Era reformasi merupakan era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Era reformasi telah dimulai sejak tahun 1998 yang lalu. Latar belakang
lahirnya era reformasi yaitu tidak berfungsinya roda pemerintahan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, terutama di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Maka
dengan adanya reformasi, penyelenggara negara berkeinginan untuk melakukan
perubahan secara radikal (mendasar) dalam ketiga bidang ini .
Dalam bidang hukum, diarahkan kepada pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baru dan penegakan hukum (law o f enforcement). Tujuan pem
bentukan peraturan perundang-undangan yang baru yaitu untuk menggantikan
peraturan yang lama yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda diganti
dengan peraturan yang baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasa
keadilan, dan budaya hukum warga Indonesia. Pada era reformasi ini telah
banyak dihasilkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keinginan
warga Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan lain-lain. Undang-
undang yang dibentuk dan dibuat dalam era reformasi ini, yang paling dominan
yaitu undang-undang atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan hukum
yang bersifat dasar (basic law) kurang mendapat perhatian. Hal ini tampak dari
kurangnya pembahasan dari berbagai hukum dasar, seperti hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana, hukum tata negara, hukum kontrak, dan lainnya. Hukum
kontrak kita masih memakai peraturan Pemerintah Kolonial Belanda yang
ada dalam Buku III KUH Perdata. Buku III KUH Perdata menganut
sistem terbuka (open system), artinya bahwa para pihak bebas mengadakan
kontrak dengan dengan siapa pun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya,
dan bentuk kontrak, baik berbentuk lisan maupun tertulis. Di samping itu, diper-
Bab 1 Pendahuluan 1
kenankan untuk membuat kontrak baik yang telah dikenal dalam KUH Perdata
maupun di luar KUH Perdata.
Kontrak-kontrak yang telah diatur dalam KUH Perdata, seperti jual beli,
tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang,
pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perjanjian
untung-untungan, dan perdamaian. Di luar KUH Perdata, kini telah berkembang
berbagai kontrak baru, seperti leasing, beli sewa, franchise, surrogate mother,
production sharing, joint venture, dan lain-lain. Walaupun kontrak-kontrak itu
telah hidup dan berkembang dalam warga , namun peraturan yang berbentuk
undang-undang belum ada. Yang ada hanya dalam bentuk Peraturan Menteri.
Peraturan itu hanya terbatas pada peraturan yang mengatur tentang leasing,
sedangkan kontrak-kontrak yang lain belum mendapat pengaturan secara khusus.
Akibat dari tidak adanya kepastian hukum tentang kontrak ini maka akan
memicu persoalan dalam dunia perdagangan, terutama ketidakpastian bagi
para pihak yang mengadakan kontrak. Dalam kenyataannya salah satu pihak
sering kali membuat kontrak dalam bentuk standar, sedangkan pihak lainnya
akan menerima kontrak ini sebab kondisi sosial ekonomi mereka yang
lemah. Untuk itu pada masa mendatang diperlukan adanya undang-undang tentang
kontrak yang bersifat nasional, yang menggantikan peraturan yang lama. Undang-
undang ini juga memberi kedudukan yang seimbang kepada para pihak
dalam memenuhi hak dan kewajibannya.
Walaupun belum adanya undang-undang tentang kontrak yang khusus dan
bersifat nasional maka kajian teoretis maupun empirik dalam buku ini yaitu
berpedoman dan bertitik tolak pada KUH Perdata, peraturan perundang-undangan
di luar KUH Perdata, dan berbagai perjanjian internasional lainnya.
KONSEP DM PENGERTIM HUKUM
KONTRAK
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM KONTRAK
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract
o f law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscom-
strecht. Lawrence M. Friedman mengartikan hukum kontrak yaitu
Perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur
jenis perjanjian tertentu.”
Lawrence M. Friedman tidak menjelaskan lebih lanjut aspek tertentu dari
pasar dan jenis perjanjian tertentu. bila dikaji aspek pasar, tentunya kita akan
mengkaji dari berbagai aktivitas bisnis yang hidup dan berkembang dalam sebuah
market. Di dalam berbagai market ini maka akan memicu berbagai
macam kontrak yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Ada pelaku usaha yang
mengadakan perjanjian jual beli, sewa-menyewa, beli sewa, leasing, dan lain-lain.
Michael D Bayles mengartikan contract o f law atau hukum kontrak yaitu
Might then be taken to be the law pertaining to enporcement o f promise
or agreement.
Artinya, hukum kontrak yaitu sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.
Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari dimensi pelaksanaan perjanjian
yang dibuat oleh para pihak, namun Michael D. Bayles tidak melihat pada tahap-
tahap prakontraktual dan kontraktual. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan
dalam penyusunan sebuah kontrak. Kontrak yang telah disusun oleh para pihak
akan dilaksanakan juga oleh mereka sendiri.
Artinya hukum kontrak yaitu mekanisme hukum dalam warga untuk
melindungi harapan-harapan yang timbul dalam pembuatan persetujuan demi
Bab 2 ----------3
perubahan masa datang yang bervariasi kinerja, seperti pengangkutan kekayaan
(yang nyata maupun yang tidak nyata), kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan
uang.
Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari aspek mekanisme atau prosedur
hukum. Tujuan mekanisme ini yaitu untuk melindungi keinginan/harapan yang
timbul dalam pembuatan konsensus di antara para pihak, seperti dalam perjanjian
pengangkutan, kekayaan, kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan uang.
Definisi lain berpendapat bahwa hukum kontrak yaitu
’’Rangkaian kaidah-kaidah hukum yang mengatur berbagai persetujuan dan
ikatan antara warga-warga hukum.”
Definisi hukum kontrak yang tercantum dalam Ensiklopedia Indonesia meng
kajinya dari aspek ruang lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan
warga hukum. Tampaknya, definisi ini menyamakan pengertian antara kontrak
(perjanjian) dengan persetujuan, padahal antara keduanya yaitu berbeda. Kontrak
(perjanjian) merupakan salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan salah
satu syarat sahnya kontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata.
Dengan adanya berbagai kelemahan dari definisi di atas maka definisi itu
perlu dilengkapi dan disempurnakan. Jadi, menurut penulis, bahwa hukum kontrak
yaitu
’’Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk memicu
akibat hukum.”
Definisi ini didasarkan pada pendapat Van Dunne, yang tidak hanya mengkaji
kontrak pada tahap kontraktual semata-mata,namun juga harus diperhatikan
perbuatan sebelumnya. Perbuatan sebelumnya mencakup tahap pracontractual
dan post contractual. Pracontractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan,
sedangkan post contractual yaitu pelaksanaan perjanjian. Hubungan hukum
yaitu hubungan yang memicu akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya
hak dan kewajiban. Hak merupakan sebuah kenikmatan, sedangkan kewajiban
merupakan beban.
Dari berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum
dalam hukum kontrak, sebagaimana dikemukakan berikut ini. .
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis
dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis yaitu kaidah-kaidah hukum
yang ada di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yuris
prudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis yaitu kaidah-
kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam warga . Contoh,
jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain-lain. Konsep-konsep hukum ini berasal
dari hukum adat.
2. Subjek hukum-
Istilah lain dari subjek hukum yaitu rechtsperson. Rechtsperson diartikan
sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam
hukum kontrak yaitu kreditur dan debitur. Kreditur yaitu orang yang
berpiutang, sedangkan debitur yaitu orang yang berutang.
3. Adanya prestasi
Prestasi yaitu apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi
terdiri dari:
a. memberi sesuatu,
b. berbuat sesuatu, dan
c. tidak berbuat sesuatu.
4. Kata sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian.
Salah satunya kata sepakat (konsensus). Kesepakatan yaitu persesuaian
pernyataan kehendak antara para pihak.
5. Akibat hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan memicu akibat
hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban. Hak yaitu
suatu kenikmatan dan kewajiban yaitu suatu beban.
B. TEMPAT PENGATURAN HUKUM KONTRAK
Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri atas 18
bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal
1864 KUH Perdata. Masing-masing bab dibagi dalam beberapa bagian. Di dalam
NBW Negeri Belanda, tempat pengaturan hukum kontrak dalam Buku IV tentang
van Verbintenissen, yang dimulai dari Pasal 1269 NBW sampai dengan Pasal
1901 NBW.
Hal-hal yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata yaitu sebagai berikut.
1. Perikatan pada umumnya (Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1312 KUH
Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1312 KUH Perdata,
meliputi: sumber perikatan; prestasi; penggantian biaya, rugi, dan bunga sebab
tidak dipenuhinya suatu perikatan; dan jenis-jenis perikatan.
2. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313 sampai dengan Pasal
1351 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam bab ini meliputi: ketentuan umum, syarat-syarat
sahnya perjanjian; akibat perjanjian, dan penafsiran perjanjian.
3. Hapusnya perikatan (Pasal 1381 sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata)
Hapusnya perikatan dibedakan menjadi 10 macam, yaitu sebab pembayaran;
penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
pembaruan utang; perjumpaan utang atau kompensasi; percampuran utang;
Bab 2 ----------5
pembebasan utang; musnahnya barang terutang; kebatalan atau pembatalan;
berlakunya syarat batal; kedaluwarsa.
4. Jual beli (Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH
Perdata, meliputi: ketentuan umum; kewajiban si penjual; kewajiban si pembeli;
hak membeli kembali; jual beli piutang, dan lain-lain hak tak bertubuh.
5. Tukar-menukar (Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH Perdata)
6. Sewa menyewa (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan sewa-menyewa ini meliputi: ketentuan
umum; aturan-aturan yang sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan
penyewaan tanah, aturan khusus yang berlaku bagi sewa rumah dan perabot
rumah.
7. Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601'sampai dengan Pasal 1617
KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617
KUH Perdata, meliputi: ketentuan umum; persetujuan perburuhan pada
umumnya; kewajiban majikan; kewajiban buruh; macam-macam cara
berakhirnya hubungan kerja yang diterbitkan sebab perjanjian; dan
pemborongan pekerjaan;
8. Persekutuan (Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan ini meliputi: ketentuan umum; perikatan
antara para sekutu; perikatan para sekutu terhadap pihak ketiga; dan macam-
macam cara berakhirnya persekutuan.
9. Badan hukum (Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata)
10. Hibah (Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan tentang hibah ini, meliputi: ketentuan
umum; kecakapan untuk memberi hibah dan menikmati keuntungan dari
suatu hibah; cara menghibahkan sesuatu; penarikan kembali dan penghapusan
hibah.
11. Penitipan barang (Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam penitipan barang, yaitu penitipan barang pada
umumnya dan macam penitipan; penitipan barang sejati; sekestarasi dan
macamnya.
12. Pinjam pakai (Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1753 KUH Perdata)
Yang diatur dalam ketentuan ini meliputi: ketentuan umum; kewajiban orang
yang menerima pinjaman; dan kewajiban orang meminjamkan.
13. Pinjam-meminjam (Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan pinjam-meminjam ini meliputi: pengertian
pinjam-meminjam; kewajiban orang yang meminjamkan; kewajiban si pe
minjam; dan meminjam dengan bunga.
14. Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUH Perdata)
6 Hukum Komrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
15. Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791 KUH
Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam perjanjian untung-untungan ini meliputi: pengertiannya;
persetujuan bunga cagak hidup dan akibatnya; perjudian dan pertaruhan.
16. Pemberian kuasa (Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam pemberian kuasa meliputi: sifat pemberian kuasa,
kewajiban penerima kuasa, kewajiban pemberi kuasa, dan macam-macam
cara berakhirnya pemberian kuasa.
17. Penanggung utang (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan penanggungan utang ini meliputi: sifat
penanggungan, akibat-akibat penanggungan antara si berpiutang dan si pe
nanggung, akibat-akibat penanggungan antara si berpiutang dan si penanggung,
dan antara para penanggung sendiri, dan hapusnya penanggungan utang.
18. Perdamaian (Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata)
Perjanjian perdamaian ini merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak
yang bersengketa. Dalam perjanjian itu kedua belah pihak sepakat untuk
mengakhiri suatu konflik yang timbul di antara mereka. Perjanjian perdamaian
baru dikatakan sah bila dibuat dalam bentuk tertulis.
Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan, perkumpulan,
hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan,
pemberian kuasa, penanggung utang, dan perdamaian merupakan perjanjian yang
bersifat khusus, yang di dalam berbagai kepustakaan hukum disebut dengan
perjanjian nominaat. Perjanjian nominaat yaitu perjanjian yang dikenal di dalam
KUH Perdata. Di luar KUH Perdata dikenal juga perjanjian lainya, seperti
kontrak production sharing, kontrak joint venture, kontrak karya, leasing, beli
sewa., franchise, kontrak rahim, dan lain-lain. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian
innominaat, yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam
praktik kehidupan warga . Perjanjian innominaat ini belum dikenal pada saat
KUH Perdata diundangkan.
C. SISTEM PENGATURAN HUKUM KONTRAK
Sistem pengaturan hukum kontrak yaitu sistem terbuka (open system).
Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang
sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini dapat
disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi: ’’Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memberi kebebasan kepada
para pihak untuk:
1. membuat atau tidak membuat perjanjian,
Bab 2 ----------7
2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
4. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan
Dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada mulanya menganut
sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam
undang-undang. Ini dipicu adanya pengaruh ajaran legisme yang memandang
bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan dibaca
dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919.
Putusan Hoge Raad yang paling penting yaitu putusan HR 1919, tertanggal
31 Januari 1919 tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur
dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Di dalam putusan HR 1919 definisi perbuatan
melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang,namun juga melanggar
hak-hak subjektif orang lain, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Menurut HR 1919 yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum yaitu
berbuat atau tidak berbuat yang:
1. melanggar hak orang lain
Yang dimaksud dengan hak orang lain, bukan semua hak,namun hanya hak-
hak pribadi, seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain.
Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut, seperti hak kebendaan, hak atas
kekayaan intelektual (HAKI), dan sebagainya;
2. bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
Kewajiban hukum hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang-
undang;
3. bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh se
seorang itu bertentangan dengan sopan santun' yang tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang dalam warga ;
4. bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam warga ;
Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu
(1) aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan
(2) aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak
menyelenggarakan kepentingannya sendiri (Nieuwenhuis, 1985:118).
Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara
bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang
dikemukakan di atas. Sejak adanya putusan HR 1919, maka sistem pengaturan
hukum kontrak yaitu sistem terbuka.
Kesimpulannya, bahwa sejak tahun 1919 sampai sekarang sistem pengaturan
hukum kontrak yaitu bersifat terbuka. Hal ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata dan HR 1919.
D. ASAS HUKUM KONTRAK
Di dalam hukum kontrak dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian
hukum), asas iktikad baik, dan asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan berikut
ini.
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang berbunyi:’’Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak yaitu suatu asas yang memberi kebebasan
kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak yaitu adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui
antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan
Rosseau Menurut paham indivi
dualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam
hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam ’’kebebasan berkontrak”. Teori leisbet
fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan
jalannya persaingan bebas. sebab pemerintah sama sekali tidak boleh mengada
kan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) warga . Paham indivi
dualisme memberi peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk
menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan
pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang
kuat, diungkapkan dalam exploitation de homme par l ’homme.
Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham indi
vidualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham
ini tidak mencerminkan keadilan. warga ingin pihak yang lemah lebih banyak
mendapat perlindungan. Oleh sebab itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti
mutlak, akannamun diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum.
Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak
namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga
keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan warga . Melalui
penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum kontrak
ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasya
rakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak.
Bab 2 ----------9
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian,
yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan
asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal,namun cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan
merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua
belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman.
Di dalam hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme,namun yang dikenal
t
yaitu perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil yaitu suatu perjanjian
yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum Adat). Sedang
kan yang disebut perjanjian formal yaitu suatu perjanjian yang telah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis Uteris dan contractus
innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian bila memenuhi bentuk
yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata
yaitu berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda me
rupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, yang berbunyi: ’’Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang.”
Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Di
dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada
kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung
makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan
perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam
perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti
sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.
Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
4. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian harus dilaksanakan
10 -----
dengan iktikad baik.” Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu
pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasar
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan
iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan
tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya ter
letak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai
keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
Berbagai putusan Hoge Raad yang erat kaitannya dengan penerapan asas
iktikad baik disajikan berikut ini. masalah yang akan ditampilkan di sini yaitu
masalah Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya
nilai uang Jerman sesudah Perang Dunia I (Van Dunne, dkk. 1987: 35-36). masalah
posisi Sarong Arrest sebagai berikut.
Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman
beberapa sarong dengan harga sebesar flOO.OOO,-. sebab keadaan memaksa
sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan.
sesudah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi.namun
sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia
memenuhi pesanannamun dengan harga yang lebih tinggi, sebab bila harga
tetap sama ia akan menderita kerugian, yang berdasar iktikad baik antara
para pihak tidak dapat dituntut darinya.
Pembelaan yang ia (penjual) ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata dikesampingkan oleh Hoge Raad dalam arrest ini . Menurut putusan
Hoge Raad tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan
keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada iktikad baik untuk
mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan Hoge Raad masih memberi
harapan tentang hal ini dengan memformulasikan: mengubah inti perjanjian atau
mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang
lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan
secara keseluruhan.
Putusan Hoge Raad ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya kontrak oleh
para pihak. bila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual
harus melaksanakan isi perjanjian ini , sebab didasarkan bahwa perjanjian
harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Begitu juga dengan Mark Arrest. masalah
posisinya sebagai berikut.
Sebelum Perang Dunia I seorang Jerman memberi beberapa pinjaman uang
kepada seorang Belanda pada tahun 1924. Dari jumlah ini masih ada sisa
pinjamannamun sebab sebagai akibat peperangan nilai mark sangat turun maka
dengan jumlah sisa ini hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga
dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas
dasar devaluasi ini . Namun, Pasal 1756 KUH Perdata menyatakan: ’’Jika
Bab 2 ----------11
sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau ada
perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang
dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu.” Hoge
Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan per
janjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah
dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang
sangat kecil itu. Hakim menurut badan peradilan yang tertinggi ini, tidak ber
wenang atas dasar iktikad baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap
undang-undang yang bersifat menambah.
Putusan mark-arrest ini sama dengan sarong arrest, bahwa hakim terikat
pada asas iktikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada
saat terjadinya jual beli atau pada saat pinjam-meminjam uang. bila orang
Belanda meminjam uang sebanyak fl.000,-, maka orang Belanda ini harus
mengembalikan sebanyak ini di atas, walaupun dari pihak peminjam ber
pendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Lain halnya dengan di Indonesia.
Pada tahun 1997, kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan
ekonomi, pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara
sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat,
disepakati suku bunga bank sebesar 16% pertahun, namun sesudah terjadi krisis
moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 %/tahun. Ini berarti bahwa pihak
nasabah berada pada pihak yang dirugikan, sebab kedudukan nasabah berada
pada posisi yang lemah. Oleh sebab itu, pada masa-masa yang akan datang
pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati
nya, yang didasarkan pada iktikad baik.
5. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan
saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal
1315 KUH Perdata berbunyi: ’’Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa
seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.” Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya
berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualian
nya, sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang
berbunyi:” Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila
suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan
bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga,
dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH
12 -----
Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri,namun juga untuk
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari
padanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318
KUH Perdata untuk kepentingan:
a. dirinya sendiri,
b. ahli warisnya, dan
c. orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan
Pasal 1318 KUH Perdata, ruang lingkupnya yang luas.
Di dalam setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, pasti dicantumkan
identitas dari subjek hukum, yang meliputi nama, umur, tempat domisili, dan
kewarganegaraan. Kewarganegaraan berhubungan erat dengan apakah yang
bersangkutan dapat melakukan perbuatan hukum tertentu, seperti jual beli tanah
hak milik. Orang asing tidak dapat memiliki tanah hak milik, sebab kalau orang
asing diperkenankan untuk memiliki tanah hak milik maka yang bersangkutan
dapat membeli semua tanah yang dimiliki warga . Mereka memiliki modal
yang besar, dibandingkan dengan warga kita. WNA hanya diberikan untuk
mendapatkan HGB, HGU, dan hak pakai.
Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang di
selenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman
dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumus
kan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu: asas kepercayaan,
asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral,
asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan (Mariam Darus Badrulzaman,
1997: 22-23). Kedelapan asas itu dijelaskan berikut ini.
1. Asas kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan
mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di
antara mereka di belakang hari.
2. Asas persamaan hukum
Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum yaitu bahwa subjek hukum
yang mengadakan perjanjian memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban
yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama
lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan yaitu asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi
dan melaksanakan perjanjian. Kreditur memiliki kekuatan untuk menuntut
prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan
Bab 2 ----------13
debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian
itu dengan iktikad baik.
4. Asas kepastian hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya.
5. Asas moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi
dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang
melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mem
punyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.
Salah satu faktor yang memberi motivasi pada yang bersangkutan me
lakukan perbuatan hukum itu yaitu didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai
panggilan hati nuraninya.
6. Asas kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan
dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
7. Asas kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akannamun juga hal-hal yang
menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. Asas perlindungan (protection)
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan
itu yaitu pihak debitur, sebab pihak debitur berada pada pihak yang lemah.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan
dan membuat kontrak.
E. SUMBER HUKUM KONTRAK
Pada dasarnya sumber hukum kontrak dapat dibedakan menurut sistem hukum
yang mengaturnya. Sumber hukum, dapat dilihat dari keluarga hukumnya. Ada
keluarga hukum Romawi, common law, hukum sosialis, hukum agama, dan
hukum tradisional. Di dalam penyajian tentang sumber hukum kontrak ini hanya
dibandingkan antara sumber hukum kontrak menurut Eropa Kontinental, terutama
KUH Perdata dan common law, terutama Amerika. Kedua sumber hukum itu
disajikan berikut ini.
14 -----
1. Sumber Hukum Kontrak dalam Civil Law
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
sumber hukum materiil dan sumber hukum formal (Algra, dkk. 1975: 74).
Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil.
Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum,
misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan
keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional,
dan keadaan geografis. Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh
kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang memicu
peraturan hukum formal itu berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum formil
ialah undang-undang, perjanjian antamegara, urisprudensi, dan kebiasaan. Keempat
hukum formal ini juga merupakan sumber hukum kontrak.
Sumber hukum kontrak yang berasal dari undang-undang merupakan sumber
hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
Pemerintah dengan persetujuan DPR. Sumber hukum kontrak yang berasal dari
peraturan perundang-undangan, disajikan berikut ini.
a. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB)
AB merupakan ketentuan-ketentuan Umum Pemerintah Hindia Belanda yang
diberlakukan di Indonesia. AB diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23, dan diumumkan
secara resmi pada tanggal 30 April 1847. AB terdiri atas 37 pasal.
b. KUH Perdata (BW)
KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk Pe
merintah Hindia Belanda, yang diundangkan dengan Maklumat tanggal 30
April 1847, Stb. 1847, Nomor 23, sedangkan di Indonesia diumumkan dalam
Stb. 1848. Berlakunya KUH Perdata berdasar pada asas konkordansi.
Sedangkan ketentuan hukum yang mengatur tentang hukum kontrak diatur
dalam Buku III KUH Perdata.
c. KUH Dagang
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 53 pasal. Hal-hal yang diatur
dalam undang-undang itu meliputi ketentuan umum, asas dan tujuan, perjanjian
yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, komisi pengawas
persaingan usaha, tata cara penanganan perkara, dan sanksi;
e. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Di dalam Undang-undang ini ada dua pasal yang mengatur tentang kontrak,
yaitu Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 22 UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi. Yang diartikan dengan kontrak kerja konstruksi yaitu kese
luruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa
dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (Pasal 1
ayat (5) UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi).
Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai:
1) para pihak yang memuat secara jelas identitas para pihak;
2) rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang
kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
3) masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka
waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung
jawab penyedia jasa;
4) tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi, dan
kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;
5) hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh
hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan
yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi
dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
6) cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna
jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
7) cedera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan;
8) penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara
penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
9) pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang
pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat
dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
10) keadaan memaksa (force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian
yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang
memicu kerugian bagii salah satu pihak;
11) kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia
jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan;
12) perlindungan pekerja, yang memuat tentang kewajiban para pihak dalam
pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
13) aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan
ketentuan tentang lingkungan (Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 18 .Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi).
f. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Pilihan Penyelesaian Sengketa
Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 82 pasal. Pasal-pasal yang erat
kaitannya dengan hukum kontrak yaitu Pasal 1 ayat (3) tentang pengertian
perjanjian arbitrase, Pasal 2 tentang persyaratan dalam penyelesaian sengketa
arbitrase, dan Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 tentang syarat arbitrase.
g. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Undang-undang ini terdiri atas 7 bab dan 22 pasal. Hal-hal yang diatur
dalam undang-undang ini yaitu ketentuan umum, pembuatan perjanjian
internasional, pengesahan dari perjanjian internasional, pemberlakuan dari
perjanjian internasional, penyimpanan dari perjanjian internasional, dan
pengakhiran dari perjanjian internasional;
Traktat yaitu suatu perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih
dalam bidang keperdataan, khususnya kontrak. Ini terutama, erat kaitannya dengan
perjanjian internasional. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara
Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company tentang perjanjian
bagi hasil tembaga dan emas. Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan
produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-
pihak yang berperkara, terutama dalam perkara perdata. Contohnya, putusan
HR 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum. Dengan adanya putusan
HR 1919, maka pengertian melawan hukum tidak dianut arti luas,namun arti
sempit. Putusan HR 1919 ini dijadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia
dalam memutuskan sengketa perbuatan melawan hukum.
2. Sumber Hukum Kontrak Amerika
Dalam hukum kontrak Amerika (common law), sumber hukum dibagi menjadi
dua kategori, yaitu sumber hukum primer dan sekunder. Sumber hukum primer
merupakan sumber hukum yang utama. Para pengacara dan hakim menganggap
bahwa sumber primer dianggap sebagai hukum itu sendiri. Sumber hukum primer
meliputi keputusan pengadilan {judicial opinion), statuta, dan peraturan lainnya.
Sumber hukum sekunder merupakan sumber hukum yang kedua. Sumber hukum
sekunder ini memiliki pengaruh dalam pengadilan, sebab pengadilan dapat
mengacu pada sumber hukum sekunder ini . Sumber hukum sekunder ini
terdiri dari restatement dan legal comentary.
berdasar sumber ini , maka sumber hukum kontrak yang berlaku di
Amerika Serikat dibedakan menjadi empat macam, yaitu judicial opinion, statu
tory law, the restatement, dan legal comentary , Keempat sumber hukum itu dijelaskan berikut ini.
a. Judicial Opinion (Keputusan Hakim)
Judicial opinion atau disebut juga dengan judge made law atau judicial
decision merupakan sumber primer hukum kontrak. Judicial opinion merupa
kan pernyataan atau pendapat, atau putusan para hakim di dalam memutuskan
perkara atau masalah , apakah itu masalah perdata maupun masalah pidana. Putusan-
putusan hakim ini akan diikuti oleh para hakim, terutama terhadap masalah yang,
sama dan ada kemiripannya dengan masalah yang sedang terjadi.
Seperti kita ketahui bahwa sistem pengadilan Amerika dalam pembuatan
keputusan, biasanya dinyatakan sebagai stare decisis, ketaatan terhadap
keputusan yang telah lewat atau disebut precedents. Preseden yaitu
keputusan yang terdahulu yang fakta-fakta cukup mirip dengan masalah sub
judice- yang berada di bawah keputusan pengadilan (adjudication) ini -
bahwa pengadilan merasa berkewajiban untuk mengikutinya dan membuat
suatu keputusan yang sama.
Sistem preseden, lazimnya membenarkan dua hal, berikut ini.
Pertama, dia menawarkan derajat yang tinggi tentang kemungkinan
memprediksi keputusan yang membolehkan siapa saja yang berhasrat untuk
menangani urusan mereka yang berkaitan dengan aturan hukum yang dapat
diketahui.
Kedua, dia meletakkan kendali pada apa yang boleh, sebaliknya menjadi
kecenderungan alami dari hakim untuk memutuskan masalah yang menjadi dasar
prasangka, emosional pribadi, atau faktor-faktor lainnya yang boleh dihormati
sebagai dasar yang tidak pantas untuk suatu keputusan.
Sebagaimana suatu sistem yang dengan jelas memiliki ciri khas, kadang-
kadang merupakan suatu kebajikan, kadang-kadang merupakan kerusakan
menjadi statis dan konservatif, secara umum berorientasi pada pelestarian
terhadap status quo.
Seorang hakim dari common law menyimpulkan, bahwa kesetiaan yang buta
pada preseden akan menghasilkan suatu ketidakadilan dalam memutuskan
perkara. Ada beberapa cara yang mungkin dihindari. Memulai dengan suatu
preseden dipertimbangkan untuk menjadi mengikat bagi suatu pengadilan,
hanya jika ini diputuskan oleh pengadilan yang sama atau pengadilan ban
ding yang kedudukannya lebih tinggi dalam wilayah hukum yang sama.
Preseden-preseden lainnya dari pengadilan-pengadilan yang lebih rendah
atau pengadilan dari wilayah hukum lainnya hanya bersifat persuasif belaka.
Jika suatu preseden terdahulu dalam kenyataannya tidak persuasif maka
hakim bebas menghormatinya. bila suatu preseden tidak hanya persuasif
tetapi bersifat mengikat, preseden ini tidak mudah diabaikan. Hal itu
mungkin saja terjadi, namun sebaiknya dihindari: jika dalam kenyataannya
masalah -masalah yang terjadi sekarang tidak memuat suatu fakta yang berisi
(bahan-bahan) untuk diperlukan pada suatu keputusan yang lebih awal, maka
pengadilan boleh ’’berbeda” dengan preseden ini , dan membuat suatu
keputusan yang berbeda. Jika preseden yang lebih awal yaitu benar-benar
mengikat,namun sulit atau tidak mungkin untuk membedakannya maka ada
satu cara lain untuk menghindari akibatnya: jika keputusan pengadilan yaitu
salah satu dari yang menciptakan preseden (atau yaitu pengadilan lebih
tinggi) maka secara sederhana pengadilan dapat ’’menolak/mengesampingkan”
keputusan yang lebih awal ini (ini bukan perubahan yang berlaku surut
yang berakibat bagi kelompok masalah yang lebih awal,namun melakukan
perubahan aturan untuk masalah -masalah yang diputuskan dan masalah yang serupa
berikutnya). Penolakan, dipertimbangkan terhadap suatu kegiatan yang relatif
drastis dan biasanya dipersiapkan bagi instansi-instansi, yang mana pengadilan
merasa bahwa aturan dibedakan oleh preseden terdahulu, yang merupakan
kesalahan sederhana, itu yaitu suatu ketidakadilan dalam pelaksanaannya
di warga , sebab selain kesulitan pada tahap permulaan, juga merupakan
suatu ketertinggalan dari pembangunan masa lalu.
Pada dasarnya tidak semua masalah dapat diputuskan berdasar Preseden.
Ini dipicu oleh hal berikut:
1) tidak adanya preseden yang eksis (hal itu tidak seperti peristiwa dalam
proses pengadilan pada warga );
2) masalah yang tersedia tidak jelas.
Dalam hal masalah tidak jelas maka pengadilan-pengadilan mengarah pada
kebijaksanaan untuk menyelesaikan masalah . Suatu kebijaksanaan mungkin
dihormati secara umum sebagai tujuan warga yang akan diketengahkan
oleh keputusan khusus. Kegiatan ekonomi, politik, sosial, atau moral dan
mungkin harus melakukan sesuatu dengan kelompok-kelompok tersendiri
atau dengan warga secara keseluruhan (atau beberapa bagian yang
dapat diuraikan). Seringkah suatu pengadilan melihat kebijaksanaan
warga dalam undang-undang atau keputusan pengadilan, bahkan bila
hal itu tidak dilaksanakan secara langsung terhadap masalah yang ada; pada
waktu yang lain di pengadilan akan muncul perasaan hakim tentang apa itu
keadilan dan moral. Sebagaimana kita lihat beberapa komentator hukum,
mereka percaya bahwa ’’semua hukum yaitu kebijaksanaan” dan seharusnya
dengan jujur dipandang sebagai perasaan lain bahwa kebijaksanaan terlalu
sulit untuk didefinisikan, atau merupakan suatu faktor yang tidak dapat
dicegah guna memberi tuntunan bagi pembuat keputusan. Beberapa yang
memiliki kebijaksanaan khusus bahwa akan ada pengadilan-pengadilan
yang mencoba untuk mempromosikan-efisiensi ekonomi, sebagai contoh.
Sebagaimana Anda melihat keputusan pengadilan pada materi ini, biarkan
mata Anda terbuka di antara kedua penerapan keputusan pengadilan yang
samar-samar dan yang terang terhadap kebijaksanaan sebagai dasar keputusan.
b. Statutory Law (Hukum Per undang-undangan)
Sumber lain dari hukum kontrak yaitu bersumber dari statutory o f law
(hukum perundang-undangan). Sumber hukum ini melengkapi hukum
kebiasaan (common law). Statutory o f law merupakan sumber hukum yang
tertulis.
Menurut sejarahnya, hukum kontrak dibangun dalam sistem Anglo-Amerika
yaitu didasarkan pada common law, common law ini lebih tinggi
kedudukannya dari statutory o f law. Peraturan perundang-undangan tertulis
{statutory o f law), yang ada hubungan dengan hukum kontrak yaitu sebagai
berikut.
Undang-Undang Penggelapan
Undang-undang penggelapan ini dibuat pertama kali di Inggris dan
kemudian diberlakukan pada setiap negara bagian di Amerika Serikat.
Undang-undang ini mempersyaratkan bahwa kontrak yang dibuat harus
dalam bentuk tulisan agar dapat dilaksanakan oleh pengadilan. Undang-
undang penggelapan itu sendiri telah dibebani oleh keputusan pengadilan
yang lebih banyak kualitas hukum kebiasaannya dibandingkan undang-undang
modem.
2) Uniform Commercial Code
Uniform commercial code merupakan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang yang berlaku secara umum di Amerika Serikat. Undang-undang
ini tidak mengatur dan memuat semua transaksi dagang,namun juga
mengatur tentang biaya, terjadinya gangguan, ketidakmenentuan yang
dipicu oleh perbedaan antarnegara-negara dalam lingkup hukum
komersial.
3) Uniform State Lnws/NCCUSL
Uniform state /flws/NCCUSL merupakan hukum yang berlaku umum.
Di bawah pimpinan New York, beberapa negara-negara bagian
menyelenggarakan Konferensi Nasional Komisioner tentang Hukum
Negara yang berlaku Umum (Uniform State Lmv.v/NCCUSL). Walaupun
tidak memiliki kekuatan untuk membuat hukum, NCCUSL, membuat
rancangan hukum dan merekomendasikan pembuat undang-undang
negara dengan seri ’’undang-undang yang berlaku umum”, memberlakukan
berbagai ketentuan dagang, seperti instrumen-instrumen yang dapat di-
negoisasikan dan peraturan-peraturan standar.
4) Uniform Sales Acts
Uniform sales acts merupakan undang-undang penjualan yang berlaku
umum. Undang-undang ini diadopsi secara luas dan dibentuk secara besar-
besaran dari ketentuan yang dapat diterapkan oleh mereka secara alami.
Undang-undang ini hanya mengatur tentang tata cara menjual barang, seperti
bagian-bagian hak milik dan harta kekayaan, dan lain-lain.
Pada tahun 1940 terhadap Uniform Sale Act dan The Uniform Commer
cial Code telah diadakan pembaruan. Yang menjadi arsitek dari pembaruan
kedua undang-undang itu yaitu Profesor Kari Lliwellyn dan ia juga peran
cang utama dari Pasal 2 tentang Perdagangan. Menanggapi pengaruhnya,
kitab undang-undang ini mewakili suatu usaha tertentu untuk mem
berikan hukum agar dapat diterapkan pada transaksi perdagangan yang
lebih cocok dengan praktik bisnis, jadi diharapkan berguna dalam bisnis.
Walaupun penerimaan kedua undang-undang itu oleh negara-negara bagian
agak lamban, namun seluruh atau sebagian dari UCC telah diadopsi dan
sekarang ditegakkan di negara Amerika Serikat.
Ketika pengadilan memutuskan suatu masalah yang diatur oleh suatu undang-
undang, alasannya berbeda dengan alasan yang dipakai oleh prinsip-
prinsip hukum kebiasaan yang diterapkan. Beberapa pengadilan bahkan
pengadilan tinggi dari suatu wilayah hukum terikat untuk mengikuti ketentuan
undang-undang yang valid yang diterapkan untuk suatu sengketa sebelumnya.
Tugas ini berasal dari prinsip politik yang mendasar dari warga Amerika.
Pembuat undang-Undang memiliki kekuasaan dalam pembentukan hukum,
demikian pula terhadap undang-undang terikat dengan berbagai kewenangan
konstitusi. Dengan demikian, pembuat undang-undang dapat mengubah dan
menyaring aturan hukum kebiasaan. Kadang-kadang, bahasa undang-undang
mungkin tunduk pada interpretasi yang berbeda: seperti pada masalah ,
pengadilan biasanya menegaskan maksud legislator dalam pembuatan
undang-undang, agar mengadopsi ’’sejarah pembentukan undang-undang”
yang terkait dengan debat legislatif, laporan panitia, dan sebagainya.
Sebagaimana kita lihat, UCC memiliki bentuk khusus tersendiri mengenai
sejarah legislatif, official comments dari perancang undang-undang (itu bukan
sejarah perundang-undangan yang tertulis; mereka bukan produk pembuat
undang-undang negara sendiri,namun penulis dari official UCC yang
didasarkan pada undang-undang negara yang beraneka ragam).
Ketika merancang Pasal 2 UCC, Profesor Liwellyn dan rekan-rekannya
meninggalkan bentuk Undang-Undang Penjualan (Uniform Sales Acts) yang
terdahulu. Anggapan sebuah badan hukum tentang kontrak dapat diterapkan
sebagai latar belakang, ketentuan ini termasuk dalam Kitab Undang
Undang (Code), yakni beberapa peraturan yang mengubah aturan-aturan
hukum kebiasaan tentang kontrak, seperti yang diterapkan terhadap penjual
barang. Peraturan ini mengungkapkan prinsip-prinsip yang juga dapat
diterapkan pada kontrak-kontrak selain dari penjualan barang. Pada tahun
sekarang ini pengadilan telah mulai menerapkan ketentuan-ketentuan UCC
dengan analogi di dalam masalah kontrak bahwa Pasal 2 tidak dapat diterapkan
secara langsung. Kecenderungan ini memberi pengaruh terhadap bentuk
lain dari kewenangan, dengan pendekatan lebih persuasif dibandingkan mengikat,
memiliki dampak yang sangat kuat pada hukum kontrak.
Restatements
Sumber hukum sekunder yaitu restatements. Restatements merupakan hasil
rumusan ulang tentang hukum. Rumusan ini dilakukan sebab timbulnya
ketidakpastian dan kurangnya keseragaman dalam hukum dagang (commercial
law). Restatement ini menyerupai undang-undang, meliputi black letter,
pernyataan-pernyataan dari ’’aturan umum” (atau masalah itu mengetengahkan
konflik dengan aturan yang lebih baik).
Bab 2
Restatements ini dilakukan oleh Institut Hukum Amerika (American Law
Institute/ALI). Lembaga ini dibentuk pada tahun 1923. Proyek awal yang
dijalankan oleh organisasi ini yaitu
1) melakukan persiapan dan penyebarluasan terhadap apa yang diakui
menjadi suatu ringkasan yang akurat dan otoritatif;
2) melakukan ringkasan terhadap aturan hukum kebiasaan (common law)
dalam berbagai macam bidang, termasuk kontrak, masalah kerugian,
dan harta kekayaan.
Restatement yang diterima dan dipakai oleh pengacara dan hakim/
pengadilan, seperti restatement tentang kontrak, terutama diadopsi oleh ALI
pada tahun 1932 dan diterbitkan secara gradual dalam bentuk rancangan,
sekitar beberapa tahun yang lalu.
Lagi pula banyak sekali pasal yang didukung dengan beberapa komentar
dan ilustrasi. Tidak satu pun dari restatement ALI mengutamakan penegakan
hukum seperti perlakuan terhadap undang-undang atau keputusan pengadilan
secara individu. Walaupun itu merupakan sumber sekunder, restatement
ini dalam kenyataannya dibuktikan dengan pendekatan yang benar-
benar persuasif, tidak jarang pengadilan akan membenarkan keputusannya
dengan memberi kutipan-kutipan sederhana (mungkin dengan menyetujui
adanya diskusi) tentang aturan restatement pada poin-poin yang diberikan).
Dengan mengetahui bahwa hukum kontrak telah mengalami perkembangan
secara substansial sejak tahun 1932, tahun 1962 ALI mulai mempersiapkan
terjemahan dari restatement yang direvisi. Akhirnya melakukan adopsi pada
tahun 1979. Restatements (kedua) dari kontrak mewujudkan perubahan secara
filosofi dari restatement yang aslinya.
Restatement pertama cenderung untuk menekankan penyamarataan dan
prediksi terhadap biaya atau ongkos yang beraneka ragam dan fleksibel,
sedangkan restatement kedua, lebih banyak memberi komentar yang
mendukung catatan editorial. Restatement kedua untuk menjawab beberapa
kesulitan dari restatement pertama yang dipersiapkan untuk mengabaikan
dan menyarankan suatu kendali bagi keleluasaan keputusan pengadilan.
Sebagaimana kami lihat, restatement (kedua) juga mencerminkan suatu
derajat yang tinggi, yang memberi pengaruh terhadap Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (UCC). Secara keseluruhan bahan-bahan ini mem
berikan referensi terhadap restatement pertama atau kedua. Restatement
kedua mengatur tentang kontrak. Sedangkan Restatemen ALI mengatur
lainnya, seperti tentang peragenan, harta kekayaan, atau kerugian.
d. Legal Commentary (Komentar Hukum)
Legal commentary merupakan sumber hukum sekunder. Legal commen
tary dianalogkan dengan doktrin dalam hukum Kontinental. sebab com-
mentary o f law merupakan pendapat atau ajaran-ajaran dari para pakar
tentang hukum kontrak.
Pada dasarnya yang banyak dikomentari oleh para pakar hukum kontrak
yaitu tentang restatement kontrak. Restatement kontrak telah memiliki
dampak yang kuat dalam membentuk pandangan pengadilan tentang apa
yang sepatutnya dilakukan common law dari kontrak. Restatement tentang
kontrak cukup memiliki pengaruh terhadap hukum. Akannamun , selama
bertahun-tahun telah bermacam artikel dipublikasikan, buku-buku, dan ber
aneka ragam risalah telah dicurahkan untuk menganalisis, mengevaluasi,
dan mempersatukan badan-badan yang luas tentang masalah -masalah kontrak
yang telah diakumulasi dalam keputusan yang dilaporkan oleh pengadilan
Amerika. Pengarang-pengarang dari pekerjaan ini menghendaki klarifikasi
hukum, untuk tujuan penyelesaian permasalahan yang tidak dapat di
selesaikan, serta dalam beberapa masalah dibahas secara serius dan seringkah
efektif bagi kesempatan hukum. beberapa penjelasan telah memberi
pengaruh dalam membentuk bagian-bagian dari hukum kebiasaan kontrak.
Mungkin banyak sekali hal penting (tentunya dalam pound dan mungkin juga
berpengaruh) dari uraian-uraian dan dari bermacam risalah yang dikemukakan
oleh Profesor Samuel Willinston dan Arthur Corbin dilaporkan mengenai re
statement asli dari kontrak dan ide-ide ini dicerminkan dalam organisasi
dan substansinya. Risalah William (pertama kali dipublikasikan tahun 1920,
dan kemudian direvisi secara periodik, hal ini secara alami berkaitan dengan
respek hakim yang memandang restatement ini berwibawa. Risalah dari
Profesor Corbins tidak dipublikasikan hingga tahun 1950, dan mengakhiri karier
ilmiahnya yang panjang. Meskipun dia dan Willinston berkawan dan berteman
sejawat, namun Corbin sendiri berperan dalam penulisan restatement. Secara
filosofis, namun keduanya ada perbedaan dalam memandang hukum.
Willinston cenderung menghargai hukum sebagai bagian dari aturan yang
abstrak yang mana pengadilan secara deduksi biasanya memutuskan masalah
perorangan; sedangkan Corbin menghargai tugasnya sebagai sarjana hukum
untuk apakah pengadilan secara aktual melakukan dan berusaha
untuk menyusun temuan ke dalam apa yang disebut dengan ’’bekerjanya
aturan-aturan” hukum.
Selain pekerjaan dari kedua tokoh besar hukum kontrak ini , banyak
penjelasan singkat yang bermunculan dalam tahun ini. Di antaranya baru-
baru ini mungkin banyak dipengaruhi dua dari berbagai risalah Profesor E.
Alan Farnsworth, yang membantu sebagai reporter untuk restatement (kedua)
kontrak. Untuk masalah-masalah yang sedang berkembang di bawah UCC,
para pengacara dan hakim seringkah mengikuti James J. White dan Robert
S. Summers, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang seragam.
Bab 2 -
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komentar-komentar para pakar
hukum dalam restatement sangat membantu pengadilan dan pengacara dalam
memecahkan berbagai masalah di bidang kontrak.
SYARAT-SYARAT SAHNYA DAN
MOMENTUM TERJADINYA
KONTRAK
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN KONTRAK
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedangkan dalam
bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian).
Pengertian perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUH Perdata. Pasal
1313 KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian yaitu suatu perbuatan dengan mana
satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini yaitu
1. tidak jelas, sebab setiap perbuatan dapat disebut perjanjian,
2. tidak tampak asas konsensualisme, dan
3. bersifat dualisme.
Tidak jelasnya definisi ini dipicu dalam rumusan ini hanya
disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut
dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam
doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian yaitu
’’Perbuatan hukum berdasar kata sepakat untuk memicu akibat
hukum.”
Definisi ini, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat
hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Unsur-unsur perjanjian, menurut
teori lama yaitu sebagai berikut:
1. adanya perbuatan hukum,
2. persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,
3. persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,
4. perbuatan hukum terjadi sebab kerja sama antara dua orang atau lebih,
5. pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung
satu sama lain,
6. kehendak ditujukan untuk memicu akibat hukum,
7. akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau
timbal balik, dan
8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-
undangan.
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan
perjanjian, yaitu
’’Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata
sepakat untuk memicu akibat hukum.”
Teori baru ini tidak hanya melihat perjanjian semata-mata,namun juga
harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap
dalam membuat perjanjian, menurut teori baru