaksanaan SPK,

(4) hasil pekerjaan,

(5) pengawasan dan pelaksanaan pekerjaan,

(6) harga kontrak,

(7) prosedur pembayaran,

(8) cara pembayaran,

(9) uang muka,

(10) pajak dan pungutan resmi lainnya,

(11) jangka waktu pelaksanaan,

(12) domisili,

(13) keadaan memaksa,

(14) penyelesaian perselisihan,

(15) pembatalan pekerjaan, serta

(16) denda-denda dan sanksi.

5. Bagian Penutup

Bagian penutup dalam kontrak hanya mengatur satu pasal, yaitu Pasal 18. 

Pasal 18 ini berisi tentang: (1) kekuatan mengikat dari kontrak, (2) SPK 

beserta lampirannya merupakan satu kesatuan, dan (3) penandatanganan 

kontrak oleh para pihak.

Para ahli hukum dan konsultan kontrak haruslah menguasai dan memahami 

struktur dan anatomi kontrak. sebab  dengan memahami struktur dan anatomi 

kontrak dapat mempermudah para konsultan untuk dapat memformulasikan 

substansi kontrak dengan baik.

F. PASCA PENYUSUNAN KONTRAK

bila  kontrak telah dibuat dan ditandatangani oleh para pihak, maka ada 

dua hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut.

1. Pelaksanaan dan penafsiran

sesudah  suatu kontrak disusun barulah dapat dilaksanakan. Kadang-kadang 

kontrak yang telah disusun tidak jelas/tidak lengkap sehingga masih diperlukan 

adanya penafsiran. Berkaitan dengan hal ini , undang-undang telah 

menentukan sejauh mana penafsiran dapat dilaksanakan dengan memper­

hatikan hal berikut ini:

a. kata-kata yang dipergunakan dalam kontrak,

b. keadaan dan tempat dibuatnya kontrak,

c. maksud para pihak,

d. sifat kontrak yang bersangkutan, dan

e. kebiasaan setempat.

2. Alternatif penyelesaian sengketa

Dalam pelaksanaan kontrak mungkin ada  sengketa. Para pihak bebas 

menentukan cara yang akan ditempuh jika timbul sengketa di kemudian 

hari. Biasanya penyelesaian sengketa diatur secara tegas dalam kontrak. 

Para pihak dapat memilih lewat pengadilan atau di luar pengadilan. Setiap 

cara yang dipilih memiliki  kelebihan dan kekurangan masing-masing yang

harus dipertimbangkan sebelum memilih cara yang dianggap cocok untuk 

diterapkan. Jika memilih lewat pengadilan, apakah pengadilan berwenang 

menyelesaikan sengketa ini , kemungkinan dapat dilaksanakannya secara 

penuh, juga waktu dan biaya yang diperlukan selama proses pengadilan.

D ---------------------------------------------

1. a. Kemukakan hal-hal yang harus diperhatikan oleh para pihak yang akan

mengadakan kontrak!

b. Kemukakan pengertian standar kontrak!

2. a. Sebutkan prinsip-prinsip dalam pembuatan kontrak!

b. Sebelum kontrak dibuat maka ada empat hal yang harus diperhatikan 

oleh para pihak. Sebutkan dan jelaskan!

3. a. Sebutkan pengertian tentang memorandum o f understanding! 

b. Sebutkan ciri-ciri memorandum o f understanding!

4. a. Sebutkan jenis-jenis negosiasi yang Anda ketahui!

b. Sebutkan tahap-tahap dalam melakukan negosiasi!

5. a. Sebutkan tahap-tahap dalam membuat kontrak! 

b. Sebutkan struktur kontrak yang Anda ketahui!

6. Buatkan sebuah contoh kontrak jual beli antara pihak A dan B, beserta hak 

dan kewajiban para pihak!

OLA PENYELESAIAN SENGKETA 

DI BIDANG KONTRAK

A. BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA

Pada dasarnya setiap kontrak (perjanjian) yang dibuat para pihak harus dapat 

dilaksanakan dengan sukarela atau iktikad baik, namun dalam kenyataannya kontrak 

yang dibuatnya seringkah dilanggar. Persoalannya kini, bagaimanakah cara 

penyelesaian sengketa yang terjadi di antara para pihak? Pola penyelesaian sengketa 

dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu (1) melalui pengadilan, dan (2) alternatif 

penyelesaian sengketa.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yaitu  suatu pola penyelesaian 

sengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan oleh pengadilan. 

Putusannya bersifat mengikat. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui alternatif 

penyelesaian sengketa (ADR) yaitu  lembaga penyelesaian sengketa atau beda 

pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di 

luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian 

ahli (Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase 

dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa). bila  mengacu ketentuan 

Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian 

sengketa melalui ADR dibagi menjadi lima cara, yaitu

1. konsultasi,

2. negosiasi,

3. mediasi,

4. konsiliasi, atau

5. penilaian ahli.

Di dalam literatur juga disebutkan dua pola penyelesaian sengketa, yaitu the 

binding adjudicative procedure dan the nonbinding adjudicative procudere. 

1. The binding adjudicative procedure, yaitu suatu prosedur penyelesaian 

sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim mengikat para pihak. 

Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu

(1) Litigasi,

(2) Arbitrase,

(3) Mediasi-Arbitrase, dan

(4) Hakim Partikelir.

2. The nonbinding adjudicative procedure, yaitu suatu proses penyelesaian 

sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim atau orang yang ditunjuk 

tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dibagi 

menjadi enam macam, yaitu

(1) Konsiliasi,

(2) Mediasi,

(3) Mini-Trial,

(4) Summary Jury Trial,

(5) Neutral Expert Fact-Finding, dan

(6) Early Expert Neutral Evaluation (Rudjiono, 1996: 3).

Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda antara satu dengan yang lainnya. 

Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang dihasilkan 

oleh institusi ini . Kalau the binding adjudicative procedur, putusan yang 

dihasilkan oleh institusi yang memutuskan perkara yaitu  mengikat para pihak, 

sedangkan dalam the nonbinding adjudicative procedur, putusan yang 

dihasilkan tidak mengikat para pihak. Artinya dengan adanya putusan itu para 

pihak dapat menyetujui atau menolak isi putusan ini . Persamaan dari kedua 

pola penyelesaian sengketa ini  yaitu  sama-sama memberi  putusan 

atau pemecahan dalam suatu masalah .

Kesepuluh jenis sengketa ini  dijelaskan dalam sub-subbab berikut ini.

B. LITIGASI

Litigasi merupakan suatu proses gugatan, suatu sengketa diritualisasikan 

yang menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberi  

kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan.

pemakaian  sistem litigasi memiliki  keuntungan dan kekurangannya dalam 

penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya, yaitu

1. dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang-kurangnya 

dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi 

hasil dan dapat menjamin ketenteraman sosial;

2. litigasi sangat baik sekali untuk    berbagai kesalahan dan masalah 

dalam posisi pihak lawan;

3. litigasi memberi  suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberi  

peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum 

mengambil keputusan;

4. litigasi membawa nilai-nilai warga  untuk penyelesaian sengketa pribadi;

5. dalam sistem litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai warga  yang 

terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa litigasi tidak hanya menyelesaikan 

sengketa,namun  lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum, 

yang tertuang dalam undang-undang secara eksplisit maupun implisit. Namun

litigasi setidak-tidaknya sebagaimana ada  di Amerika Serikat, memiliki banyak 

kekurangan (drawbacks) (Garry Goodpaster, dkk., 1995: 6). Kekurangan litigasi, 

yaitu

1. memaksa para pihak pada posisi yang ekstrem;

2. memerlukan pembelaan (aclvocasy) atas setiap maksud yang dapat mem­

pengaruhi putusan;

3. litigasi benar-benar mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, 

apakah persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan 

kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang 

ekstrem dan seringkah marginal;

4. menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan;

5. fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan, para 

pihak tidak selalu mampu mengungkapkan kekhawatiran mereka yang 

sebenarnya;

6. litigasi tidak mengusaha kan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan 

para pihak yang bersengketa;

7. litigasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris, yaitu sengketa 

yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan 

alternatif penyelesaian.

Proses litigasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan-persoalan 

sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap 

membuat keputusan.

C. ARBITRASE

1. Pengertian Arbitrase

Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah 

dicantumkan pengertian arbitrase. Arbitrase yaitu  penyelesaian sengketa perdata 

di luar peradilan umum yang berdasar  pada perjanjian arbitrase yang dibuat 

secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Frank Alkoury dan Eduar Elkoury, 

mengartikan arbitrase yaitu  sebagai:

’’Suatu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara 

sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral 

sesuai dengan pilihan mereka, di mana putusan mereka didasarkan dalil- 

dalil dalam perkara ini . Para pihak setuju sejak semula untuk menerima 

putusan ini  secara final dan mengikat (dalam M. Husseyn Umar dan 

A. Suiani Kardono, tt: 2)

Kedua definisi arbitrase di atas ada  perbedaan dan persamaan. 

Perbedaannya dapat dikaji dari unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi 

ini . Unsur-unsur arbitrase yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- 

Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu

a. penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum,

b. berdasar  perjanjian arbitrase,

c. bentuk perjanjiannya tertulis, dan

d. disepakati para pihak.

Sedangkan unsur-unsur yang tercantum dalam definisi Frank Alkoury dan 

Eduar Elkoury yaitu  sebagai berikut:

a. proses yang mudah atau simpel,

b. dipilih para pihak secara sukarela,

c. diputus oleh juru sita, dan

d. berdasar  dalil-dalil dalam perkara ini .

e. para pihak menyetujui putusan sejak semula secara final dan mengikat. 

bila  dibandingkan kedua unsur ini  di atas tampaklah bahwa pada

definisi yang pertama difokuskan pada ada atau tidak adanya perjanjian arbitrase 

yang dibuat oleh para pihak. Perjanjian arbitrase yaitu  suatu kesepakatan 

berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang 

dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase 

tersendiri yang dibuat para pihak sesudah  timbul sengketa. Perjanjian arbitrase 

dibuat pada sebelum dan sesudah timbulnya sengketa. Sedangkan pada definisi 

kedua difokuskan pada proses pelaksanaan dari lembaga arbitrase, yaitu mudah 

dan simpel. Proses yang mudah atau simpel yaitu  suatu proses yang tidak me­

merlukan prosedur dan syarat-syarat yang berbelit-belit dan panjang, sebagaimana 

yang terjadi dalam perkara litigasi.

2. Dasar Hukum

Pada mulanya ketentuan tentang arbitrase diatur di dalam RV dan HIR. 

RV atau Burgerlijke Reglement op de Rechtsvoerdering yaitu  suatu ketentuan 

yang mengatur tentang tata cara beracara yang diberlakukan bagi golongan 

Eropa dan dipersamakan dengan itu. Ketentuan tentang arbitrase di dalam RV 

diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 RV.

Ketentuan dalam RV ini sekarang tidak berlaku lagi sebab  tidak sesuai 

dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya. Oleh sebab  itu, 

ketentuan dalam RV ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 

1999 tentang Arbitrase Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ada tiga pertimbangan 

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Alternatif 

Penyelesaian Sengketa, yaitu

a. bahwa berdasar  peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian 

sengketa perdata, di samping dapat diajukan ke pengadilan umum juga ter­

buka kemungkinan melalui arbitrase penyelesaian sengketa;

b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian 

sengketa melalui arbitrase tidak sesuai dengan perkembangan dunia usaha 

dan hukum pada umumnya;

c. bahwa berdasar  pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf 

a dan b, perlu membentuk undang-undang tentang arbitrase dan alternatif 

penyelesaian sengketa.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 terdiri atas 11 bab dan 82 pasal.

Masing-masing bab dikemukakan berikut ini:

Bab I : Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 Undang-Undang 

Nomor 30 Tahun 1999);

Bab II : Alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 

30 Tahun 1999);

Bab III : Syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar (Pasal 7 

s.d. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);

Bab IV : Acara yang berlaku di hadapan majelis arbitrase (Pasal 27 sampai 

dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);

Bab V : Pendapat dan putusan arbitrase (Pasal 52 sampai dengan Pasal 58 

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);

Bab VI : Pelaksanaan putusan arbitrase (Pasal 59 sampai dengan Pasal 69 

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);

Bab VII : Pembatalan putusan arbitrase (Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);

Bab VIII : Berakhir tugas arbitrase (Pasal 73 sampai dengan Pasal 74 Undang- 

Undang Nomor 30 Tahun 1999);

Bab IX : Biaya arbitrase (Pasal 75 sampai dengan Pasal 77 Undang-Undang 

Nomor 30 Tahun 1999).

3. Jenis-Jenis Lembaga Arbitrase

Lembaga arbitrase dibagi dua macam, yaitu (1) arbitrase acl hoc dan (2) 

arbitrase institusional. Arbitrase ad hoc atau volunter yaitu  arbitrase yang 

ditujukan untuk masalah  tertentu untuk satu kali penunjukan (M. Yahya Harahap, 

1991: 150). Sedangkan arbitrase institusional (institusional arbitration) yaitu  

lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen (Pasal 1 ayat (2) Konvensi 

New York, 1958). Arbitrase institusional dibagi menjadi dua sifat, yaitu nasional 

dan internasional (Pasal 59 dan 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). 

Dikatakan bersifat nasional sebab  pendiriannya hanya untuk kepentingan bangsa 

dari negara yang bersangkutan. Yang termasuk arbitrase nasional, yaitu  Bani 

(Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan Bami (Badan Arbitrase Muamalat 

Indonesia).

Arbitrase internasional merupakan pusat penyelesaian persengketaan antara 

berbagai pihak yang berbeda kewarganegaraannya (M. Yahya Harahap, 1991: 

152). Yang termasuk arbitrase yang bersifat internasional, yaitu  (1) The Court 

o f Arbitration o f the International Chamber o f Commerce (ICC) Paris, (2) 

The London Court o f International Arbitration, (3) Arbitration Institute 

Stocholm, (4) The American Arbitration Association, (5) The International 

Center for The Settlement o f Investment Disputes (ICSID), dan (6) The United 

Nations Commission on International Trade (UNCINTRAL).

4. Alasan Memilih Arbitrase

Di dalam laporan Seminar Nasional Mengenai Arbitrase sebagai Alternatif 

Penyelesaian Sengketa, dicantumkan tiga alasan pemilihan institusi arbitrase, 

yaitu sebagai berikut:

a. Penyelesaian cepat

Umumnya prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas waktu 

penyelesaian dalam setiap tahap penyelesaian sengketa. Di negara yang 

sudah maju proses arbitrase hanya memerlukan waktu sekitar 60 hari. Di 

samping itu, keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat (final and 

binding) sehingga tidak tersedia usaha  naik banding.

b. Terjaga kerahasiaannya (confidential)

Proses pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan 

secara tertutup (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999) dan 

tidak ada publikasi. Dengan demikian bagi pihak-pihak yang bersengketa 

terjaga kerahasiaannya. Para arbiter juga terikat oleh ketentuan untuk tidak 

mem-beritahukan materi sengketa tanpa seizin seluruh pihak yang bersengketa. 

Pelanggaran terhadap batasan ini maka para arbiter dianggap melampaui 

wewenang (manifestly exceeded its power) dan merupakan perbuatan 

melawan hukum, sehingga dapat dituntut pertanggungjawaban hukumnya. 

Asas ini bertolak belakang dengan praktik pengadilan, sebab  dalam keputusan 

pengadilan berlaku asas terbuka untuk umum, artinya setiap putusan pengadilan 

harus dalam sidang terbuka.

c. Biaya lebih rendah

Biaya arbitrase ditentukan oleh arbiter. Biaya itu meliputi: (1) honorarium, 

(2) biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan 

sengketa, dan (3) biaya administrasi (Pasal 76 Undang-Undang Nomor 30 

Tahun 1999). Jasa pengacara tidak terlalu diperlukan dalam proses arbitrase, 

sebab  prosedur arbitrase dibuat sesederhana mungkin, tidak formal bahkan 

dapat dengan tata cara yang diusulkan oleh pihak-pihak yang berperkara 

sendiri. Di samping itu, para arbiter yaitu  para ahli dan praktisi di bidang 

yang menjadi pokok sengketa, serta memiliki reputasi tinggi sehingga diharap­

kan mampu memberi  putusan dengan cepat dan objektif. Secara umum 

dapat dikatakan bahwa biaya arbitrase lebih rendah dibanding biaya perkara 

melalui pengadilan (Ery Setiawan dan Ny.Yuliana, 1995).

D' samping hasil seminar ini , Garry Goodpaster, dkk, juga mengemuka­

kan tujuh alasan para pihak memilih cara arbitrase dalam menyelesaikan sengketa 

yang timbul di antara mereka. Ketujuh alasan itu yaitu 

a. kebebasan, kepercayaan, dan keamanan,

b. keahlian (expertise),

c. cepat dan hemat biaya,

d. bersifat rahasia,

e. kepekaan arbiter, dan

f. pelaksanaan putusan (Garry Godpaster, dkk., 1995: 4-5).

Putusan arbitrase mudah dilaksanakan, dibandingkan dengan putusan 

pengadilan. Hal ini dipicu  putusan arbitrase pada umumnya bersifat final 

dan tidak dapat diajukan banding, kecuali atas dasar hal-hal yang sangat khusus.

5. Sengketa yang Dapat Diselesaikan Melalui Arbitrase

Pada dasarnya tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui lembaga 

arbitrase. Sengketa yang dapat diputus melalui arbitrase yaitu 

a. sengketa di bidang perdagangan, dan

b. mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan 

dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase yaitu  sengketa 

yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian 

(Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). bila  kita mengacu pada 

ketentuan ini, jelaslah bahwa sengketa yang tidak dapat diputuskan oleh lembaga 

arbitrase yaitu  sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian. Dengan 

demikian, bila  sengketa ini  dapat diadakan perdamaian maka sengketa 

ini  dapat diajukan ke lembaga arbitrase.

6. Bentuk Klausula Perjanjian Arbitrase

Bentuk klausula perjanjian arbitrase diatur dalam Pasal 7 sampai dengan 

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Di dalam ketentuan itu, klausula 

perjanjian arbitrase dibagi dua macam, yaitu

a. pactum de compromittendo-,

b. akta kompromis.

Yang dimaksud dengan pactum de compromittendo yaitu  perjanjian 

arbitrase yang dibuat sebelum terjadinya perselisihan. Pactum de compromittendo 

ini biasa juga dikenal dengan istilah klausula arbitrase. Isi klausula arbitrase ini 

bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi 

antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase (Pasal 7 Undang-Undang 

Nomor 30 Tahun 1999). Klausula ini dibuat bersamaan dengan perjanjian pokok 

sehingga isinya hanya bersifat umum. Keuntungan mencantumkan klausula 

arbitrase dalam perjanjian pokoknya yaitu  bila  terjadi perselisihan maka 

otomatis akan diselesaikan oleh arbiter. Sedangkan kelemahannya yaitu  belum 

adanya penunjukan arbiter yang akan menangani perselisihan ini .

Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat 

tercatat, teleks, faksimili, e-mail, atau dengan buku ekspedisi kepada termohon 

bahwa syarat arbitrase yang diadakan antara pemohon dengan termohon berlaku 

(Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).

Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase memuat dengan jelas:

a. nama dan alamat para pihak,

b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku,

c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa,

d. dasar tuntutan dan jumlah dituntut, bila  ada,

e. cara penyelesaian yang dikehendaki, dan

f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau bila  

tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan 

usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Yang dimaksud dengan akta kompromis yaitu  suatu akta yang berisi perjanjian 

arbitrase yang dibuat oleh para pihak sesudah  terjadinya sengketa. Perjanjian arbitrase 

ini dibuat dalam Akta Notaris (Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang 

Nomor 30 Tahun 1999). Keuntungan memakai  akta kompromis ini yaitu  

penunjukan siapa arbiter yang akan menangani perselisihan sudah jelas. Sedangkan 

kelemahannya yaitu  bila terjadi perselisihan belum tentu bisa diselesaikan melalui 

arbitrase. Perjanjian tertulis ini harus memuat:

a. masalah yang dipersengketakan,

b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak,

c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase,

d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan,

e. nama lengkap sekretaris,

f. jangka waktu penyelesaian sengketa,

g. pernyataan kesediaan dari arbiter, dan

h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala 

biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase (Pasal 

9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).

Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal ini  di atas yaitu  batal demi 

hukum. Artinya perjanjian itu dari semula dianggap tidak ada. Hal-hal yang tidak 

memicu  batal perjanjian arbitrase yaitu  keadaan-keadaan berikut ini:

a. meninggalnya salah satu pihak,

b. bangkrutnya salah satu pihak,

c. novasi,

d. insolvensi salah satu pihak,

e. pewarisan,

f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok,

g. bilamana pelaksanaan perjanjian ini  dialihtugaskan pada pihak ketiga 

dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase ini , 

dan

h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 

30 Tahun 1999).

Walaupun keadaan ini  terjadi maka perjanjian arbitrase tidak menjadi 

batal. Dengan adanya perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak 

untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam 

perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak 

akan intervensi dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui 

arbitrase, kecuali ditentukan lain.

7. Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase

Prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur dalam Pasal 27 

sampai dengan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase 

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Prinsip-prinsip atau asas-asas dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga 

arbitrase yaitu  sebagai berikut.

a. Semua pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup.

b. Bahasa yang dipakai  yaitu  bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan 

arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang 

akan dipakai .

c. Para pihak yang bersengketa memiliki  hak dan kesempatan yang sama 

dalam mengemukakan pendapatnya masing-masing.

d. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat 

kuasa khusus.

e. Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan 

diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Syaratnya (1) 

ada  unsur kepentingan yang terkait, (2) keturutsertaannya disepakati 

oleh para pihak yang bersengketa, dan (3) disetujui oleh arbiter atau majelis 

arbitrase.

f. Para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang dipakai  dalam 

pemeriksaan sengketa. Dengan syarat harus dituangkan dalam perjanjian 

yang tegas dan tertulis.

g. Semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau 

majelis arbitrase akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam 

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

h. Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat 

mengambil keputusan provisional atau putusan sela lainnya untuk mengatur 

ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, 

memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang 

yang rusak.

i. Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen 

atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan 

oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Prosedur pemeriksaan dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase 

yaitu  pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan sengketa secara tertulis 

kepada arbiter atau majelis arbitrase. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan 

bila  disetujui para pihak. sesudah  menerima permohonan ini , langkah- 

langkah yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase sebagai berikut.

a. Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, 

pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis 

arbitrase. Surat tuntutan itu harus memuat sekurang-kurangnya:

(1) nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak,

(2) uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti, 

dan

(3) isi tuntutan yang jelas.

b. sesudah  menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis 

arbitrase menyampaikan suatu salinan tuntutan ini  dengan disertai 

perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberi  jawaban secara 

tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya 

salinan ini  oleh termohon.

c. Segera sesudah  diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter atau 

ketua majelis arbitrase, salinan jawaban diserahkan kepada pemohon.

d. Arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau 

kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling 

lama 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.

e. bila  termohon sesudah  lewat 14 (empat belas) hari tidak menyampaikan 

jawabannya, termohon akan dipanggil untuk menghadap pada sidang arbitrase 

berikutnya.

f. Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama termohon 

dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan ini  

pemohon diberi kesempatan untuk menanggapinya. Tuntutan balasan diperiksa 

dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama-sama dengan 

sengketa.

g. bila  pada hari yang telah ditentukan, pemohon tanpa alasan yang sah 

tidak dapat menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat 

tuntutannya dinyatakan gugur, dan oleh arbiter atau majelis arbitrase dianggap 

selesai. Begitu juga sebaliknya, termohon tanpa alasan yang sah tidak datang 

menghadap sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau 

majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali.

h. Paling lama 10 (sepuluh) hari sesudah  pemanggilan kedua diterima termohon 

dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka 

persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan 

tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan 

atau tidak berdasar  hukum.

i. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, 

arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian 

antara pihak yang bersengketa.

j. bila  usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase 

membuat akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan meme­

rintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian ini .

k. Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan bila  perdamaian tidak 

tercapai.

l. Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis 

pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk 

menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter 

dan majelis arbitrase.

m. Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk 

mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya 

yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh majelis arbitrase.

n. Sebelum ada jawaban tertulis dari termohon, pemohon dapat mencabut 

surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.

o. Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau penambahan 

surat tuntutan hanya diperoleh dengan persetujuan termohon dan sepanjang 

perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja 

dan tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar permohonan. 

Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama

180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. 

Jangka waktu itu dapat diperpanjang, asal ada persetujuan para pihak dan diperlu­

kan. Susaha  dapat mengambil keputusan dengan adil dan patut maka arbiter 

atau majelis arbitrase, memiliki  kewenangan untuk:

a. menentukan tempat arbitrase, kecuali ditentukan oleh para pihak;

b. mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap 

perlu pada empat tertentu di luar tempat arbitrase diadakan;

c. pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase;

d. mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan. 

Keempat kewenangan harus dapat dijalankan dengan baik oleh para arbiter 

atau majelis arbitrase.

8. Pendapat dan Putusan Arbitrase

Selain kewenangan untuk menyelesaikan sengketa arbitrase, arbiter atau 

majelis arbitrase dapat juga diminta oleh para pihak untuk memohon pendapat 

yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan tertentu dari suatu perjanjian. 

Pendapat yang mengikat ini tidak dapat dilakukan perlawanan melalui usaha  

hukum apa pun. Pendapat atau putusan lembaga arbitrase itu harus dituangkan 

dalam putusan arbitrase.

Putusan arbitrase harus memuat hal-hal berikut ini.

a. Kepala putusan yang berbunyi: ’’Demi Keadilan berdasar  Ketuhanan 

Yang Maha Esa”.

b. Nama singkat sengketa.

c. Uraian singkat sengketa.

d. Pendirian para pihak.

e. Nama lengkap dan alamat arbiter.

f. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai 

keseluruhan sengketa.

g. Pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal ada  perbedaan pendapat dalam 

majelis arbitrase.

h. Amar putusan.

i. Tempat dan tanggal putusan.

j. Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.

bila  putusan arbitrase tidak ditandatangani oleh seorang arbiter dengan 

alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya 

putusan. Alasan tentang tidak adanya tanda tangan harus dicantumkan dalam 

putusan. Di samping itu, dalam putusan ditetapkan jangka waktu dilaksanakan 

putusan ini . bila  pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera 

ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase.

Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasar  ketentuan 

hukum atau berdasar  keadilan dan kepatutan. Putusan diucapkan dalam 

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sesudah  pemeriksaan ditutup.

Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sesudah  putusan diterima. 

Para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase 

untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah 

atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.

9. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Ada dua sifat lembaga arbitrase, yaitu nasional dan internasional. Dengan 

adanya perbedaan sifat antara arbitrase nasional dan internasional maka akan 

berbeda pula prosedur yang ditempuh oleh pemohon dalam pelaksanaan putusan 

lembaga arbitrase.

Prosedur pelaksanaan putusan arbitrase nasional dikemukakan berikut ini.

a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan 

diucapkan, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan 

dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri.

b. Lembar asli atau salinan putusan dilakukan pencatatan dan penandatanganan 

pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri, 

yang merupakan akta pendaftaran.

c . Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan 

sebagai arbiter atau salinan autentiknya kepada panitera pengadilan negeri.

bila  ketiga hal itu tidak dipenuhinya berakibat putusan arbitrase tidak 

dapat dilaksanakan. Sedangkan semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan 

akta kekuatan bersifat final, (2) memiliki  kekuatan hukum yang tetap, dan

(3) mengikat para pihak.

bila  para pihak tidak dapat melaksanakan putusan arbitrase secara 

sukarela maka pelaksanaan putusan ditentukan sebagai berikut.

a. Putusan dilaksanakan berdasar  perintah Ketua Pengadilan Negeri atas 

permohonan salah satu pihak yang bersengketa.

b. Perintah dimaksud diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari 

sesudah  permohonan eksekusi didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri.

c. Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberi  perintah, memeriksa terlebih 

dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, 

serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

d. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan, Ketua Pengadilan 

Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan 

Ketua Pengadilan Negeri ini  tidak terbuka usaha  hukum apa pun.

e. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari 

putusan arbitrase.

f. Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembaran asli dan salinan 

autentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.

g. Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri 

dilaksanakan sesuai ketentuan putusan dalam perkara perdata yang 

keputusannya telah memiliki  kekuatan hukum tetap (Pasal 62 sampai 

dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).

Prinsip-prinsip dalam pelaksanaan arbitrase internasional dikemukakan berikut 

ini. Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan 

Arbitrase Internasional yaitu  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan 

Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum 

Republik Indonesia, bila  memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase 

di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik 

secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan 

putusan Arbitrase Internasional.

b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas 

pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam 

ruang lingkup hukum perdagangan.

c . Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas 

pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia sesudah  

memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang 

menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam 

sengketa, hanya dapat dilaksanakan sesudah  memperoleh eksekutor dari 

Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 65 sampai dengan Pasal 66 Undang- 

Undang Nomor 30 Tahun 1999).

Prosedur pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dikemukakan berikut 

ini. Permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dilakukan sesudah  

putusan ini  diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada 

panitia Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penyampaian berkas permohonan 

pelaksanaan putusan arbitrase harus disertai dengan:

a. lembar asli atau salinan autentik putusan Arbitrase Internasional dilakukan 

sesudah  putusan ini  diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasa 

kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;

b. lembar asli atau salinan autentik perjanjian yang menjadi dasar putusan 

Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal autentifikasi dokumen asing, 

dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;

c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat 

putusan Arbitrase Internasional ini  ditetapkan, yang menyatakan bahwa 

negara pemohon terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun 

multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan 

pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional.

berdasar  permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dan 

hasil kajiannya maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat menetapkan 

dan memutuskan, dua kemungkinan berikut ini, yaitu

a. dapat melaksanakan putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, sebab  

telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Putusan ini tidak dapat 

diajukan banding atau kasasi;

b. menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan Arbitrase 

Internasional.

bila  Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak putusan Arbitrase 

Internasional ini  maka pemohon atau termohon dapat mengajukan kasasi 

kepada Mahkamah Agung RI. Selanjutnya Mahkamah Agung mempertimbangkan 

serta memutuskan setiap pengajuan kasasi dalam jangka waktu paling lama 90 

(sembilan puluh) hari sesudah  permohonan kasasi ini  diterima oleh Mahkamah 

Agung. Putusan Mahkamah Agung tidak dapat diajukan usaha  perlawanan. 

sesudah  Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberi  periksa eksekusi 

maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri 

yang secara relatif berwenang melaksanakannya. Sita eksekusi dapat dilakukan 

atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. Tata cara penyitaan 

serta melaksanakan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam 

hukum acara perdata.

10. Pembatalan Putusan Arbitrase

Pada dasarnya putusan arbitrase dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan 

Negeri. Putusan arbitrase yang dapat dimintakan pembatalan, bila  mengandung 

unsur-unsur sebagai berikut.

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, sesudah  putusan 

diajukan diakui palsu atau dinyatakan palsu.

b. sesudah  putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang 

disembunyikan oleh pihak lawan.

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu 

pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis 

kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari 

terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera 

Pengadilan Negeri. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh ketua 

pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan 

diterima dari Panitera Pengadilan Negeri. Putusan permohonan pembatalan ada 

dua kemungkinan, yaitu ditolak atau dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. 

bila  putusan pembatalan itu dikabulkan maka Ketua Pengadilan Negeri 

menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan 

arbitrase. Terhadap putusan Pengadilan Negeri ini , pemohon atau termohon 

dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus 

dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta 

memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari 

sesudah  permohonan banding ini  diterima oleh Mahkamah Agung.

11. Berakhirnya Tugas Arbiter

Berakhirnya tugas arbiter diatur dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal 74 

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Tugas Arbiter berakhir sebab :

a. putusan mengenai sengketa telah diambil,

b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah 

diperpanjang oleh pihak telah lampau, atau

c. para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. 

Meninggalnya salah satu pihak tidak memicu  tugas yang telah diberikan

kepada arbiter berakhir.

D. MEDIASI-ARBITRASE (MED-ARB)

Salah satu variasi dari mediasi yaitu  suatu prosedur di mana sengketa 

pertama kali diselesaikan dengan mediasi dan berikutnya bilamana perlu terhadap 

isi isu yang tidak terselesaikan dilakukan melalui arbitrase. Bila mediasi gagal 

menyelesaikan sengketa itu, mediator akan memberi saran kepada para pihak 

hasil apa yang kira-kira akan diperoleh bila masalah  ini  diselesaikan melalui

arbitrase,namun  mediator tidak diperkenankan menjadi arbiter dalam sengketa 

ini . Para pihak sebelumnya harus telah menyetujui bahwa bila mereka tidak 

dapat menyelesaikan sengketa mereka melalui mediasi, mereka akan menyerahkan 

sengketanya kepada orang lain atau suatu panel untuk suatu arbitrase yang mengikat.

E. HAKIM PARTIKELIR (PRIVATE JUDGES)

Pemeriksaan isu-isu tertentu atau keseluruhan sengketa di depan hakim 

partikelir, wasit atau magister, harus dengan suatu penunjukan, atas dasar 

persetujuan para pihak. Hakim partikelir, wasit, mendengar dan menentukan 

sebagian atau seluruh isu dalam suatu gugatan perdata. sesudah  persidangan 

secara partikelir, wasit atau hakim partikelir akan menyerahkan penemuan- 

penemuan fakta dan kesimpulan hukumnya secara tertulis kepada pengadilan 

yang menunjuknya. Ini semua mewakili pertimbangan/putusan dari pengadilan 

yang ditunjuk, yang tidak sama dengan putusan arbitrase, di situ hak-hak untuk 

melakukan usaha  hukum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Prosedur ini 

menyediakan keluwesan waktu dan pemilihan pembuat keputusan.

Prosedur ini juga memperbolehkan para pihak untuk menentukan apakah 

akan menerapkan ketentuan pembuktian dan prosedur beracara, dan apakah 

akan merekam seluruh acara. Tidak sama dengan seorang arbiter, seorang 

hakim partikelir disyaratkan menerapkan hukum substantif sebagaimana bila  

sengketa itu dilitigasikan.

F. KONSILIASI

Salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu  konsiliasi. 

Konsiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 33 ayat (1) 

Piagam PBB, dan The International Chamber o f Commerce (ICC).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian konsiliasi. 

Konsiliasi yaitu  suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang 

berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan ini . 

Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi yaitu 

’’Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu 

komisi orang-orang yang bertugas menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan 

(biasanya sesudah  mendengar para pihak dan mengusaha kan agar mereka 

mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan suatu penyelesaian, 

namun keputusan ini  tidak mengikat” (dalam Huala Adolf dan A. 

Chanderawulan, 1995: 186).

Inti konsiliasi dalam definisi di atas yaitu  penyelesaian sengketa kepada 

sebuah komisi dan keputusan yang dibuat oleh komisi ini  tidak mengikat 

para pihak. Artinya bahwa para pihak dapat menyetujui atau menolak isi keputusan 

ini .

Model konsiliasi yang berkembang di Amerika agak berbeda dengan yang 

berkembang di Jepang atau Korea Selatan. Sistem konsiliasi di Amerika merupakan 

tahap awal dari proses mediasi, dengan acuan penerapan: bila  terhadap seseorang 

diajukan proses mediasi, dan kedudukannya sebagai Responden maka pada tahap 

yang demikian berarti telah diperoleh penyelesaian tanpa melanjutkan pembicaraan, 

sebab  pihak Responden dengan kemauan baik (good-will) bersedia menerima 

apa yang dikemukakan pihak claimant. Lain halnya konsiliasi yang dikembangkan 

di Jepang atau Korea. Konsiliasi diletakkan dalam suatu koneksitas dengan mediasi 

dan arbitrase (mediasi-konsiliasi-arbitrase). Proses penyelesaiannya dilakukan secara 

bertahap; derajat permusuhan yang dapat terjadi sebagai hasil dari litigasi.

G. MEDIASI

1. Pengertian Mediasi

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mediasi yaitu  

pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Dalam proses 

itu pihak ketiga bertindak sebagai penasihat.

Steven Rosenberg, Esq. mengartikan mediasi sebagai:

Method o f Dispute Resolution that is voluntary, confidencial generaly, 

and cooperative (Steven Rosenberg, 200: 6). Yang secara bebas diartikan 

bahwa mediasi yaitu  metode penyelesaian masalah yang dilakukan secara 

sukarela, rahasia, dan biasanya kooperatif, tidak ada unsur paksaan.

Jay Folberg mengartikan mediasi sebagai:

’’Proses negosiasi yang dibantu secara netral dalam usaha  mencapai 

konsensus dan penyelesaian sengketa.” (Jay Folberg, 2000: 1)

bila  diperhatikan kedua definisi di atas, ada lima unsur yang tercantum 

dalam pengertian mediasi, yaitu

a. proses negosiasi,

b. metode penyelesaian masalah,

c. dilakukan secara sukarela,

d. dilakukan secara netral,

e. rahasia,

f. kooperatif,

g. tidak ada unsur paksaan, dan

h. mencapai kosensus.

Pada dasarnya tujuan mediasi yaitu  untuk konsensus para pihak tentang 

konflik yang timbul di antara para pihak.

2. Tujuan dan Manfaat Mediasi

Tujuan mediasi yaitu  tidak untuk menghakimi salah atau benar namun 

lebih memberi  kesempatan kepada para pihak untuk: 

a.    jalan keluar dan pembaruan perasaan,

b. melenyapkan kesalahpahaman,

c. menentukan kepentingan yang pokok,

d.    bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan, dan

e. menyatukan bidang-bidang ini  menjadi solusi yang disusun sendiri oleh 

para pihak (Rudjiono, 1996).

Jay Folberg dan Steven Rosenberg mengemukakan manfaat mediasi, yaitu

a. kontrol terhadap para pihak,

b. kerahasiaan,

c . murah,

d. cepat,

e. fleksibel,

f. peningkatan hubungan,

g. penyelesaian masalah lebih kreatif,

h. mengurangi hambatan komunikasi (menjadi pendengar yang aktif-bahasa 

netral),

i. menyelesaikan sengketa bagian demi bagian (membagi-bagi masalah),

j. berfokus pada pemecahan masalah (membentuk kembali),

k. asumsi-asumsi pertanyaan (penelaahan),

l. perubahan persepsi (mendidik),

m. menyadarkan dengan diplomatis atas harapan yang tidak riil (agen kenyataan),

n. membedakan jabatan dan kepentingan (bagaimana dan mengapa),

o. memenuhi kebutuhan semua orang yang terlibat (penawaran berdasar  

kepentingan),

p. menyelenggarakan pertemuan terpisah (mengadakan rapat),

q. memaksimalkan pilihan (memperluas alternatif), dan

r. membantu pihak terkait mengemban tanggung jawab dan menerima 

konsekuensinya (pemberdayaan diri sendiri) (Jay Folberg, 2000: 1; Steven 

Rosenberg, 2000: 6).

Dari berbagai manfaat yang dipaparkan di atas maka manfaat yang paling 

esensi dari mediasi yaitu  murah, cepat, dan komunikasi di antara para pihak. 

sebab  mediasi ini difokuskan untuk menyelesaikan persoalan secara damai.

3. Proses Mediasi

Untuk memperoleh hasil yang optimal dari kegiatan mediasi ini maka diperlukan 

sebuah proses yang teratur dan terencana. Prosesnya yaitu  sebagai berikut.

a. Pendahuluan dan membuat kontrak/menciptakan struktur dan kepercayaan 

(membuat agenda dan menyetujui aturan dasar).

b. Mencari fakta-fakta dan mengisolasi permasalahan (apa yang penting dan 

mengapa memisahkan orang dari jabatannya).

c. Menciptakan pilihan dan alternatif (mencari dan mengumpulkan,   , 

memisahkan orang dari jabatannya).

d. Negosiasi dan membuat keputusan (berfokus kepada kepentingan, menyetujui 

prinsip-prinsip).

e. Klarifikasi/menyusun rencana (satu prosedur teks).

f. Tinjauan hukum/proses (bila  perlu).

g. Penerapan/tinjauan dan revisi (mungkin tidak melibatkan penengah) (Jay 

Folberg, 2000: 1).

Steven Rosenberg, Ezq. mengemukakan proses mediasi sebagai berikut.

a. Membawa mereka ke meja perundingan (dari sudut pandang peserta) dengan 

proses sebagai berikut.

1) kelebihan-kelebihan kepada pihak oposisi, bila  adanya komunikasi 

yang baik,

2) ajak teman mediator,

3) ajak teman penasihat hukum,

4) memakai  provider,

5) memakai  quiche,

6) dipakai  sedini mungkin, dan

7) jangan memulai tanpa kuasa.

b. Uraian model mediasi

Model mediasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu

1) model komersial,

2) interpersonal (Hukum Keluarga), dan

3) hibrida (surat keputusan Hakim),

d. Peran-peran

1) peserta,

2) pengacara (konsultan), dan

3) mediator:

a) pemberian kuasa dan pengukuhan versus efisiensi dan perlindungan,

b) menyediakan struktur sebagai penyelenggara pertemuan yang adil,

c) membuat batasan-batasan,

d) pendengar yang efektif,

e) moderator/fasilitator,

f) menyampaikan informasi (pembawa pesan),

g) penilai konflik,

h) analisis dan penjelasan permasalahan dan pilihan,

i) pembentukan ulang kerangka,

j) konsultan negosiasi,

k) pendidik untuk proses negosiasi kolaboratif,

l) mencari alternatif dan mengembangkan sumber,

m) orang kepercayaan/konfidan,

n) pengujian realita,

0) kejahatan advokat,

p) katalis,

q) membantu para pihak untuk memperoleh penyelesaian, dan

r) bukan seorang hakim/arbitrator.

Tahapan proses mediasi

1) Penyusunan kontrak/struktur

Tujuan penyusunan kontrak yaitu  sebagai berikut.

a) Menjalin hubungan, dengan cara: (1) memakai  isyarat mata 

dan bahasa tubuh, (2) memberi  perhatian penuh, (3) anggapan 

yang penuh empati, dan (4) berikan waktu yang seimbang.

b) Menjelaskan proses. Hal-hal yang dijelaskan meliputi: (1) peranan 

dan tujuannya, (2) sukarela, (3) kerahasiaan, (4) ketidakberpihakan, 

(5) sesi gabungan, dan (6) mengadakan rapat, dan lain-lain.

c) Mengukur kesesuaian pihak-pihak untuk mediasi.

Hal-hal yang dipersoalkan dalam mengukur kesesuaian dan 

kemungkinan mediasi yaitu  (1) mengapa pihak-pihak melakukan 

mediasi, (2) apakah mereka terdorong untuk menyelesaikan konflik,

(3) apakah mereka ingin mencapa


Read More