Rabu, 12 Februari 2025

Published Februari 12, 2025 by

hukum kontrak 1




Era reformasi merupakan era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan 

bernegara. Era reformasi telah dimulai sejak tahun 1998 yang lalu. Latar belakang 

lahirnya era reformasi yaitu  tidak berfungsinya roda pemerintahan dalam kehidupan 

berbangsa dan bernegara, terutama di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Maka 

dengan adanya reformasi, penyelenggara negara berkeinginan untuk melakukan 

perubahan secara radikal (mendasar) dalam ketiga bidang ini .

Dalam bidang hukum, diarahkan kepada pembentukan peraturan perundang- 

undangan yang baru dan penegakan hukum (law o f enforcement). Tujuan pem­

bentukan peraturan perundang-undangan yang baru yaitu  untuk menggantikan 

peraturan yang lama yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda diganti 

dengan peraturan yang baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasa 

keadilan, dan budaya hukum warga  Indonesia. Pada era reformasi ini telah 

banyak dihasilkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keinginan 

warga  Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 22 

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 

1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, 

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang 

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, 

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan lain-lain. Undang- 

undang yang dibentuk dan dibuat dalam era reformasi ini, yang paling dominan 

yaitu  undang-undang atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan hukum 

yang bersifat dasar (basic law) kurang mendapat perhatian. Hal ini tampak dari 

kurangnya pembahasan dari berbagai hukum dasar, seperti hukum perdata, hukum 

dagang, hukum pidana, hukum tata negara, hukum kontrak, dan lainnya. Hukum 

kontrak kita masih memakai  peraturan Pemerintah Kolonial Belanda yang 

ada  dalam Buku III KUH Perdata. Buku III KUH Perdata menganut 

sistem terbuka (open system), artinya bahwa para pihak bebas mengadakan 

kontrak dengan dengan siapa pun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya, 

dan bentuk kontrak, baik berbentuk lisan maupun tertulis. Di samping itu, diper-

Bab 1 Pendahuluan 1

kenankan untuk membuat kontrak baik yang telah dikenal dalam KUH Perdata 

maupun di luar KUH Perdata.

Kontrak-kontrak yang telah diatur dalam KUH Perdata, seperti jual beli, 

tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, 

pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perjanjian 

untung-untungan, dan perdamaian. Di luar KUH Perdata, kini telah berkembang 

berbagai kontrak baru, seperti leasing, beli sewa, franchise, surrogate mother, 

production sharing, joint venture, dan lain-lain. Walaupun kontrak-kontrak itu 

telah hidup dan berkembang dalam warga , namun peraturan yang berbentuk 

undang-undang belum ada. Yang ada hanya dalam bentuk Peraturan Menteri. 

Peraturan itu hanya terbatas pada peraturan yang mengatur tentang leasing, 

sedangkan kontrak-kontrak yang lain belum mendapat pengaturan secara khusus. 

Akibat dari tidak adanya kepastian hukum tentang kontrak ini  maka akan 

memicu  persoalan dalam dunia perdagangan, terutama ketidakpastian bagi 

para pihak yang mengadakan kontrak. Dalam kenyataannya salah satu pihak 

sering kali membuat kontrak dalam bentuk standar, sedangkan pihak lainnya 

akan menerima kontrak ini  sebab  kondisi sosial ekonomi mereka yang 

lemah. Untuk itu pada masa mendatang diperlukan adanya undang-undang tentang 

kontrak yang bersifat nasional, yang menggantikan peraturan yang lama. Undang- 

undang ini  juga memberi  kedudukan yang seimbang kepada para pihak 

dalam memenuhi hak dan kewajibannya.

Walaupun belum adanya undang-undang tentang kontrak yang khusus dan 

bersifat nasional maka kajian teoretis maupun empirik dalam buku ini yaitu  

berpedoman dan bertitik tolak pada KUH Perdata, peraturan perundang-undangan 

di luar KUH Perdata, dan berbagai perjanjian internasional lainnya.


KONSEP DM PENGERTIM HUKUM 

KONTRAK

A. ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM KONTRAK

Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract 

o f law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscom- 

strecht. Lawrence M. Friedman mengartikan hukum kontrak yaitu 

Perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur 

jenis perjanjian tertentu.” 

Lawrence M. Friedman tidak menjelaskan lebih lanjut aspek tertentu dari 

pasar dan jenis perjanjian tertentu. bila  dikaji aspek pasar, tentunya kita akan 

mengkaji dari berbagai aktivitas bisnis yang hidup dan berkembang dalam sebuah 

market. Di dalam berbagai market ini  maka akan memicu  berbagai 

macam kontrak yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Ada pelaku usaha yang 

mengadakan perjanjian jual beli, sewa-menyewa, beli sewa, leasing, dan lain-lain. 

Michael D Bayles mengartikan contract o f law atau hukum kontrak yaitu  

Might then be taken to be the law pertaining to enporcement o f promise 

or agreement. 

Artinya, hukum kontrak yaitu  sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan 

pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.

Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari dimensi pelaksanaan perjanjian 

yang dibuat oleh para pihak, namun Michael D. Bayles tidak melihat pada tahap- 

tahap prakontraktual dan kontraktual. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan 

dalam penyusunan sebuah kontrak. Kontrak yang telah disusun oleh para pihak 

akan dilaksanakan juga oleh mereka sendiri.

Artinya hukum kontrak yaitu  mekanisme hukum dalam warga  untuk 

melindungi harapan-harapan yang timbul dalam pembuatan persetujuan demi

Bab 2 ----------3

perubahan masa datang yang bervariasi kinerja, seperti pengangkutan kekayaan 

(yang nyata maupun yang tidak nyata), kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan 

uang.

Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari aspek mekanisme atau prosedur 

hukum. Tujuan mekanisme ini yaitu  untuk melindungi keinginan/harapan yang 

timbul dalam pembuatan konsensus di antara para pihak, seperti dalam perjanjian 

pengangkutan, kekayaan, kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan uang. 

Definisi lain berpendapat bahwa hukum kontrak yaitu  

’’Rangkaian kaidah-kaidah hukum yang mengatur berbagai persetujuan dan 

ikatan antara warga-warga hukum.” 

Definisi hukum kontrak yang tercantum dalam Ensiklopedia Indonesia meng­

kajinya dari aspek ruang lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan 

warga hukum. Tampaknya, definisi ini menyamakan pengertian antara kontrak 

(perjanjian) dengan persetujuan, padahal antara keduanya yaitu  berbeda. Kontrak 

(perjanjian) merupakan salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan salah 

satu syarat sahnya kontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH 

Perdata.

Dengan adanya berbagai kelemahan dari definisi di atas maka definisi itu 

perlu dilengkapi dan disempurnakan. Jadi, menurut penulis, bahwa hukum kontrak 

yaitu 

’’Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum 

antara dua pihak atau lebih berdasar  kata sepakat untuk memicu  

akibat hukum.”

Definisi ini didasarkan pada pendapat Van Dunne, yang tidak hanya mengkaji 

kontrak pada tahap kontraktual semata-mata,namun  juga harus diperhatikan 

perbuatan sebelumnya. Perbuatan sebelumnya mencakup tahap pracontractual 

dan post contractual. Pracontractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan, 

sedangkan post contractual yaitu  pelaksanaan perjanjian. Hubungan hukum 

yaitu  hubungan yang memicu  akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya 

hak dan kewajiban. Hak merupakan sebuah kenikmatan, sedangkan kewajiban 

merupakan beban.

Dari berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum 

dalam hukum kontrak, sebagaimana dikemukakan berikut ini. .

1. Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis 

dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis yaitu  kaidah-kaidah hukum 

yang ada  di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yuris­

prudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis yaitu  kaidah- 

kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam warga . Contoh, 

jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain-lain. Konsep-konsep hukum ini berasal 

dari hukum adat.


2. Subjek hukum-

Istilah lain dari subjek hukum yaitu  rechtsperson. Rechtsperson diartikan 

sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam 

hukum kontrak yaitu  kreditur dan debitur. Kreditur yaitu  orang yang 

berpiutang, sedangkan debitur yaitu  orang yang berutang.

3. Adanya prestasi

Prestasi yaitu  apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi 

terdiri dari:

a. memberi  sesuatu,

b. berbuat sesuatu, dan

c. tidak berbuat sesuatu.

4. Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian. 

Salah satunya kata sepakat (konsensus). Kesepakatan yaitu  persesuaian 

pernyataan kehendak antara para pihak.

5. Akibat hukum

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan memicu  akibat 

hukum. Akibat hukum yaitu  timbulnya hak dan kewajiban. Hak yaitu  

suatu kenikmatan dan kewajiban yaitu  suatu beban.

B. TEMPAT PENGATURAN HUKUM KONTRAK

Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri atas 18 

bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 

1864 KUH Perdata. Masing-masing bab dibagi dalam beberapa bagian. Di dalam 

NBW Negeri Belanda, tempat pengaturan hukum kontrak dalam Buku IV tentang 

van Verbintenissen, yang dimulai dari Pasal 1269 NBW sampai dengan Pasal 

1901 NBW.

Hal-hal yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata yaitu  sebagai berikut.

1. Perikatan pada umumnya (Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1312 KUH 

Perdata)

Hal-hal yang diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1312 KUH Perdata, 

meliputi: sumber perikatan; prestasi; penggantian biaya, rugi, dan bunga sebab  

tidak dipenuhinya suatu perikatan; dan jenis-jenis perikatan.

2. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313 sampai dengan Pasal 

1351 KUH Perdata)

Hal-hal yang diatur dalam bab ini meliputi: ketentuan umum, syarat-syarat 

sahnya perjanjian; akibat perjanjian, dan penafsiran perjanjian.

3. Hapusnya perikatan (Pasal 1381 sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata) 

Hapusnya perikatan dibedakan menjadi 10 macam, yaitu sebab  pembayaran; 

penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 

pembaruan utang; perjumpaan utang atau kompensasi; percampuran utang;

Bab 2 ----------5

pembebasan utang; musnahnya barang terutang; kebatalan atau pembatalan; 

berlakunya syarat batal; kedaluwarsa.

4. Jual beli (Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata)

Hal-hal yang diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH 

Perdata, meliputi: ketentuan umum; kewajiban si penjual; kewajiban si pembeli; 

hak membeli kembali; jual beli piutang, dan lain-lain hak tak bertubuh.

5. Tukar-menukar (Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH Perdata)

6. Sewa menyewa (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600KUH Perdata) 

Hal-hal yang diatur dalam ketentuan sewa-menyewa ini meliputi: ketentuan 

umum; aturan-aturan yang sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan 

penyewaan tanah, aturan khusus yang berlaku bagi sewa rumah dan perabot 

rumah.

7. Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601'sampai dengan Pasal 1617 

KUH Perdata)

Hal-hal yang diatur dalam ketentuan Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617 

KUH Perdata, meliputi: ketentuan umum; persetujuan perburuhan pada 

umumnya; kewajiban majikan; kewajiban buruh; macam-macam cara 

berakhirnya hubungan kerja yang diterbitkan sebab  perjanjian; dan 

pemborongan pekerjaan;

8. Persekutuan (Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata) 

Hal-hal yang diatur dalam ketentuan ini meliputi: ketentuan umum; perikatan 

antara para sekutu; perikatan para sekutu terhadap pihak ketiga; dan macam- 

macam cara berakhirnya persekutuan.

9. Badan hukum (Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata)

10. Hibah (Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUH Perdata)

Hal-hal yang diatur dalam ketentuan tentang hibah ini, meliputi: ketentuan 

umum; kecakapan untuk memberi  hibah dan menikmati keuntungan dari 

suatu hibah; cara menghibahkan sesuatu; penarikan kembali dan penghapusan 

hibah.

11. Penitipan barang (Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739 KUH Perdata) 

Hal-hal yang diatur dalam penitipan barang, yaitu penitipan barang pada 

umumnya dan macam penitipan; penitipan barang sejati; sekestarasi dan 

macamnya.

12. Pinjam pakai (Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1753 KUH Perdata)

Yang diatur dalam ketentuan ini meliputi: ketentuan umum; kewajiban orang 

yang menerima pinjaman; dan kewajiban orang meminjamkan.

13. Pinjam-meminjam (Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata) 

Hal-hal yang diatur dalam ketentuan pinjam-meminjam ini meliputi: pengertian 

pinjam-meminjam; kewajiban orang yang meminjamkan; kewajiban si pe­

minjam; dan meminjam dengan bunga.

14. Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUH Perdata)

6 Hukum Komrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak

15. Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791 KUH 

Perdata)

Hal-hal yang diatur dalam perjanjian untung-untungan ini meliputi: pengertiannya; 

persetujuan bunga cagak hidup dan akibatnya; perjudian dan pertaruhan.

16. Pemberian kuasa (Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUH Perdata) 

Hal-hal yang diatur dalam pemberian kuasa meliputi: sifat pemberian kuasa, 

kewajiban penerima kuasa, kewajiban pemberi kuasa, dan macam-macam 

cara berakhirnya pemberian kuasa.

17. Penanggung utang (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata) 

Hal-hal yang diatur dalam ketentuan penanggungan utang ini meliputi: sifat 

penanggungan, akibat-akibat penanggungan antara si berpiutang dan si pe­

nanggung, akibat-akibat penanggungan antara si berpiutang dan si penanggung, 

dan antara para penanggung sendiri, dan hapusnya penanggungan utang.

18. Perdamaian (Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata) 

Perjanjian perdamaian ini merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak 

yang bersengketa. Dalam perjanjian itu kedua belah pihak sepakat untuk 

mengakhiri suatu konflik yang timbul di antara mereka. Perjanjian perdamaian 

baru dikatakan sah bila  dibuat dalam bentuk tertulis.

Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan, perkumpulan, 

hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan, 

pemberian kuasa, penanggung utang, dan perdamaian merupakan perjanjian yang 

bersifat khusus, yang di dalam berbagai kepustakaan hukum disebut dengan 

perjanjian nominaat. Perjanjian nominaat yaitu  perjanjian yang dikenal di dalam 

KUH Perdata. Di luar KUH Perdata dikenal juga perjanjian lainya, seperti 

kontrak production sharing, kontrak joint venture, kontrak karya, leasing, beli 

sewa., franchise, kontrak rahim, dan lain-lain. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian 

innominaat, yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam 

praktik kehidupan warga . Perjanjian innominaat ini belum dikenal pada saat 

KUH Perdata diundangkan.

C. SISTEM PENGATURAN HUKUM KONTRAK

Sistem pengaturan hukum kontrak yaitu  sistem terbuka (open system). 

Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang 

sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini dapat 

disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH 

Perdata, yang berbunyi: ’’Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai 

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memberi  kebebasan kepada 

para pihak untuk:

1. membuat atau tidak membuat perjanjian,

Bab 2 ----------7

2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,

3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan

4. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan

Dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada mulanya menganut 

sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam 

undang-undang. Ini dipicu  adanya pengaruh ajaran legisme yang memandang 

bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan dibaca 

dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919.

Putusan Hoge Raad yang paling penting yaitu  putusan HR 1919, tertanggal 

31 Januari 1919 tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur 

dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Di dalam putusan HR 1919 definisi perbuatan 

melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang,namun  juga melanggar 

hak-hak subjektif orang lain, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Menurut HR 1919 yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum yaitu  

berbuat atau tidak berbuat yang:

1. melanggar hak orang lain

Yang dimaksud dengan hak orang lain, bukan semua hak,namun  hanya hak- 

hak pribadi, seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. 

Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut, seperti hak kebendaan, hak atas 

kekayaan intelektual (HAKI), dan sebagainya;

2. bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku

Kewajiban hukum hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang- 

undang;

3. bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh se­

seorang itu bertentangan dengan sopan santun' yang tidak tertulis yang 

tumbuh dan berkembang dalam warga ;

4. bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam warga ; 

Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu

(1) aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan

(2) aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak 

menyelenggarakan kepentingannya sendiri (Nieuwenhuis, 1985:118).

Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara 

bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang 

dikemukakan di atas. Sejak adanya putusan HR 1919, maka sistem pengaturan 

hukum kontrak yaitu  sistem terbuka.

Kesimpulannya, bahwa sejak tahun 1919 sampai sekarang sistem pengaturan 

hukum kontrak yaitu  bersifat terbuka. Hal ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat 

(1) KUH Perdata dan HR 1919.

D. ASAS HUKUM KONTRAK

Di dalam hukum kontrak dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan 

berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian 

hukum), asas iktikad baik, dan asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan berikut 

ini.

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 

(1) KUH Perdata, yang berbunyi:’’Semua perjanjian yang dibuat secara sah 

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak yaitu  suatu asas yang memberi  kebebasan 

kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian,

b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan

d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak yaitu  adanya paham 

individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan 

oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui 

antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan 

Rosseau  Menurut paham indivi­

dualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam 

hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam ’’kebebasan berkontrak”. Teori leisbet 

fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan 

jalannya persaingan bebas. sebab  pemerintah sama sekali tidak boleh mengada­

kan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) warga . Paham indivi­

dualisme memberi  peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk 

menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan 

pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang 

kuat, diungkapkan dalam exploitation de homme par l ’homme.

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham indi­

vidualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham 

ini tidak mencerminkan keadilan. warga  ingin pihak yang lemah lebih banyak 

mendapat perlindungan. Oleh sebab  itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti 

mutlak, akannamun  diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. 

Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak 

namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga 

keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan warga . Melalui 

penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum kontrak 

ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasya­

rakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak.

Bab 2 ----------9

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH 

Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, 

yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan 

asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara 

formal,namun  cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan 

merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua 

belah pihak.

Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. 

Di dalam hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme,namun  yang dikenal

t

yaitu  perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil yaitu  suatu perjanjian 

yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum Adat). Sedang­

kan yang disebut perjanjian formal yaitu  suatu perjanjian yang telah ditentukan 

bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan). 

Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis Uteris dan contractus 

innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian bila  memenuhi bentuk 

yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata 

yaitu  berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. 

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda me­

rupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak 

yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. 

Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat 

oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) 

KUH Perdata, yang berbunyi: ’’Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai 

undang-undang.”

Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Di 

dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila  ada 

kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung 

makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan 

perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam 

perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti 

sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. 

Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.

4. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. 

Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian harus dilaksanakan

10 -----  

dengan iktikad baik.” Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu 

pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasar  

kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan 

iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan 

tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya ter­

letak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai 

keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

Berbagai putusan Hoge Raad yang erat kaitannya dengan penerapan asas 

iktikad baik disajikan berikut ini. masalah  yang akan ditampilkan di sini yaitu  

masalah  Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya 

nilai uang Jerman sesudah  Perang Dunia I (Van Dunne, dkk. 1987: 35-36). masalah  

posisi Sarong Arrest sebagai berikut.

Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman 

beberapa  sarong dengan harga sebesar flOO.OOO,-. sebab  keadaan memaksa 

sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan. 

sesudah  keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi.namun  

sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia 

memenuhi pesanannamun  dengan harga yang lebih tinggi, sebab  bila  harga 

tetap sama ia akan menderita kerugian, yang berdasar  iktikad baik antara 

para pihak tidak dapat dituntut darinya.

Pembelaan yang ia (penjual) ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUH 

Perdata dikesampingkan oleh Hoge Raad dalam arrest ini . Menurut putusan 

Hoge Raad tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan 

keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada iktikad baik untuk 

mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan Hoge Raad masih memberi 

harapan tentang hal ini dengan memformulasikan: mengubah inti perjanjian atau 

mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang 

lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan 

secara keseluruhan.

Putusan Hoge Raad ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya kontrak oleh 

para pihak. bila  pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual 

harus melaksanakan isi perjanjian ini , sebab  didasarkan bahwa perjanjian 

harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Begitu juga dengan Mark Arrest. masalah  

posisinya sebagai berikut.

Sebelum Perang Dunia I seorang Jerman memberi beberapa  pinjaman uang 

kepada seorang Belanda pada tahun 1924. Dari jumlah ini  masih ada sisa 

pinjamannamun  sebab  sebagai akibat peperangan nilai mark sangat turun maka 

dengan jumlah sisa ini  hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga 

dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas 

dasar devaluasi ini . Namun, Pasal 1756 KUH Perdata menyatakan: ’’Jika

Bab 2 ----------11

sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau ada 

perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang 

dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu.” Hoge 

Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan per­

janjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah 

dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang 

sangat kecil itu. Hakim menurut badan peradilan yang tertinggi ini, tidak ber­

wenang atas dasar iktikad baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap 

undang-undang yang bersifat menambah.

Putusan mark-arrest ini sama dengan sarong arrest, bahwa hakim terikat 

pada asas iktikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada 

saat terjadinya jual beli atau pada saat pinjam-meminjam uang. bila  orang 

Belanda meminjam uang sebanyak fl.000,-, maka orang Belanda ini  harus 

mengembalikan sebanyak ini  di atas, walaupun dari pihak peminjam ber­

pendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Lain halnya dengan di Indonesia. 

Pada tahun 1997, kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan 

ekonomi, pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara 

sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat, 

disepakati suku bunga bank sebesar 16% pertahun, namun sesudah  terjadi krisis 

moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 %/tahun. Ini berarti bahwa pihak 

nasabah berada pada pihak yang dirugikan, sebab  kedudukan nasabah berada 

pada posisi yang lemah. Oleh sebab  itu, pada masa-masa yang akan datang 

pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati­

nya, yang didasarkan pada iktikad baik.

5. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang 

akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan 

saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 

1315 KUH Perdata berbunyi: ’’Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan 

perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa 

seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. 

Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang 

membuatnya.” Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya 

berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualian­

nya, sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang 

berbunyi:” Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila 

suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada 

orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan 

bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, 

dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH

12 -----  

Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri,namun  juga untuk 

kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari 

padanya.

Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata 

mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 

KUH Perdata untuk kepentingan:

a. dirinya sendiri,

b. ahli warisnya, dan

c. orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan 

Pasal 1318 KUH Perdata, ruang lingkupnya yang luas.

Di dalam setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, pasti dicantumkan 

identitas dari subjek hukum, yang meliputi nama, umur, tempat domisili, dan 

kewarganegaraan. Kewarganegaraan berhubungan erat dengan apakah yang 

bersangkutan dapat melakukan perbuatan hukum tertentu, seperti jual beli tanah 

hak milik. Orang asing tidak dapat memiliki tanah hak milik, sebab  kalau orang 

asing diperkenankan untuk memiliki tanah hak milik maka yang bersangkutan 

dapat membeli semua tanah yang dimiliki warga . Mereka memiliki  modal 

yang besar, dibandingkan dengan warga  kita. WNA hanya diberikan untuk 

mendapatkan HGB, HGU, dan hak pakai.

Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang di­

selenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman 

dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumus­

kan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu: asas kepercayaan, 

asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, 

asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan (Mariam Darus Badrulzaman, 

1997: 22-23). Kedelapan asas itu dijelaskan berikut ini.

1. Asas kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan 

mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di 

antara mereka di belakang hari.

2. Asas persamaan hukum

Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum yaitu  bahwa subjek hukum 

yang mengadakan perjanjian memiliki  kedudukan, hak, dan kewajiban 

yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama 

lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

3. Asas keseimbangan

Asas keseimbangan yaitu  asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi 

dan melaksanakan perjanjian. Kreditur memiliki  kekuatan untuk menuntut 

prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan

Bab 2 ----------13

debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian 

itu dengan iktikad baik.

4. Asas kepastian hukum

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. 

Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai 

undang-undang bagi yang membuatnya.

5. Asas moral

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela 

dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi 

dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang 

melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mem­

punyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. 

Salah satu faktor yang memberi  motivasi pada yang bersangkutan me­

lakukan perbuatan hukum itu yaitu  didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai 

panggilan hati nuraninya.

6. Asas kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan 

dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

7. Asas kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya 

mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akannamun  juga hal-hal yang 

menurut kebiasaan lazim diikuti.

8. Asas perlindungan (protection)

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur 

harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan 

itu yaitu  pihak debitur, sebab  pihak debitur berada pada pihak yang lemah. 

Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan 

dan membuat kontrak.

E. SUMBER HUKUM KONTRAK

Pada dasarnya sumber hukum kontrak dapat dibedakan menurut sistem hukum 

yang mengaturnya. Sumber hukum, dapat dilihat dari keluarga hukumnya. Ada 

keluarga hukum Romawi, common law, hukum sosialis, hukum agama, dan 

hukum tradisional. Di dalam penyajian tentang sumber hukum kontrak ini hanya 

dibandingkan antara sumber hukum kontrak menurut Eropa Kontinental, terutama 

KUH Perdata dan common law, terutama Amerika. Kedua sumber hukum itu 

disajikan berikut ini.

14 -----  

1. Sumber Hukum Kontrak dalam Civil Law

Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu 

sumber hukum materiil dan sumber hukum formal (Algra, dkk. 1975: 74).

Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil. 

Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, 

misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan 

keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, 

dan keadaan geografis. Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh 

kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang memicu  

peraturan hukum formal itu berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum formil 

ialah undang-undang, perjanjian antamegara, urisprudensi, dan kebiasaan. Keempat 

hukum formal ini juga merupakan sumber hukum kontrak.

Sumber hukum kontrak yang berasal dari undang-undang merupakan sumber 

hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh 

Pemerintah dengan persetujuan DPR. Sumber hukum kontrak yang berasal dari 

peraturan perundang-undangan, disajikan berikut ini.

a. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB)

AB merupakan ketentuan-ketentuan Umum Pemerintah Hindia Belanda yang 

diberlakukan di Indonesia. AB diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23, dan diumumkan 

secara resmi pada tanggal 30 April 1847. AB terdiri atas 37 pasal.

b. KUH Perdata (BW)

KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk Pe­

merintah Hindia Belanda, yang diundangkan dengan Maklumat tanggal 30 

April 1847, Stb. 1847, Nomor 23, sedangkan di Indonesia diumumkan dalam 

Stb. 1848. Berlakunya KUH Perdata berdasar  pada asas konkordansi. 

Sedangkan ketentuan hukum yang mengatur tentang hukum kontrak diatur 

dalam Buku III KUH Perdata.

c. KUH Dagang

d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli 

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 53 pasal. Hal-hal yang diatur 

dalam undang-undang itu meliputi ketentuan umum, asas dan tujuan, perjanjian 

yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, komisi pengawas 

persaingan usaha, tata cara penanganan perkara, dan sanksi;

e. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

Di dalam Undang-undang ini ada dua pasal yang mengatur tentang kontrak, 

yaitu Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 22 UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa 

Konstruksi. Yang diartikan dengan kontrak kerja konstruksi yaitu  kese­

luruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa 

dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (Pasal 1 

ayat (5) UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi).


Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai:

1) para pihak yang memuat secara jelas identitas para pihak;

2) rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang 

kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;

3) masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka 

waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung 

jawab penyedia jasa;

4) tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi, dan 

kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;

5) hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh 

hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan 

yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi 

dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;

6) cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna 

jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;

7) cedera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah 

satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan;

8) penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara 

penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;

9) pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang 

pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat 

dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;

10) keadaan memaksa (force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian 

yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang 

memicu  kerugian bagii salah satu pihak;

11) kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia 

jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan;

12) perlindungan pekerja, yang memuat tentang kewajiban para pihak dalam 

pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;

13) aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan 

ketentuan tentang lingkungan (Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 18 .Tahun 

1999 tentang Jasa Konstruksi).

f. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 

Pilihan Penyelesaian Sengketa

Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 82 pasal. Pasal-pasal yang erat 

kaitannya dengan hukum kontrak yaitu  Pasal 1 ayat (3) tentang pengertian 

perjanjian arbitrase, Pasal 2 tentang persyaratan dalam penyelesaian sengketa 

arbitrase, dan Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 tentang syarat arbitrase.

g. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 

Undang-undang ini terdiri atas 7 bab dan 22 pasal. Hal-hal yang diatur 

dalam undang-undang ini yaitu  ketentuan umum, pembuatan perjanjian


internasional, pengesahan dari perjanjian internasional, pemberlakuan dari 

perjanjian internasional, penyimpanan dari perjanjian internasional, dan 

pengakhiran dari perjanjian internasional;

Traktat yaitu  suatu perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih 

dalam bidang keperdataan, khususnya kontrak. Ini terutama, erat kaitannya dengan 

perjanjian internasional. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara 

Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company tentang perjanjian 

bagi hasil tembaga dan emas. Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan 

produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak- 

pihak yang berperkara, terutama dalam perkara perdata. Contohnya, putusan 

HR 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum. Dengan adanya putusan 

HR 1919, maka pengertian melawan hukum tidak dianut arti luas,namun  arti 

sempit. Putusan HR 1919 ini dijadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia 

dalam memutuskan sengketa perbuatan melawan hukum.

2. Sumber Hukum Kontrak Amerika

Dalam hukum kontrak Amerika (common law), sumber hukum dibagi menjadi 

dua kategori, yaitu sumber hukum primer dan sekunder. Sumber hukum primer 

merupakan sumber hukum yang utama. Para pengacara dan hakim menganggap 

bahwa sumber primer dianggap sebagai hukum itu sendiri. Sumber hukum primer 

meliputi keputusan pengadilan {judicial opinion), statuta, dan peraturan lainnya. 

Sumber hukum sekunder merupakan sumber hukum yang kedua. Sumber hukum 

sekunder ini memiliki  pengaruh dalam pengadilan, sebab  pengadilan dapat 

mengacu pada sumber hukum sekunder ini . Sumber hukum sekunder ini 

terdiri dari restatement dan legal comentary.

berdasar  sumber ini , maka sumber hukum kontrak yang berlaku di 

Amerika Serikat dibedakan menjadi empat macam, yaitu judicial opinion, statu­

tory law, the restatement, dan legal comentary , Keempat sumber hukum itu dijelaskan berikut ini.

a. Judicial Opinion (Keputusan Hakim)

Judicial opinion atau disebut juga dengan judge made law atau judicial 

decision merupakan sumber primer hukum kontrak. Judicial opinion merupa­

kan pernyataan atau pendapat, atau putusan para hakim di dalam memutuskan 

perkara atau masalah , apakah itu masalah  perdata maupun masalah  pidana. Putusan- 

putusan hakim ini akan diikuti oleh para hakim, terutama terhadap masalah  yang, 

sama dan ada kemiripannya dengan masalah  yang sedang terjadi.

Seperti kita ketahui bahwa sistem pengadilan Amerika dalam pembuatan 

keputusan, biasanya dinyatakan sebagai stare decisis, ketaatan terhadap 

keputusan yang telah lewat atau disebut precedents. Preseden yaitu  

keputusan yang terdahulu yang fakta-fakta cukup mirip dengan masalah  sub

judice- yang berada di bawah keputusan pengadilan (adjudication) ini - 

bahwa pengadilan merasa berkewajiban untuk mengikutinya dan membuat 

suatu keputusan yang sama.

Sistem preseden, lazimnya membenarkan dua hal, berikut ini.

Pertama, dia menawarkan derajat yang tinggi tentang kemungkinan 

memprediksi keputusan yang membolehkan siapa saja yang berhasrat untuk 

menangani urusan mereka yang berkaitan dengan aturan hukum yang dapat 

diketahui.

Kedua, dia meletakkan kendali pada apa yang boleh, sebaliknya menjadi 

kecenderungan alami dari hakim untuk memutuskan masalah  yang menjadi dasar 

prasangka, emosional pribadi, atau faktor-faktor lainnya yang boleh dihormati 

sebagai dasar yang tidak pantas untuk suatu keputusan.

Sebagaimana suatu sistem yang dengan jelas memiliki  ciri khas, kadang- 

kadang merupakan suatu kebajikan, kadang-kadang merupakan kerusakan 

menjadi statis dan konservatif, secara umum berorientasi pada pelestarian 

terhadap status quo.

Seorang hakim dari common law menyimpulkan, bahwa kesetiaan yang buta 

pada preseden akan menghasilkan suatu ketidakadilan dalam memutuskan 

perkara. Ada beberapa  cara yang mungkin dihindari. Memulai dengan suatu 

preseden dipertimbangkan untuk menjadi mengikat bagi suatu pengadilan, 

hanya jika ini diputuskan oleh pengadilan yang sama atau pengadilan ban­

ding yang kedudukannya lebih tinggi dalam wilayah hukum yang sama. 

Preseden-preseden lainnya dari pengadilan-pengadilan yang lebih rendah 

atau pengadilan dari wilayah hukum lainnya hanya bersifat persuasif belaka. 

Jika suatu preseden terdahulu dalam kenyataannya tidak persuasif maka 

hakim bebas menghormatinya. bila  suatu preseden tidak hanya persuasif 

tetapi bersifat mengikat, preseden ini  tidak mudah diabaikan. Hal itu 

mungkin saja terjadi, namun sebaiknya dihindari: jika dalam kenyataannya 

masalah -masalah  yang terjadi sekarang tidak memuat suatu fakta yang berisi 

(bahan-bahan) untuk diperlukan pada suatu keputusan yang lebih awal, maka 

pengadilan boleh ’’berbeda” dengan preseden ini , dan membuat suatu 

keputusan yang berbeda. Jika preseden yang lebih awal yaitu  benar-benar 

mengikat,namun  sulit atau tidak mungkin untuk membedakannya maka ada 

satu cara lain untuk menghindari akibatnya: jika keputusan pengadilan yaitu  

salah satu dari yang menciptakan preseden (atau yaitu  pengadilan lebih 

tinggi) maka secara sederhana pengadilan dapat ’’menolak/mengesampingkan” 

keputusan yang lebih awal ini  (ini bukan perubahan yang berlaku surut 

yang berakibat bagi kelompok masalah  yang lebih awal,namun  melakukan 

perubahan aturan untuk masalah -masalah  yang diputuskan dan masalah  yang serupa 

berikutnya). Penolakan, dipertimbangkan terhadap suatu kegiatan yang relatif 

drastis dan biasanya dipersiapkan bagi instansi-instansi, yang mana pengadilan

merasa bahwa aturan dibedakan oleh preseden terdahulu, yang merupakan 

kesalahan sederhana, itu yaitu  suatu ketidakadilan dalam pelaksanaannya 

di warga , sebab selain kesulitan pada tahap permulaan, juga merupakan 

suatu ketertinggalan dari pembangunan masa lalu.

Pada dasarnya tidak semua masalah  dapat diputuskan berdasar  Preseden. 

Ini dipicu  oleh hal berikut:

1) tidak adanya preseden yang eksis (hal itu tidak seperti peristiwa dalam 

proses pengadilan pada warga );

2) masalah  yang tersedia tidak jelas.

Dalam hal masalah  tidak jelas maka pengadilan-pengadilan mengarah pada 

kebijaksanaan untuk menyelesaikan masalah . Suatu kebijaksanaan mungkin 

dihormati secara umum sebagai tujuan warga  yang akan diketengahkan 

oleh keputusan khusus. Kegiatan ekonomi, politik, sosial, atau moral dan 

mungkin harus melakukan sesuatu dengan kelompok-kelompok tersendiri 

atau dengan warga  secara keseluruhan (atau beberapa bagian yang 

dapat diuraikan). Seringkah suatu pengadilan melihat kebijaksanaan 

warga  dalam undang-undang atau keputusan pengadilan, bahkan bila 

hal itu tidak dilaksanakan secara langsung terhadap masalah  yang ada; pada 

waktu yang lain di pengadilan akan muncul perasaan hakim tentang apa itu 

keadilan dan moral. Sebagaimana kita lihat beberapa komentator hukum, 

mereka percaya bahwa ’’semua hukum yaitu  kebijaksanaan” dan seharusnya 

dengan jujur dipandang sebagai perasaan lain bahwa kebijaksanaan terlalu 

sulit untuk didefinisikan, atau merupakan suatu faktor yang tidak dapat 

dicegah guna memberi  tuntunan bagi pembuat keputusan. Beberapa yang 

memiliki  kebijaksanaan khusus bahwa akan ada  pengadilan-pengadilan 

yang mencoba untuk mempromosikan-efisiensi ekonomi, sebagai contoh. 

Sebagaimana Anda melihat keputusan pengadilan pada materi ini, biarkan 

mata Anda terbuka di antara kedua penerapan keputusan pengadilan yang 

samar-samar dan yang terang terhadap kebijaksanaan sebagai dasar keputusan.

b. Statutory Law (Hukum Per undang-undangan)

Sumber lain dari hukum kontrak yaitu  bersumber dari statutory o f law 

(hukum perundang-undangan). Sumber hukum ini melengkapi hukum 

kebiasaan (common law). Statutory o f law merupakan sumber hukum yang 

tertulis.

Menurut sejarahnya, hukum kontrak dibangun dalam sistem Anglo-Amerika 

yaitu  didasarkan pada common law, common law ini lebih tinggi 

kedudukannya dari statutory o f law. Peraturan perundang-undangan tertulis 

{statutory o f law), yang ada hubungan dengan hukum kontrak yaitu  sebagai 

berikut.


Undang-Undang Penggelapan

Undang-undang penggelapan ini dibuat pertama kali di Inggris dan 

kemudian diberlakukan pada setiap negara bagian di Amerika Serikat. 

Undang-undang ini mempersyaratkan bahwa kontrak yang dibuat harus 

dalam bentuk tulisan agar dapat dilaksanakan oleh pengadilan. Undang- 

undang penggelapan itu sendiri telah dibebani oleh keputusan pengadilan 

yang lebih banyak kualitas hukum kebiasaannya dibandingkan  undang-undang 

modem.

2) Uniform Commercial Code

Uniform commercial code merupakan Kitab Undang-Undang Hukum 

Dagang yang berlaku secara umum di Amerika Serikat. Undang-undang 

ini tidak mengatur dan memuat semua transaksi dagang,namun  juga 

mengatur tentang biaya, terjadinya gangguan, ketidakmenentuan yang 

dipicu  oleh perbedaan antarnegara-negara dalam lingkup hukum 

komersial.

3) Uniform State Lnws/NCCUSL

Uniform state /flws/NCCUSL merupakan hukum yang berlaku umum. 

Di bawah pimpinan New York, beberapa  negara-negara bagian 

menyelenggarakan Konferensi Nasional Komisioner tentang Hukum 

Negara yang berlaku Umum (Uniform State Lmv.v/NCCUSL). Walaupun 

tidak memiliki  kekuatan untuk membuat hukum, NCCUSL, membuat 

rancangan hukum dan merekomendasikan pembuat undang-undang 

negara dengan seri ’’undang-undang yang berlaku umum”, memberlakukan 

berbagai ketentuan dagang, seperti instrumen-instrumen yang dapat di- 

negoisasikan dan peraturan-peraturan standar.

4) Uniform Sales Acts

Uniform sales acts merupakan undang-undang penjualan yang berlaku 

umum. Undang-undang ini diadopsi secara luas dan dibentuk secara besar- 

besaran dari ketentuan yang dapat diterapkan oleh mereka secara alami. 

Undang-undang ini hanya mengatur tentang tata cara menjual barang, seperti 

bagian-bagian hak milik dan harta kekayaan, dan lain-lain.

Pada tahun 1940 terhadap Uniform Sale Act dan The Uniform Commer­

cial Code telah diadakan pembaruan. Yang menjadi arsitek dari pembaruan 

kedua undang-undang itu yaitu  Profesor Kari Lliwellyn dan ia juga peran­

cang utama dari Pasal 2 tentang Perdagangan. Menanggapi pengaruhnya, 

kitab undang-undang ini  mewakili suatu usaha  tertentu untuk mem­

berikan hukum agar dapat diterapkan pada transaksi perdagangan yang 

lebih cocok dengan praktik bisnis, jadi diharapkan berguna dalam bisnis. 

Walaupun penerimaan kedua undang-undang itu oleh negara-negara bagian 

agak lamban, namun seluruh atau sebagian dari UCC telah diadopsi dan

sekarang ditegakkan di negara Amerika Serikat.

Ketika pengadilan memutuskan suatu masalah  yang diatur oleh suatu undang- 

undang, alasannya berbeda dengan alasan yang dipakai  oleh prinsip- 

prinsip hukum kebiasaan yang diterapkan. Beberapa pengadilan bahkan 

pengadilan tinggi dari suatu wilayah hukum terikat untuk mengikuti ketentuan 

undang-undang yang valid yang diterapkan untuk suatu sengketa sebelumnya. 

Tugas ini berasal dari prinsip politik yang mendasar dari warga  Amerika. 

Pembuat undang-Undang memiliki  kekuasaan dalam pembentukan hukum, 

demikian pula terhadap undang-undang terikat dengan berbagai kewenangan 

konstitusi. Dengan demikian, pembuat undang-undang dapat mengubah dan 

menyaring aturan hukum kebiasaan. Kadang-kadang, bahasa undang-undang 

mungkin tunduk pada interpretasi yang berbeda: seperti pada masalah , 

pengadilan biasanya menegaskan maksud legislator dalam pembuatan 

undang-undang, agar mengadopsi ’’sejarah pembentukan undang-undang” 

yang terkait dengan debat legislatif, laporan panitia, dan sebagainya. 

Sebagaimana kita lihat, UCC memiliki  bentuk khusus tersendiri mengenai 

sejarah legislatif, official comments dari perancang undang-undang (itu bukan 

sejarah perundang-undangan yang tertulis; mereka bukan produk pembuat 

undang-undang negara sendiri,namun  penulis dari official UCC yang 

didasarkan pada undang-undang negara yang beraneka ragam).

Ketika merancang Pasal 2 UCC, Profesor Liwellyn dan rekan-rekannya 

meninggalkan bentuk Undang-Undang Penjualan (Uniform Sales Acts) yang 

terdahulu. Anggapan sebuah badan hukum tentang kontrak dapat diterapkan 

sebagai latar belakang, ketentuan ini  termasuk dalam Kitab Undang 

Undang (Code), yakni beberapa  peraturan yang mengubah aturan-aturan 

hukum kebiasaan tentang kontrak, seperti yang diterapkan terhadap penjual 

barang. Peraturan ini  mengungkapkan prinsip-prinsip yang juga dapat 

diterapkan pada kontrak-kontrak selain dari penjualan barang. Pada tahun 

sekarang ini pengadilan telah mulai menerapkan ketentuan-ketentuan UCC 

dengan analogi di dalam masalah  kontrak bahwa Pasal 2 tidak dapat diterapkan 

secara langsung. Kecenderungan ini memberi  pengaruh terhadap bentuk 

lain dari kewenangan, dengan pendekatan lebih persuasif dibandingkan  mengikat, 

memiliki  dampak yang sangat kuat pada hukum kontrak.

Restatements

Sumber hukum sekunder yaitu  restatements. Restatements merupakan hasil 

rumusan ulang tentang hukum. Rumusan ini dilakukan sebab  timbulnya 

ketidakpastian dan kurangnya keseragaman dalam hukum dagang (commercial 

law). Restatement ini  menyerupai undang-undang, meliputi black letter, 

pernyataan-pernyataan dari ’’aturan umum” (atau masalah  itu mengetengahkan 

konflik dengan aturan yang lebih baik).

Bab 2 

Restatements ini dilakukan oleh Institut Hukum Amerika (American Law 

Institute/ALI). Lembaga ini dibentuk pada tahun 1923. Proyek awal yang 

dijalankan oleh organisasi ini yaitu 

1) melakukan persiapan dan penyebarluasan terhadap apa yang diakui 

menjadi suatu ringkasan yang akurat dan otoritatif;

2) melakukan ringkasan terhadap aturan hukum kebiasaan (common law) 

dalam berbagai macam bidang, termasuk kontrak, masalah kerugian, 

dan harta kekayaan.

Restatement yang diterima dan dipakai  oleh pengacara dan hakim/ 

pengadilan, seperti restatement tentang kontrak, terutama diadopsi oleh ALI 

pada tahun 1932 dan diterbitkan secara gradual dalam bentuk rancangan, 

sekitar beberapa tahun yang lalu.

Lagi pula banyak sekali pasal yang didukung dengan beberapa komentar 

dan ilustrasi. Tidak satu pun dari restatement ALI mengutamakan penegakan 

hukum seperti perlakuan terhadap undang-undang atau keputusan pengadilan 

secara individu. Walaupun itu merupakan sumber sekunder, restatement 

ini  dalam kenyataannya dibuktikan dengan pendekatan yang benar- 

benar persuasif, tidak jarang pengadilan akan membenarkan keputusannya 

dengan memberi  kutipan-kutipan sederhana (mungkin dengan menyetujui 

adanya diskusi) tentang aturan restatement pada poin-poin yang diberikan). 

Dengan mengetahui bahwa hukum kontrak telah mengalami perkembangan 

secara substansial sejak tahun 1932, tahun 1962 ALI mulai mempersiapkan 

terjemahan dari restatement yang direvisi. Akhirnya melakukan adopsi pada 

tahun 1979. Restatements (kedua) dari kontrak mewujudkan perubahan secara 

filosofi dari restatement yang aslinya.

Restatement pertama cenderung untuk menekankan penyamarataan dan 

prediksi terhadap biaya atau ongkos yang beraneka ragam dan fleksibel, 

sedangkan restatement kedua, lebih banyak memberi  komentar yang 

mendukung catatan editorial. Restatement kedua untuk menjawab beberapa 

kesulitan dari restatement pertama yang dipersiapkan untuk mengabaikan 

dan menyarankan suatu kendali bagi keleluasaan keputusan pengadilan. 

Sebagaimana kami lihat, restatement (kedua) juga mencerminkan suatu 

derajat yang tinggi, yang memberi  pengaruh terhadap Kitab Undang- 

Undang Hukum Dagang (UCC). Secara keseluruhan bahan-bahan ini mem­

berikan referensi terhadap restatement pertama atau kedua. Restatement 

kedua mengatur tentang kontrak. Sedangkan Restatemen ALI mengatur 

lainnya, seperti tentang peragenan, harta kekayaan, atau kerugian.

d. Legal Commentary (Komentar Hukum)

Legal commentary merupakan sumber hukum sekunder. Legal commen­

tary dianalogkan dengan doktrin dalam hukum Kontinental. sebab  com-

mentary o f law merupakan pendapat atau ajaran-ajaran dari para pakar 

tentang hukum kontrak.

Pada dasarnya yang banyak dikomentari oleh para pakar hukum kontrak 

yaitu  tentang restatement kontrak. Restatement kontrak telah memiliki  

dampak yang kuat dalam membentuk pandangan pengadilan tentang apa 

yang sepatutnya dilakukan common law dari kontrak. Restatement tentang 

kontrak cukup memiliki  pengaruh terhadap hukum. Akannamun , selama 

bertahun-tahun telah bermacam artikel dipublikasikan, buku-buku, dan ber­

aneka ragam risalah telah dicurahkan untuk menganalisis, mengevaluasi, 

dan mempersatukan badan-badan yang luas tentang masalah -masalah  kontrak 

yang telah diakumulasi dalam keputusan yang dilaporkan oleh pengadilan 

Amerika. Pengarang-pengarang dari pekerjaan ini menghendaki klarifikasi 

hukum, untuk tujuan penyelesaian permasalahan yang tidak dapat di­

selesaikan, serta dalam beberapa masalah  dibahas secara serius dan seringkah 

efektif bagi kesempatan hukum. beberapa  penjelasan telah memberi  

pengaruh dalam membentuk bagian-bagian dari hukum kebiasaan kontrak. 

Mungkin banyak sekali hal penting (tentunya dalam pound dan mungkin juga 

berpengaruh) dari uraian-uraian dan dari bermacam risalah yang dikemukakan 

oleh Profesor Samuel Willinston dan Arthur Corbin dilaporkan mengenai re­

statement asli dari kontrak dan ide-ide ini  dicerminkan dalam organisasi 

dan substansinya. Risalah William (pertama kali dipublikasikan tahun 1920, 

dan kemudian direvisi secara periodik, hal ini secara alami berkaitan dengan 

respek hakim yang memandang restatement ini  berwibawa. Risalah dari 

Profesor Corbins tidak dipublikasikan hingga tahun 1950, dan mengakhiri karier 

ilmiahnya yang panjang. Meskipun dia dan Willinston berkawan dan berteman 

sejawat, namun Corbin sendiri berperan dalam penulisan restatement. Secara 

filosofis, namun keduanya ada  perbedaan dalam memandang hukum. 

Willinston cenderung menghargai hukum sebagai bagian dari aturan yang 

abstrak yang mana pengadilan secara deduksi biasanya memutuskan masalah  

perorangan; sedangkan Corbin menghargai tugasnya sebagai sarjana hukum 

untuk    apakah pengadilan secara aktual melakukan dan berusaha 

untuk menyusun temuan ke dalam apa yang disebut dengan ’’bekerjanya 

aturan-aturan” hukum.

Selain pekerjaan dari kedua tokoh besar hukum kontrak ini , banyak 

penjelasan singkat yang bermunculan dalam tahun ini. Di antaranya baru- 

baru ini mungkin banyak dipengaruhi dua dari berbagai risalah Profesor E. 

Alan Farnsworth, yang membantu sebagai reporter untuk restatement (kedua) 

kontrak. Untuk masalah-masalah yang sedang berkembang di bawah UCC, 

para pengacara dan hakim seringkah mengikuti James J. White dan Robert 

S. Summers, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang seragam.

Bab 2 -

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komentar-komentar para pakar 

hukum dalam restatement sangat membantu pengadilan dan pengacara dalam 

memecahkan berbagai masalah  di bidang kontrak.


SYARAT-SYARAT SAHNYA DAN 

MOMENTUM TERJADINYA 

KONTRAK

A. ISTILAH DAN PENGERTIAN KONTRAK

Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedangkan dalam 

bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian).

Pengertian perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUH Perdata. Pasal 

1313 KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian yaitu  suatu perbuatan dengan mana 

satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” 

Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini yaitu 

1. tidak jelas, sebab  setiap perbuatan dapat disebut perjanjian,

2. tidak tampak asas konsensualisme, dan

3. bersifat dualisme.

Tidak jelasnya definisi ini dipicu  dalam rumusan ini  hanya 

disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut 

dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam 

doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian yaitu 

’’Perbuatan hukum berdasar  kata sepakat untuk memicu  akibat 

hukum.”

Definisi ini, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat 

hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Unsur-unsur perjanjian, menurut 

teori lama yaitu  sebagai berikut:

1. adanya perbuatan hukum,

2. persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,

3. persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,

4. perbuatan hukum terjadi sebab  kerja sama antara dua orang atau lebih,

5. pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung 

satu sama lain,

6. kehendak ditujukan untuk memicu  akibat hukum,

7. akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau 

timbal balik, dan

8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang- 

undangan.


Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan 

perjanjian, yaitu 

’’Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar  kata 

sepakat untuk memicu  akibat hukum.”

Teori baru ini  tidak hanya melihat perjanjian semata-mata,namun  juga 

harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap 

dalam membuat perjanjian, menurut teori baru